LAPORAN PENGKAJIAN KOMPETITIF -...
Transcript of LAPORAN PENGKAJIAN KOMPETITIF -...
LAPORAN PENGKAJIAN KOMPETITIF
PENGKAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI
TEKNOLOGI PADA PENDEKATAN PTT KEDELAI PADA 2 KABUPATEN PROPINSI NAD
Tim Pengkaji :
Nazariah Basri A. Bakar
M. Ferizal M. Nasir
Cut Hilda Rahmi Rini Andriani
Mahdi Fitriah
Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ACEH
Jalan Panglima Nyak Makam No. 27 Kotak Pos 41 Kode Pos 23125 Telp. (0651) 7551811 Fax. (0651) 7552077
E-mail: [email protected] dan [email protected]
2010
Kode Registrasi : 567392-2010-6.1-98
i
ABSTRAK
Salah satu upaya dalam pencapaian swasembada kedelai di tahun 2014, adalah penggunaan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian berupa benih/bibit unggul, pengelolaan tanaman terpadu, alsintan dan teknologi pascapanen. Di tahun 2010, BPTP Aceh mendapat tugas untuk melakukan pendampingan teknologi pada 60% lokasi atau 1560 unit SL-PTT kedelai dan mendistribusikan materi diseminasi ke BPP. Ditargetkan 90 % inovasi Badan Litbang Pertanian digunakan pada kegiatan SL-PTT Kedelai. Dalam upaya percepatan penggunaan inovasi (adopsi) dalam pencapaian swasembada di Aceh, suatu Pengkajian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pada Pendekatan PTT Kedelai akan dilakukan di Kabupaten Pidie Jaya dan Bireuen, Provinsi Aceh antara bulan Pebruari – Nopember 2011. Tujuan akhir dari pengkajian adalah untuk mendapatkan rancangan model percepatan adopsi teknologi kedelai di Aceh. Ruang lingkup pengkajian meliputi : (1) Karakterisasi pengguna inovasi teknologi (2) Karakterisasi inovasi teknologi kedelai; (3) Metoda dan Media efektif yang digunakan pada SL-PTT kedelai di Aceh dan (4) keragaan pemberdayaan agen penyuluhan di 2 kabupaten. Data primer dikumpulkan melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara mendalam menggunakan kuesioner pada 40 responden petani disetiap kabupaten, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui deskstudy. Data dianalisis dengan persentase penerapan teknologi kedelai berdasarkan jumlah adopter yang menyatakan pilihannya. Untuk mempertajam pembahasan, penyajian data/informasi didukung tampilan grafik dan bagan alir Dari hasil pengkajian ini diharapkan di tahun 2014, swasembada kedelai telah tercapai di Provinsi NAD. Kata kunci : adopsi, teknologi
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i
ABSTRAK ................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................. iii
I. PENDAHULUAN ............................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................ 3 1.3. Tujuan Pengkajian ................................................ 4 1.4. Output (Keluaran) ................................................ 4 1.5. Perkiraan Outcome ................................................ 4 1.6. Perkiraan Benefit (Manfaat) ................................................ 5 1.7. Perkiraan Impact (Dampak) ................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................... 6
III. METODOLOGI ............................................... 8 3.1. Kerangka pemikiran ................................................ 8 3.2. Lokasi, Responden dan
waktu pengkajian ................................................ 8
3.3. Rancangan Pengkajian ................................................ 8 3.4. Pengamatan/pengolahan
dan Analisis Data ................................................ 9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................... 11 4.1. Tenaga Pelaksana ...................... 11 4.2. Jadwal Pelaksanaan ...................... 12
V. KESIMPULAN ...................... 13
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-lampiran
...................... 17
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Swasembada kedelai ditahun 2014 merupakan salah satu sasaran utama
Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian, 2010). Komoditi kedelai berperan
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pangan olahan. Sasaran produksi
kedelai di Indonesia tahun 2010, mencapai 1,3 juta ton biji kering (BK) atau
meningkat 18, 20 % dibandingkan dengan sasaran tahun sebelumnya. Sementara
untuk provinsi Aceh sasaran produksi di tahun 2010 sebesar 118.340 ton BK ,
dengan sasaran tanam di tahun 2010 seluas 26.000 ha atau 2600 unit SL-PTT
kedelai (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).
Akan tetapi sampai saat ini pada beberapa daerah di Provinsi Aceh
produktivitas kedelai masih rendah sebesar < 13 kw/ha ; hal tersebut disebabkan
masih ada kesenjangan produktivitas ditingkat petani yang cukup besar,
dibandingkan potensi yang dapat di capai petani. Keberhasilan swasembada beras
dipengaruhi berbagai faktor yakni penggunaan teknologi untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk, pengembangan manajemen usahatani untuk
meningkatkan nilai tambah dan daya saing serta jaminan harga dasar.
Menurut Alimoeso (2008) tanpa fasilitasi pemerintah sulit bagi usahatani
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. Sementara Jamal (2009)
menyatakan keberhasilan upaya peningkatan produktivitas, produksi dan
pendapatan petani sangat bergantung pada kemampuan penyediaan dan penerapan
teknologi produksi yang meliputi varietas unggul, benih/bibit berkualitas dan
teknologi budidaya lainnya.
Komunikasi berperan sebagai salah satu program pendukung yang penting
dari berbagai gerakan pembaharuan usahatani (Suryana, 2008). Untuk
berkomunikasi secara tepat sesuai dengan media yang ada, dapat digunakan
komunikasi tatap muka dan komunikasi dengan media cetak dan elektronik. Menurut
Rangkuti (2009a) peran komunikasi pembangunan dalam transformasi teknologi dan
manajemen agribisnis belum efektif dan efisien, masih terjadi kesenjangan antara
2
kemajuan iptek di tingkat penelitian dan aplikasi di lapangan.
BPTP NAD telah menghasilkan sejumlah inovasi teknologi spesifik lokasi
kedelai yang perlu didiseminasikan, melalui jaringan BPTP, BAPELUH, BPP dan
Kelompok tani. Tujuan utama pengembangan jaringan antara lain : (1)
mempercepat proses transfer teknologi dan informasi pertanian: (2) menghimpun
umpan balik (feedback) hasil pengkajian dan preferensi kebutuhan pengguna
teknologi.
Ada dua percepatan adopsi yang terjadi di lapangan yaitu: (1) percepatan
waktu mengadopsi teknologi dan (2) terjadinya perluasan sebaran adopsi dalam
waktu yang relatif sama (Hendayana, dkk 2009).
Tingkat adopsi inovasi teknologi antar daerah di Propinsi NAD masih
bervariasi dan beragam. Rogers (2003) menyatakan faktor yang menentukan
percepatan adopsi inovasi teknologi antara lain: (1) karakterisasi inovasi teknologi,
(2) keefektifan metode/media diseminasi , (3) komunikator (penyampai pesan), (4)
ketersediaan dan harga benih/bibit, (5) harga jual dan pasar dan, (6) sosial ekonomi
dan budaya pengguna inovasi.
Beberapa pengkajian tentang diseminasi yang telah dilakukan oleh BBP2TP
(Jamal dkk, 2008a dan Bustaman dkk, 2009a ;2009b) menunjukan bahwa: (a)
Sumber inovasi teknologi yang digunakan petani dari BPTP baru sekitar 60%; (b)
Aspek yang dipertimbangkan petani dalam mengadopsi inovasi teknologi adalah
ketersediaan benih/bibit, harga benih/bibit, produktivitas, harga jual, akses pasar,
keuntungan, kompatibilitas, tingkat kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan
perubahan fisik; dan (c) Belum dilakukan dengan baik identifikasi kelompok sasaran
dan kebutuhan teknologi (umpan balik) dari pengguna.
Dalam upaya pencapaian swasembada melalui peningkatan produktivitas
kedelai ≥ 2ton/ha di Provinsi Aceh, pengkajian terhadap faktor percepatan adopsi
teknologi kedelai perlu dilakukan.
3
1.2. Perumusan Masalah
Pelaksanaan SL-PTT kedelai bertujuan antara lain untuk mempercepat
penerapan komponen teknologi PTT kedelai dengan sasaran teradopsinya berbagai
alternative komponen teknologi kedelai oleh petani sehingga dapat menambah
pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola usahataninya , guna meningkatnya
produktivitas kedelai sekitar 0,5 ton/ha.
Beberapa penyebab masih adanya kesenjangan produktivitas yang cukup
besar di tingkat petani antara lain : (1) pengguna benih unggul potensi tinggi dan
bersertitikat masih rendah serta 53 %; (2) penggunaan pupuk yang belum
berimbang dan efesien; (3) penggunaan pupuk organic yang belum dilakukan; (4)
pendampingan teknologi oleh peneliti/penyuluh belum otimal dan (5) lemahnya
akses terhdap modal kerja/pembiayaan dan pasar.
Upaya pencapaian swasembada kedelai tak luput dari dukungan inovasi
teknologi Badan Litbang Pertanian berupa varietas unggul, pengelolaan tanaman
terpadu (PTT), teknologi pasca panen dan alsintan, model kelembagaan dan saran
kebijakan. Inovasi teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian untuk
komoditas kedelai antara lain : 7 Varietas unggul di berbagai agroekosistem dan
system pengembangan teknologi melalui pendekatan PTT (Badan Litbang Pertanian,
2010)
Dalam rencana strategis Badan Litbang Pertanian 2010-2014, sasaran yang
harus dicapai antara lain: (1) Meningkatnya tingkat adopsi (>50%) hasil inovasi
teknologi dan rekomendasi kebijakan pertanian yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian, (2) Tersedianya benih, bibit, pupuk dan alsin untuk komoditas unggulan
tanaman dan ternak dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas ( Badan
Litbang Pertanian, 2010).
Badan Litbang Pertanian sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang
Kementerian Nomor 39 tahun 2008 wajib membantu Ditjen Teknis. Untuk itu BPTP
di tahun 2010 diberi tugas untuk melakukan pendampingan teknologi pada 60% dari
jumlah lokasi program strategis yang berada di wilayah kerjanya (Badan Litbang,
2009a). Dari 60 % jumlah unit SL-PTT yang perlu dilakukan pendampingan oleh
4
BPTP sebanyak 15.000 unit SL-PTT kedelai (Unit = 10 ha) di seluruh Provinsi (Ditjen
Tanaman Pangan , 2010; BBP2TP, 2009a)
Wujud pendampingan BPTP pada 60% unit SL-PTT 2010 meliputi: (1) uji
adaptasi VUB pada laboratorium lapang (LL), (2) melatih 60% jumlah PL3 di setiap
kabupaten/kota dan (3) menghadirkan peneliti (Puslit/Balai Besar, BPTP, Balit
komoditas sebagai narasumber pada pertemuan dengan petani.
Beberapa unsur penting yang menentukan keberhasilan kegiatan diseminasi
sebagai berikut : (a) inovasi yang dibawa, (b) media diseminasinya, (c) waktu atau
proses diseminasi dan (d) pihak yang terlibat dalam proses diseminasi. Penetapan
target yang jelas pada setiap kelompok sasaran serta keseriusan pembawa inovasi
merupakan faktor penentu akan keberhasilan kegiatan diseminasi.
Hendayana dkk (2006) mengidentifikasi faktor kesenjangan antara teknologi
yang diintroduksi dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektifnya
metode/media diseminasi, serta kurangnya penyuluh lapang dilibatkan merupakan
faktor yang memberi pengaruh terhadap percepatan adopsi.
1.3. Tujuan Pengkajian :
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi PTT kedelai (faktor
internal/petani dan faktor eksternal/diluar petani)
1.4. Output (Keluaran) :
Data indentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi PTT kedelai
(faktor internal/petani dan faktor eksternal/diluar petani)
1.5. Perkiraan Outcome :
Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan apresiasi kepada petani untuk
mengaplikasikan teknologi PTT kedelai sehingga bisa mencapai produktivitas
≥ 2 ton / ha, dengan adanya :
o Informasi tingkat adopsi inovasi teknologi kedelai di Kab. Pidie Jaya dan Bireuen
o Informasi faktor-faktor penentu dari adopsi inovasi teknologi kedelai.
5
o Informasi jenis dan macam inovasi teknologi yang dibutuhkan petani kedelai
o Perbaikan dan percepatan inovasi teknologi kedelai (dari hasil umpan balik) yang akan dihasilkan waktu mendatang
1.6. Perkiraan Benefit (Manfaat) :
Hasil pengkajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani dalam upaya
meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya, bermanfaat bagi
pengambil kebijakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempercepat
tingkat adopsi. Senjang hasil dipersempit.
1.7. Perkiraan Impact (dampak) :
o Meningkatnya tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di Provinsi Aceh
o Meminimalkan faktor-faktor penghambat/kendala tingkat adopsi teknologi
PTT kedelai di tingkat petani
o Memaksimalkan faktor-faktor peningkatan tingkat adopsi teknologi PTT
kedelai di tingkat petani
o Memaksimalkan peran penyuluh sebagai agen pembaharu
o Produksi kedelai di Aceh meningkat, ketersediaan bahan baku kedelai
mencukupi di tingkat NAD.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
Propinsi Aceh merupakan salah satu provinsi potensial penghasil kedelai,
setelah Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Di tahun 2009 realisasi luas panen
kedelai Aceh 2.841. ha (target 4750 ha ,tingkat capaian 59,8 %); produksi 4054 ton
(target 7600 ton, tingkat capaian 53,34%) dan produktifitas 1,427 ton/ ha (target
1,6 ton / ha, tingkat capaian 89,14%).
Produksi kedelai di Propinsi NAD dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi,
produktivitas rata-rata hanya berkisar antara 1,25 - 1,47 ton/ha atau rata-rata 1,31
ton/ha, sedangkan menurut hasil penelitian, produktivitas kedelai dengan
menggunakan varietas unggul mencapai 2,5 ton/ha. Menurut Supadi (2008),
rendahnya produksi kedelai ditingkat petani disebabkan oleh rendahnya minat petani
dalam membudidayakan kedelai dikarenakan masalah finansial serta sifat sensitif
dari tanaman kedelai itu sendiri.
Senjang produksi yang besar antara hasil penelitian/pengkajian dengan
yang didapatkan oleh petani, sangat berpeluang dalam upaya peningkatan produksi
kedelai di Provinsi Aceh. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
menerapkan inovasi teknologi budidaya terutama pada daerah sentra produksi di
samping perluasan areal tanam.
Havelock (1971), mengemukakan bahwa faktor penerapan teknologi oleh
pengguna relatif sulit. Hal ini disebabkan karena peneliti dan pengguna masing-
masing mempunyai tata nilai, bahasa, serta pola komunikasi yang berbeda.
Komunikasi pertanian merupakan suatu kegiatan penting dalam proses adopsi
inovasi. Kurang jelasnya informasi menyebabkan pengguna ragu-ragu atau bahkan
menolak inovasi teknologi yang diterima. Kejelasan proses komunikasi akan sangat
tergantung dari empat unsur komunikasi yaitu: (a) penyuluh pertanian sebagai
sumber dalam proses komunikasi; (b) inovasi sebagai pesan dalam komunikasi; (c)
saluran komunikasi, dan (d) sasaran komunikasi. Basuno (2003) menyatakan bahwa
dalam proses adopsi inovasi teknologi, motivasi petani adalah salah satu variable
yang sangat menentukan.
Alasan, diadopsinya teknologi oleh petani (Bustaman, 2009a) antara lain; (1)
7
Hasilnya/produktivitasnya menjadi meningkat dari sebelumnya, (2) Lebih
menguntungkan dari usahatani sebelumnya, (3) Teknologinya mudah diterapkan,
(4) Ada kesepakatan kelompok untuk mengadopsi, (5) Dapat menyediakan lapangan
kerja/kesempatan kerja, (6) Memperbanyak sumber pendapatan.
Sedangkan kendala dalam mengadopsi tenologi oleh petani yaitu; (1) Modal
untuk melaksanakan teknologi tersebut terbatas, (2) Tenaga kerja orang untuk
melaksanakan teknologi tersebut terbatas, (3) Ketersediaan sarana produksi
terbatas, (4) Pemasaran hasil produksi teknologi tersebut belum mendukung, (5)
Kelompok tani belum kompak, (6) Tenaga kerja alsintan untuk melaksanakan
teknologi tersebut terbatas.
Disamping itu faktor penyebab tidak/ belum diadopsinya teknologi oleh
petani adalah (1) Biaya yang dibutuhkan tidak terjangkau, (2) Petani belum yakin
akan keunggulan teknologi tersebut, (3) Sarana produksi yang dibutuhkan belum
ada dilokasi, (4) Keuntungan yang didapat tidak seimbang dengan biaya yang
dibutuhkan, (5) Kelompok tani belum kompak.
Roger dan Shoemaker (1981) menjelaskan masuk dan menyebarnya inovasi
ke dalam suatu sistem sosial bisa melalui anggota sistem, baik secara individu,
kolektif (kelompok) atau melalui otoritas penguasa sistem hingga mereka sampai
pada proses keputusan. Annonimous (1999) menunjukkan bahwa sampai saat ini
sektor pertanian masih menghadapi berbagai kendala dalam mengoptimalkan
sumberdaya pertanian yang ada seperti lemahnya SDM, kelembagaan dan
penguasaan IPTEK (Kasryno dan Syafa’at . 2000).
Menurut Musyafak dan Ibraham (2005), inovasi tepat guna adalah inovasi
teknologi yang memiliki karakter sebagai berikut: (a) harus dirasakan sebagai
kebutuhan oleh kebanyak petani; (b) harus memberikan keuntungan secara konkrit
bagi petani, minimal meningkat >50% dari keuntungan menggunakan teknologi
yang lain; (c) harus mempunyai kompetibilitas/keselarasan; (d) harus dapat
mengatasi faktor-faktor pembatas; (c) harus mendayagunakan sumberdaya ysudah
ada, (f) harus terjangkau oleh kemampuan financial petani dan (g) harus sederhana,
mudah dicoba dan diamati.
8
III. METODOLOGI
3.1 Ruang Lingkup
Pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pada
pendekatan PTT kedelai pada 2 kabupaten Propinsi NAD, didasarkan pada
karakteristik sumber daya manusia (petani, penyuluh, peneliti ) dan sumber daya
alam, oleh sebab itu lingkup dan rencana kegiatan harus bersifat spesifik lokasi.
Rencana kegiatan pengkajian serta pengembangan dan evaluasi secara
umum merupakan serangkaian kegiatan survei diagnostik yang meliputi: penentuan
petani kooperator, karakteristik lokasi pengkajian dan survey khalayak/Analisis
keadaan awal (situasi) inovasi teknologi kedelai di tingkat petani, praktik usahatani
sebelumnya, kebutuhan teknologi, inovasi yang tersedia di tingkat petani dan
norma dari sistem sosial yang ada, serta survei faktor-faktor yang mempengaruhi
adopsi teknologi PTT kedelai.
3.2. Lokasi, Responden dan Waktu Pengkajian
Lokasi pengkajian ditentukan secara purposive yaitu: Kabupaten Pidie Jaya
dan Bireuen. Berdasarkan pertimbangan bahwa daerah ini adalah sentra produksi
kedelai di propinsi NAD dan juga daerah yang sudah melaksanakan program SL-PTT
kedelai.
Di tiap kabupaten terpilih ditentukan responden yang memenuhi kriteria
adopter dengan besar ukuran responden 40 orang responden. Masing-masing
kabupaten akan dipilih kecamatan dan desa sentra produksi kedelai. Setiap
kecamatan akan dipilih 2 desa. Setiap desa akan dipilih 20 orang responden dengan
kriteria petani yang sudah mengusahakan tanaman kedelai minimal 3 tahun
berturut-turut. Pemilihan responden dipilih dari adopter yang ada secara acak
sederhana. Waktu pengkajian dimulai bulan Pebruari sampai dengan bulan
Nopember 2011.
9
3.3. Rancangan Pengkajian
Pengkajian ini dirancang dengan metode survei
3.4. Pengamatan/pengolahan dan Analisis Data
3.4.1. Data dan Sumber Data
Data yang dijadikan sumber bahasan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden yang terdiri dari PPL, Pejabat
dari Dinas-dinas Lingkup Pertanian di tingkat Kabupaten dan Kecamatan serta petani
di lapangan.
Pengumpulan data primer akan dilakukan melalui beberapa pendekatan
yakni: Wawancara mendalam (indepth interview) kepada penyuluh lapang/PPL dan
petani serta Pejabat lain yang terkait dan relevan di tingkat Kabupaten dan
Kecamatan, serta diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion - FGD).
Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dokumen dan publikasi
yang relevan dengan topik pengkajian di BBP2TP, Puslit/Balit yang terkait, BPTP
Aceh, dan surfing website.
Jenis data primer yang dikumpulkan, antara lain adalah sebagai berikut:
(a) Karakteristik Responden, meliputi umur, pendidikan, pengalaman berusahatani
dan lain-lain yang relevan
(b) Keragaan Penerapan Teknologi, yang didalamnya memuat uraian komponen
teknologi dan aspek pertimbangannya (Karakteristik Inovasi Teknologi)
(c) Alur adopsi teknologi, termasuk di dalamnya mengungkap sumber informasi
teknologi, simpul-simpul komunikasi, dan data pendukung lain yang relevan
(Pemilihan metode/media efektif)
(d) Keragaan pemberdayaan agen penyuluhan pertanian yang terdiri dari PPL
(PNS), THL dan PMT di 2 Kabupaten.
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait yang relevan
dengan topik yang dibahas. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi
perkembangan produksi, produktivitas dan perkembangan areal panen kedelai.
10
3.4.2. Analisis Data
Kajian percepatan adopsi teknologi kedelai secara umum dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan karakteristik informasi yang terkumpul.
Keragaan adopsi pada masing-masing komoditas tersebut ditampilkan
dengan alat bantu tabulasi silang dengan menggunakan parameter nilai maksimum,
minimum, rataan dan persentase. Analisis persentase penerapan teknologi kedelai
berdasarkan jumlah adopter yang menyatakan pilihannya. Untuk mempertajam
pembahasan, penyajian data/informasi didukung tampilan grafik dan bagan alir.
Pengaruh variabel karakteristik individu, karakteristik inovasi teknologi dan
dan ciri-ciri adopsi dan pemberdayaan agen penyuluhan terhadap tingkat kecepatan
bila χ²- hitung > χ² - tabel berarti benar ada kecenderungan
adopter lebih menyukai media diseminasi, komponen teknologi PTT tertentu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengkajian
4.1.1. Kabupaten Pidie Jaya
Kabupaten Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten yang baru terbentuk
berada dalam wilayah pemerintah Aceh dengan ibu kota kabupaten Meureudu.
Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang – Undang No 7 tahun 2007, pada
tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten ini terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yaitu:
Bandar Baru, Pante Raja, Trieng Gadeng, Meureudu, Meurah Dua, Ulim, Jangka
Buya, dan Kecamatan Bandar Dua. Secara keseluruhan wilayah kabupaten pidie Jaya
memiliki luas 1.162,85 KM2, dengan wilayah yang terluas di Kecamatan Meurah Dua
dan Bandar Baru , masing – masing luas 25,13%, dan 24,19%. Batas wilayahnya
adalah:
o Sebelah utara berbatasan langsung dengan selat Malaka,
o Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bireuen,
o Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan Tangse,
Kecamatan Geumpang , dan Kacematan Mane),
11
o Sebelah barat juga berbatasan dengan Kabupaten Pidie (Kecamatan
Geulumpang Tiga, Kercamatan Geulumpang Baro dan kecamatan Kembang
Tanjong)
Kabupaten Pidie Jaya termasuk kedalam wilayah beriklim tropis basah,
temperatur berkisat dari suhu minimum 190 – 220 sampai suhu maksimum 300- 350.
Merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng yang lebih
besar dari 40 % dan daerah pesisir pantai yang memiliki klasifikasi lereng 0 – 3 %,
dengan jenis tanah dominan podsolit merah kuning.
Kabupaten Pidie Jaya menurut kelas ketinggiannya bervariasi antara 0 –
1500m dpl. Kondisi fisik dataran dengan ketinggian yang relatif rendah berada di
sebelah utara dengan kemiringan lereng yang cenderung landai antara 0 -25 %,
yaitu sebesar 28,33 %. Sedangakan dataran dengan ketinggian relatif tinggi berada
di selatan dengan kemiringan lereng antara 25 -> 40 %.
Penggunaan lahan di Kabupaten Pidie Jaya yang terluas diperuntukkan untuk
pemukiman dan pertanian/perkebunan (21.74%), dengan rincian sawah 7.997 Ha,
Perkebunan 8.644 Ha, Pekarangan 8.640 ha, sisanya adalah hutan lebat/lindung dan
lainnya sebagai kawasan non budidaya.
1. Kecamatan Bandar Baru
Kecamatan Bandar Baru terletak pada ketinggian 0 – 250 m dpl, dengan
luas wilayah 240 km2 dan jumlah penduduk 31.529 jiwa, terdiri dari 14.855 jiwa laki-
laki dan 16.674 wanita. Lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat mencapai
8.573 ha, yang terdiri dari lahan sawah irigasi semi teknis 705 ha, sawah irigasi
pedesaan 763 ha, lahan tegalan 1.349 ha, lahan kebun 3.696 ha, lahan pekarangan
1.113 ha dan tambak mencapai 950 ha.
Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan
hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan
yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak
dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak
unggas.
Mata pencaharian penduduk 75% adalah bertani dengan pilihan komoditi
12
tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya
bertanam kedelai adalah Desa Musa dan Desa Jiem-Jiem. Kedua desa ini merupakan
sentral produksi kedelai untuk Kabupaten Pidie Jaya. Oleh karena itu Dinas/Instansi
terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT
kedelai.
1. Desa Teungoh Musa
Desa Teungoh Musa merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari
ibukota kecamatan dan 16 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 1191 jiwa
penduduk yang terbagi atas 314 KK dimana 260 diantaranya adalah KK tani. Desa
ini hanya memiliki 35 ha sawah tadah hujan, 63 ha perkebunan, 12 ha pekarangan,
15 ha tegalan dan 18 ha tambak.
2. Desa Jiem-Jiem
Desa Jiem-Jiem merupakan sebuah desa yang berjarak 7 km dari ibukota
kecamatan dan 25 km dari kabupaten. Desa ini didiami oleh 520 jiwa penduduk
yang terbagi atas 149 KK dimana 125 diantaranya adalah KK tani. Desa ini memiliki
26 ha sawah irigasi setengah teknis, 224 ha perkebunan, 12 ha pekarangan dan 22
ha tegalan.
2. Kecamatan Ulim
Kecamatan Ulim terletak pada ketinggian 12 – 45 m dpl, dengan luas
wilayah kecamatan 4.4 km2, meliputi 30 desa dengan 5 kemukiman. Jumlah
penduduk 13.276 jiwa, terdiri dari 6.638 jiwa laki-laki dan 6.638 wanita, terbagi atas
3.419 KK, 2.418 KK diantaranya adalah keluarga tani. Lahan pertanian yang
diusahakan oleh masyarakat terdiri dari; sawah berpengairan setengah teknis 935
ha, kebun/tegalan 464 ha dan pekarangan 212 ha.
Lahan sawah dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija dan
hortikultura. Lahan tegalan umumnya dimanfaatkan untuk tanaman
13
perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija. Pekarangan banyak
dimanfaatkan untuk bertanaman buah-buahan, tanaman sayuran juga beternak
unggas.
Mata pencaharian penduduk 75% adalah bertani dengan pilihan komoditi
tanaman pangan khususnya padi dan kedelai. Desa yang mayoritas masyarakatnya
bertanam kedelai adalah Desa Cot Seuti dan Blang Rheu . Kedua desa ini merupakan
sentral produksi kedelai untuk kecamatan Ulim. Oleh karena itu Dinas/Instansi
terkait lainnya menjadikan desa tersebut sebagai sasaran inovasi teknologi PTT
kedelai.
a. Desa Cot Seutui
Cot seutui merupakan sebuah desa yang berjarak 11,5 km dari ibukota
kecamatan dan 17,5 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 268 jiwa, terdiri dari
127 jiwa laki-laki dan 141 jiwa perempuan, yang bagi atas 62 KK, 60 KK diantaranya
adalah KK tani.
Desa ini memiliki 23 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan
dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah
anggota 30 orang.
b. Desa Blang Rheu
Blang Rhe merupakan sebuah desa yang berjarak 12 km dari ibukota kecamatan
dan 18 km dari kabupaten. Desa ini dihuni oleh 157 jiwa, terdiri dari 78 jiwa laki-
laki dan 79 jiwa perempuan, yang bagi atas 38 KK, 32 KK diantaranya adalah KK
tani.
Desa ini memiliki 13 ha sawah beririgasi setengah teknis, 70 ha lahan tegalan
dan 5 ha lahan pekarangan. Desa ini memiliki 1 kelompok tani dengan jumlah
anggota 46 orang.
14
4.1.2. Kabupaten Bireuen
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, dengan luas wilayah 190.121 km2. Kabupaten Bireuen terletak
pada garis 4º54’ - 5º18’ Lintang Utara dan 96º20 - 97º21 Bujur Timur, dengan
batas wilayah :
o Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
o Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah
o Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie
o Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Bireuen topografi wilayahnya terdiri dari; dataran rendah (0-
15%) dibagian pantai utara dan bagian tengah daerah, sedangkan bagian selatan
sampai ke Bukit Barisan merupakan daerah bergelombang dengan ketinggian
mencapai 450 m dpl (15%).
Kabupaten Bireuen mempunyai beberapa jenis tanah, antara lain; aluvial,
podsolid, latosol, hidromorf, dengan tingkat kemiringan yang berbeda-beda. Daerah
yang mempunyai lereng tertinggi adalah 45%, sedangkan daerah yang tingkat
kemiringannya 0 – 15% merupakan daerah yang paling luas. Kabupaten Bireuen
tergolong daerah beriklim basah. Dengan curah hujan rata-rata berkisar antara
1.105,6 mm – 4.073 mm.
1. Kecamatan Peudada
Kecamatan Peudada adalah salah satu wilayah penghasil kedelai di
Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Peudada mencapai 38.914 ha, dengan jumlah
penduduk 31.105 jiwa, yang terdiri dari 14.976 jiwa laki-laki dan 16.129 jiwa
perempuan. Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah bertani
membudidayakan tanaman pangan utama, yaitu padi dan kedelai. Total luas tanah
pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Peudada mencapai
20.176 ha, yang terdiri dari lahan tegalan 15.341 ha, pekarangan 2.391 ha, sawah
yang beirigasi setengah teknis 1.019 ha dan tadah hujan 2.158 ha. Ditambah
sengan kolam 6 ha dan tambak 290 ha. Kepopuleran Peudada sebagai salah satu
pemasok kedelai nasional sejak tahun 80-an tidak diragukan lagi. 2 desa yang
15
menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT kedelai dalam tiga
tahun terakhir adalah Desa Ara Bungong dan Desa Blang Paya.
a. Desa Ara Bungong
Ara Bungong merupakan sebuah desa yang berjarak 2 km dari ibukota
kecamatan dan 17 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya mencapai 3.150
ha berpenduduk 628 jiwa, terdiri dari 263 jiwa laki-laki dan 365 perempuan yang
terbagi atas 3 dusun.
Dari luas wilayah tersebut 230 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri
dari tegalan 200 ha dan pekarangan 30 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan
untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki Kelompok Tani
yang bernama Batee Kureng dengan usahatani pokok adalah tanaman kedelai.
Kelompok Tani ini beranggotakan 30 orang petani.
b. Desa Blang Beururu
Desa Blang Beururu merupakan sebuah desa yang berjarak 0,7 km dari
ibukota kecamatan dan 18 km dari kabupaten. Desa yang luas wilayahnya
mencapai 3.002 ha berpenduduk 209 jiwa, terdiri dari 102 jiwa laki-laki dan 107
perempuan yang terbagi atas 2 dusun dan 58 KK
Desa ini tidak meiliki sawah, dari luas wilayah tersebut semua merupakan
lahan tegalan, hanya 2 ha saja merupakan lahan pekarangan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan
mengandalkan tegalan untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini
memiliki Kelompok Tani yang bernama Hudep Beusare dengan usahatani pokok
adalah tanaman kedelai. Kelompok Tani ini beranggotakan 47 orang petani.
2. Kecamatan Peulimbang
Selain Kecamatan Peudada, Kecamatan Peulimbang juga merupakan salah
satu wilayah pemasok kedelai di Kabupaten Bireuen. Luas wilayah Kecamatan
Peulimbang 9.523 ha dan jumlah penduduk 11.311 jiwa terdiri dari 5.481 jiwa laki-
16
laki dan 5.830 jiwa perempuan. Status pekerjaan 2.141 orang menekuni bidang
usaha bercocok tanam tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini didukung oleh luas
lahan yang dipergunakan untuk lahan pertanian 3.780 ha, yang terbagi atas; lahan
tegalan 1.533 ha, pekarangan 993 ha, sawah yang beirigasi teknis 585 ha, setengah
teknis 210 ha, tersier 14 ha, sawah tadah hujan 313 ha, kolam 0,5 ha dan tambak
135 ha. 2 desa yang menjadi lumbung kedelai dan juga sasaran teknologi SL-PTT
kedelai dalam tiga tahun terakhir adalah Desa Hagu dan Desa Garap Barat dan Balee
Daka.
a. Desa Garap Barat
Desa Garap Barat memiliki luas wilayah 699 ha, yang berjarak 7 km dari
kecamatan dan 30 km dari kabupaten dengan jumlah dusun 3 buah. Dari luas
wilayah tersebut 327 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari tegalan 229 ha,
pekarangan 56 ha dan sawah tadah hujan 42 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani dengan mengandalkan tegalan
untuk bercocok tanam tanaman khususnya kedelai. Desa ini memiliki 2 Kelompok
Tani, yaitu; Alue Ceuraceuk dan Tani Sejahtera, dengan masing-masing jumlah
anggota 68 orang dan 40 orang.
Desa ini didiami oleh 60 kk dengan jumlah penduduk 260 orang yang terdiri
dari 139 jiwa laki-laki dan 121 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata
hanya tamat sekolah dasar.
b. Desa Balee Daka
Balee Daka merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan
Peulimbang yang berjarak 5 km dari kecamatan dan 25 km dari kabupaten dengan
jumlah dusun 4 buah memiliki luas wilayah 3.181 ha. Dari luas wilayah tersebut
1.494 ha merupakan lahan pertanian yang terdiri dari 942 ha tegalan, 339 ha
pekarangan, 25 ha sawah beririgasi setengah teknis dan 188 ha sawah tadah
17
hujan.
Desa ini didiami oleh 86 kk dengan jumlah penduduk 520 orang yang terdiri
dari 220 jiwa laki-laki dan 300 perempuan, dengan tingkat pendidikan rata-rata
hanya tamat sekolah dasar. Penduduknya bermata pencaharian petani. Desa ini
hanya memiliki 1 Kelompok Tani, yaitu; Gunung Madu dengan jumlah anggota 103
orang.
4.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi; umur, pendidikan
formal, pengalaman berusahatani padi, jumlah anggota keluarga, dan luas lahan
usahatani kedelai yang diusahakan. Penelitian terhadap 160 orang petani, tidak
menunjukkan tingkat karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk
lebih jelas data distribusi responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada
Tabel 1.
18
Tabel 1. Data distribusi responden berdasarkan karakteristik
Karakteristik Petani Kategori Jumlah Persentase
Umur < 30 thn 18 11.25 31 - 40 thn 47 29.375 41 - 50 thn 58 36.25 > 50 thn 37 23.125 Jumlah 160 100 Pendidikan formal Rendah (6 thn) 113 70.625 Sedang (9 thn) 36 22.5 Tinggi (> 9 thn) 11 6.875 Jumlah 160 100 Jumlah anggota kel Sedikit (< 3 org) 9 5.625 sedang (4 - 6 org) 134 83.75 Banyak (> 6 org ) 17 10.625 Jumlah 160 100 Pangalaman berusahatani Rendah (< 5 thn) 29 18.125 sedang (6 - 10 thn) 117 73.125 Tinggi (>10 thn) 14 8.75 Jumlah 160 100 Luas lahan usahatani kedelai Sempit (< 0,5 ha) 2 1.25 Sedang (0,6 - 1 ha) 133 83.125 Luas (> 1 ha) 25 15.625 Jumlah 160 100
1. Umur
Umur responden dihitung berdasarkan pengakuan saat penelitian dilakukan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 29,375% usia responden termasuk dalam
kategori dewasa (31-40th) dan 36,25% usia responden juga dikelompokkan masih
dalam kategori dewasa (41-50th), sedangkan 23,125% responden termasuk dalam
kategori usia tua ( > 55 th) dan 11,25% responden termasuk dalam kategori usia
muda (< 30 th). Maka umur responden sebagian besar termasuk dalam kategori
19
usia produktif, yaitu pada kategori usia dewasa dapat digabungkan sekitar 65,625%
responden berada pada kategori usia dewasa. Artinya bahwa pada umur tersebut
responden mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena Petani yang
Berumur dibawah 50 (lima puluh) tahun bisa digolongkan sebagai petani yang masih
produktif dan responsive terhadap segala inovasi baru, disamping itu ia juga
memiliki produktivitas yang tinggi dalam mengelola kelompok atau usahanya
masing-masing. Maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat umur atau usia merupakan
salah satu faktor yang dapat diperhatikan dalam menentukan tingkat adopsi suatu
teknologi pada seseorang petani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi
terhadap mudahnya suatu inovasi teknologi yang akan masuk ke daerah tersebut,
tentunya hal ini mungkin saja dapat terjadi karena dengan umur produktif yang
dimiliki petani akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima suatu ilmu atau
pengetahuan yang baru didengar atau didapatkannya.Maka dengan hal ini
menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
individu atau internal seseorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu
teknologi.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan petani akan sangat berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas dari suatu kelompok dan juga sangat berpengaruh terhadap adopsi
suatu inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat adopsinya
terhadap suatu inovasi akan semakin baik, dan juga akan semakin respon terhadap
hal-hal yang baru. Dihitung dari lama responden menempuh pendidikan dibangku
sekolah. Hasil analisis menunjukkan bahwa 70,625% responden menempuh
pendidikan formal ≤ 6 tahun, dan 22,5% responden menempuh selama 7-9 tahun
sedangkan 6,875% responden menempuh pendidikan formal lebih dari 9 tahun.
Rendahnya tingkat pendidikan responden karena latar belakang sosial ekonomi,
responden mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang dianggap lebih
penting dibandingkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Responden
beranggapan bahwa menguasai baca tulis dan berhitung sudah cukup, tanpa harus
melanjutkan jenjang yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan seseorang dapat
20
merubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang
mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang
berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan
mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Sebagaimana yang
dinyatakan Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah
relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya, petani
yang berpendidikan rendah agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat
(Suharyanto, dkk,. 2001). Dengan rata-rata tingkat pendidikan petani berdasarkan
hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam menerima suatu
informasi atau ilmu dan teknologi berada pada tingkat pertengahan. Dimana perlu
adanya penyuluhan secara intensif bagi petani kedelai dalam mendifusikan suatu
teknologi hingga mencapai titik pengadopsian bagi mereka dalam menerima suatu
teknologi baru.
3. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga diukur dengan banyaknya jiwa dalam rumah
tangga yang masih dalam tanggungan kepala keluarga. Sebanyak 5,625 %
responden memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang, sedangkan 83,75 %
responden memiliki jumlah anggota keluarga 4 – 6 orang dan 10,625 % responden
memiliki anggota keluarga ≥ 6 orang. Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap
penerapan inovasi PTT kedelai bersifat ambigius. Di satu sisi jumlah anggota
keluarga diharapkan sebagai sumber tenaga kerja untuk lahan usahatani kedelai.
Pada sisi lain, oleh karena kebutuhan keluarga meningkat mengikuti jumlah
tanggungan keluarga, maka curahan waktu untuk usahatani kedelai semakin sedikit
karena kepala keluarga cenderung memperoleh sumber penghasilan atau
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari usaha lain di luar
usahatani kedelai. Maka hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga akan
berhubungan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dalam keluarganya. Sehingga
jumlah tenaga kerja dalam keluarga juga dapat berpengaruh terhadap adopsi
inovasi, hal ini dikarenakan jumlah anggota keluarga memiliki hubungan dengan
pendapatan yang diterima dalam satu keluarga tersebut. Soekartawi (1988)
21
dalam Suharyanto, dkk. (2001) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang
tinggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat difusi inovasi pertanian. Kemauan
untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang
cepat sesuai kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini
menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi. Dengan demikian petani akan
kembali investasi kapital untuk adopsi inovasi selanjutnya. Sebaliknya banyak
kenyataan yang menunjukkan bahwa para petani yang berpenghasilan rendah
adalah lambat dalam melakukan adopsi inovasi. Maka hal ini menunjukkan adanya
korelasi antara banyaknya jumlah anggota keluarga dengan tingkat pemenuhan
kebutuhan dan juga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh
petani sehingga pada titik akhir akan menentukan keputusan mereka dalam
mengadopsi inovasi teknologi baru yang akan mereka terima.
4. Pengalaman berusahatani kedelai
Pengalaman usahatani padi adalah lamanya responden mulai berusahatani
kedelai dimana petani sebagai pengambil keputusan dalam mengelola usahatani
kedelainya. Pengalaman usahatani kedelai diukur jumlah tahun sejak mulai
berusahatani kedelainya sendiri sampai dengan saat ini. Hasil analisis menunjukkan
18,125 % responden yang memiliki pengalaman berusahatani kedelai selama ≤ 5
tahun, sedangkan 73,125% responden telah memiliki pengalaman usahatani 6 – 10
th dan 8,75 % responden berpengalaman usahatani kedelai ≥ 10 th. Program PTT
kedelai telah diperkenalkan di beberapa daerah di Provinsi NAD sejak tahun 2009
yang lalu sehingga pengetahuan dan keterampilan responden mengenai komponen
dalam PTT serta cara penerapannya diharapkan telah diperoleh oleh responden
pada masa-masa tersebut. Pada umumnya petani yang memiliki lebih banyak
pengalaman memiliki produktivitas yang tinggi dalam bekerja dan akan lebih mudah
mengadopsi inovasi yang ada. Karena dengan pengalaman yang cukup (berdasarkan
waktu) akan mempengaruhi seseorang petani dalam mengelola usahataninya.
Dengan pengalaman berusahatani kedelai yang dimiliki petani tentunya akan
memudahkan seseorang dalam menukar ilmu dan pengalaman dengan para petani
lainnya dalam berusahatani yang baik dan bahkan tidak menutup kemungkinan
22
bagi petani dalam menukar atau bahkan menerima informasi yang bermanfaat bagi
mereka dari para penyuluh guna memajukan usahanya dalam bercocok tanam
kedelai. Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman juga merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh bagi seseorang khususnya petani dalam mengadopsi suatu
teknologi seperti teknologi PTT kedelai.
5. Luas lahan usahatani kedelai
Luas lahan adalah lahan yang digunakan responden untuk usahatani kedelai
pada saat penelitian dilakukan. Hasil analisis menunjukkan luas lahan responden
15,625 % termasuk dalam kategori luas ( > 1 ha), sedangkan 83,125 % responden
luas lahannya termasuk dalam kategori sedang (0,6 – 1 ha) dan 1,25% responden
memiliki lahan < 0,5 ha. Luas lahan menentukan kecepatan seseorang untuk
mengadopsi suatu inovasi. Luas lahan menunjukkan kemampuan ekonomi
seseorang. Seperti pendapat Lionberger (1960) dan Hanafi (1987) bahwa semakin
luas lahan biasanya akan semakin cepat dalam mengadopsi inovasi. Maka dapat
disimpulkan berdasarkan hasil survey dilapangan bahwa labih dari 80 % responden
memiliki lahan hampir mendekati 1 ha, tentunya hal ini menunjukkan bahwa
tingginya potensi petani dalam mengadopsi inovasi PTT kedelai yang akan mereka
terima disebabkan luasnya lahan yang mereka miliki.
4.3. Pengetahuan Petani Tentang Teknologi PTT Kedelai
Umumnya petani di lokasi penelitian tidak mengenal istilah PTT Kedelai,
akan tetapi mereka sudah melaksanakan beberapa komponen teknologi tersebut,
baik komponen dasar maupun komponen pilihan. Komponen teknologi dasar yang
telah dilaksanakan oleh semua petani di lokasi pengkajian adalah pemakaian benih
unggul. Benih unggul yang digunakan oleh petani di lokasi pengkajian umumnya
adalah benih kedelai yang berasal dari varietas unggul nasional, seperti; Kipas
23
Merah Bireuen, Kipas Putih, Anjasmoro dan Wilis. Akan tetapi sampai sejauh ini
petani mengakui sangat jarang bahkan ada petani yang belum menggunakan benih
berlabel.
Komponen teknologi dasar lainnya seperti pembuatan saluran drainase,
pengaturan populasi tanaman dan juga pengendalian hama dan penyakit ada yang
sudah dilaksanakan oleh petani, akan tetapi mereka melakukan dengan cara-cara
sederhana belum mengaplikasikan dengan teknologi yang sesuai dengan benar. Hal
ini disebabkan minimnya informasi yang didapatkan oleh petani karena kurangnya
penyuluhan.
Pada komponen teknologi pilihan, petani di lokasi penelitian ada yang
melakukan olah tanah dan ada yang tidak melakukan pengolahan tanah pada
persiapan lahan. Petani juga jarang melakukan pemupukan pada tanaman kedelai.
Meskipun mereka melakukan pemupukan, pupuk yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman, baik dosis yang dipakai maupun waktu pemberiannya.
Demikian juga dengan pemberian kapur pada lahan kering masam. Petani
mengakui mereka tidak melakukan pengapuran karena tidak mengetahui dengan
persis apakah tanah mereka masam atau tidak, sehingga meskipun ada diantara
mereka yang mengakui mengetahui tanah masam harus diberikan kapur mereka
tetap tidak melakukannya. Pemberian air pada priode kritis tanaman khususnya
disaat pebentukan bunga hingga pengisian biji juga jarang dilakukan. Petani juga
masih sering menumpuk kedelai setelah di panen, dan ditutupi dengan plastik. Hal
ini berdampak terhadap mutu hasil panen sehingga kedelai di beli dengan harga
yang murah.
Gambaran yang dihadapi petani diatas menunjukkan bahwa mereka tidak
terdedah dengan teknologi informasi budidaya kedelai yang sedang digalakkan
pemerintah yaitu; pengengelolaan tanaman terpadu kedelai.
4.4. Keragaan Penerapan Teknologi PTT Kedelai
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai adalah suatu pendekatan
inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani
melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Prinsip
24
utama penerapan PTT kedelai mencakup lima unsur, yaitu; partisipatif, spesifik
lokasi, terpadu, sinergis dan serasi serta dinamis. Komponen teknologi PTT kedelai
dibagi menjadi dua, yaitu komponen teknologi dasar terdiri dari (1) varietas unggul
baru, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) pembuatan saluran drainase, (4)
pengaturan populasi tanaman, dan (5) pengendalian OPT (organisme pengganggu
tanaman) secara terpadu. Sedangkan komponen teknologi pilihan terdiri dari; (1)
penyiapan lahan, (2) pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, (3) pemberian pupuk
organik, (4) amelioran pada lahan kering masam, (5) pengairan pada priode kritis,
dan (6) penangan panen dan pascepanen (Departemen Pertanian, 2009).
Berdasarkan komponen-komponen teknologi yang terkandung dalam
pendekatan PTT kedelai tersebut, maka tingkat adopsi komponen PTT kedelai yang
telah dilaksanakan oleh petani responden seperti terdapat pada Tabel 2.
25
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan Tingkat Adopsi Komponen Teknologi PTT Kedelai di Provinsi Aceh, 2011.
Komponen Teknologi PTT Kedelai
Kategori
Jumlah Tidak
mengadopsi Mengadopsi
sebagian Mengadopsi
Komponen dasar:
1. Varietas unggul baru 0 0 160 160
(0) (0) (100) 100
2. Benih bermutu dan berlabel
0 143 17 160
(0) (89) (11) 100
3. Pembuatan saluran drainase
0 47 113 160
0 29 71 100
4. Pengaturan populasi tanaman
12 33 115 160
8 21 72 100
5. Pengendalian OPT 117 40 3 160
73 25 2 100
Komponen pilihan:
1. Penyiapan lahan 0 0 160 160
0 0 100 100
2. Pemupukan sesuai kebutuhan tanaman
122 33 5 160
76 21 3 100
3. Pemberian pupuk organik
146 14 0 160
91 9 0 100
4. Amelioran pada lahan kering masam
160 0 0 160
100 0 0 100
5. Pengairan pada priode kritis
112 48 0 160
70 30 0 100
6. Panen dan pasca panen
0 105 55 160
0 66 34 100
A. Komponen Teknologi Dasar
1. Varietas unggul baru
Varietas unggul baru (VUB) umumnya berdaya saing tinggi, tahan terhadap
hama penyakit utama atau tahan deraan lingkungan setempat dan dapat juga
memiliki sifat khusus tertentu (Departemen Pertanian, 2009). Tabel 2 menunjukkan
26
umumnya petani sudah menggunakan varietas unggul baru yang direkomendasikan
oleh Dinas Pertanian setempat. Semua petani yang terlibat dalam penelitian ini
menjawab telah menggunakan varietas unggul nasional seperti Anjasmoro dan Kipas
Merah Bireuen.
2. Benih bermutu dan berlabel
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh
yang tinggi (≥ 85%). Umumnya benih bermutu dapat diperoleh dari benih berlabel
yang sudah lulus proses sertifikasi. Benih bermutu akan menghasilkan bibit yang
sehat dengan akar yang banyak (Departemen Pertanian, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan 89% responden menggunakan benih yang
menurut mereka mempunyai ciri-ciri bermutu, akan tetapi umumnya benih tersebut
tidak berlabel. Hanya 11% responden mengakui menggunakan benih bermutu dan
berlabel yang didapatkan dari Dinas/Instansi terkait.
3. Pembuatan saluran drainase
Sebagian besar petani (71%) sudah melakukan pembuatan drainase pada
lahan usahatani kedelai yang diusahakan. Mereka mengetahui dengan persis
manfaat pembuatan saluran drainase tersebut. Petani mengungkapkan perlunya
drainase pada lahan kedelai adalah untuk mengalirkan air ke areal pertanaman dan
juga membuang kelebihan air pada saat hujan. Sedangkan 29% lainnya
menyatakan juga sudah membuat saluran tersebut akan tetapi tidak sempurna.
4. Pengaturan populasi tanaman
Umumnya petani sudah mengatur populasi tanaman dengan melakukan
penanaman secara tugal, jarak tanam antar baris 40 cm, dalam barisan 10 – 15 cm
dan menanaman 2 – 3 biji per lubang. Sebanyak 115 petani (72%) telah
menerapkan pengaturan tanaman dengan baik, 33 orang (21%) masih belum
melakukan dengan sempurna dan 12 petani lainnya (8%) masih menabur benih
27
sembarangan (sistem tebar).
5. Pengendalian OPT secara terpadu
Rekomendasi pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penyakit
secara terpadu merupakan metode pengendalian hama penyakit dengan cara
identifikasi jenis dan penghitungan kepadatan populasi hama, mengidentifikasi
faktor penyebab penyakit, menentukan tingkat kerusakan baru melakukan
pengendalian, dengan beberapa cara; mengusahakan tanaman selalu sehat,
pengendalian secara hayati, penggunaan varietas tahan, pengendalian secara fisik
dan mekanis, penggunaan pestisida kimia.
Sebagian besar petani (73%) masih menggunakan pestisida kimia tanpa
mempertimbangkan jenis hama penyakit, intensitas serangan, dan cara perlakuan.
Hal ini disebabkan karena faktor kebiasaan dan pemahaman yang kurang pada
pelestarian lingkungan. 25% petani lainnya telah melakukan secara benar tapi
masih menggunakan pestisida kimia sebagai bahan utama. Hanya 2 % petani yang
secara benar memahami dan melaksanakan tindakan pengendalian sesuai anjuran.
B. Komponen Teknologi Pilihan
1. Penyiapan lahan
Pengolahan tanah tidak perlu dilakukan jika kedelai di tanam pada lahan
sawah bekas tanam padi, dimana jerami dapat dipergunakan sebagai mulsa.
Sedangkan pada lahan kering perlu dilakukan secara optimal. Semua petani sudah
mengadopsi cara persiapan lahan yang baik untuk bercocok tanam kedelai (100%)
ak dua kali dan satu kali pada musim kemarau. Semua petani (100 %) sudah
melakukan pengolahan tanah secara sempurna. Pada lahan sawah mereka hanya
membuat saluran drainase dan pengolahan tanah minimal sedangkan pada lahan
tegalan melakukan pengolahan sempurna.
2. Pemupukan sesuai kebutuhan
Umumnya petani tidak memperhatikan masalah kebutuhan pupuk untuk
28
pertumbuhan tanaman kedelai. Mereka memberikan pupuk tanpa memperhatikan
takaran yang sesuai. Petani tidak memberikan Rhizobium pada tanaman kedelai.
Kedelai yang ditanam pada lahan sawah tidak memerlukan banyak pupuk. Sampai
waktu penelitian dilaksanakan belum pernah ada penetapan dosis pupuk dengan
penggunaan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK). Petani menggunakan pupuk hanya
sekedarnya saja (76%) dengan cara disebar. Akan tetapi ada juga petani yang
sudah mulai menggunakan pupuk sesuai dengan waktu dan dosis yang dianjurkan
terutama pada saat tanah masih lembab dengan cara disebar (21%). Hanya 3%
petani yang mengadopsi cara pemupukan sesuai kebutuhan tanaman kedelai.
3. Pemberian bahan organik
Bahan organik merupakan sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau dan
kompos. Pemberian pupuk organik dan pupuk kimia dalam bentuk dan jumlah yang
tepat diketahui berperan sangat penting untuk keberlanjutan sistem produksi
kedelai. Sebagian besar petani (91 %) belum menggunakan bahan organik baik
berupa pupuk kandang maupun kompos atas dasar inisiatif sendiri. Beberapa alasan
dikemukakan antara lain: belum mengetahui manfaat pupuk organik, bahan tidak
tersedia di lokasi setempat, dan tidak ada biaya atau tenaga kerja. Hanya sebagai
kecil petani (9 %) yang telah menggunakan bahan organik meskipun masih dalam
jumlah sedikit.
4. Amelioran pada lahan kering masam
Pada umumnya petani tidak menggunakan kapur untuk menetralisir tanah
kering masam tempat mereka bercocok tanam kedelai. Alasan utama yang
dikemukakan adalah kurangnya modal dan tidak mengetahui secara persis apakah
tanah mereka masam atau tidak.
5. Pengairan pada priode kritis
Priode kritis tanaman kedelai terhadap kekeringan mulai pada saat
pebentukan bunga hingga pengisian biji (fase reproduktif). Pada saat ini tanaman
29
kedelai membutuhkan air untuk dapat membentuk polong yang sempurna sehingga
produksi maksimal.
Petani mengetahui pentingnya air pada priode ini, akan tetapi sebagian besar
dari mereka (70%) tidak melakukan tindakan apa-apa. Mereka hanya menunggu
hujan turun untuk pemenuhan kebutuhan air. Hanya 30% petani saja yang
mengusahakan mengairi lahan kedelai meskipun tidak maksimal.
6. Panen dan pascapanen
Panen yang tepat akan sangat menentukan mutu biji dan benih kedelai.
Panen dilakukan jika tanaman sudah masak yang dicirikan 95% polong telah
berwarna coklat dan daun berwarna kuning. Setelah pemanenam brangkasan
kedelai harus segera dihamparkan di dijemur dan segera dirontokkan apabila
brangkasan telah kering baik secara manual maupun menggunakan treser.
Tabel 2 menunjukkan sebagian besar petani sudah mengadopsi cara
pemanenan yang benar meskipun tidak semua sesuai dengan rekomendasi. Hanya
sebagian kecil responden (34%) menyatakan sudah melakukan panen dan pasca
panen yang benar.
4.5. Faktor Internal Dan Eksternal Yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi
Berdasarkan hasil survei tersebut diatas, diketahui beberapa faktor internal
dan eksternal yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi PTT kedelai di lokasi
penelitian.
A. Faktor Internal
1. Umur
Tingkat umur atau usia merupakan salah satu faktor yang dapat diperhatikan
dalam menentukan tingkat adopsi suatu teknologi. Umur merupakan salah satu
faktor internal yang dapat menentukan seseorang untuk menerima atau tidaknya
suatu informasi baru. Berdasarkan hasil survei, rata-rata umur petani kedelai
merupakan rata-rata umur produktif dalam melakukan atau menghasilkan terhadap
30
suatu pekerjaan yang dilakukannya. Umumnya pekerjaan bercocok tanam kedelai
dilakukan oleh petani yang memiliki usia dibawah 50 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya indikasi terhadap mudahnya suatu inovasi teknologi yang akan masuk
ke daerah tersebut, tentunya hal ini mungkin saja dapat terjadi karena dengan umur
produktif yang dimiliki petani akan memudahkan bagi seseorang dalam menerima
suatu ilmu atau pengetahuan yang baru didengar atau didapatkannya. Maka hal ini
menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
individu atau internal seseorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu
teknologi.
2. Pengalaman
Dalam menjalankan usahatani yang baik dan produktif diperlukan juga
pengalaman yang mendalam dari seorang petani terhadap ilmu dari usahatani itu
sendiri. Karena dengan pengalaman yang cukup (berdasarkan waktu) akan
mempengaruhi seseorang petani dalam mengelola usahataninya. Hasil survey
menunjukkan pengalaman yang dimiliki petani dalam berusahatani kedelai pada
umumnya berada antara 5 - 30 tahun. Dengan pengalaman tersebut menunjukkan
banyaknya ilmu yang diperoleh petani selama ia berusahatani kedelai. Tentunya hal
ini memudahkan seseorang dalam menukar ilmu dan pengalaman dengan para
petani lainnya dalam berusahatani yang baik dan bahkan tidak menutup
kemungkinan bagi petani dalam menukar atau bahkan menerima informasi yang
bermanfaat bagi mereka dari para penyuluh guna memajukan usahanya dalam
bercocok tanam kedelai. Oleh karena itu pengalaman merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh bagi seseorang khususnya petani dalam mengadopsi suatu
teknologi seperti teknologi PTT kedelai.
3. Tingkat pendidikan
Hasil survey menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dijalani oleh para
petani kedelai pada umumnya hanya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau
jika didefenisikan pada umumnya petani mengenyam pendidikan selama 9
31
tahun. Dengan rata-rata tingkat pendidikan petani tersebut menunjukkan petani
dalam menerima suatu informasi atau ilmu dan teknologi berada pada tingkat
pertengahan. Dimana perlu adanya penyuluhan secara intensif bagi petani kedelai
dalam mendifusikan suatu teknologi hingga mencapai titik pengadopsian bagi
mereka dalam menerima suatu teknologi baru.
4. Tingkat Pendapatan
Seorang petani didalam menerima atau mengadopsi suatu informasi atau
teknologi baru juga memerlukan adanya pengaruh atau dukungan terhadap
penghasilan atau tingkat pendapatan yang didapatkannya dalam suatu periode
tertentu. Karena dengan tingkat pendapatan yang ia dapatkan akan berpengaruh
baginya dalam memutuskan atau melakukan sesuatu. Misalkan, apabila seorang
petani memperoleh pendapatan per periode tertentu, dengan tingkat pendapatan
yang tinggi diatas rata-rata petani pada umumnya, maka akan memudahkan bagi
seseorang dalam menerima atau mengadopsi suatu teknologi. Berdasarka hasil
survey umumnya petani kedelai memiliki karakteristik pekerjaan utama sebagai
petani, dan mereka tidak memiliki pekerjaan tambahan atau sampingan. Sehingga
pada umumnya penghasilan yang didapatkan mereka adalah berada dibawah rata-
rata. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi petani dalam menerima atau mengadopsi
suatu teknologi. Oleh karena itu perlu adanya peran pemerintah untuk memotivasi
petani dalam mengadopsi suatu teknologi, agar perangkat-perangkat yang
diperlukan petani dalam suatu teknologi dapat terpenuhi seperti penyediaan benih,
pupuk dan hal lainnya yang diperlukan, seiring dengan terjawabnya permasalahan
petani terhadap tingkat pendapatan yang rendah.
5. Sikap
Dalam proses penerimaan suatu informasi atau teknologi baru bagi petani
diperlukan sikap dalam melakukan segala hal. Dimulai dari cara petani dalam
menerima atau mendengarnya kemudian melihatnya dan pada akhirnya berada pada
tahap pengambilan keputusan dalam mengadopsi atau tidaknya suatu informasi atau
teknologi. Pada dasarnya hal tersebut dimulai dari sikap atau cara petani dalam
32
memutuskan sesuatu. Pada dasarnya sikap juga dapat dikorelasikan dengan umur
dan tingkat pendidikan. Dengan umur yang produktif beserta tingkat pendidikan
yang memadai akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan sikapnya untuk
mengadopsi atau tidak terhadap suatu teknologi baru yang diterimanya. Maka dalam
hal ini menunjukkan bahwa sikap merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam pengadopsian seorang petani terhadap inovasi teknologi.
6. Sifat komersialisasi
Sifat komersialisasi merupakan suatu sifat yang berada dalam diri atau
internal seorang petani. Karena dengan adanya sifat ini didalam diri seorang petani
maka akan menunjukkan hasil yang maksimal terhadap produksi usahataninya dan
juga berpengaruh besar terhadap tingkat penghasilan yang didapatkannya. Karena
pada tahap ini seorang petani sudah dihadapkan pada pertanian bersistem modern
dan meninggalkan pertanian dengan subsistem. Artinya petani kita sudah bergerak
dengan skala untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan meninggalkan
sistem usahatani yang produksinya hanya untuk dikonsumsi sendiri atau
mendapatkan produksi dalam skala kecil. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan
sebagian besar atau bahkan hampir seluruhnya petani kedelai yang ada, menjual
hasil usahataninya sebanyak 90% dari hasil produksi yang didapatkanya dalam satu
kali panen. Maka hal ini menunjukkan bahwa adanya sifat komersil didalam diri
petani dalam mengelola hasil usahataninya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh
terhadap internal diri petani didalam mengadopsi suatu inovasi teknologi. Karena
dengan tekad mereka dalam meningkatkan hasil usahataninya untuk dipasarkan
dengan memperoleh keuntungan yang tinggi maka muncul dorongan yang kuat
dalam diri petani untuk menerima suatu inovasi teknologi guna memajukan sistem
usahataninya menjadi lebih baik.
7. Pengetahuan (wawasan) dan motivasi
Bagi seorang petani pengetahuan atau wawasan dalam berusahatani sangat
diperlukan. Karena dengan pengetahuan atau wawasan tersebut seorang petani
dapat menentukan ataupun memutuskan suatu kesimpulan yang berhubungan
33
dengan usahataninya. Pengetahuan ini juga dapat dipadukan dengan motivasi
petani dalam mengambil keputusan untuk menentukan suatu tindakan. Berdasarkan
hasil survey pada umumnya setiap petani kedelai memiliki pengetahuan yang cukup
dalam mengelola usahataninya. Contoh salah satu tindakan yang mereka lakukan
berdasarkan pengetahuan dan motivasi adalah seperti pada saat mereka melakukan
pengendalian hama dan penyakit. Pada tahap ini pengendalian yang mereka lakukan
dimulai dengan mengetahui atau memonitoring secara langsung dilahan mereka
masing-masing terhadap jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman kedelai
mereka. Maka setelah mereka mengetahui jenis hama dan penyakit yang menyerang
tanaman kedelai mereka dan mengetahui seberapa banyak tingkat populasi dan
seberapa besar kerusakan yang dilakukan olehhama dan penyakit yang menyerang
tanaman mereka tersebut, maka dengan sendirinya para petani tersebut termotivasi
dengan segala pengetahuan yang mereka miliki untuk melakukan pengendaliannya
dengan cara pencegahan dan pembasmian. Akan tetapi dalam hal ini masih
ditemukannya ditingkat petani terhadap keterbatasan mereka dalam
mempergunakan pupuk an organik yang mereka percayai bahwa dengan pemberian
pupuk an organik permasalahan hama dan penyakit tersebut akan cepat
tertanggulangi. Hal ini membuktikan bahwa masih tingginya tingkatan
ketergantungan petani kedelai kita terhadap pupuk an organik didalam mengatasi
masalah usahataninnya. Maka dalam hal ini diperlukan adanya penanganan secara
serius oleh para penyuluh untuk memberikan pencerahan yang berguna bagi para
petani dalam mengelola uasahataninnya secara efektif dan efisien. Maka dapat
terbukti bahwa pengetahuan dan wawasan merupakan salah satu faktor internal
yang ada dalam diri setiap petani didalam menerima atau mengadopsi suatu inovasi
teknologi.
34
B. Faktor Eksternal
1. Benih
Bila dilihat dari segi harga benih serta kemudahan petani dalam mengakses
atau mendapatkannya, maka benih juga salah satu faktor yang dapat berpengaruh
terhadap kesediaan petani dalam mengadopsi teknologi PTT kedelai. Karena,
apabila ditinjau dari segi harga benih yang ada ditingkat pasaran, banyak petani
yang mengeluhkan atas harganya yang sulit dijangkau serta ditambah lagi adanya
permainan harga yang tidak berpihak kepada petani. Walaupun benih tersebut bisa
mereka dapatkan dari penjual yang ada ditingkat kecamatan akan tetapi petani
mengaku mereka lebih dominan mengambil inisiatif dengan memperolehnya dari
hasil produksi mereka sendiri. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini dimulai
dari tahun 2009, mereka mendapatkan bantuan benih dari pemerintah. Bantuan
benih yang merupakan bagian dari program Kementerian Pertanian yaitu program
SL-PTT kedelai, yang salah satu paket teknologinya adalah dengan menggunakan
benih unggul. Oleh karena itu benih unggul inilah yang digunakan oleh petani
kedelai saat ini. Maka pada dasarnya secara tidak langsung petani telah mengadopsi
salah satu paket teknologi SL-PTT kedelai ini.
2. Pengairan
Kendala lain yang dihadapi petani dalam berusahatani kedelai adalah
pengairan yang dirasakan sangat sulit oleh sebagian petani. Kendala tersebut
sangat mereka rasakan karena letak lahan mereka yang berjauhan dari pusat air
waduk yang terdapat di desa mereka. Sehingga mereka harus menunggu air hujan
untuk mencukupi air yang ada di lahan mereka, bahkan tak jarang pada suatu
kondisi ketika tanaman mereka sangat membutuhkan air mereka harus
mencukupinya dengan memompa air dari sumur ataupun genangan air yang ada
disekitar lahan mereka. Maka kendala ini juga akan mempengaruhi petani dalam
mengadopsi suatu teknologi baru yang akan diterimanya.
3. Hama dan Penyakit
35
Kendala lain yang petani alami adalah mereka harus berhadapan dengan
hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Para petani mengeluhkan
hama yang sering mengganggu tanaman adalah ulat yang datang mengganggu
pada saat tanaman masih kecil atau berumur sekitar kurang dari 1 bulan, kemudian
ketika tanaman kedelai mereka sudah mulai berbunga mereka harus berhadapan
lagi dengan hama walang sangit, dan ketika tanaman sudah mulai berbuah muncul
kembali hama ulat dan tikus yang merupakan hama yang paling berat menurut
penuturan sejumlah petani. Antisipasi yang petani lakukan ketika mereka harus
berhadapan dengan hama tikus tersebut mereka menggunakan pengendaliannya
dengan menggunakan racun tikus yang mereka berikan pada beberapa titik tertentu
untuk memancing pembasmian hama tersebut.
4. Pupuk
Permasalahan dosis pemakaian pemupukan dalam berusahatani terkadang
menjadi kendala tersendiri dalam dunia pertanian. Pasalnya dengan pemberian
pupuk yang tidak sesuai dosis akan mempengaruhi hasil produksi yang diperoleh.
Permasalahan lain yang sering muncul saat ini adalah harga jual yang masih sulit
dijangkau oleh petani serta adanya tingkat kesulitan petani dalam mendapatkan
pupuk baik ditingkat pasar ataupun bagaimana mereka memproduksinya sendiri
seperti pupuk kandang yang terkadang sulit tercukupi karena terbatasnya pupuk
organik yang tersedia.
5. Intensitas dan cara penyuluhan
Intensitas penyuluh memberikan informasi/penyuluhan dan cara
penyampaian sebuah informasi teknologi baru yang masuk didaerah akan sangat
menentukan suatu teknologi diadopsi oleh petani. Peran penyuluh dalam menata
setiap informasi yang ada untuk disampaikan kepada petani sangat menentukan
tingkat adopsi apabila informasi tersebut dapat diserap dengan mudah oleh petani
6. Peran kelompok atau organisasi
36
Dalam hal ini, adanya peran kelompok tani dalam menyampaikan/
mendapatkan informasi apapun mengenai pertanian. Juga disertai dengan peran
organisasi sosial yang ada ditingkat desa ataupun kecamatan yang juga berperan
didalam menyalurkan informasi sehingga di adopsi oleh para petani.
7. Issu terkait
Yaitu adanya kemudahan petani dalam memasarkan hasil produksi
pertaniannya (pemasaran) dan peran petani dalam mengakses modal misalkan
seperti perkreditan yang akan memudahkan petani dalam permodalan usahataninya.
Dalam hal ini pemasaran ditingkat petani untuk menjual hasil panennya mereka
merasa tidak masalah, karena begitu pada saat panen hasilnya langsung ditampung.
8. Sarana Produksi
Ketersedian sarana produksi budidaya kedelai, ketersediaan modal untuk
budidaya kedelai, dorongan sosial dan kelompok terhadap petani dalam menerapkan
teknologi budidaya kedelai, dan keikutsertaan petani dalam program pemerintah
yang bertujuan untuk mendorong penerapan teknologi anjuran, dalam hal ini adalah
kegiatan uji coba penerapan teknologi PTT kedelai.
9. Kondisi Alam
Kondisi alam yang ada disekitarnya juga dapat berpengaruh terhadap
bersedia atau tidaknya seseorang petani untuk mengadopsi sebuah inovasi teknologi
37
V. KESIMPULAN
1. Faktor internal yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi PTT
kedelai adalah :
• Umur
• Pengalaman
• Tingkat Pendidikan
• Tingkat Pendapatan
• Sikap
• Sifat komersialisasi
• Pengetahuan (wawasan)dan motivasi
2. Faktor eksternal yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi PTT
kedelai adalah :
• Benih
• Pengairan
• Hama penyakit
• Pupuk
• Intensitas dan cara penyuluhan
• Peran kelompok dan organisasi
• Issu terkait
• Sarana produksi
• Kondisi alam
38
DAFTAR PUSTAKA
Alimoeso, S. 2008. Ketahanan pangan nasional: Antara harapan dan kenyataan. Makalah disampaikan pada Pameran Agrinex di Jakarta, Maret 2008.
Badan Litbang Pertanian, 2005. Panduan umum pelaksanaan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP.
Badan Litbang Pertanian, 2009a. Petunjuk pelaksanaan sinergi Balit-BPTP ( Bahan Raker Solo, belum dipublikasi).
Badan Litbang Pertanian,2009b .Pedoman umum PTT kedelai.
Badan Litbang Pertanian, 2010. Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2010-2014.
Basuno, E. 2003. Kebijakan sistem diseminasi teknologi pertanian: Belajar dari BPTP NTB. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 1 (3) : 238 - 254 PSE-KP, Bogor.
BBP2TP, 2009a. Petunjuk pelaksanaan pendampingan SL-PTT (belum diterbitkan).
Bustaman, S., M. Sarwani., S. S. Tan., A. Rivaie., Saefudin, 2009a. Laporan akhir kajian umpan balik percepatan inovasi teknologi dan kelembagaan (belum dipublikasi).
Bustaman, S., S. S. Tan, U. Humaedah, Dalmadi, A. Rivaie, 2009b. Laporan akhir kajian efektifitas metoda diseminasi di BPTP yang mendorong percepatan adopsi teknologi (Belum dipublikasi).
Bustaman, S., S.S.Tan., M. Mardiharini, A. Djauhari., Dalmadi, 2010. Proposal pengkajian pola dan metoda rating gapoktan PUAP ( Grade A, B, C) dalam upaya meningkatkan hasil komoditas unggulan padi, sapi potong, kakao lebih dari 20% melalui percepatan adopsi.
Departemen Pertanian,2005. Permentan Nomor 3 tahun 2005 tentang pedoman penyiapan dan penerapan teknologi pertanian, 17 Januari 2005.
Dewi, F. A. Rafieq dan Y. Pribadi. 2009. Pola komunikasi dan desain media yang efektif dalam percepatan pemassalan sapi beranak kember di Kalimantan Selatan. Seminar Hasil Pengkajian SINTA 2009. Badan Litbang 9-10 Desember 2009.
Ditjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman pelaksaan SLPTT padi, jagung, kedelai dan kacang tanah tahun 2010.Kementerian Pertanian
Hendayana, R. A. Dhalimi. Sumedi. R. Sad Hutomo. 2006. Seminar Hasil Pengkajian Inovasi dan Diseminasi Program Prima Tani. BBP2TP ( Belum dipublikasi)
Hendayana, R. A. Gozal. E. Syaefulah, A. Jauhari dan R. S, Hutomo. 2009. Desain model percepatan adopsi inovasi teknologi program unggulan Badan Litbang Pertanian. Seminar Hasil Pengkajian SINTA 2009, Badan Litbang Pertanian 9 - 10 Desember 2009.
39
Hubeis, A.V. 2007. Pengaruh desain pesan video instruksional terhadap peningkatan pengetahuan petani tentang pupuk agrodyke .Jurnal Agro Ekonomi 25(1): 1-10 PSE/KP
Jamal, E., M. Mardiharini., M. Sarwani. 2008a. Proses diseminasi pengelolaan tanaman terpadu dan sumberdaya terpadu PTT) padi: Suatu pembelajaran dan perspektif ke depan. Anlisis Kebijakan Pertanian 6(3): 272-285 PSE/KP
Jamal, E . 2008b. Kajian kritis terhadap pelaksanaan pembangunan perdesaan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 26(2): 92- 102 PSE/KP
Jamal, E. 2009. Telaahan penggunaan pendakatan sekolah lapang dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi: Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanain 7(4): 337-349 PSE-KP
Kementerian Pertanian, 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.
Mundy, P. 2000. Investasi untuk komunikasi di Badan Litbang Pertanian (PATTP). Desember 2000.
Musyafak A. T. Ibrahim,. 2005. Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung PRIMA TANI. Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 20-37 PSE-KP.
Rangkuti, P. A. 2009a. Strategi komunikasi membangun kemandirian pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 28(2): 39-45.
Rangkuti, P. A. 2009b. Analisis peran jaringan petani dalam adopsi inovasi traktor tangan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi 27(1): 45-60. PSE/KP.
Rogers, E.M.2003. Diffusion of Inovasitions. Fifth Edition. The Free Press. New York
Sudaratmaja, I. G. A. K. Suharyanto dan I.W.A. Artha Wiguna, 2009. Perilaku komunikasi menuju pelaksanaan IP Padi 400 dan model komunikasi efektif teknologi pembibitan sapi bali berjualitas prima di Bali. Seminar Hasil Pengkajian SINTA 2009. Badan Litbang Pertanian 9-10 Desember 2009.
Sudarmanto, R.G., 2005. Analisis regresi linier ganda dengan SPSS. Graha Ilmu Yogyakarta.
Suguyono,2007. Statisti non parametric untuk penelitian. Alfabeta Bandung.
Suryana. A. 2008. Penganekaragaman pangan dan gizi: Faktor pendukung peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Majalah Pangan. Media Komunikasi dan Informasi No 52/XVII/Oktober-Desember 2008, Jakarta.
Suharyanto, Destialisma, dan IA.Parwati. 2001. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Tabela Di Provinsi Bali. ntb.litbang.deptan.go.id. 21 September 2011.
Suharyanto dan Eko Priyotomo, 2005. Peran Wanita Dalam Pola Pengambilan Keputusan Di Tingkat Rumah Tangga petani (Kasus : Petani Lahan Kering di Desa Patas, kec. Gerokgak, Kab. Buleleng). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Kering di Bengkulu, 2005.
40
KEGIATAN DALAM GAMBAR
Performance kedelai di lokasi pengkajian
41
Suasana penggalian informasi/wawancara dengan petani di lokasi pengkajian
42
Suasana penggalian informasi/wawancara dengan petani di lokasi pengkajian