LAPORAN PENELITIAN Penelitian Operasional Kajian Masalah .... Laporan-20… · balita dengan gizi...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN Penelitian Operasional Kajian Masalah .... Laporan-20… · balita dengan gizi...
1
LAPORAN PENELITIAN
Penelitian Operasional
Kajian Masalah Implementasi Surveilans Gizi
Di Kota Cirebon dan Kabupaten Bandung
Oleh :
Aditianti, SP, MSi dkk
PUSLITBANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN
2016
2
Sk
3
Sk
4
Sk
5
Sk
6
SUSUNAN TIM PENELITI
1. Aditianti, SP, MSi
2. DR. Abas Basuni Jahari, MSc
3. DR. Nelis Imanningsih, MSc
4. Sri Mulyati, Mkes
5. Ir. Tjetjep Syarief Hidayat
6. Erna Luciasari, SP, MKP, MS
7. Ir. Hermina, MKes
8. Yurista Permanasari, SKM, MSi
9. Elisa Diana Julianti, SP, MSi
10. Meda Permana, SSos MSi
11. Andi Rahmawati, SKM, MKM
12. Asiah
13. Salamun
14. Saut Napitupulu
7
Etik
8
PERSETUJUAN ATASAN BERWENANG
Jakarta, Desember 2016
Ketua Panitia Pembina Ilmiah Ketua Peneliti
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat
Sri Irianti,SKM,M.Phil, Ph.D Aditianti,SP, MSi
NIP. 195804121981022001 NIP. 198103102005012002
Menyetujui,
Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat
drg. Agus Suprapto, M.kes
NIP. 196408131991011001
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat
dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian yang
berjudul “Penelitian Operasional Kajian Masalah Implementasi Surveilans Gizi di
Kota Cirebon dan Kabupaten Bandung”.
Kegiatan pengumpulan data hingga penyusunan laporan akhir ini tidak
terlepas dari peranan berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima
kasih kepada Tim Peneliti, Kepala Pusat Upaya Kesehatan Masyarakat, Dinas
Kesehatan Kabupaten Bandung, dan kepada seluruh informan
Penelitian ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu saran dan
kritik sangat kami harapkan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Desember 2016
Tim Peneliti
10
RINGKASAN EKSEKUTIF
Sampai saat ini, masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan di
masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam menangani masalah gizi adalah
menyelenggarakan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Kegiatan
surveilans gizi yang saat ini dikembangkan merupakan bagian dari SKPG.
Surveilans adalah kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap
masalah gizi masyarakat untuk membuat keputusan dalam upaya meningkatkan
status gizi masyarakat.
Tujuan surveilans gizi adalah untuk memberi masukan informasi untuk
perumusan kebijakan, perencanaan program atau pengambilan keputusan untuk
tindakan segera dalam mengatasi masalah yang terkait gizi. Keberadaan
surveilans gizi akan membantu para pengambil keputusan dalam melakukan
tindakan-tindakan penanggulangan yang tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan
efisien. Saat ini, pelaporan kegiatan surveilans gizi telah dilakukan secara rutin
dan sampai tingkat puskesmas, namun setiap tahun masalah gizi tetap terjadi.
Berdasarkan data Riskesdas, penurunan angka prevalensi stunting dan prevalensi
balita dengan gizi kurang-buruk tidak menunjukan penurunan yang berarti.
Menurut Direktorat Gizi, cakupan D/S pun masih sekitar 50 – 60%. Hal ini
mengindikasikan belum optimalnya kegiatan surveilans untuk anak balita.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan desain
kualitatif. Populasi penelitian ialah institusi pelaksana surveilans gizi yaitu Dinas
Kesehatan, Puskesmas, dan Posyandu, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan data yang didapatkan dari dinas kesehatan kabupaten/kota sampel
dipilih 2 puskesmas dengan kriteria cakupan D/S tinggi dan rendah. Dari masing-
masing puskesmas dipilih dua desa dan dari setiap desa akan dipilih dua
posyandu. Kepada informan yang berasal dari dinas kesehatan, puskesmas dan
aparat desa dilakukan wawancara mendalam. Sementara pada informan kader dan
ibu balita dilakukan diskusi kelompok.
Analisis data dimulai dengan membuat transkrip dari seluruh hasil
wawancara yang telah dilakukan. Pernyataan yang dihasilkan akan disusun dalam
bentuk kategori-kategori yang sesuai dengan topik-topik. Kemudian dilakukan
“descriptive statement” yang merupakan ringkasan dari pernyataan-pernyataan
responden. Dalam bagian ini dilakukan pembuatan deskripsi singkat yang diambil
berdasarkan data mentah tersebut. Tahap terakhir dari proses analisis ini ialah
pembuatan interpretasi atau penafsiran dari berbagai pernyataan informan, yang
merupakan gambaran dari tujuan wawancara mendalam ini. Setelah pengumpulan
data dan pembuatan transkrip dilakukan analisis data.
Di Kabupaten Bandung kegiatan posyandu sudah berjalan rutin setiap
bulan tapi belum melaksanakan fungsi pemantauan pertumbuhan. Penilaian
kenaikan berat badan anak pada umumnya tidak berdasarkan plot dan melihat
garis pertumbuhan anak, melainkan menggunakan sistem asal naik dan KBM.
Sistem rujukan ke puskesmas belum sepenuhnya dilakukan. Sementara itu laporan
rutin sudah ada tapi belum dimanfaatkan untuk keperluan surveilans. Analisis
situasi pangan dan gizi belum dilakukan secara rutin dan teratur sehingga
pemanfaatannya belum nampak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa kegiatan surveilans gizi belum berjalan.
Faktor pendukung berjalannya kegiatan surveilans gizi di tingkat
puskesmas dan posyandu diantaranya adalah tenaga kesehatan dan kader aktif,
11
jadwal pelaksanaan posyandu yang berjalan rutin, tersedianya alat penimbangan
di setiap posyandu, terdapat data dari puskesmas yang diberikan pada pihak dinas
kesehatan kabupaten, tersedianya fasilitas untuk mengolah data (komputer), sudah
terbentuknya DKP dan adanya dana bantuan untuk PMT.
Faktor penghambat berjalannya kegiatan surveilans gizi adalah kurangnya
pemahaman tentang surveilans gizi dan pemantauan pertumbuhan balita di
posyandu secara benar, kurangnya pembinaan kader, belum aktifnya DKP dan
masih adanya anak balita yang tidak memiliki KMS / buku KIA.
Rekomendasi yang dapat diberikan dari penelitian ini terkait dengan
kegiatan surveilans gizi adalah : (1) posyandu harus direposisi sebagai sarana
pemantauan pertumbuhan balita; (2) perlu dilakukan sosialisasi bagi pemerintah
daerah tentang pentingnya surveilans gizi bagi pemda; (3) Capacity building perlu
dilakukan untuk implementasi surveilans gizi dan (4) DKP perlu difungsikan
kembali agar informasi hasil olah surveilans gizi dapat dibahas untuk menjadi
masukan kebijakan bagi pemda.
12
ABSTRAK
Sampai saat ini, masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan di
masyarakat. Masalah gizi itu tidak terjadi secara mendadak tapi merupakan
rentetan kejadian yang bila berlangsung terus akan berakibat pada menurunnya
keadaan gizi masyarakat. Oleh karena itu munculnya masalah gizi di masyarakat
sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pemantauan terhadap perubahan
situasi pangan dan gizi di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah surveilans gizi sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Jenis penelitian ini
merupakan penelitian operasional dengan desain kualitatif. Populasi penelitian
ialah institusi pelaksana surveilans gizi yaitu Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan
Posyandu, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan data yang
didapatkan dari dinas kesehatan kabupaten/kota sampel dipilih 2 puskesmas
dengan kriteria cakupan D/S tinggi dan rendah. Dari masing-masing puskesmas
dipilih dua desa dan dari setiap desa akan dipilih dua posyandu. Kepada informan
yang berasal dari dinas kesehatan, puskesmas dan aparat desa dilakukan
wawancara mendalam. Sementara pada informan kader dan ibu balita dilakukan
diskusi kelompok. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung, Di
kabupaten Bandung kegiatan posyandu sudah berjalan tapi belum melaksanakan
fungsi pemantauan pertumbuhan. Bisa dilihat dengan belum adanya rujukan dari
hasil pemantauan pertumbuhan. Laporan rutin juga sudah ada tapi belum
dimanfaatkan untuk keperluan surveilans. Analisis situasi pangan dan gizi belum
dilakukan secara rutin dan teratur sehingga pemanfaatannya belum nampak.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan surveilans gizi belum
berjalan.
Kata kunci : surveilans gizi, pemantauan pertumbuhan, isyarat dini
13
DAFTAR ISI
Hlm
1 Judul…………………………………………………………………….. i
2 Surat Keputusan Penelitian...…………………………………………… ii
3 Susunan Tim Peneliti ….......…………………………………………… vi
4 Persetujuan Etik........................................................................................ vii
5 Persetujuan Atasan................................................................................... viii
6 Kata Pengantar………………………………………………………….. ix
7 Ringkasan Eksekutif……………………………………………………. x
8 Abstrak…………………………………………………………………. xii
9 Daftar Isi………………………………………………………………... xiii
10 Daftar Tabel…………………………………………………………….. xiv
11 Daftar Lampiran ………………………………………………………... xv
12 I.Pendahuluan…………………………………………………………… 1
13 A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
14 B. Perumusan Masalah Penelitian…………………………………. 3
15 C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………… 4
16 D. Tujuan Umum ….……………………………………………….. 4
17 E. Tujuan Khusus………………………………………………….. 4
18 F. Manfaat Penelitian……………………………………………… 4
19 II. Metode Penelitian……....……………………………………………. 5
20 A. Kerangka Konsep……………………………………. ………… 5
21 B. Definisi Operasional……………………………………………. 5
22 C. Desain Penelitian,,..…………....................…………………….. 6
23 D. Tempat dan Waktu Penelitian.................……………………….. 7
24 E. Populasi dan Sampel……………………………………………. 7
25 F. Besar Sampel........................………………..………………….. 8
26 G. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data………………………... 9
27 H. Prosedur Pengumpulan Data……………………………………. 9
28 I. Managemen dan Analisa Data………………………………….. 10
29 J. Alur Penelitian.............................................................................. 11
30 III. Hasil ……………………………………………………………….... 12
31 IV. Pembahasan………………………………………………..……...… 29
32 V. Kesimpulan .................…………………………….………...………. 40
33 VI.Saran..................................................................................................... 41
34 VII. Rekomendasi...................................................................................... 42
35 IX.Daftar Kepustakaan…………………………………………….……. 43
36 X. Lampiran............................................................................................... 45
14
DAFTAR TABEL
Hlm
Tabel 1 Status Gizi Balita di Kabupaten Bandung ...............................… 13
Tabel 2 Data Cakupan D/S ………...............…………………………… 13
Tabel 3 Status gizi berdasarkan BB/U ………………………......…...… 14
Tabel 4 Status gizi berdasarkan BB/TB....…………………………….... 14
Tabel 5 Status gizi berdasarkan TB/U....................................................... 15
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Panduan Wawancara Lampiran 2 Naskah Penjelasan Lampiran 3 Informed Concern Lampiran 4 Surat Rekomendasi Penelitian Politik dan Pemerintahan Departemen
Dalam Negeri
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian Propinsi Jawa Barat Lampiran 6 Surat Izin Penelitian Kesbangpol Kabupaten Bandung Lampiran 7 Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Lampiran 8 Berkas penghematan anggaran puslitbang UKM Lampiran 9 SK Bupati Bandung tentang Pembentukan TIM SKPG Kabupaten Bandung Lampiran 10 Laporan Kegiatan Surveilans Gizi Puskesmas Kab. Bandung 2016 Lampiran 11 Laporan bulanan gizi (LB 3 GIZI) puskesmas Ketapang Juli 2016 Lampiran 12 Laporan bulanan gizi (LB 3 GIZI) puskesmas Margaasih Juli 2016 Lampiran 13 Kartu Balita Lampiran 14 Cakupan D/S Kabupaten Bandung 2015 Lampiran 15 Foto Tabel Cakupan D/S Kabupaten Bandung Lampiran 16 Rekapitulasi Data Bulan Penimbangan Balita 2015 Lampiran 17 Foto Kegiatan Posyandu di wilayah Puskesmas Ketapang Lampiran 18 Foto Kegiatan Posyandu di wilayah Puskesmas Margaasih Lampiran 19 Matriks diskusi kelompok Kader Lampiran 20 Matriks diskusi kelompok ibu balita Lampiran 21 Matriks wawancara mendalam aparat Desa Cilampeni Lampiran 22 Matriks wawancara mendalam aparat Desa Katapang Lampiran 23 Matriks wawancara mendalam aparat Desa Lagadar Lampiran 24 Matriks wawancara mendalam aparat Desa Nanjung Lampiran 25 Matriks wawancara mendalam tenaga kesehatan Puskesmas Katapang Lampiran 26 Matriks wawancara mendalam tenaga kesehatan Puskesmas Margaasih Lampiran 27 Matriks wawancara mendalam tenaga kesehatan dinas kesehatan Lampiran 28 Transkrip diskusi kelompok kader Lampiran 29 Transkrip diskusi kelompok ibu balita Lampiran 30 Transkrip wawancara mendalam aparat Desa Cilampeni
Lampiran 31 Transkrip wawancara mendalam aparat Desa Katapang Lampiran 32 Transkrip wawancara mendalam aparat Desa Lagadar Lampiran 33 Transkrip wawancara mendalam aparat Desa Nanjung Lampiran 34 Transkrip wawancara mendalam tenaga kesehatan Puskesmas Katapang Lampiran 35 Transkrip wawancara mendalam tenaga kesehatan Puskesmas Margaasih Lampiran 36 Transkrip wawancara mendalam tenaga kesehatan Dinas Kesehatan
16
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu indikator dalam sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN
pada 2015 – 2019 adalah meningkatkan status kesehatan ibu, anak dan gizi
masyarakat1. Menurunkan angka kematian anak juga merupakan salah satu tujuan
dalam Millenium Development Goals2. Sebagai salah satu golongan kelompok
rawan dan merupakan generasi penerus bangsa, kelompok bayi dan balita
membutuhkan perhatian khusus.
Sampai saat ini, masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan di
masyarakat. Terjadinya masalah gizi pada suatu wilayah tidak hanya disebabkan
oleh satu atau dua faktor penyebab, melainkan akibat dari banyak faktor dan
berbagai faktor tersebut saling berkaitan. Menurut UNICEF (1998)3 penyebab
langsung terjadinya masalah gizi adalah kurangnya konsumsi makanan dan
penyakit infeksi. Penyebab tidak langsungnya adalah ketidakcukupan ketersediaan
makanan di rumah tangga, kurangnya perawatan dan pengasuhan anak dan
kondisi kesehatan lingkungan yang tidak memadai. Penyebab utamanya adalah
kemiskinan, pendidikan, ketersediaan pangan yang rendah dan sulitnya lapangan
kerja. Sementara itu, yang menjadi akar masalah terjadinya masalah gizi adalah
politik dan ekonomi di suatu negara.
Data Global Nutrition Report4, Indonesia menjadi 1 dari 117 negara
berkembang yang memiliki lebih dari 2 masalah gizi, yaitu stunting, wasting &
ovrweight. Saat ini, Indonesia masih menghadapi masalah gizi yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi stunting masih diatas 35% yaitu dari
36,8% di tahun 20075, 35,6% di tahun 20106 dan menjadi 37,2% di tahun 20137.
Prevalensi balita underweight pun meningkat, yaitu dari 18,4% di tahun 20075 ,
17,9% di tahun 20106 dan 19,6 % di tahun 20137. Meskipun terjadi penurunan
pada prevalensi wasting dari 13,8% di tahun 20075 menjadi 12,1% di tahun 20137
dan prevalensi overweight sebesar 12,2% di tahun 20075 menjadi 11,9% di tahun
20137 tetapi kedua masalah ini masih merupakan masalah gizi masyarakat karena
prevalensinya masih di atas 5%.
Masalah gizi itu tidak terjadi secara mendadak tapi merupakan rentetan
kejadian yang bila berlangsung terus akan berakibat pada menurunnya keadaan
17
gizi masyarakat. Oleh karena itu munculnya masalah gizi di masyarakat
sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pemantauan terhadap perubahan
situasi pangan dan gizi di masyarakat dari mulai produksi, ketersediaan di
masyarakat, kemampuan daya beli masyarakat, sampai ketersediaan di rumah
tangga yang berlanjut pada keadaan gizi anggota keluarga. Berdasarkan hal
tersebut pemerintah melaksanakan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG)
mulai dari pengembangannya pada tahun 1976 sampai 1980 dan sampai saat ini
program tersebut masih ada.
Pada awalnya kegiatan SKPG terfokus pada Sistem Isyarat Dini (SIDI)
untuk mengantisipasi masalah kerawanan pangan sebagai akibat dari terjadinya
kekeringan panjang yang berlanjut pada kegagalan produksi pertanian. Dalam
kurun waktu berikutnya kegiatan SKPG berkembang menjadi tidak hanya SIDI
tetapi mencakup juga analisis situasi pangan dan gizi dan diseminasi informasi
bagi pemangku kepentingan. Dalam istilah asing SKPG disebut juga sebagai Food
and Nutrition Surveilance System atau Nutrition Surveillance (Surveilans Gizi).
Surveilans Gizi adalah kegiatan pengamatan secara teratur dan terus
menerus terhadap status gizi masyarakat dan faktor-faktor yang terkait. Tujuan
surveilans gizi adalah memberi masukan informasi bagi pengambil kebijakan
untuk merumuskan kebijakan, membuat keputusan, membuat perencanaan,
melakukan evaluasi dan menetapkan tindakan penanggulangan yang bersifat
segera dalam rangka melakukan pencegahan dan upaya perbaikan gizi
masyarakat. Dengan kata lain surveilans gizi adalah alat penyedia informasi untuk
mengawal dan mengamankan pelaksanaan upaya perbaikan gizi masyarakat.
Dalam buku Pedoman Surveilans Gizi yang diterbitkan oleh Kementerian
Kesehatan tahun 2014, kegiatan surveilans gizi dilakukan untuk memantau
indikator-indikator yang terkait dengan upaya perbaikan gizi masyarakat,
termasuk indikator input, proses, output dan outcome8.
Salah satu kegiatan surveilans gizi adalah pemantauan pertumbuhan
balita di posyandu. Kegiatan pemantauan pertumbuhan adalah memantau berat
badan anak secara teratur dan mendeteksi secara dini bila terjadi gangguan
pertumbuhan pada balita untuk segera ditanggulangi9. Namun demikian, masih
banyak balita yang tidak dibawa dan ditimbang secara teratur di posyandu. Pada
18
tahun 20075 sebanyak 45,4% balita usia 6 – 59 bulan dan tahun 20137 sebanyak
44,6% yang ditimbang minimal 4x dalam 6 bulan terakhir, dan jumlah balita usia
yang sama yang tidak ditimbang dalam 6 bulan terakhir sebanyak 25,5% pada
tahun 20074 dan meningkat menjadi 34,3% pada tahun 20136. Balita yang tidak
memiliki KMS berjumlah 35%5.
Kegiatan penimbangan bulanan di posyandu tidak dilakukan
sebagaimana fungsinya untuk memantau pertumbuhan anak dengan menggunakan
Kartu Menuju Sehat (KMS), tetapi hanya sebagai kegiatan rutin penimbangan.
Sebanyak 39,3% kader posyandu tidak menggunakan KMS untuk menilai
pertumbuhan. Jumlah rata – rata angka penimbangan balita dari jumlah seluruh
balita di suatu wilayah (D/S) adalah 40%.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa posyandu sebagai sumber
data surveilans tidak berjalan sebagai mana mestinya untuk memantau
pertumbuhan. kurangnya pembinaan bagi kader. Informasi posyandu sangat
penting bagi deteksi dini masalah gizi. Kondisi deteksi dini yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya diantaranya dapat dilihat dari meningkatnya jumlah balita
yang tidak ditimbang, masih tingginya balita yang tidak mempunyai KMS dan
angka persentase D/S yang masih rendah.
b. Perumusan Masalah
Surveilans gizi sebagaimana dikemukakan di atas memiliki fungsi
untuk menunjang upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya masalah gizi
di masyarakat, namun sampai saat ini yang berfungsi baru menunjang upaya
penanggulangan masalah gizi buruk. Oleh karena itu tidak mustahil kejadian gizi
buruk akan terus berulang. Berdasarkan dialog dengan para petugas gizi pada
pertemuan nasional petugas gizi provinsi dan kabupaten yang diselenggarakan
oleh Direktorat Gizi Kementrian Kesehatan RI, terungkap bahwa surveilans gizi
(termasuk pemantauan pertumbuhan) belum berjalan sesuai fungsinya. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian operasional untuk mengkaji berbagai faktor
yang terkait dengan belum berfungsinya surveilans gizi seperti yang diharapkan.
19
c. Pertanyaan Penelitian
Apakah surveilans gizi sudah berfungsi sebagaimana mestinya, jika
sudah berfungsi apa faktor pendukungnya dan jika belum berfungsi apa faktor
penyebabnya?
d. Tujuan Penelitian
Tujuan umum :
Mengetahui Masalah Implementasi Surveilans Gizi Di Kota Cirebon dan
Kabupaten Bandung
Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui Masalah Implementasi Surveilans Gizi Di Kota
Cirebon dan Kabupaten Bandung
2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat kegiatan
surveilans gizi
3. Untuk merumuskan rekomendasi strategi dan implementasi surveilans
gizi
e. Manfaat Penelitian
Memberikan bukti ilmiah tentang pelaksanaan surveilans gizi di
tingkat posyandu, puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota
Memberikan strategi alternatif bagi perumus kebijakan (Direktorat
Gizi) dalam meningkatkan fungsi surveilans gizi sebagai upaya untuk
meningkatkan status gizi masyarakat
20
METODE PENELITIAN
a. Kerangka konsep penelitian
b. Definisi Operasional
a. Surveilans gizi : Surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan yang teratur
dan terus menerus terhadap masalah gizi masyarakat dan faktor-faktor yang
terkait, melalui kegiatan pengumpulan data/informasi, pengolahan dan
analisis data, dan diseminasi informasi pada stake holder untuk digunakan
sebagai bahan pengambilan keputusan, kebijakan yang akan dilaksanakan
dan untuk mengambil tindakan segera apabila diperlukan. Surveilans tidak
berfungsi bila tidak melaksanakan hal tersebut.
b. Isyarat dini : kegiatan pemantauan terhadap data indikator secara terus
menerus untuk memperoleh informasi cepat tentang perubahan kondisi
seseorang atau masyarakat sebagai peringatan agar tidak terjadi masalah gizi
yang lebih buruk.
c. Analisis situasi gizi : untuk mengkaji perkembangan masalah gizi dan
faktor-faktor risiko yang terkait dengan masalah tersebut. Analisi situasi gizi
dilakukan setahun sekali dengan melibatkan data dari berbagai sektor
terkait. Luaran dari analisis ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan
Pengumpulan
data
Analisa data
Diseminasi
Pemanfaatan
informasi
Apakah
kegiatan
surveilans
dilakukan atau
tidak ?
Jika tidak
dilakukan,
mengapa
kegiatan
tersebut tidak
dilakukan
Alternatif
strategi untuk
meningkatkan
fungsi
surveilans gizi
21
masalah gizi 2. Faktor-faktor apa saja yang mempunyai risiko dan
berkontribusi pada timbulnya masalah gizi 3. Rumusan cara mengatasi
permasalahannya. Secara umum ialah memetakan masalah dan faktor-faktor
risiko
d. Diseminasi informasi: membuat laporan tertulis baik yang bersifat
insidental/sewaktu-waktu atau yang rutin bulanan atau tahunan untuk
diteruskan pada pimpinan untuk keperluan sosialisasi atau advokasi
e. Reposisi posyandu :memposisikan kembali posyandu sebagai sarana
kegiatan untuk pemantauan pertumbuhan seperti memfungsikan KMS dan
SKDN dalam memantau pertumbuhan dan mengefektifkan rujukan bagi
anak yang tidak naik berat badannya.
c. Jenis dan Desain
Jenis penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan desain
kualitatif. Penelitian Operasional bidang kesehatan adalah penelitian yang
memiliki fokus terhadap masalah operasional untuk program kesehatan
tertentu yang sudah ada. Penelitian operasional bertujuan dalam
mengembangkan solusi untuk masalah operasional program kesehatan
tertentu saat ini atau komponen spesifik pelayanan sistem kesehatan. Hasil
dari penelitian ini dapat digunakan oleh pemangku kebijakan dalam bidang
kesehatan10
Ciri dari penelitian ini adalah fokus pada pemecahan masalah dan
penemuan solusi. Masalah operasional sering diidentifikasi melalui
pemantauan dan evaluasi kegiatan rutin yang memungkinkan bagi program
kesehatan untuk melengkapi dan mengeksplorasi ide-ide baru
yang berpotensi menghasilkan pendekatan yang lebih efektif dalam
pelaksanaannya10
Penelitian kualitatif lebih mengarah pada pertanyaan lebih mengarah
pada pertanyaan penelitian yang bersifat eksplorasi atau menggali masalah
yang ada ataupun kedalaman variabel yang diteliti (menjawab pertanyaan
“how” dan “why”), yang menggambarkan substansi cerita atau gambar11.
22
Banyak masalah kesehatan yang belum dapat terjawab dengan
penelitian kuantitatif (survey). Gejala yang hidup dalam alam pikiran
manusia tidak dapat ditangkap hanya menanyakan dan mengamati tingkah
laku manusia melalui survey, tetapi perlu penelitian kualitatif yang bersifat
eksploratif sehingga informasi yang didapat dari penelitian kualitatif dapat
menjadi bagian penting untuk melengkapi informasi terkait besarnya
masalah kesehatan berdasarkan penelitian kualitatif. Disamping itu hasil
penelitian kualitatif juga berperan sebagai informasi awal dalam
mengembangkan instrumen untuk penelitian di bidang kesehatan
menggunakan metode kuantitatif11
d. Tempat dan Waktu
Semula penelitian ini akan dilakukan di 2 kabupaten yaitu Kabupaten
Bandung dan Kota Cirebon. Akan tetapi dalam perkembangannya terjadi
efisiensi anggaran sehingga penelitian ini hanya dapat dilakukan di satu
kabupaten yaitu Kabupaten Bandung (Berkas Penghematan Anggaran
Puslitbang UKM dapat dilihat pada Lampiran 8). Penelitian ini dilaksanakan
pada tahun 2016 selama 10 bulan.
e. Populasi dan sampel
Populasi ialah institusi pelaksana surveilans gizi yaitu Dinas
Kesehatan, puskesmas, dan posyandu di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa
Barat. Sampel penelitian dipilih secara purposif yaitu Dinas Kesehatan
Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah
yang menjadi Fokus Sasaran Intervensi Bersama Kemenkes tahun 2015-
2019. Dari kabupaten/kota sampel dipilih 2 puskesmas dengan kriteria
cakupan D/S tinggi dan rendah. Dari masing-masing puskesmas dipilih dua
desa dan dari setiap desa dipilih dua posyandu. Dari setiap wilayah sampel
tersebut akan dilakukan wawancara kepada penanggung jawab pelaksanaan
surveilans gizi di Dinas Kesehatan, puskesmas, posyandu dan tokoh
masyarakat.
23
f. Besar Sampel
Dari setiap kabupaten/kota dipilih 2 puskesmas dengan kriteria D/S
rendah dan tinggi. Dari setiap puskesmas dipilih 2 desa. Dari setiap desa
dipilih 2 posyandu. Pada tingkat desa dipilih 2 orang tokoh masyarakat dan
kepala desa. Di setiap posyandu dipilih 1 kader dan 1 orang ibu balita. Berikut
adalah jumlah sampel pada penelitian ini:
f.1. Dinas Kesehatan:
1. Kepala dinas atau
1 kabupaten x 1 orang = 1 orang
2. Kepala bidang yang membawahi Gizi
1 kabupaten x 1 orang = 1 orang
3. Kepala seksi gizi
1 kabupaten x 1 orang = 2 orang
f.2. Puskesmas:
1. Kepala puskesmas
1 kabupaten x 2 pkm x 1 orang = 2 orang
2. Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) :
1 kabupaten x 2 pkm x 1 orang = 2 orang
3. Bidan koordinator puskesmas:
1 kabupaten x 2 pkm x 1 orang = 2 orang
4. Bidan desa :
1 kabupaten x 2 pkm x 1 orang = 2 orang
f.3. Desa :
1. Kader Posyandu :
1 kabupaten x 2 pkm x 2 desa x 2 pyd x 1 kader = 8 orang
2. Kepala Desa :
1 kabupaten x 2 pkm x 2 desa x 1 orang = 4 orang
3. Tokoh masyarakat : ( tokoh agama dan ketua pkk)
1 kabupaten x 2 pkm x 2 desa x 2 orang = 8 orang
4. Ibu balita :
1 kabupaten x 2 pkm x 2 desa x 2 pyd x 1 ibu balita = 8 orang
24
g. Instrumen Pengumpul Data Instrumen pengumpulan data berupa pedoman pertanyaan untuk
wawancara mendalam dan diskusi kelompok.
h. Prosedur Pengumpul data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data surveilans
gizi terkait data pemantauan pertumbuhan balita. Hal ini dikarenakan
pemantauan pertumbuhan balita ini berkaitan dengan tiga masalah gizi utama
di Indonesia yaitu stunting, wasting dan overweight.
Informan dalam pengumpulan data penelitian ini terdiri dari Dinas
Kesehatan, puskesmas, kader posyandu, kepala desa, tokoh masyarakat, dan
ibu balita. Pengumpulan data dari Dinas Kesehatan, puskesmas, kepala desa
dan tokoh masyarakat dilakukan dengan wawancara mendalam, data dari
kader posyandu dan ibu balita dilakukan dengan diskusi kelompok. Pada saat
pengumpulan data juga dilakukan observasi.
Dalam kegiatan wawancara mendalam dan diskusi kelompok dilakukan
proses perekaman. Diskusi kelompok dengan kader dan ibu balita dilakukan
disalah satu ruangan di puskesmas. Namun, kedua kelompok tersebut berada
di ruangan yang berbeda.
Sebelum wawancara dilakukan, informan diberikan informasi mengenai
tujuan penelitian, manfaat, dan apa yang akan dilakukan termasuk waktu yang
diperlukan untuk wawancara. Selain itu juga disampaikan sejumlah uang
sebagai pengganti waktu yang telah diluangkan oleh informan. Setelah
informan memahami apa yang akan dilakukan selama penelitian dan
responden bersedia menjadi responden penelitian, selanjutnya diminta
persetujuannya dengan menandatangani persetujuan setelah penjelasan (PSP)
untuk mengikuti penelitian ini.
Dari Dinas Kesehatan informasi yang digali adalah mengenai kegiatan
surveilans gizi di tingkat dinas kabupaten/kota. Informasi tersebut meliputi
kapasitas sumberdaya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, deteksi
dini masalah gizi, analisis situasi pangan dan gizi, diseminasi dan
pemanfaatan informasi, dan kerjasama lintas sektoral kaitannya dengan
25
surveilans gizi. Informan dari Dinas Kesehatan terdiri dari kepala dinas,
kepala bidang yang membawahi gizi, dan kepala seksi gizi.
Di tingkat puskesmas, informasi yang digali meliputi kapasitas
sumberdaya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, deteksi dini
masalah gizi, pelaporan, pengolahan data surveilans gizi, diseminasi dan
pemanfaatan informasi, dan kerjasama lintas sektoral kaitannya dengan
surveilans gizi. Informan dari puskesmas terdiri dari kepala puskesmas,
tenaga pelaksana gizi, dan bidan koordinator.
Kepala desa dan tokoh masyarakat menjadi narasumber di tingkat desa.
Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah ketua PKK dan tokoh yang biasa
terlibat dalam kegiatan di desa tersebut. Informasi di tingkat desa yang digali
mengenai keterlibatan mereka dalam kegiatan posyandu, dalam hal
perencanaan, perorganisasian, pendanaan, pelaporan, dan pengawasan.
Narasumber di tingkat posyandu adalah kader dan ibu balita. Pada
kader digali informasi mengenai kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan
posyandu. Pada ibu balita digali informasi tentang pelayanan di posyandu.
i. Manajemen dan Analisa Data
Manajemen dan analisis data yang diperoleh berdasarkan hasil
wawancara dianalisis dengan menggunakan konsep ‘the analysis continuum’
(transkrip, matrik, analisa) yang secara sistematis dapat digambarkan sebagai
berikut.
Raw Data Descriptive Statement interpretation
Analisis data dimulai dengan membuat transkrip dari seluruh hasil
wawancara yang telah dilakukan. Pernyataan yang dihasilkan akan disusun
dalam bentuk kategori-kategori yang sesuai dengan topik-topik. Kemudian
dilakukan “descriptive statement” yang merupakan ringkasan dari pernyataan-
pernyataan responden. Dalam bagian ini dilakukan pembuatan deskripsi
singkat yang diambil berdasarkan data mentah tersebut. Tahap terakhir dari
proses analisis ini ialah pembuatan interpretasi atau penafsiran dari berbagai
26
pernyataan informan, yang merupakan gambaran dari tujuan wawancara
mendalam ini. Setelah pengumpulan data dan pembuatan transkrip, dilakukan
analisis data.
Alur Penelitian
Ujicoba Pedoman wawancara
Penjajakan (penetapan informan)
Wawancara mendalam dan diskusi kelompok
Pembuatan transkrip dan analisis
Penyusunan Laporan
27
HASIL
Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa
Barat, dengan luas 176.238,67 Ha atau 1.762,39 km2. Secara geografis, Kabupaten
Bandung mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis, baik
dipandang dari segi pembangunan ekonomi, pembangunan fisik, prasarana
maupun dari segi komunikasi dan perhubungan, dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut :
Sebelah utara : Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan
Kabupaten Sumedang
Sebelah timur : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
Sebelah selatan : Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur
Sebelah barat : Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur
Sebelah tengah : Kota Bandung dan Kota Cimahi
Kabupaten Bandung merupakan daerah penyangga propinsi Jawa Barat
dan daerah industri. Pemukimannya cukup pesat sehingga mempunyai laju
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Permasalahan utama kependudukan
di Kabupaten Bandung adalah persebaran penduduk yang tidak merata.
Kecamatan dengan kepadatan penduduk yang tinggi adalah Kecamatan
Cileunyi, Kecamatan Cimenyan dan Bojongsoang sedangkan kepadatan
penduduk terendah adalah Kecamatan Pasir Jambu, Kecamatan Rancabali dan
Kecamatan Ciwidey. Berdasarkan data BPS tahun 2014 sebagian besar
penduduk di Kabupaten Bandung adalah berpendidikan terakhir tamat SD/MI
(41,92%)11.
Persentase balita dengan status gizi baik mengalami kenaikan 1,92% dari
89,64 menjadi 90,53%, status gizi lebih mengalami penurunan 2,15% dari
6,68% menjadi 5,57%. Status gizi kurang mengalami kenaikan 0,24% dari
3,63% menjadi 3,66%, sedangkan status gizi buruk tetap pada 0,05% dari
jumlah balita tahun 2013 sebanyak 269.201 menjadi sebanyak 231.836 pada
28
tahun 2014 yang ditimbang. Status gizi balita di Kabupaten Bandung dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Status Gizi Balita di Kabupaten Bandung 12
Tahun Status Gizi
Baik Lebih Kurang Buruk
2010 92,96 4,14 2,84 0,06
2011 92,96 4,23 2,75 0,06
2012 91,56 4,53 3,87 0,03
2013 89,64 6,68 3,63 0,05
2014 90,53 5,75 3,66 0,05
Data cakupan D/S, data status gizi berdasarkan BB/U, data status gizi
berdasarkan BB/TB dan data status gizi berdasarkan TB/U berasal dari data hasil
bulan penimbangan balita pada bulan agustus 2015. Hasil cakupan D/S cukup
tinggi yaitu 96,81% 13. Persentase jumlah balita ditimbang terhadap seluruh balita
yang ada (D/S) memberikan indikasi tentang tingkat partisipasi masyarakat pada
kegiatan pemantauan pertumbuhan di posyandu yang mungkin berkaitan dengan
masalah lainnya seperti terjadinya wabah diare atau terjadi migrasi musiman8
Tabel 2. Data Cakupan D/S
No Rincian Gakin Non Gakin Total
1 Jumlah balita yang ada (S) 87.69 187.111 274.81
2 Jumlah balita yang ditimbang (D) 84.89 181.136 266.03
3 Hasil cakupan D/S 96,81 % 96,81% 96,81%
Berdasarkan indeks BB/U, sebagian besar anak balita, baik dari keluarga
gakin maupun non gakin berstatus gizi normal (93,55%). Terdapat 0,25 balita
berstatus gizi sangat kurang.
29
Tabel 3. Status gizi berdasarkan BB/U
No Status Gizi Jumlah Ditimbang Jumlah %
Gakin Non gakin
1 BB sangat kurang 289 386 675 0,25
2 BB kurang 4.183 7.006 11.189 4,21
3 BB normal 78.925 169.907 248.832 93,55
4 BB lebih 1.502 3.783 5.285 1,99
Jumlah 84.899 181.082 265.981 100,00
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa 94,32% balita berstatus gizi
normal berdasarkan indeks BB/TB. Anak dengan status gizi sangat kurus
berjumlah 0,042%. Menurut kepala seksi gizi Dinas Kesehatan, anak dengan
status gizi sangat kurus dilaporkan sebagai kasus gizi buruk dan kelompok inilah
yang akan menerima intervensi. Indeks BB/TB mengindikasikan masalah gizi
yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang
tidak lama (singkat). Misalnya terjadinya wabah penyakit dan kekurangan makan
yang dapat mengakibatkan anak menjadi kurus7.
Tabel 4. Status gizi berdasarkan BB/TB
No Status Gizi Jumlah Ditimbang Jumlah %
Gakin Non gakin
1 Sangat kurus 56 57 113 0,042
2 kurus 1.319 2.163 3.482 1,31
3 normal 79.947 170.927 250.874 94,32
4 gemuk 3.572 7.940 11.512 4,33
Jumlah 84.894 181.087 265.981 100,00
Indikator berdasarkan status gizi TB/U memberikan indikasi masalah gizi
yang sifatnya kronis akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya
kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan supan makanan kurang dalam jangka
waktu lama sejak usia bayi hingga mengakibatkan anak menjadi pendek7.
Berdasarkan Tabel 5, jumlah anak pendek berada dibawah 10%.
30
Tabel 5. Status Gizi Berdasarkan TB/U
No Status Gizi Jumlah Ditimbang Jumlah %
Gakin Non gakin
1 sangat pendek 861 1.311 2.172 0,82
2 Pendek 8.483 13.215 21.698 8,16
3 Normal 73.560 161.141 234.701 88,23
4 Tinggi 1.994 5.416 7.410 2,79
Jumlah 84.898 181.083 265.981 100,00
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dipilih dua
puskesmas terpilih yaitu Puskesmas Ketapang dan Puskesmas Margaasih.
Pemilihan ini didasarkan pada cakupan D/S rendah (46,3 %) untuk Puskesmas
Katapang dan angka cakupan D/S tinggi (77,2 %) untuk Puskesmas Margaasih. Di
Puskesmas Margaasih dipilih dua desa secara pusposif yaitu Desa Nanjung dan
Desa Lagadar. Sementara di Puskesmas Katapang dipilih Desa Cilampeni dan
Desa Katapang.
A. Isyarat Dini
a. Pemantauan pertumbuhan
Kegiatan posyandu di Desa Katapang disenggarakan sebulan sekali
di masing-masing RT di desa tersebut. Sebagian Posyandu di Desa
Katapang memiliki tempat permanen untuk menyelenggarakan kegiatan
tersebut. Posyandu yang belum mempunyai tempat permanen
menggunakan fasilitas RW (kantor RW) atau rumah masyarakat setempat
seperti di halaman rumah RW atau kader.
Dana untuk penyelenggaraan kegiatan posyandu berasal dari dana
ADD (anggaran dana desa). Selain itu terdapat pula bantuan dari gubernur.
Dana tersebut dipergunakan untuk melengkapi fasilitas di semua posyandu
di Desa Katapang misalnya timbangan (dacin) dan alat pengukur tingi
badan. Ada pula dana dari kencleng (uang sumbangan warga yang
dimasukkan dalam suatu wadah) untuk menyediakan makanan tambahan
dan juga bantuan dari ibu kades untuk kader menjelang hari raya dan untuk
PMT (pemberian makanan tambahan)
Di Desa Cilampeni setiap hari kerja terdapat kegiatan posyandu
yang dilaksanakan di masing-masing RT. Jadwal pelaksanaan posyandu
31
ditentukan oleh bidan desa. Sebanyak empat posyandu sudah memiliki
tempat sendiri. Posyandu yang tidak memiliki tempat sendiri melakukan
kegiatan di masjid, madrasah dan rumah RW. Pelaksanaan kegiatan
posyandu biasanya dilakukan oleh kader yang dipandu oleh bidan desa
setempat. Dana untuk pelaksanaan posyandu berasal dari kencleng dan
CSR (corporate social responsibility) perusahaan (hanya untuk posyandu
yang berlokasi deket dengan perusahaan) dan dana pribadi kades.
Kegiatan posyandu di Desa Lagadar dilaksanakan sebulan sekali.
Posyandu dihadiri oleh bidan desa dan PKK kelurahan. Sedangkan petugas
kesehatan lainnya dari puskesmas hanya datang sesekali saja. Belum
semua posyandu di Desa Lagadar memiliki tempat khusus. Posyandu yang
belum memiliki tempat melakukan kegiatan di ruang serbaguna RW,
rumah kader atau di rumah RW. Sumber dana penyelenggaraan posyandu
berasal dari ADD desa, dana revitalisasi posyandu, CSR perusahaan,
dokter praktek disekitar posyandu, sumbangan dari pengusaha dan dari
dana kencleng sukarela.
Jadwal pelaksanaan posyandu dilakukan sebulan sekali dan
ditentukan oleh bidan. Kegiatan posyandu di Desa Nanjung dihadiri oleh
masyarakat yang punya balita, kader, bidan desa, dan ada juga kepala
dusun yang mengontrol kegiatan posyandu. Kepala desa tidak secara rutin
mengontrol kegiatan posyandu. Biasanya isteri kepala desa yang lebih
sering turun mengawasi jalannya kegiatan posyandu. Posyandu yang
belum memiliki tempat sendiri melakukan melakukan kegiatan di kantor
RW, rumah ibu kader, rumah ibu RT dan rumah RW. Dana untuk
operasional posyandu ada yang berasal dari dana desa dan ada juga
bantuan dari pabrik yang ada di wilayah desa tersebut. Menurut Ibu ketua
PKK Nanjung terdapat dana dari desa sebesar Rp. 200.000 ribu per bulan
setiap posyandu. Dana tersebut biasanya digunakan untuk PMT dan
konsumsi kader setalah pelaksanaan kegiatan posyandu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa informan,
pemilihan kader posyandu di wilayah Desa Lagadar, terdapat perbedaan
anatara pemilihan kader di wilayah desa dengan pemilihan kader di
32
wilayah RW. Untuk di wilayah desa, didapati keterangan bahwa pemilihan
anggota kader posyandu di tingkat desa dilakukan dengan cara dipilih
langsung oleh jajaran para pengurus penggerak PKK di desa. Informasi ini
diperkuat dengan keterangan yang di dapat dari kepala desa yang
mengatakan bahwa memang kader posyandu untuk tingkat desa itu dipilih
dari anggota masyarakat yang dinilai peduli akan masyarakat. Untuk di
tingkat RW, pemilihan kader dilakukan dengan dua cara, cara pertama
yaitu dengan cara di pilih/ditunjuk siapa saja yang sekiranya layak untuk
menjadi kader.
Dalam hal pemilihan kader, para kader senior diberi kewenangan
untuk memilih diantara para warga yang sekiranya layak dan dinilai peduli
akan keadaan masyarakat di lingkungan RW nya. Para pengurus PKK
tidak mempunyai andil dalam pemilihan pengurus posyandu di tingkat
RW. Ketidakikutsertaan para pengururs PKK ini diperkuat oleh
pernyataan dari narasumber yang merupakan ketua dari PKK yang
mengatakan bahwa PKK tidak ikut terlibat dalam pemilihan kader karena
pemilihan kader merupakan kewenangan dari RW.
Dengan cara penunjukan ini, menurut informan memang tidaklah
jarang bahwa yang bersangkutan menolak untuk di jadikan kader di tingkat
desa, dengan berbagai alasan. Tetapi jika sudah di berikan pencerahan,
pengertian dan dorongan bahwa menjadi kader itu tidaklah selamanya dan
memakai sistem secara bergiliran, maka biasa anggota masyarakat yang
terpilih tersebut akhirnya mau menjadi kader. Didapati juga informasi
bahwa pemilihan kader di tingkat desa ini juga menggunakan sistem
musyawarah dengan para warga desa terlebih dahulu, sehingga proses
pengambilan pemilihan dapat diketaui oleh semua warga di lingkungan
Desa Lagadar.
Cara yang kedua adalah adanya anggota warga yang mengajukan
diri untuk menjadi kader karena merasa dapat memberikan perhatian bagi
masyarakat di lingkungan wilayahnya. Warga yang mengajukan diri
tersebut kebanyakan adalah para warga yang sebelumnya sudah pernah
terpilih menjadi anggota para kader khususnya kader posyandu di
33
lingkungan di tingkat RW. Karena memang terkadang di masyarakat
terdapat beberapa warga nya yang mempunyai “jiwa besar” sehingga terus
mengajukan diri untuk menjadi kader karena yang bersangkutan tersebut
memang pada dasarnya senang membantu orang lain. Pendapat lain di
Desa Nanjung mengungkapkan jika pemilihan kader terkadang sulit karena
menjadi kader bersifat sukarela dan tidak mendapatkan gaji.
“......Sukarela si ibunya yang itunya, ibu kadernya. Hmm, siapa yang
mau gitu. Tapi kayanya mah pada rada susah. Karena ga ada gajinya
hehe.... , jadi itu mah kita cuma ibadah weh lah, sok anu hoyongan
mangga lah ngiringan…... “ ( aparat desa, wawancara mendalam )
“...... Kalo supaya jadi kader orangnya yang proaktif gitu pak terutama
orang yang sering tahu tentang masalah masyarakat gitu pak misalnya.. dipilih pak orang itu masyarakat .........” (aparat desa, wawancara
mendalam)
Jumlah rata-rata kader dalam satu posyandu adalah 5 orang. Namun,
masih terdapat pula posyandu dengan kader kurang dari 5 orang. Untuk
mengantisipasi jumlah kekurangan kader saat pelaksanaan posyandu
terdapat posyandu yang “meminjam” kader dari posyandu lain.
“......... Jumlah kader di posyandu yang rutin mah yang pernah saya
ikutin mah 2 orang minimal ada kalo di yang lainnya ada yang 3 ........”
(tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
Di Desa Nanjung perencanaan sarana / fasilitas posyandu
dibicarakan setiap akhir tahun untuk membicarakan rencana
pembangunan desa tahun berikutnya. Di Desa Lagadar dan Katapang
sarana/fasilitas, tempat, dan dana posyandu direncanakan dalam
musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang). Sedangkan di
Desa Cilampeni, semua fasilitas di setiap posyandu sudah lengkap,
sehingga tidak dilakukan perencanaan tentang sarana.
Pada umumnya setiap posyandu sudah memiliki fasilitas alat
yang cukup lengkap seperti timbangan (dacin), timbangan injak,
34
pengukur tinggi badan, dan tensi meter. Beberapa posyandu di Desa
Lagadar sudah memiliki alat pengkur kepala.
Para informan mengatakan bahwa di setiap posyandu masih
terdapat kendala akan ketersediaan KMS. Tidak adanya KMS
disebabkan karena rusak dan banyak diantaranya yang sudah hilang dan
lahir bukan di fasilitas kesehatan. Pada saat ini di Kabupaten Bandung
KMS sudah tidak disediakan lagi maka yang dipakai saat ini adalah
buku KIA. Pada saat masih disediakan pengadaan KMS berasal dari
bantuan PKK.
“....Kami sudah tidak KMS lagi sekarang. Ia ada buku KIA ... “
(tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
“ ......Yang tidak punya itu satu, lahir tidak di pasilitas kesehatan kedua mungkin ilang nah itu tadi yang jadi masalah....” (tenaga
kesehatan, wawancara mendalam)
“.....Disini ada sebagian posyandu biasanya KMS nya disimpan,
kadang suka hilang wae ada si ibunya kadang pas mau imunisasi
di ambil mau ke dokter ada....” (tenaga kesehatan, wawancara
mendalam)
Pencatatan hasil penimbangan berat badan anak dilakukan dengan
cara yang berbeda-beda di posyandu. Sebagian kecil kader langsung
melakukan plot di KMS. Pada umumnya hasil penimbangan berat
badan anak dicatat kader di buku bantu / buku register /buku besar.
Terdapat pula kader yang mengeplot ke KMS setelah mencatat berat
badan anak di buku besar. Terkadang plot ke dalam KMS dilakukan
pada keesokan harinya. Hal ini disebabkan kurangnya kader pada waktu
pelaksanaan posyandu dan banyaknya jumlah anak yang datang pada
waktu bersamaan.
Menurut informan banyak posyandu tidak melakukan plot karena
tidak punya KMS, tidak tahu cara mengisinya dikarenakan kader
berganti- ganti, KMS dibawa oleh kader dan pengisian KMS dilakukan
setelah kegiatan posyandu selesai. Alasan lainnya tidak dilakukan plot
35
di KMS adalah karena memakan waktu cukup lama, dan jumlah kader
tidak mencukupi untuk melakukan pekerjaan yang cukup banyak.
“.........kalau misalkan ibunya males nggak mau di plot ya kalau
penggerak kadernya cuma 2 orang....” (tenaga kesehatan, wawancara
mendalam)
“........Di buku bantu-bantu baru langsung KMS .........” (kader, diskusi
kelompok)
“...... Kalo saya perhatiin KMS nya di taro di kadernya atau pada saat
diisinya saat ibunya pulang biar gak ngantri.....” (tenaga kesehatan
,wawancara mendalam)
Di Puskesmas Katapang cara pencatatan berat badan anak
menggunakan kartu bayi dan balita (kartu KIR) yang juga dipakai
sebagai pendamping buku KIA. Kader menggunakan buku kartu KIR
untuk memudahkan sistem pelaporan. Kartu KIR menggunakan kertas
warna biru untuk laki-laki dan warna merah muda untuk perempuan.
“ ..........untuk plotting itu kan ibu ibu-ibu harus ke F2,F3 sama F2 shift
nya itu harus dimasukkan di buku ternyata di KMS di plotting di buku
kan lama. Maka untuk di kader supaya dipindahkan ke buku saya tuh
punya di setiap posyandu ada namanya buku kartu KIR atau kartu
balita untuk memudahkan sistem pelaporan yah............” (tenaga
kesehatan, wawancara mendalam)
“....... untuk memudahkan kader sedikit kader banyak pakai kartu itu.
Untuk laporan kan biasanya telat-telat. Kalau sekarang kan bisa,
dulunya saya nggak mau pakai.........” (tenaga kesehatan, wawancara
mendalam)
Penilaian pertumbuhan anak umumnya mengunakan prinsip
KBM (Kenaikan Berat Badan Minimal). Dengan mengacu pada KBM
maka berat badan anak dikatakan naik jika berat badan anak tersebut
berada diatas berat badan minimal sesuai usia. Cara interpretasi lainnya
adalah dengan membandingkan berat badan anak saat penimbangan
dengan berat badan anak bulan sebelumnya. Cara interpretasi ini
dipakai para kader posyandu untuk mengetahui naik tidaknya berat
36
badan anak. Cara ini banyak dipakai di posyandu di Kabupaten
Bandung.
“..........Kalau kita kan di KMS itu ada 1 sampai 5 bulan kan misalkan
ada 800 itu kalau gak salah......... “ (kader, diskusi kelompok)
“........Dibandingkan dengan bulan kemaren ....... “(tenaga kesehatan,
wawancara mendalam)
Jika ternyata dalam penimbangan di posyandu ditemukan kasus
dimana berat badan anak tidak mengalami kenaikan atau sama dengan
berat bulan kemarin, atau ditemukan kasus gizi kurang atau gizi
buruk, maka kasus tersebut dirujuk ke puskesmas. Oleh petugas gizi
puskesmas, akan dilakukan konfirmasi pengukuran ulang. Hasil dari
pengukuran tersebut dibandingkan dengan tabel berat badan
berdasarkan tinggi badan dan umur pada tabel standar WHO. Kader
posyandu di Puskesmas Katapang akan mengirimkan foto anak yang
dicurigai mengalami gizi buruk kepada TPG untuk divalidasi.
Konseling dan penyuluhan merupakan tindak lanjut dari
pemantauan pertumbuhan yang dilakukan dalam kegiatan posyandu di
Kabupaten Bandung. Konseling dan penyuluhan terutama yang
berkaitan dengan kegiatan pemantauan pertumbuhan dan kondisi gizi
dari seorang balita biasanya di lakukan oleh petugas TPG atau oleh
bidan desa. Konseling dan penyuluhan dilakukan bila ternyata
terdapat anak yang masuk ke dalam kriteria selama dua bulan
berturut-turut tidak mengalami kenaikan berat badan (2T), berat badan
berada di bawah garis merah (BGM), atau menderita gizi kurang.
Namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama
pengambilan data, ternyata kegiatan konseling dan penyuluhan jarang
dilakukan. Kegiatan konseling dan penyuluhan dilakukan hanya jika
ada petugas kesehatan saja. Kader merasa tidak mampu untuk
melakukan konseling dan penyuluhan karena kurangnya pengetahuan
dan tidak adanya ketrampilan untuk melakukan konseling dan
penyuluhan. Alasan lain tidak dilakukannya konseling dan penyuluhan
37
adalah karena terbatasnya waktu kegiatan posyandu yang biasanya
hanya berlangsung selama sekitar 3 jam saja.
b. Pelacakan dan rujukan gizi buruk
Di Kabupaten Bandung masih didapati kasus gizi buruk. Kasus
gizi buruk itu terkadang terdeteksi ketika anak tersebut sedang berobat
ke tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit,
berkaitan dengan penyakit yang menyertainya. Menurut informan dari
Puskesmas Katapang, gizi buruk umumnya didapatkan dengan
pelacakan langsung ke masyarakat melalui kegiatan posyandu dan
pada saat bulan penimbangan balita (BPB). Jadi kasus gizi buruk
terdeteksi bukan karena masalah gizinya tetapi karena penyakit yang
menyertainya.
“....... Biasanya langsung dapet dia berobat ke pukesmas nah dari
pukesmas di laporkan, pak gizi buruk, karena dia lagi berobat
gitu.......” (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
Untuk kasus rujukan gizi buruk di wilayah Kabupaten Bandung,
pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung bekerja sama dengan
pihak rumah sakit. Selama ini tidak ada masalah dalam penanganan
rujukan kasus gizi buruk. Koordinasi dan komunikasi dengan rumah
sakit juga sudah terjalin dengan baik.
Di Puskesmas Margaasih jika ditemukan kasus gizi buruk maka
tidak langsung dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit. Akan tetapi
dilakukan pengawasan terlebih dahulu oleh petugas puskesmas yang
dibantu oleh kader. Pengawasan akan dilakukan apabila ada kasus
dimana selama 2 bulan berturut-turut hasil penimbangan anak tidak
ada kenaikan. Jika ada kasus balita gizi buruk maka akan ada tim
puskesmas yang ditugaskan untuk melihat kondisi fisik dan
melakukan konfirmasi terhadap status gizi dari anak yang dilaporkan
tersebut. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa biasanya anak
yang dilaporkan dengan gizi buruk menderita penyakit penyerta.
38
Gizi buruk yang dilaporkan akan terlebih dahulu ditangani
dengan menggunkan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
selama beberapa waktu serta dikonsultasikan ke dokter dan TPG
untuk memastikan status gizinya. Bila ternyata puskesmas tidak dapat
menangani kasus tersebut, maka kasus akan dirujuk Ke RSUD.
Di Puskesmas Katapang jika ditemukan anak dengan kondisi
gizi buruk maka akan langsung dirujuk ke puskesmas. Jika puskesmas
dapat menangani kasus tersebut maka kasus tidak perlu dirujuk ke
rumah sakit. Kasus yang akan dirujuk ke rumah sakit bila kasus
tersebut disertai dengan penyakit penyerta.
Rujukan ke rumah sakit dikoordinasikan oleh petugas TPG dan
bidan koordinator puskesmas. Penanganan gizi buruk di Puskesmas
Katapang dilakukan dengan pemantauan kasus selama 3 bulan dengan
memberikan pemberian makanan tambahan pemulihan (PMTP) serta
memberikan konseling mengenai pemberian makan bayi dan anak
(PMBA) pada keluarga dan berkoordinasi dengan dokter untuk
penanganan penyakit penyerta.
Di Desa Cilampeni bila ditemukan gizi buruk, kader akan
melaporkan ke bidan atau TPG dan akan disarankan untuk dibawa ke
puskesmas. Namun demikian kades belum pernah mendengar adanya
kasus gizi buruk di daerahnya.
Menurut Tokoh masyarakat di Desa Lagadar, jika ada anak
yang berat badannya berada di bawah garis merah, biasanya dibawa ke
puskesmas. Tindakan selanjutnya adalah dilakukan pemberian PMT
pada anak tersebut dan diberikan sedikit uang dari dana desa untuk
dipakai membuat makanan yang dapat menaikan berat badan anak
tersebut sampai berat badan normal. Namun menurut informan dari
Desa Lagadar, selama ini pihak desa belum pernah melakukan
rujukan terhadap anak yang dicurigai mengalami gangguan
pertumbuhan.
Di Desa Nanjung, langkah yang diambil jika ada kasus gizi
buruk adalah dengan melaporkan kasus tersebut ke Dinas Kesehatan
39
dan puskesmas. Selama ini posyandu di wilayah Desa Nanjung jarang
memberikan rujukan karena tidak ada gizi buruk.
c. Laporan rutin bulanan Posyandu (Laporan SKDN)
Data SKDN di setiap posyandu dicatat di buku besar kader
untuk selanjutnya diberikan ke bidan desa setiap bulannya untuk
dilakukan rekapitulasi, lalu data SKDN tersebut diserahkan ke petugas
gizi puskesmas (TPG). Data-data SKDN yang diterima oleh
puskesmas diolah TPG sesuai dengan kebutuhan puskesmas. Data-
data ini kemudian akan diteruskan ke bagian gizi Dinas Kesehatan.
Data diterima oleh pihak Dinas Kesehatan dalam bentuk data
asli berupa angka. Lalu data direkap dalam bentuk grafik SKDN. Data
tersebut digunakan sebagai bahan evaluasi program yang dilakukan
setiap awal tahun (desinfo). Di tingkat Dinas Kesehatan, data-data
yang diterima dari puskesmas akan digunakan untuk keperluan
program seperti pencapaian target yang harus dipenuhi.
Untuk laporan ke propinsi dalam data SKDN diberikan dalam
bentuk format LB.3 (sesuai dengan format yang telah disediakan.
Propinsi akan mengolah data sendiri dalam bentuk setiap kabupaten.
Data SKDN untuk laporan ke propinsi disajikan dalam form laporan
bulanan (LB.3)
B. Analisis Situasi Pangan dan Gizi
Analisis situasi pangan dan gizi dilakukan di tingkat kabupaten/kota. Di
Kabupaten Bandung analisis situasi pangan dan gizi baru dilakukan sekali yaitu
pada tahun 2014. Instansi yang menyelenggarakannya adalah SKPG yang
bekerjasama dengan perguruan tinggi. Pertemuan tersebut membahas data
tentang situasi pangan dan daya beli. Hasil pembahasan tersebut dilaporkan ke
bupati, sebagai dasar untuk mengeluarkan intruksi ke dinas terkait. Hingga
saat ini belum ada lagi kegiatan analisis data dikarenakan seringnya terjadinya
rotasi kepemimpinan di BKP3 sebagai ketua tim SKPG. Kegiatan pertemuan
dan analisis data di SKPG tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya
40
berkoodinasi dengan sektor lain dimana kegiatannya saling menyampaikan
data-data yang sudah ada.
Di Kabupaten Bandung Dewan Ketahanan Pangan (DKP) disebut juga
sebagai tim SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) yang dibuat
berdasarkan SK Bupati. Anggota Tim SKPG diantaranya berasal dari BKMPD,
Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kesra, BKP3 (Badan ketahanan pangan dan
penyuluh pertanian), Dinas Peternakan, dan Bappeda dengan diketuai oleh
ketua BKP3.
C. Diseminasi
Di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung kegiatan diseminasi
biasanya dilakukan pada awal tahun, di acara desinpo. Pada diseminasi tersebut
dipaparkan capaian program tahun sebelumnya dan rencana program ditahun
yang akan berjalan. Diseminasi tersebut dihadiri oleh tenaga kesehatan dari
puskesmas. Selanjutnya, tenaga kesehatan tersebut diharapkan akan
meneruskan informasi yang telah didapatkan kepada lingkungan sekitarnya,
seperti kepada aparat desa.
Di Puskesmas Margaasih kegiatan diseminasi dilakukan dalam rapat
koordinasi sebulan sekali dengan peserta terdiri dari unit-unit yang ada seperti
kecamatan dan kesehatan. Peserta diseminasi terdiri dari aparat desa (kepala
desa), masyarakat, kader, dan tenaga kesehatan dari Puskesmas (bidan desa).
Diseminasi biasanya diselenggarakan di balai desa. Hasil dari diseminasi
digunakan untuk penekanan kepada masyarakat yang belum memanfaatkan
puskesmas dan posyandu. Hasil diseminasi ini juga dijadikan dasar bagi
program gizi puskesmas untuk melakukan intervensi pemberian makanan
tambahan berupa susu atau makanan.
Pertemuan masyarakat di Desa Lagadar, menurut informan dilakukan
rutin 2 bulan sekali yang dihadiri oleh semua perangkat desa. Pertemuan
membahas segala yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan sesuai
dengan rencana kegiatan desa pertahunnya.
Pertemuan laporan posyandu dilakukan setiap akhir tahun bersamaan
dengan pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang)
41
desa, yang dihadiri oleh perwakilan kader, yankes puskesmas, aparat desa, ibu
kades, guru, tokoh masyarakat, dan badan permusyawaratan desa (BPD).
Kegiatan musrenbang tersebut biasanya diadakan di balai desa. Salah satu
materi yang dibicarakan dalam kegiatan musrenbang adalah kebutuhan
anggaran untuk kegiatan posyandu, misalnya dana untuk PMT. Menurut
informasi yang didapatkan, saat ini tiap posyandu mendapat bantuan dana
untuk PMT dari desa sebesar 150 ribu per bulan. Musrenbang adalah forum
perencanaan (program) yang dilaksanakan oleh lembaga publik yaitu
pemerintah desa, bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya.
Musrembang yang bermakna akan mampu membangun kesepahaman tentang
kepentingan dan kemajuan desa, dengan cara memotret potensi dan sumber-
sumber pembangunan yang tersedia baik dari dalam maupun luar desa14
Di Desa Nanjung, pertemuan desa yang membahas masalah posyandu
dilakukan di 4 kegiatan pertemuan. Pertama adalah pada kegiatan rapat rutin
bulanan PKK, kedua di pertemuan rutin PKK kecamatan yang diadakan 3
bulan sekali, ketiga pada lokakarya mini kecamatan yang dilakukan 6 bulan
sekali dan keempat pada forum desa siaga. Selain membahas masalah
posyandu dalam pertemuan tersebut dibahas masalah lainnya seperti rencana
pembangunan desa.
Di Puskemas Katapang diseminasi dilakukan dua kali dalam setahun.
Di tingkat desa, juga dilakukan lokakarya mini. Salah satu desa di Puskesmas
Katapang, yaitu Desa Katapang melakukan pertemuan desa 3-4 kali setahun.
Namun tidak ada pertemuan khusus yang membicarkan posyandu. Topik yang
disampaikan dalam pertemuan tersebut biasanya mengenai pembangunan desa
secara keseluruhan termasuk di dalamnya adalah pembahasan mengenai
posyandu dan upaya meningkatan kesehatan masyarakat. Tempat pertemuan
dilakukan di kantor desa dengan alasan kantor desa merupakan daerah yang
dianggap netral serta tidak memilah dan tidak memihak pada satu golongan
saja sehingga informasi bisa lebih menyebar.
Sementara itu di Desa Cilampeni diadakan pertemuan rutin tiap kepala
dusun setiap 1 atau 2 bulan sekali bertempat di rumah RW/kantor RW. Peserta
pertemuan adalah kader, PKK, pendamping gizi, dan PLKB. Selain pertemuan
42
masyarakat desa, ada juga kegiatan musyawarah perencanaan dan
pembangunan (Musrenbang) yang diadakan rutin setahun sekali.
4.Survei terkait gizi di Kabupaten Bandung
Di Kabupaten Bandung survei gizi dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu
pada saat Bulan penimbangan balita (BPB) dan saat survei Pemantauan status
gizi (PSG). Kegiatan PSG dilaksanakan setahun sekali sejak tahun 2014.
Dalam kegiatan PSG, persiapan yang dilakukan Dinas Kesehatan adalah
mengirimkan perwakilan tenaga kesehatan dari kabupaten ke propinsi untuk
dilatih.
Pada kegiatan PSG tidak semua balita diukur tetapi hanya dipilih
beberapa sampel balita dalam satu wilayah. Variabel yang dikumpulkan
diantaranya adalah data data BB, TB dan lingkungan. Data-data PSG tidak
dianalisis oleh pihak Dinas Kesehatan, tetapi Dinas Kesehatan hanya menerima
hasil. Data-data PSG tersebut dimanfaatkan sebagai bahan referensi untuk
perencanaan program di Dinas Kesehatan.
Dalam kaitanya dengan survei gizi di Kabupaten Bandung, Kegiatan
BPB dilaksanakan setahun sekali. Adapun data-data yang dikumpulkan dalam
kegiatan BPB adalah data-data mengenai berat badan dan tinggi badan anak.
Data-data dalam kegiatan BPB ini menunjukkan status gizi balita.
Untuk pelaksanaan BPB, pihak Dinas Kesehatan menyiapkan
pelatihan penyegaran materi antropometri kepada kader. Pemberian
penyegaran materi kepada kader ini dimaksudkan untuk membantu tenaga gizi
yang dirasakan masih kurang. Pelatihan penyegaran ini diberikan juga kepada
para petugas kesehatan. Selanjutnya petugas mengajarkan kepada kader.
Pemberian pelatihan kepada kader dan petugas ini agar kader dapat
mendampingi petugas dalam pelaksanaan BPB di daerahnya. Kader yang
menerima pelatihan diprioritaskan adalah kader baru. Sebagai alat bantu
pelaksanaan kegiatan BPB, Dinas Kesehatan mencetak poster dan leafet cara
mengukur BB/ TB yg benar. Leaflet dan poster ini juga berfungsi sebagai
media pengingat bagi kader dan petugas kesehatan. Dalam rangkaian kegiatan
BPB, diadakan juga kegiatan monitoring dan validasi untuk keabsahan data
43
yang diperoleh. Seluruh kegiatan dalam BPB ini dibiayai dengan anggaran
yang berasal dari dana bantuan operasional kesehatan (BOK).
Survei BPB dikelola oleh kabupaten dan data hasil BPB dilaporakan
ke Dinas Kesehatan propinsi. Hasil survei BPB ini dapat menggambarkan
status gizi balita di posyandu, desa, dan kecamatan. Jika ternyata ditemukan
gizi buruk maka kasus tersebut akan dilacak pada akhir tahun.
BPB bagi institusi kesehatan, dimanfaatkan sebagai bahan untuk
intervensi dan untuk mengetahui besaran masalah gizi yang ada di suatu
daerah. Selama ini besaran masalah gizi dianggap bukan masalah kesehatan
masyarakat. Penyebab kasus gizi buruk bukan karena kurang makan dan daya
beli yang kurang, tetapi disebabkan karena kelainan kongenital maupun cacat
bawaan. Hasil dari BPB biasanya akan didiseminasikan pada akhir tahun.
44
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan kegiatan surveilans gizi di Kabupaten Bandung
Surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan yang teratur dan terus menerus
terhadap masalah gizi masyarakat dan faktor-faktor yang terkait, melalui kegiatan
pengumpulan data/informasi, pengolahan dan analisis data, dan diseminasi
informasi pada stake holder untuk digunakan sebagai bahan pengambilan
keputusan, kebijakan yang akan dilaksanakan dan untuk mengambil tindakan
segera apabila diperlukan8. Surveilans digunakan untuk isyarat dini dan intervensi,
perencanaan dan advokasi, monitoring program serta evaluasi15.
Adapun tujuan dari surveilans gizi adalah untuk mendapatkan informasi yang
dapat digunakan untuk keentingan program, untuk memantau kondisi penduduk,
untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi berisiko (sebagai sistem
peringatan isyarat dini), untuk mengidentifikasi tren status gizi dari waktu ke
waktu, untuk memantau hasil intervensi, dan untuk memonitor status gizi
penduduk16. Dalam kegiatan surveilans gizi terdapat 3 kegiatan penting yaitu
pengumpulan data, analisis data dan diseminasi8.
1. Pengumpulan Data
Kegiatan surveilans gizi dimulai dengan pengumpulan data dari berbagai
sumber. Data yang dikumpulkan meliputi data gizi dan faktor terkait yang
dilakukan secara terus menerus dan teratur termasuk pelacakan balita gizi
buruk. Kegiatan surveilans gizi didasarkan pada pengumpulan data reguler
tentang keadaan gizi dan faktor yang mempengaruhinya17.
Pengumpulan data tersebut bermanfaat sebagai deteksi dini atau isyarat
dini bagi masalah kesehatan. Komponen penting dalam isyarat dini terdiri dari
pemantauan pertumbuhan, rujukan dan pemanfaatan laporan bulanan.
Kegiatan pokok dari pemantauan pertumbuhan balita adalah
mengumpulkan data hasil penimbangan, menghitung proporsi balita yang naik
dan tidak naik timbangannya, mengkaji perubahan kecenderungan perubahan
antar waktu, melaporkan hasil pemantauan (diseminasi), dan melakukan
tindakan bila diperlukan di tingkat individu maupun masyarakat8. Pemantauan
45
pertumbuhan adalah pemantauan terus menerus dari pertumbuhan pada anak-
anak. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi terjadinya gangguan
pertumbuhan pada tingkat individu, dan membantu untuk memperbaiki
masalah tersebut dengan tepat. Selain untuk mengidentifikasi terjadinya
gangguan pertumbuhan tujuan lain dari pemantauan pertumbuhan adalah
mengetahui status gizi setiap anak18. Pemantauan tersebut dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan atau anggota terlatih dari masyarakat di
desa-desa (berbasis masyarakat)17.
Pemantauan pertumbuhan yang dilakukan di desa dengan anggota terlatih
adalah dilakukan di posyandu. Kegiatan pelaksanaan posyandu di Kabupaten
Bandung pada umumnya dilaksankan sebulan sekali di masing-masing RW.
Sebagian posyandu telah mempunyai tempat sendiri, akan tetapi sebagian yang
lain belum mempunyai tempat sendiri. Mereka melakukan kegiatannya di
kantor RW atau rumah RT/ RW/ kader. Posyandu dilaksanakan oleh para kader
dengan dibantu oleh tenaga kesehatan maupun warga setempat.
Dalam kegiatan posyandu terdapat 5 meja, yaitu (1) pendaftaran, (2)
penimbangan, (3) plot hasil penimbangan dan penilaian pertumbuhan, (4)
konseling bagi ibu balita/pengasuh dan (5) pelayanan gizi dan kesehatan dasar.
Kegiatan pendaftaran dan penimbangan telah dapat dilakukan dengan baik oleh
kader. Diawali dengan menera timbangan hingga menunjuk angka “nol”
sebelum digunakan.
Di Kabupaten Bandung, kader sudah memahami tahapan mengenai
kegiatan 5 meja di posyandu. Namun dari hasil observasi di lapangan masih
ada beberapa hal yang belum sesuai dengan yang seharusnya. Misalnya dalam
hal kegiatan 5 meja di posyandu tidak dilakukan sesuai dengan yang
seharusnya.
Untuk kegiatan penimbangan, kader sudah memahami cara menimbang
dengan benar. Akan tetapi pada pelaksanaan di lapangan tidak dilakukan. Hal
ini kemungkinan terjadi karena adanya pergantian peran kader dalam
menimbang, padahal tidak semua kader telah mendapatkan pelatihan cara
menimbang yang benar. Selain itu kader yang telah mendapat pelatihan tidak
membagi hasil dari pelatihan tersebut dengan kader lainnya.
46
“..... pilih satu posyandu satu orang (kader), nanti mereka yg ngasih tau ..... “
(tenaga kesehatan)
“..... kadernya sudah dilatih pas pelaksanannya tidak ada.......” (tenaga
kesehatan)
“.....kadernya sudah dilatih tapi lupa ngasih tau yang lainnya.......” (tenaga
kesehatan)
Hasil penimbangan tersebut tidak langsung diplot di KMS. Sebagian besar
kader di Kabupaten Bandung mencatat hasil penimbangan berat badan anak di
buku bantu/buku register/buku besar. Setelah berat badan dicatat di buku basar
selanjutnya berat badan anak baru diplot di KMS yang dilakukan pada
keesokan harinya atau hari lain setelah penimbangan. Alasan kader karena
kurangnya jumlah kader pada waktu pelaksanaan posyandu dan banyaknya
jumlah anak yang datang pada waktu bersamaan. Selain itu, menurut informan
banyak posyandu tidak melakukan plot karena tidak punya KMS, tidak tahu
cara mengisinya (kader berganti- ganti), KMS dibawa oleh kader lainnya, dan
dianggap memakan waktu cukup lama sedangkan jumlah kader tidak
mencukupi.
“ ....tapi kebanyakan “aduh teteh rusak hoyong deui atuh”, nah besoknya lagi
mana KMS nya “aduh di bawa teuing di mana” suka gitu hahahaha suka gitu
hehe teh muhun tapi hampir 60 persen mah punya....” (diskusi kelompok kader,
wawancara mendalam)
“......kalau misalkan ibunya males nggak mau di plot ya kalau penggerak
kadernya cuma 2 orang ...... “ (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
Seharusnya kegiatan ploting di KMS langsung dilakukan setelah
penimbangan. Tujuannya agar bisa langsung mengetahui apakah berat badan
anak tersebut naik atau tidak naik. Pencatatan di buku besar/buku register/buku
bantu dapat dilakukan untuk memudahkan pencatatan laporan tapi seharusnya
langsung dilakukan plot berat badan KMS pada hari yang sama dengan
kegiatan posyandu. Pemantauan berat bayi dan anak dilakukan setiap bulan
dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). Anak dinyatakan sehat jika
berat badannya naik setiap bulan yaitu grafik berat badan mengikuti garis
47
pertumbuhan atau kenaikan berat badan sama dengan kenaikan berat badan
minimum atau lebih yang masih berada di dalam pita hijau KMS19.
Dengan langsung melakukan plot di KMS maka kader dapat
menginformasikan secara langsung penilaian pertumbuhan anak saat
penimbangan (naik, tetap, atau turun). Sehingga bila ada anak yang mengalami
masalah gizi dapat langsung terdeteksi (deteksi dini) dan segera dapat dirujuk.
Hasil observasi dan wawancara di lapangan, interpretasi kenaikan berat
badan dilakukan dengan membandingkan berat badan anak bulan ini dengan
bulan kemarin (asal naik). Selain itu juga beberapa kader menginterpretasikan
kenaikan berat badan anak dengan membandingkan antara berat badan anak
dan kenaikan berat badan minimal (KBM). Namun, menurut kader untuk berat
badan yang mengalami kenaikan walaupun masih di bawah KBM tetap
dikatakan anak naik berat badannya untuk memotivasi ibu agar tetap semangat
menimbangkan anaknya.
Cara interpretasi penilaian pertumbuhan seharusnya berdasarkan plot pada
KMS. Bukan dengan cara membandingkan berat badan anak saat ditimbang
bulan ini dengan bulan sebelumnya (asal naik), juga bukan dengan cara
membandingkan berat badan anak dengan kenaikan berat badan minimal
(KBM). KBM digunakan sebagai alat bantu bila terjadi kesulitan dalam
interpretasi garis. KBM merupakan hasil dari standar rata-rata kenaikan berat
badan anak yang normal. Padahal, tinggi badan anak berbeda-beda sehingga
pastinya kenaikan berat badannya pun akan berbeda. Namun yang terjadi di
lapangan adalah menggunakan KBM dan asal naik saja untuk interpretasi
pertumbuhan dan mengabaikan plot grafik garis dalam KMS.
“..... Kadang gini bu kalau kemarin anak saya beratnya 9,2 ons pas di
timbang sekarang 9,3 naik bu ahamdulillah gitu hahahhahaa… walaupun itu
naik 1 ons kalau saya bilangnya menurut KBM itu mah tidak naik kasian
bundanya takutnya nanti gak ke posyandu lagi hehehe…”( kader, diskusi
kelompok)
“Misalkan memenuhi KBM sama bilang di katakan naik cuman ibu belum
memenuhi standar yang di tentukan di KMS gitu kalau saya mah gitu...”
(kader, diskusi kelompok)
48
Dengan tidak dilakukannya plot pada KMS, kemungkinan besar
interpretasi kenaikan berat badan anak menjadi tidak tepat sehingga ada
kemungkinan anak yang seharusnya dirujuk menjadi tidak dirujuk. Anak yang
dirujuk adalah anak dengan kondisi tidak naik 2 bulan berturut-turut atau
berada di bawah garis merah (BGM).
Namun hasil temuan di lapangan, anak yg dirujuk adalah anak yang sangat
kurus atau dengan penyakit penyerta seperti TB dan anak yang BGM selama
dua bulan berturut-turut. Rujukan tidak dilakukan dengan menggunakan
formulir rujukan melainkan menggunakan alat komunikasi atau secara lisan.
Selanjutnya TPG akan melakukan konfirmasi berat badan dan tinggi badan
anak yang dirujuk dengan membandingkan dengan standar WHO untuk
memastikan anak tersebut perlu penanganan lebih lanjut.
Terdapat perbedaan cara dalam menangani rujukan di dua puskesmas yang
berbeda. Ada puskesmas yang memberikan konseling dan makanan tambahan
(PMT) selama 3 bulan bagi pasien tidak mampu dan hanya konseling saja bagi
pasien mampu. Konseling yang diberikan diantaranya mengenai pemberian
makan bayi dan anak, serta diajarkan mengenai menu makanan sehat.
Sementara itu di puskesmas yang lainnya rujukan hanya diberikan bagi
balita BGM dua kali berturut-turut. Untuk memastikan status gizinya, anak
tersebut dikonsultasikan ke dokter dan TPG. Penanganannya terlebih dahulu
diberikan program PMT selama beberapa waktu. Apabila selama 2 kali
berturut-turut penimbangan tidak ada perubahan, maka akan dirujuk ke rumah
sakit. Untuk rujukan yang tidak dapat ditangani di kedua puskesmas tersebut,
maka anak akan diujuk ke RSUD. Dalam pedoman penanganan balita yang
harus dirujuk, apabila anak balita telah mengalami BGM atau berat badannya
selama 2x berturut-turut tidak naik harus langsung dirujuk ke puskesmas.
Di Kabupaten Bandung masih terdapat balita gizi buruk dan gizi kurang.
Temuan kasus gizi buruk dan gizi kurang tidak selalu berasal dari posyandu,
melainkan dapat ditemukan di puskesmas atau rumah sakit saat anak tersebut
sedang berobat.
49
“ .....kadang-kadang gizi buruk datang bukan karena gizi buruknya kerumah
sakit karena sakitnya kan karena gizi buruk itu kan jarang murni dengan
penyakit penyerta jadi bukan gizi buruknya dia datang tapi penyakitanya.........
“ (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
Kasus gizi buruk dan gizi kurang yang tidak terdeteksi melalui posyandu
umumnya disebabkan karena balita tersebut jarang atau tidak pernah datang ke
posyandu padahal dengan adanya posyandu seharusnya balita tersebut dapat
dicegah untuk menjadi gizi kurang atau gizi buruk melalui pemantauan
pertumbuhan dan konseling.
Melalui kegiatan konseling, ibu balita akan mendapatkan layanan
konsultasi mengenai pola asuh dan cara pemberian makanan yang sehat.
Namun, pada kenyataannya tidak semua ibu balita mendapatkan pelayanan
konseling tersebut. Menurut ibu balita kegiatan konseling tidak rutin dilakukan.
Konseling hanya dilakukan bila ada tenaga kesehatan yang hadir di posyandu.
Kader masih belum berani untuk melaksakan konseling. Padahal seharusnya
kader dapat melakukan konseling. Alasan lain tidak adanya kegiatan konseling
di posyandu adalah keterbatasan waktu.
“....kenapa penyuluhan tidak jalan, karna tingkat pengetahuan kader kurang
dan jumlah kader kurang......” (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
“ ....... Konseling dilakukan untuk anak yang 2T (tdk naik BB nya 2x). Jika
dilakukan konseling untuk semua anak tidak keburu dan memakan waktu
..........” (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
2. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dapat dilakukan secara deskriptif maupun analitik yang
disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik, gambar dan peta atau bentuk
penyajian informasi lainnya. Data surveilans gizi terkait dengan pemantauan
pertumbuhan balita meliputi data SKDN, yang dilaporkan secara berkala setiap
bulan.
Indikator data SKDN terdiri dari data seluruh balita yang terdaftar (S),
Balita yang memiliki KMS (K), balita yang ditimbang (D), balita yang naik
timbangannya (N)8. Idealnya, seluruh balita terdaftar, memiliki KMS, setiap
bulan seluruhnya ditimbang dan naik timbangannya. Data utama yang dapat
50
dipantau secara berkala dan dapat segera cepat mengetahui potensi timbulnya
masalah gizi adalah data hasil pemantauan pertumbuhan balita melalui
penimbangan bulanan di posyandu. Hasil pemantauan tersebut dapat
menunjukan indikator tingkat kesehatan balita (N/D), tingkat partisipasi
penimbangan (D/S), maupun cakupan program (K/S).
Data yang dikumpulkan di posyandu diserahkan kader kepada bidan desa.
Selanjutkan diserahkan ke TPG untuk direkap. Setelah data ditandatangani oleh
kepala puskesmas maka data akan diserahkan ke Dinas Kesehatan. Di tingkat
puskesmas data SKDN digunakan untuk pemantauan wilayah setempat (PWS)
dalam melihat kunjungan balita ke posyandu serta sebagai dasar untuk
bimbingan teknis posyandu dengan kriteria D/S rendah dan N/D rendah.
“.....didinas setahun sekali bikin grafiknya.....” (tenaga kesehatan, wawancara
mendalam)
“....D/S tahun sekarang, 2014, 2015, per bulannya ngga dibuat....” (tenaga
kesehatan, wawancara mendalam)
Pengolahan data di tingkat puskesmas hanya sebatas menghitung
persentase cakupan. Padahal seharusnya data tersebut diolah dan disajikan
dalam bentuk grafik bulanan untuk melihat perkembangan cakupan setiap
bulan sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi masalah dapat segera
ditindaklanjuti. Kenyataannya di lapangan pemanfaatan data SKDN di
puskesmas hanya sebatas untuk laporan ke dinas dan pengarsipan tanpa adanya
tindak lanjut dari data tersebut.
Data diterima oleh pihak Dinas Kesehatan dalam bentuk data asli berupa
angka. Lalu data direkap dalam bentuk grafik SKDN. Data cakupan yang
sering digunakan adalah D/S dan N/D. Saat ini di Kabupaten Bandung tidak
ada lagi pengadaan KMS. Sebagai gantinya adalah pengadaan buku KIA yang
dikelola oleh program KIA. Distribusi buku KIA hanya melalui fasilitas
pelayanan kesehatan.
Data SKDN digunakan oleh Dinas Kesehatan untuk evalusi program dan
perencanaan kegiatan tahun selanjutnya Data dibahas dan dibuat grafik setahun
sekali lalu hasilnya ditampilkan di papan informasi yang terdapat di selasar
51
kantor Dinas Kesehatan. Padahal seharusnya data SKDN diolah secara teratur
setiap bulan dalam bentuk grafik agar permasalahan yang terjadi dapat segera
terdeteksi untuk dapat ditindaklanjuti dan bukan hanya sebatas digunakan
untuk pelaporan. Analisis harus dilakukan secara berkala untuk
mengidentifikasi perubahan masalah gizi dan terkait pelaporan penyakit. Data
yang dihasilkan dari analisis harus ditinjau secara teratur dan digunakan
sebagai umpan balik untuk pengelola program 17.
Data SKDN oleh Dinas Kesehatan digunakan sebagai bahan evaluasi
program yang dilakukan setahun sekali. Data SKDN juga berguna sebagai
bahan advokasi bagi perencana keuangan untuk mengeluarkan kebijakan.
Misalnya untuk mengganggarkan dana PMT. Data dari Dinas Kesehatan
kabupaten selanjutnya akan diserahkan ke propinsi secara rutin setiap
bulannya. Di tingkat propinsi data tersebut biasanya akan dilihat trend dari
bulan ke bulan. Sementara itu, sektor lain yang biasa meminta data SKDN
diantaranya adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMPD), Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian (BKP3), dan Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Kegiatan–kegiatan tersebut sebaiknya dilakukan juga monitoring secara
terus menerus terhadap indikator terkait untuk meningkatkan kewaspadaan
(peringatan dini) tentang kemungkinan terjadinya masalah, yang dapat
berakibat pada munculnya masalah gizi. Informasi ini dapat dijadikan dasar
dalam upaya pencegahan dini terjadinya masalah kurang gizi dan menentukan
jenis tindakan yang diperlukan8
Di Kabupaten Bandung analisis situasi pangan dan gizi yang melibatkan
lintas sektor baru dilakukan sekali yaitu pada tahun 2014. Kegiatan ini
dikoordinir oleh Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang
bekerjasama dengan perguruan tinggi. Pertemuan tersebut membahas data
tentang situasi pangan dan daya beli. Hasil pembahasan tersebut dilaporkan ke
bupati, sebagai dasar untuk mengeluarkan intruksi ke dinas terkait.
Kegiatan analisis situasi pangan dan gizi seharusnya dilakukan secara
rutin. Pada akhir tahun berjalan, hasil analisis dijadikan rekomendasi untuk
penyesuaian kebijakan dan perencanaan ulang pangan dan gizi periode
52
selanjutnya dengan menggunakan data yang tersedia. Demikian seterusnya,
proses ini berulang-ulang yang merupakan siklus yang berkesinambungan8.
Analisis berkelanjutan dari data surveilans berguna untuk mendeteksi adanya
penyakit, mengidentifikasi kenaikan atau penurunan masalah gizi, dan
mengevaluasi program dan kebijakan17.
3. Diseminasi
Diseminasi informasi dilakukan untuk menyebarluaskan informasi
surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan diseminasi informasi
dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik, sosialisasi atau
advokasi9.
Kegiatan diseminasi dilakukan secara rutin di desa-desa. Seperti
musrembang, lokakarya mini (lokmin) dan lokakarya bulanan (lokbul). Namun
diseminasi yang dilakukan jarang mengangkat permasalahan di posyandu. Data
yang ada jarang digunakan untuk mengatasi permasalahan di lapangan.
Sementara itu di tingkat Dinas Kesehatan kabupaten, kegiatan diseminasi
terkait dengan pemantauan pertumbuhan dilakukan setahun sekali yaitu pada
saat desinfo.
Berdasarkan fakta-fakta diatas dapat dinyatakan bahwa di Kabupaten
Bandung kegiatan rutin posyandu berupa penimbangan bulanan sudah berjalan
baik tapi belum melaksanakan fungsi pemantauan pertumbuhan. Hal ini dapat
dilihat dengan belum berjalannya prosedur rujukan dari hasil pemantauan
pertumbuhan. Laporan rutin juga sudah ada tapi belum dimanfaatkan untuk
keperluan surveilans. Analisis situasi pangan dan gizi belum dilakukan secara
rutin dan teratur sehingga pemanfaatannya belum nampak.
B.Pendukung dan penghambat dalam Pelaksanaan Kegiatan surveilans
Faktor pendukung berjalannya kegiatan surveilans gizi di tingkat
puskesmas dan posyandu diantaranya adalah tenaga kesehatan dan kader aktif,
jadwal pelaksanaan posyandu yang berjalan secara rutin, tersedianya alat
penimbangan di setiap posyandu, terdapat data dari puskesmas yang diberikan
pada pihak Dinas Kesehatan kabupaten, tersedianya fasilitas untuk mengolah
53
data (komputer), sudah terbentuknya DKP berdasarkan SK bupati, dan adanya
dana bantuan untuk PMT dari sektor kesehatan dan sektor lain.
Adapun kendala belum berjalannya kegiatan surveilans adalah fungsi
pemantauan pertumbuhan belum sepenuhnya dilaksanakan di posyandu.
Kendala tersebut diantaranya adalah :
a. Kurangnya pemahaman petugas kesehatan tentang surveilans termasuk
kurangnya memanfaatkan data dan memahami pentingnya pemantauan
pertumbuhan secara benar
b. Belum dipahaminya pemantauan pertumbuhan balita di posyandu secara
benar. Pemantauan pertumbuhan ini berperan sebagai isyarat dini terhadap
gangguan pertumbuhan anak. Fungsi pemantauan pertumbuhan di posyandu
tidak berjalan. Hal yang selama ini dilakukan adalah penimbangan rutin
setiap bulan di posyandu. Selain itu terjadi pula ketidaksesuaian
menginterpretasikan status pertumbuhan anak yaitu dengan menggunakan
asal naik dan KBM tanpa melihat garis pertumbuhan anak
c. Analisis situasi pangan dan gizi belum dilakukan sehingga belum nampak
adanya perencanaan yang terintergrasi dalam penanganan masalah gizi.
Selain itu belum adanya perhatian dari pemda terhadap pentingnya
surveilans gizi sebagai alat yang memberikan info untuk pengambilan
kebijakan atau keputusan/ perencanaan/ tindakan.
d. Kader banyak yang tidak memahami konsep pemantauan pertumbuhan, Hal
tersebut dapat disebabkan karena kader jarang mendapatkan
penyegaran/pembinaan secara periodik. Belum dipahaminya konsep
pemantauan pertumbuhan menyebabkan fungsi posyandu dalam memantau
pertumbuhan balita menjadi tidak sesuai dan hal tersebut dibiarkan
berlangsung terus. Selain itu pembinaan tentang kegiatan pelaksanaan di
posyandu untuk menambah pengetahuan kader pun jarang dilakukan.
Padahal, pengetahuan kader yang baik sebagai pelaksana kegiatan posyandu
sangat diperlukan. Biasanya pelatihan kader tentang cara menimbang
dilakukan menjelang pelaksanaan bulan penimbangan balita.
54
“..............Pelatihan kader ada. Ehmm... menjelang BPB pada bulan Juli,
bagaimana cara menimbang dan mengukur yang baik dan benar
.......“(tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
e. Belum aktifnya Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sebagai wadah untuk
menggodok informasi-informasi yang berasal dari surveilans gizi, walaupun
DKP sudah dibentuk oleh SK Bupati tentang Pembentukan Tim SKPG
Kabupaten Bandung Tahun 2010 dengan nomor 521/Kep.170–BKPPP/2010
f. Kurangnya tenaga SDM tenaga pelaksana gizi (TPG) di wilayah Kabupaten
Bandung. Menurut seorang informan, TPG di lingkungan Dinas Kesehatan
hanya berjumlah 25 orang. Banyak pula tenaga kesehatan yang mempunyai
pekerjaan double seperti menjadi bendahara, dan sering terjadi rolling
sehingga ilmunya berbeda kembali dan harus diback up kembali.
“ ... kita jadi keteter ngerjainnya., sekarang mah kerjaannya tetap orangnya
kurang..” (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
g. Masih terdapat balita yang tidak mempunyai KMS. Dengan tidak dimilikya
KMS menyebabkan hasil penimbangan berat badan anak tidak diplot ke
dalam KMS. Menurut salah satu informan sudah sekitar 3 tahun ini tidak
ada KMS. Sebagai gantinya adalah adanya buku KIA. Namun, buku KIA
diberikan saat kehamilan, yaitu pada saat ibu memeriksakan kehamilan di
tenaga kesehatan setempat. Jadi anak balita yang tidak memeriksakan
kehamilannya di tenaga kesehatan tidak memiliki KMS / buku KIA. Selain
itu banyak pula terjadi kehilangan atau kerusakan buku KIA / KMS.
“...... kesepakatannya yang bisa mengeluarkan buku KIA itu bidan..” (tenaga
kesehatan, wawancara mendalam)
“ ....kalau yg tidak punya buku KIA itu tidak memeriksakan kehamilannya di
fasilitas kesehatan......” (tenaga kesehatan, wawancara mendalam)
55
KESIMPULAN
1. Di Kabupaten Bandung kegiatan posyandu sudah berjalan rutin dilakukan
setiap bulan namun belum melaksanakan fungsi pemantauan pertumbuhan.
Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya pengukuran berat badan hasil
penimbangan yang tidak di plot. Dengan tidak dilalukannya plotting tersebut
penilaian penilaian pertumbuhan anak tidak didasarkan garis pertumbuhan
anak pada KMS melainkan menggunakan sistem asal naik dan KBM
(kenaikan berat badan minimal). Sistem rujukan ke puskesmas belum
sepenuhnya dilakukan. Sementara itu laporan rutin sudah ada tapi belum
dimanfaatkan untuk keperluan surveilans. Analisis situasi pangan dan gizi
belum dilakukan secara rutin dan teratur sehingga pemanfaatannya belum
nampak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan
surveilans gizi belum berjalan.
2. Faktor pendukung berjalannya kegiatan surveilans gizi di tingkat puskesmas
dan posyandu diantaranya adalah tenaga kesehatan dan kader aktif, jadwal
pelaksanaan posyandu yang berjalan rutin, tersedianya alat penimbangan di
setiap posyandu, terdapat data dari puskesmas yang diberikan pada pihak
Dinas Kesehatan kabupaten, tersedianya fasilitas untuk mengolah data
(komputer), sudah terbentuknya DKP dan adanya dana bantuan untuk PMT.
Faktor penghambat berjalannya kegiatan surveilans gizi adalah kurangnya
pemahaman tentang surveilans gizi dan pemantauan pertumbuhan balita di
posyandu secara benar, kurangnya pembinaan kader, belum aktifnya DKP
dan masih adanya anak balita yang tidak memiliki KMS / buku KIA.
56
SARAN
Diperlukan sosialisasi pentingnya kegiatan surveilans di tingkat
pemerintah daerah. DKP (Dewan Ketahanan Pangan) Kabupaten Bandung
diaktifkan kembali dan kegiatan pembinaan kader (termasuk tentang pemantauan
pertumbuhan) untuk menambah pengetahuan kader sebaiknya rutin dilakukan.
Selain itu sebaiknya dilakukan reposisi posyandu sebagai sarana pemantauan
pertumbuhan. Untuk bidang penelitian, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan
tentang pendampingan pemantauan pertumbuhan di tingkat posyandu sampai
level Dinas Kesehatan.
57
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Rekomendasi yang dapat diberikan dari penelitian ini terkait dengan
kegiatan surveilans gizi adalah :
1. Posyandu harus direposisi sebagai sarana pemantauan pertumbuhan balita.
2. Perlu dilakukan sosialisasi bagi pemerintah daerah tentang pentingnya
surveilans gizi bagi pemda.
3. Capacity building perlu dilakukan untuk implementasi surveilans gizi
4. DKP perlu difungsikan kembali agar informasi hasil olah surveilans gizi dapat
dibahas untuk menjadi masukan kebijakan bagi pemda
58
DAFTAR PUSTAKA
1. Rencana Strategi Kementrian Kesehatan tahun 2015 – 2019. Kementrian
Kesehatan RI; 2015
2. Laporan Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia Tahun 2010.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS); 2010
3. UNICEF. The State on the World Children. Oxford Univ. Press; 1998.
4. Global Nutrtition Report. Action and Accuntability to Accelerate The World
Progress on Nutrition. A Peer Reviewed Publication. International Food
Policy Research Institute; 2015.
5. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2007
6. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2010
7. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013
8. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman surveilans gizi. Kementriam Kesehatan
RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat
Bina Gizi, Jakarta; 2014
9. Kementrian Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi.
Kementriam Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak. Direktorat Bina Gizi, Jakarta; 2015
10. Remme JHF, Adam T, Becerra-Posada F, D’Arcangues C, Devlin M, Gardner
C . Defining Research to Improve Health Systems. Journal Plos Medicine
;2010 [cited 2016 december 21]; 7(11):1-7. doi:10.1371. Available from
www.plosmedicine.org
11. Kusumawardani N, Rachmalins S, Agung DL, Lely I, Puti SH, Astridya P
(ed. Kasnodihardjo); 2015. Penelitian kualitatif di Bidang Kesehatan. PT
Kanisius.ISBN 978-979-21-4246-4
59
12. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Profil Kesehatan Kabupaten Bandung
tahun 2014. Dinas Kesehatan Kabupaten; 2014
13. Rekapitulasi data hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) Bulan Agustus;
2015.
14. Djohani R. Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa. Perpustakaan Nasional; ISBN ; 978-602-8359-01-6;
2008 [cited 2016 december 19]
15. Harvey, P. Nutrition Surveillance and Program Monitoring. John Hopkins
Bloomberg School and Pusbic Health; 2006 [cited 2016 december 16]
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK219785/
16. Ouma C. Nutrition Surveilance, Emergency Nutrition Update. Nutrition
Centre of Expertise, Word Vision; 2010 issue 5 [cited 2016 december 16]
17. World Health Organization. Food ang Nutrition Survaillance System, A
manual for policy-makers and programme managers ; ISBN: 978-92-9021-
841-8; 2014 applications.emro.who.int/dsaf/EMROPUB[cited 2016 december
9]
18. Shoham, J, Fiona W, Carmel D. The use of nutritional indicators in
surveillance systems. International Public Nutrition Resource Group; 2001
https://www.odi.org/resources/docs/3970.pdf[cited 2016 december 9]
19. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Gizi Seimbang, Jakarta; 2014.
60
L A M P I R A N
61
35