LAMPIRAN Lampiran 1. Madu yang digunakan Gambar 12. Madu ...
Laporan Penelitian Manfaat Madu Hutan 4 Anggota JMHI
description
Transcript of Laporan Penelitian Manfaat Madu Hutan 4 Anggota JMHI
KAJIAN MUTU, NILAI GIZI SERTA POTENSI PADA ANTIBAKTERI
DAN ANTIOKSIDAN (MANFAAT) MADU HUTAN INDONESIA
TessoNilo (Riau) Ujung Kulon (Banten)
DanauSentarum (Kalbar) Sumbawa (NTB)
Oleh :
Rita Kartika Sari Rio Bertoni
TheophilaArisPraptami
KAJIAN MUTU, NILAI GIZI SERTA POTENSI
PADA ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN (MANFAAT) MADU HUTAN INDONESIA
Laporan Uji Laboratorium
Oleh :
Rita Kartika Sari Rio Bertoni
Theophila Aris Praptami
BOGOR, 2013
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ..…........…………………………….…………...............…..…. iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ............................................................................................. 1
1.2. Tujuan .......................................................................................................... 2
II. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................... 3
2.1. Penyiapan bahan baku ................................................................................ 3
2.2. Uji organoleptik dan analisis fisiko-kimia madu hutan ............................... 3
2.3. Analisis cemaran mikroba ............................................................................. 4
2.4. Analisis nilai nutrisi ........................................................................................ 4
2.5. Uji bioassay antibakteri .................................................................................. 4
2.6. Uji Antioksidan ............................................................................................... 6
2.7. Analisis Fitokimia ........................................................................................... 7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 8
3.1. Karakteristik organoleptik dan sifat fisiko-kimia ........................................ 8
3.1.1. Warna, aroma, dan rasa ........................................................................ 8
3.1.2. Kadar air ............................................................................................... 9
3.1.3.Aktivitas enzim diastase dan kandungan HMF ................................... 10
3.1.4. Kandungan karbohidrat ...................................................................... 11
3.1.5. Kadar abu dan cemaran logam ........................................................... 13
3.1.6. Cemaran mikroba ............................................................................... 13
3.2. Nutrisi Madu Hutan .................................................................................... 13
3.2.1 Kandungan protein ............................................................................ 14
3.2.2 Vitamin ............................................................................................... 14
3.2.3 Mineral ................................................................................................ 15
3.3. Aktivitas Antibakteri ................................................................................. 15
3.3.1. Berdasarkan metode uji difusi ............................................................ 15
3.3.2 Berdasarkan uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC) .............. 24
3.3. Aktivitas antioksidan ................................................................................... 25
3.4. Analisis kandungan fitokimia ..................................................................... 27
3.4.1. Analisis kualitatif ............................................................................... 27
3.4.2 Analisis kuantitatif ............................................................................ 29
IV. KESIMPULAN .................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 34
BIODATA PENULIS ................................................................................................ 37
LAMPIRAN...............................................................................................................38
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya
dengan telah selesainya riset “ Kajian Mutu, Nilai Gizi serta Potensi Antibakteri dan
Antioksidan (Manfaat) Madu hutan Indonesia” di empat wilayah anggota Jaringan
Madu Hutan Indonesia (JMHI) ; Tesso Nilo (Riau), Ujung Kulon (Banten), Danau
Sentarum (Kalbar) dan Sumbawa (NTB) dapat di selesai dengan baik.
Hasil Riset ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kandungan
nutrisi dan manfaat bagi konsumen yang mengkonsumsi madu hutan dari empat
wilayah anggota JMHI.Dimana keberadaan madu hutan selama ini memberikan
kontribusi besar terhadap keberlangsungan ekologi hutandan ekonomi masyarakat
secaraberkelanjutan.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada
FORDFOUNDATION sebagai penyandang dana penelitian ini. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada Lab.Mikrobiologi FMIPA dan Pusat Studi
Biofarmaka IPBtempat menguji aktivitas antibakteri dan antioksidan, BBIA yang
telah menganalisis sifat fisiko-kimia dan nutrisi madu, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan yang telah menganalisis fitokimia secara kuantitatif
dengan GC-MS, dan BALITRO yang menganalisis fitokimia secara kualitatif.
Kami Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) berharap melalui Riset ini
pemanfaatan produk HHBK khususnya madu hutan menjadi salah cara untuk
mendorong semua pihak (stakeholders) dalam melakukan perlindungan dan
pengelolaan hutan adil dan lestari. Semoga hasil riset ini juga bermanfaat bagi semua
pihak yang membaca.Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pontianak, 25 November 2013
Koordinator Nasional
Jaringan Madu Hutan Indonesia
Rio Bertoni
ii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jenis pohon sebagai sumber nektar lebah dari empat jenis madu
hutan
3
2. Analisis Kimia dan Mikrobiologi Madu Hutan Anggota JMHI
berdasarkan SNI Madu
10
3. Hasil Uji Laboratorium Analisis Kandungan Gizi Madu Hutan
Anggota JMHI dalam Setiap 100 gr
17
4 Diameter zona hambat madu asal luar negeri 23
5 Hasil uji MIC madu hutan Indonesia 25
6 Persamaan regresi dari hubungan konsentrasi madu dengan
persentase penangkapan radikal DPPH dan nilai EC50 madu hutan
Indonesia
27
7 Kandungan fitokimia madu berdasarkan ujin fitokimia secara
kualitatif
28
8 Komposisi kimia madu hutan berdasarkan analisis GC-MS
pirolisis
30
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Warna madu hutan asal A) APDS, B) KTMHUK, C)
APMTN D) JMHS.
9
2. Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni A: Escherichia coli,
B:Pseudomonas aeruginosa, C: Staphylococcus aureus,
D:Salmonella thyposa akibat pemberian madu hutan.
16
3. Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu
dengan diameter zona hambat bakteri.
19
4 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu
dengan diameter zona hambat bakteri PS: Pseudomonas
aeruginosa,. EC: Escherichia coli.
22
5 Histogram hubungan antara jenis madu dengan diameter zona
hambat bakteri SAL: Salmonella sp.,. EC: Escherichia coli. Pada
konsentrasi 100% madu.
24
6 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu
dengan diameter zona hambat bakteri PS: Pseudomonas
aeruginosa,. EC: Escherichia coli. hutan Indonesia
26
7 Larutan madu yang telah ditetesi DPPH 26
8 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu
dengan persentase penangkapan radikal DPPH
26
9 Hasil uji kualitatif kandungan kelompok senyawa fitokimia dalam
madu.
28
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Madu hutan merupakan salah satu dari lima produk hasil hutan bukan kayu
(HHBK) unggulan. Pengembangan madu hutan menjadi prioritas utama dalam
rencana kehutanan tingkat nasional 2010-2019 karena diyakini dapat
mengembalikan potensi multi fungsi hutan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan
berkontribusi nyata bagi kepentingan pemeliharaan lingkungan global karena secara
tidak langsung melibatkan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan di mana
sarang lebah Apis dorsata berada. Sarang lebah menghasilkan madu yang menjadi
sumber pendapatan masyarakat (Kementerian Kehutanan 2009). Selain itu,
pengembangan madu hutan ditujukan untuk memenuhi permintaan madu dalam
negeri Indonesia yang mencapai 3000 ton per tahun, namun hanya 30% saja yang
dapat dipenuhi oleh produsen madu dalam negeri. Madu hutan juga berpotensi
sebagai produk organik karena dipungut dari kawasan hutan yang dikelola secara
alami (Wismoro 2013).
Selajan dengan pencanangan produk lebah hutan sebagai salah satu produk
unggulan di sektor kehutanan, produksi madu hutan mengalami peningkatan.
Namun, Wismoro (2013) mengemukakan bahwa potensi madu hutan Apis dorsata di
Indonesia mencapai 200 ton per tahun, sementara daya serap pasar lokal hanya 13
persennya saja. Salah satu hal yang menyebabkan pasar madu hutan kalah bersaing
adalah ditemukannya madu yang tidak memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI),
kurangnya informasi dan kajian ilmiah yang mengungkapkan keunggulannya seperti
nilai zat gizi, dan khasiatnya. Gojmerac (1983) menyatakan bahwa madu hutan
diduga mengandung senyawa bioaktif yang lebih tinggi dan beragam karena
dihasilkan dari areal aktivitas lebah yang multi flora. Berbagai penelitian Syamsudin
et al. (2009), El-Gendy (2010), Parwata et al. (2010), Sherlock et al. (2010)
membuktikan bahwa kandungan kimia dan bioaktivitas madu dipengaruhi oleh jenis
nektar bunga (pohon) dan letak geografis sarang lebah. Kajian mengenai potensi
senyawa bioaktif berkhasiat obat di dalam madu hutan sangat diperlukan.
Penelusuran pustaka menunjukkan bahwa penelitian mengenai potensi obat,
eksplorasi senyawa berkhasiat obat, serta zat gizi masih terbatas pada madu hasil
2
budidaya dan belum ditemukan kajian komprehensif terhadap madu yang diperoleh
dari kawasan hutan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian untuk mengetahui
khasiat, kandungan senyawa bioaktif dan zat gizi dari madu yang diperoleh dari
kawasan hutan yang berbeda jenis pohon dominannya sangat penting dilaksanakan.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menguji organoleptik, sifat fisiko-kimia dan
cemaran mikroba untuk menentukan mutu, menganalisis nilai gizi, menguji aktivitas
antibakteri dan aktivitas antioksidan, serta menganalisis kandungan fitokimia madu
secara kualitatif dan kuantitatif dengan GC-MS terhadap empat jenis madu hutan
Indonesia yang berasal dari anggota JMHI, yaitu Asosiasi Periau Danau Sentarum
(APDS), Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS), Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo
(APMTN), dan Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon (KTMHUK).
Pengujian antibakteri menggunakan empat jenis bakteri patogen penyebab
penyakit infeksi, diantaranya seperti bakteri Staphylococcus aureus (penyebab
penyakit batuk), Salmonella sp (penyebab penyakit thipus), Escherichia coli
(penyebab penyakit diare) dan Pseudomonas aeruginosa (penyebab radang paru-
paru). Sementara itu, pengujian antioksidan menggunakan senyawa radikal 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi.
3
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Penyiapan bahan baku
Bahan baku penelitian ini adalah empat jenis madu hutan yang diperoleh dari
berbagai kawasan hutan di Indonesia melalui kelompok petani pemungut lebah
madu anggota JMHI, yaitu APDS, JMHS, APMTN, dan KTMHUK. Selain
perbedaan kawasan hutan tempat pemungutan madu, jenis pohon sebagai sumber
nektar lebah madu dari keempat kawasan hutan tersebut berbeda pula (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis pohon sebagai sumber nektar lebah dari empat jenis madu hutan
Keterangan : APDS = Asosiasi Periau Danau Sentarum ; JMHS = Jaringan Madu Hutan
Sumbawa ; APMTN = Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, KTMHUK =
Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon
2.2. Uji organoleptik dan analisis fisiko-kimia
Uji organoleptik dan analisis beberapa sifat fisiko-kimia madu bertujuan untuk
menetapkan mutu madu, apakah madu hutan yang diuji memenuhi SNI 3545:2013
tentang madu. Uji organoleptik meliputi uji warna, aroma, dan rasa yang dilakukan
secara visual. Analisis fisiko-kimia yang sesuai dengan SNI terdiri atas uji aktivitas
enzim diastase, hidroksimetilfurfural (HMF), uji kadar air, gula pereduksi (glukosa),
sukrosa, keasaman, padatan tak larut dalam air, kadar abu, cemaran logam berbahaya
seperti timbal (Pb), cadmium (Cd), merkuri (HG), cemaran arsen (As). Analisis
fisiko-kimia tersebut di atas mengacu pada metode uji yang tertuang dalam SNI
3545:2013 tentang madu. Analisis kimia tambahan adalah analisis kandungan
fruktosa dengan HPLC.
Jenis pohon sebagai sumber nektar
APDS JMHS APMTN KTMHUK
Bunga Kawi Maja, Lita, Mpang Sawit (60%) Salam
Putat Kukin, Kesambi Akasia (20%)
Kayu Teluk Ketimis, Doat,
Tempoak, Udu,
Belinat
Tanaman Hutan (20%)
4
Analisis sifat fisis lainnya yang diukur adalah aktivitas air (Aw) madu. Aw
merupakan air bebas dalam madu yang dibutuhkan bakteri untuk transpor nutrisi ,
membuang sisa metabolit, mengeluarkan reaksi enzimatis, mensintesis bahan-bahan
sel, dan melakukan reaksi biokimia yang lain. Aw yang rendah di bawah tingkat
minimum untuk pertumbuhan bakteri akan membunuh bakteri. Pengukuran Aw
menggunakan Aw–meter merk Shibaura WA-360. Madu sebanyak 25 mL
dimasukkan ke dalam alat hingga alat menunjukkan pengukuran yang stabil,
kemudian nilai Aw yang terukur dicatat.
2.3. Analisis cemaran mikroba
Uji cemaran mikroba terdiri dari angka lempeng total (ALT), angka paling
mungkin (APM) koliform, kapang, dan khamir. Analisis cemaran mikroba
mengacu pada metode uji yang tertuang dalam SNI 3545:2013 tentang madu.
2.4. Analisis nilai nutrisi
Analisis nilai nutrisi/gizi madu terdiri dari analisis protein (mengacu SNI. 01-
2891-1992, butir 7.1), lemak (SNI. 01-2891-1992, butir 8.2), karbohidrat, serat
makanan (AOAC.985.29.2005), jumlah gula (sebagai sukrosa) (SNI. 01-2892-1992,
butir 3.2), mineral essensial meliputi natrium (Na), kalsium (Ca), kalium (K), besi
(Fe), dan magnesium (Mg) yang mengacu pada AOAC.98535 / 50.1.14.2005,
mangan (Mn) dan kromium (Cr) yang mengacu pada SNI. 01-2896-1998, butir 5,
seng (Zn) menggunakan ICP, selenium (Se) menggunakan GC. Selain itu
pengujian lain yang dilakukan adalah kadar kolesterol dan lemak jenuh dengan GC
dan HPLC, menguji kandungan vitamin A, B1, B2, B6, C, D, dan E dengan HPLC.
2.5. Uji bioassay antibakteri
Uji aktivitas antibakteri madu dilakukan secara in vitro dengan dua cara,
yaitu metode well diffusion dan metode minimum inhibitory concentration (MIC)
dlama tabung reaksi.
5
2.5.1. Metode well diffusion
Pengujian antibakteri ini mengacu pada metode yang digunakan Sherlock et
al. (2010). Sebelum digunakan untuk pengujian antibakteri, semua alat diserilisasi
dalam autoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit, sedangkan
alat-alat yang tidak tahan terhadap suhu tinggi disterilkan dengan alkohol 90%.
Penyegaran bakteri uji dilakukan dengan cara memasukkan kultur bakteri ke dalam
7,5 mL media cair yang steril dan diinkubasi pada suhu 37 o
C selama satu malam.
Media kultur uji dibuat dengan menginokulasikan satu oase kultur murni dari agar
miring Nutrient Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrient Broth (NB) secara
aseptik. Kultur uji tersebut selanjutnya diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37
oC dalam inkubator. Selanjutnya media kultur uji dipanaskan hingga mencair, lalu
didinginkan hingga mencapai suhu ±40 oC dan dituang dalam cawan petri yang
sudah disterilkan, tambahkan 0,1 mL larutan biakan aktif, homogenkan dan biarkan
memadat.
Madu yang telah dibuat dalam berbagai konsentrasi (100%, 50%, 25%, dan
0% sebagai kontrol negatif) diresapkan ke dalam kertas cakram berdiameter 6 mm
sebanyak ± 20 µL. Kertas cakram kemudian diletakkkan di atas permukaan media
tumbuh bakteri dengan menggunakan pinset dan agak ditekan sedikit. Selanjutnya,
media tumbuh bakteri tersebut diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 oC dalam
inkubator. Setelah masa inkubasi, zona penghambatan yang terbentuk diukur dengan
jangka sorong. Diameter zona penghambatan dihitung sebesar diameter zona bening
yang terbentuk.
2.5.2. Uji MIC
MIC madu adalah konsentrasi minimal madu yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri dalam medium kultur uji. Pengujian ini dilakukan
sebagai pengujian lanjutan dari well diffusion. Konsentrasi madu yang dibuat adalah
50 %, 25 % dan 12,5% . Penggunaan konsentrasi dan jenis bakteri uji berdasarkan
hasi pengujian antibakteri dengan metode well diffusion.
Metode uji MIC dilakukan dalam tabung reaksi. Tabung reaksi yang telah
berisi campuran media tumbuh bakteri trypticase soy broth (TSB ) dan larutan madu
6
dengan perbandingan 1:1 ditambahkan 40 µL larutan biakan bakteri uji. Campuran
kemudian dihomogenkan dan diinkubasi selama ± 24 jam. Untuk kontrol, tabung
reaksi berisi campuran media tumbuh bakteri TSB dan larutan standar 0.5 Mc.
Farland dengan perbandingan 1:1 tanpa penambahan larutan biakan bakteri. Media
tumbuh bakteri dalam tabung reaksi kemudian diukur dengan specrophotometer pada
panjang gelombang 620 nm dengan pembacaan Optical dencity (OD). MIC madu
ditetapkan dengan rumus:
MIC madu ditetapkan pada konsentrasi minimum madu yang menghasilkan nilai
perhitungan negatif hingga mendekati angka nol (diasumsikan tidak ada
pertumbuhan bakteri) dan dinyatakan negatif (-).
2.6. Uji Antioksidan
Pengujian antioksidan menggunakan metode DPPH yaitu salah satu metode
sederhana dalam menentukan kadar antioksidan suatu bahan dengan menggunakan
DPPH sebagai senyawa pendeteksi (Blois 1958 dalam Hannani et al. 2005).
Pengujian aktivitas antioksidan mengacu pada metode yang digunakan
Hannani et al. (2005). Pengujian dilakukan pada konsentrasi madu 500 µg/mL,
250 µg/mL, 125 µg/mL, dan 62,5 µg/mL dalam microplate. Nisbah larutan madu
dengan larutan DPPH dalam pengujian ini adalah 1:1. Total larutan dalam wadah
uji adalah 200 µL yang terdiri atas larutan ekstrak sebanyak 100 µL dan 100 µL
larutan DPPH ((125 µM dalam etanol). Pemberian larutan madu 1.000 µg/mL akan
menghasilkan konsentrasi madu dalam microplate 500 µg /mL. Kontrol negatif
dibuat dengan mencampurkan 100 µL etanol dengan 100 µL larutan DPPH. Setelah
homogen, wadah uji yang berisi larutan tersebut diinkubasi dalam tempat gelap
selama 30 menit dan diukur serapan cahayanya dengan ELISA reader pada λmaks
517 nm. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menghitung persen penangkapan
radikal bebas DPPH oleh larutan madu dengan rumus:
% Penangkapan radikal =
dimana A: serapan kontrol negatif
MIC madu = OD larutan sampel yang diuji- OD larutan kontrol
7
B: serapan minyak atsiri uji
Korelasi antara persen penangkapan radikal dan konsentrasi contoh uji
diplotkan dan EC50 dihitung melalui persamaan regresinya. EC50 adalah
konsentrasi efektif yang mampu menangkap 50% DPPH. Nilai EC50 yang semakin
rendah berarti aktivitas antioksidan ekstrak semakin tinggi.
2.7. Analisis Fitokimia
2.7.1. Analisis kulitatif
Analisis fitokimia kualitatif terhadap madu hutan Indonesia dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya golongan-golongan senyawa yang aktif dalam madu.
Pengujian fitokimia dilakukan di Laboratorium Balitro (Balai Tanaman Hutan dan
Rempah). Prosedur pengujiannya mengacu pada Harborne (1996).
2.7.2. Analisis kuantitatif
Komposisi kimia madu dianalisis menggunakan alat kromatograf gas-
spektrometer massa Shimadzu Pyr-GCMS QP2010 dengan kolom kapiler kuarsa
yang dilapisi resin poliamida. Alat ini bekerja pada suhu pirolisis 400 °C selama 1
jam, suhu injeksi 280 °C, suhu detektor relatif, dan suhu awal kolom 50 °C dengan
peningkatan 15 °C per menit. Identifikasi senyawa dilakukan dengan mencocokkan
data waktu retensi, spektrum masa dan fragmentasi ion senyawa minyak atsiri
dengan data yang ada dalam pangkalan data WILEY 7th
library.
8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik organoleptik dan sifat fisiko-kimia madu hutan
Hasil uji organoleptik dan analisis fisiko-kimia menunjukkan bahwa
parameter uji madu seperti warna, aroma, rasa, aktivitas enzim diastase, kandungan
HMF, kadar air, kadar gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), padatan yang tidak
larut dalam air, dan cemaran logam dari keempat jenis madu hutan tersebut
memenuhi SNI 01-3545-2013. Namun, beberapa karakteristik kimia lainnya seperti
kadar abu madu APDS, JMHS, dan KTMHUK di atas kadar yang dipersyaratkan,
kandungan sukrosa, keasaman madu APMTN, dan cemaran kapang dari madu
APMTN dan madu KTMHUK tidak memenuhi SNI tersebut. Parameter uji
tambahan seperti kadar fruktosa menunjukkan bahwa madu KTMHUK mengandung
fruktosa tertinggi (41,6%), diikuti berturut-turut oleh madu APDS (39,4%), madu
JMHS (37,1%), dan madu APMTN (32,5%). Kandungan fruktosa keempat jenis
madu hutan ini termasuk dalam kisaran kandungan fruktosa dalam madu yang
dilansir NHB (2003), yaitu 30-45%.
Uraian secara detil hasil uji organoleptik dan sifat fisiko-kimia keempat jenis
madu hutan tertera pada sub-sub bab berikut ini.
3.1.1. Warna, aroma, dan rasa
Hasil uji organoleptik secara visual menunjukkan bahwa warna keempat
jenis madu bervariasi dengan gradasi warna madu dari kuning hingga coklat
kehitaman berturut-turut adalah adalah madu asal KTMHUK, APDS, JMHS, dan
APMTN (Gambar 1). Menurut Suranto (2007), warna madu dipengaruhi oleh
sumber nektar, usia madu, dan penyimpanan.
Keempat jenis madu memiliki aroma khas madu yang menunjukkan
keempatnya memenuhi SNI. Suranto (2007), menyatakan bahwa aroma khas madu
disebabkan oleh kandungan zat organik yang volatil (mudah menguap). Aroma
madu bersumber dari zat yang dihasilkan sel kelenjar bunga yang tercampur dalam
nektar dan juga proses fermentasi dari gula, asam amino, dan vitamin selama
9
pematangan madu. Senyawa volatil madu berupa minyak esensial, campuran
karbonil (formaldehid, asetaldehid, propionaldehid, aseton, metil etil keton, dan
sebagainya), ikatan alkohol (propanol, etanol, butanol, isobutanol, pentanol, benzyl
alkohol, dan sebagainya), serta ikatan ester (asam benzoat atau propionat). Aroma
madu cenderung tidak menetap karena zat ini akan menguap seiring waktu terutama
bila madu tidak disimpan dengan baik.
Gambar 1 Warna madu hutan asal A) APDS, B) KTMHUK, C) APMTN
D) JMHS.
Keempat jenis madu memiliki rasa manis khas madu, tetapi dengan
keasaman yang berbeda. Madu APMTN yang terasa lebih asam dari madu lainnya
terjawab oleh hasil analisis keasaman seperti tertera pada Tabel 2. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh kandungan asam organik, serta jenis nektarnya.
3.1.2. Kadar air
Kadar air keempat jenis madu hutan memenuhi standat mutu SNI, yaitu di
bawah 22% (Tabel 2). Hal ini berarti keempat jenis madu aman untuk disimpan
lebih lama. Menurut Saragih et al. (1981), kadar air dalam madu mempengaruhi
umur simpan madu karena madu dengan kandungan air kurang dari 18% sedikit
resiko mengalami fermentasi.
A B C D
10
Tabel 2. Analisis Kimia dan Mikrobiologi Madu Hutan Anggota JMHI berdasarkan
SNI Madu
No Parameter Satuan
Hasil Uji SNI Nilai
APDS JMHS APMTN KTMHUK SNI
1 Aktifitas enzim
diastase DN 5,22 5,02 3,35 3,99 Min 3*)
2 Hidroksimetilfurfural mg/kg 0 0 0 0 maks 50
3 Air
% 18,0 16,0 17,0 17,4 maks 22
4 Abu
% 0,75 0,53 0,36 1,60 maks 0,5
5 Gula pereduksi % 79,3 79,2 68,2 75,0 min 65
6 Sukrosa % 0,14 3,67 15,3 1,82 maks 5
7 Fruktosa* % 39,4 37,1 32,5 41,6 -
8
Keasaman
ml NaOH 1
N/kg
21,8
36,4
74,1
7,42
maks 50
9 Padatan yang tidak
larut dalam air % 0,03 0,03 0 0,01 maks 0,5
10 Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/kg < 0,042 < 0,042 < 0,042 < 0,042 maks 2,0
Kadmium
(Cd) mg/kg < 0,003 < 0,003 < 0,003 < 0,003 maks 0,2
Timah (Sn) mg/kg < 0,8 < 0,8 < 0,8 < 0,8
Raksa (Hg) mg/kg < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 maks 0,03
Arsen (As) mg/kg < 0, 003 < 0,003 < 0,003 < 0,003 maks 1,0
11 Cemaran mikroba :
Angka
lempeng total
30° C 72 jam koloni/gram 40 20
< 2,3 x
103 75 < 5 x 10
3
Coliform APM/gram < 3 < 3 < 3 < 3 < 3
Kapang koloni/gram < 10 < 10 20 20 < 1 x 101
Khamir koloni/gram < 10 < 10 < 10 < 10 < 1 x 101
12 Aw (Aktivitas air) 0,57 0,59 0,62 0,60
Keterangan : * diluar lingkup akreditasi ; APDS = Asosiasi Periau Danau Sentarum ; JMHS
= Jaringan Madu Hutan Sumbawa ; APMTN = Asosiasi Petani Madu Tesso
Nilo, KTMHUK = Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon
3.1.3. Aktivitas enzim diastase dan kandungan 5-hydroxymethylfurfural
(HMF)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata nilai aktivitas enzim diastase
keempat jenis madu hutan masih di atas standar mutu madu SNI yakni minimal 3
(Tabel 2). Akan tetapi, nilai aktivitas enzim diastase keempat jenis madu hutan
tersebut (3,35-5,22) tergolong rendah karena Tosi et al. (2008) menguraikan bahwa
11
.Honey Quality and International Regulatory Standard yang dikeluarkan oleh
International Honey Commision menyatakan bahwa aktivitas enzim diastase tidak
boleh di bawah 8. Rendahnya nilai aktivitas enzim diastase menunjukkan madu
sudah tidak segar lagi atau telah mengalami proses pemanasan yang menggunakan
suhu tinggi untuk meningkatkan viskositas dan menurunkan kadar air.
Penggunaan nilai aktivitas enzim diastase sebagai indikator penentuan
kesegaran madu dipatahkan oleh hasil penelitian Tosi et al. (2008) yang
menunjukkan bahwa pemanasan madu pada suhu tertentu di bawah 100 oC yang
konstan selama jangka waktu tertentu dapat meningkatkan nilai diastase. Namun,
pemanasan pada suhu 100 oC akan menurunkan nilai diastase. Oleh karena itu,
indikator lain yang diperlukan untuk menentukan apakah madu telah mengalami
proses pemanasan adalah nilai 5-hydroxymethylfurfural (HMF).
Berdasarkan kandungan HMF, keempat jenis madu hutan memenuhi standar
mutu SNI karena tidak mengandung HMF. Fallico et al. (2008) menyatakan bahwa
HMF adalah produk antara (intermediate) dari reaksi dehidrasi heksosa yang
dikatalisis oleh asam dan dekomposisi 3-deoxyosone karena reaksi Maillard. Jumlah
HMF yang ada pada madu merupakan indikator kesegaran dan pemrosesan panas
yang dilakukan pada madu, serta dapat digunakan sebagai panduan untuk lamanya
penyimpanan. Semakin tinggi nilai HMF berarti sampel madu tersebut telah
mengalami proses pemanasan yang lebih tinggi atau semakin lamanya penyimpanan.
Dengan demikian untuk madu yang memiliki nilai diastase antara 3 dan 8, maka
HMF tidak boleh melebihi 15 mg/kg. Tabel 2 menunjukkan bahwa keempat madu
hutan tidak mengandung HMF, hal ini berarti rendahnya enzim diastase bukan
disebabkan oleh pemanasan pada suhu tinggi.
3.1.4. Kandungan karbohidrat
Komponen utama madu adalah karbohidrat dari golongan monosakarida yang
terdiri atas glukosa dan fruktosa. Dalam pengujian mutu madu menurut SNI, kedua
monosakarida tersebut diistilahkan sebagai gula pereduksi. Berdasarkan kandungan
gula pereduksi, keempat jenis madu hutan memenuhi standar mutu SNI karena
mengandung gula pereduksi di atas 65%.
12
Dari keempat jenis madu hutan yang diteliti, madu hutan asal APMTN
mengandung gula pereduksi terendah (68,2%) dibandingkan madu hutan asal
APDS, JMHS, dan KTMHUK yang mengandung gula pereduksi berturut-turut
79,3%, 79,2%, dan 75,0%. Namun, kandungan gula pereduksinya masih lebih
tinggi dibandingkan hasil penelitian Erwan dan Yulianto (2009) yang menyatakan
bahwa kandungan gula pereduksi dalam madu sumbawa dan madu lombok yang
beredar di pasaran Kota Mataram hanya berkisar 62%. Kucuk et al. (2007)
menyatakan bahwa perbedaan kandungan gula pereduksi dapat terjadi karena madu
yang belum matang sudah dipanen padahal proses inversi oleh enzim invertase lebah
dari sukrosa nektar menjadi glukosa dan fruktosa pada madu belum sempurna.
Kemungkinan lain bisa disebabkan karena adanya pencampuran dengan zat-zat lain
(sukrosa atau air) sehingga gula reduksi menjadi rendah. Oleh karena itu, SNI madu
mensyaratkan kandungan sukrosa dalam madu kurang dari 5%.
Berdasarkan hasil pengujian kandungan sukrosa, hanya madu APMTN yang
tidak memenuhi standar mutu SNI karena mengandung sukrosa 15,3%, sedangkan
madu hutan lainnya yang berasal dari APDS, KTMHUK, dan JMHS mengandung
sukrosa berturut-turut hanya 0,1%, 1,8%, dan 3,7%. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa pada madu APMTN terdapat korelasi antara kandungan gula pereduksi yang
terendah dengan kandungan sukrosa yang tertinggi dibandingkan dengan ketiga jenis
madu hutan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa madu APMTN diduga
belum matang tetapi sudah dipanen atau madu mengalami penambahan sukrosa.
Kandungan fruktosa keempat jenis madu hutan ini termasuk dalam kisaran
kandungan fruktosa dalam madu yang dilansir NHB (2003), yaitu 30-45%.
Kandungan fruktosa madu hutan KTMHUK (41,6%), APDS (39,4%), dan JMHS
(37,1%) tergolong tinggi bila dibandingkan kandungan fruktosa beberapa jenis madu
Indonesia yang dianalis Achmadi (1991) yaitu 29,2%. Tingginya kandungan fruktosa
dalam madu hutan tersebut menurut Sihombing (1997) karena madu sudah matang
ketika dipanen.
Tingginya kandungan fruktosa dalam madu memberi banyak keuntungan
bagi pengguna madu. Citarasa manis fruktosa lebih tinggi dibandingkan sukrosa
dan glukosa. Oleh karena itu, madu yang kaya akan fruktosa cenderung lebih manis
dibandingkan dengan gula (NHB 2003). Menurut Elliott et al. (2002), konsumsi
13
makanan yang kaya fruktosa menghasilkan sekresi insulin yang lebih rendah
dibandingkan konsumsi makanan yang kaya glukosa. sehingga kadar leptin dalam
darah akan berkurang. Leptin bekerja melalui sirkuit otak untuk menekan nafsu
makan, penggunaan energi, dan fungsi neuroendokrin.
3.1.5. Kadar abu dan cemaran logam
Kadar abu merupakan cerminan dari kandungan mineral yang terdapat di
dalam madu; Hasil analisis seperti tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya
madu APMTN yang memenuhi standar mutu SNI (< 0,5%). Kadar abu tertinggi
dimiliki oleh madu KTMHUK (1, 6%), diikuti madu APDS (0,75%), dan madu
JMHS (0,53%). Tingginya kadar abu ini berkorelasi positif dengan hasil analisis
mineral madu seperti tertera pada Tabel 3.
Hasil analisis menunjukkan bahwa keempat jenis madu hutan memenuhi
persyaratan SNI karena cemaran logam berat seperti Timbal (Pb), Kadmium (Cd),
Timah (Sn), Raksa (Hg), dan Arsen (As) masih jauh di bawah nilai ambang yang
diperkenankan oleh SNI. Hal ini berarti keempat jenis madu hutan aman dari
kandungan logam-logam berat yang membahayakan kesehatan manusia.
3.1.6. Cemaran mikroba
Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan pengujian angka lempeng totalnya,
cemaran coliform dan khamir maka keempat jenis madu aman dikonsumsi karena
nilai cemaran mikroba totalnya, cemaran coliform dan khamir masih berada di
bawah ambang batas yang diperkenankan SNI 01-3545-2013. Namun, madu
KTMHUK dan madu APMTN mengandung cemaran kapang di atas ambang yang
diperkenankan.
3.2. Nutrisi Madu Hutan
Manusia membutuhkan nutrisi penghasil energi (protein, lemak, dan
karbohidrat), vitamin, mineral, dan air agar tubuhnya tetap sehat melalui konsumsi
makanan atau minuman. Nutrisi dalam jumlah terlalu banyak atau terlalu sedikit
akan memberikan efek yang tidak menguntungkan terhadap kesehatan tubuh. Oleh
karena itu, jumlah nutrisi yang harus dikonsumsi untuk menjaga kesehatan manusia
14
berada dalam rentang yang direkomendasikan atau dikenal dengan istilah
recommended daily intake (RDI) (Bogdanov et al. 2008) .
Hasil analisis kandungan nutrisi menunjukkan bahwa keempat jenis madu
mengandung protein, vitamin A, B1, B2, B6, C, D, dan E, seperti Ca, Mg, Mn, K,
Zn, Fe, Se, Na, Cr, dan Cu dengan kadar yang beragam, tetapi keempat jenis madu
tidak terdeteksi mengandung lemak.
3.2.1 Kandungan protein
Tabel 3 menunjukkan bahwa protein di dalam keempat jenis madu beragam
(0,5-1,7 %). Nilai protein madu APMTN (1,65 %) dan madu JMHS (0,74 %) lebih
tinggi bila dibandingkan dengan madu-madu yang berasal dari luar negeri (rata-rata
0,5%). Namun, kontribusi protein dalam madu tersebut untuk memenuhan
kebutuhan protein manusia tergolong kecil karena recommended daily intake (RDI)
protein adalah 13-59% (Bogdanov et al. 2008). Meskipun kandungan protein
dalam madu tergolong kecil, tetapi protein madu terdiri dari asam amino bebas yang
mampu membantu penyembuhan penyakit, dan bahan pembentukan neurotransmitter
atau senyawa yang berperan dalam mengoptimalkan fungsi otak.
3.2.2 Vitamin
Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa keempat jenis madu terdeteksi
mengandung berbagai jenis vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, C, D, dan E.
Kandungan vitamin B1 dalam madu APDS dan madu KTMHUK serta kandungan
vitamin B2 dalam madu JMHS, APDS, dan KTMHUK lebih tinggi dibandingkan
madu dari negara lain, tetapi kandungan vitamin B6 dan vitamin C dari keempat
jenis madu hutan jauh lebih rendah dibandingkan madu dari negara lain (Tabel 3).
Kontribusi vitamin-vitamin tersebut dalam madu tergolong rendah bila mengacu
pada RDI, kecuali madu asal KTMHUK yang mengandung vitamin B2 sebesar 1,63
mg/100g karena RDI vitamin B2 sebesar 0,7-1,6 mg/100g madu (Bogdanov et al.
2008). Vitamin B2 (Riboflavin) berfungsi membantu pertumbuhan dan reproduksi.
Kekurangan riboflavin mengakibatkan bibir pecah-pecah, iritasi pada lidah, mata
terasa gatal, dan seringkali terjadi katarak.
15
3.2.3 Mineral
Hasil analisis kandungan mineral menunjukkan bahwa keempat jenis madu
hutan terdeteksi mengandung berbagai macam mineral yang dibutuhkan tubuh
manusia, seperti Ca, Mg, Mn, K, Zn, Fe, Se, Na, Cr, dan Cu dengan kadar yang
bervariasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa madu KTMHUK mengandung Na, K, dan
Mn tertinggi, sedangkan kandungan Ca tertinggi terdapat pada madu APMTN, dan
kandungan Mg dan Fe tertinggi pada madu JMHS. Perbedaan kadar mineral yang
ada dalam madu alami tergantung dari tempat tumbuh nektarnya. Namun, kontribusi
keempat jenis madu hutan tersebut dalam pemenuhan mineral masih jauh di bawah
RDI (Bogdanov et al. 2008).
3.3. Aktivitas Antibakteri
3.3.1. Berdasarkan metode uji difusi
Aktivitas antibakteri madu pada pengujian dengan metode cakram /difusi
ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri. Zona bening
yang terbentuk tersebut disebut dengan zona penghambatan bakteri (dinyatakan
dalam mm). Semakin luas zona penghambatan menunjukkan semakin tinggi
aktivitas antibakteri madu (Gambar 2).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keempat jenis madu memiliki aktivitas
antibakteri karena peningkatan konsentrasi madu telah meningkatkan diameter
zona hambat pertumbuhan bakteri (Gambar 3). Menurut Mundo et al. (2004),
aktivitas antibakteri madu dipengaruhi oleh efek osmotik, keasaman, serta senyawa
antibakteri dalam madu. Ketiga faktor tersebut baik bekerja sendiri-sendiri atau
bersamaan dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri patogen.
16
Gambar 2 Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni A: Escherichia coli,
B:Pseudomonas aeruginosa, C: Staphylococcus aureus, D: Salmonella sp akibat
Madu merupakan larutan gula yang kental dan terjadi interaksi yang kuat
antara molekul gula dengan molekul air sehingga madu meninggalkan molekul air
bebas (Aw) yang sangat sedikit bagi bakteri (Mundo et a.l 2004). Air bebas
dibutuhkan bakteri untuk penyaluran nutrisi, membuang sisa metabolit,
mengeluarkan reaksi enzimatis, mensintesis bahan-bahan sel, dan melakukan reaksi
biokimia yang lain. Jika Aw di lingkungan berkurang, air bebas dalam sel bakteri
mengalir keluar dengan tujuan mempertahankan keseimbangan. Hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya tekanan osmotik dan akhirnya sel tidak dapat tumbuh.
Masing-masing bakteri memiliki Aw minimum untuk pertumbuhannya, dimana Aw
minimum P. aeruginosa, Salmonella sp, E. coli, dan S. aureus berturut-turut 0,91;
0,94; 0,96; 0,86 (Ray 1996). Tabel 1 menunjukkan bahwa madu hutan APDS,
JMHS, APMTN, dan KTMHUK memiliki Aw yang lebih rendah dari nilai Aw
minimum untuk pertumbuhan bakteri, yaitu berturut-turut 0,57; 0,59; 0,62; 0,60.
Jadi, aktivitas air madu tersebut turut berperan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri. Akan tetapi, keempat jenis madu memiliki aktivitas antibakteri yang sangat
bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan osmotik akibat aktivasi air madu
bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri madu.
100% 50% 25%
100% 50% 25%
A B
C D
100% 50% 25%
100% 50% 25% 100% 50% 25%
Tabel 3. Hasil Uji Laboratorium Analisis Kandungan Gizi Madu Hutan Anggota JMHI dalam Setiap 100 gr
Parameter Satuan Jenis madu hutan Kompilasi
madu lain2)
recommended daily
intake (RDI)3)
APDS JMHS APMTN KTMHUK
Air % 18,0 16,0 17,0 17,4 15-20 -
Abu % 0,75 0,53 0,36 1,60 - 13-59
Protein (N x 6.25) % 0,52 0,74 1,65 0,48 0,5 -
Lemak % 0 0 0 0 0 -
Karbohidrat % 80,7 82,7 81,0 80,5 - -
Energi Kal/100 gram 325 334 331 324 300 1000-3100
Serat Makanan % 0 0 0,39 0,39 - -
Natrium (Na) mg/100 gram 17,6 6,87 20,1 25,3 1,6-17 300-500
Kalium (K) mg/100 gram 164 113 88,0 372 40-3500 1000-2000
Kalsium (Ca) mg/100 gram 10,5 10,8 12,8 8,53 3-31 600-1200
Besi (Fe) mg/100 gram 0,16 0,30 0,25 0,44 0,03-4 8-15
Magnesium (Mg) mg/100 gram 5,34 7,76 3,09 7,63 0,7-13 80-400
Mangan (Mn) mg/100 gram 0,28 0,34 0,29 0,95 0,02-2 1-5
Kromium (Cr) µg/100 gram < 1,8 < 1,8 < 1,8 < 1,8 0,01-0,3 0,02-1,5
Seng (Zn) mg/100 gram 0,05 1,06 0,08 1,04 0,05-2 3-10
Selenium (Se)1)
mg/100 gram < 0,0002 < 0,0002 <0,0002 < 0,0002 0,002-0,001 0,001-0,007
Kolesterol mg/100 gram 1,64 1,43 1,08 1,06 - -
Lemak Jenuh % 0 0 0 0 - -
Vitamin A IU/100 gram < 0,5 < 0,5 < 0,5 < 0,5 - -
Vitamin B1 mg/100 gram 0,20 < 0,025 < 0,025 0,31 0,00-0,01 0,6-1,3
Vitamin B2 mg/100 gram 0,16 0,07 < 0,025 1,63 0,01-0,02 0,7-1,5
Vitamin B6 mg/100 gram < 0,02 < 0,02 < 0,02 <0,02 0,01-0,32 0,4-1,6
Vitamin C mg/100 gram < 0,2 <0,2 < 0,2 <0,2 2,2-2,5 60-100
Vitamin D µg/100 gram 0,28 0,99 0,34 0,16 - -
Vitamin E mg/100 gram < 0,01 < 0,01 < 0,01 <0,01 - -
Keterangan :1)
diluar lingkup akreditasi ; 2) Bogdanov et al. (2008). APDS = Asosiasi Periau Danau Sentarum ; JMHS = Jaringan Madu Hutan Sumbawa ;
APMTN = Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, KTMHUK = Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon
18
Faktor kedua yang berperan terhadap aktivitas antibakteri madu adalah
keasaman madu. Keasaman yang tinggi membuat jumlah konsentrasi ion hidrogen
meningkat, hal ini akan mengganggu gradien transmembran proton dari sel bakteri.
Struktur pada permukaan sel, membran terluar atau dinding sel, membran dalam atau
membran sitoplasma, dan periplasma terbuka oleh H+. Hal ini dapat mengganggu
ikatan ion makromolekul dan struktur membran sel bakteri. Perubahan ini dapat
mengganggu transport nutrisi dan pembaruan energi dan pada akhirnya
mempengaruhi kelangsungan hidupnya (Ray 1996). Tabel 2 memaparkan keasaman
madu hutan yang bervariasi, yaitu madu APDS, JMHS, APMTN, dan KTMHUK
memiliki keasaman berturut-turut 21,8; 36,4; 74,1; 7,42 ml NaOH 1N/kg. Terdapat
korelasi positif antara keasaman dengan aktivitas antibakteri.
Gambar 3 menunjukkan bahwa keasaman madu KTMHUK dan APDS
lebih yang lebih rendah dari madu JMHS dan APMTN ternyata memiliki aktivitas
antibakteri S. sp dan E.coli yang lebih rendah pula. Namun, madu APMTN
dengan keasaman dua kali lipat lebih tinggi dari madu JMHS ternyata memiliki
aktivitas antibakteri S. sp dan E.coli yang relatif sama. Hal ini menunjukkan
bahwa keasaman bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi aktivitas
antibakteri madu.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri madu adalah
senyawa antibakteri dalam madu, yaitu inhibiene dan non inhibiene. Inhibiene adalah
hidrogen peroksida (H2O2) hasil enzimatis glukosa oksidase yang dikeluarkan dari
kelenjar hipofaring lebah ke dalam nektar untuk membantu pembentukan madu
(Bogdanov 1997). Hidrogen peroksida telah dikenal sebagai antibiotik yang efektif
dan merupakan komponen antibiotik utama dari beberapa penisilin (Molan 1993).
Madu yang baru dipanen mengandung H2O2 sangat tinggi, tetapi kandungan H2O2
menurun ketika madu dipanaskan atau terkena cahaya berlebihan pada saat
penyimpanan karena H2O2 sangat sensitif terhadap panas dan cahaya. Oleh karena
itu, beberapa penelitian menemukan bahwa senyawa non inhibiene lebih berperan
terhadap antibakteri madu karena senyawa tersebut tahan terhadap panas dan
cahaya serta tetap ada meski madu telah mengalami pemanasan atau disimpan dalam
jangka waktu lama (Bogdanov 1997).
19
Gambar 3 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu dengan
diameter zona hambat bakteri. Keterangan: APDS = Asosiasi Periau Danau Sentarum ; JMHS = Jaringan Madu Hutan
Sumbawa; APMTN = Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, KTMHUK = Kelompok Tani
Madu Hutan Ujung Kulon, PS: P. aeruginosa, SAL: Salmonella sp. EC: E. Coli,, SA:.S.
aureus. klasifikasi kekuatan antibakteri (lemah, sedang, kuat) mengacu pada Davis (1971).
lemah kuat
20
Senyawa antibakteri non inhibiene dalam madu adalah senyawa fitokimia
berupa zat ekstraktif hasil metabolisme sekunder pohon sebagai sumber nektar lebah
madunya. Perbedaan jenis pohon mempengaruhi karakteristik madu, seperti flavor,
aroma, warna, dan komposisi senyawa antibakteri madu (Mulu et al. 2004).
Senyawa fitokimia yang dilaporkan sebagai senyawa antibakteri madu adalah
pinosembrin (flavonoid), terpen, benzil alkohol, asam siringat, metil siringat, 1,4-
dihidroksibenzena, dan methylglyoxal dalam madu Manuka (Atrott & Henle 2009).
Peranan perbedaan kandungan zat ekstraktif dalam madu akibat perbedaan
sumber nektar terhadap aktivitas antibakteri madu terbukti dari hasil penelitian ini.
Keempat jenis madu hutan yang berasal dari sumber nektar yang sangat berbeda
(Tabel 1) ternyata memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda terhadap jenis bakteri
yang sama. Aktivitas antibakteri Salmonella sp tertinggi adalah madu JMHS,
dilanjutkan dengan madu APDS, APMTN, dan KTMHUK. Aktivitas antibakteri
E. coli tertinggi adalah madu JMHS, dilanjutkan dengan madu APMTN,
KTMHUK, dan APDS (Gambar 3). Hal yang sama telah dibuktikan pula oleh
Taormina et al. (2001) bahwa enam jenis madu dengan sumber nektar berbeda, yaitu
Chinaso buckwheat, Montana buckwheat, Blueberry, Avocado, Safflower, dan
Clover memberikan aktivitas antibakteri yang berbeda.
Informasi lain yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah aktivitas
antibakteri bervariasi menurut jenis bakterinya. Hasil pengujian menunjukkan Madu
JMHS merupakan jenis madu yang memiliki aktivitas antibakteri Salmonella sp
dan E. coli tertinggi dibandingkan ketiga jenis madu hutan lainnya. Gambar 2
menunjukkan bahwa pada konsentrasi madu 25% aktivitas antibakteri Salmonella sp
dan E. coli tergolong sedang, peningkatan konsentrasi menjadi 50% meningkatkan
aktivitas antibakterinya menjadi tergolong kuat, dan konsentrasi 100% aktivitas
antibakterinya menjadi sangat kuat. Akan tetapi, aktivitas antibakteri madu JMHS
terhadap bakteri P. aeruginosa lebih rendah dari kedua jenis bakteri di atas. Bahkan
aktivitas antibakteri madu JMHS terhadap bakteri S. aureu merupakan yang terendah
karena pada konsentrasi 25-50% tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri ini,
tetapi pada konsentrasi 100% akativitas antibakterinya hanya tergolong sedang.
Fenomena perbedaan aktivitas antibakteri karena berbedanya jenis bakteri
juga terjadi pada ketiga jenis madu hutan lainnya. APMTN memiliki aktivitas
21
antibakteri tertinggi terhadap bakteri E.coli karena pada konsentrasi 50% aktivitas
antibakterinya tergolong kuat, dan pada konsentrasi 100% tergolong sangat kuat.
Aktivitas antibakterinya semakin menurun terhadap P. aeruginosa dan Salmonella
sp karena pada konsentrasi 50% dan 100% aktivitas antibakterinya hanya tergolong
sedang. Madu APMTN memiliki aktivitas antibakteri terendah terhadap bakteri S.
aureus karena pada konsentrasi 25-50% tidak mampu menghambat pertumbuhan
bakteri ini, tetapi pada konsentrasi 100% hanya tergolong sedang. Madu APDS
memiliki aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri Salmonella sp karena pada
konsentrasi 50% aktivitas antibakterinya tergolong kuat, dan pada konsentrasi 100%
tergolong sangat kuat. Aktivitas antibakterinya terhadap P. Aeruginosa, E.coli, S.
aureus berturut-turut semakin menurun.
Aktvivitas antibakteri madu KTMHUK tertinggi adalah terhadap bakteri
Salmonella sp karena pada konsentrasi 50% aktivitas antibakterinya tergolong
sedang, dan pada konsentrasi 100% tergolong kuat. Aktivitas antibakteri madu
KTMHUK menurun terhadap bakteri P. Aeruginosa, E.coli.. Bahkan madu
KTMHUK tidak punya aktivitas antibakteri S. aureu (Gambar 2). Berdasarkan
uraian di atas, keempat madu memiliki aktivitas antibakteri gram negatif
(Salmonella sp, E.coli dan P. aeruginosa) lebih tinggi dibandingkan terhadap
bakteri gram positif (S. aureus). Tingginya aktivitas antibakteri madu terhadap S.
sp dan E.coli ini didukung oleh pernyataan Taormina et al. (2001) bahwa madu
dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri patogen tersebut. Winarno (1982)
juga menegaskan bahwa bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap senyawa
antibakteri yang terkandung dalam madu dibandingkan bakteri gram positif.
Sherlock et al. (2010) melaporkan hasil uji antibakteri dengan metode yang
sama (difusi) terhadap madu Ulmo (sumber nektar dari pohon Eucryphia cordifolia)
asal Chili dan madu Manuka (sumber nektar dari Leptospermum scoparium) asal
Selandia Baru. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sherlock et al. (2010),
meskipun aktivitas antibakteri S. aureus dan P. Aeruginosa dari madu Ulmo dan
madu Manuka lebih unggul dibandingkan keempat madu hutan Indonesia, tetapi
aktivitas antibakteri E. Coli dari madu hutan JMHS dan APMTN tergolong sama
kuat dengan madu Manuka maupun madu Ulmo terutama pada konsentrasi madu
50% (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan bahwa madu hutan JMHS dan APMTN
22
memiliki kemampuan yang sama dengan madu Ulmo dan madu Manuka dalam
menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare (E. Coli).
Peneliti lainnya seperti Alnaimat et al. (2012) telah menguji aktivitas
antibakteri dari 18 jenis madu yang berasal dari berbagai negara. Berdasarkan zona
bening/hambat yang terbentuk akibat pemberian madu berkonsentrasi 50%, hanya
tiga jenis madu dari 18 jenis madu yang diujikan yang memiliki zona hambat E. Coli
relatif lebih tinggi (Tabel 4) dari madu asal APDS, APMTN dan JMHS (Gambar
4). Namun, bila mengacu pada penggolongan daya hambat pertumbuhan bakteri
menurut Davis (1971), ketiga jenis madu tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang
relatif sama kuat dengan madu APDS, madu APMTN, dan madu JMHI.
Gambar 4 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu dengan
diameter zona hambat bakteri PS: Pseudomonas aeruginosa,. EC: Escherichia coli.
Ket :klasifikasi kekuatan antibakteri (lemah, sedang, kuat) mengacu pada Davis (1971), Data madu
Ulo dan madu Manuka bersumber dari Sherlock et al. (2010).
Kuat
sedang 9
23
Tabel 4. Diameter zona hambat madu asal luar negeri
Sumber: Alnaimat et al. (2012)
Apabila hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian Hafidiani
(2001) dengan metode uji yang sama menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri
salmonela sp. dari madu JMHS dan madu APDS setara dengan madu monoflora
hasil budidaya (madu karet, lengkeng, mahoni, randu, rambutan, kopi, mangium dan
multiflora) yang tergolong sangat kuat pada konsentrasi madu 100%. Akan tetapi,
aktivitas antibakteri E. coli madu APDS lebih rendang, sedangkan madu APMTN
tergolong sangat kuat dan setara dengan madu JMHS, karet, lengkeng mahoni,
randu, dan multiflora (Gambar 5). Gambar 5 juga menunjukkan bahwa madu
JMHS memiliki aktivitas antibakteri Salmonela sp. dan E. Coli tertinggi
dibandingkan madu lainnya.
24
Gambar 5 Histogram hubungan antara jenis madu dengan diameter zona hambat
bakteri SAL: Salmonella sp.,. EC: Escherichia coli. Pada konsentrasi 100% madu.
Ket :klasifikasi kekuatan antibakteri (lemah, sedang, kuat) mengacu pada Davis (1971), Data madu
monoflora dan multiflora bersumber dari Hafidiani (2001)
3.3.2 Berdasarkan uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Pengujian MIC dilakukan sebagai pengujian lanjutan dari pengujian
antibakteri metode difusi dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi minimal madu
yang mulai aktif menghambat pertumbuhan bakteri. Pengujian MIC dilakukan
dalam tabung reaksi yang berisi larutan madu dengan berbagai konsentrasi, TSB + 40
µL bakteri (Gambar 6). Penentuan MIC larutan madu yaitu dengan pengukuran
Optical dencity (OD) larutan dalam tabung reaksi dengan spektrofotometer. Nilai OD
nol berarti tidak terdapat pertumbuhan bakteri pada sampel uji.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa bakteri Salmonella sp dan E. Coli tidak
tumbuh ketika media tumbuhnya diberi madu asal APDS, APMTN, dan JMHSS
sedang
kuat
Sangat kuat
APDS APNTM JMHS
25
mulai konsentrasi 25% dan madu KTMHUK pada konsentrasi 50% (Tabel 5). Hal
ini menunjukkan bahwa MIC dari ketiga jenis madu terhadap bakteri Salmonella sp
dan E. Coli adalah 25%, sedangkan madu KTMHUK pada konsentrasi 50%.
Tabel 5. Hasil uji MIC madu hutan Indonesia
Asal Madu
Bakteri
Konsentrasi
12,5 % 25% 50%
APDS
Ec + - -
Sal + - -
APMTN
Ec + - -
Sal + - -
JMHS
Ec + - -
Sal + - -
Ec + + -
KTMHUK Sal + + -
Keterangan: (+) bakteri tumbuh, (-): bakteri tidak tumbuh; APDS = Asosiasi Periau
Danau Sentarum ; JMHS = Jaringan Madu Hutan Sumbawa; APMTN = Asosiasi Petani
Madu Tesso Nilo, KTMHUK = Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon, SAL:
Salmonella sp. EC: E. Coli
3.4. Aktivitas antioksidan
Pengujian aktivitas antioksidan diawali dengan memasukkan madu dengan
beberapa konsentrasi dan larutan radikal bebas DPPH ke dalam microplate. Setelah
tiga puluh menit kemudian, larutan madu yang mampu meredam DPPH akan
berubah warna menjadi kekuningan, sedangkan larutan madu yang tidak mempunyai
kemampuan meredam DPPH akan tetap berwarna ungu (Gambar 7). Perbedaan
intensitas warna yang menunjukkan kemampuan larutan madu dalam menangkap
DPPH kemudian diukur dalam ELISA plate reader pada λmax 595 nm.
Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan terdapat korelasi positif
antara konsentrasi madu denga persentase penangkapan radikal DPPH. Akan tetapi,
peningkatan konsentrasi madu tidak membuat peningkatan persentase penangkapan
radikal DPPH secara signifikan (Gambar 8). Untuk itu, dari data kedua hubungan
tersebut diplotkan untuk mendapatkan persamaan regresi (Tabel 6) dan nilai EC50.
Aktivitas antioksidan madu tercermin dari nilai EC50, yaitu konsentrasi efektif madu
dalam menangkap (menurunkan) 50% radikal bebas DPPH. Oleh karena itu, nilai
EC50 yang semakin rendah berarti aktivitas antioksidan ekstrak semakin tinggi.
26
Gambar 6 Tabung reaksi yang berisi madu dalam berbagai konsentrasi dan bakteri
uji dalam pengujian MIC.
Gambar 7. Larutan madu yang telah ditetesi DPPH
Gambar 8 Histogram hubungan antara konsentrasi madu dan jenis madu dengan
persentase penangkapan radikal DPPH. Keterangan: APDS = Asosiasi Periau Danau Sentarum ; JMHS = Jaringan Madu Hutan Sumbawa;
APMTN = Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo, KTMHUK = Kelompok Tani Madu Hutan Ujung
Kulon, PS: Pseudomonas aeruginosa,. EC: Escherichia coli. klasifikasi kekuatan antibakteri
(lemah, sedang, kuat) mengacu pada Davis (1971), Data madu Ulo dan madu Manuka bersumber
dari Sherlock et al. (2010).
27
Berdasarkan nilai EC50, madu hutan asal APMTN memiliki aktivitas
antioksidan tertinggi, diikuti madu APDS, JMHS, madu hutan asal APMTN
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, diikuti madu APDS, JMHS (Tabel 6). Bila
mengacu pada Molyneux (2004) dimana suatu zat dapat berpotensi sebagai
antioksidan bila nilai EC50nya kurang dari 1000 µg/mL, maka keempat madu hutan
yang diuji kurang berpotensi sebagai antioksidan alami. Akan tetapi, aktivitas
antioksidan keempat jenis madu hutan yang diujikan ini memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan madu randu dan madu
kelengkeng karena hasil penelitian Parwata et al. (2010) menunjukkan bahwa madu
randu dan madu kelengkeng dengan konsentrasi 8000 µg/mL hanya mampu
meredam DPPH sebesar 40% dan 52%, sedangkan madu hutan asal APMTN,
APDS, JMHS, dan KTMHUK mampu meredam DPPH sebesar 50% pada
konsentrasi yang lebih rendah, yaitu berturut-turut 1826, 3222, 4161, 5139 µg/mL
(Tabel 6).
Tabel 6. Persamaan regresi dari hubungan konsentrasi madu dengan persentase
penangkapan radikal DPPH dan nilai EC50 madu hutan Indonesia
Jenis madu Persamaan regresi R2
EC50
(µg/mL)
APDS y = 0,0155x + 0,0636
0,9965 3221,703
KTMHUK y = 0,0096x + 0,6629
0,9806 5139,281
APMTN y = 0,0273x - 0,1607
0,9909
1825,615
JMHS y = 0,0114x + 2,5613 0,8122
4161,289
3.5. Analisis kandungan zat ekstraktif
3.5.1. Analisis kualitatif
Zat ekstraktif yang dimaksudkan di sini adalah senyawa kimia hasil
metabolisme sekunder pohon yang terbawa ke dalam madu akibat aktivitas lebah
madu memakan nektar yang berasal dari pohon. Analisis kualitatif untuk
mendeteksi kandungan kelompok senyawa dilakukan dengan melihat perubahan
28
warna larutan madu dalam tabung reaksi setelah ditetesi larutan pendeteksi (Gambar
9).
Gambar 9 Hasil uji kualitatif kandungan kelompok zat ekstraktif dalam madu.
Berdasarkan hasil analisis fitokimia, keempat jenis madu hutan terdeteksi
mengandung zat ekstraktif dari kelompok saponin, alkaloid, fenolik, flavonoid,
triterpenoid dan glikosida. Akan tetapi, keempat madu tidak mengandung steroid
dan tanin (Tabel 7).
Tabel 7. Kandungan kelompok zat ekstraktuif madu berdasarkan ujin fitokimia
secara kualitatif
No
Kelompok zat
ekstraktif
Jenis madu hutan
APDS KTMHUK APMTN APMTN
1 Alkaloid + + + +
2 Fenolik + + + +
3 Flavonoid + + + +
4 Glikosida + + + +
5 Saponin + + + +
6 Steroid - - - -
7 Tanin - - - -
8 Triterpenoid + + + +
Keterangan : - : tidak terdeteksi; + : terdeteksi
Terdeteksinya senyawa fenolik dalam keempat jenis madu merupakan
jawaban adanya aktivitas antibakteri terutama terhadap bakteri dari kelompok
Gram negatif seperti bakteri Salmonella sp dan E. Coli. Mekanisme senyawa fenolik
sebagai zat antibakteri adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan
menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenolik
juga dapat mendenaturasi enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah. Senyawa fenolik mampu memutuskan ikatan
29
peptidoglikan saat menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa
fenolik akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik
komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta larutnya komponen-
komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya
permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan
terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam
metabolisme bakteri (Davidson dan Naidu 2000).
Terdeteksinya alkaloid, saponin, dan triterpenoid dalam keempat madu juga
diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri madu. Beberapa jenis alkaloid
diketahui berrsifat antibakteri ((Budzisz 2012, Ismail et al. 2009), saponin dapat
digunakan sebagai zat antibiotik pada jamur, anti influenza dan peradangan
ternggorokan (Harborne 1996), triterpenoid dan glikosida berkhasiat sebagai
antibakteri (Rita 2010).
3.5.2 Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif menggunakan data spektrum dari alat kromatograf gas-
spektrometer massa pirolisis merk Shimadzu Pyr-GCMS QP2010 dengan kolom
kapiler kuarsa yang dilapisi resin poliamida. Alat ini bekerja pada suhu pirolisis
400 C selama 1 jam, suhu injeksi 280 °C, suhu detektor 280 °C dan suhu awal
kolom 50 °C dengan peningkatan 15 °C per menit sampai 280 °C. Identifikasi
senyawa dilakukan dengan mencocokkan data spektrum masa beserta fragmentasi
ion suatu senyawa dalam ekstrak dengan data yang ada dalam pangkalan data
WILEY 7th library. Hasil identifikasi menunjukkan madu didominasi oleh gula
dengan terdeteksinya Levoglucosan, HMF, dan furfural lainnya hasil degradasi gula
melalui metode pirolisis. Akan tetapi, analisis GC-MS ini ditujukan untuk
mendeteksi kandungan zat ekstraktif dalam madu sebagai senyawa non inhibiene
yang berperan terhadap aktivitas antibakteri dan antioksidan madu.
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar zat ekstraktif yang terkandung
di dalam madu JMHS tidak terdapat di dalam madu hutan lainnya, dan demikian
pula sebaliknya. Madu yang jenis zat ekstraktifnya sebagian besar sama adalah
antara madu APDS dengan madu APMTN tetapi dengan kadar yang berbeda. Hasil
analisis ini membuktikan bahwa jenis nektar yang berasal dari jenis pohon yang
30
berbeda menyebabkan kandungan zat ekstraktif dalam madu berbeda jenis maupun
kadarnya, mengingat Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis pohon yang menjadi sumber
nektar lebah madu dari keempat madu hutan berbeda.
Hasil analisis fitokimia secara kuantitatif mempertegas hasil analisis
fitokimia kualitatif mengenai terkandungnya zat ekstraktif hasil metabolisme
tumbuhan di dalam madu. Hasil analisis GC-MS (Tabel 8) mendeteksi madu
mengandung 1,3-cyclopentenedione, cyclopentanone, dan orcinol dari kelompok
fenolik, aziridin dan dimethylpiperazine dari kelompok alkaloid. Senyawa yang
terdeteksi dalam madu ada yang bersifat volatil, seperti champor, cyclopentanone,
dan ketoisophorone.
Tabel 8. Komposisi fitokimia madu hutan berdasarkan analisis GC-MS pirolisis
Konsentrasi relatif (%)*)
Jenis senyawa APDS JMHS KTMHUK APMTN
1,3-Cyclopentenedione - 1,14 1,13 -
Cyclopentanone - 1,75 - -
Aziridine - 2,24 - -
Champor - 2,29 - -
Morpholine - 1,01 - -
Corylon (Maple Lactone) 2,29 - 2,62 1,2
Dimethylpiperazine 1,7 - - -
Ketoisophorone 0,69 - 1,08 -
3-bromo-5,5-dimethyl-
cyclohex-2-enol (Carveol)
0,82 - 0,29 -
Orcinol - - - 0,3
1,2-diethoxy-4-ethylbenzene - 0,89 - -
Keterangan: *)
= terhadap 45 jenis senyawa kimia yang terdeteksi dalam madu
Madu JMHS yang diketahui sebagai madu yang paling tinggi aktivitas
antibakteri Salmonella sp dan E. Coli terdeteksi mengandung zat ekstraktif yang
berdasarkan penelusuran pustaka bersifat antibakteri, seperti cyclopentenedione,
cyclopentanone, aziridine, morpholine, dan champor. Vacek et al. (2011)
melaporkan bahwa cyclopentenedione merupakan senyawa fenolik yang bersifat
antibakteri yang berhasil diisolasi dari Cyanobacterium strain. Senyawa yang
terdeteksi lainnya dalam madu JMHS seperti cyclopentanone menurut Trisuan et
al. (2010) sebagai senyawa fenolik bergugus keton beraroma pepermint yang
31
diisolasi dari Fussarium sp memiliki aktivitas antibakterial, antijamur, antimalaria,
dan antikanker (Trisuan et al. 2010). Aziridine merupakan senyawa kimia yang
dikembangkan sebagai antitumor, antimikroba, dan antibakteri (Ismail et al. 2009).
Bahkan penelitian sebelumnya membuktikan bahwa azidirine memiliki aktivitas
antibakteri E. Coli (Budzisz 2012). Panneerselvam et al. (2005) melaporkan bahwa
morpholine memiliki aktivitas antibakteri dengan nilai MIC 25, 19, dan 29 μg/ml
terhadap S. aureus, S. epidermidis, dan E. Coli, sedangkan Juteau et al. (2002)
menyatakan bahwa minyak atsiri Artemisia annua yang mengandung 44%
champor memiliki aktivitas antibakteri Enterococcus hirae.
Corylon yang termasuk senyawa volatil terkandung dalam madu APDS,
APMTN, dan KTMHUK (Tabel 8). Corylon dikenal sebagai bahan beraroma
buah dan digunakan sebagai perasa yang sangat lezat untuk makanan seperti kue-
kue, kosmetik, kopi, cokelat, kacang-kacangan, atau meningkatkan aroma dan rasa
tembakau (www.chemkind.com 2013).
Dimethylpiperazine merupakan alkaloid yang hanya terkandung dalam
madu APDS diketahui memiliki nitrogen di ring piperazine yang memainkan
peran penting sebagai agen anticacing, antialergi, dan antibakteri
(www.chemkind.com 2013). Ketoisophorone yang terdapat di dalam madu APDS
dan KTMHUK terdapat pula di dalam ekstrak metanol madu tualang asal Malaysia
dan bersifat antikanker (Syazana et al. 2011) Ketoisophorone sebagai perasa yang
juga terdapat pada madu Sage (Salvia officinalis) dan memiliki aktivitas antibakteri
(Kaˇskonien˙e dan Venskutonis 2010).
Madu APMTN memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan dengan
ketiga jenis madu hutan lainnya. Hal ini disebabkan hanya madu APMTN yang
mengandung orcinol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orcinol. yang
merupakan senyawa fenolik yang diisolasi dari lumut Hypotrachyna revoluta yang
memiliki aktivitas antioksidan (Panagiota et al. 2007).
32
IV. KESIMPULAN
Sifat fisiko-kimia keempat madu hutan yang memenuhi standar SNI 01-
3545-2013 adalah warna, aroma, rasa, aktivitas enzim diastase, kandungan HMF,
kadar air, kadar gula pereduksi (glukosa), padatan yang tidak larut dalam air, dan
cemaran logam. Namun, beberapa karakteristik kimia lainnya seperti kadar abu
madu APDS, JMHS, dan KTMHUK, kandungan sukrosa, keasaman madu APMTN,
dan cemaran kapang dari madu APMTN dan madu KTMHUK tidak memenuhi
SNI tersebut. Kandungan fruktosa keempat jenis madu memenuhi kriteria madu
menurut NHB, yaitu 30-45%.
Keempat jenis madu mengandung protein, vitamin A, B1, B2, B6, C, D, dan
E, seperti Ca, Mg, Mn, K, Zn, Fe, Se, Na, Cr, dan Cu dengan kadar yang beragam,
tetapi tidak terdeteksi mengandung lemak. Nilai protein madu APMTN (1,65 %) dan
madu JMHS (0,74 %) lebih tinggi bila dibandingkan dengan madu-madu yang
berasal dari luar negeri (rata-rata 0,5%). Madu KTMHUK mengandung vitamin B1
dan B2 serta mineral seperti Na, K, Fe, dan Mn yang lebih tinggi dibandingkan
ketiga madu lainnya, sedangkan madu JMHS mengandung vitamin D dan mineral
Mg, dan Zn tertinggi.
Keempat jenis madu memiliki aktivitas antibakteri yang bervariasi.
Keempat jenis madu memiliki aktivitas antibakteri tertinggi adalah terhadap bakteri
Salmonella sp, diikuti E. Coli, P. aeruginosa dan terendah terhadap S. aureus.
Madu yang memiliki aktivitas antibakteri Salmonella sp tertinggi adalah madu
JMHS, diikuti madu APDS, KTMHUK, dan APMTN. Aktivitas antibakteri E.coli
tertinggi dimiliki oleh madu JMHS, diikuti oleh madu APMTN, KTMHUK, dan
APDS. Madu yang memiliki aktivitas antibakteri P. aeruginosa dan S. aureus yang
relatif sama adalah madu APDS, JMHS, dan APMTN, dengan aktivitas terendah
dimiliki madu KTMHUK. Konsentrasi minimum untuk menghambat
perkembangbiakan bakteri Salmonella sp dan E. Coli adalah 25% untuk madu
JMHS, APDS, dan APMTN, sedangkan madu KTMHUK pada konsentrasi 50%.
Madu hutan asal APMTN memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, diikuti
madu APDS, JMHS, dan KTMHUK, akan tetapi keempat jenis madu tergolong
33
kurang berpotensi sebagai antioksidan alami karena kemampuan meredam radikal
DPPH sebesar 50% pada konsentrasi lebih dari 1000 µg/mL.
Hasil analisis fitokimia kualiatatif menunjukkan bahwa keempat jenis madu
hutan terdeteksi mengandung zat ekstraktif hasil metabolisme pohon sebagai
sumber nektar yang bersifat antibakteri dan antioksidan dari kelompok saponin,
alkaloid, fenolik, flavonoid, dan triterpenoid. Namun, hasil analisis kuantitatif
dengan GC-MS menunjukkan bahwa jenis dan kadar zat ekstraktif berbeda diantara
keempat jenis madu hutan. Madu JMHS yang memiliki aktivitas antibakteri
tertinggi mengandung beberapa senyawa yang bersifat antibakteri seperti
cyclopentenedione, cyclopentanone, aziridine, morpholine, dan champor, sedangkan
madu APMTN yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi mengandung orcinol
yang bersifat antioksidan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Alnaimat S, Wainwright, Al'Abri K. 2012. Antibacterial potential of honey
from different origins: a comparsion with manuka honey. JMBFS 1 (5)
1328-1338.
Atrott J, Henle T. 2009. Methylglyoxal in manuka honey – correlation with
antibacterial properties. Czech J. Food Sci.27:S163-S165
Bogdanov S, Jurendic T, Sieber R, Gallmann P. Honey for nutrition and health: A
review. J. Am. Coll. Nutr. 27: 677–689.
Bogdanov S. 1999. Honey quality, methods of analysis and international regulatory
standards: review of the work of the International Honey Commission. Mitt.
Geb. Lebensmittelunters. Hyg. 90: 108-125.
Budzisz E, Bobka R, Hauss A, Roedel JN, Wirth S, Lorenz IP, Rozalska B,
Więckowska-Szakiel M, Krajewska U, Rozalski M. . 2012. Synthesis,
structural characterization, antimicrobial and cytotoxic effects of aziridine, 2-
aminoethylaziridine and azirine complexes of copper(II) and palladium(II).
Dalton Trans. 41(19):5925-33. doi: 10.1039/c2dt12107g.
Davis C. 2005. The use of Australian honey in moist wound management. A report
for the rural industries research and development corporation. Publication
No. W05/159. Project No. DAQ-232A. Kingston:
Davidson, Naidu. 2000. Phyto-phenol. Di dalam: Naidu AS, Editor. Natural Food
Antimicrobial Systems. Florida (US): CRC Press. Hlm 265-288.
Dembitsky VM, Terent’ev AO, Levitsky DO. 2013. Aziridine Alkaloids: Origin,
Chemistry and Activity. In Ramawat KG, Mérillon JM. Natural Products
Phytochemistry, Botany and Metabolism of Alkaloids, Phenolics and
Terpenes. Berlin (DE): Springer Berlin Heidelberg DOI 10.1007/978-3-642-
22144-6_93
El-Gendy MAM. 2010. In vitro, evaluation of medicinal activity of egyptian honey
from different floral sources as anticancer and antimycotic infective agents. J
Microbial Biochem Technol 2: 118-123. doi:10.4172/1948-5948.1000035.
Elliott SS, Keim NL, Stern JS, Teff K, Havel PJ. 2002. Fructose, weight gain, and
the insulin resistance syndrome. Am J Clin Nutr 2002, 76:911-922.
Erwan, Yulianto W. 2009. Studi komposisi karbohidrat dan aktifitas enzim diastase
pada berbagai jenis madu yang beredar di pasaran kota Mataram. Oryza. 8
(2)
Fallico B, Arena E, Zappala M. 2008. Degradation of 5-hydroxymethylfurfural in
honey. J. Food Sci. 73 (9): C625-31. DOI: 10.1111/j.1750-
3841.2008.00946.x
Hanani E, Abdul M, Ryany S. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons
Callyspongia sp dari kepulauan seribu. MIK 2 (3):127 – 133.
35
Harborne. 1996. Metode Fitokimia:Penemuan cara modern menganalisis
tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung:
Penerbit ITB. Terjemahan dari : Phytochemical Methods.
Fyaz M D Ismail ; Dmitri O Levitsky ; Valery M Dembitsky . 2009. Aziridine
alkaloids as potential therapeutic agents. European J Med Chem 44(9): 3373-
3387
Gojmerac WL. 1983. Bees, Beekeping, Honey and Pollination. Westport: The
AVI Publishing Co. Inc.
Juteau F, Masotti V, Bessiere JM, Dherbomez M. 2002. Antibacterial and
antioxidant activities of Artemisia annua essential oil. Fitoterapia 73
(6):532–535
Kaˇskonien˙e V, Venskutonis PR. 2010. Floral Markers in Honey of Various
Botanical and Geographic Origins: A Review. Food Sci food Safety 9:
620-634. doi 10.1111/j.1541-4337.2010.00130.x
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor: P.19/Menhut-Ii/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Nasional. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia.
C, Candan F. 2007.
Biological activities and chemical composition of three honeys of different
types from Anatolia. Food Chem. 100:526–534.
Molan PC. 1992. The anitbacterial activity of honey. Bee World 5-28.
Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicryl-hidrazil (DPPH) for
estimazing antioksidant activity. Songklanakarin J Sci Technol.26:211-219.
Mulu A, Tessema B, Derby F. 2004. In vitro assesment of the antimicrobial potential
of honey on common human pathogens. Ethiop. J. Health Dev. 18 (2).
Mundo MA., Padilla-Zakour OI, Worobo RW. 2004. Growth inhibition of food
pathogens and food spoilage organisms by selected raw honeys. Int. J
Microbiol. 97: 1-8.
[NHB]. National Honey Board 2003.
Panagiota P, Olga T, Constantinos, Panagiotis K, Vassilios R. 2007. β-Orcinol
Metabolites from the Lichen Hypotrachyna revoluta. Molecules 12: 997-
1005 DOI:10.3390/12050997
Parwata OA, Ratnayani K, Listya A. 2010. Aktivitas antiradikal bebas serta kadar
beta karoten pada madu randu (Ceiba pentandra) dan madu kelengkeng
(Nephelium longata L.). Jurnal Kimia 4 (1):54-62.
Panneerselvam P, Nair RR, Vijayalakshmi G, Subramanian H, Sridhar SK, 2005.
Synthesis of Schiff bases of 4-(4-aminophenyl)-morpholine as potential
antimicrobial agents. European J Med Chem 40 (2): 225–229
36
Ray B. 1996. Fundamental Food Microbiologi. New York (US): CRC Press. Hlm:
410-411, 402-403.
Rita WS. 2010. Isolasi,identifikasi dan uji aktivitas antibakteri senyawa golongan
triterpenoid pada rimpang temu putih. J Kimia. 4(1):20-26.
Sherlock O, Dolan A, Athman R, Power A, Gethin G, Cowman S,Humphreys H.
2010. Comparison of the antimicrobial activity of Ulmo honey from Chile
and Manuka honey against methicillin-resistant Staphylococcus aureus,
Escherichia coli and Pseudomonas aeruginosa. BMC Compl. Alt. Med 10
(4):1-5.
Saragih YP, Ikram IL, Effendi NN. 1981. Madu, Teknologi, Khasiat, dan Analisa.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Sihombing DTH. 1997. Ilmu dan Ternak Lebah Madu. Yogjakarta: UGM Press.
Syazana MNS, Halim AS, Siew HG, Shamsuddin S. 2011. Antiproliferative effect of
methanolic extraction of tualang honey on human keloid fibroblasts. BMC
11:82 doi:10.1186/1472-6882-11-82
Syamsudin, Wiryowidagdo S, Simanjuntak P, Heffen WL. 2009. Chemical
composition of propolis from different regions in java and their cytotoxic
activity. Am. J. Biochem. & Biotech. 5(4): 180-183 .
Suranto A. 2007. Terapi Madu. Jakarta: Penebar Plus.
Taormina PJ, Niemira BA, Beuchat LR. 2001. Inhibitory activity of honey against
foodborne pathogens as influenced by the presence of hydrogen peroxide and
level of antioxidant power. Int J Food Microbiol. 69:217-225.
Tosi E, Martinet R, Ortega M, Lucero H, Ré E, 2008. Honey diastase activity
modified by heating. Food Chem. 106: 883–887.
Trisuwan K, Khamthong N, Rukachaisirikul V, Phongpaichit S, Preedanon S,
Sakayaroj J. 2010. Anthraquinone, cyclopentanone, and naphthoquinone
derivatives from the sea fan-derived fungi Fusarium spp. PSU-F14 and PSU-
F135. J Nat Prod. 73(9):1507-11. doi: 10.1021/np100282k
Winarno FG. 1992. Madu : Teknologi, Khasiat, dan Analisa. Bogor: Pusat
Pengembangan Teknologi Pangan.
Wismoro S. 2013. Tata Kelola Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu untuk Penguatan
Ekonomi Hijau. Jakarta: Satgas REDD.
Vacek J, Hrbáč J, Kopecký J, Vostálová J. 2011. A Phenolic Cyclopentenedione
Isolated from the. Cyanobacterium Strain. Molecules 16(5):4254-4263.
http://www.chemkind.com/chemicals-cprolist_516_2_3219_antifungal-
preservative.htm
http:www.chemicalland21.com/.../n,n'-Dimethylpiperazine.htm
37
BIODATA PENULIS
Rita Kartika Sari, lahir di Sukabumi Jawa Barat Tahun 1968,
Beliau adalah staf pengajar dan peneliti di Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau
menyelesaikan studi S1 hingga S3 di IPB. Bidang keahliannya
adalah kimia hasil hutan khususnya hasil hutan bukan kayu
(HHBK).
Rio Bertoni, lahir di Bandar Lampung Tahun 1978, menyelesaikan
pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas
Peternakan. Saat ini beliau mendapat mandat dari anggota Jaringan
Madu Hutan Indonesia (JMHI) menjadi Koordinator Nasional
JMHI periode 2013-2017. Keinginan beliau mendukung produk
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) begitu besar, khususnya madu
hutan yang menjadi bagian dari pelestarian hutan dan peningkatan ekonomi
masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang
berkelanjutan.
Theophila Aris Praptami lahir di Kulon Progo Tahun 1983,
menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Sanata Dharma
YogyaKarta Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, program
Studi Ekonomi Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi. Bekerja di
PD Dian Niaga Jarkarta–Divisi Madu sebagai bagian dari
sekretariat Marketing Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI).
Saat ini beliau sangat konsen melakukan penelitian mengenai investigasi senyawa
berkhasiat obat yang terkandung dalam komoditas HHBK (salah satunya adalah
madu hutan) serta pengembangan fitofarmaka berbasis HHBK.
Visi JMHIPerlindungan dan pelestarian hutan sebagai habitat lebah hutan, meningkatkan kesejahteraan petani madu hutan, dan
penghormatan terhadap kearifan lokal.
Misi JMHI• Pengelolaan dan pemanfaatan madu hutan secara lestari
dengan mengutamakan kearifan lokal• Perdagangan yang berkeadilan
• Peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas•Memperkuat pengakuan dari luar jaringan yang menghimpun
petani madu di bawah satu label atau logo bersama• Jaminan kualitas yang murni dan higienis dan bersumber
dari hutan alam
www.jmhi.or.id