Laporan Pendahuluan TBC DAN woc
-
Upload
rosalinie-kekek -
Category
Documents
-
view
141 -
download
18
description
Transcript of Laporan Pendahuluan TBC DAN woc
Laporan Pendahuluan
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Tuberkulosis Paru
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi ( Mansjoer , 1999).
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma
pada paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M :
1999).
B. Etiologi
Etiologi Tuberculosis Paru adalah Mycobacterium Tuberculosis yang
berbentuk batang dan Tahan asam ( Price , 1997 ). Jenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 m dan tebal antara 0,3 –
0,6 m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan
terhadap asam dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari
kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam
hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu
daerah apikal paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit paru.
C. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis
(TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit ( biasanya
sel T ) adalah sel imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari
satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-
hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler
ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal,
atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan
waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut
dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan
granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast,
menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa
membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon.
Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana
bahan cair lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi
tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam
percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain
di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau
usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah
mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka
akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus
dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat
perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak
dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan
bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk
lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran
darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran
limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis
milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga
banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-
organ tubuh.
Secara skematis dapat dijelaskan oleh bagan berikut :
TB. Primer
Kuman dibatukkan / bersin (droplet nudei inidinborne)
Terisap organ sehat
Menempel di jalan nafas / paru-paru
Menetap / berkembang biak
Sitoplasma makroflag
Membentuk sarang TB Pneumonia kecil
(sarang primer / efek primer)
Radang saluran pernafasan
(limfangitis regional)
Komplek primer
Sembuh Sembuh dengan bekas Komplikasi
TB Sekunder
Kuman dormat (TB Primer)
Infeksi endogen
TB DWS (TB. Post Primer)
Sarang pneumenia kecil
Tuberkel
Reorpsi Meluas Meluas
Sembuh
Perkapuran Jaringan Keju
Sembuh Kavitas
Meluas Memadat/bekas Bersih
Sembuh
Sarang pneumonia baru Tuberkuloma
D. Tanda Dan Gejala
Pada stadium dini penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda dan
gejala yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah :
1. Demam : sub fibril, fibril ( 40 – 410C ) hilang timbul.
2. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk
purulent ( menghasilkan sputum ).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
4. Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem
pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain
menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar
sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan
tuberkulosis milier.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Kultur sputum
Positif jika ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif
pada perjalanan penyakit.
2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3. Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer patch)
Reaksi positif (area indurasi > 10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi
antigen intra kutan) menunjukkan telah terjadinya infeksi dan
dikeluarkannya antibodi tetapi tidak menunjukkan aktifnya penyakit.
4. Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembangan tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area
fibrosa.
6. Pemeriksaan histologi/kultur jaringan
Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya
nekrosis.
8. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya
hipernatremia yang disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada
penyakit tuberkulosis kronis.
9. Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio
residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen
sebagai akibat infiltrasi parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan
kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).
G. Klasifikasi
Klasifikasi Kesehatan Masyarakat (American Thoracic Society, 1974)
1. Kategori 0 = - Tidak pernah terpapar / terinfeksi
- Riwayat kontak negatif
- Tes tuberculin negativ
2. Kategori I = - Terpapar TB tapi tidak terbukti ada infeksi
- Riwayat / kontak negatif
- Tes tuberkulin negatif
3. Kategori II = - Terinfeksi TB tapi tidak sakit
- Tes tuberkulin positif
- Radiologis dan sputum negatif
4. Kategori III = - Terinfeksi dan sputum sakit
Di Indonesia Klasifikasi yang dipakai berdasarkan DEPKES 2000 adalah
1. Kategori 1 :
Paduan obat 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZE/4HR atau 2HRZE/6HE.
Obat tersebut diberikan pada penderita baru TB Paru, BTA Positif,
penderita TB Paru BTA Negatif, Roentgen Positif yang “sakit berat” dan
Penderita TB ekstra Paru Berat.
2. Kategori II :
Paduan obat 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Obat ini diberikan untuk : penderita kambuh (relaps), pendrita gagal
(failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai ( after default)
3. Kategori III :
Paduan obat 2HRZ/4H3R3
Obat ini diberikan untuk penderita BTA negatif fan roentgen positif sakit
ringan, penderita ekstra paru ringan yaitu TB Kelenjar Limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudativa uiteral, TB Kulit, TB tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Adapun tambahan dari pengobatan pasien TB obat sisipan yaitu diberikan bila
pada akhir tahab intensif dari suatu pengobatan dengan kategori 1 atua 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap
hari selama satu bulan.
H. Pengobatan TB Paru
Jenis obat yang dipakai
- Obat Primer - Obat Sekunder
1. Isoniazid (H) 1. Ekonamid
2. Rifampisin (R) 2. Protionamid
3. Pirazinamid (Z) 3. Sikloserin
4. Streptomisin 4. Kanamisin
5. Etambutol (E) 5. PAS (Para Amino Saliciclyc Acid)
6. Tiasetazon
7. Viomisin
8. Kapreomisin
Pengobatan TB ada 2 tahap menurut DEPKES.2000 yaitu :
1. Tahap intensif
Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap rifampisin. Bila saat tahab intensif tersebut
diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif
menjadi negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan
ketat dalam tahab intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
2. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebih panjang
dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kelembutan. Tahab
lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan obat kategori 1 :
Tahap Lama (H) / day R day Z day F day Jumlah
Hari X
Nelan Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 60
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 54
Paduan Obat kategori 2 :
Tahap Lama (H)
@300
mg
R
@450
mg
Z
@500
mg
E
@ 250
mg
E
@500
mg
Strep.
Injeksi
Jumlah
Hari X
Nelan
Obat
Intensif 2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,5 % 60
30
Lanjutan 5 bulan 2 1 3 2 - 66
Paduan Obat kategori 3 :
Tahap Lama H @ 300 mg R@450mg P@500mg Hari X Nelan Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 60
Lanjutan
3 x week
4 bulan 2 1 1 54
OAT sisipan (HRZE)
Tahap Lama H
@300mg
R
@450m
g
Z
@500mg
E day
@250mg
Nelan X
Hari
Intensif
(dosis
harian)
1 bulan 1 1 3 3 30
I. Kegagalan Pengobatan
Sebab-sebab kegagalan pengobataan :
1. Obat :
a. Paduan obat tidak adekuat
b. Dosis obat tidak cukup
c. Minum obat tidak teratur / tdk. Sesuai dengan petunjuk yang
diberikan.
d. Jangka waktupengobatan kurang dari semestinya
e. Terjadi resistensi obat.
2. Drop out :
a. Kekurangan biaya pengobatan
b. Merasa sudah sembuh
c. Malas berobat
3. Penyakit :
a. Lesi Paru yang sakit terlalu luas / sakit berat
b. Ada penyakit lainyang menyertai contoh : Demam, Alkoholisme dll
c. Ada gangguan imunologis
J. Penanggulangan Khusus Pasien
1. Terhadap penderita yang sudah berobat secara teratur
a. Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis
dan cara pemberian.
b. Pemeriksaan uji kepekaan / test resistensi kuman terhadap obat
2. Terhadap penderita yang riwayat pengobatan tidak teratur
a. Teruskan pengobatan lama 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis
tiap-tiap bulan.
b. Nilai ulang test resistensi kuman terhadap obat
c. Jangka resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih
sensitif.
3. Pada penderita kambuh (sudah menjalani pengobatan teratur dan adekuat
sesuai rencana tetapi dalam kontrol ulang BTA ( +) secara mikroskopik
atau secara biakan )
a. Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
b. Lakukan pemeriksaan BTA mikroskopik 3 kali, biakan dan resistensi
c. Roentgen paru sebagai evaluasi.
d. Identifikasi adanya penyakit yang menyertai (demam, alkoholisme /
steroid jangka lama)
e. Sesuatu obat dengan tes kepekaan / resistensi
f. Evaluasi ulang setiap bulannya : pengobatan, radiologis,
bakteriologis.
Microbacterium
Infasi
Saluran napas atas
Tb. Paru
Imun tubuh turun
Peradangan/Infeksi
Reaksi inflamasi
Mengeluarkan pirogen
Hipotamus
Suhu tubuh naik
Gangguan suhu tubuh
Tuber keluar
Nekrose
Konverne
Menempel di atas
Pembuluh darah paru
Batuk Kuman keluar Secret penumpukan
Droplet noclei dalam darah
Terhidap oleh orang sehat
Rx Penularan
Hemaptasis
Kurang pengetahuan
Ansietas
Rasa tidak enak
Anorexia
Gangguan pemenuhan nutrisi
Energi tubuh turun
Kelemahan obat
Mobilitas turun
Peristaltik turun
Konitipasi
Gangguan eliminasi ALVI
Sulit keluar
Sesak
Gangguan nafas tak efektif
RX Injury
Bedrest
Rx. Dikubitus
K. Pathway
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data Yang dikaji dan mungkin ditemukan :
1. Aktifitas/istirahat
Kelelahan
Nafas pendek karena kerja
Kesultan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat
Takhikardi, takipnea/dispnea pada kerja
Kelelahan otot, nyeri , dan sesak
2. Integritas Ego
Adanya / factor stress yang lama
Masalah keuangan, rumah
Perasaan tidak berdaya / tak ada harapan
Menyangkal
Ansetas, ketakutan, mudah terangsang
3. Makanan / Cairan
Kehilangan nafsu makan
Tak dapat mencerna
Penurunan berat badan
Turgor kult buruk, kering/kulit bersisik
Kehilangan otot/hilang lemak sub kutan
4. Kenyamanan
Nyeri dada
Berhati-hati pada daerah yang sakit
Gelisah
5. Pernafasan
Nafas Pendek
Batuk
Peningkatan frekuensi pernafasan
Pengembangn pernafasan tak simetris
Perkusi pekak dan penuruna fremitus
Defiasi trakeal
Bunyi nafas menurun/tak ada secara bilateral atau unilateral
Karakteristik : Hijau /kurulen, Kuning atua bercak darah
6. Keamanan
Adanya kondisi penekanan imun
Test HIV Positif
Demam atau sakit panas akut
7. Interaksi Sosial
Perasaan Isolasi atau penolakan
Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab
8. Pemeriksaan Fisik
a. Pada tahap dini sulit diketahui.
b. Ronchi basah, kasar dan nyaring.
c. Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi
memberi suara umforik.
d. Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
e. Bila mengenai Pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak)
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur Sputum
b. Zeihl-Neelsen
c. Tes Kulit
d. Foto Thorak
e. Histologi
f. Biopsi jarum pada jaringan paru
g. Elektrosit
h. GDA
i. Pemeriksaan fungsi Paru
10.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi mukopurulen
dan kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges, 1999)
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan
keletihan, anorerksia atau dispnea. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
3. Resiko terhadap transmisi infeksi sehubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang resiko potogen. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan
dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan
perawatan dirumah.
5. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret
kental, kelemahan dan upaya untuk batuk. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
6. Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan
penurunan permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar –
kapiler. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
7. Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas dan
nyeri dada. (lynda, J. Carpenito, 1998).
8. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan
Martin Tucleer, dkk, 1998).
9. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu
makan akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
(Barbara Engram, 1993).
10. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
11. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap
dan sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).
12. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah). (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi. (Barbara Engram, 1993).
C. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan pertama : Ketidakefektifan pola pernapasan
sehubungan dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pola
nafas klien efektif
Kriteria hasil :
- klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
- frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16 – 20
kali/menit)
- dipsnea berkurang
Rencana Tindakan :
a. Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori
pernapasan : catat setiap peruhan
b. Kaji kualitas sputum : warna, bau, konsistensi
c. Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
d. Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler
tinggi.
e. Bantu dan ajakan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap 2
jam sampai 4 jam.
f. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat – obatan.
Rasional
a. Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret.
b. Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan perawatan dan
pengobatan selanjutnya.
c. Mengetahui sendini mungkin perubahan pada bunyi napas.
d. Membantu mengembangkan paru secara maksimal.
e. Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret laluar.
f. Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret
dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial.
2. Diagnosa keperawatan kedua : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan
tubuh yang sehubungan dengan anoreksia, keletihan atau dispnea.
Tujuan : Kebetuhan nutrisi klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan
keperawtan selama 3X24 jam
Kriteria hasil :
- Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
- Berat badan stabil dalam batas yang normal
Rencana tindakan :
a. Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas mukosa
oral, riwayat mual / muntah atau diare.
b. Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
c. Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik
d. Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
e. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi diet
Rasional
a. Berguna dalam mendefenisikan derajat / wasnya masalah dan pilihan
indervensi yang tepat.
b. Membantu dalam mengidentifukasi kebutuhan / kekuatan khusus.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masakan diet.
c. Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi dan dukungan cairan
d. Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun atau obat untuk
pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
e. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu /
legaster
f. Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat
untuk kebutuhan metabolik dan diet
3. Diagnosa keperawatan ketiga : Resiko terhadap transmisi infeksi sehubungan
dengan kurangnya pengtahuan tentang resiko patogen.
Tujuan : klien mengalami penurunan resiko untuk menularkan penyakit
Kriteria hasil :
klien mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang ditunjukkan
oleh kegagalan kontak klien
Rencana tindakan :
a. Identifikasi orang lain yang berisiko. Contah anggota rumah, sahabat.
b. Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tisu dan
hindari meludah serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
c. Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi
pernafasan.
d. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan berulang
tuberkulasis.
e. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
f. Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen Kesehatan
lokal.
Rasional :
a. Orang yang terpajan ini perlu program terapi obat intuk mencegah
penyebaran infeksi
b. Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi
c. Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan membuang
stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular
d. Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien untuk mengubah pola
hidup dan menghindari insiden eksaserbasi
e. Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi
pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi
dapat berlanjut sampai 3 bulan
f. Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat dihubungi untuk
menurunkan penyebaran infeksi
Daftar Pustaka :
Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (1995). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Amin muhammad, Hood Alsagaff. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Blac,MJ Jacob. (1993). l.uckman & Sorensen’s Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.
Barbara Engram. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC. Jakarta.
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2. EGC Jakarta.
Diana C. Baughman. ( 2000 ), Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo, ( 1997 ). Keperawatan kritis : suatu pendekatan holistic, EGC, Jakarta
Keliat, Budi Anna. (1991). Proses Keperawatan. Arcan. Jakarta.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius Jakarta.
Marylin E doengoes. (2000). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan /pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta.
Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Yunus Faisal. (1992). Pulmonologi Klinik. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta