LAPORAN PBL 1 NSS FIX.docx
-
Upload
mey-harsanti -
Category
Documents
-
view
173 -
download
2
description
Transcript of LAPORAN PBL 1 NSS FIX.docx
LAPORAN PBL I
BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)
“Suamiku kok jadi.....”
Tutor:
Tutor :
dr. Diah Krisnansari, MSi
Disusun Oleh:
KELOMPOK III
1. Sarah Maulina O. G1A009015
2. Dikodemus Ginting G1A009019
3. Dias Isnanti G1A009034
4. Prabawa Yogaswara G1A009048
5. Femy Indriani G1A009052
6. Radita Ikapratiwi G1A009103
7. Esti Setyaningsih G1A009106
8. Benza Asa Dicaraka G1A009119
9. Winda Tryani G1A009128
10. Elis Ma’rifah G1A008018
11. Radityo Arif K1A005036
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
INFORMASI 1
Suamiku kok jadi.......
RPS
Tn. A berusia 60 tahun datang ke IGD RSMS diantar oleh keluarganya
dengan keluhan anggota gerak sebelah kanan lemah, pasien mengeluh tiba-tiba
merasa anggota gerak sebelah kanan terasa lemah dan terjatuh pada saat pasien
bangun tidur. Anggota gerak kanan tidak kuat angkat dan bila digerakkan terasa
berat. Jika dipaksakan bergerak hanya hanya bisa menggeser sedikit demi sedikit
tetapi tetap tidak dapat diangkat. Keluhan dirasakan sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit sampai sekarang. Pasien juga mengeluh nyeri kepala sebelum pasien
merasa anggota gerak kanannya lemah. Pasien tidak mengeluh mual maupun
muntah dan tetap dalam keadaan sadar sebelum, saat, maupun sesudah kejadian.
Pasien tidak mengeluh ada riwayat demam maupun kejang sebelumnya. Pasien
juga menyangkal mengalami trauma kepala sebelumnya,
Tn. A juga merasa wajahnya menjadi tidak simetris, mulutnya menceng ke
kiri dan bicaranya menjadi pelo. Tn. A seorang perokok, satu hari dapat
menghabiskan 1-2 pak rokok.
INFORMASI 2
RPD
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak kontrol teratur
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat DM menderita sejak 2 tahun yang lalu dan tidak kontrol teratur
Riwayat trauma kepala disangkal
RPK
Riwayat DM dalam keluarga tidak disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kejelasan Istilah dan Konsep
1. Afasia
Gangguan cara berbahasa. Sindrom afasia dapat dibagi menjadi afasia
motorik dan sensorik. Lesi yang menimbulkan afasia motorik terletak di
sekitar daerah Broca dimana kondisi terberat adalah penderita sama sekali
tidak bisa mengeluarkan kata-kata namun masih mengerti bahasa verbal
dan visual. Afasia sensorik dikenal dengan afasia Wernick dimana
kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual terganggu atau
hilang sama sekali (Mardjono, 2009).
2. Disartria
Gangguan artikulasi. Pada disartria, hanya cara mengucapkannya saja
yang terganggu tetapi tata bahasanya baik (Mardjono, 2009).
B. Menetapkan Definisi Dan Batasan Permasalahan Yang Tepat
Anamnesis
1. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 60 tahun
2. RPS
Keluhan utama : angota gerak sebelah kanan lemah
Onset : 2 jam sebelum masuk rumah sakit
Kronologis : saat bangun tidur terjatuh karena tiba-tiba merasa
anggota gerak sebelah kanan lemah dimana anggota
gerak kanan tidak kuat angkat dan bila digerakkan
terasa berat.
Kualitas : keadaan sadar sebelum, saat, maupun sesudah
kejang
Gejala penyerta : nyeri kepala, tidak mengeluh mual dan muntah,
wajah tidak simetris, mulut menceng ke kiri, bicara
pelo
3. RPD
a. Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak kontrol teratur
b. Riwayat DM menderita sejak 2 tahun yang lalu dan tidak kontrol teratur
c. Riwayat demam atau kejang disangkal
d. Riwayat trauma kepala disangkal
e. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal
f. Riwayat penyakit jantung disangkal
4. RPK
Riwayat DM, hipertensi, dan penyakit jantung disangkal
5. RPSos
Merokok 1-2 pak rokok sehari
C. Menganalisa Permasalahan
1. Anatomi cerebrum
2. Fungsi korteks serebri masing-masing lobus
3. Anatomi cerebellum dan batang otak
4. Fisiologi otak secara keseluruhan?
5. Histologi otak dan medula spinalis
6. Faktor resiko
7. Faktor yang memperberat (merokok)
8. Patofisiologi gejala
a. Nyeri kepala
b. Afasia
INFORMASI 3
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kuantitatif : GCS E4M6V5
Vital sign : TD : 200/100 mmHg
N : 98x / menit, reguler
RR : 22x / menit
S : 36,3o
Kepala : mesocephal, tanda trauma (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek
cahaya +/+, pupil isokor diameter 2 mm/ 2 mm
Leher : dbn
Jantung : batas kiri 2 cm lateral midclavicular line, lainnya dalam
batas normal
Paru : dbn
Abdomen : dbn
9. Hipotesis Sementara
a. Stroke hemorragik
b. Stroke non hemorragik
10. Perbedaan Stroke Hemorragik dan Non hemorragik
D. Menyusun Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan
1. Anatomi cerebrum
Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa cranii
anterior dan medius serta menempati seluruh cekungan tempurung
tengkorak. Cerebrum terbagi menjadi dua bagian yaitu diencephalon
yang membentuk inti sentral dan telencephalon yang membentuk
hemispherium cerebri (Snell, 2006).
a. Diencephalon
Diencephalon merupakan struktur yang terletak di garis tengah
dengan belahan kanan dan kiri yang simetris. Diencephalon terdiri
dari ventrikulus tertius dan struktur yang membatasinya.
Diencephalon meluas ke posterior di tempat ventrikulus tertius
bersambung dengan aquaductus cerebri dan ke anterior sejauh
foramina interventricularis (Snell, 2006).
b. Hemispherium Cerebri
Hemispherium cerebri merupakan bagian otak yang paling besar dan
dipisahkan oleh fisura sagiitalis. Untuk memperluas permukaan cortex
cerebri secara maksimal, masing-masing permukaan hemispherium
cerebri membentuk lipatan-lipatan atau gyri yang terpisah satu dengan
yang lain oleh sulcus atau fissura. Pembagian hemispherium
dinamakan sesuai dengan tulang tengkorak yang ada di atasnya yaitu
lobus frontalis, parietalis, tempooralis, dan oksipitalis dengan sulcus
centralis, parietooccipitalis, lateralis dan calcarina sebagai batas-batas
yang digunakan (Snell, 2006).
1) Lobus
a) Frontalis
Lobus frontalis menempati daerah di anterior sulcus
centralis dan di superior sulcus lateralis. Bagian ini
mengandung daerah-daerah motorik dan premotorik (Snell,
2006).
Gambar 1. Pandangan medial hemisfer cerebri kanan (Snell, 2006)
b) Parietalis
Lobus parietalis terletak di daerah posterior sulcus centralis
dan di superior sulcus lateralis, lobus ini meluas ke posterior
sampai sejauh sulcus parietooccipitalis (Snell, 2006).
c) Occipitalis
Lobus oksipitalis adalah lobus posterior korteks serebrum.
Lobus ini menempati daerah kecil di belakang sulcus
parietooccipitalis (Snell, 2006).
d) Temporalis
Lobus temporalis menempati daerah di inferior sulcus
lateralis (Snell, 2006).
2) Sulcus
a) Sulcus centralis
Sulcus centralis sangat penting karena gyrus yang terletak
di sebelah anteriornya mengandung sel-sel motorik yang
menginisiasi gerakan-gerakan tubuh sisi kontralateral. Pada
bagian posterior sulcus ini terletak korteks sensorik umum
yang menerima informasi sensorik dari sisi tubuh kontralateral
(Snell, 2006).
b) Sulcus parietooccipitalis
Sulcus parietooccipitalis berjalan turun dan ke arah anterior
pada permukaan medial untuk bertemu dengan sulcus
calcarina. Sulcus ini memisahkan lobus parietal dengan lobus
occipital (Snell, 2006).
c) Sulcus lateralis
Sulcus lateralis merupakan celah dalam yang terutama
ditemukan di permukaan inferiror dan lateral hemisphere
cerebri. Sulcus ini memisahkan lobus parietal dengan lobus
temporal (Snell, 2006).
d) Sulcus calcarina
Sulcus calcarina terdapat pada permukaan medial
hemisphere. Sulcus ini dimulai dari bawah ujung posterior
corpus callosum dan melengkung ke atas dan belakang untuk
mencapai polus occipitalis yang merupakan tempat
berakhirnya sulcus tersebut (Snell, 2006).
2. Fungsi korteks serebri masing-masing lobus
a. Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan area motorik primer, yang bertanggung
jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, bertanggung jawab untuk
perilaku bertujuan, penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang
kompleks. Area ini terletak di sepanjang gyrus presentralis. Daerah
Broca terletak di lobus frontalis dan mengontrol ekspresi bicara.
Banyak daerah-daerah asosiasi di lobus frontalis menerima informasi
dari seluruh otak dan menggabungkan informasi-informasi tersebut
menjadi pikiran, rencana, dan perilaku. Lobus frontalis
memodifikasi dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem
limbik dan refleksrefleks vegetatif dari batang otak (Hartwig,
2005).
Gambar 2. Pandangan lateral pada cerebrum (Hartwig, 2005)
b. Lobus parietalis
Lobus ini merupakan daerah sensorik primer otak untuk rasa
raba dan pendengaran. Peran utama korteks parietalis adalah pada
kegiatan pemrosesan dan integrasi informasi sensorik yang lebih
tinggi tingkatnya. Lobus parietalis menyampaikan informasi
sensorik ke banyak daerah lain di otak, termasuk daerah asosiasi
motorik dan visual di sebelahnya (Hartwig, 2005).
c. Lobus temporalis
Lobus temporalis merupakan area sensorik reseptif untuk impuls
pendengaran dan mencakup daerah Wernicke tempat interpretasi
bahasa. Lobus ini juga berperam dalam interpretasi bau dan proses
penyimpanan ingatan (Hartwig, 2005).
d. Lobus occipitalis
Lobus ini mengandung korteks penglihatan primer yang menerima
informasi penglihatan dari retina dan menyadari sensasi warna
(Hartwig, 2005).
3. Anatomi cerebellum dan batang otak
Otak, terbagi atas struktur-struktur utama sebagai berikut :
a. Cerebrum (otak besar)
1) Struktur :
a) Hemisphere dextra et sinistra
b) Fissura longitudinalis cerebrii
c) Corpus callosum
d) Gyrus et sulcus
2) Sulcus :
a) Sulcus centralis
b) Sulcus occipitoparietalis
c) Sulcus lateralis (sylvius)
3) Lobus
a) Lobus frontalis
b) Lobus parietalis
c) Lobus occipitalis
d) Lobus temporalis
b. Cerebellum (otak kecil) Fungsi : Pusat Kordinasi Keseimbangan
c. Diencephalon (thalamus dan hipotalamus)
d. Truncus encephali (batang otak), tediri atas 3 bagian:
1) Mesencephalon
2) Pons
3) Medulla oblongata
4. Fisiologi
a. Tractus Ascenden
Saat memasuki medulla spinalis, serabut-serabut saraf sensorik
dengan berbagai ukuran dan fungsi dipilah-pilah dan dipisahkan
menjadi berkas-berkas atau tractus-tractus saraf di substansia alba.
Beberapa serabut saraf berperan untuk menghubungkan segmen-semen
medulla spinalis yang berbeda, sedangkan serabut lain naik dari
medulla spinalis ke pusat yang lebih tinggi sehingga menghubungkan
medulla spinais dengan otak. Berkas-berjas serabut yang berjalan ke
atas ini disebut tractus ascenden (Snell, 2006).
Tractus ascenden menghantarkan informasi aferen, baik yang dapat
maupun tidak dapat disadari. Informasi ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok utama, yaitu (Snell, 2006):
Gambar 3. Anatomi cerebellum dan batang otak
1) Informasi eksteroseptif : yang berasal dari luar tubuh, seperti nyeri,
suhu, dan raba
2) Informasi propioseptif: yang berasal dari dalam tubuh, misalnya ari
otot dan sendi
Informasi umum dari ujung-ujung saraf sensorik perifer
dihantarkan melalui sistem saraf oleh serangkaian neuron. Dalam
benuk yang paling sederhana, jaras ascenden untuk kesadaran
tertinggi dari tiga neuron (Snell, 2006).
1) Neuron pertama, yaitu neuron tingkat pertama, memiliki badan sel
yang terletak di dalam ganglion radix posterior saraf tepi. Processus
perifer berhubungan dengan ujung reseptor sensorik, sedangkan
processus central masuk ke medulla spinalis melalui radix posterior
dan bersinaps dengan neuron tingkat kedua.
2) Neuron tingkat kedua memiliki akson yang menyilang garis tengah
(menyilang ke sisi kontralateral) dan naik ke tingkat susunan saraf
yang lebih tinggi, yaitu tempat di mana akson tersebut bersinaps
degan neuron tingkat tiga.
3) Neuron tingkat tiga biasanya berada di thalamus dan memiliki
tonjolan serabut yang berjalan ke area sensorik cortex cerebri.
Rantai tiga-neuron tersebut merupakan penataan yang paling
umum, tetapi beberapa lintasan aferen memiliki neuron lebih
banyak atau lebih sedikit (Snell, 2006).
Fungsi tractus ascenden diantaranya adalah sebagai contoh sensasi
nyeri dan suhu naik melalui tractus spinothalamicus; sensasi raba dan
tekanan ringan naik melalui tractus sphinothalamicus anterior.
Tractus – tractus ascendens (Snell, 2006) :
1) Tractus spinothalamicus lateralis
2) Tractus spinothalamicus anterior
3) Columna alba posterior
4) Tractus spinocerebellaris
5) Tractus cuneocerebellaris
6) Tractus spinotectalis
7) Tractus spinoreticularis
8) Tractus spinoolivarius
b. Tractus descenden
Neuron mototrik yang terletak di columna grisea anterior medulla
spinalis mengirimkan akson untuk mempersarafi otot rangka melalui
radix anterior spinals. Neuron motorik ini kadang disebut low
motorneuron dan merupakan final common pathway menuju otot.
Lower motor neuron menerima impuls saraf secara terus menerus
yang turun dari medulla spinalis, pons, mesencephalon, dan cortec
cerebri, seperti impuls yang masuk pada serabut sensorik dari radix
posterior. Serabut saraf yang turun di dalam substansia alba dari
berbagai pusat saraf supraspinalis dipisahkan dalam berkas saraf yang
disebut tractus descenden. Neuron supraspinalis bersama tractusnya
disebut upper motor neuron dan membentuk jaras yang berbeda yang
dapat mengendalikan aktivitas motorik (Snell, 2006).
Kontrol aktivitas otot rangka dari cortex cerebri dan pusat-pusat
yang lebih tinggi lainnya dihantarkan melalui sistem saraf oleh
rangkaian neuron. Jaras desenden dari cortex cerebri umumnya
dibentuk oleh tiga neuron (Snell, 2007).
1) Neuron pertama mempunyai badan sel didalam cortex cerebri.
Aksonnya berjalan turun dan bersinaps dengan neuron tingkat dua
yaitu sebuah neuroninternuncial yang terletak di columna grisea
anterior medulla spinalis.
2) Neuron tngkat kedua pendek dan bersinaps dengan neuron tingkat
tiga yait lower motor neuron dicolumna grisea anterior.
3) Neuron tingkat tiga mempersarafi otot angka melalui radix anterior
dan saraf spinal. Pada kasus tertentu, akson neuron tingkat pertama
langsung berakhir pada neuron tingkat ketiga (Snell, 2007).
Tractus – tractus descenden (Snell, 2006) :
1) Tractus corticospinalis
2) Tractus reticulospinalis
3) Tractus rubospinalis
4) Tractus vestibulospinalis
5) Tractus olivospinalis
Gambar 6. Tractus Descendens (Snell, 2006)
5. Histologi otak dan medula spinalis
Sistem saraf dibentuk oleh jaringan saraf yang terdiri atas beberapa
macam sel. Komponen utamanya adalah sel saraf atau neuron didampingi
oleh sel glia sebagai sel penunjang.
a. HISTOLOGI OTAK
Otak terdiri atas cerebrum, cerebellum, dan batang otak.
Cortex cerebri merupakan suatu struktur yang mempunyai banyak
sekali lipatan dengan beberapa regio berlamina yang mempunyai peran
berbeda. Neuron di beberapa region cortex menerima impuls affrent
(sensoris), di region yang lain neuron efferent menghasilkan impuls
yang mengontrol gerakan volunteer. Ada banyak jenis atau tipe sel
penting dan mudah dikenal adalah sel pyramid yang menghubungkan
cortex dengan bagian otak yang lain. Cortex cerebri dibagi menjadi
neocortex yang mempunyai 6 lapisan sel dan allocortex yang
mempunyai 3 lapisan saja (Wibowo, 2008).
Cerebellum mempunyai struktur yang beliat-lipat dan tersusun
dalam lamina. Cortexnya terdiri dari 3 lapisan yakni lapisan molekuler,
purkinje, dan granuler (Wibowo, 2008).
b. HISTOLOGI MEDULLA SPINALIS
Perbedaan histologis yang pentingantar otak dan medulla spinalis
adalah dalam kedudukan sustansia grisea dan sustansia alba. Di
medulla spinalis substansia alba mengelilingi substansia grisea.
Substansia grisea mengandung badan sel neuron beserta dendritnya,
axon, dan sel glia. Substansia grisea tersebut dibagi menjadi 2 cornu
dorsalis dan cornu ventralis yang dihubungkan oleh commisura
substansia grisea. (Wibowo, 2008).
6. Faktor resiko
Tidak dapat
dimodifikasi
Dapat dimodifikasi Potensial dimodifikasi
Usia Hipertensi Obesitas
Jenis kelamin Diabetes mellitus Inaktivitas fisik
Ras Hiperkolesterolnemi Hiperhomosisteinemia
Hereditas Atrial fibrilasi Kondisi hiperkoagulitas
Merokok Kontrasepsi oral terapi
hormonal terapi
Stenosis karotis Proses inflamasi
Penyakit sel sabit Alkohol berlebihan
Abuse obat-obatan
7. Faktor yang memperberat (merokok)
Hipertensi rokok nikotin ↓ Nitrit Oksida (NO) vasokonstriksi
pembuluh darah memperparah hipertensi
8. Patofisiologi gejala
a. Nyeri kepala (Sherwood, 2001)
Hipertensi
Peningkatan saraf simpatis
Vasokonstriksi pembuluh darah sistemik
aktivasi Prostaglandin
Vasodilatasi lokal pembuluh darah cerebrum
Menekan saraf-saraf di sekitarnya
Nyeri kepala
b. Afasia
Lesi pada gyrus frontalis inferior area Broca tersensitiasai
gangguan berbahasa
9. Hipotesis Sementara
a. Stroke hemorragik
b. Stroke non-hemorragik
Terjadi pada saat bangun tidur, anggota gerak kanan tidak kuat angkat
(hemiparesis), tidak mengeluh mual dan muntah , tidak ada kejang,
wajah tidak simetris, mulut menceng ke kiri, Bicaranya pelo (disatria).
10. Perbedaan Stroke Hemorragik dan Non hemorragik
Gejala/ simptom Stroke
hemoragik
Stroke non
hemoragik
Onset Aktif Istirahat
Warning - +
Nyeri kepala + +/-
Kejang + -
Muntah + -
Penurunan kesadaran +++ +/-
Sign/tanda Stroke hemoragik Stroke non hemoragik
Bradikardia ++ Dari awal + Hari ke 4
Edem pupil Sering + -
Kaku kuduk + -
Brudzinski + -
Retina perdarahan + -
Pitosis + -
Lokasi Subkortikal Kortikal
INFORMASI 4
Pemeriksaan Neurologis
Tidak didapatkan tanda-tanda iritasi meningeal
N. Cranialis
Parese N. VII kanan tipe sentral
Parese N. XII tipe sentral
Fungsi motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)
Gerak T / B T / B
Kekuatan 2 / 5 2 / 5
Reflek fisiologis +↑ / +N +↑ / +N
Reflek patologis + / - + / -
Tonus N / N N / N
Trofi E / E E / E
Pemeriksaan sensibilitas : dbn
Sirirah stroke score
= {(2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 1) + (0,1 x 100) – (3 x 1)} – 12
= 9 – 12
= -3 Stroke Non Hemoragik
INFORMASI 5
Hasil Laboratorium
Hb : 13 gr/dl
Leukosit : 12.000/mm3
Hematokrit : 40%
LED : 12 mm
Trombosit : 410.000/mm3
GDS : 300 mg/dl
Kolesterol total : 170 mg/dl
HDL : 45 mg/dl
LDL : 175 mg.dl
Trigliserida : 155 mg.dl
Asam urat : 5,2 mg/dl
BUN : 25 mg/dl
Kreatinin serum : 1,1 mg/dl
Pemeriksaan Penunjang lain
EKG : Hipertrofi ventrikel kiri
Ro Thorax : kardiomegali ringan
CT scan kepala : gambaran hipodens pada hemisfer kiri
INFO 6
Assesment
Diagnosis Klinis I : Hemiparese dextra, parese N. VII dextra sentral,
parese N. XII dextra sentral
Diagnosis Klinis II : Hipertensi, Diabetes melitus
Diagnosis Topik : Kapsula interna sinistra
Diagnosis etiologi : Stroke non hemoragik
Diagnosis banding : Stroke hemoragik
INFO 7
Penatalaksanaan
Farmakologi
- Tirah baring
- O2 kanul
- IVFD Asering 20 tpm
- Cilostazol 2 x 100 mg PO
- Piracetam 4 x 3 gram iv
- Insulin 6 unit tiap 6 jam subkutan
Monitoring
- Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
- 5 B (Breathing, Blood, Brain, Bowel, Bladder)
Rehabilitasi
- Komunikasi
- Mobilisasi
- Aktivitas sehari-hari
Edukasi
- Mengatur pola makan yang sehat
- Menghentikan rokok
- Melakukan olahraga yang teratur
- Menghindari stress dan beristirahat cukup
E. Merumuskan Tujuan Belajar
1. Interpretasi Info
2. Jaras piramidalis
3. Jaras ekstrapiramidalis
4. Patofisiologi gejala
a. Kelemahan saat bangun tidur
b. Wajah tidak simetris
c. Pelo
5. Anatomi nervus cranialis 1-6
6. Anatomi nervus cranialis 7-12
7. Perbedaan afasia dan disartria dan pasien tergolong yang mana?
8. Perbedaan fungsi hemisfer cerebri dextra dan sinistra
9. Pupil isokor diameter 2 mm/2 mm normal atau tidak? Normalnuya
berapa?
10. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan
11. Stroke
a. Definisi dan insidensi
b. Mekanisme dan klasifikasi
c. Faktor resiko
d. Tanda dan gejala
e. Patofisiologi
f. Skoring dan penilaian jenis stroke
g. Diagnosis
1) Etiologi
2) Klinis
3) Topis
h. DD stroke
i. Pencegahan
j. Komplikasi
k. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
2) Non farmakologi
l. Upaya preventif, promotif, monitoring
m. Rehabilitasi Medik
n. Aspek psikososial
o. Prognosis
F. Belajar Mandiri Secara Individual Atau Kelompok
Sudah dilaksanakan
G. Menarik Atau Mengambil Sistem Informasi Yang Dibutuhkan Dari
Informasi Yang Ada
1. Interpretasi Info
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)
Gerak T / B T / B
Kekuatan 2 / 5 hemiparese dextra 2 / 5
Reflek fisiologis +↑ / +N hiperrefleks +↑ / +N
Reflek patologis + / - + / -
Tonus N / N N / N
Trofi E / E E / E
Tanda lesi UMN :
a. Hipertoni
b. Refleks patologis positif
c. Hiperrefleks
d. Atrofi negatif
Hasil Laboratorium
Hb : 13 gr/dl
Leukosit : 12.000/mm3 meningkat
Hematokrit : 40%
LED : 12 mm
Trombosit : 410.000/mm3 meningkat
GDS : 300 mg/dl meningkat
Kolesterol total : 170 mg/dl
HDL : 45 mg/dl
LDL : 175 mg.dl meningkat
Trigliserida : 155 mg.dl
Asam urat : 5,2 mg/dl
BUN : 25 mg/dl
Kreatinin serum : 1,1 mg/dl
Pemeriksaan Penunjang lain
EKG : Hipertrofi ventrikel kiri
Ro Thorax : kardiomegali ringan
CT scan kepala : gambaran hipodens pada hemisfer kiri tidak
ada perdarahan
2. Jaras piramidalis
Istilah jaras piramidalis digunakan dan ditujukan untuk salah satu tractus
descendens yaitu tractus corticospinalis. Istilah ini dipakai ketika
diketahui bahwa serabut-serabut saraf corticospinalis berkumpul di bagian
anterior medulla oblongata dan membentuk seperti struktur piramis
(Snell, 2006).
3. Jaras Ekstrapiramidalis
Istilah jaras ekstrapiramidalis ditujukan untuk tractus-tractus descendens
selain tractus corticospinalis. Tractus-tractus tersebut tidak melewati
struktur pyramid. Yang membedakan dengan tractus piramdialis adalah
jalur penghantaran impuls sensorik-motorik di dalam cerebrum. Yaitu
melalui sirkuit-sirkuit (Mardjono, 2009) :
a. Sirkuit pertama:
Dimulai dengan efektor kemudian dilanjutkan kedalam area
propiosepftif kemudian menuju columna clark dan menu spinocentralis
dorso maupun ventral kemudian masuk ke dalam cotex cerebella dan
ditambhakn pula disini beberapa serabut saraf dari inti pontin dan olive
interior kemudian menuju inti cerebella dan samapi pada nucleus
ventrolateral thalamus yang kemudian dilanjutkan ke area motorik area
4 dan area 6 (Mardjono, 2009).
b. Sirkuit kedua:
Area 4 sebagai korteks motorik memberikan pejalaran impuls kepada
nuclus ventrolateral kemudian menuju globus palidus dilanjutkan
Gambar 7. Jaras Piramidalis (Snell, 2006)
kedalam substansia nigra lalu masuk kedalam propiseptif dan
menimbulkan efektor (Mardjono, 2009).
c. Sirkuit ketiga:
Area 8 dan 4 sebagai area motorik memasuki nucleus caudatus dan
menuju globus palidus kemudian memasuki nucleus ventrolateral
thalami dan bercabang menjadi dua ke area 4 sebagai jaras pyramidal
dan area 6 sebagai jaras extrapiramidal dan melalui tractus
corticospinal menimbulkan efektor (Mardjono, 2009).
4. Patofisiologi gejala
a. Kelemahan saat bangun tidur
Tekanandarah merupakan faktor penting di sini. saat pagi hari,
terjadi peningkatan tekanan darah yang engakibatkan terjadinya stroke.
Selain itu, menjelang pagi hari, terjadi penurunan aliran darah ke otak
sehingga terdapat bagian tertentu otak yang mengalami sumbatan.
(Hendrik, 2011).
b. Wajah tidak simetris
ini terjadi kerusakan pada nerve fasialis dimana terjadi lesi akibat
stroke yang biasanya terjadi, dan ini merupakan
Gambar 8. Jaras Ekstrapiramidalis
1) Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian
bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral
akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot
wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya,
sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua
sudut mulut disuruh diangkat maka sudut mulut yang sehat saja
yang dapat terangkat.
2) Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os
petrusus, cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pon yang terletak
disekitar ini nervus abducens bisa merusak akar nevus facialis, inti
nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu
paralysis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus
lateris atau gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di sekitar
meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus facialis dan
akustikus sehingga paralysis facialis LMN akan timbul
berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak
bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
c. Pelo
Lesi pada nervus hypoglossus yang berfungsi untuk menggerakkan
lidah mengakibatkan otot yang dipersyarafi menjadi tidak berfungsi
normal sehingga terdapat gangguan dalam artikulasi (Mardjono, 2009).
5. Anatomi nervus cranialis 1-6
a. Nervus 1 (olfaktorius)
Nervus olfaktorius merupakan serabut-serabut saraf yang
menghubungkan mukosa ruang hidung dengan bulbus olfaktorius.
Serabut-serabut itu berselubung myelin,dan menembus lamina kribosa
osetmoidalis. Kemudian bersinaps di bulbus olfaktorius dan
membentuk traktus olfaktorius yaitu berkas-berkas saraf yang tersusun
oleh serabut sentral neuro-neuron. Neuron-neuron kedua yang
terkumpul tersebut menghantrakan impuls penghidu ke korteks
olfaktori yaitu korteks periagmidalae prepiriformis yang merupakan
inti reseptif olfaktorik primer. Dibalakang inti-inti tersebut terdapat
daerah reseptif olfaktorik asosiatif, yaitu korteks entorinalis. Dengan
perantara korteks olfaktorik asosiatif itu, impuls olfaktorik
diintegrasikan dalam mekanisme luhur. Forniks merupakan jaras
penghubung antara koteks olfaktorik dan hipotalamus. Kedua korteks
dihubungkan oleh koisura anterior. Impuls olfaktorik yang tiba di inti-
inti septal diintergrasikan dalam nukleus anterior talami dan girus
singuli. Bangunan sarad tersebut terakhir ini merupakan susunan yang
mengatur dan mengurus mekanisme autonom yang terkait penghidu
(Mardjono, 2010).
b. Nervus 2 (opticus)
Nervus optikus tersusun dari serabut-serabut aferen sel-sel
ganglion di stratum optikum dari retina. Lapisan retina pertama ialah
stratum optikum tersebut. Lapisan sel retina kedua dan ketiga terdiri
dari sel antara yang menghantarkan impuls penglihatan dari batang dan
kerucut ke sel di stratum optikum. Batang merupakan alat penangkap
rangsang penglihatan pada keadaan kurang terang, sedangkan kerucut
pada saat terang benderang. Daerah tersebut dinamakan macula.
Impuls dihantarkan ke bagian temporal dari papil nervus optikus,
melalui foramen optikum nervus optikus memasuki ruang intracranial.
Di depan tuber sinerium (tangkai hipofise) nerbus optikus kiri dan
kanan tergabung menjadi satu berkas untuk kemudian berpisah lagi
dan melanjutkan perjalanannya ke korpus genikulatum laterale dan
kolikulus superior. Tempat kedua nervi optisi bergabung menjadi satu
berkas yaitu kiasma optikum. Di situ serabut-serabut nervus optikus
yang mengahantarkan impuls visual dari belahan nasal dari retina
menyilang garis tengah, sedangkan serabut-serabut nervus optikus
menghantarkan impuls dari belahan temporal dari retina tetap pada sisi
yang pertama. setelah itu masuk ke serabut-serabut genikulokalkarina
yang merupakan korteks perseptif visual primer. Dengan perantara
area 18 dan 19 terjadi suatu penglihatan (Mardjono, 2010).
c. Nervus 3 (okulomotorius)
Nervus okulomotorius diapit oleh arteri serebri posterior dan arteri
serebelli superior. Menembus dua mater di dekat processus klinoideus
posterior untuk memasuki dinding sinus kavernosus. Ia melanjutkan
perjalanannya ke rostral dibagian di dalam bagian atas dinding lateral
sinus kavernosus. Dibelakang fisura orbitalis superior ia meninggalkan
dinding tersebut dan berada di daerah dimana di sebelah medialnya
terdapat sinus kavernosus dengan di dalamnya arteri karotis interna
dan disebelah lateralnya terdapat lobus temporalis. Setelah memasuki
ruang orbita melalui fisura orbitalis superior ia bercabang dua. Cabang
superior mempersarafi m. levator palpebra superioris dan m. oblikus
inferior. Cabang inferior mengandung serabut-serabut viseromotorik
yang disampaikan ke ganglion siliare. Serabut-serabut postganglionar
dari ganglion siliare menuju ke mm. siliares dan sfingter pupilae
(Mardjono, 2010)
d. Nervus 4 (troklearis)
Serabut-serabut yang menyusun nervus troklearis dari intti yang
terletak di substansia grisea mesensefalon sedikit lebih ke kaudal dari
inti nervus okulomotorius. Setelah keluar dari inti, serabut-serabut
tersebut melengkung ke dorsal dan selanjutnya ke medial lagi untuk
menyilang garis tengah di velum medulare anterior. Ia muncul pada
permukaan dorsal sisi kontralateral, tepat di belakang kedua kolikuli.
Kemudian ia menjulur ke ventral melalui tepi bebas pedunkulus
serebri untuk tiba pada tempat diantara pedunkulus serebri dan lobur
temporalis. Disini ia menembus daun bebas tentorium serebeli untuk
selanjutnya berjalan ke depan melalui dinding lateral sinus kavernosus.
Ia meniggalkan dinding tersebut untuk menuju ke ruang orbita melalui
fisura orbitalis superior dan mengakhiri perjalannya ke m. oblikus
superior (Mardjono, 2010)
e. Nervus 5 (trigeminus)
Nervus trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu sensorik dan motorik.
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, yaitu m.
masseter, m. temporalis, m. pterigoid medialis yang berfungsi menutup
mulut, dan m. pterigoideus lateralis yang berfungsi menggerakkan
rahang bawah ke samping (lateral) dan membuka mulut. Bagian
sensorik nervus V mengurus sensibilitas dari muka melalui ketiga
cabangnya, yaitu:
1) Cabang (ramus) oftalmik, yang mengurus sensibilitas dahi, mata,
hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal, dan sebagian mukosa
hidung.
2) Cabang (ramus) maksilaris, yang mengurus sensibilitas rahang atas,
gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris, dan
mukosa hidung.
3) Cabang (ramus) mandibularis, yang mengurus sensibilitas rahang
bawah, gigi bawah, bibir bawah, mukosa pipi, dua-pertiga bagian
depan lidah, dan sebagian dari telinga(eksternal), meatus dan
selaput otak.
Cabang mandibularis meninggalkan cranium melalui foramen
ovale, cabang maksilaris meninggalkan cranium melalui foramen
rotundum, dan cabang oftalmik melalui fisura orbitalis superior
bersama-sama nervus III, IV, dan VI. (Lumbantobing, 2012).
f. Nervus 6 (abducens)
Serabut-serabut nervus abducens terdiri dari serabut yang berasal
dari inti pos dekat kawasan fasikulus longitudinalis medialis. Akar
nervus abducens melintasi tegmentum pontis disebelah luar fasikulus
longitudinalis medialis, fasikulus predorsalis, dan lemnikus medialis
untuk kemudian pada bagian ventral dan tegmentum pontis membelok
agak ke lateral dan muncul pada permukaan lateral pons diatas relief
dari piramis. Dari sini ia melanjutkan perjalanan yang jauh ke ruang
orbita untuk berakhir pada m. rektus lateralis. (Mardjono, 2010)
6. Anatomi nervus cranialis 7-12
a. Nervus Facialis
Nervus facialis memiliki radiks motorik dan sensorik. Serabut
motorik mula-mula berjalan ke posterior mengelilingi sisi medial
nucleus abducens lalu mengelilingi nucleus colliculus facialis di lantai
verntriculus quartus dan berjalan ke anterior hingga muncul dari
batang otak (Snell, 2006).
Radiks sensorik dibentuk oleh processus centralis sel-sel unipolar
ganglion geniculatum. Radiks ini juga mengandung serabut eferen
parasimpatis postganglionik dari nuclei parasimpatis.
Kedua radix nervus cranialis muncul dari permukaan anterior otak
antara pons dan medulla oblongata. Radiks tersebut berjalan ke lateral
di dalam fossa cranii posterior bersama nervus vestibulocochlearis,
kemudian masuk ke meatus acusticus internus di pars petrosa ossis
temporalis. Di bawah meatus, nervus memasuki canalis facialis dan
berjalan ke lateral melalui telinga dalam. Ketika mencapai dinding
medial cavum tympani, nervus melebar membentuk ganglion
sensorium geniculatum dan membelok tajam ke arah belakang di atas
promontorium. Di dinding posterior cavum tympani, nervus facialis
membelok ke bawah pada sisi medial aditus antrum mastoideum,
turun di belakang pyramis, dan keluar dari foramen stylomastoideum
(Snell, 2006).
Gambar 9. Nuclei nervus facialis dan hubungan-hubungan sentralnya (Snell, 2006)
b. Nervus Vestibulocochlearis
Saraf ini terdiri dari dua bagian yaitu nervus vestibularis dan
nervus cochlearis.
1) Nervus vestibularis
Nervus ini menghantarkan impuls saraf dari utriculus dan
sacculus yang memberikan informasi mengenai posisi kepala dan
juga menghantarkan impuls dari canalis semicircularis yang
memberikan informasi mengenai gerakan-gerakan kepala (Snell,
2006).
Serabut nervus ini adalah processus sentralis sel-sel saraf
yang terdapat di dalam ganglion verstibularis dan terletak di dalam
meatus acusticus internus. Serabut ini memasuki permukaan
anterior batang otak di antara tepi bawah pons dan bagian atas
medulla oblongata.Ketika masuk ke kompleks nucleus vestibularis,
serabut-serabut terbagi menjadi serabut ascendens yang pendek dan
serabut descendens yang panjang. Beberapa serabut langsung
berjalan menuju cerebelum melalui pedunculus cerebellaris inferior
tanpa melewati nuclei vestibulares (Snell, 2006)
Gambar 10. Nervus facialis (Martini, 2009)
2) Nervus cochlearis
Nervus cochleraris memberikan impuls saraf yang berkaitan
dengan suara dari organ corti di dalam cochlea. Semua masuk ke
dalam permukaan anterior batang otak pada pinggir bawah pons di
sisi lateral dari tempat keluarnya nervus facialis dan dipisahkan
dari nervus vestibularis.Saat memasuki pons, serabut saraf terbagi
menjadi dua, satu cabang masuk ke nucleus cochlearis posterior
dan cabang lainnya masuk ke nucleus cochlearis anterior.
Nucleus tersebut menerima serabut aferen dari cochlea dan
mengirimkan akson-aksonnya ke corpus trapezoideum dan berjalan
ke atas membentuk tractus yang dikenal sebagai lemniscus
lateralis. Saat mencapai mencapai mesencephalon, serabut-serabut
lemniscus lateralis akan berjalan menuju korteks auditorius syrus
temporalis superior (Snell, 2006).
Gambar 11. Nuclei nervus vestibularis (Snell, 2006)
Serabut descendens dari korteks auditrok mengikuti jaras
ascendens. Bagian vestibukaris dan cochlearis saraf meninggalkan
permukaan anterior otak di pinggir bawah pons dan medulla
oblongata. Semua berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior
dan masuk ke dalam meatus acusticus internus bersama nervus
facialis. Serabut-serabut tersebut kemudian didistribusikan ke
berbagai bagian di telinga dalam.
Gambar 12. Nuclei nervus cochlearis (Snell, 2006)
Gambar 13. Nervus vestibulocochlearis (Martini, 2009)
c. Nervus Glossopharyngeus
Nervus glossopharyngeus meninggalkan permukaan
anterolateral bagian atas medulla oblongata sebagai rangkaian akar
kecil di dalam alur antara oliva dan pedunculus cerebellaris inferior.
Saraf ini lalu berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior dan
meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare (Snell, 2006).
Selanjutnya, saraf turun ke bagian atas leher diikuti oleh vena
jugularis interna dan arteri carotis interna untuk mencapai tepi
posterior musculus stylopharyngeus yang dipersarafinya. Setelah itu,
saraf berjalan ke depan di antara musculus constrictor pharyngeus
superior dan medius lalu bercabang ke membran mukosa faring dan
sepertiga bagian posterior lidah (Snell, 2006).
Gambar 14. Nervus glossopharyngeus (Martini, 2009)
d. Nervus Vagus
Nervus vagus meninggalkan permukaan anterolateral bagian
atas medulla oblongata. Saraf berjalan ke lateral melalui fossa cranii
posterior dan meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare.
Nervus vagus memiliki dua ganglion sensorik, yaitu ganglion
superioor yang berbentuk bulat dan ganglion inferior yang berbentuk
silinder (Snell, 2006).
Gambar 15. Nervus vagus (Martini, 2009)
Nervus vagus turun secara vertikal di leher. Nervus vagus kanan
(truncus vagalis posterior) masuk ke rongga toraks dan berjalan di
posterior radix paru kanan untuk ikut membentuk plexus pulmonalis
lalu berjalan ke posterior esofagus dan membentuk plexus
oesophageus. Nervus vagus masuk ke rongga abdomen melalui hiatus
esofageal hingga sampai ke duodenum, hepar, ginjal, dan usus halus
serta usus besar (Snell, 2006).
Nervus vagus kiri (truncus vagalis anterior) masuk ke rongga
toraks dan berjalan di posterior radix paru kiri untuk ikut membentuk
plexus pulmonalis lalu berjalan ke anterior esofagus dan membentuk
plexus oesophageus. Nervus vagus masuk ke rongga abdomen melalui
hiatus esofageal hingga sampai ke gaster, hepar, bagian atas
duodenum, dan caput pancreas (Snell, 2006).
e. Nervus Accessorius
1) Radix Cranialis
Saraf berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior dan
begabung dengan radix spinalis. Kedua radix bersatu dan
meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare. Radix-radix
kemudian terpisah kembali dan radix cranialis bergabung dengan
nervus vagus serta didistribusikan melalui ramus pharyngeus dan
rami laryngeus recurrens ke otot-otot palatum molle, faring, dan
laring (Snell, 2006).
2) Radix Spinalis
Serabut-serabut saraf muncul dari medulla spinalis di antara
radix anterior dan posterior. Serabut-serabut membentuk truncus
saraf yang naik memasuki tengkorak melalui foramen magnum.
Radix spinalis berjalan ke lateral dan bergabung dengan radix
cranialis tepat setelah memasuki foramen jugulare lalu radix
spinalis memisahkan diri untuk masuk ke permukaan dalam
musculus sternocleidomastoideus. Selanjutnya, saraf tersebut
menyilang trigonum colli posterior dan berjalan di bawah
musculus trapezius yang dipersarafinya (Snell, 2006).
Dengan demikian, nervus accessorius menimbulkan
pergerakan palatum molle, faring, dan laring serta mengendalikan
pergerakan dua otot besar leher (Snell, 2006).
f. Nervus Hypoglossus
Serabut saraf muncul dari permukaan anterior medulla
oblongata dan menyilang di fossa cranii posterior lalu meninggalkan
tengkorak melalui canalis hypoglossus. Saraf berjalan ke depan di
dalam leher sampai mencapai pinggir bawah venter posterior
musculus digastricus kemudian menyilang asteria carotis interna dan
eksterna serta mengait arteri lingualis. Saraf ini berjalan di pinggir
posterior musculus mylohyoideus yang terletak di permukaan lateral
musculus hyoglossus lalu bercabang ke otot-otot lidah. Dengan
demikian, nervus ini mengendalikan gerakan dan bentuk lidah (Snell,
2006).
Gambar 16. Nervus accessorius (Martini, 2009)
7. Perbedaan afasia dan disartria dan pasien tergolong yang mana?
Afasia merupakan gangguan berbahasa, sedangkan disartria merupakan
gangguan artikulasi (Mardjono, 2009). Pada kasus ini, pasien mengalami
disartria.
8. Perbedaan fungsi hemisfer cerebri dextra dan sinistra
Daerah korteks sejauh ini terdistribusi merata, kecuali bahasa, yang
dijumpai di satu sisi, biasanya hemisfer kiri. Sisi kiri biasanya juga
dominan untuk control motorik halus. Dengan demikian sebagian besar
orang lebih dominan pada hemisfer kiri. Selain itu hemisfer dextra dan
sinistra memiliki spesialisasi masing-masing. hemisfer cerebri sinistra
unggul dalam melaksanakan tugas logis, analitis, sekuensial, dan verbal,
misalnya matematika, bahasa, dan filsafat. Selain itu pengolahan
informasi lebih bersifat fragmenter, sehingga orang dengan dominasi
hemisfer sinistra dikaitkan dengan “pemikir yang ilmiah”. Sedangkan
untuk hemisfer cerebri dextra dextra biasanya unggul dalam non-bahasa,
seperti persepsi spasial, artistic, dan music. Selain itu pengolahan
informasi lebih bersifat holistik, sehingga orang dengan dominasi
hemisfer dextra dikaitkan dengan “pencipta” (Sherwood, 2001).
9. Pupil isokor diameter 2 mm/2 mm normal atau tidak? Normalnuya berapa?
Pemeriksaan pupil meliputi :
a. Bentuk dan ukuran pupil.
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada
kemungkinan bekas operasi mata. Pada sifilis bentuknya menjadi
tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-kira
2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil disebut Meiosis, yang
biasanya terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl Robertson
(sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan pupil yang melebar disebut
mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/ paralisa m. sphincter
dan kelainan psikis yaitu histeris
b. Perbandingan pupil kanan dengan kiri (Juwono, 1996).
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal.
Bila antara pupil kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor.
Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada penderita tidak sadar maka
harus dibedakanapakah anisokor akibat lesi non neurologis(kelainan
iris, penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf
perifer N. III, herniasi tentorium (Juwono, 1996).
c. Refleks pupil
Terdiri atas :
1) Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata
ditutup dan penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada
akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi
cahaya dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada
ditempat yang cahayanya langsung mengenai mata. Dalam
keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka
ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N.
Oculomotorius) (Juwono, 1996).
2) Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa
dan disuruh mengikuti gerak benda tersebut dimana benda
tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari
kedua mata penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil
Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif namun reflek
akomodasi positif (Juwono, 1996).
3) Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga
akan terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung
terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar kertas.
Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain akan
kontriksi juga (Juwono, 1996).
10. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan
Penegakan diagnosis bisa dilihat berdasarkan :
a. Anamnesis
1) Terutama terjadi keluhan/ gejala deficit neurologis yang mendadak
2) Biasanya onset sejak bangun tidur di pagi hari atau saat istirahat
3) Kelemahan terjadi hanya pada satu sisi angota badan saja (kiri)
4) Kelemahan yang terjadi semakin memburuk
5) Wajah menjadi tidak simetris, mulutnya mencong ke kanan dan
bicaranya menjadi tidak jelas (pelo)
6) Tidak ada nyeri kepala.
7) Tidak ada kejang, muntah, dan pusing berputar
8) Kadang disertai dengan adanya penurunan kesadaran
b. Pemeriksaan Fisik
1) Fungsi Cerebral
kesadaran dapat dinilai secara kuantitatif dan kulitatif. Secara
kuantitatif dapat di nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS),
sedangkan secara kulitatif dinilai berdasar derajat kesehatan
(Lumantobing, 2008).
a) Glasgow coma scale (GCS)
(1) Refleks membuka mata (E)
(a) 4 : Membuka secara spontan
(b) 3 : Membuka dengan rangsangan suar
(c) 2 : Membuka dengan rangsangan nyer
(d) 1 : Tidak ada respon
(2) Refleks verbal (V)
(a) 5 : Orientasi baik
(b) 4 : Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan
membingungkan
(c) 3 : Kata-kata baik tapi kalimat tidak bai
(d) 2 : Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengeran
(e) 1 : Tidak keluar suara
(3) Refleks motorik (M)
(a) 6 : Melakukan perintah dengan benar
(b) 5 : Mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukaan
perintah dengan benar
(c) 4 : Dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi
(d) 3 : Hanya dapat melakukan fleksi
(e) 2 : Hanya dapat melakukan ekstensi
(f) 1 : Tidak ada gerakan
Interpretasi:
Penderita yang sadar = Compos mentis 15, sedangkan
penderita koma dalam, GCS-nya 3
b) Derajat kesadaran :
(1) compos mentis : Dapat berorientasi dan berkomunikasi
(2) Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi,
bereaksi secara motorik / verbal kemudian terlenan lagi.
Gelisah atau tenang.
(3) Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap
rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan
penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas
pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan
menggunakan kepala.
(4) Semi koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi
rangsangan kasar dan ada yang menghindar (contoh
mnghindri tusukan)
(5) Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus
Gangguan fungsi cerebral meliputi :
Gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan
perilaku dan gangguan emosi.
2) Fungsi nervus cranialis. Cara pemeriksaan nervus cranialis
(Lumantobing, 2008):
a) N.I : Olfaktorius (daya penciuman) : pastikan hidung tidak
tersumbat. Pasien memejamkan mata, disuruh membedakaan
bau yang dirasakaan (kopi, tembakau, alkohol,dll)
b) N.II : Optikus (Tajam penglihatan): dengan snelen card,
funduscope, dan periksa lapang pandang
c) N.III : Okulomorius (gerakam kelopak mata ke atas, kontriksi
pupil, gerakan otot mata):
Tes putaran bola mata, menggerkan konjungtiva, palpebra,
refleks pupil dan inspeksi kelopak mata.
d) N.IV : Trochlearis (gerakan mata ke bawah dan ke dalam):
sama seperti N.III
e) N.V : Trigeminal (gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah
dan gigi, refleks kornea dan refleks kedip): menggerakan
rahang ke semua sisi, psien memejamkan mata, sentuh dengan
kapas pada dahi dan pipi. Reaksi nyeri dilakukan dengan benda
tumpul. Reaksi suhu dilakukan dengan air panas dan dingin,
menyentuh permukaan kornea dengan kapas
f) N.VI : Abducend (deviasi mata ke lateral) :sama sperti N.III
g) N.VII : Facialis (gerakan otot wajah, sensasi rasa 2/3 anterior
lidah ): senyum, bersiul, mengerutkan dahi, mengangkat alis
mata, menutup kelopak mataa dengan tahanan. Menjulurkan
lidah untuk membedakan gula dengan garam
h) N.VIII : Vestibulocochlearis (pendengaran dan
keseimbangan ) : test Webber dan Rinne
i) N.IX : Glosofaringeus (sensasi rsa 1/3 posterio lidah ):
membedakan rasaa mani dan asam ( gula dan garam)
j) N.X : Vagus (refleks muntah dan menelan) : menyentuh
pharing posterior, pasien menelan ludah/air, disuruh mengucap
“ah…!”
k) N.XI : Accesorius (gerakan otot trapezius dan
sternocleidomastoideus) palpasi dan catat kekuatan otot
trapezius, suruh pasien mengangkat bahu dan lakukan tahanan
sambil pasien melawan tahanan tersebut. Palpasi dan catat
kekuatan otot sternocleidomastoideus, suruh pasien meutar
kepala dan lakukan tahanan dan suruh pasien melawan tahan.
l) N.XII : Hipoglosus (gerakan lidah):
pasien disuruh menjulurkan lidah dan menggrakan dari sisi ke
sisi. Suruh pasien menekan pipi bagian dalam lalu tekan dari
luar, dan perintahkan pasien melawan tekanan tadi.
3) Fungsi motorik (Lumantobing, 2008) :
a) Otot
Ukuran : atropi / hipertropi
Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan
Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi.
Derajat kekuatan motorik :
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan
gravitasi bumi.
1 : Hanya ada kontraksi
0 : tidak ada kontraksi sama sekali
b) Gait (keseimbangan) : dengan Romberg’s test
4) Fungsi sensorik
Test : Nyeri, Suhu, Raba halus, Gerak, Getar, Sikap,Tekan,
Refered pain.
Disatu sisi memberikan rangasangan lalu bandingkan dengan sisi
sebelahnya. (Lumantobing, 2008)
5) Refleks Fisiologis (Lumantobing, 2008) :
a) Refleks superficial
(1)Refleks dinding perut .
Cara : goresan dinding perut daerah epigastrik, supra
umbilikal, umbilikal, intra umbilikal dari lateral ke medial
Respon : kontraksi dinding perut
(2) Refleks cremaster
Cara : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke
bawah
Respon : elevasi testes ipsilateral
(3) Refleks gluteal
Cara : goresan atau tusukan pada daerah gluteal
Respon : gerakan reflektorik otot gluteal ipsilateral
b) Refleks tendon / periosteum
(1) Refleks Biceps (BPR)
Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada
tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk
pada sendi siku.
Respon : fleksi lengan pada sendi siku
(2) Refleks Triceps (TPR)
Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi
pada sendi siku dan sedikit pronasi
Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
(3) Refleks Periosto radialis
Cara : ketukan pada periosteum ujung distal os radial, posisi
lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi
Respon : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi
krena kontraksi m.brachiradialis
(4) Refleks Periostoulnaris
Cara : ketukan pada periosteum prosesus styloid ilna, posisi
lengan setengah fleksi dan antara pronasi supinasi.
Respon : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator
quadrates
(5) Refleks Patela (KPR)
Cara : ketukan pada tendon patella
Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep
femoris
(6) Refleks Achilles (APR)
Cara : ketukan pada tendon Achilles
Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi
m.gastroenemius
(7) Refleks Klonus lutut
Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal
Respon : kontraksi reflektorik m.quadrisep femoris selama
stimulus berlangsung
(8) Refleks Klonus kaki
Cara : dorsofleksikan kki secara maksimal, posisi tungkai
fleksi di sendi lutut
Respon : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus
berlangsung
c) Refleks patologis (Lumantobing, 2008) :
(2) Babinsky
Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari
posterior ke anterior
Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari
kaki lainnya
(3) Chadock
Cara : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral
sekitar maleolus lateralis dari posterior ke anterior
Respon : seperti babinsky
(4) Oppenheim
Cara : pengurutan krista anterior tibia dari proksiml ke
Distal
Respon : seperti babinsky
(5) Gordon
Cara : penekanan betis secara keras
Respon : seperti babinsky
(6) Stransky
Cara : penekukan (lateral) jari kaki ke-5
Respon : seperti babinsky
(7) Rossolimo
Cara : pengetukan pada telapak kaki
Respon : fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal
(6) Mendel-Beckhterew
Cara : pengetukan dorsum pedis pada daerah os
coboideum
Respon : seperti rossolimo
(7) Hoffman
Cara : goresan pada kuku jari tengah pasien
Respon : ibu jari, telunjuk dan jari lainnya fleksi
(8) Trommer
Cara : colekan pada ujung jari tengah pasien
Respon : seperti Hoffman
(9) Leri
Cara : fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan,
sikap lengen diluruskan dengan bgian ventral menghadap
ke atas
Respon : tidak terjadi fleksi di sendi siku
(10)Mayer
Cara : fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapk
tangal
Respon : tidak terjadi oposisi ibu jari
d) Refleks primitive (Lumantobing, 2008) :
(1) Sucking reflex
Cara : sentuhan pada bibir
Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah
menyusu
(2) Palmo-mental reflex
Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan
bagian thenar
Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi
lateral)
11. Stroke
a. Definisi dan insidensi
Stroke adalah gangguan fungsi otak yang terjadi dengan
mendadak dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai
darah ke otak. Gangguan suplai darah ini dapat berupa iskemia yang
diakibatkan oleh trombosis atau emboli dan pecahnya pembuluh darah
(perdarahan) otak. Gangguan suplai darah ini dapat mengakibatkan
kerusakan sel-sel otak karena tidak mendapatkan suplai oksigen yang
cukup dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel otak (Lumbantobing,
2001).
WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit
fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah
otak dan bukan oleh yang lain dari itu.
Insidensi Stroke (Ikawati, 2009) :
1) Di AS, stroke mrp penyebab kematian ke-3 setelah jantung dan
kanker, diderita oleh 500.000 orang per tahunnya
2) Di Indonesia, menurut SKRT th 1995, stroke termasuk penyebab
kematian utama, dengan 3 per 1000 penduduk menderita penyakit
stroke dan jantung iskemik.
3) Di dunia, menurut SEAMIC Health Statistic 2000, penyakit
serbiovaskuler seperti jantung koroner dan stroke berada di urutan
kedua penyebab kematian tertinggi di dunia.
b. Mekanisme dan klasifikasi
1) Infark otak
a) Emboli
(1) Emboli kardiogenik
(2) Emboli paradoksal
(3) Emboli arkus aorta
b) Aterotrombotik
(1) Penyakit ekstrakranial
(2) Penyakit intrakranial
2) Perdarahan intraserebral
a) Hipersensitif
b) Malformasi arteri-vena
c) Angiopati amiloid
3) Perdarahan subarakhnoid
4) Penyebab lain
a) Trombosis sinus dura
b) Diseksi arteri karotis atau veretebralis
c) Vaskulitis sistem saraf pusat
d) Penyakit moya-moya
e) Migren
f) Kondisi hiperkoagulasi
g) Penyalahgunaan obat (Mansjoer, 2002).
c. Faktor resiko
1) Hipertensi factor risiko utama
2) Penyakit kardiovaskuler-embolisme
3) Kolesterol tinggi
4) Obesitas
5) Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebri
6) Diabetes terkait aterogenesis terakselerasi
7) Kontrasepsi oral
8) Merokok
9) Penyalahgunaan obat khususnya kokain
10) Konsumsi alkohol (Muttaqin, 2008)
d. Tanda dan gejala
Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala-gejala stroke terbagi
menjadi berikut:
1) Bagian sistem saraf pusat : Kelemahan otot (hemiplegia), kaku,
menurunnya fungsi sensorik
2) Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun
kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial
atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu,
pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
3) Cerebral cortex: aphasia, apraxia, daya ingat menurun,
hemineglect, kebingungan.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam,
dinyatakan sebagaiTransient Ischemic Attack (TIA), dimana
merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke.
e. Patofisiologi
Diameter Viskositas Panjang pembuluh darah HR SV
TPR COP
Rokok
TD sistemik autoregulasi
NO berkurang Aliran LCS
Parenkim otak
vasokonstriksi TIK
DM (Glukosa >>) CPP/perfusi otak = MAP - TIK
endotel kapiler rusak
aktivasi ICAM untuk adhesi molekul Korteks
NO meningkat
depolarisasi Traktus kortikonuklear
kortikospinal
monosit+makrofag aktif Kontralateral Ipsilateral
Ekstremitas
fagosit LDL nervus cranial nervus cranial
foam cell kecuali n. I,II,VIII kecuali n VII,XII
Hemiparesis
plak
kerusakan di central
menyebabkan pelo dan parese
(Wiraman, 2009)
f. Skoring dan penilaian jenis stroke
Diagnosis stroke ditegakkan oleh dokter berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. CT scan merupakan
pemeriksaan baku emas untuk membedakan infark dengan perdarhan,
bahkan ada yang lebih sensitif dibandingkan CT scan yaitu Sken
resonansi magnetik (MRI) karena dapat mendeteksi infark serebri dini
dan infark batang otak. Namun, dapat digunakan perhitungan skoring
untuk menentukan jenis stroke yaitum Siriraj Stroke Score yang dapat
dihitung dengan rumus (Mansjoer, 2002) :
Skor > 1 : perdarahan supratentorial
Skor -1 s.d.1 : perlu CT scan
Skor < -1 : infark serebri
Derajat kesadaran: 0=kompos mentis; 1= somnolen; 2=sopor/koma
Vomitus : 0=tidak ada; 1=ada
Nyeri kepala : 0=tidak ada; 1=ada
Ateroma : 0=tidak ada; 1=salah satu atau lebih: diabetes,
angina, penyakit pembuluh darah
Bila skor dihitung pada pasien, maka pasien termasuk dalam infark
serebri dengan perhitungan :
Skor Strok Siriraj : (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 1) + (0,1x100)– (3 x 1) –
12 = -3
Selain itu, bisa juga digunakan algoritma stroke gadjah mada
(Lamsudin, 1996) :
Skor Strok Siriraj : (2.5 x derajat kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) - (3 x petanda ateroma) - 12.
Bila digunakan skoring gadjah mada maka pasien tergolong dalam
stroke perdarahan karena memiliki gejala nyeri kepala dan refleks
patologis positif.
g. Diagnosis
1) Etiologi
Stroke non hemoragik
2) Klinis
Hemiparese dextra, parese N. VII dextra central, parese N. XII
dextra central dengan hipertensi dan diabetes melitus
3) Topis
Kapsula interna sisnistra
h. DD stroke
1) Bell’s Palsy
2) Defek Neuron Motorik
3) Stroke Hemoragik
Penderita Stroke Akut
Dengan atau tanpa *Penurunan kesadaran *Nyeri kepala *Refleks BabinskyKetiganya atau2 dari ketiganya ada ----------------------------Ya-------- Stroke perdarahan
TidakHanya ada penurunan kesadaran--------------Ya---------Stroke perdarahan
Tidak
Hanya nyeri kepala-----------------------------Ya----------Stroke perdarahan
Tidak
Hanya ada refleks Babinsky-----------------Ya---------Stroke perdarahan
Tidak
Ke tiganya tidak ada---------------------------Ya--------Stroke iskemik/non hemorhagik
4) Stroke Non-Hemoragik (Mardjono, 2008).
i. Pencegahan
Pencegahan primer, tujuan utama adalah mencegah stroke pertama
dengan mengobati faktor resiko predisposisi seperti hipertensi,
merokok, diabetus militus, obesitas, hiperlipidemia, dan fibrilasi
atrium. Komponen utama yang perlu karena tekanan darah tinggi juga
dapat meningkatkan risiko pasien mengalami perdarahan intraserebral
atau perdarahan subarahcnoid. Normalisasi yang dapat dikontrol
antara lain merokok, diabetus melitus dan fibrilasi atrium. Kedua
pemberian aspirin dan penghambat agregasi trombosit tidak menjadi
komponen pencegahan primer. Ketiga terapi pembedahan stenosis
arteri karotis interna asimtomatik. Indikasinya saat stenosis arteri yang
bermakna secara hemodinamik dengan progresivitas cepat, atau oklusi
salah satu arteri karotis interna yang disertai stenosis derajat tinggi
pada arteri karotis interna kontralateral (Baehr, 2007).
Pencegahan sekunder, Tujuannya adalah mencegah stroke setelah
setidaknya terjadi satu episode iskemia serebri. Kedua pemberian
aspirin dosis rendah 100 mg/hari, dapat menurunkan risiko stroke
berulang hingga 25 %, ketiga penghambat agregasi trombosit seperti
ticlopidine, clopidogrel, memiliki efek protektif yang lebih jelas
daripada aspirin, tetapi mahal dan efek sampingnya serius. Ketiga
antikoagulasi yaitu warfarin sangat efektif untuk menurunkan risiko
sroke pada pasien dengan fibrilasi atrium dan denyut jantung yang
ireguler ( pasien dengan jenis aritmia ini memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk pembentukan trombus intrakardiak dengan akibat
embolisasi ke otak , penurunan risiko relatif pada kelainan ini adalah
60 %) (Baehr, 2007).
j. Komplikasi
1) Kelumpuhan total
2) Rekurensi stroke
3) Akibat tirah baring lama bisa terjadi pneumonia, dekubitus,
inkonrinensia serta berbagai akibat imobilisasilain
4) Gangguan sosial ekonomi
5) Gangguan psikologi
k. Penatalaksanaan
Gawat Darurat
1) lakukan A-B-C
2) lakukan tindakan kooperatif untuk menghilangkan massa ataupun
sumbatan di otak. Untuk menghilangkan emboli dapat dilakukan
(RtPa) => activator plasminogen jaringan rekombinan. Dengan
syarat waktu pengerjaan tidak lebih dari 3 jam awitan stroke.
3) jangan diberikan heparin ataupun walfarin karena dapat
menyebabkan hemoragik di daerah infark.
4) pemberian anti agregasi trombosit
5) Aspirin (100-300 mg) diberikan >24 jam setelah trombilisis
6) jika terdapat komplikasi hipertensi
7) Diberikan captopril dosis awal 12,5 mg 2 kali sehari ( 1 jam
sebelum makan atau 2 jam sesudah makan , dalam keadaan perut
kosong)
Terapi umum dan komplikasi akut
1) Oksigenasi
Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut
stroke iskemik untuk mencegah hipoksia dan perburukan
neurologis. Penyebab tersering gangguan oksigenasi diantaranya
obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi, pneumonia aspirasi
ataupun atelektasis. Pasien dengan kesadaran menurun dan stroke
batang otak beresiko mengalami gangguan oksigenasi. Tindakan
intubasi harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas.
Secara umum, pasien yang memerlukan tindakan intubasi
mempunyai prognosis yang buruk, kurang lebih 50% nya
meninggal dalam 30 hari. Monitoring dengan oksimetri sebaiknya
dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%. Suplementasi
oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil
analisa gas darah atau oksimetri. Indikasi pemasangan pipa
endotrakeal:
a) PO2 <50-60 mmHg
b) PCO2 >50-60 mmHg
c) Kapasitas vital < 500-800 mL
d) Resiko aspirasi pada pasien yang kehilangan refleks proteksi
jalan nafas
e) Takipneu >35 kali/menit
f) Dyspneu dengan kontraksi muskulus asesorius
g) Asidosis respiratorik berat
Indikasi trakeostomi:
a) Koma dengan pemakaian ventilator lebih dari 14 hari
b) Proteksi bronkial/bronkial cleansing
c) Gangguan menelan dengan resiko aspirasi
d) Obstruksi laring
e) Pemakaian ETT lama
2) Hipertensi pada stroke iskemik akut
Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke
akut bahkan pasien yang sebelumnya normotensi sekalipun pada
fase akut dapat mengalami peningkatan tekanan darah yang
sifatnya transient. Pada 24 jam pertama fase akut stroke, lebih dari
60% pasien datang dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan
lebih dari 28% memiliki tekanan darah diastolik > 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah pada stroke iskemik merupakan respon
otak yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak
sehingga aliran darah ke area penumbra pun akan meningkat.
Diharapkan dengan respon tersebut kerusakan di area penumbra
tidak bertambah berat. Akibatnya, penurunan tekanan darah yang
terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas infark
dan perburukan neurologis. Tetapi tekanan darah yang terlalu
tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat
edema serebri.
3) Monitoring tekanan darah
a) Pengukuran TD dilakukan pada kedua lengan
b) Pastikan perbedaan TD antara kedua lengan tidak lebih dari 10
mmHg, jika terdapat perbedaan > 10 mmHg maka TD yang
dipakai adalah yang lebih tinggi
c) Gunakan lengan yang paresis
d) Lengan harus setinggi jantung
e) Manset yang digunakan harus sesuai dengan besar lengan
f) Frekuensi pengukuran TD
AHA/ASA merekomendasikan penatalaksanaan hipertensi pada stroke
iskemik akut sebagai berikut:
1) Pasien yang tidak akan diberikan terapi trombolisis
a) TD sistolik < 220 atau diastolik < 120 Observasi kecuali jika
ditemukan kegawatdaruratan hipertensi non neurologis seperti
infark miokard akut, edema paru kardiogenik, ensefalopati
hipertensi, retinopati hipertensi, diseksi aorta). Berikan terapi
simptomatis (sakit kepala, nausea, muntah, agitasi, nyeri). Atasi
komplikasi stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan tekanan
intrakranial, kejang, hipo ataupun hiperglikemi.
b) TD sistolik < 220 atau diastolik 121-140 Labetolol 10-20 mg IV
selama 1-2 menit. dapat diulang setiap 10 menit (maksimal 300
mg) atau Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial), dititrasi
sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai
maksimal 15 mg/jam. Penurunan TD 10-20% dari TD
sebelumnya
c) TD diastolik > 140 Nitroprusid 0,5ug/KgBB/menit IV infus
(dosis inisial) dengan monitoring TD kontinyu. Penurunan TD
10-20% dari TD sebelumnya
2) Pasien kandidat terapi trombolisis
a) Praterapi, sistolik > 185 atau diastolik >110 Labetolol 10-20 mg
IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang satu kali atau nitropasta 1-2 inchi
b) Selama/setelah terapi.
(1) Monitor TD Periksa TD setiap 15 menit selama 2 jam
setelah mulai terapi lalu setiap 30 menit selama 6 jam,
selanjutnya tiap 60 menit sampai 24 jam.
(2) Diastolik > 140 Sodium Nitroprusid 0,5 ug/KgBB/menit IV
infus (dosis inisial) dititrasi sampai TD yang diinginkan.
(3) Sistolik > 230 atau diastolik 121-140 Labetolol 10ug IV
selama 1-2 menit. Dapat diulang setiap 10 menit sampai
maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan
dengan drip 2-8 mg/menit. Atau Nicardipin 5 mg/jam IV
infus (dosis inisial) dititrasi sampai efek yang diinginkan
2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.
(4) Sistolik 180-230 atau diastolik 105-120 Labetolol 10 mg IV
selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg
atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan dengan drip 2-8
mg/menit.
Selain terapi seperti diatas, obat anti hipertensi oral yang
dapat digunakan adalah captopril atau nicardipin. Pemakaian
nifedipin sublingual sebaiknya dihindari karena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis.
Terapi stroke iskemik akut
1) Trombolisis rt-PA intravena
Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke
iskemik akut satu-satunya yang disetujui oleh FDA sejak tahun 1996
karena terbukti efektif membatasi kerusakan otak akibat stroke
iskemik. Terapi ini meningkatkan keluaran stroke pada kelompok
penderita yang telah diseleksi ketat dan terapi diberikan dalam waktu
3 jam sejak onset stroke. Komplikasi terapi ini adalah perdarahan
intraserebral (hanya ditemukan pada 6,4% pasien bila menggunakan
protokol NINDS secara ketat).
Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan trombolisis rt-PA
intravena.
Kriteria inklusi:
a) Stroke iskemik akut dengan onset tidak lebih dari 3 jam.
b) Usia >18 tahun
c) Defisit neurologik yang jelas
d) Pemeriksaan CT Scan, tidak ditemukan perdarahan intracranial
e) Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut dan
mengerti resiko dan keuntungannya
Kriteria eksklusi:
a) Defisit neurologis yang cepat membaik
b) Defisit neurologik ringan dan tunggal seperti ataksia atau
gangguan sensorik saja, disartria saja atau kelemahan minimal
c) CT Scan menunjukkan perdarahan intracranial
d) Gambaran hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri pada CT Scan
e) Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan
perdarahan subarakhnoid
f) Kejang pada saat onset stroke
g) Riwayat stroke sebelumnya atau trauma kapitis dalam waktu 3
bulan sebelumnya
h) Operasi besar dalam waktu 14 hari
i) Pungsi lumbal dalam 1 minggu
j) Perdarahan saluran cerna atau urin dalam 21 hari
k) Infark miokard akut dalam 3 bulan
l) TD sistolik sebelum terapi > 185 mmHg atau TD diastolik > 110
mmHg
m)Gula darah < 50 mg/dL atau > 400 mg/dL
n) Penggunaan obat antikoagulan oral atau waktu protrombin > 15
detik, INR > 1,7
o) Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa
tromboplastin parsial memanjang
p) Trombosit < 100.000/mm
2) Pemberian trombolisi rt-PA intravena:
a) Infus 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan
bolus pada menit pertama, 90% sisanya infus kontinyu selama 60
menit.
b) Pemantauan dilakukan di ICU atau unit stroke.
c) Lakukan analisa neurologik setiap 15 menit selama infus rt-PA
dan setiap 30 menit dalam 6 jam, selanjutnya setiap jam sampai
24 jam pertama.
d) Jika timbul sakit kepala hebat, hipertensi akut, nausea atau
vomiting, hentikan infus dan segera lakuan pemeriksaan CT Scan.
e) Ukur TD setiap 15 menit dalam 2 jam pertama, tiap 30 menit
dalam 6 jam berikutnya, tiap 60 menit sampai 24 jam pertama.
f) Lakukan pengukuran TD lebih sering jika TD sistolik > 180
mmHg atau diastolik > 105 mmHg.
g) Jika TD sistolik 180-230 mmHg atau diastolik 105-120 mmHg
pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, berikan Labetolol
10 mg IV selama 1-2 menit. Dosis dapat diulangi atau digandakan
tiap 10-20 menit sampai dosis total 300 mg atau berikan bolus
pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Pantau TD tiap 15
menit dan perhatikan timbulnya hipotensi.
h) Jika TD sistolik > 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg pada
2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, berikan labetolol 10
mg IV selama 1-2 menit. Dosis dapat diulangi atau digandakan
tiap 10 menit sampai dosis total 300 mg atau berikan bolus
pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Jika TD tidak
terkontrol dapat dipertimbangkan infus sodium nitroprusid.
i) Bila TD diastolik > 140 mmHg pada 2 atau lebih pembacaan
selang 5-10 menit, infus sodium nitroprusid 0,5 ug/kgBB/menit.
j) Tunda pemasangan NGT dan kateter.
k) Jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif atau suntikan IM
selama 24 jam pertama.
3) Terapi perdarahan pasca trombolisis rt-PA intravena
a) Hentikan infus trombolitik
b) Lakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, fibrinogen, masa
protrombin/INR, masa tromboplastin parsial dan trombosit.
c) Siapkan tranfusi darah (PRC), FFP, kriopresipitat atau trombosit
atau darah segar bila perlu.
d) Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam.
e) Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% ulangi
pemberian kriopresipitat.
f) Berikan trombosit 4 unit.
g) Lakukan CT Scan otak segera.
h) Konsul bedah saraf jika perlu tindakan dekompresi.
4) Antikoagulan dan antiplatelet
a) Joint Guideline Statement from the AHA and th AAN
merekomendasikan:
Aspirin 160-325 mg/hari harus diberikan pada pasien stroke
iskemik dalam 48 jam setelah onset untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas (pada pasien yang tidak diterapi dengan trombolisi
rt-PA intravena).
b) Subkutan unfractionated heparin, low molecular weight heparin
dan heparinoid dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksis
pada pasien dengan resiko DVT (deep vein thrombosis).
Efektifitasnya dalam mencegah edema pulmonal belum terbukti,
sehingga perlu dipertimbangakan resiko perdarahan yang dapat
ditimbulkan.
c) Pemakaian subkutan unfractionated heparin untuk menurunkan
resiko kematian, morbiditas dan kekambuhan tidak
direkomendasikan.
d) Unfractionated heparin dengan dosis yang disesuaikan juga tidak
direkomendasikan untuk menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kekambuhan pada pasien dengan stroke akut (48 jam pertama)
karena bukti-bukti menunjukkan terapi ini tidak efektif dan
meningkatkan resiko perdarahan. LMWH/ heparinoid dosis tinggi
juga tidak direkomendasikan.
e) IV unfractionated heparin, LMWH/heparinoid dosis tinggi tidak
direkomendasikan pada pasien stroke iskemik akut dengan
kardioemboli, aterosklerotik pembuluh darah besar,
vertebrobasiler ataupun progresing stroke karena data-data yang
mendukung dianggap masih kurang.
5) Neuroprotektan
Sampai saat ini penggunaan neuroprotektan masih kontroversial.
Perawatan rumah sakit dan terapi komplikasi neurologic
Sekitar 25% pasien stroke fase akut akan mengalami perburukan
dalam 24-24 jam setelah onset. Meskipun demikian sulit untuk
menentukan pasien mana yang akan mengalami perburukan. Oleh
karena itu pasien stroke pada fase akut dianjurkan untuk dirawat di
rumah sakit.
Tujuan perawatan rumah sakit adalah:
1) Pemantauan pasien untuk persiapan tindakan/terapi selanjutnya
2) Pemberian terapi medikamentosa maupun pembedahan untuk
meningkatkan keluaran
3) Mencegah komplikasi subakut
4) Pengobatan terhadap penyakit sebelumnya atau faktor resiko yang
ada
5) Merencanakan terapi jangka panjang untuk mencegah stroke
berulang
6) Memulai program neuro-restorasi
Perawatan umum
Pemantauan tanda vital dan status neurologik harus sering dilakukan
dalam 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Umumnya pasien
yang dirawat dianjurkan untuk tirah baring, akan tetapi mobilisasi
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin jika kondisi pasien sudah
dianggap stabil. Mobilisasi yang segera dapat mencegah komplikasi
pneumonia, DVT, emboli paru dan dekubitus. Latihan gerakan pasif
dan full range of motion pada sisi yang paresis dapat dimulai dalam 24
jam pertama. Miring kanan-miring kiri, pemakaian pressure
mattresses serta perawatan kulit dapat mencegah timbulnya dekubitus.
l. Upaya preventif, promotif, monitoring
1) Upaya preventif
Ada 2, primer dan sekunder Upaya prevensi primer
ditujukan untuk mencegah terjadinya stroke pada kelompok
orang yang memiliki risiko untuk menderita stroke, misalnya
pada penderita hipertensi, perokok, penderita diabetes mellitus,
penderita penyakit jantung koroner dll. Termasuk ke dalam
kelompok ini adalah modifikasi faktor risiko, prevensi medic
misalnya dengan pemberian anti platelet atau anti koagulan,
prevensi bedah misalnya carotid endarterectomy, dan
sosialisasi/kampanye kesehatan masyarakat. Upaya prevensi
sekunder ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan stroke
berulang pada kelompok orang yang sudah pernah mengalami
stroke. Ke dalam kelompok ini termasuk pengontrolan faktor
risiko, peningkatan faktor protektif, prevensi medik maupun
prevensi bedah (Wilterdink and Easton, 2001; Sarti, 2003)
2) Upaya monitoring
Observasi kemungkinan perburukan karena kondisi
kardiovaskuler maupun neurologis. Kondisi medis dan neurologis
sebagai pencegahan timbulnya komplikasi. Adanya perbaikan
kondisi medis dan neurologis berdasarkan etiologi stroke.
Mendeteksi terjadinya perubahan kondisi pasien, sehingga harus
dilakukan tindakan medic maupun pembedahan (Setyopranoto,
2010).
m. Rehabilitasi Medik
Tahap Rehabilitasi.
1) Rehabilitasi stadium akut
Sejak awal tim rehabilitasi medik suidah diikutkan,
terutama untuk mobilisasi. Programnya dijalankan oleh tim,
biasanya latihan aktif dimulai sesudah prosesnya stabil, 24-72 jam
sesudah serangan, kecuali perdarahan. Sejak awal Speech terapi
diikutsertakan untuk melatih otot-otot menelan yang biasanya
terganggu pada stadium akut. Psikolog dan Pekerja Sosial Medik
untuk mengevaluasi status psikis dan membantu kesulitan
keluarga.
2) Rehabilitasi stadium subakut
Pada stadium ini kesadaran membaik, penderita mulai
menunjukan tanda-tanda depresi, fungsi bahasa mulai dapat
terperinci. Pada post GPDO pola kelemahan ototnya menimbulkan
hemiplegic posture Kita berusaha mencegahnya dengan cara
pengaturan posisi, stimulasi sesuai kondisi klien.
3) Rehabilitasi stadium kronik
Pada saat ini terapi kelompok telah ditekankan, dimana
terapi ini biasanya sudah dapat dimulai pada akhir stadium
subakut. Keluarga penderita ebih banyak dilibatkan, pekerja medik
sosial, dan psikolog harus lebih aktif.
Klien dengan stroke harus dimobilisasi dan dilakukan
fisioterapi sedini mungkin, bila kondisi klinis neurologis dan
hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pasif pada klien yang belum
boleh, perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap dua jam
untuk mencegah dekubitus. Latihan gerakan sendi anggota badan
secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah kontraktur. (Mansjoer,
dkk, 2000)
Mobilisasi Dini
1) Pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur.
a) Berbaring terlentang:
Posisi kepala, leher, dan punggung harus lurus. Letakkan
bantal dibawah lengan yang lumpuh secara hati-hati, sehingga
bahu terangkat ke atas dengan lengan agak ditinggikan dan
memutar ke arah luar, siku dan pergelangan tangan agak
ditinggikan. Letakkan pula bantal dibawah paha yang lumpuh
dengan posisi agak memutar kearah dalam, lutut agak ditekuk.
b) Miring ke sisi yang sehat:
Bahu yang lumpuh harus menghadap ke depan, lengan yang
lumpuh memeluk bantal dengan siku di luruskan. Kaki yang
lumpuh diletakkan di depan, di bawah paha dan tungkai
diganjal bantal, lutut ditekuk.
c) Miring ke sisi yang lumpuh:
Lengan yang lumpuh menghadap ke depan, pastikan bahwa
bahu penderita tidak memutar secara berlebihan. Tungkai agak
ditekuk, tungkai yang sehat menyilang di atas tungkai yang
lumpuh dengan diganjal bantal.
2) Latihan gerak sendi (range of motion)
3) Latihan gerak sendi aktif adalah klien menggunakan
ototnya untuk melakukan gerakan (Hoeman, 1996) dan
intinya tidak ada ketidaknyamanan. Menggambarkan
gerakan sistematik, dengan rangkaian urutan selama atau
setiap tahap. Menampilkan setiap latihan 3x dan rangkaian
latihan 2x sehari (Kozier, 1995).
4) Latihan gerak sendi pasif adalah perawat menggerakkan
anggota gerak dan memerintahkan keikutsertaan klien agar
terjadi gerakan penuh (Hoeman, 1996).
(1) Latihan gerak sendi pada anggota gerak atas menurut Hoeman
(1996) adalah :
a) Fleksi/ekstensi
Dukung lengan dengan pergelangan tangan dan
siku, angkat lengan lurus melewati kepala klien,
istirahatkan lengan terlentang diatas kepala di tempat tidur
b) Abduksi/adduksi
Dukung lengan di pergelangan dengan telapak
tangan dan siku dari tubuhnya klien, geser lengan menjauh
menyamping dari badan, biarkan lengan berputar dan
berbalik sehingga mencapai sudut 90o dari bahu,
c) Siku fleksi/ekstensi
Dukung siku dan pergelangan tangan, tekuk lengan
klien sehingga lengan menyentuh ke bahu, luruskan
lengan ke depan
d) Pergelangan tangan
Dukung pergelangan tangan dan tangan klien dan
jari-jari dengan jari yang lain; tekuk pergelangan tangan
ke depan dan menggenggam, tekuk pergelangan tangan ke
belakang dan tegakkan jarijari, gerakkan pergelangan
tangan ke lateral.
e) Jari fleksi/ekstensi
Dukung tangan klien dengan memegang telapak
tangan, tekuk semua jari sekali, luruskan semua jari sekali
(2) Latihan gerak sendi pada anggota gerak bawah menurut
Hoeman (1996) adalah:
a) Pinggul fleksi
Dukung dari bawah lutut dan tumit klien, angkat
lutut mengarah ke dada, tekuk pinggul sedapat mungkin,
biarkan lutut menekuk sedikit atau dengan toleransi klien
b) Pinggul fleksi/kekuatan
Dukung dari bawah lutut dan tumit klien,
mengangkat kaki klien diluruskan setinggi mungkin,
pegang sampai hitungan kelima
c) Lutut fleksi/ekstensi
Dukung kaki bila perlu tumit dan belakang lutut,
tekuk setinggi 90 derajat dan luruskan lutut.
d) Jari kaki fleksi/ekstensi
Dukung telapak kaki klien, tekuk semua jari
menurun dan dorong semua jari ke belakang
e) Tumit inverse/eversi
Dukung kaki klien di tempat tidur dengan satu
tangan dan pegang telapak kaki dengan tangan yang lain,
putar telapak kaki keluar, putar telapak kaki ke dalam
Latihan duduk
Latihan di mulai dengan meninggikan letak kepala secara bertahap
untuk kemudian dicapai posisi setengah duduk dan pada akhirnya
posisi duduk. Latihan duduk secara aktif sering kali memerlukan alat
bantu, misalnya trapeze untuk pegangan penderita(Harsono, 1996).
Bangun duduk dilakukan dengan bantuan perawat yang memegang
kuat siku sisi yang lumpuh pada tempat tidur, dengan tangan yang lain
berjabatan tangan dengan tangan penderita yang sehat. Siku penderita
yang sakit harus berada langsung di bawah bahu, bukan di belakang
bahu. Latihan ini diulang-ulang sampai penderita merasakan
gerakannya. Penyanggaan berat di siku yang menyebar ke atas sendi
bahu sisi yang mampu merupakan bagian yang penting dalam
rehabilitasi penderita stroke menuju penyembuhan total (Kandel, dkk,
1995).
n. Aspek psikososial (Wiraman, 2009) :
1) Biasakan pasien sejak awal aktif semampunya.
2) Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan.
3) Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di tempat tidur
melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur.
4) Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai
dengan kondisi pasien.
5) Pasien dimotivasi untuk selalu makan bersama keluarga dan
dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri.
6) Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi
pasien dengan afasia.
7) Pasien diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya melempar
bola masuk ke keranjang, bowling kecil, atau main catur.
8) Jangan membuat suasana hati pasien selalu murung karena dapat
membuat pasien merasa cepat lelah dan bosan.
9) Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab serta
ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan
oleh keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya
masih berharga dan berguna bagi orang lain.
o. Prognosis
Indikator prognosis adalah tipe dan luasnya serangan, age of onset, dan
tingkat kesadaran. Hanya 1/3 pasien yang bisa kembali pulih setelah
serangan stroke iskemik. Umumnya, 1/3 nya lagi akan mengalami
kecacaran jangka panjang, dan 1/3 sisanya akan mengalami akibat fatal.
Jika pasien mendapat terapi dengan tepat dalam waktu 3 jam setelah
serangan, 33% diantaranya mungkin akan pulih dalam waktu 3 bulan
(Ikawati, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Baehr, M dan Frotscher M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi Duus Edisi 4.
Jakarta : EGC.
De Jong's, The Neurologic Examinition -The facial Nerve 5 th ed, page: 181 –200
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta.: Penerbit Gadjah Mada
Press
Hartwig, Mary S; Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep klinis Proses-
proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Hendrik, Firman. 2011. Serangan Fajar Sroke Waspadai kemungkinannya.
Available at http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=kelemahan%20saat
%20bangun%20tidur%20pada%20stroke
%2Bpdf&source=web&cd=17&ved=0CEMQFjAGOAo&url=http%3A%2F
%2Fisjd.pdii.lipi.go.id%2Fadmin%2Fjurnal
%2F251931719.pdf&ei=7bBYT5b8GIXTrQfv462nDA&usg=AFQjCNHX
MugmpR_SSk8kUeQo3qaQqPyaYQ&cad=rja. Diakses pada tanggal 8
Maret 2012
Hoeman, P. 1996. Rehabilitation Nursing: Process and Application. Second
Edition. Mosby Year Book. USA : Inc,St. Louis.
Ibrahim , A. S. 2001. Stroke. Medika (Feb). vol XVIII no 2: 80-82
Ikawati, Zullies. 2009. Stroke. Lecture Notes. Available from, URL :
http://zuliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/stroke. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2012.
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologi Dalam Praktek. Jakarta. EGC.
Kandel, E. R. Schwartz, J. H. Jessel, T. M. (1995). Essential of Neural Science
and Behavior dalam An Instruction to Movement. Prentice Hall
International Inc
Kozier. 1995. Fundamental of Nursing. 5th ed. Addison Wisley
Lamsudin, Rusdi. 1996. Algoritma Stroke Gadjah Mada : Penyusunan dan
validasi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke
iskemik atau stroke infark. Berkala Ilmu Kedokteran. 28 (4) : 186.
Long, B.C. 1996. Essential of Medical Surgical Nursing: A Nursing Process
Approach. Edisi 2. Tim Penerjemah R. Karnaen, dkk. Bandung
Lumantobing, S.M., 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : FKUI
Lumbantobing, SM. 2001. Stroke. Neurogeriatri. Jakarta: FKUI
Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
FK UI.
Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu Ika; Setiowulan, Wiwiek. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu Ika; Setiowulan, Wiwiek. 2002.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Mardjono, Mahar; Sidharta. Priguna. 2007. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat.
Mardjono, Mahar; Sidharta. Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat.
Martini, Frederic H; Nath, Judi L. 2010. Fundamentals of Anatomy and
Physiology Eight Edition. San Fransisco : Pearson International Education.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. P. 236-7
Puwanti OS. 2008. Rehabilitasi Klien Stroke. Available from, URL :
eprints.ums.ac.id/1027/1/2008v1n1-08.pdf
Sarti C. 2003. Lessons of Epidemiolgy for primary stroke prevention. 2003.
Proceedings of the 7th Congress of the European Federation of
Neurological Societes. Helsinki; August 30September 2, 2003.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta : EGC.
Wibowo, Daniel S. 2008. Neuroanatomi untuk Mahasiswa Kedokteran. Malang :
Banyumedia Publishing. p. 21-3
Wilterdink JL, Easton JD. 2001. Stroke Prevention in 2001. In:Bougousslavsky J.
ed. Drug Therapy for Stroke Prevention. London: Taylor & Francis