Laporan Pbl 1 Blok Tropmed Kel 5 Edit Ke Diko
-
Upload
novia-mentari -
Category
Documents
-
view
153 -
download
15
description
Transcript of Laporan Pbl 1 Blok Tropmed Kel 5 Edit Ke Diko
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam ilmu kesehatan dan kedokteran telah diketahui bahwa terdapat
pengaruh yang cukup besar dari lingkungan terhadap kesehatan masyarakat
secara umum. Pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ini telah diketahu sejak
masa Hippocrates pada 400 SM dan didukung pula oleh para peneliti lain
setelahnya yang menyatakan bahwa terdapat empat faktor utama yang
mempengaruhi status kesehatan masyarakat yaitu lingkungan, pelayanan
kesehatan, perilaku, dan genetik. Menurut L. Bloom yang paling berpengaruh dari
keempat faktor tersebut adalah lingkungan.
Ada tiga macam lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat yaitu lingkungan fisik, biologis, dan sosial. Dalam blok ini yang akan
disoroti adalah lingkungan biologis yang mencakup kuman, virus, parasit, dan
mikroba lain yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia.
Indonesia adalah salah satu negara yang beriklim tropis di mana pada
iklim-iklim seperti ini banyak mikroba yang dapat hidup dan tumbuh dengan baik
sehingga meningkatkan risiko timbulnya penyakit endemik dan wabah. Oleh
karena itu dalam diskusi kali ini kami akan membahas mengenai penyakit tropis
yang banyak terjadi di Indonesia terutama yang disebabkan oleh parasit.
BAB II
ISI
Skenario Kasus
Info 1
Sdr. Bango 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan pembengkakan biji
pelir sebelah kiri sejak 2 bulan terakhir. Keluhan bengkak timbul terutama
setelah pasien melakukan aktifitas yang berat dan sembuh sendiri setelah
beberapa hari. Semakin lama keluhan dirasa mengganggu dan terasa nyeri.
Batasan Masalah
Nama : Sdr. Bango
Usia : 25 tahun
KU : Pembengkakan biji pelir
Onset : 2 bulan yang lalu
Lokasi : Biji pelir sebelah kiri
Kualitas : Mengganggu
Kuantitas : Keluhan muncul setelah aktifitas berat
Progresifitas : Semakin lama semakin nyeri dan mengganggu
Faktor yang memperberat : Aktifitas berat
Faktor yang memperingan : Istirahat
Keluhan tambahan : Nyeri
Analisis Masalah
1. Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval,agak gepeng dengan
panjang sekitar 4 cm dan diameter sekitar2.5 cm. Testis berada didalam
skrotum bersama epididimis yaitu kantung ekstraabdomen tepat dibawah
penis. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis
disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum
intraabdomen yang bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama
perkembangan genetalia interna pria, setelah migrasi ke dalam skrotum,
saluran tempat turunnya testis (prosesus vaginalis) akan menutup.
Gambar 1. Organ reproduksi Pria (Martini, 2009)
Organ reproduksi pria terdiri dari skrotum dan penis (Martini, 2009)
Gambar 2.Potongan melintang testis (Martini, 2009)
Lapisan skrotum dari luar ke dalam adalah (Martini, 2009) :
1. Cutis
2. Tunica dartos
3. Fascia spermatica externa
4. Fascia cremasterica
5. M. cremasterica
6. Fascia spermatica interna
7. Tunica vaginalis lamina parietalis
8. Cavumscrotalis
9. Tunica vaginalis lamina viseralis
10. Tunica albuginea
Gambar 3.Funiculus spermaticus (Martini, 2009)
Funiculus spermaticus adalah penggantung testis yang berjalan
sepanjang canalis inguinalis yang terbentang dari cavitas abdominopelvis
hingga ke testis. Funiculus spermaticus terdiri atas (Snell, 2006) :
1. a.v. testicularis
2. a.v. ductus deferens
3. a. cremasterica
4. n. genitofemoralis
5. vas deferens
6. pembuluh limfatik
Gambar 4.Perjalanan Sperma (Snell, 2006)
Tubulus seminiferous tubulus rectus rete testis ductus efferent
epididymis ductus deferens + ductus vesicula seminalis ductus
ejaculatorius urethra Ostium urethra externa (Snell, 2006)
2. Fisiologi testis
Testis terletak didalam skrotum yang setiap lobusnya berisi banyak
tubulus seminiferus, dimana spermatogenesis terjadi. Sel-sel
sertoli(sustentacular) ditemukan sepanjang tubulus, tempat dimana sperma
tumbuh menghasilkan hormon inhibin yang fungsinya yaitu
untuk mempertahankan tingkat konstan spermatogenesis ketika distimulasi
oleh testosteron dengan mengurangi sekresi FSH (Ganong, 1992). Antara
tubulus seminiferus terdapat sel Leydig, yang menghasilkan testosteron
ketika dirangsang oleh hormon luteinizing (LH) dari hipofisis kelenjar
anterior. Selain perannya dalam pematangan sperma,testosteron juga
bertanggung jawab dalam organ sekunder seksual pria (Purnomo, 2003).
Pengaturan suhu testis di dalam scrotum dilakukan oleh kontraksi
musculus dartos dan cremaster yang apabila berkontraksi akan
mengangkat testis mendekat ke tubuh. Bila suhu testis akan diturunkan,
otot cremaster akan berelaksasi dan testis akan menjauhi tubuh.
Temperatur testis dalam scrotum selalu dipertahankan dibawah temperatur
suhu tubuh 2-3 oC untuk kelangsungan spermatogenesis (Purnomo, 2003).
Fungsi testis:
a. Spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus, diatur FSH
b. Sekresi testosterone oleh sel Leydig, diatur oleh LH.
3. Histologi testis dan epididimis
a. Histologi Testis
Testis dibungkus oleh tunika albuginea yang merupakan jaringan ikat
tebal, dibawahnya terdapat jaringan ikat vaskulosa yang merupakan
jaringan ikat longgar. Jaringan ikat vaskulosa yang meluas ke dalam
membentuk jaringan ikat intersisial yang akan mengelilingi, mengikat
dan menyokong tubulus seminiferus. Testis terbagi menjadi beberapa
lobuli dimana setiap lobuli mengandung empat tubulus seminiferus.
Tubulus seminiferus pada potongan melintang dapat diamati
pembentukan spermatozoa dan sel-sel penyokong lainnya seperti sel
Sertoli dan sel Leydig. Sel Sertoli berfungsi sebagai pemberi nutrisi
terhadap spermatozoa dan sel Leydig berfungsi pada pembentukan
testosteron (Eroschenko, 2010).
Tubulus seminiferus dilapisi oleh epitel germinal yang merupakan
epitel berlapis. Terdapat dua jenis sel pada membrane basalis tubulus
seminiferus yaitu sel spermatogenik dan sel sertoli. Pada sel
spermatogonik dapat dijumpai mulai dari spermatogonia, spermatosit
primer, spermatosit sekunder, spermatid early dan late, dan
spermatozoa. Sel Leydig sendiri berada di intersisial diluar tubulus
seminiferus (Eroschenko, 2010).
Spermatogonia merupakan sel spermatogenik imatur berdekatan
dengan membrana basalis, berfungsi sebagai sel induk epitel germinal
dan membelah secara mitosis untuk menghasilkan sel spermatogonia A
dan B. Sel spermatogonia B yang mitosis akan menghasilkan
spermatosit primer. Spermatosit primer merupakan sel germinal yang
paling besar di tubulus seminiferus dan intinya besar mengandung
kromatin berupa gumpalan kasar (Eroschenko, 2010).
Spermatosit primer membelah menjadi spermatosit sekunder yang
lebih kecil dengan kromatin kurang padat. Spermatosit sekunder
mengalami meiosis menghasilkan spermatid. Spermatid late sudah
dapat dijumpai adanya cakal ekor dari spermatozoa. Spermatid late
membelah dan menghasilkan spermatozoa. Spermatozoa dapat
dijumpai dibagian tengah lumen tubulus seminiferus. Sel sertoli
sebagai penyokong terletak di seluruh epitel germinal berbentuk
piramid (Eroschenko, 2010).
b. Histologi Epididimis
Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok sebagai tempat
pematangan sperma. Saluran ini dilapisi oleh epitel kolumner
pseudokompleks dengan stereosilia. Spermatozoa dapat diamati pada
bagian lumen epididimis. Lapisan otot mengelilingi setiap tubulus
(Eroschenko, 2010).
4. Patofisiologi bengkak dan nyeri
Definisi bengkak
Bengkak adalah pembesaran atau protuberansi pada tubuh, termasuk
tumor.Bengkak merupakan salah satu dari lima ciri peradangan bersama
dengan rasa sakit, panas, warna kemerahan dan disfungsi. Menurut
penyebabnya, bengkak dapat bersifat kongenital, traumatik, radang,
neoplastik dan lain-lain.
5. Penyakit yang menyebabkan testis membengkak
a. Kongenital : hidrokel, hernia inguinoskrotalis
b. Inflamasi : varikokel, funikulitis, epididimitis, orkitis,
hidrokel, filariasis
c. Trauma : Hernia, hematokel
d. IMS : Ghonorrea, Chlamidia
e. Non IMS : E. Coli, M. tuberculosis, Brucella
Info 2
Anamnesis lanjutan didapatkan informasi bahwa 8 bulan ini pasien sering
mengeluh demam yang berulang namun sembuh sendiri setelah beristirahat.
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Pasien adalah seorang buruh perkebunan, tinggal bersama istri dan 3 orang
anak. Di sekitar rumah penderita banyak rawa-rawa. Penderita baru saja pergi
mengunjungi saudaranya yang tinggal di Flores sekitar 1 tahun yang lalu.
Pemeriksaan Fisik :
KU : sadar
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg
RR : 16x/menit
HR : 84x/menit
Suhu : 36,8 C (axilla)
Kepala : mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sclera ikterik -/-
Mulut: tanda perdarahan gusi (-)
Leher : pembesaran nnll -/-
Thorax : paru dan jantung dalam batas normal
Abdomen : I : datar
Au : BU (+)N
Pe : tympani, pekak pada region hipokondriaka dextra
Pa : hepatomegali (-), splenomegali (-)
Genital : I : scrotum membesar, eritem di scrotum sinistra (+)
Pa : testis sinistra membesar (+) nyeri tekan scrotum sinistra
(+)
Au : Bising usus (-)
Transiluminasi test (-)
Ekstremitas : edema -/-
Pengeliminasian DD :
1. Varikokel
Karena pada saat inspeksi dan palpasi tidak ditemukan gambaran dan
perabaan menyerupai kumpulan cacing pada kraniak testis.
2. Hidrokel dan hematokel
Karena tidak terlihat cairan pada pemeriksaan transiluminasi.
3. Hernia Scrotalis
Pada inspeksi tidak ditemukan benjolan berbentuk lonjong dari daerah
inguinal yang mengarah hingga ke skrotum, pada palpasi teraba nyeri.
Seharusnya tidak ditemukan nyeri tekan pada hernia scrotalis.
4. Ghonorrea
Tidak ada keluhan gatal dan panas di bagian distal uretra di sekitar
orifisium uretra eksternum, disuria, polakisuria. Tidak ditemukan duh
tubuh dari ujung uretra. Tidak ditemukan kemerahan, edema, dan
ektropion pada orifisium uretra eksternum.
5. Chlamidia
Tidak ditemukan adanya gejala urethritis, tidak ditemukan secret yang
keluar dari uretra.
DD yang tersisa :
1. Funiculitis
2. Epididimitis
3. Orkitis
4. Filariasis
5. Infeksi E. coli
6. Infeksi Brucella
Sasaran Belajar 1
1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
a. E. Coli
Escherichia coli sering dikaitkan dengan penyakit infeksi saluran kemih.
Kuman penyebab infeksi saluran kemih yang tersering adalah E. Coli yaitu
sekitar 80% – 90% kasus kasus ISK (Burke, 2008). Penegakan diagnosis
pada penyakit ini adalah (Stamm, 2001) :
1. Anamnesis
Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
Hematuria
Nyeri punggung dapat terjadi
Demam
Menggigil
Nyeri panggul dan pinggang
Nyeri ketika berkemih
Malaise
Pusing
Mual dan muntah
2. Pemeriksaan fisik
Mukosa memerah dan edema
Terdapat cairan eksudat yang purulent
Ada Ulserasi pada uretra
Nyeri pada bagian abdomen
Tidak ada nyeri pada testis
3. Pemeriksaan penunjang
- Analisa Urin (urinalisis)
Pemeriksaan urinalisis meliputi:
Leukosuria (ditemukannya leukosit dalam urin).
Dinyatakan positif jika terdapat 5 atau lebih leukosit (sel
darah putih) per lapangan pandang dalam sedimen urin.
Hematuria (ditemukannya eritrosit dalam urin).
Merupakan petunjuk adanya infeksi saluran kemih jika
ditemukan eritrosit (sel darah merah) 5-10 per lapangan
pandang sedimen urin. Hematuria bisa juga karena adanya
kelainan atau penyakit lain, misalnya batu ginjal dan
penyakit ginjal lainnya.
- Pemeriksaan bakteri (bakteriologis)
Pemeriksaan bakteriologis meliputi:
Mikroskopis.
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
- Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam
urin. Contoh, tes reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi
bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri.
Tingkat kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%
(Hanno, 2001).
- Tes Dip slide (tes plat-celup)
Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara
ini tidak mampu mengetahui jenis bakteri.
- Pemeriksaan penunjang lain
Meliputi: radiologis (rontgen), IVP (pielografi intra vena),
USG dan Scanning. Pemeriksaan penunjang ini dimaksudkan
untuk mengetahui ada tidaknya batu atau kelainan lainnya.
b. Brucella
Brucella adalah parasit obligat hewan dan manusia yang
lokasinya di intraseluler. Brucella dapat menyerang manusia dan
menyebabkan penyakit brucellosis yang ditandai dengan fase
bakterimik akut berupa demam yang naik turun yang diikuti dengan
stadium kronik (Brooks et al., 2008). Etiologinya disebabkan oleh
Brucella melitensis dan Brucella abortus. Transmisinya melalui
daging, susu yang terkontaminasi, kontak langsung dengan hewan
yang terinfeksi, seperti sapi, kambing, domba, dan babi, urin, dan
cairan tubuh. Memiliki masa inkubasi selama 1-4 minggu. Gejala
klinisnya ditandai dengan demam dimana suhunya 39oC-40oC. gejala
penyerta lainnya myalgia, atralgia, gangguan pada saluran cerna
seperti mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, pembesaran
padalimponodi yang terlokalisir, gangguan pada organ paru, dan
gangguan genitourinary berupa prostatitis, epididimitis, dan orkitis
(Tanidir et al., 2009).
Anamnesis akan didapatkan tanda dan gejala berupa lesu, nafsu
makan menurun, kurus, demam intermitten, nyeri otot, sakit kepala,
menggigil, dan keringat berlebih. Pemeriksaan fisik akan ditemukan
suhu tubuh >39˚C (Tanidir et al., 2009).
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan adanya
anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Pemeriksaan USG
didiapatkan peningkatan aliran darah ke testis. Terjadi pembengkakan
pada testis yang bersifat unilateral/bilateral yang terlihat lebih ekoik.
Selain itu, pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur darah, aspirasi
epididimis, dan titer Brucella juga dapat dilakukan untuk menegakkan
brucellosis (titer 1:160) (Tanidir et al., 2009).
c. Orkhitis
Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan ( Mumps,
Parotitis ). Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat
mengalami Orchitis pada hari ke 4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena
penjalaran infeksi melalui aliran getah bening. Virus-virus lain yang
berbungan dengan Orchitis diantaranya coxsackievirus, varicella, dan
echovirus. Bakteri. Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan
penyebaran epididymitis, yakni infeksi epididimis ( saluran sperma
yang menempel di bagian atas testis ). Infeksi oleh bakteri dapat juga
terjadi tanpa adanya infeksi epididimis. Kuman penyebab Orchitis
diantaranya Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus dan Streptococcus (Enday, 2007).
Gejala
Gejala Orchitis bisa muncul tiba-tiba, gejala tersebut antara lain
(Enday, 2007) :
a. Bengkak pada salah satu atau kedua belah testis
b. Nyeri mulai dari ringan sampai parah
c. Mual
d. Demam
e. Perubahan penis
f. Darah saat ejakulasi
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :bengkak, merah
Palpasi :bengkak (Enday, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita orkhitis
antara lain pemeriksaan urin, pemeriksaan discharge uretra untuk
mengetahui mikroorganisme penyebab, sementara sistoskopi,
pielografi intravena, dan sistografi dapat dilakukan jika dicurigai
adanya patologi pada kandung kemih. Pemeriksaan penunjang lain
meliputi (Jawetz, 2008) :
a. Darah rutin : leukositosis
b. Urin rutin : ditemukan bakteri atau virus
c. Biakan virus : diberi antiserum atau imunofluoresensi
d. Serologi : ELISA : antibody IgM dan IgG
Komplikasi
Komplikasi orchitis bisa berupa testis yang mengecil (atropi), abses
(nanah) pada kantong testis, dan infertilitas (susah punya anak),
terutama jika terkena kedua testis (Enday, 2007).
d. Filariasis
Anamnesis (Widoyono, 2011) :
Penderita filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis),
yang dapat disebabkan oleh kadar mikrofilaria yang terlalu sedikit dan
tidak terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium atau karena memang
tidak terdapat mikrofilaria pada darah pasien.
Pada penderita filariasis yang menunjukkan gejala klinis, biasanya
gejala yang dikeluhkan pasien antara lain (Widoyono, 2011) :
1. Demam selama 3-4 hari yang dapat hilang tanpa diobati, demam
dapat berulang kembali 1-2 bulan kemudian atau lebih sering
timbul apabila pasien bekerja terlalu berat.
2. Menggigil dan berkeringat
3. Nyeri kepala
4. Mual
5. Muntah
6. Nyeri pada lipat paha atau ketiak
Pemeriksaan fisik (Widoyono, 2011) :
1. Pembengkakan kelenjar getah bening yang tampak kemerahan dan
teraba panas
2. Pembengkakan skrotum (hidrokel) dan pembengkakan pada
ekstremitas terutama kaki (elefantiasis)
3. Abses filarial akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah
bening yang dapat pecah dan mengeluarkan darah serta nanah
Pemeriksaan penunjang (Widoyono, 2011) :
1. Pemeriksaan laboratorium, ditemukan mikrofilaria pada darah
2. Biopsi kelenjar getah bening, ditemukan cacing dewasa. Biopsi ini
dilakukan apabila tidak ditemukan mikrofilaria pada darah
3. Pemeriksaan serologis seperti IHA, bentonite flocculation dan tes
IFA FA, didapatkan peningkatan eosinofilia pada darah
e. Epididimitis
Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia klien,
sehingga penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan menjadi
(John, 2003) :
1. Infeksi bakteri non spesifik
Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus,
Klebsiella) menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada
anak-anak, dewasa dengan usia lebih dari 35 tahun dan
homoseksual. Ureaplasma urealyticum, Corynebacterium,
Mycoplasma, dan Mima polymorpha juga dapat ditemukan pada
golongan penderita tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh
Haemophilus influenza dan N meningitides sangat jarang terjadi.
2. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki
berusia kurang dari 35 tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi
yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, Treponema
pallidum, Trichomonas dan Gardnerella vaginalis juga sering
terjadi pada populasi ini.
3. Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-
anak. Pada epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak
didapatkan adanya pyuria. Mumps merupakan virus yang sering
menyebabkan epididimitis selain Coxsackie virus A dan Varicella.
4. TB (Tuberculosis)
Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberculosis sering
terjadi di daerah endemis TB dan menjadi penyebab utama
terjadinya TB urogenitalis.
5. Penyebab infeksi lain (seperti Brucellosis, Coccidioidomycosis,
Blastomycosis, Cytomegalovirus, Candidiasis, CMV pada HIV)
dapat menjadi penyebab terjadinya epididimitis namun biasanya
hanya terjadi pada individu dengan sistem imun tubuh yang rendah
atau menurun.
6. Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya
refluks.
7. Vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada anak-anak)
sering menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi
sistemik.
8. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi
Amiodarone adalah obat yang digunakan pada kasus
aritmia jantung dengan dosis awal 600 mg/hari-800 mg/hari selama
1-3 minggu secara bertahap dan dosis pemeliharaan 400 mg/hari.
Penggunaan Amiodarone dosis tinggi ini (lebih dari 200 mg/hari)
akan menimbulkan antibodi miodarone HCL yang kemudian akan
menyerang epididimis sehingga timbullah gejala epididimitis.
Bagian yang sering terkena adalah bagian cranial dari epididmis
dan kasus ini terjadi pada 3-11 % klien yang menggunakan obat
Amiodarone.
9. Prostatitis
Prostatitis merupakan reaksi inflamasi pada kelenjar prostat
yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri dapat
mnyebar ke skrotum menyebabkan timbulnya epididimitis dengan
rasa nyeri yang hebat, pembengkakan, kemerahan dan jika
disentuh terasa sangat nyeri. Gejala yang juga sering menyertai
adalah nyeri di selangkangan, daerah antara penis dan anus serta
punggung bagian bawah, demam dan menggigil. Pada
pemeriksaan colok dubur didapatkan prostat yang membengkak
dan terasa nyeri jika disentuh
10. Tindakan pembedahan seperti prostatektomi
Prostatektomi dapat menimbulkan epididimitis karena
terjadinya infeksi preoperasi pada traktus urinarius. Hal ini terjadi
pada 13 % kasus yang dilakukan prostatektomi suprapubik.
11. Kateterisasi dan instrumentasi
Terjadi epididimitis akibat tindakan kateterisasi maupun
pemasangan instrumentasi dipicu oleh adanya infeksi pada urethra
yang menyebar hingga ke epididimis.
12. Blood borne infection
Epididimitis terjadi melalui infeksi yang penyebarannya
melalui darah dari focus primer yang jauh, seperti kulit, gigi,
telinga, dan tenggorokan.
Pemeriksaan diagnostik/penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium (John, 2003) :
1. Pemeriksaan darah lengkap dimana ditemukan leukosit
meningkat dengan shift to the left (10.000-30.000/ µl).
2. Sperma analisa dimana terdapat leukosit > 1 juta/ml
3. Kultur semen sebagai konfirmasi untuk mendapatkan kuman
penyebab dari epididimitis.
4. Kultur urine dan pewarnaan gram untuk kuman penyebab
infeksi.
5. Analisa urine untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak.
6. Tes penyaringan untuk Chlamydia dan Gonorrhoeae.
7. Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada
penderita.
B. Pemeriksaan radiologis (John, 2003) :
1. Colour Doppler Ultrasonography
Pemeriksaan ini memiliki rentang tentang kegunaan yang
luas dimana pemeriksaan ini lebih banyak digunakan untuk
membedakan epididimitis dengan penyebab akut skrotum
lainnya.
Keefektifan pemeriksaan ini dibatasi oleh nyeri dan ukuran
anatomi klien (seperti ukuran bayi berbeda dengan dewasa).
Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi dilakukan untuk
melihat aliran darah pada arteri testikularis. Pada
epididimitis, aliran darah pada arteri testikularis cenderung
meningkat.
Ultrasonografi juga dapat dipakai untuk mngetahui adanya
abses skrotum sebagai komplikasi dari epididimitis.
Epididimitis kronis daapt diketahui melalui pembesaran
testis dan epididimis yang disertai penebalan tunika
vaginalis dimana hal ini akan menimbulkan gambaran echo
yang heterogen pada ultrasonografi.
2. Nuclear Scintigraphy
Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan
dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran
darah yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
Pada epididimitis akut akan terlihat gambaran peningkatan
penangkapan kontras.
Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100 % dalam
menentukan daerah iskemia akibat infeksi.
Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul
diagnosis negatif palsu.
Keterbatasan dari pemeriksaan ini adalah harga yang mahal
dan sulit dalam melakukan interpretasi.
3. Vesicourethrogram (VCUG), Cystourethroscopy, dan USG
abdomen
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui suatu anomali
congenital pada klien anak-anak dengan bakteriuria dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik (John, 2003) :
1. Pada inspeksi ditemukan skrotum bisa menjadi merah dan
bengkak. Ini mungkin akut (tiba-tiba menyerang) namun jarang
menjadi kronis, dan terdapat pembesaran skrotum dan isinya, dan
terdapat nanah pada urine.
2. Pada palpasi ditemukan testis pada posisi normal vertikal, ukuran
kedua testis sama besar, dan tidak terdapat peninggian pada salah
satu testis. Setelah beberapa hari, epididimis dan testis tidak dapat
teraba terpisah karena bengkak yang juga meliputi testis. Akan
teraba pembesaran atau penebalan dari epididimis secara
keseluruhan, di kauda atau di kaput yang mengindikasikan kuman
penyebab infeksi. Ditemukan juga rasa nyeri yang terlokalisir di
epididimis dengan suhu yang sedikit meningkat karena aliran darah
meningkat di daerah tersebut. Kulit skrotum teraba panas, kenyal,
merah, dan bengkak karena adanya edema dan infiltrate. Funikulus
spermatikus juga turut meradang menjadi bengkak dan nyeri.
3. Hasil pemeriksaan refleks kremaster normal
4. Phren sign bernilai positif dimana nyeri dapat berkurang bila
skrotum diangkat ke atas karena pengangkatan ini akan
mengurangi regangan pada testis. Namun pemeriksaan ini kurang
spesifik.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di regio inguinalis.
6. Pada pemeriksaan colok dubur mungkin didapatkan tanda
prostatitis kronis yaitu adanya pengeluaran secret atau nanah
setelah dilakukan masase prostat.
7. Biasanya didapatkan eritema dan selulitis pada skrotum yang
ringan.
8. Pada anak-anak, epididimitis dapat disertai dengan anomali
kongenital pada traktus urogenitalis seperti ureter ektopik, vas
deferens ektopik, dan lain-lain.
f. Funikulitis
Definisi
Funikulitis merupakan peradangan pada funikulus spermatikus,
funikulitis ini merupakan infeksi lanjutan dari filariasis yang di
sebabkan oleh Wuchereria Banchrofti . funikulitis ini merupakan salah
satu gejala pada stadium akut filariasis banchrofti, peradagan pada
sistem limfatik genitalia maskulina selain epididimitis dan orchitis.
Saluran sperma meradang, membengkak dan menyerupai tali serta
sangat nyeri pada perabaan (Purnomo, 2003).
Etiologi dan Penularannya
Wuchereria bancrofti merupakan spesies fillaria yang menyebabkan
terjadinya funikulitis pada stadium akut filariasis bancrofti, spesies
tersebut dapat ditemuka di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Siklus hidupnya dimulai saat filaria betina dewasa dalam pembuluh
limfe manusia memproduksi sekitar 50000 mikrofilaria perhari
kedalam darah, kemudian nyamuk sebagai vektor menggigit dan
menghisap darah manusia kemudian menggigit individu lainnya
sehingga larva infektif akan masuk kedalam tubuh manusia dan
menularkannya (Purnomo, 2003).
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada funikulitis pada umumnya
mengikuti tanda dan gejala umum dari filariasis karena terinfeksi
hereria bancrofti yaitu demam, mual, muntah, sakit kepala dan rasa
lemah. Namun karena adanya peradangan yang terjadi pada saluran
limfatik dan mengenai funikulus spermatikus atau saluran sperma,
maka didapatkan saluran sperma yang meradang, membengkak,
menyerupai tali serta nyeri pada saat perabaan (Purnomo, 2003)
Peny. Ginjal, hati,
<< protein, luka
bakar yg luas
Penurunan
konsentrasi protein
plasma
Penurunan tekanan
osmotik plasma
Peningkatan filtrasi
cairan keluar dari
pembuluh darah
Reaksi alergi
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler
Peningkatan protein plasma yang keluar dari
kapiler ke intersisial
Gagal jantung, kehamilan
Peningkatan tekanan vena
Peningkatan tek. Kapiler
Banyak cairan yang keluar dari vaskuler ke
intersisial
Filariasis
Penyumbatan pembuluh limfe
Cairan yang difiltrasi keluar dari vaskuler berlebih dan tertahan
di intersisium
Akumulasi cairan pada ruang intersisial
(jaringan lunak yang renggang)
Akumulasi cairan bebas di jaringan menyebabkan jaringan
bersifat lemah
Jika mendapat tekanan pd tmpat tersebut, cairan terdorong dan berpindah ke tempat yang
tekanannya lebih rendah
Membentuk cekungan ketika tekanan dilepas dan kembali agak lambat (edema
pitting)
2. Patofisiologi
a. Edema pitting
(Adam, 2003)
b. Edema non pitting
Edema nonpitting (edema intraseluler)
Metabolisme sel menurun, pasokan oksigen peradangan di
jaringan
dan aliran darah ke jaringan turun
sitokin inflamasi
aliran darah sangat rendah
meningkatkan permeabilitas
vaskuler
pompa ion tertekan
ion Na+ dan lainnya masuk
ke dalam sel
ion Na+ terjebak di dalam sel
osmosis air ke intrasel
edema intrasel
(Guyton, 2007)
c. Bengkak neoplastik
Agen perusak :Kimia
Radiasi
Virus
Sel Normal
Menonaktifkan gen supresor kanker
Mengganti sel pengatur apoptosis
Mengaktifkan onkogen yang meningkatkan
pertumbuhan sel
Neoplasma
Sel-sel yang tumbuh dengan kecepatan tinggi dan tidak terkordinasi dan di luar pengawasan homeostasis tubuh
Kerusakan DNA
Mutasi dalam genom sel somatik
Mutasi gen onkogen
(Price, 2006)
d. Efusi kongenital
Obat-obatan teratogenik yang dikonsumsi ibuInfeksi dari ibu
Ketidaksempurnaan pembentukan tunica vaginalissehingga ada lubang yang menghubungi peritoneum dan testis
Bayi laki-laki usia kehamilan 28 minggu, testis turundari rongga perut bayi ke dalam skrotum
dimana setiap testis ada kantung yang mengikutinyasehingga mengisi cairan yang mengelilingi testis tersebut
Cairan peritoneum turun melewati tunica vaginalis
Cairan kantong terisi dengan cairan peritoneum
hidrokel(Price, 2006)
e. Bengkak trauma
(Kushartanti, 2002)
Info 3
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah :
Hb : 11,6 g%
Ht : 35 %
Leukosit : 5000
Trombosit : 265.000
Eosinofil : 6 %
Pemeriksaan darah malam hari : sediaan darah tepi : mikrofilaria bancrofti (+)
Interpretasi :
Hb menurun (N = 12,5 – 18 untuk pria dan 12 – 16 untuk wanita)
Skrotum terkena trauma
Cedera vaskuler
Bengkak
Influks sel-sel radang (neutrofil, makrofag,
limfosit T)
Cairan darah yang ke lokasi cedera merembes keluar kapiler ke ruang antar sel
Ht menurun (N = 40-52)
Eosinofil meningkat (N = 0) menandakan terjadinya infeksi
Pengeliminasian DD :
1. Brucella
Brucellosis menular melalui hospes perantara yang berupa hewanternak,
dalam kasus pasien tidak ada kontak dengan jenis hewan ternak apapun.
Gejala pada brucellosis tidak spesifik seperti demam, kelelahan, atralgia,
batuk, sakit kepala, dan tidak ada keluhan nyeri dan bengkak pada
skrotum.
2. E. Coli
Pembengkakan skrotum karena E. Coli dapat dieliminasi karena infeksi E.
Coli tidak memakan waktu yang lama melainkan hanya dalam hitungan
hari. Sedangkan pada kasus penyakitnya sudah dialami selama 2 bulan.
DD lain pun dapat dieliminasi karena telah ada gold standard berupa
penemuan mikrofilaria pada apusan darah tepi pasien sehingga diagnosis kerja
dapat ditegakkan.
Diagnosis Kerja : Filariasis bancrofti
Sasaran Belajar 2
1. Definisi
Filariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing
nematoda dari superfamili Filarioidea, yang menyerang sistem getah
bening dan jaringan subkutan.
2. Epidemiologi
Infeksi in tersebar di daerahtropisdan subtropics sepertiAfrika, Asia,
Pasifik Selatan danAmerika Selatan.Di Asia, filarial endemic terjadi di
Indonesia, Myanmar, India dan Sri Lanka.Di seluruhdunia,
angkaoerkiraaninfeksi filarial mencapai 250 juta orang. Di daerah-daerah
endemic,80% pendudukbisamengalamiinfeksitetapihanyasekitar 10-20%
populasi yang menunjukkangejalaklinis (Widoyono, 2011)
3. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
timori dan Onchocerca volvulus. Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi
banyak ditemukan di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika, sedangkan
Onchocerca banyak ditemukan di Afrika.
4. Daur hidup Wucheria bancrofti
Sumber :CDC http://www.dpd.cdc.gov/dpdx
FaseAkut
Demam 3-4 hari yang dapathilangtanpadiobati, demamberulanglagi 1-2
bulankemudian,
ataugejalalebihseringtimbuljikapasienbekerjaterlaluberat.Dapattimbulbenj
olandanterasanyeripadalipatpaha, ketiakataudaerah genitalia (Widoyono,
2011)
5. Faktor risiko dan diagnosis banding
Faktor resiko:
a. Para pendatang di daerah endemis
Diagnosis banding:
a. Brucella
b. Orkhitis
c. Epididimitis
d. Funikulitis
6. Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang
Penderita filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis),
yang dapat disebabkan oleh kadar mikrofilaria yang terlalu sedikit dan
tidak terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak
terdapat mikrofilaria pada darah pasien.
Pada penderita filariasis yang menunjukkan gejala klinis, biasanya gejala
yang dikeluhkan pasien antara lain :
a. Demam selama 3-4 hari yang dapat hilang tanpa diobati, demam dapat
berulang kembali 1-2 bulan kemudian atau lebih sering timbul apabila
pasien bekerja terlalu berat.
b. Menggigil dan berkeringat
c. Nyeri kepala
d. Mual
e. Muntah
f. Nyeri pada lipat paha atau ketiak
Pemeriksaan fisik:
a. Pembengkakan kelenjar getah bening yang tampak kemerahan dan teraba
panas
b. Pembengkakan skrotum (hidrokel) dan pembengkak pada ekstremitas
terutama kaki (elefantiasis)
c. Abses filarial akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening yang
dapat pecah dan mengeluarkan darah serta nanah
Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium, ditemukan mikrofilaria pada darah
b. Biopsi kelenjar getah bening, ditemukan cacing dewasa. Biopsi ini
dilakukan apabila tidak ditemukan mikrofilaria pada darah
c. Pemeriksaan serologis seperti IHA, bentonite flocculation dan tes IFA FA,
didapatkan peningkatan eosinofilia pada darah
7. Gejala klinis
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik
dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.
Dalam perjalanan penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis
akuta berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari
sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke
stadium berikutnya.
8. Terapi medikamentosa
WHO menetapkan dietilcarbamazin (DEC) sebagai obat yang efektif untuk
pengobatan filariasis. Dosis DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari.
Pengobatan diulang 1 tahun hingga 6 bulan, bahkan bila perlu 2 hari per
bulan dengan dosis 6-8 mg/kg/BB. Selain DEC dapat pula dipergunakan
ivermektin untuk menurunkan kadar mikrofilaria. Pemberian albendazol
yang bersifat mikrofilariasidal untuk W. bancrofti selama 2-3 minggu
(Pohan, 2007).
9. Terapi bedah
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak berhasil.
Pada prinsipnya adalah untuk membuat saluran limfe baru, namun tingkat
keberhasilannya masih terbatas. Beberapa terapi bedah yang dapat
dilakukan antara lain adalah (Pohan, 2006) :
1. Limfangioplasti
2. Prosedurjembatanlimfe
3. Transposisi flap omentum
4. Eksisiradikaldan graft kulit
5. Anastomispembuluhlimfetepikedalam
6. Bedahmikrolimfatik
10. Terapi non-medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada filariasis adalah istirahat di tempat
tidur, pengikatan di daerah pembendungan untuk mengurangi edema,
peninggian tungkai, perawatan kaki, pencucian dengan sabun dan air,
ekstremitas digerakkan secarateratur untuk melancarkan aliran, menjaga
kebersihan kuku, memakai alas kaki,mengobati luka kecil dengan krim
antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi rendah
lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi. Pemberantasan filariasis
ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengancara pengobatan untuk
menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor (Pohan,
2004).
11. Pemberantasan filariasis
Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan
dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi
transmissi.
Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas
dengan tujuan :
1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%
2. Menurunkan nf rate menjadi < 5%
3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)
4. Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas :
a. Pemberantasan nyamuk dewasa
Anopheles : residual indoor spraying
Aedes : aerial spraying
b. Pemberantasan jentik nyamuk
Anopheles : Abate 1%
Culex : minyak tanah
Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan,
mengeringkan rawa dan saluran air
c. Mencegah gigitan nyamuk
Menggunakan kawat nyamuk/kelambuMenggunakan
repellent Kegiatan pemberantasan nyamuk dewasa dan
jentik tidak masuk dalam program pemberantasan filariasis
diPuskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun
1992.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk
menunjang penanggulangan filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan
seluruh penduduk daerah endemis dengan harapan bahwa penderita
dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas,
bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC secara lengkap dan
teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan
melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi
mikrofilaria (Depkes, 2003)
12. Mengapa jika beraktivitas berat akan bertambah besar dan nyeri?
1. Saat aktivitas berat, tubuh lebih banyak memproduksi panas yang ditandai
dengan respon vasodilatasi pembuluh darah. Aliran darah menuju jaringan
lebih lancar karena sel-sel membutuhkan nutrisi lebih saat aktivitas berat.
Aliran darah yang banyak akan menyebabkan cairan plasma yang keluar
pada pembuluh kapiler lebih banyak. Sehinggacairan akan diabsorbsi
masuk ke pembuluh limfe dan menambah cairan di pembuluh limfe yang
tersumbat.
2. Saat aktivitas berat, pompa otot rangka tidak berjalan
3. Peingkatan tekanan intra abdomen
BAB III
KESIMPULAN
Filariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing
nematoda dari superfamili Filarioidea, yang menyerang sistem getah bening dan
jaringan subkutan. Filariasis disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, Brugia timori dan Onchocerca volvulus. Wuchereria bancrofti dan Brugia
malayi banyak ditemukan di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika, sedangkan
Onchocerca banyak ditemukan di Afrika.
Penderita filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis),
yang dapat disebabkan oleh kadar mikrofilaria yang terlalu sedikit dan tidak
terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak terdapat
mikrofilaria pada darah pasien. Terapi penyakit ini terdiri dari terapi
medikamentosa, non-medikamentosa dan bedah.
DAFTAR PUSTAKA
Adam I, Indrawijaya. 2003. Patofisiologi bengkak. Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Adyana, Kemal. 2002. Dasar - Dasar Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Bandung. Jurusan Pendidikan Biologi UPI.
Brooks, Geo F., Janet S. Butel dan Stephen A. Morse. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg Edisi 23. EGC, Jakarta. Hal 289-292.
Burke JP. 2008. Infection Control- A Problem for Patient Safety. N Engl J Med; 348: 651-656.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di Puskesmas
Enday S. 2007. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta, Indonesia: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 553-557.
Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta : EGC. Hal 430-434.
Ganong W.F. 1992. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Guyton A.C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta : EGC.
Hanno PM et al. 2001. Clinical manual of Urology 3rd edition. New york : Mcgraw-hill.
Jawetz, M.A. 2008.MikrobiologiKedokteran. edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Hartanto dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
John N. K. 2003. Epididimitis. Dalam: Smith’s General Urology 6th ed. h189-95
Kushartanti. 2002. Patofisiologi Cedera. FIK UNY. Yogyakarta.
Martini, Frederich H., Nath, Judi L., et al. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology, 8th edition. San Fransisco : Pearson International Education
Pohan Herdiman T,. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Price, S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
Purnomo B. 2003. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : CV. Infomedika.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC
Stamm WE. 2001. An Epidemic of Urinary Tract Infections? N Engl J Med; 345: 1055-1057.
Tanidir, Yilorem, Abdulkadir Gumrah, Cem Akbal, and Tufan Tarcan. 2009. Brucella Epididymo-Orchitis as The First Presenting Sign of Brucellosis : A Case Report and Riview of The Literature. Mamara Medical Journal. 22(2) : 179-180.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Edisi kedua. Jakarta : Erlangga.