Laporan MKI

72
LATAR BELAKANG Dalam budidaya ikan, penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis. Karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah dan kematian. Sehingga dapat mengakibatkan menurunnya atau hilangnya produksi. Penyakit meliputi penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyakit infeksi merupakan masalah utama, meliputi penyakit- penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi dan parasit. Menurut Kinne (1980), penyakit pada hewan perairan dapat disebabkan oleh cacat genetis, cidera fisik, ketidak seimbangan nutrient, pathogen dan atau polusi. Dinamika infeksi, berat-ringannya penyakit serta penularan penyakit dalam suatu populasi atau antara dua atau lebih populasi ikan, serupa dengan yang terjadi pada hewan terrestrial dan manusia. Akan tetapi karena lingkungan air, maka dinamika penularan penyakit menjadi berbeda, karena air akan memfasilitasi penyebaran agensia penyebab penyakit. Pada umumnya penyakit infeksi bersifat musiman, terutama pada daerah tropis. Di daerah sub-tropis seperti amerika serikat, wabah penyakit infeksi umumnya terjadi pada bulan maret-juni dan September-oktober, ketika suhu air mencapai 20-28 o C. Kisaran suhu tersebut merupakan suhu optimum bagi sebagian besar patogen ikan (Plumb, 2001).

description

referensi laporan MKI '07

Transcript of Laporan MKI

Page 1: Laporan MKI

LATAR BELAKANG

Dalam budidaya ikan, penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis.

Karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama,

tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah dan kematian. Sehingga dapat

mengakibatkan menurunnya atau hilangnya produksi.

Penyakit meliputi penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyakit infeksi merupakan

masalah utama, meliputi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi

dan parasit. Menurut Kinne (1980), penyakit pada hewan perairan dapat disebabkan oleh

cacat genetis, cidera fisik, ketidak seimbangan nutrient, pathogen dan atau polusi.

Dinamika infeksi, berat-ringannya penyakit serta penularan penyakit dalam suatu

populasi atau antara dua atau lebih populasi ikan, serupa dengan yang terjadi pada hewan

terrestrial dan manusia. Akan tetapi karena lingkungan air, maka dinamika penularan

penyakit menjadi berbeda, karena air akan memfasilitasi penyebaran agensia penyebab

penyakit. Pada umumnya penyakit infeksi bersifat musiman, terutama pada daerah tropis.

Di daerah sub-tropis seperti amerika serikat, wabah penyakit infeksi umumnya terjadi

pada bulan maret-juni dan September-oktober, ketika suhu air mencapai 20-28 oC.

Kisaran suhu tersebut merupakan suhu optimum bagi sebagian besar patogen ikan

(Plumb, 2001).

Perkembangan dan keseriusan suatu penyakit dalam akuakultur meliputi suatu

interaksi yang kompleks antara tingkat virulensi pathogen, derajat imunitas inang, kondisi

fisiologis dan genetika hewan, stress dan padat tebaran. Secara umum faktor-faktor yang

terkait dengan timbulnya penyakit merupakan interaksi dari 3 faktor yaitu inang,

pathogen dan lingkungan atau stressor eksternal (yaitu perubahan di lingkungan yang

tidak menguntungkan, tingkat higienik yang buruk dan stress) (Austin dan Austin, 1999).

Tujuan dari praktikum manajemen kesehatan ikan adalah untuk mengetahui

distribusi serangan penyakit atau wabah (epidemiologi) kemudian melakukan diagnosis

baik itu pengamatan eksternal maupun internal. Selanjutnya melakukan pengendalian

terhadap infeksi pathogen dengan cara vaksinasi dan pengobatan (antibiotik) berdasarkan

dosis yang telah ditentukan.

Page 2: Laporan MKI

B. PENGOBATAN

I. TUJUAN

1. Mengetahui efektifitas antibiotik untuk menanggulangi penyakit bacterial.

2. Mengetahui cara menentukan konsentrasi minimum suatu antibiotic yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri.

3. Mengetahui sensitifitas bakteri pathogen terhadap beberapa antibiotic.

II. MANFAAT

1. Pengobatan bermanfaat untuk mencegah dan mengobati (menyembuhkan)

penyakit ikan yang disebabkan oleh hama dan berbagai penyakit infeksi

(parasiter).

2. Uji MIC bermanfaat untuk menentukan dosis terendah suatu antibiotik yang dapat

membunuh patogen dengan jumlah paling tinggi.

3. Uji sensitifitas bakteri terhadap antibiotik berguna untuk mengetahui efektifitas

berbagai antibiotik sebagai agen anti bakteri.

Page 3: Laporan MKI

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik

Antibiotic adalah suatu substansi kimia yang diperoleh dari, atau dibentuk oleh

berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu menghambat

pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Antibiotika tersebar di alam, dan memegang

peranan penting dalam mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos.

Antibiotika ini berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Dari sekian banyak

antibiotika yang telah berhasil ditemukan, hanya beberapa sja yang cukup tidak toksik

untuk dapat dipakai dalam pengobatan (Sujudi, 1993).

Beberapa antibiotic bekerja terhadap dinding sel bakteri (penicillin dan

sefaloporin) atau membrane sel (kelompok polymiksin). Mekanisme kerja terpenting

adalah menghambat metabolisme protein bakteri secara selektif, sehingga kuman musnah

atau tidak berkembang lagi, misalnya chloramphenicol, tetracycline aminiglicosida, dan

machlorida. Tetapi terhadap kebanyakan virus, antibiotic itu tidak aktif. Hal ini diduga

lantaran virus tidak memiliki proses metabolic yang sesungguhnya, melainkan tergantung

seluruhnya dari proses-prose inang (host). Menurut daya kerjanya antibiotic dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu antibiotic bakteriostatik dan antibiotic bakterisid.

Antibiotic bakteriostatik bekerjanya menghambat pertumbuhan dan perkembangan

bakteri, misalnya menghambat sintesis protein bakteri. Sedangkan antibiotic bakterisid

bekerjanya mematikan bakteri, seperti menghambat biosinresis dinding sel bakteri. Tapi,

daya kerja antibiotik ini juga ditentukan oleh besar kecilnya dosis yang diberikan.

Apabila antibiotik bakterisid diberikan dalam dosis rendah, maka itu dapat bersifat

bakteriostatik. Sebaliknya, antibiotik bakteriostatik bisa bersifat bakterisid kalau

diberikan pada dosis tinggi (Kordi dan Ghufran, 2004).

Menurut Sujudi ( 1993), sifat-sifat antibiotik sebaknya adalah :

1. Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak host.

2. Bakterisid dan bukan bakteriostatik.

3. Tidak menyebabkan resistensi pada kuman.

4. Berspektrum luas.

Page 4: Laporan MKI

5. Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan

dalam jangka waktu lama.

6. Tetap aktif dalam plasma, cairan badan atau eksudat.

7. Larut di dalam air serta stabil.

8. Bactericidal level di dalam tubuh cepat dicapai dan bertahan untuk waktu lama.

Antibiotika mengganggu (interfere) bagian-bagian yang peka di dalam sel, yaitu :

1. Sintesis dinding sel.

2. Fungsi membran.

3. Sintesis protein.

4. Metabolisme asam nukleat.

5. Metabolisme intermedier.

Istilah penicillin adalah generik untuk semua grup penicillin, baik yang natural

maupun semisintetik. Dari penicillin natural yang dihasilkan, ternyata bensil penicillin

atau penicillin G adalah yang paling bermanfaat dalam klinik. Penicillin G ini efektif

terhadap kebanyakan kokus positif dan negatif gram. Yang resisten terhadap antibiotik ini

adalah enterokokus dan strain Staphylococcus aureus penghasil penicilinasa. Kekurangan

penicillin G adalah :

1. Diinaktifkan oleh pH asam cairan lambung.

2. Dirusak oleh penicilinasa.

3. Kadang-kadang menyebabkan reaksi alergi.

Dari senyawa-senyawa berspektrum luas yang bermanfaat dalam klinik adalah ampisilin

yang tahan asam tetapi peka terhadap penisilinasa dan karbenisilinyang terutama berguna

terhadap infeksi oleh pseudomonas. Kemudian streptomycin yang bersifat bakterisid

terhadap sejumlah besar kuman-kuman positif dan negatif gram, dan terhadap

mycobacterium tuberculosis (Sujudi, 1993). Menurut Kamiso dkk. (1993), penggunaan

terramysin (TM-50) untuk penanggulangan aeromonas hydrophila dengan dosis 25

mg/kg dengan cara injeksi, 50-100 mg/kg/hari dengan cara oral dan 1-2 minggu 10 ppm

dengan cara perendaman selama 1 hari.

Page 5: Laporan MKI

B. MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

Pemilihan obat yang paling efektif adalah dengan memperhatikan spesifitas obat

terhadap agen infeksi, jalur metabolisme obat, hasil-hasil metabolit obat, serta efek obat

dan hasil metabolit obat pada tubuh ikan (ada beberapa obat yang hasil metabolitnya

sangat beracun). Pada penentuan dosis obat harus diketahui dosis terapiutik serta dosis

toksiknya dengan cara memperhatikan atau melihat faktor-faktor tersebut sehingga dapat

ditentukan metode dalam pengobatannya (Anonim, 2002).

Cara yang biasa digunakan untuk mengetahui keampuhan suatu antibiotik yaitu

antibiogram atau bisa disebut juga sebagai uji kepekaan antibiotik terhadap patogen

penyebab penyakit. Antibiogram menguji antibiotik pilihan pada mikroorganisme

patogen yang diisolasi dari penderita penyakit. Uji ini dibutuhkan suspensi baku dari

mikroorganisme patogen yang ditumbuhkan dalam media. Kemudian suspensi baku

tersebut dimasukkan ke dalam media yang telah berisi berbagai konsentrasi antibiotik.

Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme di dalam media

dapat ditentukan dengan cara mengukur kekeruhan setelah dilakukan inkubasi. Tabung

media yang berisi konsentrasi antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme patogen terlihat tetap bening, sedang pada tabung dengan konsentrasi

antibiotik yang tidak menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen terlihat

berwarna keruh. Kemampuan antibiotic dapat ditentukan dengan melihat konsentrasi

terendah antibiotik yang masih dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan

mikroorganisme patogen. Metode dalam penentuan kemampuan antibiotik tersebut

disebut dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) (Lay, 1994).

C. Pengobatan

Penanggulangan hama dan penyakit ikan selama ini masih tertumpu pada

penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik dan desinfektan. Tetapi penggunaan obat-

obatan tersebut akan menimbulkan masalah, yaitu kemungkinan timbulnya patogen

(varietas baru) yang resisten terhadap obat-obatan dan akan terjadi penimbunan residu

obat-obatan di dalam tubuh ikan maupun di lingkungan yang akhirnya dapat

mempengaruhi organisme-organisme yang berguna di perairan setempat (Wu dkk.,

1981). Oleh sebab itu menurut Suyanto (1983) usaha terbaik untuk menanggulangi hal

tersebut adalah dengan pencegahan.

Page 6: Laporan MKI

Pencegahan timbulnya penyakit bacterial dapat dilakukan dengan sanitasi

lingkungan, meningkatkan nutrisi yang diberikan maupun dengan vaksinasi (Kamiso

dkk., 1997).

Penggunaan obat-obatan dianggap sangat praktis, efektif, dan murah. Tetapi perlu

diingat, karena obat-obatan kebanyakan tidak spesifik dan dapat menimbulkan strain

bakteri yang resisten dan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kordi dan Ghufran,

2004).

Page 7: Laporan MKI

IV. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan Uji Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik

1) Bakteri patogen Aeromonas hidrophila

2) Antibiotik volume 30 l : terramycin, ampicillin, streptomycin, dan penicillin.

3) Medium TSA

4) Paperdisk blank steril dan petridisk steril.

5) Pinset steril, lampu bunsen, mikropipet, yellow tip, vortex, spidol marker, label,

dan inkubator.

B. Alat dan Bahan MIC

1) Tabung reaksi

2) Mikropipet

3) 10 l kultur bakteri Aeromonas hidrophila

4) 1 ml antibiotik

5) PBS

6) Medium TSB

C. Alat dan Bahan Pengobatan

1) Bakteri ikan lele yaitu Aeromonas hidrophila

2) Spuit 1 ml

3) Antibiotik

4) PBS

5) Pakan ikan

A. Cara Kerja Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik

1. kultur bakteri aeromonas hydrophila kultur 24 jam

2. melakukan vortex

3. kemudian streak rapat pada medium TSA

4. lakukan pemberian antibiotik

a. terramycin

b. ampisilin

c. streptomycin

Page 8: Laporan MKI

d. penicillin

5. inkubasi selama 24 jam

6. lakukan pengamatan

B. Cara Kerja MIC

1. menyiapkan media TSB

2. menambahkan 1 ml antibiotik

3. menambahkan 10 µl bakteri aeromonas hydrophila

4. konsentrasi antibiotik yang digunakan

a. 0 mg/l ------- 0 ppm

b. 1,565 mg/l ------- 62,5 ppm

c. 3,125 mg/l ------- 12,5 ppm

d. 6,25 mg/l ------- 250 ppm

e. 12,5 mg/l ------- 500 ppm

f. 25 mg/l ------- 1000 ppm

C. Cara Kerja Pengobatan

1. dosis MIC 125 ppm

a. 1 × dosis 125 ppm

b. 2 × dosis 250 ppm

c. 3 × dosis 375 ppm

2. disuntikkan pada masing-masing ikan

3. ember 1, ember 2, dan ember 3 yang berisi ikan diinjeksi dengan dosis yang telah

ditentukan

Page 9: Laporan MKI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Hasil Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik

Pada medium agar TSA dihasilkan atau terbentuk zona hambat pada zona A, B dan D.

Sedangkan zona C tidak terbentuk zona hambat. Terbentuk zona hambat artinya bakteri

tersebut sensitif terhadap antibiotik yang digunakan dan yang tidak terbentuk zona

hambat berarti resisten.

Sensitif Resisten

Kelompok 1 Streptomycin Terramycin

Kelompok 2 Streptomycin Terramycin

Kelompok 3 Terramycin Penicillin

Kelompok 4 ampicillin Penicillin

B. Hasil MIC

Dosis

Kelompok 1 6,25 mg/ml

Kelompok 2 3,125 mg/ml

Kelompok 3 3,125 mg/ml

Kelompok 4 12,5 mg/ml

Dosis yang digunakan adalah 3,125 mg/ml

C. Hasil Pengobatan

Dosis Hari Gejala Keterangan

Dosis A 125 Rabu Sehat Hidup semua

Kamis Sirip sudah mulai geripis Hidup semua

Jumat Sirip banyak geripis, diam di

dasar

Hidup semua

Page 10: Laporan MKI

Sabtu Lele mati 4 (borok, geripis, kulit

ngelupas

Minggu Lele mati 4 (borok, kulit

mengelupas, kulit geripis)

Senin Tidak ada yang hidup

Selasa

Dosis B 250 Rabu Sehat Hidup semua

Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua

Jumat Sirip banyak geripis Hidup semua

Sabtu Lele mati 5 ( borok, geripis, kulit

ngelupas)

Minggu Hidup 1

Senin Hidup 1

Selasa Hidup 1

Dosis C 375 Rabu Sehat Hidup semua

Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua

Jumat Sirip banyak bergeripis Hidup semua

Sabtu Lele mati 5 (borok, geripis, kulit

ngelupas)

Minggu Mati

Senin Mati

Selasa Mati

Pembahasan

A. sensitifitas bakteri terhadap antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme hidup

terutama fungsi bakteri atau melalui sintesis, memiliki efek mematikan atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri (Kordi dan Ghufran, 2004).

Bakteri dikatakan sensitif terhadap suatu antibiotik apabila antibiotik tersebut

mampu mengganggu struktur double helix DNA kuman atau bakteri sehingga mampu

Page 11: Laporan MKI

pula mempengaruhi seluruh fase pertumbuhan dan metabolisme kuman. Apabila

antibiotik tersebut cocok digunakan maka akan dapat menghambat pembelahan sel

bakteri. Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok 2 terdapat zona hambat yang

cukup besar pada penggunaan antibiotik penicillin terhadap kultur bakteri A. hidrophila,

karena apabila dilihat dari mekanisme kerja penicillin yaitu mengganggu (interfere)

pembentukan dinding sel terutama pada tahap terakhir. Penggunaan penicillin ini dapat

menyebabkan terbentuknya sferoplas yaitu kuman-kuman tanpa dinding sel atau kuman

bentuk L.

Menurut Sujudi (1993), ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu

populasi kuman atau bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik. Mekanisme tersebut

antara lain adalah :

1. Mikroorganisme memproduksi ensim yang merusak daya kerja obat, misalnya

stafilokokus resisten terhadap penicillin disebabkan karena stafilokokus

memproduksi ensim beta laktamase yang memecahkan cincin beta laktam dari

penicillin, sehingga penicillin tidak lagi aktif bekerja.

2. Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu. Misalnya

streptokokus mempunyai barier alami terhadap obat golongan aminoglikosida.

3. Terjadinya perubahan pada tempat atau lokus tertentu di dalam sel sekelompok

mikroorganisme tertentu yang menjadi target dari obat. Misalnya obat golongan

aminoglikosida memecah atau membunuh bakteri karena obat ini merusak sistem

ribosom sub-unit 30S.

4. Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat.

5. Terjadi perubahan ensimatik sehingga kuman atau bakteri meskipun masih dapat

hidup dengan baik tapi kurang sensitif terhadap antibiotik.

Asal mula terjadinya resistensi kuman atau bakteri terhadap obat atau antibiotik dapat

dibagi menjadi :

1. Non Genetik

2. Genetik

Page 12: Laporan MKI

1. Sebab-Sebab Non Genetik

Hampir semua obat antibiotika bekerja baik pada masa aktif pembelahan kuman

atau bakteri. Dengan demikian, populasi kuman atau bakteri yang tidak berada pada fase

pembelahan aktif pada umumnya relatif resisten terhadap obat.

2. Sebab-Sebab Genetik

Terjadinya resistensi kuman atau bakteri terhadap antibiotik umumnya terjadi

karena perubahan genetik. Perubahan genetik bisa terjadi secara kromosomal maupun

ekstra kromosomal, dan perubahan genetik tersebut dapat ditransfer atau dipindahkan

dari satu spesies bakteri kepada spesies bakteri lain melalui berbagai mekanisme.

a. Resistensi kromosomal

Resistensi bakteri terhadap antibiotika yang mempunyai sebab genetik

kromosomal terjadi misalnya karena terjadinya mutasi spontan pada lokus ADN

yang mengontrol susceptibility terhadap obat tertentu. Mutasi spontan terjadi

dengan frekuensi kira-kira 10-7 sampai 10-12.

b. Resistensi ekstrakromosomal

Bakteri mengandung pula materi genetik yang ekstrakromosomal yang disebut

plasmid. Plasmid adalah molekul DNA yang bulat atau sirkuler :

a) Kira-kira mempunyai berat 1-3 % dari kromosom bakteri

b) Berada bebas dalam sitoplasma bakteri

c) Adakalanya dapat bersatu kedalam kromosom bakteri

d) Dapat melakukan replikasi sendiri secara otonom

e) Dapat pula berpindah atau dipindahkan dari satu spesies ke spesies lain

Beberapa contoh plasmid adalah :

1. Faktor R

Faktor R adalah suatu golongan plasmid yang membawa gen-gen untuk resistensi

terhadap satu atau lebih antibiotika dan logam berat. Gen dalam plasmid yang

menyebabkan resisten obat seringkali memproduksi ensim-ensim yang dapat

merusak daya kerja obat.

2. Toksin

Beberapa toksin dari bakteri juga merupakan produk dari plasmid.

Page 13: Laporan MKI

3. Faktor F

Faktor F disebut dengan fertility factor memegang peranan dalam proses

konjugasi bakteri.

Berdasarkan hasil pengamatan bakteri Aeromonas hidrophila tergolong dalam

bakteri yang sensitif terhadap antibiotik streptomycin untuk kelompok 1, streptomycin

untuk kelompok 2, terramycin untuk kelompok 3, ampicillin untuk kelompok 4.

kemudian aeromonas hidrophila resisten terhadap antibiotik terramycin untuk kelompok

1, terramycin untuk kelompok 2, penicillin untuk kelompok 3 dan 4.

B. MIC (Minimum Inhibitory Cocentration)

MIC merupakan kemampuan antibiotic dengan dosis terendah yang masih mampu

mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen (Lay, 1994). Suatu

antibiotic atau obat sebelum digunakan untuk pengobatan sebaiknya melewati tahap uji

efektifitas terlebih dahulu yang meliputu uji minimum inhibitory concentration (MIC)

dan uji tantang (Anonim, 2008).

MIC berfungsi atau mempunyai peranan dalam mencari konsentrasi obat terendah

yang sudah terjadi penggumpalan yang akan digunakan sebagai dosis obat terendah yang

dapat membunuh bakteri.

Mekanisme kerjanya yaitu, pertama membuat stok obat atau antibiotic dengan

dosis yang dikehendaki, kemudian membuat seri pengenceran antibiotic menggunakan

PBS. Setelah itu menyiapkan media TSB sebanyak 6 tabung, kemudian menambahkan 1

ml antibiotic kedalam masing-masing tabung. Kemudian langkah selanjutnya tambahkan

10 µl kultur bakteri Aeromonas hidrophila 24 jam kedalam tiap tabung yang berisi TSB

dan antibiotic. Konsentrasi antibiotic yang digunakan yaitu 0 mg/l, 1,565 mg/l, 3,125

mg/l, 6,25 mg/l, 12,5 mg/l dan 25 mg/l. kemudian menginkubasi tiap perlakuan selama

24 jam dan setelah diinkubasi diamati pertumbuhan bakterinya. MIC ditunjukkan oleh

konsentrasi antibiotic terendah yang menunjukkan penghambatan pertumbuhan bakteri.

Dari hasil pengamatan dosis yang digunakan yaitu 3,125 mg/ml. tujuan dari dosis ini

dibuat adalah untuk mengamati adanya reaksi anti gen bakteri dengan antibiotic obat.

Dosis 3,125 mg/ml dipilih karena lebih efektif untuk digunakan dibandingkan dengan

dosis lain yang telah dibuat.

Page 14: Laporan MKI

C. Pengobatan

Apabila dilihat dari gejala eksternalnya seperti sirip gripis, terdapat borok dan

kulit mengelupas dimungkinkan karena infeksi aeromonas hidrophila. Dibandingkan

dengan pustaka menurut Kordi dan Ghufran (2004), mengatakan bahwa ikan yang

terserang bakteri ini biasanya memperlihatkan gejala-gejala berupa, warna tubuh ikan

menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik

terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-

megap di permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernafas, kulit ikan menjadi

kasat dan timbul pendarahan selanjutnya diikuti dengan luka-luka borok, perut ikan

kembung (dropsi), dan apabila dilakukan pembedahan maka akan kelihatan pandarahan

pada hati, ginjal, dan limpa. Menurut Mc Daniel (1979), penyakit bacterial yang

disebabkan oleh bakteri tersebut dikenal dengan nama MAS (Motil Aeromonas

Septisemia), degan tanda-tanda antara lain warna kulit menjadi gelap, bercak-bercak

merah pada permukaan tubuh, dan pada sirip-siripnya, mata rusak dan menonjol serta

adanya benjolan-benjolan yang terdapat pada permukaan tubuh. Pada bagian dalam tubuh

juga terdapat tanda-tanda antara lain hemorrhage pada intestinum, peritoneum dan

jaringan otot serta isi perut tampak berdesakan.

Pengobatan dengan antibiotic biasanya menjadi tidak efektif tergantung dari

patogenesitas atau virulensi dari bakteri aeromonas hidrophila. Bakteri tersebut memiliki

serotipe yang banyak atau beragam, hal ini yang menyebabkan patogenesitasnya pun

berbeda-beda. Pada saat uji laboratorium, pengobatan atau penggunaan antibiotik lebih

efektif dikarenakan pada saat uji sensitifitas bakteri terhadap beberapa antibiotik dan

diinkubasi selama 24 jam tentunya bakteri akan berkembang biak atau melakukan

konjugasi. Pada saat bakteri melakukan pembelahan sel antibiotic dapat bekerja dengan

baik untuk menghentikan pertumbuhan bakteri sehingga bakteri menjadi sensitive

terhadap antibiotic tertentu. Tetapi berbeda kondisinya pada saat uji lapang, karena belum

tentu kultur bakteri yang diinjeksikan ke ikan lele akan melakukan pembelahan sel di

dalam inang padahal teori mengatakan bahwa antibiotik bekerja baik pada masa aktif

pembelahan kuman atau bakteri. Dengan demikian, populasai kuman atau bakteri yang

tidak berada pada fase pembelahan aktif pada umumnya relative resisten terhadap obat

(Sujudi dkk., 1993). Hal ini yang menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif saat

Page 15: Laporan MKI

diterapkan di lingkungan. Selain itu factor lingkungan yang kurang stabil mempengaruhi

patogenesitas bakteri terhadap inang.

Ketika antibiotik diinjeksikan ke ikan dengan dosis-dosis yang telah ditentukan

tidak dapat membunuh bakteri tersebut, hal ini dikarenakan tingkat perlindungan pada

pengobatan banyak tergantung kemangkusan obat. karena obat-obatan pada umumnya

tidak meningkatkan daya tahan tubuh baik humoral maupun seluler tetapi justru menekan

kemampuan imunitas tersebut (Rijkers et al., 1981; Grondel and Boeston, 1982; Lewis et

al, 1985). Rijkers et al., 1981 bahkan menyatakan bahwa obat-obatan tidak hanya

menekan kemampuan pertahanan humoral dan seluler, tetapi juga menekan pertumbuhan

ikan.

Page 16: Laporan MKI

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) suatu bakteri menjadi resisten ataupun sensitif terhadap antibiotik tergantung dari

sifat bakteri tersebut serta kemampuan bakteri dalam memproduksi ensim-ensim

yang dapat merusak daya kerja obat.

2) Berdasarkan hasil bakteri aeromonas hidrophila resisten terhadap beberapa

antibiotic yaitu terramycin dan penicillin, kemudian sensitive terhadap

streptomycin dan ampicillin. Tetapi pada kelompok 3 A. hidrophila sensitive

terhadap terramycin, hal ini dimungkinkan tingkat virulensi dari bakteri A.

hidrophila yang digunakan berbeda-beda.

3) MIC yang digunakan adalah 3,125 mg/ml, karena dosis tersebut sudah dapat

menghambat pertumbuhan bakteri.

4) Perlindungan obat tergantung dari kemangkusan obat itu sendiri, karena obat-

obatan tidak meningkatkan daya tahan tubuh tetapi justru menekan immunitas

tubuh bahkan dapat menekan laju pertumbuhan.

5) Keefektifan antibiotik tergantung dari patogenesitas bakteri yang dimaksud.

6) Daya kerja obat akan baik pada saat bakteri melakukan pembelahan sel dan

sebaliknya apabila bakteri tidak berada pada fase tersebut maka bakteri tersebut

relatif resisten terhadap antibiotik yang digunakan.

Page 17: Laporan MKI

B. Saran

1) Coba gunakan strain bakteri yang lebih pathogen lagi untuk melihat keefektifan

antibiotic yang digunakan sehingga dapat terlihat lebih jelas mana antibiotic yang

benar-benar dapat menghambat bakteri tersebut baik itu dengan dosis tinggi

maupun dengan dosis rendah.

2) Sebaiknya penggunaan antibiotik dengan dosis tertentu harus lebih diperhatikan

karena apabila terjadi kelebihan dosis yang menyebabkan lokus kerja obat pada

ribosom bakteri berubah maka bakteri tidak lagi sensitive terhadap obat golongan

tertentu.

Page 18: Laporan MKI

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Depatremen Perikanan dan kelautan, Lampung.

Anonim. 2008. Petunjuk Praktikum Manajemen Kesehatan Ikan. Laboratorium Hama Dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Grondel, J. L. and H. J. A. M. Boeston, 1982. The Influence Of Antibiotic On The Immune System I. Inhibition Of The Mitogenic Leukocyte Response In Vitro by Oxytetracycline. Dev. Comp. Immunol., sup. 2,211-216.

Kamiso, H. N., Adi S., Iwan Yusuf B. L., Widodo, Nuzirwan T., Eni Budi S. H., Suko H., Triyanto, Ustadi, Ade Noor K., Wiwiek N., Sri W., Setianingsih. 1993. Hama Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian Dan Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta.

Kamiso H. N., Triyanto, Sri H., 1997. Uji Antigenesitas Dan Efikasi Vaksin Aeromonas Hidrophila Pada Lele Dumbo (Clarias Gariepinus). Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kordi, K., dan Ghufran H., 2004. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta Dan Bina Adiaksara. Jakarta.

Lay, Bibiwana W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lewis, E. H., J. Tarpley,. T. Marks and R. F. Sois., 1985. Drug Induced Structural Changes In Olfactory Organs Of Channel Catfish Ictalurus Punctatus. J. Fish. Boil., 26 : 355-358

McDaniel, D., 1979. Fish Health Blue Book. Procedure For The Detection And Adentification Of Certain Fish Pathogen. Fish Health Section. American Fish. Soc., 47-48

Rijkers, G. T., R. Van Dostrerom and W.B. Van Muiswinkel, 1981.The Immune System Of Cyprinid Fish, Oxytetracycline And The Regulation Of Humoral Immunity In Carp. Vet. Immunol. Immunopathol., 2 : 281-290.

Sujudi, H. Dkk., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.

Suyanto, S. R., 1983. Penyakit Ikan Dan Cara-Cara Pemberantasannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 19: Laporan MKI

Wu, J., H. Lin, L. Jan, Y. Hsu dan L. Chang, 1981. Biological Control Of Fish Bacterial Pathogen, Aeromonas Hidrophila By Bacteriophage AH 1. Fish pathol., 15 (3/4) : 271-276.

Page 20: Laporan MKI

C. VAKSINASI

I. TUJUAN

1) Mengetahui cara-cara pembuatan vaksin.

2) Mengetahui cara-cara pemberian vaksin dan pengaruhnya pada ikan.

II. MANFAAT

1) Dapat mengetahui prinsip dasar pembuatan vaksin pada tiap tahapnya.

2) Vaksinasi diharapkan mampu merangsang pembentukan antibodi, karena pada

bakteri tertentu ada yang menghasilkan antibodi yang tinggi tetapi tidak protektif.

Page 21: Laporan MKI

III. TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan vaksin dewasa ini ada beberapa cara. Johnson dan Amend (1984),

membuat vaksin dengan inaktivasi bakteri dengan menggunakan larutan formalin.

Sedang Itami dan Kusuda (1980), disamping dengan cara tersebut, mereka juga membuat

vaksin dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC dan ultrasonikasi.

Menurut Dorson (1984), cara vaksinasi yang ditempuh sangat menentukan

keberhasilan imunisasi. Diantara cara-cara tersebut adalah injeksi peritoneal, injeksi

intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin

bertekanan tinggi ke tubuh ikan dan dengan melalui makanan atau oral (Souter, 1984).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi menurut Souter (1984),

adalah kisaran suhu, ukuran, dan spesies ikan.

Vaksin itu sendiri adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad

patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan

(kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.

Vaksinasi merupakan sala satu upaya penanggulangan penyakit pada hewan (termasuk

ikan) dengan cara pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan agar memiliki ketahanan

terhadaop serangan penyakit. Teknik pemakaian vaksin yang biasa dilakukan pada ikan

mencakup bermacam cara, yaitu : melalui suntikkan, melalui makanan atau oral,

perendaman, dan penyemprotan dengan tekanan tinggi (Kordi dan Ghufran, 2004).

Pada tingkat aplikasi di lapangan hasil vaksinasi akan sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan terutama kualitas air (Ellis, 1988). Karena kualitas air akan

mempengaruhi kondisi ikan dan tanggapan ikan terhadap vaksinasi (Roberts, 1993).

Dalam hal ini vaksinasi diduga dapat meningkatkan daya tahan tidak saja humoral tetapi

juga seluler. Dalam petahanan tubuh antara humoral dan seluler tidak saja bekerja

sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama (Einsen, 1980; Rijkers and Van

Muiswinkel, 1977). Menurut Einsen (1980), vaksinasi adalah usaha untuk meningkatkan

antibodi spesifik. Meningkatnya antibodi tidak saja akan meningkatkan kemampuan

pertahanan humoral tetapi juga pertahanan seluler (cell-mediated immunity) sehingga

hasil kerja masing-masing maupun hasil kerja antara pertahanan humoral dan seluler

meningkat.

Page 22: Laporan MKI

Menurut hasil penelitian yang ditemukan oleh Lillehaug (1991), mngatakan

bahwa benih ikan salmon yang di vaksin vibrio pertumbuhannya lebih lambat sekitar 2,9

% daripada yang tidak divaksin. Hal ini diduga karena pengaruh padat penebaran dan

efek samping vaksin. Ikan yang divaksin tingkat kematiannya lebih rendah sekitar

setengahnya daripada yang tidak divaksin sehingga kepadatannya lebih tinggi dua kali

lipat. Kepadatan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Sedang

tentang efek sampingan vaksin terhadap pertumbuhan belum diketahui dengan jelas

mekanismenya.

Menurut Chusing (1942) dalam Anderson (1974), antibodi baru terbentuk setelah

sekitar 4 hari pada suhu 28 oC. Kamiso (1986), melaporkan pada ikan salmon bahwa titer

antibodi baru positip satu minggu setelah vaksinasi (suhu 12-18 oC).

Menurut Sujudi dkk. (1993), teori pembentukan antibodi : mekanisme sebenarnya

dari pembuatan antibodi sebagai reaksi atas masuknya antigen belum diketahui secara

pasti. Walaupun demikian telah diajukan beberapa teori dan setidaknya teori-teori ini

dapat memberi gambaran mengenai masalah sintesa antibodi ditinjau dari beberapa sudut.

Sebuah teori akan memuaskan bila dapat menjelaskan beberapa hal yang penting :

1) Derajat khas yang tinggi mengenai antibodi

2) Pembentukan antibodi dalam jumlah yang besar sebagai reaksi atas masuknya

antigen yang sedikit

3) Peristiwa reaksi imun sekunderdengan pembentukan antibodi yang cepatdan

jumlahnya lebih banyak

4) Kemampuan sel pembentuk antibodi untuk mengenal antigen berasal dari

jaringan sendiri dan tidak membuat antibodi terhadapnya.

I. Selective Theory (EHRLICH, 1900)

Menurut teori ini pada permukaan setiap sel pembuat antibodi di dalam badan

terdapat gugusan-gugusan kimia yang khas, disebut side chain (sidechain theory),

semacam receptor yang berfungsi seperti antibodi dan dapat mengikat antigen yang

sesuai untuknya. Antigen itu akan merusak reseptor yang berlebihan dan dilepaskan oleh

sel ke dalam serumsebagai antibodi.

Page 23: Laporan MKI

II. Instructive Theory (PAULING, dan lain-lainnya)

Teori ini mengatakan bahwa antigen bekerja sebagai cetakan atau template dan

persediaan gamma-globulin di dalam badan yang belum mempunyai bentuk tetentu

kemudian menyesuaikan bentuknya sehingga berupa bentuk komplementer dari antigen.

Bentuk ini kemudian dapat dipetahankan dengan ikatan-ikatan disulfida, ikatan-ikatan

hydrogen dan sebagainya. Teori ini tidak dapat dipertahankan dan kemudian ternyata

bahwa sifat khas anti bodi ditentukan oleh urutan asam amino di bagian variable fab,

yang pembentukannya ditentukan oleh suatu messenger RNAdan perubahan mRNA tidak

dapat terjadi secepat kontak dengan antigen.

III. Clonal Selection Theory (BURNET)

Teori ini berdasarkan kemampuan mutasi dan seleksi dari sel-sel tertentu di dalam

badan sesuai dengan kemampuan yang sama pada kuman. Sel yang berperan dalam

reaksi kekebalan, sel limfosit, hanya dapat mengikat satu jenis antigen (atau beberapa

antigen lain yang hamper serupa). Kemampuan ini telah ada sejak lahir dan merupakan

sifat bawaan. Dengan denikian maka sel-sel limfosit di dalam badan merupakan

kumpulan sel yang berlainan, ada ynag dapat bereaksi dengan satu antigen dan ada yang

bereaksi dengan antigen lain. Bila antigen masuk ke dalam badan ia diikat oleh reseptor

pada permukaan limfosit yang cocok, dan sel limfosit itu akan mengalami proliferasi dan

membentuk satu clone. Sebagian sel dari clone ini akan mengeluarkan antibodi (sel

plasma) dan sebagian lain akan menyebar malalui aliran darah dan limfe ke dalam

jaringan tubuh sebagai cadangan sel yang sensitive terhadap antigen itu (memory cell).

Ada empat macam vaksin khususnya untuk bakteri yaitu toksin, bakteri yang

dimatikan, bakteri yang dilemahkan dan antigen murni. Masing-masing antigen

mempunyai kelebihan dan kelemahan. Tetapi dari segi praktis dan biaya saat ini dalam

bidang perikanan yang banyak digunakan adalah vaksin dari bakteri yang dimatikan.

Vaksin ini kecuali mudah dibuat juga sangat aman karena tidak ada kemungkinan efek

sampingan seperti vaksin yang dibuat dari toksin dan bakteri yang dilemahkan (Michel

dkk., 1984).

Page 24: Laporan MKI

IV. METODOLOGI

A. Pembuatan Vaksin

1) Kultur murni (vibrio 4 isolat)

2) Medium TSB divortex

3) Kemudian menuangkan ke medium TSA

4) Inkubasi selama 24 jam

5) Panen

Panen

Antigen O

Inaktivasi

pemanasan

Antigen H 30’ 100 oC

Formalin 2 % (24 jam)

Pencucian 1 ×

sentrifuge

Pencucian 3 ×

sentrifuge uji viabilitas

uji viabilitas (TCBS) tumbuh tidak tumbuh

tumbuh tidak tumbuh hitung kepadatan

hitung kepadatan

Page 25: Laporan MKI

4 isolat bakteri vibrio

a. V. Combalii strain jepara (2 j 2)

b. V. Fluvialis situbondo (24 sk)

c. V. Fluvialis gondo (16 g)

d. V. Non patogen situbondo (2 SA)

Kelompok 1 dan 2 Ag O

Kelompok 3 dan 4 Ag H

B. Vaksinasi

1) Aklimatisasi ikan uji selama 1 minggu

2) Amati titer antibodi awal

3) Encerkan vaksin 1010 - 108

4) Lakukan vaksinasi secara suntikan pada ikan sejumlah ± 0,1 ml

5) Pelihara ikan yang telah divaksin selama ± 1 minggu

6) Amati toter antibodi setelah vaksinasi

7) Lakukan booster

8) Pelihara kembali ikan selama 1 minggu

9) Amati titer antibodi setelah booster

C. Uji Tantang

1) Menyuntik ikan yang telah divaksin dengan bakteri pathogen dan PBS sebagai

kontrol, kemudian memelihara ikan selama 2 minggu.

2) Mengamati jumlah kematian ikan selama 14 hari.

3) Menghitung nilai RPS (Relative Percent Survival) sebagai berikut:

1. % kematian ikan yang divaksin

RPS = 1 -

ii. % kematian ikan yang tidak divaksin

Page 26: Laporan MKI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Pembuatan Vaksin

Ag kepadatan kepadatan volume PBS2j20 3,18 × 108 31,8 × 1010 7,86 242,14

16GO 5,952×108 5,952×1010 4,2×109 20824SKH 5,56×108 5,56 × 1010 44,96 205,042SAH 18,97×108 18,97×1010 13,18 236,82

Vol = X

PBS = 250 µl – X

B. Vaksinasi

Hasil vaksinasi

Perlakuan Hari Gejala Keterangan

Kontrol Rabu Normal

Kamis

Jumat Normal

Sabtu Normal

Minggu Normal

Senin Normal

Selasa Normal Mortalitas 0%

Vaksinasi Rabu

Kamis Normal

Jumat Normal

Sabtu Normal

Minggu Normal

Senin Normal X=10 ekor kontrol

Page 27: Laporan MKI

Selasa Normal X=10ekor perlakuan

Hasil Pengamatan Titer Antibodi

(TA ke-3)

8 mei 2008

Produksi antibodi Kontrol Perlakuan

Titer 1 21,5 21,5

Titer 2 24 24,5

Titer 3 24 26

C. Uji Tantang

Log

Dosis X (r)

n-r Total %Mortalitas

2 30 0 30 0 67 67 0

4 30 6 24 6 37 43 13,95

6 30 17 13 23 13 36 63,89

8 30 30 0 53 0 53 100

m = x1 + d .

= 4+2 .

LD50 = anti log 5,44

1

2

3

4

5

6

1 3 4

minggu pengamatan

titer an

tibo

di

(2n)

perlakuan

kontrol

Page 28: Laporan MKI

= 2,75 . 105 0,1 ml 2,75 . 106

Pembahasan

A. Pembuatan Vaksin

Menurut Kordi dan Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya

berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk

menungkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap

suatu penyakit tertentu.

Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu sel-sel terspesialisasi

untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umunya adalah limfosit (Anderson,

1974). Meskipun dari proses masuknya vaksin ke dalam tubuh ikan sampai terbentuknya

antibodi secara biokimia dan fisiologis belum diketahui dengan jelas, tetapi sampai

sekarang dikenal adanya dua imunitas pada vertebrata, yaitu imunitas sel dan imunitas

humoral. Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang

mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid

clostridium (Soeripto, 2001).

Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah

disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktivkan dengan larutan

formalin sampai 2 % dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen,

sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan

menggunakan sentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3000 rpm. Sebelum vaksin

digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat

kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil

sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada

yang hidup, inaktivasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam refrigerator

untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur murni bakteri pada

medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24 jam. Inaktivasi bakteri

dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan

Phosphate Buffer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali dengan sentrifuse (3000 rpm

selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan dalam refrigerator sampai

Page 29: Laporan MKI

digunakan. Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar

didapat bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi

campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antigen H (Ag H) dibuat dengan

menginaktivasi bakteri dari kultur murni dalam medium TSB umur 18-24 jam dengan

formalin konsentrasi 2%. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Untuk

penggunaan selanjutnya, antigen H tersebut disimpan dalam refrigerator. pada

penggunaan antigen H dengan perendaman formalin yang bertujuan untuk melemahkan

bakteri sehingga mengalami pengkerutan karena kehilangan cairan sel. Biasanya titer

antibodi yang didapat relatif tinggi karena antigen H mempunyai afinitas tinggi terhadap

flagel dan mudah menyebabkan bergerombolnya flagel. Semua vibrio mempunyai

antigen H yang sama. Antigen H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen H

tidak bersifat protektif. Sedangkan Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif.

B. Vaksinasi

Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara

sengaja agar ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau

patogen. Keberhasilan vaksinasi tergantung beberapa vaktor antara lain jumlah dan mutu

antigen, cara vaksinasi, umur ikan, lingkungan hidup, serta sifat dan kemampuan masing-

masing individu ikan (Dorson, 1984).

Menurut Souter (1984), cara vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal,

injeksi intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin

bertekanan tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral. Pada praktikum ini

dilakukan dengan injeksi intraperitoneal. Injeksi intraperitoneal ini dilakukan pada awal

vaksinasi dan akhir vaksinasi. Kemudian setelah 1 minggu dilakukan booster atau

vaksinasi ulang untuk meningkatkan antibodi dikarenakan adanya proses pengenalan

terhadap antigen yang sama untuk kedua kalinya. Hal tersebut dapat meningkatkan

respon imun yang disebabkan karena sel-sel memori yang terbentuk setelah dilakukan

booster. Adapun mekanisme terbentuknya antibodi yaitu dimulai dengan adanya 2

macam sel limfosit, limfosit T yang dipersiapkan oleh atau mempunyai ketergantungan

dari kelenjar timus dan berperanan dalam kekebalan seluler dan limfosit B yang

mempunyai ketergantungan dari bursa dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua

Page 30: Laporan MKI

macam limfosit setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliferasi dan

perubahan morfologi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan

mengeluarkan antibodi. Kemudian limfosit T berubah menjadi sel limfoblas yang

mengandung banyak ribosom sehingga menjadi basofilik dalam pewarnaan. Kegiatan

limfosit B dapat dilihat dari pembentukan pusat germinatif di daerah korteks kelenjar

limfe dan penyebaran sel plasma ke daerah medulla. Immunoglobulin hanya ditemukan

pada permukaan sel limfosit B dan sebagian besar memilki immunoglobulin jenis IgM

pada permukaan sel, mungkin dalam bentuk monomer.

Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan dalam Ab adalah

serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi digunakan untuk mengetahui

adanya reaksi antara antigen dengan antibodi atau disebut dengan aglutinasi. Setelah

dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas yaitu

terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin yaitu 4,5 dan kontrol 4. hal

tersebut dikarenakan didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah ada respon imun yang

terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi antigen-

antibodi.

Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer antibodi

tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan

bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang memilki

titer tinggi. Hal tersebut tergantung sifat dan kemampuan Ab yang terbentuk walaupun

Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan).

SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin.

Variasi dari tingkat kelulushidupan dikarenakan adanya perbedaan kondisi lokasi

percobaan, baik keadaan fisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin tingkat

keganasan dari vibrio yang ada serta cara pemeliharaan.

RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatif digunakan untuk

menunjukkan efikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari serangan

bakteri vibrio. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji laboratorium

dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100%. Berdasarkan hasil pengamatan dari vaksinasi dan

kontrol menunjukkan hasil 100%, tingginya nilai RPS dalam skala labotatorium diduga

karena kondisi lingkungan yang baik, dan relatif stabil, serta ukuran benih yang sudah

Page 31: Laporan MKI

cukup besar. Umur ikan sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau

semakin tua ikan nila yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune

(1980), semakin besar atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin

baik, sebab organ tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih

berkembang.

MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu

mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk

mencegah vibriosis mengatakan bahwa meskipun vaksinasi meningkatkan tingkat

perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak berbeda antara ikan yang

divaksin dan kontrol.

Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi

juga seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-

sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun

seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa

pertahanan humoral berperan di dalam sel limfosit B dan sedangkan petahanan seluler

berperan dalam sel limfosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh antigen

maka akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Pada sel limfosit B akan

menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan demikian

apabila sel limfosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka produksi

antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat.

Vaksin merupakan antigen stimulan yang memacu sel-sel terspesialisasi untuk

memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limposit (Anderson, 1974).

Sedangkan antibodi adalah molekul immunoglobulin yang memilki urutan asam amino

khas, hanya berinteraksi dengan antigen yang sintesanya dirangsang mutagen tersebut di

jaringan limfoid (Kamiso dkk., 1993).

Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri

adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk

merangsang kekebalan spesifik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan yang

erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya titer

antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja pada

jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan demikian

Page 32: Laporan MKI

tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan variasi

antigenik dari bakteri vibrio tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat

kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik efikasi vaksin yang

digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam membentuk antibodi maka semakin baik

pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan menekan tingkat

kematian yang tinggi akibat infeksi bakteri dan sebaliknya akan meningkatkan laju

pertumbuhan.

C. Uji Tantang

Menurut Kamiso dkk., (1993), LD50 merupakan derajat keganasan patogen atau

ukuran patogenesitas dari bakteri. Sedangkan uji tantang adalah melakukan infeksi

bakteri tertentu kedalam tubuh ikan yang telah divaksinasi untuk melihat evikasi vaksin

dalam merangsang pembentukkan antibodi.

Pada saat vaksinasi pertama digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam

memproduksi antibodi. Ditinjau dari waktu yang diperlukan, ternyata semua jenis antigen

dari semua isolat mencapai puncak titer antibodi pada minggu kedua dan ketiga setelah

vaksinasi. Kemudian setelah itu dilakukan booster (vaksinasi ulang), hal tersebut

digunakan untuk meningkatkan titer antibodi yang telah terbentuk setelah vaksinasi

pertama. Dengan demikian apabila produksi antibodinya meningkat maka ketahanan ikan

terhadap suatu penyakit khususnya vibrio akan meningkat pula. Hal ini yang

menyebabkan tingkat kelulushidupan dari ikan juga akan tinggi dan tentunya menekan

tingkat kematian. Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor

lingkungan, titer antibodi bisa saja tinggi namun apabila kondisi lingkungan seperti

kualitas air, bibit penyakit dan antigen alami akan berpengaruh terhadap efektivitas

vaksin. Kualitas air akan sangat mempengaruhi kemampuan ikan yang divaksin dalam

membentuk antibodi dan faktor kekebalan non spesifik (Anderson, 1974). Perairan alami

biasanya terdapat berbagai patogen terutama patogen oportunistik. Keadaan lingkungan

akan sangat mempengaruhi baik jenis maupun jumlahnya. Tingkat keganasan bakteri

patogen juga akan berbeda pada kondisi yang berbeda. Ada suatu kecenderungan bahwa

pada suhu air yang lebih tinggi bakteri patogen akan lebih ganas (Stevenson, 1988).

Dengan demikian belum tentu titer antibodi tinggi selalu diikuti dengan SR yang tinggi

Page 33: Laporan MKI

pula, karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Selain itu SR akan

menjadi rendah oleh faktor stres dan beberapa sebab lain yang juga dimungkinkan.

Adanya stres akan menekan pembentukkan antibodi sehingga peningkatan daya tahan

ikan yang divaksin rendah.

Page 34: Laporan MKI

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Secara umum dapat dikatakan bahwa vaksinasi dengan cara injeksi lebih efektif

dibandingkan dengan cara rendaman dan oral.

2. Hasil titer awal baik vaksin dan kontrol sama-sama 1,5 dan setelah booster vaksin

4,5 dan kontrol 4.

3. Pemberian vaksin dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan secara spesifik

bahkan dapat meningkatkan titer antibodi.

4. Vaksinasi tergantung dari cara vaksinasi dan jenis antigennya, dua hal itu yang

penting.

5. Peningkatan atau tingginya titer antibodi tidak selalu diikuti dengan peningkatan

SR, karena faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi

dalam pembentukkan dan peningkatan antibodi.

6. Vaksinasi meningkatkan pertahanan tidak hanya seluler tetapi juga humoral, dan

masing-masing tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama.

7. Antigen memiliki hubungan yang erat dengan titer antibodi, karena jenis antigen

menentukan tingginya titer antibodi.

8. Variasi antigenik pada bakteri tidak saja pada jenis antigen tetapi juga besarnya

titer antibodi yang terbentuk.

9. Tinggi rendahnya titer antibodi tergantung dari jenis antigennya.

10. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif, sedangkan antibodi terhadap

antigen O bersifat protektif.

Saran

1. Perlu dilakukan uji lapang untuk mengetahui efikasi vaksin terhadap benih nila.

2. Perlu dilakukan percobaan selanjutnya untuk mengetahui seberapa lama vaksin

yang dibuat dapat bertahan terhadap infeksi vibrio.

Page 35: Laporan MKI

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. P., 1974. Diseases of Fishes. Book 4 : fish immunology, ed. By S. F. snieszko dan H. R. axelrod, TFH pub., nepture city.

Dorson, M., 1984. Applied Immunology Of Fish In Symposium On Fish Vaccination. O. I. E., paris.

Einsen, H. N., 1980. Cell-Mediated Hypersensitivity And Immunity. In : microbiology, including immunology and moleculer genetics, davis, B ; R. dulbeco; H.N., einsen and H.S. ginsberg (eds.) 3rd ed., harper and row pub., Philadelphia. P. 493-522

Ellis, A.E., 1988. Optimizing Factors For Fish Vaccination, A.E. ellis (ed.) academic press, ltd, p 32-46

Itami, T dan R. kusuda, 1980. Studies On Spray Vaccination Against Vibriosis In Cultured Ayu-I. effect of bentonit and pH on vaccination efficacy. Bull. Of the Japanese soc. Of sci. fisheries, 46 : 533-536

Johnson, T. A. dan D. F. Amend, 1984. Potential For Immersion Vaccination Against Aeromonas Salmonicida. J. fish dis., 197 : 101-105

Kamiso H. N., 1986. Differences In Pathogenicity And Pathology Of Vibrio Anguillarum And Vibrio Ordalii In Chum Salmon (Oncorlyncus keta) And English Sole (Parophrys vetulus) Under Laboratory Conditions. Ph.D. thesis, Oregon state univ., corvalis, 116.

Kamiso, H.N, Triyanto, Sukiman WS, Sri Hartati, Bambang Triyatmo, dan Sri Sulandari. 1990. Uji Coba Vaksin Aeromonas hydrophila Terhadap Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kamiso, H. N., Adi S., Iwan Yusuf B. L., Widodo, Nuzirwan T., Eni Budi S. H., Suko H., Triyanto, Ustadi, Ade Noor K., Wiwiek N., Sri W., Setianingsih. 1993. Hama Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian Dan Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta.

Kordi, K. dan ghufran, H., 2004. Penaggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka cipta dan bina adiaksara. Jakarta.

Page 36: Laporan MKI

Lillehaug, A. 1991. Vaccination Of Atlantic Salmon (salmo solar l.) Against Coldwater Vibriosis Duration Of Protection And Effect On Growth Rate. Aquaculture, 92 : 99-107.

Michel, C.; G. tixier dan M. Mevel, 1984. Evaluation Of The Protective Immunity And Economic Efficacy Of Vaccines For Fish. In : symposium of fish vaccination, ed. P. dekinkelin dan C. michel. Paris, office international desepizooties, p. 75-96.

Rijkers, G.T. and W. B. van muiswinkel, 1977. The Immune System Of Cyprinid Fish. The development of cellular and responsiveness in the rosy barb (barbus conchonius). In : developmental immunobiology. J. B. Solomon and J. D. Horton (eds.), elvesier/north Holland, 233-240.

Roberts, R. J., 1993. Motile Aeromonas Septicemia In Bacterial Diseases Of Fish. V. inglish, R. j. Roberts and N. R. bromage (eds.) Blackwell Sci. pub., 143-156.

Soeripto, 2001. Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Balai penelitian veteriner, jl. R. E. Martadinata No. 30, bogor 16114.

Souter, B. W., 1984. Immunization With Vaccines. Dep. Of fish. And oceans. Winnipeg, man. 111-117.

Stevevson, R. M. W., 1988. Vaccination Against Aeromonas hydrophila. In : fish vaccination. A. E. ellis (ed). Academic press, London. 112-123 p.

Sujudi, H., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa aksara. Jakarta.

Thune, R. L., 1980. Immunization Of Channel Catfish (Ictalurus Punctatus) Againts Aeromonas Hydrophila Via Hyperosmotic Infiltration. M. S. thesis. Auburn university, 55 p.

Page 37: Laporan MKI

A. EPIDEMIOLOGI

I. TUJUAN

1. Mengetahui mortalitas dan morbiditas yang diakibatkan oleh serangan parasit.

2. Menganalisis kemungkinan faktor determinan atau penentu suatu serangan parasit

II. MANFAAT

1. Dapat mengetahui sejarah baik itu sejarah ikannya, lokasi pngambilan sampel

ataupun distribusi penyakitnya.

2. Dapat menghitung mortalitas dan juga morbiditas yang meliputi faktor prevalency

dan incidency.

Page 38: Laporan MKI

III. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu kesehatan

masyarakat (public health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit

ataupun masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat (Bustan, 2006). Pengertian lain

epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinant (faktor

penentu) masalah kesehatan untuk development (perencanaan) dari penanggulangan

masalah kesehatan.

Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para penulis dan para pakar yang

mencurahkan waktunya dalam epidemiologi. Beberapa diantara mereka dapat disebutkan

di sini :

1. Wade Hampton Frost (1927), Guru Besar Epidemiologi di School of Hygiene,

Universitas John Hopkins mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu

pengetahuan tentang fenomena massal (mass phenomen) penyakit infeksi atau

sebagai riwayat alamiah (natural history) penyakit menular.

2. Greenwood (1934), Professor di School of Hygiene and Tropical Medicine,

London, mengemukakan batasan epidemiologi yang lebih luas di mana dikatakan

bahwa epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian

penyakit yang mengenai kelompok (herd) penduduk.

3. Kemudian Brian Macmohan (1970), pakar epidemiologi di Amerika Serikat yang

bersama Thomas F. Pugh menulis buku Epidemiology; Principles and Methods

menyatakan bahwa epidemiology is the study of the distribution and determinants

of disease frequency in man. Epidemiology adalah studi tentang penyebaran dan

penyebab kejadian penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi

semacam itu.

4. Gary D. Friedman (1974), selanjutnya dalam bukunya Primer Of Epidemiology

menuliskan bahwa epidemiology is the study of disease occurance in human

populations. Batasan ini lebih sederhana dan tampak senapas dengan apa yang

dikemukakan oleh macmohan. Dan ini pula yang kurang lebih dikemukakan oleh

Anders Ahlbom dan Staffan Norel (1988s) dalam bukunya Introduction Of

Page 39: Laporan MKI

Modern Epidemiology. Dikatakan bahwa epidemiologi adalah ilmu pengetahuan

mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia.

Dengan demikian definisi epidemiologi, Last (1988) dalam Bustan (2006), mengatakan

bahwa ” epidemiology is the study of the distribution and determinants of health-related

states or eventsin specified populations and the application of this study to the control of

health problems “.

Epidemiologi diharapkan dapt berperan dalam pembangunan kesehatan secara

keseluruhan. Bentuk peran itu dapat dijabarkan dalam 7 peran utama (Valanis, 1999)

yaitu :

1. Investigasi etiologi penyakit

2. Identifikasi factor resiko

3. Identifikasi sindrom dan klasifikasi penyakit

4. Melakukan diagnosis banding (differential diagnosys) dan perencanaan

pengobatan

5. Surveilan status kesehatan

6. Diagnosis komunitas dan perencanaan pelayanan kesehatan

7. Evaluasi pelayanan kesehatan dan intervensi kesehatan

diagnosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis penyakit yang

diderita oleh makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Untuk mengetahui adanya

penyakit dapat dilakukan diagnosis dengan melakukan 3 cara utama (Ahlbom, 1988) :

1. Anamnese

2. Tanda (sign)

3. Tes (uji)

prevalensi merupakan ukuran tentang jumlah atau proporsi dari kasus atau

masalah kesehatan pada suatu populasi tertentu. Sedangkan insidensi dirumuskan sebagai

banyaknya kasus baru yang ditemukan pada suatu periode waktu tertentu dibagi dengan

populasi beresiko (Bustan, 2006). Etiologi berkaitan dengan lingkup kegiatan

epidemiologi dalam mengidentifikasi penyebab penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

Sedangkan epidemiologi dalam klinik digunakan dalam penentuan abnormalitas;

menentukan batas seseorang atau hewan dapat disebut sakit atau mempunyai suatu kadar

hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal.

Page 40: Laporan MKI

IV. METODOLOGI

. Alat dan Bahan No Alat Kegunaan No Bahan Kegunaan1 seser Menangkap sampel 1. Ikan sampel Identifikasi patogen 2 Termometer Mengukur suhu air 2. Air sampel Mengetahui pH air 3 Botol aqua Tempat sampel air 3. Aquades Membasahi sampel 4 Skalpel Membedah ikan 5 Pinset Membedah ikan 6 Piring

preparatMembedah ikan

7 Kertas lakmus

Mengukur pH

8 Gelas benda Meletakkan sampel 9 Cover glass Melindungi

mikroskop dari sampel

10 Mikroskop Melihat patogen 11 Wadah ikan Untuk mengamati

pergerakan ikan di kolam

b. Cara kerja

1. Mendiagnosa penyakit ikan dengan menanyakan status ikan dan riwayat penyakit

ikan kepada pemilik ikan

2. Mendiagnosa ikan secara fisik ketika dikolam dengan mengamati kelakuan ikan,

cara renang, gerakan tubuh.

3. Pemeriksaan eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas meliputi warna ikan,

produksi lendir, kelengkapan organ, parasit eksternal (kulit dan insang)

4. Pemeriksaan internal dengan pembedahan untuk mengetahui keadaan organ-organ

dalam.

5. Mengamati dan mencatat kondisi lingkungan saat dilungkungan meliputi kualitas

air, sumber air, jumlah dan frekuensi pakan, pengobatan.

Page 41: Laporan MKI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

a. Diagnosa penyakit ikan :1. Status ikan parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVJenis Gurami a. nila

b. bawalLele lele

Populasi Gurami Bawal 2 kuintal

3000 ekor/ kolam (3x 5 m2)

2000 ekor/ kolam (3x4)

Umur 4 bulan a.nila 5-6 bulan b.bawal 5 bulan

1 bulan 2 bulan

Jenis kelamin

Jantan a. jantan b. betina

Jantan Jantan

Ukuran 17,5 cm a. 27,5 cm b. 30 cm

a. kecil 9,8 cmb. besar 23 cm

a. kecil 24 cmb. besar 27 cm.

Berat 78 gram a. 600 gramb. 320 gram

a. 10 gram b. 100 gram

a. 105 gram b. 160 gram

Asal daerah Grojogan bantul a. Lokal b. Ngrajek

Bokesan cangkringan

Muntilan bokesan ngrajek

Manajemen pemeliharaan

Intensif monokultur

Intensif, polikultur, air dari S. Gajah Wong

Intensif Intensif

b. Riwayat penyakit

parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVWaktu kejadian

29 maret 2008 29 maret 2008 1 minggu setelah penebaran

Musim penghujan

Frekuensi / paling sering

tiap bulan ada, puncak bulan juli-agustus

Perubahan musim

Tiap penebaran bibit

Musim penghujan (jamur)

Tingkat kematian

1-2 ekor/ hari Bawal : 0%Nila: ada

15-20 % 20 kg

2 . Diagnosa fisik di kolam parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVKelakuan Gelisah, muncul

dipermukaan, tidak menggesek-gesekkantubuh pada dinding

nila: Tidak berdiam di dasarbawal: Tidak berdiam di

Menggantung , bahkan ada yang posisinya terbalik. Menggesek-

Mengapung, menggantung dipermukaan air, tidak Menggesek-

Page 42: Laporan MKI

kolam, sisik lepas dasar kolam gesekkan tubuh pada dinding

gesekkan tubuh pada dinding

Cara berenang

Lambat, gelisah Keduanya lincah

Berputar-putar lalu mengapung

Diam dan terlihat lemas

Gerakan tubuh

Kurang lincah , tidak seperti yang lain

Bawal ; lincah Nila sedikit lemah

Tidak selincah yang lain

Kurang lincah

3. Pengamatan eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVPertumbuhan Normal, Nafsu

makan kurang Normal Badan kurus dan

kecil Besar : NormalKecil : Normal

Warna kulit Hitam kusam, tidak segar

Bawal : kehitaman dan berwarna merah mulai perut sampai rima oris Nila: hitam keputihan

Hitam agak pucat

Besar: Hitam kekuningan Kecil: Hitam kemerah-merahan

Keadaan kulit

Sisik sebagian lepasSirip: kusam , dan geripis pada sirip ekor

Bawal : Halus, sisik baik dan halusNila : Lepas dan kasar Sirip: geripis

- Besar: Sirip normal Kecil: Bercak kemerahan,sirip normal berwarna kemerahan

Warna insang

Agsak pucat - Pucat Pucat

Produksi lendir

Banyak di insang , kulit

Bawal: Banyak Nila: Sedikit

Berlebihan Besar: Sedikit di insang maupun kulit Kecil ; Banyak di insang maupin di kulit

Lain-lain Mata normal Mata normalParasit penempel , Lokasi

Page 43: Laporan MKI

Pemeriksaan Internal parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVDinding

perut Warna

Coklat Nila : warna hijau Bawal: Putih

Tidak ada tanda tanda yang berhubungan dengan Heneguya sp.

Keadaan normal

Besar: Warna pucat kompak dan kenyalKecil : Kemerahan , kenyal

Keadaan organ

Usus berwarna putih tidak lembek , organ dalam baik dan normal Jantung warna merah pucat, Hati dan limpa warna merah, gelembung renang putih dan kecil, ginjal merah segar

Nila : ginjal panjang 7 cm dan usus 0,5 cmBawal : organ baik Jantung, hati berwarna kemerahan , limpa kehijauan gelembung renang putih

Besar: Limfa hitam usus dan hati kuning pucat, ginjal hitam Kecil : limpa dan ginjal merah kehitaman, hati kemerahan

Timbunan cairan

Tidak ada cairan Nila: cairan sedikit , sedikit lemak Bawal: Cairan sedikit , banyak lemak

Besar; BanyakKecil : sedikit

Parasit dalam organ

Kondisi lingkungan parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IVSumber air Sungai gajah

wong dialirkan melalui selokan

Sungai gajah wong

Sungai opak Sungai opak

Kualitas air Agak jernih, warna hijau jika

Warna kecoklatan,

Hijau, pH 7Suhu air 26 ºC

Suhun air 28 ºC, pH 6,8

Page 44: Laporan MKI

musim hujan agak keruh namun bila muim kemarau jernih

pH7,1 , suhu air dan udara 27 ºC

suhu udara 28 ºC

Jumlah dan ukuran pakan

Pelet 2% berat tubuh, senthe dan roti sebanyak ikan mau

Nila: pelet daun hijauBawal: usus roti daun hijau (kayu apu)

Pelet pokhpand 5% berat tubuh satu hari 10 sak (@ 30 kg)

Frekuensi pakan

2 kali sehari 3 kali sehari 1-2 kali sehari 2 kali sehari

Pengobatan Kolam: Garam dapur 2 ons/m3 dicairkan dalam air dan di masukkan kolam , diberikan selama 3 hariIndividu: mencelup ikan pada cairan garan selam 4-5 detik

Penambahan garam 0,5 ons / m3 untuk pencegahan diberikan seminggu setiap hari fdalam jangaka tiap tiga hari

Penggaraman Pemupukan KapurDiberi pupuk puyuh pada kolam

Jamur : garamSupertetra : penyakit ikan muter-muter

Lain –lain Terbuka , ditanami talas

Tidak ada vegetasi peneduh

Saluran air bersistem seri

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 1, apabila dilihat dari hasil pemeriksaan

eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas yaitu dimulai dari pengamatan

pertumbuhan terlihat pada ikan gurami nafsu makan berkurang. Hal ini dimungkinkan

bahwa ikan terserang parasit. Kemudian warna kulitnya hitam kusam atau tidak segar, hal

ini bisa disebabkan oleh adanya serangan parasit dan juga oleh faktor-faktor selain

penyakit. Kelainan warna itu dapat dianggap sebagai gejala dari suatu penyakit bila tidak

ada penyebab lain seperti takut, terkejut atau habis memijah. Lagi pula, perubahan warna

tubuh ikan yang disebabkan penyakit sifatnya permanen (berlangsung lama). Berdasarkan

pengamatan produksi lendirnya juga banyak, ini menunjukkan kalau ikan tersebut sakit

Page 45: Laporan MKI

terutama pada ikan yang berwarna gelap. Sebaliknya, kelebihan lendir itu agak sulit

diketahui pada ikan dengan tubuh berwarna terang karena lendir berwarna bening sampai

agak keabu-abuan. Produksi lendir yang berlebihan pada ikan biasanya disebabkan oleh

parasit yang menyerang bagian kulit. Banyaknya lendir yang dikeluarkan tergantung pada

intensitas serangan. Apabila dilihat lagi warna insang pucat (anemia) bisa disebabkan

oleh infeksi bakteri ataupun virus, sedangkan mata menonjol (eksoptalmia) bisa

diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis, infeksi cacing ataupun virus. Berdasarkan hasil

pengamatan eksternal di mikroskop, terlihat pada insang adanya parasit heneguya p.

Yang termasuk penyakit endoparasit protozoik. Menurut Irianto (2004), Henneguya

merupakakan parasit dari kelompok myxosporidia, ciri spesifiknya yaitu adanya 2 kapsul

polar dan dinding spora memiliki bagian yang memanjang seperti ekor. Secara klinis ikan

yang terinfeksi akan menunjukkan adanya kista putih yang banyak pada kulit dan insang.

Kista akan dapat membesar dan dapat menyebabkan hiperplasia sel-sel epitel insang,

selanjutnya menyebabkan anoksia (kekurangan oksigen) akibat disfungsi insang. Infeksi

interlamella insang dapat menyebabkan nekrosis dan pada status berat menyebabkan

kematian.

Pada lapisan lendir jenis parasit non protozoik yaitu diplostonum mergi ynag

masuk dalam kelompok trematoda digenea. Jenis ini memiliki siklus hidup yang

kompleks dengan melibatkan sejumlah hewan inang. Ikan dapat dapat berperan sebagai

inang perantara maupun inang definitif tergantung spesies trematoda digenea. Trematoda

dapat berupa parasit eksternal atau internal pada berbagai macam organ.

Pada kelompok 2, berdasarkan hasil pemeriksaan abnormalitas terlihat kulit pada

ikan nila kasar dimungkinkan adanya infeksi oleh ichthyosporodium dan sisik pada ikan

nila juga kasar, lepas atau geripis. Hal ini juga dimungkinkan infeksi bakteri atau air yang

terlalu asam. Berdasarkan pengamatan eksternal secara mikroskopis, pada lendir

ditemukan adanya henneguya dan trichodina. Trichodina merupakan protozoa dari

kelompok ciliata. Memiliki bulu getar peritrikha. Trichodina merupakan agensia

penyebab penyakit trikhodiniasis. Sel trichodina berbentuk bundar seperti cawan dengan

diameter 50 µm, bulu getar terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta

mikronukleus. Ketika dilihat secara dorso-ventral, sel trichodina berbentuk seperti

cakram dengan bentukan cincin di dalamnya. Kemudian pada sis ditemukan

Page 46: Laporan MKI

ichthyophthirius dan henneguya serta pada insang juga ditemukan adanya henneguya.

Menurut Hoole et al., (2001) Ichthyophthirius termasuk protozoa yang bersifat parasit

obligat. Ichthyophthirius merupakan protozoa berbulu getar, parasit obligat pada ikan air

tawar yang harus menemukan inang baru dalam 48 jam (pada suhu sekitar 25-27 oC).

Stadium trofozoitnya (trophozoite) dapat memiliki diameter hingga 100 µm, berbulu

getar (cilia) dan memilki nukleus berbentuk tapal kuda. Pada ikan bawal baik itu

pengamatan eksternal maupun internal tidak ditemukan gejala penyakit. Pada

pemeriksaan internal ikan nila, di usus cacing jenis dactylogyrus dan trichodina.

Dactylogyrus termasuk trematoda monogenea dan merupakan parasit yang biasa disebut

sebagai cacing pipih. Beberapa spesies mungkin menginfeksi rektrum, uretra, rongga

tubuh bahkan saluran pembuluh darah. Epidemik disertai kematian yang tinggi dapat

berlangsung pada hewan budidaya karena densitas yang tinggi, sanitasi yang buruk, dan

menurunya kualitas perairan. Penularan cacing trematoda monogenea dari satu individu

ke individu lainnya terjadi secara kontak langsung. Monogenea tidak mempunyai inang

antara dan siklus hidupnya sederhana. Hewan dewasa bersifat hermafrodit, monogenea

ovipar (misalnya dactylogyrus) membebaskan telur ke kolom air, dan ketika menetas

sudah dalam bentuk morfologi seperti hewan dewasa.

Pada kelompok 3 berdasarkan pengamatan abnormalitas, badan kurus kecil dan

hal tersebut dapat diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis dan penyakit cacing. Kemudian

terjadi hemorrhage pada sirip dapat juga disebabkan serangan argulus sp., infeksi bakteri,

infeksi trichodina sp., dan gigitan lintah. Pada insang ditemukan parasit henneguya dan

pada kulit ikan lele kecil juga ditemukan henneguya. Pada pemeriksaan internal tidak

terdapat tanda-tanda yang berhubungan dengan serangan henneguya sp. Namun, parasit

itu sendiri pada ikan lele besar ditemukan di organ insang.

Pada kelompok 4 berdasarkan pengamatan eksternal ikan lele besar terlihat warna

insang pucat dan parasit yang menempel adalah jenis henneguya. Di atas sudah

dijelaskan bahwa insang pucat dapat dikarenakan adanya infaksi bakteri ataupun virus.

Sedangkan pada pengamatan internal terlihat pada organ hati berwarna kuning pucat atau

cokelat kekuning-kuningan atau berwarna seperti tembaga. Hal tersebut bisa dikarenakan

infeksi bakteri dan livoid liver degeneration. Pada lele kecil terdapat banyak bercak

merah pada kulit, hal tersebut diindikasikan terserang oleh bakteri aeromonas sp. Bakteri

Page 47: Laporan MKI

aeromonas termasuk dalam famili pseudomonadaceae. Ciri utama bakteri aeromonas

adalah bentuknya seperti batang, ukurannya 1-4 × 0,4-1 mikron, bersifat gram negatif,

fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil

(bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari

salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu15-30 oC dan pH 5,5-9.

Lingkungan adalah bagian dari kehidupan yang sangat penting. Gangguan

lingkungan akan mengganggu kesehatan ikan. Diperlukan pengetahuan dan upaya untuk

menjaga agar air dan udara tidak tercemar dengan zat-zat yang dapat membawa gangguan

atau penyakit pernapasan. Dengan demikian apabila lingkungan baik terbebas dari segala

pencemar dan serangan penyakit maka ikan pun juga akan menjadi sehat, karena faktor

lingkungan menjadi faktor pembatas (limitting factor) yang sangat penting. Definisi sehat

menurut WHO 1948 dalam Bustan 2006 adalah health is a state of complete physical,

mental and social well being and not merely the absence of disease or infirmity.

Page 48: Laporan MKI

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Epidemiologi menekankan upaya menerangkan bagaimana distribusi penyakit dan

bagaimana berbagai komponen menjadi faktor penyebab penyakit tersebut.

2. Pengetahuan tentang jalan masuk suatu penyakit ke dalam tubuh itu penting untuk

epidemiologi karena dengan pengetahuan itu dapat dilakukan penghadangan

perjalanan kuman masuk ke dalam tubuh ikan.

Saran

Pencegahan dini mengenai serangan penyakit melalui riwayat penyakit dan distribusinya

harus lebih ditekankan lagi.

Page 49: Laporan MKI

DAFTAR PUSTAKA

Ahlbom, A dan S. Norel. 1988. Pengantar Epidemiologi Modern. Editor : Suhardi, Januar Ahmad. Yayasan Essentia Medica. 1992.

Bustan, M. N., 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta

Friedman, GD., 1974. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Yayasan Essentia Medica. Yogyakarta.

Hoole, D.; Bucke, D; Burges, P.; and Wellby, I. 2001. Diseasesof Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing News Book. Blackwell Sciences Ltd., Oxford.

Irianto, A., 2004. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

MacMohan, B., TF.Pugh. Epidemiology : Principles and Methods. Little Brown and Company. 1970.

Valanis, B. Epidemiology In Health Care. Appleton & Lange, Standford, Connecticut. 1999.