LAPORAN LAPARATOMI 2013.pdf
-
Upload
n-rohman-s-pambudi -
Category
Documents
-
view
848 -
download
7
description
Transcript of LAPORAN LAPARATOMI 2013.pdf
LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU BEDAH UMUM VETERINER
LAPARATOMI PADA KUCING
Oleh:
Kelompok VI Sore (14.00-16.30 WIB)
Annisa Ratnasari B B04110002
Suci Siti S B04110012
Miftahul Ilmi B04110040
Noor Rohman Setiawan B04110044
Tiara Widiati B04110055
Indri Saptorini B04110080
Rio Topan B04110089
BAGIAN BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen.
Menurut Jong dan Sjamsuhidayat (2004) bedah laparatomi merupakan teknik sayatan
yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedag digestif dan
kandungan. Laparatomi terdiri atas laparatomi flank, laparatomi medianus dan
laparatomi paramedianus. Laparatomi flank terbagi menjadi flank kanan dan flank
kiri. Laparatomi flank kiri untuk melihat organ abomasum, rumen, dan uterus.
Sedangkan laparatomi flank kanan untuk melihat organ abomasum, omentum,
intestine, caecum, kolon, dan uterus kanan. Laparatomi flank umum dilakukan pada
hewan besar. Daerah orientasinya pada legok lapar/fossa paralumbal. Lapisan yang
disayat mulai dari kulit, musculus obliquus abdominis internus, musculus abdominis
transversus, dan yang terakhir peritoneum. Saat operasi keputusan untuk melakukan
laparatomi diambil adalah bila ada kecurigaan penyakit dalam rongga abdominal.
Laparatomi medianus umumnya dilakukan pada hewan kecil. Daerah
orientasinyaabdominal bagian ventral (linea alba). Lapisan disayat meliputi kulit,
aponeurose musculus obliquus abdominis externus, musculus obliquus abdominis
internus, dan peritoneum. Target organ berdasarkan bayangan rongga abdomen yaitu
daerah epigastrium, mesogastrium, dan hipogastrium. Laparatomi paramedianus
dilakukan dengan menyayat abdomen ventral sejajar dengan linea alba. Dari ketiga
jenis laparatomi tadi, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Pada
bedah laparatomi medianus, keuntungannya adalah kita mudah menemukan daerah
yang akan disayat dengan melihat linea alba dan umbilicalis. Selain itu daerah
tersebut jarang terjadi pendarahan. Tetapi dengan melakukanlaparatomi medianus ini,
kemungkinan akan terjadinya hernia cukup tinggi karena pada daerah yang dioperasi
merupakan titik dimana tegangannya paling besar ditambah dengan posisi berdiri
hewan yang dorsoventral semakin menambahbeban dan kemungkinan untuk
terjadinya hernia. Persembuhan lukanya juga relatif lebih lama, karena daerah
penjahitan sedikit mengandung/dilewati darah, sehingga kadar Hb sedikit sehingga
suplai oksigen yang diterima juga sedikit. Hal ini menyebabkan metabolisme yang
terjadi juga rendah sehingga persembuhan luka menjadi lama.
Tujuan
Praktikum bertujuan agar mahasiswa mengetahui teknik laparatomi medianus
pada kucing dan mampu mengaplikasikannya serta bertujuan untuk menemukan
organ-organ yang ada didalam rongga abdomen secara langsung dan dapat digunakan
untuk peneguhan diagnosa.
Alat dan Bahan
Alat yang dilaukan untuk praktikum antara lain 1 set peralatan bedah minor, 2
set perlengkapan bedah untuk operator dan asisten, spoid, tali, stetoskop,
thermometer, duk, kassa, jarum, dan alat pencukur rambut.
METODE
Pre Operatif
Persiapan sebelum operasi dimulai dengan mempersiapkan ruangan bedah
yang steril, persiapan peralatan operator dan asisten, dan persiapan alat atau
instrument telah disterilisasi. Peralatan yang akan digunakan saat operasi disusun
diatas meja instrument yang telah dialasi linen steril. Peralatan lain tergantung dari
jenis operasi yang akan dilakukan. Sterilisasi peralatan operasi, baju operasi, masker,
penutup kepala, sarung tangan, sikat, dan handuk yang telah dicuci bersih serta
dikeringkan dibungkus dengan kain muslin atau non woven setelah terlebih dahulu
dilipat dan ditata sesuai dengan urutannya masing-masing. Peralatan yang telah
dibungkus dimasukkan ke dalam oven untuk disterilisasi dengan suhu 60 oC selama
15-30 menit. Perlengkapan yang telah disterilisasi digunakan pada saat operasi oleh
operator dan asisten satu (asisten operator). Alat-alat bedah yang akan digunakan
dikumpulkan dalam suatu wadah dan direndam dengan larutan sabun hingga seluruh
bagiannya terendam. Setelah direndam, instrumen bedah pun dicuci bersih dengan
menggunakan sikat hingga sisa kotoran menghilang dan peralatan menjadi bersih.
Instrumen dicuci mulai dari bagian yang bersentuhan dengan tubuh pasien yaitu
bagian ujung hingga bagian yang paling jauh dan jarang bersentuhan dengan tubuh
pasien yaitu bagian pangkal. Instrumen-instrumen tersebut kemudian dibilas dengan
air bersih mulai dari bagian ujung hingga pangkal sebanyak 10-15 kali. Peralatan
operasi minor yang telah dicuci bersih kemudian dikeringkan terlebih dahulu baru
setelah itu ditata rapi di dalam kotak peralatan sesuai dengan urutan penggunaannya.
Kotak peralatan tersebut kemudian dibungkus dengan muslin atau non woven dan
disterilisasi menggunakan oven dengan suhu 121 °C selama 60 menit. Peralatan yang
telah disterilisasi digunakan pada saat operasi.
Pemeriksaan fisik berupa signalement dan keadaan umum hewan. Parameter
signalement yang dicatat adalah nama kucing, jenis dan ras, jenis kelamin, usia,
warna rambut dan kulit, serta bobot badan. Keadaan umum kucing yang dicatat yaitu,
habitus, gizi, sikap berdiri, cara berjalan, adptasi lingkungan, turgor kulit, kelenjar
pertahanan, refleks pupil, refleks palpebrae, frekuensi dan ritme napas, temperatur,
CRT, warna mukosa, dan diameter pupil.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, kucing diinjeksikan dengan premedikasi
atropin. Dosis sulfa atropin yang digunakan adalah 0,025 mg/kg BB. Setelah 15
menit, kucing diinjeksikan dengan ketamin–xylazine. Dosis ketamin-xylazine yang
digunakan adalah 10mg/kg BB dan 2 mg/kg BB. Daerah abdomen hewan kemudian
dicukur dan dioleskan iodine tincture setelah hewan terbius. Kucing diletakkan di
meja operasi yang telah dialasi handuk. Ketika berada di atas meja operasi, posisi
hewan disesuaikan dengan keadaan. Keempat kaki diikat keujung-ujung meja
menggunakan sumbu kompor dengan simpul Tomfool.Kemudian hewan ditutup
dengan duk, disesuaikan, dan difiksir dengan towelclamp. Setelah itu, operasi siap
dilakukan.
Faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan operasi, mulai dari kondisi
umum preoperative, apakah pasien dalam keadaan sakit, sakit ringan, atau ada
kelainan bawaan. Keadaan umum seperti demam dan kondisi sistemik lainnya akan
berpengaruh terhadap keberhasilan operasi. Hewan harus dalam keadaan stabil
sebelum operasi. Pemeriksaan kondisi fisik mutlak harus dilakukan jika terjadi
kelainan pada cairan, asam-basa, elektrolit, dan kelainan kardiovaskular harus
diperbaiki sebelum menginduksi anastesi. Transfusi darah harus diberikan jika PC
kurang dari 20 karena hewan mengalami hipoksia atau anemia (Theresa 2007).
Operatif
Operasi yang dilakukan operator pada saat praktikum adalah laparatomi
medianus central, yaitu suatu tindakan penyayatan abdomen yang dilakukan 1 cm
anterior umbilical sampai 3 cm posterior umbilical. Penyayatan abdomen yang
dilakukann tepat dibagian tengah mempunyai maksud mempermudah eksplorasi
organ-organ yang berada baik disebelah anterior maupun posterior dari tempat
penyayatan (Katzug 2001).
Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang ke atas, kemudian dibuat sayatan
kulit pada garis ventral. Sayatan dapat dilakukan dari dekat processus ziphoidea
sampai dengan daerah pubis. Setelah kulit terbuka, sayat jaringan subkutan sampai
fascia eksternal dari muskulus rektus abdominis terlihat. Ikat atau cauterisasi
pembuluh darah kecil yang menyebabkan pendarahan pada subkutan sehingga linea
alba dapat terlihat jelas. Linea alba disayat tepat diatasnya. Ketika omentum telah
menyembul, linea alba dijepit bagian kiri dan kanan, gunakan gunting untuk
memperpanjang sayatan ke kranial atau kaudal (Theresa 2007). Omentum dan
peritoneum akan terlihat dibawah linea alba. Organ-organ yang terdapat di rongga
abdomen dicari berdasarkan pembagian daerah, yaitu epigastrium, mesogastrium, dan
hipogastrium (Katzug 2001).
Sebelum penutupan dilakukan teteskan antibiotik pada ruang abdomen untuk
meminimalisir infeksi pasca operasi. Penjahitan pertama dilakuakn pada lapisan
peritoneum dan linea alba. Linea alba dapat ditutup dengan jahitan simple interrupted
suture atau simple continuous suture. Pastikan saat penjahitan pada linea alba tidak
ada jaringan lain yang ikut terjahit karena bisa menghambat penutupan luka. Jahitan
kedua tutup jaringan subkutan dengan jahitan simple continuous suture dengan yang
absorbable. Lalu teteskan lagi antibiotik pada subkutan sebelum dilakukan penutupan
kulit. Penjahitan kulit dilakakukan menggunakan benang nonabsorbable dengan
jahitan simple interrupted suture untuk meminimalisir terjadinya hernia atau dapat
pula digunakan stainless steel staples. Jarak tepi jahitan fascia adalah 4 sampai 10
mm. Jahitan simple interrupted suture biberi jaraj 5 mm-10 mm dari jahitan satu
dengan jahitan lainnya, tergantung pada ukuran hewan. Jahitan pada kulit dilakukan
dengan sedikit tegangan untuk meminimalisir bekas jahitan (Theresa 2007).
Setelah penjahitan selesai diberikan iodine tingturdi bekas sayatan yang telah
dijahit. Setelah itu sayatan ditutup dengan tampon segi empat dan plester. Sebelum
dipakaikan gurita, hewan di suntik oxytetracycline 0.175 ml secara intramuscular,
setelah itu hewan baru dipakaikan gurita (Katzug 2001).
A. pada kucing dan anjing betina. B. pada anjing jantan. (Theresa, 2007)
Post Operatif
Prosedur bedah laparotomi umumnya didukung perawatan postoperatif.
Pengecekan tersebut anatara lain efek anastesi dan meyakinkan bahwa persembuhan
luka berjalan dengan baik (Hedlund 2002). Komplikasi sering kali menyertai operasi
seperti reaksi alergi jahitan, seroma, hematoma, self trauma, dan ketidaknyamanan
pasien. Terapi cairan harus dilanjutkan pada kebanyakan hewan pasca operasi
abdomen. Elektrolit, asam-basa, dan protein serum harus diperhatikan dan dikoreksi
pasca operasi untuk memastikan bahwa pasien dengan memiliki asupan kalori yang
memadai pasca operasi (Theresa 2007). Perawatan seperti pemberian antibiotik,
terapi cairan, perawatan balutan, anti inflamasi akan membantu persembuhan luka
setelah operasi. Penanganan post operatif sangat penting karena dapat mempengaruhi
persembuhan hewan (pasien). Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap pasien
bedah post operatif untuk perawatan pasien bedah, dianataranya hewan dibawa ke
ruang pemulihan yang tenang, hewan tetap dimonitor dengan diukur suhu, frekuensi
nafas, frekuensi denyut jantung, serta diameter pupil. Diperhatikan membran mukosa,
limphonodus, dan selaput lendir, serta pasien diberikan obat untuk mengatasi rasa
nyeri selama 1 sampai 3 hari setelah operasi (Hedlund 2002). Diberikan infus bila
terjadi muntah dan diare hebat, disfungsi ginjal dan penyakit hati dengan
memperhatikan laju infus dan jenis infus yang diberikan. Apabila pasien
hypothermia, diberi penghangat menggunakan air hangat, diberikan suplemen
oksigen, kateter apabila diperlukan (Mc Curnin 2002). Hal lain yang perlu dilakukan
post operatif adalah pencucian peralatan, pencucian perlengkapan, pembersihan ruang
operasi. Pencucian peralatan dilakukan dengan mencuci alat setelah digunakan
dengan direndam dalam air yang diberi larutan pencuci, disikat, dimulai dari ujung
yang paling steril (ujung yang pertama mengenai pasien), kemudia dibilas dengan air
yang mengalir sebanyak 10-15 kali (dimulai dari ujung yang pertama disikat),
dikeringkan dengan ditata di rak. Peralatan yang sudah kering kemudian disterilisasi
lagi seperti di awal tadi. Pencucian perlengkapan meliputi masker, tutup kepala,
handuk dan baju operasi yang telah selesai digunakan dilaundri/dicuci dengan sabun,
dibilas dikeringkan. Perlengkapan-perlengkapan tersebut kemudian disterilisasi
sebagaimana proses pra operasi tadi. Ruang operasi kembali dibersihkan dari
kotoran/debu dengan disapu dan disterilisasi baik dengan radiasi atau dengan
menggunakan desinfektan berupa alkohol 70% (Harari 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Fisik
1. Signalemen Hewan
Nama : Nelson
Jenis : Kucing
Ras/Bangsa : Domestik
Jenis kelamin : Jantan
Berat badan : 4 Kg
Tanda khusus : -
2. Status Present
2.1. Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Gizi : Baik; gemuk
Habitus : Tegap, tulang punggung lurus
Sikap Berdiri : Menumpu dengan keempat kaki
Suhu tubuh : 38 °C
Frek. Nadi : 112 kali/menit
Frek. Napas : 12 kali/menit
2.2. Regio Kepala dan Leher
Ekspresi wajah : Galak
Pertulangan kepala : Kompak, tegas, dan keras
Posisi tegak telinga : Tegak ke atas
Posisi kepala : Lebih tinggi dari tulang punggung
Refleks panggilan : Baik; ada refleks
Krepitasi telinga : Tidak ada krepitasi
Bau Telinga : Bau khas cerumen
Mata dan Orbita Kanan-Kiri
Sklera : Putih
Cornea : Tembus terang
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Melingkar rata; tidak ada perlekatan
Refleks pupil : Baik; ada refleks
Vasa injection : Tidak ada vasa injection
Hidung, Mulut, dan Sinus-sinus
Mukosa Mulut : Pink rose, licin, dan basah.
Lidah : Pink
Gigi : Ada gigi patah, tidak ada karang gigi.
Foetor ex ore : Tidak ada
2.3. Regio Thoraks
Bentuk rongga : Simetris
Tipe pernapasan : Costal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
2.4. Alat Gerak
Spasmus otot : Tidak ada spasmus otot
Tremor otot : Tidak ada tremor otot
Sudut persendian : Tidak ada kelaianan
Cara berjalan : Melangkah biasa, koordinatif, dan tidak ada
kelainan
Cara berdiri : Menumpu dengan keempat kakinya
B. Perhitungan Dosis Obat-obatan
a. Atropin
=
=
= 0.4 ml
b. Oxytetraxyclin
=
=
= 1.12 ml
c. Xylazine
=
=
= 0.4 ml
d. Amoxycilin
=
=
= 3.2 ml
e. Ketamine
=
=
= 0.4 ml
C. Monitoring Pasien
Tabel 1. Pemantauan Tanda Vital Pasien
Parameter
/Waktu
Pre
Op Operasi
Post
Op
0’ 15’ 30’ 45’ 60’ 75’ 90’ 105’ 120’ 5’
Suhu Tubuh (°C) 38 37.8 37.6 37.1 36.9 36.7 36.7 36.2 36.2 36.1
Frek. Jantung
(kali/menit) 112 98 98 98 95 94 108 110 108 108
Frek. Napas 12 8 8 8 4 4 4 4 4 4
CRT 3 4 4 4 5 5 5 4 4 4
Mukosa Pink Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat
Refleks Pupil Ada - - - - - - - - Ada
Refleks digit Ada - - - - - - - - Ada
Grafik 1. Suhu Tubuh, Frek. Jantung, dan Frek. Napas
Tabel 2. Pemantauan Status Kesehatan Pasien Post Operatif
Parameter
/Waktu
H+1 H+2 H+3
Pa Si So Pa Si So Pa Si So
Suhu Tubuh (°C)
Frek. Jantung
(kali/menit)
Frek. Napas
CRT
Mukosa Pink Pink Pink Pink Pink Pink Pink Pink Pink
Makan Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya
Minum Cekok Cekok Cekok Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri
Defekasi - - - Ada Ada Ada Ada;
lunak
Ada;
lunak
Ada;
lunak
Urinasi - - - Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Keterangan : Pa : Pagi, Si : Siang, So : Sore
Grafik 2. Frekuensi Pernafasan dari H+1 sd H+3
100
105
110
115
120
125
130
135
140
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3
pagi
siang
sore
Grafik 3. Frekuensi Jantung dari H+1 sd H+3
Grafik 4. Suhu badan dari H+1 sd H+3
36
36.5
37
37.5
38
38.5
39
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3
pagi
siang
sore
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, kucing diperiksa secara umum untuk mengetahui
suhu, frekuensi jantung dan frekuensi nafasnya. Kemudian kucing diberi premedikasi
dengan atropin sulfas untuk mencegah muntah saat operasi, karena atropin
menyebabkan blokade reversibel kerja kolinomimetik mempengaruhi motilitas usus,
bronkodilatator, dan mencegah terjadinya hipersalivasi (Katzung 2001).
Obat yang digunakan terdiri dari obat premedikasi, obat bius, sedative, dan antibiotik.
Premedikasi yang diberikan berupa sulfas atropine dengan dosis 0.4 ml, rute
pemberian SC (subcutan). Penyuntikan pertama diberikan sulfas atropine. Setelah 10
menit kucing yang akan dibedah disuntikkan dengan kombinasi obat ketamine dan
xylazine. Obat bius yang diberikan adalah ketamine HCl 10% dengan dosis 0.4 ml,
rute pemberian intra muscular (IM). Sedative yang diberikan adalah xylazine HCl 2%
dengan dosis 0.4 ml, rute pemberian IM. Pemberian obat bius dicampur dengan
sedative. Pengambilan xylazine terlebih dahulu disusul dengan ketamine. Hal ini
dilakukan untuk mencegah efek negatif pada kucing ataupun hewan yang akan
disuntikkan dengan kombinasi obat tersebut. Setelah operasi dilakukan, diberikan
antibiotik dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri selama operasi.
Antibiotik yang digunakan ada tiga yaitu Penicillin, Oxytetraxyclin, dan Amoxycilin.
Penicillin diberikan setiap sebelum operator menjahit. Rute pemberian secara topical
(diteteskan), diberikan secukupnya. Oxytetraxyclin diberikan setelah operasi melalui
IM dengan dosis 1.12 ml. Sedangkan Amoxycilin diberikan selama perawatan post
operasi dengan dosis 3.2 ml. Rute pemberiannya per oral selama 5 hari perawatan 2
kali sehari, pada pagi dan malam hari (Katzug 2001).
Pasien yang sudah teranasthesi diletakkan di atas meja bedah yang telah
dialasi koran lalu dilakukan physical restraint. Pertama dilakukan pemasangan duk
diatas tubuh pasien dengan menggunakan towel clamp. Penyayatan abdomen
dilakukan pada 1 cm anterior umbilical sampai 1 cm posterior umbilical dengan cara
menarik kulit dengan dua jari dan dilakukan penyayatan menggunakan scalpel.
Lokasi penyayatan ini dimaksudkan agar mudah mengeksplorasi organ yang terdapat
di bagian abdomen. Penyayatan kulit pertama sepanjang 2 cm dilakukan
menggunakan scalpel dengan terlebih dahulu merenggangkan kulit abdomen
menggunakan tangan operator. Setelah kulit tersayat dilakukan penguakan subcutan
menggunakan gunting sampai linea alba terlihat jelas. Pembukaan linea alba
dilakukan dengan hati-hati, aponeurose dari muskulus obliquus dijepit tepat dikedua
sisi linea alba lalu ditarik, dilakukan penusukan ditengah linea alba dengan scalpel
untuk menbuat sedikit lubang. Setelah lubang terbentuk sayatan diperlebar dengan
menggunakan gunting tumpul-runcing dengan bagian yang tumpul yang menyentuh
jaringan agar tidak melukai jaringan dan untuk meminimalisir kemungkinan trauma
pada organ di dalam peritoneum. Jika terjadi kesalahan penyayatan linea alba maka
sayatan diulangi dengan sayatan tepat pada linea alba. Terjadi kesalahan pada proses
penyayatan linea alba, bagian yang tersayat adalah pinggir linea alba sehingga setelah
penyayatan dilakukan masih ditemui otot di bawahnya. Kesalahan terjadi karena
ditemukan banyak lapisan lemak pada abdomen kucing sehingga penguakkan untuk
mencari linea alba agak sulit, hal ini dikarenakan kucing yang dioperasi tergolong
gemuk. Kemudian dilakukan penyayatan sekitar 1.5 cm lagi ke arah caudal agar linea
alba lebih mudah terlihat. Setelah dilakukan penyayatan linea alba, dilakukan
eksplorasi organ pada bagian abdomen.
Eksplorasi organ dilakukan setelah ruang abdomen terbuka. Ekplorasi
dilakukan dengan cara palpasi karena terdapat banyak lemak di ruang abdomen,
organ-organ yang ditemukan di dalam rongga abdomen pada saat operasi antara lain
adalah usus halus, usus besar, ginjal kiri, ginjal kanan, vesika urinaria dan lambung.
Usus merupakan organ yang paling mudah ditemukan karena posisi penyayatan yang
dilakukan tepat di ventromedial abdomen. Usus memiliki konsistensi yang lunak,
licin, dan lumennya kosong ketika dipalpasi. Vesika urinaria dapat diketahui dengan
palpasi bagian hipogastricum. Vesika urinaria berisi urin memiliki konsistensi lunak
dan padat. Ginjal kanan dan kiri dapat teraba ketika dilakukan palpasi. Bentuk dari
kedua ginjal bulat seperti kacang dengan konsistensi yang lunak dan padat. Organ
lainnya tidak terpalpasi pada saat eksplorasi abdomen. Letak dari organ-organ di
dalam rongga abdomen dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sumber: http://www.exploringnature.org/graphics/animal_anatomy/cat_organs_color_72.jpg
Semua organ yang berada di dalam ruang abdomen tersebut diselubungi oleh
omentum. Untuk mempermudah mengenali organ dalam rongga abdomen, maka
rongga abdomen dibagi menjadi tiga wilayah yaitu epigastrium, mesogastrium dan
hipogastrium. Di wilayah epigastrium dapat ditemukan lambung, limpa, hati, ginjal
kanan dan kiri. Ginjal kanan terkesan lebih ke cranial dibandingkan yang kiri karena
pada bagian kiri rongga abdomen terdapat organ perut yang mendorong ginjal kiri
dari posisi yang seharusnya (Aspinall, O’Reilly 2004). Usus dan ovarium ditemukan
di mesogastrium, sedangkan di hipogastrium berada vesica urinaria dan uterus.
Setelah dilakukan eksplorasi abdomen, penutupan ruang abdomen dimulai
dengan penjahitan linea alba dan omentum menggunakan benang chromic catgut 3/0
agar mudah diserap oleh tubuh dan jarum berpenampang segitiga untuk jaringan yang
lunak. Digunakan jahitan simple interrupted sebanyak delapan jahitan. Subcutan
dijahit sebanyak tiga jahitan menggunakan jahitan simple interrupted. Benang catgut
dapat diabsorpsi oleh tubuh sehingga tidak perlu dilakukan pengambilan benang
kembali post operasi. Sedangkan untuk penjahitan kulit digunakan jahitan simple
interrupted dengan benang silk sebanyak sebelas jahitan. Benang ini digunakan
karena untuk penjahitan superficial dibutuhkan benang yang kuat dan tidak
diabsorpsi oleh tubuh sehingga jahitan tidak mudah terlepas. Tujuan penggunaan
jahitan simple interrupted adalah agar jahitan lebih kuat menahan tekanan organ
dalam rongga abdomen sehingga tidak terjadi hernia.
Sumber : (Theresa, 2007)
Pada setiap lapisan sebelum dilakukan penjahitan diberikan antibiotik
penisilin dengan cara diteteskan pada setiap jaringan sebelum dijahit. Pemberian
penisilin bertujuan untuk menghindari infeksi pasca operasi. Pemberian penisilin
antara lain pada ruang abdomen, lapis antara linea alba dan subcutan, serta pada
lapisan antara subcutan dan kulit.
Terakhir didaerah bekas jahitan diberi betadine. Pemberian antiseptik ini bertujuan
untuk mencegah infeksi dan mempercepat pengeringan luka. Bekas jahitan dibalut
dengan menggunakan tampon segi empat yang telah diberi betadine untuk kemudian
ditempel dengan menggunakan perekat hypafix. Hal ini bertujuan untuk menghindari
bekas jahitan terbuka akibat dari gigitan atau gerakan kucing maka dilakukan
pemasangan kain gurita.
Anestesi dilakukan secara perinjeksi akan mendepres fungsi fisiologis tubuh
sehingga terjadi penurunan fungsi fisiologis (Hall 2001). Salah satu perubahan
fisiologis yang dapat teramati adalah suhu tubuh, pada awal sebelum pemberian obat
bius adalah 38 °C, namun lima menit kemudian terjadi penurunan suhu tubuh
menjadi 37.8 °C. Seiring dengan berjalannya waktu, suhu tubuh kucing semakin
menurun, dan yang terendah mencapai 36.1 °C yaitu pada menit ke 125 setelah dua
kali diberikan maintenance. Setelah itu, pada monintoring selanjutnya adalah
perubahan frekuensi jantung menunjukkan pengaruh kerja jantung dalam memompa
darah. Pada tabel 1, terlihat frekuensi jantung semakin meningkat. Peningkatan
frekuensi ini disebkan karena adanya luka sayatan. Pada saat pre operasi frekuensi
jantung adalah 112 kali, namun setelah diberikan anestesi frekuensi rata-ratanya
adalah 103 kali/menit tiap 15 menit. Pada pengamatan frekuensi nafas terjadi
penurunan frekuensi nafas karena sifat anestesi yang diberikan dapat mendepres pusat
respirasi di medulla oblongata. Sebelum pemberian anestesi frekuensi pernafasan
kucing sebanyak 12 kali, namun setelah beberapa menit pasca pemberian frekuensi
pernafasan rata-ratanya adalah 6 kali/menit tiap 15 menit. Mukosa kucing terlihat
perbedaan yang sangat nyata pada saat pre dan post anestesi. Pada saat pre anestesia
mukosanya berwarna pink rose, namun setelah anestesi selama operasi berlangsung
warna mukosa berubah menjadi pucat, hal tersebut dikarenakan tidak lancarnya aliran
darah pada daerah perifer. Secara umum anestesi juga akan menghilangkan refleks
pasien, dalam hal ini yang diamati adalah refleks pupil dan refleks digit yang
menghilang selama anestesi berlangsung (Hall 2001).
Setelah operasi, kucing di injeksi dengan oxtetracyclin melalui intramuscular
otot celana. Oxytetracyclin merupakan antibiotic berspektrum luas yang berfungsi
mencegah infeksi sekunder pasca operasi. Kemudian tunggu pasien hingga tersadar.
Pasien mulai sadar pukul 18.28 WIB, dengan tanda-tanda mulai adanya refleks
berkedip, menjilat, batuk dan tersedak. Pada pukul 18.55 WIB, kaki depan dang
belakang mulai bisa bergerak. Pukul 19.40, pasien mulai bisa muntah dan urinasi.
Pukul 21.46 WIB, pasien sudah bisa bangun dan mengangkat kepala. Pukul 22.10,
pasien bisa berdiri, mencakar dan menggigit. Sekitar pukul 23.00 WIB pasien
diberikan antibiotik (amoxcylin cair) 3.2 ml secara peroral. Tujuan pemberian
antibiotic ini untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka.
Pada masa persembuhan atau post operasi, kucing menunjukkan grafik pernapasan
yang cukup baik. Kucing nomal memiliki frekuensi napas 25-30 kali per menit
(Eldredge 2008). Untuk frekuensi napas di hari 1 cenderung tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan yaitu pada kisaran 24-32 kali/menit. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa kucing tersebut tidak mengalami gangguan pernapasan pasca
operasi.
Untuk frekuensi jantung hewan menunjukkan frekuensi yang stabil pada setiap
harinya yaitu rata-rata sekitar 123 kali/menit dari frekuensi pulsus normal kucing
antara 110–130 kali/menit.
Begitu halnya dengan temperatur tubuh hewan. Temperatur tubuh hewan pasca
operasi cenderung menunjukkan gambaran yang sangat baik dan merata hingga hari
ke-3. Hanya pada waktu 3-4 jam pasca operasi, pengamat mencatat suhu hewan yang
turun hingga mencapai 36o C. Keadaan hipothermia seperti ini diduga akibat efek
samping dari obat bius yang masih terasa. Namun, keadaan itu segera membaik di
hari ke-1 yang ditunjukkan dengan meningkatnya suhu tubuh hewan menjadi 37-38o
C. Suhu tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu normal
tubuh kucing adalah 100 - 102.5°F (37.7 - 39.1°C).
Selama masa penyembuhan, hewan menunjukkan nafsu makan yang baik kecuali
pada hari ke-2 siang kucing tidak mau makan sama sekali. Hal seperti ini sangat
mendukung dalam proses penyembuhan luka pasca operasi. Sedangkan untuk proses
defekasi, hewan tidak memiliki keteraturan dalam defekasi. Pada hari ke-1 kucing
belum defekasi dan urinasi, pada hari ke-2 kucing defekasi dan urinasi.
Konsisternsinya lunak dan berbentuk. Pada hari ke-3 kucing defekasi dengan
konsistensi feses sangat lunak tetapi tidak diare. Untuk minum dan urinasi, pada hari
ke-1 kucing perlu pencekokan air agar minum. Dan pada hari berikutnya selalu
minum sendiri setiap hari mulai pagi hingga malam teratur. Jumlah urin yang
dikeluarkan pada hari ke-1 cenderung banyak sekali, hal ini mungkin terjadi karena
ketika operasi, vesica urinaria penuh tetapi urin tidak bisa dikeluarkan. Tetapi pada
hari berikutnya cenderung normal. Volume urin kucing normal berkisar 18-25 ml/kg
BB per-24 jam (Widodo et al. 2011). Dari jumlah normal urin tersebut dapat
diketahui bahwa hewan melakukan urinasi dengan baik dan tidak ada gangguan
ataupun kelainan.
KESIMPULAN
Laparatomi medianus central, yaitu suatu tindakan penyayatan abdomen yang
dilakukan 1 cm anterior umbilical sampai 3 cm posterior umbilical. Obat yang
digunakan untuk laparatomi terdiri dari obat premedikasi, obat bius, sedative, dan
antibiotik. Premedikasi yang diberikan berupa sulfas atropine dengan dosis 0.4 ml,
rute pemberian SC (subcutan). Eksplorasi organ dilakukan setelah ruang abdomen
terbuka. Ekplorasi dilakukan dengan cara palpasi karena terdapat banyak lemak di
ruang abdomen, organ-organ yang ditemukan di dalam rongga abdomen pada saat
operasi antara lain adalah usus halus, usus besar, ginjal kiri, ginjal kanan, vesika
urinaria dan lambung.
LAMPIRAN I
(DOKUMENTASI)
Persiapan Operator dan Asisten operator
Pasca Pencukuran Rambut Kucing dan Physical Restrain
Penyayatan Abdomen
Penjahitan dan Pembalutan
LAMPIRAN II
(LAPORAN PROTOKOL BEDAH)
DAFTAR PUSTAKA
Aspinall V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology.
Philadelphia: Butterworth-Heinemann.
Eldredge D. M, Carlson D. G, Carlson L. D & Giffin J. M. 2008. Cat Owner’s Home
Veterinary Handbook. 3th Ed. Wiley Publishing, INC. Hoboken, New Jersey.
Hall, L.W., K.W Clarke, CM Trim. 2001. Veterinary Anaesthesia 10th Edition. W.B.
Saunder. London
Harari, Joseph. 2004. Small Animal Surgery Secret 2nd Edition. Hanley & Belfus
INC. Philadelpia, USA.
Hedlund CS, Donald AH, Ann LJ, Howard BS, Michael DW, Gwendolyn LC.
2002. Small Animal Surgery 2nd Edition. Mosby of Elsevier. USA.
http://www.exploringnature.org/graphics/animal_anatomy/cat_organs_color_72.jpg
Katzug, BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.
Mc Curnin DM, Joanna MB. 2002. Clinical Textbook For Veterinary Technicians
6rd Edition. Elsevier Sabre Faundation. USA.
Theresa, Welch., Fossum, et all. 2007. Small Animal Surgery 3rd Edition. Mosby
Elsevier. Missouri.
Widodo Setyo, Sajuthi Dondin, Choliq Chusnul, Wijaya Agus, Wulansari Retno,
Lelana Agus. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press:Bogor