LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA...

35
Bidang Ungulan Ketahanan Pangan Kode/Nama Bidang Ilmu 164/ Mekanisasi Pertanian LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.) Varietas Granola Dr. Ir. Yohanes Setiyo, MP. (NIDN 0016106307) Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, M.S (0017085910) Dr. Ir. Dewa Gede Mayun Permana, MS. (NIDN 0007115904) Ir I Gusti Ayu Lani Triani, S.TP, M.Si (NIDN 0029057705) PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA Juni 2015

Transcript of LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA...

Page 1: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Bidang Ungulan Ketahanan Pangan

Kode/Nama Bidang Ilmu 164/ Mekanisasi Pertanian

LAPORAN KEMAJUAN

HIBAH RISET INVENSI UDAYANA

Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi

Secara In-Situ Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.)

Varietas Granola

Dr. Ir. Yohanes Setiyo, MP. (NIDN 0016106307)

Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, M.S (0017085910)

Dr. Ir. Dewa Gede Mayun Permana, MS. (NIDN 0007115904)

Ir I Gusti Ayu Lani Triani, S.TP, M.Si (NIDN 0029057705)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Juni 2015

Page 2: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya
Page 3: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

RINGKASAN iv

I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus 2

1.3 Urgensi Penelitian 2

II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida) 4

2.2 Kesuburan Lahan Percobaan 7

2.3 Produktivitas Lahan Percobaan 9

III METODE PENELITIAN 10

3.1 Roadmap Penelitian 10

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 13

3.3 Bahan Penelitian 13

3.4 Prosedur Penelitian 13

3.4.1 Rancangan penelitian 13

3.4.2 Prosedur pengamatan parameter-parameter 16

3.5 Luaran Penelitian 19

3.6 Indikator Capaian Penelitian 19

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20

V RENCANA KEGIATAN SELANJUTNYA

VI KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA 22

Lampiran 1. Justifikasi anggaran penelitian 25

Lampiran 2. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas 29

Lampiran 3. Ketersediaan sarana dan prasarana penelitian 34

Lampiran 4. Biodata Ketua dan anggota tim 36

Lampiran 5. Surat Pernyataan Peneliti 49

Page 4: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

RINGKASAN

Tujuan jangka panjang adalah model bioremidiasi secara in-situ menggunakan sistem

pertanian dengan sistem low external input on sustainable agriculture (LEISA) di lahan

pertanian budidaya kentang, sehingga kentang (Solanum Tuberosum L.) konsumsi yang

dihasilkan (1) meningkat, (2) berkualitas, (3) berdaya saing tinggi, dan (4) terjamin mutunya.

Ruang lingkup penelitian adalah (1) identifikasi reduksi cemaran insektisida dan fungisida,

(2) identifikasi efektifitas mikroba melakukan proses bioremediasi secara in-situ di lahan yang

dibudidayakan kentang konsumsi akibat penerapan sistem LEISA dan (3) optimasi kuantitas

dan kualitas kentang konsumsi yang dihasilkan.

Tahun 2015 penelitian difokuskan pada : (1) identifikasi tingkat cemaran pestisida di

lahan yang dibudidayakan kentang, (2) kajian laju degradasi residu pestisida oleh aktifitas

mikroba dalam proses bioremidiasi secara in-situ dan (3) kajian kualitas kentang sebagai

akibat implementasi sistem LEISA. Pengamatan tingkat cemaran pestisida dan kualitas umbi

kentang diamati secara periodik (tanaman kentang berumur : 1 bulan, 1.5 bulan, 2 bulan, 2.5

bulan dan 3 bulan). Kedua pengamatan dilakukan untuk mencari pola penerapan sistem LEISA

yang optimal mendukung proses bioremediasi dan menghasilkan kentang berkualitas.

Percobaan budidaya kentang dengan perlakuan dosis pemupukan kompos (10 ton/ha, 15 ton/ha,

20 ton/ha, dan 25 ton/ha) dikombinasikan dengan perlakuan jenis kompos (kotoran ayam dan

kotoran sapi) pada budidaya di musim kemarau dan penghujan, hal ini untuk mencari model

bioremediasi in-situ yang paling efektif dengan sistem LEISA yang optimal.

Kegiatan penelitian tahun 2016 difokuskan pada kajian sistem LEISA yang paling

optimal untuk peningkatan ketersediaan unsure hara dan optimasi produksi kentang.

Parameter-parameter penelitian adalah : (1) sifat psikokimia tanah, (2) sifat biologis tanah, (3)

perkembangan tanaman dan umbi kentang, (4) produktifitas lahan (jumlah kentang yang

dihasilkan tiap satuan luas) dan (5) kualitas umbi kentang (distribusi ukuran berat umbi, tingkat

cemaran pestisida pada umbi, dan prosentase umbi yang rusak/busuk).

Kegiatan penelitian 2017 adalah kajian dampak implementasi sistem LEISA dan model

bioremediasi in-situ pada : (1) efisiensi penggunaan sarana budidaya kentang (pupuk NPK dan

obat-obatan), (2) produktifitas lahan, (3) kualitas umbi kentang yang dihasilkan dan (4) analisa

ekonomi. Penelitian uji sistem LEISA dilakukan pada sepuluh petani kentang dengan luasan

budidaya masing-masing 200 m2, dan budidaya dilakukan di musim hujan dan kemarau.

Page 5: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan insektisida dan fungisida dalam budidaya kentang (Solanum Tuberosum L.)

varietas granola adalah untuk mereduksi gagal panen akibat serangan hama dan penyakit

tanaman, hal ini masih dilakukan petani Desa Candikuning Kab. Tabanan (Setiyo et al.,

2014). Petani kentang Desa Candikuning sangat intensif menggunakan fungisida jenis :

Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan

petani adalah Curacron dan Detacron. Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur

14 minggu setiap seminggunya disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut. Praktek

pemberantas hama dan penyakit tanaman tersebut mampu menekan susut hasil karena umbi

kentangakibat tanaman terserang penyakit layu batang (Setiyo et al., 2013).

Pemupukan menggunakan kompos adalah salah satu praktek budidaya yang baik

(Good Agriculture Practices atau GAP, praktek ini juga sesuai sistem low external input on

sustainable agriculture atau LEISA. Pada penelitian Strasnas 2013 dan 2014, mikroba yang

pada kompos memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan unsure hara makro sampai pada

tingkatan tinggi s/d sangat tinggi (Setiyo et al., 2014). Rasio karbon-nitrogen (C/N) di lahan

budidaya kentang granola menurun dari 10,5 – 12,6 (awal tanam kentang) menjadi 8,5 – 9,4

(saat panen), hal ini menunjukan bahwa mikroba pada kompos selama budidaya masih

melakukan perombakan unsure hara untuk penyusunan selnya.

Mikroba Pseudomonas luteola yang ada pada kompos pada pH netral memiliki

kemampuan mendegradasi residu fungisida dan insektisida organophosfat dengan tingkat

degradasi sebesar 85.44%, hal ini diiringi dengan tingkat pertumbuhan tertinggi yakni dengan

nilai absorbansi 1.752 (Setiyo et al., 2014). Selain itu, penggunaan pupuk organik kompos

kotoran sapi, kompos bokasi, kompos sampah kota dan kompos campuran mampu mereduksi

residu fungisida jenis Dithane M-45,konsentrasi residu pestisida di tanah 0.6 ppm di hari ke 35

menjadi 0.003 ppm (Setiyo et al., 2011).

Aplikasi sistem LEISA pada budidaya kentang berdampak pada (1) penurunan

konsentrasi residu fungisida (Setiyo et al., 2010); (2) perbaikan sifat fisik tanah (Arsa et al.,

2013); (3) peningkatan kesuburan lahan (Setiyo, et al., 2014) dan (4) peningkatan kualitas umbi

kentang konsumsi (Setiyo et al., 2014). Optimasi sistem LEISA yang dikombinasikan dengan

optimasi proses bioremediasi residu fungisida dan insektisida secara in-situ untuk

meningkatkan produktifitas dan kualitas kentang perlu kajian lebih lanjut.

1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus

Tujuan khusus penelitian adalah optimasi penerapan sistem LEISA dan optimasi proses

bioremidiasi in-situ pada budidaya kentang varietas granola, sehingga hasil per satuan luas

optimal dan berkualitas. Tujuan dan manfaat lain dari penelitian adalah :

Page 6: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

1. Peningkatan efektiifitas model bioremediasi residu fungisida dan insektisida pada

budidaya kentang akibat implementasi sistem LEISA, sehingga kentang yang dihasilkan

berkualitas dan terjamin mutunya.

2. Peningkatan ketersediaan unsure hara makro bagi tanaman kentang dengan tingkat

ketersediaan pada status tinggi sampai sangat tinggi atau lahan memiliki nilai kapasitas

tukar kation di atas 25 me/ 100 g.

3. Optimalisasi sistem LEISA pada budidaya untuk menghasilkan kentang konsumsi

berkualitas (kentang ukuran super di atas 20 % dan yang rusak di lahan kurang dari 5

%) dengan produksi persatuan luas lebih dari 30 ton/ha sesuai dengan standar Bapenas.

4. Secara ekonomi sistem LEISA lebih menguntungkan untuk diterapkan di budidaya

kentang.

1.3 Urgensi Penelitian

Isu-isu strategis nasional : (1) ketahanan dan kemanan pangan; (2) pertanian

berwawasan lingkungan dengan praktek baik dalam budidaya atau GAP; (3) penggunaan

pestisida yang berdampak pada pencemaran lahan; (4) kandungan bahan organik yang rendah

di lahan pertanian yang berdampak pada menurunnya daya tahan tanaman terhadap hama dan

penyakit; dan (5) kualitas dan daya saing hortikultura di bawah produk import menjadi

landasan pengembangan roadmapp penelitian di atas. Berlandaskan hal tersebut, maka pada

tahun 2007 sampai 2008 peneliti melakukan penelitian (1) pengembangan model proses

pengomposan dan (2) aplikasi kompos sebagai pupuk untuk peningkatan kesuburan lahan dan

perbaikan sifat fisik tanah

Praktek budidaya kentang belum menggunakan sistim penjaminan mutu, sebab

penggunaan fungisida dan insektisida masih menjadi andalan petani Candikuning Kec. Baturiti

Kab. Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al., 2009, pemberian kompos pada

demplot budidaya kentang sangat efektif mendukung proses bioremediasi residu fungisida.

Jenis dan dosis kompos yang diaplikasikan sebagai pupuk organik yang mendukung proses

bioremediasi pada budidaya kentang varietas granola sangat penting untuk dikaji lebi lanjut

untuk optimasi proses bioremediasi itu sediri.

Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al., 2009, pemberian kompos pada demplot

budidaya kentang sangat efektif mendukung proses bioremediasi residu pestisida. Identifikasi

awal mikroba yang ada pada kompos dari penelitian Setiyo et al., 2011 adalah kelompok adalah

Bacillus sp., Lactobacillus sp., Streptoccus sp., Pseudomomas sp. Trametes sp, Gigaspora spp.

(Arbuscular mycorrhizal fungi), Aspergillus sp., Trichoderma sp., Saccharomyces sp., dan

Rhizobium sp.

Selain itu, mikroba pada kompos juga memiliki kemampuannya mendegradasi bahan

organik menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman. sehingga dapat meningkatkan

Page 7: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

kandungan unsure hara makro dan mikro di lahan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam

dan kotoran sapi dengan dosis 10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/ha menyebabkan

lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan terjadi peningkatan kandungan bahan

organic. Kandungan hara utama (karbon, nitrogen, phospat, kalium) dari plot-plot percobaan

setelah kentang di panen tetap pada level tinggi sampai sangat tinggi (Setiyo, et al., 2014).

Penggunaan kompos sebagai pupuk organik merupakan upaya implementasi sistem

LEISA, penerapan sistem ini dapat (1) meningkatkan proses perbaikan kesehatan lahan dengan

proses bioremediasi secara in-situ, (2) peningkatan kesuburan lahan dengan proses biodegradasi

kompos oleh mikroba menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman, dan (3) perbaikan sifat

fisik tanah. Secara umum sistem LEISA akan secara tidak langsung mendukung program

swasembada dan ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah RI terutama

peningkatan produktifitas dan kualitas hasil budidaya tanaman pangan. Optimalisasi sitem

LEISA dan bioremediasi secara in-situ di lahan budidaya kentang konsumsi perlu suatu kajian

secara mendalam.

Page 8: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida)

Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian selalu

berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak bahan-bahan kimia tersebut

dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahan bahan kimia pertanian yang disemprotkan

jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di

atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah

(Uehara, 1996).

Pestisida kelompok organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan

dan meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui

rantai makanan. Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh

yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, pestisida kelompok organofosfat antara

lain : Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, dan Gophacide (Sudarmo, 1991).Dalam

penerapan di bidang pertanian, kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran

sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut

mengakibatkan pencemaran lahan pertanian (Armes et al., 1995 dan Tengkano et al. 1992).

Menurut Vidali, 2001 bioremediasi adalah usaha perbaikan tanah dan air permukaan

dari residu pestisida atau senyawa rekalsitran lainnya dengan menggunakan jasa

mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari tanah namun karena jumlahnya

masih terbatas sehingga masih perlu pengkayaan serta pengaktifan yang tergantung pada

tingkat rekalsitran senyawa yang dirombak (Sa’id, 1994). Menurut Katsivela, 2005 konsursium

mikroba yang mampu mendegradasi polutan pada tanah sangat terbatas.

Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.

Menurut Vidali, 2001 pestisida kelompok Atrazine, Carbaryl, Carbofuran, Coumphos,

Diazinon, Glycophosphate, Parathion, Profenofos, dan 2,4-D dapat diremidiasi oleh mikroba

dalam proses aerobik. Mikroba kelompok aerobik adalah Pseudomonas, Alcaligenes,

Sphingomonas, Rhodococcus, and Mycobacterium. Mikroba ini mendegradasi pestisida dan

hydrocarbons alkana dan polyaromatic. Pestisida adalah sumber hydrokarbon dan sumber

energi.

Pengomposan adalah salah satu teknik bioremidiasi secara in-situ, karena dengan

pengomposan mampu meningkatkan populasi mikroba dan mengatur suhu tanah sehingga

proses bioremidiasi optimal. Menurut Vidali, 2001 dengan pengomposan menghemat biaya

dalam penurunan residu pestisida secara in-situ. Indrayani (2006), melakukan penelitian

bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan pengomposan, hasil penelitian

adalah mikroorganime awal populasinya 108 sel g

-1 bahan kering, puncak populasi

mikroorganisme 1010 sel per g kering bahan organik. Mikrorganisme yang aktif pada proses

Page 9: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

bioremidiasi adalah kelompok mesofilik jenis kapang dan bakteri selulotik dan populasinya

mencapai puncak di minggu ke dua.

Mikroba kelompok Bacillus menurut Irianto et al. (1998) berpotensi melakukan

bioremidiasi. Sebagai gambaran, dari 10 area terlindungi di Jawa seperti Taman Nasional

Ujung Kulon, Gede-Pangrango, Merubetiri dan Baluran didapatkan ratusan isolat. Masing-

masing isolat dapat dikembangkan untuk penelitian beragam aspek seperti enzim, produksi

senyawa antibiotik, kemampuan mengikat logam berat, dan potensinya untuk bioremidiasi.

Hasil penelitian Setiyo et al. 2011, residu pestisida di lahan hortikultura yang tidak

dipupuk kompos lebih lambat teremediasi dibandingkan dengan lahan yang dipupuk dengan

kompos. Gambar 1 adalah gambar akumulasi residu pestiisida yang dapat diremidiasi oleh

mikroba dalam proses bioremidiasi in-situ di lahan pertanian yang dibudidayakan hortikultura.

Pada penelitian ini introduksi mikroba dengan cara pemberian kompos di lahan yang

dibudidayakan hortikultura, karena kompos mengandung mikroba kelompok Pseudomonas.

a. Penyemprotan dosis tinggi

Penyemprotan dosis sedang

Gambar 1 Akumulasi residu pestisida yang teremediasi (Sumber Laporan Akhir Penelitian Strasnas

(Setiyo, et al, 2009))

Menurut Setiyo et al. (2009) penggunaan kompos sebagai pupuk organik pada tanaman

jahe merah juga dapat memperbaiki sifat fisik, dan sifat kimia tanah. Penelitian Sudyastuti

(2007) pada tanah pasiran yang dibudidayakan cabai, kompos juga dapat memperbaiki sifat

fisik, sifat kimia, sifat biologis dan bakan sifat thermis tanah. Hasil penelitian Setiyo, 2009

aplikasi kompos dengan dosis 10 ton/ha di zone perakaran tanaman jahe merah (0 – 20 cm)

menghasilkan : suhu (27 – 32 oC), pH ( 6,5 – 6,8), kadar air tanah (30 – 50 %) dan porositas

24.2 %. Menurut Sudiastuti, 2007, kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman cabai di daerah

pasiran yang dipupuk kompos di kedalaman 0 – 20 cm memiliki suhu (27,5 – 32,5 oC), dan

kadar air volumetrik (0,13 – 0,17). Suplai oksigen di zone perakaran pada lahan dengan

porositas merndekati ideal sangat baik, sehingga potensi berlangsungnya proses bioremediasi

mikrobial di zone perakaran juga berlangsung secara sempurna (Setiyo et al., 2009). Kondisi

lahan yang dipupuk dengan kompos dari hasil penelitian Setiyo dan Sudiatuti (2007) sesuai

dengan standar ideal untuk proses bioremidiasi in-situ yang ditetapkan oleh Vidali (2001).

Kompos dari kotoran sapi dan kotoran ayam yang diberikan pada lahan yang

dibudidayakan kentang mengandung mikroorganisme aktif antara 106.8 – 10

.8.5 cfu sedangkan

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0 10 20 30 40 50 60 70

Waktu pengamatan, hari

Residu pestisida yang

terremidiasi, ppm

Lahan tidak dipupuk kompos

Lahan dipupuk kompos kotoran sapi

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

0 20 40 60 80

Waktu pengamatan, hari

Akumulasi residu pestisida

terremediasi, ppm

Lahan dipupuk kompos kotoran sapi

Lahan tidak dipupuk kompos

Page 10: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 10

cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan

pertanian kentang. Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2.

ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis

dan dactonil, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipu

kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil

penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada

proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara

Gambar 2 Populasi mikroba di lahan percobaan budidaya kentang

penelitian Strasnas 2014 (Setiyo

Hasil skrining mikroba pada media

ppm profenofos mempunyai ciri

Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni

koloni tersebut baru mampu beradaptasi dengan media

mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa

kompleks yang terdapat dalam

dilihat pada Gambar 3 (Setiyo,

Gambar 3. Foto koloni yang tumbuh pada media selektif MSPY

penelitian Strasnas 2014 (Setiyo

0.02.04.06.08.0

10.0P

op

ula

si,

x 1

00

00

0 c

fu

lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 10

cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan

Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2.

ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis

, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipu

kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil

penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada

proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara pengomposan.

Gambar 2 Populasi mikroba di lahan percobaan budidaya kentang (Sumber : Laporan akhir

penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)

Hasil skrining mikroba pada media Mineral Salt Peptone Yeast yang mengandung 100

ppm profenofos mempunyai ciri-ciri seperti koloni bakteri yakni berlendir dan mengkilap.

Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni

koloni tersebut baru mampu beradaptasi dengan media Mineral Salt Peptone Yeast

mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa

kompleks yang terdapat dalam yeast ekstract. Foto koloni yang berbeda secara fisik dapat

(Setiyo, et al., 2014).

Foto koloni yang tumbuh pada media selektif MSPY (Sumber : Laporan akhir

penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)

0.02.04.06.08.0

10.0

Pemupukan Dengan Kompos

Bakteri

Kapang

Total Mikroba

lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 101.9 – 10

5.9

cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan

Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2. Kedua kondisi

ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis acrobat

, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipupuk kompos

kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil

penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada

ngan cara pengomposan.

(Sumber : Laporan akhir

yang mengandung 100

ciri seperti koloni bakteri yakni berlendir dan mengkilap.

Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni-

Salt Peptone Yeast yang

mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa-senyawa

. Foto koloni yang berbeda secara fisik dapat

(Sumber : Laporan akhir

Total Mikroba

Page 11: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

2.2 Kesuburan Lahan Percobaan

Penambahan bahan organik berupa pupuk kompos akan berdampak pada peningkatan

kesuburan lahan selain itu juga memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah (

Sutanto, 2002 dan Setiyo et al. 2010). Perubahan sifat fisik tanah terutama pada struktur,

kemampuan tanah menanahan air bagi tanaman, dan porositas tanah. Menurut Sutedjo (2002)

tanah-tanah berat jika dipupuk dengan kompos akan menjadi lebih ringan, sedanglan tanah-

tanah ringan akan menjadi lebih baik strukturnya.

Perubahan sifat kimia tanah akibat pemupukan dengan kompos adalah pada

meningkatnya ketersediaan unsure hara mikro dan makro, meningkatnya kapasitas tukar kation

(KTK). Asam-asam yang dikandung kompos membantu proses pelapukan bahan menjadi

mineral-mineral tanah (Sutanto, 2002). Proses pelapukan material kompos menjadi mineral-

mineral berakibat pada perubahan pH tanah. Kenaikan pH karena ada demineralisasi bahan

organik terutama unsur mikro Mg2+, K

+, Ca

2+. Kation-kation ini akan berikatan dengan asam-

asam yang terbentuk selama proses demineralisasi (Setiyo et al, 2007).

Tabel 1. Kandungan N, P, K dan KTK Pada Plot Penelitian Pemupukan dengan kotoran ayam

(Sumber : Laporan akhir penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014))

Kode BULAN C/N

KTK,

me/100g

Keterangan kandungan hara utama

C N P K

A10M

1 10.02 27.35 S ST ST T

2 9.11 28.71 S ST ST T

3 9.63 29.00 S ST ST T

A15M

1 9.48 27.64 S ST ST T

2 9.15 25.16 S ST ST T

3 9.43 25.37 S ST ST T

A20M

1 10.00 22.97 S ST ST T

2 11.28 24.24 S ST ST T

3 10.73 23.84 S ST ST T

A25M

1 10.61 20.80 S ST ST T

2 8.54 26.61 S ST ST T

3 10.67 26.19 S ST ST T

KOM

1 12.64 24.64 S ST ST T

2 12.06 23.53 S ST ST T

3 10.74 23.11 S ST ST S

Berdasarkan data di Tabel 1 kandungan bahan bahan organic (pada sampel tanah yang

diambil dari plot-plot penelitian sebelum penanaman kentang dan setelah panen kentang

cenderung mengalami peningkatan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam dengan dosis

10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/hayang dikombinasikan dengan budidaya di lahan

ditutup mulsa plastic menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan

terjadi peningkatan kandungan bahan organic. Kompos kotoran ayam yang diberikan secara

Page 12: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

kontinu selama tiga tahun terakhir dalam setiap tahapan budidaya mineral-mineral hasil

dekomposisinya tidak semua diserap oleh tanaman yang dibudidayakan termasuk tanaman

kentang (Setiyo, et al., 2014).

Menurut Sutedjo, 2002 pada pH 6,5 – 7,5 (pada kondisi reaksi netral) unsur-unsur hara

hasil dekomposisi kompos dan unsure-unsur dari pupuk NPK semua tersedia secara optimal

bagi tanaman kentang. Sisa kandungan hara C, N, P dan K merupakan hasil dari dekomposisi

kompos. Hal ini ditunjukan oleh nilai KTK di plot-plot percobaan yang bervariasi dari 23.11

sampai 29.0.

2.3 Produktivitas Lahan Percobaan

Hubungan antara dosis pemupukan kompos (kotoran ayam dan kotoran sapi) untuk

budidaya di lahan yang ditutup mulsa plastic hitam dan yang tidak ditutup mulsa plastic dengan

rerata total berat umbi kentang yang dihasilkan adalah seperti Gambar 3. Adanya

kecenderungan total produksi umbi kentang untuk perlakuan budidaya menggunakan mulsa

plastic lebih jumlahnya lebih sedikit dibandingkan total produksi pada perlakuan budidaya

menggunakan mulsa plastic hitam. Pada budidaya menggunakan mulsa plastic gulma, kadar air,

dan pH tanah selama masa budidaya dapat dikontrol (Setiyo et al., 2014).

Peningkatan penggunaan pupuk kompos kotoran sapi pada perlakuan budidaya

menggunakan mulsa plastic maupun tanpa mulsa plastic memiliki kecenderungan

meningkatnya jumlah produksi umbi kentang tiap pohon, kondisi ini berlawanan dengan

penggunaan pupuk kompos kotoran ayam. Kondisi ini diduga karena kotoran sapi lebih tersedia

dari pada kotoran ayam, karena kotoran sapi yang digunakan sudah terdekomposisi lebih dari 2

bulan, sedangkan kotoran ayam baru terfermentasi selama sebulan. Hasil sidik ragam pada

selang kepercayaan 1 % menunjukan bahwa dosis pemupukan berpengaruh tidak sangat nyata

terhadap total produksi umbi kentang untuk tiap pohonnya (Setiyo et al., 2014).

Gambar 3 Rerata berat umbi kentang yang dihasilkan tiap pohon

250

350

450

550

650

0 10 20 30

Re

rata

Be

rat

Um

bi

Ke

nta

ng

pe

r p

oh

on

, g

Dosis pupuk kompos, ton/ha

Kompos

Kotoran Sapi

dan Budidaya

Tanpa Mulsa

Plastik

Page 13: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Gambar 4 Rerata jumlah umbi kentang yang diproduksi tiap pohon

Jumlah umbi kentang yang dihasilkan pada semua perlakuan budidaya yang tertuang

pada Gambar 4 sudah sesuai dengan standar produktiivitas kentang bibit berkualitas, standar

produktivitas kentang bibit adalah 8 – 15 umbi per pohon, selain itu bibit. Perlakuan

pemupukan menggunakan kompos kotoran sapi pada budidaya penutupan lahan menggunakan

mulsa plastic menghasilkan jumlah umbi yang lebih banyak dibandingkan ketiga perlakuan

lainnya. Jumlah umbi kentang yang dihasilkan ini juga mendekati hasil penelitian Supartha et

al. 2012 pada budidaya di musim basah. Kondisi ketersediaan unsur hara yang didukung oleh

sifat psikokimia tanah yang baik menyebabkan jumlah umbi kentang menjadi lebih banyak.

Sifat psikokimia tanah meliputi porositas, struktur tanah, kadar air, pH, dan ketersediaan unsur

hara.

7

9

11

13

15

0 10 20 30Jum

lah

um

bi

ke

nta

ng

pe

r p

oh

on

Dosis pemupukan dengan kompos, ton/ha

Kompos

Kotoran Sapi

dan Budidaya

Tanpa Mulsa

Plastik

Page 14: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Roadmap Penelitian

Gambar 5 Peta Jalan Penelitian

Untuk menghasilkan kentang konsumsi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi,

maka teknik budidaya mengikuti pola standar atau GAP dengan implementasi sistem LEISA

sangat dianjurkan. Oleh karena itu pada langkah selanjutnya peneliti merencanakan penelitian

dengan topik “Optimasi Sistem LEISA dan pengembanga Model Bioremediasi Secara In-Situ

Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.) Varietas Granola”.

2013-2014

Kajian Bioremidiasi

Residu Pestisida Se-

cara In-Situ Meng-

gunakan Proses

Pengomposan De-

ngan Beberapa Jenis

Kompos

2009

Publikasi

Ilmiah“Bioremidiasi

secara In-Situpada

lahan

tercemarpestisida

kelompok mankozeb

dengan mikroba dari

beberapa jenis

kompos” (Perhorti,

2010 – 2012

Penerapan Proses

Bioremidiasi Resi-du

Pestisida Secara In-

Situ Mengguna-kan

Proses Pengomposan

pada budidaya

kentang granola

Publikasi Ilmiah

(1) Optimalisasi

Proses Bioremi-diasi

Secara In-Situ Pada

lahan Tercemar

Kelom-pok

Mankozeb (Jurnal

Teknik Industri UM

Malang 2011)

(2) Bioremidiasi In-

Situ Lahan

Tercemar pestisida

oleh mikroba yang

ada pada kompos

(The excelence

Unud 2011)

-IbM Petani Bibit

Kentang Varietas

Granola-

-Pengembangan

Model Bioremediasi

In-situ menggunakan

mikroba dari kompos

untuk meningkatkan

produktivitas dan

daya saing

1) SOP dan GAP

dalam budidaya

hortikultura 2)

Publikasi Ilmiah:

(1) Publikasi di

Jurnal Karya UNUD

untuk anak bangsa

“Optimalisasi

Produktivitas

Kentang Bibit

Varietas Granola G3

Dengan Manipulasi

Dosis Pemupukan”

(2) Makalah Seminar

SENASTEK

2015 - 2017

Optimasi Sistem

LEISA dan

pengembanga

Model

Bioremediasi

Secara In-Situ

Pada Budidaya

Kentang

(Solanum

Tuberosum L.)

Varietas Granola

1.Buku GAP

Budidaya kentang

bibit varietas

granola

2.Publikasi ilmiah

3. HAKI

Luaran

Luaran

Luaran

Luaran

Pengembangan

good

agriculture

practices

(GAP)

Page 15: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

3.2 Metode Penelitian

3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015-2017. Tempat penelitian plot budidaya

kentang di lahan milik Bp Wayan Ada di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti Kabupaten

Tabanan, Propinsi Bali. Analisis tanah bertempat di Lab. Sumber Daya Alam PS. Teknik

Pertanian, pengamatan mikroba di Lab. Bioindustri PS. Teknologi Industri Pertanian

3.2.2. Bahan Penelitian

Bahan untuk penelitian di demoplot adalah : benih tanaman (kentang, brokoli, bawang

pre), kompos kotoran ayam terfermentasi 21 hari, dan pestisida. Zat kimia yang digunakan

untuk analisis C-organik, K2O, N-organik, P2O5 dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dari

sampah dan kompos adalah K2Cr2O7, Fe2SO4, H2SO4, CuSO4, Na2SO4, NaOH, HCl, NH4OH,

Na2SO5, BaCl2, alkohol 80%, aquades, dan NH4-asetat. Bahan untuk uji perkembangbiakan

bakteri dan kapang pada proses pengomposan adalah nutrient agar (NA), aquades, potato

dextrose agar (PDA). Bahan – bahan kimia untuk analis aktivitas mikroba adalah : NaCl faali,

Alkohol, Supernatan, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O, NaCl, CaCl2.2 H2O, FeSO4. 7H2O,

yeast extract, Bacto agar, Flourescent Diacetance Assay (FDA), larutan buffer fosfat, aseton,

Na2MoO4 dan NaWO2.

3.2.3 Alat-alat

Kolom gelas, pendingin balik, labu, “mantleheater”, corong pemisah, timbangan

analitik, inkubator, “autoclave”, oven, freezer, lemari pendingin,“laminarflow”, “shaker

waterbath”, pHmeter, magnetic stirrer, sentrifuge vortex, stopwatch, penangasair,

spektrofotometer, mikroskopelektron, sequencer, PCR, elektroforesis, “gas chromatography”:

GC-FID, GC-SCD/GC-FPD, GC-MS, HPLC, Instalasi biodesulfurisasi proses kontinyu,

fermentor dan alat-alat gelas.

3.3 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian secara keseluruhan digambarkan pada Gambar 6, sedangkan

Gambar 7 merupakan detail diagram alir penelitian tahun ke-1.

Page 16: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Optimalisasi sistem LEISA dengan manipulasi dosis pupuk kompos (10 – 25

ton/ha) dan budidaya di musim hujan serta kemarau

Pengamatan Konsentrasi Residu Pestisida

(Proses Bioremediasi Secara In-Situ)

Sistem LEISA yang optimum untuk

proses bioremediasi secara in-situ

Analisis Data

Uji Sistem LEISA dan proses bioremediasi secara

in-situ pada budidaya kentang

Penelitian

Tahun I

Pengamatan Mikroba

Yang Aktif Dalam

Proses Bioremediasi

Pengamatan Kuantitas dan

kulitas umbi kentang

konsumsi yang dihasilkan

GAP Budidaya Kentang Konsumsi Varietas

Ganola

Pengamatan keterse-

diaan N, P, K, C-or-ganik,

dan KTK di lahan

Gambar 6 Diagram alir penelitian keseluruhan

selesai

Penelitian

Tahun 2

Pengamatan Kualitas Kentang

mulai

Uji Sistem LEISA untuk efektifitas penggunaan sarana produksi pupuk

kimia dan obat-obatan, uji sitem dilakukan di lahan 10 petani kentang

Pengamatan keterse-diaan N, P,

K, C-or-ganik, dan KTK di lahan

Pengamatan Kuantitas dan kulitas umbi

kentang konsumsi yang dihasilkan

Efektifitas sistem LEISA pada budidaya kentang

konsumsi yang berpenjaminan mutu Penelitian

Tahun 3

Page 17: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

mulai

Mulai umur 30 hari, setiap seminggu tanaman disemprot dengan fungisida

jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45 dengan dosis sedang

Selesai

Gambar 7 Diagram alir penelitian tahun ke-1

Budidaya kentang granola kelompok G3 pada demoplot

ukuran 10 m x 10 m dengan perlakuan : dosis pengomposan (10, 15, 20 dan

25 ton/ha), jenis kompos (kotoran ayam, kotoran sapi), dan waktu budidaya

(musim hujan, dan kemarau)

Pengamatan produktifitas umbi

kentang persatuan luas, diambil 10

sampel dengan luas sampel 1m2

Analisis residu pestisida di tanah,

umbi kentang dan tanaman

Pengambilan sampel tanah,

tanaman dan umbi kentang

Analisa Keandalan Sistem LEISA untuk proses bioremediasi secara in situ dan

menghasilkan umbi kentang berkualitas

Sistem LEISA yang optimal untuk proses bioremediasi residu

insektisida dan fungisida secara in-situ

Inkubasi selama 3 hari Pengamatan pertumbuhan dan

kesehatan tanaman setiap 2 minggu

dengan sampel 20 tanaman per plot

Pengamatan perkembangan umbi

kentang setiap 2 minggu dengan

sampel 20 tanaman per plot

Pengamatan perkembangan umbi

kentang setiap 2 minggu dengan

sampel 20 tanaman per plot

1.Konsentrasi residu fungisida dan

insektisida di lahan, di tanaman dan di

umbi kentang.

2.Laju proses bioremediasi

Produktifitas dan kualitas

umbi kentang

Pengamatan kualitas

umbi kentang selama

penyimpanan 2 bulan

Page 18: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

3.4 Sistimatika Kegiatan

Gambar 8. Diagram sistimatika kegiatan

3.4 Rancangan percobaan

Penelitian tahun ke-1 dengan perlakuan : (1) dosis pemupukan dengan kompos yang

dikombinasikan dengan pemupukan dengan NPK majemuk dosis 250 ton/ha, (2) jenis kompos

yang digunakan dan (3) musim tanam. Dosis pemupukan dengan kompos digunakan empat

level, yaitu 15 ton/ha, 17.5 ton/ha, 20 ton/ha dan 22.5 ton/ha. B Jenis kompos yang digunakan

adalah kompos kotoran ayam dan kompos kotoran sapi dengan musim tanam musim kemarau

Optimasi Sistem

LEISA dan

pengembanga

Model

Bioremediasi

Secara In-Situ

Pada Budidaya

Kentang

(Solanum

Tuberosum L.)

Varietas Granola

Sumber Daya

Tahapan Penelitian

(2)uji keandalan proses bioremediasi

residu pestisida secara in-situ

(1) identifikasi

cemaran pestisida

(3)optimasidosis penggunaan

kompos yang efektif medukung

proses bioremediasi (4)pengembangan proses

bioremi-diasi in situ (5)optimalisasi produktivitas

dan kualitas kentang

(2)Analis tingkat cemaran residu

pestisida (Lani Triani, S.TP, M.Si

+ mhs PS. TIP)

(3)Analis kualitas

kentang (Dr. I

D.G. Mayun P. +

mahasiswa FTP)

(1)pengembangan proses

bioremi-diasi di lahan (Dr.

Yohanes Setiyo + mhs S2 PS.

Kimia)

Lahan Bpk Wayan Ada (Desa

Candikuning) dan alat

budidaya untuk budidaya

kentang

Bibit kentang, kompos,

pestisida, mulsa

plastik, pupuk NPK

Laboratorium Bioindustri

(Glassware, inkubator,

cawan petri, shaker, ruang

isolatasi, spektrofoto meter,

autoclub)

NA, PDA, aquadest,

KH2PO4,MgSO4.7H2O, NaCl,

Na2Mo O4, NaWO2. Bakto

peptone, dan yeast extract,

buffer fosfat, larutan FDA,

aseton

Sampel tanah dan

kompos

Laboratorium Kimia Analitik

(GC, Shaker, glassware)

Acetonitril,

Na2SO4 anhidrat

granuler,

petroleum eter,

heksan, metanol,

Laboratorium Teknik

Pascapanen (timbangan

analitik, chromameter, tektur

analiser, cold storage)

Sampel

kentang

Bahan-bahan Laboratorium dan peralatan

Mitra Bpk

Wayan Ada

Page 19: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

(Juni s/d Agustus) dan musim hujan (Oktober s/d Desember). Setiap unit percobaan diulang 3

kali, sehingga secara keseluruhan ada 51 unit percobaan.Setiap unit percobaan berukuran 5 m

x 10 m.

Tanaman kentang di plot-plot percobaan dipelihara pertumbuhannya dan disemprot

dengan insektisida dan fungisida. Fungisida jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane

M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan adalah Curacron dan Detacron.

Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur 14 minggu setiap seminggu tanaman

disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut.

3.4.1 Prosedur pengamatan parameter-parameter

1. Konsentrasi residu pestisida di lahan

Kadar residu di lahan, di tanaman dan di umbi kentang diukur Gas Chromatografi (GC)

dengan standart Mancozeb murni yang diperoleh dari PT. Tanindo Subur Prima. Pengambilan

sampel tanah, tanaman dan umbi kentang dilakukan setelah penyemprotan 3 hari. Pengambilan

sampel dilakukan dengan mengambil sampel secara diagonal dengan lima titik pengambilan.

Ekstraksi sampel dilakukan secara langsung, langkah ini dilakukan sesuai dengan sifat pestisida

yang tidak stabil dan mudah hilang pada sampel yang akan dihitung secara kuantitatif.

Pengujian dengan GC melalui tahapan: penyaringan, pemurnian dan injeksi ke dalam

kolom. Pada Proses penyaringan, sample tanah ditimbang sebanyak 250 gram dan ditambahkan

Acetonitril serta 5 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kemudian diblender dan disaring. Proses

selanjutnya adalah memasukkan sebanyak 93 ml filtrat dalam corong pisah yang berisi 100 ml

petroleum eter, dikocok selama 5 menit, dan membuang lapisan air yang terpisah pada bagian

bawah. Pada sisa larutan ditambahkan 200 ml Na2SO4 2 %, dikocok selama 2 menit, dan

membuang lagi sisa air yang terpisah. Pada corong biasa diberi glass wool dan Na2SO4 anhidrat

granuler pada lapisan atas dan kemidian zat dilewatkan pada corong untuk disaring, kemudian

selanjutnya adalah proses pemurnian.

Pada proses pemurnian glass wool ditempatkan pada bagian bawah kolom kromatografi

dan ditambahkan 1.6 gram fluoricyl serta 1.6 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kolom dicuci

dengan 50 ml heksan, kemudian dengan 50 ml metanol, dan membuang cairan pencuci. Elusi

dengan 11 ml heksan, ditampung masing-masing dalam labu erlemeyer dan diuapkan sampai

0.5 ml di atas water bath. Sampel yang telah diuapkan di atas water bath diambil sebanyak 10

mikroliter dengan menggunakan syringe, kemudian di injeksikan ke dalam kolom melalui

septum secara bersamaan dengan menekan tombol start. Diagram kromatogram yang terbentuk

dapat diamati di layar monitor, sedangkan perhitungan nilai kuantitatif residu yang terdapat

pada sampel menggunakan rumus :

µg/L (ppm) = ExFxG

AxBxCxD

(3.1)

Page 20: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Dimana :

A : Konsentrasi larutan standart pestisida (µg/ µl)

B : Tinggi puncak hasil pemurnian (mm)

C : Volume akhir hasil ekstraksi (µl)

D : Faktor pengenceran (bila ada)

E : Tinggi puncak larutan standart (mm)

F : Volume hasil pemurnian yang disuntikkan ( µl)

G : Volume atau berat dari contoh atau spesimen yang di ekstrak (ml atau gram).

2. Produktifitas Tanaman

Produktifitas tanaman diukur dengan cara mengamati total produksi tiap satuan luas

(1 m2) dan total umbi per pohon. Jumlah sampel untuk pengamatan total jumlah umbi adalah 20

batang untuk setiap plot, sedang pengamatan total produksi diambil 5 sampel untuk tiap plot.

3. Kualitas Produksi

Parameter kualitas produksi adalah (1) prosentase umbi yang busuk atau rusak selama

penyimpanan, dan (2) distribusi berat umbi berdasarkan berat per umbi (Kelas B (berat 30-60

g), A/B (berat 60 – 100 g), A (berat 100 – 200 g), dan super (berat lebih dari 200 g). Pengamtan

distribusi berat umbi berdasarkan kelas dilakukan dengan mengambil sampel 20 pohon dan

kemudian umbinya ditimbang. Sedangkan prosestase umbi kentang yang rusak atau busuk

dihitung berdasar umbi yang rusak.

4. Analisis Mikroba

Mikroba yang dianalisis adalah kelompok bakteri, karena pada penelitian sebelumnya

populasi kapang lebih kecil dari populasi bakteri.

a. Pengambilan sampel tanah

Pengambilan sampel tanah pada masing-masing demplot dilakukan pada 5 titik sampel

setelah 3 hari dari waktu penyemprotan pestisida, kedalaman pengambilan adalah 0 -10 cm.

Pengambilan sampel dengan soil range sample dengan posisi titik-titik pengambilan sampel

menyilang dan jarak antar titik 1 m.

b. Pengenceran

Setiap 1 g sampel ditambahkan dengan 9 ml NaCl faali (0.85 %) ke dalam tabung

reaksi. Larutan ini pengencerannya 10-1 dan pengenceran dilakukan sampai 10

-9. Setiap kali

melakuan pengenceran larutan dihomoginisasi menggunakan vortek.

c. Populasi Bakteri (TPC)

Setiap 0.1 ml larutan untuk pengenceran 10-4 sampai 10

-9 dituang ke media PCA

menggunakan ependorf dari stip steril. Selanjutnya larutan disebar dengan sprider yang telah

Page 21: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

dicelupkan pad alkhohol dan dipanaskan. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48

jam. Koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 30 – 300 koloni.

Pembuatan PCA dengan melarutkan 15 g agar, 1 g dextrosa, 5 tripton, 1.5 g yeast ke

dalam 1000 ml aquadest. Larutan tersebut dipanaskan sambil diaduk dengan magnetic stirer

sampai mendidih dan homogen. Selanjutnya larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121

oC selama 15 menit. Setelah agak dingin dituangkan ke dalam cawan petri steril ± 15 – 20 ml

dan didinginkan. Setelah padat cawan petri ditutup dalam posisi terbalik.

5. Kesuburan lahan

1) Penetapan karbon organik dengan metode AOAC 1995.

Sampel tanah diambil dari demplot pada kedalaman 0 – 10 cm dan sampel kemudian

dikeringkan sampai kadar air mendekati titik kesetimbangan (EMC). Prosedur penetapan C-

organik adalah :

Duplo 0.5 g media tanah kering udara yang lolos saringan 0.5 mm (gunakan sampel 1 g

jika kandungan karbon organik < 1 %), kemudian ditempatkan pada erlenmeyer 500 ml. Duplo

ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 sambil erlenmeyer digoyang perlahan, kemudian ditambahkan 20

ml H2SO4 pekat dengan gelas ukur di ruang asam sambil digoyang.

Campuran dibiarkan di ruang asam selama 30 menit supaya dingin, kemudian larutan

diencerkan dengan 100 ml air bebas ion/destilata dan ditambahkan tetes indikator ferroin 0.025

M. Larutan dititrasi dengan FeSO4 0.5 M sampai larutan tetap berwarna merah anggur. Blangko

ditetapkan seperti prosesur di atas, tetapi tidak menggunakan sampel.

(me K2Cr2O7 – me FeSO4) x 0.003 x f x 100

% C organik = _____________________________________ (3.2)

BKM

F = 1.33, me = N x V dengan N = normalitas, V = volume; BKM = bobot kering oven

sampel tanah

% bahan organik = % C organik x 1.724 (3.3)

2) Kadar Nitrogen organik

Sampel tanah kering diambil 500 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 25

ml. Sampel ditambah 1.9 g campuran Se, CuSO4 dan Na2SO4, kemudian sampel ditambahkan 5

ml H2SO4 pekat ke dalam labu, kemudian digoyang secara perlahan agar sampel basah, dan

dijaga agar sampel tidak memercik kedinding labu. Sampel yang sudah dimasukan labu

ditambah 5 tetes parafin cair, kemudian labu dipanasi di kamar asam dengn api kecil dan secara

Page 22: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

perlahan api diperbesar, sehingga diperoleh cairan berwarna hijau atau biru. Dipanaskan 15

menit lagi kemudian didinginkan.

Sampel ditambahkan air sebanyak 50 ml, goyangkan sebentar kemudian isi labu

dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi. Bahan cairan di labu destilasi tidak boleh

melebihi ½ dari isi labu. Kedalam labu destilasi ditambahkan 5 ml NaOH 50 %, dilakukan

destilasi, tampung hasil destilasi ke dalam erlenmeyer 125 ml yang telah diisi campuran 100 ml

H3BO4 4 % dan 5 tetes indikator Conway. Isi deatilat 100 ml.

Distilat dititrasi dengan HCl yang sudah dibakukan sampai terjadi perubahan warna

hijau menjadi merah. Lakukan penetapan blangko seperti prosedur di atas

Isi HCl (contoh – blangko) x N HCl x 14 x 100

Kadar N % = _________________________________________ (3.4)

Bobot Sampel (mg)

3) Kadar K2O dengan metode AOAC, 1995.

Hasil saringan pada cara kerja penetapan kapasitas tukar kation diambil 1 ml, dan dimasukan

pada tabung reaksi kemudian diencerkan menjadi 10 kali lipat (mungkin bisa lebih encer).

Sampel kemudian dimasukan kedalam tabung pengukur (terbuat dari plastik) dan diukur

dengan alat ukur foto nyala dengan filter K, namun bila larutan masih terlalu pekat pengenceran

kedua perlu dilakukan dengan air. Kadar K ditetapkan dari larutan baku, dan juga ditetapkan

blangko.

Larutan baku yang mempunyai konsentrasi 0, 0.05, 0.1, 0.2, 0.4 dan 0.5 me K/liter (sudah

tersedia) diukur dengan alat ukur fotonyala. Nilai kadar K dihitung dengan persamaan :

Kadar K (me/100 g) = kadar K dalam larutan (me/l) x fp x 2 x (100 + KA)/100 x 10-1 (3.4)

4). Penentuan Kadar P2O5

Larutan pengekstrak (P-A) yaitu : Larutan baku (HCL 0.25 N + HF 1.5 N) : 54 ml HF

48 % + 600 ml air. Larutan ditambahkan NH4OH sampai pH = 7.0. Larutan ditambahkan 108

ml HCl pekat dan diencerkan menjadi satu liter. Larutan untuk bekerja (larutan Bray 1 atau P-

A) : (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N) : larutan 20 ml larutan P-A menjadi satu liter atau : 1.11 g

NH4F + 4.16 ml HCl 6 N per liter.

Larutan pewarna (P-B). NH4-molibdat 3.8 g dilarutkan dalam 300 ml H2O pada suhu

60 oC kemudian didinginkan. Asam asorbat 5.0 gdilarutkan dalam 500 ml H2O dan

ditambahkan 75 ml HCl pekat, kemudian ditambahkan larutan molibdat dan diencerkan sampai

menjadi satu liter.

Page 23: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Larutan Pewarna (P-C) : Serbuk pereduksi baku ditumbuk dan dicampur dengan 2.5 g atau 1-

amino-2naftol-4sulfanat, 5.0 g Na2SO3 dan 146 g Na2SO5 di dalam lubang porselin Serbuk

pereduksi sejumlah 8 g dilarutkan di dalam 50 ml air panas dan dibiarkan 12 sampai 16 jam

sebelum dipakai dan . diganti setiap 3 minggu.

Metode Bray no 1. Sampel tanah sebanyak 1.5 g dimasukan kedalam labu ekstrasi

dan kemudian ditambahkan 15 ml larutan P-A, sampel dikocok 15 menit dengan mesin

pengocok kemudian disaring. Sampel tersebut dipipet sejumlah 5 ml dan kemudian dimasukan

kedalam tabung reaksi/kuvet, kemudian ditambahkan 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan

pereduksi P-C, setelah 15 menit dikocok kemudian dibaca kerapatan optik dengan

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 mµ.

Penetapan K menggunakan alat ukur fotonyala dengan cara memipet sejumlah hasil

penyaringan sampel. Satu seri larutan baku dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P.

Larutan ini dibuat dari larutan baku yang larutan Bray no 1 di dalam labu takar 50 ml. Diambil

5ml larutan baku dan dimasukan ketabung reaksi, kemudian ditambahkan 5 ml P-B dan 5 tetes

P-C dan seterusnya sampai sesuai dengan metode yang diuraikan untuk penetapan contoh.

Dibuat kurva baku dengan ppm P sebagai sumbu X dan % T atau A sebagai sumbu Y.

P sampel (ppm) = P dalam larutan (ppm) x10 x (100 +KA)/100 (3.5)

5) Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Sampel tanah kering ukuran 2 mm Ditimbang 5 g dan dimasukkan ke dalam tabung

sentrifuse 100 ml. Sampel ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc pH 7.0 dan kemudian diaduk

sampai merata, kemudian dibiarkan selama 24 jam. Sampel diaduk kembali kemudian

disentrifuse selama 10 – 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrat ditampung di dalam

labu takar.penambahan NH4OAc pH 7.0 diulangi sampai 4 kali lagi. Setiap penambahan

diaduk sampai merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi kedalam labu ukur 100 ml

sampai tanda tera. Ekstrak ini digunakan di dalam penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat

dipertukarkan serta untuk penetapan kejenuhan basa.

Pencucian NH4+ ditambahkan 20 ml alkhohol 80 % ke dalam tabung sentrifuse yang

berisi endapan sampel, diaduk sampai merata, disentrifuse, didekantasi dan filtratnya dibuang.

Pencucian NH4 dengan alkohol ini dilakukan sampai sekitar 7 kali sampai bebas NH4. Hal ini

diketahui dengan cara menambahkan beberapa tetes pereaksi Nester pada filtrat tersebut.

Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4+.

Sampel yang bebas dari ion NH4+ dipindahkan secara kuantitatif dari tabung

sentrifuse ke dalam labu didih. Kemudian ditambahkan air 450 ml, ditambahkan beberapa butir

batu didih, 5 – 6 tetes parafin cair dan 20 ml NaOH 50 % kemudian didestilasi. Destilat

Page 24: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang sudah berisi 25ml H2SO4 0.1 N dan 5 – 6 tetes

indikator Conway. Destilasi dihentikan jika destilat mencapai 150 ml. Kelebihan asam dititrasi

dengan NaOH 0.1 N, titik akhir titrasi dicapai jika warna berubah menjadi hijau. Distilasi

blangko

KTK (me/100 g) = ovenhsetelahdiBeratconto

xNNaOHmlsampelmlblangko )( −

(3.6)

Page 25: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

BAB IV. RESULT AND DISCUSSION

4.1 Field Condition For Experiment

Field for experiment implementation LEISA system were classificated with three group,

that were (1) field for cultivation organic potato at Mr. Runca, (2) new field for potato

cultivation at Mr. Ngurah and (3) field used for potato planting more than three years at Mr.

Mesir and Mr. Suwendra field’s. Before potato planting phisycal and chemical soil

characteristic described by (1) pH 6.2 – 6.8, (2) organic material content 3.2 – 5.2 %, (3) soil

porosity 31 – 42 %, moisture content at field capacity was 30 – 43 % w.b.

Mr. Suwendra and Mr. Mesir field’s were better than MR. Runca and Mr. Ngurah

field’s, because this field used fertilizes compost more than three years very intensively,

compost from chicken manure with dose 15 – 25 ton/ha was used every horticulture planting.

In the other, field at Candikuning village was content non pathogen microbe with population

5.58 x 105 to 7.2 x 10

7, this microbe population was better than population microbe at Mr.

Runca field and at Mr. Ngurah field. Non pathogen microbe caused decomposition compost

become to simple mineral so esay absorbed by root potato plants.

Implementation LEISA system by potato farmer at Baturiti caused (1) improve soil

phisyc characteristic, (2) increasing non pathogen microbe and soil fertility, (3) stabilization

soil pH. LEISA system at potato cultivation could decreased using chemical fertilizer and

pestiside on potato planting.

5.2 Potato Plant Growing at LEISA System

Potato tuber granola variety class G3 used at experiment cultivation by implementation

LEISA system was very good criterion, potato tuber from breeder farmer in Malang Regency

was sertificate by government. Potato tuber had (1) number potato tuber rusak/busuk less than

2 %, (2) apical height was 0.5 – 1 cm, (3) weight of tuber 30 – 60 g and (4) perkembangan

tunas apical menjadi tanaman yang gagal kurang dari 3 %. Average weight of tumber was 43,7

± 2,12 g, average number of apical was 2 ± 1 with height 0,5 ± 0,3 cm.

Number potato plant dead from 20 sample at three week was 1 plant and at twelve week

become to 2 ± 1 plant. At LEISA system dose of compost fertilizer could decrease number

plant dead because desease, but number plant with low growing was 1 – 3 planting every 20

sample plant and at 6 week this plant would same height with other plant. Micro and macro

nutrient at compost would supported potato plant growing early at 4 week after planting.

Relationship between old of plant and height of potato plant described at Figure 9.

Page 26: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Figure 9 Relationship between old of plant and height of potato plant

At 10 week potato plant with height

1,2 mm, this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to

growing, but at week 9 rapidly of growing was decreasing because generative phase would

early and potato tuber was incrase. Increasing

Figure 10 Relationship between compost dose with increasing tuber

Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight

of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).

Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting

number tuber was 9 ± 2 and weight

5.3 Soil Physical Properties

5.3.1 Soil Structure

Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone

amorphous colloidal materials

are known as andisols. Andoso

fraction and 10 – 20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because

0

10

20

30

40

50

0T

ing

gi

Ta

na

ma

n

Ke

nta

ng

, cm

0

200

400

600

800

1000

1200

15

Pro

du

ksi

pe

r

po

ho

n, g

/po

ho

n

Relationship between old of plant and height of potato plant

At 10 week potato plant with height was 44,69 ± 0,05 cm and plant diameter was

this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to

rapidly of growing was decreasing because generative phase would

early and potato tuber was incrase. Increasing potato tuber at LEISA system saw at Figure 10.

Relationship between compost dose with increasing tuber

Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight

of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).

Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting

number tuber was 9 ± 2 and weight each tuber was more than 100 g.

Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone

materials or did not structure. In the USDA soil taxonomy

Andosol soil consist of 50 – 70 % sand fraction, 30

20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because

5 10 15

Minggu Ke

Dosis Kompos 15

ton/ha

Dosis Kompos 17.5

ton/ha

Dosis Kompos 20

ton/ha

Dosis Kompos 22.5

ton/ha

17.5 20 22.5 25

Dosis Kompos ton/ha

Minggu Ke 7

Minggu Ke 9

Minggu Ke 11

Minggu Ke 13

Relationship between old of plant and height of potato plant

and plant diameter was 5,5 ±

this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to 8) was linier

rapidly of growing was decreasing because generative phase would

potato tuber at LEISA system saw at Figure 10.

Relationship between compost dose with increasing tuber

Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight

of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).

Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting, because

Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone

USDA soil taxonomy, andosols

70 % sand fraction, 30 – 50 % dust

20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because

Dosis Kompos 17.5

Dosis Kompos 22.5

Minggu Ke 7

Minggu Ke 9

Minggu Ke 11

Minggu Ke 13

Page 27: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

compost produced mineral-mineral such as Fe, Cu, Mg, Al, Ca, and Mn by decomposition

process (Setiyo et al., 2009).

Chiken and cow manure compost fertilized on potatoes cultivation with dose 15 – 25

ton/ha could increased content of organic material in the soil. At 2009th total organic material

on Candikuning field was 3.6 % and at 2014th it was increased become to 6.2 % (Setiyo et al.,

2014). Macro nutrition mineral such as C-organic, N-organic , P2O and K2O on potatoes

cultivation was not all absorbed by potatoes root, so that after harvested some of macro mineral

increased number of organic materials (Arsa et al., 2013).

5.2.2 Soil porosity

Porosity of the soil from the application of LEISA systems on potato cultivation was

presented at Figure 1 and Figure 3. Compost with doses 15 to 25 tonnes / ha were used in

LEISA systems could improved soil porosity become more than 50%, these results was closed

to the research results by Hicliklenton et al., 2001; Arsa et al., 2013; and Setiyo et al., 2009.

Fertilization using compost dose of 25 tonnes / ha was the best treatment in an attempt to

improve the soil porosity, chicken manure compost altered the soil porosity from 41.52 ± 0.4 %

become 46.98 ± 2.1 % and cow manure compost was change the soil porosity from 60.06 ±

2.06 % become 62.83 ± 2:08 %.

The relationship between the dose of compost to the soil porosity amount presented by

the equation y = 0.953x + 38.95 with r = 0.99 (fertilizing used chicken manure compost) and y

= 1.110x + 18:56 with r = 0.97 (fertilizing used cow manure compost). Fertilizing with compost

research on the cultivation of some types of horticulture was resulted the maximum dose of

fertilizer was 40% of the volume of soil (Setiyo et al 2009).

Compost of chicken manure composed of components: bran, leftover feed and faeces.

The Chemical elements of the chaff was 50% cellulose, 25 -30% lignin, and 15 to 20% silica

(Ismail and Waliuddin, 1996), whereas the components of cow dung compost was cellulose 15-

l6%, l0-30% hemicellulose, lignin 5-3%, 5-40% protein, mineral matter (ash) 3-5% (Sutanto,

2002). Hemicellulose, lignin and silica decomposed more difficult than the other components, .

so that this element would increased the number of macro pores at the soil, especially at the

root zone.

y = 0.953x + 38.95

R² = 0.995y = 1.110x + 18.56

R² = 0.947

30

35

40

45

50

55

60

65

12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5

To

tal P

ore

At

So

il,

%

Chicken Manure

Compost

cow manure

Compost

Linear (Chicken

Manure Compost)

Linear (cow manure

Compost)

Page 28: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Figure 11 Soil porosity at Candikuning was fertilized by chiken and cow manure

compost

Figure 12 Relation between dose fertilizing with soil porosity

Table 2 Number micro and macro pore on soil before planting and after potatoes

harvesting

Parameter Dose of Compost From Chicken

Manure, ton/ha

Dose of Compost From Cow

Manure ,ton/ha

15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25

Number macro pore before

potatoes planting, % 13.5 15.4 15.8 17.1 18.4 3.2 3.4 4.1 4.4 6.8

Number macro pore after

potatoes harvesting, % 13.0 14.2 15.1 16.3 17.4 2.5 3.1 3.6 4.1 4.6

Number micro pore before

potatoes planting, % 39.6 40.3 42.6 42.9 44.4 31.3 35.7 37.1 37.7 40.2

Number micro pore after

potatoes harvesting, % 37.0 37.7 40.3 41.2 41.8 30.9 34.2 37.0 37.4 39.8

Decomposition of compost into simple minerals was decreased the amount of macro

and micro pores at the soil. Number micro porosity on LEISA system application research was

70.7 ± 2.1 % to 74.5 ± 1.2 % (fertilizing used cow manure compost) and 85.5 ± 1.1 % to 91.3.5

± 1.4 % (fertilizing used chicken manure compost). On good soil micro-porosity was 60% of

the entire porosity, so soil at Baturiti field classified at good soil. After potatoes harvesting,

number micro pore on the soil improved 0.02 ± 0.01 % to 4.1 ± 0.5 %.

5.3.3 Water holding capacity at root zone

Field capacity and permanent wilting point moisture content, and water holding capasity

resulted from this research expressed on Table 3. Increasing pore micro on the soil at root zone

caused field capacity moisture content increased too, field capacity moisture content for potato

cultivation fertilized with compost dose of 15-25 tonnes / ha varies from 30.5 ± 1.2 % w.b to

40.9 ± 1.8 % w.b. Moisture content at permanent wilting point was at 8.2 ± 3.4 to– 9.7 ± 2.9 %

w.b. Micro pore at potatoes root zone absorbed capillary and hygroscopic water, but macro

10

20

30

40

50

60

70

10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 32.5

So

il P

oro

sity

, %

Dose fertilizing with compost, tonnes/ha

PORI MACRO, %

PORI MICRO, %

TOTAL PORI, %

Page 29: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

pore did not absorbed it. The field capacity moisture content at root zone witch fertilizing by

chicken manure compost greater than root zone fertilizing by cow manure compost (Sutedjo,

2002; Setiyo, et al., 2009; Arsa, et al., 2013; Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014; Rosen et

al., 1993 and Giusquiani et al., 1995; Setiyo et al., 2015).

Table 3. Moisture content at field capacity, permanent wilting point, and water availability for

plant (Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014 and Setiyo et al. 2015)

Parameter of soil moisture

content

Dose of Compost From Chicken

Manure, ton/ha

Dose of Compost From Cow

Manure ,ton/ha

15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25

Field Capasity Moisture Content,

% w.b 31.8 32.0 35.4 37.7 40.9 30.5 33.5 35.3 36.9 38.0

Permanent wilting point

moisture content, % w.b 8.2 8.5 8.2 9.7 9.0 8.2 8.5 8.3 8.4 8.4

Water holding capasity, % w.b 23.7 23.6 27.2 28.0 31.9 22.3 25.0 27.0 28.5 29.6

Moisture content at one month

after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3

Moisture content at two month

after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3

Moisture content at three

month after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3

Relation between dose of compost fertilizing with water holding capacity was wrote by

equation y = 0.832x + 10.24 with r = 0.95 and y = 0.724x + 12, with r = 0.98. The increase in

water-holding capacity of the soil was 0.7 - 0.8% w.b if the dose compost was increased by one

tonne / ha (Sutedjo, 2002; Setiyo, et al., 2009; Arsa, et al., 2013; Setiyo et al., 2013; Setiyo et

al., 2014; Rosen et al., 1993 and Giusquiani et al., 1995). Potatoes plants irrigated with 200 cc

water every two week on dry climate cultivation. If evapotranspiration rate of potatoes plant

was 0.5 to 0.6 cm/day, the moisture content of the soil was between permanent wilting point

and field capacity.

Figure 12 Relation soil water holding capacity with dose of compost fertilizer

5.4 Soil Chemical Properties

y = 0.832x + 10.24

R² = 0.912

y = 0.724x + 12

R² = 0.970

20

22

24

26

28

30

32

34

12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5

Wa

ter

Ho

ldin

g C

ap

asi

ty A

t

Po

tato

es

Th

e R

oo

t Z

on

e,

%

w.b

Dose Of Compost Fertilizer, ton/ha

Chicken manure

compost

Cow Manure Compost

Linear (Chicken manure

compost)

Linear (Chicken manure

compost)

Page 30: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Soil fertility parameters on the cultivation of potatoes was shown in Table 2, number

micro and macro nutrients at the soil was influenced compost doses used as fertilizer. Results

of the study for all treatments showed the amount of soil organic matter content more than 5%

with the cation exchange capacity 23.95 ± 0.7 to 29.0 ± 1.1 me / 100g at pH 6.7 to 6.92.

Increasing dose compost used as fertilizer resulted increasing content of organic material at soil

exspecialy root zone, dose compost 15 to 25 ton/ha and NPK 250 kg/ha could increased total

organic material at soil become to 5.3 – 8.2 %. Compost from cow manure better than compost

from chicken manure quality, because this compost at each level dose could repaired soil

fertility and cat ion exchange faster than the other compost at same dose. According

Musnamar (2002), the minimum limit of organic materials eligible for farm land was 5%.

Table 4. Content C-organic, N-organic, P2O5 , K2O, Ca, Mg, Fe, Al and Cation exchange

capasity for potatoes cultivation fertilized by chicken and cow manure compost

(Setiyo, et al., 2013 and Setiyo et al., 2014)

Parametrs soil

fertility at potatoes

root zone

Compost of chicken manure

fertilized dose, ton/ha

Compost of cow manure fertilized dose,

ton/ha

15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25

Content of C-

organic, % 4.62 4.62 4.83 4.87 4.91 4.2 4.2 4.37 4.23 5.02

Content of N-

organic, % 0.4 0.43 0.45 0.45 0.46 0.36 0.36 0.36 0.4 0.4

Content of P2O5, ppm 786 786 774 792 814.4 840.4 840.4 729.4 802 841.6

Content of K2O, ppm 500 500 656 666 601.2 429.2 429.2 473.3 477 455.5

Content of Ca mg/kg 1562 1782 1854 1888 4660 630 1060 1188 1286 1435 Content of Mg,

mg/kg 168 204 208 286 1164 82 123.2 168.2 204 286

Content of Fe, mg/kg 61.5 120 188 1204 1892 1204 1204 1892 2121 2569

Content of Al, mg/kg 308 5387 5387 12946 17526 12946 14340 17526 19618 22306

Soil pH 6.73 6.79 6.81 6.91 6.87 6.7 6.72 6.83 6.9 6.92

Cation Exchange

Capasity, me/100g 25.3 24.4 23.8 26.19 27.1 23.95 24.89 25.17 27.2 29

Acid humid at compost at neutral pH accelerated decomposition process carbohidrat,

celullosa, hemicelollosa, lignin, protein and other become to simple mineral (Sutanto, 2002),

demineralization of compost produced unsure CO2, H2O, Energy, Mg2+, K

+, Al

+, Fe

+2, and

Ca2+. This cations bounded with acid along demineralization process (Setiyo et al, 2007). At

neutral pH micro and macro nutrients are easily absorbed by the roots of potato plants.

5.5 Field Productivity

The relationship between the long implementation LEISA systems, the dose of fertilizer

with compost and potato productivity was presented in Table 5. Increasing dose of compost

fertilizer followed by an increasing production every plant and every unit area, the highest

production achieved at dose of fertilizer was 25 tons / ha with 3 years implementation LEISA

systems and this production reached 34 ± 1.3 tons / ha or 1303 ± 105 g / tree. Each potato

Page 31: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

plants produce 11 ± 2 pieces tuber. Soil fertility, soil physical properties and the microclimate

on potatoes cultivation by implementation LEISA system were optimum, potatoes production

was optimal at fertilizing with dose more than 20 ton/ha and implementation LEISA system

more than 3 years.

Figure 13 Relation between dose fertilizer with potatoes production

If fertilizing dose increased so area production would increased too, equation

relationship dose of fertilizer with production wrotte y = 0.584x + 19.14 with r = 0,94 (Three

Years LEISA System Implementation) and y = 0.244x + 14.54 with r = 0,79 (New LEISA

System Implementation). LEISA system LEISA applicated for 3 years on the cultivation of

potatoes was enough to improve physical properties and soil fertility, especially at the rooting

zone (Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014). Implementation LEISA system by Candikuning

farmers increased production from 17 ton/ha for 2010th (Supartha et al., 2012) become to : (1)

22 ± 1.6 ton/ha at 2011th (Setiyo et al., 2012) , (2) 25 ± 2.1 ton/ha at 2012

th (Arsa et al., 2013)

(3) 29.2 ± 2.6 ton/ha at 2014 (Setiyo et al., 2014), and (4) 34 ± 1.3 tons / ha at 2015. Famers

used seed potatoes granola variety class G3 – G5, this seed certificated by government and it

cultivated on dry climate.

Tabel 3 Potatoes production at field that implementation LEISA System

Productivity of potatoes at new

field that fertilizing with compost

Productivity of potatoes at field that

fertilizing with compost along 3 years

15 17,5 20 22,5 25 15 17,5 20 22,5 25

Total production

each plant, g 531 742 757 757

531 1088 1100 1125 1225 1303

Total production,

ton/ha 14.0 19.6 20.0 20.0

14.0 28.7 29.0 29.7 32.3 34.3

Number potatoes

each plant 9.4 10.9 8.60 8.60

9.4 10.8 14.3 11.1 12.2 15.9

Table 4 Potatoes quality at new field that fertilizing with compost and at field that fertilizing with

compost along 3 years

y = 0.244x + 14.54

R² = 0.663

y = 0.584x + 19.14

R² = 0.897

12.50

15.00

17.50

20.00

22.50

25.00

27.50

30.00

32.50

35.00

10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5

Pro

du

ctio

n,

ton

/ha

Dose fertilizer, ton/ha

New LEISA System

Implementation

Three Years LEISA

System Imlementation

Linear (New LEISA

System

Implementation)

Linear (Three Years

LEISA System

Imlementation)

Page 32: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Potatoes Class

Number of potatoes at new field

that fertilizing with compost

Number of potatoes at field that

fertilizing with compost along 3

years

15 17,5 20 22,5 25 15 17,5 20 22,5 25

Super (Weight > 200 g), % 3.1 11.4 9.1 0.0 3.8 11.0 12.5 17.0 19.8 22.2

A (Weight 100 – 200 g), % 45.7 49.2 56.8 48.2 29.4 64.7 55.6 44.2 53.3 47.6

A/B (Weight 61 – 100 g), % 32.7 25.4 19.1 25.4 31.9 20.5 21.3 27.6 18.1 15.5

B (Weight 30 – 60 g), % 15.3 10.2 10.7 21.6 25.3 4.5 7.9 8.6 6.8 9.3

Small Class (Weight < 30 g), % 3.2 3.8 4.3 4.9 13.4 2.2 2.8 2.7 2.0 5.4

Repairing potatoes production on cultivation by LEISA followed with repairing

potatoes quality. Number potatoes production based on class quality described with Table 4.

Potatoes super class with weight more than 200 g/potatoes increased from 0 ± 0 % (2011th,

Setiyo et al., 2012) become to 50.1 ± 2.1 % (2014

th, Setiyo et al., 2014). Content organic

mineral more than 6 % at the root zone soil for potatoes cultivation with cat ion change

capacity 21.90 to 29.00 me/100 g at neutral pH was an optimum condition for potatoes plant

absorb nutrient. Nutrients processed on leaf become to carbohydrate and save as potatoes seed

by photosynthesis process.

Number potatoes damage becaused by plant disease decreased from 7.3 ± 1.1 %

(2011th, Setiyo et al.

, 2012) become to 3.1 ± 0.8 % (2014

th, Setiyo et al., 2014). Fertilizing at

potatoes cultivation by compost improved in-situ bioremediation process pesticide residual and

decreased potatoes plant disease (Setiyo et al., 2011).

Page 33: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Sistim LEISA mampu memperbaiki sifat fisik dan sifat biologi tanah serta kesuburan

lahan budidaya kentang varietas granola G3. Dosis pemupukan dengan kompos kotoran ayam

maupun kotoran sapi yang baik adalah 20 – 25 ton/ha.

6.2 Saran

Kajian lebih mendalam dampak sistim LEISA pada kulaitas umbi kentang untuk bibit

yang paling tepat.

Page 34: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I W. S. 2009. Konservasi Sumber Daya Alam Guna Menunjang Revitalisasi

Pertanian Bali. Seminar Nasional “Revitalisasi Sektor Pertanian di Bali”, Universitas

Udayana 18 September 2009. Denpasar.

Armes, N.J., D.R. Jadhav, dan P.A. Lonergan. 1995. Insecticide resistance in Helicoverpa

(Hubner): status and prospects for its management in India. p. 522- 533. In Constable,

G.A. dan N.W. Forrester (Eds.) Challenging the future: Proceedings of the World Cotton

Conference I, Brisbane, Australia, February 14- 17 1994. CSIRO, Melbourne.

Arsa, W. 2013. Kajian relevansi Sifat Psikokimia Tanah Pada Kualitas dan Produktifitas

Kentang. Skripsi FTP Universitas Udayana. Badung-Bali.

Indrayani, N. 2006. Bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara

pengomposan. [Thesis}. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Katsivela, E, E.R.B. Moore, D. Maroukli, C. Stro¨ mpl, D. Pieper & N. Kalogerakis. 2005.

Bacterial community dynamics during in-situ bioremediation of petroleum waste

sludge in landfarming sites.Journal Biodegradation Vol 16: pp 169–180.

Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol.

2(1). IPB, Bogor, hal 71-72.

Setiyo, Y., Hadi K.P, Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S, 2007. Pengembangan Model Simulasi

Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol

30 (1) Januari 2007. Bogor.

Setiyo, Y. 2009. Aplikasi Kompos Dari Sampah Kota Sebagai Pupuk Organik Untuk

Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jahe Merah. Disajikan di Seminar Nasional

Basic Science VI Tanggal 21 Februari 2009 di Universitas Barawijaya, Malang.

Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2010. Bioremediasi In-Situ Pada Lahan

Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb Dengan Mikroba Dari Beberapa Jenis

Kompos (Seminar Nasional Perhorti, Universitas Udayana)

Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2011.Optimasi Proses Bioremediasi Secara

in-Situ Pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb. Jurnal

Teknologi Industri Universitas Muhamadiyah Malang, ISSN 1978-1431. Vol 12 No :

1 pg : 53-58, Februari 2011.

Setiyo, Y., I BW Gunam, Sumiyati, dan Manuntun Manurung. 2013. Optimalisasi Produktivitas

Kentang Bibit Varietas Granola G3 Dengan Manipulasi Dosis Pemupukan. KARYA

UNUD UNTUK ANAK BANGSA 2013 ISBN : 578-602-7774-76-0. Universitas

Udayana

Setiyo et al., 2014. Kajian Populasi Mikroba Pada Proses Bioremediasi Secara In-Situ Di

Lahan Budidaya Kentang. Prosiding SENASTEK ……..

Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 15-33.

Page 35: LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA · LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi Secara In-Situ Pada Budidaya

Sudyastuti, T dan Setyawan, N. 2007. Sifat thermal tanah pasiran pantai dengan pemberian

bahan pengkondisi tanah dan biomikro pada budidaya tanaman cabai (capsicum

annuum). Prosiding seminar nasional teknik pertanian – yogyakarta 2007

Supartha U., Y. Setiyo, I Ketut Budi Sususra, IB Gunadnya, Ida Ayu Astarini. 2012.

Pengembangan Usaha Pertanian HortikulturaDataran Tinggi Untuk Mendukung

Daya Saing Produk di Era pasar Global Melalui Kemitraan Perguruan Tinggi,

Pengusaha dan Pemerintah Daerah. Laporan Hi-Link 2010-2012, Universitas

Udayana. Denpasar

Suwanto, A., 2002. Mikroorganisme Untuk Biokontrol : Strategi Penelitian dan Penerapannya

Dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 40-46.

Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992. Dampak negatif insektisida terhadap

musuh alami pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama

Terpadu. Kerjasama Program Nasional PHT, BAPPENAS dengan Faperta-IPB. 29 p.

Vidali, M.2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 7, pp. 1163–1172