Laporan Kasus Spondilitis TB.docx

52
LAPORAN KASUS TB PARU DAN TB EKSTRAPARU Oleh Okta Rosaria Dolu 1008012043 Pembimbing : dr. Kamilus Karangora, Sp.PD SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES 1

Transcript of Laporan Kasus Spondilitis TB.docx

LAPORAN KASUS

TB PARU DAN TB EKSTRAPARU

Oleh

Okta Rosaria Dolu

1008012043

Pembimbing : dr. Kamilus Karangora, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNESFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS NUSA CENDANAKUPANG2014

BAB IPENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).1 Pada tahun 2005, World Health Organizatio (WHO) memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi ciency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodefi ciency virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah Spondilitis TB.2 Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara dengan populasi penderita TB terbanyak. Setidaknya hingga 20 persen penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu. TB ekstraparu dapat berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan kurang lebih setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang belakang.2 Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.3 Prevalensi nasional Tuberkulosis paru tahun 2007 adalah 0,99%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Tuberkulosis paru di atas prevalensi nasional dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menduduki peringkat ke-2 dengan prevalensi 2,05% setelah papua barat dengan prevalensi 2,55% sebagai propinsi dengan prevalensi TB tertinggi di Indonesia. Prevalensi TB cenderung meningkat sesuai bertambahnya umur, dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi TB paru 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan dan empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendidikan tinggi.4 Di Provinsi NTT tahun 2007, TB terdeteksi dengan prevalensi 18 per 1000 tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota. Prevalensi kasus TB di kota kupang tahun 2007 adalah 0,2%.5 Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.6 Oleh karena itu laporan ini, membahas tentang TB paru dan TB ekstraparu.

BAB IILAPORAN KASUS2.1IDENTITAS PASIENNama: Tn. JNJenis Kelamin: Laki - LakiUmur: 34 TahunAlamat: Sikumana, Maulafa-Kupang KodyaAgama: Kristen ProtestanPendidikan: Sekolah DasarPekerjaan : SwastaStatus : Belum MenikahMRS: 07 Mei 2013Dikasuskan: 09 Mei 2013Dirawat Menggunakan: JAMKESMAS

2.2ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis : Pasien dan Ibu pasien )

KELUHAN UTAMA: kelemahan pada kaki kiri 1 bulan SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien mengeluh kelemahan pada kaki kiri 1 bulan SMRS, yang kejadiannya mendadak pada saat berbaring. sebelumnya pasien merasakan ada benjolan pada tulang belakang yang dialaminya pada bulan Maret 2013, benjolan tersebut menetap dan tidak berubah pada posisi tidur maupun beraktivitas, benjolan yang dirasakan pasien keras dan nyeri , namun nyeri tersebut lama-kelamaan mulai menghilang pada bulan desember 2013. Pada bulan Januari 2014 pasien mulai merasakan nyeri didaerah perut kiri, dan pada bulan April 2014 nyeri yang dirasakan menjalar dari perut kiri sampai pada paha kiri. Nyeri yang dirasakan seperti tertusuk, nyeri lebih berat dengan aktivitas dan lebih ringan pada saat istirahat.Berat badan dirasakan mulai menurun perlahan-lahan sejak bulan Maret 2013. 2 minggu SMRS, pasien merasakan perubahan warna kulit yang ditandai dengan timbulnya bercak-bercak warna putih pada kedua tangan dan dada. Demam hilang timbul 1 bulan SMRS, disertai keringat banyak pada malam harinya. Mual (-), muntah (-), makan dan minum baik, BAK dan BAB lancar.

Demam yang hilang timbul 1 bulan SMRS disertai keringat banyak pada malam hari. 2 minggu SMRS tampak bercak putih pada kulitStatus present : MRS dengan Kelemahan kaki kiri disertai nyeri

Status present tanggal 09 Mei 2014 : kelemahan kaki kiri disertai nyeriTabel 2.1 Kronologis Perjalanan Penyakit

Bulan Maret 2013 : benjolan pada tulang belakang disertai nyeri dan penurunan BB

Bulan Desember 2013 : nyeri pada tulang belakang mulai menhilang

Bulan Juni 2013 : penurunan BB yang nyataMRS tanggal 07 Mei 2014 dengan kelemahan pada kaki kiriBulan Januari 2014 : nyeri pada perut kiri dan pada bulan April 2014 : nyeri menjalar sampai paha kiri

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :Riwayat darah tinggi (-), riwayat Gula (Diabetes) (-), maag (-), TBC (-).

RIWAYAT KEBIASAAN :Merokok (-), Alkoholik (-).

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA : tidak ada anggota keluarga yang menderita TBC

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI : Pekerjaan pasien adalah sopir truck, perawatan dengan JAMKESMAS/BPJS : lunas.

RIWAYAT PENGOBATAN SEBELUM DIKASUSKAN : IVFD RL 20 tpmParacetamol 3x500 mgKTC 3% 1 ampIV2.3PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal : 09 Mei 2013)Keadaan Umum: Pasien tampak sakit sedang Kesadaran: Compos Mentis (E4V5M6)Tanda Vital: TD : 120/80 mmHg N : 100x/menit, reguler. RR: 20x/menit. S: 36,6oC (aksiller)Habitus: AstenikusKulit: tampak hipopigmentesi pada daerah ekstremitas atas dan thoraks,rasa normal, hipestesi (-), anestesi (-)Kepala: Bentuk normal, rambut tidak mudah dicabut, warna : hitam Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)Telinga: Deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)Hidung: Deviasi septum (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)Mulut: Sianosis (-), bibir kering (-), perdarahan gusi (-), plak putih (-),trismus (-)Leher: tidak ada pembesaran KGB (-), struma (-), JVP R-2 cm H2OThoraksBentuk: Nomal, pelebaran vena (-), luka ataupun scar (-).Pulmo Anterior Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-), pelebaran sela iga (-) Palpasi: Vocal Fremitus D=S normal, Nyeri tekan (-) Perkusi: Sonor (+/+) Auskultasi: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-)

Pulmo Posterior Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, pelebaran sela iga (-) Palpasi: Vocal Fremitus D=S normal, nyeri tekan (-) Perkusi: Sonor +/+ Auskultasi: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-)Cor Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat Palpasi: Iktus cordis tidak teraba pada ICS 5 midklavikula sinistra Perkusi: Batas atas : ICS 2 linea Parasternal sinistra Batas bawah: ICS 5 linea midklavikula sinistra Batas kanan : ICS 2-4 linea Parasternal dextra Batas kiri : ICS 3-ICS 5 linea midklavikula sinistra Auskultasi: S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)Abdomen Inspeksi: Perut datar, pelebaran vena (-) Auskultasi: Bising Usus (+) (8x/ menit) Palpasi: kesan datar, NT (-) Liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran lien: tidak ada pembesaran Ballotement: (-/-) Perkusi: Timpani pada seluruh lapangan abdomenPunggung Inspeksi: Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm. Palpasi: Nyeri tekan (-)

EkstremitasSuperiorInferior

Edema-/--/-

Sianosis-/--/-

AkralHangatHangat

Motorik5/54/1nyeri S

TonusNN

Refleks fisiologisBPRTPRKPRAPR+2/+2+2/+2

+2/+1+2/+2

Refleks patologisHoffman tromnerBabinskiChaddockOppenheimGordonSchaeferStranskyGondaBingRossolimoMendel bechterew(-/-)

(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)(-/-)

Sistem Autonom : NormalSistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah

2.4PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium Tanggal : 07 Mei 2014LaboratoriumHasil PemeriksaanInterpretasi

Darah Lengkap :WBC (103/ul)LYMPH# (103/ul)MONO# (103/ul)EO# (103/ul)BASO# (103/ul)NEUT# (103/ul)LYMPH(%)MONO(%)EO(%)BASO(%)NEUT(%)RBCHGB (gr/dl)HCT (%)MCV (fl)MCH (pg)MCHC (gr/dl)PLT (103/ul)6,670,560,620,100,015,388,49,31,50,180,75,0311,335,370,222,532,0350Dalam batas normalMenurun sedikitDalam batas normalDalam batas normalDalam batas normalDalam batas normalMenurunMeningkatDalam batas normalDalam batas normalMeningkatDalam batas normalMenurun sedikitMenurun sedikitMenurunDalam batas normalDalam batas normalDalam batas normal

Glukosa (GDS) (mg/dl)Ureum (mg/dl)Creatinin (mg/dl)14817,60,7Meningkat sedikitNormalNormal

Elektrolit :Na (mmol/L)K (mmol/L)Cl (mmol/L)1383-4100NormalNormalNormal

Laboratorium tanggal 10 Mei 2014 LaboratoriumHasil PemeriksaanInterpretasi

SGOT (U/l)SGPT (U/l)Asam Urat1455,2NormalNormalNormal

Foto ThoraksGambar 2.1 Tanggal 09-05-2014

Keterangan Gambar A : kesan KP aktif.

2.5DAFTAR MASALAH DAN RENCANA PEMECAHAN MASALAHClue dan Cue (1)Laki-laki, 34 tahunBerat badan menurun Demam hilang timbul 1 bulan SMRSPembesaran KGB pada submandibula sinistraKeringat banyak terutama pada malam Problem List : TB paru Rontgen (+)Differensial Diagnosa : Pneumonia, Bronchiektasis, PPOK Planning Diagnosa: Tes spirometri BTA 3x Konsul VCTPlanning Terapi : IVFD RL 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p)Planning Monitoring : Keluhan pasien Planning Edukasi: Apabila batuk pasien harus menggunakan masker

Clue dan Cue (2)Laki-laki, 34 tahunkelemahan pada kaki kiri 1 bulan SMRS disertai nyeri Berat badan menurun Demam hilang timbul 1 bulan SMRSKeringat banyak terutama pada malam Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm, nyeri tekan (-)Kekuatan otot 5 5

4 1

Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah

Problem List : Paraparese e.c suspek Spondilitis TBDifferensial Diagnosa : Spondilitis Piogenik dan Tumor metastatik spinalPlanning Diagnosa: Foto Thoraks V. thoracolumbalisPlanning Terapi : IVFD RL 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 ampIVPlanning Monitoring : Keluhan pasien (kelemahan pada kaki kiri) dan defisit neurologisPlanning Edukasi: Tirah baring dan pemakaian korset/bidai untuk imobilisasi

Clue dan Cue (3)Laki-laki, 34 tahunHipopigmentasi pada kulit 2 minggu SMRSProblem List : Pityriasis vesicolorDifferensial Diagnosa : -Planning Diagnosa: Fluoresensi Lampu wood Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOHPlanning Terapi : Co/ Sp.KKPlanning Monitoring : Keluhan pasien (bercak-bercak putih pada kulit)Planning Edukasi: kebersihan diri, mandi 3x sehari.

2.6 FOLLOW UPTanggal 10 Mei 2014 S : Kelemahan pada kaki kiri disertai nyeri, keringat banyak pada malam hari (+) O : KU : pasien tampak sakit sedang TD :120/70; N:88x/mnt; S:36,7oC; RR:20x/mnt; Mata: anemis -/-, Ikterik -/- Leher: Tidak ada pembesaran KGB Pulmo: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-) Cor : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-) Abdomen : kesan datar, bising usus (+) (8x/ menit), NT (-), liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran, lien: tidak ada pembesaran, ballotement: (-/-), timpani pada seluruh lapangan abdomen. Punggung : Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm nyeri tekan (-). Ekstremitas : 55

41

Sistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah Sistem Autonom : Normal A : TB Paru Rontgen (+) Suspec Spondilitis TB RDx : Sputum BTA 3x Konsul VCT P : IVFD RL 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 ampIV (k/p)Tanggal 13 Mei 2014 S : Kelemahan pada kaki kiri disertai nyeri, keringat banyak pada malam hari (+), batuk berdahak hilang timbul. O : KU : pasien tampak sakit sedang TD :110/70; N:82x/mnt; S:36,0oC; RR:16x/mnt; Mata: anemis -/-, Ikterik -/- Leher: Tidak ada pembesaran KGB Pulmo: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-) Cor : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-) Abdomen : kesan datar, bising usus (+) (8x/ menit), NT (-), liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran, lien : tidak ada pembesaran, ballotement: (-/-), timpani pada seluruh lapangan abdomen. Punggung : Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm nyeri tekan (-).

Ekstremitas : 55

41

Sistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah Sistem Autonom : NormalGambar 2.2 Foto Rontgen Lumbosacral 13 Mei 2014

Keterangan : kesan destruksi pada V.Th 10, diskus intervetebralis tidak nampak. A : TB Paru Rontgen (+) Suspec Spondilitis TB RDx : Sputum BTA 3x, Co/SP.S P : IVFD RL 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 ampIV (k/p)Hasil konsul VCT : HIV non reaktif

Tanggal 16 Mei 2014 S : Kelemahan pada kaki kiri disertai nyeri, keringat banyak pada malam hari(+), batuk berdahak hilang timbul O : KU : pasien tampak sakit sedang TD :130/80; N:80x/mnt; S:36,3oC; RR:24x/mnt; Mata: anemis -/-, Ikterik -/- Leher: Tidak ada pembesaran KGB Pulmo: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-) Cor : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-) Abdomen : kesan datar, bising usus (+) (8x/ menit), NT (-), liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran, lien: tidak ada pembesaran, ballotement: (-/-), timpani pada seluruh lapangan abdomen. Punggung : Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm, nyeri tekan (-).

Ekstremitas : 55

42

Sistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah Sistem Autonom : Normal

Lab:Hasil pemeriksaan sputum BTA (S-P-S) tanggal 16 Mei 2014 :BTA I : NegatifBTA II : positifBTA III : Positif

Gambar 2.3 Foto Rontgen Pelvis tanggal 16 Mei 2014

Keterangan : kesan Caput femoris sinistra : osteoblastic & destruksi

A : TB Paru Rontgen (+), BTA (+) Suspec Spondilitis TBCo/ Sp.S : Suspec Spondilitis TB RDx : Foto Rontgen Pelvis P : IVFD RL 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 ampIV (k/p) OAT kat. 1 Inj. Methylprednisolon 4x62,5 mg/IV Inj. Ranitidine 2x1 amp/IV

Tanggal 19 Mei 2014 S : Kelemahan pada kaki kiri disertai nyeri, keringat banyak pada malam hari(+), batuk (-) O : KU : pasien tampak sakit sedang TD : 120/70; N : 80x/mnt; S : 36,5oC; RR : 22x/mnt; Mata: anemis -/-, Ikterik -/- Leher: Tidak ada pembesaran KGB Pulmo: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-) Cor : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-) Abdomen : kesan datar, bising usus (+) (8x/ menit), NT (-), liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran, lien : tidak ada pembesaran, ballotement: (-/-), timpani pada seluruh lapangan abdomen. Punggung : Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm, nyeri tekan (-).

Ekstremitas : 55

53

Sistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah Sistem Autonom : Normal

Gambar 2.4 Foto Rontgen Thoraks ulang tanggal 19 Mei 2014

Keterangan : kesan Kp Aktif Kesimpulan: Suspec Spondilitis TB pada foto vertebra A : TB Paru Rontgen (+), BTA (+) Spondilitis TB oleh Sp.S RDx : Foto Rontgen Thoraks ulang P : IVFD RL 500 cc/24 jam 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 amp (k/p) OAT kat. 1 Inj. Methylprednisolon 4x62,5 mg/IV Inj. Ranitidine 2x1 amp/IV

Tanggal 21 Mei 2014 S : Kelemahan pada kaki kiri disertai nyeri, keringat banyak pada malam hari(+), batuk (-) O : KU : pasien tampak sakit sedang TD :140/70; N:88x/mnt; S:36,5oC; RR:26x/mnt; Mata: anemis -/-, Ikterik -/- Leher: Tidak ada pembesaran KGB Pulmo: Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-) Cor : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-) Abdomen : kesan datar, bising usus (+) (8x/ menit), NT (-), liver span : 10 cm, Hepar: tidak ada pembesaran, lien: tidak ada pembesaran, ballotement: (-/-), timpani pada seluruh lapangan abdomen. Punggung : Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm, nyeri tekan (-). Ekstremitas : 55

54

Sistem sensorik : Hipestesi Sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah Sistem Autonom : Normal

A : TB Paru Rontgen (+), BTA (+) Spondilitis TB P : IVFD RL 500 cc/24 jam 20 tpm PCT 3x500 mg (k/p) B complex 3x1 tab KTC 3% 1 amp (k/p) OAT kat. 1 Inj. Methylprednisolon 4x62,5 mg/IV Inj. Ranitidine 2x1 amp/IV Diet tinggi protein dan karbohidrat

Tanggal 22 Mei 2014 : Pasien pulang paksa.BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Gejala Klinis

3.1.1 Gejala klinis pasien TB Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.7 pada pasien ini terdapat gejala klinis berupa penurunan berat badan, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam yang hilang timbul 1 bulan. 3.1.2 Gejala klinis pasien TB ekstra paru dengan spondilitis TB Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa lordosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.8,9 Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfi ngter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya. Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul.2 Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher. Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul.8Tabel 3.1 Klasifi kasi Potts paraplegia10Stadium Gambaran KlinisStadiumGambaran Klinis

I. Tidak terdeteksi/ terabaikan (negligible)

Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonus pada ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.

II. RinganPasien menyadari adanya gangguan neurologis, tetapi masih mampu berjalan dengan bantuan.

III. ModeratTidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik) karena kelumpuhan (dalam posisi ekstensi) dan defisit sensorik di bawah 50%

IV. BeratStadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit sensorik di atas 50% dan gangguan sfingter.

Pasien ini terdapat gambaran klinis yang sesuai pada pasien dengan spondilitis TB yaitu terjadi penurunan BB, keringat malam, demam, defisit neurologis berupa paraplegia, hipestesi dan nyeri radikular. Dilihat dari klafikasi potts paraplegia yang disesuaikan dengan gambaran klinis, pasien tersebut berada pada stadium moderat.3.2 Patogenesis Patogenesis tuberculosis pada imunokompeten yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tubercular. Pasien ini mengaku belum pernah menderita batuk lama sebelum tahun 2014, sehingga riwayat pernah terpajan dengan kuman TB tidak dapat dipastikan. M. tuberculosis masuk bersama udara pernapasan yang mengandung kuman M. tuberculosis melalui saluran pernapasan ke dalam paru. Setelah strain virulen mikobacteri masuk ke dalam endosom makrofag (suatu proses yang diperantarai oleh reseptor manosa makrofag yang mengenali glikolipid berselubung manosa di dinding sel tubercular), kuman ini mampu menghambat respons mikrobisida normal dengan memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan endosom. Hasil akhir dari pematangan endosom adalah gangguan pembentukan fagolisosom efektif sehingga mikobakteri berproliferasi tanpa terhambat. Suatu gen yang disebut NRAMP1 (Natural resistance-associated macrophage protein 1) diperkirakan berperan dalam aktivitas mikrobisida awal dan gen ini mungkin berperan dalam perkembangan tuberculosis manusia. Polimorfisme tertentu pada alel NRAMP1 telah dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insiden tuberculosis dan dipostulasikan bahwa variasi genotype NRAMP1 ini yang mungkin menyebabkan penurunan fungsi mikrobisida.11 Fase terdini pada tuberculosis primer (3 minggu) pada orang yang belum tersensititasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi bakterimia dan penyemaian di banyak tempat. Meskipun terjadi bakterimia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimptomatik atau mengalami gejala yang mirip flu. Timbulnya imunitas seluler dalam 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan oleh histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II) oleh makrofag ke sel TH0 CD4+ uncommitted yang memiliki reseptor sel . Di bawah pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh makrofag, sel TH0 ini mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtype TH1 yang mampu mengeluarkan IFN-.IFN- yang dikeluarkan oleh sel T CD4+ sangat penting untuk mengaktifkan makrofag. Makrofag yang telah aktif mengeluarkan berbagai mediator : TNF berperan merekrut monosit yang pada gilirannya mengalami pengaktifan dan difererensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai respons granulomatosa. IFN- bersama TNF mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS), yang menyebabkan meningkatnya kadar nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida adalah oksidator yang kuat dan menyebabkan terbentuknya zat antara nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang mampu menimbulkan kerusakan oksidatif pada beberapa konstituen mikobakteri dari dinding sel hingga DNA.Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik CD8+, yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh tuberculosis. Pada akhirnya perekrutan monosit bergabung dengan sel T yang telah tersensititasi membentuk nekrosis perkejuan dan granuloma epitheloid.12 Granuloma epitheloid ini merupakan sarang primer atau focus Ghon.Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian dari jaringan paru, jika menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local + limfangitis regional membentuk kompleks primer (ranke). Semua proses ini membutuhkan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacat. Ini yang banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik. Berkomplikasi dan menyebar secara : a) Perkontinuitatum yaitu menyebar ke sekitarnya, b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) Secara limfogen ke organ tubuh lain-lainnya, d) Secara hematogen ke organ tubuh lainnya.11 Sedangkan Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang selalu merupakan infeksi sekunder. Berkembangnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan kuman dan ketahanan tubuh penderita. Reaksi tubuh setelah terserang kuman tuberkulosis dibagi menjadi lima stadium, yaitu:131. Stadium I (Implantasi)Stadium ini terjadi awal, bila keganasan kuman lebih kuat dari daya tahan tubuh. Padaumumnya terjadi pada daerah torakal atau torakolumbal soliter atau beberapa level.2. Stadium II (Destruksi awal)Terjadi 3 6 minggu setelah implantasi. Mengenai diskus intervertebralis.3. Stadium III (Destruksi lanjut dan Kolaps)Terjadi setelah 8-12 minggu dari stadium II. Bila stadium ini tidak diterapi maka akanterjadi destruksi yang hebat dan kolaps dengan pembentukan bahan-bahan pengejuan danpus (cold abscess).4. Stadium IV (Gangguan Neurologis)Terjadinya komplikasi neurologis, dapat berupa gangguan motoris, sensoris dan otonom.5. Stadium V (Deformitas dan Akibat)Biasanya terjadi 3-5 tahun setelah stadium I. Kiposis atau gibus tetap ada, bahkan setelahterapi.Gambar 3.1 Gambar 3.2

Gambar 3.1 Spondilitis tuberkulosis. A) Gibus thorakolumbar dengan hipertonus erektor trunkus. Penderitamenyandarkan diri pada ekstremitas atas; B) 1. rarefaksi bagian anterior vertebra mulai nampak penyempitan diskusintervertebralis, 2. rarefaksi meluas, penyempitan jelas, 3. kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus,kompresi medulla spinalisGambar 3.2 Pasien dengan gibus pada V.Th 10-V.Lumbalis. Daerah yang biasanya terkena bagian anterior korpus vertebra. Destruksi tulang yang progresif mengakibatkan kolaps vertebra dan kifosis. Kanal spinalis menyempit karena adanya abses atau jaringan granulasi. Ini mengakibatkan kompresi spinal cord dan defisit neurologis.Pasien ini sudah samapai pada stadium V, dan daerah yang terkena adalah vertebra thorakal 10- vertebra lumbalis.

3.3 Diagnosis3.3.1 Diagnosis TB Paru.7 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -pagi -sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.Pada pasien ini didapatkan foto Rontgen (+) dan BTA (-++) didiagnosa TB paru Rontgen (+), BTA (+).3.3.2 Diagnosis TB Ekstra Paru.7 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.Pada pasien ini sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didiagnosa dengan Spondilitis TB.

3.1 Bagan Alur Diagnosa TB Paru7Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

3.3 Diagnosis Diferensial2

Pasien ini didiagnosa sebagai TB Paru Rontgen (+), BTA (+) Tabel 3.2. Diferential diagnosis TB paru pada pasien ini adalah14 :Hal pembandingTB ParuPneumoniaBronchiectasisPPOK

Anamnesis Flulike illness Batuk kering Hemoptisis Sesak Demam samar-samar malam hari, lamanya berminggu-minggu Sakit dada Malaise Nafsu makan menurun Demam, menggigil Batuk dengan sputum purulen Sakit dada Berat badan menurun Batuk produktif berupa nanah/darah terutama pukul 2.00-3.00 dini hari (Maulvolle Expectoration) Ada panas, anoreksia, malaise, palpitasi, gelisah, hemoptisis Batuk kronis, berdahak Sesak napas Perokok

Pemeriksaan fisik Anemia Demam subfebris Ronki basah pada apeks paru Berat badan kurang/kurus Retraksi dada Takikardi Demam Pernapasan cepat Tanda konsolidasi : suara napas bronchial,vocal fremitus meningkat, perkusi redup, Ronki basah halus di basal paru

Sputum & napas berbau tidak enak Ronki basah sedang sampai kasar di daerah yang terkena Ronki kering & bunyi mengi Jantung & trakea tertarik ke tempat yang terkena Jari tabuh Ronchi kering/basah Suara napas melemah Ekspirasi memanjang Udara pernapasan kurang

Pemeriksaan penunjang Foto thorax PA Sputum BTA

Leukositosis Kultur sputum : ditemukan kuman penyebabnya Foto dada tampak infiltrat Sputum ditampung dalam gelas bila didiamkan akan membentuk 3 lapisan : buih, jernih (lendir), keruh (nanah & darah) Foto thoraks Honeycomb appearance (gambaran sarang tawon) Foto thorax PA

Pasien ini juga didiagnosa sebagai Spondilitis TB sehingga hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifik, deformitas lordosis, defisit neurologis berupa kelemahan pada kaki kiri yang menjadi alasan penderita untuk datang berobat. Karena itu, pemikirian kemungkinan diagnosis banding harus didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit lainnya, karena terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka disabilitas dan morbiditas pasien.1. Spondilitis piogenikSpondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar usia 3050 tahun. Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra. Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk 2 menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk2 menambahkan bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan invasif.2. Tumor metastatik spinal

mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.

3.5 Penatalaksanaan21. Medikamentosa Berdasarkan panduan pengobatan standar yang direkomendasikan WHO (Treatment of Tuberculosis : Guideline for National Program WHO, 2003) yaitu :15Tabel 3.3. Panduan Pengobatan Standar yang direkomendasikan WHO (Treatment Of Tuberculosis : Guideline For National Program WHO, 2003)Kategori Diagnosis TBPasien TBPanduan OAT

Tahap Awal (harian atau 3x seminggu)Tahap Lanjutan (harian atau 3x seminggu)

I TB paru kasus baru TB paru BTA negative kasus baru dengan lesi luas TB berat + HIV atau TB ekstraparu berat2 HRZE4H3R3 atau 4 HR

IITB paru BTA positif dengan pengobatan terdahulu : Kasus sembuh Kasus putus berobat Kasus gagal

2 HRZES/1 HRZE5 H3R3E3 atau 5 HRE

IIITB paru BTA negative kasus baru (selain kategori I) TB ekstraparu ringan2 HRZE4 H3R3 atau 4 HR atau 6 H3E3 atau 6 HE

IV

Kasus kronik atau MDR (BTA masih positif setelah pengobatan ulang yang diawasi)

pasien dalam kasus ini termasuk dalam kategori diagnosis TB kategori I yaitu : TB paru kasus baru sehingga untuk pengobatannya mengikuti panduan OAT kategori I tahap awal 2 HRZE dan tahap lanjutan 4 (HR)3. Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi. Pengobatan TB paru pada pasien ini mengikuti prinsip Pengobatan TB yaitu :15 OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pengobatan menggunakan OAT-Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) yaitu perawat di ruangan Tulip dan suami pasien. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,yaitu tahap awal dan lanjutan.Tahap Awal Pada tahap awal pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Diharapkan bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Diharapkan dalam 2 bulan, pasien TB BTA positif menjadi BTA negative (konversi).Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 3.4. OAT yang digunakan program penanggulangan TB adalah :15 Jenis OATSifatDosis yang direkomendasikan (mg/kg)Dosis Maksimal (mg per hari)Efek samping

Harian3x seminggu

Isoniazid (H)Bakterisid510300Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin (R)Bakterisid1010600Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, enzim hati, cairan tubuh berwarna orange kemerahan

Pirazinamid (Z)Bakterisid25352000Toksisitas hati, athralgia,gastrointestinal

Etambutol (E)Bakteriostatik 151250Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomicin (S)Bakterisid15301000Ototoksik, nefrotoksik

Untuk pasien dalam kasus ini diberikan OAT dalam bentuk obat KDT (Kombinasi Dosis Tetap). Pemberian obat KDT disesuaikan dengan berat badan pasien sebagai berikut :Tabel. 3.5. Pemberian Obat KDT Disesuaikan Dengan Berat Badan PasienBerat BadanTahap Awal tiap hari (56 dosis)Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu (48 dosis)

30-37 kg2 kaplet 4KDT2 tablet 2KDT

38-54 kg3 kaplet 4KDT3 tablet 2KDT

55-70 kg4 Kaplet 4KDT4 tablet 2KDT

71 kg5 Kaplet 4KDT5 tablet 2KDT

Berat badan pasien 38-54 kg sehingga pada tahap awal pasien mendapat 3 kaplet 4KDT dimana tiap kaplet mengandung 4 macam obat yaitu 75mg Isoniazid, 150mg Rifampisin, 400mg Pirazinamid, 275mg Etambutol. Dan pada tahap lanjutan mendapat 3 tablet 2KDT dimana tiap tablet mengandung 2 macam obat yaitu 150mg Isoniazid, dan 150mg Rifampisin.

2. Pembedahan2

Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing. Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses; debridemen radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan osteotomi.

Tabel 3.6 Klasifi kasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB2penya

TipeLesiPenatalaksanaanContoh

IALesi vertebra dan degenerasidiskus 1 segmen, tanpa kolaps,abses, ataupun defisit neurologis.

Biopsi perkutan dankemoterapi

IBAdanya cold abscess, degenerasidiskus 1 atau lebih, tanpa kolapsataupun defisit neurologis.

Drainase abses dandebridemen anterior/ posterior

IIKolaps vertebraCold abscessKifosisDeformitas stabil, dengan/ tanpadefi sit neurologisAngulasi sagital < 20

debridemen dan fusi anterior dekompresi jika terdapat defisit neurologis tandur strut kortikal untuk fusi

IIIKolaps vertebra beratCold abscessKifosis beratDeformitas tidak stabil, dengan/tanpa defi sit neurologisAngulasi sagital 20

Penatalaksaan no II+ instrumentasi anterior/Posterior

3. Imobilisasi Pasca-operasi6Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien. Dengan instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat diimobilisasi menggunakan body cast jacket. Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral, dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul.

BAB IVKESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus TB Paru Rontgen (+) dan BTA (+) dengan TB ekstraparu (Spondilitis TB) pada laki-laki usia 34 tahun. Laki-laki ini didiagnosa TB Paru Rontgen (+) dan BTA (+) berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Rontgen (+) dan pemeriksaan sputum BTA (+) sedangkan diagnosa Spondilitis TB berdasarkan anamnesis yaitu adanya kelemahan pada ektremitas inferior, demam yang hilang timbul, BB menurun dan keringat malam yang berlebihan, pada pemeriksaan fisik yaitu pada Vertebra Thorakal 10-Vertebra Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi keras, ukuran panjang 7 cm dan lebar 2 cm, nyeri tekan (-), defisit neurologis berupa hipestesi sinistra setinggi V.Th 10 ke bawah dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan sputum BTA dan pemeriksaan rontgen thoraks, lumbosacral dan pelvis dimana ditemukan tanda dan gejala yang khas dari Spondilitis TB pada pasien ini. Pasien diterapi dengan IVFD RL 20 tpm, PCT 3x500 mg (k/p), B complex 3x1 tab, KTC 3% 1 amp (k/p), OAT Kategori 1, Inj. Methylprednisolon 4x62,5 mg/IV, Inj. Ranitidine 2x1 amp/IV, Diet tinggi protein dan karbohidrat. Pasien ini setelah mendapatkan terapi dengan Methylprednisolon nyerinya semakin berkurang dan kelemahan lebih membaik namun belum sembuh total pasien sudah meminta pulang, sehingga pada akhirnya pasien dipulangkan secara paksa. Saran sebaiknya pada pasien dengan pulang paksa ini diberikan methylprednisolon oral yang dosis ditentukan oleh dokter spesialis saraf dan melakukan kontrol obat untuk keluhan nyerinya ke dokter spesialis saraf.

DAFTAR PUSTAKA

1 Umar Fatimah,dkk.Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2005.2 Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013. 3 Aditama Y. T., Kamao S., Baari C., Surya A. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2009; 3-4.4 Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta : 2008; xiii5 Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Provinsi Nusa Tenggara Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta : 2008; 80-81.6 Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.7 Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Tb). Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 364/menkes/sk/v/2009.8 Moesbar Nazar. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Sub Departemen Orthopaedi dan Trauma Departemen Ilmu Bedah FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006.9 Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbells Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237. Dalam tinjauan pustaka Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013. 10 Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Majalah Kedokteran Indonesia. Vo.60.No.7 Juli 2010. Dalam tinjauan pustaka Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013. 11 Amin S., Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta Pusat : Interna Publishing: 2009; 2230.12 Kumar, Cotran, Robbin. Buku Ajar Patologi Vol.2. Ed. 7. Jakarta : EGC, 2007. 13: 544-51.13 Hidalgo JA. Pott Disease. [Online]. 2008 Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic. Dalam tinjauan pustaka Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013. 14 Mubin Halim A. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2008. 219-33.15 Pelatihan Penanggulangan Tuberkulosis bagi Tim DOTS Rumah Sakit. Modul D Pengobatan Pasien TB di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal BIna Pelayanan Medik. Jakarta : 2009;2-8.

18