Laporan Kasus Spondilitis Tb2

44
Laporan Kasus SPONDILITIS TUBERCULOSIS Oleh: Rani Dinarti H2A008031 BAGIAN ILMU SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Page 1: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Laporan Kasus

SPONDILITIS TUBERCULOSIS

Oleh:

Rani Dinarti

H2A008031

BAGIAN ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSEMARANG

2012

Page 2: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Spondilitis TB

Disusun oleh : Rani Dinarti

NIM : H2A008031

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian

Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.

Semarang, Mei 2012

Pembimbing Pembimbing

Dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S dr. Siti Istiqomah, Sp. S

Page 3: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

BAB I

REKAM MEDIS

1.1. IDENTIFIKASI

Nama : Ny. Musyarofah

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 54 Tahun

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Status perkawinan : Sudah Menikah

Alamat : Mranggen Kaliwungu, Kendal

MRS : jum’at 18 Mei 2012

1.2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Mei 2012

Keluhan Utama

Nyeri pinggang

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 6 bulan yang lalu pasien merasa nyeri dan pegal-pegal dibagian pinggang. Nyeri

hilang timbul. Nyeri pinggang semakin terasa ketika pasien mengangkat berat dan

dan ketik pasien menunduk. Pasien mengkonsumsi jamu untuk menghilangkan

Page 4: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

pegal dan nyerinya tersebut, namun tidak terdapat perubahan dan semakin lama

pegal semakin mengganggu aktifitas.. Riwayat batuk lama (-), penurunan berat

badan (-), demam yang tidak terlalu tinggi (-).

± 3 bulan yang lalu pasien merasakan keluhan nyeri pinggang semakin memburuk

dan menjalar ke kaki kemudian pasien berobat ke pengobatan alternatif (Sensei).

Namun selama 10 hari mengkonsumsi obat keadaan pasien semakin memburuk.

Kaki pasien mulai terasa lemas dan terasa tebal. Pasien mulai merasa sulit untuk

berdiri sehingga membuat pasien tidak dapat berjalan lama. Pasien tirah baring

selama 3 bulan dan mulai merasakan rasa tebal merambat sampai ke perut saat

masuk rumah sakit. Muncul benjolan di punggung bagian bawah. Nyeri (+), nafsu

makan menurun (+), batuk(-), demam (-), sulit BAB (+), BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat batuk lama disangkal

- Riwayat minum obat rutin dan lama disangkal.

- Riwayat Hipertensi (+)

- Riwayat Diabetes melitus disangkal

- Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

1. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

2. Riwayat penyakit batuk-batuk lama dalam keluarga (+) (menantu pasien

pernah menderita TB paru)

3. Riwayat Hipertensi (+) (ibu pasien menderita hipertensi)

Page 5: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

4. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

5. Sensorium : Compos Mentis

6. Gizi : Baik

7. Tinggi badan : 156 cm

8. Berat badan : 78 kg

9. Nadi : 72 x/menit

10. Pernafasan : 20 x/menit

11. Tensi : 140/100

12. Suhu : 36,5 oC

Status generalis

Regio thorax

I : statis dinamis simetris kanan = kiri

P : stemfremitus kanan = kiri

P : sonor pada kedua hemithorax

A : Cor: denyut jantung 72 x/menit. Murmur (-), gallop (-)

Pulmo: vesikuler (+) normal pada kedua hemithorax, ronchi basah (-), Wheezing

(-)

Regio Vertebra Lumbal

I : benjolan setinggi T8-T9.

P : keras, fluktuasi (-)

Page 6: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Pemeriksaan Neurologi

Kesadaran : compos mentis

Kuantitatif : GCS 15, (E4 V5 M6)

Kualitatif : tingkah laku : sesuai mood

Perasaan hati : baik

Orientasi : tempat : baik

Waktu : baik

Orang : baik

Jalan pikiran : baik

Kecerdasa : baik

Daya ingat baru : baik

daya ingat lama : baik

Kemampuan bicara : baik tidak ada disorientasi

Sikap tubuh : sulit dinilai (berbaring)

Cara berjalan : sulit dinilai

Gerakan abnormal : tidak ada

Kepala : bentuk mesosefal, nyeri tekan (-)

Mata : konjungtiva anemis (-)/(-) , Sklera Ikterik(-)/(-) ,

reflek cahaya (+)/(+), edem palpebra (-)/(-), pupil isokor

2,5 mm/2,5 mm

Page 7: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Hidung : nafas cuping (-) , deformitas (-) , secret (-)

Telinga : serumen ( -) , nyeri mastoid (-) , nyeri tragus  (-)

Mulut : lembab (-) , sianosis (-)

Leher : pembesaran limfonodi (-)/(-), pembesaran tiroid (-)/(-), JVP N/N

Deviasi (-), gerakan (N), kaku kuduk (-), Pulsasi teraba (N),

bising karotis (-)/(-), Bising subklavia (-/-)

Tes nafsiger : dbn

Tes Brudzinski : I (-), II (-), III (-), IV (-)

Tes valsava : (-)

Nervi Cranialis

N I. (OLFAKTORIUS)

Daya pembau : dbn /dbn

N II. (OPTIKUS)

Kanan Kiri

Daya penglihatan baik baik

Pengenalan warna (+) (+)

Medan penglihatan = pemeriksa = pemeriksa

Kanan Kiri

Page 8: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Fundus okuli normal normal

Pupil isokor isokor

R.cahaya (+) R.cahaya (+)

Retina tidak diperiksa tidak diperiksa

Perdarahan (-) (-)

N III. (OKULOMOTORIUS)

Kanan kiri

Ptosis (-) (-)

Gerak mata ke atas (+)N (+)N

Gerak mata ke bawah N N

Gerak mata media N N

Ukuran pupil 2,5 mm 2,5 mm

Bentuk pupil bulat bulat

Reflek cahaya langsung (+) (+)

Reflek cahaya konsensual (+) (+)

R. akomodasi (+) (+)

Strabismus divergen (-) (-)

Diplopia (-) (-)

Page 9: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

N IV. (TROKHLEARIS)

Kanan kiri

Gerak mata lateral bawah N N

Strabismus konvergen (-) (-)

Diplopia (-) (-)

N V. (TRIGEMINUS)

Kanan Kiri

Reflek kornea (+) (+)

Menggigit normal normal

Membuka mulut normal normal

Sensibilitas muka atas (+) (+)

Sensibilitas muka tengah (+) (+)

Sensibilitas muka bawah (+) (+)

Reflek bersin normal normal

Reflek masseter normal normal

Reflek zigomatikus normal normal

Trismus

N VI. (ABDUSEN)

Kanan kiri

Page 10: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Gerak mata ke lateral normal normal

Strabismus konvergen (-) (-)

Diplopia (-) (-)

N VII. (FASIALIS)

Kanan Kiri

Mengerutkan dahi (+) (+)

Kerutan kulit dahi (+) (+)

Mengerutkan alis (+) (+)

Kedipan mata (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

Lakrimasi (-) (-)

Reflek fisuo-palpebra (-) (-)

Lipatan naso-labial (+) (+)

tik fasial (-) (-)

Sudut mulut simetris simetris

Meringis simetris simetris

Daya kecap 2/3 depan (+) (+)

Reflek glabella (-) (-)

Reflek aurikulo-palpebra (-) (-)

Page 11: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Tanda Myerson (-) (-)

Tanda Chovstek (-) (-)

N VIII. (AKUSTIKUS)

Kanan kiri

Mendengar suara berbisik (+) (+)

Mendengar detik arloji (+) (+)

Tes Rinne tidak dilakukan tidak dilakukan

Tes Weber tidak dilakukan tidak dilakukan

Tes Swabach tidak dilakukan tidak dilakukan

N IX. (GLOSOFARINGEUS)

Kanan kiri

Sengau (-) (-)

Daya kecap 1/3 belakang (+) (+)

Arkus faring simetris simetris

Tersedak (-) (-)

Reflek muntah (+) (+)

N X. (VAGUS)

Page 12: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Kanan Kiri

Arkus faring simetris simetris

Daya kecap 1/3 belakang (+) (+)

Bersuara (+) (+)

Menelan (+) (+)

N XI. (AKSESORIUS)

Kanan Kiri

Memalingkan kepala (+) (+)

Mengangkat bahu (+) (+)

Sikap bahu simetris simetris

trofi otot bahu eutrofi eutrofi

N XII. (HIPOGLOSUS)

Kanan Kiri

Menjulurkan lidah (+) (+)

Sikap lidah simetris simetris

Tremor lidah (-) (-)

Kekuatan lidah normal normal

Page 13: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Trofi otot lidah (-) (-)

Fasikulasi lidah (-) (-)

Artikulasi jelas jelas

BADAN

Trofi otot punggung : (-)

Trofi otot dada : (-)

Nyeri membungkukkan badan : (+)

Palpasi dinding perut : taraba kaku

Vertebra : terdapat benjolan pada T8-T9, nyeri tekan (+)

Sensibilitas : hipestesia setinggi T8-T9

ANGGOTA GERAK ATAS

Kanan Kiri

Inspeksi:

Drop hand (-) (-)

Claw hand (-) (-)

Pitcher’s hand (-) (-)

Kontraktur (-) (-)

Warna kulit (-) (-)

Page 14: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Palpasi

Lengan atas dbn dbn

Lengan bawah dbn dbn

Gerakan dbn dbn

Kekuatan 5 5

Trofi eutrofi eutrofi

Sensibilitas (+) (+)

Nyeri (+) (+)

Termis (+) (+)

Taktil (+) (+)

Diskriminasi (+) (+)

Posisi dbn dbn

vibrasi (+) (+)

Bisep Trisep radius ulna

Reflek fisiologik (+)/(+) (+)/(+) (+)/(+) (+)/(+)

Perluasan reflek (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)

ANGGOTA GERAK BAWAH

Kanan Kiri

Inspeksi:

Page 15: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Warna kulit sawo matang sawo matang

Drop foot (-) (-)

Kontraktur (-) (-)

Palpasi:

udem (-) (-)

Tungkai atas Tungkai bawah

Kanan kiri kanan

kiri Gerakan N↓ N↓ N↓ N↓

Kekuatan 4 4 4 4

Tonus (+) (+) (+) (+)

Trofi eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi

Sensibilitas (+)↓ (+)↓ (+)↓ (+)↓

Nyeri (+) (+) (+) (+)

Termis (+) (+) (+) (+)

Taktil (+) (+) (+) (+)

Diskriminasi (+) (+) (+) (+)

Posisi dbn dbn dbn dbn

Page 16: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

vibrasi (+) (+) (+) (+)

Patella Achiles

Kanan Kiri Kanan Kiri

Reflek fisiologis (+)↑ (+)↑ (+) (+)

Perluasan reflek (+) (+) (+) (+)

Kanan Kiri

Reflek Patologis

Babinski (+) (+)

Chaddock (-) (-)

Oppenheim (-) (-)

Gordon (-) (-)

Gonda (-) (-)

Bing (-) (-)

Rossolimo (-) (-)

Mendel-Becterew (-) (-)

klonus kaki (-) (-)

Tes Lasegue (-) (-)

Page 17: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Tes Brudzinski II (-) (-)

Tes patrik (-) (-)

Tes kontra patrik (-) (-)

Tes Kernig (-) (-)

Tes Hofman Trommer (-) (-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (tanggal 18 Mei 2012)

Hemoglobin : 113,6 g/dl

Hematokrit : 39 vol %

Leukosit : 7600 /mm3

LED : 57 mm/jam

MCV : 76,6 fl

MCH : 24,2 pg

RDW : 15, 60 %

Hitung jenis :0/5/0/65/26/4

BSS : 105 mg/d1

Natrium : 140 mmol/l

Kalium : 3,5 mmol/l

Pemeriksaan Sputum

Page 18: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

BTA I : (-)

BTA II : (-)

BTA III : (-)

Radiologis:

Foto Thorakolumbal AP lateral (tanggal 18 Mei 2012)

Didapat gambaran spondilosis lumbalis, suspect destruksi thorakal IX, suspect

kompresi thorakal VIII.

MRI (19 Mei 2012) :

MRI thorakal kontras

Didapatkan masa pada vertebra setinggi Thorakal VIII-IX yang menyebabkan

kontusio medula spinalis setinggi thorakal VIII-IX sesuai dengan gambaran

spondilitis TB.

1.5. DlAGNOSA

1. Diagnosa klinis

Spondilitis, paraparesis, parestesia

2. Diagnosa topis

Spondilitis dengan paraparesis dan parestesia setinggi thorakal VII dan IX

3. Diagnona etiologi

Spondilitis TB

1.6 DIAGNOSIS BANDING

Page 19: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Tumor vertebra

1.6. PENATALAKSANAAN

Non Medika Mentosa

1. Tirah baring dengan selalu di pindah posisi untuk mencegah ulkus dekubitus

2. Rencana Fisioterapi

3. Konsul bedah saraf

Medika Mentosa

4. Rifampisin oral 1 x 450 mg

1. INH oral 1 x 400 nmg

2. Etambutol oral 1 x 500 mg

3. Pirazinamid 1 x 250 mg

4. Rencana pemeriksaan Kultur BTA dan Tes Mantoux

1.7. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

Page 20: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENDAHULUAN

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis

tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif

oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan

infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang

pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi,

sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.1

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan

sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan

Page 21: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari

seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan

pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara

wanita dan pria.

Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang

pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra,

tetapi jarang menyerang arkus vertebra.2

1. ETIOLOGI

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis

di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik

(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium

tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra

torakal bawah dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari

suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson

pada vena paravertebralis.

2.3 PATOFISIOLOGI

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi

berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.

Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan

perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus

intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini

akan menyebabkan terjadinya kifosis.

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang

fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum

longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke

berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah.

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis

dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat

Page 22: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal

sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat

trakea, esofagus atau kavum pleura.

Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks

setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan

fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul

paraplegia.

Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus

psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat

juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti

pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar

membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu:

1. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung

selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan

pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal.

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra

serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6

minggu.

3. Stadium destruksi lanjut.

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk

massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), .yang terjadi

2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk

sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang

Page 23: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus

vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis.

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,

tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis

tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia,

yaitu:

1. Derajat I

Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas

atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf

sensoris.

2. Derajat II

Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat

melakukan pekerjaannya

3. Derajat III

Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia

4. Derajat IV

Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi

dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi

secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan

ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum

Page 24: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang

sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang

kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari

jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan

dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual.

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium

implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan

vertebra yang masif di sebelah depan.

2.4 GAMBARAN KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama

dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu

makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril)

terutama pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak

sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries).

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah

belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat

adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala

abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau

bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang

dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan

pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Page 25: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis

2. Uji Mantoux positif

3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional

5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis

1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru

2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus

vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara

korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.

3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung

(bird's nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses

terlihat berbentuk fusiform

4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis

5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras

6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum

tulang

7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi

8. Pemeriksaan MRI

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan

gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan

pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita

Page 26: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:

1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap

2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral

3. Foto polos toraks posisi PA

4. Uji Mantoux

5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 PENGOBATAN

Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus

dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit

serta mencegah paraplegia.

Pegobatan terdiri atas:

1. Terapi konservatif berupa:

1. Tirah baring (bed rest)

2. Memperbaiki keadaan umum penderita

3. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak

dioperasi

4. Pemberian obat antituberkulosa

Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

1. Isonikotinik hidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan

per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10

mg/kg berat badan.

2. Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.

Page 27: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

3. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.

4. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-

anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah

terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan

maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang

dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama

9 bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan

dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea

diberikan kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH

+ Etambutol selama 9-18 bulan.

Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:

1. Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua

tahap, yaitu:

1. Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH

300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap hari selama 2

bulan pertama (60 kali).

2. Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat

diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

3. Kategori 2

Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat selama

lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal

yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:

Page 28: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

4. Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg,

Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg,

Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan

pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).

5. Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol

1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan

(66 kali),

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

1. Keadaan umum penderita bertambah baik

2. Laju endap darah menurun dan menetap

3. Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

4. Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi

penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih

memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold

abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

5. Abses dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh

karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat

tuberkulostatik.

Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.

Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

Page 29: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

1. debridemen fokal

2. kosto-transversektomi

3. debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

4. Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

1. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

2. Laminektomi

3. Kosto-transveresektomi

4. Operasi radikal

5. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

lndikasi operasi

a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah

semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,

setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka

dan sekaligus debrideman serta bone graft

c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun

pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula

spinalis

Operasi kifosis

Page 30: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis

mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan

operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien dengan keluhan lemah pada kedua tungkai dapat mengarah pada kasus

infeksi, kongenital, neoplasma, trauma maupun kelainan degeneratif di daerah tulang

belakang. Dari anamnesis didapatkan data bahwa kedua tungkai lemah mulai timbul 6

bulan SMRS, sehingga kemungkinan kelainan kongenital dapat disingkirkan.

Nyeri pada tulang belakang dapat berasal dari suatu keganasan pada tulang

belakang maupun infeksi spesifik seperti tuberkulosis. Nyeri yang timbul pada pasien

ini bersifat hilang timbul. Sifat nyeri ini lebih mengarah pada tuberkulosis. Pada

tumor tulang yang sangat jarang terjadi, nyeri bersifat difus dan terus-menerus. Oleh

karena itu, kemungkinan suatu keganasan dapat disingkirkan.

Page 31: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

Dari hasil anamnesis didapat data berupa nyeri punggung yang disertai dengan

rasa kesemutan pada kedua tungkai, lama kelamaan penderita mengalami kesulitan

berjalan dan adri anamnesis juga didapatkan bahwa terdapat anggota keluarga yang

menderia tuberkulosis (menantu). Dari pemeriksaan fisik didapatkan data penderita

merasakan nyeri tekan setinggi vertebra thorakal VIII dan IX. Hasil pemeriksaan

penunjang yaitu jumlah leukosit 7.600 /mm3, serta pada rontgen thorakolumbal

didapatkan gambaran destruksi vertebra thorakal IX, terdapat suspect kompresi sela

thorakal VII dan IX. Dari data-data di atas, diagnosis kerja spondilitis TB dapat

ditegakkan.

Timbulnya paraparesis pada tungkai bawah disebabkan adanya destruksi dan

kompresi pada vertebra thorakal VIII dan IX dimana menurut teori lesi transversal

pada medula spinalis pada tingkat thorakal atau lumbal dapat mengakibatkan

kelumpuhan LMN pada tingkat terjadiinya lesi dan kelumpuhan UMN di bawah

tingkat lesi. Kelumpuhan LMN di tingkat lesi melanda kelompok otot yang

merupakan sebagian kecil dari muskular thoraks dan abdomen hanya saja pada

kelumpuhan LMN setinngi lesi gejala mungkin tidak terlalu menonjol jika

dibandingkan kelumpuhan LMN melanda sebagian dari muskular anggota gerak.

Dibawah lesi tersebut tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai. Tanda

UMN satu-satunya yang dapat dibangkitkan pada otot abdomen adalah hipertonia.

Oleh karena tonus otot abdominal meningkat maka refleks otot dinding perut

meninggi sedangkan refleks dinding perut menurun/menghilang, hal ini yang

menyebabkan pasien merasa perutnya tidak nyaman dan kaku. Sedangkan

paraestesia yang dirasakan pasien yaitu rasa tebal dari kaki sampai ke perut

merupakan batas defisit sensorik yang biasanya muncul pada tingkat lesi transversal

di medula spinalis. Selain paraplegi dan parastesi keluhan yang dirasakan pasien

adalah nyeri radikuler di pinggang. Mekanismenya adalah radiks anterior dan

posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen intervetebral, berkas ini disebut

saraf spinal. Baik iritasi pada serabut-serabut sensorik dibagian radiks posterior

maupun anterior saraf spinal dapat membangkitkan nyeri radikular diaman kawasan

sensorik setiap radiks posterior adalah dermatoma.. Pada kasus-kasus spondilitis TB

seringkali ditemukan gejala ini terutama nyeri dirasakan pada awal onset penyakit ini

Page 32: Laporan Kasus Spondilitis Tb2

dan paraparesis dan parastesia pada keadaan lanjut. Dari pemeriksaan penunjang

radiologis didapatkan data adanya gibus pada penderita ini. Dari ahasil MRI

didapatkan adnya massa pada Thorakal VIII-IX yang menyebabkan terjadinya

kontusio medula spinalis disertai kompresi korpus Thorakal VII dan IX sesuai dengan

gambaran spondilitis TB. Data-data ini mengarah pada suatu spondilitis tuberkulosis.

Terapi pada penyakit spondilitis tuberkulosis adalah terapi konservatif dan terapi

pembedahan. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum dan

eliminasi kuman penyebab dengan kombinasi antibiotik. Terapi konservatif juga

bertujuan untuk mempersiapkan pasien yang akan dilakukan tindakan bedah.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis tuberkulosis.

Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.

Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. Editor:

Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.

Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Duus, Peter. 1996. Diagnosa Topik Neurologi : Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala

Hidalgo JA. 2008. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). (online)

http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview

Page 33: Laporan Kasus Spondilitis Tb2