LAPORAN KASUS Krisis Tiroid Rtf

21
Abstrak Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan decompensasi cordis grade IV. Pasien mengeluh sesak yang semakin memberat selama kehamilan, dada sering berdebar-debar, tangan sering kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah, bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi. Di UGD RS Sarjito pasien tampak sesak, kesadaran komposmentis, tensi 190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6 o C. RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+. Gambaran EKG : STC 160 x/menit, AFRVR. berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid dapat ditegakkan. Pasien dilakukan pemasangan Non Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit dan ditransport ke ICU. Di ICU pasien diberikan terapi suportif berupa ventilasi mekanik, pemasangan monitor invasive dan invasive berupa CVC dan nutrisi. Terapi kausatif diberikan berupa pemberian antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien. Selama perawatan ICU kondisi pasien semakin memburuk dikarenakan tidak adanya respon terhadap obat-obatan inotropik dan vasopresor dan terapi lain yang diberikan sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal.

Transcript of LAPORAN KASUS Krisis Tiroid Rtf

Abstrak

Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin

dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan

decompensasi cordis grade IV. Pasien mengeluh sesak yang semakin

memberat selama kehamilan, dada sering berdebar-debar, tangan sering

kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah,

bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun

yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat

tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi.

Di UGD RS Sarjito pasien tampak sesak, kesadaran komposmentis,

tensi 190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6oC.

RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+. Gambaran EKG : STC 160 x/menit,

AFRVR. berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005),

didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya

atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system syaraf yang dimulai dengan

adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya faktor pencetus berupa

kehamilan dan persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum (10)

sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid

dapat ditegakkan.

Pasien dilakukan pemasangan Non Rebreathing Mask dengan oksigen

10 liter/menit dan ditransport ke ICU. Di ICU pasien diberikan terapi suportif

berupa ventilasi mekanik, pemasangan monitor invasive dan invasive

berupa CVC dan nutrisi. Terapi kausatif diberikan berupa pemberian

antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan

pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien.

Selama perawatan ICU kondisi pasien semakin memburuk dikarenakan

tidak adanya respon terhadap obat-obatan inotropik dan vasopresor dan

terapi lain yang diberikan sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal.

PENDAHULUAN

Krisis tiroid merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa, suatu

keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari kegagalan

tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat. Lebih sering

terjadi pada wanita dibanding pria, dengan angka kematian sekitar 10 –

20%. Onset biasanya mendadak dan faktor pencetus dapat diidentifikasi

pada sekitar 50% kasus. (Oh, 2009)

Hipertiroid ditemukan sekitar 0,2% dari seluruh kehamilan. Tanda

klinis dari hipertiroid pada kehamilan seperti takikardi, berkeringat dan sesak

nafas kelihatan normal pada kondisi hamil. Gagal jantung kongestif, badai

tirod dan resiko preeklampsi secara signifikan dapat meningkat pada wanita

dengan hipertiroid yang tidak terkontrol (Lazarus, 2005).

Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi

klinis karena konfirmasi laboratoris seringkali tidak dapat dilakukan dalam

rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan

hipermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah,

agitasi, dan psikosis. Insidensi krisis tiroid adalah sekitar 1-2% dari pasien

hipertiroidisme. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani

dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang dewasa pada krisis

tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan

hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat inap. Dengan

tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka

kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%. (Misra, 2010 ; Schraga,

2009).

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi badai tiroid atau krisis tirotoksik belum dapat dimengerti.

Kejadian kelenjar tiroid adalah aktivitas yang berlebihan (total bebas T4 dan

T3). Gejala dan tanda hipertiroid adalah aktivitas simpatis yang berlebihan

yang melepaskan epinefrin dan norepinefrin, meningkatnya sensitivitas

katekolamin dan meningkatnya cAMP merupakan dasar meningkatnya

aktivitas adrenergik. Hormon tiroid secara langsung memiliki efek

cardiostimulator, dengan takikardi dan meningkatkan kontraktilitas.

Termogenesis meningkat dengan vasodilatasi merupakan respon

kompensasi untuk meningkatkan temperatur tubuh (Bongard, 2002).

FAKTOR PENCETUS

Kebanyakan pasien yang datang dengan keadaan krisis memiliki

penyakit dasar Grave’s disease yang tidak dikenali atau tidak terkontrol.

Dimana faktor yang dapat memperberat seperti infeksi, trauma, prosedur

operatif, diabetes yang tidak terkontrol, kehamilan, eklampsia. Krisis justru

merupakan keadaan yang jarang terjadi pada tindakan bedah tiroid, tetapi

dilaporkan terjadi pada keadaan palpasi atau tekanan yang berlebih pada

kelenjar tiroid, preparasi yang tidak lengkap, dan dosis yang tidak adekuat

dari antagonis β adrenergik selama perioperatif (Oh,2009).

GEJALA KLINIS

Badai tiroid merupakan tanda tirotoksikosis berat dengan demam dan

gangguan status mental. Perubahan status mental meliputi bingung, agitasi,

psikosis, atau kasus berat sampai koma. Hiperpireksia, takikardi dengan

atrial fibrilasi, delirium, agitasi atau koma, muntah, diare, dan kelemahan

otot merupakan keadaan klinis yang utama. Diagnosa banding yang sering

adalah sepsis, tetapi manifestasi klinis dapat rancu dengan keadaan

hipertermi yang lain, opioid withdrawal, overdosis adrenergik atau kolinergik.

Manifestasi klinis dapat sangat kompleks dengan adanya faktor presipitasi

dan penyakit dasar yang menyertai. Manifestasi kardiovaskuler meliputi

takikardi, aritmia (sinus atau supraventrikel takikardi, atrial fibrilasi) dan

kegagalan jantung. Pasien dengan kegagalan jantung biasanya pada usia tua

dan memiliki riwayat gangguan jantung. Hipotensi dan syok merupakan

manifestasi lanjut. Gastrointestinal meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri

perut. Kehilangan berat badan dan kakeksia bisa terjadi. (Oh, 2009)

Tabel 1. Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005).

Bila skor ≥ 45 à krisis tiroid, skor 25 -44 à impending krisis tiroid, skor ≤ 24

bukan krisis tiroid.

LABORATORIUM

Pada penderita hipertiroid dapat terjadi gangguan fungsi liver, antara

lain seperti meningkatnya aminotransferase, hiperbilirubinemia dan

hepatomegali umumnya terjadi. Meningkatnya T4 bebas, T3 bebas, dan

menurunnya TSH. (Oh, 2009)

TERAPI DAN MANAJEMEN

Manajemen temasuk penegakan diagnosis dan terapi spesifik, suportif,

untuk mengurangi sintesis, pelepasan, konversi perifer dan efek perifer dari

hormon tiroid. Diagnosis dari krisis tiroid adalah klinis dan tatalaksana harus

agresif. Beberapa terapi obat yang berbeda mekanisme untuk memblok

sintesa, sekresi, aktivasi atau aksi hormon tiroid dapat digunakan secara

bersama-sama untuk mengontrol secara cepat hipertiroid. (Bongard, et al.,

2002)

Tabel 2. Terapi krisis Tiroid (Henneman, 2003)

Antagonis adrenergik melawan efek dari hormon tiroid danβ

hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan obat

pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. Takikardi, demam,

hiperkinesia, dan tremor berespon cukup cepat. Pemberian dosis awal 0,5 –

11 mg I.V diberikan secara perlahan setiap 5 – 10 menit sampai 10mg.

diikuti dengan 40 – 60 mg oral setiap 6 jam. Kortikosteroid pada umumnya

diberikan selama krisis, karena defisiensi relatif dapat terjadi, dan

glukokortikoid menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. PTU mempunyai

onset yang cepat, dan efeknya dengan memblok iodinasi tirosin dan

hambatan parsial terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal 100 mg dapat

diberikan, dilanjutkan dengan 100 mg per 2 jam. Sodium iodide 1 gr i.v,

dapat diberikan per 12 jam sebagai infus continuous atau bolus dalam

beberapa menit. Iodine kerjanya menghambat dilepaskannya hormon tiroid

dari kelenjar. Iodine juga menghambat sintesa hormon tiroid. Intravena

sodium iodine diberikan dosis 1g perhari. Digoxin diindikasikan menyertai

koreksi hipokalemia jika terdapat atrial fibrilasi atau gagal jantung (Oh,

2009)

EDEMA PARU

Hormon tiroid memberi efek terhadap hemodinamik kardiovaskular.

Aksi dari hormone tiroid dalam meningkatkan konsumsi oksigen perifer

dapat secara langsung kontraktilitas jantung. Triiodothyronine menurunkan

resistensi pembuluh darah perifer dengan mendilatasi arteriola yang resisten

pada sirkulasi perifer sehingga volume pengisian arteri menurun dan terjadi

peningkatan pelepasan renin. Dengan meningkatnya reabsorbsi natrium

renal dapat meningkatkan volume plasma. Hal ini dapat meningkatkan

volume darah dan preload yang akhirnya dapat meningkatkan cardiac output

(Klein, 2001).

Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskuler (Klein,

2001).

Komplikasi yang paling sering pada ibu hamil dengan hipertiroid kronis

yang tidak terkontrol adalah gagal jantung dan krisis tiroid. Pada pasien

dengan hipertiroid yang berat dan kronis dapat terjadi penurunan

kontraktilitas jantung sehingga dapat terjadi penurunan cardiac output dan

terjadi gagal jantung dan kongesti paru. Hal ini umumnya ditemukan bila

munculnya sinus takikardi persisten atau atrial fibrilasi yang berkaitan

dengan gagal jantung (Yang, 2005 ; Klein, 2001).

Edema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau

serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus

paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam

waktu singkat. Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan osmotik

koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler

yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan

seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal proses oksigenasi.

Penyebab yang tersering dari edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri

akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paru-

paru yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema paru

kardiogenik, sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan

jantung disebut edema paru non kardiogenik (Wilson, 2006 ; Stoelting,

2002).

Edema paru dibagi menjadi 4 stadium, yaitu: (Morgan, 2006)

• Stadium I

Berupa edema paru interstitial. Pasien takipneu akibat dari compliance

paru menurun. Foto thorak menunjukkan corakan vaskuler paru sampai

diperifer dan peribronchial cuffing.

• Stadium II

Cairan mengisi interstitial dan mulai mengisi alveoli, mula-mula mengisi

sudut disekitar septa. Pertukaran gas relatif masih baik.

• Stadium III

Alveoli dipenuhi dengan cairan, banyak alveoli yang tidak terisi udara.

Cairan paling banyak terutama di area yang paling bawah (dependent

area) dari paru. Aliran darah melewati kapiler dengan alveoli yang berisi

cairan sehingga terjadi shunting. Hipoksemia dan hipokapnia merupakan

gejala yang menonjol.

• Stadium IV

Alveoli dipenuhi dengan cairan sampai mengalir ke jalan nafas.

Pertukaran gas sudah sangat terganggu akibat shunting dan obstruksi

jalan nafas, sehingga terjadi hiperkapnia dan hipoksemia yang berat .

Ada 3 gambaran radiologis utama yang dapat digunakan untuk

membedakan kardiogenik dan non kardiogenik edema paru secara radiologis

yaitu distribusi aliran darah paru, distribusi edema paru dan lebar pedikel

pembuluh darah. Distribusi aliran darah, pada pasien dengan edema paru

hirostatis terjadi redistribusi aliran darah, sedangkan pada pasien dengan

edema paru kardiak tidak terjadi redistribusi. Distribusi edema adalah

simetris pada edema paru kardiak atau over hidrasi sedangkan pada edema

paru permeabilitas patchy dan periferal. Ukuran jantung serta ada atau

tidaknya septal lines juga dapat digunakan sebagai salah satu kriteria untuk

membedakan edema paru kardiak dan non kardiak dengan akurasi 83%. Jadi

jika jantung membesar dan terdapat septal lines, kemungkinan besar edema

paru kardiak. . Pedicle pembuluh darah dapat dilihat dengan mengukur

lebar mediastinum tepat dibawah arkus aorta, dengan lebar yang normal

berkisar antara 43 mm sampai 53 mm dengan posisi pasien berdiri. Pedicle

pembuluh darah melebar pada 60% pasien dengan gagal jantung serta 85%

pada pasien dengan gagal ginjal atau over hidrasi. Hal yang berlawanan

pada pasien dengan edema permeabilitas, dimana pedicle pembuluh darah

masih dalam batas normal pada 70% kasus (Bongard, 2002).

Edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi kelebihan cairan

kedalam paru sekunder akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena

pulmonalis serta kapiler pulmonal. Hal ini tanpa ada perubahan dalam

permeabilitas atau integritas dari lapisan endotel dan epitel pada kapiler

pulmonal. Hasil akhirnya adalah filtrasi dari cairan dengan kandungan

protein yang rendah melewati endotel pulmonal ke interstitial pulmonum

serta ruang alveoli, sehingga terjadi penurunan kapasitas difusi, hipoksia dan

sesak nafas. Ada 2 mekanisme peningkatan tekanan hidrostatis kapiler yaitu

hipertensi vena pulmonalis dan peningkatan aliran darah paru. Penyebab

hipertensi vena pulmonalis antara lain gagal ventrikel kiri, stenosis mitralis

atau obstruksi atrium kiri. Peningkatan aliran darah paru dapat terjadi akibat

kelainan jantung dengan shunting kiri ke kanan atau shunting perifer,

hipervolemia (overhidrasi), anemia berat (Morgan, 2006).

Manajemen awal pasien dengan udem paru kardiak harus membahas

ABC resusitasi, yaitu, jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Oksigen harus

diberikan kepada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen> 90%.

Tujuan utama dari penatalaksanaan udem paru kardiogenik adalah (1)

penurunan kembali vena paru (pengurangan preload), (2) penurunan

resistensi vaskuler sistemik (reduksi afterload), dan (3) dukungan inotropic

dalam beberapa kasus. Preload pengurangan penurunan tekanan hidrostatik

kapiler paru dan mengurangi transudation cairan ke paru-paru dan alveoli

intersititium. Penurunan afterload meningkatkan output jantung dan

memperbaiki perfusi ginjal, yang memungkinkan untuk diuresis pada pasien

dengan overload cairan. Pasien dengan disfungsi LV parah atau gangguan

katup akut bisa hadir dengan hipotensi. Pasien ini tidak dapat mentolerir

obat untuk mengurangi preload dan afterload. Oleh karena itu, tujuan ketiga

dalam subset dari pasien adalah untuk memberikan dukungan inotropic

untuk menjaga tekanan darah yang memadai. Jiga dengan pemberian

farmakologi berupa morfin,diuretic, vasodilator dan inotropik (Sovari, 2008 ;

Morgan, 2006).

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Ny. L

Umur : 28 tahun

No. CM : 01 44 38 50

Masuk RS : 26 Oktober 2009

Masuk ICU : 26 Oktober 2009

Anamnesis

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien kiriman dari RSUD Sleman dengan diagnosa Kala II awal disertai

udem pulmo dan decompensasi cordis grade IV.

Pasien merasa hamil 8 bulan, perut terasa kencang-kencang teratur,

keluar lendir darah dan keluar air ketuban. Pasien juga mengeluh sesak

nafas yang semakin berat sejak masa kehamilan. Pasien tidak pernah

berobat selama masa kehamilan. Pasien juga mengeluh dada sering

berdebar-debar, tangan sering gemetar disertai adanya pembengkakan di

kedua kaki. Pasien dirujuk ke RS Sarjito dan dilakukan partus spontan

dengan vakum ekstraksi setelah itu pasien dikonsulkan untuk perawatan

ICU.

Riwayat Penyakit Dahulu :

± 3 tahun yang lalu pasien pernah berobat di dokter swasta di daerah

Rengat dan didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat. Tetapi

karena setelah minum obat pasien merasa mata dan kaki menjadi bengkak

disertai tangan menjadi gemetar pasien menghentikan konsumsi obat-

obatan tersebut dan tidak pernah berobat ke dokter atau puskesmas

terdekat untuk kontrol hingga kehamilan 8 bulan.

Dari hasil pemeriksaan di UGD RS sarjito didapatkan data bahwa

pasien tampak sesak. Kesadaran composmentis. Dengan tensi

190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6oC. RBK +/+,

wheezing -/-, Vesikuler +/+. Kemudian dilakukan pemasangan Non

Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Hb. 12,8

Hct. 38 AL. 16 AT. 511 AE. 4,56 BUN. 15

Creat. 1,3 GDS 155

Na. 133 K. 4,2 Cl. 107 Ca 1,46 Mg 0,91 FreeT4

2,74

h-TSH 0,04 T4 14,53 T3 1,0

AGD :

FiO2 : 0,3 PH : 7,131 PCO2 : 32,4 PO2 : 75,1

HCO3: 10,6

BE : -17,3 AaDO2 : 523,9 SO2 : 87

EKG : HR 160 x/menit, AFRVR

PEMERIKSAAN FISIK:

Pasien masuk ICU pada tanggal 26 Oktober 2009 jam 21.30, dari UGD

diantar oleh residen anestesi dan residen Obgin dengan KU lemah, compos

mentis, tampak sesak, terpasang NRM 10L/mnt, terpasang IV line di tangan

kiri dengan infus RL

Pada pemeriksaan:

K/L : pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, anemis -/-, exopthalmus, JVP

meningkat,

Massa thyroid (+), terpasang NRM 10L/mnt

Thorak : Cor : T.140/106mmHg, MAP : 117 , HR. 119 x/mnt, regular,

bising (-)

Pulmo : RR 30-34 x/mnt, RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+

Abd : Teraba uterus setinggi umbilicus , H/L tidak teraba, turgor dbn,

peristaltic (+) normal

Ekst : edema ekstremitas bawah +/+, akral hangat

Perawatan di ICU

Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan0 KU : CM, Lemah

GCS : E4V5M6TD : 120-160/50-107HR : 120-150x/mntRR : 12-50Temp: 37,2 - 37,8°CKepala/leher :Pupil Ø 3 mm, RC +/+ , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas :

Hb. 12,8

Hct. 38

AL. 16

AT. 511

AE. 4,56

BUN. 15

Creat. 1,3

GDS 155

Na. 133

K. 4,2

Cl. 107

Ca 1,46

Mg 0,91

AGD :

Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV

Pada jam 01.00 WIB pasien mengalami kejang, kesadaran menurun kemudian dilakukan intubasi endotrakheal

Ventilasi : NRM 10 l/mnt

Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgPTU 4x100 mgLugol 4x 10 tetesDigoxin 1x0,5 mg

Intake parenteral: RL 500 cc

Balans cairan CM : 432 ml

edema tungkai bawah +/+ FiO2 : 0,9

PH : 7,36

PCO2 : 23,8

PO2 : 85,3

HCO3 : 13,3

BE : -10,6

AaDO2 : 523,1

SO2 : 95,6

CK : 50 ml IWL : 147 ml BC : + 235 ml UO : 0,16 cc/kgBB/jam

Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan1 KU : Sopor

GCS : E1VTM1TD : 70-160/40-107HR : 120-150x/mntRR : 14-24Temp: 37,2 - 39,5°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun, CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+

CKMB 72

CK 406

Troponin 0,61

freeT4 2,49

h-TSH 0,045

GDS 63

Na. 136

K. 5,87

Cl. 113

Ca 1,46

Mg 0,91

AGD :

FiO2 : 0,45

PH : 7,34

PCO2 : 28,5

PO2 : 117

HCO3 : 15,6

BE : -8,3

AaDO2 : 167,2

SO2 : 98,4

Ro thorax :

Cardiomegali dan

edema pulmo

Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV

Hiperkalemia,Peningkatan CKMB,CK,Troponin, freeT4

Mulai pukul 16.00 WIB terjadi periode hipotensi sehingga NTG di stop dan diberi terapi dobutamin titrasi dan vascon titrasi. Kemudian mulai pukul 22.00 nadi sekitar 180-195 x/menit sehingga diberi amiodaron bolus intravena dan dilanjutkan titrasi.

Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 8, FiO2 45%

Pemasangan CVC

Koreksi hiperkalemia

Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgNTG titrasiMO titrasiDexamethasone 3x 5 mgPTU 4x100 mgLugol 4x10 tetesParacetamol 3x500 mgDigoxin 1x0,5 mgIntake parenteral: RL 500 cc

Intake enteral 150 cc/2jam

Balans cairan CM : 2546 ml CK : 1400 ml IWL : 700 ml BC : + 446 ml UO : 1,1 cc/kgBB/jam

Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan2 KU : Coma

GCS : E1VTM1TD : 80-130/50-70HR : 130-150x/mntRR : 16-30Temp: 37,2 - 39,2°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-

Hb. 11,2

Hct. 35,1

AL. 30,78

AT. 236

AE. 4,56

GDS 156

Na. 134

Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV

Hiperkalemia,Hipoalbumin

Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%

Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbumin

Kultur darah

Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+

K. 5,19

Cl. 109

BUN 59

Creat 3,1

Albumin 1,5

AGD :

FiO2 : 0,5

PH : 7,25

PCO2 : 36,9

PO2 : 149,5

HCO3 : 16,5

BE : -9,2

AaDO2 : 156,9

SO2 : 98,9

Kultur sputum

Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgDobutamin titrasiVascon titrasiMO titrasiDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg

Intake parenteral: RL 500 cc

Intake enteral 150 cc/2jam

Balans cairan CM : 1952,3 ml CK : 1150 ml IWL : 700 ml BC : + 102,3 ml UO : 0,9 cc/kgBB/jam

Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan3 KU : Coma

GCS : E1VTM1TD : 100-140/70-90HR : 150-180x/mntRR : 15-28Temp: 37,2 - 38,8°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+

Hb. 9,8

Hct. 31,7

AL. 32,2

AT. 159

AE. 3,93

GDS 99

Na. 136

K. 6,3

Cl. 112

Albumin 1,9

AGD :

FiO2 : 0,5

PH : 7,314

PCO2 : 31,3

PO2 : 108,3

HCO3 : 16,1

BE : -8,5

Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV

Hiperkalemia,Hipoalbumin

NGT dialirkan

Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%

Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbumin

Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 2x20 mgDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg

Intake parenteral: RD12 500 cc

RL 500 cc

Balans cairan CM : 2025 ml

AaDO2 : 116,9

SO2 : 97,7

CK : 4125 ml IWL : 700 ml BC : - 2520 ml UO : 3,04 cc/kgBB/jam

Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan4 KU : Coma

GCS : E1VTM1TD : 90-130/50-70HR : 160-180x/mntRR : 12-50Temp: 38,2 - 39,8°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+

GDS 197

Na. 152

K. 5,13

Cl. 114

Albumin 1,39

AGD :

FiO2 : 0,5

PH : 7,314

PCO2 : 31,3

PO2 : 108,3

HCO3 : 16,1

BE : -8,5

AaDO2 : 116,9

SO2 : 97,7

Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV

Hiperkalemia,HipoalbuminHipernatremia

NGT dialirkan

Problem : terjadi penurunan TD yg tdk respon dg inotropik dan vasopresor.OS dinyatakan meninggal pk.16.40 WIB

Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%

Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbuminKoreksi hipernatremia

Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramGentamycin 1x240 mgLasix 2x20 mgDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg

Intake parenteral: RD 12 500 cc

RL 500 cc

PEMBAHASAN

Krisis tiroid adalah merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa,

suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari

kegagalan tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat.

Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan

sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatis. Hampir

semua sistem dalam tubuh mengalami gangguan akibat kelebihan hormone

tiroid ini sehingga pasien memberikan keluhan banyak macam. Dalam batas

fisiologis, hormon tiroid merangsang pertumbuhan dan perkembangan tubuh

serta meningkatkan sintesa banyak enzim. Manifestasi klinis yang paling

sering dalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat

banyak, tidak tahan panas, palpitasi dan pembesaran tiroid. Penurunan berat

badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah

sangat spesifik, sehingga perlu dipikirkan adanya hipertiroidisme.

Dari hasil anamnesa pada pasien ini didapatkan riwayat bahwa

pasien pernah didiagnosa sebagai penderita struma yang kemudian pasien

tidak pernah lagi kontrol dikarenakan keluhan yang semakin memberat.

Sedangkan dari pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan adanya

pembesaran kelenjar tiroid dan exophtalmus serta adanya peningkatan

freeT4, dan penurunan TSH. Kemudian berdasarkan Sistem skoring Burch

dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25),

adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system

syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya

faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan

ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45

maka krisis tiroid dapat ditegakkan.

Selain itu pasien juga didiagnosa dengan gagal jantung kongestif.

Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesa berupa sesak yang

semakin berat dengan beraktifitas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik

didapatkan adanya peningkatan JVP, adanya ronkhi basah kasar diseluruh

lapang paru dan adanya udem di kaki. Kemudian ditunjang dengan hasil

rontgen dada yang menunjukkan adanya cardiomegali dan udem pulmo.

Akan tetapi seharusnya pasien dilakukan pemeriksaan Ekokardiografi untuk

lebih jelas mengetahui fungsi-fungsi dinding jantung dimana pada pasien ini

tidak dilakukan dikarenakan peralatan yang rusak pada saat itu.

Selama perawatan ICU pasien diberikan terapi suportif berupa

pengamanan jalan nafas dengan intubasi, pernafasan dengan ventilasi

mekanik dan pemasangan monitor invasive berupa CVC. Pengamanan jalan

nafas dpada pasien ini seharusnya dilakukan pada saat pasien masih di UGD

karena pada saat pemeriksaan fisik di UGD pasien telah mengalami gagal

nafas. Selain itu pasien juga diberikan terapi kausatif berupa pemberian

antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan

pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien.

Antagonis adrenergik diberikan untuk melawan efek dari hormonβ

tiroid dan hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan

obat pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. 1 selektifβ

antagonis tidak dapat menghambat konversi T4 ke T3 seefektif propanolol.

Pada pasien ini tidak diberikan propanolol dikarenakan adanya gagal jantung

kongestif sehingga bila diberikan blockers dapat memicu syokβ

kardiogenik.

Reserphine dan guanethidine. Meskipun telah digantikan dalam

penggunaannya oleh -adrenergik blocker, dapat dignakan sebagai β life-

saving, dan dapat dipertimbangkan pada hipertiroid yang resisten terhadap

propanolol atau pada keadaan kontraindikasi propanolol. Onset lambat, efek

samping termasuk depresi saraf pusat dan diare. Sediaan parenteral dari

reserphin tidak lagi diproduksi. Diltiazem menurunkan denyut jantung sama

efektif dengan propanolol dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif

terahadap blocker pada krisis tiroidβ . Walaupun pada pasien ini tidak

diberikan akan tetapi pemberian reserpin dan guanethidine dapat

dipertimbangkan.

Pemberian obat-obatan untuk hipertiroidisme adalah bertujuan

membatasi produksi hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan

produksi (obat anti tiroid/OAT seperti Prophyltiourasil dan lugol) atau

merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

Penggunaan obat anti tiroid seperti diatas umumnya dengan dosis besar

pada permulaan sampai tercapai eutiroidisme, kemudian diberikan dosis

rendah untuk mempertahankan keadaan eutiroidisme. Pada pasien ini telah

diberikan PTU 200 mg di UGD, karena pertimbangan berat ringannya

keadaan dimana pasien masih dalam keadaan hipertiroid maka diberikan

lagi dosis ulangan 200mg di ICU. Obat ini mempunyai kerja imunosupresif

seperti pada penyakit Graves, dapat menurunkan konsentrasi thyroid

stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid, disamping itu dapat

unutk menghambat sintesa hormone tiroid serta mencegah konversi perifer

T4 menjadi T3.

Selain itu pasien juga mendapatkan terapi kortikosteroid.

Kortikosteroid pada umumnya diberikan selama krisis, karena defisiensi

relatif dapat terjadi, dan glukokortikoid menghambat konversi perifer T4

menjadi T3. Hidrokortisone 100mg i.v per 6 jam atau deksamethason 5mg i.v

per 12 jam bersama dengan iodida, dapat menyebabkan penurunan

bermakna derajat tirotoksikosis.

Pada hari pertama hingga hari kedua rawat di ICU pasien diberi nutrisi

enteral berupa diet cair tinggi kalori tinggi protein. Akan tetapi pada hari

ketiga terdapat residu yang banyak setiap pemberian nutrisi sehingga

diputuskan NGT dialirkan. Dikarenakan nutrisi parenteral tidak dapat

diberikan maka diganti dengan pemberian nutrisi parenteral berupa RD12%.

Selama perawatan di ICU terjadi penurunan keadaan umum, terjadinya

syok merupakan suatu tanda prognosis yang buruk. Yang menyebabkan

kematian pada pasien ini kemungkinan karena syok kardiogenik dimana

pasien telah memiliki gagal jantung sebelumnya walaupun pasien telah

diberi obat-obatan inotropik dan vasopresor. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena hiperaktivitas yang berlebihan dimana sampai pada

batas tertentu jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kebutuhan

cardiac output, dimana disebutkan pula pada beberapa literatur bahwa

terjadinya hipotensi dan syok dapat merupakan suatu prognosis yang buruk.

Kemungkinan lain pada pasien ini juga dapat menyebabkan kematian oleh

karena syok septik.

RINGKASAN

Telah dilakukan perawatan terhadap pasien wanita, usia 28 tahun dengan

diagnosa krisis tiroid disertai udem paru di ICU. Pasien dilakukan perawatan

untuk stabilisasi kardiorepirasi akibat hipermetabolisme serta tatalaksana

krisis tiroid untuk mengurangi produksi hormone tiroid dan mencegah

konversi perifer T4 ke T3 disertai adanya penyakit penyerta yaitu gagal

jantung kongestif. Selama perawatan kondisi pasien tidak stabil, cenderung

terjadi penurunan keadaan umum serta perburukan hemodinamik, sampai

akhirnya pasien dinyatakan meninggal setelah perawatan kurang lebih

empat hari di ICU yang kemungkinan disebabkan syok kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA

Bongard, F.S., Sue, D.Y; 2002, Endocrine Problem in The Critically Ill Patient, Current Critical Care Diagnosis & Treatment, 2nd edition, Mac Graw Hill

Henneman G, 2003, Grave’s Disease : Complications, www.thyroidmanager.org (17-4-2010)

Klein Irwin, 2001, Thyroid hormone and cardiovascular hemodynamic, www.nejm.org(7-4-2010)

Lazarus, 2005, Screening for thyroid disease in pregnancy, www. jcp.bmjjournals.com(7-4-2010)

Migneco, 2005 Management of Thyrotoxyc Crisis, www.european view.org(5-3-2010)

Misra M, 2010 Singhal A, Campbell D. Thyroid storm, www.emedicine.medscape.com(17-4-2010)

Morgan,G.E,Mikhail,M.S, 2006, Critical Care, in Clinical anesthesiology, Fourth edition, A lange Medical Book

Oh, T.E., 2009, Intensive Care Manual, 6th ed, Butterworth Heinemann, Elsevier Science, China

Schraga ED, 2009, Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. www. emedicine.medscape.com (17-4-2010)

Sovari, A., 2008, Cardiogenic Pulmonary Edema, www.emedicine.medscap.com (27-04-2010)

Stoelting, RK., 2002, Restrictive Lung Disease in Anesthesia and Co-Existing disease, Fourt edition, Churchill livingstone

Wilson LM, 2006, Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi VI. Buku I. EGC. Jakarta

Yang MJ., 2005, Pregnancy Complicated with Pulmonary Edema Due to Hyperthyroidism www. Homepage,vghtpe.gov.tw (7-4-2010)

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN KRISIS TIROID POST

PARTUM YANG DISERTAI UDEM PARU DI

INTENSIVE CARE UNIT

Oleh :

Susi Handayani

Peserta MS-PPDS I Anestesiologi & Reanimasi

Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta

Pembimbing Moderator

Dr. Calcarina FRW, SpAn.KIC Dr. Bambang

Suryono, SpAn,KIC,KNA, MKes

LABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UGM / RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA