LAPORAN KASUS KOMPLIKASI AKIBAT PENGGUNAAN …
Transcript of LAPORAN KASUS KOMPLIKASI AKIBAT PENGGUNAAN …
1
LAPORAN KASUS
KOMPLIKASI AKIBAT PENGGUNAAN TOURNIQUET PADA PASIEN
YANG MENJALANI OPERASI ORTOPEDI
Oleh :
dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn,MARS
DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karuniaNya laporan kasus ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari laporan kasus ini
adalah “Komplikasi Akibat Penggunaan Tourniquet Pada Pasien Yang Menjalani
Operasi Ortopedi”.
Laporan kasus ini berisi komplikasi dan penanganan akibat penggunaan
tourniquet pada operasi ortopedi yang sering kali menimbulkan gangguan fisiologis
yang berdampak buruk bagi pasien.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan saran serta kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Denpasar, 2 Mei 2019
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... 2
ABSTRAK …………………………………………………………................... 4
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 7
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 16
BAB IV DISKUSI KASUS ................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...................... 31
4
COMPLICATIONS DUE TO USE OF TOURNIQUETS IN ORTHOPEDIC
SURGERY PATIENTS
Cynthia Dewi Sinardja
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine, Udayana
University, RSUP Sanglah, Denpasar
Abstract
An arterial tourniquet is a pneumatic device consisting of an expanding cuff connected
to a compressed gas supply. The most common use for tourniquets is in surgical
procedures on the extremities, where tourniquets are very useful in optimizing
operating conditions by creating bloodless surgical fields. The exanguination process
followed by ischemia will result in physiological problems with local and systemic
consequences that the anesthesiologist must be aware of. Local effects that may arise
include: posttourniquet syndrome , where the patient's limbs become swollen, pale, stiff
with weakness but not paralyzed, degeneration of myelin and compressed nerve
conduction damage and ischemia. Systemic effects that can arise include: increased
central venous pressure, increased systolic arterial pressure (tourniquet induced
hypertension), increased ETCO2 (end-tidal CO2), tourniquet pain, increased
intracranial pressure, increased risk of bleeding, increased core body temperature, as
well as a small increase in plasma potassium and lactate concentrations. From the
cases to be discussed, it is possible for patients to experience tourniquet induced
hypertension, which is one of the systemic complications that can arise due to the use
of tourniquet. As a result of the lack of good preoperative preparation, the anesthesia
team had difficulty stabilizing hemodynamics from the patient. Every patient who is
predicted to use a tourniquet during surgery, must be better prepared to
preoperatively. Preoperative ketamine, clonidine, or lidocaine have been studied can
be used to prevent the occurrence of tourniquet pain which can lead to increased
arterial pressure that is difficult to control. Adjuvant use is also recommended in
5
patients who will undergo regional anesthesia so that complications do not arise.
Anesthesiologists are also required to monitor the duration and pressure used by the
tourniquet so as not to overdo it so that bad complications can be prevented.
Keywords: tourniquet, anesthesia, complications, tourniquet induced hypertension,
tourniquet pain.
6
LAPORAN KASUS
KOMPLIKASI AKIBAT PENGGUNAAN TOURNIQUET PADA PASIEN
YANG MENJALANI OPERASI ORTOPEDI
Cynthia Dewi Sinardja
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak
Tourniquet arteri adalah perangkat pneumatik yang terdiri dari manset yang dapat
mengembang terhubung ke pasokan gas terkompresi. Penggunaan paling umum untuk
tourniquets tersebut adalah dalam prosedur bedah pada ekstremitas, di mana tourniquet
sangat berguna dalam mengoptimalkan kondisi operasi dengan menciptakan lapangan
bedah tanpa darah (bloodless surgical field). Proses eksanguinasi yang diikuti oleh
iskemia akan mengakibatkan problem fisiologis dengan konsekuensi lokal dan sistemik
yang harus disadari oleh ahli anestesi. Efek lokal yang mungkin muncul antara lain :
posttourniquet sindrom ', di mana anggota badan pasien menjadi bengkak, pucat, kaku
dengan kelemahan tetapi tidak sampai lumpuh, degenerasi dari myelin dan kerusakan
konduksi saraf yang terkompresi dan iskemia. Efek sistemik yang bisa muncul antara
lain : peningkatan tekanan vena sentral, peningkatan tekanan arteri sistolik (tourniquet
induced hypertension), peningkatan ETCO2 (end-tidal CO2), nyeri tourniquet
(tourniquet pain), peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan resiko perdarahan,
peningkatan suhu inti tubuh, serta peningkatan kecil pada konsentrasi plasma kalium
dan laktat. Dari kasus yang akan dibahas, kemungkinan pasien mengalami tourniquet
induced hypertension yang merupakan salah satu komplikasi sistemik yang dapat
muncul akibat penggunaan tourniquet. Akibat kurangnya persiapan preoperatif yang
baik, tim anestesi mengalami kesulitan untuk menstabilkan hemodinamik dari pasin
tersebut. Setiap pasien yang diprediksi akan menggunakan tourniquet selama operasi,
wajib dipersiapkan dengan lebih baik untuk preoperatifnya. Ketamin preoperatif,
clonidine, ataupun lidokain telah diteliti dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
7
tourniquet pain yang dapat memicu peningkatan tekanan arteri yang sulit dikontrol.
Penggunaan adjuvan juga disarankan pada pasien yang akan menjalani anestesia
regional agar komplikasi tidak muncul. Ahli anestesi juga wajib memonitor durasi dan
tekanan yang digunakan oleh tourniquet agar tidak berlebihan sehingga komplikasi
yang buruk dapat dicegah.
Kata Kunci : tourniquet, anesthesia, komplikasi, tourniquet induced hypertension,
tourniquet pain.
8
BAB I
PENDAHULUAN
Tourniquet adalah alat yang digunakan untuk mengontrol aliran darah ke atau
dari suatu ekstremitas. Tourniquet arteri biasanya berupa perangkat pneumatik yang
terdiri dari manset yang dapat mengembang terhubung ke pasokan gas terkompresi.
Penggunaan paling umum untuk tourniquets tersebut adalah dalam prosedur bedah
pada ekstremitas, di mana tourniquet sangat berguna dalam mengoptimalkan kondisi
operasi dengan menciptakan lapangan bedah tanpa darah (bloodless surgical field).
(Deloughry, 2009).
Proses eksanguinasi yang diikuti oleh iskemia akan mengakibatkan problem
fisiologis dengan konsekuensi lokal dan sistemik yang harus disadari oleh ahli anestesi.
Komplikasi pada pasien muda yang sehat sangat jarang, tetapi risiko cedera terkait
tourniquet meningkat pada orang tua dan yang disertai komorbiditas seperti penyakit
pembuluh darah perifer. Komplikasi yang meningkat juga terjadi pada tekanan inflasi
yang lebih tinggi dan waktu iskemik yang lebih lama.
Komplikasi yang terjadi bisa berupa efek lokal dan sistemik. Efek lokal yang
mungkin muncul antara lain : posttourniquet sindrom ', di mana anggota badan pasien
menjadi bengkak, pucat, kaku dengan kelemahan tetapi tidak sampai lumpuh,
degenerasi dari myelin dan kerusakan konduksi saraf yang terkompresi dan iskemia.
Efek sistemik yang bisa muncul antara lain : peningkatan tekanan vena sentral,
peningkatan tekanan arteri sistolik (tourniquet induced hypertension), peningkatan
ETCO2 (end-tidal CO2), nyeri tourniquet (tourniquet pain), peningkatan tekanan
intrakranial, peningkatan resiko perdarahan, peningkatan suhu inti tubuh, serta
peningkatan kecil pada konsentrasi plasma kalium dan laktat.
Penting bagi setiap personel ruang operasi, terutama ahli anestesi untuk
mengetahui tekanan, durasi yang normal untuk pemasangan tourniquet, serta
pencegahan dan manajemen terhadap komplikasi merugikan yang bisa muncul.
9
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Identitas : Ni Nyoman Murdani / Perempuan / 54 tahun (31/12/1963)
No. RM : 18010930
Status : BPJS-KIS
Ruang Rawat : Angsoka 306
MRS : 16/10/2018 pukul 16.41 WITA
Alamat : Klungkung
Anestesi : dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Mkes, Sp.An
Bedah : dr. Made Bramantya Karna, Sp.OT(K)
Diagnosis : Implant loosening et causa non union left Montegia fracture post ORIF
PS
Tindakan : Implant revision
Lokasi : OK V IBS
Anamnesis
Pasien datang sadar dengan rencana operasi revisi implant siku kiri. Pasien dengan
keluhan nyeri pada siku kiri sejak 8 bulan SMRS. Nyeri dirasakan pada siku kiri yang
bekas dioperasi patah tulang siku tahun 2016. Nyeri bertambah terutama saat
menggerakkan siku. Siku juga dirasa kaku dan sulit digerakkan.
Riwayat hipertensi diketahui sejak tahun 2016, mengkonsumsi Captopril namun tidak
teratur. Riwayat DM dan penyakit jantung tidak ada.
Riwayat alergi dan asma tidak ada.
Riwayat operasi patah tulang siku bulan November 2016 di RS Famili Husada Gianyar,
dengan bius umum tanpa komplikasi.
10
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan nyeri dada ataupun sesak nafas. Riwayat merokok dan minum alkohol
tidak ada.
Pemeriksaan Fisik
BB 70 kg; TB 155 cm; BMI 29.1 kg/m2; Suhu 36,8oC; NRS diam 2/10; NRS bergerak
3/10.
Susunan saraf pusat : Compos mentis. GCS E4V5M6
Respirasi : frekuensi nafas 14 kali per menit, Vesikular pada kedua lapang paru,
Rhonki dan Wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 98% room air.
Kardiovaskular : Tekanan darah 130/90 mmHg; Nadi 78 kali permenit, Bunyi jantung
1 dan 2 tunggal, reguler, murmur tidak ada.
Abdomen : Bising usus positif normal, distensi tidak ada
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : fleksi defleksi leher baik, Mallampati II, gigi utuh
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (10/10/2018) : WBC 12.6 x103/µL (4,1-11); HGB 15.37 g/dL (13.5-
17.5); HCT 47.52 % (41-53); PLT 303.0 x103µL (150-440)
Faal Hemostasis (10/10/2018) : PT 12.9 (10,8-14,4) detik ; aPTT 28.3 (24-36) detik ;
INR 1.03 (0,9-1,1)
Kimia Klinik (10/10/2018) : SGOT 18.7 U/L (11-33); SGPT 18.2 U/L (11-50); BUN
12.0 mg/dL (8-23) ; SC 0.79 mg/dL (0,7-1,2) ; Na 140 mmol/L (136-145); K 3.56
mmol/L (3,5-5,1) ; BS acak 79 mg/dL (70-140); albumin 4.4 g/dL (3.4-4.8)
Antebrachii S AP/lat (10/10/2018) : Fraktur os ulna sinistra 1/3 proksimal yang
terpasang internal fiksasi dengan kedudukan dan aposisi cukup, calus (+) masih tampak
gap antar fragmen
11
Thorax PA (26/09/2018) : Cardiomegali (CTR 64%) dengan elongatio aorta;
Spondilosis thorakalis.
EKG (6/9/2018) : normal sinus rhythm, HR 78x/menit, axis normal, ST-T changes (-)
Gambar 2.1 Radiologi pasien
12
Gambar 2.2 EKG pasien
Permasalahan dan Kesimpulan
Permasalahan Aktual : KV : Hipertensive heart disease Fc II, METs 4-7, dengan fluktuasi tekanan darah
130-140/80-90 mmHg dan Ro thorax cardiomegaly (CTR 64%)
Permasalahan Potensial:
perdarahan dan instabilitas hemodinamik
Kesimpulan : Status Fisik ASA II
Persiapan Pra Anestesi:
• Informed consent, SIO, puasa, STATICS, obat anestesi dan emergency, infus
warmer, komponen darah siap pakai, IV line bore besar, cek TD basal pagi hari.
Teknik Anestesi : GA-OTT
• Premedikasi : Midazolam 2 mg IV
• Induksi : Propofol titrasi sampai pasien terhipnosis
• Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV
• Fasilitas intubasi : Atracurium 40 mg IV
• Maintanance : O2:Compressed air; Sevoflurane 0,6-0,8 vol%;
propofol continous 50-150 mcg/kg/menit; fentanyl IV intermitten, atracurium
intermitten IV
13
• Medikasi lain : Ondancetron 4 mg IV, Ketorolac 30mg IV, Asam
tranexamat 1 gram IV, Clonidine 75 mcg IV.
Durante Operasi
Fluktuasi : HR 61-88 x/menit, TD 100-186/65-111 mmHg; SpO2 98-
100%
Cairan : RL 1500 ml
Perdarahan : 400 ml
Urin : 200 ml
Lama operasi : 3 jam.
Hasil operasi : Dilakukan revisi implant.
Tabel fluktuasi tekanan darah dan nadi pasien durante operasi.
08.45 09.00 09.15 09.30 09.45 10.00 10.15
TD
(MAP
)
152/9
0
(116)
100/6
5 (79)
107/7
2 (87)
139/94
(110)
166/105
(124)
159/105
(124)
186/107
(125)
Nadi 77 72 61 63 65 74 71
Ket. Induk
si
Propofol
continous
50-150
mcg/kg/me
nit
Pemasang
an
tourniquet
Pemberia
n
fentanyl
50 mcg
IV
Pemberia
n
clonidine
75 mcg
IV, drip
clonidine
75 mcg
dalam
NS 500
cc
14
10.30 10.45 11.00 11.15 11.30 11.45 12.00
TD 163/104
(130)
160/102
(127)
157/106
(126)
115/76
(91)
129/89
(102)
100/70
(76)
100/65
(79)
Nadi 69 70 72 69 71 67 70
Ket. Deflasi
tourniquet
Operasi
selesai
Gambar 2.3 Tourniquet pressure pada pasien.
15
Gambar 2.5 Propofol kontinyu sebagai maintenance dengan dosis 50-150 mcg/kg/mnt.
Pasca Operasi
• Analgesik : Fentanyl 300 mcg dalam 50 ml NaCl 0,9% kecepatan
2,1 ml/jam via syringe pump, paracetamol 500 mg tiap 6 jam PO
• Perawatan : Ruangan
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Sejarah Tourniquet
Tourniquet adalah alat yang digunakan untuk mengontrol aliran darah ke atau dari
suatu ekstremitas. Kata tourniquet sendiri berasal dari bahasa Perancis tourner (untuk
membelokkan/mengubah) dan pertama kali digunakan oleh dokter bedah Perancis
Louis Petit abad kedelapan belas, dimana ia menggunakan perangkat yang diikatkan
ke paha pasien yang menjalani amputasi kaki, untuk mengurangi kehilangan darah.
Tourniquet arteri biasanya berupa perangkat pneumatik yang terdiri dari manset yang
dapat mengembang terhubung ke pasokan gas terkompresi. Tekanan yang terukur dan
tinggi seperti itu dapat menghasilkan kompresi dan stasis sirkulasi arteri distal yang
terkontrol (Kam, 2001).
Penggunaan paling umum untuk tourniquets tersebut adalah dalam prosedur bedah
pada ekstremitas, di mana tourniquet sangat berguna dalam mengoptimalkan kondisi
operasi dengan menciptakan lapangan bedah tanpa darah (bloodless surgical field).
Contohnya termasuk operasi penggantian sendi, penggantian dan perbaikan tendon,
saraf, dan pembuluh darah (Kam, 2001).
Gambar 3.1 Pneumatic Tourniquet yang sering dipakai saat ini
17
3.2 Efek Fisiologis Pemasangan Tourniquet
Tourniquets digunakan untuk memfasilitasi operasi yang bertujuan untuk
mengembalikan atau meningkatkan fungsi tungkai atas atau bawah pasien. Namun,
salah penggunaan perangkat semacam itu dapat menyebabkan kerusakan permanen dan
kehilangan fungsi pada tungkai. Oleh karena itu penting bahwa personil ruang operasi,
termasuk ahli anestesi, memahami efek fisiologis tourniquets sehingga dapat
menggunakannya dengan aman (Deloughry, 2009).
3.2.1 Efek Lokal
Efek lokal terjadi akibat iskemia jaringan pada distal tourniquet yang terinflasi dan
kombinasi iskemia dan kompresi jaringan di bawahnya.
Otot
Setelah inflasi tourniquet, akan terjadi penurunan progresif PO2 dan peningkatan
PCO2 dalam sel otot. Cadangan energi terus menurun seiring dengan waktu dan
penyimpanan ATP dan kreatin fosfat intraseluler akan habis setelah 2 dan 3 jam.
Konsentrasi laktat meningkat dengan beralihnya metabolisme ke anaerob dan dengan
meningkatnya PCO2, berkontribusi untuk terjadinya asidosis intraseluler (Deloughry,
2009).
Perubahan pada penampilan histologis serat otot terjadi setelah inflasi tourniquet.
Perubahan dalam morfologi mitokondria terlihat setelah 1 jam iskemia. Otot yang
dikompresi tourniquet yang mengalami iskemia dan kompresi cenderung berkembang
menjadi nekrosis serat lokal setelah waktu inflasi kurang lebih 2 jam (Deloughry,
2009).
Cedera mikrovaskular terjadi setelah otot iskemia dengan durasi lebih dari 2 jam.
Setelah pelepasan turniket, peningkatan permeabilitas pembuluh darah menghasilkan
edema interstitial dan intraseluler yang sering menyebabkan ‘posttourniquet sindrom ',
di mana anggota badan pasien menjadi bengkak, pucat, kaku dengan kelemahan tetapi
tidak sampai lumpuh. Sindrom pasca-tourniquet ini biasanya berlangsung 1–6 minggu
(Deloughry, 2009).
18
Saraf
Blok konduksi fisiologis terjadi antara 15 dan 45 menit setelah inflasi manset di
sekitar lengan ke tekanan supra-sistolik. Blok konduksi mempengaruhi baik motorik
dan sensorik dan reversibel setelah deflasi dari manset. Tingkat blok konduksi ini sama
baik manset bertekanan 150 ataupun 300 mm Hg yang menunjukkan bahwa iskemia
adalah penyebab terjadinya blok konduksi, bukan kompresi langsung (Deloughry,
2009).
Kompresi mekanis langsung saraf bertanggung jawab untuk blok konduksi saraf
yang lebih lama yang disebut 'paralisis tourniquet'. Tekanan manset yang lebih tinggi
(mis. 1000 mm Hg dipertahankan selama 1 jam) dapat menyebabkan perubahan
morfologis pada saraf mielin yang lebih besar yang paling sering terjadi di tempat
dengan gradien tekanan antara saraf yang terkompresi dan saraf tanpa kompresi
terbesar, yaitu pada proksimal dan distal dari turniket. Gradien tekanan akan berakibat
perubahan posisi nodus Ranvier, degenerasi dari myelin dan kerusakan konduksi saraf
yang bisa bertahan selama 6 bulan (Deloughry, 2009).
3.2.2 Efek Sistemik
Beberapa efek sistemik terjadi dengan inflasi dan deflasi dari tourniquet pada
tungkai.
Efek kardiovaskular
Setelah eksanguinasi ekstremitas dan inflasi turniket, terjadi peningkatan resistensi
vaskular sistemik dan peningkatan yang efektif pada volume darah yang beredar. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan dalam kebanyakan kasus
disertai peningkatan pada tekanan arteri sistolik, keduanya biasanya bersifat sementara.
Penerapan tourniquets paha bilateral dapat meningkatkan volume darah yang
bersirkulasi hingga 15% (750 ml pada orang dewasa). Peningkatan besar dalam volume
darah yang bersirkulasi dapat menyebabkan peningkatan besar dan berkelanjutan pada
tekanan vena sentral dan overload volum sirkulasi. Gagal jantung dan henti jantung
pernah dilaporkan terjadi setelah pemasangan tourniquets paha bilateral. Setelah
19
peningkatan sementara pada tekanan sistolik arteri, biasanya akan terjadi peningkatan
tekanan arteri kedua secara bertahap. Hal ini diduga disertai terjadinya nyeri tourniquet
(tourniquet pain) dan muncul setelah dilakukannya inflasi turniket. Peningkatan
tekanan arteri dapat ditanggulangi dengan menambahkan ketamin (0,25 mg/kg), dan
ketamin juga dapat membantu mengurangi tourniquet pain. (Kam, 2001).
Pada deflasi tourniquet, hiperemia reaktif pasca-iskemik dapat terjadi, ini
menyebabkan peningkatan sementara pada volume darah ekstremitas dibandingkan
dengan baseline-nya. Secara bersamaan, metabolit dari tungkai iskemik dilepaskan ke
dalam sirkulasi sistemik. Jika berkombinasi dengan redistribusi aliran darah, hal ini
sering menyebabkan penurunan tekanan vena sentral dan sistolik, yang bersifat
sementara tetapi bisa dramatis (Kam, 2001).
Efek Respiratorik
Deflasi tourniquet diikuti segera oleh peningkatan ETCO2 (end-tidal CO2) yang
biasanya memuncak dalam 1 menit. Peningkatan ETCO2 terjadi karena dua alasan:
PCO2 vena campuran (mixed venous PCO2) meningkat (setelah pelepasan darah
hiperkapnik dari daerah iskemik distal tourniquet ke sirkulasi sistemik) dan juga curah
jantung meningkat setelah deflasi turniket (sebagai respons terhadap penurunan
tekanan arteri yang diuraikan atas). Peningkatan puncak konsentrasi end-tidal CO2
lebih besar pada deflasi tourniquets ekstremitas bawah (0,7-2,4 kPa) dibandingkan
dengan tourniquets ekstremitas atas (0,1–1,6 kPa). Durasi peningkatan ETCO2
tergantung pada karakteristik ventilasi pasien. Pada pasien yang bernafas spontan,
ventilasi semenit meningkat dengan cepat dan ETCO2 kembali ke baseline dalam 3–5
menit. Pada pasien yang menjalani ventilasi terkontrol, ETCO2 akan tetap tinggi
selama > 6 menit kecuali jika ventilasi semenit sengaja ditingkatkan (Kam, 2001).
Efek Sistem Saraf Pusat
Peningkatan PaCO2 yang menyertai deflasi tourniquet akan menyebabkan
peningkatan aliran darah otak. Pengukuran kecepatan aliran darah arteri serebral media
menunjukkan peningkatan hingga 50%. Pada pasien dengan cedera kepala,
peningkatan aliran darah serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
20
dan memperburuk cedera otak sekunder. Hiperventilasi sesudah deflasi tourniquet
dapat mencegah peningkatan intrakranial yang bersifat merusak dengan
mempertahankan status normocapnia (Kam, 2001).
Efek Hematologi
Efek hematologis dari torniket sangat rumit. Inflasi tourniquet selama operasi
dikaitkan dengan keadaan hiperkoagulatif global. Hal ini disebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang disebabkan oleh katekolamin yang dilepaskan sebagai respons
terhadap rasa sakit dari operasi dan tourniquet itu sendiri. Namun, tidak ada perbedaan
dalam kejadian trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) pada operasi ekstrimitas
bawah yang dilakukan dengan dan tanpa tourniquet. Setelah deflasi tourniquet, ada
periode singkat peningkatan aktivitas fibrinolitik. Peningkatan ini maksimal terjadi
selama 15 menit setelah deflasi dan kembali ke level pra operasi dalam 30 menit setelah
rilis tourniquet, tetapi tetap dapat menyebabkan peningkatan resiko perdarahan.
Peningkatan fibrinolisis disebabkan oleh pelepasan aktivator plasminogen jaringan
(tissue plasminogen activator), yang diperkirakan diproduksi oleh vasa vasorum di
anggota tubuh yang ditourniquet sebagai respons terhadap asidosis dan hipoksemia
yang terkait dengan pemasangan tourniquet (Kam, 2001).
Efek Temperatur
Inflasi tourniquets arteri dikaitkan dengan peningkatan suhu inti tubuh bertahap
yang disebabkan oleh berkurangnya perpindahan panas dan kehilangan panas dari
ekstremitas yang iskemik. Besar peningkatan ini hanya 0,50C setelah 2 jam inflasi.
Deflasi tourniquet menyebabkan penurunan suhu inti sementara, terutama disebabkan
oleh redistribusi panas tubuh. Selain itu, terkait dengan kembalinya ke sirkulasi
sistemik dari sejumlah kecil darah hipotermik dari anggota badan iskemik (Kam,
2001).
Efek Metabolik
Deflasi tourniquet setelah 1-2 jam iskemia terkait dengan peningkatan kecil pada
konsentrasi plasma kalium dan laktat. Peningkatan puncak masing-masing 0,3 dan 2
mmol/liter, terjadi 3 menit setelah deflasi. Laktat dan karbon dioksida kembali ke
21
sirkulasi sistemik menyebabkan penurunan pH arteri. Reperfusi ekstremitas yang
iskemik danperubahan hemodinamik lainnya yang terkait dengan deflasi tourniquet
dapat menyebabkan peningkatan singkat dalam konsumsi oksigen dan produksi karbon
dioksida. Besarnya perubahan ini berkorelasi dengan durasi iskemia. Semua perubahan
ini sepenuhnya hilang dalam 30 menit deflasi tourniquet (Kam, 2001).
3.3 Komplikasi akibat Tourniquet Arteri
Iskemia dan kompresi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan di tungkai.
Namun, saat digunakan dengan cermat, tourniquet adalah alat yang aman dan
komplikasinya jarang. Sulit untuk membuat estimasi terjadinya komplikasi setelah
penggunaan tourniquets. Satu dari studi terbesar penggunaan tourniquet dan
komplikasinya dilakukan di Norwegia oleh Odinsson dan Finsen selama periode 2
tahun. Dari 63.484 operasi yang dilakukan menggunakan tourniquet, hanya 26
komplikasi yang mungkin disebabkan oleh tourniquet dilaporkan (insiden 0,04%)
(Deloughry, 2009).
Cedera Saraf
Cedera neurologis setelah penggunaan tourniquet mungkin adalah komplikasi
yang paling umum terjadi namun bisa menjadi yang paling merugikan. Pada penelitian
Odinsson dan Finsen, 15 komplikasi neurologis dilaporkan (kejadian 0,024%); dua di
antaranya bersifat permanen dan sisanya pulih dalam waktu 6 bulan. Tourniquets
tungkai bawah lebih mungkin menghasilkan komplikasi neurologis daripada
tourniquets ekstremitas atas. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf siatik di
ekstremitas bawah dan saraf radial di tubuh bagian atas (Deloughry, 2009).
Meskipun waktu tourniquet yang lebih lama berhubungan dengan peningkatan
risiko cedera neurologis, tekanan mekanik mungkin memainkan peran yang lebih
penting daripada iskemia di saraf yang cedera. Serabut saraf berdiameter besar lebih
rentan tekanan, sehingga lebih sering terjadi gangguan sensorik dibandingkan dengan
gangguan fungsi motorik. Peran tekanan mekanik dalam cedera saraf mungkin
menjelaskan mengapa perban Esmarch (yang bisa menghasilkan tekanan >1000 mm
22
Hg) dikaitkan dengan insiden cedera saraf yang lebih tinggi. Efek kompresi saraf di
tempat terpasangnya tourniquet dapat membuat cedera di tempat yang lebih distal
(disebabkan oleh iskemia atau trauma bedah) lebih mungkin terjadi (Deloughry, 2009).
Cedera Otot
Sindrom pasca-tourniquet mengakibatkan bengkak, kaku, kelemahan pada
ekstrimitas. Sangat jarang pembengkakan dan edema pasca-iskemik, berkombinasi
dengan hiperemia reperfusi, dapat menyebabkan terjadinya sindrom kompartemen.
Rhabdomyolysis akibat penggunaan tourniquet telah dilaporkan, tetapi sangat jarang.
Kasus rhabdomyolisis paling banyak diakibatkan waktu iskemik yang luar biasa
panjang atau tekanan inflasi cuff yang sangat tinggi (Deloughry, 2009).
Cedera Kulit
Luka bakar kimia adalah bentuk paling umum dari cedera kulit terjadi ketika
larutan berbasis alkohol digunakan untuk kulit masuk ke bawah tourniquet dan
kemudian tertahan di bawah kulit dengan tekanan tinggi. Friksi akibat pergesekan
tourniquet dengan kulit juga pernah dilaporkan (Deloughry, 2009).
Cedera Pembuluh Darah
Cedera arteri setelah penggunaan tourniquet jarang terjadi, tetapi bisa menjadi
fatal. Dalam satu penelitian, hanya tujuh cedera arteri yang dilaporkan pada >5000
artroplasti lutut, tetapi tiga di antaranya mengakibatkan amputasi. Insufisiensi vaskular
akut diperkirakan terjadi saat tekanan mekanik dari tourniquet merusak pembuluh
darah yang ateromatous, menyebabkan pecahnya plak. Akibatnya, banyak ahli
merekomendasikan menghindari penggunaan tourniquet arteri pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah perifer (PAD) (Deloughry, 2009).
Perdarahan Intraoperatif
Penyebab umum perdarahan intraoperatif salah satunya eksanguinasi ekstrimitas
yang tidak sempurna serta kurangnya tekanan manset. Perdarahan intraoperatif juga
dapat disebabkan oleh darah masuk melalui pembuluh darah intramedulla tulang
panjang (Deloughry, 2009).
23
3.4 Nyeri Tourniquet (Tourniquet Pain)
Inflasi tourniquet diikuti oleh munculnya nyeri dengan kualitas tumpul (dull pain).
Rasa sakit seperti itu bisa muncul pada anestesi regional yang memadai dan dapat
menjadi cukup parah sehingga memerlukan konversi ke anestesi umum. Berbagai teori
ada tentang bagaimana nyeri tersebut muncul. Diperkirakan bahwa nyeri tourniquet
sebagian besar dimediasi oleh serat saraf C yang unmyelinated, dengan konduktivitas
yang lambat, yang sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurang terpengaruh oleh efek
inflasi tourniquet dibandingkan serat yang lebih besar. Satu teori menyimpulkan bahwa
nyeri tourniquet timbul dari transmisi selektif oleh serat saraf C; dimana serat-serat ini
terus dirangsang oleh kompresi kulit dari tourniquet, dan efek post-sinaptik mereka
pada cornu dorsalis tidak dihambat seperti halnya serabut saraf yang lebih besar yang
transmisinya telah diblokir. Teori ini didukung oleh temuan bahwa selama anestesi
regional intravena, efek analgesia dari tourniquet dapat diperpanjang dengan aplikasi
krim EMLA di bawah tourniquet (Kumar, 2016).
Namun, nyeri turniket dapat mengganggu anestesi spinal atau epidural, meskipun
tampaknya anestesi telah memadai pada dermatom sensorik di bawah tourniquet, nyeri
masih dapat muncul. Satu penjelasan tentang ini dijabarkan oleh temuan in vitro bahwa
serat C-unmyelinated yang lebih kecil lebih resisten terhadap blok konduksi dari
anestesi lokal daripada serat A yang lebih besar dan bermielin. Setelah pemberian dosis
anestesi lokal yang memadai secara intratekal, konduksi pada serat A dan C diblokir.
Namun, ketika konsentrasi anestesi lokal di cairan serebrospinal berkurang, serat-C
mulai melakukan impuls sebelum serat-A, menghasilkan nyeri tourniquet tumpul yang
walaupun telah dinilai dengan tes pinprick, nampak adekuat (Kumar, 2016).
Sama seperti tidak ada penjelasan yang sepenuhnya memuaskan untuk fenomena
nyeri tourniquet, juga tidak ada solusi yang sepenuhnya memuaskan untuk masalah ini.
Berbagai teknik telah digunakan, termasuk meningkatkan densitas blok neuraxial
sentral dengan menggunakan adjuvan seperti epinefrin, morfin, dan klonidin. Ada juga
laporan yang melaporkan keberhasilan penggunaan gabapentin dan ketamin low dose
(0,1 mg/kgBB) preoperatif (Kumar, 2016).
24
3.5 Tourniquet-induced Hypertension
Meskipun mekanisme TIH masih tidak jelas, dua mekanisme dianggap terlibat;
yang pertama adalah aktivasi serat C, menyebabkan stimulasi reseptor NMDA di cornu
dorsalis dari medulla spinalis, dan yang kedua karena aktivitas simpatik. Peningkatan
bertahap pada tekanan arteri sering diamati saat inflasi tourniquet. Mekanisme
persisnya hipertensi yang diinduksi tourniquet ini tidak diketahui, tetapi sudah
diketahui bahwa hal itu merupakan aktivasi saraf simpatik dalam menanggapi nyeri
tourniquet yang muncul. Konsentrasi plasma norepinefrin meningkat secara paralel
dengan tekanan arteri selama inflasi tourniquet. Pada pasien yang sadar, peningkatan
tekanan arteri meningkat paralel dengan munculnya nyeri, sehingga mendukung teori
ini (Deloughry, 2009). Clonidine (dosis 3 mcg/kgBB dalam NS 100 ml selama 10
menit) dapat melemahkan aktivitas simpatik dan, jika diberikan sebelum operasi, dapat
menumpulkan respons hipertensi. Clonidine mengurangi pelepasan norepinefrin
presinaptik, dan memiliki efek analgesik yang substansial serta efek sedatif. Clonidine
menumpulkan respons simpatetik. Pada pasien yang sadar, penambahan clonidine pada
larutan anestesi lokal dapat mencegah nyeri tourniquet (Zalunardo, 2002).
Dosis kecil ketamin IV preoperatif (0,25 mg/kgBB) secara signifikan mencegah
peningkatan tekanan arteri sistemik selama inflasi tourniquet berkepanjangan pada
pasien di bawah anestesi umum. Mekanisme peningkatan tekanan arteri yang
diakibatkan tourniquet belum diselidiki secara rinci, tetapi terdapat hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan aktivasi reseptor NMDA. Memang,
aktivasi reseptor NMDA menghasilkan peningkatan tekanan arteri rerata, dan
antagonisme reseptor NMDA dapat memblokir respons kardiovaskular pada hewan.
Peningkatan tekanan arteri yang diinduksi Tourniquet dan rasa sakit akan mereda
dalam beberapa menit setelah turniket dideflasi. Tetzlaff et al. menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan arteri akibat tourniquet berkorelasi dengan aktivasi dari sistem
saraf simpatik, yang diukur dengan analisis denyut jantung daya spektral (Satsumae,
2001).
25
Peningkatan tekanan arteri yang disebabkan tourniquet dapat terjadi meskipun
dengan anestesi yang adekuat. Akan sangat sulit untuk mengobati hipertensi ketika
peningkatan tekanan arteri akibat tourniquet ini terjadi, terutama di pasien dengan
masalah kardiovaskular, seperti hipertensi esensial dan penyakit jantung iskemik;
dengan penyakit neurologis, seperti aneurisma intrakranial dan peningkatan status
tekanan intrakranial; atau dengan glaukoma. Pada pasien tersebut, ketamin IV sebelum
inflasi turniket dan sayatan kulit diharapkan dapat mencegah tourniquet induced
hypertension (Satsumae, 2001). Pada penelitian yang lain juga didapatkan, Penggunaan
lidocaine bolus (1 mg / kg) intraoperatif, diikuti oleh infus (2 mg / kg / jam), dimulai
10 menit sebelum inflasi turniket dapat mengatasi hipertensi akibat turniket pada pasien
yang menjalani rekonstruksi ligamen cruciate anterior dengan anestesi umum (El-
Sayed, 2015).
3.6 Tekanan dan Waktu Inflasi Tourniquet yang Aman
Masalah-masalah tentang tekanan inflasi yang aman dan durasi untuk turniket
masih kontroversial. Tidak ada pedoman yang pasti, sebagian karena tidak ada
konsensus umum dan juga karena setiap pasien berbeda dan apa yang aman untuk satu
anggota badan belum tentu aman untuk ekstrimitas yang lain (Sharma, 2012).
Tekanan
Survei ahli bedah ortopedi mengungkapkan dua praktik umum tentang tekanan
inflasi: (i) untuk mengembangkan tourniquets ke tekanan yang fixed (biasanya 250 mm
Hg untuk lengan atas dan 300 mm Hg untuk paha); dan (ii) mengembangkan tourniquet
ke tekanan yang lebih tinggi dari tekanan arteri sistolik (biasanya +100 mm Hg untuk
bagian atas dan +100–150 mm Hg untuk paha) (Sharma, 2012).
Mengembangkan manset ke tekanan tetap telah dikritik karena tidak
memperhitungkan tekanan arteri baseline pasien. Telah ditunjukkan bahwa usia yang
lebih muda adalah prediktor independen terjadinya cedera neurologis setelah waktu
turniket berkepanjangan. Studi tersebut berhipotesis karena pasien yang lebih muda
memiliki tekanan sistolik yang lebih rendah, artinya ada perbedaan yang lebih besar
26
antara tekanan inflasi tourniquet dan tekanan arteri baseline pasien sehingga
menyebabkan kompresi yang berlebihan (Sharma, 2012).
Suatu studi di AS merekomendasikan peningkatan tourniquets ke tekanan berbasis
pada tekanan oklusi tungkai (limb occlusion pressure = LOP). Nilai ini ditentukan
dengan secara bertahap meningkatkan tekanan di tourniquet sambil menilai aliran
darah distal dengan probe Doppler yang diletakkan di atas pembuluh darah distal. LOP
adalah tekanan pada manset di mana denyut nadi arteri menghilang. LOP biasanya
lebih tinggi dari tekanan sistolik. Persentase tekanan tourniquet yang ditransmisikan
berbanding terbalik dengan lingkar tungkai (karenanya tekanan yang digunakan lebih
tinggi di paha daripada di lengan atas). Pedoman tersebut merekomendasikan bahwa
tourniquet ditingkatkan ke tekanan yang lebih tinggi dari LOP saat intraoperatif; batas
aman biasanya ditambahkan untuk menutupi fluktuasi intraoperatif pada tekanan arteri.
Jika LOP adalah < 130 mm Hg maka ditambahkan 40 mm Hg, 60 mm Hg ditambahkan
jika LOP adalah 131-190 mm Hg, dan 80 mm Hg ditambahkan jika LOP adalah > 190
mm Hg. Jadi orang dewasa yang muda, langsing, dan normotensif mungkin
memerlukan manset dengan tekanan < 200 mm Hg (Sharma, 2012).
Durasi
Semua tourniquets harus dijaga agar waktu yang digunakan seminimum mungkin.
Durasi maksimum yang diperlukan untuk menginflasi turniket sebelum periode
reperfusi ekstremitas belum ditetapkan. Dalam praktiknya, waktu inflasi aman akan
ditentukan oleh usia pasien, kesehatan fisik, dan integritas vaskular anggota gerak.
Kebanyakan rekomendasi dalam literatur merekomendasikan periode 1,5-2 jam pada
orang dewasa yang sehat sebagai waktu maksimum dipasangnya turniket, yang sesuai
dengan waktu di mana ATP otot yang disimpan akan habis. Meskipun iskemia biasanya
dikaitkan dengan cedera otot daripada cedera neurologis, ada perkiraan tiga kali lipat
peningkatan risiko komplikasi neurologis untuk tiap 30 menit peningkatan waktu
tourniquet. Jika durasi operasi melebihi waktu inflasi aman maksimum, tourniquet
harus dikempiskan untuk waktu yang singkat. Ini memungkinkan produk limbah
metabolik dikeluarkan dan darah yang teroksigenasi untuk memperfusi ekstrimitas.
27
Secara umum dianggap bahwa tourniquet harus dibiarkan mengempis selama 10-15
menit sebelum inflasi ulang dan hal ini tampaknya sesuai dengan pemulihan level ATP
otot. Penting juga untuk mengeksanguinasi kembali tungkai sebelum menginflasi
manset setelah dilakukannya reperfusi (Sharma, 2012).
3.7 Kesimpulan
Tourniket arteri banyak digunakan dalam operasi ortopedi, plastik, dan
rekonstruktif di mana alat ini memungkinkan kondisi operasi yang sangat baik dan
mengurangi kehilangan darah. Namun, proses eksanguinasi diikuti oleh iskemia akan
mengakibatkan problem fisiologis dengan konsekuensi lokal dan sistemik yang harus
disadari oleh ahli anestesi. Komplikasi pada pasien muda yang sehat sangat jarang,
tetapi risiko cedera terkait tourniquet meningkat pada orang tua dan yang disertai
komorbiditas seperti penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi yang meningkat
juga terjadi pada tekanan inflasi yang lebih tinggi dan waktu iskemik yang lebih lama
dan oleh karena itu ahli anestesi harus mengawasi rekomendasi yang disarankan diatas.
28
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien pada kasus diatas adalah seorang wanita berusia 54 tahun dengan
diagnosis Implant loosening et causa non union left Montegia fracture post ORIF PS
dengan rencana tindakan implant revision. Pasien dikategorikan dengan status fisik
ASA 2, dimana pasien memiliki permasalahan aktual dari kardiovaskular :
Hipertensive heart disease Fc II, METs 4-7, dengan fluktuasi tekanan darah 130-
140/80-90 mmHg dan Ro thorax cardiomegaly (CTR 64%). Pasien direncanakan untuk
tindakan anestesi dengan teknik GA-OTT.
Pada saat operasi berlangsung, induksi dilakukan menggunakan propofol
intravena. Setelah induksi dan saat operasi akan dilakukan, tekanan darah pasien
berkisar antara 110-130/80-85 mmHg, nadi antara 60-70 x/menit. 30 menit setelah
induksi, tourniquet dipasang ke ekstrimitas atas pasien yang dilakukan tindakan dengan
tekanan 244 mmHg. Setelah itu, tekanan darah meningkat cukup drastis dengan range
150-186/90-110 mmHg, dengan nadi di kisaran 70-80x/menit. Tim anestesi berusaha
untuk mendalamkan anestesi dengan meningkatkan dosis propofol continous,
menambah fentanyl intravena sebagai analgetik, serta menambah kecepatan cairan.
Karena tekanan darah masih cukup tinggi, tim anestesi menambahkan clonidine
intravena dan clonidine continous melalui infus drip. Setelah dilakukan evaluasi ulang,
tekanan darah tidak mengalami perubahan yang signifikan (masih tetap tinggi). Deflasi
tourniquet dilakukan setelah 1 jam 30 menit, dan setelah dilakukannya deflasi, tekanan
darah kembali turun ke kisaran 100-110/60-70 mmHg.
Dari kasus diatas, kemungkinan pasien mengalami tourniquet induced
hypertension yang merupakan salah satu komplikasi sistemik yang dapat muncul akibat
penggunaan tourniquet. Dikatakan bahwa tourniquet induced hypertension seringkali
susah dikontrol dan bersifat resisten sehingga sulit diturunkan. Hipertensi yang muncul
mungkin tidak membawa masalah berarti pada pasien usia muda tanpa komorbid,
29
namun pada pasien ini dengan komorbid HHD, peningkatan tekanan darah dapat sangat
merugikan.
Meskipun mekanisme tourniquet induced hypertension masih tidak jelas, dua
mekanisme dianggap terlibat; yang pertama adalah aktivasi serat C, menyebabkan
stimulasi reseptor NMDA di cornu dorsalis dari medulla spinalis, dan yang kedua
karena aktivitas simpatik. Peningkatan bertahap pada tekanan arteri sering diamati saat
inflasi tourniquet. Mekanisme persisnya hipertensi yang diinduksi tourniquet ini tidak
diketahui, tetapi sudah diketahui bahwa hal itu merupakan aktivasi saraf simpatik
dalam menanggapi nyeri tourniquet yang muncul. Konsentrasi plasma norepinefrin
meningkat secara paralel dengan tekanan arteri selama inflasi tourniquet. Pada pasien
yang sadar, peningkatan tekanan arteri meningkat paralel dengan munculnya nyeri,
sehingga mendukung teori ini.
Clonidine (dosis 3 mcg/kgBB dalam NS 100 ml selama 10 menit) dapat
melemahkan aktivitas simpatik dan, jika diberikan sebelum operasi, dapat
menumpulkan respons hipertensi. Clonidine mengurangi pelepasan norepinefrin
presinaptik, dan memiliki efek analgesik yang substansial serta efek sedatif. Clonidine
juga menumpulkan respons simpatetik. Pada kasus diatas, pasien telah diberikan
clonidine intravena, namun tidak terdapat reaksi yang diharapkan, kemungkinan karena
clonidine diberikan setelah hipertensi terjadi, dimana sangat sulit untuk diturunkan.
Dosis kecil ketamin IV preoperatif (0,25 mg/kgBB) secara signifikan mencegah
peningkatan tekanan arteri sistemik selama inflasi tourniquet berkepanjangan pada
pasien di bawah anestesi umum. Mekanisme peningkatan tekanan arteri yang
diakibatkan tourniquet belum diselidiki secara rinci, tetapi terdapat hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan aktivasi reseptor NMDA. Memang,
aktivasi reseptor NMDA menghasilkan peningkatan tekanan arteri rerata, dan
antagonisme reseptor NMDA dapat memblokir respons kardiovaskular pada hewan.
30
Pada pasien ini tidak diberikan ketamin preoperatif sehingga efeknya tidak dapat
dievaluasi untuk pasien ini.
Pada kasus pasien ini juga dilakukan peningkatan tekanan manset tourniquet ke
angka yang tetap (sekitar 240-250 mmHg) tanpa mengukur LOP terlebih dahulu seperti
yang disarankan pada teori. Akibat peningkatan ini bisa mengakibatkan resiko
komplikasi lokal seperti cedera otot, iskemia, cedera saraf serta meningkatkan resiko
komplikasi sistemik untuk muncul. Pada pasien ini tidak ditemukan cedera saraf
maupun otot seperti yang dikenal dengan nama post-tourniquet syndrome.
Kesimpulan dari kasus ini adalah, pada setiap pasien yang diprediksi akan
menggunakan tourniquet selama operasi, wajib dipersiapkan dengan lebih baik untuk
preoperatifnya. Ketamin preoperatif, clonidine, ataupun lidokain telah diteliti dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya tourniquet pain yang dapat memicu
peningkatan tekanan arteri yang sulit dikontrol. Penggunaan adjuvan juga disarankan
pada pasien yang akan menjalani anestesia regional agar komplikasi tidak muncul. Ahli
anestesi juga wajib memonitor durasi dan tekanan yang digunakan oleh tourniquet agar
tidak berlebihan sehingga komplikasi yang buruk dapat dicegah.
31
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Deloughry, J. L., & Griffiths, R. (2009). Arterial tourniquets. Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 9(2), 56-60.
El-Sayed, W., & Hasanein, R. (2016). Intraoperative lidocaine infusion
attenuates tourniquet induced hypertension in patients undergoing anterior
cruciate ligament reconstruction under general anesthesia. Egyptian Journal
of Anaesthesia, 32(3), 345-350.
Kam, P. C. A., Kavanaugh, R., & Yoong, F. F. Y. (2001). The arterial
tourniquet: pathophysiological consequences and anaesthetic
implications. Anaesthesia, 56(6), 534-545.
Kumar, K., Railton, C., & Tawfic, Q. (2016). Tourniquet application during
anesthesia:“What we need to know?”. Journal of anaesthesiology, clinical
pharmacology, 32(4), 424.
Satsumae, T., Yamaguchi, H., Sakaguchi, M., Yasunaga, T., Yamashita, S.,
Yamamoto, S., & Kida, H. (2001). Preoperative small-dose ketamine
prevented tourniquet-induced arterial pressure increase in orthopedic patients
under general anesthesia. Anesthesia & Analgesia, 92(5), 1286-1289.
Sharma, J. P., & Salhotra, R. (2012). Tourniquets in orthopedic
surgery. Indian journal of orthopaedics, 46(4), 377.
32
Zalunardo, M. P., Serafino, D., Szelloe, P., Weisser, F., Zollinger, A., Seifert,
B., & Pasch, T. (2002). Preoperative clonidine blunts hyperadrenergic and
hyperdynamic responses to prolonged tourniquet pressure during general
anesthesia. Anesthesia & Analgesia, 94(3), 615-618.