Laporan Kasus IV Polip Nasi

download Laporan Kasus IV Polip Nasi

of 46

description

polip

Transcript of Laporan Kasus IV Polip Nasi

LAPORAN KASUS IVMODUL ORGAN MATA DAN THT

KELOMPOK II

Arwita Sari

030.07.034

Defri Rahman

030.07.061

Farida Apriani

030.07.089

Michelle Jansye

030.09.154

M. Rifki Maulana

030.09.155

M. Fachri Ibrahim

030.09.156

Monica Raharjo

030.09.157

Muhamad Rosaldy

030.09.158

M. Aries Fitrian

030.09.159

M. Taufiq Hidayat

030.09.160

Ronald Tejoprayitno

030.09.213

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, Indonesia

4 Oktober 2011

BAB I

PENDAHULUAN

Polip hidung merupakan salah satu jenis penyakit telinga, hidung dan tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Sebagian orang sering menyebutnya sebagai tumbuh daging dalam hidung. Sebagian orang juga menamainya tumor hidung. Polip Hidung sebenarnya adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak.

Polip hidung bukan penyakit yang murni berdiri sendiri. Pembentukannya sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti rinitis alergi, asma, radang kronis pada mukosa hidung-sinus paranasal, kista fibrosis, intoleransi pada aspirin.

Sampai saat ini para pakar belum mendapatkan jawaban secara pasti apa yang mendasari munculnya benjolan putih keabu-abuan bertangkai itu. Namun dari studi dan pengamatan medis, baru ditemukan ada sejumlah faktor yang memudahkan pemunculan benjolan itu. Antara lain radang kronis yang berulang pada mukosa hidung dan sinus paranasal, gangguan keseimbangan vasomotor, peningkatan cairan interstitial serta oedema (pembengkakan) mukosa hidung.

BAB II

SKENARIO KASUS

Sesi I, Lembar I

Seorang laki-laki dewasa dengan keluhan hidung tersumbat.Sesi I, Lembar II

Bapak Toto, usia 45 tahun, pekerjaan guru SMA, datang dengan keluhan kedua lubang hidung terasa tersumbat. Sumbatan ini terasa menetap dan makin lama makin berat sehingga mengganggu kenyamanan hidupnya sehari-hari. Karena bernafas dengan hidung sulit pasien lalu bernafas lewat mulut, kemudian memutuskan datang ke RS tempat anda jaga.

Sebagai dokter yang menerima pasien tersebut, anda mulai memikirkan beberapa hipotesis tentang sumbatan hidung.Sesi I, Lembar III

Dari anamnesis yang anda kembangkan selanjutnya diketahui bahwa keluhan dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, mula-mula ringan menetap sepanjang hari dan makin lama makin bertambah berat. Tiga tahun yang lalu pasien pernah sakit serupa dan sudah dioperasi. Pada waktu muda pasien pernah makan udang, kemudian badannya terasa gatal, timbul bercak-bercak merah dan bentol pada kulit. Sejak itu setiap kali makan udang selalu gatal sehingga pasien tidak makan udang lagi.

Sebulan terakhir ini pasien merasa badannya agak demam kemudian sering pusing kepala. Sejak dua minggu yang lalu terasa ada massa mengganjal di tenggorok yang sangat mengganggu pada waktu makan. Benjolan terasa bisa bergerak, tidak pernah berdarah dan tidak ada rasa nyeri kalau di gerakkan.

Sesi II, Lembar IV

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan :

Status Generalis

KU

: sakit sedang,

TD : 120/80 mmHg

N : 75/menit

RR 18/menit

Suhu : 38 C

Kesadaran: Compos mentis

Mata

: pupil bulat, isocore

Leher

: JVP 5cm

Thorax

: scepel, H/L tak teraba

Ekstreminitas: hangatStatus Lokalis

Telinga: ADS

LT lapang tenang

MT intak tenang

Hidung: hidung luar tenang, simetris

Rongga hidung ka/ki terlihat masa bening berwarna sedikit keabu-abuan kemerahan berbentuk bulat licin, bisa digerrakkan , tidak ada rasa nyeri. Septum dan konka belum bisa di nilai karena tertutup massa.

Tenggorkan: tonsil besar T1/T1, tenang

Dinding faring granuler, PND +

Terlihat massa sebesar kacang mede, menggantung di belakang arkus faring kiri, Berwarna putih abu- abu sedikit kemerahan, bisa digerakkan dan tidak nyeri.

Lab

: - Hb: 15 g%

Leuko: 11.000/ml

GDS: 130 mg%

Ureum: 25 mg%

Kreatinin : 1,1 mg%

Hitung jenis : 0, 5, 5, 60, 24, 6

Setelah menilai hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium di atas. Anda masih merencanakan tambahan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk dapat menegakkan diagnosis serta kemungkinan adanya komplikasi penyakit tersebut.SESI 2 Lembar V

Pada pemeriksaan foto sinus paranasal tampak perselubungan pada kedua sinus maksila, sinus-sinus yang lain cerah, septum lurus di tengah, konka membesar/rongga hidung sempit.

Kesan : sinusitis maksilaris bilateral

Suspek polip nasi

Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal kesimpulannya adalah :

Sinusitis maksilaris bilateral

Osteomeatal kompleks ka/ki terbuka

Massa di hidung dan tenggorokan suspek polip nasi

Pada tes kulit cukit (prick test) yang dilakukan pada lengan penderita terdapat hasil positif satu untuk tungau debu rumah dan positif dua untuk udang dan ikan laut. (control positif satu ).

Setelah dapat ditegakkan diagnosisnya anda membuat perencanaan penatalaksanaannya serta mewaspadai komplikasi yang timbul.

Kemudian anda membuat prognosisnya.

BAB III

PEMBAHASAN

I. Identitas Pasien:

Nama

: Bpk. Toto

Umur

: 45 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: -

Pekerjaan

: Guru SMA

Pendidikan

: -II. Hipotesis:

Masalah dan hipotesisMasalah pada pasien ini adalah kedua hidungnya yang tersumbat. Hipotesis kelompok kami pada hidng tersumbat bilateral adalah sebagai berikut :1. Polip hidung

Polip hidung kami ambil sebagai hipotesa karena pada polip hidung bisa di temukan gejala hidung yang tersumbat yang diakibatkan oleh adanya massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung yang berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Namun untuk memastikan bahwa diagnosa adalah polip nasi masih diperlukan anamnesis yang mendalam dan juga adanya pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen dan juga CT-scan untuk memastikan ada atau tidaknya polip pada pasien tersebut.2. SinusitisSinusitis kami ambil sebagai hipotesa karena pada sinusitis bisa di temukan gejala sumbatan hidung yang diakibatkan oleh adanya inflamasi di mukosa sinus paranasal. Mukosa yang terkena inflamasi akan menjadi semakin bengkak dan dan terjadi hipertrofi yang akan menyebabkan sumbatan pada saluran napas. Namun untuk memastikan adanya sinusitis maka di perlukan anamnesis yang lebih lengkap dan juga di perlukan pemeriksaan penunjang seperti foto sinus paranasal 3 posisi yaitu waters, AP dan lateral. Foto CT-scan juga sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.3. Rhinitis

Rhinitis di sini kami bagi 3 yaitu rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan juga rhinitis medika mentosa.

Pada rhinitis alergi, gejala sumbatan hidung dapat terjadi akibat adanya inflamasi yang di akibatkan oleh adanya reaksi alergi pada pasien yang sudah mempunyai riwayat atopi. Maka untuk mendiagnosa adanya rhinitis alergi diperlukan anamnesa yang lebih menjurus kepada riwayat alergi pasien serta di perlukan pula adanya pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya kenaikan eosinofil, prick test maupun pemeriksaan rontgen dan CT-scan.

Pada rhinitis medikamentosa, biasanya terjadi kelainan hidung yang terjadi akibat gangguan respons vasomotor yang di akibatkan oleh adanya pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu yang lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Disini diperlukan adanya anamnesis yang kuat terhadap adanya obat-obatan tertentu yang di gunakan oleh pasien untuk mendiagnosa kelainan yang terjadi.

Pada rhinitis vasomotor

Pada rhinitis vasomotor, di sebabkan adanya kelainan idiopatik yang didiagnosis adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid)

Rhinitis vasomotor mempunyai gejala atau kelainan yang sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik. Jadi perlu ditanyakan pada anamnesis apakah hal yang menyebabkan pasien menderita keluhan sumbatan hidung.4. Deviasi SeptumPada deviasi septum, keluhan utama yang paling sering adalah sumbatan hidung. Sumbatan ini diakibatkan pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Namun, pada deviasi septum, harus dipastikan adanya kelainan pada rongga hidung. Kelainan ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik seperti rinoskopi, dan juga pemeriksaan penunjang seperti rontgen, dan juga CT scan yang amat membantu untuk mendeteksi kelainan yang ada.1III. AnamnesisRiwayat Penyakit Sekarang:

1. Apakah ada secret pada hidung? (untuk kecurigaan terhadap rhinitis)

2. Jika ada secret warnanya apa? Konsistensinya bagaimana? (untuk membedakan rhinitis atau infeksi bakteri)

3. Apakah sebelum terjadi sumbatan, terpapar allergen? (untuk kecurigaan terhadap rhinitis alergi)

4. Apakah pasien mengalami sumbatan sebelum terjadinya sumbatan? (untuk kecurigaan terhadap deviasi septum nasi, hematoma septum nasi, abses septum nasi)

5. Apakah memakai dekongestan hidung? (untuk kecurigaan terhadap rhinitis medikamentosa)

Riwayat Penyakit Dahulu:

1. Apakah pasien mengalami ISPA sebelumnya?

Riwayat Kebiasaan:

1. Apakah ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama? (untuk kecurigaan rhinitis alergi)

Riwayat Pengobatan:

1. Apakah pasien sudah berobat sebelumnya?

2. Apakah pasien suka memakai obat vasokonstriktor topical? (untuk kecurigaan terhadap rhinitis medikamentosa)

3. Apakah pasien sedang mengkonsumsi kortikosteroid dosis tinggi atau jangka panjang? (untuk kecurigaan terhadap rhinitis jamur dikarenakan penurunan imunitas tubuh akibat steroid dosis tinggi)

Interpretasi Anamnesis:Hasil Anamnesis Lembar I

Nama

: Bpk.Toto

Pekerjaan: Guru SMA

Keluhan: Hidung tersumbat, menetap dan makin lama makin berat. Karena bernapas dengan hidung sulit maka pasien bernapas lewat mulut.

Interpretasi

Pasien mengalami sumbatan serius pada kedua hidungnya dan makin lama makin berat menandakan adanya progresifitas, hipotesis yang dapat dibangun yaitu :

Polip nasi

Deviasi septum nasi

Hematoma septum nasi

Abses septum nasi

rhinitis

Pasien sulit bernapas melalui hidung sehingga pasien bernapas melalui mulut, hal ini bisa mengakibatkan pasien terkena infeksi sekunder dikarenakan tidak adanya penyaring kuman seperti pada hidung, jadi kuman dapat dengan mudahnya masuk.

Hasil Anamnesis Lembar II

Dari anamnesis selanjutnya, diketahui bahwa keluhan dirasakan 6 bulan yang lalu, sumbatan progresif, 3 tahun yang lalu pasien sudah pernah mengalami hal yang sama dan sudah dioprasi. Pada waktu muda pasien pernah makan udang, kemudian badannya mengalami ruam-ruam, dan bentol-bentol sehingga pasien sudah tidak makan udang lagi.

Sebulan terakhir pasien merasa badannya agak demam, kemudian sering pusing. Dua minggu sebelumnya pasien merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya yang menyebabkan susah makan, tidak berdarah, tidak nyeri, dan dapat digerakkan.

Interpretasi

Pasien merasakan sumbatan 6 bulan yang lalu, dapat disimpulkan penyakit mulai sejak 6 bulan yang lalu dan bertambah berat sampai sekarang.

3 tahun lalu pasien pernah mengalami hal yang sama dan sudah dioperasi, hal ini menandakan bahwa penyakit pasien yang diderita sekarang merupakan rekurensi dari penyakitnya dulu.

Setelah makan udang, badan pasien ruam-ruam dan bentol-bentol, hal ini menandakan pasien mempunyai riwayat atopi, dan kemungkinan pasien bisa terkena penyakit atopi lainnya seperti rhinitis alergi.

Pasien merasa badannya agak demam kemudian sering pusing, hal ini bisa dikarenakan infeksi sekunder pada pasien ini.

Ada yang mengganjal dibelakang tenggorok, tidak nyeri, tidak berdarah, dapat digerakkan. Hal ini dicurigai adanya polip koana yaitu polip yang tumbuh ke belakang dan membesar di nasofaring, dikarenakan ciri dari polip yaitu sedikit pembuluh darah yang menyebabkan dia jarang berdarah dan berwarna pucat, tidak nyeri, dan bertangkai, dimana dapat ditunjukkan dengan tonjolan yang dapat digerakkan.IV. Pemeriksaan FisikHasil pemeriksaan fisik yang didapatkan untuk pasien ini ialah:

PemeriksaanHasilNormalInterpretasi

STATUS GENERALIS

Keadaan umumSakit sedang-Pasien tampak sakit sedang karena sudah terdapat gejala sistemik seperti demam dan pusing, selain itu pasien juga tidak dapat bernafas melalui hidung.

Tanda vital

TD120/80 mmHg100-120/70-80 mmHgNormal

N75x/menit 60-100x/menitNormal

RR18x/menit14-18x/menitNormal

Suhu38C36,5 37,2CSubfebris. Kemungkinan sudah terjadi infeksi sekunder.

KesadaranCompos mentisCompos mentisNormal, kesadaran baik.

MataPupil bulat dan isokorPupil bulat dan isokorNormal

Leher: JVP5 cm5 5+2 cmNormal

Thorax: cor dan pulmoDalam batas normal-Normal

AbdomenSoepel; Hepar dan lien tidak terabaSoepel; Organ tidak terabaNormal

EkstremitasHangatHangatNormal

STATUS LOKALIS

Telinga (ADS)Liang telinga lapang tenangLiang telinga lapang tenangNormal, tidak ada sumbatan maupun peradangan.

Membrana timpani intak tenangMembran timpani intak tenangNormal, tidak ada perforasi atau peradangan membran timpani.

HidungHidung luar tenang dan simetrisHidung luar tenang dan simetrisNormal, tidak ada infeksi pada hidung bagian luar serta tidak ada kelainan pada septum (deviasi, abses, atau hematom).

Rongga hidung kanan kiri terlihat masa bening berwarna sedikit abu-abu kemerahan berbentuk bulat licin, bisa digerakan, tidak ada rasa nyeriRongga hidung kanan kiri lapang tenangPada rongga hidung kanan dan kiri pasien ini terlihat masa yang memberikan gambaran polip nasi yaitu: bening berwarna sedikit abu-abu kemerahan karena polip sebagian besar terdiri atas cairan dan vaskularisasinya sedikit; bisa digerakan karena polip mempunyai tangkai; dan tidak ada rasa nyeri karena persarafan polip sedikit. Berdasarkan temuan ini maka pasien menderita polip nasi bilateral.

Septum dan konka belum bisa dinilai karena tertutup masaSeptum lurus ditengah hidung struktur konka hidung menonjolTidak dapat dinilai

TenggorokTonsil besar T1-T1 tenangTonsil besar T1-T1 tenangBesar tonsil T1-T1 berarti besar tonsil tidak melebihi setengah garis imajiner yang ditarik dari molar tiga sampai pertengahan uvula. Normal, tidak ada tonsilitis.

Dinding faring granulerDinding faring licin dan rataDitemukanya dinding faring yang granuler pada pasien ini ialah karena pasien menderita faringitis kronik hiperplastik. Faktor predisposisi terjadinya faringitis kronik hiperplastik ialah karena pasien selama 6 bulan bernafas melalui mulut akibat hidungnya yang tersumbat.

Post nasal drip (+)Post nasal drip (-)Post nasal drip yang positif menandakan bahwa sudah terjadi infeksi sekunder. Infeksi sekunder yang dimaksud ialah sinusitis akut maupun kronis, rhinitis alergi, maupun rhinitis non-alergi. Berdasarkan keluhan pasien berupa demam dan pusing sebulan yang lalu, kami menduga kemungkinan sinusitis.

Terlihat massa sebesar kacang mede, menggantung di belakang arkus faring kiri, berwarna putih abu-abu sedikit kemerahan, bisa digerakan, dan tidak nyeriTidak terlihat massaMassa yang terlihat mempunyai gambaran yang sama dengan polip nasi. Dapat disimpulkan bahwa masa yang terlihat ialah polip nasi sinistra yang tumbuh ke belakang dan membesar di nasofaring (polip koana).

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien ini ialah:

Rinoskopi anterior: Rinoskopi anterior ialah pemeriksaan untuk memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan. Struktur yang dapat terlihat dengan rinoskopi anterior antara lain ialah: vestibulum nasi, bagian anterior dari septum nasi, dan konka media serta konka inferior. Teknik pemeriksaan rinoskopi anterior ialah pasien duduk dengan posisi sedikit lebih tinggi daripada dokter, kemudian digunakan spekulum hidung Hartman untuk memperlebar nares anterior. Pada anak-anak kadang tidak digunakan spekulum hidung, cukup dengan tarikan tangan saja. Setelah rongga hidung diperiksa dengan otoskop maka spekulum ditutup setengah kemudian dikeluarkan, tujuan spekulum hidung hanya ditutup setengah ialah agar bulu hidung tidak terjepit saat menarik alat keluar. Dari hasil anamnesis pasien ini, diduga bahwa pasien menderita polip koana stadium 3 (polip yang masif) sehingga diharapkan dapat terlihat massa bertangkai, permukaan licin dan berwarna pucat pada pemeriksaan rinoskopi anterior.

Rinoskopi posterior: Rinoskopi posterior ialah pemeriksaan untuk melihat bagian belakang dari hidung dan juga untuk melihat keadaan nasofaring. Alat yang diperlukan ialah spatula lidah dan kaca nasofaring. Teknik pemeriksaanya ialah pasien diminta membuka mulutnya, lidah bagian 2/3 anterior ditekan dengan spatula lidah kemudian pasien diminta bernafas melalui mulut agar uvula terangkat. Setelah uvula terangkat maka dimasukan kaca nasofaring dari bawah uvula menghadap ke atas sampai ke nasofaring. Sebelum kaca nasofaring dimasukan ke dalam mulut sebelumnya perlu dipanaskan terlebih dahulu untuk mencegah udara pernafasan mengembun pada kaca tersebut. Struktur yang dapat dinilai dengan rinoskopi posterior ialah bagian belakang septum, koana, konka superior/ media/ inferior, serta meatus superior dan media. Pada pasien ini karena diduga terdapat polip koana stadium 3 maka yang diharapkan pada pemeriksaan rinoskopi posterior ialah terlihat massa dengan permukaan licin dan pucat serta tidak sensitif yang menutupi kedua koana sehingga tidak terlihat dan tidak dapat dinilai struktur-struktur hidung yang telah disebutkan. Kelompok kami beranggapan bahwa polip koana yang diderita oleh pasien sudah sangat besar sehingga menutup kedua koana dan menyebabkan keluhan hidung kanan dan kiri tersumbat pada pasien ini.2V. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium:

Pada pemeriksaan darah lengkap, kelompok kami menganjurkan pemeriksaan darah lengkap yang meliputi pemeriksaan Hb, Leukosit, dan diff count.Jenis PemeriksaanHasil PemeriksaanNilai normalInterpretasi

Hb15 g/dL13,5-17 g/dLNormal

Leukosit11. 000 / L4000 10000/ LMeningkat sedikit

Hitung Jenis Leukosit (Diff count) Basofil 0

Eosinofil 5

N. Batang 5

N. Segmen 60

Limfosit 24

Monosit 6Basofil 0-1%

Eosinofil 1-3%

N. Batang 2-6%

N. Segmen 30-60%

Limfosit 20-40%

Monosit 2-8%Normal

Naik

Normal

Normal

Normal

Normal

Hb

Hemoglobin merupakan suatu protein yang ditemukan dalam sel darah merah yang memberi warna merah pada darah. Hemoglobin terdiri atas zat besi yang membawa oksigen. Pada pasien didapat Hb yaitu 15 g/dL dimana nilai normalnya untuk pria adalah 13,5-17 g/dL. 3 Leukosit

Pemeriksaan kadar leukosit pada kasus ini ditujukan untuk melihat apakah sumbatan pada hidung yang terjadi akibat infeksi atau tidak (infeksi virus menurun sedangkan infeksi bakteri meningkat). Pada pasien didapat kadar leukosit meningkat sedikit. Ini mungkin disebabkan karena adanya peradangan pada faring pasien, yaitu faringitis kronis. 4 Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)

Pemeriksaan hitung jenis leukosit ditujukan untuk melihat apakah infeksi yang disebabkan karena virus, bakteri atau akibat alergi (reaksi hipersensitivitas). Pada hitung jenis leukosit didapatkan kadar eosinofil naik. Kadar eosinofil yang memningkat menunjukkan adanya reaksi alergi pada pasien ini. Ini menguatkan dugaan kami terhadap pasien bahwa pasien mempunyai riwayat alergi yang sebelumnya sudah didapat pada saat anamnesis yaitu pasien mengalami reaksi alergi saat memakan udang.3-4Pemeriksaan kimia dan enzim darahPada kasus ini, untuk mendukung diagnosis kami, kami juga menganjurkan pemeriksaan kimia dan enzim darah yaitu gula darah sewaktu, ureum dan kreatinin.

Jenis PemeriksaanHasil PemeriksaanNilai normalInterpretasi

Gula Darah Sewaktu130 mg%< 150 mg%Normal

Ureum25 mg/dL5-40 mg/dLNormal

Kreatinin1,1 mg/dL0,5-1,5 mg/dLNormal

Ureum dan Kreatinin

Ureum merupakan hasil dari metabolisme protein yang dieksresikan melalui ginjal. Kadar ureum dalam darah mencerminkan keadaan fungsi ginjal.

Kreatinin merupakan produk sampingan katabolisme otot yang berasal dari hasil penguraian kreatinin fosfat otot. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus dan dieksresi dalam urin. Kreatinin serum dianggap lebih sensitif dan merupakan indicator khusus pada penyakit ginjal dibandingkan uji kadar nitrogen urea darah.

Pada pasien didapat kadar ureum 25 mg/dL dimana nilai normalnya adalah 5-40 mg/dL, sedangkan kadar kreatininnya 1,1 mg/dL dimana nilai normalnya adalah 0,5-1,5 mg/dL 3-4Pemeriksaan Radiologi

1. X-ray Sinus Paranasal

Pada foto sinus paranasal tampak perselubungan pada kedua sinus maksila, sinus-sinus yang lain cerah, septum lurus di tengah, konkha membesar/rongga hidung sempit

Kesan: Sinusitis maksilaris bilateral

Suspek polip nasi

Interpretasi:

Tampak perselubungan pada kedua sinus maksila, sinus-sinus yang lain cerah sugestif sinusitis maksilaris bilateral. Ini dimungkinkan karena komplikasi dari adanya polip nasi dan mungkin juga disebabkan karena rhinitis alergi yang diderita pasien

Septum lurus di tengah. Ini menunjukkan bahwa tidak adanya deviasi septum dan dapat menyingkirkan hipotesis kami deviasi septum. Gambaran ini juga menunjukkan bahwa belum adanya deviasi septum yang merupakan komplikasi dari adanya polip nasi ini mungkin dikarenakan polip nasi pada kasus ini tumbuh ke arah posterior dari hidung sehingga tidak mendesak septum.

Konkha membesar/rongga hidung sempit. Ini dimungkinkan karena mukosa hidung yang edema sehingga konkha pun membesar dan rongga hidung terlihat sempit.

Suspek polip nasi. Ini menguatkan hipotesis kami tentang polip nasi dimana pada pemeriksaan fisik sebelumnya didapatkan adanya massa sebesar kacang mete.

2. CT Scan Sinus Paranasal

Pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal ini kami anjurkan untuk melihat lebih jelas dan memperkuat hipotesis kami tentang adanya polip nasi dan sinusitis pada pasien. Pemeriksaan CT-Scan ini lebih baik daripada pemeriksaan X-ray karena dapat menganalisis baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak.5Pada CT-Scan sinus paranasal didapat kesan:

TemuanAnalisis

Sinusitis maksila bilateralIni memperkuat kami bahwa adanya sinusitis pada pasien akibat adanya komplikasi dari polip nasi dan juga komplikasi dari rhinitis alergi yang dideritanya

Osteomeatal kompleks kanan/kiri terbukaAdanya osteomeatal kompleks terbuka

Massa di hidung dan tenggorok suspek polip nasiIni memperkuat hipotesis kami bahwa adanya polip nasi pada hidung dan tenggorokan pasien seperti yang telah kami temukan pada pemeriksaan fisik sebelumnya.

Prick Test

Prick test ini kami anjurkan untuk memastika pasien alergi terhadap allergen apa dan memperkuat hipotesis kami bahwa pasien mempunyai riwayat alergi

TemuanAnalisis

Tungau debu rumah+ Pasien alergi terhadap tungau debu rumah

Udang dan Ikan laut++Pasien sangat alergi terhadap udang dan ikan laut. Ini didukung pada anamnesis sebelumnya bahwa jika pasien memakan udang timbul reaksi gatal-gatal (reaksi alergi)

VI. Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja:1. Polip nasi koana bilateral et causa rhinitis alergi dengan komplikasi sinusitis maxillaris bilateral.

2. Faringitis

Diagnosis ini kami tegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat.

Anamnesis: Keluhan utama pasien hidung tersumbat yang progresif yang mengarah ke polip. Selain itu juga ditunjang dengan ada riwayat atopi yang bisa merupakan faktor predisposisi polip. Kesulitan bernafas ini menyebabkan pasien menggunakan mulut untuk bernafas. Hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya faringitis kronis. Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksaan fisik menunjukkan suatu massa abu-abu kemerahan yang tidak mudah berdarah dan dapat digerakkan. Menurut kami massa tersebut merupakan polip yang tumbuh ke belakang (koana) dan akhirnya dapat terlihat dari tenggorokan. Massa ini ditemukan pada kedua rongga hidung (bilateral). Selain itu pada dinding tenggorokan granuler yang mengarah pada faringitis kronik. PND positif kemungkinan akibat dari peradangan pada hidung atau sinus. Pemeriksaan penunjang: Dari hasil pemeriksaan lab sugestif adanya infeksi (leukositosis). Selain itu juga eosinofil yang tinggi menunjukkan riwayat atopi pada pasien. Pada pemeriksaan foto sinus paranasal sugestif sinusitis maksilaris akut bilateral. Selain itu juga hasil pemeriksaan prick test membuktikan bahwa pasien alergi terhadap tungau debu rumah dan udang.VII. Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan salah satu peradangan mukosa pada hidung yang dapat menyebabkan polip pada hidung dan dapat menyumbat jalan nafas melalui hidung. Inflamasi kronis yang berulang akan menyebabkan perubahan mukosa pada hidung yang diikuti robeknya lapisan submukosa pada hidung dan disertai adanya reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Sel epitel yang baru terbentuk akan menyerap natrium dan air yang lama-kelamaan akan terbentuk polip. Peradangan pada mukosa hidung akan membuat oedem setempat dan dapat menutup komplek osteomeatal. Pada situasi ini sinus maxilaris adalah sinus yang tidak menguntungkan karena posisi ostiumnya berada di atas dan untuk drainase cairan di bagian sinus hanya bergantung dengan gerak silia. Peradangan mukosa hidung dapat menutup kompleks osteomeatal sehingga drainase akan terhambat dan sekret yang keluar akan terakumulasi dan akan menjadi media yang baik untuk berkembangnya kuman-kuman pathogen sehinggan terjadi peradangan di sinus.Polip dapat menutup jalan udara pada rongga hidung sehingga pasien biasanya akan merasa hidungnya tersumbat dan pasien akan bernafas melalui mulut sebagai kompensasi. Bernafas melalui mulut ini ridak di anjurkan di dalam dunia kedokteran sebab di mulut tidak memiliki rambut-rambut untuk menyaring udara yang masuk ke paru-paru, udara yang masuk juga tidak di hangatkan terlebih dahulu. Akibat udara masuk tidak disaring ini dapat menjadi satu faktor predisposisi untuk terjadinya faringitis kronis.

Perubahan dari mukosa hidung yang lama kelamaan akan berubah menjadi polip juga berpengaruh terhadap sistem drainase pada sinus-sinus paranasal. Mukosilia pada sinus akan berkurang fungsinya sehingga menghambat drainase pada sinus. Sekret serosa pada sinus merupakan tempat yang baik untuk berkembangan kuman-kuman patogen. Kuman-kuman ini akan merangsang peradangan di daerah sinus yang sering kita sebut sinusitis. SHAPE

VIII. Diagnosis BandingDiagnosis Banding

Hipertrofi konka. Karena pada hipertrofi konka keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat akibat pembesaran konka nasalis di hidung. Proses infeksi dan iritasi kronis merupakan penyebab terjadinya hipertrofi pada konka.IX. Komplikasi

Polip hidung dapat menyebabkan komplikasi karena dapat menghalangi aliran udara normal dan drainase cairan, dan juga karena peradangan yang kronis. Komplikasi meliputi:

Apnea tidur obstruktif. Dalam kondisi yang serius, dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas saat tidur.

Asma rinosinusitis kronis. Dapat memicu serangan asma.

Infeksi sinus. Polip hidung dapat membuat lebih rentan terhadap infeksi sinus yang sering kambuh atau menjadi kronis. X. Penatalaksanaan

Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :1. Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi.2. Operasi : polipektomi & etmoidektomi.3. Kombinasi : medikamentosa & operasi.Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa terlebih dahulu untuk menenangkan sinusitis yang terjadi dengan pemberian antibiotik spektrum luas dan symptomatik. Baru kemudian polip di operasi dengan cara polipektomi atau dengan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)..

Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung.

Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal.

Kemudian diberikan antibiotik pasca operasi untuk profilaksis dan anti alergen karena penyebabnya adalah alergi.1XI. Prognosis

-Ad vitam : Bonam. Keadaan umum pasien masih baik.-Ad sanasionam : dubia ad malam.

Karena sedikit sulit bagi pasien untuk menghindari pajanan alergen (tungau debu rumah). Sehingga kemungkinan untuk kekambuhan polip masih ada.

-Ad fungsionam : BonamJika sinusitis sudah diterapi dengan adekuat dan polip sudah diangkat besar kemungkinan fungsi hidung pasien kembali normal. BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

HIDUNG DAN SINUS PARANASALISI. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis.

Hidung terdiri atas nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi: Nasus externus

Nasus externus memiliki ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Pada permukaan inferior terdapat dua lubang, yakni nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk sebagian berupa tulang rawan, membagi cavum nasi menjadi dua rongga kanan dan kiri. Septum nasi terdiri dari beberapa komponen diantaranya yang pertama adalah lamina perpendicularis yang membentuk bagian atas septum nasi, tipis dan melintas ke bawah dari lamina perpendicularis ossis ethmoidalis; yang kedua, os.vomer, sebuah tulang yang tipis dan melanjutkan lamina perpendicularis ossis ethmoidalis ke bawah, membentuk bagian posteinferior septum nasi, bagian ini berhubungan dengan lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan dengan cartilago septi nasi; yang ke tiga adalah cartilago septi nasi. Bagian hidung yang berupa tulang terdiri dari os.nasale, processus frontalis ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis, sedangkan bagian tulang rawan hidung terdiri dari lima tulang rawan utama yaitu dua cartilangines nasi laterales, dua cartilangines alares, dan sebuah cartilago septi nasi.6 Cavum nasi

Cavum nasi terletak dari nares anterior sampai choana (nares posterior). Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan memiliki mempunyai dasar, atap, dinding lateral, dan dinding medial.

Atap cavum nasi berbentuk lengkung dan sempit kecuali pada ujungnya sebelah posterior, dapat dibedakan menjadi 3 bagian (frontonasal, etmoideal, dan sfenoidal) yang dinamakan sesuai dengan nama tulang-tulang pembatasnya.

Dasar cavum nasi yang lebih luas daripada atapnya, dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini, yaitu permukaan atas palatum durum.

Dinding lateral cavum nasi ditandai dengan tiga tonjolan yang disebut concha nasalis superior, concha nasalis media, dan concha nasalis inferior. Area dibawah setiap concha disebut meatus. Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas concha nasalis superior dan di depan corpus ossis sphenoidalis, di daerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis. Meatus terdiri dari meatus nasi superior, meatus nasi media, dan meatus nasi inferior. Meatus nasi superior terletak di bawah dan lateral concha nasalis superior, disini terdapat muara sinus ethmoidalis posterior. Meatus nasi media terletak dibawah dan lateral concha nasalis media, pada dinding lateralnya terdapat prominentia bulat, bulla ethmoidalis, yang disebabkan oleh penonjolan sinus ethmoidales medii yang terletak dibawahnya, sinus ini bermuara pada pinggir atas meatus, sebuah celah melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat dibawah bulla, ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran berbentuk corong disebut infundibulum, sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris, sinus frontalis bermuara dan dilanjutkan oleh infundibulum, sinus ethmoidalis anterior juga bermuara pada infundibulum, meatus nasi media dilanjutkan ke depan oleh sebuah lekukan disebut atrium, atrium ini dibatasi diatas oleh sebuah rigi, disebut agger nasi, dibawah dan depan atrium dan sedikit di dalam nares, terdapat vestibulum, vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi dan memiliki rambut-rambut melengkung dan pendek atau vibrissae. Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha nasalis inferior dan merupakan tempat bermuaranya ductus nasolacrimalis.6Dinding medial cavum nasi atau septum nasi adalah sekat osteocartilago yang ditutupi membrana mucosa.

Membran mucosa melapisi cavum nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membran mucosa, yaitu membrana mucosa olfactorius dan membrana mucosa respiratorius. Membrana mucosa olfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dan atap cavum nasi, fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu. Membrana mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi, fungsinya adalah untuk menghangatkan, melembapkan, dan membersihkan udara inspirasi. Persarafan Cavum nasi

N.Olfactorius berasal dari sel-sel olfactorius khusus yang terdapat pada membrana mucosa, saraf ini naik ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi ophthalmica dan maxillaris N.Trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari N.Ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum.Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat pada os.maxilla, os.frontale, os.sphenoidale, dan os.ethmoidale. Sinus-sinus ini dilapisi oleh mucoperiosteum dan berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. Terdapat empat sinus paranasalis pada cranium:

Sinus maxillaris terletak didalam corpus maxillaris, sinus ini berbentuk pyramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam processus zygomaticus maxilla. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar dibentuk oleh processus alveoralis. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga dan kadang-kadang akar caninus menonjol ke dalam sinus. Ekstraksi sebuah gigi dapat menimbulkan fistula atau infeksi gigi yang dapat menyebabkan sinusitis.Membran mucosa sinus maxillaris dipersarafi oleh N.Alveolaris superior posterior, N.Alveolaris anterior, N.Alveolaris medius, dan N.Alveolaris superior, yakni cabang-cabang N.Maxillaris (nervus cranialis V2). Sinus frontalis ada dua buah, terdapat didalam os.frontale dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum tulang, yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas, diatas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian medial atap orbita. Membrana mucosa dipersarafi oleh N.Supraorbitalis. Sinus sphenoidalis ada dua buah terletak didalam corpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke recessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior. Membran mucosa dipersarafi oleh N.Ethmoidalis posterior. Sinus Ethmoidalis terdapat didalam os.ethmoidalis, diantara hidung dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi lebih mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ethmoidalis terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidales, didalam massa lateral os.ethmoidale, antara cavum nasi, dan orbita. Cellulae ethmoidales anterior bermuara ke dalam infundibulum, cellulae ethmiodales media bermuara ke dalam meatus nasi media, dan cellulae ethmoidales posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mucosa dipersarafi oleh N.Ethmoidalis anterior dan N.Ethmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris (nervus cranialis V1).

II. Histologi Hidung dan Sinus Paranasalis.

Rongga hidung terdiri dari dua struktur, yaitu vestibulum pada bagian luar dan cavum nasi/ fossa nasalis pada bagian dalam. Selain kedua struktur tersebut, pada hidung bagian luar terdapat kulit luar.

Kulit luar hidung memiliki kelenjar sebasea dan rambut-rambut halus. Epitel yang melapisi kulit luar adalah epitel berlapis gepeng dengan sel tanduk.

Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar dari rongga hidung. Kulit luar hidung memasuki bagian nares anterior dan berlanjut ke dalam vestibulum. Di daerah sekitar permukaan dalam nares, terdapat banyak kelenjar sebasea dan sel keringat, selain itu terdapat pula rambut-rambut pendek yang tebal dan kasar yang disebut vibrisae, yang fungsinya menahan dan menyaring partikel-partikel besar dari udara respirasi. Di dalam vestibulum epitelnya berlapis gepeng dengan sel tanduk.7

Fossa nasalis/ cavum nasi, terdapat di dalam tengkorak terletak dua bilik kavernosa yang dipisahkan oleh septum nasi. Pada fossa nasalis dilapisi oleh epitel respiratorik yaitu epitel bertingkat dengan sel goblet dan silia. Pada bagian ini terdapat tiga tonjolan yang disebut concha. Ketiga concha ini adalah concha superior, concha media, dan concha inferior. Concha media dan inferor dilapisi oleh epitel respiratorik, sedangkan concha superior dilapisi oleh epitel olfaktorius. Celah-celah sempit yang terjadi karena adanya ketiga concha tersebut memudahkan pengkondisian udara inspirasi dengan menambah luas permukaan epitel respiratorik, sehingga kontak antara aliran udara dan lapisan mukosanya bertambah. Di dalam lamina propia concha terdapat pleksus vena besar yang dikenal sebagai badan pengembang (swell bodies). Selain badan pengembang rongga hidung juga memiliki sistem vaskular. Pembuluh-pembuluh besar membentuk jalinan-jalinan rapat dekat periosteum, dan dari tempat ini cabang-cabang pembuluh meluas ke permukaan. Darah dari belakang mengalir ke depan dalam arah yang berlawanan dengan aliran udara inspirasi, sehingga udara yang masuk dihangatkan secara efisien oleh sistem arus balik.

Selain vestibulum dan fossa nasalis, terdapat juga area olfactorius yang merupakan daerah khusus membran mukosa concha superior yang terletak di atap rongga hidung. Pada area ini terdapat kemoreseptor olfaktorius yang terletak pada epitel olfaktorius. Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris yang terdiri dari tiga jenis sel, yaitu sel penyokong, sel basal, dan sel olfaktorius.

Sel penyokong memiliki apeks silindris yang lebar dan basisnya yang lebih sempit. Pada permukaanya terdapat mikrovili, yang terendam dalam selapis cairan. Sel ini mengandung pigmen kuning muda (lipofusin) yang memberi warna pada warna mukosa olfaktorius.

Sel basal, yang berukuran kecil dan berbentuk bulat, membentuk suatu lapisan pada basis epitel/ lamina basalis.

Sel olfaktorius merupakan neuron bipolar. Pada bagian apeksnya (dendrit) memiliki daerah yang melebar dan terdapat enam sampai delapan silia. Silia ini sangat panjang dan nonmotil dan berespon terhadap zat pembau dengan membangkitkan suatu potensial reseptor. Lapisan propia di epitel olfaktorius memiliki kelenjar Bowman. Kelenjar Bowman ini menghasilkan sekret disekitar sel-sel olfaktorius, sifat sekret adalah serosa yang mampu membersihkan silia, sehingga memudahkan akses zat pembau yang baru.7III. Fisiologi Hidung dan Sinus ParanasalPrinsip Fisiologis Aliran udara di Hidung

Selama inspirasi aliran udara memasuki vestibulum nasi dengan arah oblik-vertikal atau berada pada keadaan aliran laminar, artinya, tidak ada campuran dengan lapisan udara yang berbeda. Ketika udara yang dihirup sampai pada katup nasal yang berada antara vestibulum dan rongga hidung, melewati bagian tersempit pada traktus respiratorius atas (limen nasi). Setelah melewati katup, aliran menyebar yang mengubah aliran laminar yang merupakan udara yang dihirup, menjadi aliran turbulensi, dimana lapisan-lapisan udara yang berbeda saling berputar-putar. Selain itu, kecepatan udara, derajat perubahan pada karakteristik aliran pada keadaan ini kebanyakan dipengaruhi oleh struktur anatomi dari rongga hidung. Perubahan dari aliran laminar menjadi turbulensi di dalam hidung secara fungsional menguntungkan karena hal itu memperlambat kecepatan aliran dari udara yang dihirup. Hal ini kemudian memperlama kontak dengan mukosa hidung, yang berkontribusi pada proses penghidu dan memudahkan hidung untuk membersihkan, melembapkan, dan menghangatkan udara yang dihirup. Siklus Hidung

Siklus hidung (nasal cycle) adalah fenomena fisiologis yang ditandai dengan perubahan antara penyempitan lumen dan pelebaran lumen rongga hidung. Kongesti dan dekongesti pada mukosa hidung ini dipengaruhi terutama melalui reaksi kapasitansi pembuluh darah vena pada konka inferior dan media, yang diatur oleh sistem saraf otonom.

Pengkondisian Udara Inspirasi

Udara yang dihirup dihangatkan dan dilembapkan di hidung sebelum sampai pada saluran napas bagian bawah. Aliran turbulensi dan keadaan-keadaan fisik lain mendorong adanya kontak antara udara dengan mukosa. Apalagi hubungan yang menguntungkan antara rongga hidung yang relatif kecil dengan permukaan mukosa yang besar, yang kemudian selanjutnya diperbesar lagi dengan konka, juga mendorong interaksi penting secara fungsional antara udara dan mukosa. Kelembapan melibatkan sekresi dan transudasi kelenjar-kelenjar di hidung, sel-sel goblet, dan pembuluh darah di lamina propria. Regulasi suhu dikontrol oleh sistem perdarahan intranasal dan khususnya oleh jaringan erektil vena, yang melimpah pada konka inferior. Suhu pada bagian anterior rongga hidung lebih rendah daripada bagian posterior. Gradien suhu ini menghasilkan proses penghangatan udara yang bertahap (gradual), sementara ketika ekspirasi (menghembuskan udara), kelembapan dan panas dikembalikan ke hidung melalui kondensasi. Kapasitas penghangatan pada mukosa hidung sangat efisien yang bahkan pada suhu dibawah nol derajat, suhu udara inspirasi meningkat sampai 25oC saat memasuki nasofaring, dengan kelembapan relatif lebih dari 90%.

Gangguan dalam fungsi pengkondisian udara ini dapat merupakan akibat dari pengeringan mukosa-yang terkait usia, karena fungsi sel-sel goblet dan kelenjar menurun. Juga dari perubahan inflamasi kronik atau reseksi luas selama pembedahan intranasal. Fungsi Proteksi Mukosa Hidung

Mekanisme Pertahanan nonspesifik

Pertahanan mekanis: pertahanan mekanis yang paling penting pada mukosa hidung adalah apparatus mukosilier, yang secara fisik membersihkan udara yang dihirup. Sistem transportasi mukosilier terdiri dari silia dari epitel respiratorik dan lapisan mukosa yang tersusun oleh dua lapisan: paling dalam, lapisan sol (kurang kental) dimana gerakan silia terjadi disini, dan lebih di permukaan, lapisan gel (lebih kental). Gerakan silia terdiri dari tiga fase dan diinisasikan oleh adenosin trifosfat (ATP), yang menyebabkan pergerakan dari filamen di dalam silia (teori pergeseran filamen silia). Lapisan gel yang superfisial didorong kearah nasofaring oleh pukulan-pukulan silia yang terkoordinasi. Gerakan silia yang dinamis ini menyerupai lambaian helaian-helaian sawah yang tertiup angin. Silia berdenyut pada frekuensi yang tinggi (10-20 kali per detik), tapi pergerakannya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu dan kelembapan.

Gangguan transportasi mukosilier dapat mengakibatkan beberapa hal, seperti peningkatan viskositas dan penebalan lapisan sol perisiliar, menghambat pergerakan atau menngubah viskoelastisitas lapisan gel yang mengakibatkan transport mukus yang tidak efektif. Infeksi virus akut pada traktus respiratorius atas dapat menyebabkan deskuamasi epitel, bersamaan dengan hilangnya sel-sel bersilia. Juga, beberapa mikroorganisme dapat langsung mempengaruhi motilitas dengan menurunkan frekuensi denyut silia.

Faktor protektif nonspesifik: mukosa hidung juga memiliki sejumlah faktor pertahanan non-spesifik yang berada di lapisan mukosa.

Pertahanan seluler: Fagosit yang terpenting ialah granulosit neutrofilik, monosit, dan makrofag. Mereka ditemani dengan sel-sel natural killers (NK cells), yang memproteksi terutama terhadap infeksi virus pada mukosa hidung. Respon Imun Spesifik

Unit imunologik dibuat oleh mukosa hidung sendiri dan jaringan limfoepitelial Cincin Waldeyer. Pada temuan terbaru didapatkan tonsil palatina dan faringeal berfungsi sebagai komponen induktif yang aktid dalam absorpsi, pemrosesan, dan presentasi antigen, sementara mukosa hidung sendiri murni sebagai organ efektor, dimana, benda asing difagosit oleg sel-sel imunokompeten.

Sistem imun spesifik yang lokal pada mukosa hidung didasarkan pada peranan antibodi, yang bertanggungjawab dalam respon imun humoral, dan sel-sel imunokompeten yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Respon imun humoral: antibodi dibentuk di sel-sel plasma. IgA adalah imunoglobulin yang khas pada mukosa hidung. Sel-sel plasma juga mensintesis IgM dan juga IgG. Ketika dilepaskan, imunoglobulin (khususnya IgA) diabsorpsi oleh sel-sel kelenjar di lamina propria, bersamaan dengan komponen sekretorik, dan antibodi sekretorik (sIgA). Respon imun selular: perwakilan respon imun selular pada mukosa hidung termasuk sel mast, makrofag, beberapa leukosit polimorfonukleat (neutrofil, basofil, granulosit eusinofilik), limfosit, dan sel-sel sistem retikuloendotelial, yang bersama-seama menjadi sel-sel dendiritik (Langerhans) pada mukosa hidung. Limfosit T penting dalam pengawasan dan fungsi memori respon imun, sementara limfosit B dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma dan kemudian menjadi peranan penting dalam respon imun humoral pada mukosa dalam hubungannya dengan produksi antibodi lokal. Granulosit eusinofilik ditemukan terutama yang berhubungan dengan sinusitis kronik dan polip nasi. Granul-granul sel tersebut mengandung substansi sitotoksik yang bisa menghancurkan jaringan dan lisis membran sel. Granulosit basofil terlibat dalam reaksi alergi immediate, meskipun sel mast sejauh ini merupakan tipe sel paling dominan dalam proses tersebut. Sel-sel mast juga terutama bertanggung jawab dalam pelepasan histamin pada fase awal reaksi alergi. Granulosit basofil dan sel mast juga memiliki reseptor spesifik (FcR) untuk pengikatan dengan IgE. Saat kontak dengan substansi alergi yang sesuai, hal ini dapat mendorong reaksi alergi yang sifatnya mengancurkan, hingga dapat berujung pada syok anafilaksis.

Sel-sel epitel pada mukosa hidung jjuga memiliki fungsi imun. Khusunya, adhesi molekul ICAM-1, diekspresikan oleh sel-sel epitel, membantu mencegah infeksi virus dengan bertindak sebagai reseptor untuk lebih dari 90% jenis rhinovirus.

Sel-sel endotel pada pembuluh darah pada akhirnya berperan penting dalam respon imun spesifik pada mukosa hidung. Sel-sel endotel vaskuler diaktivasi oleh beberapa mediator inflamatorik (misalnya IL-1, tumor necrosis factor- (TNF- ), dan meregulasi diapedesis trans-endotel sel-sel imunokompeten ke dalam jaringan sekitar melalui ekspresi molekul-molekul adhesi. 8Produksi Suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar sengau (rinolalia).

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan pallatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, pallatum mole turun untuk aliran udara. 9Fungsi Penghidu

Sistem penghidu manusia terdiri atas mukosa olfaktorius intranasal dengan epitel olfaktorius yang terspesialisasi dan hubungannya ke jalur sentral. Sel-sel sensorik terdiri atas sel-sel reseptor bipolar yang mana bagian ujungnya menyatu dan membentuk fila olfaktoria, yang dihubungkan lewat neuron-neuron tambahan dan didistribusikan ke pusat penghidu primer, sekunder, dan tersier. Fila olfaktoria masuk ke foramina pada piringan kribiformis dan masuk ke rongga kranial. Disana, ia bergabung untuk membentuk bulbus olfaktorius (pusat penghidu primer). Lalu terhubung melalui traktus olfaktorius ke pusat penghidu sekunder (korteks olfaktorius) di korteks temporobasal, yang berperan dalam persepsi bau. Pusat penghidu sekunder juga memiliki proyeksi ke sistem limbik yang berhubungan dengan pusat otonom di talamus dan di hipotalamus; menyusun jalur yang memediasi emosidan fenomena afektif yang berhubungan dengan bau. Korteks olfaktorius memiliki hubungan dengan pusat penghidu tersier (termasuk hipokampus, daerah insular anterior, dan formatio retikularis), yang diyakini memiliki fungsi asosiasi polisensoris. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8Fungsi dari sinus paranasalis adalah sebagai berikut:

Sebagai pengatur kondisi udara: Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi.

Sebagai penahan suhu (thermal insulators): Sinus berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, serta melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

Membantu keseimbangan kepala: Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.

Membantu resonansi suara: Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.

Sebagai peredam perubahan tekanan udara: Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang mendadak, misalnya ketika bersin atau membuang ingus.

Membantu produksi mucus: Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis mungkin jumlahnya kecil di bandingkan dengan mucus yang diproduksi oleh rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk bersama udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang sangat strategis.10POLIP NASI

Polip adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.Polip nasi bersifat non-kanker dan tidak menyebar. Polip nasi dapat terbentuk di pangkal hidung, di kedua kanan dan kiri lubang hidung dan dalam satu atau lebih dari rongga sinus Anda.Ketika polip nasi berkembang di meatus medius, mereka dapat menyebabkan penyumbatan dan kesulitan bernafas.

Polip hidung juga dapat ditemukan di dinding lateral rongga sinus. Jika seseorang memiliki deviasi septum, polip nasi lebih cenderung terbentuk pada dinding sinus kemudian pada septum itu sendiri. Meskipun jarang, polip hidung juga dapat memanjang melalui sebuah choana. Choana adalah bukaan yang menghubungkan saluran hidung ke bagian belakang tenggorokan.PEMBAGIAN POLIP HIDUNGPembagian stadium polip menurut Mackey dan Lund (1997):

Stadium 1

Polip masih terbatas di meatus medius

Stadium 2

Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung

Stadium 3

Polip yang masifFAKTOR PREDESPOSISI Alergi

Ada reaksi imun terhadap alergen tertentu (debu, serbuk sari, bulu binatang peliharaan), makanan (seafood, kacang, produk susu). Reaksi normal tubuh terhadap iritasi adalah untuk menghasilkan banyak lendir untuk flush alergen keluar. Hal ini menyebabkan radang pada membran lendir. Hay fever, rinitis alergi atau alergi musiman semua reaksi alergi yang disebabkan oleh pohon yang berbeda dan serbuk sari tanaman. Serbuk sari yang menyebabkan iritasi selaput lendir lalu membengkak dan terasa gatal.

Kondisi keturunan

Cystic fibrosis menyebabkan kelenjar tertentu dalam membran lendir untuk memproduksi lendir lengket dan banyak yang mengakibatkan peradangan berkepanjangan membran tersebut.

Kondisi yang diperoleh :

Orang yang memiliki kondisi pernafasan kronis lebih berisiko terkena polip hidung karena selaput lendir mereka terus meradang. Asma adalah salah satu kondisi seperti mana lapisan selaput lendir di tenggorokan dan saluran pernapasan menjadi meradang, mengerut dan menghasilkan jumlah kelebihan lendir.PATOFISIOLOGIPolip nasi bukanlah penyakit tetapi produk akhir peradangan konstan yang sering hasil dari pilek dan flu, infeksi bakteri, alergi atau dari reaksi atas sistem kekebalan tubuh seseorang terhadap jamur.

Polip nasi terjadi akibat selaput lendir yang meradang dalam satu atau lebih dari rongga sinus dan lubang hidung. Hal ini menyebabkan peradangan kronis pembuluh darah yang ditemukan di selaput lendir lapisan saluran hidung dan rongga sinus menjadi lebih permeabel (melewati) untuk cairan dan karena itu memungkinkan plasma untuk mengumpul di bawah membran ini. Ketika cairan lebih mengumpul di bawah selaput lendir, gravitasi mulai menarik jaringan yang diisi air ini menyebabkan mereka untuk memperluas dan berkembang menjadi polip nasi.

KOMPLIKASIPolip nasi yang tunggal dan kecil mungkin tidak menimbulkan komplikasi. Peradangan di dalam sinus dari alergi, pilek / flues atau bahkan infeksi bakteri dapat meningkatkan laju pertumbuhan polip nasi. Polip nasi besar atau multiple dapat menyebabkan penyumbatan dalam saluran rongga hidung dan sinus. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa komplikasi lain seperti:

Sinusitis

Apnea obstruktif tidur

Perubahan struktur wajah PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi cara ini kurang efektif dalam kasus polip

2. Pemeriksaan topografi (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses peradangan.PENATALAKSANAAN Bila polip masih kecil, dapat diobati secara konservatif dengan kortikosteroid sistemik atau oral, misalnya prednison 50mg/hari atau dekametason selama 10 hari. Secara lokal dapat disuntikan ke dalam polip, misalnya triamsinolon asetonid. Dapat dipakai sebagai semprot hidung.

Bila polip sudah besar, dilakukan polipektomi

Senar polip atau cunam dengan analgesi lokal

Etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ektranasal untuk polip etmoid

Operasi Caldwell-Luc untuk sinus maxilla.9SINUSITIS

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal atau radang pada sinus paranasal. Bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus maksila, kemudian sinus ethmoid, sinus frontal, dan sinus sphenoid. Hal ini disebabkan karena sinus maksila adalah sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan ostiumnya terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering tersumbat. PEMBAGIAN SINUSITIS

1. Berdasarkan perjalanan penyakitnya (menurut Adams)a. Sinusitis akut

Bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu

b. Sinusitis subakut

Bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan

c. Sinusitis kronik

Bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (menurut Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan)2. Berdasarkan tipe inflamasinyaa. Sinusitis Infeksi

biasanya disebabkan oleh infeksi virus yang tidak rumit. Pertumbuhan bakteri penyebab infeksi sinus dan infeksi sinus jamur sangat jarang terjadi. Bentuk sinus subakut sinus kronik biasanya merupakan hasil dari pengobatan yang tidak adekuat dari infeksi sinus akut.

b. Sinusitis Non-infeksi

Disebabkan oleh iritasi dan kondisi alergi dan mengikuti garis waktu yang sama untuk sinusitis akut, subakut dan kronik seperti sinusitis infeksi.

3. Berdasarkan penyebabnyaa. Sinusitis DentogenInfeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus maksila, atau melalui pembuluh darah dan limfe.b. Sinusitis JamurInfeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang ditemukan. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.

Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan non-invasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen.

4. Berdasarkan tempatnyaa. Sinusitis Maksila

Menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.

b. Sinusitis Ethmoid

Menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.

c. Sinusitis Frontal

Menyebabkan sakit kepala di dahi

d. Sinusitis Sphenoid

Menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher. FAKTOR PREDESPOSISI Lokal :

ISPA akibat virus

Malnutrisi

Kelainan imonologik

Diskinesia (berkurangnya kemampuan untuk bergerak bebas) silia

Bermacam rinitis, terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil

Polip hidung

Kelainan anatomi seperti deviasi hidung, hipertrofi konka

Sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM)

Infeksi tonsil

Infeksi gigi

Kelainan imunologik

Penyakit fibrosis kistik

Deformitas rangka

Sistemik : Lingkungan dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan

Lingkungan berpolusi

Kebiasaan merokok

Alergi obat atau makananPATOFISIOLOGIKesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearence) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan.

Organ-organ yang membentuk KOM (Kompleks Ostio Meatal) letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak (diskenia) dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Lalu sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predesposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasiKOMPLIKASI

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intra kranial.

1. Kelainan Orbita, disebabkan oleh sinus paranasalis yang berdekatan dengan orbita (mata). Penyebarannya melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah :

a) Peradangan/reaksi edema ringan, keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papiresea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini

b) Selulitis Orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah aktif menginvasi isi orbita namun belum ditemukan pus.

c) Abses Subperiosteal, Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

d) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.

e) Trombosis sinus kavernosus, komplikasi ini akibat dari penyebaran bakteri melalui sal. Vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjtnya terbentuk suatu tromboflebitis septik.

2. Kelainan Intrakranial

a) Meningitis akut, infeksi menyebar sepanjang sal. Vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.

b) Abses Dura, kumpulan Pus diantara dura dan tabula interna kranium.

c) Abses Otak, lokasi abses ujung vena yang pecah meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri.

3. Komplikasi pada sinusitis kronik

a) Osteomielitis dan abses subperiosteal

b) Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos atau CT scan. Umumnya untuk menilai sinus-sinus besar seperti sinus maxilla dan frontal

Pemeriksaan transiluminasi. Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap

Pemeriksaan mikrobiologi. Dengan cara mengambil sekret (mukus)dari meatus medius/ superior.

SinuskopiPENATALAKSANAAN1. Sinusitis akut

Terapi medikamentosa berupa antibiotic (amoksisilin dan ampisilin) alternative bagi yang alergi terhadap penisilin adalah trimetoprim/ sulfametoksazol. Dekongestan oral atau topical dapat juga diberikan. Kabut dihangatkan atau irigasi salin juga dapat efektif untuk membuka sumbatan saluran sehingga memungkinkan drainase rabas purulen. Dekongestan oral yang umum adalah Drixoral dan Dimettap. Dekongestan topical yang umum adalah Afrin dan Otrivin.

Dekongestan topical harus diberikan dengan posisi kepala pasien kebelakang untuk meningkatkan drainase maksimal. Jika pasien terus menunjukkan gejala setelah 7 sampai 10 hari, maka sinus perlu diirigasi. Pemberian antihistamin pada sinusitis akut purulen tidak dianjurkan. Bila perlu diberikan analgesic untuk menghilangkan nyeri : mukolitik untuk mengencerkan secret, meningkatkan kerja silia dan merangsang pemecahan fibrin.pemberian steroid intranasal : beklometason, fluinosolid, triamsinolon.

2. Sinusitis subakut

Mula mula diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotic yang sesuai dengan resistensi kuman, selama 10-14 hari. Juga obat-obatan simtomatis. Berupa dekongestan local (obat tetes hidung) untuk memperlancar drainase, selam 5-10 hari, dapat diberikan analgetik, antihistamin dan mukolitik. Bila perlu dapat dilakukan diatermi.Dilakukan dengan sinar gelombang pendek sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus, jika belum membaik dilakukan pencucian sinus. Tindakan intranasal lain adalah opersi koreksi sputum, pengangkatan polip dan konkotomi total atau parsial.

3. Sinusitis kronis

Penatalaksanaan medis sama seperti sinusitis akut. Pembedahan diindikasikan pada sinusitis kronis untuk memperbaiki deformitas structural yang menyumbat ostia sinus. Pembedahan mencakup aksisi atau kauterisasi polip, perbaikan penyimpangan septum dan menginsisi serta mendrainase sinus. Perkembangan terakhir adalah Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Sebagian pasien dengan sinusitis kronis parah mendapat kesembuhan dengan cara pindah ke daerah dengan iklim yang kering.

Berikut daftar golongan dan jenis Dekongestan dan Antibiotik serta cara kerjanya : Dekongestan : menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui alfa-reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung

Nama obatCara kerjanya

Oksimetazolin (Afrin)Diterapkan langsung ke selaput lendir, di mana merangsang reseptor alfa-adrenergik dan menyebabkan vasokonstriksi

Fenilefrin (Neosinefrin)Sebuah postsinaptic kuat alfa-reseptor stimulan dengan efek kecil pada reseptor beta

Pseudoefedrin (Sudafed)Merangsang vasokonstriksi dengan langsung mengaktifkan reseptor alpha-adrenergik dari mukosa pernapasan. Meningkatkan laju jantung dan kontraktilitas dengan merangsang reseptor beta-adrenergik. Menstimulasi sistem saraf pusat

Antibiotik : zat yang dihasilkan suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.9Nama obatCara kerjanya

Trimetoprim dan Sulfametoksazol (Baktrim, Septra)Menghambat sintesis bakteri dari asam dihidrofolat . Dengan menghambat enzim reduktase dihidrofolat, produksi asam tetrahidrofolik menurun. Efek ini menghambat pertumbuhan bakteri.

Amoksilin and clavulanate (Augmentin)

Obat kombinasi yang memperluas spektrum antibiotik penisilin termsuk biasanya bakteri resisten terhadap antibiotik beta-laktam

SefaklorUntuk pengelolaan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme rentan dicampur aerobik-anaerobik. Tepat dosis dan rute pemberian harus ditentukan oleh kondisi pasien, beratnya infeksi, dan kerentanan organisme kausatif

Amoksisilin (Amoks, Polimoks)Menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan dan dapat digunakan sebagai profilaksis dalam prosedur minor.

BAB V

KESIMPULAN

Pada pasien ini, didapatkan keluhan utama berupa hidung tersumbat. Pasien mengaku memiliki alergi terhadap udang tapi telah melakukan penghindaran terhadap allergen. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan struktur septum, tapi ditemukan polip di hidung dengan tangkai terlihat dari tenggorokan ada massa menggantung dibelakang arkus faring kiri. Hal itu adalah dugaan terjadinya polip koana. Adanya jaringan granuler berrti ada dugaan faringitis kronis, mengingat sumbatan hidungnya menyebabkan ia bernapas lewat hidung dan mudah terpajan infeksi dari luar. Pada pemeriksaan radiologi disimpulkan adanya sinusitis maksilaris bilateral disertai polip nasi. Pada uji alergi, pasien didapatkan kepastian bahwa pasien memiliki sensitifitas tinggi terhadap ikan laut dan udang.

Kami menduga, terjadinya polip nasi dikarenakan infeksi berulang dari rhinitis alergi. Ditemukan pada pemeriksaan fisik, polip dalam keadaan kemerahan, artinya, adanya proses iritasi yang menyebabkan udem mukosa hidung. Udem mukosa hidung diduga menghambat drainase dari kompleks osteomeatal yang menyebabkan kerja silia menjadi tidak efektif. Hal ini mendorong terjadinya sinusitis (sinusitis maxillaris). Pasien ini harus ditunggu hingga proses peradangan faring-nya tenang, dan kemudian dioperasi pengangkatan polip karena sangat mengganggu kualitas hidupnya.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Sumbatan Hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N, Basshiruddin J, Restuti RD; editors. Buku Ajar THT Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.118-137.2. Bickley LS, Bates B, Hoekelman RA. Bates Guid to Physical Examination & History Taking. 7th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 1999.

3. Kee, Joycee LeFever. Laboratory and Diagnostic Test. 6th ed. New York: Pearson; 2008

4. Smeltzer SC. Brunner and Suddarths Handbook of Laboratory and Diagnostic Test. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 20105. Rachman MD. Sinus Paranasal dan Mastoid. In: Rasad S, Ekayuda I (editors). Radiologi Diagnostik. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.431-8

6. Moore KL, Agur AMR. Anatomi klinis dasar. Jakarta:penerbit buku kedokteran EGC;2002

7. Gunawijaya FA, Kartawiguna E. Penuntun praktikum kumpulan foto mikroskopik histologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2009

8. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic otorhinolaryngology: a step by step learning guide. 1st edition. New York: Thieme; 2006.p. 10-3.

9. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editors). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI; 2007.p. 122-7.

10. Scanlon VC, Sanders T. Essentilas of anatomy and physiology. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007

Rhinitis alergi

Radang kronis

Perubahan mukosa

Robeknya lapisan submukosa

Pembentukan epitel dan kelenjar baru

Penyerapan natrium dan air

POLIP NASAL

Sumbatan jalan nafas melalui hidung

Bernafas melalui mulut

Disfungsi mukosilia pada sinus

Drainase sinus terganggu

SINUSITIS

FARINGITIS

Siklus hidung. CT Scan potongan koronal menunjukkan pembesaran mukosa pada rongga hidung kanan, didominasi oleh konka inferior dan media, dan dekongesti mukosa pada rongga hidung kanan.

Mukosa hidung membengkak karena terisi banyak cairan intraselular dan sel radang

Terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat

Polusi bahan kimia

Gangguan drainase

Silia

Perubahan mukosa

Obstruksi mekanik

Infeksi kronik

Alergi dan defiseinsi imunologik

Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna