BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1 ...
LAPORAN HASIL PENELITIAN - · PDF fileLAPORAN HASIL PENELITIAN Efisiensi Kinerja Aparat...
Transcript of LAPORAN HASIL PENELITIAN - · PDF fileLAPORAN HASIL PENELITIAN Efisiensi Kinerja Aparat...
1
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Efisiensi Kinerja Aparat Pemerintah dalam Fungsi
Pelayanan Publik kepada Masyarakat di
Kabupaten Karanganyar
( Studi Kasus Pelayanan Puskesmas )
oleh :
Izza Mafruhah, SE, M.Si
Dra Kristina Setyowati, M.Si
Tuhana Sh, M.Si
Pusat Pengkajian Kebijakan Daerah & Kelembagaan
Lembaga Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2
3
A. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pemerintah daerah yang otonomi di Indonesia telah diatur
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka perlu perangkat
peraturan daerah yang menyangkut mengenai ketentuan penyerahan urusan dan
operasional penyelenggaraan otonomi daerah dan menyesuaikan di bidang hukum
dan peraturan perundang-undangan supaya terjadi kepastian hukum terhadap
keseluruhan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk mlaksanakan otonomi
daerah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 dibutuhkan dukungan perangkat peraturan daerah
yang memadai, penyiapan ketentuan perundang-undangan di tingkat daerah yang
menyangkut otonomi daerah dan penyesuaian di bidang hukum dan perundang-
undangan supaya terjadi kepastian hukum terhadap keseluruhan penyelenggaran
otonomi daerah.
Produk yang diciptakan oleh pemerintah selaku penyelenggara kegiatan
suatu negara adalah jasa. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pemerintah dalam
wujud pelayanan publik. Seiring dengan globalisasi, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat dan kompetitif, membawa konsekuensi
perubahan disegala bidang. Perubahan tersebut diikuti dengan tuntutan
peningkatan kesejahteraan secara umum, hal ini yang menjadikan kesadaran
manusia atas martabat dan makna kehidupan. Kesadaran ini kemudian
menghadirkan berbagai tuntutan yang semakin tinggi akan peran organisasi
terutama organisasi pemerintah untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan
yang lebih baik, maka reformasi tata pemerintahan (governance reformation) menjadi
wacana yang menarik.
Perhatian dan tuntutan terhadap kebutuhan pembentukan sistem
pemerintahan (governance system) di bidang pemerintahan pada ahkir-ahkir ini
sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya organisasi yang memiliki
kinerja yang tidak baik. Disamping itu, disebabkan tidak efektifnya perangkat
4
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi dan
tata pemerintahan. Sehingga permasalahan tersebut menjadi titik perhatian
akademisi, pemerintah dan praktisi untuk melakukan penataan terhadap governance
system.
Tidak terciptanya kinerja Pelayanan Publik yang baik dan tidak efektifnya
perangkat hukum dan perundang-undangan, tidak saja berakibat pada profit
organization tetapi juga pada non-profit organization, termasuk institusi pemerintah.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, terutama dalam hal kinerja yang
berkaitan dengan pelayanaan publik selama ini dianggap kurang menerapkan
prinsip, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas publik. Kualitas
pelayanan, kemudahan, keadilan, persamaan perlakuan di muka hukum menjadi
kebutuhan publik yang amat mendesak.
Pelayanan Publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar
masyarakat merupakan salah satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi
distribusi, regulasi maupun proteksi. Fungsi pelayanan publik tersebut merupakan
aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah dalam
konteks hubungan Principal-Agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut,
pemerintah selanjutnya melakukan proses pengaturan alokasi sumber daya publik
dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk
memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif.
Sebagai pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya pemerintah
seringkali menimbulkan banyak masalah bagi publik yang menjadi kliennya.
Sangat masuk akal jika pemerintah kemudian mendapatkan berbagai stigma
negatif, jauh dari “menjadi bagian dari solusi” (a part of solution), pemirintah justru
menjadi “bagian dari masalah” (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama
dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Fenomena malpraktek pelayanan publik sudah menjadi bagian integral dari
penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika
stigma negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik
yang tidak baik, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan,
banyak pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap sebagi pejabat
ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif. Indikasi lain yang
5
terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya “budaya negatif” di
dalam lingkungan organisasi pemerintah yang merugikan kepentingan publik
seperti mendahulukan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, termasuk
kepentingan atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar
peraturan (lebih banyak sembunyi dibalik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh
terhadap keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan, serta
sederetan persoalan lainnya yang merupakan gambaran perilaku yang tidak
mengenakkan yang mengindikasikan kedua hal tersebut diatas.
Reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di berbagai
bidang lainnya. Empat perubahan dasar hukum, yaitu undang-undang pemilihan
umum yang baru, undang-undang desentralisasi, undang-undang independensi
hukum, serta undang-undang anti korupsi dan komisi anti korupsi, semuanya
memberikan kemajuan dalam agenda reformasi. Walaupun perundangan
pelayanan publik yang baru tahun 1999 (UU 43/99) dan desentralisasi lebih dari
dua pertiga pegawai negeri tingkat pusat ke tingkat daerah telah dijalankan,
struktur dan nilai yang dianut sebagian besar masih tidak berubah. Sistem dan
filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan
jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang
berubah secara cepat. Negara harus dapat memberikan garansi pelayanan bermutu
tinggi jika pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat ingin tetap dipertahankan
dalam lingkungan mendunia yang penuh persaingan ini. Penilaian terhadap hasil
pelayanan sangat erat dengan penilaian mutu kinerja.
Dalam suatu kegiatan produksi ( barang maupun jasa ) baik dalam lembaga
pemerintahan maupun swasta penilaian produktifitas dan efisiensi hasil dilihat
dari kinerjanya. Kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi oleh
struktur dan perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja
mempunyai banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak
memusatkan pada 3 aspek tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan
dalam distribusi (Wihana, 2001 :15).
Dalam penelitian ini, lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat di
kabupaten Karanganyar dapat dikatakan efisien bila :
6
1. Menggunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah input yang dikeluarkan oleh unit pelayanan lain untuk menghasilkan
output yang sama.
2. Menggunakan jumlah input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih
banyak.
Efisiensi secara ekonomis terdiri atas efisiensi tehnis dan efisiensi alokatif.
Efisiensi tehnis adalah kombinasi antara kemampuan dan kapasitas unit ekonomi
untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input dan
tehnologi. Efisiensi alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit ekonomi untuk
beroperasi pada nilai produk marginal sama dengan biaya marginal.
Terdapat 3 kegunaan mengukur efisiensi terutama secara ekonomis yaitu :
1. Sebagai tolak ukur memperoleh efisiensi relative, mempermudah untuk
perbandingan antara unit ekonomi satu dengan unit ekonomi yang lain
2. Apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang
ada maka dapat dilakukan penelitian untuk menjawab factor – factor apa
yang menentukan perbedaan tingkat efisiensi, sehingga akan bisa dicari
solusi yang tepat.
3. Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi kebijakan karena manajer
dapat menentukan kebijakan perusahaan secara tepat.
Pemerintah menurut Starling adalah organisasi yang dibentuk untuk
menjalankan kekuasaan melalui tindakan dalam masyarakat dan untuk
mengembangkan serta membiayai jasa – jasa yang penting. Pemikiran bahwa
sejauh mana individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan yang menentukan apa yang harus dilakukan pemerintah sangat berbeda
di antara kelompok masyarakat. Beberapa pertanyaan yang sering muncul adalah
Pertama, apa yang harus dilakukan pemerintah ? Kedua berapa banyak yang harus
dikeluarkan/ bagaimana pemerintah menentukan fungsi keuangannya yang
menggambarkan interaksi politik masyarakat? Institusi politik merupakan aturan
dan prosedur yang diterima secara umum dan berkembang dalam masyarakat.
Institusi politik ini pula yang akan menentukan tindakan pemerintah dan
bagaimana pengeluaran pemerintah dibiayai. Keinginan-keinginan individu
diterjemahkan dalam kumpulan keputusan mengenai fungsi pemerintah. Institusi
7
demokratis seperti ini, sebagai aturan mayoritas dan perwakilan pemerintah,
memberikan kesempatan bagi penduduk untuk menunjukkan keinginan mereka.
Untuk itu sangat diperlukan adanya kontrol baik secara formal maupun
non formal, yang dilakukan oleh ekstern pemerintah dalam hal ini masyarakat dan
stakeholder daerah serta kontrol intern, dalam hal ini pemerintah sendiri sebagai
self evaluation.
Keluhan masyarakat terhadap pelayanan di kabupaten Karanganyar
terutama pada bidang pelayanan umum seperti pembuatan KTP, akta kelahiran,
sertifikat tanah, pelayanan di bidang kesehatan , terutama pada Puskesmas, yang
berhubungan langsung dengan masyarakat serta pelayanan di bidang pendidikan.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka bisa dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Sejauh mana persepsi masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten Karanganyar khususnya dalam wujud barang
/ jasa publik ?
2. Seberapa jauh tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja dari aparatur
pemerintah?
3. Bagaimana kinerja aparatur pemerintah pada masing – masing unit kerja di
lingkungan kabupaten Karanganyar yang melakukan pelayanan publik
apabila ditunjukkan dengan efisiensi kinerja secara tehnis dan ekonomis?
( Dalam penelitian ini, sebagai sampel akan diambil Puskesmas dan Kantor
Kecamatan sebagai penyedia jasa yang langsung berhubungan dengan masyarakat
luas ).
B. MANFAAT & TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap realitas
kinerja yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Karanganyar
khususnya dalam wujud barang / jasa publik ,
2. Untuk mengetahui seberapa jauh harapan masyarakat kabupaten
karanganyar terhadap pelayanan publik yang diterimanya
8
3. Untuk mengetahui bagaimana kinerja aparatur pemerintah pada masing –
masing unit kerja di lingkungan kabupaten Karanganyar yang melakukan
pelayanan publik apabila ditunjukkan dengan efisiensi kinerja secara tehnis
dan ekonomis? Khususnya pada pelayanan Puskesmas
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah
1. Membantu Pemerintah Kabupaten Karanganyar dalam meningkatkan
efisiensi kinerja aparatur pemerintahannya.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah kabupaten Karanganyar dalam
melihat titik – titik sumber inefisiensi dalam fungsi pelayanan bagi
masyarakat di kabupaten Karanganyar.
3. Apabila terdapat unit kerja yang belum efisien maka akan mampu
menunjukkan di mana terjadi inefisiensi pada unit tersebut dan mencari
solusi penyelesaian berdasarkan acuan – acuan yang ada pada unit yang lain
4. Membantu masyarakat dalam memperoleh tingkat kepuasan dan pelayanan
yang optimal
C. HASIL YANG DIHARAPKAN
Dengan penelitian mengenai efisiensi kinerja aparat pemerintah di
kabupaten Karanganyar ini, bisa memberikan acuan mengenai kinerja efisien bagi
pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Selain itu bisa diketahui sumber –
sumber inefisiensi yang ada di kabupaten Karanganyar sehingga bisa menjadi
bahan masukan bagi perbaikan kinerja pelayanan bagi masyarakat.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa yang merupakan tujuan
Pembangunan Nasional, yaitu dengan menciptakan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera. Di dalam proses Pembangunan Nasional ini, hukum berada pada posisi
tataran ideal normatif yang wujudnya berupa peraturan perundang-undangan yang
diletakkan sebagai pendorong pembangunan, baik di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, maupun pertahanan keamanan, serta bidang-bidang lainnya (Ali
Budiharjono, dkk, 2000:1).
Maka dari itu baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, fungsi
pembentukan peraturan perundang-undangan semakin terasa diperlukan
kehadirannya mengingat di dalam Negara yang berdasarkan atas hukum modern
(verzorgingsstat), di mana tujuan utama dari pembentukan Undang-Undang bukan
lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang
sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama pembentukan
Undang-Undang itu adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam
kehidupan masyarakat. (T. Koopmans, 1972: 223). Adanya prioritas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara modifikasi, maka
diharapkan suatu peraturan perundang-undangan tidak lagi selalu di belakang atau
ketinggalan, akan tetapi peraturan perundang-undangan diharapkan dapat berada
di depan dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat (Maria Farida
Indrati, 1996: 3). Peraturan perundang-undangan modifikasi adalah peraturan
perundang-undangan yang bertujuan untuk mengubah pendapat hukum yang
berlaku dan peraturan perundang-undangan yang mengubah hubungan-hubungan
sosial (I.C. Van der Viles, 1987: 9).
Saat ini Bangsa Indonesia telah sepakat untuk menyelenggarakan Negara
dengan sistem yang demokratis. Dalam penyelenggaraan sistem politik yang
demokratis perlu melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kebijaksanaan publik. Untuk meningkatkan peran serta rakyat
tersebut, maka perlu untuk menyerahkan beberapa urusan penyelenggaraan
10
Negara dengan menggunakan mekanisme Desentralisasi. Yaitu penyerahan
sebagian urusan dan kewenangan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah.
Implikasi dari penyelenggaraan sistem pemerintahan yang Desentralisasi adalah
pemberian otonomi kepada daerah. Yaitu daerah atas prakarsa sendiri mengambil
bagian dalam proses penyelenggaraan negara pada tingkat lokal daerahnya. Urusan
dan kewenangan yang diberikan kepadanya menjadi urusan rumah tangga daerah
yaitu, segenap penyelenggaraan urusan dan kewenangan tersebut menjadi
tanggung jawab daerah.
Untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah yang sedang
berjalan sekarang ini mutlak diperlukan perangkat hukum yang berupa Peraturan
Daerah (Perda) yang sinkron dan selaras dengan aturan perundang-undangan yang
ada, baik secara vertikal maupun horisontal, untuk itulah diperlukan up-dating atas
semua peraturan perundangan daerah, agar tidak tumpang tindih satu sama lain.
Di samping itu peraturan daerah yang ada harus selalu dievaluasi untuk
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan semangat yang ada dalam era
otonomi daerah yakni terselenggaranya good government.
Konsep pelayanan prima menjadi model yang diterapkan guna
meningkatkan kualitas layanan publik. Pelayanan prima merupakan strategi
mewujudkan budaya kualitas dalam sistem pelayanan publik. Orientasi dari
pelayanan prima adalah kepuasan masyarakat pengguna layanan.
Maka dari itu sangat perlu dibangun profesionalisme SDM untuk dapat
memberi pelayanan yang terbaik, mendekati sesuai atau melebihi standar
pelayanan yang terbaik, mendekati sesuai atau melebihi standar pelayanan yang
ada (Sudarmayanti, 2004). Kendala terbatasnya SDM yang berkompeten harus
menjadi tantangan, bagaimana kompetensi SDM yang ada dapat ditingkatkan.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik melalui pelayanan prima
mengandung makna menutup proses dan hasil layanan. Dalam perspektif
pengguna layanan, kriteria kualitas meliputi: murah, mudah dan baik. Oleh sebab
itu pemerintah daerah sebagai pemberi layanan senantiasa mengupayakan
pelayanan yang terjangkau (dekat), tepat dan cepat.
Pelayanan publik diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan
umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat, daerah, dan di
11
lingkungan badan usaha milik negara/daerah dalam bentuk barang dan atau jasa,
baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (LAN, 1998).
Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu
yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau.
(Sudarmayanti, 2004). Dalam Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993 ditegaskan,
bahwa penyelenggaraan layanan publik harus mengandung unsur-unsur
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus
jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar,
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3. Mutu proses dan hasil layanan umum harus diupayakan agar memberi
keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
terpaksa harus mahal, maka instansi pemeritah yang bersangkutan
berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut
menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan keempat unsur tersebut, maka terdapat 8 sendi dalam
pelayanan yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah, meliputi :
a. Kesederhanaan
b. Kejelasan dan kepastian
c. Keamanan
d. Keterbukaan
e. Efisiensi
f. Ekonomis
g. Keadilan yang merata
h. Ketepatan waktu
12
Proses pelayanan publik tersebut, diharapkan akan mampu mewujudkan
pelayanan prima yaitu suatu strategi pendekatan organisasi total yang menjadi
kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa sebagai penggerak utama
pencapaian tujuan organisasi. Artinya di sini, pelayanan prima berorientasi pada
kepuasan pengguna layanan. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain SDM yang mempunyai kompetensi yang relevan dengan
bidang layanan yang dikelola, komitmen dari pemerintah daerah dengan
perundang – undangan yang ditetapkannya, fasilitas – fasilitas yang memenuhi
syarat dan mendukung efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur pemerintah.
Selain kedelapan sendi pelayanan publik yang ditetapkan oleh MenPAN,
terdapat 6 sifat yang harus dimiliki oleh pejabat pemerintah yang merupakan faktor
terpenting yaitu :
1. Responsiveness , bagaimana seorang pejabat pemerintah dan juga wakil rakyat
mau mendengarkan aspirasi masyarakat.
2. Flexibility, Harus mempunyai sifat lentur atau luwes di dalam penetuan
kebijakan.
3. Fairness, bersikap adil dan jujur
4. Accountability, Dapat bertanggung jawab atas semua yang menjadi
kewajibannya
5. Honesty, Bersikap lurus dan terus – terang
6. Competence
Sedangkan hakekat dari pelayanan publik adalah:
1. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi
instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem da tatalaksanaan pelayanan,
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya
guna dan berhasil guna.
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat
dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Permasalahan klasik yang sering muncul di dalam proses pelayanan publik
adalah kaitannya dengan biaya atau anggaran yang sudah dan akan dikeluarkan
13
oleh pemerintah. Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung
menyumbangkan dana yang digunakan untuk pelayanan dengan membayar pajak
dan retribusi sesuai ketentuan pemerintah pusat maupun daerah.
Pemerintah mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan dan
implementasi dari kebijakan ekonomi. Satu teori memprediksi bahwa birokrat
cenderung untuk memaksimalkan anggaran mereka, sehingga menghasilkan jasa-
jasa yang berlebihan.
Masyarakat sebagai stakeholder daerah mempunyai hak dan kewajiban
untuk melakukan pengendalian dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah baik secara formal maupun informal yang ditunjukkan dalam tabel
berikut :
Tabel 2.4. Pengendalian Internal dan eksternal
Kontrol Internal Eksternal
Formal Pimpinan Lembaga Legislatif/kehakiman
Informal Profesional
Birokrasi
Minat Publik
Analisis Etika
Perwakilan kelompok
Partisipasi penduduk
Media massa
Sumber : Starling, 1993
Dalam masyarakat dengan sistem demokrasi perwakilan, masyarakat
mempercayai wakil-wakil mereka di lembaga legislatif untuk membuat keputusan
mengenai pengeluaran pemerintah. Bagaimanapun sulit bagi pemerintah untuk
memenuhi keinginan semua orang (seluruh rakyat) sesuai dengan keinginan
mereka. Membutuhkan satu energi tersendiri bagi pemerintah untuk dapat melihat
keinginan - keinginan seluruh rakyatnya dan menggunakan informasi itu untuk
membuat keputusan-keputusan sosial. Negara harus tidak mempunyai kepentingan
untuk dirinya sendiri dan bersifat amat netral. Namun diketahui bahwa hal ini
tidak dimungkinkan, karena pemerintahanpun dijalankan oleh sebagian
masyarakat yang ditunjuk atau mewakili masyarakat seluruhnya, yaitu para
politisi, penegak hukum, birokrat, dan lainnya. Model ekonomi politik yang
14
realistik haruslah mempelajari tujuan dan perilaku orang/pihak yang menjalankan
fungsi sebagai pemerintah. Untuk memahami perilaku pemerintah perlu untuk
mempelajari mengenai interaksi dari sistem pemilihan, pegawai negeri/pemerintah
dan kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan. Dengan dibatasi oleh
asumsi-asumsi, palaksanaan pemilihan dilakukan dengan median voter. Fungsi
pengendalian yang dilakukan selama ini membutuhkan penilaian – penilaian yang
bukan hanya bersifat kualitatif namun juga bisa dihitung atau dianalisis dengan
menggunakan kuantitatif.
Layanan publik itu hasil dari proses politik yang ditindaklanjuti oleh
birokrasi pemerintah. Layanan publik memiliki karakteristik yang berbeda dari
kebijakan lainnya. Fokus utama transaksi dalam layanan publik adalah terkaitnya
barang dan atau jasa yang diserahkan kepada masyarakat pengguna. Hal yang khas
dalam layanan publik adalah barang dan jasa yagn diserahkan selalu bersifat milik
umum (common goods) yang biaya produksinya sering kali kurang atau bahkan
tidak efisien secara finansial, bahkan barang dan atau jasa yang ditransaksikan
sukar diukur (intangible). Oleh sebab itu keuntungan dan kerugian dari layanan
publik pada umumnya diukur dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, bahkan
kultural. Dalam banyak kasus manfaat layanan publik hanya dapat dilihat dari
keluarannya pelestarian alam dan sumber daya air. Itulah sebabnya bagian terbesar
dari layanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah berdaulat yang
diberikan kepada masyarakat sebagai imbalan legitimasi dari rakyat, baik melalui
pemilihan umum maupun pembayaran pajak.
Dinas/Instansi/Satuan Kerja (unit pelaksana teknis) daerah sebagai
pelaksana kebijakan layanan publik, senantiasa berupaya untuk memenuhi standar
layanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu: transparan, tidak
diskriminatif, terjangkau, proses mudah, dan mempunyai akuntabilitas publik.
Keluhan masyarakat penting untuk dicermati sebagai masukan untuk
meningkatkan kinerja sistem dan standar layanan publik.
Pelayanan prima merupakan terjemahan dari excellent service yang artinya
pelayanan terbaik. Pelayanan prima sebagai strategi adalah suatu pendekatan
organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa
15
sebagai penggerak utama pencapaian tujuan organisasi. Artinya pelayanan prima
berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Oleh sebab itu perlu SDM yang
memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang layanan yang dikelola.
Hal tersebut agaknya tidak mungkin dapat dipenuhi oleh Dinas/Instansi di
daerah dalam waktu yang pendek, karena sistem penerimaan Pegawai Sipil (PNS)
yang uniform, selain dari pada itu pola pengembangan pegawai yang cenderung
menekankan pada aspek struktural dari pada aspek fungsional.
Akibat SDM di daerah dalam meniti kariernya cenderung untuk menggapai
jabatan, bukan untuk berprestasi di fungsi tertentu. Dengan demikian, jika
Dinas/Instansi satuan kerja ingin menerapkan pelayanan prima, yang paling
mendasar yang harus dilakukan adalah mengupayakan peningkatan kompetensi
SDM yang ada di lini depan, karena pada banyak organisasi kualitas layanan
dipengaruhi secara signifikan oleh SDM. Semakin tinggi relevansi kompetensi SDM
dengan bidang layanan yang dikelola, maka akan semakin tinggi peralatan fisik
yang memadai serta sistem insentif dan program yang dirancang berdasarkan
evaluasi dan kajian terhadap dinamika perubahan dan perkembangan faktor
internal dan eksternal, termasuk keluhan pengguna layanan. Hal ini penting
diupayakan karena pelayanan prima juga harus ditopang terbentuknya budaya
kualitas sebagai bagian dari etos kerja dan sistem kualitas untuk kinerja yang
hendak dicapai organisasi. Jika hal tersebut mampu ada, maka aparat di semua lini
mampu melakukan empati, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, bekerja secara
tim, mampu mencapai kinerja sesuai dengan tugas yang diberikan.
Strategi pelayanan prima dapat dikemas dalam bentuk layanan terpadu,
yaitu pola pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh
beberapa instansi (daerah) yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-
masing. Penerapan layanan terpadu pada dasarnya untuk antar fungsi terkait,
dengan demikian dapat diperpendek waktu yang diperlukan untuk proses layanan,
pengguna juga menjadi lebih mudah untuk memperoleh layanan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam mempersiapkan penyelenggaraan
layanan satu atap adalah melakukan evaluasi terhadap fungsi layanan yang akan
disatuatapkan, terkait dengan jenis layanan yang diberikan. Masing-masing
16
Dinas/Instansi terkait memberikan jenis layanan yang berbeda, baik yang berupa
barang, jasa, maupun dokumen. Barangkali yang paling mudah dalam
penyelenggaraan layanan terpadu bagi bidang tersebut hanya sebatas pada layanan
ini pertama yaitu tempat penerimaan berkas ajuan masing-masing. Penempatan
personal yang andal sangat menentukan efektifitas penyelenggaraan. Selain petugas
untuk lini depan, maka perlu ditempatkan seorang kurir untuk masing-masing
instansi guna memperlancar alur layanan dan penyelesaian pekerjaan layanan.
Untuk mempermudah pengguna layanan untuk memperolah layanan, maka
desain layanan harus dikomunikasikan dengan jelas kepada pengguna. Fasilitas
kerja dan penunjang juga perlu disediakan pada tingkat yang memadai. Oleh sebab
itu analisa terhadap kebutuhan akan fasilitas kerja dan pendukung perlu dilakukan
secara cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber dana.
Salah satu fungsi penyelenggaraan publik yang penting adalah yang
bersentuhan dengan masyarakat banyak secara langsung, antara lain rumah sakit,
puskesmas, kelurahan dan kecamatan serta sarana pendidikan yang dikelola oleh
pemerintah.
Disamping itu untuk bisa menyelenggarakan pelayanan publik yang
mengarah pada good governance, bukan hanya diperlukan political will dari birokrat
saja, namun ketika Otonomi Daerah dimaknai sebagai ”upaya merumuskan
kebijakan“, maka tersirat adanya pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam menjalankan fungsinya, khususnya fungsi legislasi, yaitu dengan
membuat Peraturan Daerah (Perda). Fungsi ini menjadi sangat penting karena salah
satu indikasi kesiapan daerah dalam merespon kebijakan otonomi daerah, adalah
ketika daerah mampu membuat kebijakan sendiri yang dituangkan dalam Perda.
Selain itu diharapkan agar DPRD lebih aspiratif dan berpihak pada kepentingan
rakyat. Oleh karena itu produk hukum yang dibuat, harus mejadi komitmen
bersama dengan stakeholder tersebut adalah bagaimana menciptakan “pelayanan
publik yang transparan, akuntabel, partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat”.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, kebijakan mengenai skala,
cakupan, dan kualitas pelayanan publik, sepenuhnya ada di tangan pemerintah dan
DPRD. Oleh karena itu, seberapa jauh penyelenggaraan pelayanan publik
17
memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, sepenuhnya tergantung
dari kepedulian pemerintah pemerintah dan DPRD. Semakin tinggi kepedulian
pemerintah terhadap tata pemerintahan yang baik, kinerja pelayanan publik akan
menjadi semakin baik.
B. Kualitas Jasa pelayanan dan Kepuasan Masyarakat pengguna jasa
Jasa dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri
mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personel (personal service) sampai jasa
sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah
berusaha mendefinisikan pengertian jasa, antara lain:
Service is all economic activities whose output is not a physical product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides added value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health) (Valarie A.Zethaml and Mary Jo Bitner, 1996 dalam Lupiyoadi, 2001:5).
Jasa adalah kegiatan yang diidentifikasikan secara tersendiri, yang pada
hakekatnya bersifat tak terwujud (intangible), yang merupakan pemenuhan
kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan produk atau jasa lain, di mana
produk jasa bias berhubungan dengan produk fisik atau tidak. Untuk menghasilkan
jasa mungkin perlu atau mungkin tidak diperlukan penggunaan bendanya
(tangible), akan tetapi sekalipun penggunaan benda itu perlu namun, tidak terdapat
adanya pemindahan hak milik atas benda tersebut (Stanton, 1996).
Berbeda dengan produk berwujud barang yang kualitasnya bisa langsung
dilihat melalui bentuk dan wujud barang itu sendiri. Jasa baru bisa dinilai
kualitasnya stelah dinikmati oleh pengguna jasa/ masyarakat atau pengguna jasa.
Oleh karena itu kualitas jasa bersifat sangat relatif, tergantung siapa penilai dari
barang jasa tersebut. Untuk itu tingkat kepuasan terhadap jasa layanan akan
cenderung pada persepsi. Oliver 1997 menyatakan bahwa kualitas adalah provisi
yang hendak dicapai oleh suatu produk atau layanan. Artinya bahwa kualitas
merupakan keseluruhan dari cirri-ciri dan karakter dari suatu produk layanan yang
mampu memenuhi kebutuhan tertentu pengguna jasa/ masyarakat (Guntur: 2005).
Menurut Wycof (dalam Tjiptono, 1998) kualitas jasa tingkat keunggulan yang
diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
18
keinginan pengguna jasa/ masyarakat. Dengan kata lain ada dua faktor yang
mempengaruhi kualitas jasa yaitu expected service dan perceived service.
Terdapat penilaian lain terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas
jasa, antara lain dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty
(Lamb, Hair, MC Daniel, 2001). Kualitas pelayanan dapat diukur dengan
menggunakan model SERVQUAL (service quality) yaitu dengan membandingkan
dua faktor utama yaitu persepsi pengguna jasa/ masyarakat atas layanan yang
nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya
diharapkan atau diinginkan (expected service) (Parasuraman, Zeithaml, Bery dalam
Lupiyoadi, 2001: 147).
B.1. Pengertian Pelayanan yang Unggul.
Menurut Tjiptono dalam buku Manajemen Jasa (1998: 58), peranan contact
personel sangat penting dalam menentukan kualitas jasa, setiap perusahaan dengan
service excellence Yang dimaksud dengan service excellence atau pelayanan yang
unggul, yakni sikap atau cara karyawan dalam melayani pengguna jasa/
masyarakat secara memuaskan (Elhaitammy, 1990).
Terdapat empat unsur pokok dalam menentukan pelayanan yang unggul yaitu:.
a) Kecepatan.
b) Ketepatan.
c) Keramahan.
d) Kenyamanan.
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang
terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa tidak excellence bila ada komponen
yang kurang. Untuk mencapai tingkat excellence setiap karyawan harus memiliki
ketrampilan tertentu, diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah,
memperhatikan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam
bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya baik
tugas yang berkaitan pada bagian atau departemen maupun bagian lainnya,
mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami isyarat pengguna jasa/
masyarakat dan memiliki kemampuan menangani keluhan pengguna jasa/
masyarakat secara professional.
19
B.2 Karakteristik Jasa.
Menurut Tjiptono (1998: 15), terdapat empat karakteristik yang dimiliki oleh
suatu jasa, meliputi:
a. Tidak berwujud (intangible).
Jasa mempunyai sifat tidak berwujud. Tidak seperti produk fisik, jasa
tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, dicium sebelum jasa itu dibeli.
Seseorang tidak dapat menilai hasil dari jasa sebelum ia menikmatinya
sendiri. Untuk mengurangi ketidakpastian, para pengguna jasa akan
mencari tanda atau bukti dari kualitas jasa. Mereka akan menyimpulkan
mengenai kualitas jasa dari tempat, oramg, peralatan, alat komunikasi,
simbol, dan harga yang mereka lihat.
b. Tidak terpisahkan (inseparability).
Umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Tidak
seperti barang fisik yang diproduksi, disimpan dalam persediaan,
didistribusikan melewati berbagai penjual, dan kemudian baru dikonsumsi.
Jika seseorang memberikan pelayanan, maka penyedianya merupakan
bagian dari jasa itu. Karena klien juga hadir saat jasa itu dilakukan. Interaksi
penyedia klien merupakan ciri khusus pemasaran jasa. Baik penyedia
maupun klien mempengaruhi hasil jasa.
c. Bervariasi (variability).
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandardized output
artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jasa, tergantung pada siapa,
kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan. Pengguna jasa menyadari
keragaman yang tinggi dan sering membicarakannya dengan orang lain
sebelum memilih seorang penyedia jasa.
Pemerintah daerah dapat melakukan tiga langkah dalam rangka
pengendalian mutu. Pertama adalah melakukan investasi untuk menciptakan
prosedur perekrutan dan pelatihan yang baik. Langkah kedua adalah
menstandardisasi proses pelaksanaan jasa diseluruh organisasi. Tugas ini
dibantu oleh penyiapan cetak biru jasa (service blueprint) yang
20
menggambarkan proses peristiwa jasa kesebuah bagan arus, dengan tujuan
untuk mengenali titik-titik kemungkinan kegagalan pemberian jasa. Langkah
ketiga adalah memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan
keluhan, survey pelanggan dan melakukan studi banding.
d. Mudah lenyap (perishability).
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak bisa
disimpan, karena nilai jasa itu hanya pada saat itu. Sifat jasa itu mudah
lenyap (perishability) tidak menjadi masalah bila permintaan tetap. Jika
permintaan berfluktuasi, perusahaan akan menghadapi masalah yang rumit.
B.3. Dimensi Kualiatas Pelayanan.
Menurut Parasuraman (1988) dalam Lupiyoadi (2001: 148), terdapat
lima dimensi kualitas pelayanan antara lain:
a. Bukti Fisik (tangible).
Kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya
kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana
fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari
pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik
(gedung, gudang), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan
(tehnologi), serta penampilan pegawainya.
b. Keandalan (reliability).
Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang
dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan
harapan pengguna jasa/ masyarakat berarti ketepatan waktu, pelayanan
yang sama untuk semua pengguna jasa/ masyarakat tanpa kesalahan, sikap
simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
c. Ketanggapan (responsiveness).
Suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang
cepat (responsif) dan tepat kepada pengguna jasa/ masyarakat, dengan
penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
21
tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif
dalam kualitas pelayanan.
d. Jaminan (assurance)
Pengetahuan, kesopan-santunan, dan kemampuan para pegawai
perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pengguna jasa/
masyarakat kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa konsumen antara lain
komunikasi, kredibitas, keamanan, dan sopan santun.
e. Empati (emphaty).
Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi
yang diberikan kepada para pengguna jasa/ masyarakat dengan berupaya
memahami keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan
memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pengguna jasa/ masyarakat,
memahami kebutuhan pengguna jasa/ masyarakat secara spesifik, serta
memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pengguna jasa/
masyarakat.
B.4. Pengertian Kepuasan Pengguna jasa/ masyarakat.
Kotler (2000: 42) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau
kecewa seorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau
kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya.
Sedangkan menurut Engel at al. definisi kepuasan pengguna jasa/ masyarakat
menurut.
Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan
harapan. Jika kinerja berada dibawah harapan, pengguna jasa/ masyarakat tidak
puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pengguna jasa/ masyarakat puas. Jika kinerja
melebihi harapan maka pengguna jasa/ masyarakat amat puas atau senang.
Kepuasan konsumen dapat ditentukan melalui lima faktor yaitu kualitas produk,
kualitas pelayanan, emosional, harga dan biaya (Kotler dalam Lupiyoadi, 2001: 158).
Kepuasan dapat menciptakan loyalitas pengguna jasa/ masyarakat pada
perusahaan yang memberikan kualitas memuaskan.
22
B.5. Pengukuran Kepuasan Pengguna jasa/ masyarakat.
Menurut Kotler (1994) dalam kutipan Tjiptono (1998: 148) mengemukakan
empat metode untuk mengukur kepuasan pengguna jasa/ masyarakat; yaitu:
a. Sistem keluhan dan saran.
Setiap penyedia jasa layanan khususnya pemerintah yang berorientasi
pada pengguna jasa/ masyarakat perlu memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi para pengguna jasa/ masyarakatnya untuk menyampaikan
saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan meliputi
kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah
dijangkau atau sering dilewati pengguna jasa/ masyarakat), menyediakan
kartu komentar (yang bisa diisi langsung maupun yang bisa dikirim via pos
kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa dan lain-lain.
b. Survey kepuasan pengguna jasa/ masyarakat.
Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pengguna jasa/
masyarakat dilakukan dengan menggunakan metode survey, baik melalui
pos, tetepon, maupun wawancara pribadi (McNeal dan Lamb dalam
Tjiptono, 1998: 148). Melalui survey, perusahaan akan memperoleh
tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pengguna jasa/
masyarakat dan sekaligus juga memberikan tanda (signal) positif bahwa
perusahaan menaruh perhatian rethadap para pengguna jasa/
masyarakatnya. Pengukuran kepuasan pengguna jasa/ masyarakat melalui
metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Directly reported satisfaction
Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan
2. Derived dissatisfaction.
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu
besarnya harapan pengguna jasa/ masyarakat terhadap atribut
tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.
3. Problem analysis.
Pengguna jasa/ masyarakat yang dijadikan responden diminta
untuk mengungkapkan masalah-masalah yang mereka hadapi
23
berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk
melakukan perbaikan.
4. Importance-performance analysis.
Responden diminta untuk merangking berbagai elemen
(atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap
elemen tersebut dan merangking seberapa baik kinerja perusahaan
dalam masing-masing elemen atau atribut tersebut.
B.6. Harapan dan Kepuasan Pengguna jasa.
Harapan pengguna jasa/ masyarakat diyakini mempunyai peranan yang
besar dalam menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan
pengguna jasa/ masyarakat. Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara
penentuan kualitas dan kepuasan pengguna jasa/ masyarakat. Dalam
mengevaluasinya, pengguna jasa/ masyarakat akan menggunakan harapannya
sebagai standar atau acuan. Dengan demikian, harapan pengguna jasa/
masyarakatlah yang melatar belakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang
sama dapat dinilai berbeda oleh pengguna jasa/ masyarakat. Harapan pengguna
jasa/ masyarakat dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, diantaranya
pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi
dan janji-janji perusahaan dan para pesaing (Klotler dan Armstrong, 1994 dalam
Tjiptono, 1998: 150).
Sebelum menggunakan suatu jasa, pengguna jasa/ masyarakat memiliki
empat skenario jasa yang berbeda (dalam benaknya) mengenai apa yang bakal
dialaminya:
c. Jasa ideal.
d. Jasa yang diantisipasi atau diharapkan.
e. Jasa yang selayaknya diterima (deserved).
f. Jasa minimun yang dapat ditoleransi (minimum tolerable).
Pengguna jasa/ masyarakat bisa berharap dari keempat skenario tersbut.
Semakin tinggi harapan prapembelian seorang pengguna jasa/ masyarakat, maka
semakin besar kemungkinan ia tidak puas terhadap jasa yang dikonsumsi.
Keyakinan pengguna jasa/ masyarakat yang kuat tentang apa yang sepatutnya ia
24
terima, bisa dikarenakan dua faktor yaitu dari jaminan yang diberikan penyedia
jasa dan dari pemakaian jasa sebelumnya. Menganalisis pengguna jasa/ masyarakat
yang tidak puas, merancang sistem penanganan keluhan yang efisien, dan syarat-
syarat jaminan (garansi) yang baik merupakan strategi yang cukup efektif untuk
membangun kepuasan pengguna jasa/ masyarakat.
C. Efisiensi Kinerja
Dalam suatu kegiatan produksi baik penyediaan barang maupun jasa,
kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan
perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja mempunyai
banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada
3 aspek tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi
(Wihana, 2001 :15).
Kinerja pada perusahaan biasanya diukur pada efisiensi ekonomi yang
merupakan perbandingan antara out put yang dihasilkan dengan input yang
digunakan, atau bisa dikatakan bahwa efisiensi ekonomis akan mencerminkan
alokasi input yang efisien, karena perusahaan dianggap selalu beroperasi pada
garis batas produksi (efisiensi teknis).
Cara paling sederhana untuk mengukur efisiensi setiap UKE adalah dengan
menghitung rasio antara input UKE tersebut dengan factor produksi yang
digunakan. Apabila UKE hanya memproduksi satu macam output dengan
menggunakan satu macam factor produksi maka bukan merupakan satu masalah
pelik untuk mencapai efisiensi, namun dalam kenyataannya banyak UKE yang
menghasilkan lebih dari satu macam output dengan menggunakan lebih dari satu
macam input. Dalam kasus ini efisiensi UKE bisa diukur dengan
mentransformasikan menjadi output dan factor produksi tunggal. Transformasi ini
dapat dilakukan dengan menentukan pembobotan yang tepat.
Data Envelopment Analysis ( DEA ) dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut dengan jalan memberikan kesempatan pada setiap UKE untuk
menentukan pembobotannya masing – masing. Mereka juga menjamin bahwa
setiap pembobotan yang dipilih setiap UKE akan menghasilkan efisiensi yang
25
terbaik bagi UKE yang bersangkutan. Hanya saja pembobotan itu dibatasi agar
jumlahnya tidak melebihi nilai tertentu, misalnya 100%.
Sehingga kinerja bisa dirumuskan sebagai berikut :
Kinerja = jumlah output yang ada
Jumlah input yang ada
Angka rasio tersebut akan bervariasi antara 0 ( nol ) dengan 1 ( satu). Unit
kegiatan ekonomi ( UKE ) yang efisien akan memiliki angka rasio 1 atau 100%
sedangkan yang inefisien adalah dibawah 100%. Semakin rendah nilai rasionya
maka perusahaan tersebut akan semakin inefisiensi.
D. Kondisi Pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat di Indonesia
Menurut hasil kajian dari Governance and Decentralization Survey (GDS) tahun
2002 yang dilakukan oleh PSKK UGM dengan USAID dan World Bank, yang
dilakukan di Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali, melakukan penilaian kinerja Pelayanan
Publik dengan menggunakan beberapa indikator, diantaranya: Equity (keadilan
dan persamaan) dalam pelayanan dan Responsivitas penerima layanan publik
terhadap penyelenggara pelayanan publik. Adapun penjelasannya dapat
diuaraikan sebagai berikut:
1. Equity (keadilan dalam pelayanan).
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, pemenuhan prinsip
keadalian, dilihat dari kemampuan pemerintah dalam memberikan perlakuan
yang sama dan adil kepada warganya dalam penyelenggaraan pelayanan publik
(Thompson,1989). Tata pemerintahan yang baik mengharuskan pemerintah
menjamin warganya untuk memeperoleh akses yang sama bukan hanya pada
pelayanan publik, tetapi juga pada kualitas pelayanan yang sama. Dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, seperti pelayanan kesehatan dan pelayanan
pendidikan, kendati mereka mendapat akses yang sama, namun seringkali
berbeda dalam kulaitas pelayanannya.
Ada beberapa indikasi/ dimensi yang dipakai oleh GDS 2002, dalam
melihat adanya keadilan, diantaranya adalah seberapa jauh penyelenggrara
pelayanan memeberikan akses yang sama kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan, dan seberapa jauh pemberi layanan jauh dari praktek
26
diskriminatif. Dalam pelayanan publik seringkali dijumpai perlakukan
diskriminatif, ketika sekelompok orang atau individu memiliki perlakukan
istimewa dari pembeli layanan. Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan
keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, menrupakan indikator dari
tata pemerintahan yang baik, karena melalui prinsip kesamaan akses terhadap
pelayanan dan kualitas pelayanan dapat diwujudkan.
Hasil kajian dari GDS 2002 membuktikan bahwa gagasan untuk
mewujudkan keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan publik tampaknya
masih jauh dari harapan. Ada beberapa indikasi yang dapat dilihat untuk
menunjukkan kondisi tersebut, bahwa keadilan dalam pelayanan masih menjadi
problema yang sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pemberian pelayanan masih sering kali memihak kelompok tertentu yang
memiliki kesamaan dalam hubungan kekluargaan, afiliasi politik, etnis maupun
agama. Pelayanan publik yang diskriminatif tampak secara jelas dalam hasil
survey ini yang menyatakan bahwa dalam memeberikan pelayanan
pertimbangan utamanya adalah: hubungan kekeluargaan/ perkoncoan,
pertemanan, diikuti pertimbangan afiliasi politik, etnis, dan agama.
2. Responsivitas (respon penerima layanan publik)
Responsivitas merupakan kemampuan pemerintah untuk mengenali
kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, dan mengembangkan program-
progam yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Hormon,
1995). Oleh karena itu responsivitas menunjuk pada keselarasan antara
program dan kegiatan dengan kebutuhan masyarakat. Responsivitas, juga
dapat diukur dari sejauh mana kepekaan aparat pelayanan dalam
menanggapi kebutuhan atau keluhan pelanggan/ pihak yang dilayani.
Bentuk responsivitas dari pemerintah Kota/ Kabupaten, juga dapat
dilihat dari upaya untuk memperbaiki penyelenggaraan layanan publik.
Adapun serangkaian kebijakan untuk memperbaiki kualitas layanan publik,
meliputi :
27
(1) Menyederhanakan sistem dan prosedur pelayanan; (2) Memperpendek jalur
pelayanan; (3) Membentuk pelayanan satu atap/ satu pintu; (4) Strategi
“jemput bola”; (5) Menambah pegawai sesuai dengan kompetensinnya. Berikut
diuraikan mengenai upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang
dilakukan oleh aparat penyelenggara layanan public dapat dilihat dalam table
dibawah ini .
3. Efisiensi Pelayanan.
Efisiensi pelayanan dapat diukur dari dimensi “ Waktu “ dan “ Biaya”
yang diperlukan / digunakan untuk menyelesaiakan pelayanan publik. Dalam
survey GDS pada tahun 2002, yang diamati adalah penggunaan biaya dan
waktu dalam pelayanan, meliputi: (1) pelayanan Puskesmas, Surat Kelahiran,
Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP dan Sertifikat tanah . Dalam pelayanan
publik waktu untuk menyelesaikan sebuah pelayanan seringkali tidak diatur
dengan jelas. Jarang sekali, pemmerintah menentukan secar jelas mengenai
lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaiakan sebuah pelayanan.
Keengganan menentukan secara jelas waktu yang diperlukan untuk
memperoleh sebuah pelayanan, dapat dipahami karena umumnya mereka takut
hal tersebut menjadi boomerang bagi pemberi pelayanan apabila gagal
pelayayan yang tidak sesuai waktu yang dijanjikan.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi efisiensi kinerja aparat penyelenggaran
layanan publik yang ada di kabupaten Karanganyar khususnya dalam penyediaan
barang dan jasa layanan publik. Dinas pemerintah yang diambil dalam penelitian
ini adalah yang berhubungan langsung dengan masyarakat dalam wujud
pelayanan.
Sementara kriteria yang akan digunakan adalah penilaian efisiensi kinerja
ini dibedakan pada penilaian secara eksternal oleh masyarakat dengan metode
kualitatif dan penilaian secara internal dinas dalam pemerintah yaitu dengan
menghitung rasio dari penggunaan input terhadap output/ hasil yang bisa
diberikan. Di mana yang digunakan sebagai input dalam penelitian ini adalah
beban operasional setiap tahun , jumlah tenaga kerja dan jam kerja yang dibukukan
oleh pagawai. sedangkan yang digunakan sebagai sisi output adalah jumlah
masyarakat yang terlayani, jumlah unit yang dihasilkan dan kecepatan waktu
untuk menghasilkan unit pelayanan tersebut.
2. Jenis Data dan Sumber Pengumpulannya
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
2.a. Data primer , meliputi persepsi, masyarakat dan faktor – faktor yang
mempengaruhi tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang
dilakukan oleh pemerintah.
2.b. Data sekunder, meliputi jumlah beban operasional dinas yang harus
dikeluarkan dalam rangka pelayanan publik, jumlah tenaga kerja/ pegawai ,
lama waktu kerja, jumlah unit layanan yang terselesaikan dan juga jumlah
masyarakat yang terlayani.
3. Sampel Dalam Penelitian
Yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini terdiri atas :
29
3.a. Untuk menyelesaikan analisis pertama dan kedua mengenai pengukuran
persepsi masyarakat dan faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan
masayarakat digunakan metode indept wawancara. Responden yang
diwawancarai merupakan masyarakat pengguna jasa layanan publik di
kabupaten Karanganyar, dengan bantuan kuesioner yang terstruktur.
3.b. Untuk menyelesaikan analisis ketiga tentang efisiensi di unit – unit kerja
digunakan metode pengambilan data sekunder yang dilengkapi dengan data
primer wawancara dengan pejabat penyelenggara pemerintah. Responden yang
diambil sebagai sampel adalah Puskesmas dan Kantor Kecamatan sebagai
penyelenggaran jasa yang langsung berhubungan dengan masyarakat
pengguna jasa.
4. Alat Analisis yang Digunakan
Dalam penelitian ini digunakan 2 macam alat analisis yaitu analisis kualitatif
dan analisis kuantitatif, yang terdiri dari :
a. Analisis kualitatif , untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menggunakan
persentase biasa.
b. Analisis kuantitatif terdiri atas dua alat yaitu :
(i) Analisis deskripsi kuantitatif digunakan untuk melihat faktor –
faktor yang menentukan tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah
(ii) Analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) yang digunakan
untuk mengukur efisiensi antara penggunaan input dan output
oleh pemerintah penyelenggara jasa layanan yang ada di
kabupaten Karanganyar
Untuk mengukur efisiensi pada dinas atau unit kerja penyelenggara layanan
masyarakat dalam pemerintah kabupaten Karanganyar tersebut akan digunakan
alat analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan
output serta diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale
0 dan VRS ( Variabel Return to Scale ).
30
DEA digunakan untuk mengukur efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi
(UKE). Ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi dengan
menggunakan DEA yaitu :
a. Sebagai tolok ukur memperoleh efisiensi relative yang berguna
untuk mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang ada.
b. Mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk
mengidentifikasikan factor – factor
c. Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan
tingkat efisiensinya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan
Noulas ( 1996 ). Efisiensi tehnis Perbankan diukur dengan menghitung rasio antara
input dan output perbankan. DEA akan menghitung dinas – dinas dalam
pemerintah yang menggunakan input n untuk menghasilkan output m yang
berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut :
di mana :
hs = adalah efisiensi tehnis dinas s
ys = merupakan jumlah output I yang dihasilkan oleh dinas s
xjs = adalah jumlah input j yang digunakan oleh dinas s
ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh dinas s
vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh dinas s dan I dihitung
dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n
Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input
dan satu variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan
kendala sebagai berikut :
m n
hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs …………….(1)
i = 1 j = 1
m n
∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N ……….(2)
i = 1 j = 1
31
Di mana N menunjukkan jumlah dinas dalam pemerintah kab Karanganyar
yang digunakan sebagai sample. Pertidaksamaam pertama menunjukkan
adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan
kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1.
Dinas dalam pemerintahan dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio
mendekati 0 menunjukkan efisiensi dinas tersebut yang semakin rendah ( Miller
dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap dinas dapat menentukan pembobotnya
masing – masing dan menjamin bahwa pembobot yang dipilih akan
menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.
Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output, dapat digambarkan sebagai
berikut :
C
B D V
K F G
0 A Input X
Gambar 1.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output
Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Dinas dalam melakukan
pelayanan publik akan dikatakan efisien bila berada pada garis frontier ,
sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.
Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary
linear secara primal atau dual sebagai berikut :
m
Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)
i = 1
Kendala
m n
∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;
i = 1 j = 1
n
∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0 …………(4)
j = 1
32
Efisiensi pada masing – masing dinas dalam pemerintahan dihitung
menggunakan programasi linear dengan memaksimumkan jumlah output yang
dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang dibobot harus kurang atau
sama dengan 0. Hal ini berarti semua dinas dalam pemerintahan akan berada di
bawah referensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong
sumbu origin.
Minimisasi βs
n
Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )
r =1
m
βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas
j =1
Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi
linier pada persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis
( βs) diukur dengan menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1
sementara (1- βs ) menerangkan jumlah input yang harus dikurangi untuk
menghasilkan output yang sama sebagai bentuk efisiensi bank seperti yang
ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik minimisasi input dan
maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam penelitian ini
efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.
33
BAB IV
PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Kabupaten Karanganyar terletak di wilayah Propinsi Jawa Tengah yang
berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur. Terdiri atas 17 Kecamatan
dengan berbagai karakteristik geografis, sosiologis serta kultur atau budaya yang
menyebabkan karakter pelayanan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah
yang lain, meskipun standar dan mutu pelayanan yang diterapkan dalam satu
kabupaten sama.
Pelayanan di kabupaten Karanganyar dilakukan oleh hampir semua satuan
kerja baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Contoh pelayanan yang
dilakukan oleh satuan vertikal misalnya saja PLN ( Perusahaan Listrik Negara),
Kepolisian, Badan Pusat Statistik, serta Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan
pelayanan yang sifatnya horisontal adalah oleh unit – unit kerja yang berada di
bawah Pemerintah Daerah Karanganyar serta oleh BUMD.
Penelitian mengenai efisiensi kinerja pelayanan publik ini mempunyai
tujuan – tujuan yang akan dibahas secara terpisah. Adapun tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap realitas
kinerja yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Karanganyar
khususnya dalam wujud barang / jasa publik ,
2. Untuk mengetahui seberapa jauh harapan masyarakat kabupaten
karanganyar terhadap pelayanan publik yang diterimanya
3. Untuk mengetahui bagaimana kinerja aparatur pemerintah pada masing –
masing unit kerja di lingkungan kabupaten Karanganyar yang melakukan
pelayanan publik apabila ditunjukkan dengan efisiensi kinerja secara tehnis
dan ekonomis. Khususnya pada pelayanan Puskesmas dan Kantor
Kecamatan.
Untuk menjawab tujuan pertama dan kedua tersebut, dilakukan survey
terhadap masyarakat dengan jumlah sampel 160 responden yang terbagi dalam 7
34
kantor yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat yaitu PDAM
(mewakili BUMD), BPN ( Badan Pertanahan Nasional ), Dinas Tenaga Kerja &
Transmigrasi, Rumah Sakit Daerah, KPT ( Kantor Pelayanan Terpadu ), Puskesmas,
Kantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan. Kemudian dilakukan analisis dengan
metode diskriptif kuantitatif. Tujuan pertama dan kedua akan dianalisis secara
bersamaan.
Untuk menjawab tujuan ketiga dilakukan indept interview dan
pengambilan data sekunder di Puskesmas yang ada di linngkungan kabupaten
Karanganyar serta Kantor Kecamatan yang ada di lingkungan kabupaten
Karanganyar.
B. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK DI
KABUPATEN KARANGANYAR
Sebelum menggunakan suatu jasa, pengguna jasa/ masyarakat memiliki
pemikiran atas empat skenario jasa yang berbeda terhadap pelayanan jasa yang
akan diterimanya:
a. Jasa ideal, yaitu pelaksanaan pelayanan yang sesuai dengan peraturan
perundang – undangan yang ada. Di sini pemerintah memberikan aspek – aspek
normatif atas pelayanan yang harus diterima meliputi bagaimana prinsip –
prinsip pelayanan dan asas – asas yang perlu diperhatikan dalam pelayanan
tersebut. Asas – asas pelayanan publik meliputi asas Kepastian hukum, asas
Transparansi, asas Akuntabilitas, asas Kondisional, asas Partisipatif, asas
kepentingan umum, asas kesamaan hak, asas keseimbangan hak dan kewajiban
b. Jasa yang diantisipasi atau diharapkan. Dalam kondisi ini masyarakat
memahami bahwa kondisi ideal mungkin sangat jarang ada atau bisa terjadi.
Oleh karena itu masyarakat mengharapkan akan menerima pelayanan atas jesa
dengan kondisi terbaik yang bisa dilakukan oleh pemerintah/ penyedia jasa,
meskipun terkadang berada di bawah kondisi normatif/ ideal yang ada dalam
peraturan perundang - undangan.
c. Jasa yang selayaknya diterima (deserved). Dalam kondisi ini masyarakat masih
menerima jasa meskipun tanpa diirung dengan pelayanan prima.
35
d. Jasa minimun yang dapat ditoleransi (minimum tolerable). Dalam kondisi ini
masyarakat terpaksa menerima pelayanan dengan standart minimal dengan
asumsi bahwa yang penting kebutuhannya terpenuhi. Artinya masyarakat
sebenarnya sudah apatis terhadap pelaksanaan pelayanan jasa.
Sampai saat ini pengguna jasa/ masyarakat masih memiliki harapan atas
keempat skenario tersebut. Semakin tinggi harapan yang dipatok atau diinginkan
oleh seorang pengguna jasa/ masyarakat, maka semakin besar kemungkinan ia
tidak puas terhadap jasa yang dikonsumsi. Keyakinan yang tinggi pengguna jasa/
masyarakat atas pelayanan jasa yang sepatutnya ia terima, disebabkan oleh dua
faktor yaitu dari jaminan yang diberikan penyedia jasa dan dari pemakaian jasa
sebelumnya.
Berdasarkan asas – asas pelayanan publik, terdapat 6 ukuran kualitas
yang harus dipenuhi dalam melakukan pelayanan publik meliputi
transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak dan
keseimbangan. Secara detail prinsip – prinsip itu bisa dijelaskan sebagai
berikut :
1. Akuntabilitas, mengandung arti bahwa pelayanan publik bersifat
terbuka, dapat dibertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan dan bisa diaudit oleh segenap
lapisan masyarakat baik secara eksternal maupun internal dan oleh
lembaga yang formal maupun lembaga informal,
2. Transparasi, yaitu bersifat terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
Dalam pelayanan publik masa kini tehnologi mempunyai peran yang sangat
penting. Di banyak daerah pemanfaatan ICT ( Information Communication
and Technology ) menjadi pilihan utama bagi pemerintah untuk
memberikan pelayanan yang optimal dan efisien bagi masyarakat.
3. Kondisional, artinya sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi
dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prisip efisiensi
dan efektifitas.
36
4. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan public dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat. Dalam pelaksanaan partisipatif ini
maka pemerintah bisa membuat nota kesepakatan dengan masyarakat .
5. Kesamaan hak, artinya tidak diskriminatif , tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan gender, dan status ekonomi. Namun dalam pelaksanaan
pelayanan publik, salah satu yang harus mendapatkan prioritas pelayanan
adalah manusia lanjut usia dan penyandang cacat atau divable. Di sebagian
kota besar kepedualian terhadap penyandang cacat dan lanjut usia ini
ditunjukkan dengan kemudahan dan fasilitas – fasilitas khusus yang
memudahkan mereka untuk beraktifitas.
6. Keseimbangan hak dan Kewajiban, maksudnya adalah antara penerima dan
pemberi pelayanan public harus memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
Harapan pengguna jasa/ masyarakat diyakini mempunyai peranan yang
besar dalam menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan
pengguna jasa/ masyarakat. Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara
penentuan kualitas dan kepuasan pengguna jasa/ masyarakat. Dalam
mengevaluasinya, pengguna jasa/ masyarakat akan menggunakan harapannya
sebagai standar atau acuan. Dengan demikian, harapan pengguna jasa/
masyarakatlah yang melatar belakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang
sama dapat dinilai berbeda oleh pengguna jasa/ masyarakat.
Harapan pengguna jasa/ masyarakat dibentuk dan didasarkan oleh
beberapa faktor, diantaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman
dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing (Klotler
dan Armstrong, 1994 dalam Tjiptono, 1998: 150).
Dalam penelitian ini akan dibedakan antara realitas dan harapan
masyarakat terhadap atas pelayanan yang diterima oleh masyarakat. Secara detail,
akan ditunjukkan kriteria – kriteria dalam tabel sebagai berikut :
37
Tabel 4.1
Persepsi masyarakat terhadap kesederhanaan prosedur pelayanan publik di
kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Prosedur tidak berbelit – belit 2,5 % 32,5 % 56,25% 48,12% 36,87% 13,125%
2 Prosedur yang mudah
dipahami
0,625% 33,75% 58,75% 31,87% 55% 11,25%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Persepsi masyaraka akan kesederhanan pelayanan ditunjukkan dalam 2
macam variabel yaitu prosedur yang tidak berbelit – belit dan prosedur yang
mudah dipahami.
Dari hasil pengolahan terhadap data lapangan diproleh bahwa dalam
kesederhanaan pelayanan yang ditunjukkan dengan kriteria prosedur tidak berbelit
– belit dan mudah dipahami ternyata lebih dari 50% responden menyatakan tidak
puas sedangkan yang menyatakan cukup puas dan puas hanya sekita 34% saja. Hal
ini bertentangan dengan harapan masyarakat akan tingkat kepentingan variabel
kesederhanaan ini. Sebanyak 48,12% responden menyatakan bahwa prosedur yang
tidak berbelit – belit sangat penting dalam pelayanan publik, 36,87% menyatakan
Penting sedangkan 13,125% menyatakan cukup penting. Untuk kemudahan
pemahaman atas prosedur 31,87% responden menyatakan sangat penting, 55%
responden menyatakan penting dan 11,25% menyatakan cukup penting.
Hal ini menunjukkan bahwa kesederhanaan prosedur dalam pelayanan
publik sangat diharapkan oleh masyarakat di kabupaten Karanganyar, agar proses
pelayanan bisa berjalan dengan lancar sebagaimana yang diharapkan.
Kriteria pelayanan publik berikutnya adalah kejelasan atau transparansi.
Kriteria ini ditunjukkan dalam 7 variabel yaitu persyaratan administrasi yang jelas,
kejelasan biaya yang harus dikeluarkan, kejelasan akan produk yang dihasilkan
serta yang bertanggungjawab atas pelayanan produk tersebut, kejelasan waktu
38
yang digunakan dalam proses pelayanan serta tata cara pengaduan apabila terjadi
permasalahan dalam proses pelayanan publik.
Hasil survey lapangan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.2
Persepsi masyarakat terhadap kejelasan/ transparansi prosedur pelayanan publik
di kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Persyaratan administrasi
diatur dengan jelas
0,625% 35,625% 58,75 % 26,25% 57,5% 14,375%
2 Rincian Biaya dan cara
pembayarannya diatur
dengan jelas dan terbuka.
11,875% 27,5% 46,25% 62,5% 21,875% 13,75%
3 Produk pelayanan yang
dihasilkan jelas.
0,00 % 29,375% 63,125% 15% 64,375% 18,75%
4 Ada kejelasan siapa yang
bertanggung jawab atas
proses dan produk
pelayanan
1,875 % 33,125% 56,25% 21,25% 57,5% 19,375%
5 Tata cara pengaduan
diatur dengan jelas
6,25 % 39,75% 49,75% 30% 55% 13,125%
6 Persyaratan administrasi
diatur dengan jelas
0,625% 35,625% 58,75 % 48,75% 27,5% 21,875%
7 Kejelasan lama waktu dan
prosedur penyelesaian
6,25 % 39,75% 49,75% 49,375% 37,5% 11,25%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Dari hasil pengolahan data lapangan diperoleh bahwa Responden yang
puas terhadap kejelasan dan transparansi pelayanan publik yang diterimanya
hanya berkisar antara 0% sampai dengan 11,875%. Sedangkan yang cukup puas
berkisar antara 27% sampai dengan 39%. Sisanya merasa tidak puas atas kejelasan
39
pelayanan yang diterimanya. Hal ini sangat bertentangan atau berbeda jauha
dengan harapan masyarakat atau persepsi atas kepentingan kriteria kejelasan dan
transparansi ini. Dari hasil pengolahan data lapangan diperoleh bahwa 15% - 62%
responden menganggap sangat penting ketujuh variabel yang mewakili kriteria
kejelasan dan transparasi pelayanan publik, sedangkan 21% sampai 65%
menyatakan penting. Sedangkan sisanya menyatakan bahwa itu cukup penting.
Tidak satupun responden yang menganggap bahwa kejelasan pelayanan publik
bukan merupakan hal yang penting.
Dalam hasil pengolahan data di lapangan juga diperoleh bahwa yang paling
diharapkan atau dipentingkan oleh masyarakat pengguna layanan adalah adanya
infomrais yang jelas mengenai biaya yang harus dikeluarkan berikut rinciannya
untuk menerima layanan publik, yaitu sebanyak 62,5% dari 160 responden.
Dalam era Reformasi ini, memang transparansi pelaksanaan pemerintahan
termasuk di dalamnya pelayanan publik merupakan salah satu dari tuntutan rakyat
agar bisa memperbaiki taraf kehidupan mereka.
Kriteria berikutnya adalah jaminan keamanan dan akurasi atas hasil layanan
yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal ini adalah
pemerintah kabupaten Karanganyar. Dalam kriteria ini terdapat 5 variabel yang
terdiri atas tidak ada kesalahan dalam produk pelayanan, produk layana yang
tepat secara ukruan, ada keabsahan dalam produk layanan, dalam produk layanan
dijamin kerahasiaan dan keamanannya serta terdapat keabsahan legalitas dalam
produk layanan.
Dari survey lapangan diperoleh hasil sebagai berikut :
40
Tabel 4.3
Persepsi masyarakat terhadap akurasi dan jaminan keamanan hasil produk
pelayanan publik di kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Tidak ada kesalahan pada
produk pelayananan
(benar dalam arti tidak
ada salah ketik).
5,00% 30,00% 58,75 % 12,5% 71,25% 14,375%
2 Produk pelayanan yang
tepat (ukuran)
1,25% 31,875% 62,5% 10,625% 70,00% 17,5%
3 Ada tingkat keabsahan
pada produk pelayanan
yang diberikan.
0,625% 31,25% 62,5% 22,5% 55,635% 20,00%
4 Dalam proses pelayanan,
kerahasiannnya dijamin
aman.
3,75% 43,75 % 45,625% 36,25% 48,75% 13,125%
5 Produk pelayanan dijamin
keabsahan & legalitasnya.
2,5% 21,25% 67,5% 28,75% 47,5% 21,25%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Kriteria akurasi dan keamanan ini lebih menekankan pada hasil produk
yang diterima oleh masyarakat baik dari ukuran, kerahasiaan sampai pada
keabsahan atau legalitas produk itu sendiri, artinya jangan sampai produk yang
diterima oleh masyarakt merupakan produk yang aspal. Dari hasil survey diperolah
bahwa ternyata 45 % sampai 67% responden tidak puas terhadap jaminan serta
akurasi pelayanan publik, sementara 21% sampai 43% menyatakan cukup puas,
sedangkan 0,625% sampai 5% menyatakan puas. Untuk harapan 10% sampai
dengan 36,25% resoenden menyatakan bahwa kriteria ini sangat penting, 47,5%
sampai 71,25% menyatakan penting dan sisanya menyatakan cukup penting.
41
Kriteria selanjutnya adalah tanggung jawab, terdapat 3 variabel dalam
kriteria tanggung jawab ini meliputi kesediaan aparat pelaksana untuk menerima
keluhan, adanya pimpinan yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan keluhan
serta kemauan pemimpin untuk menyelesaikan apabila terdapatsengketa antara
masyarakat pengguna layanan dengan aparat pelaksana layanan. Tanggung jawab
ini mengacu pada seberapa besar masyarakat penerima layanan memperoleh
haknya apabila penyelenggara tidak melaksanakan layanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang – undangan.
Dari hasil survey terhadap persepsi masyarakat diperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 4.4
Persepsi masyarakat terhadap tanggung jawab aparat penyelenggara pelayanan
publik di kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Aparat pelaksana
bersedia menerima bila
terdapat keluhan dan
pengaduan atas mutu
pelayanan
5,625% 46,25% 40,625% 24,375% 52,5% 21,25%
2 Pimpinan Bertanggung
jawab atas keluhan dan
pengaduan pelanggan.
3,75% 44,375% 41,875% 20% 53,75% 24,375%
3 Pemimpin
bertanggungjawab
menyelesaikan sengketa
antara staf/ isntansinya
dengan pelanggan
1,25% 51,25% 36,875% 53,125% 26,875% 18,00%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
42
Dari hasil survey diperoleh bahwa baru 1,25% sampai 5,625% responden
yang puas atas tanggung jawab baik pimpinan maupun aparat pelaksana terhadap
keluhan dan pengaduan yang dilakukan penerima layanan publik. Sedangkan
44,375% sampai dengan 51,25% responden merasa cukup puas atas tanggung jawab
penyelenggara layanan terhadap pengaduan dan keluhan mereka. Sedangkan
sisanya yang 36,875% sampai dengan 41,875% merasa tidak puas atas pelayanan
penyelenggara layanan publik khususnya dalam tanggungjawab.
Untuk harapan atas tanggungjawab aparat pelaksana layanan publik,
diperoleh bahwa 20% sampai dengan 53% masyarakat menyatakan bahwa
tanggungjawab mulai dari aparat sampai pimpinan terhadap keluhan dan
pengaduan pelanggan sangat penting, 26,875% sampai dengan 53,75% menganggap
hal tersebut penting sedangkan 18% sampai dengan 24,75% menyatakan cukup
penting. Padahal dari kondisi riil di lapangan masyarakat masih kurang puas
terhadap tindakan atau tanggungjawab aparat penyelenggara dalam hal
menghadapi pengaduan dan keluhan .
Dari hasil pengolahan atas data lapangan juga diperoleh bahwa ternyata
yang paling dipentingkan atau merupakan harapan terbesar masyarakat pada
kriteria tanggung jawab ini adalah adanya pemimpin yang bertanggung jawab
untuk menyelesaikan sengketa antara aparat penyelenggara layanan dengan
masyarakat penerima layanan. Namun dalam kenyataannya hal nini masih sangat
jauh dari yang diharapkan, dimana yang terjadi adalah bahwa seolah – olah
pemimpin lebih memihak kepada bawahannya bukan bersikap netral atas sengketa
yang terjadi. Untuk itu diperlukan suatu komisi khusus yang menangani masalah
pengaduan masyarakat ini seperti yang dilakukan oleh pemerintah propinsi Jawa
Timur dengan membentuk KPP ( Komisi Pelayanan Publik ) yang merupakan
komisi independent untuk menjembatani keluhan dan aduan dari masyarakat
dengan pemerintah penyelenggaran layanan.
Kriteria atas layanan publik yang berikutnya adalah kelengkapan sarana
dan kemudahan akses yang ditunjukkan dengan 6 variabel meliputi tersedianya
kelengkapan / prasarana proses pelayanan meliputi blangko – blangko dan
kelengkapan proses pelayanan, pelayanan dengan menggunakan tehnologi
informasi khususnya komputerisasi, tersedianya arsip – arsip yang rapi yang
43
mendukung proses pelayanan, lokasi mudah dijangkau, kemudahan untuk
memperoleh penjelasan dan informasi pelayanan, tidak Diskriminatif/ siapapun
mudah dan bisa memperoleh pelayanan. Keenam variabel tersebut akan
menunjukkan bagaimana persepsi masyarakat mengenai kelengkapan sarana dalam
melakukan penyelenggaraan pelayanan publik serta kemudahan akses masyarakat
dalam memperoleh layanan publik.
Dari hasil survey lapangan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.5
Persepsi masyarakat terhadap kelengkapan sarana dan kemudahan akses dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Tersedianya kelengkapan
/ prasarana proses
pelayanan meliputi
blangko – blangko dan
kelengkapan proses
pelayanan
8,125% 31,875% 48,75 % 27,5% 60,625% 20%
2 Pelayanan dengan
menggunakan tehnologi
informasi khususnya
komputerisasi
10,625% 36,875% 44,375% 26,25% 53,125% 18,75%
3 Tersedianya arsip – arsip
yang rapi yang
mendukung proses
pelayanan
4,375% 36,25% 50% 30,625% 59,375% 8,125%
4 Lokasi mudah dijangkau. 3,125% 13,75% 66,875% 20% 63,75% 14,375%
5 Kemudahan untuk
memperoleh penjelasan
dan informasi pelayanan.
2,5% 28,125% 58,75% 53,125% 27,5% 17,5%
6 Tidak Diskriminatif/
Siapapun mudah dan bisa
memperoleh pelayanan
9,375% 34,375% 47,5% 11,875% 48,125% 38,125%
Sumber : Data lapangan diolah
44
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Dari hasil pengolahan data lapangan diperoleh bahwa responden masih
belum puas dengan kelengkapan sarana serta kemudahan akses pelayanan publik
yang ditunjukkan oleh 44,375% sampai 66,875% responden tidak puas dengan
kelengkapan sarana pelayanan dan kemudahan akses yang diberikan oleh
penyelenggaran layanan. Sedangkan 13,75% sampai dengan 36,25% masyarakat
menyatakan cukup puas dengan kelengkapan sarana pelayanan, sementara hanya
2,5% sampai dengan 9,375% masyarakat yang puas terhadap kriteria ini.
Apabila dibandingkan dengan harapan masyarakat tentu hal ini masih
sangat jauh, karena 11,875 % sampai dengan 53,125% masyarakat menganggap
sangat penting adanya kelengkapan sarana dan kemudahan akses, sementara 27,5%
sampai 63,275% masyarakat menganggap hal ini penting dan hanya 8,125% sampai
38,125% masyarakat yang menganggap bahwa kelengkapan sarana dan kemudahan
akses cukup penting.
Dari hasil survey lapangan juga diketahui bahwa yang paling dipentingkan
oleh masyarakat kaitannya dengan kriteria kelengkapan sarana dan prasarana
adalah pada kemudahan untuk memperoleh penjelasan dan informasi layanan.
Kriteria yang berikutnya adalah keramahan dan responsifitas aparat
penyelenggara pelayanan publik. Warga masyarakat di dalam menerima layanan
publik tentu saja mengahrapkan adanya empati dari penyelenggara agar suasana
yang diperoleh dalam pelayanan bisa lebih baik. Terdapat 2 variabel yaitu
kesopanan dan keramahan serta kesigapan dalam melakukan layanan kepada
masyarakat.
Dari hasil survey lapangan diperoleh hasil sebagai berikut :
45
Tabel 4.6
Persepsi masyarakat terhadap keramahan dalam proses pelayanan publik di
kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Pemberi pelayanan
bersikap sopan, ramah.
4,8% 27,5% 52,5% 33,125% 53,125% 11,875%
2 Pemberi Pelayanan cepat
tanggap terhadap keluhan
pelanggan.
4,375% 38,75% 46,25% 31,25% 49,375% 17,5%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Dari hasil survey lapangan diperoleh bahwa 46,25% sampai 52,5%
responden merasa tidak puas dengan keramahan dan kesigapan aparat
penyelenggara layanan, sedangkan yang cukup puas terdapat 27,5% sampai dengan
38,75%. Dan hanya sekitar 4% saja responden yang merasa puas. Padahal di satu sisi
keramaha menjadi hal yang sangat dipentingkan oleh masyarakat pada saat
mendapatkan layanan publik. Dari hasil survey diperleh bahwa 33,125% responden
merasakan bahwa pelayanan yang bersifat ramah sangat penting dilakukan oleh
aparat penyelenggaran layanan publik.
Kriteria terakhir yang digunakan sebagai ukuran kepuasan dalam pelayanan
publik adalah kenyamanan yang meliputi proses pelayanan yang diatur secara
tertib dan teratur, kelengkapan fasilitas pendukung seperti Toilet, Mushola, tempat
parkir serta tersedianya ruang tunggu yang memadai dan nyaman. Kenyamanan
lingkungan dalam proses layanan publik akan membantu masyarakat untuk
bersabar dalam menjalani proses pelayanan publik yang akan diterimanya.
Berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh hasil sebagai berikut :
46
Tabel 4.7
Persepsi masyarakat terhadap kenyamanan dalam proses pelayanan publik di
kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA REALITAS HARAPAN
P CP TP SP* P* CP*
1 Proses pelayanan diatur
secara tertib dan teratur,
4,8% 23,125% 63,125% 31,875% 56,875% 9,375%
2 Kelangkapan fasilitas
pendukung : Toilet,
Mushola, tempat parkir
6,875% 30,625% 49,375% 15,625% 58,75% 23,75%
3 Tersedia ruang tunggu yang
memadai dan nyaman.
3,75% 28,75% 53,75% 31,875% 58,125% 8,125%
Sumber : Data lapangan diolah
Note :
1. Kriteria sangat puas dan sangat tidak puas dalam realitas dihilangkan karena tidak signifikan
2.Kriteria Tidak puas dalam Harapan dihilangkan karena bernilai 0%
3. SP*, P * & CP* menunjukkan tingkat kepetingan variabel atau kriteria pelayanan
Dari data yang diperoleh dalam survey ternyata ,asih terdapat 49,375 %
sampai 63,125% masyarakat yang tidak puas terhadap kenyamanan khususnya
dalam pelayanan yang diatur secara tertib dan teratur. 23,125% sampai 30,625%
masyarakat cukup puas dengan kenyamanan sedangkan yang puas terhadap
kenyamanan terdapat 3,75% sampai 6,875%. Apabila dilihat dari harapan maka
hanya 15,625% sampai 31,875% responden yang menganggap kenyamanan
merupakan hal yang sangat penting, 56,75 % sampai 58,75% menyatakan penting
untuk memberikan kenyamanan dalam pelayanan publik.
Dari hasil penelitian mengenai persepsi masyarakat atas pelayanan publik
yang diperolehnya dengan menggunakan 6 kriteria yang mencakup 27 kriteria,
diperoleh bahwa ternyata masyarakat yang diwakili oleh responden masih belum
mencapai tingkat kepuasan yang diharapkan dengan rata – rata sebagai berikut :
47
Tabel 4.8
Persepsi masyarakat terhadap tingkat kepuasan pelayanan publik
Di Kabupaten Karanganyar
NO KRITERIA RATA – RATA
1 Kesederhanaan 2,312
2 Transparansi/ kejelasan 2,62
3 Akurasi & keamanan 2,396
4 Tanggung jawab 2,468
5 Kelengkapan sarana dan kemudah akses 1,932
6 Keramahan 2,335
7 Kenyamanan 2,503
Sumber : Data lapangan diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap
realita pelayanan publik di kabupaten Karanganyar masih rendah. Ditunjukkan
dengan nilai rata – rata masih berkisar pada angka 2 yang menunjukkan
masyarakat tidak puas terhadap ketujuh kriteria pelayanan publik tersebut.
Selain dengan menggunakan rata – rata persepsi masyarakat atas pelayanan
publik yang dilakukan penyelenggara, akan diuji juga prioritas atas kriteria
pelayanan publik yang ada meliputi aspek transparansi, akuntabilitas, kondisional,
partisipatif, kesamaan hal dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Model
penghitungan adalah dengan menggunakan bobot, semakin penting suatu kriteria
pelayanan publik bagi masyarakat maka semakin besar bobot yang diberikan untuk
kriteria tersebut. Sehingga dengan menggunakan 160 orang responden akan
diperoleh kriteria mana yang paling diinginkan untuk segera dipenuhi oleh
penyelenggaran. Secara rinci dengan menggunakan perbandingan antara kriteria –
keriteria tersebut, dibandingkan secara langsung dengan kantor/ dinas pelaksana
pelayanan publik maka akan ditunjukkan hasil sebagai berikut :
48
Tabel 4.9
Skor Harapan Pelanggan Terhadap Pelayanan Pada Unit Penyelenggra
Pelayanan Publik di Kabupaten Karanganyar.
Instansi Transpa
Rasi Akuntabil
itas Kondisional Partisipa
Tif Kesamaan
hak Keseim bangan
BPN
Disnakertran
s
KPT
PDAM
RSUD
Puskesmas
Kecamatan
Kelurahan
110
98
105
96
81
57
94
70
67
65
93
103
71
63
48
58
69
34
46
52
45
71
62
80
52
70
44
78
84
96
89
85
50
91
55
49
91
85
65
66
65
59
75
42
46
23
44
40
Jumlah 711 566 459 598 552 394 Sumber ; Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data lapangan diperoleh bahwa nilai tertinggi adalah
pada aspek transaparansi, artinya prioritas utama yang diharapkan oleh
masyarakat dalam penyelenggaraan layanan publik adalah transparansi atau
keterbukaan kemudian dilanjutkan dengan aspek partisipatif, akuntabilitas,
kesamaan hak, kondisional dan baru yang terakhir adalah aspek keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Terdapat beberapa alasan kenapa masyarakat tidak menerima pelayanan
sebagaimana yang merekan harapkan, antara lain karena rendahnya kinerja
pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat penyelenggara. Untuk itu diperlukan
adanya penelitian mengenai tingkat efisiensi kantor pelayanan khususnya yang
berhubungan langsung dengan masyarakat.
C. EFISIENSI KINERJA PENYELENGGARAAN LAYANAN PUBLIK DI
PUSKESMAS - PUSKESMAS KABUPATEN KARANGANYAR
Tujuh kriteria di atas mengenai persepsi masyarakat atas layanan publik tersebut
menunjukkan belum puasnya masyarakat atas pelayanan yang diterimanya. Untuk
itu diperlukan adanya instrospeksi atau evaluasi diri atas kinerja yang sudah
49
dilakukan selama ini. Penilaian atas efisiensi akan dilakukan dengan
membandingkan variabel – variabel input dengan variabel – variabel output secara
bersamaan dengan alat analisis DEA ( Data Envelopment Analysis) . DEA adalah
sebuah tenik pemrograman matematis yang digunakan untuk mengukur efisiensi
dari sekumpulan unit – unit pembuat keputusan dalam mengelola input untuk
menghasilkan output. Nilai efisiensi akan dihitung dengan besaran 0 sampai
dengan 100%.
Sehingga akan diketahui seberapa besar sebenarnya kebutuhan sumber
daya pada kantor penyelenggara layanan masyarakat bila dibandingkan dengan
seberapa banyak masyarakat yang bisa dilayani.
Dalam penelitian ini, akan diambil sampel penyelenggara layanan publik
yang langsung berhubungan dengan masyarakat yaitu Puskesmas, atau pusat
Kesehatan Masyarakat. Terdapat 21 kantor Puskesmas di kabupaten Karanganyar
baik yang berkelas A ataupun B. Variabel input yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah Jumlah Dokter, Jumlah Bidan, Jumlah Perawat, Jumlah obat
yang Total obat yang tersedia. Sementara yang menjadi variabel output adalah
Jumlah pasien yang terlayani dan jumlah pasien pengguna askeskin yang terlayani.
Secara detail data Puskesmas yang akan digunakan dalam penelitian ini
akan dijabarkan dalam tabel berikut ini :
50
Tabel 4.10
Data Puskesmas di Kabupaten Karanganyar
NO PUSKESMAS DOKTER BIDAN PERAWAT PASIEN ASKESKIN JML
OBAT
1 Jati Puro 5 14 6 17.095 290
144
2 Jatiyoso 4 15 13 15.722 104
143
3 Jumapolo 3 17 9 21.319 260
105
4 Jumantono 4 13 1 33.913 611
138
5 Matesih 4 12 9 52.931 920
122
6 Tawangmangu 5 13 8 20.244 163
124
7 Ngargoyoso 5 13 8 13.533 116
142
8 Karangpandan 4 16 5 22.730 459
105
9 Karanganyar 4 14 4 82.919 1.314
111
10 Tasikmadu 4 12 5 53.038 1.327
120
11 Jaten I 2 5 4 23.106 276
108
12 Jaten II 4 3 4 34.229 819
127
13 Colomadu I 3 6 5 38.992 465
106
14 Colomadu II 2 6 5 23.004 175
113
15 Gondangrejo 4 8 6 38.311 879
128
16 Kebakkramat I 2 6 9 25.162 338
128
17 Kebakkramat II 1 4 4 19.721 188
112
18 Mojogedang I 1 8 4 21.981 790
81
19 Mojogedang II 2 4 4 28.258 440
106
20 Kerjo 3 5 7 30.881 563
125
21 Jenawi 2 4 7 10.913 81
112
Sumber : Laporan DKK Kabupaten Karanganyar
51
Data - data mengenai Puskesmas yang tebagi atas 4 input dan 2 output
tersebut, kemudian diolah dengan menggunakan analisis DEA sehingga diperoleh
hasil sebagai berikut:
52
Tabel 4.11 . Hasil penghitungan kinerja Puskesmas dengan menggunakan analisis DEA
NO PUSKESMAS SCORE
EFISIENSI
BOBOT OPTIMAL PUSKESMAS DENGAN BENCHMARKNYA
1 Jati Puro 43,93 % UKE 4 ( 0,112 ) UKE 9 (0,006) UKE12 ( 0,869) UKE18 (0,013)
2 Jatiyoso 39,69 % UKE 9 ( 0,009) UKE 18 (0,991)
3 Jumapolo 65,20% UKE 9 (0,063) UKE 18 (0,937)
4 Jumantono 100 %
5 Matesih 100 %
6 Tawangmangu 50,68% UKE 9 (0,080) UKE 18 (0,920)
7 Ngargoyoso 41,52 % UKE 18 (0,907) UKE 19 (0,093)
8 Karangpandan 66,40% UKE 4 (0,003) UKE 9 (0,087) UKE 18 (0,910)
9 Karanganyar 100 %
10 Tasikmadu 77,80 % UKE 9 (0,527) UKE 13 (0,329) UKE 18 (0,145)
11 Jaten I 93,91% UKE 4 (0,042) UKE17 (0,030) UKE 18 (0,117) UKE 19 (0,812)
12 Jaten II 100 %
13 Colomadu I 100 %
14 Colomadu II 77,06% UKE 18 (0,306) UKE 19 (0,694)
15 Gondangrejo 100 %
16 Kebakkramat I 75,64% UKE 9 (0,066) UKE 17 (0,281) UKE 18(0,128) UKE 19 (0,525)
17 Kebakkramat II 100 %
53
18 Mojogedang I 100 %
19 Mojogedang II 100 %
20 Kerjo 86,76% UKE 9 (0,058) UKE 12 (0,392) UKE 18 (0,114) UKE 19(0,436)
21 Jenawi 95,42% UKE 12 ( 0,094) UKE 17 (0,234) UKE 19 (0,672)
Sumber hasil oalan dengan menggunakan DEA.
54
Dari hasil pengolahan data di lapangan dengan menggunakan DEA maka
ditemukan baru 9 Puskesmas yang sudah mancapai efisiensi 100% yaitu Puskesmas
Jaten II, Puskesmas Kebakkramat II, Puskesmas Jumantono, Puskesmas Colomadu
I, Puskemas Matesih, Puskesmas Mojogedang I dan Puskemas Gondangrejo,
Puskesmas Mojogedang II dan Puskesmas Karanganyar. Kemudian Puskesmas
yang efisiensinya di atas 70% namun belum mencapai 100% sebanyak 6 Puskesmas
yaitu Puskesmas Kebakkramat I, Puskesmas Kerjo, Pukesmas Colomadu II,
Pukesmas Jaten I, Puskemas Tasikmadu dan Puskesmas Jenawi. Sedangkan
sisanya yang 6 Puskesmas, tingkat efisinesinya rendah atau sering kita sebut terjadi
tingkat inefisinesi yang tinggi. Inefisiensi tertinggi adalah pada Puskesmas Jatiyoso,
Puskesmas Tawangmangu, Puskesmas Ngargoyoso, Puskesmas Jumapolo,
Puskesmas Jatipuro dan Puskesmas Karangpandan
Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu persatu Puskesmas yang belum
mencapai tingkat efisiensi yang memuaskan. Secara garis besar, masing – masing
Puskesmas mempunyai sumber inefisiensi yang berada pada dua sisi baik input
maupun output. Berikut ini akan kita bahas masing – masing sumber inefisiensi
pada masing – masing Puskesmas.
C.1. Puskesmas Ngargoyoso
Puskesmas Ngargoyoso hanya memiliki tingkat efisiensi sebesar 41,52%,
artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar 50,48%. Masing – masing
baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber – sumber inefisiensi,
seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.12. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Ngargoyoso
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 5 1,1 78,1% % 21,9%
Bidan 13 7,6 41,3 % 58,7%
Perawat 8 4,0 50,0% 50,0%
Obat 142 83,3 41,3 % 58,7%
Pasien 13533 22564 66,7% 33,3%
Askeskin 116 757,5 55,3% 54,7%
55
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Ngargoyoso terdapat banyak sumber daya yang belum digunakan seoptimal
mungkin atau justru banyak sumber daya yang menganggur sehingga mungkin
bisa dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain. Misalnya untuk dokter,
jumlahnya yang mencapai 5 orang terlalu banyak, karena dengan load pekerjaan
dan jumlah yang kurang sebanding, maka diperlukan penyesuaian atau
pengurangan menjadi sekitar 2 orang saja sudah cukup untuk melayani pasien yang
masuk tersebut. Demikian juga untuk jumlah bidan yang seharusnya cukup 8 saja
dari 13 yang tersedia. Sedangkan perawat yang jumlahnya 8 seharusnya cukup 4
saja. Hal ini melebihi dari kebutuhan masyarakat setempat, sehingga sumber daya
tersebut tidak bisa digunakan secara optimal.
Demikian juga dari sisi output, ternyata jumlah pasien askeskin yang
terlayani masih di bawah target. Dari sisi Pasien secara umum baru tercaoai 33,3%
efisiensinya sedangkan untuk pasien askeskin ternyata baru mencapai 54,7% tingkat
efisiensinya.
Alternatif solusi yang ditawarkan di sini adalah dengan memindahkan
sumber daya yang ada untuk ikut membantu di tempat / Puskesmas yang lain.
Atau dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar bisa meningkatkan
kesadaran untuk memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas apabila diserang
berbagai penyakit. Fungsi ini juga sangat efektif untuk menangani kasus endemi.
C. 2. Puskesmas Jatiyoso
Puskesmas Jatiyoso hanya memiliki tingkat efisiensi sebesar 39,69%, artinya
telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar 61,31%. Masing – masing baik
input maupun out put menyumbang terhadap sumber – sumber inefisiensi, seperti
terlihat dalam tabel berikut ini :
56
Tabel 4.13. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Jatiyoso
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 4,0 1,0 74,3% 25,7%
Bidan 15 8,1 46,3% 53,7%
Perawat 13 4 69,2% 30,8%
Obat 143 81,3 43,2% 56,8%
Pasien 15722 22509 43,2% 69,8%
Askeskin 104 783,2 65,3% 34,7%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Jatiyoso terdapat banyak sumber daya yang belum digunakan seoptimal mungkin
atau justru banyak sumber daya yang menganggur sehingga mungkin bisa
dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain. Misalnya untuk dokter, jumlahnya
yang mencapai 4 orang terlalu banyak, karena dengan load pekerjaan dan jumlah
yang kurang sebanding, maka diperlukan penyesuaian atau pengurangan menjadi
sekitar 2 orang saja sudah cukup untuk melayani pasien yang masuk tersebut.
Demikian juga untuk jumlah bidan yang 15 orang padahal dengan load pekerjaan
tersebut bisa diselesaikan hanya dengan 8 orang bidan saja. Untuk perawat jumlah
yang dibutuhkan hanya 4 orang sementara yang tersedia 13 orang, sehingga
melebihi dari kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini mengandung arti bahwa
sumber daya tersebut tidak bisa digunakan secara optimal.
Demikian juga dari sisi output, ternyata jumlah pasien umum yang terlayani
masih di bawah target. Terjadi inefisiensi sebesar 69,8%. Demikian juga untuk
jumlah pasien askeskin, ternyata masih di bawah target yang bisa dicapai dengan
tingkat efisiensi hanya 65,3% atau inefisiensinya 34,7%.
C.3. Puskesmas Jumapolo
Puskesmas Jumapolo hanya memiliki tingkat efisiensi sebesar 65,20%,
artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar 34, 80%. Masing – masing
baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber – sumber inefisiensi,
seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
57
Tabel 4.14. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Jumapolo
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 3 1,2 60,4% 39,6%
Bidan 17 8,5 34,8% 65,2%
Perawat 9 4 55,6 % 44,4 %
Obat 105 82,9 21,1 % 78,9 %
Askeskin 260 740 64,9 % 35,1%
Pasien 21319 25809 21,1% 78,9 %
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Jumapolo dengan tingkat efisiensi 65,20% menunjukkan adanya banyak sumber
daya yang belum digunakan secara optimal atau justru terdapat sumber daya yang
menganggur sehingga mungkin bisa dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain.
Misalnya untuk dokter, jumlahnya 3 orang, padahal dengan kondisi jumlah pasien
yang ada dimungkinkan hanya 2 orang dokter saja. Artinya load pekerjaan tidak
sebanding dengan jumlah dokter yang ada. Demikian juga untuk jumlah bidan
yang seharusnya cukup 9 saja dari 17 yang tersedia. Sedangkan perawat yang
jumlahnya 9 seharusnya cukup 4 saja. Hal ini melebihi dari kebutuhan masyarakat
setempat, sehingga sumber daya tersebut tidak bisa digunakan secara optimal.
C.4. Puskesmas Karangpandan
Puskesmas Karangpandan hanya memiliki tingkat efisiensi sebesar 65,20%,
artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar 34, 80%. Masing – masing
baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber – sumber inefisiensi,
seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
58
Tabel 4.15. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Karangpandan
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 4 1,3 68,2% 31,8%
Bidan 16 8,5 46,6% 53,4%
Perawat 5 4 20,2% 79,8%
Obat 105 83,8 20,2% 79,8%
Askeskin 459 720 37,7% 63,7%
Pasien 22730 27320 20,2% 79,8%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Karangpandan dengan tingkat efisiensi 66,40% menunjukkan adanya sumber daya
yang belum digunakan secara optimal atau justru terdapat sumber daya yang
menganggur sehingga mungkin bisa dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain.
Misalnya untuk dokter, jumlahnya 4 orang, padahal dengan kondisi jumlah pasien
yang ada dimungkinkan hanya 2 orang dokter saja. Artinya load pekerjaan tidak
sebanding dengan jumlah dokter yang ada. Demikian juga untuk jumlah bidan
yang seharusnya cukup 9 saja dari 16 yang tersedia. Sedangkan perawat yang ada
sudah mendekati efisiensi yang seharusnya, dengan jumlah 5 dari 4 yang
seharusnya.
Atau apabila kita membaca dari sisi output maka jumlah pasien umum yang
terlayani telah mencapai 79,8%, sedangkan pasien askeskin baru mencapai 63,7%
yang terlayani.
C.5. Puskesmas Jatipuro
Puskesmas Jatipuro mempunyai tingkat efisiensi yang masih rendah yaitu
sebesar 43,93% artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar 56, 07%.
Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber –
sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
59
Tabel 4.16. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Jatipuro
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 5 1,4 72,7 % 27,3 %
Bidan 14 8,5 39% 61%
Perawat 6 3,7 39% 61%
Obat 144 87,9 39% 61%
Pasien 17095,0 23754,7 39 % 61%
Askeskin 290 760 62,4% 37,6%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Jatipuro masih mempunyai tingkat efisiensi yang rendah 43,93% . Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat inefisiensi sebesar 57,07% atau tingkat
efisiensinya masih dibawah 50%. Masih terdapat banyak sumber daya yang
menganggur atau belum digunakan secara optimal sehingga mungkin bisa
dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain. Misalnya untuk dokter, jumlahnya 5
orang, padahal dengan kondisi jumlah pasien yang ada dimungkinkan hanya 2
orang dokter saja. Artinya load pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah dokter
yang ada. Demikian juga untuk jumlah bidan yang seharusnya cukup 9 saja dari 14
yang tersedia. Sedangkan perawat yang ada sudah mendekati efisiensi yang
seharusnya, dengan jumlah 6 dari 4 yang seharusnya.
Atau apabila kita membaca dari sisi output maka jumlah pasien askeskin
yang terlayani baru mencapai 61%, Artinya dengan sumber daya baik dari sisi
dokter, perawat maupun yang lain, harusnya bisa mencapai 23.754 pasien tapi baru
terlayani 17095 orang. Sedangkan untuk pasien askeskin baru mencapai 62,4%.
C.6. Puskesmas Tawangmangu
Puskesmas Tawangmangu mempunyai tingkat efisiensi yang masih rendah
yaitu sebesar 50,68% artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
49,32%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap
sumber – sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
60
Tabel 4.17. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Tawangmangu
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 5 1,2 75,2% 24,8%
Bidan 13 8,5 34,8% 65,2%
Perawat 8 4 50% 50%
Obat 124 83,4 32,7% 67,3%
Pasien 20.244 26.871 32,7% 67,3%
Askeskin 163 726 77,6% 22,4%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Tawangmangu masih mempunyai tingkat efisiensi yang rendah yaitu 50,68% . Hal
ini menunjukkan bahwa masih terdapat inefisiensi sebesar 49,32%. Masih terdapat
banyak sumber daya yang menganggur atau belum digunakan secara optimal
sehingga mungkin bisa dikirimkan ke daerah/ Puskesmas yang lain. Misalnya
untuk dokter, jumlahnya 5 orang, padahal dengan kondisi jumlah pasien yang ada
dimungkinkan hanya 2 orang dokter saja. Artinya load pekerjaan tidak sebanding
dengan jumlah dokter yang ada. Demikian juga untuk jumlah bidan yang
seharusnya cukup 9 saja dari 13 yang tersedia. Sedangkan perawat juga masih
terdapat kelebihan load, karena jumlah perawat yang ada 8 padahal dengan 4 orang
perawat saja bisa melayani pasien yang ada.
Atau apabila kita membaca dari sisi output maka jumlah pasien askeskin
yang terlayani baru mencapai 22,4%, Sedangkan untuk pasien umum efisiensi
sudah mencapai 67,3%.
Selain keenam Puskesmas yang tingkat efisiensi masih di bawah 70%,
terdapat 6 Puskesmas yang efisiensinya sudah mencapai di atas 70% yaitu
Puskesmas Tasikmadu, Puskesmas Jaten I, Puskesmas Colomadu II, Puskesmas
Kebakkramat I, Puskesmas Kerjo dan Puskesmas Jenawi. Secara rinci keenam
tingkat efisiensi masing – masing input dan output Puskesmas - Puskesmas tersebut
bisa ditunjukkan sebagai berikut :
61
C.7. Puskesmas Tasikmadu
Puskesmas Tasikmadu mempunyai tingkat efisiensi yang masih rendah
yaitu sebesar 77,80% artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
32,2%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber
– sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.18. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Tasikmadu
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 4 3,2 19,1% 80,9%
Bidan 12 10,5 12,5% 87,5%
Perawat 5 4,3 13,4% 86,6%
Obat 120 105 12,5% 87,5%
Pasien 53.038 59.660 11,1% 88,9%
Askeskin 163 267 21,1% 78,9%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Tasikmadu sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 77,80%.
Hal ini menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 32,2%. Apabila kita
lihat dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya
yang ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah
dokter, bidan dan Perawat sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani.
Sedangkan apabila kita lihat dari sisi output maka jumlah pasien askeskin
yang terlayani baru mencapai 21,1%, Sedangkan untuk pasien umum efisiensi
sudah mencapai 88,9%.
C.8. Puskesmas Colomadu II
Puskesmas Colomadu II mempunyai tingkat efisiensi yang sudah cukup
tinggi yaitu sebesar 77,06% artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
32,94%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap
sumber – sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
62
Tabel 4.19. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Colomadu II
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 2 1,7 15,3% 84,7%
Bidan 6 5,2 13,0% 87,0%
Perawat 5 4 20% 80%
Obat 113 98 13% 87%
Pasien 23004 26339 14,5% 87,3%
Askeskin 175 547 78% 32%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Colomadu sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 77,06%. Hal
ini menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 32,94%. Apabila kita
lihat dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya
yang ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah
dokter, dan bidan sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani, hanya
terjadi 1 unit yang menganggur pada variabel perawat, namun itu masih bisa
ditoleransi.
Sedangkan apabila kita lihat dari sisi output maka, terjadi inefisiensi yang
cukup besar dari sisi pasien askeskin, yaitu masih kurangnya target capaian sebesar
78%. Untuk pasien yang umum, capaiannya sudah mencapai 87,3%. Artinya sudah
cukup efisien.
C.9. Puskesmas Kebakkramat I
Puskesmas Kebakkramat I mempunyai tingkat efisiensi yang sudah cukup
tinggi yaitu sebesar 75,64% artinya telah terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
34,36%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap
sumber – sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
63
Tabel 4.20. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Kebakkramat I
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 2 1,7 13,9% 86,1%
Bidan 6 5,2 13,9% 86,1%
Perawat 9 4 55,6% 44,4%
Obat 128 104,8 18,1% 81,9%
Pasien 25162 28651,2 13,9% 87,8%
Askeskin 338 384,9 13,9% 87,8%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas
Kebakkramat I sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 75,64%.
Hal ini menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 24,34%. Apabila kita
lihat dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya
yang ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah
dokter, dan bidan sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani. Hanya
terjadi inefisiensi yang cukup besar pada variabel perawat, di mana sebenarnya
hanya dibutuhkan 4 perawat dari 9 yang tersedia. Sehingga terjadi inefisiensi
sebesar 44,4%.
Sedangkan apabila kita lihat dari sisi output maka, terjadi inefisiensi yang
relatif kecil dari kedua output yaitu hanya sebesar 13,8%. Artinya sudah cukup
efisien.
C.10. Puskesmas Kerjo
Puskesmas Kerjo mempunyai tingkat efisiensi yang sudah cukup tinggi
yaitu sebesar 86,76% artinya hanya terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
13,24%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap
sumber – sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
64
Tabel 4.21. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Kerjo
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 3 2,8 7,1,% 92,9%
Bidan 5 4,6 7,1% 92,9%
Perawat 7 4 42,9% 57,1%
Obat 125 111,7 10,7% 89,3%
Pasien 30881 33070 7,1% 92,9%
Askeskin 563 602 7,1% 92,9%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas Kerjo
sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 86,76%. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 13,24%. Apabila kita lihat
dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya yang
ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah dokter,
dan bidan sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani. Hanya terjadi
inefisiensi yang cukup besar pada variabel perawat, di mana sebenarnya hanya
dibutuhkan 4 perawat dari 7 yang tersedia. Sehingga terjadi inefisiensi sebesar
42,9%.
Sedangkan apabila kita lihat dari sisi output maka, terjadi inefisiensi yang
relatif kecil dari kedua output yaitu hanya sebesar 7,1%. Artinya sudah cukup
efisien.
C.11. Puskesmas Jaten I
Puskesmas Jaten I mempunyai tingkat efisiensi yang sudah cukup tinggi
yaitu sebesar 93,91% artinya hanya terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
6,09%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber
– sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
65
Tabel 4.22. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Jaten I
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 2 1,9 3,1 % 96,9%
Bidan 5 4,8 3,1% 96,9%
Perawat 4 3,9 3,1 % 96,9%
Obat 108 104,6 3,1% 96,9%
Pasien 23106 27506 19% 84,0%
Askeskin 276 480 42,5% 57,5%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas Jaten I
sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 93,91%. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 6,09%. Apabila kita lihat
dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya yang
ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah dokter,
perawat dan bidan sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani.
Sumber inefisiensi pada Pusekesmas Kerjo justru pada sisi output, di mana
terjadi inefisiensi sebesar 19% untuk pasien umum dan 42,5% untuk pasien yang
askeskin.
C.12. Puskesmas Jenawi
Puskesmas Jenawi mempunyai tingkat efisiensi yang sudah cukup tinggi
yaitu sebesar 95,42% artinya hanya terjadi pemborosan atau in efisiensi sebesar
4,58%. Masing – masing baik input maupun out put menyumbang terhadap sumber
– sumber inefisiensi, seperti terlihat dalam tabel berikut ini :
66
Tabel 4.23. Hasil Perhitungan Efisiensi Variabel Input dan Output
Puskesmas Jenawi
Variabel Actual Target To Gain (%) Achieved (%)
Dokter 2 2 2,3 % 97,7%
Bidan 4 3,9 2,3% 97,7%
Perawat 7 4 42,9 % 57,1%
Obat 112 109,4 2,3% 97,7%
Pasien 10913 26841 45,7% 40,7%
Askeskin 81 416 41,2% 58,8%
Sumber data diolah
Dari hasil analisis tersebut maka bisa diketahui bahwa di Puskesmas Jenawi
sudah mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi yaitu 95,42%. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya terdapat inefisiensi sebesar 4,58%. Apabila kita lihat
dari sisi input, hal ini juga menunjukkan bahwa masing – masing sumber daya yang
ada di Puskesmas tersebut sudah bekerja secara optimal, di mana jumlah dokter,
dan bidan sudah sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani, hanya jumlah
perawat yang ternyata masih belum optimal, dengan jumlah pekerjaan yang ada,
terjadi inefisiensi sebesar 42,9% untuk sisi perawat.
Sumber inefisiensi pada Pusekesmas Jenawi juga terletak pada sisi output,
di mana terjadi inefisiensi sebesar 45,7% untuk pasien umum dan 41,2% untuk
pasien yang menggunakan askeskin.
Untuk Puskesmas yang efisiensi sudah mencapai 100% terdiri atas 9
Puskesmas. Hal ini menunjukkan baik dari sisis input aupun dari sisi output
ternyata sudah mencapai kondisi optimal.
Penelitian mengenai efisiensi pelayanan publik di Puskesmas ini akan bisa
digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah khususnya dari sisi input yaitu
untuk menunjukkan seberapa besar sebenarnya kebutuhan sumber daya manusia
pada tiap – tiap Puskesmas . Sehingga dalam menentukan tambahan pegawai
khususnya PNS adalah dengan mempertimbangkan juga sisi kebutuhan.
Selama ini pemenuhan kebutuhan atas tenaga kerja atau SDM lebih pada
rasio antara jumlah penduduk dengan ketersediaan SDM, namun hal ini perlu juga
dilengkapan dengan seberapa efisien SDM tersebut bekerja dalam melayani
67
costumen ( dalam hal ini pasien ). Kelebihan metode DEA dibandingkan dengan
metode rasio adalah bisa membandingkan variabel – variabel baik input maupun
output secara bersama – sama meskipun terdiri atas lebih dari 2 variabel
Hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan pada unit kerja yang lain,
misalnya kecamatan. Namun untuk saat ini belum bisa terlaksana karena kesulitan
pencarian data di lapangan.
Alat analisis DEA ini bisa menjawab tujuan ketiga dari penelitian ini yaitu
untuk melihat secara lebih dalam berapa sebenarnya efisiensi yang ada di masing –
masing Unit kerja pelayanan publik yang berhubungan langsung dengan
masyarakat pengguna layanan. Hal ini diharapkan akan bisa melengkapi dua
analisis sebelumnya yang menggunakan persepsi masyarakat sebagai dasar
penilaian aspek pelayanan yang ada di unit kerja pemerintah daerah Kabupaten
Karanganyar.
68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Harapan pengguna jasa/ masyarakat diyakini mempunyai peranan yang
besar dalam menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan
pengguna jasa/ masyarakat. Pada dasarnya terdapat hubungan yang erat antara
penentuan kualitas dan kepuasan pengguna jasa/ masyarakat. Dalam
mengevaluasinya, pengguna jasa/ masyarakat akan menggunakan harapannya
sebagai standar atau acuan. Harapan pengguna jasa/ masyarakat dibentuk dan
didasarkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengalaman melakukan kegiatan
yang membutuhkan pelayanan publik di masa lampau, opini teman dan kerabat,
serta informasi dan janji-janji dari pemerintah penyelenggara layanan . Proses
persepsi yang terbentuk menyangkut banyak hal yang mengacu pada kriteria
pelayanan secara normatif yang ada di aturan mengenai standart pelayanan
minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria pelayanan tersebut terdiri atas 7
yaitu kesederhanaan dalam prosedur, kejelasan atau tranaparansi, akurasi dan
jaminan keamanan terhadap hasil layanan, tanggung jawab aparat terhadap proses
dan hasil layanan publik, kelengkapan sarana dan prasarana, keramahan dan
rensposifitas serta kenyamanan dalam pelayanan .
Dalam kegiatan penyediaan barang maupun jasa, khususnya layanan
terhadap masyarakat, kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi
oleh struktur dan perilaku kegiatan pelayanan itu sendiri mulai dari proses sampai
hasil akhir kegiatan itu sendiri. Secara ekonomis, kinerja mempunyai banyak aspek
yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada 3 aspek tujuan
saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi, namun dalam
penelitian ini faktor efisiensi yang akan menjadi pokok bahasan utama.
Kinerja pada perusahaan biasanya diukur pada efisiensi ekonomi yang
merupakan perbandingan antara out put yang dihasilkan dengan input yang
digunakan, atau bisa dikatakan bahwa efisiensi ekonomis akan mencerminkan
alokasi input yang efisien, karena kegiatan pelayanan jasa dianggap selalu
69
beroperasi pada garis batas minimal standart pelayanan atau disebut sebagai
efisiensi secara teknis.
Tujuan penelitian ini sebenarnya bisa dibedakan menajdi 2 yaitu analisis
secara kualitatif yaitu untuk melihat atau menunjukkan bagaimana persepsi
masyarakat terhadap realita hasil layanan yang meraka terima, kemudian melihat
atau mengetahui pelayanan seperti apa yang diharapkan diterima oleh masyarakat
khususnya di masa mendatang dan analisis kuantitaif yaitu untuk mengetahui
tingkat efisiensi pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat penyelenggara
pelayanan.
Dari hasil penelitian mengenai Analisis Efisiensi Kinerja Aparat Pemerintah
dalam Fungsi Pelayanan Publik kepada Masyarakat di Kabupaten Karanganyar ini
bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Persepsi masyarakat terhadap realita atau kondisi nyata pelayanan publik
di kabupaten Karanganyar masih sangat rendah. Di mana rata-rata
ketidakpuasan terhadap hasil layanan mencapai di atas 50%
2. Persepsi masyarakat terhadap harapan atas pelayanan lebih mengacu
pada prioritas apa yang diharapkan dari ketujuh kriteria tersebut. Dan
ternyata dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa pelayanan yang
sangat diharapkan atau dibutuhkan oleh masyarakat adalah pelayanan
yang: transparan, akuntabel, partisipatif, keseimbangan hak, kondisional
serta keseimbangan antara hak pemberi dan penerima layanan.
3. Dilihat dari efisiensi aparat penyelenggara layanan publik yang langsung
berhubungan dengan masyarakat. Studi kasus Puskesmas ternyata
diperoleh bahwa dari 21 Puskesmas, terdapat 9 Puskesmas yang telah
efisien baik dari sisi tehnis maupun ekonomis, 6 Puskesmas yang tingkat
efisiensinya sudah di atas 70% meskipun masih berada di bawah 100% dan
6 Puskesmas yang tingkat efisiensinya masih di bawah 70%. Sumber -
sumber inefisiensi terdiri baik dari sisi input maupun dari sisi output.
B. SARAN
Efisiensi kinerja baik dari sisi tehnis maupun ekonomis merupakan suatu
acuan bagi penentuan kebijakan selanjutnya khususnya dalam pengaturan sumber
70
– sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya yang lain.
Sehingga bisa dilakukan optimalisasi atas berbagai sumber yang ada di pemerintah
daerah. Untuk itu terdapat 3 rekomendasi yang kami siapkan di sini
1. Kaitannya dengan analisis secara kualitatif dengan
mempertimbangkan persepsi masyarakat, maka diperlukan adanya
perbaikan kualitas pelayanan misalnya dengan memberikan
kecerdasan secara emosional dan spriritual di samping kecerdasan
secara interlektual agar proses pelayanan bisa berjalan dengan baik.
2. Diperlukan pemanfaatan sarana – sarana ICT ( Information
Communication and technology ) terkait dengan proses pelayanan yang
dilakukan di pemerintah daerah.
3. Hasil penilaian terhadap efisiensi kinerja Puskesmas bisa menjadi
acuan bagi pengaturan sumber daya – sumber daya untuk
pengembangan pelayanan bagi masyarakat.