Lapkas Ekstra Piramidal
-
Upload
herwinati-1 -
Category
Documents
-
view
76 -
download
18
description
Transcript of Lapkas Ekstra Piramidal
LxAPORAN KASUS
Sindrom esktrapiramidal
Pembimbing: dr. Novita Dewi Sp.A
Oleh:
R R BONO PAZIO (2011730160)
KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI RSIJ SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat yang sangat luas kepada kita
semua. Atas pertolongan dan kekuasaan-Nya yang begitu sempurna, penulis dapat
menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak ini. Shalawat serta salam juga
penulis haturkan ke junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat
manusia dari zaman Jahilliyah menuju zaman yang penuh cahaya bagi umat yang bertaqwa
kepada-Nya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi untuk perbaikan penyajian laporan
kasus ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi khalayak.
Jakarta, Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
LAPORAN KASUS
PEMBAHASAN 11
1. Definisi 11
2. Epidemiologi
3. Etiologi 11
4. Patofisiologi 12
5. Manifestasi Klinis 17
6. Diagnosis 19
7. Penatalaksanaan 22
8. Diagnosa Banding 28
9. Komplikas i
10. Prognosis 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An M A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahi : Jakarta, 5 februari 2002
Umur : 12 tahun 21 kg
Nama ayah : Tn. Z Umur :37 tahun
Pekerjaan ayah : Wiraswasta Pendidikan : SMEA
Nama ibu : Ny. N Umur : 35 tahun
Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMEA
Alamat : Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur
Masuk RS/Pukul : senin 23 februari 2015 pukul 19.25
II. ANAMNESA (Alloanamnesa dengan ibu pasien & autoanamnesis 06/12/ 2014 19.45)
Keluhan Utama
Kaku otot leher 1 jam smrs
Riwayat Penyakit Sekarang
Anak mulai mengalami kaku otot leher 1 jam smrs.kaku masih bisa digerakkan ke satu arah
yaitu arah kanan,masih bisa berbicara walaupun terbata bata.mata dan leher melirik kearah
yang sama.lidah keluar dan terus mengeluarkan air liur,tetapi an masih bisa diajak bicara.
Ibu tidak mengukur suhunya karena tidak memiliki termometer dan anak juga tidak
mengeluhkan demam sebelum nya. tidak ada kaku esktremitas. Ketika di rs Anak tidak
mengalami mual muntah tetapi sebelum nya Anak mengaku mual muntah 3 hari sebelum
masuk rumah sakit lalu dibawa ke klinik dan diberi obat. Setelah minum obat otot leher
dirasakan kaku.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keluhan.
Riwayat Pengobatan dan Alergi
Riwayat pemberian metcloloperamid
Riwayat Penyakit pada Keluarga
Tida ada
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter (±8 kali). Persalinan spontan ditolong
dokter. Bayi langsung menangis dan tidak terdapat cacat bawaan. BBL 3500gr PB 50cm
Riwayat Psikososial
Pasien aktif bermain dengan teman seusia di lingkungan rumah dan sekolah
Riwayat Tumbuh Kembang
Motorik kasar: Usia 6 bulan anak mulai merangkak, usia 10 bulan anak sudah mulai
berjalan.
Motorik halus: Usia 3 bulan sudah memegang gerincingan. Saat ini anak sudah bisa
menggambar dengan jelas.
Bicara: Usia 3 bulan mulai mengoceh. Saat ini anak sudah dapat berbicara lancar.
Sosial: Anak mulai mengenal wajah orangtuanya dan tersenyum usia 3 bulan. Saat ini
anak sudah bermain dengan teman-teman sebayanya.
Riwayat Makanan
Anak diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan, kemudian diberi makanan tambahan
pendamping ASI seperti bubur tim. Asi tetap diberikan hingga usia anak mencapai 2 tahun.
Saat ini anak sudah bisa makan padat, tiga kali sehari tapi porsinya sedikit dibanding
dengan anak seusianya. Makan selingan diberikan seperti buah. Anak sering jajan makanan
ringan, 3-4 kali dalam sehari.
Jenis Imunisasi Jumlah Usia
BCG 1x 0 bln dengan skar 4 mm
DPT 3x 2 bln/ 4 bln/ 6 bln
Polio 4x 0bln/ 2 bln/ 4 bln/ 6 bln
Hepatitis B 3x 0bln/ 1bln/ 6bln
Campak 1x 9bln
Riwayat Imunisasi
Kesan: Imunisasi dasar (PPI) lengkap
Anamnesis Sistem:
SSP : leher kaku disertai mata menoleh kearah kanan dan lidah terus
menjulur
Mata : mata merah (-), mata berair (-), nyeri pada mata (-)
THT : gangguan pendengaran (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-), nyeri
telinga
Kardiovaskular : berdebar-debar (-)
Respirasi : dyspneu
Gastrointestinal : BAB normal, busa, lendir (-), darah (-).
Urogenital : nyeri saat BAK(-), kencing sedikit-sedikit (-)
Endokrin : pembesaran kelenjar di leher (-), kelainan genital disangkal
Muskuloskeletal :gangguan gerak (+), nyeri tekan (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada 06 Desember 2014)
Kesan Umum : TampakSakit sedang
Tanda vital
1. Suhu : 36,1
2. Nadi : 86 kali/menit, teratur, teraba kuat, isi cukup
3. Nafas : 26 kali/menit, cepat, torakal
4. Tekanan darah: 110/70 mmHg
Status Gizi
1. Tinggi badan : 157 cm
2. Berat badan : 19 kg
3. Lingkar kepala: tidak diukur
4. Lingkar lengan atas: tidak diukur
IMT : BB/TB2= 49/2,45 =19,91
Kesimpulan status gizi (NCHS): Gizi baik
Pemeriksaan Khusus
Kulit : tidak ada kelainan .
Kelenjar : Tidak ada pembesaran KGB
Kepala dan leher
1. Bentuk : Normocephal
2. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi rata
3. Mata : Konjungtiva tidak anemis. Sklera tidak ikterik. Pupil isokor.
4. Hidung : Nampak sekret jernih +/+. Bekas perdarahan -/-.
5. Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, tidak tremor
6. Gigi : Tidak karies gigi. Tidak ginggivitis
7. Faring : Hiperemis. Tidak edema
8. Telinga : Normotia. Tidak tampak sekret. Tidak nyeri tekan
9. Leher : Kelenjar getah bening tidak membesar. Kelenjar tiroid tidak
membesar
Dada
1. Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak tampak kelainan
2. Palpasi : Tidak ada fraktur costae. Tidak nyeri tekan.
3. Auskultasi : Bising jantung 1, 2 murni. Gallop negatif. Murmur negatif
Abdomen
1. Inspeksi : datar, tidak tampak venektasi
2. Auskultasi : Peristaltik usus baik, terdengar 8x/menit.
3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
4. Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang abdomen. Nyeri lepas negatif. Hepar dan
lien tidak membesar
Ekstremitas
1. Akral : hangat
2. Otot : Tidak atrofi. Tidak hipertrofi
3. Tulang : Tidak fraktur. Tidak kifosis. Tidak lordosis. Tidak skoliosis
4. Sendi : Tidak edema, tidak ada gangguan pergerakan sendi.
Tungkai
kanan
Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri
Gerakan + + + +
Tonus + + + +
Trofi _ _ _ _
Klonus
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis _ _ _ _
Meningeal sign _ _ _ _
Sensibilitas + + + +
Pemeriksaan saraf : tidak dilakukan Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (E):
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
Darah rutin
Hemaglobin 11,9 mg/dL 11,5-14,5
Leukosit 7,0 10^3/uL 5,0-11,0
Hematokrit 39 % 37-45
Trombosit 250* 10^3/uL 150-400
URIN
V. RESUME
Anak mengalami kaku otot leher 1 jam smrs.kaku otot leher disertai kaku otot wajah
dan mata yang kesatu arah ,yaitu arah kanan terus menerus dan mulu juga sukar
membuka . Suhu tubuh anaknya normal, anak mengalami mual muntah 3 hari smrs dan
dibawa berobat ke klinik .Pada senin sore, anak tiba-tiba mengalami kaku otot leher
wajah dan mulut.. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu: 36,10C, nadi: 86
kali/menit, nafas: 26 kali/menit, tekanan darah:110/70 mmHg; status gizi baik; status
imunisasi lengkap, status tumbuh kembang sesuai usia..
IV. DIAGNOSIS KERJA
EKSTRA PIRAMIDAL
DD : EPILEPSI
V. RENCANA PEMERIKSAAN
1. Hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit (H2TL) setiap dua belas jam
2. test elektrolit ureum kreatinin
`
VI. TERAPI
1. Diazepam 2cc 1 ampul drip
2. Kalsium glukonat 100cc diberikan via infus selama 1 jam
3. Betahistin 12 mg = 3*1
4. Eperison 25 mg = 2*1
5. Dexamethason : 1 cc injeksi
6. Infus RL dimana kebutuhan cairan = 1450 cc+ (12%x1450)= 1624 cc
MIkrodrip= 1 624 cc x 20 tetes = 23 tetes/ menit
24x 60
7. Terapi Non-medikamentosa:
- Banyak minum air putih
- Berikan gizi seimbang (menu makan bervariasi)
8. Kebutuhan kalori usia 13= 2100 kkal, BBI= 49 kg
VII. PROGNOSIS
Vitam : bonam
Fungtionam : bonam
Sanactionam: bonam
LANDASAN TEORI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari
neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi
atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor
dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.
Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga
mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin.
Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis
yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan
pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-
gejala psikosis untuk berkurang atau hilang.
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal
adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di
medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol
postur tubuh
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine,
dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot
skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus
kortikospinal (piramidal).
A. Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan
sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik.
Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi
tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria
muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,
umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang.
Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6
bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson
umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa
muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan
dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya
sebagai berikut
Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai
berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal
Chlorpromazine
Thioridazine
Perphenazine
trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol(metchloperamid
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetapine
Olanzapine
Aripiprazole
150-1600
100-900
8-48
5-60
5-60
2-100
2-6
25-100
75-100
200-1600
2-9
50-400
10-20
10-20
++
+
+++
+++
+++
++++
++
-
+
+
+
+
+
+
D. PATOFISIOLOGI
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower
motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper
motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis
. Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada
dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu.
Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang
membentuk inti motorik saraf kranial dan motor neuron dikornu anterius medula
spinalis.
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai
berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus
dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai
kapsula interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan
kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di
motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian
dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral
juga.
Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut
kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral
yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak
menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis
ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis
ventralis.
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,
serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan yaitu area 4, area 6 dan area 8.
Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar
yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima
tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3
sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :
hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus
hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus
hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.
Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus
striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan
bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena
komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada
hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit
striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan
stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan
yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya
sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-
subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada
pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada
sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi
dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni
antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2
dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik
sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik
tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia
basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana efek
dari obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur dopamin dalam
otak :
Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi mengatur
perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamin berlebih.
Dengan jalur ini ‘dimatikan’ maka diharapkan delusi dan halusinasi dapat
dihilangkan.
Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin pada jalur
ini dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang
muncul serupa dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced
Parkinsonism. Oleh karena jalur nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem
ekstrapiramidal dari sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor
dopamin juga disebut reaksi ekstrapiramidal.
Jalur dopamin mesokortikal
Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin pada jalur
ini akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis, yang disebut
neuroleptic-induced deficit syndrome.
Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin
pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin sehingga
menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut galaktorea.
E. GEJALA KLINIS
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem
ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di
target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau
reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan
sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali
traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Reaksi distonia akut
2. Tardive diskinesia
3. Akatisia
4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)
1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet
yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya
menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling
sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,
bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap
badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh).
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak
diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan
dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada
kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.
Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama
perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki, pada
pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi
medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol). Walaupun onset
seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam dapat terjadi, seringkali
keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan. Kontraksi
distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, distonia laring
dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati. Otot-otot yang
sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada
seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia
glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga
sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya
yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang
juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan
dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam mekanisme
homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan penyebab utama
distonia.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan
dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara
permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM
IV adalah sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang
tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan
dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan
untuk mengobati gejala ekstrapiramidal)
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang
berhubungan dengan medikasi neuroleptik :
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh
(misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-
faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar
(disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari
setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi
neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk
mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat
antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan
mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda
bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat
berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi
neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis
(misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau
pemberian antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi
neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena
kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului
pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis
fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa
adanya perubahan medikasi.
Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan
antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga
dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan
penyebab gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.
Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg benztropine
IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi.
Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepin
(contohnya 1 mg lorazepam IM/IV) harus diberikan.
Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diberikan 4
mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg lorazepam, diberikan
perlahan melalui jalur IV.
Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah
memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (laki-laki
muda yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis diberikan
selama 4-8 minggu dan selanjutnya diturunkan perlahan selama periode 1-2
minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan
terapi profilaksis.
2. Tardive Diskinesia
Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal,
gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik
memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas. Ini merupakan efek yang
tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik
yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita
tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut
walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi
bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang
berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien
memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat
melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas dan
makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif
atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia.
Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan
umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika
mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington, Khorea
Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat
(contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive
diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine
pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom
Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak
mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak
terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat
beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah
terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan
Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang
mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.
3. Akatisia
Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan
terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,
terutama pada populasi pasien lebih muda. Manifestasi berupa keadaan gelisah,
gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot.
Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang
panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.
Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya
menjadi cemas atau iritabel, juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.
Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat
disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia
dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman
yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari
akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang
ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi
setiap gejala objektif akatisia.
Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan
pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang
dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan
pasien.
4. Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam
setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah
pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik
melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron
dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit
Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko
tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.
Manifestasinya meliputi berikut :
Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan,
penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan
penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada
bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
negative skizofrenia.
Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil.
Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai
“sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia,
tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk
mengenai rahang daripada lidah dan responnya terhadap medikasi
antikolinergik.
Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat
ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan
hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel
type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau
sendi yang terkena.
Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan
terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para
pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal tersebut
disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan asetilkolin pada jalur
dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi
postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan
asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat
dopamin sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.
Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan antikolinergik.
Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan antikolinergik untuk mencegah
adanya efek samping ekstrapiramidal.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan
komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan
kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Selain dengan medikasi anti-EPS,
dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-
psikosis dengan jenis atipikal seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-
psikosis atipikal ini hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya
terhadap ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik
medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai
menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti
difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per
hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap
minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis
minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien
yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek
menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin
berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami
sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis
tinggi.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik
medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala.
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-
obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera
mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila
reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih
praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan
benztropin 2 mg IM.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan
pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia
ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya.
Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk
tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan
Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.
G. DIAGNOSIS BANDING
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:
1.Sindroma putus obat
2.Parkinson disease
3.Tetanus
4.Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5.Distonia primer
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit
Hutington, Khorea Sindenham
H. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila
gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan
sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga
distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena,
kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama
lebih dari 10 tahun.
I. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat
menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat
menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri
yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan
mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine
dapat mengeksaserbasi gejala psikotik
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh
penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur
striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya
gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya
terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive
dyskinesia.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi
profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik,
kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil
(THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat
umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia
diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti
klonazepam dan lorazepam.
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki
prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala
yang irreversibel hingga kematian.
Penggunaan obat-obat antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat
menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan terus-menerus relaps.
Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun tanpa obat
antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya.
Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal akibat
obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur mengkonsumsi obat antipsikosis
dan diharapkan dapat meningkatkan kesembuhan dari pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, dkk.Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol.2. Jakarta : EGC
2. Soedarmo, Sumarmo S.Poorwo, dkk.2008.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
kedua.jakarta : Balai penerbit IDAI
3. Kemenkes RI. 2005. Di download dari www.depkes.go.id/downloads/Tata
%20Laksana%20DBD.pdf pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 23.00 WIB
4. Gama, Herry, dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman diagnosis dan Terapi edisi ke
3 . Jakarta
5. Hamzah, Emelia Suroto, dkk. 2008.Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
6. Roespandi, Hanny, dkk. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit.jakarta : Departemen Kesehatan RI