Lapkas BS Stroke Iskemik Hemoragik

38
STROKE ISKEMIK DENGAN TRANFORMASI HEMORAGIK DISUSUN OLEH: QARINA HASYALA PUTRI 080100367 DIAN PRIMADIA PUTRI 100100013 AULIA SUCI MAURINDA 100100034 ROMULUS P. SIANIPAR 100100180 ACHMAD RIFQY RUPAWAN 100100225 PEMBIMBING: Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes, Sp.BS DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Transcript of Lapkas BS Stroke Iskemik Hemoragik

STROKE ISKEMIK DENGAN

TRANFORMASI HEMORAGIK

DISUSUN OLEH:

QARINA HASYALA PUTRI 080100367

DIAN PRIMADIA PUTRI 100100013

AULIA SUCI MAURINDA 100100034

ROMULUS P. SIANIPAR 100100180

ACHMAD RIFQY RUPAWAN 100100225

PEMBIMBING:

Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes, Sp.BS

DEPARTEMEN BEDAH SARAF

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena atas rahmat dan kurnia-Nya , penulisan laporan kasus dengan judul Stroke

Iskemik dengan Transformasi Hemoragik dapat diselesaikan. Makalah ini

diajukan untuk melengkapi tugas pada Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah

Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Meskipun penulisan makalah ini banyak mengalami hambatan, kesulitan

dan kendala, namun karena adanya bimbingan, petunjuk, nasihat dan motivasi dari

berbagai pihak, penulisan makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Namun demikian, karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan,

kepustakaan dan waktu, laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

ini, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk

menyempurnakan makalah ini.

Medan,15 Maret 2015

Penulis

i

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang...........................................................................................1

1.2. Tujuan........................................................................................................1

1.3. Manfaat......................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi.....................................................................................................27

2.2. Epidemiologi............................................................................................27

2.3. Patofisiologi.............................................................................................29

2.4. Klasifikasi................................................................................................31

2.5. Manifestasi Klinik....................................................................................31

2.6. Prosedur Diagnostik.................................................................................32

2.8. Diagnosis Banding...................................................................................36

2.9. Penatalaksanaan.......................................................................................36

2.10.Komplikasi..............................................................................................40

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................46

ii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke adalah tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fokal (atau

global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat

menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Gangguan

peredaran darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh

darah di otak. Otak seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan jadi

terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf

(neuron). Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).

Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik, yang dapat disebabkan oleh thrombosis

dan emboli. 20% sisanya adalah stroke hemoragik yang disebabkan oleh pendarahan

intraserebrum hipertensif, perdarahan subaraknoid akibat pecahnya aneurisma ataupun

rupturnya malformasi arteriovena (MAV). Faktor risiko dari stroke adalah penyakit

jantung aterosklerotik, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi

kronik. (Prince, 1995)

Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung

dan kanker . Menurut survey tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di RS

pemerintah seluruh Indonesia. Diperkirakan sejumlah 500.000 kasus stroke pada tahun

tersebut. Dari jumlah tersebut sepertiganya dapat pulih kembali, sepertiga lainnya

mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiganya sisanya

mengalami gangguan fungsional berat. (Depkes RI, 2004)

Transformasi hemoragik merupakan salah satu komplikasi yang

ditimbulkan oleh stroke iskemik dan dapat memperburuk prognosis

penderita.Transformasi hemoragik dapat didefinisikan baik secara klinis maupun

radiologis. Transformasi hemoragik mencakup suatu spektrum luas perdarahan

sekunder, yang berkisar mulai dari perdarahan petekie area kecil sampai

hematoma masif yang memenuhi ruang.

1

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah memahami aspek teori dari stroke

iskemik serta mengaplikasikan pada kasus di lapangan. Penyusunan laporan kasus ini

sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan program pendidikan profesi dokter

(P3D) di Departemen Bedah Saraf RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis

maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk mengintegrasikan teori yang ada

dengan aplikasi kasus yang dijumpai di lapangan.

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Berdasarkan defenisi WHO (World Health Organization), stroke adalah

gangguan fungsi serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi

mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau meninggal disebabkan

oleh gangguan pembuluh darah (WHO, 2006).

Berdasarkan Bustan, stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut

yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak terjadi secara mendadak

dan menimbulkan gejala atau tanda sesuai dengan daerah otak yang terganggu

(Bustan 2007, dalam Nastiti 2012).

Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan

otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu

kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003).

Definisi menurut World Health Organization (2006) tersebut

mengeksklusikan:

1) Transient Ischemic Attack (TIA), dimana juga merupakan gejala

neurologis fokal tetapi berlangsung kurang dari 24 jam

2) Perdarahan subdural

3) Perdarahan epidural

4) Keracunan

5) Gejala-gejala yang disebabkan trauma

2.2 EPIDEMIOLOGI

3

Menurut WHO (2011), penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah

pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi

akibat stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian.

Angka kematian akibat stroke lebih tinggi pada wanita (11%) dari pada pria

(8,4%) pada tahun 2004.

Insiden stroke pada pria lebih tinggi daripada wanita, pada usia muda,

namun tidak pada usia tua. Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada

kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada

kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85 tahun ( Lloyd

dkk, 2009).

Di Indonesia, berdasarkan penelitian Machfoed, di peroleh hasil bahwa

dari 1.397 pasien stroke terdapat 808 pria, 589 wanita, dan 1001 orang dengan

stroke iskemik (Machfoed , 2003).

Insidensi terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per

tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini

diperkirakan akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050 (Becker,

dkk, 2010). Sedangkan di Indonesia dari data Departemen Kesehatan R.I. (2009),

prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki

prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000

penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk). Di

Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada, tetapi dari data sporadik

di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke, yang seiring

dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul

Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

2.3 FAKTOR RISIKO

Menurut World Health Organization (WHO, 2006), faktor resiko stroke

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1) Faktor risiko mayor

4

a) Bisa dimodifikasi, meliputi:

(1) Peningkatan tekanan darah

(2) Merokok

(3) Aktivitas fisik yang kurang

(4) Diet (konsumsi sayuran dan buah-buahan yang kurang)

(5) Konsumsi alkohol yang berlebih

(6) Kelebihan berat badan

(7) Diabetes

b) Lingkungan, meliputi:

(1) Perokok pasif

(2) Akses terhadap terapi kesehatan

c) Tidak bisa dimodifikasi, meliputi:

(1) Umur (peningkatan resiko pada usia lanjut)

(2) Jenis kelamin(peningkatan resiko pada jenis kelamin laki-laki)

(3) Genetik

2) Faktor risiko minor

Pada negara berkembang, diabetes mellitus, fibrilasi atrium, dan beberapa

penyakit jantung lainnya merupakan faktor resiko stroke iskemik yang bisa

dimodifikasi. Hiperkolesterolemia juga merupakan faktor resiko kejadian stroke.

2.4 PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak adalah 50–

60 ml per 100 gram otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang

5

kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram adalah 700-840 ml per menit. Dari

jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan

satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Daerah otak tidak

berfungsi bisa karena secara tiba-tiba tidak menerima suplai darah lagi karena

arteri yang memperdarahi daerah tersebut putus atau tersumbat. Penyumbatan itu

bisa terjadi secara mendadak atau secara berangsur-angsur (Mardjono, 2008).

Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan penurunan aliran

darah ke regio otak sesuai dengan kebutuhannya. Penurunan aliran ini akan

berpengaruh pada aliran darah kolateral dan ini sangat tergantung pada anatomi

vaskular individual dan lokasi oklusi. Apabila aliran darah serebral tidak ada sama

sekali, akan terjadi kematian pada jaringan otak dalam 4 hingga 10 menit. Apabila

aliran darah ke otak kurang dari 16-18 ml/ 100 gram jaringan otak per menit maka

akan menyebabkan infark dalam satu jam. Apabila kurang dari 20 ml/ 100 gram

jaringan otak per menit menyebabkan iskemik tanpa infark kecuali jika

berlangsung selama beberapa jam atau hari. Jika aliran darah dikembalikan

dengan cepat sesuai dengan kebutuhannya, sehingga jaringan otak dapat pulih

penuh dan simptom pada pasien hanya transien dan ini disebut transient ischemic

attack (TIA). Tanda dan gejala TIA biasanya berlangsung dalam 5-15 menit tetapi

secara defenisi harus kurang dari 24 jam.

Kematian sel pada otak terjadi melalui dua jalur yaitu: (1) jalur nekrosis di

mana pemecahan sitoskletal seluler berlangsung cepat yang berakibat pada

kegagalan energi sel, dan (2) jalur apoptosis di mana sel terprogram untuk mati.

Iskemik menyebabkan nekrosis karena sel-sel neuron mengalami kekurangan

glukosa yang berakibat pada kegagalan mitokondria dalam menghasilkan ATP.

Tanpa ATP, pompa ion pada membran akan berhenti berfungsi dan neuron

mengalami depolarisasi dan disertai dengan peningkatan kalsium intraselular.

Depolarisasi selular juga menyebabkan pelepasan glutamat dari terminal sinapsis

(Kasper, 2005). Di samping itu, penurunan ATP akan menyebabkan penumpukan

asam laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis selular (Ropper, 2005). Radikal

bebas juga dihasilkan oleh degradasi membran lipid dan mitokondria yang

mengalami disfungsi. Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan pada membran

6

dan fungsi vital lain sel. Di samping itu, demam akan memperparah iskemik

begitu juga dengan hiperglikemia, oleh karena itu demam dan hiperglikemia harus

diatasi dan jika bisa dicegah (Kasper, 2005). Penurunan suhu setidaknya 2 – 3 oC

dapat menurunkan kebutuhan metabolik neuron dan meningkatkan toleransi

terhadap hipoksia sebesar 25-30 % (Ropper, 2005).

2.5 KLASIFIKASI

Stroke iskemik disebabkan berkurangnya perfusi pada jaringan otak.

Iskemik pada otak dapat disebabkan oleh tiga mekanisme yaitu thrombosis,

emboli, dan pengurangan perfusi sistemik umum. Pengurangan perfusi sistemik

umum disebabkan oleh adanya kegeglan perfusi secara global yang dapat dipicu

oleh cardiac arrest, shock, dan hipotensi berat. Sementara emboli dan thrombosis

menyebabkan iskemik cerebral focal. (Cotran, 2010)

Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST)

mengklasifikasikan stroke sesuai dengan profil faktor resikonya, gambaran klinik,

7

penemuan hasil imaging otak (CT-scan, MRI) gambaran kardiologis, gambaran

ganda arteri ekstrakranial, arteriografi, dan pemeriksaan laboratorium stroke

iskemik dibagi menjadi :

1. Arteroskleoris arteri besar (embolus/ thrombosis)*

2. Kardioemboli (resiko tinggi/ resiko sedang)*

3. Oklusi arteri kecil (lacunar)

4. Stroke dari penyebab lain yang menentukan

5. Stroke akibat penyebab lain yang tidak menentukan

a. Ada 2 atau lebih penyebab yang teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi

c. Evaluasi tidak komplet (TOAST)

2.6 MANIFESTASI KLINIK

Secara umum gejala yang timbul dari stroke iskemi adalah kelemahan

pada anggota gerak (hemiparesis, mono paresis, atau kadang-kadang

quadriparesis), ganguan sensoris atau hemisensoris,hilang pengelihatan sebelah

atau kedua mata, gangguan lapangan pandang, pandangan berganda (diploplia),

disartria, wajah yang tidak simetris, ataxia, vertigo, afasia, dan penurunan

kesadaran (Jauch, 2014).

Sementara berdasarkan letak lesi dan jenis stroke gejala yang muncul

dapat bervariasi lokasinya. Stroke akibat thrombus pada arteri besar cenderung

menyebabkan gangguan kortikal. Gangguan kortikal dapat berupa hemiplegia,

afasia, unilateral neglect,dan gejala lainnya. Selain gejala kortikal, gangguan

fungsi batang otak dan gangguan serebelum juga dapat ditemui (TOAST).

Lacunae terletak pada bagian dalam central hemisfer white matter.Pada

stroke iskemik lacunar gejala yang dapat ditemui adalah pure motorhemiplegia,

pure sensory stroke, clumsy hand-dysartria, ipsilateral hemiparesis-ataxia.

Apabila lesi terjadi pada kapsula interna dan corona radiate akan terjadi pure

motor hemiplegia yang bersifat kontalateral lesi pada wajah, tangan, dan kaki

(Ropper, 2009).

8

2.7 PROSEDUR DIAGNOSTIK

1. Fisik Diagnostik

Gejala defisit neurologik yang sudah jelas mudah dikenali. Terutama

hemiparesis yang sudah jelas, setiap dokter pasti mengenalnya. Juga tanda-

tanda yang mengiringi hemiparesis mudah diingat. Adapun tanda-tanda

tersebut, yang dinamakan tanda-tanda gangguan upper motor neuron

(UMN):

Tonus otot pada sisi yang lumpuh meningkat.

Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh

Refleks patologik positif pada sisi yang lumpuh.

Manifestasi stroke yang paling ringan sering berupa gangguan

ketangkasan gerakan. Maka dari itu, susunan periksaan motorik harus sebagai

berikut:

a. Pemeriksaan ketangkasan gerakan

Adakan observasi sewaktu orang sakit berjalan. Tungkai yang sudah

memperlihatkan gaya jalan sirkumduksi masih dapat bertenaga besar

jika dinilai pada waktu orang sakit berbaring dan disuruh menendang.

Untuk menilai lengan sewaktu orang sakit berjalan harus diperhatikan

cara orang sakit berlenggan. Sering kali dialami penulis, bahwa tenaga

lengan untuk fleksi, ekstensi lengan di siku, dan tenaga tangan sewaktu

mengepal masih normal, tetapi cara orang sakit melenggankan lengan

sewaktu berjalan sudah tampak kurang lincah.

Konfirmasi selanjutnya dapat diberikan oleh tes di mana orang sakit

diperintahkan untuk membuka dan menutup kancing bajunya dan

kemudian melepas dan memakai sandalnya. Gangguan ringan

ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai dengan cara

tersebut di atas.

b. Penilaian tonus otot

Penilaian tonus otot dilakukan dengan jalan menggerak-gerakkan otot

secara pasif pada sendi siku/ lutut. Adanya hipertonia ringan sesisi

9

tidak akan diketahui bila mana penilaian tonus otot dilakukan pada

anggota secara sendiri-sendiri. Tetapi dengan menggerakkan kedua

lengan secara simultan namun berselingan dalam hal fleksi dan

ekstensi, perbedaan ringan derajat tonus otot antara kedua lengan dapat

diketahui. Pada penilaian tonus otot tungkai dengan cara simultan

diperlukan bantuan orang lain. Perawat dapat melakukan gerakan

fleksi dan ekstensi tungakai kiri penderita sedangkan dokter

melakukan tindakan yang serupa pada sisi kanan dan menilai tonus

tungkai kanan. Kemudian perawat berganti tempat dan menggerakkan

tungkai kanan dan dokter menilai tonus tungkai kiri orang sakit.

c. Penilaian refleks tendon

Hiper-refleksia pada sisi hemiparetik tidak selalu dijumpai. Jika

terdapat lesi di tingkat korteks, maka beberapa hari sampai minggu

setelah hemiparesis menjadi kenyataan hiper-refleksia ada kalanya

masih belum didapati. Juga dapat penderita DM yang mengidap stroke

tidak didapat hiper-refleksia tendon lutut, walaupun pada umumnya

masih terdapat hiper-refleksia tendon bisep. Dalam hal itu, kedua

refleks tendon lutut hilang karena neuropatia diabetika yang sudah ada

jauh sebelum orang sakit mendapatkan hemiparesis.

Kecermatan dalam penilaian refleks tendon ditentukan oleh teknik

membangkitkan releks tendon. Sering dilupakan bahwa penilaian

refleks tendon bersifat penilaian banding. Maka sikap anggota gerak

kedua sisi harus sama dan pengetukan tendon sebagai stimulasi harus

berintensitas yang sama pula apabila dikehendaki hasil perbandingan

yang bidsa dipercaya.

d. Refleks patologik

Pada sisi hemiparetik, dapat dijumpai refleks patologik. Refleks

patologik yang dapat dibangkitkan pada tangan ialah: refleks Tromner-

Hoffmann, Leri dan Mayer. Refleks Tromner-Hoffmann yang positif

tidak selalu menunjukkan pada gangguan jaras piramidalis. Pada

10

orang-orang sehat pun dapat dijumpai refleks Tromner-Hoffmann yang

positif.

Refleks patologik yang dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinski,

Chadock, Oppenheim, Gordon, Schaefer, Gonda. Bila refleks Babinski

dan chadock sudah terbukti ada maka tidak perlu untuk melakukan

tindakan pemeriksaan untuk membangkitkan refleks patologik lainnya.

Refleks Babinski dan Chadock merupakan refleks yang dapat

dipercaya penuh (Sidharta, 2008).

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang penting untuk mendiagnosis secara tepat stroke

dan subtipenya, untuk menidentifikasi penyebaba utamanya dan penyakit

terkait lain, untuk menentukan terapi dan strategi pengelolaan terbaik,

serta untuk memantau kemajuan pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan

akan berbeda dari pasien ke pasien.

a. CT dan MRI

Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe dari sroke

adalah Computerised Topography (CT) dan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) pada kepala. Mesin CT dan MRI masing-masing

merekam citra sinar X atau resonansi magnet. Setiap citra individual

memperlihatkan irisan melintang otak, mengungkapkan daerah

abnormal yang ada di dalamnya.

Pada CT, pasien diberi sinar X dalam dosis sangat rendah yang

digunakan menembus kepala. Sinar X yang digunakan serupa dengan

pada pemeriksaan dada, tetapi dengan panjang ke radiasi yang jauh

lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan waktu 15 – 20 menit, tidak

nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal keculi pada wanita

hamil. CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi

kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada

tahap paling awal. CT dapat memberi hasil negatif-semu (yaitu, tidak

memperlihatkan adanya kerusakan) hingga separuh dari semua kasus

stroke iskemik.

11

Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk menghasilkan

dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet dan

nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di

dalam jaringan kepala. Pemindaian dengan MRI biasanya berlangsung

sekitar 30 menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu

jantung atau alat logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu, orang

bertubuh besar mungkin tidak dapat masuk ke dalam mesin MRI,

sementara sebagian lagi merasakan ketakutan dalam ruangan tertutup

dan tidak tahan menjalani prosedur meski sudah mendapat obat

penenang. Pemeriksaan MRI aman, tidak invasif, dan tidak

menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam

mendeteksi stroke iskemik, bahkan pad stadium dini. Alat ini kurang

peka dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium

ringan.

b. Ultrasonografi

Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan menggunakan gelombang

suara untuk menciptakan citra. Pendaian ini digunakan untuk mencari

kemungkinan penyempitan arteri atau pembekuan di arteri utama.

Prosedur ini aman, tidak menimbulkan nyeri, dan relatif cepat (sekitar

20-30 menit).

c. Angiografi otak

Angiografi otak adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam

citra sinar-X kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X

kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di kepala

dan leher. Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat

mengenai arteri dan vena dan digunakan untuk mencari penyempitan

atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma. Namun, tindakan

ini memiliki resiko kematian pada satu dari setiap 200 orang yang

diperiksa.

d. Pungsi lumbal

12

Pungsi lumbal kadang dilakukan jika diagnosa stroke belum jelas.

Sebagai contoh, tindakan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan

infeksi susunan saraf pusat serta cara ini juga dilakukan untuk

mendiagnosa perdarahan subaraknoid. Prosedur ini memerlukan waktu

sekitar 10-20 menit dan dilakukan di bawah pembiusan lokal.

e. EKG

EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung

atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur

EKG biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman

dan tidak menimbulkan nyeri.

f. Foto toraks

Foto sinar-X toraks adalah proses standar yang digunakan untuk

mencari kelainan dada, termasuk penyakit jantung dan paru. Bagi

pasien stroke, cara ini juga dapat memberikan petunjuk mengenai

penyebab setiap perburukan keadaan pasien. Prosedur ini cepat dan

tidak menimbulkan nyeri, tetapi memerlukan kehati-hatian khusus

untuk melindungi pasien dari pajanan radiasi yang tidak diperlukan

(Feigin, 2009).

g. Pemeriksaan darah dan urine

Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab

stroke dan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke.

Pemeriksaan yang direkomendasikan:

Hitung darah lengkap untuk melihat penyebab stroke seperti

trombositosis, trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle

cell disease).

Laju endap darah untuk medeteksi terjadinya giant cell arteritis

atau vaskulitis lainnya.

Serologi untuk sifilis.

Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau

hiperglikemia.

Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke (Greenberg, 2002).

13

Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk

mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal (Feigin, 2009).

2.8 DIAGNOSA BANDING

Bell Palsy

Brain Neoplasms

Conversion Disorder in Emergency Medicine

Hemorrhagic Stroke

Hypoglycemia

Migraine Headache

Seizure Assessment in the Emergency Department

Emergent Management of Subarachnoid Hemorrhage

Syncope

Transient Global Amnesia (Jauch, 2014)

2.9 PENATALAKSANAAN

Obat antiplatelet telah direkomendasikan untuk pengobatan stroke dan

transient ischemic attack untuk mengurangi resiko stroke berulang dan kejadian

vaskular lainnya. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan pemberian obat

antiplatelet sebagai pilihan dapat digunakan aspirin, clopidogrel, dipyridamole

dengan aspirin. Aspirin merupakan obat antiplatelet yang Pertama digunakan

untuk mencegah stroke. Akan tetapi dua dekade terakhir beberapa jenis obat

antiplatelet lainnya dan kombinasi antara obat antiplatelet telah dievaluasi untuk

digunakan dalam memperbaiki keefektifan dan keamanan dari penggunaan

aspirin.

Beberapa percobaan penelitian telah dilakukan untuk menilai efikasi dari

pengobatan dengan antiplatelet, terutama penggunaan aspirin untuk mencegah

kejadian vaskular. The Antiplatelet Trialists Collaboration (APTC) termasuk

dalam meta-analisis untuk menentukan efek dari obat antiplatelet dengan berbagai

jenis obat antiplatelet pada populasi dengan resiko vaskular. Berdasarkan 17

percobaan penelitian ditemukan pengobatan dengan antiplatelet mengurangi

14

kejadian stroke, infark miokard dan kematian akibat gangguan vaskular (Sacco

dkk, 2000).

1. ASPIRIN

1.1. Kimia

Aspirin merupakan prototipe dari prostaglandin tromboxane A2 yang

memproduksi arakhidonat sehingga mengakibatkan perubahan bentuk dari platelet

untuk mengeluarkan granul dan melakukan agregasi (Katzung, 2003).

1.1.1. Farmakokinetik

Aspirin diabsorbsi sebanyak 100 % dengan bioavailabilitasnya 68 %.

Waktu paruh aspirin selama 15 menit dan dieliminasi di ginjal bergantung pada

pH. Ikatan protein plasma 50-80 %, makin tinggi dosis, makin rendah ikatan

protein plasma (Sigit, J.I, 2003).

1.1.2. Cara Kerja

Aspirin menghambat sintesis tromboxane A2 (TXA2) di dalam trombosit

dan prostacyclin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara

ireversibel enzim siklooksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi

karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut (Katzung, 2003), (Blann, A.D dkk,

2003), (Dewoto, 2007). Dikarenakan platelet tidak dapat melakukan regenerasi

terhadap siklo-oksigenase, efek daripada aspirin sepanjang jangka hidup dari

platelet (secara umum selama 10 hari) (Katzung, 2003), (Blann, A.D dkk , 2003).

1.1.3. Penggunaan dan Dosis Terapeutik

Aspirin merupakan satu-satunya obat antiplatelet yang diberikan pada

stroke iskemik akut dan direkomendasikan untuk diberikan segera dengan dosis

160-325 mg per hari (Lip, G.Y.H dkk, 2003). Sedangkan Food and Drug

Administration (FDA) menyetujui pemberian aspirin 325 mg per hari untuk

profilaksis primer infark miokard (Katzung, 2003). Dosis yang digunakan pada

15

beberapa percobaan klinis bervariasi, dimulai dari dosis kurang dari 50 mg sampai

>1200 mg per hari (Blann, A.D dkk, 2003).

Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai

akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Dosis yang lebih tinggi selain

meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan) juga menjadi kurang efektif karena

selain menghambat TXA2 juga menghambat pembentukan prostasiklin (Dewoto,

2007).

1.1.4. Efek Samping

Efek samping dari penggunaan aspirin adalah rasa tidak enak di perut,

mual dan perdarahan saluran cerna, ruam kulit, purpura dan alopesia (Blann, A.D

dkk, 2003), (Dewoto, 2007).

1.1.5. Kontraindikasi

Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi menjadi dua yaitu absolut pada

kondisi ulkus gastrointestinal yang aktif, hipersensitivitas dan trombositopenia.

Sedangkan yang relatif yaitu adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit

dengan perdarahan dan pemberian warfarin (Blann, A.D dkk, 2003).

2. CILOSTAZOL

2.1. Kimia

Cilostazol merupakan 6-[4-(1-cyclohexyl-1H-tetrazol-5-yl)butoxy]-3, 4-

dihydro-2-(1H)-quinolinone dapat meningkatkan siklik AMP intraselular dengan

menghambat hidrolisis phospodiesterase tipe IIII (Lee dkk, 2003).

2.2. Farmakokinetik

Cilostazol secara cepat diabsorbsi dan mencapai puncak konsentrasi

plasma dalam waktu 2,4 jam setelah pemberian secara oral. Dan kebanyakan

cilostazol berikatan dengan protein 95-98%, yang paling utama adalah albumin.

16

Berdasarkan studi in vitro pada sitokrom P450, cilostazol di metabolisme di hati

melalui sitokrom P450. (Yoo dkk, 2010).

2.3. Cara Kerja

Cilostazol menghambat phospodiesterase 3, meningkatkan konsentrasi

cAMP dan akibatnya adalah menghambat agregasi platelet. Obat ini juga memiliki

efek vasodilator yang menghambat proliferasi otot polos vaskular dan melindungi

dinding vaskular serta endothelium (Shinohara dkk, 2010). Dan yang terbaru

cilostazol juga menghambat lipopolisakarida yang dapat menginduksi apoptosis

pada sel endothelium. Berdasarkan hasil observasi cilostazol memiliki efek

neuroproteksi ( Lee dkk, 2003

2.4. Penggunaan Dosis dan Terapeutik

Pemberian cilostazol yang direkomendasikan adalah 100 mg sebanyak dua

kali sehari atau 50 mg sebanyak dua kali sehari. Pasien biasanya respon selama

dua atau empat minggu setelah pemberian terapi (Lee dkk, 2003) (Katzung,

2003).

2.5. Efek Samping

Efek samping yang muncul adalah nyeri kepala, dizzines dan takikardia

(Furie, 2010).

2.6. Kontraindikasi

Pada kondisi gagal jantung, kelainan hemostasis atau pasien yang

mengalami perdarahan seperti perdarahan lambung dan perdarahan intrakranial

(Lee dkk , 2003).

3. CLOPIDOGREL

3.1. Kimia

Clopidogrel merupakan turunan dari derivat thienopyridine yang

menghambat agregasi platelet (Katzung, 2003).

17

3.2. Farmakokinetik

Clopidogrel dengan waktu paruh obat selama 8 jam dan biasanya

dieliminasi melalui feses atau ginjal (Sigit, J.I, 2003).

3.3. Cara Kerja

Clopidogrel secara kompetitif dan ireversibel menghambat adenosine

diphospate (ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine diphosphate yang berikatan dengan

PY1 reseptor menginduksi perubahan ukuran platelet dan kelemahan serta

agregasi platelet yang sementara (Nguyen, 2005). Tidak seperti aspirin obat ini

tidak memiliki efek terhadap metabolisme prostaglandin (Katzung, 2003).

3.4. Penggunaan Dosis dan Terapeutik

Pada beberapa percobaan dilaporkan efikasi penggunaan clopidogrel

dalam pencegahan transient ischemic attack, stroke dan unstable angina pectoris.

Efek antithrombotik dari clopidogrel tergantung kepada dosis, didalam 5 jam

setelah pemberian secara oral dosis awal clopidogrel 300 mg, aktivitas platelet

sebanyak 80% dapat dihambat. Dosis 75 mg merupakan maintenance dose ,

dimana dapat mencapai inhibisi platelet maksimum. Durasi efek antiplatelet 7-10

hari (Katzung, 2003).

3.5. Efek Samping

Memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan ticlopidine

yaitu supresi sumsum tulang belakang yaitu neutropenia (Katzung, 2003) (Blann,

A.D. dkk, 2003) dan thrombotic thrombocytopenia purpura pada beberapa kasus

(Katzung, 2003).

3.6. Kontraindikasi

Clopidogrel kontraindikasi diberikan pada gangguan hati berat,

kecenderungan perdarahan dan pada wanita hamil (Sigit, J.I, 2003).

3.10 KOMPLIKASI

18

1.Komplikasi Medis Umum

DVT

Infeksi sistemik

Gangguan Neuropsikiatri

2. Komplikasi Neurologis

Edema Serebral

Peningkatan Tekanan Intrakranial

Kejang (Widyanto, 2000)

3. Transformasi Hemoragik

Transformasi hemoragik merupakan salah satu komplikasi yang

ditimbulkan oleh stroke iskemik dan dapat memperburuk prognosis

penderita.Transformasi hemoragik dapat didefinisikan baik secara klinis

maupun radiologis. Transformasi hemoragik mencakup suatu spektrum luas

perdarahan sekunder, yang berkisar mulai dari perdarahan petekie area kecil

sampai hematoma masif yang memenuhi ruang.

Perdarahan di area infark iskemik terjadi apabila darah

mengalami ekstravasasi melalui dinding pembuluh darah yang cedera oleh

iskemia. Mekanisme stroke kardioembolik, infark besar, oklusi batang arteri

serebral tengah, tidak adanya aliran kolateral, hiperglikemia, dan

pendeteksian perubahan hipodensitas dini pada CT dapat meramalkan

transformasi hemoragik (Broderick et al 1995;Hackle 1995;Alexandrof et al

1997;Gorter et al 1997;Molina et al 2001).

BAB 3

KESIMPULAN

19

Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan

otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu

kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003).

Menurut WHO (2011), penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah

pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi

akibat stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian.

Angka kematian akibat stroke lebih tinggi pada wanita (11%) dari pada pria

(8,4%) pada tahun 2004.

Transformasi hemoragik merupakan salah satu komplikasi yang ditimbulkan

oleh stroke iskemik dan dapat memperburuk prognosis penderita.Transformasi

hemoragik dapat didefinisikan baik secara klinis maupun radiologis. Transformasi

hemoragik mencakup suatu spektrum luas perdarahan sekunder, yang berkisar

mulai dari perdarahan petekie area kecil sampai hematoma masif yang memenuhi

ruang.

20

DAFTAR PUSTAKA

Adams and Victor, 2005. Cerebrovascular Diseases. In: Adams and Victor, eds.

Principles of Neurology. USA: McGraw-Hill, 660-746.

Cotran R, Kumar V, Robbins S. Pathologic basis of disease. 1st ed. Philadelphia,

Pa: Saunders/Elsevier; 2010.

Feigin, V. 2009. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan

Pemulihan. Jakarta: BIP. 2, 85-92.

Greenberg, D. A., Aminoff, M. J., Simon, R. P. 2002. Clinical Neurology. 5th

edition. USA: McGraw-Hill. 188-190.

Jauch E, Stettler B. Medscape: Medscape Access [Internet].

Emedicine.medscape.com. 2014 [20 May 2014]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1916852-clinical

Jauch,E.C,.2014.Ischemi Stroke Differential Diagnosis.Medscape. Available from

: http://emedicine.medscape.com/article/1916852-differential [Accessed

20 May 2014]

Kasper, D. L., Fauci, A. S., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson,

J. L. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th edition. USA:

McGraw-Hill. 2372-2376.

Lioyd J D, Adams R, Carnethon M, Simone G, Fergusson B, Flegal K. Heart

Disease and Stroke Statistics Update : a Report from The American Hearth

Association Universitas Sumatera UtaraStatistic Committee and Stroke

Statistic Subcommitte. Circulation. 2009 ; 119 : e21 – e 181

Mardjono, M., Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 13. Jakarta: Dian

Rakyat. 270-274.

21

Nastiti, D.2012. Gambaran Faktor Risiko kejadian Stroke pada Pasien Stroke

Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medica tahun 2011.

Ncbi.nlm.nih.gov. Classification of subtype of acute ischemic stroke. D... [Stroke.

1993] - PubMed - NCBI [Internet]. 2014 [8 May 2014]. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7678184

Ropper, A. H., Brown, R. H. 2005. Adam and Victor’s Principles of Neurology.

8th edition. USA: McGraw-Hill. 660-664.

Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Edisi 6. Jakarta: Dian

Rakyat. 267-272.

Sjahrir, H., 2003. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung

Widyanto.S,.2000.Komplikasi Stroke Iskemik

World Health Organization, 2011. Global Atlas on Cardiovascular Disease

Prevention and Control. Available from:

http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/97892415 64373_eng.pdf

[Accessed 20 May 2014]

World Health Organization. 2006. Neurological Disorders Public Health

Challenges. WHO. 151-155.

22