LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

28

Transcript of LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

Page 1: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR
Page 2: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

1

LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR DAN BLOK PEMERINTAH BERALASKAN GRAND UNIFIED THEORY ON MODERN STATE PROF. DR. IBRAHIM R, SH. MH. SMS.08123815993. [email protected] Makalah Disampaikan Pada Workshop Badan Pengkajian MPR RI Di Novotel Kuta Bali Pada Tanggal 15-16 September 2017 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2017

Page 3: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

2

KATA PENGANTAR Badan Pengkajian MPR RI mengadakan Workshop di Novotel Kuta Bali, selama dua hari tanggal 15-16 September 2017, yang mengkaji 10 topik. Saya mendapatkan topik: Langkah-langkah strategis untuk menyederhanakan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang pemerintah) Dengan gencarnya BP-MPR mengadakan diskusi, FGD, dan Workshop dan menghendaki Perubahan UUD yang ke-5, untuk mengoreksi dan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia. Perlu perubahan yang ke-5 UUD NRI 1945, karena banyak persoalan yang bercampur baur, normanya kosong, normanya konflik, dan normanya kabur, dan UUD NRI 1945 belum klop sebagai Fundamental Negara. Hasil amandemen ke 1, 2,3, dan 4 bahwa ada pasal yang sudah diamandemen pada amademen ke-1, diamandemen lagi pada amandemen ke-2, yaitu, Pasal 20 UUD 1945, telah diubah pada amandemen ke-1 tahun 1999, kemudian diubah kembali pada amandemen ke-2 tahun 2000. Denpasar, 15 September 2017 Prof. Dr. Ibrahim R, SH. MH.

Page 4: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

3

DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................... 2 Daftar Isi ............................................................................................................ 3 1. Pendahuluan ................................................................................................ 4 2. Grand Unified Theory ...................................................................................... 5 2.1. . Pancasila Ideologi Negara ............................................ 5 2.2. Konstitusi ........................................................................... 6 2.3. Struktur Bangun Negara ................................................. 9 2.4. Negara Hukum Demokratis ....................................................... 11 2.5. Demokrasi ........................................................................ 12 2.6. Sistem Pemerintahan ..................................................... 14 2.7. Pembagian Kekuasaan Negara ...................................... 16 2.8. Teori Kewenangan .......................................................... 17 2.9. Darma Hukum dan Doktrin Kehakiman ...................... 19 3. Penyederhanaan Fraksi DPR dan Blok Pemerintah ........................... 20 4. Daftar Pustaka ............................................................................................. 20

Page 5: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

4

1. PENDAHULUAN Workshop yang dilaksanakan BP-MPR RI mengambil 10 topik sebagai bahan workshop yang diminta BP-MPR, yaitu: 1. Sistem kepartaian yang ideal bagi penegasan sistem pemerintahan presidensial dan pembiayaan partai politik 2. Desain Pemilu yang dapat mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di Parlemen, korelasi Pemilu serentak dengan penegasan sistem pemerintahan presidensial, serta penetapan ambang batas Perlemen dan presiden dalam rangka penegasan sistem pemerintahan presidensial 3. Langkah-langkah strategis untuk menyederhanakan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang pemerintah) 4. Penataan ulang sistem legislasi: presiden tidak memiliki kekuasaan dalam pembentukan undang-undang, tetapi diberikan hak Veto. 5. Penataan ulang kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan atau pertimbangan untuk pengisian jabatan-jabatan tertentu serta penataan penggunaan hak DPR: hak interplasi, hak angket, hak menyatakan pendapat 6. Sinkronisasi refurmulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan sistem pemerintahan presidensial. 7. Pelaksanaan sidang tahunan MPR sebagai fasilitasi bagi lembaga-lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerja kepada rakyat, hubungan dengan penegasan sistem pemerintahan presidensial.

Page 6: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

5

8. Kejelasan wewenang Wakil Presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden. 9. Penguatan kewenangan DPD dalam sistem pemerintahan presidensial, serta langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan anggota DPD, antara keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah 10. Desain otonomi daerah dalam rangka penegasan sistem pemerintahan presidensial. Seluruh topik tersebut di atas, adalah akibat dari pilihan sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan negara yang menjadi pilihan dan keliru dipahami, sehingga banyak mengalami distorsi saat dilaksanakan, oleh sebab itu, saya akan memulai memformat kembli dari bagian-bagian itu, untuk dijadikan standar kajian untuk memenuhi permintaan BP-MPR RI. 2. GRAND UNIFIED THEORY Untuk mengkaji dan analisis semua topik yang diberikan BP-MPR dalam Workshop, dibutuhkan pemahaman yang sama terhadap indikator dari bagian-bagian Grand Unified Theory, adalah Middle Range Theory, yaitu: 1. Pancasila Ideologi Negara, 2. Struktur Bangun Negara, 3. Negara Hukum Demokrtis; 4. Demokrasi, 5. Sistem Pemerintahan,

Page 7: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

6

6. Teori Pembagian Kekuasaan Negara, 7. Badan Perwakilan Bikameral, 8. Darma Hukum dan Doktrin Kehakiman, 9. Teori Kewenangan. 2.1. Pancasila Ideologi Negara Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila, adalah Statik Lekstar Dinamik, untuk memahami jiwa Pancasila, berikut aransemen penjelasannya: (1). Sila ke-1, hakekatnya ada pada: “Allah/Tuhan Yang Maha Esa”, direfleksikan pada realitas kebenaran yang terakhir, yaitu ada pada Allah/Tuhan Yang Maha Esa. (2). Sila ke-2, hakekatnya ada pada “Manusia”, direfleksikan oleh Manusia Indonesia, yaitu manusia yang wajib percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. (3). Sila ke-3, hakekatnya ada pada “Satu”, direfleksikan dalam satu wadah bentuk negara, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 8: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

7

(4). Sila ke-4, hakekatnya “Rakyat”, direfleksikan oleh demokrasi, dalam prinsip: “the governement fron the people, by the people, for the people”. (5). Sila ke-5, hakekatnya pada “ Adil”, direfleksikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sila ke-5 ini bisa dilaksanakan secara baik dan benar, jika sila ke-1, sila ke-2, sila ke-3, dan sila ke-4 dapat diaktualisasikan dalam diri dan masyarakat, jika tidak, maka Pancasila itu, hanya sebuah selogan saja dan tidak bermakna apa-apa. 2.2. Konstitusi Konstitusi sebagai dasar fundamental negara, merupakan ciri negara modern, lahir abad ke-7, berkembang pada zaman aufklarung (renaisance atau abad pertengahan) dan dipandang sebagai rumusan hukum dari cita-cita politik dan ideologi yang dicapai melalui proses demokrasi, berdiri di atas semua golongan. Konstitusi sebagai rumusan dari suatu cita-cita politik tertinggi dan merupakan fundamen dan pijakan bagi penyelenggara negara dan sekaligus sebagai instrumen kontrol, dimana pemerintah dapat dibatasi, diawasi, dan dikontrol.1 Seiring dengan itu, menurut Struycken, bahwa konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-garis besar dan asas tentang organisasi negara,2 yaitu: 1) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau, 2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa, 1K.C. Wheare, 1975, Moderns Constitutions, Oxford University Press, New York 2 A.A.H. Strycken, 1928, Het Staatsrecht Van Het Koninkrijk der Nederlands, Tweede drunk, hlm 179

Page 9: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

8

3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang, 4) Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Hakekat, makna, dan arti penting konstitusi, pendapat para ahli: 1. Menurut John Locke (1632-1704) menyebutnya sebagai batas pemakaian kekuasaan negara dan prasyarat keabsahan negara modern 2. Montesquieu ( 1689-1755) menjadikan konstitusi sebagai jimat 3. K.C. Wheare menyebutnya sebagai instrumen di mana pemerintah dapat diawasi, 4. Hans Kelsen (1881-1973) menyebutnya konstitusi sebagai grundnorm. 5. Amerika Serikat menyebutnya, konstitusi sebagai kitab suci negara,3 sebab, dan mutlak merupakan kata akhir dari perwujudan legitimasi, melanggar konstitusi berarti melampau batas mandat politik.4 Konstitusi adalah buatan manusia yang mencerminkan nilai, kaidah, harapan, dan perkiraan the founding fathers tentang berbagai tatanan dan kompromi antar mereka. Selama para penyusun konstitusi itu berusaha menjadikan konstitusi mereka tanggap terhadap kebutuhan dan kondisi setempat dan menghindari konsekuensi negatif. Maka, hubungan antara konstitusi dan pelaksanaan demokrasi dapat mencerminkan usaha awal. Selama konstitusi mewujudkan nilai yang dipegang 3Earl R. Kruschke, 1968, An Introduction to The Constitution of The United State, American Book Company, New York 4David E. Apter, 1996, Pengantar Analisis Politik, LP3ES, Jakarta

Page 10: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

9

secara luas dalam suatu bangsa. Maka, konstitusi dan pola pelaksanaan demokrasi bisa merupakan produk dari kebudayaan politik, konfigurasi sikap dan keyakinan yang dipegang oleh masyarakat dan kelompok elit dalam suatu masyarakat, bukan konfigurasi yang menyebabkan konfigurasi lain. Dengan demikian, hubungan antara latar belakang budaya dan nilai konstitusional atau pemerintahan adalah sangat erat. Sebab, konstitusi mencerminkan norma dasar dan cara berpikit yuridik bangsa. Menurut Soekarno adalah Undang Undang Dasar Sementara, Undang Undang Dasar Kilat, Revolutie Grondwet,5 menurut Iwa Koesoema Soemantri, UUD 1945 hanya baik untuk masa revolusi. Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, menyebutkan negara Indonesia merdeka disusun berdasarkan kerangka philosofische grondslag (Belanda), weltanschauung (Jerman), yaitu Pancasila, lima asasnya termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Menurut Soekarno, konstitusi adalah alat, arah, dinamika, sumber bagi semua undang-undang yang dibentuk, menjamin keselamatan, dan kesejahteraan seluruh rakyat.6 Sedangkan, menurut Muhamad Yamin merupakan percikan pikiran sesuatu bangsa atau cetusan nasional yang menjadi hak milik dan berlaku pada bangsa yang membuatnya.7 Ketentuan UUD 1945 (sebelum amandemen), kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Oleh sebab itu, MPR merupakan organ penjelmaan seluruh rakyat dan organ yang menggantikan kedudukan rakyat dalam menyatakan 5Muhamad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta. 6J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta

Page 11: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

10

kehendaknya (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes. Kata vertretung disini berarti penggantian atau (plaatsvervanging, bukan perwakilan atau vertegenwoordiging). Dengan demikian, MPR merupakan lembaga penjelmaan rakyat yang berkedaulatan, citoyen, citizen, burger. Maka, apabila dikatakan Presiden adalah Mandataris MPR, hal itu berarti bahwa Presiden adalah Mandataris rakyat yang memiliki kedaulatan. Secara fakta, tradisi demokrasi memiliki sumber asli dari bangsa Indonesia sendiri, tetapi dalam praktik menggunakan teori barat dan retorika rule of law, kendati UUD 1945 disusun berdasarkan prinsip rechtsstaat dan yurisprudensi, dipengaruhi oleh hukum Belanda dan Perancis. Menurut Muhamad Yamin ketiga konstitusi Indonesia (UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950) selalu disusun atas ajaran trias politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku. 2.3. Struktur Bangun Negara. Struktur Bangun Negara, selama ini kurang mendapatkan perhatian dan bahkan dianggap tidak penting dan dirumuskan secara serampangan di Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Perumus pasal ini sepertinya tidak bisa membedakan Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan. Bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, dan sifat pemerintahan itu, merupakan Struktur Bangun Negara berkorelasi dialam dan dalam demokrasi, sehingga dapat melahirkan budaya politik, budaya hukum, budaya birokrat, yang menjadi jati diri anak bangsa. Sekarang ini, masyarakat kita 7Muhamad Yamin, 1956, Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi, Jambatan, Jakarta.

Page 12: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

11

sekarang ini, lagi galau nan gelisah. Kemana bangsa ini akan dibawa, kalaupun bangsa Indoesia tidak punya masa depan, yang ada adalah masa lalu, yang dianggap masa depan tadi, adalah bayang-bayang masa depan, masa lalunya buram, bisa juga masa depan buram pula. 2.2.1. Bentuk Negara, berkaitan dengan kesatuan suatu negara dan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dibedakan antara negara Kesatuan versus negara Federal, sebagai patokan bahwa pemerintah pusat mendelegasikan pemerintahan kepada daerah (kesatuan), Negara Bagian mendelegasikan kewenangan kepada pemerintahan federal (federal). 2.2.2. Bentuk Pemerintahan, berhubungan dengan bagiamana pemerintah (penguasa) itu diangkat, dan diberhentikan, dibedakan antara Kerajaan versus Republik. Sistem kerajaan dengan turun temurun, sedangkan Republik dipilih secara demokratis 2.2.3. Sistem Pemerintahan, berkaitan dengan mekanisme demokrasi, pembagian kekuasaan, pelaksanaannya, dan beban tanggungjawab pemerintahan, dibedakan antara: sistem pemerintahan Parlementer model Inggris, sistem pemerintahan Presidensial Model Amerika Serikat, dan sistem pemerintahan Semi-Presidensial model Prancis. 2.2.4. Sifat Pemerintahan, berkaitan dengan pola dan mekanisme pengambilan keputusan, dibedakan antara: Demokratis versus Otoriter. Otoriter adalah kekuasan dipegang oleh seorang dan memerintah berdasarkan kehendaknya. Pemilihan demokratis, apabila terpilihan seseorang jadi pemimpin, dipilih oleh 50 persen tambah satu (50%+1) atau 50 persen plus. Pemilihan Presiden

Page 13: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

12

Indonesia dan Pemilihan Gubernur DKI, adalah demokratis, diluar itu, tidak demokratis, kalaupun ada yang terpilih dengan dengan 50 persen plus, itu hanya kebetulan saja. 2.4. Negara Hukum Demokratis Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan lebih lanjut tentang prinsip negara hukum Pasal 1 ayat (3) masih kosong dan kabur. Bagaimana memaknai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itu, memerlukan pendekatan sejarah ketatanegaraan, melalui referensi perdebatan sidang BPUPKI dan PPKI yang mengacu pada rechtstaat dan rule of law dan perdebatan pada saat amandemen UUD 1945 dari yang ke-1, 2, 3, dan 4. Negara hukum konsep civil law system yang dikenal dengan rechtstaat oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan disempurnakan J. Fredrick Stahl (1802-1861), adapun unsurnya: 1. Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia, 2. Adanya pembagian kekuasan negara berdasarkan trias politika, 3. Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang, 4. Adanya peradilan administrasi negara. Konsep negara konsep common law system,yang dikenal dengan rule of law dirumuskan oleh A.V. Dicey (1835-1922), adapun unsurnya:

Page 14: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

13

1. Supremacy of Law, 2. Equality Before the Law, 3. Constitution based on individual right. Soepomo (1903-1958),8 mencoba mengkonstruksikan negara hukum Indonesia, tapi, belum selesai, kecepetan Indonesia merdeka. Hasil pengkajian, Soepomo memberikan makna negara hukum menjadi “negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),” . Suatu keanehan istilah rechtsstaat diartikan Soepomo menjadi “negara berdasarkan atas hukum”, pemikiran Soepomo tersebut direkonstruksikan kembali oleh Ibrahim R,9 yang unsurnya berasal dari rechtsstaat dan rule of law,sebagai berikut: 1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (rechtstaat) 2. Supremacy of Law (rule of law) 3. Equality Before the Law ( rule of law) 4. Adanya pembagian kekuasaan negara berdasarkan Trias Politika (rechtstaat). 5. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang (rechtstaat). 6. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka (rechtstaat). 8 Prof. Dr. R. Soepomo adalah salah satu the founding fathers Indonesia 9 Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Page 15: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

14

Pada kesempatan yang sama, Ibrahim R merekonseptualisasikan kembali ide Soepomo dan Pancasila, menjadi Teori Negara Hukum Demokratis, sebagai berikut: 1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia berdasarkan ideologi, 2. Pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politika atau Trias Politika dan lembaga negara, 3. Kedudukan yang sama dalam hukum bagi setiap orang, 4. Tindakan pemerintah berdasarkan konstitusi dan dilaksanakan dengan undang-undang, 5. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka, dan 6. Adanya kode moral/akhlak yang melahirkan budaya bangsa dan negara. Teori Negara Hukum Demokratis tersebut menjadi standar dan dasar acuan, membangun tata negara dan pemerintahan Indonesia. 2.5. Demokratis Perkembangan nilai dan lembaga demokrasi modern, dimulai dari Perjanjian Aqabah Pertama tahun 620 dan dilanjutkan dengan Perjanjian Aqabah Kedua Tahun 621, antara komunitas Islam, Kristen, dan Yahudi di Madinah, yang kemudian ditetapkan menjadi Piagam Madinah Tahun 622 (Konstitusi Madinah Tahun 622), Nabi Muhamad adalah Nabi dan Rasul saat itu, sekaligus Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Setelah Nabi Muhammad wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh Khalifah Empat. Abu Bakar Ash Shiddiq (573-634), Umar Ibn Al-Khattab

Page 16: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

15

(586-644), Utsman bin Affan (574-656), Ali bin Abi Thalib (599-661). Periode keemasan Islam, berlangsung kurang lebih selama 500 tahun, kemudian tenggelam, dan muncul kembali abad ke-17 dalam versi berbeda. Sumber Hukum Islam dan khirarkinya: 1. Al Qur’an (30 Juz, 114 Surah, 6236 Ayat), 2. Hadis Nabi Muhammad saw, 3. Piagam Madinah Tahun 622 (Konstitusi Madinah Tahun 622) 4. Ijtihad: Ijmak (mazhab, ulama, ahli hukum Islam). Abad ke-17, dari revolusi Inggris, yaitu: the fundamental orders of onnecticut, yang disetujui warga kota Hartford sebagai dan merupakan konstitusi dari demokrasi.10 Demokrasi, sebagai kehendak rakyat (the will of the people) dan kebaikan bersama (the common good). Terumuskan secara yuridis, berikut: 1) Government from the people, by the people, for the people. 2) Nilainya adalah one person, one vote, and one value. Keputusan yang disebut demokratis, adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas mutlak, artinya setengan ditambah satu atau lima puluh persen plus. Menurut Schumpeter, demokrasi sebagai metode adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik, di mana para individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan sangat kompetitif dalam rangka memperoleh suara dan dukungan rakyat.11 Setiap negara punya aturan sistem untuk melaksanakan aturan normatif, aturan sistem diperlukan untuk memecahkan konflik diantara aturan normatif dan memastikan bahwa aturan normatif diterapkan 10G. P. Gooch, 1959, English Democratic Ideas in the Seventeenth Century, Harper, New York, hlm. 71 11Samuel P. Hungtington, 1997, Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 5

Page 17: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

16

dan untuk mengatur pembuatan aturan baru, serta kedudukan aturan baru dalam kaitannya dengan aturan lain.12 Hukum memberikan kepada kita sebuah instrumen untuk mempengaruhi masyarakat lewat perumusannya, sebab, ia berada dalam satu sistem, karena sistem akan menjadi suatu alat yang penting untuk mengontrol dan mendorong transfer prinsip dari suatu bidang ke bidang lainnya sebagai pola komunikasi dan kontrol. Pola pengaturan dan struktur dalam sistem apapun adalah konfigurasi hubungan diantara komponen sistem yang menetukan karakteristik utama sistemnya. Teori Sistem Hukum Sibernetik Norbert Wiener, yang menempatkan hukum sebagai pusat kekuatan, pengendalian, dan pengikat keseluruhan sistem sosial.13 Aturan hukum dalam analoginya dapat diartikan perangkat aturan hukum yang mengatur tatanan hukum, artinya meletakkan norma-norma dalam perilaku. Hal ini penting artinya, dalam sistem hukum dan konstitusi, dimana pembentukannya dipengaruhi perkembangan sejarah suatu negara dan memperlihatkan ciri universal disamping ciri khususnya. Diskripsi pola pengaturan mencakup pemetaan abstrak hubungan dan hubungan, sedangkan struktur mencakup pelukisan komponen yang aktual, bentuk, dan komposisinya. 2.6. Sistem Pemerintahan 12Hanc Van Maarseveen dan Ger Van der Tang, 1978, Written Constitutions A Computerized Comparative Study, Oceana Publication Inc, New York, hlm. 14 13Norbert Wiener, 1954, The Human Use of Human Beings Cybernetics and Society,Doubeday & Company Inc Garden City, New York, hlm. 105

Page 18: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

17

Alternatif atau model sistem pemerintahan yang sangat populer dan berkembang sampai sekarang adalah sistem pemerintahan parlementer, presidensial, dan semi-presidensial. Untuk membangun suatu sistem pemerintahan suatu negara, terlebih dahulu harus mendefinisikan, apa itu pemerintah, apa itu pemerintahan, apa itu sistem pemerintahan, dan ruang lingkup pembatasannya. Dalam mengkaji sistem pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari konsepsi demokrasi dan konsepsi kedaulatan rakyat yang akan mempengaruhi bagaimana sistem pemerintahan parlementer, presidensial, dan semi-presidensial dalam teori dan dalam praktiknya. Untuk mengkaji sistem pemerintahan parlementer dan presidensial, menggunmakan parameter dari proposisi dari Douglas V. Verney,14 berikut: 1.2.1.1. Pemerintahan Presidensial 1. The Assembly Remains an Assembly Only (Majelis tetap sebagai Majelis) 2. The Executive is Not Divided But is a President Elected by The People For a Definite Term at The Time of Assembly Elections (Eksekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih) 3. The Head of The Government is Heas of Sate (Kepala pemerintahan adalah kepala negara) 4. The President Appoints Heads o Departments Who Are His Subordinates (Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya) 5. The President is Sole Executive (Presiden adalah eksekutif tunggal)

Page 19: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

18

6. Members o The Assembly Are Not Eligible For Ofice in The Administration and Vice Versa (Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya) 7. The Executive is Responsible to The Constitution (Eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi) 8. The President Cannot Dissolve or Coerce The Assembly (Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis) 9. The Assembly is Ultimately Supreme Over The Other Branches of Government and There is Not Fusion of The Executive and Legislative Branches as in a Parliament (Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan sebagaian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlemen) 10. The Executive is Directly Responsible to The Electorate (Eksekutif bertanggungjawab langsung kepada pemilih) 11. There is No Focus of Power in The Political System (Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik) 1.2.1.2. Pemerintahan Parlementer 1. The Assembly Becomes a Parliament (Majelis menjadi parlemen) 2. The Executive is Divided Into Two Parts (Eksekutif dibagi kedalam dua bagian) 3. The Head of State Appoints The Head of Government (Kepala negara mengangkat kepala pemerintahan) 4. The Head of The Government Appoints The Ministry (Kepala pemerintahan mengangkat menteri) 14Arend Lijphart, Edited, Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, New York, 1992, Hlm. 32-47 .

Page 20: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

19

5. The Ministry (or Government) is a Collective Body (Kementerian adalah badan kolektif) 6. Ministry Are Usually Members o Parliament (Menteri biasanya merupakan anggota parlemen) 7. The Government is Politically Responsible to The Assembly (Pemerintah bertanggungjawab secara politik kepada majelis) 8. The Head o Government May Advise The Head o State to Dissolve Parliament (Kepala Pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen) 9. Parliament as a Whole is Supreme Over Its Constituent Parts, Government and Assembly, Neither of Which May Dominate The Other (Parlemen sebagai satu kesatuan memiliki supermasi atas kedudukan yang lebih tinggi dari bagian-bagiannya pemerintah dan majelis, tetapi mereka tidak saling menguasai) 10. The Government as a Whole is Only Indirectly Responsible to The Electorate (Pemerintah sebagai suatu kesatuan hanya bertanggungjawab secara tak langsung kepada para pemilih) 11. Paeliament is The Focus of Power in The Political System (Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik) Pilihan sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, akan berpengaruh terhadap sistem pembagian kekuasaan dengan varian-varian atau ciri-ciri khas suatu negara, seiring dengan latar belakang sejarah negara yang bersangkutan. Misalnya, sistem pemerintahan

Page 21: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

20

presidensial Amerika Serikat dengan Philippina masing-masing memiliki ciri khas, demikian juga dengan, sistem pemerintahan Parlementer Inggris dan Malaysia, sistem pemerintahan Semi-Presidensial Prancis (lihat Bab III). 2.7.Pembagian Kekuasaan Salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan pemerintah dalam negara hukum, adalah dengan pembagian kekuasaan, melalui pembagian kekuasaan tersebut, organ/lembaga negara akan melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan forsi dan wewenang attributie. Distribusi kekuasaan harus dilakukan menurut ketentuan hukum yang didasarkan kepada pilihan ajaran pemerintahan, sehingga menjadi jelas atribusinya dari masing-masing organ/lembaga negara dan sekaligus menjadi tolok ukur tanggungjawabnya. Tolok ukur dan tanggunjawab harus dimulai dari kewenangan attributie dari lembaga negara, dilihat dari sistem pembagian kekuasaan sebagai titik awal kewenangan attributie yang oorspronkelijk (aseli). Kewenangan attributie yang diterima, kemudian dapat dilimpahkan (afgeleid) melalui cara dan bentuk adalah delegatie, sedangkan mandaat melekad dan ikutan sistemnya. Ajaran pemerintahan Montesquieu (1689-1755) yang oleh Thomas Jefferson (1743-1826) disesuaikan dengan struktur masyarakat Amerika Serikat, sebagai seorang the founding fathers menterjemahkannya sebagai “prinsip energetic” bagi “demokrasi” dengan prinsipnya adalah kebajikan, “aristokrasi” adalah moderasi, “monarki” adalah penghormatan, dan “despot” adalah ketakutan. Jadi, sebuah demokrasi harus memiliki konstitusi sesuai

Page 22: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

21

dengan prinsip ”kebajikan” yang merupakan kecintaan terhadap republik, terhadap persamaan, dan kedamaian, penghormatan terhadap hukum, dan bertindak menurut hukum.15 Dilihat dari sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, dapat diketahui bahwa negara tersebut menganut ajaran pembagian atau percampuran kekuasaan. Pembagian kekuasaan itu sangat penting, supaya tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada satu tangan dan menghindari timbulnya kekuasaan yang absolut. Pembagian kekuasaan yang benar harus berdasarkan prinsip nilai kedaulatan rakyat, bila tidak, chacks and balances system tidak akan ada anjungannya. 2.8. Teori Kewenangan Lahirnya kewenangan, adalah pertama dilihat sistem pemerintahan yang dianut suatu negara (parlementer, presidensial, semi-presidensial), setelah itu sistem pembagian kekuasaan, berdasarkan pembagian kekuasaan itulah yang mendapat kewenangan attributie bersifat oorspronkelijk dalam arti aseli. Contoh berikutnya: 1) Amerika Serikat menganut sistem pemerintahan presidensial dan pembagian kekuasaan menggunakan Trias Politika, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial, adalah lembaga yang mendapatkan kewenangan attributie. 2) Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dan pembagian kekuasaan menggunakan logika Trias Politika dan Lembaga Negara, yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, lembaga inilah yang menerima kewenangan attributie. Prinsip dan dasar pembagian kekuasan negara, sebagai berikut: (1). Setiap kekuasaan, wajib dipertanggungjawabkan. 15Montesquieu, The Spirit of The Laws, (Translated by Tomas Nugent), Hafner Press A Division of Macmillan Publishing, Ner York,1949, Hlm. xli

Page 23: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

22

(2). Setiap pemberian kekuasaan, harus dipikirkan beban tangungjawab, bagi penerima kekuasaan. (3). Kesediaan untuk melaksanakan tanggungjawab, harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan. (4). Tiap kekuasaan ditentukan batas kewenangan dan sekaligus beban tanggungjawab. (5). Kewenangan dan beban tanggungjawab, ditentukan oleh bentuk dan struktur pembagian kekuasaan negara. Teori Kewenangan, adalah menentukan tata cara kekuasaan diperoleh, pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie (oorspronkelijk dalam arti aseli), setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui delegatie, dan mandaat mengikuti dan melekat pada attributie dan delegatie. Kewenangan attributie diperoleh dan dimulai dari sistem pembagian kekuasaan, pada sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, diluar itu tidak ada kewenangan yang disebut attributie, ketentuan kewenangan dan beban tanggungjawab ditetapkan pada Konstitusi, kecuali negara yang tidak mempunyai konstitusi, seperti Inggris, diatur dalam undang-undang. Delegatie dilakukan oleh pemegang wewenang attributie dan dalam waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Penerima kewenangan attributie oleh Henc Van Maarseveen, disebut, bahwa setiap konstitusi sebagai Reglement van Attributie. Banyak literatur bicara teori kewenangan, terjadi kekeliruan alur pikir dan bisa menyesatkan para pihak. Penerapan Teori

Page 24: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

23

Kewenangan, dalam sistem pemerintahan Indonesia, berdasarkan UUD NRI 1945, sebagai berikut: 1. Lembaga yang mendapat kewenangan attributie, yaitu: MPR, DPR, DPD, PRESIDEN, BPK, MA, dan MK. 2. Lembaga yang mendapat kewenangan delegatie, yaitu: Menteri, Pangab TNI, Kapolri, Pejabat Tinggi Negara Setingkat Menteri, dan Gubernur (Gubernur karena Negara Kesatuan) 3. Lembaga yang mendapat kewenangan sub-delegatie, yaitu: Eselon Satu Kementerian; Bupati/Walikota, Kantor Wilayah, Rektor Perguruan Tinggi Negeri. 2.9. Darma Hukum dan Doktrin Kekuasan Kehakiman Pengertian Darma Hukum, dari beberapa literatur, adalah Kebenaran dan Keadilan. Penetapan darma hukum “Kebenaran dan Keadilan”, adalah suatu kekeliruan dan akibatnya patal, bila dipakai sebagai pola pikir ilmu hukum dibawah kekuasaan kehakiman. Darma hukum, adalah KEPASTIAN dan KEADILAN. Kata “kepastian” berasal dari logika dan prinsip alas hak hukum alam atau hukum sebab akibat atau hukum kodrat, semua mahluk yang hidup, pasti mati, dan tidak ada yang bisa mengingkari, hal itu, merupakan standar sebagai sebuah kepastian, karena standar, maka ia menjadi pasti. Kata “keadilan” berasal dari logika dan prinsip

Page 25: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

24

“demokrasi”,16 (lihat uraian tentang demokrasi), kemudian perhatikan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna “menegakkan hukum dan keadilan”. Menegakkan hukum dalam kontek kepastian dan Keadilan dalam kontek demokrasi. Prinsip Doktrin Kekuasan Kehakiman, bahwa penyelesaian sengketa dibawah kekuasaan yudisial, tidak boleh difinal, harus ada upaya hukum berikutnya, apabila ada para pihak yang tidak puas dengan keputusan tersebut. Jika difinal, berarti mengingkari kodratnya, pada saat terjadi pengingkaran pada kodrat, akan terjadi kegalauan dan kekacauan. Contoh, pengingkaran kodrat dibawah kekuasaan yudisial dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengdili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undsng Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (cetak miring penulis). 3. PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR DAN BLOK PEMERINTAH Langkah-langkah strategis untuk menyederhanakan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang 16 Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana UNPAD, Bandung

Page 26: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

25

pemerintah), menggunakan Teori Jalan Mundur menuju Middle Range Theory dan sampai pada Grand Unified Theory. Terbentuknya fraksi di DPR berdasarkan Parlemen treshold, yaitu partai yang memenuhi syarat tiga persen hasil pemilu dan bisa mengirin wakilnya di DPR 4. DAFTAR PUSTAKA Arend Lijphart (Edited), 1992, Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, New York. Dicey, A.V, 1971, An Introduction to the Study of the Law Constitution, English Language Book Society, London. Donald A. Rumokoy, 1998, Arti Konvensi Ketatanegaraan Dan Fungsi Dalam Mengembangkan Hukum Tata Negara Indonesia, Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung. Earl R. Kruschke, 1968, An Introduction to The Constitution of The United State, American Book Company, New York. Gooch, G.P, 1959, English Democratic Ideas in the Seventeenth Century, Harper, New York. Hanc Van Maarseveen dan Ger Van der Tang, 1978, Written Constitutions A Computerized Comparative Study, Oceana Publication Inc, New York. Herman Finer, 1962, The Major Government of Modern Europe, Harper & Row Publishers, London. Horvey, J dan L. Bather, 1984, The British Constitution and Politics, Macmillan Education Limited, London. Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung. ..................., 2008, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional: Permasalah Teoritik dan Praktek, Makalah Seminar

Page 27: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

26

Nasional Kersama Deplu dan Fakultas Hukum Unair di Surabaya, 18 Oktober 2008. .................., 2009, Refleksi Satu Dekade Reformasi Indonesia: Sektor Politik, Hukum, Pemikiran dan Agenda Berikutnya, Makalah Seminar Nasional Dalam rangka Dies Natalis ke-47 UNUD dan Kerjasama dengan Deplu, 7-8 September 2009. ..................., 2013, Kedudukan Filafat Ilmu Pada Bidang Ilmu, Materi kuliah umum pada program Magister dan Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Mataram, Mataram. ..................., 2015, Kebijakan Pemerintah dan Negara Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Jokosutono, 1982, Ilmu Negara, Dihimpun Oleh Harun Al Rasid, Ghalia Indonesia, Jakarta. Lionel Crocker, 1956, Public Speaking for College Studens, American Book Company, New York. Montesquieu, 1949, The Spirit of The Laws, (Translated by Tomas Nugent), Hafner Press A Division of Macmillan Publishing, Ner York. Muhamad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta. Norbert Wiener, 1954, The Human Use of Human Beings Cybernetics and Society,Doubeday & Company Inc Garden City, New York. Simorangkir, J.C.T, 1984, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta. Sri Soemantri M, 1976, Sistem Sistem Pemerintahan Negara Negara Asean, Tarsito, Bandung. .................., 1999, Perubahan UUD 1945 Prosedur, Sistem Dan Substansinya, Makalah Diskusi Panel Pembaharuan UUD 1945, Fakultas Hukum Unpad, Bandung. Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 28: LANGKAH STRATEGIS PENYEDERHANAAN FRAKSI DPR

27

Wheare, K.C, 1975, Moderns Constitutions, Oxford University Press, New York-Toronto.