kusta research
-
Upload
rizkaririnar7932 -
Category
Documents
-
view
441 -
download
2
Transcript of kusta research
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA
PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER
PENELITIAN
Oleh
Bunge Dian Mentari, S. Ked 032011101027
Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked 062011101060
Ratih Justitia Kartika, S.Ked 072011101001
Diniusi Septiari, S. Ked 072011101022
Defyna Dwi Lestari, S. Ked 072011101018
Noverio Haris Setyawan, S. Ked 072011101020
Rika Ainun Tikha, S. Ked 072011101048
Rizka Arifani, S.Ked 072011101050
Wilis Nurkumala, S. Ked 072011101056
Ida Bagus Margayuso, S. Ked 072011101062
SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKATPUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA
PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER
PENELITIAN
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter
bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Oleh
Bunge Dian Mentari, S. Ked 032011101027
Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked 062011101060
Ratih Justitia Kartika, S.Ked 072011101001
Diniusi Septiari, S. Ked 072011101022
Defyna Dwi Lestari, S. Ked 072011101018
Noverio Haris Setyawan, S. Ked 072011101020
Rika Ainun Tikha, S. Ked 072011101048
Rizka Arifani, S.Ked 072011101050
Wilis Nurkumala, S. Ked 072011101056
Ida Bagus Margayuso, S. Ked 072011101062
SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKATPUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Konsep Pengetahuan 4
2.1.1 Definisi 4
2.1.2 Tingkat Pengetahuan 5
2.1.3 Macam - Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan 5
2.2 Kusta 7
2.2.1 Definisi 7
2.2.2 Epidemiologi 7
2.2.3 Gejala Klinis 8
2.2.4 Patogenesis 9
2.2.5 Klasifikasi 9
2.2.6 Pemeriksaan 11
2.2.7 Pengobatan 12
BAB 3. METODE PENELITIAN 14
3.1 Desain Penelitian 14
3.2 Populasi dan Sampel 14
3.3 Variabel Penelitian 14
3.3.1 Variabel Bebas 14
3.3.1 Variabel Terikat 14
3.4 Definisi Variabel 15
iii
3.4.1 Pengetahuan tentang Kusta 15
3.4.2 Prevalensi Kusta 15
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian 16
3.6 Teknik Pengumpulan Data 16
3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 16
3.7.1 Kriteria Inklusi 16
3.7.2 Kriteria Eksklusi 16
3.7 Teknis Analisis Data 16
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17
4.1 Hasil 17
4.1.1 Karakteristik Responden 17
4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden 19
4.1.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan
Prevalensi Kusta 20
4.1.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan
Prevalensi Kusta 22
4.2 Pembahasan 23
4.2.1 Karakteristik Responden 23
4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden 26
4.2.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan
Prevalensi Kusta 26
4.2.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan
Prevalensi Kusta 28
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 31
5.1 Kesimpulan 31
5.2 Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 33
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya
kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang
dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan kesehatan nasional. Kusta merupakan penyakit
yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat. Penderita kusta bukan
menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat
sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel diwajah dan
anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang
berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan mengecilnya otot
(Djuanda, 2008).
Berdasarkan data WHO pada akhir tahun 2007 jumlah penderita kusta
berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006 berjumlah 259.017 kasus di
dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terdeteksi
diseluruh dunia terus mengalami penurunan tapi tidak untuk Indonesia. Pada
tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang penderita kusta di
dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India
sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan
jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009). Penyebaran penyakit kusta dari suatu
tempat ke tempat lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada
tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka
morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat
beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur,
2
Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes
RI, 2005).
Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 kasus penyakit kusta di Indonesia
mengalami penurunan yang berarti dimana pada tahun 2000 angka morbiditas
penyakit kusta sebesar 7,6 per 10.000 penduduk, turun menjadi 5,9 per 10.000
penduduk pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan
menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan hingga tahun 2003 angka morbiditas
penyakit kusta hanya sebesar 1,3 per 10.000 penduduk dan menjadi 0,9 per 10.000
penduduk (Depkes RI, 2005). Di Indonesia pengobatan dan perawatan penyakit
kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan Puskesmas. Adapun
sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun 1992 yaitu pengobatan dengan
kombinasi MDT (multi drug therapy) secara teratur sampai selesai sesuai dengan
dosis dan waktu yang ditentukan untuk semua penderita kusta tetapi tanpa
melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan data di atas, provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke-6
se-Indonesia. Hal ini menunjukkan prevalensi penderita kusta di provinsi Jawa
Timur cukup tinggi. Untuk Kabupaten Jember prevalensi penderita kusta tertinggi
ke-4 se Jawa Timur. Kecamatan Puger terutama Desa Mojomulyo merupakan
salah satu daerah yang ikut menyumbangkan angka prevalensi kusta yang cukup
tinggi.
Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi
salah pada masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai
penyakit kutukan, penyakit keturunan, akibat guna-guna, salah makan, hingga
penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Pamahaman keliru
melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Penderita kusta semakin malang.
Ketakutan masyarakat tertular, membuat mereka tega mengusir penderita kusta.
Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak menular kesulitan untuk memulai hidupnya
lagi (Anonim, 2009).
Dari uraian di atas, peneliti ingin mencari hubungan antara tingkat
pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi
penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.
3
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo,
Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.
1.3 Tujuan
Mengetahui hubungan antar tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta
terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan
Puger, Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dalam menyusun perencanaan program pemberantasan
penyakit kusta selanjutnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam promosi kesehatan
kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan proses penyembuhannya.
3. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
4. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa ,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan
telinga (Notoatmodjo,1993).
Pengetahuan terhadap kesehatan adalah pengertian dan pola pikir yang
dimiliki oleh seseorang terhadap kesehatan yang diwujudkan dalam perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan. Pengertian dan Pola pikir seseorang terhadap
kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang
kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diperoleh secara formal maupun
non formal. Secara formal, pengetahuan kesehatan dapat diperoleh dari
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan dll. Sedangkan pengetahuan tentang kesehatan secara non formal
dapat diperoleh melalui media massa, media cetak, media elektronik.
Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas terhadap kesehatan
maka akan dapat memahami nilai kesehatan itu sendiri yang nantinya dapat
diwujudkan dalam perilaku yang selalu menjaga kesehatan pribadi maupun
lingkungan. Mayoritas masyarakat pedesaan kurang mendapat informasi tentang
kesehatan sehingga dalam menjaga kesehatannya masih menganut nilai-nilai
tradisional yang belum tentu benar.
5
2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu (notoatmodjo,2003):
1. Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari semuanya.
2. Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui.
3. Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada kondisi sebenarnya.
4. Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam
komponen-komponennya.
5. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan.
6. Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
objek.
2.1.3 Macam- Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Pendidikan
Pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan secara sadar dengan
tujuan untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik.
Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa pendidikan secara umum adalah
segala upaya yang direncanakan untuk mepengaruhi orang lain baik
individu, kelompok, maupun masyarakat, sehigga mereka melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 pasal 2,
jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik
serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. dan jenjang pendidikan
sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. di Indonesia terdapat 3 bentuk pendidikan dalam
sistesm pendidikan yaitu:
6
1) Pendidikan formal
Pendidikan yang diadakan di sekolah / tempat tertentu secara
sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta
berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi,
berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan formal
dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu pendidikan dasar diperuntukan
bagi warga negara yang berumur 7 tahun, pendidikan menengah
dibedakan atas pendidikan menengah pertama dan menengah atas,
sedangkan perguruan tinggi dengan lama belajar 3-5 tahun bagi
penduduk yang berusia diatas 19 tahun.
2) Pendidikan non formal
Pendidikan yang diadakan dengan sengaja, tertib, dan berencana,
diluar kegiatan persekolahan. Menurut Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/01975 tanggal 17 April, bidang
pendidikan non formal meliputi: pendidikan masyarakat,
keolahragaan, dan pembinaan generasi muda.
3) Pendidikan informal
Pendidikan yang diadakan oleh siapa saja, dimana saja dan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan ini terutama
berlangsung di lingkungan keluarga, tetapi dapat juga berlangsung di
lingkungan sekitar setiap hari tanpa ada batas waktu.
b. Pengalaman
Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami oleh
masyarakat dalam kehidupan, baik hal yang menyenangkan maupun
menyedihkan. Pengalaman diperoleh baik secara sadar maupun tidak sadar
yang dimulai sejak lahir sampai manusia tersebut meninggal. Pengalaman
yang diperoleh akan menambah pengetahuan seseorang yang nantinya
akan mempengaruhi tingkah laku.
7
2.2 Penyakit Kusta
2.2.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen
(Kosasih,2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang intraselular obligat (Kosasih, 2003).
2.2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang
telah terkena penyakit tersebut. Masukknya kusta ke pulau-pulau Melanesia
termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih,2003).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan
kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia. (Sri Linuwih,
2003).
Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial
ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin
subur penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu
penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan
terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi
terhadap infeksi Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran
klinis (spektrum dan lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh
faktor genetik yang berbeda (Hiswani,2000). Kusta terdapat dimana-mana,
terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah trpopis dan subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Pada tahun 1991 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan
8
masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di
bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT, 2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia
selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara
Wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang
lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di 55 Negara atau Wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda
di 16 Negara, dan 82%-nya di 5 Negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan
Nigeria). Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997
adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di
Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000
penduduk adalah 1.57 (EKT,2000). Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan
bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal
yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh
penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
1. Usia
2. Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
3. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
4. Ras
5. Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
6. Kesadaran social
7. Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat
sosial ekonomi rendah.
2.2.3 Gejala klinis
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama- kelamaan
semakin melebar dan banyak
c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus
d. Adanya bintil-bintil kemerahan (Leproma, Nodul) yang tersebar pada kulit
e. Alis rambut rontok
9
f. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut Facies Leomina (muka
singa) (Zulkipli,2002).
2.2.4 Patogenesis
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,
kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim (Arif mansjoer,2000).
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta
tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Arif
mansjoer, 2000). Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae, sebagian besar
(95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5%
interminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh
(Arif mansjoer,2000). Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon
tubuh setelah masa tunas di lampaui tergantung pada system imunitas selular
(cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang ke arah Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah
Lepromatosa (Arif mansjoer, 2000).
2.2.5 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
T I : Tuberkuloid Indefinite
BT : Borderlines Tuberculoid
BB: Mid Borderline
BL : Borderline Lepramatous
L I : Lepromatosa Indefinite
LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil.
10
Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya
Klasifikasi Zona spektrum Kusta
Ridley dan Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
Puskesmas Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
Sumber : Kokasih, 2003
Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi
berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa
Polar, yakni Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak
mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah
tipe campuran yang terdiri atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih
banyak Tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik
ke arah TT maupun ke arah LL (Sulistyowaty, 2005). Multibasiler berarti
mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan Pausibasiler
berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I (Sulistyowaty, 2005).
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan
Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan
Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.
11
Tabel 2.2 Gambaran Klinis Menurut WHO
Gambaran Klinis Tipe PB Tipe MB
Lesi Kulit (macula datar, Papul yang meninggi, Nodul)
1-5 lesi, hipopigmentasi/ eritema, distribusi tidak simetris, hilanya sensasi
yang jelas.
Lesi >5, distribusi lebih simetris, hilanya sensasi.
Kerusakan cabang saraf (menyebabkan saraf kehilangan sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh sraf yang terkena)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
(Sumber : WHO, 1995)
Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi
Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita
kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun (Arif mansjoer, 2000).
2.2.6. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,
antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung Mycobacterium Leprae
(Hiswani,2000).
2. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid.
12
Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),
ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik,
ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut (Hiswani, 2000).
2.1.7. Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh
Brown dan Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin (Kosasih,2003).
a. DDS
Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang
mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik,
Leukopenia, Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis
Epidermal Toksik, Hepatitis, Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia
(Kosasih, 2003).
b. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi
dengan DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau
setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh
karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu
atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih,2003). Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit (Zalbawi,2005).
c. Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg
selang hari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi
13
sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih
tinggi. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982
(Kosasih,2003). Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan
warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut
disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna dan tertimbun ditempat
tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi
dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen,
Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan
berat badan. Dapat juga tertimbun dihati. Perubahan warna tersebut akan
menghilang setelah obat dihentikan (Zalbawi, 2005).
d. Protionamid/etionamid
Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini
tidak atau jarang dipakai (Kosasih, 2003).
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ada dua karakteristik
dasar penelitian ini yaitu: 1) adanya analisis hubungan antar variabel, dan 2)
adanya pengamatan atau pengukuran terhadap variabel subyek penelitian menurut
keadaan ilmiah tanpa ada intervensi. Berdasarkan karakteristik tersebut maka
penelitian ini termasuk penelitian analitik observasional. Pendekatan dalam
penelitian analitik observasional yang digunakan adalah cross sectional desain
tanpa mengadakan pengukuran nilai prevalensi. Pendekatan ini digunakan karena
dalam penelitian subyek penelitian hanya diobservasi sekali tanpa upaya tindakan
berkelanjutan.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di wilayah desa
Mojomulyo kecamatan Puger.
Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Mojomulyo yang
memiliki anggota keluarga yang pernah menderita Kusta.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel bebas
Variabel yang menjadi penyebab dari hubungan antar faktor yang
dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang Kusta.
3.3.2 Variabel terikat
Variabel yang menjadi akibat dari hubungan antar faktor penyebab dalam
penelitian ini yaitu tingginya prevalensi kusta.
15
3.4 Definisi Variabel
3.4.1 Pengetahuan tentang Kusta
a. Definisi konseptual
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 1993).
Pengetahuan tentang Kusta adalah pengetahuan seseorang pasien
terhadap penyakit Kusta yang diderita.
b. Definisi operasional
Pengetahuan mencakup pengertian responden tentang penyakit
Kusta yang meliputi pengertian, penyebab, gejala penyakit, cara
penularan, pencegahan kecacatan, perawatan kecacatan dan pengobatan
penyakit Kusta. Pengetahuan ini diukur dengan menggunakan metode
wawancara (Gani,1998).
Untuk variabel ini terdapat 11 pertanyaan ,dimana tiap item terdapat
2 alternatif jawaban. Penilainanya yaitu:
a. Untuk pilihan jawaban yang benar mendapat nilai 1
b. Untuk pilihan jawaban yang salah mendapat nilai 0
Kemudian dari 11 pertanyaan tersebut dibuat dalam 2 kategori skor
yaitu:
Tinggi : skor ≥ 5
Rendah: skor <5
3.4.2 Prevalensi Kusta
a. Definisi konseptual
Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat
dalam satu waktu.
b. Definisi operasional
Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat
dalam satu waktu
16
3.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 3 dusun desa Mojomulyo Kecamatan Puger yaitu
dusun Krajan, Kalimalang dan Getem. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah
bulan Januari 2011.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelitian akan menggunakan metode kuesioner.
3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi
3.7.1 Kriteria Inklusi
Karakteristik sampel yang dapat dimasukan dalam penelitian ini adalah
masyarakat desa Mojomulyo yang memiliki anggota keluarga yang pernah atau
sedang menderita Kusta.
3.7.2 Kriteria Eksklusi
a. Masyarakat yang tidak memiliki anggota keluarga yang pernah
menderita Kusta
b. Masyarakat yang menolak memberikan informed consent
3.8 Teknik Analisis Data
Data hasil pengolahan dianalisis dengan Chi Square untuk uji Independensi.
Menurut Nawi dkk (2000), Chi Square untuk uji Independensi dua faktor
bertujuan untuk menguji apakah terdapat atau tidak suatu kaitan antara dua
faktor, jika ternyata tidak ada kaitan antara dua faktor , biasanya dikatakan
bahwa faktor-faktor itu bersifat independen atau saling bebas.
Penggunaan uji tersebut untuk analisis data penelitian karena data
penelitian merupakan data diskrit atau hasil penghitungan, dan variabel atau
faktor dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa kategori tingkatan atau
golongan.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 25 Januari – 29 Januari 2010 dengan
cara mengumpulkan data sekunder responden pasien kusta dan menyebarkan
kuesioner kepada responden. Responden pada penelitian ini adalah pria dan
wanita. Jumlah responden adalah 56 orang, yang terdiri dari 25 penderita kusta
dan 31 orang adalah kerabat dari penderita kusta.
4.1.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden penelitian merupakan penjelasan dari identitas yang
dimiliki oleh responden. Identitas yang dimaksud adalah ciri-ciri responden yang
digunakan sebagai sampel penelitian. Karakteristik responden perlu dijelaskan
guna mempermudah peneliti dalam menggambarkan keadaan responden secara
umum. Karakteristik responden pasien kusta dalam penelitian ini meliputi: jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Hasil selengkapnya tersaji berikut ini:
a. Jenis Kelamin Responden
Jenis kelamin koresponden yang dibedakan secara fisik dikategorikan
menjadi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Distribusi frekuensi jenis kelamin
responden berdasarkan data yang diperoleh tersaji dalam tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1 Distribusi tingkat pengetahuan koresponden berdasarkan jenis kelamin
No.Jenis Kelamin Koresponden
Penderita Kerabat penderita Totaln % N % N %
1. Laki-laki 12 48 11 36 23 412. Perempuan 13 52 20 64 33 59
Total 25 100.00 31 100.00 56 100.00Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)
18
Berdasarkan sebaran data jenis kelamin pasien Kusta pada tabel 4.2 dapat
dilihat bahwa jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada penderita laki-
laki. Sebanyak 48% dari penderita kusta adalah laki-laki dan 52% dari penderita
kusta adalah perempuan. Begitu pula dengan jumlah kerabat pasien kusta.
Sebanyak 64% adalah perempuan, sedangkan kerabat penderita kusta yang laki-
laki hanya 36%.
b. Pendidikan Responden
Pendidikan responden merupakan pendidikan terakhir formal yang pernah
ditempuh. Pengkategorian tingkat pendidikan responden didasarkan pada
pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen Pendidikan Nasional RI
(2003) yaitu tingkat pendidikan rendah apabila tidak sekolah - tamat SD, tingkat
pendidikan sedang apabila tamat SMP dan tingkat pendidikan tinggi apabila tamat
SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2, D3, S1, S2, maupun S3.
Pengkategorian tingkat pendidikan responden seperti pada tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.2 Distribusi koresponden berdasarkan tingkat pendidikan
No.Tingkat Pendidikan
pasien Kusta
Penderita kusta
Kerabat penderita kusta
Total
N % N % N %1. Pendidikan Rendah 16 64 22 71 38 682. Pendidikan Sedang 7 28 5 16 12 213. Pendidikan Tinggi 2 8 4 13 6 11
Jumlah 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)
Berdasarkan sebaran data tingkat pendidikan pasien Kusta pada tabel 4.2
dapat dilihat bahwa jumlah tingkat pendidikan rendah sebanyak 68% dan tingkat
pendidikan sedang 21 %, sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi 11 %.
c. Usia Responden
Usia responden adalah usia saat dilakukan penelitian terhitung setelah ulang
tahun terakhir. Distribusi frekuensi usia responden pasien kusta dapat dilihat pada
tabel 4.1 berikut ini :
19
Tabel 4.3 Distribusi pasien kusta berdasarkan golongan usia
No.Usia
korespondenPenderita kusta Kerabat penderita Total
n % n % N %1. < 25 9 36 5 16 14 252. 25-50 10 40 24 77 34 613. >50 6 24 2 6 8 14
Jumlah 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)
Berdasarkan sebaran data usia pasien kusta pada tabel 4.1 dapat dilihat
bahwa usia koresponden < 25 mempunyai nilai distribusi 25% dan usia
koresponden 25-50 mempunyai nilai distribusi 61%, sedangkan untuk usia
koresponden >50 mempunyai nilai distribusi 14 %.
4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden
Tingkat pengetahuan responden merupakan segala sesuatu yang diketahui
atau dimengerti responden tentang penyakit kusta. Pengetahuan pasien kusta
tentang penyakit kusta diukur menggunakan kuesioner melalui tes pengetahuan.
Pengetahuan pasien Kusta dihitung berdasarkan skor yang dijawab oleh
responden atas 11 pertanyaan berkaitan dengan penyakit kusta, dimana skor
terendah dari tes pengetahuan ini adalah 0 dan skor tertinggi adalah 11. Hasil
perhitungan skor tiap responden, kemudian dikategorikan menjadi pengetahuan
rendah dan tinggi. Pengetahuan tinggi apabila responden mempunyai jumlah nilai
tes pengetahuan >5 sedangkan pengetahuan rendah jika responden memiliki skor
pengetahuan ≤5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan pasien kusta tentang
penyakit kusta dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:
20
Tabel 4.4 Distribusi pasien Kusta berdasarkan tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta
No. Tingkat Pengetahuan Penderita Kerabat penderita TotalN % N % N %
1. Pengetahuan tinggi 3 12 31 100 34 612. Pengetahuan rendah 22 88 0 0 22 39
Total 25 100 31 100 56 100Sumber: Data Primer Terolah (2011)
Berdasarkan sebaran data tingkat pengetahuan pasien Kusta tentang
penyakit Kusta pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tinggi
mempunyai nilai distribusi 61% dan tingkat pengetahuan rendah mempunyai nilai
distribusi 39%.
4.1.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan Prevalensi
Pasien Kusta
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan Tingginya
prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo, digunakan analisis data uji Chi-Square.
Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel
tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di
Desa Mojomulyo didapatkan hasil:
a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X)
adalah sebesar 19675 Uji wald hitung (18,274) tersebut lebih kecil
daripada uji wald table (19675 (df=1; α=0,05));
b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.496 Tingkat
signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan
hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun
Kalimalang Desa Mojomulyo.
21
Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara
variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi
Kusta di tiap dusun Desa Mojomulyo didapatkan hasil:
1) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun
Kalimalang.
a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah
sebesar 0.873. Uji wald hitung (0.873) tersebut lebih kecil daripada uji
wald table (3,481 (df=1; α=0,05));
b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.227 Tingkat
signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan
hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun
Kalimalang Desa Mojomulyo.
2) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Krajan.
a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah
sebesar 0.852. Uji wald hitung (0.852) tersebut lebih kecil daripada uji
wald table (3,481 (df=1; α=0,05));
b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.528 Tingkat
signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan
hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun
Krajan Desa Mojomulyo.
3) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Getem.
a. Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X) adalah
sebesar 0.900. Uji wald hitung (0.900) tersebut lebih kecil daripada uji
wald table (3,481 (df=1; α=0,05));
22
b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.577 Tingkat
signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan
hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun
Getem Desa Mojomulyo.
4.1.1 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang kusta dengan
Prevalensi Kusta
Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang
Kusta dengan tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo dapat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi-Square dengan melihat nilai Coefisien Contingensi
pada model Symmetric Measure. kuat hubungan antara variabel tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa
Mojomulyo didapatkan nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.496 atau
sebesar 49.6% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan
tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 49,6%.
Untuk mengetahui kuat hubungan antara variabel tingkat pengetahuan
tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di tiap dusun Desa
Mojomulyo didapatkan hasil:
a. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan
tingginya prevalensi Kusta di Dusun Kalimalang.
Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan
bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.227 atau sebesar 23.0% artinya
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi
Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 23.0%.
23
b. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan
tingginya prevalensi Kusta di Dusun Krajan.
Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan
bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.528 atau sebesar 53.0% artinya
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi
Kusta di Dusun Krajan Desa Mojomulyo adalah sebesar 53.0%.
c. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan
tingginya prevalensi Kusta di Dusun Getem.
Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan
bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.577 atau sebesar 58.0% artinya
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi
Kusta di Dusun Getem Desa Mojomulyo adalah sebesar 58.0%.
4.2 Pembahasan
Pembahasan dari penelitian ini disesuaikan dengan hasil penelitian,
sehingga pembahasan juga dikelompokkan dalam jumlah yang sama dengan hasil
penelitian, yaitu dikelompokkan menjadi empat, meliputi karakteristik responden,
tingkat pengetahuan responden, hubungan antara tingkat pengetahuan tentang
penyakit kusta dengan prevalensi kusta, serta derajat hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang penyakit kusta dengan prevalensi kusta.
4.2.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan salah satu hal yang penting dalam
penelitian ini karena menurut De Zalduondo dalam Sedyaningsih (1999)
karakteristik individu merupakan salah satu penentu perilaku seseorang, termasuk
dalam penelitian ini berupa prevalensi kusta. Berdasarkan teori tersebut maka
peneliti berusaha mengkaji karakteristik responden di desa Mojomulyo
Kecamatan Puger Jember. Karakteristik responden pasien Kusta yang dikaji
dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.
24
a. Jenis Kelamin Responden
Persebaran jenis kelamin responden di tempat penelitian menunjukkan
bahwa responden penderita kusta yang perempuan lebih banyak daripada laki-
laki. Begitu pula dengan responden kerabat penderita yang perempuan lebih
banyak daripada yang laki-laki.
Hasil penelitian Supriyatno (2002) juga menyatakan tidak ada perbedaan
tentang kejadian kusta berdasarkan jenis kelamin, dimana dibuktikan dengan hasil
biakan kuman Mycobacterium leprae positif yang sama pada laki-laki dan
perempuan sebesar 1:1. Kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama
terinfeksi penyakit kusta.
b. Pendidikan Responden
Departemen Pendidikan Nasional RI (2003) mendefinisikan bahwa
pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan mulai dari usia
anak sampai dewasa, karena itu memerlukan berbagai cara dan sumber. Sistem
pendidikan dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan non formal.
Pendidikan formal yaitu pendidikan yang berstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan
informal yaitu pendidikan yang diperoleh lewat berbagai jalan atau program yang
dikenal dengan istilah penyuluhan, sedangakan pendidikan non formal adalah
jalur pendidikan diluar jalur pendidikan formal yang dapat dilaksanakan dengan
terstruktur dan berjenjang. Pendidikan responden yang diteliti dalam penelitian ini
hanyalah meliputi pendidikan formal responden.
Pengkategorian tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini
didasarkan pada pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen
Pendidikan Nasional RI. Menurut Departemen Pendidikan Nasional RI (2003)
terdapat tiga tingkatan pendidikan formal yaitu tingkat pendidikan rendah apabila
tidak sekolah - tamat SD, tingkat pendidikan sedang apabila tamat SMP dan
tingkat pendidikan tinggi apabila tamat SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2,
D3, S1, S2, maupun S3. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan
25
tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa 68% dari koresponden
mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Depkes (2007), yang menyatakan bahwa mayoritas penderita
kusta adalah kelompok usia produktif, ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah.
Tingginya angka kesakitan kusta pada kelompok responden berpendidikan
rendah yang dihasilkan dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena
kurangnya pendidikan responden menyebabkan rendahnya pengetahuan
responden tentang Kusta, sehingga upaya pencegahan responden agar tidak
terserang kusta menjadi rendah pula. Hal ini diperkuat pendapat Notoatmodjo
(2003) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan
juga untuk meningkatkan kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut Mubarak (2007) makin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Mantra (dalam
Fatma, 2000) juga menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar,
dimana makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk
menerima informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan yang tinggi menyebabkan
pemahaman tentang penyakit menjadi tinggi sehingga upaya pencegahan penyakit
menjadi tinggi pula, sedangkan pengetahuan yang kurang menyebabkan
pemahaman tentang penyakit menjadi rendah sehingga upaya pencegahan
masyarakat menjadi rendah pula dan pada akhirnya menyebabkan mereka mudah
terserang penyakit kusta.
c. Usia Responden
Hiswani (2004) menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang selalu
diperhatikan di dalam penelitian epidemiologi. Pola kesakitan atau kematian akan
lebih mudah membacanya bila dikelompokkan berdasarkan golongan usia.
Beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan suatu keadaan kesehatan
seseorang dengan usia antara lain : perkembangan fisiologis dan imunitas tubuh.
Notoatmodjo (2003) juga mengatakan bahwa usia memiliki hubungan dengan
26
tingkat keterpaparan, besarnya risiko serta sifat resistensi terhadap penyakit.
Berdasarkan teori tersebut maka peneliti berusaha mengkaji usia responden di
Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember.
Persebaran usia responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa
mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif. Hal ini ditunjukkan
dengan jumlah penderita kusta di usia 25-50 tahun adalah 40%. Hasil penelitian
ini juga diperkuat dengan pendapat Hiswani (2004) yang menyatakan bahwa
penyakit kusta umumnya terjadi pada kelompok usia produktif. Faktor utama
terjadinya penyakit ini adalah keberadaan kuman di dalam tubuh seseorang.
Seseorang yang terkena penyakit kusta ini biasanya sudah terinfeksi lama sebelum
ia merasakan keluhan bercak di kulit.
4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden
Tingkat pengetahuan responden penderita kusta dikategorikan menjadi
pengetahuan tinggi dan dan rendah. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
berdasarkan tingkat pengetahuan responden menunjukkan bahwa 88% dari
penderita kusta memiliki tingkat pengetahuan rendah. Hal ini dapat disebabkan
karena beberapa hal antara lain kurangnya informasi yang diperoleh oleh
responden tersebut. Notoatmodjo (2006) menyatakan bahwa pengetahuan
kesehatan diperoleh melalui pendidikan kesehatan dan dalam hal ini pendidikan
kesehatan tidak lepas dari proses belajar atau adanya penyuluhan dan pengalaman.
4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit Kusta dengan
Prevalensi Kusta
Pengetahuan penderita kusta mencakup pengertian responden tentang
penyakit ksta yang meliputi gejala penyakit kusta dan penyebabnya, penyakit
kusta dapat menularkan orang lain, penyakit kusta dapat membahayakan dirinya
bila tidak diobati secara teratur, penyakit kusta dapat diobati, dan tanda-tanda
kesembuhan penyakit kusta. Pengetahuan ini diperoleh oleh penderita kusta
melalui indera yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo
(2005b) yaitu pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
27
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba.
Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan
tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo diketahui dengan menggunakan
analisis data uji Chi-Square. Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk
mengetahui hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta
dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo menunjukkan bahwa
variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan secara
signifikan atau nyata dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo
(p=0.000). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Neisser dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku
seseorang (overt behavior). Artinya dalam penelitian ini adalah pengetahuan
pasien kusta tentang penyakit kusta merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk perilaku hidup bersih dan sehat, guna mencegah penyebaran Kusta.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sari (2008) yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pengetahuan tentang penyakit kusta
dengan pengobatan kusta. Menurut Sari (2008), pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk menimbulkan tindakan seseorang terutama pada orang
dewasa. Terbentuknya kesadaran (over behavior) adanya bahaya penyakit dimulai
dari pemberian informasi yang jelas dan benar melalui pemberian pengetahuan,
sehingga mempunyai peluang terhadap kepatuhan seseorang dalam pengobatan.
Tingkat pengetahuan yang rendah mempunyai peluang untuk lebih besar tidak
patuh terhadap pengobatan dibanding pengetahuan yang tinggi, sehingga tingkat
pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan dengan kepatuhan berobat pada
pasien Kusta.
Adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang
penyakit Kusta dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta juga sesuai dengan
pendapat Suyatmi (2000). Menurut Suyatmi (2000) secara teori, apabila seseorang
mengetahui tentang pentingnya penyakit yang dideritanya, maka seseorang
28
tersebut akan mengerti tentang rencana tindakan dan pengobatan yang akan
diberikan padanya. Adanya pengetahuan merupakan tahap awal dalam proses
perubahan perilaku, sehingga pengetahuan merupakan faktor internal yang
mempengaruhi perubahan perilaku. Menurut Sarlito dalam Fatma (2000),
pengetahuan akan membentuk sikap, dan sikap akan mempengaruhi perilaku.
Berdasarkan teori-teori tersebut dapat diketahui bahwa tinggi atau rendahnya
pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta mempengaruhi pengertian pasien
kusta tentang rencana tindakan dan pengobatan yang akan diberikan padanya
sehingga menyebabkan pasien tersebut membentuk sikap menerima atau menolak
terhadap pengobatannya. Sikap yang telah dibentuk oleh pasien kusta tersebut
akan mempengaruhi perilaku pengobatannya atau mempengaruhi keteraturan
perilakunya dalam berobat.
4.2.4 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan
Kepatuhan Berobat Pada Pasien Kusta
Hasil penelitian menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi
Kusta di Desa Mojomulyo. Sebesar 49,6%. Untuk Dusun Kalimalang kuat
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi
kusta sebesar 23%, Dusun Krajan sebesar 53%, dan Dusun Getem sebesar 58%.
Berdasarkan data dari 3 Dusun tersebut, derajat hubungan paling tinggi
pengaruhnya di Dusun Getem, sedangkan hubungan terendah pengaruhnya di
Dusun Kalimalang.
Hasil penelitian Kustin 2007, yang menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan tentang kusta cukup berhubungan dengan kepatuhan berobat pada
pasien Kusta, namun kepatuhan berobat pada pasien kusta juga berhubungan
dengan faktor lain selain faktor tingkat pengetahuan tentang Kusta. Faktor lain
yang mungkin berhubungan dengan prevalensi kusta diantaranya menurut
Hamzah (2009) yaitu adanya perasaan atau merasa sudah sembuh, kemiskinan,
dan kurang motivasi. Aditama (2006) mengemukakan bahwa tingkat kepatuhan
dalam pengobatan TB juga dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga seperti
29
pendampingan pada saat melakukan pengobatan. Dengan adanya dukungan dan
pendampingan dari keluarga secara tidak langsung akan memberikan dukungan
moral bagi penderita untuk patuh dalam melakukan pengobatan karena mengingat
penilaian masyarakat terhadap mereka yang menderita penyakit ini dianggap
sebagai kutukan dan harus dijauhi. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh
Kusnanto (2004) bahwa faktor sosial seperti dukungan keluarga berperan terhadap
patuh atau tidaknya seseorang melakukan pengobatan Kusta. Pernyataan yang
sama juga dikemukakan oleh Niven (2002) bahwa dukungan sosial dalam bentuk
dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain seperti teman, waktu dan
uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program
medis.
Faktor lain yang juga mungkin berhubungan dengan kepatuhan berobat pada
pasien Kusta adalah keseriusan pandangan pasien Kusta terhadap penyakitnya.
Lewin dalam Notoadmodjo (2006) menyatakan bahwa tindakan individu untuk
mencari pengobatan dan pencegahan penyakit didorong oleh keseriusan penyakit
tersebut terhadap individu atau masyarakat. Anderson dalam modul sistem
kesehatan juga mengemukakan mengenai karakteristik kebutuhan. Dalam
karakteristik kebutuhan ini Anderson dalam Notoatmodjo (2006) tentang faktor
predisposisi dan faktor yang memungkinkan seseorang untuk mencari pengobatan
dapat terwujud dari dalam tindakan apabila dirasakan sebagai kebutuhan. Dari
kedua teori tersebut dapat diketahui bahwa kepatuhan berobat tergantung dari
bagaimana seseorang mendukung keseriusan penyakit yang dirasakan dan
seberapa besar kebutuhan yang dirasakan terhadap suatu pengobatan. Apabila
penderita merasakan keseriusan terhadap penyakitnya dan membutuhkan
pengobatan maka penderita tersebut akan patuh dan taat dalam berobat begitu juga
sebaliknya.
Menurut Soewandi dan Surasa dalam Kusnanto (2004) menyatakan bahwa
aspek keyakinan terhadap norma subjektif penderita tentang Kusta (penyakit
Kusta adalah penyakit yang memalukan dan kutukan) juga berpengaruh terhadap
kepatuhan berobat. Priyanti dan Ratnawati dalam Kusnanto (2004) menyatakan
30
bahwa kepatuhan berobat penderita Kusta justru tergantung dari motivasi yang
kuat, rumit tidaknya pengobatan, serta kelupaan dan efek samping obat.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
a. Ada hubungan nyata antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta
dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger.
b. Derajad hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta
dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger adalah
sebesar 49,6%.
5.2 Saran
Saran dari hasil penelitian ini adalah:
a. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai factor-faktor lain yang
mempengaruhi prevalensi kusta
b. Perlu dilakukan upaya tindak lanjut untuk menurunkan prevalensi kusta.
32
DAFTAR PUSTAKA
Alimul. 2003. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
Arif Mansjoer (dkk), 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Djuanda Adhi (dkk) 2001. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI
Danim. 1997. Study Ilmu Pengetahuan.Jakarta: CV Sugeng Santoso Pamungkas
Depkes RI. 1996. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta:
Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman
Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyaki Kulit. Jakarta:Hipokrates
Notoadmodjo. 1993. Pengetahuan Manusia. Jakarta: Inter Aksara
Poerwodarminto.1981. Apa Itu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit PT
Intan Pariwara
Sapto Harnowo & Fitri H. Susanto, 2001. Keperawatan Medikal Bedah Untuk
Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Anonymous (2004), http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=
2&id=106064&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=190, diakses
Februari 2011
Anonymous.2004.http://www.suarapembaruan.com/News/2003/01/17/Kesra/
kes01 .htm diakses Februari 2011
Anonymous(2004)http://www.lin.go.id/detail.asp?
idartcl=210103KEST0001&by=topic, diakses Februari 2011
Anonymous(2004), http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg03334.html
diakses Februari 2011
Anonymous (2004), http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html, diakses Februari
2011
33
LAMPIRAN
Daftar lampiran:
1. Format kuesioner
2. Absensi penyuluhan
3. Materi Penyuluhan
4. Jadwal Kegiatan
5. Dokumentasi Kegiatan