Kumpulan Tulisan Baru

77
Strategi Menjadi Warga Indonesia Multikultural Konflik antaretnik dan antaragama di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun terakhir memberikan tiga pelajaran sosial penting bagi Indonesia. Pertama, melemahnya relasi ke- kita-an dan menguatnya relasi ke-kami-an. Kedua, menguatnya identitas kelompok, saling menstigma, dan akhirnya komunikasi antaretnik dan antarkelompok menjadi mandeg. Ketiga, warga belum cukup kuat dan cerdas secara sosial hidup berdampingan dalam semangat kebihnekaan yang menjadi ikon keberagamaan Indonesia. Salah satu strategi dalam mencari solusi konflik itu adalah mendorong pendidikan multikultural bagi warga Indonesia, melalui tiga strategi: (1) pembelajaran etika berkoeksistensi, (2) pembangunan kampung majemuk, dan (3) pelatihan keterampilan berkomunikasi. Ketiga strategi ini adalah cara pencerdasan sosial Kata kunci: pendidikan multikultural, pelajaran sosial, etika berkoeksistensi, kampung majemuk, pencerdasan sosial. Tanggal 5-9 Oktober 2004 lalu berlangsung Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V di Hotel Sangrila Surabaya. Yang punya gawe adalah Universitas Negeri Surabaya. Banyak topik dan masalah yang berkelindan dengan pendidikan di Indonesia dibicarakan di sini, oleh berbagai pakar, dan dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah topik mengenai pendidikan multikultur. Topik ini akhir-akhir ini tidak saja menarik, tetapi telah menjadi kebutuhan peradaban Indonesia yang berbasis kemajemukan.

Transcript of Kumpulan Tulisan Baru

Page 1: Kumpulan Tulisan Baru

Strategi Menjadi Warga Indonesia Multikultural

Konflik antaretnik dan antaragama di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun terakhir memberikan tiga pelajaran sosial penting bagi

Indonesia. Pertama, melemahnya relasi ke-kita-an dan menguatnya relasi ke-kami-an. Kedua, menguatnya identitas kelompok, saling

menstigma, dan akhirnya komunikasi antaretnik dan antarkelompok menjadi mandeg. Ketiga, warga belum cukup kuat dan cerdas secara

sosial hidup berdampingan dalam semangat kebihnekaan yang menjadi ikon keberagamaan Indonesia. Salah satu strategi dalam mencari solusi

konflik itu adalah mendorong pendidikan multikultural bagi warga Indonesia, melalui tiga strategi: (1) pembelajaran etika berkoeksistensi, (2) pembangunan kampung majemuk, dan (3) pelatihan keterampilan

berkomunikasi. Ketiga strategi ini adalah cara pencerdasan sosial

Kata kunci: pendidikan multikultural, pelajaran sosial, etika berkoeksistensi, kampung majemuk, pencerdasan sosial.

Tanggal 5-9 Oktober 2004 lalu berlangsung Konvensi Nasional

Pendidikan Indonesia V di Hotel Sangrila Surabaya. Yang punya

gawe adalah Universitas Negeri Surabaya. Banyak topik dan

masalah yang berkelindan dengan pendidikan di Indonesia

dibicarakan di sini, oleh berbagai pakar, dan dari berbagai sudut

pandang. Salah satunya adalah topik mengenai pendidikan

multikultur. Topik ini akhir-akhir ini tidak saja menarik, tetapi telah

menjadi kebutuhan peradaban Indonesia yang berbasis

kemajemukan.

Pertanyaannya adalah, mengapa perlu pendidikan

multikultural? Sebagai bangsa yang telah lama mendengung-

dengungkan bhineka tunggal ika, belumkah kita berhasil secara

cerdas mengelola kemajemukan sebagai keniscayaan Indonesia?

Pelajaran Dan Soal Sosial

Page 2: Kumpulan Tulisan Baru

Konflik horizontal di beberapa daerah di Indonesia dalam lima

tahun terakhir telah menyeret masyarakat ke dalam permusuhan

antaretnik dan antarpemeluk agama. Sedikitnya ada tiga pelajaran

sosial penting mengenai relasi antaretnik dan antaragama yang

kita terima dari konflik itu. Pertama, melemahnya relasi ke-kita-an

dan menguatnya relasi ke-kami-an. Relasi kekitaan yang

menghargai kesadaran koeksistensi dalam keseimbangan hidup

antaretnik dan antarpemeluk agama dengan begitu cepat

digantikan dengan divergensi etnik dan klaim keagamaan yang

mengedepankan semangat kekamian. Kedua, konflik tersebut

secara cepat-dan-segera melahirkan penguatan identitas

kelompok, saling menstigma, dan akhirnya ruang-ruang komunikasi

antaretnik dan antarkelompok menjadi mandeg. Segregasi

merupakan tapal batas sosial yang menghancurkan tatanan

keragaman sebagai bagian penting dari majunya Indonesia. Ketiga,

dari konflik tersebut juga kita temukan suatu pelajaran sosial baru

bahwa ternyata kita masih belum cukup kuat dan cerdas secara

sosial dalam hidup berdampingan atau berkoeksistensi dalam

semangat kebihnekaan yang menjadi ikon keberagamaan kita.

Tiga pelajaran sosial di atas sungguh tidak saja telah

memperlihatkan, tetapi juga telah mengagetkan kita—sebagai

nation-state—mengenai betapa kita telah kehilangan orientasi

hidup berkoeksistensi dan merawat keragaman sebagai

keniscayaan historik Indonesia. Jargon keragaman yang tercetak-

biru dalam idiom bhineka tunggal ika ternyata hanya mampu

membawa kita kepada ruang-ruang interaksi sosio-kultural yang

hanya cukup melek keragaman dalam suatu ikatan “sapu lidi”

kemajemukan Indonesia, tetapi belum berhasil memberikan isian

kesadaran mengenai wajibnya kecerdasan mengelola koeksistensi

dalam ikatan yang bernama bhineka tunggal ika itu. Konstruksi

kultural atas nosi “bercerai berai tetapi tetap satu juga” ternyata

2

Page 3: Kumpulan Tulisan Baru

telah mereduksi kita ke dalam ketunggalan dan merabunkan kita

dari keharusan Indonesia untuk membentuk kerangka multikultur.

Jargon itu kemudian hanya sanggup mengantar kita kepada ke-

tunggalika-an dalam kuasa kaki tangan negara tetapi gagal

membelajarkan kita untuk melihat kenyataan keragaman Indonesia

sebagai realitas sejarah.

Pada bagian lain, kebudayaan Indonesia yang dimaknakan

sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah ternyata hanya

merupakan perjumlahan “pertumpukan” sediaan kultur pada etnik-

etnik (di) Indonesia. Bahkan, sebagai perjumlahan kebudayaan

daerah, kebudayaan Indonesia tak jarang didudukkan dalam peran-

peran sekunder dan menjadi “ fosil” kebudayaan. Taman Mini

Indonesia Indah (TMII) dan berbagai pemberian kesempatan

kepada pertumbuhan kebudayaan daerah hanya sebatas menjadi

alat kebudayaan bagi pemberian kesempatan atas semua dalam

tiap-tiap dan dalam kerangka pemonolitikan kebudayaan,

pemonokulturalan kebudayaan, bahkan penghambaan kebudayaan

daerah atas kebudayaan Indonesia.

Berikut, diaspora sejumlah etnik Indonesia ke berbagai ruang

mukim etnik lain sejak Indonesia merdeka telah membentuk

kawasan mukim baru di berbagai daerah di Indonesia dan

mengubah wajah sosial Indonesia dari mukiman monokultur ke

kawasan-kawasan mukim baru yang multikultur.

Sebut saja misalnya diaspora Jawa-Madura, Minang, dan Bugis-

Makassar ke sejumlah daerah daerah di Indonesia. Dalam jangka

waktu tertentu tampaknya daerah-daerah baru yang multikultural

ini aman dalam interaksi lintas-etniknya. Tetapi siapa nyana

kemudian terjadi bentrok sosial yang membawa etnik Madura dan

Dayak ke dalam perseteruan fisik hingga berdarah? Siapa nyana

kemudian terjadi bentrok antarpemeluk agama di Poso, Maluku,

dan Maluku Utara hingga ratusan bahkan ribuan nyawa meregang?

3

Page 4: Kumpulan Tulisan Baru

Ruang-ruang sekolah, ruang kerja, dan berbagai ruang publik

yang lain memang telah mencerminkan realitas keragaman

Indonesia. Akan tetapi ruang-ruang publik bersama itu belum

mampu mempertemukan kita sebagai ruang kemajemukan.

Sekolah hanya mampu menjadi lembaga pencerdasan bangsa pada

aras pemandaian akal, tetapi belum cukup menjadikan dirinya

sebagai lembaga pengelola dan pusat pencerahan mengenai gairah

dan semangat menerima perbedaan dan kesadaran mengenai

being together, ‘ada-bersama’. Ambil contoh: konflik-konflik

horizontal yang dipicu, baik oleh soal-soal ketimpangan ekonomi

antarkelompok masyarakat, soal-soal politik, maupun soal

pemahaman keagamaan di beberapa daerah di Indonesia (Sampit,

Poso, Maluku, dan Maluku Utara, sekadar menyebut beberapa di

antaranya), telah menceraiberaikan sekolah. Murid dan guru

terceraikan dan sekolah (baca: kegiatan pencerdasan) tak bisa

menjadi sarana yang berfungsi sebagai penghenti kekerasan

lintasetnik dan lintasagama dan tak bisa menjadi jembatan sosial

yang senantiasa menjadi penghubung bagi selalu dirawatnya

keragamnan. Pada aras ini, muncul sejumlah soalan sosial lain:

Apakah sekolah juga gagal mengelola keberbedaan? Apakah secara

individual kita belum cukup cerdas secara lintas-etnik? Apakah

menguatnya kembali identitas kelompok di pemukiman yang

multikultural karena kepentingan kelompok tak begitu terwadahi

dalam hubungan yang setara dan adil dalam berbagai hajat hidup?

Era otonomi daerah yang merupakan buah dari reformasi

kepemerintahan yang dilegitimasi oleh Undang-Undang 22 dan 25,

juga telah membuahkan semangat penguatan identitas etnik dan

wilayah kultur dalam pembentukan kabupaten, kota, dan provinsi.

Ada dua sebab. Pertama, semasa pemerintahan Orde Baru, terjadi

ketimpangan antarwilayah, antarprovinsi, dan antarkebupaten/kota

dalam provinsi. Ketimpangan itu dapat berupa ketimpangan

4

Page 5: Kumpulan Tulisan Baru

ekonomi, pelayanan publik, fasilitas, dan yang paling menarik

adalah tidak meratanya akses komunitas dalam berbagai okupasi.

Kedua, ada dominasi komunitas yang satu kepada yang lain dalam

suatu ruang sosial yang multietnik. Mobilitas vertikal etnik tertentu

dalam suatu wilayah multietnik telah menjadikan etnik tersebut

mendominasi sejumlah besar okupasi di pemerintahan, pendidikan,

industri, perdagangan, politik, dan membuat termarginalkan etnik

lain. Akhirnya ketika Undang-undang 22 dan 25 tahun 2001 sebagai

kran pembuka diluncurkan, menyeruaklah semangat pemekaran

yang secara sosio-psikologis merupakan “gerakan kembali ke

kampung” untuk mengurus dirinya sendiri. Pada saat yang sama

identifikasi kultur-etnik menjadi penentu garis-batas wilayah.

Meskipun menggunakan nama dan batas-batas geografis, tetapi

jika ditilik, pengwilayahan itu sesungguhnya adalah pengwilayahan

geokultural. Ketimpangan dan dominasi menjadi pencetus lahir

atau menguatnya identitas etnik dan UU 25 hanyalah pipa penyalur

lahirnya keinginan “memisahkan diri” dari provinsi atau

kabupaten/kota induk.

Pencerdasan Sosial

Dari sekian banyak soalan sosial di atas, dapat dirumuskan

satu hipotesis: kita memang belum cukup kuat dan cerdas secara

sosial dalam hidup berdampingan, hadir-bersama, tumbuh

bersama, dan menjadikan asal-muasal etnik dan ragam pilihan

keagamaan sebagai hukum Tuhan ( the law of God, sunnatullah)

yang harus dihargai dan dijadikan sebagai kesadaran teologis

dalam mengolah dan mengelola kemajemukan itu.

Salah satu cara yang kita tempuh dalam mendorong

pendidikan multikultural adalah melalui strategi pencerdasan sosial

lintas-etnik (social intellectualizing strategy). Siasat ini merupakan

5

Page 6: Kumpulan Tulisan Baru

bagian penting dari bagaimana mewujudkan secara nyata

pendidikan multikultur sebagai jalan pembelajaran mengenai

penghargaan atas keberadaan dan kebersediaan hidup dalam

kekuatan kebertetanggaan dalam bingkai koeksistensi. Inilah

hakikat pendidikan multikultur. Secara konsepsional, pencerdasan

sosial lintas-etnik ditempuh melalui tiga cara: pembelajaran etika

berkoeksistensi, pembangunan kampung majemuk, dan pelatihan

keterampilan berkomunikasi.

Kita mengandaikan dan atau mengidealkan bahwa masyarakat

majemuk harus dibangun melalui dasar-dasar bersosial secara

lintas-etnik yang kuat. Dasar-dasar bersosial akan menjadi kuat bila

di masyarakat selalu berlangsung cara-cara untuk memelihara dan

merawat suatu perasaan, pikiran, dan perilaku berinteraksi

mengenai anggapan bahwa manusia memiliki dan perlu

mendapatkan hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Inilah

etika berkoeksistensi. Ada kesadaran mengenai hadir-bersama,

berdampingan, dan menghargai keberadaan dan keberbedaan.

Sumber-sumber etika berkoeksistensi dapat ditempuh melalui

dua cara: (1) menemukan kembali dan menyusun semangat

kebertetanggan yang “tersimpan” dalam kearifan lokal masing-

masing etnik, dan (2) pembacaan kembali teks-teks keagamaan

mengenai cinta sesama sebagai pengejawantahan dari sifat-sifat

Tuhan yang mencintai manusia, melalui penguatan atas watak

humanisme yang dimiliki semua agama-agama.

Penguatan kembali kearifan lokal tentang semangat

kebertetanggaan (neighborhood) dapat dilakukan melalui kodifikasi

dan revitalisasi budaya lokal. Ini dapat dilakukan jika legislatif dan

eksekutif di daerah memiliki kemauan dan kemampuan untuk

menyusun strategi pembangunan kebudayaan lokal. Semangat

kebertetanggaan, suka menolong, dan tanpa pamrih—meskipun

berlangsung hukum pertukaran sosial dalam semangat

6

Page 7: Kumpulan Tulisan Baru

kebertetanggan dan saling tolong itu—merupakan modal

berkoeksistensi yang menjadi syarat dasar dari tertatanya suatau

masyarakat multikultural. Semanagt hadir-bersama yang menjadi

modal sosial (social capital) setiap etnik harus dibangkitkan

kembali pada semua komunitas yang berada pada sebuah ruang

mukim yang bernama masyarakat majemuk. Pembangkitan

kembali semangat kebertetangaan—sebagai kearifan lokal—yang

telah terhilangkan atau terlupakan karena berbagai perbenturan

dalam interaksi masyarakat majemuk merupakan salah satu cara

mendapatkan dasar-dasar hubungan sosial masyarakat multikultur.

Kampung Majemuk

Jika mengandalkan rekonstruksi etika berekosistensi yang

“dibangkitkan” kembali melalui semangat bertetangga

sebagaimana terbangun dalam hubungan sosial masyarakat

berkultur atau beretnik tunggal—sebagai “lawan” dari masyarakat

multietnik-multikultur—di sejumlah besar desa di Indonesia, maka

itu baru pada tataran kesadaran teologis. Meski menjadi dasar,

etika berkoeksistensi baru pada tataran kesadaran batiniah. Untuk

menampilkannya pada tataran praktek dan dapat tumbuh-kembang

nyata dalam pola perilaku, perlu dibangun sebuah siasat pelatihan

multikultur melalui pembangunan kampung majemuk (pluralistic

village). Apa yang dilakukan oleh Dirjen Diklusepora Depdiknas

melalui program Kapal Nusantara dengan “mengkampungkan”

pemuda di seluruh Indonesia dalam sebuah pelayaran melintas

nusantara dengan kapal Pelni beberapa waktu lalu adalah salah

satu bentuk dari pembangunan kampung majemuk. Meski

berlangsung singkat, program kampung majemuk ini sedikitnya

telah memperjumpakan satu generasi Indonesia dalam suatu arena

sosial yang dapat membikin mereka belajar menerima, dan

7

Page 8: Kumpulan Tulisan Baru

menghargai perbedaan; dan itu telah menjadi pengalaman

berharga bagi mereka.

Ada beberapa cara lain yang dapat ditawarkan mengenai cara

pembangunan kampung majemuk. Pertama, membentuk desa-desa

di Indonesia sebagai desa atau kampung yang tidak hanya dihuni

oleh komunitas, tetapi membikin kampung yang dihuni oleh

beberapa etnik dengan jumlah yang seimbang, tidak mayoritas dan

minoritas. Di sana diciptakan sebuah kultur multikultur dengan

menciptakan program pemajuan sosial dan eknomi yang equal.

Mungkin dibuat pilot project untuk kawasan tertentu di Indonesia

yang tingkat homogenitasnya tinggi.

Dari negara ada pendampingan melalui sebuah model baru

bertransmigrasi: menciptakan satu transmigrasi baru yang

pemukimnya berasal dari berbagai etnik di Indonesia. Komposisi

penduduknya seimbang dalam hal asal etnik. Ada dua keuntungan

dari pembangunan kampung semacam ini. Dari segi persebaran

penduduk, dengan model ini, kita dapat mencapai persebaran

penduduk yang tidak saja merata, tetapi juga dapat membikin

sebuah hybrid society karena para transmigran tidak saja berasal

dari satu etnik saja, tetapi berasal dari berbagai etnik di Indonesia

satu ruang mukim bersama. Selama ini program transmigrasi

hanya dilakukan dengan menempatkan satu etnik dalam suatu

ruang baru dan “terpisah” dengan masyarakat tempatan. Ini

melahirkan stereotip ada penduduk tempatan dan ada penduduk

pendatang.

Pada pembangunan kampung majemuk dengan model baru

bertransmigrasi ini, semua orang adalah “baru” di tempat itu.

Mereka akan mendapatkan pengalaman baru, menghadapi

masalah baru secara bersama, dan oleh karena itu, jika

pendampingan dapat berlangsung baik, akan tercipta sutau

solidaritas mekanik (mechanical solidarity) baru di kampung

8

Page 9: Kumpulan Tulisan Baru

majemuk itu. Di sanalah awalnya mereka mulai menemukan

perbedaan, tetapi perbedaan dapat dijalani, oleh karena mereka

berhasil memecahkan masalah-masalah yang sama-sama mereka

temukan.

Dalam jangka panjang, masyarakat dalam kampung majemuk

dapat bergerak ke dua arah pembentukan masyarakat yang

berbeda: menjadi masyarakat yang berkarakter cultural hybrid

kemudian menuju masyarakat monokultural atau tetap menjadi

masyarakat majemuk dan menjadikan perbedaan sebagai niscaya

yang dikelola. Ke arah pembentukan masyarakat yang mana dari

dua kemungkinan ini, pertama-tama ditentukan oleh program-

program pendampingan sosial, ekonomi, dan budaya yang

dirancang kusus untuk pembangunan kampung majemuk ini.

Transmigrasi dengan model pembangunan kampung majemuk

tidak sekadar pemindahan penduduk dari wilayah ke wilayah oleh

alasan pemerataan kepadatan penduduk, tetapi yang paling

penting adalah memberikan dasar-dasar hubungan sosial warga

Inodonesia yang berorientasi multikultur.

Kampung majemuk juga dapat dilakukan di sekolah.

Pertukaran siswa lintas-kabupaten dan lintas provinsi bagi siswa

yang berbeda asal etnik dan pilihan keagamaan merupakan satu

siasat pembangunan kampung majemuk sebagai kerangka kedua

pengejewantahan dan pelatihan etika berkoeksistensi.

Pengalaman-pengalaman yang ditemukan siswa dalam satu kelas

majemuk akan menjadi pengalaman berharga. Dengan demikian,

sekolah tidak saja merupakan lembaga pemandaian akal, tetapi

juga sebagai medium pencerdasan sosial bagi satu generasi

Indonesia yang cerdas berkomunikasi dan saling menggapai dalam

suatu ruang kesadaran dan etika berkoeksistensi.

Pembelajaran etika berkoeksistensi dan pembangunan

kampung majemuk dalam jangka panjang akan menjadikan warga

9

Page 10: Kumpulan Tulisan Baru

Indonesia cerdas sosial, karena dalam kedua siasat ini akan terjadi

akumulasi keterampilan berkomunikasi dalam semangat saling

hargai dan saling paham bahwa keragaman adalah hukum alam

yang perlu dikelola demi kestabilan keindonesiaan.

Simpulan

Jadi, pendidikan multikultur setidaknya ditempuh melalui tiga

cara: (1) pembelajaran etika koeksistensi, (2) pembangunan

kampung majemuk (pluralistic village development), dan (3)

pelatihan keterampilan berkomunikasi. Ketiga siasat ini disebut

sebagai strategi pencerdasan sosial (socially intellectualizing

strategy). Strategi pencerdasan ini dilakukan untuk memberikan

bobot pada semangat kekitaan dalam konteks keindonesiaan

sebagai cara untuk membentuk keetnikan Indonesia yang cerdas

secara sosial lintas-etnik dalam kerangka pembentukan warga

Indonesia yang hidupnya berorientasi multikultural (multicultural

oriented).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Penerjemah Tim KUNCI Cutlural Stduies Center, Jakarta, Bentang, 2005.

10

Page 11: Kumpulan Tulisan Baru

[2] Hawasi, Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme dalam Budaya Indonesia yang Plural, Proceeding Seminar Nasional PESAT, hlm S40-S47, Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma, Depok, 2005.

[2] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Gramedia, Jakarta, 2004.

. [3] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai

Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.

[4] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, Clarendon Press, Oxford, 1995.

[5] Samovar, Larry A., Richard E. Porter, dan Nemi C. Jain. 1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Kohesi Sosial, Perekat yang Selalu Harus Dikelola1

1 Disampaikan pada Kegiatan Diskusi Pengayaan Hasil-hasil Internalisasi 7 Tematik Asesmen Pokja PDA Maluku Utara, yang diselenggarakan oleh UNDP, di Kantor UNDP, 5 April 2005.

11

Page 12: Kumpulan Tulisan Baru

Kohesi sosial (social cohesion) dapat didefinisikan sebagai

perekatan yang dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan

kefamilian, klan dan genealogi dalam bingkai keetnikan. Secara

tipologis, kohesi sosial dapat dikategorikan secara kasar ke dalam

dua tipe, yaitu kohesi sosial intramasyarakat dan kohesi sosial

antarmasyarakat. Kohesi sosial intramasyarakat secara historis

terbentuk melalui suatu mekanisme perbentukan sosio-kultur

dalam suatu masyarakat tunggal (single society). Masyarakat

tunggal lazimnya menempati satu wilayah mukim atau beberapa

wilayah mukim tetapi memelihara tata adab dan tata sosial yang

sama. Tata adab dan tata tata sosial yang sama itu menjadi

panduan berinteraksi. Dalam masyarakat tunggal tertentu,

perekatan ini juga ditentukan oleh jenis pekerjaan atau mata

pencaharian yang dominan seperti petani atau nelayan.

Kohesi sosial antarmasyarakat secara historis terbentuk

melalui pertemuan sosial secara lintasmasyarakat. Pertemuan

sosial itu terbentuk oleh adanya saling butuh, kemudian

membentuk suatu mekanisme sosial saling membantu. Jika kohesi

sosial intramasyarakat terbentuk melalui mekanisme interaksi

sosial dalam satu masyarakat tunggal yang didorong oleh

kesadaran kekerabatan, kohesi sosial antarmasyarakat terbentuk

lebih pada mekanisme pragmatis-ekonomis. Secara teologis-

kutlural, kohesi sosial antarmasyarakat mungkin dibentuk oleh

semangat pertetanggaan dan saling bantu yang diolah dari

sumber-sumber tata adab mengenai etika berkoeksistensi dan

persamaan makhluk ciptaan Tuhan yang diambil dari teks-teks

keagamaan.

12

Page 13: Kumpulan Tulisan Baru

Pada tingkat ini kohesi sosial sesungguhnya dapat dilihat

dalam dua sudut pandang. Pertama, kohesi sosial adalah sebuah

perekat yang secara fungsional merupakan kondensasi atau

tepatnya kristalisasi dari adanya kesamaan famili, klan, etnik,

kesamaan nasib, jenis pekerjaan, orientasi budaya, dan tujuan

sosial. Dalam sudut pandang ini, pembentukan atau terbentuknya

sebuah masyatakat harus melalui mekanisme penyatuan berbagai

kesamaan yang disebut di atas. Dengan perkataan lain,

pembentukan sebuah masyarakat harus melalui mekanisme

perekatan yang kita sebut kohesi sosial. Secara skematis, sudut

pandang ini dapat divisualkan sebagai berikut:

Sekali lagi, dengan skema di atas kohesi sosial dipahami

sebagai perekat dalam kerangka pembentukan masyarakat.

Kedua, kohesi sosial merupakan “causa prima” bagi

pembentukan masyarakat melalui ikatan famili, klan, etnik, ikatan

kebangsaan, persepakatan politik, jenis kerja, dan kesamaan

orientasi budaya/sosial. Dalam pandangan ini, kohesi sosial

berfungsi sebagai penyuplai energi sosial bagi pembentukan

masyarakat melalui mekanisme penyamaan dan kesamaan tujuan

13

famili

klan

etnik

jenis kerja

kesamaanorientasi

KOHESISOSIAL

MASYARAKAT

Page 14: Kumpulan Tulisan Baru

sosial. Secara skematis, sudut pandang kedua ini dapat divisualkan

sebagai berikut:

Sudut pandang pertama memandang kohesi sosial sebagai

suatu yang “dalam menjadi”, sebagai jalan pembentukan

masyarakat; ada proses Being. Sebab itu, ia menjadi suatu piranti

sosial yang selalu mengalami modifikasi sepanjang sejarah

keaadaban bermasyarakat. Ia menjadi dibutuhkan karena dengan

cara ini manusia dapat mencapai cita-citanya dan memenuhi

kebutuhannya.

Sementara itu, sudut pandang kedua menganggap kohesi

sosial adalah syarat tercetusnya famili, klan, kesamaan orientasi,

dll. Ia sebuah keharusan yang secara teologis terlah terberi (given).

Dengan itu, klan, kesamaan orientasi, dll. terbentuk sebagai syarat

antara pembentukan masyarakat.

Sudut pandang pertama menganggap kohesi sosial sebagai

kebutuhan, semantara sudut pandang kedua memandang kohesi

social sebagai syarat. Tetapi jika kohesi social itu kebutuhan atau

14

famili

klan

etnik

jenis kerja

kesamaanorientasi

KOHESISOSIAL

MASYARAKAT

Page 15: Kumpulan Tulisan Baru

syarat, mengapa dalam kenyataan dalam sepanjang sejarah

keadaban manusia sering ada keguncangan sosial, lalu kohesi

sosial digantikan dengan adhesi sosial (social adhesion)? Perekat

berubah menjadi penolak? Mengapa? Tampaknya ada satu syarat

yang dibutuhkan, baik pada masyarakat tunggal, maupun

masyarakat plural. Apa itu? Keseimbangan dan atau

kesetimbangan. Kohesi sosial akan terbangun, jika ada

keseimbangan dalam berbagai ruang pemenuhan hajat sosial.

Salah satu jalan dalam membangun kohesi sosial adalah

dengan mengelolanya. Dan, salah satu cara mengelola kohesi

sosial adalah membangun keseimbangan-keseimbangan dalam

masyarakat, yaitu keseimbangan hak atas pelayanan sosial, seperti

pelayanan pendidikan, kesehatan, akses ekonomi, dan partisipasi

politik yang dkelola secara demokratis. Sembari itu juga, diperlukan

dorongan sosial bagi pemenuhan kewajiban sosial untuk

menghargai keragaman pilihan keyakinan, keberlainan etnik,

golongan, juga pilihan-pilihan hidup lainnya.[]

15

Page 16: Kumpulan Tulisan Baru

Memilih dengan Gembira: Deep Democracy

Saya ingin menawarkan sebuah gagasan yang “rada gila”

karena gagasan ini belum pernah ada dalam kamus demokrasi:

deep democracy, alias demokrasi batiniah. Dengan konsep ini saya

menata demokrasi menjadi dua lapis, lapis surface democracy

sebagai lapis luaran atau lapis lahiriah dan lapis deep democracy

sebagai lapis dalaman atau lapis batiniah. Konsep penataan

demokrasi serupa ini saya pinjam dari khasanah teori kebudayaan

yang menata atau mengkonsepsikan kebudayaan menjadi dua

lapis, lapis kebudayan lahiriah dan lapis kebudayaan batiniah.

Yang dikenal sekarang adalah demokrasi substansial, yaitu

demokrasi yang mendorong hak-hak, kebebasan, kesetaraan, dan

pembangunan masyarakat sipil yang egaliter bagi penegakan atau

kelola negara yang berbasis publik. Demokrasi substansial dapat

dicapai melalui pembentukan kelembagaan negara.

Dalam sudut pandang budaya, demokrasi itu sebuah kreasi

budaya pembentukan negara, sebagaimana juga teokrasi dan

monarki. Demokrasi lahir dilatari oleh adanya kekurangan dan

kegagalan yang dialami oleh pengelolaan negara berbasis teokrasi

dan monarki. Karena perkembangan peradaban manusia menuju ke

16

Page 17: Kumpulan Tulisan Baru

arah perjuangan atas hak-hak rakyat, demokrasi kemudian menjadi

jalan atau pilihan utama—setidaknya hingga kini—mengenai

bagaimana mengelola negara.

Dalam perspektif kebudayaan, demokrasi adalah sebuah jalan

atau metode kebudayaan kelola negara. Sebagai metode

kebudayaan kelola negara, demokrasi, sebagaimana disebut di atas

terbangun dalam dua lapis, yaitu lapis lahiriah (surface democracy)

dan lapis batiniah (deep democracy). Apa itu demokrasi lahiriah?

Dengan demokrasi kita meciptakan kepempimpinan, membentuk

lembaga-lembaga perwakilan, membangun lembaga-lembaga

kepemerintahan, menegakkan hukum, dan membentuk lembaga

yang mengelola dan mengolah suara rakyat (semisal KPU).

Lembaga-lembaga itu bekerja dari hasil pengolahan suara rakyat

untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Itulah demokrasi lahiriah.

Nyata, karena lembaganya ada, aturan main dan hubungan

antarlembaganya ada. Tumbuh dan tegaknya lembaga berkarakter

demokrasi itu menjadi pertanda nyata bahwa kebudayaan

demokrasi di lapis lahiriah ada dan terjaga. DPR yang mewakil,

eksekutif yang berkepemerintahan bersih dan baik, lembaga-

lembaga peradilan yang berhasil memberikan pelayanan keadilan

adalah entitas-entitas demokrasi lahiriah.

Itu semua di atas adalah demokrasi lahiriah. Tetapi tegaknya

lembaga-lembaga demokrasi itu tidak dengan sendirinya. Ada satu

lapis dalaman yang menjadikan lahirnya demokrasi lahiriah itu,

yaitu tuntutan atas terpenuhinya hasrat publik, hasrat rakyat, hak

rakyat sebagai pilar utama demokrasi. Agar hasrat rakyat itu, dan

bukan syahwat kekuasaan, terpenuhi, maka diproseslah, diolahlah

hasrat/suara rakyat itu melalui suatu mekanisme pengumpulan

suara yang disebut pemilihan umum. Pada tingkat ini, mekanisme

pengumpulan suara adalah masukan nyata yang disuplai oleh

17

Page 18: Kumpulan Tulisan Baru

demokrasi batiniah. Terbentuknya kepemimpinan dan tegaknya

lembaga-lembaga adalah buah dari demokrasi batiniah.

Sebab itu, pengumpulan suara yang kita kenali sebagai

pemilihan umum adalah cara demokrasi batiniah menyalurkan

dirinya untuk membentuk kepempimpinan dan lembaga-lembaga di

lapis demokrasi lahiriah. Pemilihan kepala daerah (Pilkada),

misalnya, adalah cara demokrasi batiniah menyalurkan dirinya

untuk membentuk kepemimpinan. Bila proses pembentukan

kepemimpinan itu benar dalam cara pengelolaannya, maka akan

terbentuk demokrasi lahiriah yang kuat dan sehat. Tetapi dalam

kenyataan, sepanjang sejarah pembangunan demokrasi di

Indonesia, proses pengejawantahan demokrasi batiniah menjadi

demokrasi lahiriah, tidak selalu merupakan hasrat dan suara rakyat

dalam pengertian yang sesungguhnya, tetapi kadang melalui suatu

mekanisme yang manipulatif, dengan menelikung prinsip-prinsip

demokrasi batiniah, yaitu suara dari bawah, tetapi melalui apa yang

dalam teori politik disebut sebagai politicking

Sebab itu, Pilkada, meski telah ditata di lapis demokrasi

lahiriah, melalui Undang-undang 32 tentang Pemerintahan Daerah,

belum serta serta merta menjadi alat penyalur demokrasi batiniah

yang efektif, karena dirumuskan berdasarkan kepentingan elit yang

tergiur dengan euphoria pembentukan demokrasi lahiriah, dan abai

terhadap hasrat dan suara rakyat sebagai sumber demokrasi

batniah. Meskipun dengan nalar pemberdayaan partai sebagai pilar

utama demokrasi, penataan dan mekanisme Pilkada dalam UU 32

mereduksi demokrasi batiniah, dan menjadi alat demokrasi lahiriah

yang kehilangan ruh suara dan hasrat rakyat. Bahkan, bila dengan

watak dan laku politicking menelikung dan membelokkan suara dan

hasrat rakyat, demokrasi lahiriah yang yang terbangun nanti

merupakan the stolen goods ‘barang coléngan’ yang hanya menjadi

mainan dalam syahwat kekuasaan.

18

Page 19: Kumpulan Tulisan Baru

Kini Pilkada telah ditata dalam lapis demokrasi lahiriah. Dalam

hitungan itu, kita tak punya pilihan lain kecuali tinggal

mempersiapkan kekuatan demokrasi batiniah dengan membikin

Pilkada bukan alat elit untuk membangun demokrasi lahiriah yang

abai atau dengan sengaja membelokkan—meminjam istilah

Mochtar Pabottingi—suara dan hasrat rakyat ke pemenuhan

syahwat kekuasaan. Apalagi UU 32 tentang Pemeritah Daerah yang

menata dan mengelola Pilkada sebagai sebagai jalan pembentukan

demokrasi lahiriah menyimpan kemungkinan adanya perbenturan

tafsir antara lembaga-lembaga di lapis demokrasi lahiriah, yang

bisa jadi merembes ke bawah ke tatanan demokrasi batiniah

menjadi alat sulut konflik komunal. Ini lebih berbahaya lagi, bila

terjadi di daerah-daerah yang pernah mengalami konflik komunal

seperti Maluku Utara. Sebab itu, salah satu cara yang dapat dan

harus kita tempuh adalah menjadikan Pilkada sebagai benar-benar

sebagai demokrasi batiniah yang kuat dan tak mudah ditelikung

dan dibelokkan. Jika demokrasi batiniah itu sama dengan soft

democracy, maka kita perlu mendorong suatu paradigma—meski

tidak baru—yaitu mensosialisasikan jargon melilih dengan

gembira kepada rakyat sebagai pemegang demokrasi batiniah.

Memilih dengan gembira dapat memberi efek pada dua hal.

Pertama, Pilkada tidak menjadi batu pemecah kohesi sosial, tetapi

menjadi alat peneguh kuatnya demokrasi batiniah. Kedua, melalui

memilih dengan gembira, Pilkada bukan metode pembentukan

kepemimpinan di lapis demokrasi lahiriah, tetapi jalan

pengefektifan suara dan hasrat rakyat yang tak gampang

ditelikung. Dengan begitu, Pilkada tidak dengan mudah dibelokkan

oleh elit untuk kepentingan dirinya dan menjadi alat pemecah

kohesi sosial. Dengan memilih dengan gembira, kekuatan

demokrasi batiniah tidak dibajak secara gampang oleh elit. Mari

memilih kepala daerah dengan gembira!

19

Page 20: Kumpulan Tulisan Baru

Pilkadal, Mereduksi Demokrasi?

BEM Fakultas Hukum Universitas Khairun menggelar dialog

di bawah tema Pilkadal dan Komitmen Demokrasi dalam Upaya

Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Karena cakupannya cukup

luas, saya ingin meringkasnya—tetapi tidak dengan maksud

mensimplifikasikannya—menjadi: Pilkadal, Mereduksi

Demokrasi? Sebuah tema yang indah di tengah-tengah kita

sedang menyiapkan segala daya sosial dan daya politik untuk

Pilkadal. Sebagai satu jalan memilih pemimpin, kita menganggap

Pilkadal akan melahirkan pemimpin lokal yang sangat

legitimated sebab dipilih langsung oleh rakyat. Kita pun

20

Page 21: Kumpulan Tulisan Baru

berasumsi kita bahwa Pilkadal adalah jalan yang paling

demokratis dalam memilih pemimpin lokal. Di atas itu, kita pun

menaruh ekspektasi bahwa dengan Pilkadal, kita akan

menemukan pemimpin yang bermutu.

Setidaknya cara ini kita anggap lebih baik dari cara yang

pernah dibuat di rezim Orba dalam memilih pemimpin lokal

(baca: gubernur, bupati, walikota). Meskipun masa itu pemimpin

lokal dipilih oleh DPRD, kita, atau sebagian kita tahu bahwa

memilih pemimpin lokal di masa itu sarat pesanan bahkan

tekanan dari pemerintah pusat, dengan argumentasi stabilisasi

nasional. Tak jarang apa yang ditentukan—maksudnya

pemimpin--di dearah tidak selaras dengan keinginan pusat

(baca: Jakarta). Dan, dalam banyak kasus, pusat memaksakan

pesanannya. Bahkan, Jakarta menjadikan dirinya sebagai “pusat

firman politik” dalam menentukan pemimpin lokal.

Lalu, karena arus kesadararan sejarah mengenai perlunya

dekonstruksi atas tata dan kelola negara, lahirlah kekuatan baru

yang kita sebut reformasi. Buah yang nyata dari reformasi tata

dan kelola negara yang berkelindan dengan hubungan pusat-

daerah adalah UU 22 tentang Pembagian Keuangan Pusat dan

Daerah, UU 25 tentang Otonomi Daerah, dan UU 32 tentang

Pemerintahan Daerah. Di atas semangat UU 25 dan di atas

pesan demokrasi UU 32 dengan turunannya PP 6 Tahun 2005

[tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan

Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah] itulah,

kini kita meramu satu cara memlih pemimpin lokal yang secara

nomenklatur kita sebut Pemilihan Kepala Daerah Langsung

(PILKADA[L]).

Mereduskri Demokrasi?

21

Page 22: Kumpulan Tulisan Baru

Tapi soalnya sekarang adalah apakah dengan Pilkadal,

ekspektasi kita mengenai satu jalan demokrasi dalam memilih

pemimpin akan terpenuhi? Salah satu cara memeriksanya

adalah dengan melihat mekanisme pencalonan pemimpin lokal

yang tertuang dalam UU 32 dan PP 6 itu. Melalui debat panjang,

dan itu terkait dengan calon independen, akhirnya disepakati

bahwa pencalonan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati,

dan walikota-wakil walikota hanya menganut asas one gate

system, ‘cara satu pintu’, yaitu melalui partai-partai. Ide

mengenai calon-calon independen yang diperjuangkan DPD yang

dimotori oleh La Ode Ida, tentu dkk., terkalahkan oleh hegemoni

partai-partai. Mengapa partai-partai begitu gigih

memperjuangkan pencalonan pemimpin lokal dengan cara satu

pintu ini? Ada beberapa nalar dan ekspektasi politik yang

melatarinya. Pertama, partai-partai punya kepentingan besar

dalam membesarkan partai-partainya hingga di tingkat lokal

sebagai akar penunjang bagi kekuasaannya di tingkat nasional.

Kedua, dengan cara ini partai-partai punya kesempatan untuk

menawarkan calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati,

dan walikota-wakil walikota kepada (calon) pemilih. Ketiga,

dengan cara ini pula, partai-partai ingin menjadi pemain tunggal

dalam memberhasilkan cara-cara menguasai kepemimpinan

lokal. Dengan begitu, partai-partai dengan leluasa dapat

memilih dan bersetuju dengan siapa-siapa calon pemimpin lokal

yang diusungnya. Keempat, cara satu pintu ini, sudah dianggap

cukup karena partai-partai cukup PD, alias percaya diri, bahwa

partailah pilar utama demokrasi. Dengan perkataan lain, partai

berasumsi bahwa demokrasi tak akan tegak tanpa partai.

22

Page 23: Kumpulan Tulisan Baru

Di atas nalar dan ekspektasi politik di ataslah, partai-partai

berjuang memenangkan cara pencalonan pemimpin lokal

dengan cara satu pintu. Lalu sekarang apakah dengan cara satu

pintu dalam memilih pemimpin lokal bukan justru mereduksi

hakikat demokrasi? Sebenarnya jika partai-partai cukup kuat

menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, pemilihan

pemimpin lokal tentu saja akan demokratis. Akan tetapi secara

empirik, kini, sedang ditemukan sejumlah situasi yang justru

menunjukkan adanya proses reduksionisme terhadap demokrasi.

Pertama, deal politik antara partai dengan calon pemimpin lokal

cenderung terjebak ke dalam kemungkinan atau kepastian

permainan uang (money politics) oleh karena ada kondisi

simboisis mutualisme antara partai dan calon pemimpin: partai

ingin mempengaruhi atau ingin memberhasilkan cara-caranya

menyukseskan pemilihan pemimpin lokal dan calon pemimpin

membutuhkan kendaraan politik (dalam hal ini partai) untuk bisa

mendapatkan suara. Kedua, deal politik itu akan mendorong

kemungkinan adanya sharing platform antara partai dan calon

pemimpin sebagai tujuan bersama ketika pemimpin dipilih.

Sharing platform itu kemudian akan memberikan implikasi pada

konsekuensi pembiayaan politik (cost of politics) yang, baik

ditanggung bersama, maupun oleh calon pemimpin sendiri

dalam Pilkadal. Secara naïf, kondisi ini dapat dirumuskan sebagai

berikut: partai punya kendaraan, calon yang menyediakan biaya.

Kalau begitu, apakah penyediaan biaya politik oleh calon

pemimpin dalam “membayar” kendaraan Pilkadal dapat atau

tidak dapat dikatakan sebagai money politics, sementara pasal-

(pasal) mengenai pembiayaan politik dalam PP nomor 6

membikin tafsiran yang ambigu dan dapat ditafsir berdasar

sudut pandang sendiri?

23

Page 24: Kumpulan Tulisan Baru

Pada aras ini, memang bisa terlihat betapa batas antara

uang politik (cost of politics) dan politik uang (money politics)

menjadi semakin kabur, karena bersampur-baur atau teramu

dalam deal and sharing politics antara partai dan calon

pemimpin.

Jika proses semacam di atas tidak dikelola berdasarkan

prinsip-prinsip demokrasi, yakni mengabaikan kepentingan

publik, dalam hal ini pemilih, sebagai pemilik suara yang secara

kuantitatif dan kualitatif tertitipkan ekspektasi pemilih (baca:

rakyat) kepada pemimpin lokal, maka sistem Pilkadal dengan

“cara satu pintu” ini sungguh telah mereduksi hak, pilihan, dan

ekspektasi pemilih tentang masa depannya, dan dengan begitu

demokrasi—yang akarnya ada di rakyat/pemilih—mengalami

proses reduksionisme. Proses reduksionisme berikut dari Pilkadal

dengan “cara satu pintu” ini dalam tataran demokrasi batiniah

(deep-democracy)2, yaitu bagaimana rakyat dengan secara

leluasa membentuk dan memilih pemimpinnya, adalah

(semakin) menutup ruang pilih yang secara faktual dimilikinya.

Pula, Pilkadal dengan “cara satu pintu” ini, secara substansial,

rakyat tidak memilih tetapi disodorkan untuk memilih. Artinya,

partai-partai menyodorkan calon, dan rakyat memilih. Jika terjadi

kertidakselarasan antara calon pemimpin yang ditawarkan partai

dengan keinginan dan harapan rakyat, maka Pilkadal

sesungguhnya telah “merampas” hak otonom rakyat dan

mereduksinya ke dalam kalkulasi politik yang dikerjasamakan

oleh partai dan calon pemimpin. 2 Sebagai sandingannya, ada istilah surface democracy, demokrasi lahiriah, yaitu bagaimana kita

membentuk dan mengelola lembaga-lembaga ngara dan politik yang secara akurat menangkap dan melayani kepentingan publik sebagai sumber dari deep-democracy. Istilah deep-democracy yang saya perkenalkan di sini kurang lebih selaras dengan istilah demokrasi substansial yang sering disebut dalam perbincangan demokrasi. Meskipun belum terdefinisikan secara gamblang, istilah deep-democracy dan surface-democracy ini saya perkenalkan pertama kali dalam tulisan saya bertajuk Memilih dengan Gembira: Deep-democracy yang disampaikan pada Focus Group Discusion yang diselenggarakan oleh Forum DIAHI Maluku Utara, beberapa waktu lalu.

24

Page 25: Kumpulan Tulisan Baru

Kalau demikian, syarat yang paling utama, yang perlu

dikembangkan adalah menselaraskan secara tripartite antara

keinginan calon pemimpin, partai, dan rakyat dalam suatu

ekspektasi bersama mengenai ideal-ideal pemimpin lokal masa

depan. Cara penyelarasannya adalah, partai-partai tidak saja

menawarkan calon pemimpin berdasarkan komprominya dengan

calon pemimpin tetapi juga menyeleraskannya dengan hasrat

rakyat. Rakyat harus ditanyakan. Tapi apa lacur, sekarang calon

pemimpin lokal yang kita sebut Kepala Daerah itu sudah (siap)

ditawarkan kepada rakyat pemilih. Waktu kita tinggal kurang-

lebih dua bulan. Soalnya sekarang adalah apakah dengan cara

ini kita akan sanggup membangun demokrasi dan bisa

mendapatkan pemimpin (lokal) masa depan yang bermutu?

Masih ada satu upaya: rakyat dibelajarkan untuk memilih secara

rasional, bukan secara tradisional, apalagi primordial. Setelah

itu, Pilkadal dengan “cara satu pintu” ini perlu didekonstruksi

lagi. Berat memang membangun demokrasi, sebab demokrasi

itu bukan sekadar tujuan tetap proses yang selalu diolah dan

diperjuangkan agar benar-benar menghunjam ke akarnya

batiniahnya, yaitu keleluasaan rakyat memilih pemimpinnya.[]

25

Page 26: Kumpulan Tulisan Baru

Lima Syarat Kelola Pariwisata Halmahera Barat yang Unggul3

Pariwisata adalah produk budaya global yang

menampilkan alur dan alir pesiar manusia antardaerah

dan antarnegara, bahkan antarbelahan bumi. Secara

kultural, pariwisata adalah produk kebudayaan

pelancongan yang merupakan puncak pencarian

kesenangan dari kaum yang berkecukupan dari negara-

negara maju, dalam hal ini Barat. Jika di abad enam belas,

pencarian atas daerah-daerah baru didorong oleh

keinginan mendapatkan wilayah koloni baru dan sumber-

sumber daya alam, maka di awal abad ke-20, pencarian

daerah baru oleh komunitas negara maju secara ekonomi,

berubah menjadi pencarian daerah-daerah atau wilayah

lain dari belahan bumi yang menawarkan eksotisme, unik,

dan lain dari wilayah sang pencari daerah kesenangan.

Meski dua-duanya bertujuan mencari kesenangan,

tetapi alur dan alir manusia dalam pariwisata lebih pada

pencarian kesenangan batin, kepuasan psikologis,

sebagai ejawantah dari kesenangan tingkat tinggi,

setelah komunitas yang bersangkutan telah berhasil

3 Materi pengantar yang disampaikan pada seminar Pengembangan Pariwisata Halmahera Barat yang diselenggarakan oleh KNPI Halmahera Barat, Jailolo 9 Agustus 2004, Ruang Sidang DPRD Kabupaten Halmahera Barat

26

Page 27: Kumpulan Tulisan Baru

secara mapan memenuhi kebutuhan primer seperti

pangan dan papan.

Dalam konteks Indonesia, pariwisata sebenarnya

telah digalakkan sejak lama. Tanggal 22 Maret 1969, oleh

pemerintahan Orde Baru telah dibentuk Dewan

Pertimbangan Kepariwisataan Nasional (Deparnas).

Dewan ini beretugas membantu Presiden dalam

menetapkan kebijakan umum di bidang pariwisata.

Sekarang ini ada Kementerian Negara Kebudayaan dan

Pariwisata, dan hingga di daerah-daerah kabupaten dan

kota telah dibentuk dinas yang menangani soal

pariwisata.

Lalu sekarang kita bicara soal bagaimana

mengembangkan pariwisata di Halmahera Barat. Dan,

perbincangan pariwisata di Halmahera Barat itu kita

hubungkan dengan tantangan, peluang, dan prospeknya.

Kalau demikian, mau tak mau harus membahasnya dalam

kerangka SWOT (strength, weakness, opportunity,

thread). Apa yang menjadi kekuatan, kelemahan,

peluang, dan tantangan atau ancaman bagi

pengembangan pariwisata di Halmahera Barat?

Dari sudut kekuatan, potensi apa yang telah dimiliki

Halmahera Barat? Apakah Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata (selanjutnya disebut Disbudpar) Halmahera

Barat (selanjutnya disebut Halbar) telah well-organized?

Pertanyaan semacam ini memang perlu diajukan, sebab

dinas ini memang perlu menjadi dinas tidak berkutak

27

Page 28: Kumpulan Tulisan Baru

secara birokratis saja, tetapi harus menjadikan dirinya

sebagai pusat kelola kepariwisataan yang membikin

program yang secara kutlural-ekonomik membuat alur

dan alir kepelancongan ke Halmahera Barat menjadi

exciting, menarik.

Ada empat syarat bila pariwisata di Halmahera Barat

menjadi menarik karena keunggulannya. Pertama,

sebagaimana sudah disebut di atas, Disbudpar Halbar

secara internal harus menjadikan dirinya lembaga

perencana dan regulator pengembangan pariwisata.

Disbudpar tidak sekadar (maaf) kantor urusan surat-

menyurat pariwisata. Oleh karena lembaga ini

menggabungkan dua urusan sekaligus, yaitu mengelola

dan mengolah kebudayaan lokal dan memfasilitasi alur

dan alir manusia dalam sebuah kultur pelancongan, maka

Disbudpar harus melakukan kerja-kerja konsepsional

mengenai kelola dan olah budaya, dan hasil olahan

budaya itu dapat diterjemahkan ke dalam program-

program pengembangan pariwisata yang menarik dan

menjual. Hasil olahan budaya yang eksoterik dan unik

dapat diterjemahkan ke dalam paket-paket wisata yang

bernilai ekonomi di satu sisi dan menjadi ajang diplomasi

kebudayaan bagi dunia luar. Dengan cara ini, dapat

terjadi dua hal, pertama, Kedua, Disbudpar harus mampu

membuat narasi-narasi kebudayaan dan narasi ekologis

untuk membangkitkan rasa ingin tahu (coriousity) para

pelancong. Narasi kebudayaan yang dimaksud di sini

28

Page 29: Kumpulan Tulisan Baru

adalah … Ketiga, adalah strategi pencitraan. Keempat,

keputusan politi pemerintah ndaerah. secara pengenal

objek-objek wisata yang menjadi keunikan dan

keunggulan. Di tingkat ini, Halmahera Barat. Dinas

Pariwisata harus menjadikan dirinya Kedua, infrastruktur

perhubungan dan sarana angkutan yang menyambung ke

daerah atau lokasi wisata

Kemenarikan suatu wilayah pariwitasa Tetapi kita

tidak hanya sampai pada Dinas Pariwisata yang tertata

baik. Kemauan dan keputusan pemerintah daerah

merupakan salah satu faktor penentu.

Setelah Gelisah, Perlu Data Base untuk Perencanaan

yang Berbasis Masyarakat4

Oleh Gufran Ali Ibrahim5

Ada dua pujian. Pujian pertama [bukan basa-basi] saya harus

alamatkan kepada editor buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran:

Perspektif Kritis atas Maluku Utara, yaitu M. Rahmi “Djoenaidy”

Husen dan Herman “Heroes” Oesman. Dua lelaki muda ini cerdas,

low profile, tenang, dan bersahaja. Yang satu telah terjun ke dunia

kelola demokrasi di tingkat praxix, dengan menjadi Ketua KPU

Provinsi Maluku Utara, yang satu lagi masih tetap eksis di dunia

tulis-menulis (menjadi wartawan dan dosen). Heroes bahkan dalam

waktu dekat akan memboyong gelar [kalau saya tak salah]

Magister Sosiologi Politiknya di UI. Mungkin karena tipikal pribadi

4 Catatan perpanjangan pada acaran bedah buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran, Perspektif Kritis atas Maluku Utara, terbitan FoSHal, 2005, Kafe Hitam Putih, 7 Mei 2005.

5 Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun.

29

Page 30: Kumpulan Tulisan Baru

keduanya sama, maka kerjasama, atau bahasa gaulnya kerja

bareng keduanya dapat berjalan.

Ada dua alasan mengapa kedua dapat bekerjasama. Pertama,

keduanya memang selama ini adalah kolega dan sahabat, terutama

setelah mereka kembali ke Ternate, dan sama-sama mengusung

dan memperjuangkan demokrasi, membangun kemampuan sosial

(social capacity)—bagi masyarakat Maluku Utara yang baru keluar

dari perkelahian komunal—mencari cara-cara pemecahan social

yang smart and smooth, merancang jejaring pemikiran di kalangan

muda Maluku Utara, membayangkan Maluku Utara ke depan

dengan membuat penebaran pemikiran mengenai bagaimana

Maluku Utara yang maju, tangguh masyarakatnya, gesit, ulet, dan

bersih pemerintahnya, dan elit politiknya melek demokrasi. Kedua,

keduanya dapat bekerjasama karena duanya sama-sama

menggunakan rangkap vokal oe pada namanya: Djoenaidy dan

Oesman. Haha. Ini juga termasuk human interest.

Sehubungan dengan keduanya ini, saya punya cerita menarik.

Suatu saat, ketika melintas di sebuah jalan di bilangan Jati, saya

melihat Heroes duduk di bawah pohon mangga, termenung, tetapi

bukan haga baba alias melongo. Yang jelas Heroes juga tidak

sedang menunggu wangsit jatuh dari puncak pohon mangga.

Hanya ada fakta bahwa Heroes duduk di bawah pohon mangga.

Lalu saya iseng mengirimkan pesan pendek: Her, ada bikiapa tu dia

kong dudu di bawa pohong mangga tenga hari panas bagini? Tentu

saja Heroes kaget. Pasti dia lihat kiri-kanan. Sementara saya sudah

lewat sekian ratus meter dati tempat dia duduk. Yang lebih menarik

lagi, selang beberapa puluh menit kemudian, dan saya sudah di

rumah, barulah saya terima pesan pendek dari nomor Juned yang

ditulis Heroes: Ada tunggu pa Juned, dengan ekor pesan

pendeknya: maaf, saya pe pulsa abis, kong pake Juned pe nomor.

Suatu pengakuan yang tidak saja jujur tapi juga tulus. Sebab,

30

Page 31: Kumpulan Tulisan Baru

banyak di antara kita, yang tak sanggup bilang seperti apa yang

dilakukan Heores dan Juned. Artinya, bila pulsa kita habis, kita malu

mengatakannya. Kita berbobong dengan cantiknya: maaf, baterai

saya low. Tapi lepas dari itu, Heroes mengggunakan HP Juned

untuk sms ke saya, adalah kerjasama yang sangat baik dari dua

sahabat. Dan ternyata, di kemudian hari barulah saya tahu bahwa

Heroes menunggu Juned di bawah pohon mangga itu karena

mempersiapkan buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran.

Pujian kedua saya alamatkan kepada penyumbang tulisan

pada buku ini. Semuanya anak muda Maluku Utara. Setidaknya

mereka inilah pemegang arus-utama (mainstream) wacana Maluku

Utara. Yang laki maupun yang perempuan. Sebagai pemegang

wacana, penyumbang tulisan pada buku ini telah dengan jelimet

memotret dan memetakan masalah-masalah ketimpangan

ekonomi, lemahnya penegakan hukum, ketidakadilan dan

ketimpangan sosial, ketercerabutan, kemandegan, dan rabun

budaya, tindakan ahistoris, pemerintah yang lemah pelayanan

publiknya, dan soal kebersihan pemerintahan daerah. Semuanya

terangkum dalam berbagai sudut-pandang.

Tapi itulah masalah-masalah yang disodorkan ke hadapan

kita.Meski begitu secara tersirat kita melihat ada cara-cara

pemecahan masalah, meskipun editor dari pagi-pagi sudah

mengatakan bahwa buku ini tidak menawarkan solusi atau cara-

cara pemecahan masalah yang dihapai Maluku Utara. Tetapi kalau

disimak lebih dalam, sebenarnya, ada beberapa penyumbang telah

bergerak ke arah pemacahan masalah Darsis Hoemah dan Agus SB,

misalnya, telah membuat peta hubungan kekelompokan dan

keetnikan dengan berbagai pembentukannya berdasarkan afiliasi

politik, afiliasi ekonomi, budaya, dan keyakinan, dan dengan

perbatasan-perbatasan relatifnya dalam dinamikan masyarakat

Maluku Utara yang majemuk, sesungguhnya telah memberi kita

31

Page 32: Kumpulan Tulisan Baru

sebuah data base social-budaya. Tinggal bagaimana kita

menjadikan data base itu menjadi sebuat alat perencanaan social.

Pula, social data base itu sesungguhnya telah atau tengah berkata

kepada kita mengenai bagaimana cara-cara kita mengolahnya,

mengelolanya, dan menjadikannya sebagai social recosurces bagi,

lagi-lagi, perencanaan social yang berbasis masyarakat, bukan

disusun berdasarkan kepentingan elit. Catatan-catatan historis

yang diberikan Saiful Bachry Ruray dan Smith Alhadar

sesungguhnya telah menunjukkan kepada tentang pilihan jalan

mana yang harus kita tempuh, dari sekian persimpangan jalan

yang kita hadapi sekarang.

Sekarang ada tiga cara yang segera dilakukan:

menerjemahkan solusi tersirat dan juga tersurat yang telah

ditawarkan dalam buku ini, validasi data base social Maluku Utara,

lalu menyusun sebuah perencanaan social yang mencakupi seluruh

aspek hajat hidup Maluku Utara. Sebab di sinilah, titik lemah kita

dalam berbagai sector. Konsep pembangunan kita tak jelas, tak

terukur, dan tak berbasis masyarakat, oleh karena olah data base

social kita lemah. Data base social kita lemah mencerminkan

lemahnya daya dan kemampuan kita memangkap berbagai

masalah yang rumit dan kait-mengait. Ujung-ujungnya, semua itu

bermuara pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang

tak terukur.[]

Bahasa Bernalar, Cermin Peradaban Cerdas

32

Page 33: Kumpulan Tulisan Baru

Setiap kita memperingati Sumpah Pemuda, dalam konvensi,

kita menyoal realitas penggunaan Bahasa Indonesia (BI) pada

berbagai kebutuhan, dari dunia pendidikan, bisnis, pers,

pemerintahan, hingga bahasa bertatanegara. Dalam berbagai

bahasan itu kita lalu menemukan satu simpul: banyak orang

Indonesia belum cermat ber-BI. Kalau benar demikian, soal yang

kita hadapi adalah apakah BI dapat bertahan hidup, hingga

setidaknya, tiga siklus (jika kita mengasumsikan satu pergantian

generasi berlangsung tiap 25 tahunan) generasi Indonesia ke

depan. Dengan kata lain, dapatkah BI hidup hingga 75 tahun ke

depan, jika penuturnya tidak terus meningkatkan penggunaan BI

secara cermat, cerdas, dan bernalar?

Dalam kaitannya dengan daya hidup bahasa-bahasa di

dunia, Michel Krauss (1997) mengelompokkan bahasa-bahasa di

dunia ke dalam tiga kategori: (1) bahasa-bahasa yang masih

sehat wal afiah (save languages), (2) bahasa-bahasa yang tidak

bugar (endangered languages), (3) dan bahasa-bahasa yang

terancam punah (moribund languages).

Bahasa-bahasa di dunia yang masuk ke dalam kategori

pertama, yaitu save language, adalah bahasa-bahasa yang

masih aktif dipakai oleh penutur aslinya (native speaker) dari

kalangan usia tua hingga anak-anak dalam berbagai ranah:

keluarga, hubungan sosial, dan dalam berbagai acara resmi

ketradisian. Kalangan tua hingga anak-anak tetap menggunakan

bahasanya dengan setia dan bangga, dalam berbagai kebutuhan

berkomunikasi. Di rumah tangga, para orang tua masih tetap

menggunakan bahasanya dan anak-anaknya memperoleh

bahasa itu sebagai bahasa ibu (mother tongue, mother

language) pada masa awal pemerolehan bahasanya (language

acquisition). Secara sosiolinguistik, masyarakat tutur (speech

33

Page 34: Kumpulan Tulisan Baru

community) seperti ini adalah masyarakat tutur yang kuat

pemertahanan bahasanya (language maintainance).

Pemertahanan bahasa adalah suatu keadaan masyarakat tutur

yang selalu menjadikan bahasa sebagai wadah komunikasi

intrakomunitasnya. Dengan pemertahanan seperti ini, secara

biolinguistik (biolinguistics), bahasa tersebut dapat

dipertahankan, setidaknya dalam tiga alih generasi ke depan,

dalam kelipatan 3 x 25 tahun. Jadi, setidaknya selama 75 tahun

ke depan, bahasa dalam kategori segar bugar ini dapat

bertahan. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam kategori ini

adalah bahasa nasional di berbagai negara, bahasa-bahasa

daerah (vernacular) di berbagai negara (termasuk di Indonesia)

yang masih digunakan oleh tiga lapis generasi (usia 5-25 tahun,

25-50 tahun, dan 50-75 tahun).

Bahasa-bahasa kategori kedua, yaitu endangered language,

alias bahasa yang tidak bugar, adalah bahasa-bahasa yang

hanya digunakan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke atas.

Penutur yang berusia 25 tahun ke bawah tidak lagi

menggunakannya secara aktif, meskipun bisa menggunakannya.

Ada dua keadaan penggunaan oleh penutur yang berusia di

bawah 25 tahun, yaitu ketika berlangsung komunikasi pada

ranah akrab dan membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi-

rahasia (privat) kepada penutur yang lebih tua. Dalam

komunikasi dengan sesama penutur yang sebaya atau lebih

muda, kelompok usia 25 tahun ke bawah ini tidak lagi

menggunakan bahasa ibunya, dan menggunakan satu bahasa

lain yang diperolehnya, biasanya bahasa lokal atau bahasa

nasional yang digunakan dalam komunikasi lintas-komunitas.

Jadi, penggunaan bahasa ibu yang dilakukan oleh penutur yang

berusia 25 tahun ke bawah hanya kepada penutur yang lebih

34

Page 35: Kumpulan Tulisan Baru

tua, yaitu dua generasi ke atas, sementara terhadap

generasinya sendiri, penutur usia 25 tahun ke bawah ini telah

mengunakan sebuah bahasa baru atau yang telah diperolehnya.

Bahasa-bahasa ini dikategorikan sebagai bahasa yang

mengarah kepada kencederungan berkurangnya penutur dalam

satu fase generasi. Diasumsikan bahwa jika tidak lakukan

gerakan penggunaan bahasa sendiri oleh generasi 25 tahun ke

bawah, dalam jangka 25 tahun ke depan, bahasa-bahasa itu

menuju kepada semakin berkurangnya jumlah penutur, dan

dalam siklus dua generasi, atau 50 tahun ke depan, bahasa ini

akan punah (moribund languages).

Kategori bahasa ketiga adalah moribund language, yaitu

bahasa-bahasa yang tidak lagi secara aktif digunakan dan tidak

lagi dikuasai oleh penutur yang berusia di bawah 50 tahun.

Bahasa-bahasa ini hanya digunakan oleh sejumlah kecil penutur

yang berusia di atas 50 tahun. Dalam hitungan satu dekade,

bahasa ini akan punah, dalam artian tidak digunakan lagi.

Mungkin bahasa ini hanya tercatat dalam naskah-naskah

tradisional.

Dengan melihat pentipologian bahasa berdasarkan daya

hidupnya menurut Krauss ini, di mana posisi BI? Dengan kata

lain, pada kategori mana BI dikelompokkan? Dilihat dari jumlah

penuturnya—BI kini memiliki 200 juta penutur—, kebisaan dan

kebiasaan orang Indonesia—dari berbagai lapisan usia—

menggunakannya, dan dalam ranah penggunaannya, BI dapat

dikategorikan sebagai sebagai save language, bahasa yang

bugar. Kalau begitu dalam hitungan 75 tahun ke depan, BI masih

merupakan salah satu bahasa yang hidup dan dipakai di

Indonesia. Secara historik, BI yang bersumber dari BM telah

35

Page 36: Kumpulan Tulisan Baru

membuktikan dirinya sebagai bahasa yang tumbuh hidup hingga

kini.

Ada sejumlah persyaratan linguistik yang dipenuhi oleh BI

hingga bisa tumbuh dan secara luas diterima dan digunakan

oleh seluruh etnik di Indonesia. Pertama, BI berhasil menjadi

lingua-franca pada komunikasi lintasnusantara. Berhasil menjadi

bahasa pengantar lintasetnik di nusantara itu karena, kedua, BI

merupakan bahasa yang sangat demokratis, egaliter, tetapi

santun. BI tidak mengenal kelas dan kasta. Dengan

menggunakan BI, semua orang berada dalam hubungan yang

setara, sejajar, tetapi juga tetap mencirikan tata santun. Dengan

karakter inilah, BI secara politis dipilih menjadi bahasa nasional

di Indonesia. Dengan karakter inilah, BI hingga kini berperan

sebagai integrator bangsa Indonesia dari berbagai gejolak sosial-

politik yang pernah melanda Indonesia akhir-akhir ini.

Akan tetapi saya pun ingin mendiskusikan tesis Krauss

mengenai kemampuan setiap bahasa untuk bisa bertahan hidup.

Bila dilihat dari jumlah penutur, kebiasaan dan kebisaan

masyarakat Indonesia menggunakannya, BI memang dapat

dikategorikan sebagai bahasa yang bugar dan dapat bertahan

hidup hingga 75 tahun ke depan. Akan tetapi pula, sebagai

bahasa ideologis dan bahasa peradaban modern dan dalam

benturan global, BI tidak sekadar mengandalkan jumlah,

kebisaan, dan kebiasaan orang Indonesia menggunakannya. BI

harus menjadikan dirinya sebagai bahasa yang bermutu dari

sudut pandang peradaban tutur. Di tengah-tengah kepungan

berbagai peradaban, dan dalam interaksi global, BI harus

menjadi bahasa yang cerdas dan tutur yang beradab.

Untuk ini diperlukan dua syarat penting agar BI tetap bisa

bertahan sebagai bahasa nasional dalam konteks keindonesiaan

36

Page 37: Kumpulan Tulisan Baru

dan dalam kancah global. Syarat pertama adalah bagaimana

setiap penutur selalu cermat dan bernalar menggunakan BI

dalam komunikasi lisan dan tulisan. Kecermatan dan

kebernalaran ber-BI itu tentu saja ditentukan seberapa jauh

mutu kecerdasan bangsa Indonesia. Semakin cerdas bangsa

Indonesia dalam peradaban keintelektualnnya, akan melahirkan

kecermatan dan kebernalaran ber-BI. Jadi, suatu keadaan di

mana bangsa Indonesia membangun peradaban tuturnya di atas

kerangka keintelektualannya merupakan syarat nonlinguistik

bagi terbentuknya BI sebagai bahasa yang terus menjadi salah

satu bahasa dalam konteks keindonesiaan dan dalam kancah

global.

Dan, pencerdasan masyarakat dapat dilakukan dengan dua

siasat secara simultan, yaitu dengan mendorong upaya-upaya

peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu akan

memberikan keluaran yang bermutu pula. Salah satu tanda dari

setiap keluaran adalah bagusnya mutu kebernalaran. Dan,

dengan nalar yang bermutu, akan mencerminkan bahasa yang

bermutu pula. Sebab itu, Noam Chomsky, ahli bahasa dari

Amerika, mengatakan language is a mirror of the mind, ‘bahasa

merupakan cermin berpikir’. Ini berarti bahwa mutu bahasa

seseorang atau suatu masyarakat atau suatu bangsa merupakan

cerminan dari seberapa bermutunya kecerdasan bangsa itu.

Dengan kata lain, semakin cerdas suatu bangsa, semakin

bermutu pula perilaku bertuturnya. Dalam kultur Melayu (baca:

Indonesia kini), kita pernah mengenai adigium bahasa

menunjukkan bangsa. Tingkat keberadaban berbahasa—

masyarakat yang cerdas dan santun—ditentukan oleh

bagaimana masyarakat Indonesia mencari jalan-jalan

pembelajaran untuk mencapai kecerdasan berbahasa.

37

Page 38: Kumpulan Tulisan Baru

Kedua, kecerdasan dan kebernalaran berbahasa, dapat

dicapai bila ada suatu sikap yang kuat secara sosial untuk selalu

mengkreasi dan mengeksplorasi BI dalam tindak tutur lisan dan

tulis. Pelatihan bertutur dan pelatihan menulis merupakan salah

satu cara yang penting ditempuh dalam mengasah kecerdasan

berbahasa. Akan tetapi, pelatihan semacam ini tidak akan

terlaksana, bila atmosfir pendidikan kita tidak demokratis dan

tidak memberi ruang-ruang kepada pembelajar untuk aktif

mengiatkan diri dalam bertutur, berpendapat, menyampaikan

pikiran. Pendidikan yang memberi ruang bagi pelatihan

perdebatan sesungguhnya merupakan syarat penting bagi

terasahnya kemampuan ber-BI. Tanpa ini BI tidak akan menjadi

bahasa yang bernalar dan cerdas.

Dalam perspektif peradaban modern dan dalam kancah

global, daya hidup BI tidak hanya ditentukan oleh seberapa

jumlah masyarakat Indonesia biasa dan bisa menggunakannya,

tetapi juga seberapa bermutunya tindak bertutur warga

Indonesia. Tindak bertutur (speech act) yang bernalar, yaitu

bermutu, dapat dicapai bila pendidikan kita memang

diselenggarakan dalam cara-cara dan siasat yang akan

melahirkan keluaran yang kuat penalarannya. Dengan kuatnya

penalaran, akan melahirkan bermutunya berbahasa, sebab

ruang-ruang dan kesempatan pembelajaran begitu cukup

tersedia bagi pentradisian perdebatan sebagai cara yang penting

dari pengasahan kecerdasan berbahasa, tepatnya berbahasa

Indonesia. Kualitas berbahasa Indonesia sangat ditentukan oleh

kualitas penalaran kita. Kualitas penalaran kita ditentukan oleh

seberapa bermutunya kelola pendidikan kita.

Dalam konteks global dan dalam tekanan bahasa-bahasa

berperadaban maju, sebagaimana ditengarai dalam geo-politiko-

38

Page 39: Kumpulan Tulisan Baru

linguistik, daya tahan hidup sebuah bahasa di dunia tidak hanya

ditentukan oleh jumlah dan sikap pemertahanan bahasa

penuturnya, tetapi juga seberapa jauh penuturnya membangun

peradaban kecerdasan dan menjadikan bahasa sebagai sarana

bernalar. Bahasa Indonesia bisa tetap menjadi bahasa yang

terus bugar (save language), setidaknya hingga 75 tahun ke

depan, jika peradaban kecerdasan disiapkan dari sekarang.[]

Agama-agama dalam Penggerusan Budaya

Global6

Oleh Gufran Ali Ibrahim7

e-mail: [email protected]

6 Materi pengantar yang disampaikan Kegiatan Dialog Intern Umat Beragama pada Program Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama, yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara, di Mardrasah Tsanawiyah Dokiri Kota Todire Kelulauan, Sabtu 31 Desember 2005

7 Dr. Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, penulis buku Mengelola Pluralisme (Grasindo, 2004), Pembantu Rektor I Universitas Khairun, dan Ketua Presidium Forum Komunikasi Antarumat Beragama Provinsi Maluku Utara.

39

Page 40: Kumpulan Tulisan Baru

Sebagai produk peradaban industri, globalisasi tampil dengan

dua muka. Di satu muka globalisasi telah “merobek” batas-batas

sosio-politik-ekonomi-budaya lintasnegara. Dunia, kata Alvin Toffler,

bagai sebuah desa global (the global village). Dalam kondisi

semacam ini, batas-batas lintasnegara dan lintasbudaya nyaris tak

ditemukan, yang dalam sebutan John Naisbitt, the borderless world

‘dunia tanpa batas’. Desa global yang tanpa batas itu adalah anak

kandung dari ibu peradaban yang bernama globalisasi. Pada muka

ini, globalisasi telah memperjumpakan komunitas lintasnegara dan

lintasbudaya dalam satu ruang sosial yang mendorong

keseragaman pola tindak dan perilaku. Apa yang menjadi

kecenderungan bertindak atau berperilaku dalam satu wilayah

peradaban akan secara cepat menjadi pola bertindak yang relatif

seragam pada berbagai belahan dunia. Secara ekstrim,

pemindahan kecenderungan bertindak dan berperilaku itu sebagian

besarnya dimulai dari wilayah-wilayah peradaban yang telah maju,

sebagai wilayah arus utama (mainstream), kemudian meluber ke

wilayah tepian (peripheral), wilayah yang mengadaptasi atau

mengadopsi kecenderungan bertindak atau berperilaku itu.

Wilayah-wilayah arus utama adalah penguasa ekonomi global,

penguasa kekuasaan global, dan pencipta kebudayaan industri

(cultural industry), sementara wilayah-wilayah tepian adalah

wilayah-wilayah pelahap ekonomi global, “pesakit” kekuasaan

global, dan penikmat kebudayaan industri. Dalam cara berpikir

dikotomis, wilayah-wilayah arus utama adalah Barat, sedangkan

wilayah-wilayah tepian adalah Timur. Meski dikotomi ini telah

terbantah oleh kemajuan-kemajuan yang dicapai Timur dengan

tumbuhnya Jepang, Cina, dan Korea dalam berbagai industri

manufaktur dalam geliat ekonomi, globalisasi masih relevan

didefinisikan sebagai peluberan dan pelebaran pengaruh dan

40

Page 41: Kumpulan Tulisan Baru

pemindahan kecenderungan dari wilayah-wilayah arus utama

sebagai yang memproduksi budaya industri ke wilayah tepian

sebagai wilayah penikmat.

Pada keadaan peluberan dan pelebaran kuasa-kuasa ekonomi,

politik, dan budaya dari wilayah arus utama ke wilayah tepian,

globalisasi menampilkan pula muka kedua yaitu hegemoni dan

penyeragaman budaya.

Penggerusan Budaya dan Sistem Sosial

Perubahan tatanan ekonomi, politik, sosial, dan penguatan

kultur demokrasi di negara-negara maju sebagai wlayah arus

utama sesunggguhnya tidak saja meluberkan kepengaruhannya

pada negara berkembang, tetapi juga sekaligus menggerus tatanan

nilai budaya, sosial, bahkan tatanan keagamaan dan

kerbergamaan.

Dengan muka kedua ini, budaya-budaya tempatan (local

cultures) tersedot ke dalam resonansi budaya global, dan akhirnya

kehilangan daya tarik karena masyarakat pemilik budaya lokal itu

telah tercerabut darinya. Dan, ketercerabutan budaya (cultural

deprivation) kini terus berlangsung karena didorong oleh dua hal.

Pertama, terputusnya proses heredesisasi kultural, pewarisan

budaya, pada komunitas atau budaya tempatan. Hereditasi kultural

tidak berjalan secara melembaga dan tidak dalam ikhtiar

pembelajaran. Kedua, adalah kuasa-kuasa pragmatik yang

ditawarkan globalisasi. Terputusnya pelembagaan dan

pembelajaran jiwa-jiwa kultur tempatan dan kuasa budaya global

sebagai entitas peradaban yang berkarakter cultural industry akan

mendorong masyarakat ke dalam penghambaan atas benda-benda,

bukan pada jiwa-jiwa, sehingga kemanusiaan menjadi terjerembab

ke dalam kubangan pragmatis, seterusnya mengantar manusia ke

41

Page 42: Kumpulan Tulisan Baru

cara hidup yang berorientasi pendek, sesaat, dan bendawi. Hidup

adalah mengumpul benda-benda, menguasainya, menyebarkannya

sebagai “malaikat-malaikat” pemuas fisik, dan kemudian

menjadikannya berhala kenikmatan.

Dalam konteks ini, upaya memilih strategi penggalian,

pemaknaan, dan penguatan budaya tempatan menjadi penting.

Menuliskan kembali atau menafsir-ulang, atau mempertegas

komitmen kultural merupakan jalan-jalan ikhtiar kebudayaan bagi

penyelamatan akar kearifan budaya tempatan dari gempuran

pragmatik budaya global. Setidaknya, dengan menulis apa-apa

yang terasa mulai hilang dari kebiasaan, kesadaran kultural kita

terhadap budaya lokal dapat menjadi alat pemandu masa depan,

merupakan cara-cara yang sederhana dan pertama-tama dalam

kerangka pelembagaan dan pembelajaran kebudayaan lokal.

Sistem sosial tempatan yang menjadi ciri khas masing-masing

negara dunia ketiga sebagai wilayah pinggiran seperti gotong

royong yang selalu mempertimbangkan kerjasama saling-bantu

dan kekerabatan luas (extended family) yang selalu

mempertimbangkan kebersamaan, tergerus oleh menguatnya

karakter individualis dan orientasi hidup kekerabatan inti (nuclear

family). Penggerusan itu sistem sosial ini lambat-laun memberi

perubahan pada tatanan sosial, budaya, dan keagamaan.

Tantangan Agama-agama

Agama-agama, termasuk atau terutama Islam, menghadapi

dua tantangan besar berkaitan dengan penggerusan budaya dan

sistem sosial sebagai akibat dari perubahan global. Pertama, pada

aras teologis, agama-agama harus menjadi sumber moralitas

mengenai kebaikan, kesalehan, kejujuran, cinta lingkungan, cinta

damai, hidup bersama. Kedua, pada aras fungsional dan mondial,

42

Page 43: Kumpulan Tulisan Baru

agama-agama harus menjadi pendorong hidup produktif, semangat

pencerdasan, penegakan masyarakat yang kuat secara sosial, kuat

tatanan hukumnya, dan selalu menjadikan masa depan sebagai

kewajiban dan kebaikan dan “pahala” dunia yang selalu harus terus

direbut.

Agama-agama akan dapat mengatasi gempuran budaya

global, adalah agama-agama yang dapat memainkan peran

sebagai sumber penyedia moralitas dan kesalehan di satu sisi dan

pada sisi yang lain, agama-agama menjadi alat pencerahan.

Agama-agama yang saya maksudkan dalam hal ini mencakupi dua

matra, yaitu matra teks agama dan matra pemeluk agama. Di

dalam itu terkandung makna keberagamaan. Jadi, keberagamaan

adalah interaksi yang menyejarah antara teks dan pemeluk yang

membentuk peradaban beragama, adab dan etos beragama.

Hubungannya dapat ditunjukkan melalui pemaknaan dan

penafsiran pemeluk atas teks agama. Hubungan tersebut tidak

bersifat searah dan juga tidak monolitik, tetapi selalu ditentukan

oleh pertumbuhan kualitas dan kemajuan kecerdasan dan

pertumbuhan spiritual, yang ditentukan oleh soal-soal sosial,

politik, dan ekonomi. Di atas itu semua, keragamaan adalah

bentukan yang terus mengalami modifikasi internal dalam hal etos

spiritual dan semangat mondial yang ditawarkan atau yang

dihadapi umat sepanjang sejarah keagamaan dan

keberagamaanya.

Di tataran batiniah, perubahan global ditandai dengan

perubahan tata nilai (baik-buruk) dan tata norma (benar-salah).

Kebaikan dan kebenaran mengalami modifikasi intrinsik, dan

lazimnya teks-teks agama selalu berurusan dengan nilai dan

norma. Perubahan nilai dan norma pada wilayah-wilayah sosial arus

utama (dunia maju) seperti yang telah disebutkan di atas akan

menentukan perubahan nilai dan norma pada wilayah-silayah sosial

43

Page 44: Kumpulan Tulisan Baru

tepian (dunia berkembang). Agama-agama atau tetaptnya

keberagamaan suatu masyarakat akan terus berhadapan dengan

modifikasi internal nilai dan norma dalam masyarakat dalam

perbuahan global.[]

Warga Kota dan Hybrid Society8

Oleh Gufran Ali Ibrahim9

Kota-kota di dunia, termasuk Ternate, dalam perkembangan

peradaban kekotaan, sesungguhnya tumbuh dari sebuah desa

kecil. Desa kecil itu mungkin hanya dihuni satu komunitas atau satu

klan. Kota New York di Amerika sekarang, sebelumnya adalah

sebuah kampung yang hanya dihuni oleh para imigran Belanda.

Sebab itu, sebelum menjadi New York, kota itu bernama New

Amsterdam. Baru setelah adanya kebijakan the melting pot yang

dicanangkan Presiden Roosevelt, New Amsterdam berubah menjadi

New York. Sebelum menjadi Batavia, Jayakarta, dan kemudian

menjadi Jakarta, wilayah ini sesungguhnya sebuah kampung

Betawi. Sebelum menjadi kota Makassar, kemudian menjadi

Ujungpandang, kemudian kembali menjadi Makassar, adalah

sebuah desa kecil yang dihuni oleh beberapa klan etnik Makassar.

Ternate, sebelum menjadi Ternate sebagai kota pemerintahan,

sebelum sebagai kota Kesultanan Ternate, yang awalnya di

Sampalo, adalah beberapa desa bertebar di sejumlah daerah

8 Makalah yang disampaikan pada Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Kota Ternate (Mahkota) Manado, di Aula Kantor Walikota Ternate, Sabtu 30 Juli 2005.

9 DR. Gufran Ali Ibrahim, M.S., adalah dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun

44

Page 45: Kumpulan Tulisan Baru

ketinggian, yang dihuni oleh, menurut catatan sejarah, empat klan:

Tobona, Tabanga, Tubo, dan Foramadiahi (?).

Pertumbuhan dan Sifat Relasi

Menurut nalar linieritas, pertumbuhan sebuah desa menjadi

kota, setidaknya dirangkum ke dalam dua sebab perubahan: (1)

campur tangan atau keputusan politik, dan (2) pertumbuhan

ekonomi. Keputusan suatu pemerintahan, baik yang bersifat

kerajaan, kesultanan, maupun pemerintahan modern [demokratis,

sosialis, komunis, liberalis], dalam menetapkan sebuah wiyalah

atau daerah sebagai pusat kegiatan pemerintahan, dalam kurun

waktu yang relatif cepat, wilayah yang sebelumnya sebuah desa,

berubah menjadi kota. Pertumbuhan ekonomi, seperti tumbuhnya

pusat-pusat perdagangan di suatu wilayah yang sebelumnya

adalah kampung tradisional berubah menjadi kota. Soal apakah

keputusan politik menciptakan lahirnya pertumbuhan ekonomi atau

kemajuan ekonomi mendorong keputusan politik penetapan suatu

wilayah menjadi ibu kota, itu diperdebatkan.

Perdebatan tersebut diabaikan di sini, dan tulisan ini

memegang tiga tesis. (1) Kota sekarang adalah sebuah desa di

masa lalu. (2) Secara sosiologis, desa berkarakkter masyarakat

tunggal. (3) Ketika berubah menjadi kota, secara sosiokultural,

lambat-laun, warganya berubah dari masyarakat berbudaya

tunggal (mono-cultural society) menjadi warga masyarakat

berbudaya majemuk (multi-cultural society). Pertumbuhan dari

masyarakat (berbudaya) tunggal ke masyarakat (berbudaya)

majemuk menjadi ciri dan watak sosial kota-kota di dunia. Dari

sinilah, mulai terjadi sebuah proses pembentukan kebudayaan

baru, yaitu semakin menjadi kota, dan kebudayaan tumbuh

menjadi kebudayaan kota, dengan berbagai cirinya. Secara sosio-

kultural, ada sejumlah ciri masyarakat kota. Pertama, warganya

45

Page 46: Kumpulan Tulisan Baru

berasal dari berbagai komunitas, etnik, dan agama. Kedua, secara

sosioekonomi, warganya terdiri dari berbagai kelas pekerja:

pegawai, pedagang, buruh, pendidik, dokter, usahawan, elit politik,

seniman, bahkan pengangguran, tunawisma, dll. Ketiga, secara

sosiopolitik, kota dipamongi oleh sebuah pemerintahan dan

merupakan sumbu kegiatan politik. Keempat, dalam identitas

pertama dan kedua tersebut, masyarakat kota membentuk sebuah

komunitas majemuk, yang relasi-interaksinya tidak saja

berdasarkan hubungan keetnikan atau hubungan keagamaan.

Relasi-interaksinya mengambil dua pola, yaitu relasi-interaksi

internal dan relasi-interaksi ekternal. Pola relasi-interaksi internal

berlangsung berdasarkan kesamaan etnik, agama, dan sama jenis

okupasi. Pola pertama ini mengambil wadah dan kesempatan

keprimordialan dan berdasarkan pada prinsip hubungan dan

komunikasi in-group. Pola relasi-interaksi ini berlangsung sebagai

penegasan dari kesadaran kedirian (self-identity). Pola eksternal

berlangsung berdasarkan prinsip pertetanggaan, kebutuhan lintas-

komunitas, lintas-pekerja, lintas-profesi, pertemanan yang

melampaui batas-batas etnik, komunitas, dan agama. Relasi-

interaksinya merupakan kebutuhan (the needs) dalam kerangka

menjadi warga kota. Dari kedua pola relasi-interaksi inilah,

terbentuk suatu kebudayaan kota (urban culture).

Metamorfosa Sosial

Menjadi warga kota (being urban) sebenarnya adalah suatu

proses transformasi sosial, setidaknya proses meninggalkan atau

mengabaikan karakter masyarakat desa, sebagai asalnya. Pada

tahap ini sesungguhnya telah terjadi metamorfosa sosial dari

masyarakat perdesaan ke masyarakat perkotaan. Dalam

metamorfosa sosial tersebut terjadi (dalam skala individu maupun

masyarakat) proses modifikasi perilaku, seperti berubahnya

46

Page 47: Kumpulan Tulisan Baru

orientasi hidup, sikap sosial, dan gaya hidup (style). Proses semakin

menjadi warga kota melalui mekanisme dua pola relasi-interaksi

yang telah disebutkan, lambat-laun membentuk dan mendorong

berlangsungnya proses asimilisasi dan akulturasi berbagai budaya

asal. Di ujung proses asimilasi dan akulturasi—dengan berbagai

ejawantahnya seperti kawin-mawin, pengadopsian dan

pengadaptasian budaya warga lain, atau penyesuaian dengan

budaya lokal setempat sebelum wilayah tersebut menjadi kota—

terbentuk semacam hybrid society (masyarakat bastar) dalam

sebuah masyarakat multikultural. Masyarakat bastar sebagai ciri

warga kota, pada dasarnya bukan sebuah masyarakat yang benar-

benar baru, sebab sifat dan karakter budaya asal secara relatif

masih terikutkan. Masyarakat bastar bukan sesuatu label sosial

yang negatif sebab ia merupakan suatu jalan sosial bagi

terbentuknya masyarakat kota yang tanggap atas keberagaman

dalam masyarakat majemuk.

Ketercerabutan, Penyesuaian, atau Pembentukan Budaya?

Ketika terjadi proses pembentukan masyarakat bastar (dalam

pengertian genetik-biologis dan sosio-kultural), masyarakat kota

tumbuh dan berkembang menjadi tiga kemungkinan kultural, yaitu

(1) tercerabut dari akar kebudayaan aslinya (cultural deprivation),

(2) masing-masing warga membuat mekanisme penyesuaian untuk

saling-tanggap (cultural adaptation), atau (3) membentuk sebuah

entitas kebudayaan baru yang merupakan perkawinan budaya

masing-masing yang menjadi ciri warga kota (urban culture).

Kemungkinan pertama terjadi, bila masing-masing warga

meninggalkan dan mengabaikan budaya sendiri. Gejala semacam

ini disebut sebagai ketercerabutan budaya. Ada sejumlah sebab

47

Page 48: Kumpulan Tulisan Baru

mengapa terjadi gejala ketercerabutan budaya pada sebuah

masyarakat. Pertama, tidak terjadi proses hereditasi budaya dalam

masyarakat itu. Satu generasi tak lagi berusaha mewariskan nilai

dan norma (the middle layer) dan kesadaran eksistensial sebagai

inti (the core) dari kebudayaannya kepada generasi berikutnya.

Pada tingkat ini, yang tersisa dari kebudayaan suatu masyarakat

tinggal ornamen benda (sebagai the outer layer dari tataan

kebudayaan) yang telah terawetkan dan menjadi fosil kebudayaan.

Manusianya telah menjadi manusia lain dan telah menjadi asing

pada dirinya sendiri. Nilai-norma [yang memandu setiap orang

berbuat baik dan bertindak benar] dan kesadaran eksistensial

[untuk apa manusia ada dan bagaimana berinterkasi dengan yang

lain] sebagai batin dari setiap kebudayaan tak lagi dipakai sebagai

panduan. Kedua, berubahnya orientasi hidup, terutama yang

berkaitan dengan pengejaran terhadap kenikmatan benda dan

penghambaan atas segala yang menyenangkan dan

membanggakan secara fisik. Sesungguhnya perubahan orientasi

hidup pada sebuah society karena, lagi-lagi, nilai, norma, dan

kesadaran eksistensial yang terangkum dalam tataan kebudayaan

batiniah telah dihancurkan oleh palu godam pragmatisme. Orang

per seorang dalam sebuah masyarakat dinilai baik dan hebat bukan

karena dia telah berbuat baik dan bertindak benar, tetapi dinilai

baik dan hebat karena posisi sosialnya atau sedang atau telah

berhasil mengumpulkan sesuatu

kepemilikan/kesenangan/kenikmatan bendawi. Tak peduli dari

mana asal-muasal apa yang diperoleh dan bagaimana cara ia

mendapatkan posisi sosialnya.

Ketercerabutan budaya masyarakat kota juga disebabkan oleh

proses adaptasi dengan entitas budaya lain sebagai proses menjadi

warga kota. Entitas budaya lain tersebut dapat berupa budaya lokal

setempat, atau entitas bukan budaya lokal yang dianggap secara

48

Page 49: Kumpulan Tulisan Baru

pragmatis dapat mewadahi kebutuhan kehidupan kota. Lambat-

laun, proses adaptasi [juga adopsi] akan menghasilkan dua entitas

budaya: kebudayaan hasil kawin-mawin budaya atau pertumbuhan

bersama budaya-budaya. Kawin-mawin antarbudaya melahirkan

suatu budaya gabungan, sedangkan pertumbuhan bersama

budaya-budaya akan melahirkan multikulturalisme.

Catatan Akhir

Secara sosiokultural, arah pertumbuhan kebudayaan kota

bergerak ke dua karakter: (1) pembentukan budaya baru sebagai

hasil kawin-mawin berbagai entitas budaya, atau (2) pemeliharaan

budaya-budaya yang kita kenal dengan multikulturalisme. Ke arah

mana masyarakat kota membentuk kebudayaannya, bergantung

kepada karakter divergensi dan konvergensi masing-masing kultur

asal warga kota. Bila watak budaya masing-masing kultur warga

kota yang majemuk itu berkarakter konvergen, maka pilihan yang

mungkin adalah terjadinya pembentukan budaya baru. Sementara

itu, jika divergen, maka pilihan yang mungkin adalah tumbuhnya

masing-masing budaya. Jika terjadi yang kedua, maka perlu

pembangunan kebudayaan warga kota yang berwatak atau

berbasis multikulturalisme. Dari sinilah, baru kita bicara soal

budaya dan demokrasi warga kota, dan dari sini pulalah kita mulai

menyoal dan menjawab: Mau dibawa ke mana kota Ternate? Quo

vadis kota Ternate?

Menemukan Jiwa-jiwa dalam Kearifan

Lokal

Oleh Gufran Ali Ibrahim10

10 Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, Ternate.

49

Page 50: Kumpulan Tulisan Baru

Sebagai produk peradaban industri, globalisasi tampil dengan

dua muka. Di satu muka globalisasi telah “merobek” batas-batas

sosio-politik-ekonomi-budaya lintasnegara. Dunia, kata Alvin Toffler,

bagai sebuah desa global (the global village). Dalam kondisi

semacam ini, batas-batas lintasnegara dan lintasbudaya nyaris tak

ditemukan, yang dalam sebutan John Naisbitt, the borderless world

‘dunia tanpa batas’. Desa global yang tanpa batas itu adalah anak

kandung dari ibu peradaban yang bernama globalisasi. Pada muka

ini, globalisasi telah memperjumpakan komunitas lintasnegara dan

lintasbudaya dalam satu ruang sosial yang mendorong

keseragaman pola tindak dan perilaku. Apa yang menjadi

kecenderungan bertindak atau berperilaku dalam satu wilayah

peradaban akan secara cepat menjadi pola bertindak yang relatif

seragam pada berbagai belahan dunia. Secara ekstrim,

pemindahan kecenderungan bertindak dan berperilaku itu sebagian

besarnya dimulai dari wilayah-wilayah peradaban yang telah maju,

sebagai wilayah arus utama (mainstream), kemudian meluber ke

wilayah tepian (peripheral), wilayah yang mengadaptasi atau

mengadopsi kecenderungan bertindak atau berperilaku itu.

Wilayah-wilayah arus utama adalah penguasa ekonomi global,

penguasa kekuasaan global, dan pencipta kebudayaan industri

(cultural industry), sementara wilayah-wilayah tepian adalah

wilayah-wilayah pelahap ekonomi global, “pesakit” kekuasaan

global, dan penikmat kebudayaan industri. Dalam cara berpikir

dikotomis, wilayah-wilayah arus utama adalah Barat, sedangkan

wilayah-wilayah tepian adalah Timur. Meski dikotomi ini telah

terbantah oleh kemajuan-kemajuan yang dicapai Timur dengan

tumbuhnya Jepang, Cina, dan Korea dalam berbagai industri

manufaktur dalam geliat ekonomi, globalisasi masih relevan

didefinisikan sebagai peluberan dan pelebaran pengaruh dan

50

Page 51: Kumpulan Tulisan Baru

pemindahan kecenderungan dari wilayah-wilayah arus utama

sebagai yang memproduksi budaya industri ke wilayah tepian

sebagai wilayah penikmat.

Pada keadaan peluberan dan pelebaran kuasa-kuasa ekonomi,

politik, dan budaya dari wilayah arus utama ke wilayah tepian

sebagai ejawantah utama globalisasi, globalisasi menampilkan

pula muka kedua yaitu hegemoni dan penyeragaman budaya.

Dengan muka kedua ini, budaya-budaya tempatan (local culture)

tersedot ke dalam resonansi budaya global, dan akhirnya

kehilangan daya tarik karena masyarakat pemilik budaya lokal itu

telah tercerabut darinya. Dan, ketercerabutan budaya (cultural

deprivation) kini terus berlangsung karena didorong oleh dua hal.

Pertama, terputusnya proses heredesisasi kultural, pewarisan

budaya, pada komunitas atau budaya tempatan. Hereditasi kultural

tidak berjalan secara melembaga dan tidak dalam ikhtiar

pembelajaran. Kedua, adalah kuasa-kuasa pragmatik yang

ditawarkan globalisasi. Terputusnya pelembagaan dan

pembelajaran jiwa-jiwa kultur tempatan dan kuasa budaya global

sebagai entitas peradaban yang berkarakter cultural industry akan

mendorong masyarakat ke dalam penghambaan atas benda-benda,

bukan pada jiwa-jiwa, sehingga kemanusiaan menjadi terjerembab

ke dalam kubangan pragmatis, seterusnya mengantar manusia ke

cara hidup yang berorientasi pendek, sesaat, dan bendawi. Hidup

adalah mengumpul benda-benda, menguasainya, menyebarkannya

sebagai “malaikat-malaikat” pemuas fisik, dan kemudian

menjadikannya berhala kenikmatan.

Dalam konteks ini, upaya memilih strategi penggalian,

pemaknaan, dan penguatan budaya tempatan menjadi penting.

Menuliskan kembali atau menafsir-ulang, atau mempertegas

komitmen kultural merupakan jalan-jalan ikhriar kebudayaan bagi

penyelamatan akar kearifan budaya tempatan dari gempuran

51

Page 52: Kumpulan Tulisan Baru

pragmatik budaya global.Setidaknya, dengan menulis apa-apa yang

terasa mulai hilang dari kebiasaan, kesadaran kultural kita

terhadap budaya lokal dapat menjadi alat pemandu masa depan,

merupakan cara-cara yang sederhana dan pertama-tama dalam

kerangka pelembagaan dan pembelajaran kebudayaan lokal.

Dalam tataannya, tiap kebudayaan setidaknya tersusun dalam

tiga lapis budaya. Pertama, adalah lapis luaran (the outer layer),

yaitu hasil karya bendawi suatu budaya. Kedua, adalah lapis

tengahan (the middle layer), yaitu berupa sediaan atau cipta nilai

(ihwal baik dan buruk) dan norma (soal benar dan salah)

berdasarkan keyakinan pemilik budaya. Ketiga, adalah lapis

dalaman (the core), yaitu keyakinan tentang eksistensi manusia.

Ketiga lapis budaya ini terangkum dalam pengertian kearifan lokal

(local wisdom). Dalam perjalanan sejarahnya, tataan pertama

dapat dengan mudah diteruskan ke generasi berikut karena ia

bersifat produk tahu-terampil (know-how), atau pengetahuan

prosedural (procedural knowledge), sedangkan tataan kedua dan

ketiga, yaitu nilai-norma, dan keyakinan mengenai eksistensi sulit

diturunkan dari satu generasi ke generasi berikut karena keduanya

bersifat tahu-sesuatu (know-that) atau tahu-mengapa (know-why),

atau pengetahuan proposisional (propositional knowledge) sesuatu

Ada itu harus ada. Pewarisan nilai, norma, dan keyakinan

mengenai eksistensi ini dapat dilakukan secara berhasil, manakala

ada pelembagaan dan pembelajaran.

Catatan dan tafsir atas sejarah dan budaya Maloko Kie Raha

(MKR) dalam sejumlah tulisan yang ditulis oleh sejumlah pemerhati

sejarah dan budaya yang terangkum dalam buku ini merupakan

salah satu ikhtiar pelembagaan dan pembelajaran atas tiap tataan

kebudayaan MKR, terutama pemelirahaan nilai-norma dan

kesadaran mengenai eksistensi jagat manusia MKR. Ikhtiar ini

52

Page 53: Kumpulan Tulisan Baru

menjadi semakin penting, kini dan di sini, bila dihubungkan dengan

gempuran budaya global yang menghegemoni budaya tempatan.

Catatan atau tafsir yang terangkum dalam buku ini setidaknya

mencoba melacak dan menemukan jiwa-jiwa kearifan lokal yang

terangkum dalam jejak sejarah pendirian dan perkembangan

kerajaan-kerajaan MKR. Ada sekian banyak jejak kearifan sejarah

dan budaya. Dari bagaimana komunitas yang berbasis clan

(Tobona, Tubo, Tabanga, dan Toboleu) yang berjuang keras untuk

membentuk komunitas hingga membentuk konfederasi MKR (Moti

Verbond 1322) dalam konteks kesultanan Ternate, Tidore, Bacan

(sebelumnya Makian), dan Jailolo (sebelumnya Moti). Apa yang

dapat ditangkap dari pertumbuhan kehidupan klan ke pola-pola

interaksi antarklan dengan berbagai derajat kesadaran pengelolaan

konfliknya hingga pembentukan hubungan lintaskesultanan?

Setidaknya, ada sejumlah pengertian yang dapat diberikan.

Pertama, dalam pengertian yang paling sederhana, pertumbuhan

itu mencerminkan adanya tahap-tahap kesadaran mengenai

keberbedaan dan keinginan membentuk perjumpaan-perjumpaan

sebagai suatu kebutuhan masa depan. Meskipun melahirkan

konflik, perjumpaan itu ternyata telah memberikan suatu ruang

belajar baru bagi bagaimana menata kemajemukan. Bahkan,

kemampuan penataan kemajemukan (dari klan hingga kesultanan)

itu pada suatu era dapat mencapai titik puncak mengenai

kesadaran pluralisme, dan itu tercatat dalam teks kebersastraan

MKR: ngone doka dai loko ‘kita bagai beragam kembang di padang

rumput’, yang meski ahu yo mafara-fara, ‘tumbuh berpencar-

pencar’, tetapi sirubu-rubu yo mamoi-moi, doka saya rako moi,

‘terhimpun dalam satu genggaman, bagaikan hiasan serangkai

kembang’ (Hasan 2001:99-101).

Dalam perspektif multikultural-pluralistik, teks budaya

berestetika (baca: bersastra) di atas merupakan satu apresiasi

53

Page 54: Kumpulan Tulisan Baru

tingkat tinggi yang telah dicapai di masa itu mengenai kultur

kekitaan yang tumbuh dari kekuatan peleburan egosentrisme

kekamian.

Ada pula kesadaran kosmologis mengenai ruang dan waktu

dalam bingkai sejarah yang pernah tercatatkan: toma awal

masusira, toma ua hang moju, toma limau gapi matubu, Jou se

ngofangare. Ada kesadaran mengenai Ada (Being) dalam perspektif

eksistensial dan dalam bingkai relasi kekitaan, dengan

menghadirkan Jou se ngofangare dalam relasi ko-eksistensial. Pada

aras ini, ruang dan waktu sebagai pembingkai tanpa batas,

terangkum dalam medan semantik toma ua hang moju, dan tanpa

batas itu hanya dimengerti atau dipahami melalui proses dialog

yang terus menerus dalam relasi kekitaan yang bergerak ke depan

tanpa melupakan sumber-sumber masa lalu sebagai pelajaran.

Lepas dari keterbatasan gramatika dan watak

pengungkapannya masing-masing, tulisan-tulisan dalam buku ini

telah menyediakan sebuah pintu kebudayaan bagi kita untuk

masuk dan menemukan jiwa-jiwa kearifan lokal yang mulai

terabaikan. Selamat membaca!

54

Page 55: Kumpulan Tulisan Baru

Empat Parameter Pemetaan Etnik11

Charles F. Grimes dalam bukunya Ethnoloque: Languages of

the World (1985), mencatat ada 29 bahasa di Maluku Utara: dari

bahasa Kadai di Mangole hingga bahasa Galela di Morotai. Jika kita

sepakat dengan pandangan bahwa batas bahasa (language

boundaries) berada pada garis pisah-pembatas yang sama dengan

batas etnik (ethnic boundaries) dan batas budaya (cultural

boundaries), maka setidaknya kita dapat membuat hipotesis bahwa

ada duapuluh sembilan etnik di Maluku Utara. Hipotesis ini kita

pakai dengan pengertian bahwa komunitas pengguna bahasa yang

sama (speech community) merupakan kelompok masyarakat yang

memelihara tradisi dan nilai yang sama dengan bahasa sebagai

medium pengenalnya. Dengan begitu, masyarakat tutur yang

menggunakan bahasa Kadai atau Sawai adalah etnik Kadai atau

Sawai: nama bahasa sekaligus sebagai nama etnik. Dan ini terjadi

pada sejumlah etnik di dunia, di Indonesia, atau di Maluku Utara.

11 Bahan pengantar yang disampaikan pada Temu Kaji Ilmiah Dosen (TEKAD) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, 3 Agustus 3004, di Kampus UMMU, Ternate.

55

Page 56: Kumpulan Tulisan Baru

Tetapi dalam antropologi budaya atau tepatnya dalam studi

etnografi, bahasa bukan satu-satunya parameter keetnikan yang

dipakai untuk membikin peta etnik. Kesatuan mukim, tipologi

ragawi, garis genaologi, dan pemeliharaan dan pelesetarian nilai

tradisi yang sama merupakan parameter lain yang lazim dipakai

sebagai parameter untuk menetapkan garis batas dan atau

identifikasi etnik. Tetapi soalnya adalah apakah semua parameter

ini harus dipakai sebagai parameter maksimal untuk

mengidentifikasi dan membikin peta etnik? Jadi ada keharusan

menggunakan seluruh parameter ini atau perlu ditambah dengan

parameter lain yang masuk akal, misalnya jenis mata pencaharian,

alat-alat produksi pertanian, atau sarana kehidupan yang lain?

Tetapi penambahan parameter ini akan menimbulkan problem

yang musykil jika kita berbadapan dengan mobilitas dan

petumbuhan peradaban pasa masing-masing etnik. Belum lagi

interaksi antaretnik yang kemudian melahirkan asimilasi dan

akulturasi antarsesamanya?

Secara sederhana memang, empat parameter (bahasa, tipologi

ragawi, garis genealogi, dan pemeliharaan nilai-nilai subtansial

yang sama) di atas dapat dijadikan parameter dasar bagi pemetaan

etnik, sebab ciri-ciri tersebut dengan mudah dapat dikenali. Dilihat

dari hierarki kekasat-mataannya, dua parameter pertama, yaitu

bahasa dan tipologi ragawi adalah parameter yang segera dan

jelas dikenali, menyusul, garis genaologi dan terakhir pemeliharaan

nilai-nilai yang sama. Jadi berdasarkan hirarki keterjangkauannya

(accessibility hierarchy) kekasatmataan, kemudahan, dan kejelasan

pengidentifikasian etnik dapat digambarkan dengan hipotesis

hirarki kemudahan mengenali pemarkah entik (ethnic marker)

sebagai berikut:

BHS > TRG > GGE > NNS

56

Page 57: Kumpulan Tulisan Baru

BHS adalah bahasa, TRG adalah tipologi ragawi, GGE garis

genealogi, sedangkan NNS adalah nilai-nilai yang sama. Hirarki di

atas dibaca sebagai berikut: ciri kebahasaan lebih segera dan

mudah dikenali sebagai pemarkah etnik dari ciri tipologi ragawi,

tetapi tipologi ragawi lebih mudah dan segera dikenali daripada

garis genaologi, dan seterusnya. Semakin ke kanan, semakin tidak

kasat-mata. Artinya diperlukan penanganan metodologis yang

semakin antropologis tetapi tetap studi interdisplin yang

“mengawinkan” teori-teori linguistik dan antropologi ragawi.

Apa perlunya?

Setidaknya ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari kerja

pemetaan etnik, yaitu manfaat keilmuan dan manfaat pragmatis.

Dari sudut keilmuan, pemetaan akan membantu memberikan

gambaran mengenai batas-batas etnik, persentuhannya dengan

etnik lain, mobilitas setiap etnik, dan juga pertumbuhan

peradabannya.

Pemetaan etnik yang (akan) memberikan gambaran sebaran

dan keragaman etnik dalam suatu wilayah administrasi

pemerintahan akan memberikan manfaat pragmatis dalam hal

membantu memberikan informasi kepada pengambil kebijakan

dalam meluncurkan keputusan dan juga memberikan informasi

yang penting bagi strategi pembangunan masyarakat (community

development) yang tepat sesuatu dengan karakter etnik yang

berasungktan.

Di tingkat masyarakat, hasil pemetaan etnik akan menjadi

informasi penting bagi bagaimana semua etnik dalam satu wilayah

tertentu mulai membangun kembali kesadaran berdampingan,

bertetangga, dan mulai membangun sebuah masyarakat yang

57

Page 58: Kumpulan Tulisan Baru

melek kemajemukan. Pagi pengambil kebijakan di bidang

pendidikan, pemetaan etnik akan menjadi bahan kebudayaan

penting bagi bagaimana merancang pendidikan multikulur sebagai

satu cara merawat dan mengembangkan watak masyarakat yang

cerdas sosial lintas-etnik sebagai bagian dari bagaimana

membangun warga yang berkesadaran pluralistik tinggi.

Soal Cara?

Pemetaan etnik memang “urusan” antropologi. Tetapi batas-

batas etnik merupakan bagian penting dari bagaimana membuat

peta etnik, dan batas-batas etnik sendiri melibatkan soal

kepemeliharan bahasa dan ciri tipologi ragawi, maka pemetaan

etnik harus mensyaratkan kerja penelitian yang multidisiplin

(interdisciplinary) dan bahkan dengan paduan medode (mixing

method).

Oleh karena bersifat multi disiplin dan dengan paduan metode,

maka pemetaan etnik membutuhkan racikan kerangka pikir

(conceptual framework) yang telah ditata dengan menetapkan

ubahan (variable), parameter, dan indkator yang jelas dan bersifat

pemaduan dari konsep-konsep interdisiplin tersebut.

Secara metodologis, pemetaan etnik memerlukan kerja beralur

dan beralir: penyusunan parameter-parameter keetnikan, penataan

kerangka pikir, uji keasihan dan keandalan parameter sebagai alat,

survei eksplortatoris, seminasi, dan sosialisasi.

Bagi Maluku Utara,mengapa perlu pemetaan etnik? Untuk

kebutuhan keilmuan sajakah atau juga untuk kepentingan

pembangunan Maluku Utara ke depan? Saya pikir pemetaan etnik

memberikan hasil pada kedua kebutuhan ini: memberikan

informasi pada antropologi dan dapat dimanfaatkan bagi pengambil

kebijakan pembangunan masyarakat, dan juga suatu kesempatan

58

Page 59: Kumpulan Tulisan Baru

baru bagi masyarakat untuk semakin belajar mendengar dan

memahami.

Kerangka konseptual yang saya maksud adalah isian peubah

yang memberikan informasi mengenai apa saja yang dapat

dipertimbangkan sebagai masukan bagi ditetatpkannya

sekelompok manusia sebagai satu atau berbeda etnik.[]

59