Kumpulan Tulisan - memberfiles.freewebs.com · Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi...

135
1 Kumpulan Tulisan : Logika, Rasa dan Kenyataan

Transcript of Kumpulan Tulisan - memberfiles.freewebs.com · Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi...

1

Kumpulan Tulisan :

Logika, Rasa dan Kenyataan

2

3

“Kehidupan itu seperti Bumi,

Matahari dan Bulan. Bumi adalah

Kenyataan yang setiap hari diselingi

siang dan malam. Logika adalah

Matahari yang mampu menyingkap

kegelapan menjadi nyala siang, sedang

Bulan adalah Rasa yang mampu hadir

agar tidak terlalu kelam ketika datang

gelap malam.”

4

Logika :

Bagian I

Saya, Tunas Muda dan Bangsa

“ Saya masih terlalu liar untuk menjadi

pancang, terlalu riak untuk menjadi tenang,

terlalu lantang untuk menjadi bisu, terlalu

senang untuk menjadi sedih, terlalu hidup

untuk menjadi mati, terlalu ingat untuk

menjadi lupa, terlalu ranum untuk menjadi

busuk, terlalu jaga untuk menjadi tidur dan

saya terlalu dini untuk menjadi tua.

Itu semua karena saya orang muda.”

5

Tersenyumlah Ibu Pertiwiku Sayang,

Meski Hanya Sejenak

Si cantik ibu pertiwi tampak sangat bahagia, tersenyum

kasmaran sebagaimana seorang gadis muda yang jatuh

cinta pada seorang pemuda yang gagah, bersuara indah

dan memainkan gitar didepan rumahnya. Bagaimana

tidak, karena ketika pertengahan agustus tiba, ribuan

nada dan tulisan tampak begitu menyanjungnya. Ada

yang menunjukkan kemolekannya, dan banyak yang

meluapkan rasa cintanya pada si ibu muda yang indah

nan rupawan ini. Meski sudah 66 tahun, ibu ini masih

tergolong muda, jika dibandingkan ibu-ibu pertiwi lain

di belahan dunia yang jauh dari sini, dari nusantara.

Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi para

musisi di televisi, ketika pertengahan agustus tiba. Di

atas panggung yang megah ribuan nada indah akan

dilantunkan dihiasi hiasan merah putih cantik

sebagaimana warna kesukaan si ibu pertiwi. Ah, jangan

pula kau tanya ramainya suasana di bulan ini, dari anak-

anak kecil hingga veteran-veteran tua pun bergembira.

Ada yang tertawa berlumuran oli sembari memanjat

pohon pinang, dan ada pula anak-anak kecil yang lucu

berlarian sembari sendok dan kelerang diapit oleh

bibirnya. Ah, sungguh meriah dan indahnya saat-saat ini,

6

menjadi kenangan indah bagi siapa saja, bagi semua

anak ibu pertiwi.

Ketika pertengahan agustus pun perlahan berlalu, aku tak

tega memandang wajah ibu pertiwiku ini. Tawa dan

senyum indah kasmaran itu pun perlahan berlalu, lenyap,

digantikan raut murung sedih dan terkadang marah.

Lantas seperti tidak peduli, anak-anaknya hanya pergi

lalu saja, meninggalkannya di depan jendela dengan

perasaannya campur aduk, kalut dan penuh rasa kecewa.

Lantas mengapa kau menangis ibuku tersayang?

Tanyaku sesaat kala kulihat dia di jendela televisi di pagi

hari, sembari sepotong roti ini kulahap untuk mengisi

perut yang sejengkal ini.

Kudengar dengan teliti setiap curahan hatinya, tentang

kecemburuannya, tentang kesedihannya dan tentang

kemarahannya. Dia menangisi anak-anaknya yang

menipunya dan membuatnya terbakar cemburu, ketika

mengingat pertengahan agustus, banyak mereka

menyanjungnya dan memujinya bahkan ribuan kata cinta

dan pengorbanan diluapkan. Tapi apa daya, mereka yang

bernyanyi dan berpuisi itu lebih memilih pada hasil

karya ibu lain, bangga akan produk luar negeri seakan

mengacuhkan halusnya batik dan kain ulos hasil tenunan

sang ibu sendiri. Kain-kain indah yang dia tenun dengan

air mata kepedihan melihat anak-anak pedalaman yang

tak mengenyam pendidikan. Ibu mana pula yang tidak

cemburu jika anaknya lebih menghargai orang lain

7

daripada dirinya, tak bersyukurkah dia memiliki ibu

seindah ini? Hingga lebih memilih menikmati liburan

diluar negeri daripada beningnya Danau Toba atau

coraknya warna Kelimutu.

Belum lagi anak-anaknya yang berkelompok yang

mengaku soleh beragama namun hanya menimbulkan

perpecahan diantara sesama keluarganya, keluarga satu

ibu, ibu pertiwi. Mereka memperagakan kekerasan,

menimbulkan kebencian dan yang paling menyedihkan

menodai persatuan dan kesatuan yang indah dalam

keberagaman. Tahukah dia berapa nyawa yang melayang

mengusir belanda dan jepang dari tanah ini? Lalu, tak

dirasanyakah rasa sakit para jiwa-jiwa pejuang melihat

kemerdekaan yang indah ini diisi dengan kebencian

demi kebencian, kekerasan yang melukai kemanusiaan?

Janganlah kau terus menangis oh ibuku sayang, jangan

kau tangisi semua kepedihan ini. Aku tahu sudah cukup

hancur hatimu yang suci itu, melihat sandiwara anak-

anakmu di televisi. Dalam berbagai kata manis mereka

membagikan janji-janji kejayaan ketika pesta demokrasi

tiba, tapi kini satu tanah air pun hanya menuai maraknya

drama korupsi. Begitu maraknya dan menegangkannya

drama-drama itu, membuat penasaran, memacu

andrenalin dan menciptakan polemik seperti membaca

novel atau menonton film laga. Tak ada yang berubah,

betapa banyakpun janji yang para petinggi itu ucapkan,

hanya menambah satu demi satu drama yang mulai

8

terungkap dan disajikan meriah di televisi, tiap jam

berita-berita itu menambah susahnya hidup para

penghuni pinggiran jalan.

Ya sudahlah ibu, kini pertengahan agustus pun akan

segera tiba lagi. Usapkanlah air matamu sejenak, dan

mulailah dengar dan lihat kata-kata cinta dan kejayaan

yang akan disajikan indah lagi ditelevisi. Lupakanlah

sejenak semua kesusahan itu. Sejenak, ya meskipun

sejenak, setidaknya tak sepanjang tahun air mata itu

mengalir.

9

Mahasiswa Etalase

Kampus ini kumpulan orang hebat, para alumninya tidak

sedikit jadi pejabat dan banyak pula yang jadi

konglomerat. Persaingan disini berat, dan semua orang

pun seakan-akan punya pangkat yang berperingkat. Jika

kau tak punya jaket berseragam atau simbol-simbol

himpunan mahasiswa, maka sulitlah keberadaanmu

untuk kami anggap. Kami tidak peduli betapa kau punya

banyak gagasan yang hebat, selama kau tidak menjabat,

maka jangan salahkan jikakau kami sebut “bacotan”.

Entahlah karena kami memang malas berpikir, tapi

memang lebih keren tampaknya jika punya banyak

sertifikat dibandingkan banyak baca buku-buku berat.

Jangan macam-macam dengan kami kalau kami sudah

berkumpul dengan jaket berseragam. Tak peduli kau

siapa, kau harus berikan kami jalan,apalagi kalau sudah

tiba saatnya wisudaan. Asal-asal kau bisa kami hantam,

dan wajahmu nanti kami buat remuk redam. Entahlah

mungkin karena kami tak tahu lagi cara menunjukkan

militansi pada organisasi, tapi memang mudah kalau

cuma hanya adu jotos dan tendangan kaki.

Kami aktif disana dan disini, soal esensi hampir pasti

kami tak peduli, karena memang begitulah orang bisa

dipandang di kampus ini. “Eksis”adalah kata yang sering

kami pakai untuk melabeli setiap mahasiswa dan

mahasiswi. Kau akan diukur hanya dengan lembaran

10

kertas bernama CV, tak perlu panjang lebar berbagi

gagasan, karena kami tak peduli. Terlalu berat dan

menghabiskan waktu membaca buku Pramoedya atau

Tan Malaka, terlalu rumit untuk mengikuti kisah Soe

Hok Gie. Cukuplah daftar kepanitiaan, kumpul rapat,

lalu pulang pukul sepuluh tepat. Maka, sekelilingmu

akan meneriakkan “Lo hebat!”.

Jaman telah banyak berubah kawan, disini sudah banyak

mahasiswa dengan mobil buatan Jerman. Sesekali kami

meneriakkan anti kemiskinan namun tetap saja yang

kami kenakan harganya ratusan ribuan. Kami membeli

barang-barang asli buatan luar negri, tandanya kami

punya selera tinggi. Peduli setanlah dengan cinta produk

dalam negeri, karena kalau pakai barang palsu meskipun

buatan dalam negeri nanti kami kena caci maki. “Lo kok

mau sih pakai barang KW-an, mau jadi bahan

ketawaan?”.

Kami bisa mengundang band-band terkenal untuk tampil

diacara kepanitiaan, itupun acaranya surplus belasan

jutaan. Proposal-proposal kami mudah untuk diterima

perusahaan, karena satu dua orang diantaranya pasti ada

keluarganya yang punya jabatan. Peduli amatlah

dampaknya apa ke masyarakat, yang penting publikasi

gila-gilaan, dananya besar dan ditutup dengan artiskelas

berat. Semua organisasi saling adu gengsi, kalau bisa

iklan acaranya sampai ke televisi. Pokoknya kabar-kabar

11

acaranya harus santer, jadi pokok bahasan laris di

facebook dan twitter.

Kami adalah mahasiswa etalase, yang menganggap

dialektika itu hanya sesuatu yang klise. “Vini, vidi, vici”,

kami datang, kami menang, kami pulang. Jabatan

lengkap, nilai mengkilap, punya pacar dan nanti

keperusahaan besar untuk melamar. Masa kuliah hanya

mempercantik CV, agar dijajakan pada saat interview

nanti. Kamimahasiswa etalase, yang menjual diri kami

nanti ke depan para korporat yang terhormat. Tapi

sebelum tiba saatnya untuk itu semua, mari sejenak kita

teriakan“Demi Tuhan, bangsa dan almamater !”.

Sekian.

12

Monolog Pagi Hari - Sebuah Kutukan

Sebuah Kutukan

Pagi ini, aku melihat berita di televisi, katanya Indonesia

juara dua Olimpiade sains internasional. Pembawa berita

memulai beritanya dengan segaris tanggung senyum

bangga yang tak mampu disembunyikannya, atau

mungkin sengaja dibuatnya hingga tidak utuh terlihat.

Betapa hebatnya anak-anak itu, mampu menang

melawan anak-anak negara maju dengan sistem

pemerintahan yang lebih bersih dan adil. Di Eropa sana,

mungkin tidak ada tilang yang bisa dilobi, bahkan di

Jerman kudengar sekolah itu gratis dan tidak bayar.

Tidak seperti disini, bahkan contekan ujian nasional,

guru yang memberi, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Aku bayangkan negara Amerika Serikat, yang punya

badan antariksa NASA. Mereka bahkan mencari ilmu

bukan sampai ke negeri cina, tapi sampai ke sudut jagat

raya yang jaraknya jutaan tahun cahaya. Atau coba

kualihkan pikirku ke Eropa, yang membuat laboratorium

antar negara untuk memecah elektron dan proton, intisari

semua benda. Hebat luar biasa artinya Indonesia, dengan

caruk maruknya mental pemimpinnya, mampu

menghasilkan generasi muda terbaik dunia.

Jaman dahulu para pengembara dunia datang ke

Nusantara, ada yang dari Arab, Cina dan Eropa. Mereka

13

hebatnya menjadi kaya raya di tanah yang bukan

negerinya, bahkan sebuah bangsa bernama Belanda

mendirikan pemerintahan ala mereka. Tidak tanggung-

tanggung pula, tiga ratus tahun lamanya, memerintah

dengan seenak udel mereka. Oleh mereka, penduduk asli

nusantara di labeli pribumi, diperlakukan berbeda

seakan-akan terlahir dengan harkat martabat dibawah

kaki. Mengambil hasil bumi nusantara, menikmatinya

dan mengatur penduduknya pula.

Kalau kita coba mundurkan sedikit lagi ke belakang,

sebenarnya keadaan pun tidak jauh berbeda. Tidak

dengan serta-merta nusantara kaya ini seperti surga,

penduduknya memakan nasi hasil sawahnya dengan ikan

segar dari lautnya sembari bernyanyi sukacita, bebas

merdeka. Paduka Raja adalah segalanya, atas nama

sucinya darahnya, semua wanita dapat dimilikinya dan

seluruh kota dan desa bertebar tanah miliknya. Raja

membangun istana khusus wanita rampasannya dari

kerajaan-kerajaan kecil tetangganya, sekali dua kali

entah itu rakyatnya atau bukan akan dia penggal

kepalanya jika berani berpikir melawannya. Ya, itulah

manusia yang tak pernah lepas dahaganya akan kuasa.

Jika ditambah rakyatnya yang lugu (kalau tak mau

dibilang dungu), bermental babu dan tidak banyak tahu.

Maka, tirani tangan besi sudah siap tersaji, ditambah

awet pula antar generasi.

14

Lalu, kurang apa coba Indonesia ini? Bukankah

rakyatnya kini tidak lagi bodoh dan lugu, apalagi di

jaman informasi seperti ini. Bahkan Olimpiade tingkat

dunia Indonesia meraih banyak mendali. Atau mungkin

masih bermental babu? Ah, jelas sekali tidak! Mana ada

babu yang membuang sampah di kalinya sendiri, dan

menunggu orang lain yang nanti membersihkannya

untuk dirinya. Justru semuanya bermental raja, bahkan

anak-anak SMA saja kini sudah sesuka hatinya

memukuli para pencari berita dan diumumkan pula di

dunia maya. Seperti kalau raja sesudah memenggal

seorang kacung, kepalanya segera digantung agar dilihat

orang ramai matanya dicongkel dan dimakan burung.

Lalu, dari keluarga terkutuk mana pula lahir para

pesakitan negeri ini? Para pelaku korupsi yang ongkang-

ongkang kaki, mafia keadilan, pengusaha-pengusaha

penghancur lingkungan dan manusia-manusia terkutuk

lainnya yang berbuat semena-mena namun masih bisa

menari berlenggang leha-leha. Kalau dulu tirani dan

penjajahan datang dari rakyat bodoh, bermental babu dan

hanya bisa berdiam diri. Lalu, apa yang terjadi kini?

Siapa pula yang melahirkan kondisi buruk hancur seperti

ini? Terkutuk betul-lah semua pejabat brengsek negeri

ini, serta yang daripadanya-lah mereka semua menjadi

seperti ini.

Oalah, segala ampun bagi-Mu ya Gusti. Hamba-Mu

yang satu ini tidak dengan cepat untuk segera sadar diri.

15

Sudah dari tadi, hamba-Mu ini tak berhenti mengutuki,

namun baru mengerti itu semua tertuju kembali pada diri

ini. Betapa lebih buruk dari masa penjajahan dan

kerajaan, rakyat yang ada sekarang ini. Tidak bodoh dan

tidaklah pula bermental babu, namun lebih hina, yakni

bermental pencuri, mau menang sendiri dan tak lagi

punya kehormatan diri. Bagaimana pula bermimpi

pejabat tidak korupsi, kalau hanya membuat SIM saja

maunya tidak perlu repot antri. Tinggal kasih tunai,

semua perkara selesai tanpa perlu ikut tes beramai-ramai.

Ada pula yang palsukan dokumen sana-sini, agar

terhitung sebagai penerima subsidi. Sudahlah, semakin

disebut maka semakin malu pula diri ini, sudah sok

jagoan mengutuki.

Jelaslah sudah dari mana lahirnya para pesakitan negeri

ini, kalau bukan karena rakyatnya sendiri yang bermental

pencuri. Seenak udelnya tunjuk jari sana-sini padahal

akar masalahnya ada dibalik cermin kamar mandi.

Tidaklah kurang hina para pejabat korupsi, namun kalau

cuma dicaci maki tak ada sejengkal keadaan pun yang

akan berganti. Kalau benar mau melawan, bukanlah hal

yang sulit untuk dilakukan. Masing-masing kita mulai

jujur pada keadaan dan mengubah diri secara perlahan,

dengan restu Ilahi bukan tak mungkin semua keburukan

ini diakhiri.

***

16

Kepalang tanggung juga, kutuk sudah keluar dari tadi,

sekalian saja kuluapkan lagi. Terkutuklah para rakyat

bermental pencuri (mungkin seperti aku ini), agar

menjadi “seperti babi”, biar pun makan dari lumpur

tanah, asal tidak memangsa kawanan sendiri. Agar

menjadi “seperti cacing kuburan”, meski tinggal dengan

bangkai orang mati, namun karenanya tumbuh subur

ditanahnya indah mekar melati.

17

Lika-Liku Para Maskulin

Kami memang tidak begitu rapi, terkadang beberapa

pakaian kotor terletak diatas meja kerja bergabung

bersama makan malam. Tapi itu semua, karena kami

tidak terfokus pada hal-hal kecil melainkan pada suatu

hal besar yang kami kerjakan pada meja tersebut.

Kami memang tidak begitu bersih, terkadang debu jok

sepeda motor itu cukup tebal untuk membekas pada

celana jika diduduki. Itu karena kami lebih terpaku

mendengar suara mesinnya dibandingkan

memperhatikan celana kami yang mendudukinya. Kami

merawat kendaraan bukan dengan lap dan kemoceng,

melainkan dengan kunci dan minyak oli, agar lajunya

tetap secepat hasrat kami dalam menjalani hidup ini.

Beberapa dari kami memang punya kebiasaan buruk,

yakni menghisap asap hasil bakaran daun tembakau yang

kering. Hal tersebut tidak baik untuk kesehatan, meski

media sekarang sudah menggambarkan produk hasil

alam itu dengan berlebihan. Itu karena kami lebih

mengutamakan bagaimana hidup tersebut dinikmati

bukan pada panjangnya waktu yang dijalani.

Kami menyukai berdiskusi, karena itulah kelebihan

kami. Kami mampu bertukar pendapat tanpa perlu

banyak dipengaruhi perasaan. Diskusi kami lebih banyak

merupakan aliran logika yang lancar namun tenang,

18

bukan seperti derasnya emosi perasaan yang sekejap,

lalu hilang.

Kami tidak suka berkomentar dan menyibukkan tentang

hal-hal kecil didalam rumah, tentang jumlah gelas

ataupun letak televisi. Kami lebih memilih membaca

buku diteras rumah sembari segelas kopi menemani.

Bukan karena kami tidak peduli, karena bagi kami sisa

waktu yang ada akan terasa sia-sia jika hanya untuk hal-

hal kecil dan mempersingkat waktu yang seharusnya

bisa kami nikmati.

Itulah kami dan dunia kami yang sebenarnya tidak

terlalu sulit dimengerti, dan tak seburuk yang teramati.

Karena apa jadinya dunia tanpa kami?

Jika semua orang memperhatikan letak kain kotor di

meja kerja, maka siapa yang memperhatikan apa yang

dikerjakan di meja kerjanya?

Jika kendaraan-kendaraan itu tampil bersih mengkilap

namun tidak bisa dijalankan, lalu apa lagi gunanya?

Dan ini semua bukan tentang laki-laki, hanya sepenggal

cerita atas apa yang biasa disebut maskulin. Mungkin

banyak laki-laki yang demikian, namun tidak sedikit

pula yang sebaliknya.Sekilas lalu akan tempak seperti

pembenaran, tapi ini hanya sebuah cerita.Cerita yang

mungkin tak semua tahu, bahwa dibalik keburukan-

keburukan itu terletak sebuah kebijaksanaan yang

sederhana, yang tanpanya keadaan tidak akan sebaik

yang dipikirkan.

19

Dirimu dan Dunia dalam Berita

Aku mengutuki kepengecutanku, karena tak berani

mengungkapkan bahwa aku sungguh peduli padamu.

Sama seperti anak TKI di dusun kumuh, yang mengutuk

pemerintah membiarkan wajah ibunya disulut cerutu.

Kita sudah lama saling mengenal, wahai perempuan

cantik berhati keras. Sudah selama

lumpur sidoarjo yang mengental, lalu dibiarkan, tak

berkutik dan berakhir naas.

Aku membenci malam sendu yang tak terhindarkan,

yang telah melayangkan paras manismu diatas kamar.

Seperti membenci para guru yang harusnya mengajar

kebenaran, malah dengan jelas mengajari menipu tanpa

samar.

Harusnya aku sudah mengajakmu jalan, bukan

termenung diam tanpa harapan. Sebagaimana

harusnya rakyat desa memberi perlawanan, melihat

hutannya diraung-raung pengusaha sialan

Aku terlalu terbuai dengan lagu-lagu melankolis dan

sebuah gitar ini. Seperti anak

muda terlena kemewahan palsu, disajikan manis indah di

televisi.

Sayangku, aku geram dengan semua pemendamanku

padamu akan sebuah cinta. Begitu pula

20

aku tetap diam menyimpan amarahku ketika melihat

acara berita

Lalu aku bisa apa?

Kau dan berita ini sama saja..

Membuatku diam terpaku, meski tahu harus melakukan

sesuatu.

21

Maaf Ibu, Anakmu pulang terlambat

waktu

Ibu, sabarlah dahulu karena kini bukan waktuku

Aku pulang terlambat waktu, tapi yakinlah ku tak sedang

lilu

Hanya tersandung satu dua batu dijalan lurus itu

Masih ada yang harus aku kejar, Ibu

Janganlah kau takut, aku pasti akan pulang kepadamu

Semusim lagi aku berjanji pada langit dan bumi

Ku kan sampai diujung jalan mesti harus dengan berlari

Sekali-kali mungkin ku akan berhenti

Tapi hanya untuk mengenang ujung jalan yang menanti

Disana senyum tawa kan ku luapkan dari dasar hati

22

Anakmu tidak sedang terlambat, hanya butuh waktu

yang tepat

Jalanku mungkin sedikit lebih panjang, itu semua bukan

tanpa alasan

Karena nanti ketika aku datang, gemakanlah pada

seluruh daratan

"Anakku telah datang menginjak bumi, cendikiawan

muda bangsa pilihan

Yang tidak bermimpi hanya jadi pekerja, dirantai dan

diikat lehernya

Tapi ditangannya ada seberkas asa, agar keadaan ini tak

lagi sama"

23

Logika :

Bagian II

Nalar, Agama, Budaya dan Petuah

Bijaksana

“Tuhan itu ada di semua masa dan di

semua ruang. Dia juga ada dalam setiap

pikiran, hati dan jiwa manusia yang

mengabdikan dirinya pada kedamaian

sesama dan lingkungannya”

24

Penyesalan Seorang Kristen Muda

“Aku seorang pengecut yang memuji-Mu ya Tuhan dan

seorang manja yang terus mengeluh padamu, oh Ibu

Pertiwi.”

Aku adalah seorang mahasiswa, seorang muda yang

sedang belajar untuk mempersiapkan diri agar kelak

dapat berguna bagi semua orang di sekitarku, dan

bangsaku Indonesia. Jika ada yang bertanya, aku

menjawab aku adalah seseorang berkeyakinan pada

Kristus, karena aku tidak terlalu suka disebut beragama

kristen, mungkin karena di negeriku ini agama telah

dipakai dengan salah oleh manusia-manusia yang tidak

memanusiakan dirinya. Meski kerap kali orang lain

berkata bahwa manusia-lah yang salah bukan agamanya,

tapi tetap saja aku tidak nyaman jika disebut beragama.

Anggap saja aku terlalu verbalis, tapi yah mau

bagaimana lagi.

Aku lebih nyaman dikatakan berkeyakinan pada kristus

daripada disebut pengikut Kristus, sebagaimana arti

harafiah kata "kristen". Karena, aku masih mengutuki

diriku sendiri, yang sama sekali tidak menunjukkan

mengikuti perilaku kristus. Karena bagiku bukan dengan

melantunkan pujian dengan mulut dan doa-doa panjang

sembari hati bergetar hebat saja yang menunjukkan

perilaku Yesus. Aku tahu persis, Yesus adalah pembebas

dan dia datang untuk membebaskan, dimana aku

menemukan diriku seringkali hanya berhenti sampai titik

25

mendoakan dan bernyanyi dibanding membebaskan.

Yesus mendatangi orang lumpuh dan kusta yang

ditinggalkan, menginap di rumah pemungut cukai yang

korup dan bukan menginap di bait suci sembari

bernyanyi dan memuji.

Jika hanya berdoa, ada baiknya aku menyebut diriku

sebagai pengikut farisi dibandingkan dengan disebut

pengikut Kristus. Jika hanya bernyanyi ada baiknya aku

menyebut diriku biduan.

Aku juga tidak nyaman disebut negarawan atau pemuda

bangsa, sebut saja aku seorang muda warga negara

Indonesia. Karena yang kutahu hanya memakan subsidi

dengan kuliah berbiaya rendah serta bantuan dari negara

yang lain. Cuma bensin motorlah aku memilih tak

disubsidi tapi kalau kepepetpun aku beli premium juga.

Tapi hinanya, aku ini sukanya hanya mengeluh, yang

tentang sistem yang koruplah, hukum yang gak

ditegakkanlah dan kekerasan berkedok agamalah.

Jika hanya mengeluh ada baiknya aku menyebut diriku,

seorang muda warga negara Indonesia yang kekanak-

kanakan. Jika hanya menerima subsidi ada baiknya aku

menyebut diriku si miskin yang ditanggung negara, ya

karena memang aku ini miskin karya pada negara.

Aku hanya mengumbar kejelekan bangsaku sendiri dan

takut untuk terjun kedalamnya dan mengubahnya.

Padahal bagaimana mungkin sesuatu berubah jika hanya

dibicarakan dari luar, sedang para pemimpin kita yang

korup itu tertawa bergelimang uang? Padahal pula aku

26

tahu persis bahwa Yesus turun ke dunia dan menebus

dosa adalah sebuah perubahan dari dalam, bukan hanya

dengan menunggu manusia yang berdosa mati dan

meninggalkan dunia untuk dia lempar kedalam

kebinasaan.

Aku ini juga adalah seorang muda yang tua bangka,

hidup hanya dalam kisah-kisah kuno para nabi dan

pendiri bangsa. Ketika SD aku membaca kisah hebat

seperti daud, samuel, yosua dan banyak tokoh lain yang

mengubah nasib bangsanya Israel. Ketika SMP, aku

membaca habis buku tentang kehidupan Muhammad

Hatta, seorang pendiri bangsa yang kukagumi karena

ilmu yang dipelajarinya dia baktikan untuk bangsa. Tapi,

sudah satu dekade sejak buku itu kubaca tak juga aku

mengikutinya sebagaimana aku tak juga pernah

mengikut Kristus dan kisah para nabi dalam Alkitab.

Semoga ini hanya diriku saja, karena jika tidak betapa

malangnya bangsa ini, betapa terancamnya kekristenan.

Semoga juga aku bisa beranjak dari mengutuki diri ke

tahap mengubah diri dan tak lagi malu pada apa yang

seharusnya aku katakan ke orang lain tentang siapa

diriku sebenarnya. Bahwa aku bukanlah seorang

pengecut yang memuji Tuhan dan seorang manja yang

mengeluh pada Ibu Pertiwi.

27

Berkenalan dengan Setan

Dahulu, aku pernah mendengar sebuah cerita tentang

setan disebuah persekutuan. Konon, bahwasanya setan

itu sangatlah picik dan cerdik, bersembunyi dalam kode-

kode rahasia dan dalam simbol-simbol yang ada di

kehidupan manusia. Bacalah Alkitab lalu kau akan tahu

wujud setan seperti apa, dia adalah seekor ular naga yang

besar dan dia pula manusia yang bertanduk seperti

seekor kambing jantan. Setan ini mengelabui manusia,

menjelma dalam wujud berhala-berhala yang disembah

manusia, menjadi patung-patung yang ada diberbagai

kebudayaan dan tempat. Bahkan, salah seorang pernah

berkata bahwa dia mengenal seseorang teman yang

diurapi roh kudus sehingga mampu melihat roh-roh jahat

itu udara. Dia melihat roh-roh itu berkumpul di patung-

patung besar, bergerombol dalam berbagai wujud. Sebut

saja roh kesombongan, dia memiliki tanduk yang besar,

lalu disana terdapat pula roh percabulan yang berkeliaran

tanpa busana dan menghingapi manusia disekitarnya.

Kau harus menjauhkan segala wujud benda berhala agar

tidak ada dalam rumahmu, dalam kamarmu, agar

hendaknya roh-roh itu tidak berada disekitarmu. Guci-

guci bergambar naga, patung-patung berbentuk kambing

jantan, dan legenda-legenda lainnya yang merupakan

buah karya iblis yang berusaha menjauhkan manusia dari

Tuhan Allah semesta alam.

28

Dua paragraf diatas adalah sebuah kilasan mengenai

suatu pengertian tentang setan, lucifer, bintang timur,

atau apapun nama-nama dibalik sosok yang kita kenal

sebagai bapa segala dosa tersebut. Pengertian tersebut

tampak alkitabiah sekali, tampak begitu mistis sehingga

tak sulit bagi kita untuk terciut hati dan takut.

Tapi tak semua hal tersebut benar, bahkan telah

berkembang menjadi suatu ketakutan yang dangkal yang

memberangus kebudayaan. Maka apa jadinya jika semua

guci-guci kebudayaan cina yang bergambar naga akan

dimusnahkan? Lalu apa jadinya jika ornamen gorga

batak bernama singa-singa yang bergambar kerbau

dengan dua tanduk besar dibakar dalam api-api besar

yang dinyalakan atas nama "tuhan"? Akan tiba suatu

saat, dimana kebudayaan-kebudayaan yang indah itu

hanya akan menjadi ingatan yang hilang seiring generasi

yang berlalu.

Pernahkah anda mendengar legenda skotlandia, tentang

sebuah mahluk bernama faun yang berbadan manusia

dengan kaki rusa dan tanduk serta telinga kambing

jantan? Tampak menyeramkan bukan? Namun, dalam

legenda diceritakan bahwa faun adalah perwujudan roh

hutan dan alam yang akan membantu manusia jika

mereka mampu menjaga hutan dan alam disekitarnya.

Bagiku, faun justru tampak seperti malaikat, ketika

melihat manusia yang justru dengan rupa yang sangat

tampan menebangi hutan, membunuh hewan-hewan liar,

lalu mendirikan mal-mal besar dan yang mungkin

didalamnya didirikan gereja (hanya kiasan).

29

Kini, terciptalah suatu ajaran yang simbolis, yang tanpa

pernah mencoba menggali sesuatu lebih dalam dengan

gampangnya menunjukkan jari kearah ini dan itu sebagai

perwujudan dari sosok setan. Suatu keyakinan yang

imajinatif dan tidak logis, yang berusaha mewujudkan

sosok-sosok setan dalam wujud fisik dibandingkan

melihat tingkah laku manusia yang justru lebih

menyerupai setan dibandingkan kayu-kayu ukiran dan

lukisan-lukisan peninggalan leluhur yang justru

sebenarnya memiliki arti yang luhur.

Manusia memiliki berbagai ragam kebudayaan sebelum

agama datang menyentuh mereka. Kebudayaan itu

tercipta dari hasil olah pikir mereka dan dilukiskan

dalam wujud-wujud imajinasi mereka. Dalam mitologi

cina, naga adalah wujud daripada roh-roh orang suci

sebelum beranjak ke surga. Namun, dalam mitologi

batak yang dipengaruhi hindu, naga padoha adalah sosok

kejahatan yang dikisahkan selalu berseteru dengan batara

guru seorang dewa yang melambangkan kebaikan.

Dalam Alkitab, naga digambarkan sebagai perwujudan

setan saat dihukum dan dijatuhkan ke bumi.

Gambar-gambar itu (dalam kebudayaan-kebudayaan)

hanyalah sebuah kiasan, yang akan berbeda-beda pada

masing-masing kebudayaan. Namun, hal yang sejatinya

luhur tidak lagi dapat dilihat dikarenakan huruf-huruf

dalam kitab suci yang ditelan bulat-bulat, dan keindaha

budaya yang tidak lagi didalami. faun hanyalah sebuah

kiasan orang-orang skotlandia agar generasi dibawahnya

30

menjaga hutan dan alamnya karena hal tersebut akan

membantu mereka dalam kehidupannya dan akan

merugikan mereka ketika hutan gundul dan bencana

longsor melenyapkan rumah-rumah mereka. Mereka

menggambarkannya dengan kaki rusa, telinga dan

tanduk kambing merujuk pada hewan-hewan yang ada di

hutan-hutan mereka. Penyembahan pada sosok-sosok

tersebutlah yang menjadikannya berhala bukan pada

wujud fisiknya.

Jadi kelak, biarkanlah legenda-legenda itu tetap ada

menjadi imajinasi-imajinasi yang mewarnai masa kecil

anak-anak kita , sembari mereka menangkap pesan luhur

dibaliknya. Biarkanlah guci-guci dan ukiran-ukiran

indah itu menghiasi rumah kita dan mengingatkan kita

betapa eksotisnya kebudayaan itu.

Lalu ketika ditanya, seperti apakah wujud setan itu oleh

anak kita kepada kita kelak. Maka jawablah, wujudnya

seperti traktor-traktor besar yang menghabisi hutan tanpa

ampun, seperti pejabat-pejabat berjas yang mencuri

uang-uang rakyat dan seperti apa yang kau lihat dicermin

"nak", ketika kau mulai jauh dari firman Tuhan dan

membiarkan kesombongan, keserakahan,

ketidakpedulian akan sesama dan hal-hal keji lainnya

menjadi satu dalam dirimu.

31

Satu Gema Dalam Pelestarian Budaya

Manusia dalam perkembangannya menciptakan suatu

kebudayaan yang corak dan unik di seluruh belahan

dunia, menjadi salah satu kekayaan dunia yang indah

ditengah-tengah kemerosotannya yang tak lagi mampu

dipungkiri. Manusia tidaklah mampu hidup selamanya,

setiap generasi akan gugur dalam waktu yang tiada

mungkin dihentikan dan bertunas pulalah generasi baru.

Setiap zaman punya keunikannya sendiri, sehingga

kebudayaan pun akan semakin berkembang, mungkin

semakin kaya atau mungkin semakin bergeser dan

kehilangan makna luhurnya.

Budaya adalah seluruh total pikiran, karya dan hasil

karya manusia yang tidak berakal kepada nalurinya dan

yang hanya dicetuskan oleh manusia sesudah proses

belajar, begitulah Koentjaraningrat berusaha

merumuskannya. Sebagaimana ilmu, budaya adalah hasil

proses belajar manusia yang sudah terjadi sejak manusia

ada, mungkin ratusan atau bahkan ribuan tahun yang

lalu. Sebagaimana itu pula, proses belajar itu dilakukan

oleh manusia sejatinya untuk mensejahterakan dirinya

dan orang lain atau masyarakatnya sesuai dengan

pemahaman dan kearifan di jamannya.

Satu gema yang dapat kita tangkap adalah bahwasanya

budaya ada untuk mesejahterakan manusia baik untuk

dirinya maupun masyarakatnya serta lingkungan

32

tinggalnya. Satu gema ini akan mampu kita tangkap

dalam setiap kebudayaan dan dalam setiap karyanya baik

itu dalam seni, ilmu maupun bentuk kearifan lokal

lainnya di seluruh belahan dunia.

Gema ini yang tentunya kita tangkap menjadi suatu tugas

bagi generasi muda untuk melestarikan budaya

leluhurnya, melestarikan hasil pemikiran para

pendahulunya dari pengalaman mereka, meskipun

kadang dengan perkembangan pemahaman saat ini,

mampu membantu kita untuk dengan teliti memilah

budaya-budaya mana yang layaknya perlu kita lestarikan

dan mana pula yang tidak.

Maka sampailah kita pada sebuah pemahaman sederhana

dalam makna pelestarian budaya, bahwasanya

pelestarian budaya akanlah kehilangan maknanya

sebagaimana yang telah bergema di seluruh belahan

bumi, bilamana pelestarian itu tidak lagi memberikan

manfaat serta mensejahterakan manusia. Oleh karenanya,

akan tidak banyak berguna segala upaya pelestarian

budaya jikalau hal tersebut tidak memberikan manfaat

dan mesejahterakan "orang lain", yang dalam konteks

kekinian yang biasa kita sebut dengan masyarakat.

33

Berpikir Adil Meski Meyakini

Sesuatu yang Dogmatis

"Agama ataupun aliran kepercayaan tentang Tuhan,

tentang semesta, kehidupan setelah mati dan lain

sebagainya, meskipun diyakini dengan hati dan tanpa

bukti-bukti ilmiah sebagaimana ilmu pengetahuan,

harusnya tidak mematikan nalar dan membunuh

keadilan dalam berpikir" - Arion Batara -

Suatu ketika, saya berbicara dengan seseorang

berkeyakinan tertentu, jika diidentikkan dengan agama,

merupakan salah satu agama besar di dunia. Meski saya

tidak merasa bahwa keyakinan sama dengan agama, tapi

setidaknya itulah yang dijadikan identitas atau klasifikasi

kasar atas sebuah keyakinan seseorang.

Dalam perbincangan kami, maka tersebutlah suatu

kutipan yang berisi sebagai berikut : "Dari

pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik

pula".

Maka, aku pun bertanya padanya "Lalu apakah dari

pohon yang buruk tak bisa berbuah buah yang baik", dari

percakapannya dia menjawab tidak, meski dengan kata-

kata yang berbelit-belit seakan takut nanti akan menjadi

bumerang atas apa yang dia yakini secara dogmatis akan

mungkin runtuh dengan penalaran sederhana.

34

Pertanyaan ini timbul tentang perdebatan kami akan

sikap yang baik atas suatu gagasan. Dimana aku dengan

tegas berkata bahwa suatu gagasan yang benar akan tetap

benar selama hal tersebut berlandaskan kasih dan

kemanusiaan, tidak peduli siapa yang melontarkannya.

Gagasan yang menyatakan perlawanan terhadap

kekerasan akan tetap sebuah gagasan mulia, meski

diucapkan seorang gypsy, sambil menghisap sebatang

ganja yang dia linting sembari setengah menutup

mata.Setidaknya begitulah yang aku sampaikan.

Lalu, aku berkata bahwasanya benar dari seseorang yang

baik akan lahir sebuah gagasan baik, namun tidak berarti

sebuah gagasan baik tidak bisa keluar dari siapa saja.

Karena jika sebuah gagasan dinilai berdasarkan tingkah

laku maupun hidup pemikir maupun pelontarnya dan

bukan pada gagasan itu sendiri, maka kita akan terjebak

dalam perbedaan norma-norma, budaya, maupun

keyakinan yang membuat kita menjadi tidak adil dalam

menilai.

Maka ketika aku bertanya siapakah pohon yang baik itu,

dia menjawab mereka-mereka yang hidup dengan

keyakinan sesuai dengan keyakinan dia, yang imannya

sesuai dengan keimanannya. "Lalu bagaimana dengan

mereka yang tidak sesuai dengan keimananmu?"

tanyaku. "Tak mungkinkah gagasan yang baik keluar

daripadanya?"

35

Dalam kekalutannya, "fundamentalis" ini, begitulah

dalam hati aku menyebutnya mulai meracau tak menentu

arah hingga sampai pada suatu kisah tentang seseorang

bernama Mahatma Gandhi.

"Lalu apakah Mahatma Gandhi yang dengan jelas

berkeimanan berbeda denganmu, mengutarakan hal yang

tidak baik?" tanyaku. "Padahal dia mengajarkan tentang

perlawanan tanpa pedang, perjuangan tanpa dtumpahan

darah?" lanjutku. "Dan bukankah yang beliau ajarkan

sesuai dengan dasar keyakinanmu sendiri, yang kubaca

dari kitab sucimu itu, yakni kasih!" tekanku padanya.

Aku tak tahu ada hantu apa dalam pikirannya, atau

mungkin nalarnya sudah mati, entahlah, namun dia

menjawab : "Siapa tahu mahatma gandhi meyakini hal

yang sama denganku! Siapa tahu!".

Lalu tanyaku, "Apakah keyakinanmu juga meyakini Tri-

murti sebagaimana Mahatma Gandhi yakini?", sebelum

dia menjawab, aku langsung menekankan lagi, "Jelas

tidak bukan?".

Cerita diatas tidak bermaksud menciderai keyakinan

tertentu,ataupun menolak sebuah frase indah nan hebat

36

"Dari pohon yang baik maka keluar buah yang baik

pula",

sebagaimana yang diartikan bahwasanya dari mereka

yang menghidupi kebaikan akan mengeluarkan gagasan

kebaikan pula.

Cerita diatas bermaksud untuk menceritakan

bahwasanya mengkultuskan sesuatu keyakinan secara

membabibuta dan mempersempit sebuah nilai, maka

justru menciptakan pola pikir yang tidak sehat dan gagal.

Mengapa sulit mengakui bahwa seseorang mungkin

memiliki gagasan benar meski dalam kehidupannya dia

melakukan hal-hal yang tidak sesuai keyakinan kita?

Bukankah sejarah mengatakan, ada banyak darah yang

tertumpah yang justru diakibatkan para pemuka-pemuka

semua keyakinan didunia, tidak luput dari keyakinan kita

sendiri pula. Bahwasanya bukan tentang siapa atau apa

keyakinannya, tapi apa gagasan yang dibawakannya.

Janganlah menghubung-hubungkan sesuatu kebenaran

seakan-akan harus berasal dari aliran kita. Ataupun

sebaliknya, membenar-benarkan sesuatu yang keluar dari

seseorang yang se-aliran dengan kita meskipun belum

terbukti demikian.

Seperti meracau tentang seorang yang mengutarakan

gagasan benar seakan-akan dia memang mengambilnya

37

dari keyakinan kita, atau membenarkan gagasan

seseorang hanya karena dia memiliki keyakinan yang

sama dengan kita meskipun gagasannya belum tentu

sesuai dengan keyakinan kita tersebut.

Jadilah adil dalam berpikir dan menilai, apalagi dalam

perbuatan.

38

Pesan untuk Umat Manusia

Seorang buta menyebut Nama

Nama yang dia percaya penuh kuasa

Nama yang menjadi awal alam semesta

Seorang Tuli membayangkan sesosok Wajah

Wajah yang dia yakini bercahaya

Yang selalu disebut dengan kata Maha

Seorang miskin melantunkan nada

Nada bagi Sang pencipta Surga

Dimana setelah mati dia akan kesana

Meninggalkan semua siksa yang kini dia rasa

Seorang Pemuda bertanya-tanya

Adakah pesan yang ditinggalkan untuknya

Adakah tugas yang harus dilakukannya

39

Untuk semua keindahan dalam dunianya

Untuk kekayaan yang dimilikinya

Untuk kuat tubuh dan tampan wajahnya

Untuk jelitanya pujaan hatinya

Adakah yang mampu memberitahunya

Bahwasanya pesan itu benar adanya

Pesan bagi seluruh umat manusia

Adakah yang mampu menyampaikan padanya

Bahwasanya ada mereka yang tuli, miskin dan buta

Untuk menjadi tempat luapan syukurnya pada Dia

Dia yang menjadi pencipta semua dunia

Agar meski yang buta tak rasakan cahaya

Meski yang tuli tak juga menangkap suara

40

Yang miskin tak pernah merasakan kaya

Mereka dapat merasakan Sang Pencipta

Merasakan deras aliran kasih-Nya

Melalui sang pemuda kaya dan perbuatannya

Beritahu dia apalah gunanya semua agama

Jika hanya menjadi alasan untuk saling angkat sejata

Atau hanya jadi pedoman segala ritual manusia

Tanpa dirasakan oleh sesamanya

Ciptaan terindah Sang Maha Kuasa

41

Kebaikan Itu Bukan Seperti

Menanam Jagung, Amang.

Suatu hari ibuku pernah berkata begini : "Kebaikan itu

bukan seperti menanam jagung amang, dang isi

tanomonmu, isi muse suanon mu, alai ingot ma

hatakkon, ikkon suanonmu do akka na denggan i baen ho

tu jolma".

Artinya kurang lebih bahwa kebaikan itu bukan seperti

menanam jagung, dimana kau tanam maka disitu pulalah

akan kau tuai. Tapi percayalah pada kata-kataku oh

anakku, bahwa kau pasti akan memperoleh akan apapun

kebaikan yang kau berikan ke orang lain.

Ayahku adalah seorang polisi dengan sebuah mobil L-

300 tua yang dulu dipakainya (kini sudah ganti tapi

dengan mobil tua lainnya). Mobil ini dulunya ambulans

puskesmas keliling yang sudah sangat tua, kalau gak

salah keluaran tahun 80 atau 82, dan dilelang. Ibuku

yang sudah lama jadi pegawai pun diberikan kesempatan

membelinya dengan harga murah. Eh, tapi yang

namanya mobil, mungkin juga ya seperti manusia. Mobil

ini mungkin dulu kerjanya membawa jenazah, orang

sakit dan lain-lain, dan ternyata setelah dicat merah sama

bapak tetap aja kerjanya membawa orang yang sedang

bermasalah.

42

Suatu hari aku mau naik mobil L-300 ini, dan aku

melihat banyak pecahan kaca di joknya yang butut itu

dan sedikit bercak darah. Aku tanya ke bapakku "Pak, ini

kok kotor gini? kenapa pak?". Lalu jawabnya "tadi aku

angkut orang yang kecelakaan di jalan, kutaroh langsung

dibelakang, eh ternyata gak sempat, sudah meninggal

duluan". Aku yang saat itu kelas 6 SD lalu beberapa hari

sempat "ogah" mau masuk ke mobil itu.

Suatu pagi aku terbangun di kamar ku, aku kaget

setengah mati. Di hari libur (aku lupa libur apa), pagi

hari itu, aku melihat ada seorang anak tidur di kasur di

sebelah tempat tidurku. Aku loncat dari tempat tidur

langsung ku cari mamak-ku, dan aku tanya itu siapa.

Mamak ku pun bilang kalau itu anak yang dibawa bapak

tadi malam, setelah dia jaga malam, dia lihat ada anak

jalanan yang mau dipukuli kawan-kawannya, lalu

diangkutnya ke rumah. Mamak-ku menyuruhku

membangunkannya dan memberikannya pakaianku. Aku

pun langsung mencari pakaianku yang terjelek buat

kukasih dia pakai. Pikirku, butuh satu hari natal setiap

tahunnya untuk menambah sepasang pakaian di lemari

pakaianku. Aku gak akan memberikan yang terbaik

tentunya.

Setelah anak ini makan dan kenyang, lalu aku

mengajaknya main kelereng bersama tetanggaku. Dia

bercerita bahwa dia memanggil bapakku dengan kata

bapak, dan dibelakang mobil L-300 itu ada sepasang

43

sepatu roda yang dibelikan bapakku buat dia. Aku kesal

setengah mati lalu aku bongkar mobil butut itu, dan aku

gak menemukan apa-apa. Si anak itu berdalih, bahwa

sepatu roda itu udah disimpan. Akhirnya, aku sadar

bahwa anak itu hanya berbohong dan membual, mungkin

karena hidupnya begitu susah. Sudah hampir sore hari,

Mamak-ku memanggil kami masuk kedalam. Si anak

bengal ini langsung masuk ke dalam dan memanggil

mamak-ku dengan kata mamak, seakan-akan dia udah

diangkat anak.

Mamak-ku mengajaknya bicara, berkata bahwa kalau dia

mau hidup susah, dia boleh tinggal bersama kami dan

akan disekolahkan. Si anak itu menolak dan ingin

dipulangkan kemana dia berasal, mendengar itu mamak-

ku pun masuk ke kamar memberikannya sejumlah uang

dan menyuruhnya pergi dan berkata kapan saja dia

berubah pikiran dia bisa kembali.

Aku mengantarkan si anak ini sampai ke depan jalan,

sambil kesal melihat dia harus mengenakan pakaianku

dan memegang plastik yang berisi pakaiannya yang

lama. Dia lalu memanggil taksi, tapi taksinya gak mau

berhenti, "sial kali!" katanya. Dia pun menghentikan

angkot dan naik lalu pergi. Aku pun melihat kepergian

sepasang pakaianku pergi entah kemana, "yang jelek aja

kok", pikirku menghibur diri.

44

Lagi-lagi di suatu pagi aku kembali kaget setengah mati,

aku terbangun dan di bawah di samping tempat tidurku

aku melihat seorang gadis muda tertidur. Aku bangun

lalu kembali menanyakan hal yang sama, ku pikir

mungkin dia saudara atau apalah. Ternyata, mamak-ku

bilang bahwa gadis itu adalah gadis yang ditemukan

bapak-ku dipinggir jalan sedang kebingungan mencari

jalan ke rumah saudaranya di tengah malam, dan dia

tidak punya uang untuk taksi. Melihat bapakku yang

sedang berpakaian dinas polisi, dia pun lalu

menghampiri dan meminta tolong. Pagi itu, saat aku

hendak ke sekolah, si gadis itu pun diantarkan ke rumah

saudaranya oleh mamak, bapakku.

Aku dulu sangat sulit mengerti bagaimana mamak dan

bapakku begitu mudahnya membantu orang yang mereka

tidak kenal. Sampai suatu saat, aku pun merasakannya,

betapa kadang kita bisa saja membutuhkan bantuan

orang lain yang kita tidak kenal sama sekali.

Pada saat itu, aku dan kakak ku berencana pergi ke

siantar untuk bertemu saudara yang datang dari jauh.

Saudaraku itu berencana mau jalan-jalan keliling

samosir, parapat dan sipolha. Aku merengek-rengek

ingin ikut liburan bersama mereka, dan kakakku pun rela

membawaku dan menemaniku untuk bertemu saudara

kami itu di siantar. Kakakku pada saat itu bekerja sampai

sore sehingga kami baru bisa berangkat ke siantar

mencari bis keberangkatan malam. Namun, karena pada

45

saat itu jalanan macet dan bis yang kami naiki pun

adalah bis ekonomi yang memang tidak pernah

menjamin ketepatan waktu, lalu kami tiba di terminal

siantar larut malam.

Kakak perempuanku itu berusaha mencari angkutan kota

ke tiga balata, karena dari sana kami harus naik ojek lagi

agar sampai ke rumah oppung untuk bertemu saudara

kami itu. Tapi, uang yang ada semuanya serba pas-pasan

untuk naik angkot lalu menyambung naik ojek. Tapi

tidak ada lagi angkot saat itu, yang ada hanya becak

mesin, dan aku masih ingat mereka hanya mau

mengantar ke tiga balata dengan ongkos 11.000 rupiah.

Kakakku berkata kami tidak punya uang sebanyak itu

saat itu lalu becak mesin itu pun perlahan menghilang

seiring air mataku pun yang perlahan datang.

Tapi aku tak sampai menangis karena aku tahu betul

bahwa disampingku ada kakak perempuanku yang

nyalinya lebih besar dari sekumpulan anak-anak muda

sekitar rumah, yang pernah dia datangi sendiri, dia

bentak hanya karena pernah menggodanya (bahasa

bataknya di "pistak") sekali.

Kakakku berbicara dengan penjual rokok di warung

kecil sekitar terminal dan "Bim salabim abra kadabra",

ternyata penjual rokok itu ternyata "boru Purba", sama

dengan marga kami "Purba". Setelah mendengar cerita

kami, si penjual rokok itu mengajak kami menginap ke

46

rumahnya yang hanya berjalan kaki (cukup jauh sih) dari

warung dimana dia berjualan. Kami diberikan tikar di

ruang tamu dan selimut serta bantal dan kakak ku

disuruh membuatkan teh manis panas buat kami

nikmatin bersama dengan sedikit bercerita lalu tidur.

Keesokan paginya (cukup pagi), aku terbangun sambil

melihat kakakku yang sedang membangunkan aku

sambil membawa sebuah ceret berisi teh manis panas

buat dibagikan kesemua isi rumah itu. Aku bangun lalu

mandi dan bersiap, kami diberikan sarapan lalu

mengucapkan pamit pulang kepada semua isi rumah.

Aku masih mendengar bisikan anak si empunya rumah

yang seumuran denganku, katanya "Ai ise dei danak-

danaki, i halung-halung tas na balga?". Kurang lebih

artinya dia menanyakan siapa aku, anak-anak yang

membawa tas yang cukup besar.

Sejenak, aku melihat diriku yang bertanya sama

mamakku siapa orang yang ada disamping tempat

tidurku. Sesaat itu pula aku sadar bahwa ternyata aku

bisa saja membutuhkan bantuan orang lain yang tidak

aku kenal sama sekali. Lalu, aku dan kakakku buru-buru

pulang karena harus bertemu saudaraku sebelum siang,

karena mereka akan pergi jalan-jalan siang itu juga.

47

Lelaki Paruh Baya dan Sebuah Pesta

Natal

Seorang lelaki paruh baya berjalan masuk dalam sebuah

ruangan yang penuh hiasan dan kelap-kelip lampu.

Disana, dilihatnya ada banyak anak-anak muda,

perempuan dan laki-laki didalam ruangan itu. Mereka

tampak tampan, gagah, cantik dan berpakaian sangat

rapi, ada yang berpakaian merah, hijau dan juga biru.

Para pemuda itu tampak sangat bahagia, bertepukan

tangan dan bernyanyi. Alunan-alunan lagu yang gembira

mengalir ceria ibarat dalam sebuah pesta. Lelaki paruh

baya itu dalam hatinya bertanya, apa yang sedang

dirayakan mereka?

Lalu sejenak hening, lampu-lampu menjadi padam, lilin-

lilin pun dinyalakan membuat suasana menjadi temaram.

Di dengar lelaki itu sebuah lagu, sebuah lagu yang sudah

ratusan tahun ini dia dengar dialunkan merdu. Lagu

tentang sebuah malam yang syahdu, akan lahirnya

seorang Pembawa Keselamatan dalam kandang domba

yang sarat akan makna kesederhanaan. Diingatnya lah

hangat palungan itu, dan silau bintang yang hadir dalam

gelap langit malam yang biru. Lalu lelaki paruh baya itu

pun akhirnya tahu tentang apa semua hiasan-hiasan dan

kelap kelip lampu di ruangan itu.

48

Seorang pria yang masih muda dengan jas hitam yang

sangat bagus, berdiri didepan kumpulan anak-anak muda

itu. Dia tampak berkhotbah, dengan semangat yang

begitu besar ibarat air bah, ia mulai berkata-kata. Ia

katakan pada semua anak muda disana, bahwa ada

kelimpahan materi yang dijanjikan Tuhan pada mereka,

ada kesembuhan dan pula curahan berkat. Semua anak

muda itu tampak gembira mendengarnya, dan

menyambutnya dengan melambai-lambaikan tangan

mereka ke udara, seakan sedang menangkap berkat-

berkat Tuhan yang sedang dicurahkan atas mereka.

Bertanyalah pria berjas hitam pada semua hadirin yang

datang, "Siapa diantara kalian yang mau berkelimpahan?

Menghasilkan banyak uang untuk kalian berikan

perpuluhan, perduapululahan atau mungkin

persembilanpuluhan kepada Tuhan? Siapa diantara

kalian yang mau hidup dalam kesembuhan? Memiliki

tubuh sehat dan dijauhkan dari segala penyakit dan

kelemahan? Maka, seluruh orang disana serentak berkata

"Amin" dengan suara yang lantang dan meyakinkan. Pria

berjas hitam lalu mulai meneriakkan "Datang kepada

Tuhan, angkat tangan kalian dan ikutlah ke belakang

ruangan".

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, tak pernah lah

dirasanya janji-janji itu sedemikian adanya.

Diingatnyalah seorang pria berjubah kusut yang mencari

belalang untuk dimakan dalam panasnya padang yang

49

menghanguskan rambut. Di padang gurun pria berjubah

kusut berkhotbah tentang datangnya titisan kerajaan

sorga, yang dimana karena kemuliaan-Nya dia merasa

tak layak hanya untuk sekedar membuka tali kasut-Nya.

Disusun kembali oleh lelaki paruh baya itu, gambar

wajah si pria berjubah kusut dalam ingatannya.Tidaklah

ada kekayaan dunia pada diri si pria berjubah kusut dan

matinya ia pun berakhir dengan hanya kepala terletak

diatas sebuah piringan. Tak ada kekayaan dan tak ada

pula umur panjang, hanya sebuah pelayanan yang

dilakukan dengan tulus kepada Tuhan.

Wajah lelaki paruh baya itu pun semakin murung, betapa

kini jaman sudah berubah. Jikalau hanya untuk kekayaan

dunia, ataupun tubuh sehat yang prima, sia-sia lah

pengorbanan seorang Anak Manusia di bukit golgota.

Anak Manusia yang lahir dalam hinanya kandang

domba, berjalan bersama orang kusta dan pemungut

cukai yang berdosa hingga akhirnya mati disamping para

pembunuh dan pemerkosa. Lelaki itu lalu keluar dari

ruangan itu, ditinggalkannya segala kemewahan hingar

bingar pesta. Masih berbekas baginya senyum tulus si

penderita kusta yang mengangkat kasurnya atau tangisan

haru gadis Samaria meski sudah berlalu ribuan tahun

lamanya. Direnungnya dalam hatinya, mungkin saat ini

yang seperti mereka ada di luar sana sedang tak ada yang

menghiraukannya.

50

Dalam langkahnya keluar ruangan, dibisikkannya kata

yang sama yang dahulu sempat diucapkannya,

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,

karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga." Lalu

berlalulah ia, menghilang dalam kerumunan dan bunyi

gendang yang ditabuh dalam suasana pesta yang

bergemuruh.

Untuk semua yang tertidur oleh khotbah yang meski

menghibur namun sebenarnya hanya membuat

kabur.

-abps- Bandung - 16 Desember 2011

51

Rasa :

Bagian I

Kumpulan Surat Cinta & Puisi

“Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta

sederhana, kala kau cium lembut pipiku

tanpa sebab dan alasan, di suatu petang

sehabis hujan.

Aku ingin bertanya, namun senyum yang

kau berikan seakan telah menjawab

segalanya. Aku balas dengan menggenggam

jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu

menandinginya.

Kau begitu kaya akan rasa, dan logika

milikku pun luluh lantak dibuatnya.”

52

Surat Cinta Untuk Kekasih Hati

Terima kasih, sayang, untuk mengatakan iya ketika

dengan gugup dan terbata-bata ku sampaikan padamu

bahwa sejatinya ada rasa cinta dariku untukmu. Aku

ingin kau menjadi kekasih hatiku, dan kau pun

mengangguk sembari tertunduk malu. Terima kasih

untuk ada disampingku bukan hanya untuk mengisi masa

muda kita yang berapi-api, namun juga menjadi

penyeimbang dalam hidupku yang begitu cepat dan

menggebu-gebu. Aku terlalu riak tanpamu, dan kau

mampu untuk menenangkanku agar tidak terlalu deras

aku melaju.

Aku sering kali tenggelam dalam duniaku, tentang

gagasan-gagasan yang aku dapat dari buku-buku. Aku

tahu kau tak begitu banyak tahu, namun kau nikmati

setiap ceritaku tentang apapun itu. Aku acap kali

memikirkan hal-hal besar dan kau pun hadir untuk

memikirkan hal-hal kecil bagiku. Seperti ketika ku

tunjukkan padamu artikel tentang tokoh-tokoh bangsa di

laptopku, kau justru mengeluarkan selembar tisu dan

mulai mengelap layar laptopku yang penuh debu. Setelah

selesai, kau memintaku melanjutkan, tapi kekagumanku

pada tokoh-tokoh itu pun sontak berpindah pada dirimu.

Aku hanya tersenyum, dan tak mungkin rasanya jika

kukatakan padamu, aku mengagumimu lebih daripada

53

Hatta dan Tan Malaka. Gombalan macam apa pula itu,

pasti jawabmu, maka kusimpan saja dalam kalbu.

Terima kasih untuk belaian lembutmu di rambutku, yang

mampu membuatku terlelap ketika kutemui satu dua

buah batu kerikil dalam jalan hidupku. "Terlalu banyak

hal yang kau pikirkan dalam hidupmu, sisakanlah sedikit

untukku", bisikmu lembut kala itu ketika aku sudah

mulai menutup kelopak mataku. Aku tetap berpura-pura

telah tidur dan tak mendengarnya sebagaimana yang kau

kira. Dalam suaramu aku tahu kau cemburu, bukan pada

gadis lain yang mungkin lebih centil dan kemayu, namun

pada gagasan-gagasan yang memenuhi pikiran dan

sanubariku. Ingin rasanya kujawab padamu, bahwa

diantara begitu banyak hal itu, dirimu lah yang

mengambil ruang paling besar dalam kepalaku. Tapi,

kau pasti malu begitu ku tahu kau cemburu, maka

kusimpan saja dalam kalbu.

Sebenarnya sayang, justru aku lah yang paling banyak

belajar darimu, dan itu tidaklah mungkin kuterima dari

buku-buku. Sekalipun aku mampu mengumpulkan

semua jenis buku dan artikel menjadi satu, namun tetap

tidaklah mampu mengajarkan apa yang telah ku peroleh

darimu. Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta

sederhana, kala kau cium lembut pipiku tanpa sebab dan

alasan, di suatu petang sehabis hujan. Aku ingin

bertanya, namun senyum yang kau berikan seakan telah

menjawab segalanya. Aku balas dengan menggenggam

54

jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu

menandinginya. Kau begitu kaya akan rasa, dan logika

milikku pun luluh lantak dibuatnya.

Kau memutarbalikkan duniaku, dan aku terlalu malu

mengungkapkannya padamu. Dahulu, aku memutuskan

untuk mencari pasangan yang pula seperti aku, haus

akan wawasan dan gagasan, agar kelak mampu sepadan.

Aku pun mulai membangun berbagai kriteria, dengan

jalinan ribuan rantai logika. Kau pun hadir seketika, dan

tanpa perlu berdialektika, kau mampu menjadi seperti

badai yang merobohkan pondasi pemikiranku,

meluluhlantakkanku dengan kesaktian yang hingga kini

masih menjadi misteri. Aku yang saat ini hanya mampu

berkata padamu, bahwa tak perlulah kau tahu semua

tentang Cokroaminoto dan Tan Malaka, karena nanti

bukan mereka lah yang nantinya akan kau tunggu di

meja makan, ketika malam tiba. Hanya ada satu yang

kau perlu tahu, yakni : diriku.Dan kini, kau sudah

mengetahuinya bahkan melebihi aku sendiri.

Terima kasih sayang, untuk menyadarkanku makna

sejati tentang cinta, dan untuk menyampaikannya padaku

meski tanpa perlu berkata-kata. Dan jikalaulah Tuhan

berkehendak, kiranya aku ingin membangun sebuah

rumah untukku kelak menghabiskan sisa hidup sampai

ajal datang menjemput. Bukanlah perpustakaan, kolam

ikan ataupun hiasan dinding dari berbagai daerah yang

harus ada disana nantinya, tapi dirimu dan anak-anak

55

kita, yang pekikan tawa mereka menjadi alunan musik

penenang jiwa.

56

Surat Cinta Kepada Istri

Terimakasih sayang, karena kau tak langsung menyela

dan menceramahiku, ketika sepulang kerja aku mungkin

mengumpat beberapa rekan kerja. Kau mendengar dan

sesekali ikut mengumpat dengan sangat halus sambil

membuatku tertawa, lalu setelah segelas teh hangat itu

kita habiskan, kau sadarkan bahwa kita tak seharusnya

seperti itu. Kau ajak aku melihat pula dimana

kesalahanku. Terimakasih sayang, untuk menjadi

bijaksana tanpa berusaha terlihat demikian.

Aku mungkin tidak bisa memperbaiki pipa air dirumah

kita, tidak seperti suami teman baikmu yang bahkan bisa

membuat sendiri kandang anjingnya. Tapi, kau tetap

sabar menungguku dibawah wastafel, hingga aku

menyerah dan kau mulai menekan nomor telepon tukang

pipa, sambil tersenyum setelah menyiapkan segelas jus

dingin. Terima kasih sayang, untuk mengerti

kekuranganku tanpa berusaha menjatuhkanku.

Kita mungkin berdebat tentang dimana kita akan

memilih rumah atau dimana kita akan menyekolahkan

anak kita. Tapi, kita tidak sampai berteriak dan kau tetap

menyiapkan sarapan seenak pagi-pagi sebelumnya.

Terimakasih sayang untuk mampu menjadi rekan hidup

57

dan berbagi pikiran, bukan hanya mengangguk dan

menurut saja.

Suatu kali aku pernah pulang ke rumah, menyesali

bahwa uang yang harusnya menjadi uang renovasi

rumah, habis terpakai karena aku gagal bermain saham.

Kau hanya menyentuh pundakku dan berkata bahwa sisa

uangnya masih bisa kita belikan cat, dan hari minggu ini

kita bisa melipur lara dengan melihat dinding rumah kita

berwarna lebih cerah. Terimakasih sayang, kau mampu

menerima kesalahanku tanpa berusaha menjadikannya

lebih buruk.

Namun, diatas itu semua, yang paling membuatku

merasa sangat bersyukur memiliki istri sepertimu adalah

ketika kau tidak lagi merasa perlu harus berlibur ke

Rusia sebagaimana tetangga sebelah kita, setelah lama

kita mendiskusikannya. Kau ikut tersenyum tulus

bahagia, saat aku justru mengajakmu ke panti-panti dan

ke desa-desa daerah asal kita serta makan bersama anak-

anak atau orang tua yang hidupnya tidak seberuntung

kita.

Jika aku mati hari ini sayang, tak perlu lah kau bersedih

hati. Aku sudah memberikanmu harta yang kupendam

selama ini, yakni hati penuh syukur dan berserah pada

Tuhan. Jika pula aku bertemu Tuhan hari ini, aku akan

berlari dan menjabat tangan-Nya dan berkata “Jikalau

benar jodoh ada di tangan-Mu Tuan, maka biarkanlah

58

aku menjabat tangan yang telah memberikanku

keberkahan paling kusyukuri dalam hidup”.

59

Surat Cinta Ayah untuk Putrinya

Putriku, aku masih ingat ketika kau dilahirkan di hari

minggu itu. Wajahku tampak menunggu khawatir

dengan mengapit keras rokok kretek itu dengan jariku,

menghisapnya mampu membantu menghilangkan semua

kekhawatiran itu. Akhirnya, melihat wajah mungilmu

membuat semua beban yang tadinya ada seakan pecah

menguap bersama udara. Terima kasih manisku, kau

menjadi penyemangat terbesar dalam hari-hariku.

Putriku, tak seperti kebanyakan mereka yang menjadi

ayah, aku tak pernah sekalipun merasa memilikimu

ataupun menjadikanmu wadah bagi semua ambisi-

ambisiku, entah itu dari masa mudaku ataupun dari hal-

hal yang menjadi pembicaraan kumpulan keluarga,

teman kantor maupun tetangga. Kau adalah manusia

merdeka dalam kemerdekaan yang mensejahterakan

sekelilingmu, jagoanku.

Bagiku, kau bukanlah piala yang akan kubanggakan jika

kau mampu menjadi apa yang dipikirkan oleh tetangga

sebagai sesuatu yang hebat. Jikalaupun aku mengajarimu

setiap malam sebelum kau tidur, bukanlah agar nilai-

nilai di rapormu bagus sehingga para guru memujimu,

memujiku dan kita menjadi pasangan ayah-putri yang

hebat.

60

Tapi agar kau mampu menjadi manusia yang kaya akan

ilmu, menjadi haus akan belajar dan sebagai tambahan

aku ingin menghabiskan waktu bersamamu lebih

banyak, bukan hanya mendorong ayunanmu dipohon

belakang rumah tapi juga ada di meja belajar kamarmu,

cintaku.

Sebenarnya sayang, aku harus melatih memasang muka

tidak puas ketika gurumu mencelotehkan kekesalannya

karena tak semua tugas kau kumpulkan tepat waktu.

Padahal aku tahu, aku memilih mengajakmu ke

komunitas pengerajin kayu dan tanah liat dibandingkan

mengerjakan tugas kerajinan yang ada dibuku. Itu aku

lakukan sayang, karena kau cerita bahwa pada akhirnya

tugas-tugas itu dikerjakan orangtua teman-temanmu atau

pembantunya dan dikumpulkan keesokan harinya

dengan sangat cantik untuk sebuah coretan huruf A di

rapor mereka.

Aku katakan padamu, “Mengapa kita harus terburu-

buru? Sabtu ini kau akan kuajak melihat beberapa

kerajinan, dan jika kau menemukan sesuatu yang kau

suka maka kita akan mencoba membuat yang seperti itu

namun tidak boleh sama. Nanti, jawab saja pada gurumu

bahwa karyamu belum selesai, dan ayah yang akan

menjelaskan sisanya nanti.”

61

Sebenarnya aku ingin tertawa, ketika dalam pembicaraan

sepulang gereja, para handai taulan itu benar-benar

berbinar berkata bahwa dengan segenap usaha dia akan

membawa putra-putrinya pada Tuhan, bukan pada dunia

ini. Mereka membelikan putra-putrinya buku-buku cerita

kitab suci, dan mengharuskan mereka berdoa sesudah

bangun, sebelum makan, sebelum berangkat dan

berbagai hal lainnya yang bagiku sungguh merepotkan.

Kau pasti ingat bahwasanya aku hanya mengajarkan

padamu untuk berdoa kapan saja kau merasa perlu, dan

hendaknya kau menghidupinya. Putriku, aku meyakini

bahwa keyakinanku pada Tuhan adalah sebuah anjuran

bagimu. Jalanilah hidupmu dan temukan sendiri Tuhan

dalam miskin dan kumuhnya kota, dalam pengetahuan

dan dalam perjuangan kemanusiaan. Datanglah pada

Tuhan sayang, tapi bukan sampai disitu saja. Datanglah

pada Tuhan agar Dia menjadikanmu terang dalam dunia

dan segala kecemarannya ini.

Aku masih ingat di sore hari itu, ketika kau berdebat

keras dengan ibumu tentang jurusan pilihanmu. Ibumu

benar-benar menginginkan kau masuk di jurusan yang

lapangan pekerjaannya lebih luas, dan kau sebagaimana

sifat ayahmu ini, menolaknya dengan keras. Aku masuk

dalam kamarmu dan membisikkan padamu bahwasanya

itu semua terjadi karena betapa cintanya ibumu padamu,

yang tidak menginginkan anaknya nanti harus susah

payah mencari pekerjaan. Aku katakan padamu bahwa

62

nanti ayah saja yang akan bicara padanya, karena ayah

sangat mengenalnya, wanita kecintaan ayah. Aku

menepuk bahumu bangga, betapa putrinya ini mampu

dengan tegas mengikuti lentera jiwanya. Dan ibumu

hanya belum mengerti saja, bahwa putrinya ini tahan

terhadap segala cuaca. Namun, sayang sekali kau tak

melihatnya, senyum ibumu ketika melihat putrinya maju

keatas mimbar dengan toga sarjana yang sangat cocok

kau kenakan.

Aku pun tak banyak meminta tentang lelaki seperti apa

yang menjadi pendampingmu nanti. Dan ketika di

malam itu kau menelpon ayah untuk bercerita betapa kau

sudah yakin padanya, aku hanya meminta pria itu untuk

menghabiskan waktunya dengan ayah seharian. Kau

merengek dan menangis minta di beritahu apa saja yang

ayah katakan padanya, tapi maaf sayang kau tak boleh

tahu. Kau tak boleh tahu betapa ayah bersumpah akan

membunuhnya jika dia berani memadamkan pijar api

kehidupanmu yang selama ini cemerlang dan

menghangatkan. Tapi biarlah saat ini kau tahu, karena

jika bukan sekarang maka kapan lagi.

Sayang, lengkap sudah rasanya tugasku sebagai seorang

ayah dari putri sehebat engkau. Semua yang kau capai

adalah karena kau hebat sayang, dan bukanlah sesuatu

yang layak untuk kubanggakan pada orang lain, meski

dalam hati ini rasa bangga itu sulit untuk di bendung.

Meski tak dapat kutahan air mataku ketika melepasmu di

63

cerahnya pagi hari pernikahanmu, namun bahagiaku tak

mampu tergambar melihat tawamu lepas dalam pelukan

pria pujaan hatimu. Jikalau saja sayang, Tuhan hari ini

datang menjumpaiku mungkin aku akan merasa senang

dan sedikit penasaran. Aku akan bertanya padanya,

“Mengapa Kau memberikan tugas yang sangat mudah ya

Tuan? Menjadi orang tua dengan putri sehebat ini ?”

64

Kami Berbeda, Lantas Kenapa ?

“Janganlah kau dekati dia, nak” kata ibu

Baranglah tentu ibu tak setuju

Dia itu dari suku seberang

Orang bilang mereka suka menusuk dari belakang

Ibu tahu satu orang yang seperti itu

Tetangga dari saudara kenalannya ibu

Berontakku pun tertahan diam dalam kalbu

Bagaimana mungkin ibu tahu dia seperti itu

Bukankah yang lebih mengenalnya adalah aku

Peduli setan omongan orang ini dan itu

Ayah sarankan kau untuk tidak bersamanya

Untuk mengertinya kau masih terlalu muda

Adat mereka berbeda dengan kita, nak

65

Bila nanti kau menjalaninya kuranglah elok bila

ditampak

Sudah sejak moyangmu kita seperti ini

Permintaan ayah kiranya mau engkau turuti

Kata-kataku pun tertahan dalam kelunya lidah

Meski muda, aku ini sudah tahu banyak, Ayah!

Bukannya tak kugubris semua adat nenek moyang

Namun, hati dan jiwa bukan perkara gampang

Apalah lagi yang mampu untukku bilang

Jika yang tepat bagiku hanyalah dia memang

Sudahlah kawan, akhiri saja semua cerita

Sulit jika tentang Tuhan saja kalian berbeda

Tekanan besar pun datang dari lingkungan dan keluarga

Bahkan izin orang tua pun sulit kalian terima

Aku seakan sedang melawan seisi dunia

66

Yang ribuan tahun sudah bermasalah dengan agama

Lantas kenapa jika tentang Tuhan kami berbeda

Apakah memang ke surga itu sebuah perjalanan bersama

Bukankah Tuhan itu kita sebut Maha Cinta

Lantas dimana salahnya mengasihi manusia

Kita dan mereka hanya belum cukup mengenal

Yang akhirnya membuat rasa curiga semakin kental

Selama kita dan mereka punya rasa kemanusiaan

Maka tidaklah ada alasan membeda-bedakan

Kita semua berbeda, aku,kau, kita dan mereka

Namun, kita juga semua sama, manusia, mahluk mulia

Bukan hanya karena akalnya, juga karena rasa cinta

dalam hatinya

67

Yogyakarta

Aku hidupkan mesin motor tua itu

Kurapihkan rambutku di depan spion

Sampailah aku di rumah kosmu

Kubawa kau keluar lewat gerbang

"Kita mau kemana?" tanyamu

"Kemana saja asal kita bisa makan bersila"

Jawabku dengan tawa

Kurasa tanganmu melingkar aku

Kita tidak sedang menuju sesuatu

Melewati stasiun tugu

Melingkari alun-alun kidul

Kita berhenti sejenak di depan benteng Fredenburg

Berbicara tentang lucunya anjing ibu kosmu

68

Dan riuhnya tawa si mbah tetangga rumah sewaanku

Aku ajak kau duduk bersila di lesehan

Melihat lampu di pinggir jalan gejayan

Ku pesankan pecal lele dan es teh manisnya

Kau merapikan jaketku dari atas meja

Kuantarkan kau kedepan gerbang

Sebuah kecup dariku mengakhiri malam

Kau berjalan mundur menuju pintu

Memandangiku tanpa kehilangan senyum

69

Tentang Cinta Sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono

Selalu aku rindu akan akhir tahun, ibu. Akan jernihnya

matamu menatapi aku bercerita tentang ini dan itu. Tentang

kepulanganku yang kau sambut dengan sebuah pelukan

lembut dan usapan pelan di rambut. Bertanya padaku tentang

lika-liku hidup yang aku jalani, tentang mimpi dan resah hati

dan tentang gadis yang kurenungi dalam rinai gerimis. Aku

tahu persis tak semua perkataanku dapat kau cerna, tentang

buku-buku langka yang berhasil selesai kubaca. Atau pula

tentang para tokoh hebat yang kukagumi pemikirannya. Kau

tampak tak peduli betapa rumit apa yang akan aku utarakan,

70

tatapanmu selalu menunjukkan keinginan besar untuk

mendengarkan. Mendengarkan apa yang anak laki-laki mu ini

akan ceritakan, tentang pencariannya dalam perantauan,

tentang hal-hal baru yang ia temukan. Usanglah semua rumit

dan sulitnya kisah anakmu dinegeri orang, dengan cinta

sederhana yang kau simpan dalam tatapan matamu yang ia

pandang.

-------------------------------------------

----------------

Aku sadar betul sayang, betapa hal yang kau inginkan dariku

hanyalah waktu yang sedikit saja lebih panjang. Betapa kau

inginkan aku membelai rambutmu hingga kau tertidur lelap,

atau megenggam tanganmu ketika harus melewati jalan

panjang yang gelap. Dan itu pula yang membuatku tak pernah

sekalipun lupa, pada senyum manismu yang melambai padaku

dari balik jendela. Pada binar matamu yang menghantarkan

aku memalingkan wajah dan kembali berjalan berbalik arah.

Dari matamu, aku sadar bahwa kau mengerti, tak banyak

waktu yang kita miliki. Satu hal yang kau harus tahu dengan

pasti, bahwa nafasku yang terengah di depan pintu rumah,

adalah karena aku berlari ketika tahu aku punya sedikit waktu

untuk kubagi. Saat kau tertawa membuka pintu, dengan

balutan sederhana baju tidurmu, maka saat itu pula aku tahu,

bahwa takkan pernah kehabisan alasan untuk aku kembali

padamu.

71

Dongeng Bidadari Bumi

Aku selalu teringat tentang sebuah dongeng akan

keberadaan seorang bidadari bumi. Ya, dialah seorang

bidadari namun bukan di sorga, nirwana ataupun istana

para dewa yang berada di atas kumpulan awan atau

diantara gugusan bintang andromeda.

Kecantikannya bukan hanya pada lengkung indah

senyumnya yang mampu mengalahkan cerahnya warna

bunga di kala sinar mentari pagi menerpa, atau pada

dalamnya sorot matanya yang mampu menghanyutkan

jiwasebagaimana derasnya ombak di pantai selatan Jawa.

Dia adalah bidadariseutuh-utuhnya manusia yang hidup

dan kakinya terinjak pada bumi, yang keberadaanya

membuat manusia merasa tak lagi perlu ke sorga,

nirwana ataupun istana para dewa. Mengapa harus

kesana, jika di bumi yang meski tak ada habisnya

bergejolak oleh kefanaan manusia, aku dapat meraba

wujud bidadari yang mampu melepaskan segala penat

terkutuk yang menjadi sahabat akrab manusia.

Kekuasaanya akan hati para pria bukan oleh paras

wajahnya, namun pada luas dan tajamnya paradigma

yang ada dalam pikirannya. Kadang aku bertanya,

bagaimana mungkin dibalik halusnya rambut hitam

lembut mengkilap itu, tersimpan begitu luas cakrawala

72

pemahaman yang tidak sama dengan berjuta-juta wanita

diluar sana. Ya, diluar sana, para wanita ada yang sibuk

mengurusi bentuk rambutnya ataupun warna bibirnya,

namun tetap saja tidak merdeka dalam berpikir dan tidak

adil dalam berkata. Atau pula, yang hanya sibuk bekerja

dan bekerja untuk meraih kegelimangan harta agar ia

dapat puas menikmatinya, seakan-akan menjadi naik

harkat martabatnya oleh tumpukan uang, ataupun

tambahan gelar demi gelar dibelakang namanya.

Atau yang lebih menyedihkan lagi, ada saja wanita yang

meski jaman sudah berganti masih merasa terlahir

sebagai mahluk yang harus berada dibawah laki-laki

yang entah karena dipaksa atau kemauan sendiri, kini

menjadi apa yang orang sebut suami. Sedang yang lain,

sibuk akan ritual-ritual penyembahan, entah kepada

sosok manusia suci atau pada Pencipta semesta ini,

sebagai pemuas hati seakan-akan lupa dirinya masih

berada di bumi.

Hah, entahlah dengan para wanita-wanita lain diluar

sana, apakah karena memang mereka hanya manusia

biasa? Atau itu semua karena manusia-manusia yang

sudah ada sebelum nenek dari kakeknya nenek ayahku

dilahirkan, memang sudah salah sebelumnya

mengkonsepkan sosok wanita. Yah,sepertinya memang

karena mereka hanya manusia biasa, tak seperti sang

bidadari bumi yang memang lahir dari rahim dewa Ra

dan dirawat baik oleh Ganesha, Sang dewa yang kerap

73

minum dari mangkuk pengetahuan tanpa pernah merasa

kehilangan dahaga.

Bidadari ini dilahirkan dimasa depan, namun sudah

dewasa sejak sekarang. Oleh karenanya pemikirannya

jauh lepas meninggalkan kekangan-kekangan jaman

yang usang. Jika ada sebutan yang lebih futuristik dari

kata “modern”, maka kata itu harusnya bermakna sama

dengan jauhnya pemikiran sang bidadari bumi, yang

melintasi jaman-jaman batu menuju jauh pada jaman-

jaman dimana telepati bukanlah lagi hal gaib ketika

udara diisi gelombang-gelombang informasi oleh

manusia. Dia adalah bidadari bumi yang bersayap bukan

pada punggungnya, namun pada pikirannya yang mampu

terbang lebih cepat dari waktu untuk tiba di masa depan.

Namun dia bukan hanya sekedar sang bidadari,yang

indah dinikmati baik oleh panca indera tubuh maupun

dengan diselami melalui hati. Dia juga adalah sang calon

ibu dari anak-anak seorang pria yang aku harap itu aku.

Dia adalah saudara kembar dari ibu terhebat di alam ini,

ya siapa lagi kalau bukan Sang Bumi. Sang Bumi, si ibu

dari begitu banyaknya mahluk di semesta ini, yang sudah

berapa juta tahun merawat baik anak-

anaknya,menghidupinya dengan suburnya tanahnya,

merawatnya dengan teduhnya awan-awannya dan

mendidiknya dengan tegasnya badai-badainya.

74

Ah, mungkin aku sudah gila jika hanya terus

memikirkannya. Benar-benar kau bukan manusia, oh

sang bidadari bumi. Bahkan hanya dengan dongenganmu

saja, telah membuat aku menjadi susah bingung dan

merana. Aku menjadi terus mencoba mencari-cari

kekasih hati yang sedikit saja mampu seperti dirimu, oh

tokoh dalam dongeng kesukaanku. Aku menjadi seperti

pelaut-pelaut yang mengarungi bulatan bumi dalam

hantaman ombak samudera, untuk sebuah cerita tentang

peninggalan harta karun yang entah ada dimana. Benar-

benar sialan dongeng yang menceritakanmu itu dan

alangkah baiknya untuk aku segera menutup buku.

Aku akan datang padamu hai gadis-gadis cantik yang

sedang memasang gincu dibibirnya, aku tak akan peduli

akan kata-kata yang keluar daripada mulut indah merah

merona itu, selama aku mampu mencumbuinya. Aku

akan merebutmu gadis-gadis bermahkotakan rambut

lembut hitam mengkilap, aku tak peduli akan pikiran

yang ada didalamnya, entah itu hanya memikirkan

tentang dirimu sendiri, atau hanya tentang indahnya

pantulan wajahmu yang kau tatapi dibalik cermin.

Selama jari-jemari ini masih bisa membelainya, ya

peduli setan dengan itu semua. Dan nanti tepat di hari

aku mati, aku akan mengakhiri penantianku, karena

disitulah aku akan mulai pencarianku akan sosok

bidadari, yang karena memang mustahil ada di dunia ini.

Rohku akan melayang terbang mencarimu di sorga,

75

nirwana dan istana para dewa diantara kumpulan awan

dan gugusan bintang adromeda.

76

Rasa :

Bagian II

Cerita Cinta

“Cerita Cinta Itu Tak Selamanya Berakhir

Indah, Namun Ceritanya Akan Selalu

Indah, Karena Dia Bercerita Tentang

Cinta”

77

Bunga yang Tepat (Bagian Pertama)

Alkisah terdapat seorang pemuda di suatu desa yang

alamnya indah dan kaya akan berbagai jenis bunga.

Pemuda ini tinggal bersama seorang kakeknya, dimana

seluruh keluarga yang lain sudah tiada akibat bencana

letusan gunung berapi yang berada di desa mereka dua

puluh tahun yang lalu. Di suatu sore, datanglah pemuda

ini ke hadapan kakeknya yang sedang sekarat di tempat

tidur mereka, lalu kata si kakek kepadanya, “Cucuku

yang terkasih, sudah waktunya untuk aku menyusul

semua keluarga kita di sana, di negeri para dewa diatas

gunung berapi itu. Kiranya, kau dapat hidup seorang diri

sendiri disini. Meskipun demikian, aku akan

meninggalkanmu sebuah pot tua peninggalan leluhur

kita.”

Lanjut si kakek kepadanya, “pot ajaib ini memilki

kemampuan untuk menceriakan suasana hati seisi rumah

jika ditanami sebuah jenis bunga yang sesuai dengan

keinginan si empunya rumah. Letakkanlah pot ini di

dalam rumah, lalu carilah diseluruh padang disekitar

desa dan hutan-hutan di kaki gunung ataupun di

pedagang-pedagang bunga didaerahini, sebuah jenis

bunga yang sesuai dengan hatimu. Carilah bunga dengan

warna yang kau sukai, namun kau harus ingat bahwa

bunga tersebut harus dapat tumbuh di pot dengan ukuran

78

seperti itu serta harus mampu hidup dalam pot tersebut”.

Seketika itu pula, si kakek menghembuskan nafas

terakhirnya di tengah tiupan angin kesunyian yang

menerpa deras di hati sang pemuda.

Seminggu sesudah si kakek tiada, pemuda tersebut

termangu dengan masih mengingat jelas pesan sikakek.

Setelah menatapi pot ajaib di depannya, lalu dia berkata

pada dirinyasendiri, “Aku akan pergi ke hutan, aku

pernah melihat sebuah bunga merah dengan daun

kecoklatan yang sangat indah. Aku akan mengambil

sebuah saja karena aku sangat menyukai warna merah

dan coklatnya yang akan menghiasi rumahku ini”,

katanya dalam hati.

Lalu, pergilah pemuda ini ke hutan di bawah kaki

gunung berapi yang dua puluh tahun lalu, dengan

muntahannya telah membakar habis ayah,ibu dan adik-

adiknya. Sesampainya disana, pemuda ini terkejut, dia

melihat seorang gadis berkacamata tampak juga sedang

mengamati kumpulan bunga merah berdaun coklat itu.

Jubah putihnya menutupi tubuhnya yang kuning langsat

dengan rambut yang diikat ekor kuda. Pemuda ini

terpana, lalu dia bertanya pada sanggadis tersebut

mengenai tujuan keberadaannya disana. Setelah sebuah

perbincangan hangat dan diselingi tawa, pemuda ini tahu

bahwa gadis tersebut adalah seorang peneliti yang

sedang meneliti jenis tanaman yang sama dengan bunga

yang sedang dia cari tersebut.

79

Peneliti ini pun lalu bercerita padanya bahwa dia harus

melakukan penelitian dalam jangka waktu yang tidak

sebentar terhadap tanaman tersebut dan kemah yang

dibangunnya tampak tidak cukup kuat untuk menahan

jika hujan tropis besar datang sebagaimana biasanya.

Sedangkan disisi lain, penginapan di kota berjarak cukup

jauh dimana akan sangat menyulitkannya untuk meneliti

kondisi bunga tersebut di saat malam dan subuh. Bak

gayung bersambut, sang pemuda lalu menawarkan

rumahnya untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi

sang gadispeneliti tersebut. Kegembiraannya

membuatnya lupa untuk mencari tahu lebih jauh apakah

ukuran maupun lokasi tempat bunga yang akan dia bawa

pulang sudah cocok untuk ditanam di pot kecilnya

tersebut.

Sang pemuda tersebut merasa sangat beruntung, karena

bukan hanya bunga yang dia bawa pulang ke rumah

kecilnya tersebut. Tapi juga seorang wanita cantik yang

juga cerdas yang akan menghapuskan kesunyiannya

sepeninggalan kakeknya. Pemuda ini pun lalu menanam

bunga yang baru saja dipetiknya tersebut dan lalu

mempersiapkan kamar bekas kakeknya untuk dapat

dipakai oleh si gadis.Gadis tersebut pun kini sudah

mengambil sebagian besar perhatiannya, lebih daripada

bunga dan pot ajaib peninggalan kakeknya.

Hari-hari berikutnya sudah bagaikan mimpi yang bahkan

sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh si pemuda.

80

Setiap hari sebelum ia pergi ke ladang atau hutan untuk

berburu, dia mengantarkan sang gadis cantik idamannya

tersebut sambil bercerita dan tertawa satu sama lain.

Seminggu sudah berlalu, dan perjalanan menuju lokasi

bunga tersebut kini mereka jalani dengan tangan yang

saling menggenggam dengan mesra dan hangat. Tak

terasa sudah sebulan berlalu, si pemuda tersebut kini bisa

memandangi bulan di malam hari dengan bercerita

tentang kehidupan bersama seorang gadis yang

bersandar dipundaknya. Dia melirik sejenak ke arah pot

kecilnya, sembari pundaknya menjadi sandaran kepala

dan untaian rambut si gadis peneliti tersebut. Lalu,

katanya dalam hati, “Ternyata pot kecil ini benar-benar

ajaib, kek!”.

Sore itu senja tampak sangat indah keemasan, ketika si

pemuda berjalan pulang ke rumahnya setelah pulang dari

berburu. Langkahnya begitu cepat seakan ingin segera

sampai di rumah dan menyiapkan makan malam yang

indah seindah biasanya dengan seorang gadis cantik

idamannya. Ketika meletakkan hasil buruannya diatas

meja, dia menemukan selembar kertas dengan tulisan

tangan diatasnya. Lalu, dibacanya tulisan di kertas

tersebut,

Sayang, maafkan aku karena harus pergi darimu

tanpa pamit sebelumnya

81

Aku tahu akan lebih berat dan sulit bagiku jika

harus memandang wajahmu

Wajah dengan garis-garis keras namun dengan

sepasang tatapan lembut itu

Yang menatapku dengan penuh cinta dan

keinginan besar untuk melindungi

Maafkan aku karena telah menjadi lancang

meninggalkanmu yang kuyakini pasti kan terluka

Namun, bukan hanya dirimu saja sayang, aku

pun sampai tak sanggup memegang pena

Dan memulai menuliskan kata-kata yang aku

kutuki ini

Aku harus pergisayang, karena sebenarnya

penelitianku sudah selesai sejak sebulan lalu

Namun, aku belum sanggup jika harus dengan

segera meninggalkanmu

Aku harus kembali ke kota yang jauh dari sini,

memulai lagi kehidupanku sebelumnya

82

Dan yang paling menyakitkan adalah aku tahu

persis kita tiada mungkin terus bersama

Ayahku tak akan mungkin mengijinkan kau

menikahiku, seorang pemuda desa di kaki

gunung

Kita berasal dari dunia yang tak sama sayang,

meski cinta diantara kita tak lagi perlu

dipertanyakan

Terimakasihku sebesar-besarnya kusampaikan

kepadamu

Dan sebuah permohonan maaf yang ku tahu

tiada mungkin kau beri

Aku mencintaimu Romeoku

Salam Cinta - Julietmu

Pemuda tersebut pun terjatuh dari kaki-kakinya yang

tegap kokoh berdiri, tertunduk lesu seakan tak

mempercayai apa yang terjadi. Angin topan yang dibawa

hujan badai yang datang di bulan Januari pun tak akan

bisa merobohkan kuda-kudanya yang kuat, namun itu

semua seakan roboh ketika sebuah perasaan sakit samar-

samar terasa didadanya. Rasa sakit yang tampak tidak

83

nyata, namun seperti membawa tubuhnya untuk segera

menyentuh lantai.

Di tengah kekecewaan itu, tak sengaja dia melirik

kepada bunga di pot kecilnya yang sudah tampak layu

sejak kemarin, dan tepat di hari ini sudah terkulai mati.

Sekilas dia melihat bayangan dirinya sendiri sedang

makan bersama gadis itu di meja makan, sembari sang

gadis berkata padanya, “Sayang,bunga merah kecoklatan

yang kuteliti itu tak akan mampu hidup di pot kecilmu

itu. Bunga itu harus hidup di hutan bebas sehingga

kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Lihatlah, bulan depan

bunga itu tak akan mampu bertahan”. Kenangan itu

seakan datang kembali tanpa diundang, dan dia

menyesali tak pernah mendengarkan dengan serius cerita

si gadis tentang sebuah bunga di pot kecilnya. Dia

terdiam, tidak tahu apakah harus mengutuki pot kecilnya

atau malah bersyukur yang karena keajaibannya telah

memberikannya masa-masa indah bersama seorang gadis

impian dari negeri yang jauh.

Bersambung (Belum Selesai)

84

Malin Kundang

Sudah sebelas tahun berlalu sejak malam itu, hampir

tidak ada hari yang terlewat tanpa cacian bapak dan

tetesan air mata ibu yang menetes meski hanya satu dua

butiran kecil. Malam dimana si anak yang dahulu kami

sebut anak kesayangan itu, menghilang dari rumah dan

hanya meninggalkan seberkas surat. Anak kesayangan

yang juga adik bungsuku itu, menghancurkan impian

bapak untuk memiliki seorang anak pegawai departemen

ternama pemerintah, dengan kabur hilang tak

berbekas.Bagiku bukanlah hal tersebut yang membuatku

sangat membenci si anak yang kini kami sebut si

malinkundang itu.Melainkan, bagaimana dia tega

menghancurkan hati ibu yang sudah merawatnya sejak

kecil, membiarkan ibunya menangis didepan teras setiap

sore tiba dan berharap dia menunjukkan batang

hidungnya.

Dia memang pandai dan itu sudah terlihat ketika dia

masih berumur bocah, dimana hampir setiap tahun gelar

juara umum diraihnya. Sejak pengumuman diterimanya

dia di Sekolah Tinggi Negara yang lulusannya nanti akan

jadi pegawai di departemen pemerintah, ibu dan bapak

sudah menyiapkan rencana yang sangat bagus untuk

kehidupannya. Sebegitu bagusnya rencana bapak dan

ibu, sehingga tak pelak kami kakak-kakaknya berharap

85

ketika muda dulu, kami bernasib sama dengan dia.

Bapak menjual sepetak sawahnya dan membelikannya

sebuah sepeda motor merah keluaran terbaru untuk dapat

dipakainya kuliah, yang karena memang kampus sekolah

tinggi itu tak jauh dari rumah. Selain itu, bapak dan ibu

juga sudah menjodohkannya dengan Tiur, anak gadisnya

Camat setempat yang menjadi primadona di daerah

kami.

Semua rencana indah itu buyar tak bersisa tanpa ada

pertanda apapun yang diberikan olehnya sebelumnya.

Dia tidak pernah sama sekali menolak ketika disuruh

mendaftar Sekolah Tinggi Negara itu, dan begitu pula

ketika dia dibawa bapak dan ibu berkunjung ke rumah

Camat untuk berkenalan dengan Tiur, anak gadisnya.

Namun, suatu malam ketika bapak membuka paksa pintu

kamarnya yang diengsel dari dalam, kami hanya

menemukan sebuah surat.

Kepada Ibuku tercinta dan kakak-

kakakku tersayang juga buat Bapak.

Aku ingin menyampaikan rasa

terimakasihku yang pasti tidak akan cukup

untuk menggambarkan betapa aku sangat

mensyukuri memiliki keluarga seperti kalian

86

dan betapa besar apa yang sudah kalian

perjuangkan untukku. Aku mencintai kalian

dan selamanya akan tetap mencintai kalian.

Oleh karenanya, aku tidak akan sanggup jika

harus melihat kalian terluka dengan

keputusan yang aku ambil.

Aku harus pergi, ibu, kakak! Aku memiliki

hidup untuk aku hidupi sendiri dan hasrat

untuk aku jalani. Aku tak akan mampu

melakukannya jika harus terus bersama

kalian. Jika harus menjalani hidup

sebagaimana yang bapak dan ibu rencanakan,

aku tak akanmampu berdamai dengan hati

dan pikiranku yang berkata lain.

Tak perlulah kalian cari aku, dan aku janji

akan tetap menyampaikan kabar sebisa

mungkin. Suatu hari nanti aku pasti

pulang.Aku mencintai kalian.

Si Bungsu

87

Tapi, disamping kebencian kami, ibu menyimpan

kerinduan yang sangat dalam padanya. Ibu, adalah orang

yang paling yakin suatu saat nanti dia akan pulang,

karena memang tampaknya dia tak pernah ketinggalan

kabar tentang kami. Kami tidak tahu, namun tampaknya

dia pun selalu memperhatikan kami. Tiga tahun yang

lalu, ketika bayi laki-laki saudari kami lahir, sebuah

paket berisi boneka diantar kerumah saudari kami itu

dengan tanpa alamat pengirim dan hanya sebuah nama

pengirim bertuliskan “Paman”.Belum lagi, seringkali ibu

merasa heran dengan uang di rekeningnya yang tiba-tiba

bertambah tanpa tahu siapa pengirimnya.Tanpa perlu

berdiskusi panjang lebar, kami semua tahu pasti bahwa

si bungsu malinkundang itu ada di dibalik semuanya.

Sore ini, aku datang berkunjung ke rumah ibu dan bapak,

karena memang tak jauh dari rumah yang kubangun

sendiri.Dalam sayup-sayup cacian bapak yang tak ada

habisnya kepada anak bungsunya itu, aku melihat ibu

termenung di teras rumah. Sore ini tampak tak biasa, air

matanya tampak mengalir sangat deras namun tanpa

sedikit pun ia mengeluarkan suara. Tiba-tiba bapak

tampak berbicara padanya dengan suara keras,

“Sudahlah Bu! Janganlah kau buang sia-sia air matamu

itu, hanya untuk si anak durhaka itu!”. Aku mengamini

betul kata-kata bapak, dan ingin segera menenangkan

mereka berdua sampai aku dengar ibu berkata,

“Mungkin, kita yang salah pak.Mungkin kita, pak”.Aku

88

lihat bapak tampak kesal dan memilih masuk kedalam

rumah.Aku segera mengambil tempat untuk duduk di

samping ibu.

Ibu masih berusaha mengusap air matanya, ketika

pandangan kami tertuju pada dua orang anak kecil yang

masuk ke pekarangan kami dan berusaha mengutip buah

mangga yang terjatuh dari pohonnya.Lalu, tampak

seorang wanita memanggil kedua anak itu lalu

merangkulnya sambil mengucapkan permohonan maaf

pada kami. Pakaian ibu dan kedua anak itu tampak bagus

dan sepertinya keduanya berasal dari kota. Lalu, wanita

itu bertanya dimana kediaman ibu Uli, yang merupakan

nama dari ibuku sendiri. Setelah ibu menjawab bahwa

dialah ibu Uli, wanita itu lalu menangis dan menyeka air

matanya.Kami tertegun sampai mendengar suaranya

yang terisak, “Kenalkan ibu, mereka ini cucu-cucumu!”

Ibuku langsung menangis dan memeluk kedua anak tadi

dengan serta merta menciumi pipi mereka. “Dimana

bapaknya?”, tanya ibu pada wanita itu, “Dimana

bungsuku itu?” Sejenak, wanita itu mengambil waktu

untuk menenangkan diri.Aku lalu mengajak dia dan

kedua anak kecil, yang merupakan keponakanku itu

untuk masuk ke dalam rumah.Ku suruh Lisma, sanak

dari kampung yang menumpang tinggal sambil merawat

ibu dan bapak di rumah, untuk membuatkan teh.Segala

kebencianku seakan lenyap ditelan angin, saat dengan

seksama kudengar cerita dari adik iparku itu.Wanita

89

yang berparas cantik, tampak tegar dengan sorot

matanya yang menunjukkan bahwa dia secerdasadikku.

*****

Adikku itu kini adalah seorang dosen di perguruan tinggi

ternama di ibu kota, sembari mendirikan lembaga

konsultan dan sebuah sekolah gratis miliknya sendiri.

Tepat setahun yang lalu, dia berhasil memperoleh hak

paten dari sebuah program komputer yang kini dipakai di

sebuah perusahaan multinasional.Dia memperoleh

royalti yang cukup besar setiap bulan sehingga mampu

membiayai sekolah milikinya yang diperuntukkan untuk

anak tidak mampu.Dia juga menabung sejumlah uang

untuk diberikan kepada bapak, ibu dan kepada anak-anak

kami, keponakannya.

Wanita yang duduk dihadapanku itu adalah seorang

peneliti dan aktivis lingkungan hidup yang telah

menikahi adikku selama empat tahun.Dia berasal dari

suku seberang yang selalu diperingatkan bapak dan ibu

untuk tidak kami jadikan pasangan hidup, karena perang

saudara yang pecah empat puluh tahun lalu.Mungkin,

itulah alasannya si bungsu itu tidak mengundang dan

memberitahukan kami semua perihal pernikahannya

itu.Mereka membangun rumah tangga di ibu kota dengan

90

mandiri tanpa ada bantuan biaya dari keluarga sama

sekali.

Satu tahun yang lalu, tepat sepuluh tahun semenjak

kepergiannya dari rumah, adikkuberserta anak dan

istrinya datang kerumah.Namun, ketika berada didepan

rumah, dia mendengar cacian bapak dan aku tentang

betapa durhakanya dia sebagai seorang anak.Kala itu,

ketika aku bertanya siapa dia dan sedang mencari siapa,

dia berpura-pura salah alamat dan memilih untuk

kembali ke ibukota. Pada saat itu, aku dan bapak sama

sekali tidak mengenalinya.

Dua bulan yang lalu, ketika berada di sekolah gratis

miliknya, seorang orang tua dari salah satu anak jalanan

yang ada disana mendatanginya. Dia dan orangtua itu

terlibat adu mulut karena dia tidak mau menyerahkan

anak tersebut kembali pada orangtuanya yang berusaha

memberhentikan anak tersebut dari sekolah agar kembali

bekerja di jalanan sebagai pengantar ganja dan sabu.

Orangtua anak tersebut pun menancapkan sebuah belati

berukuran 30 centimeter tepat di dada kirinya.Adikku

itu, si malinkundang itu pun harus mengakhiri hidupnya

di usia yang belum genap 30 tahun.

Ibuku menangis sambil memeluk erat menantunya itu,

bapak yang dari tadi ternyata di balik tirai mencuri

dengar semua pembicaraan kami, terjatuh pada kedua

lututnya sembari menangis tiada henti.Aku hanya bisa

91

menahan rasa sakit yang sangat dalam di dada,

menyadari bahwa setahun yang lalu aku membuatnya

pergi lagi dari rumah. Dan yang paling buruk, membuat

dia tak bertemu lagi dengan ibu, yang selalu

menunggunya pulang setiap sore didepan teras,

sebagaimana dulu ketika ibu menunggu dia pulang

bermain saat masih anak-anak, dan menyuruhnya mandi

setelahnya. Dalam isakan tangisnya, kudengar bapak

berkata, “Bapak, yang durhaka nak, bapaklah yang

durhaka. Kalau kau mendengar bapak, kutuklah bapak

nak! Kutuklah bapak! Kutuklahbapak menjadi batu!”

Selesai.

92

Kisah hamba pada Tuannya

Alkisah, ada seorang Tuan yang mahakuasa, mahaindah,

mahaterpuji dan segala kebaikan bersumber daripada-

Nya. Namun demikian, yang terbesar dari kesemuanNya

itu adalah kemahacintaanNya terhadap suatu desa kecil

yang berdiri diatas tanah milikNya, diantara udara

kepunyaanNya dan dibawah langit kekuasaanNya. Desa

ini sangatlah kumuh, kotor dan juga miskin. Kejahatan,

kelaparan, penyakit dan segala hal yang jahat ada

diantaranya, menjadi satu dengan desa

tersebut.Penduduknya adalah sekumpulan orang yang

tinggal menetap secara liar, tak mengakui keberadaan si

Tuan tersebut, berbuat sesukanya dan oleh karenanya

desa tersebut menjadi hina pula nista.

Suatu kali dua orang diantara penduduk desa datang

dengan rendah hati menghadap pada si Tuan, meminta

untuk merka dapat tinggal dalam rumahNya, lalu Tuan

tersebut pun mengharuskan keduanya menjadi

hambaNya dan melayaniNya hingga nanti mereka

dipersilahkan masuk.

Hamba yang pertama berpikir dalam hati "Betapa

indahnya rumah Tuanku ini, bersih, megah, mewah serta

93

semua kebaikan ada didalamnya. Lalu betapa kuasanya

pula Tuanku ini hingga tak mungkin dengan mulutku

mampu menggambarkanNya". Hamba yang pertama pun

mengingat pesan Tuannya untuk dia melayani, lalu

ditinggalkannyalah desanya, dia berjalan menuju depan

rumah si Tuan, katanya "Tuan ku yang maha agung pula

mulia, kubawakan pada-Mu alat-alat musik terindah dari

seluruh negeri hendaknya pula Kau dengar aku

menyanyikan segala kebaikan yang ada padamu oh Tuan

ku yang mahamulia".

Keesokan harinya, dicarinya pula kanvas terindah dari

seluruh negeri dan kuas terhalus serta warna-warni

tercerah dari semua penjuru. Katanya didepan rumah si

Tuan, "Tuanku yang mahamulia, hari ini aku

merayakanMu atas kemahakuasaanMu , hendaknya

dengan lukisan-lukisan terbaik yang dapat ku beri dapat

sedikit tergambar betapa bersyukurnya aku menjadi

HambaMu".

Tak pelak hari demi hari berlalu, dan segala yang terbaik

dari seluruh negeri pun sudah menumpuk didepan rumah

megah milik si Tuan, dibawakan oleh hambaNya yang

pertama. Lalu tibalah saat dimana si Tuan tersebut ingin

melihat hasil kerja kedua hambaNya dan memutuskan

pakah mereka akan diterima dalam rumahNya atau tidak.

Tuan itu pun perlahan turun menuju pintu rumahNya,

dibukaNya lalu dilihat olehnya hanya berdiri satu orang

94

hambaNya, namun belum sempat Dia berbicara tampak

dari jauh seseorang berjalan.

Terlihat seorang yang sederhana, hanya pakaian

seadanya namun tetap terlihat rapi. Wajahnya tampak

lelah dan tubuhnya sedikit kotor. Lalu seseorang itu pun

berkata padaNya "Wahai Tuanku yang mahamulia,

maafkan aku yang datang kemari dengan tampilan tak

layak di hadapanMu. Tuanku, aku tahu betul bahwa kau

mahamulia, dan segala kemuliaan itu tidaklah mungkin

bertambah lagi dan apalah artinya aku bagiMu". Lalu

lanjutnya, "Segala kebaikan padaMu tak akan mampu

lagi kutambahkan meski dengan apapun. Tuan, yang aku

tahu hanyalah bahwa Kau begitu mencintai desa dimana

aku tinggal dan menetap. Tuanku yang mahakaya, disana

kemiskinan ada dimana-mana beserta pula kehinaan dan

kenisataan lainnya.Tapi mereka semua begitu tidak

memperdulikanMu, oleh karenanya tak ada pelayanan

lain yang bisa kulakukan selain berusaha membuat

desaku itu menjadi lebih baik. Dan, aku pun gagal,

Tuanku. Aku hanya mampu bekerja dan menghindari

sebuah keluarga dari kelaparan, dan setelahnya aku

hanya mampu membantu seseorang sehingga dia keluar

dari lingkaran kriminal serta terakhir aku bahkan tidak

mampu menyembuhkan penyakit seorang nenek, tapi

mampu memepertemukannya kembali dengan anaknya

sebelum dia meninggal."

95

Lalu Tuan itu bertanya, "ketika kau membantu orang-

orang tadi, dan mereka menanyakan alasannya, apa yang

kau jawab wahai hambaKu?"

Lalu jawab si hamba kedua itu, "Aku hanya menjawab

ya Tuanku, aku melakukanya karena aku adalah hamba

dari seorang Tuan yang mencintai desa ini."

96

Kenyataan :

Kenangan dan Perjalanan

“Kenyataan Akan Tetap Menjadi

Kenyataan, Kita Lah Yang Menciptakannya

Menjadi Sebuah Keindahan Yang Akan

Kita Nyanyikan Kelak Dalam Alunan Lagu

Kenangan”

97

Kisah tentang Abang dan Kakak

Tidaklah banyak kemewahan yang dapat kutemukan

dalam masa kecilku yang penuh dengan kesederhanaan,

jikalau kemewahan diartikan dengan barang-barang

mahal yang dibeli di hingar-bingarnya perkotaan. Pohon

nangka yang tinggi menjulang itu serasa bianglala di

taman impian. Sungai berarus deras pun sudah seperti

kolam pribadi, dimana setiap sore aku dan kedua

abangku pergi kesana dengan sebuah motor merah yang

meskipun bukan yang terbaru tapi masih sangar jika

berlari kencang. Kami bertiga, tanpa helm dan aku hanya

mampu melihat ke bawah dimana kilauan pasir jalanan

tampak sangat cepat berlewatan. Sepeda motor itu pula

tanpa spion, hanya abangku yang paling belakang yang

sesekali melihat kebelakang dan akan berteriak, “ada

mobil bang, hati-hati!”. Jikalau saja motor tua gila itu

sedikit saja lalai menjalankan tugasnya, maka ibuku akan

menangisi tiga putranya sekaligus.

Aku hanya anak lelaki kecil pada saat itu, yang tak bisa

memungkiri bahwasanya hingar-bingarnya kemewahan

ala kota yang disajikan menarik di televisi milik kedai

kopi di simpang jalan sangatlah menarik perhatian.

Tentang permainan elektronik yang disebut game board,

tentang makanan yang bernama hamburger dan restoran

cepat saji yang menyediakan mainan anak-anak untuk

98

dijual. Meskipun hanya setiap sore dahulu hal tersebut

kusaksikan, ketika menumpang menonton serial satria

baja hitam di kedai kopi simpang jalan, yang akan segera

terhentikan jika teriakan usiran si pemilik kedai

terdengar.

Seringkali saat ini ku tertawai sendiri keinginan-

keinginan konyol milikku saat itu. Meskipun demikian,

ada banyak hal yang harus kusyukuri karenanya. Karena

keinginan-keinginan itu, aku dapat kembali mengingat

betapa indahnya dilahirkan disebuah keluarga dengan

kakak-kakak yang sangat membanggakan. Bukan

tentang bagaimana akhirnya keinginan-keinginan itu

terwujud, tetapi tentang bagaimana satu dan beberapa

orang kakak yang menunjukkan arti kasih sayang

sebenarnya pada seorang adik.

Suatu siang, ketika aku sudah pulang dari sekolah,

seperti biasanya aku akan menunggu kakak-kakakku

untuk kembali dari sekolah mereka. Saat itu untuk

sampai dirumah adalah sebuah kelegaan yang besar

bagiku, karena untuk menyeberang jalan besar antar kota

di simpang jalan aku harus mampu menahan kaki-kaki

kecilku yang bergetar kuat. Siang itu bukanlah sebuah

siang yang biasa, kakak laki-lakiku yang duduk di

bangku SMP pulang membawakan sesuatu. Sesuatu itu

adalah sebuah makanan yang tadinya hanya bisa kulihat

di televisi.

99

Ya, sebuah hamburger daging sapi ditunjukkan abangku

dihadapanku dengan keadaan masih hangat dan

terbungkus. Suara kertasnya yang dibuka, seperti suara

gemertak robohnya pintu-pintu impian yang kokoh dan

besar yang tadinya tertutup rapat dan terlihat tak

mungkin terbuka. Oleh kakakku, dibaginya hamburger

itu untuk kami nikmati bersama. Kuperlahan

kunyahanku dan membiarkan lidah ini lebih lama

menikmati arti sebuah kemewahan, makanan impian

seperti yang ada di televisi. Meski hamburger yang

kulahap ini hanya sebuah hamburger seharga satu atau

dua ribu rupiah yang dijual oleh penjaja kaki lima di

sekolah abangku, tapi tetap saja ini hamburger, makanan

anak para raja pikirku.

Tahun pun berganti, dan bulan kesayanganku pun segera

tiba. Bulan Januari, sebuah bulan dimana hari

kelahiranku akan kembali dirayakan. Tahun lalu, hari

kelahiranku dirayakan besar-besaran dengan

mengundang tetangga dan memotong sebuah bolu yang

dimasak sendiri oleh ibu. Tahun lalu pula, kakak-

kakakku mengumpulkan uangnya untuk sebuah

kacamata satria baja hitam yang dapat dilipat. Kali ini

aku tak meminta banyak pada ibu, hanya sebuah

kesempatan untuk makan di sebuah restoran cepat saji

seperti di televisi.

Lalu, bersama kakak perempuanku, aku pergi kesana dan

merayakan hari yang hanya setahun sekali itu. Tadinya

100

aku meminta paket makanan berhadiah botol minuman

bergambar batman, namun ketika kakakku mengatakan

tak cukup uang yang ada, maka paket ayam nasi dan

soda pun sudah cukup bagiku. Bukanlah enaknya ayam

goreng itu yang memuaskan aku, tapi sejenak saja aku

merasa bahwa aku dan kakakku sama seperti anak-anak

dan keluarga yang cukup kaya yang ada di restoran itu.

Sejenak aku merasa sudah sangat kaya dan sudah

menjadi anak kandung dari hingar-bingarnya perkotaan

yang disajikan manis di televisi di kedai kopi simpang

jalan.

Bukan cuma makanan saja yang menjadi impian anak-

anak di jamanku, permainan-permainan seperti game

board dan mainan-mainan lain sudah menjadi sebuah

kebanggaan besar bagi mereka yang memilikinya.

Sebuah game board yang dahulu dipakai bergilir oleh

kami sekeluarga kecuali ibu, sudah teronggok tak

bernyawa karena sudah mencapai titik batasnya. Namun,

itu semua seakan mudah terlupakan ketika abangku

datang dengan game board yang lebih canggih dengan

permainan tembak-menembak pesawat dengan dua jenis

warna. Meskipun itu hanya pinjaman dan sebentar saja,

tapi bagiku saat itu, hal tersebut sudah merupakan

kebanggaan yang tak ada habisnya kuceritakan di

sekolah.

Ketika game board pinjaman itu dikembalikan, abangku

memintaku bekerja sama dengannya untuk membeli

101

sebuah mainan yang bisa menggantikannya. Dia

meminta uang lima ratus milikku untuk membeli sebuah

kotak pensil dengan bola besi kecil didepannya dan

lubang-lubang berterakan angka yang bisa dimasukkan

kedalamnya, semakin sulit lubangnya semakin besar

angkanya. Siang hari ketika paginya kuserahkan uang

itu, kutunggui abangku di simpang jalan. Dari kejauhan,

tampak dia sudah membuka tasnya dan melambai-

lambaikan padaku sebuah kotak pensil. Aku kecil segera

berlari dan menggapai kotak pensil dengan mainan bola-

bola kecil didepannya. Meskipun itu hanya sebuah kotak

pensil dengan logo sebuah merk susu anak-anak, namun

kebahagiaannya tak mampu terlupakan hingga kini.

Memiliki kakak-kakak seperti mereka bukanlah hanya

tentang masa-masa kecil yang haru dalam kesederhanaan

dan rasa saling berbagi. Tapi tentang bagaimana

memiliki saudara yang selalu ada ketika hidup dan

segala kesusahannya menghadang rintang dan

menciutkan hati. Bukan hanya di masa kecil, kami

menghajar siapa saja yang membuat air mata kakak

perempuan kami terjatuh entah karena diejek atau

didorong jatuh saat bermain. Di masa kini, dan esok

nanti pun kakak-kakak hebat seperti mereka akan selalu

ada dan saling menjaga meski di kota yang tak lagi

sama.

Dalam perjalanan hidup, banyak teman dan sahabat

bahkan ada pula sosok-sosok yang berusaha menjadi

102

kakak, namun tetap tak mampu mengisi tempat yang

sama dengan sisi yang mereka isi. Bahkan tak jarang

dalam berbagai komunitas ada banyak sosok yang

dihadirkan sebagai kakak spiritual atau kakak rohani,

atau apapun sebutannya. Mereka yang dalam tradisi

komunitas berusaha menjadi kakak yang padanyalah

semua masalah dan keluh kesah hidup dapat kita luapkan

dan berbagi beban. Tak ada maksud untuk tidak

mengindahkannya, hanya saja memiliki kakak-kakak

yang sudah kepalang panjang kisahnya untuk menjadi

sahabat bagi jiwa, dan tak ada masalah yang terasa besar

ketika dibagi dengan mereka. Rasanya tidaklah angkuh

dan jumawa jika berkata pada diri sendiri bahwasanya

sudah cukuplah mereka yang dianugerahkan Tuhan ini

kepadaku menjadi kakak yang kepada merekalah semua

ombak kehidupan ini kuluapkan, menjadi karang yang

menghantam dan memecahkannya menjadi butir-butir

air yang berpelangi kala sinar mentari menerpanya.

Terimakasih Tuhan karena mengizinkan mereka lahir

dengan rahim yang sama denganku, menjalani semua

pahit manisnya kehidupan dan saling menguatkan.

Untuk kakak-kakakku yang menjadi alasan syukurku yang

tiada henti pada Tuhan.

103

Rumah Itu Selalu Punya Ruang

“Keluarga”, sepasang suami istri yang kupanggil

“mamak” dan “bapak” serta ke-empat saudaraku yang

lain, itulah yang selalu terbayang ketika kata itu

terdengar. Saya seorang mahasiswa, lahir dan tumbuh di

pinggiran kota Medan, Sumatera Utara. Lahir dari lima

bersaudara sebagai anak yang paling muda dari seorang

ayah polisi biasa dan ibu pegawai negeri di sebuah

puskesmas kecil. Saya jauh lebih muda, lahir delapan

tahun setelah ke-empat saudara saya lahir. Keluarga

kami memulai sejarahnya dari sebuah perumahan polisi

yang kini sudah digusur, lalu berpindah menuju

perumahan kecil pegawai puskesmas, tepat setahun

setelah saya lahir.

Saya menghabiskan masa kecil di rumah kecil tiga

kamar itu, sedangkan kakak dan abang saya yang lain

menghabiskan masa remaja mereka. Rumah itu begitu

kecil, ditambah kerabat yang merupakan dua orang

pemuda dan satu orang gadis baru tamat SMA yang

berasal dari kampung, yang sedang melanjutkan sekolah

di kota Medan. Mereka berbagi tempat dengan kakak

dan abangku sedang aku berbagi tempat dengan bapak

dan mamak.

104

Hari-hari kami lalui dengan sangat gembira dan hangat,

ketika pemuda dari kampung memanjat pohon kelapa di

depan rumah, saya pun mengambil sebuah baskom besar

untuk kami pun menikmati es kelapa bersama, tanpa

pernah sekalipun merasa bahwa kecilnya rumah itu dapat

menciutkan rasa syukur kami dan kehangatan yang ada.

Halaman rumput hijau puskesmas menjadi tempat kami

selalu bersenda gurau ketika petang. Kadang ketika masa

ujian tiba, kamar suntik di puskesmas, yang kuncinya

dipercayakan kepada ibu, dipakai buat belajar dan tidur

oleh kakak dan abang saya, karena kamar di rumah tidak

cukup untuk orang sebanyak itu.

Begitulah rumah kami yang sebenarnya bukan milik

kami, selalu penuh, bukan hanya dengan orang, tapi juga

dengan canda tawa, kehangatan, dan kesederhanaan. Tak

terasa, kini sudah sepuluh tahun sejak saya merasakan

ketika rumah kecil itu penuh dengan orang, hingga dapur

kami ubah menjadi kamar dan dengan kayu dan seng

seadanya, lalu kami pun mengubah halaman belakang

menjadi dapur yang selalu basah ketika hujan deras tiba.

Tahun demi tahun, perlahan jumlah orang di rumah kami

pun mulai berkurang, kakak dan abang saya mulai

merantau dan menempuh pendidikan di pulau jawa, serta

pemuda dari kampung selesai menempuh pendidikannya

dan memilih mencari hunian sendiri.

Ketika saya beranjak kelas tiga SLTP, kami pun

meninggalkan rumah itu, karena ibuku dengan segala

105

jerih payahnya berhasil membangun rumah, yang

memiliki tiga kamar namun lebih luas dibanding rumah

kecil di samping puskesmas itu. Kakek dan nenek di

bawa oleh ayah ke rumah dan menempati satu kamar,

satu kamar lagi buat ayah dan ibuku dan satu kamar

sisanya buatku. Kini, waktu pun telah berjalan cukup

jauh, meninggalkan kenangan-kenangan indah itu yang

tak lekang di ingatanku.

Delapan tahun sudah berlalu, dan keluargaku sudah

berubah begitu banyak, kakek nenek kini sudah tiada

meninggalkan bapak dan ibuku berdua. Kakak laki-

lakiku yang paling tua kini bekerja di Sibolga sekitar 10

jam dari rumah, setiap minggu dia pulang ke rumah

miliknya tepat sekitar 30an meter dari rumah bapak ibu

kami tersebut. Istrinya bekerja di medan, kurang lebih

200 meter dari rumah dan cukup hanya berjalan kaki

sebagai seorang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat.

Kakak kedua berkeluarga di Ambon, Kakak ketiga

berkeluarga di Tangerang dan keempat masih belum

menikah dan bekerja di Jakarta. Tapi, aku salah, ternyata

kehangatan yang dahulu itu bukanlah sekedar kenangan.

Rumah kami sepertinya tak akan pernah sepi, meskipun

dihuni oleh dua orang yang kini bahkan sudah menjadi

kakek dan nenek atau dalam bahasa bataknya oppung.

106

Tanpa direncanakan, rumah itu kini diisi oleh satu orang

pemuda dari desa, satu orang pemudi dari jakarta, dan

dua orang pemudi dari Siantar, sebuah kota dekat dengan

desa kami. Semuanya itu adalah keuarga, dan latarnya

berbeda-beda, dua dintaranya dipercayakan ke rumah

kami karena tadinya bertingkah cukup nakal, satu

diantaranya karena tidak mampu mebiayai biaya sekolah

dan terakhir karena adik ibuku yang adalah orang tuanya

lebih mempercayakan untuk dia tinggal di rumah kami.

Belum cukup sampai disitu, ternyata rumah abang laki-

lakiku pun demikian pula. Disana terdapat dua orang

adik istrinya yang mengambil kuliah kedokteran dan satu

orang anak dari kakak ibu kami yang berkuliah di

perguruan tinggi negeri yang sama namun jurusannya

berbeda. Situasi itu cukup menggambarkan kehangatan

yang aku rasakan dulu. Para pemuda-pemudi itu begitu

riuhnya bercanda dan tak pelak selalu membuat ibuku

tersenyum dan bapakku tertawa. Kehangatan mereka

mampu meredakan sikap nakal beberapa pemuda yang

tadinya tidak demikian dan menciptakan kenangan yang

sama sebagaimana delapan tahun yang lalu.

Begitulah rumah ibu dan bapakku yang ternyata tak

pernah kenal tempat dan waktu. Rumah mereka selalu

penuh akan keluarga dan handai taulan, dan yang

terindah selalu penuh akan tawa. Aku menggagumi

mereka, bahwasanya ketika hidup berada di kala susah

maupun ketika kini semua jauh membaik, kehangatan

107

mereka selalu memanggil banyak orang untuk tinggal

bersama. Bahwasanya rumah mereka yang meskipun

kecil namun tak akan dan tak akan pernah kehabisan

ruang untuk tawa-tawa baru dan senyum-senyum baru.

108

Kisah Seorang Pemuda dan Ular

Sawah

Sebelumnya, ini bukanlah sebuah cerita yang punya

banyak makna, bukan cerita yang indah buat diceritakan.

Tapi entah kenapa begitu sulit untuk aku lupakan. Setiap

kali hujan berhenti di sore hari, aku selalu ingat rumah

kecil ku yang dulu, di sebuah kompleks puskesmas di

pinggiran kota Medan, kecil dan sederhana. Setiap sore

punya banyak cerita, baik itu indah maupun sedih, tangis

maupun tawa. Tapi sore hari yang satu ini, selalu

teringat, entah kenapa.

Ibuku hanyalah seorang asisten apoteker, lulusan setara

SMA. Namun, dia banyak belajar, hingga akhirnya dia

bisa menyuntik, dia tahu obat apa saja untuk beberapa

penyakit. Puskesmas, hanya buka sampai pukul 3 sore,

dimana masyarakat seharusnya masih berladang atau

bekerja. Aneh memang, tapi begitulah puskesmas.

Sehingga, sering kali jika ada yang datang pada saat

puskesmas sudah tutup, ibu saya memberikan sedikit

obat yang dia tahu, lalu menyuruhnya datang lagi ketika

puskesmas sudah buka.

Suatu hari, suatu sore. Kompleks puskesmas kami, yang

hanya terdiri dari 3 buah rumah yang masing-masing

ditempati karyawannya, menjadi sangat riuh dan sibuk.

109

Keriuhan ini dikarenakan seorang pria yang datang,

dengan tangan yang terluka besar. Pergelangan

tangannya terbuka lebar seperti baru saja tersayat pisau

besar atau mesin. Darah mengalir deras, dan sebuah kain

mengikat otot lengan atasnya dengan kuat sehingga

terlihat biru. Lelaki itu ternyata digigit oleh sebuah ular

sawah yang besar, di sebuah kandang ayam yang

sederhana. Kain itu mengikat tangannya agar darah yang

mungkin sudah terinfeksi banyak kuman tak bercampur

dengan darah diseluruh tubuhnya.

Pria ini hanya seorang pemuda dari kampung, yang

bekerja di rumah saudaranya untuk mengurus sebuah

peternakan ayam kecil. Pemuda ini bersama seorang

temannya, hanya mereka berdua, datang ke rumah kami

dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Ibuku

segera memanggil kakak-ku, yang masih sekolah

keperawatan setingkat SMA untuk membantunya.

Tetangga kami disebelah rumah adalah seorang

karyawan puskesmas juga, yang sudah kami anggap

seperti keluarga. Pemuda ini dibawa ke rumah tetangga

kami yang memang lebih luas daripada rumah kami,

agar lebih mudah mengobatinya. Mereka bertiga segera

menampung darah pemuda ini dalam sebuah baskom

yang dalam waktu singkat sudah hampir setengahnya

penuh.

Saat itu, mereka segera mengambil perban, suntikan,

benang jahitan luka, dan semua perlengkapan untuk

110

menjahit luka. Pergelangan itu terbuka lebar, dan jika tak

hati-hati, si pemuda bisa saja tak selamat. Aku melihat

kakak perempuanku seperti keringat dingin, dia yang

masih sekolah harus dihadapkan pada keadaan yang

tidak mudah. Ibuku pun demikian, dia hanya seorang

asisten apoteker. Setelah beberapa waktu yang cukup

lama, tangan si pemuda ini sudah selesai dijahit dengan

rapi oleh mereka bertiga. Lalu, akhirnya si pemuda ini

bersama temannya pulang,namun sebelum pulang ibu ku

mengharuskan dia untuk segera ke rumah sakit umum

yang berada beberapa ratus meter dari rumah kami, agar

kondisinya bisa ditangani oleh yang lebih ahli. Lalu,

darah si laki-laki ini yang sudah tertampung dalam

sebuah baskom yang cukup besar dibuang, sambil

kakak-ku menyampaikan betapa beratnya pekerjaan yang

tadi dia lakukan.

Beberapa hari kemudian, si pemuda itu tidak lagi tampak

di daerah kami, hingga akhirnya kami mendapat kabar

bahwa dia pulang ke kampung nya untuk menjalani

pengobatan kampung katanya. Kami cukup kesal

mendengar hal itu, mengingat bahwa luka yang baru saja

dialami adalah sebuah luka besar yang cukup berbahaya.

Ibuku berkata bahwa jahitan sebesar itu harus selalu

dikontrol hingga akhirnya kering dan sembuh, belum

lagi mengingat betapa bahayanya taring-taring si ular

dapat menginfeksi dia. Pada saat kejadian itu, dia sudah

tampak lemas dan pucat akibat kehilangan banyak sekali

111

darah. Setelah luka luarnya dijahit pun, seharusnya dia

mendapatkan pengobatan, karena mungkin kain yang

mengikat lengannya itu tak mampu menjaga agar darah

kotornya tak bercampur. Belum lagi betapa banyak

darah-nya yang keluar pada saat itu. Tapi, mungkin si

pemuda itu tak punya pilihan, rumah sakit mungkin

berarti uang, sedang dia hanyalah pemuda yang bahkan

harus bekerja di sebuah peternakan ayam kecil milik

saudaranya.Beberapa minggu berlalu, kami mendengar

kabar bahwa si pemuda ini akhirnya meninggal dunia di

kampungnya. Pengobatan kampung memang sepertinya

tak bisa menggantikan perawatan modern, obat, serta

suntikan anti infeksi dan tetanus yang harusnya

diberikan.

Begitulah cerita si ular sawah dan seorang pemuda. Ular

sawah yang terjepit ketika tempat tinggalnya kini

berubah menjadi peternakan, dan rumah warga. Dia tak

lagi dapat mencari ayam-ayam yang bebas berkeliaran ,

sehingga peternakan mungkin satu-satunya pilihan. Si

pemuda pun tak punya pilihan, dia harus mengecek

semua ayam-ayam yang dititipkan padanya, dan ketika

ada ayam yang mati, dialah yang harus bertanggung

jawab. Begitulah cerita tentang bagaimana si pemuda

dan si ular sawah yang sama-sama tak punya pilihan,

harus mengakhiri hidupnya. Si ular sawah mungkin

cukup beruntung, dia mengakhirinya lebih cepat di ujung

kayu dan pisau milik si pemuda dan temannya. Si

112

pemuda kurang beruntung, karena dia harus menderita

dan menyadari bahwa ternyata dia tidak punya cukup

uang untuk menyelamatkan hidupnya.

113

Pelajaran dari Perjalanan 10 jam

(Bagian Pertama )

Juli 2008, saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju

Medan dari Sibolga dengan sebuah mini bus, perjalanan

kurang lebih 9 jam itu aku lalui dengan memetik

pelajaran berharga. Seorang lelaki tua tionghoa duduk

disebelahku saat itu, aku menyapanya dengan “Koko” (

panggilan untuk lelaki yang lebih tua oleh orang

tionghoa ). Koko ini terlihat sangat senang, dia

membawa sebuah sangkar berisi seekor burung, yang dia

bilang tadi pagi ditemukannya jatuh dari atas pohon, dan

dia memutuskan akan merawatnya dan membawanya ke

medan. Kupikir, “lucu juga kakek satu ini, seperti anak

kecil saja”. Seketika juga aku merasa baru saja bertemu

orang yang sangat bijaksana.

Ternyata Koko ini masihlah seorang ayah,dengan anak

yang paling kecil seorang lelaki yang masih duduk di

bangku SLTP di medan. Lelaki setua dia, jika memiliki

cucu yang duduk di bangku SLTP saja, orang pasti

percaya. Dia bercerita bahwa anaknya yang paling tua

adalah wanita berumur kurang lebih 20tahunan, namun

tingkat intelektualnya sepertinya dibawah rata-rata (

mungkin semacam Retardasi Mental ). Aku langsung

tersentak, baru sadar bahwa ke-sahaja-an dan kemurahan

114

senyum Koko terhadap orang yang baru dia kenal

ternyata tidak menggambarkan kesusahan hidupnya.

Handphone Koko berdering, anak laki-laki nya

menelepon dia, menanyakan sudah sampai dimana,

sepertinya sudah tak sabar ingin bertemu sang ayah.

Setelah Koko selesai berbicara dengan anaknya, ia

bercerita bahwa sudah 5 tahun dia berada di Sibolga, ia

bekerja sebagai teknisi ( tukang bengkel besi ) di salah

satu proyek temannya. Dia bercerita bahwa tubuhnya

sudah terlalu tua untuk bergelut dengan besi-besi tua.

Dia memutuskan untuk kembali ke Medan, mencoba

memulai usaha yang kiranya masih layak buat tubuh

tuanya. Dia bercerita bahwa sebelumnya dia tinggal di

Medan, didaerah percut, pinggiran kota Medan. Dia

dahulu berbisnis tambak undang dan sukses, namun

masyarakat setempat mencuri hasil tambaknya tiap kali

masa panen, dan dia pun tidak berani melawan

masyarakat setempat. Seketika itu juga dia memutuskan

pindah rumah, dan bingung harus mencari nafkah lewat

cara apa. Dia bercerita bahwa sahabatnyalah yang

menolongnya. Memberikan dia pekerjaannya sekarang.

Satu pelajaran berharga dari Koko,

“Sahabat itu sangat berharga, kalau bagiku bahkan lebih

dari saudara” kata si Koko.

Sudah sampai Tarutung, daerah Tapanuli Utara, dan

anak laki-laki Koko sudah lebih dari 4 kali

115

meneleponnya untuk menanyakan sudah sampai dimana.

Padahal masih 5 - 8 jam mungkin sampai di Medan.

Koko melanjutkan ceritanya, dia mengajarkan padaku

“Hidup ini adalah rencana yang diatas, ada 5 yang sudah

diaturkan Tuhan buat kita, yakni : Kelahiran, jodoh,

pertemuan, perpisahan dan kematian. Kita hanya tinggal

menjalaninya sebaik-baiknya.”

Lalu si Koko bercerita bahwa, dia adalah tionghoa

Sibolga yang lahir dari orang tua kaya, mereka 3 orang

bersaudara. Ketika ia remaja, orangtuanya meninggal,

warisan orangtuanya dimiliki oleh kakaknya

sepenuhnya. Adiknya, pergi ke hongkong, dan

belakangan pernah menemuinya dan mengaku bahwa dia

sudah menjadi anggota mafia hongkong. Sementara dia,

melewati banyak pahitnya hidup untuk bisa hidup

mapan. Bahkan Kakak perempuannya yang kini hidup

serba berkecukupan berkat modal orang tuanya, enggan

membantunya. Awalnya dia sangat kecewa, namun

perlahan dia mulai melupakannya.

116

Pelajaran dari Perjalanan 10 jam

(Bagian Kedua)

Lima hal, itulah yang selalu diyakini koko sebagai

“kehendak langit”; kelahiran, kematian, jodoh,

pertemuan dan perpisahan. Bagi saya, yang mungkin

tidak sekuat Koko, semua yang terjadi di hidup adalah

Kehendak Tuhan, sama saja dengan prinsip yang

dipegang Koko ditengah keraguan hatinya saat itu. Aku

yakin dia pasti bimbang saat itu, berusaha memulai

bisnis yang baru lagi, tidak ada jaminan akan sukses atau

tidak.

Tapi setidaknya dia percaya, apapun itu yang akan

terjadi, dia sudah berusaha yang terbaik.

Koko mulai bercerita, “dahulu aku ketika muda, pernah

jadi buruh di pedalaman hutan Kalimantan. Aku melihat

banyak sekali wanita yang telinganya panjang karena

anting-antingnya besar.” Koko bercerita sangat detil dan

semangat seakan-akan aku belum pernah melihatnya di

TV dan internet. Maklumlah pikirku, Koko mengkin

merasa aku belum pernah melihatnya, hanya karena aku

belum pernah ke Kalimantan.

“Kematian”, itulah yang berusaha ditampilkan Koko

dalam ceritanya, bahwa kematian itu murni “kehendak

langit”. Dia bercerita ketika Mandor-nya meninggal

hanya karena kepalanya tertimpa kayu tua yang sudah

117

lapuk, yang terjatuh dari sebuah pohon tepat dimana

dibawahnya sang mandor berdiri. Begitu pula dengan

kematian orang tuanya, semuanya murni adalah

“kehendak langit”.

--------------------------------------------------------------------

Seorang ibu muda, duduk didepan Koko, bercerita

panjang lebar dengan seseorang disebelahnya. Aku pikir

yang disebelahnya itu adiknya atau pembantunya. Si ibu

bercerita mengenai suaminya yang seorang perwira

polisi di kota Medan dan hal-hal lainnya yang terkesan

sangat sempurna. Aku berpikir, “Si ibu muda ini

terdengar seperti menyombongkan diri, agar semua

penumpang saat itu dan si supir mendengarkan

kesempurnaan hidupnya”. Tapi aku juga berusaha

meyakinkan diriku bahwa aku terlalu mencurigai isi hati

si ibu muda itu. Medan dan Sumatera Utara begitu

mengagung-agungkan arti kata “perwira”. Budaya

masyarakat Medan memberi penghargaan lebih untuk

pekerjaan aparat pemerintah terutama yang bergelar

perwira, sehingga si ibu begitu bangga menceritakan hal

itu.

“cik.. cik.. cik..” bunyi burung yang berada dalam

sangkar. Seketika Koko menunduk dan mengambil

makanan dalam sangkar dengan lidi, ujung lidi yang

sudah melekat makanan di arahkan ke paruh burung itu,

dan burung itu pun memakannya. Anak berumur 5 tahun,

yang merupakan anak si ibu muda itu langsung melihat

ke belakang. “Wah, ada burung”, katanya.

118

“Burung si Koko inilah, bunyi terus… Ko, hati-hati

burungnya Ko.. Koko ini sudah tua tapi burungnya

masih aktif aja” canda si Ibu muda dengan tawa. Burung

bisa bermakna ganda di medan, dan semua penumpang

merasa bahwa si ibu muda sedang memainkan makna

kiasannya, yang sangat tidak sopan jika diartikan

harafiah. Sontak seisi bus tertawa, si Koko juga, bahkan

koko juga ikut dalam canda gurau yang sedikit nakal itu.

Koko ini orang yang bersahaja kupikir, aku yakin dia

merasa di tertawakan tapi tetap saja dia ikut tertawa.

Tapi tetap bagiku si ibu muda tak seharusnya bercanda

mengenai hal itu, si koko sudah terlalu tua untuk

candaan seperti itu, mengingat ibu itu juga sedang

membawa anak berumur 5 tahunan. Mungkin si ibu

muda sedikit mendengar cerita hidup si Koko yang

diceritakan kepadaku, sehingga terlihat kurang

menghormati. Mungkin beda jika si Koko berkata bahwa

dia punya sebuah mall di medan, pasti si ibu tak berani

bercanda seperti itu. Sekali lagi, aku berusaha berpikir

bahwa akulah yang sudah terlalu curiga pada si ibu muda

ini.

--------------------------------------------------------------------

Kami sudah sampai di siantar, masih 3-4 jam lagi

menuju Medan. Mini bus berhenti disebuah rumah

makan, karena memang sudah waktunya makan malam.

Mini bus melanjutkan perjalanan.

Satu pelajaran lagi dari si Koko, kali ini sedikit asumsi si

koko akan kehidupan, dia berkata:

119

“Dalam hidup, akan ada 3 keuntungan besar yang akan

datang, dan jika kita tidak siap dan jeli dalam

memanfaatkannya bisa jadi kesusahanlah yang akan

datang.”

Setidaknya itulah yang dirasakan si koko dalam

kehidupannya. Aku sih berpikir bahwa mungkin bukan

hanya 3, mungkin 2 atau mungkin 5, tapi yang paling

penting “memanfaatkannya”, setiap anugerah Tuhan

harus disyukuri dan kita harus jeli untuk terkadang

menambil resiko. Tapi si koko juga mengingatkan untuk

harus jeli melihat situasi.

Diapun bercerita, bahwa si adik yang anggota mafia

hongkong, pernah menemuinya setahun lalu,

menawarkan pilihan berat buatnya untuk pindah ke Cina

bersama keluarga dan menjalani bisnis dengan si adik.

Koko ini bingung, dia pun menawarkan sebuah tawaran

agar si adik membawanya ke Cina untuk sementara dia

melihat kemungkinan dia pindah kesana. Si adik

membawanya ke Cina, selama sebulan disana, si koko

memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dia berkata

cuaca salju disana tak akan mampu diterjang tubuh

tuanya yang terbiasa di cuaca tropis. Belum lagi

ketidakmampuan dia dan keluarga berbahasa Mandarin

standar dan tulisannya, dia dan keluarga hanya bisa

berbicara Hokkien. Belum lagi latar belakang si adik

yang seorang mafia, dia mengutamakan keselamatan

keluarganya.

Saya sentak menggagumi tawaran Koko untuk mencoba

tinggal disana dan kejeliannya menganilisis kondisi,

120

terutama konsennya pada keluarga,seorang ayah yang

hebat .

HP Koko berdering lagi, sepertinya hampir setiap 15

menit si anak meneleponnya, menanyakan posisinya

sekarang. Saat itu sedang macet di daerah “pasar

bengkel” kurang lebih 1-2 jam menuju Medan. Seisi bus

seakan sudah bisa merasakan seberapa rindunya si anak

dengan ayahnya yang satu ini.

121

Pelajaran dari Perjalanan 10 jam

(Bagian Ketiga)

Kemudian, si koko bertanya padaku, “aku mau membeli

apa itu namanya, komputer yang bisa di bawa-bawa? “.

“Laptop ko?” tanyaku sambil ingin memberi tahu. Jujur

aku sangat terkejut, mendengar cerita koko mengenai

ketidakpastian finansial keluarganya, dia malah ingin

membeli laptop. Apa yang sedang dipikirkan lelaki tua

ini, tanyaku dalam hati. “iya laptop”, kata si koko,

“anakku laki-laki satu-satunya itu minta dibelikan

laptop, karena dia malu, hanya dia yang tidak bisa

menggunakan komputer di sekolahnya”. Langsung saja

aku ingatkan bahwa anaknya itu masih SMP, dan

kebutuhan akan laptop sudah pasti bukanlah jawaban

untuk dia mempelajari komputer.

Aku berkata kepadanya lebih baik untuk membelikan

anak laki-lakinya itu buku mengenai word, excel dan

sebagainya. “Sebaiknya koko ajak saja dia ke gramedia,

biarkan dia memilih buku yang disukainya, biar dia

mempelajarinya di komputer sekolah saja”, jawabku.

Jujur saja aku menjawabnya sambil memikirkan betapa

berartinya uang untuk membeli laptop, untuk koko pakai

buat bisnis barunya. “Tapi memang, jika koko

membelikannya komputer, akan lebih baik untuk dia

122

belajar ko, tapi bukan laptop ko, itu terlalu mahal”,

jawabku lagi. Aku tersentuh setelah mendengar jawaban

koko setelah itu.

“Aku cuma memiliki dua anak, yang paling tua, yang

perempuan itu, aku tak bisa berharap lebih darinya.

Mungkin Tuhan sudah berkehendak akan kekurangannya

itu, aku hanya bisa merawatnya sampai nyawaku habis”,

jawab koko, dari nada suaranya aku mendengar rasa

sakit dan kepasrahan secara bersamaan. “Anak laki-laki

ku satu-satunya ini, hanya dia yang bisa kuharapkan, aku

hanya ingin agar dia bisa jadi orang yang berhasil dan

mapan. Tapi, umurku yang sudah tua ini, bahkan

membuatku tak lagi bermimpi untuk bisa melihatnya

menikah, menggendong anak, dan membina keluarga”.

“Sisa hidupku akan kuberikan yang terbaik buat dia,

supaya kalaupun nanti, kapanpun aku harus pergi

setidaknya aku sudah berikan yang terbaik buat dia”,

jawab si koko. Aku merasakan keinginan yang kuat pada

diri koko buat dia dapat melihat anak laki-lakinya ini

berhasil dan menggendongkan cucu buatnya, tapi

kepasrahannya kepada kehidupan membuat dia tidak

berani berharap lebih, dia tahu dia tak mampu melawan

waktu. Pembicaraan kami terhentikan oleh suara sesuatu.

Tiba-tiba HP koko berdering lagi, nada suara HP nya itu

adalah lagu batak berjudul “anak medan”. “Anak medan

yang satu inilah”, kata koko kepadaku sambil tersenyum

menandakan bahwa anak laki-lakinya itulah yang berada

123

di ujung telepon. Aku menguping pembicaraan mereka,

aku penasaran akan betapa haru-nya hubungan anak dan

ayah ini. “Pi… bagi pulsa pi…”, suara si anak laki-laki

terdengar dari loudspeaker HP si koko ( Papi adalah

panggilan si anak buat ayahnya ini ). “ahh.. taik mu

lah… lu gak tidur-tidur jam segini, minta pulsa pula”,

jawab si koko yang langsung dibalas oleh tawa kecil si

anak. Tapi tetap si anak tidak tidur buat menunggu

pahlawannya satu ini. Ya, koko ini seorang pahlawan,

bahkan akupun mengakuinya.

Inilah lima tahun penantian si anak, lima tahun

pahlawannya ini pulang dari pertarungannya melawan

besi-besi tua. Pahlawan yang menjalani setiap detik

dengan peluh keringat buat “anak laki-laki harapannya”.

Demi si anak gadisnya yang dengan semua

kekurangannya tapi tetap dengan sepenuh hati

dicintainya ini, dan buat wanita setengah baya yang

dipanggilnya anak-anaknya ibu, yang dicintainya meski

harus berjuang keras melawan usia. Pernikahan yang

dimulai koko di usia yang terlambat dan segala kondisi

jatuh bangun keluarga, tampaknya begitu tenang

diterima si koko yang sudah dididik kehidupan sejak

ditinggal orangtuanya sejak remaja. Kepasrahan koko

akan kehidupan, akan “kehendak langit”, menjadikan dia

kuat tapi tetap penuh kasih dan dedikasi pada keluarga.

“Papi cepatlah datang ya”, kata si anak. “Macet ini, lu

mau gua terbang apa”, jawab si koko. Pembicaraan di

124

HP itu selesai, si koko menatapku tanpa kata, seakan

berkata “inilah anak laki-laki harapanku”. Aku tahu

betapa akan emosionalnya pertemuan hari itu, si anak

menunggu pahlawannya, si ayah ingin segera menjumpai

“harapan”nya. Sejuta kemungkinan akan mereka hadapi,

untuk memulai semua dari awal lagi, mencoba

peruntungan dengan pasrah terhadap “kehendak langit”.

Si ayah bukan hanya akan berjuang melawan

peruntungan tapi juga usia dan tubuhnya yang tua. Tak

terasa sudah tiba di medan, mini bus “Bulungan Indah”

berhenti di terminalnya, saat itu pukul 02.30 pagi dini

hari WIB. Aku turun bersama abangku yang juga dalam

perjalanan itu. Aku masih melihat si koko yang

sepertinya ingin sesegera mungkin menjumpai

harapannya itu. Aku melihatnya, sambil aku berdoa agar

kiranya Tuhan selalu bersama dia dan keluarganya.

Perlahan becak mesin tumpanganku mebawaku semakin

jauh, dan tak bisa lagi melihat si koko yang sedang

mencari tumpangannya ke rumah.

--------------------------------------------------------------------

Kisah ini adalah sebuah perjalanan 10 jam dengan

sebuah pelajaran kehidupan, sebuah kisah singkat akan

kepasrahan dan perjuangan. Sebuah kisah pilu dibalik

sebuah senyum ramah lelaki tua. Ya, bagiku inilah

sebuah perjalanan, ini pula sebuah pelajaran.

Selesai

125

Hati Emas di Sebuah Gereja Kecil

Saya bukan hendak membanggakan gereja saya, oleh

karena itu saya tidak akan menyebutkan nama gerejanya.

Gereja ini adalah gereja kecil, dimana saya sejak kecil

sering beribadah minggu kesana. Gereja ini memiliki

jemaat yang jumlahnya tidak begitu besar, bahkan

tergolong kecil. Jika saya bisa mengambil asumsi

sederhana dari apa yang saya lihat, saya bisa katakan

keluarga jemaat gereja ini memiliki tingkat ekonomi

menengah kebawah dengan mayoritas suku Batak Toba

dan Karo. Hanya beberapa yang membawa mobil,

parkiran yang masih lahan hijau yang dipenuhi rumput

itu pun tidak pernah anda lihat penuh, sebagaimana

biasanya gereja di kota-kota besar.Anda mungkin akan

melihat banyak kesederhanaan dalam gereja ini, yang

hingga saat ini masih menjadi semacam ciri khas yang

bagi saya tak tergantikan.

Maklumlah, jika saat anda bernyanyi di gereja ini, suara

atau nada keyboard ( satu-satunya alat musik yang

dipakai ) kadang sedikit tidak sesuai, itu karena hanya

ada seorang keyboardis, yang memang tidak pernah

kursus khusus. Lelaki tua ini pun mengajarkan anaknya

bermain keyboard, lalu jadilah ada dua keyboardis di

126

gereja ini. Sesederhana itu, tanpa ada tim musik khusus

atau semacam pelatihan oleh profesional yang dilakukan

secara rutin setiap minggunya.

Tetaplah maklum, jika paduan suara perukumpulan para

suami hanya punya satu lagu andalan yang berulang kali

ditampilkan, judulnya “pir ma tondim”. Janganlah

mengeluh, jika anda melihat tempat duduk yang sedikit

kurang nyaman anda duduki, penuh dengan coretan

anak-anak sekolah minggu. Bahkan, di salah satu bangku

ada akan menemukan nama saya “ARION” tergores di

bangku kayu-nya yang sudah cukup tua. Saya selalu

tertawa, tindakan bodoh saya ketika masih anak-anak

masih dapat dilihat orang hingga kini.

Tapi cobalah lirik ke bangku di bagian sedikit agak ke

belakang, anda akan melihat seorang ibu tua dengan

seorang wanita yang tampaknya jauh lebih tua dari dia

duduk disampingnya. Ibu ini berpakaian rapi, sedikit

gemuk, khas sebagaimana ibu-ibu berusia 50 tahunan.

Ibu tua ini sangat anggun meski tidak dipenuhi berbagai

perhiasan, hanya seadanya.Wanita disebelahnya tampak

kurus dengan kulit agak kecoklatan dan ukuran tubuh

yang kecil, wanita ini memiliki gigi yang hampir habis,

ditambah tubuh yang sangat kurus. Jangan heran, jika

ketika semua jemaat berdiri, wanita ini tidak berdiri dan

hanya duduk di tempat .

127

Wanita itu adalah sepupu ibu itu, anak dari saudara

perempuan ayahnya. Anak dari “namboru-nya”, itulah

orang batak menyebutnya. Ibu itu selalu membawa

sepupunya itu ke gereja setiap minggunya. Dia

merawatnya di rumahnya meski dengan segala

kekurangan sepupunya itu. Wanita itu memiliki banyak

kekurangan semacam retradasi mental. Si ibu itu

merawatnya, memakaikannya pakaian yang sederhana

namun sangat rapi dilihat, setiap hari minggu, agar

sepupunya itu mengikuti ibadah hari minggu

bersamanya. Setiap minggu,wanita itu dituntun si ibu

dan selalu duduk disamping si ibu. Hanya itu yang saya

tahu dari “inang” ( panggilan ibu dalam bahasa batak )

itu, selain kenyataan bahwa suaminya lah yang biasanya

berkhotbah di mimbar setiap minggunya. Bagi saya itu

semua cukup untuk meneladani hati emas-nya,

kesediaannya membantu saudaranya. Semoga “anak

Tuhan” yang satu ini dapat memberikan teladan bagi

kita.

128

Keajaiban Kaisarea (Bagian Pertama)

Ini adalah sebuah kisah haru penuh akan rangkaian

campur tangan Tuhan dalam hidup seorang manusia,

dalam sebuah sekolah tempat dimana anak-anak dan

kepolosannya mulai diasah menuju sebuah kedekatan

akan Tuhan dan pemikiran yang bertanggung jawab. Ini

kisah akan sikap penuh kasih senantiasa membawa

keajaiban, sikap penuh rasa syukur senantiasa membawa

campur tangan Tuhan dalam “kemustahilan” yang telah

diciptakan manusia dengan semua keterbatasan

kemampuannya untuk memahami dunia ini.

***

Aku bersekolah di sebuah sekolah dasar Kristen bernama

yayasan Kaisarea, sekolah ini adalah sebuah sekolah

yang masih sangat baru ketika aku masuk dan bersekolah

disana. Aku dan teman-temanku adalah angkatan

pertama di sekolah ini. Kami lah sekumpulan murid

pertama yang oleh sekolah ini berhasil mendapatkan

Ijasah, yang oleh seorang kepala sekolah galak namun

penuh kasih bernama Miss Yusni Sagala, kami

memanggilnya Miss Yus, kami terbentuk lebih matang

dalam menyelesaikan masa kanak-kanak. Sosok ini dan

sekolah ini memberiku sebuah pelajaran akan betapa

rencana Tuhan itu bagaikan rantai yang sambung

129

menyambung untuk mereka yang senantiasa berserah

padaNya.

Sebelas Juli dua ribu sembilan, Aku mengumpulkan

beberapa teman yang dahulu satu kelas di SD untuk

melakukan sebuah reuni kecil-kecilan, “unwell

organized” tapi memberi makna bagi kami. Aku terkejut

dan sangat senang, saat masuk dan menemukan Miss

Yusni Sagala, yang terakhir kabarnya saya dengar

mengalami sakit yang hebat dan bahkan diisukan sudah

meninggal dunia oleh salah satu temanku, sedang berada

di ruang kepala sekolah dengan begitu sehat dan penuh

semangat. Sejenak, aku berpikir aku bermimpi, saat

sedang menunggu kedatangan teman-teman yang lain,

aku melihat sosok miss yus, mungkin hanya mirip

pikirku lagi.

Aku langkahkan kakiku, yang kini dua kali lebih panjang

dari langkah kecil seorang arion empat belas tahun lalu,

yang oleh mamakku aku dibawa ke sekolaha ini untuk

menyelesaikan sekolah dasar dan menghabiskan masa

kecilku bersama teman-teman dan miss Yus. Aku

masuki gerbang yang sejak aku tinggal delapan tahun

lalu belum pernah dicat ulang, kulewati pos kecil tempat

besi tua yang dipukul menandakan waktu pulang atau

istirahat. Besinya sama, dindingnya sama, lubang

didindingnya sama hanya lebih besar kali ini, semua

sama, yang berbeda hanya lapangan tanah kini sudah

dipasangi blok merah menetupi semuanya.

130

Aku masuki ruangan kepala sekolah, aku tanpa berkata

apa-apa langsung menyalam ibu tua sedikit gemuk

berkacamata itu, aku langsung berkata “Miss Yus, masih

ingat aku? Aku arion”, belum sempat aku melanjutkan

dia langsung menegaskan kalau aku arion purba siboro,

dilihatnya jumper-ku yang bertuliskan asal kampusku

dengan ucapan kagum, disalam dan dirangkulnya aku.

“Ini bukan kebetulan” itulah hal yang paling dia

tegaskan kepada kami mengenai kedatangan kami, yang

diantaranya tidak semuanya beruntung sedang menjalani

kuliah. “Ibu baru seminggu lalu menjabat kepala sekolah

lagi disini, mari kukenalkan ke guru-guru yang sudah

sejak lama berganti-ganti”, kalimatnya itu membuatku

bingung, kabar mengenai dia dan penyakit kanker

rahimnya dan isu-isu lainnya saling beradu dalam

pikiranku. Dan kini aku menemukannya di ruangan yang

sama dengan delapan tahun lalu, meski dia mengidap

kanker stadium empat?

131

Keajaiban Kaisarea (Bagian Kedua)

Ada sebuah pelajaran berharga yang kudapat saat

kembali menemui miss yus sejak delapan tahun yang

lalu, kali ini bukan pelajaran untuk tidak cakap kotor,

yang dahulu dilakukannya dengan memukul dan

menjewer kami, tapi sebuah pelajaran mengenai

kehidupan.

Kami, anak murid miss Yus delapan tahun lalu, kini

berkumpul dan bercerita di sebuah ruangan. Miss Yus

membelikan sekotak air mineral dan meninggalkan kami

dalam ruangan. Tanpa sepengetahuan kami, ia sedang

menangis di dalam ruangan kantornya sembari berdoa.

Setelah itu, dia masuk dan menceritakan kami

kehidupannya dan sekolah ini sekarang.

Pelajaran pertama mulai dari kepasrahan akan Tuhan.

Kanker rahim telah merenggut kesempatannya memiliki

keturunan, tapi bagiku itu tak merenggut kesempatannya

memiliki anak dan menjadi seorang ibu, bahkan ibu dari

tiga puluh dua orang anak di setiap kelasnya. Ya, sikap

keibuannya begitu terasa kala suaranya bergetar

memarahi dan menyemangati anak-anak didiknya.

Tahun 1994, ia divonis sebagai pengidap kanker rahim,

132

dan dokter pun sudah memprediksi tahun 1994 tak akan

bisa dilewati lagi olehnya. Dia menyimpan berita itu

hanya untuk dia dan Tuhan, dan ternyata kepasrahannya

membuatnya mampu menjalani hidup dengan penuh

energi, bahkan sejak tahun 1995 sampai 2001 dia telah

menemani 32 anak angkatan pertamanya hingga lulus

dan salah satunya menggaguminya dan menuangkannya

menjadi tulisan ini. Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain

di kehidupannya, tahun 2003 ia tak mampu lagi

bergerak, ia pingsan di tempat kerjanya dan tak mampu

lagi menjalani profesi sebagai kepala sekolah.

Kepasrahan akan Tuhan hanya itulah yang dia pegang

saat itu, meski perutnya telah membesar dan kulitnya

menghitam akibat kanker stadium empat sudah hampir

pasti merenggut nyawanya.

Pelajaran kedua adalah pertolongan Tuhan itu nyata dan

sikap penuh kasih akan selalu membawa keajaiban.

Keadaanya yang terus memburuk ternyata tak

membuatnya lupa akan Tuhan, dan seketika itu juga

Tuhan menunjukkan bahwasanya kuasa-Nya terlalu

besar untuk analisis seorang dokter yang sudah

memprediksi nyawa Miss Yus tinggal beberapa minggu

dan hari lagi. Ternyata semua orang yang dahulu

mengenal Miss Yus dan sikapnya yang penuh kasih

dengan Kuasa Tuhan menempatkan mereka sehingga

dapat menolong Miss Yus. Mulai dari mantan guru SD

yang mengajar kami hanya dua tahun yang kini sudah

133

bekerja sebagai protokoler presiden, membantu

mendanai pengobatan miss yus, hingga salah seorang

mantan muridnya ketika ia masih mengajar di salah satu

perguruan swasta lain.

Mantan muridnya yang adalah seorang keturunan

tionghoa membawanya ke Taiwan dan Cina untuk

menjalani pengobatan metode baru yang masih

dikembangkan. Semuanya murni dibiayayai oleh mantan

muridnya itu, dan dia pun pasrah pada Tuhan, meski

secara jujur sang mantan murid mengatakan bahwa dia

adalah kelinci percobaan untuk metode pengobatan baru

itu. Kuasa Tuhan pun dengan nyata menjamah miss Yus,

perlahan kankernya mulai pulih hingga akhirnya dia

melakukan pengangkatan kankernya yang tinggal seberat

tiga kilogram di salah satu rumah sakit di medan, yang

bahkan dokter dan perawat yang menanganinya adalah

mantan orang tua murid yang namanya masih dengan

jelas dihapalnya. Kini, dia sudah kembali semangat

menjalani masa-masa penyembuhan setelah tujuh tahun

berjuang mengalahkan kanker. Hingga akhirnya dia

membuat sebuah pilihan untuk menjabat kembali sebagai

kepala sekolah yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan.

Namun masih ada sebuah cerita mengapa ia sampai

menangis melihat kedatangan kami saat seminggu tepat

setelah ia kembali menjabat kepala sekolah.

Cerita ini tidak dilanjutkan, karena hingga saat ini

134

penulis belum menemui kembali tokoh dalam cerita

untuk membuat tulisan yang lebih lengkap. Mohon Maaf

135

Kumpulan tulisan ini adalah hasil tulisan saya yang

dapat anda baca juga di www.arionbatara.webs.com

Arion Batara Purba Siboro