Kumpulan File Kiai Desamakalah

download Kumpulan File Kiai Desamakalah

of 45

Transcript of Kumpulan File Kiai Desamakalah

BAB I IDENTITAS BUKU Judul Dimensi Buku Penulis Penerbit : Perlawanan Kiai Desa : xxxii 279 Halaman, 14,5x21 cm. : Dr. Abdul Djamil : LKiS Yogyakarta Kerjasama dengan ILMAN, Semarang Gambiran UH V/48 A Yogyakarta 55161 Telp./ Faks.: (0274) 382868 E-mail: [email protected] Cetakan I Percetakan : Januari 2001 : LKiS Yogyakarta Jl. Panjaitan 91 Yogyakarta 55141 Telp./Faks. (0274)417993 E-mail: [email protected] Menurut kelompok kami, Buku dengan judul Perlawanan Kiai Desa karangan Dr. Abdul Djamil, dilihat dari cover memiliki cover yang cukup menarik, perpaduan warna antara hijau tua, hijau muda , putih, kuning dan hitam, dan warna hijau yang paling dominan diantara warna yang lainnya. Dimana, keadaan buku yang menggambarkan tentang nuansa islami, dimana warna hijau diidentikkan dengan warna Islam. Perlawanan Kiai Desa, perlawanan yang dilakukan oleh seorang Kiai yaitu KH. Ahmad Rifai di Desa Kalisalak, mungkin karena hal itu, maka buku ini diberi judul Perlawanan Kiai Desa. Perlawanan yang dilakukan KH.

Ahmad Rifai terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dianggapnya tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Pada cover depan buku Perlawanan Kiai Desa karangan Dr. Abdul Djamil, terdapat beberapa gambar yang mewakili tema dari apa yang dibahas didalam buku Perlawanan Kiai Desa karangan Dr. Abdul Djamil itu, diantaranya adalah gambar seorang koloni dari pemerintahan Hindia Belanda dimana gambar itu menggambarkan adanya kekuasaan dari pemerintahan hindia belanda pada kaum pribumi. Dan untuk Kiai Rifai sendiri, mereka merupakan musuh yang harus dilawan, karena KH. Ahmad Rifai beranggapan bahwa mereka merupakan seorang yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh para ulama. Selanjutnya, terdapat gambar seseorang yang terlihat pada sebuah jendela. Dan menurut kelompok kami, hal itu menggambarkan KH. Ahmad RifaI yang diasingkan oleh pemerintah, karena, pemerintah menganggap dia sebagai seorang yang selalu membuat kekacauan, Dimata pemerintah Belanda, sosok KH. Ahmad RifaI adalah ulama yang dipandang dapat mengancam stabilitas politik. KH. Ahmad RifaI mengajarkan pada orangorang tentang Islam dengan semangat yang mengandung unsur permusuhan terhadap pemerintah. Maka dari itu, KH. Ahmad RifaI ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah, kemudian dia dimasukan kepenjara.. Dan dari gambar itu, terlihat bahwa seseorang yang dikurung dan itu digambarkan pada KH. Ahmad RifaI yang dipenjara dan segala sesuatunya diatur oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada cover belakang, tidak terdapat gambar-gambar seperti yang tercantum pada cover depan, cover belakang yang hanya berwarna hijau muda dan hijau tua dan hanya disertai dengan tulisan yang menceritakan sedikit dari isi yang dibahas pada buku perlawanan Kiai Desa karangan Dr. Abdul Djamil.

BAB II INTISARI BUKU

1. KH. AHMAD RIFAI DAN KARYA-KARYANYA

A. Kondisi Makro dan Mikro Abad ke-19 Dalam konteks pemikiran dan gerakan Islam secara makro, abad ke19 memiliki arti penting terutama jika dilihat dari perubahan yang terjadi di berbagai kawasan Islam. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari suasana sebelumnya dimana dunia Islam tidak berdaya menghadapi ekspansi bangsa Eropa. Perubahan tersebut merupakan tuntutan di berbagai kawasan yang dipelopori oleh para pemikir yang diantaranya membentuk komunitas dalam bentuk gerakan sebagaimana terjadi berbagai kawasan seperti Turki, India, Mesir, dan juga di Indonesia. Dalam konteks menghadapi kolonialisme, ada dua kecenderungan yang diperlihatkan tokoh-tokoh agama pada berbagai wilayah penjajahan Eropa sebagaimana diperlihatkan oleh kondisi di tiga kawasan, yaitu India, Turki, dan Mesir. Pertama, dan teknologi. pemikiran yang menghendaki asosiasi dengan

kebudayaan Barat, khususnya dalam mengakomodasi ilmu pengetahuan

Kedua, pemikiran yang menghendaki perbaikan umat Islam tanpa harus mengakomodasikan budaya Barat bahkan pada tingkatan tertentu justru menolaknya karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dua corak pemikiran diatas juga dikenal dalam konteks Islam Indonesia abad ke-19. Corak pertama terlihat pada pemikiran ulama yang tidak mau kompromi dengan pemerintahdan bahkan cenderung menentangnya. Hal ini tercermin dalam pemikiran ulama Kiai Mojo dan Kiai Kasan Besari yang keduanya memberikan dukungan terhadap perjuangan Diponegoro. Berbeda dengan ulama diatas, Kiai RifaI juga termasuk dalam kategori antipemerintah Belanda, namun hanya terbatas pada tulisan-tulisan yang berisi muatan antikekuasaan dan instrumennya yang dikemukakan dalam kerangka agama. Corak kedua, terlihat pada pemikiran ulama yang bersifat akomodatif terhadap keberadaan Pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini terlihat pada sejumlah tokoh yang menempati kedudukan sebagai pejabat formal seperti penghulu, naib, modin, serta jabatan informal seperti merbot (pengurus masjid). Kekhawatiran meningkat pada terhadap abad implikasi politis ibadah haji semakin

ke-19

sehingga

pemerintah

melakukan

pembatasan-pembatasan melalui sejumlah resolusi pada saat Gubernur Deandles menjabat. Raffles yang menjabat sebagai gubernur pada tahun1811-1816 lebih tegas lagi menyatakan bahwa setiap orang Arab atau orang Jawa yang dating dari Arab dianggap sebagai orang suci yang memiliki kekuatan supernatural. Dalam posisi seperti inilah mereka dapat menjadi instrumen berbahaya terhadap pemerintah. Perhatian terhadap para haji yang pulang dari Mekah ini terlihat lebih intensif pada pertengahan abad ke-19 dengan terbitnya Resolusi 1859 yang antara lain berisi (1) orang yang akan menunaikan ibadah haji harus memperoleh sertifikat dari bupati yang menjelaskan bahwa ia memiliki uang untuk perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan; (2) sesudah kembali dari Mekah ia harus menjalani ujian haji untuk membuktikan bahwa ia benar-benar telah menunaikan ibadah haji dari

Mekah; dan (3) hanya mereka yang lulus dari ujian ini yang dapat memakai gelar dan pakaian haji. Dari gambaran diatas, tersimpul bahwa hubungan antara

pemerintah Belanda dengan kaum muslim Indonesia pada abad ke-19 diwarnai oleh loyalitas yang diperlihatkan oleh para pegawai (termasuk didalamnya tokoh Islam) di satu sisi, dan meningkatnya perlawanan atas nama agama dengan berbagai variasinya di pihak lain. Studi Islam oleh orang-orang Belanda bukan semata-mata didasarkan pada tuntutan ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu menjadi bagian tak terpisahkan dari politik Islam Hindia Belanda.

B. Biografi Kiai RifaI Kalisalak Menurut informasi yang hingga kini masih menjadi keyakinan kalangan Rifaiyah, K.H. Ahmad Rifai dilahirkan pada tahun 1786, di Desa Tempuran yang terletak di sebelah selatan Masjid Besar Kendal. Ayahnya bernama Muhammad Marhum. Pada tahun 1833, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Semarang dan kemudian menetap disana selama 8 tahun. Pada abad ke-17 terdapat adanya hubungan saling silang para ulama yang menciptakan komunitas intelektual internasional yang saling berkaitan satu sama lain.

C. Karya-karya dan Kedudukannya di Kalangan Rifaiyah Hingga sekarang belum ada kepastian mengenai jumlah tulisan K.H. Ahmad Rifai, meskipun telah dibuat daftar nama kitab oleh kalangan pengikutnya. Sesuai dengan penuturan arsip pemerintah colonial, diantara kitab itu ada yang dirampas pemerintah karena dianggap mengandung provokasi yang berbahaya bagi stabilitas politik. Sebagian kitab tersebut masih tersimpan pada bagian manuskrip Timur (oosterse letteren en geschiedenis) perpustakaan Universitan Leiden. Kitab tersebut merupakan koleksi dari sejumlah tokoh yang pernah bertugas sebagai

pejabat pemerintah Hindia Belanda seperti Snouck Hurgronje, Hazeau, D. A. Rinkes, dan G. W. J. Drewes. Snouck Hurgronje dengan 5 koleksi, yaitu: 1. Tanbih dengan nomer kode LOr 7520 dalam bentuk syair 2. Husn al-mithalab dengan nomor kode LOr 7521 dalam bentuk syair, menjelaskan tentang Ushul, Fiqih, dan Tasawuf3. Takhyirah sebanyak 16 halaman dengan nomor kode LOr 7522,

berbentuk syair, menjelaskan tentang syahadat 4. Abyan al-Hawaij nomor kode LOr 7523 terdiri atas tiga kitab 5. Nazham Arfa dengan nomor kode LOr 7524 sebanyak 17 halaman membicarakan iman dan syahadat. Rinks dengan 7 koleksi, yaitu: 1. Tasyrihah al-muhtaj dengan nomor kode LOr 8567 2. Nazham Athlab dengan nomor kode LOr 8565 3. Nazham Tazkiyah dengan nomor kode LOr 8566 4. Syarih al-iman dengan nomor kode LOr 8568 5. Tasfiyah dengan nomor kode LOr 8569 6. Husn al-mathalib dengan nomor kode LOr 8570 7. Nazham Tahsinah dengan nomor kode LOr 8571 G. W. J. Drewes, dengan 4 koleksi dua diantaranya memiliki judul yang sama, yaitu Riayah al-Himmah, sementara dua lainnya masingmasing berisi tiga kitab yang dikumpulkan menjadi satu, yaitu: 1. Satu bandel dengan kode LOr 11001 sebanyak 469 halaman, terdiri dari a. Bayan yang ditulis pada tahun 1840

b. Imdad yang ditulis pada tahun 1845 c. Satu tulisan tanpa judul dalam bentuk prosa yang ditulis pada tahun 1838 2. Satu bandel dengan kode LOr 11004 sebanyak 518 halaman terdiri dari: a. Takhyirah dalam bentuk prosa yang ditulis pada tahun 1848 b. Tanbih yang ditulis pada tahun 1860 c. Kitab Tarikat dalam bentuk syair yang ditulis pada tahun 1841 Pada umumnya, kitab-kitab yang ditulis Kiai RifaI berbentuk syair dengan muatan ajaran islam meliputi akidah, syariah, dan tasawuf. Meskipun demikian, ada pula yang ditulias dalam bentuk prosa. Kitabkitab tersebut biasa disebut Tarajumah. Diantara contoh kitab-kitabnya, dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Syarih al-iman 2. Riayah al-himmah 3. Kitab bayan 4. Tasyriha al-muhtaj 5. Nazham Tasfiyah 6. Abyan al-hawaij 7. Asnal Miqsad 8. Tabyin al-islah Dari jumlah tulisannya yang mencapai 69 kitab, dapat

diklasifikasikan kedalam dua golongan kitab. Pertama, dilihat dari segi isinya, dapat dikelompokkan menjadi tiga

1. Memuat tiga ilmu keislaman Ushul, Fiqh, dan Tasawuf yang dibicarakan secara urut 2. Memuat satu persoalan saja dari masing-masing ilmu keislaman diatas seperti masalah iman an kufur, shalat jumat, qadha mubadarah, dan perkawinan 3. Memuat persoalan umum menyangkut nasihat kepada umat islam dalam hal mencari guru, hubungan dengan pemerintah kafir, alim, adildan alim fasiq. Kedua, dilihat dari segi bentuk penuturannya, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu bentuk nazham (syair) empat-empat dan bentuk prosa (karangan bebas). Kitab-kitab yang disebutkan diatas mempunyai kedudukan

tersendiri dikalangan pengikut Rifaiyah sehingga sangat mempengaruhi cara mereka beragama. Ada beberapa indikasi untuk menjelaskan sejauh mana penghargaan warga Rifaiyah terhadap kitab tulisan Kiai RifaI tersebut. 1. Kitab Tarajumah dipelajari secara khusus dipondok-pondok

pesantren Rifaiyah dan beberapa kitab diantaranya dijadikan sebagai syarat untuk membaca kitab-kitab berbahasa arab 2. Kitab Tarajumah dijadikan sebagai ujung tombak dari pemahaman agama dikalangan pemula 3. Kitab tersebut dipelajari secara berjenjang mulai dari belajar membaca tulisan berwarna hitam saja sampai dengan belajar membaca tulisan warna merahyang biasanya merupakan kutipan dari al-quran, hadits, atau perkataan ulama.

2. PEMIKIRAN ISLAM KH. AHMAD RIFAI

A. Pemikiran di Bidang Ushuluddin

Kiai Rifai menggunakan istilah Ushuluddin untuk menjelaskan bidang ilmu keislaman yang berkaitan dengan masalah pokok agama. Seperti diketahui, dalam setiap karyanya Rifai selalu menyatakan dirinya pengikut madzhab Ahlussunnah wal jamaah (sering disebut Ahlussunnah atau Sunni). Untuk mengetahui seberapa jauh pandangan tersebut memiliki kesesuaian dengan paham Ahlussunnah, dapat diketahui melalui beberapa persoalan teologi yang sekaligus juga dipakai sebagai titik tolak penggolongan atau kategorisasi di bidang Ushuluddin ini. Untuk melihat pemikiran Rifai di bidang Ushuluddin, digunakan kriteria penggolongan berdasarkan persoalan akidah yang menjadi perhatian ulama dari kalangan Ahlussunnah. Persoalan-persoalan tersebut antara lain : 1. Masalah Iman Beberapa persoalan yang muncul dari masalah iman ini antara lain ada tiga, yaitu (1) unsur-unsur iman, (2) iman bertambah atau berkurang, dan(3) perlu dan tidaknya menyertakan akal dalam iman. Terhadap persoalan pertama, Rifai mengkaitkannya dengan masalah syarat sahnya iman dalam arti elemen yang harus ada bagi sahnya iman seseorang. Unsur iman itu pembenar dalam hati dan ditindaklanjuti dengan sikap pasrah dan ketaatan pada aturan agama. Perbuatan menjadi bukti keimanan seseorang sehingga kemaksiatan akan berakibat mengurangi keimanan dan bahkan dapat menjadikan kufur. Pandangan mengenai iman dan kufur yang cukup kontroversial inilah yang kemudian hari memiliki implikasi cukup besar menyangkut keberadaannya sebagai tokoh agama yang dianggap memiliki bahaya tinggi. Dari catatan Biro A serta laporan berbagai kalangan yang merasa terluka oleh Kiai Rifai, terlihat bahwa di antara kitab yang dianggap menyebarkan permusuhan adalah Syarh al-iman dan Nadham Wiqayah. 2. Masalah Islam Jika al-Asyari hanya memperbincangkan masalah iman dalam hubungannya dengan perbuatan seseorang, maka tokoh Ahlussunnah

semisal al-Ghazali melihat persoalan iman dan Islam memiliki kaitan erat karena iman adalah pekerjaan konkret. Di sini islam memiliki cakupan lebih umum dibandingkan dengan iman karena sudah mencakup pekerjaan hati, lisan, dan amal dengan anggota badan. Formulasi rukun islam lima, ditemukan dalam kitab-kitab yang beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat sehingga berhasil membentuk opini. Islam terdiri dari lima rukun sehingga tidak dapat disebut Islam tanpa yang lima ini. Menurut Rifai, rukun Islam itu satu, yakni membaca kalimat syahadat. Hal ini tampak dalam beberapa tulisannya. Dengan penjelasan ini, Kiai Rifai bermaksud mengetengahkan penerapan ajaran Islam sesuai dengan arti harfiah maupun istilah seperti penerapan kata rukun pada masalah iman, shalat, jual beli, nikah, dan haji. Sebenarnya masalah ini memang memiliki unsur kemiripan dengan persoalan klasik seputar hubungan antara perbuatan dengan masalah iman dan kufur. Jika seseorang melakukan dosa besar, maka bagi kalangan Khawarij menyatakan orang ini adalah kafir, sebaliknya kalangan Murjiah menyatakan masih mukmin dan selanjutnya mengenai statusnya di serahkan kapada Allah. Jika Kiai Rifai mengetengahkan bahwa rukun Islam itu satu adanya, yakni membaca dua kalimat syahadat, dimaksudkan sebagai penegasan bahwa kalimat syahadat itulah yang merupakan prasyaratan akan keislaman seseorang. Dilihat dari segi pentingnya lima unsur yang harus hadir pada keislaman seseorang, antara Ahmad Rifai dengan ulama yang berpandangan rukun Islam itu lima, tidak jauh berbeda, namun ia tetap dipandang sebagai ulama yang menyebarkan ajaran sesat, sehingga sejak masa kolonial sampai dengan pasca wafatnya isu ini tetap merupakan hambatan dalam interaksidengan umat islam lainnya. Dari kalangan ulama, dapat dilihat pada perdebatan antara Haji Pinang dengan Kiai Rifai perihal tiga masalah, yakni jumatan di masjid besar, pernikahan, dan rukun Islam. Perdebatan itu akhirnya dimenangkan oleh Haji Pinang dan Kiai Rifai dipermalukan dei depan umum serta menyesali pandanganpandangan yang pernah dikemukakan sebelumnya. Jika dibandingkan antara pandangannya mengenai rukun Islam dengan persoalan iman dan kufur, terlihat adanya ketidak sesuaian ketika ia menyatakan bahwa

orang yang melakukan maksiat besar termasuk dalam kategori kafir, sementara orang yang meninggalkan shalat dipandang tidak keluar Islam. Kontradiksi ini dimungkinkan oleh orientasi pandangannya mengenai dua hal di atas yang memang berbeda sama sekali. Dalam persoalan rukun, ia tak dapat melepaskan diri dari orientasi dakwah kepada masyarakat pada waktu itu, yakni abad sembilan belas masih berada dalam tahapan yang memerlukan penjelasan agama sesuai dengan bahasa mereka. Oleh karena itu, penerjemah kitab Arab ke dalam bahasa Jawa yang mudah dimengerti masyarakat merupakan suatu keharusan. Sementara dalam persoalan perbuatan maksiat yang terkait dalam kekuasaan, ia tertuntut harus memberikan penegasan yang dapat menjadi alat untuk menciptakan jarak dengan penguasa pada waktu itu. Oleh karena itu, predikat kafir yang diberikan kepada mereka itu masuk akal dan bahkan inilah bukti bahwa ajaran teologinya bersifat sangat peduli dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh umat pada waktu itu. Pandangannya ini mengandung arti adanya pemberian harapan bagi orang-orang yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim, namun karena sesuatu hal masih tidak dapat menunaikan kewajiban agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Dengan kata lain, situasi dimana tingkat pemahaman agama masyarakat masih memerlukan bimbingan, sangat membutukan ajaran agama yang masih memberi harapan pada saat masih adanya kemungkinan mengubah ketaatan orang. 3. Masalah Sifat Tuhan Pembucaraan mengenai sifat Tuhan sebenarnya merupakan

persoalan klasik ketika penerapan sifat bagi Allah menimbulkan keberatan dari beberapa pihak. Di antara permasalahan yang muncul adalah adanya anggapan bahwa Tuhan tidak boleh disifati karena akan mengandung dualisme. Dengan kata lain, akan menimbulkan kesan berbilangnya yang qadim dan ini akan mengakibatkan keesaan Tuhan menjadi terganggu. Kalangan Mutazilah semisal Wasil bin Atha menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat disifati denngan sifat yang lepas dari esensi-Nya. Berkuasa, berkehendak, dan hidup termasuk dalam esensi Tuhan. Pandangan

seperti ini memperlihatkan adanya kontradiksi antara penuturan wahyu dengan kesimpulan akal. Ketika wahyu menyatakan bahwa Allah Mahakuasa (qadir), Mahatahu (alim), Maha Mendengar (sami), Maha Melihat (bashir), dan lainlain, akal berkesimpulan bahwa sifat tersebut harus melekat pada yang disifati dilihat dari segi waktu. Pandangan mengenai sifat yang berada dalam ruang lingkup mempertahankan Allah dari kemungkinan tercemar keesaan-Nya, memang menjadi ciri pembahasan kalam pada fase-fase hingga generasi setelah al-Asyari, namun kemudian mengalami perumusan ke arah yang lebih sederhana namun rinci sebagaimana terlihat pada kitab-kitab yang dipandang sebagai penyambung lidah Ahlussunnah. Penjelasan mengenai sifat Allah dalam kitab yang disebutkan di atas, masih menggunakan semangat pembicaraan sejalan dengan tuntutan keadaan, yakni menjawab pandangan Mutazilah. Pandanga Kiai Rifai dalam persoalan sifat ini juga menekankan penjelasan yang bersifat teknis. Dalam rumusan sifat Aallah dan Rasul-Nya, sebenarnya mengandung pengulangan tradisi masa klasik Islam ketika terjadi perdebatan sengit untuk mempertahankan keesaan Allah. Jika Mutazilah meniadakan sifat Allah yang terpisah dengan esensi-Nya, tak lain bertujuan agar tauhid allah tidak tercemar oleh adanya hal-hal qadim selain dari pada-Nya. 4. Perbuatan Mausia Perbuatan manusia menjadi persoalan kontroversial dalam

pemikiran ulama klasik karena intervensi akal manusia dalam memahami hakikat kebebasan manusia dalam perbuatannya. Jabbariyah yang moderat berpendapat bahwa manusia memiliki kekuasaan meskipun tidak memberi kepastian. Paham Jabbariyah yang ekstrim dinisabatkan kepada Jaham bin Sofwan yang menyatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak dapat disifati dengan sifat mampu karena ia tidak memiliki kekuasaan dan kehendak. Kalangan asyariyah yang memperoleh dukungan penguasa serta umat Islam pada waktu itu berpeluang untuk mengembangkan ajaran melalui kitab-kitab yang ditulis

secara meluas dan kemudian tersebar di berbagai belahan dunia termasuk Indonnesia. Kitab-kitab yang sering disebut kitab kuninng ini dapat dikatakan sebagai penyambung gagasan tradisi Ahlussunnah. Oleh karena itu, dalam lingkup Indonesia pemahaman agama juga tak lepas dari tradisi ini sebagaimana diperlihatkan oleh dunia pesantren dan masyarakat pada umumnya. Kiai Rifai sebagai pengikut Ahlussunnah merupakan bagian dari mata rantai tersebut yang memberikan penjelasan dalam tiga kitabnya, yakni Riayah al-Himmah, Asn al-Miqsad, dan Abyan al-Hawaij. Menurutnya, pandangan Qadariyah dan Jabariyah masuk dalam kategori bidah yang sesat dan karenanya jangan sampai diikuti. Pandangan teologis mempunyai pengaruh pada sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh penganut paham Asyariyah termasuk juga Rifaiyah sebagaimana tercermin dalam tulisan Ahmad Rifai maupun tingkah laku para pengikutnya. Penjelasannya mengenai rukun keenam dari rukun iman, yaitu iman kepada qadha dan qadar mencerminkan pahamnhya megenai perbuatan manusia yang mengikuti pola pemikiran Asyariyah. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa ahmad Rifai tidak menanggapi prinsip keadilan Allah sebagaimana dikemukakan oleh kalangan rasionalis seperti Mutazilah. Mereka berpendapat bahwa Allah baru dikatakan adil jika manusia memiliki kebebasan berbuat sehingga jika ia masuk neraka kelak merupakan akibat dari pilihannya sendiri. B. Pemikiran di Bidang Fiqh Dalam bidang fiqh, Ahmad Rifai menyatakan dirinya sebagai pengikut madzhab Syafii sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tempat pada bagian awal dari setiap kitab yang di tulisnya. Dari kitab-kitab yang ditulis Ahmad RifaI, dalam hal ilmu fiqh ahmad rifaImyatakan dirinya sebagai penganut madzhab safii. Selanjutnya bila dilihat dari paradigma pemikiran dan gerakan islam, sebenarnya ia berada dalam fase modern dimana ada kecenderungan kuat untuk mengembalikan citra islam klasik yang banyak mengahasilkan

ijtihad dan sebaliknya memerangi taqlid kepada madzhab. Hal tersebut dapat dilihat pada pemikiran at-Tahtawi (!801-1873) yang mengisyaratkan untuk kembali membuka pintu ijtihad, hanya saja ia tidak menyatakannya secara terang-terangan dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pada waktu itu. Namun demikian, ajakan untuk ijtihad hanya menjadi salah satu kecenderungan memahami agama dari kalangan tertentu saja, sebab disisi lain justru timbul semangat bermadzhab yang juga melanda pemikiran islam di berbagai Negara, termasuk di Indonesia. Upaya untuk mengembalikan kejayaan islam masa lalu dalam dunia ilmu pengetahuan, terdapat dua hal yang menjadi hambatan, yaitu: pertama, tidak ada lagi hubungan antar ulama dari berbagai Negara islam, dan yang kedua, terputusnya hubungan ulama dengan kitab-kitab para imam. Jika sebelumnya masih dijumpai adanya kecenderungan untuk mengkaji kitab-kitab tulisan dari imam madzhab dan selanjutnya dijadikan bahan telaah, maka pada periode ini muncul kecenderungan untuk mencukupkan diri dengan kitab-kitab yang disusun pada masa kemunduran islam. Ada beberapa kemungkinan tentang tidak adanya hubungan antarulama dari berbagai Negara, lebih banyak berkaitan dengan maju dan berkembangnya semangat ijtihad sebagaimana terjadi dimasa keemasan pemikiran islam pada periode klasik. Hanya saja semangat bermadzhab masih mewarnai percaturan keilmuan ini dan sebagai akibatnya islam di Nusantara banyak didominasi oleh madzhab Syafii. Hal ini lah yang mengilhami semangat mengikuti kepada salah satu di antara madzhab besar yang ada. Seorang Ahmad RifaI yang menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari budaya semacam ini. Dalam salah satu kitabnya, ia menyatakan bahwa mengikuti madzhab merupakan suatu keajiwaban bagi orang-orang yang masih awam dalam persoalan agama. Kecenderungan untuk taqlid terhadab bermadzhab diperjelas oleh Ahmad RifaI sebagaimana dinyatakannya dalam salah satu kitabnya, berikut penggalannya;

Cukup taqlid salah sawijine pinilahur Anut ing imam SyafiI ilmu pitutur Wajib ngaweruhi ing pangeran ilmune Ing imam kang neja ditutburi tinemune Artinya : Cukup taqlid pada salah satu yang luhur Ikut imam syafiI ilmu pitutur Wajib menetahui pada aturan ilmunya Pada Imam yang bermaksud untuk diikuti Maka yang dilakukan Ahmad RifaI merupakan dalam rangka menyesuaikan dengan tingkat perkembangan pemahaman keagamaan pada lingkungan dimana ia berada merupakan orang-orang yang awam, dilihat dari minimnya pesantren, dan lebih jauh dari itu dengan tumbuh dan berkembangnya suasana mengikuti tradisi bermadzhab , khususnya madzhab syafii. Penelitian yang dilakukan oleh Van den Berg atas kitabkitab agama yang beredar di pesantren Jawa dan Madura pada tahun 1885. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan adanya penggunaan kitab-kitab Syafiiyah. Cara beragama yang dikembangkan oleh Ahmad RifaI pada pertengahan abad Sembilan belas ternyata masih bertahan hingga periode sesudahnya dan pada perkembangan selanjutnya menjadi corak keagamaan kalangan yang mengaku sebagai pengikut Ahlussunah seperti Nahdhatul ulama yang memilih salah satu di antara empat madzhab. Penelitian Martin van bruinessen yang memperlihatkan bahwa fakta yang pernah ditemukan oleh van den Berg tahun 1886 masih berlaku. Dalam bidang fiqh misalnya, kitab-kitab yang masih dipakai di pesantren diantaranya Fath al-Muin, Minhaj at-Thalibin, Safinah an-Najah dan lain

sebagainya. Kitab-kitab tersebut yang menjadi mata rantai penyambung tradisi madzhab safiI di Indonesia. Pengamalan madzhab SafiI dimungkinkan mengalami variasi

sehubungan dengan pandangan para imam Safiiyah yang tidak selalu sama. Perbedaan yang timbul oleh perbedaan pandangan di kalangan ulama SyafiIyah tersebut pada umumnya tidak menimbulkan konflik intern tapi dapat menimbulkan persoalan pada komunitas yang berbeda. Sekalipun KH. Ahmad RifaI menyatakan dirinya sebagai pengikut Syafiiyah, dan menggunakan kitab-kitab syafiiyah tetapi dalam kenyataannya, ia mengalami beberapa persoalan dengan pandangannya yang dianggap kontroversial dalam bidang hukum islam. diantaranya : 1. Masalah pelaksanaan Shalat Jumat Persoalan shalat jumat merupakan salah satu pemicu konflik dengan kalangan di luar pengikutnya. Inti permasalahannya terletak pada adanya perbedaan dalam menerapkan madzhab asy-syafiI di tengahtengah masyarakat pada wakti itu hingga sekarang. Shalat jumat baru bisa didirikan jika memenuhi persyaratan tertentu. Salah satu diantaranya adalah bilangan orang yang akan mendirikan shalat jumat menjadi syarat sah shalat dengan di ikuti oleh empat puluh orang Oleh karena itu ia menyatakan secara khusus dalam nya yang membahas shalat jumat, sebagai berikut: ternyata tidak sah jumatan dengan bilangan empat puluh orang adanya sebab kurang sempurna ilmunya jelas sah sembahyang jumat empat orang sebab semua ilmunya sudah diperhatikan Pandangan RifaI ini didasarkan pada pendapat asy-syafiiyah ketika masih berada di Baghdad, yang membolehkan bilangan jumatan itu

empat orang atau dua belas orang, sedangkan dalam aspek kualitas empat puluh orang tersebut haruslah orang-orang yang mengetahui seluk-beluk shalat jumat. Karena adanya ajaran demikian maka untuk melaksanakan shalat jumat didahului dengan pemeriksaan terhadap kualitas dari jumlah minimal orang yang boleh mendirikan shalat jumat. Jika aspek kualitas ini harus ada pada jumlah empat puluh orang pada setiap wilayah dengan pengetahuan masyarakat terhadap agama masih sangat sedikit, ,maka memungkinkan akan mengalami kesulitan. Oleh karena itulah KH. Ahmad RifaI memilih pandangannya yang jumlah minimal orang shalat jumat yaitu empat atau dua belas orang. Pemikiran yang berorientasi kepada suatu wilayah ini terlihat lebih lanjut pada pernyataannya sebagai berikut: Berhasil sah mudah mengusahakan Di dalam pedukuhan orang empat jadinya Lebih sulit berkumpul empat puluh bilangan Atas pedukuhan yang tidak lengkap jadinya Tidak jadi memilih empat puluh jumatan Sebaiknya yang sudah berjalan jadi sia-sia Tata cara pendirian shalat jumat yang demikian ini tidak lazim terjadi dilakangan luar Rifaiyah, inilah antara lain penyebab timbulnya konsekuensi yang mengesankan kalangan Rifaiyah tidak mengesahkan jumatan di lain tempat. Meskipun KH. Ahmad RifaI mengakui bahwa pandangan yang diikutinya tergolong dhaif namun dalam pelaksanaana ternyata lebih diutamakan dalam rangka memberi jalan keluar terhadap kesulitan yang mereka hadapi antara ketentuan mengenai jumlah bilangan jumat yang berkualitas dengan kenyataan yang ada, dan ia mendasarkan pada kitab tulisan Sulaiman Kurdi dalam Al-Hawasyi alMadaniyyah yang menyatakan bahwa pengunaan pandangan lemah (qoul

adh-dhaif) diperbolehkan asal tidak untuk dijadikan sebagai fatwa secara mutlak Sebagai akibat dari pendapatnya Ahmad Rifai dipandang sebagai tokoh yang dapat memicu konflik atau paling tidak mengganggu ketentraman masyarakat karena tidak mengesahkan jumatan yang dilaksanakan oleh pejabat agama semisal penghulu sebagaimana digambarkan dalam serat cebolek berikut: Para ngulama ing tanah Miwah pangulu padha Sembayange iku Durung sah jumungahira 2. Masalah Pernikahan Permasalahannya terletak pada adanya anggapan bahwa kalangan Rafaiyah tidak dapat mengesahkan pernikahan yang dilakukan oleh penghulu sebab pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan seperti Wali dan saksi nikah dianggap tidak memenuhi syarat. Syarat seorang wali diantaranya adalah harus mursyid yaitu orang yang tidak melakukan tindakan fasik. Selain itu, mereka yang terlibat dalam pelaksanaan nikah, baik wali maupun saksi harus harus memiliki sifat adil. Jika Kiai RifaI terkesan menolak pernikahan penghulu, tidak lain disebabkan adanya anggapan bahwa para penghulu itu tidak memenuhi kriteria adil sehubungan dengan kerja sama mereka dengan kekuasaan yang tidak islam. Kiai Rifai yang mempersyaratkan pernikahan dengan wali dan dua orang saksi yang harus memenuhi kriteria, akibat dari itu adalah terciptanya jarak yang cukup tajam antara tokoh agama informal semisal kiai dengan tokoh formal yang berada dalam lingkup pemerintah seperti penghulu.

Selain keadaan dari wali dan saksi yang harus memenuhi syarat, terdapat situasi lain yang menjadikan Kiai Rifai tidak dapat membenarkan pernikahan aparat pemerintah yakni adanya biaya pernikahan yang telah ditentukan. Secara hukum ia melihatnya dari sisi upah yang diterima oleh pejabat agama yang tidak dapat dibenarkan oleh agama. Yang dilarang oleh Islam menurut Kiai Rifai ialah memaksa agar yang bersangkutan harus mengeluarkan biaya sebanyak yang ditentukan oleh pihak penghulu. Praktik ini telah dijalankan oleh pemerintah ketika memberlakukan biaya pernikahan seperti peraturan Rembang tahun 1843 menyangkut tarif perkawinan dan pengadilan agama. Sahnya pernikahan menuntut dipenuhinya beberapa syarat

menyangkut sahnya wali dan dua orang saksi. Jika persyaratan wali dan saksi itu tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan dianggap tidak sah dan sebagai akibatnya harus diadakan pengulangan (tajdid an-nikah). Masamasa setelaha hilangnya kolonial, kalangan Rafaiyah masih juga melaksanakan pernikahan ulang atas dasar kualitas saksi yang masih diragukan sebelum diadakannya semacam penelitian terhadap keadilan dan kepribadiannya. 3. Masalah Qadha Shalat Persoalan qadha shalat sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dikalangan pengikut Syafiiyah karena memang dalam berbagai kitab dijelaskan mengenai kebolehan melaksanakan shalat yang tidak ditunaikan pada waktunya. Pada beberapa kitabnya, Kiai Rifai sering memberi penjelasan mengenai qadha mubdarah dalam konteks pelaksanaan ibadah sunnah bahkan ibadah wajib yang masuk dalam kategori tidak mendesak pelaksanaannya seperti ibadah haji. Mereka tidak setuju pada kebudayaan yang memberi toleransi berlebihan dalam pelaksanaan ibadah. Oleh karena itu, kalangan Rifaiyah terkesan demikian berhati-hati dalam pelaksanaan ibadah. Terhadap

orang yang masih awam dalam soal agama terlihat tidak memberikan toleransi dan sebaliknya mereka dituntut untuk menuntut ilmu agama kepada orang yang dipandang memiliki kriteria sebagai guru, yakni alim dan adil. Kiai Rifai memberikan penekanan pada aspek kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Keadaan murid-murid pesantren kalisalak memiliki tingkatan yang berbeda baik pada usia maupun dalam pemahaman agamanya. Hal ini berarti banyak para santri yang sudah dewasa tetapi masih awam dalam hal ibadah. Akibatnya banyak ibadah yang telah mereka tinggalkan dan perlu mereka bayar dengan qadha. Dalam rangka merealisir pandangannya itu, ia juga mengharamkan ibadah sunnah bagi orang yang masih memiliki tanggungan qadha mubadarah. Contohnya kalangan Rifaiyah tertentu yang masih punya qadha mubadarah tidak melaksanakan tarawih ketika bulan Ramadhan. Pada mesjid-mesjid tertentu tidak ada shalat tarawih tetapi melaksanakan shalat qadha. Pemikiran Kiai Rifai ini mencerminkan adanya pemilihan prioritas dalam beribadah dengan mendahulukan kewajiban yang bersifat mendesak. Orang tidak perlu melaksanakan ibadah sunnah manakala ibadah wajibnya belum dilaksanakan dengan semestinya. Akibat pelaksanaan shalat qadha pada malam-malam Ramadhan ini, muncul anggapan bahwa kalangan Rifaiyah mengganti shalat tarawih dengan shalat qadha. Adapun pelaksanaan shalat qadha dilakukan secara berjamaah pada bulan ramadhan setelah shalat isya kemudian dilanjutkan pelaksanaan qadha lima waktundimulai dari qadha shalat subuh samai dengan qadha shalat isya. Adapun pelaksanaan sunnah seperti tarawih dilaksanakan secara individual dan dilakukan di rumah. Sekalipun Kiai Rifai menganjurkan untuk taqlid pada madzhab Syafii, namun sebenarnya ia memberi peluang untuk melakukan ijtihad bagi orang yang memiliki kemampuan. Selain memberi peluang untuk berijtihad, ia bermaksud memberikan penegasan bahwa pemilihan terhadap pandangan imam madzhab tertentu bukan sekedar memilih

secara membuta tetapi telah melalui proses pentarjihan atas imam madzhab lain (taqlid pada madzhab tertentu disertai pengetahuan mengenai seluk beluk persoalannya). Dengan membedakan antara kalangan awam dengan ulama

mujtahid fatwa yang melakukan tarjih, tercipta jalinan hubungan cukup erat antara kalangan pengikut Rifaiyah dengan tokoh sentralnya (Kiai Rifai). hal ini terlihat pada apresiasi kalangan Rifaiyah terhadap kitab susunan Kiai RifaI sehingga dijadikan sebagai rujukan pokok dalam pelaksanaan ibadah. Pola pengajaran yang dibentuknya melalui pesantren Kalisalak, menciptakan komunitas keagamaan yang diwarisi oleh warga Rifaiyah hingga sekarang. Didalamnya tercipta hubungan yang kuat antara guru dan murid. Dalam Riayah II ia mengatakan: Orang awam wajib berpegang teguh kepada Alam Adil Didalam zamannya orang itu dalam melaksanakan syariat Banyak orang sesat bidah mengikuti adat Meninggalkan syariatnya Nabi Muhammad Akibat pernyataan ini serta apresiasi para warga Rifaiyah

terhadapnya, maka sering kali ia dituduh ebagai ulama ekslusif karena hanya mengesahkan pandangan keagamaan yang bersumber kepadanya. Karena tidak ada penalaran dalam melakukan tarjih maka pemilihan madzhab Syafii lebih banyakdi dasarkan pada kenyataan umat islam Indonesia yang memang memiliki kecenderungan pada madzhab SyafiI ini. Ada dua kondisi yang ikut mendukung suasana ini. yaitu: 1. Penyebaran kitab-kitab Syafiiyah dalam lingkungan pengajaran islam di pesantren. Kalangan Rifaiyah sendiri juga mengakui adanya sejumlah kitab Syafiiyah yang ikut memberikan warna pemikiran Kiai RifaI dalam bidang fiqih.

2. Percaturan

ilmu

agama

khususnya

bidang

fiqih

juga

memperlihatkan tendensi ke arah madzhab Syafiiyah. Percaturan tersebut pada umumnya terjadi dalam lingkup pesantren, dimana seorang Kiai mengajarkan fiqih hanya dengan menggunakan kitabkitab yang serumpun dengan Syafiiyah. Selain dari materi bahan pengajaran di atas, suasana kegiatan ilmiah pesantren lebih banyak didasari yang etika amat mencari dihormati ilmu yang menempatkan gurusebagai sosok sehingga

mengurangi semangat dialogis. Anjuran untuk melakukan taqlid kepada Syafiiyah semata-mata didasarkan pada persoalan bersifat teknis dimana masyarakat mengalami banyak kesulitan jika harus memahami kitab bahasa arab yang memang banyak beredar di lingkungan pendidikan islam tradisional (pesantren). C. Pemikirannya Dibidang Tasawuf Tasawuf itu merupakam usaha akal manusia untuk memahami Realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai kepada allah. Karena adanya aspek pemahaman dan aspek usaha untuk sampai kepada Allah sedekat-dekatnya (taqarrub), maka dalampenekanan secara garis besar dapat dibedakan menjadi tasawuf nadzari taammuli dan kedua tasawuf amali. Maka dua titik berat inilah kemudian mengesankan adanya tasawuf falsafi yang bertumpu pada pemikiran mendalam mengenai realitas dan tasawuf amali yang menitikberatkan pada usaha dalam latihan. Tasawuf falsafi ini tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi. Sebagai contoh dari corak amali adalah tasawuf yang dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang mengutamakan amaliah dan latihan dalam rangka mencapai kedekatan batin dengan Allah. Hal ini tercermin dalam pengalaman ruhani seperti Hasan al-Basri (21-110H/641-731 M) ketika menyatakan bahwa dunia adalah tempat beramal, maka barang siapa merasa tidak senang menjalani hidup di dunia zuhud kepadanya, ia akan memperoleh kebahagiaan. Sebaiknya ispa orang yang hatinya rindu

kepada dunia dan terpaku kepadanya, maka ia akan sengsara. Sedangkan pengalaman Husain an-Nuri (wafat 295) memberikan penjelasan lebih lanjut akan pentingnya spek amaliah dalam kehidupan tasawuf. Ia menyatakan bahwa tasawuf buakn merupakan gambaran atau ilmu tetapi ia adalah akhlak. Jika ia merupakan gambaran, maka akan dapat dicapai dengan belajar. Ia hanya dapat dicapai dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah. Junaid al-Baghdad dan al-Ghazali memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Junaid, tasawuf adalah pengabdian kepada allah dengan penuh kesucian.oleh karena itu barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi. Sejalan dengan pandangan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa tasawuf adalah menggosokan batin atau membersihkan hati dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih. Sebagaimana Junaid. Al-Ghazali juga sering dipandang sebagai tokoh yang cenderung kepada tasawuf bercorak Ortodoks. Karena penekanan pada aspek amaliah inilah maka tasawuf mereka ini terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syariat dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah sebagaimana dijelaskan di atas. Para penerus tradisi yang dikembangkan oleh al-Ghazali pada umunya berusaha mempertahankan corak tasawuf ini sebagaimana terlihat dalam pandangan al-Qusyairi. Ketika menyatakan bahwa syariat yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syariat juga akan tertolak. Syariat datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembara kepada yang Hag (Allah). Ini berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syariat dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.

Pemikiran tasawuf Kiai Rifai pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syariat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf. Gagasan tasawuf Kiai Rifai tidak membentuk komunitas yang disebut tarikat sebagaimana ditulis oleh Alwan Khairi tetapi hanya sebatas ajaran tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak mahmudah dan peniadaan diri dari akhlak madzmumah dalam rangka mencapai kedekatan pada Allah yaitu Marifat dan Taqarrub yang dapat dilakukan siapa saja tanpa harus melalui tata aturan sebagaimana lazim terdapat dalam dunia tarikat. Melihat pandangan tasawuf Kiai Rifai akan dilihat dengan tiga masalah pokok, yaitu : a.b.

Keseimbangan antara Syariat dan hakikat Pembagian Tasawuf bercorak amali dan falsafi Tarikat

c.

1. Hubungan antara Syariat dan Hakikat Gagasan mengenai hubungan antara syariat dan hakikat banyak dibicarakan Kiai Rifai dengan menggunakan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf. Syariat bekaitan dengan kata-kata jasmani yakni tentang tata cara berhubungan dengan Allah sedangkan hakikat lebih dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat ruhani (batin) yang menghiasi ibadah fisik. Menurut seorang sufi sudah tentu menguasai ilmu fiqh, namun seorang ahli fiqh belum tentu menguasai tasawuf. Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa seorang yang telah mendalami ilmu tasawuf berarti telah mendalami ilmu fiqh. Dengan demikian dengan ilmu ini harus dipelajari secara urut dimulai dari masalah Ushuluddin, kemudian Fiqh, dan pada akhirnya Tasawuf. Pandangan yang wajar ketika dikaitkan dengan pandangan yang menyatakan bahwa belajar Ilmu Tasawuf itu hukumnya wajib sehingga

akan memberi implikasi yang berat bagi orang yang meninggalkan. Secara makro, pandangan ini merupakan bagian dari ciri kecenderungan tasawuf amali sebagai reaksi terhadap tasawuf yang hanya mementingkan aspek batiniah dan mengabdian syariat. Pandangan yang cukup radikal ini merupakan pandangan yang memiliki keterkaitan dengan suasana keagamaan masyarakat pada saat waktu itu, dimana ia dan para santrinya berada dalam lingkup pesantren kalisalak yang secara kultural terpisah dari kebudayaan kota. Ketika tokoh-tokoh agama diwilayah perkotaan terlihat memiliki hubungan mesra dengan kekuasaan yang dinilai tidak islami, ia melakukan kritik melalui ajaran tentang pentingnya tasawuf. Orang-orang kota pada umumnya tidak menyertakan aspek tasawuf dalam agamanya dan terlihat lebih mencintai harta daripada agama. Kiai Rifai membagi ilmu menjadi dua hal, yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin. Yang masuk dalam katagori ilmu dzahir adalah ilmu fiqh sedangkan ilmu batin adalah ushulluddin dan tasawuf. Fiqh dikatakan sebagaimana ilmu dzahir karena berkaitan dengan ibadan secara lahiriah. Kiai Rifai mengenai keterkaitan hubungan antara syariat dan hakikat secara global memilki unsur pesamaan dengan Junaid al-Baghdad dan alGhazali meskipun dalam aspek detailnya agak berbeda. Junaid al-Baghdad memperlihatkan sikap cukup keras kepada orang yang mengabaikan syariat. Al-Ghazali dalam al-Munqidz min adh-Dhalal menyatakan pengalaman ruhaninya ketika sampai pada kesimpulan akan pentingnya taqawuf setelah syariat. Lebih lanjut ia menyatakan nahwa dengan tasawuf akan dapat diperoleh hasil yang tidak dapat dicapai oleh ilmu lain. Namun demikian, penjelasam Kiai Rifai mengenai tasawuf

sebagaimana tindak lanjut dalam mengamalkan syatiat, terlihat agak berbeda dengan pola pemikiran tokoh tasawuf seperti al-Ghazali, Junaid al-Baghdad, al-Qusyairi. Bagi al-Ghazali hal yang berkaitan dengan petunjuk kongkret mengenai tata cara beribadah termasuk dalam kategori wajib mempelajarinya. Adapun yang berkenaan dengan amaliah

hati (al-Amal al-Qalb), sifatnya kondisional sesuai dengan kebutuhan orang. Berbeda pandangan menurut Kiai Rifai tampak lebih radikal ketika menekankan pentingnya tasawuf dibandingkan dengan dua ilmu lainnya (ushul dan fiqh). 2. Corak Tasawufnya Sebagaimana diketahui bahwa corak tasawuf Kiai Rifai digunakan kriteria berdasarkan pembagian tasawuf menjadi akhlak (amali dan falsafi). Dalam hal ini, Rifaii menyakatan dirinya pengikut jalan Sunni. tasawuf Sunni memiliki corak amali karena tokoh-tokohnya memberikan tekanan pada pelaksanaan syariat terlebih dahulu baru kemudian menghiasi dengan amaliah tasawus. Corak ini berbeda dengan falsafi yang menekankan aspek pemikiran yang menitik beratkan pada aspek kesatuan dengan Allah. Corak pemikiran tasawuf KH.ahmad Rifai termasuk dalam kategori amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf Rifai berupa latihan ruhani dengan jalan yaitu : a. Pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli) Terdapat delapan amaliah terpuji yaitu :1. Zuhud : Pengendalian hati yang olehnya diistilahkan sebagai tapa

ing manah (bertapa dalam hati). 2. Qanaah : Hati yang tenang memilih ridha Allah mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhjan kemaksiatan. 3. Sabar : Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya, menanggung penderitaan karena tobat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, menanggung penderitaan ketika tertimpa suatu bencana didunia dan tidak mengeluh. 4. Tawakkal : Pasrah kepada seluruh aoa yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang diharamkan.

5. Mujahadah

:

Bersungguh-sungguh

sekuat

tenaga

dalam

melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, memerangi ajaran hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati. 6. Ridha : Sikap yang rela menerima pemberian Allah dibarengi dengan sikap rela menerima ketentuan hukum syariat secara ikhlas dan penuh ketaatan. 7. Syukur : Mengetahui segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. 8. Ikhlas : Membersihkan hati untuk Allah semata-mata sehingga beribadah tidak ada maksud lain kecuali Allah. b. Pengosongan sifat tercela (takhalli) yang kemudian ditindak lanjuti dengan kedekatan kepada Allah (taqqarrub). Untuk sampai pada tingkatan tinggi dalam tasawuf, selain

mengamalkan ajaran sebagaimana , Rifai juga mengemukakan ajaran pengosongan amaliah tercela yang menurutnya terdiri dari delapan macam yaitu :1. Mencintai Dunia (hubb ad-dunya)

: Sebagai perbuatan tercela

karena memandang dunia lebih mulia dibandingkan dengan akherat. 2. Tamak besar. 3. Itba al-Hawa4. Ujub

:

Hati

yang

rakus

terhadap

dunia

sehingga

tidak

memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa

5. Riya : Sebagai penyimpangan niat dalam ibadah kepada Allah. 6. Takabur : Merasa sombong karena harta dan kepandaian yang dimiliki seseorang.

7.

Hasud : Hasud adalah dengki yaitu berharap akan hilangnya nikmat

tuhan yang ada pada orang islam. Penjelasan kiai rifai tntang sifat hasud ini lebih ditujukan sebagai kritik kepada kalangan yang iri hati pada posisi rifai yang telah memperoleh legitimasi sebagai tokoh agama.8. Sumah : Sumah adalah memperdengarkan kepada orang lain

peruatan baik kita. Sifat sumah menurut kiai rifai termasu dalam kategori dosa besar dan pada tinkatan tertentu dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir. Tetapi ia juga masih memberikan peluang untuk bertobat dengan syarat-syarat tertentu. c. Tiga kondisi sebagai puncak tasawuf (Khauf,Mahabbah,dan Marifat) Menurut kiai Rifai klimaks dari tujuan tasawuf adalah tercapainya tiga kondisi khauf,mahabbah dan marifat. 1. Khauf (takut), dalam dunia tasawuf amat bervariasi sejalan dengan pengalaman subyektif dari para sufi. Menurut Abu Ali ad-Daqqaq ada tiga tingkatan yaitu khauf(syarat keimanan), khasyyah (syarat ilmu) dan haibah (syarat makrifat). Menurut Abul Qasim al-Hakim, orang yang takut akan sesuatu ia akan lari dari sesuatu itu, sedangkan orang yang takut kepada Allah akan lari menhampirinya. Menurut kiai RifaI khauf adalah sebagai salah satu puncak amalan tasawuf bersamasama dengan mahhabah dan marifat.2. Mahabbah, dalam masalah mahabbah RifaI banyak menggunakan

istilah

asih

(cinta)

sebagai

gambaran

untuk

menyatakan

pandangannya tentang mahabbah. Dalam pandangan Kiai RifaI mengenai mahabbah tidak memiliki pengertian eksklusif sebagaimana yang ada dalam pemikiran sufi klasik. Kesederhanaannya mengenai rumusan tentang ajaran mahabbah ini agaknya terkait dengan situasi waktu itu yag menurutnya menuntut kejelasan loyalitas apakah kepada Allah atau penguasa kafir. Disini RifaI melihat adanya kecenderungan elit umat islam untuk loyal kepada pemerintah Belanda yang kafir. Menurutnya hal ini akan mengganggu keimanan mereka karena dalam

kedudukan mereka yang membantu kekuasaan kafir dapat menjadi fasiq dan bahkan kufur.3. Marifat adalah pengetahuan langsung dari Tuhan berdasarkan

wahyu dan penglihatan yang langsung diberikan tuhan. Ia tidak berasal dari prosesmental tetapi merupakan yan pemberian Tuhan yang untuk dianugrahkan menerimanya. 3. Pandangan Ahmad RifaI tentang Tarikat. Tarikat berasal dai bahasa arab Thariq (jalan). Dalam lingkungan tasawuf bias berarti jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang dalam rangka mengantarkannya dekat kepada Tuhan. Akan tetapi bisa juga berarti komunitas dalam dunia tasawuf yang dipimpin oleh seorang guru dengan sebutan Mursyid sebagaimana dipakai oleh sejumlah buku yang menjelaskan Tarikat.a. Pengertian Tarikat, Menurut Kiai RifaI tarikat adalah jalan yang

kepada

mereka

memiliki

kemampuan

harus ditempuh seseorang untuk menjadikannya dekat dengan tuhan. b. Konteks pemakaian kata tarikat, Menurut RifaI terkait dengan upaya menciptakan keseimbangan antara tiga pilar yang menentukan seseorang mencapai tingkatan ideal dalam beragama. 3. GERAKAN KEAGAMAAN KH. AHMAD RIFAI A. Asal Usul Gerakan Sepulang dari Makkah Kiai pindah dari Kendal ke Kalisalak wilayah yang cukup terpencil dan jauh dari kota serta kurang terkontrol oleh penguasa. Sekalipun menyatakan kepindahannya ke Kalisalak karena pernikahannya dengan janda dari Demang Kalisalak namun dilihat dari segi politik terdapat adanya indikasi adanya usaha mengucilkan diri dari kehidupan kota. Penguasa menyatakan bahwa Ahmad RifaI adalah sosok yang kurang menyenangkan dan berpotensi mengganggu ketentraman

dan

ketertiban

karena

sikap-sikapnya

yang

membenci

pemerintah

Belanda Di wilayah inilah ia mulai membangun komunitas keagamaan dan mulai mengajarkan agama kepada para santri. Disini ia menhadapi masalah dalam menjelaskan ajaran agama Islam berdasarkan AlQuran dan apa yang dipelajarinya di Arab dan dari ulama Aceh. Kegiatan keagamaan di Kalisalak memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan pesantren yang lain, khususnya yang berkaitan dengan sikap terhadap pemerintah. Hubungan santri dan guru yang diikat dengan etika agama sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad RifaI dalam berbagai karyanya juga yang menjadi salah satu di antara cirri komunitas yang dibangunnya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran tentang sosok alim adil yang memperoleh kedudukan terhormat dan bahkan wajib menjadi panutan. Pesantren Kalisalak sangat sederhana dan para kelompok

keagamaannya disebut dengan santri Tarajumah karena mengamalkan ajaran-ajaran Kiai RifaI yang ditulis dalam kitab Tarajumah. Namun banyak ulama yang meningkatan kebencian terhadap kiai RifaI, khususnya mereka yang menjadi instrumen dari pemerintahan Hindia Belanda dalam melayani kebutuhan umat islam seperti penghulu. Kalangan yang berpihak pada pemerintah colonial sering menempatkan Ahmad RafaI sebagai ulama yang merasa dirinya benar sendiri dan selalu menimbulkan kekacauan sehingga akhirnya Ahmad RifaI di buang ke Ambon pada tahun1859. Selain laporan pejabat, Serat Cabolek secara garis besar berisi tentang kisah kebijaksanaan para penguasa yang berkolaborasi dengan tokoh agama dalam menghadapi seorang tokoh ulama ekstrim, KH. Ahmad RifaI. Karena Ahmad RifaI dianggap menyudutkan pejabat pemerintahan HIndia Belanda mulai dari bupati,demang,penghulu sampai Ratu Belanda, akhirnya Kiai RifaI di adili dan di uang ke Ambon dan tak pernah kembali ke Kalisalak.

B. Jaringan Pengikutnya Komunitas keagamaan yang dibangun di kalisalak itu banyak terdapat santri yang berasal dari luar daerah, mereka inilah yang selanjutnya menjadi agen penyebaran paham Rifaiyah di berbagai daerah, hal ini terlihat pada aktivitas para santri generasi pertama yang dapat dijelaskan sebagai berikut.1. Kiai Abu Hasan yang dianggap sebagai murid generasi pertama

menyebarkan ajaran Rifaiyah diwilayah kabupaten Wonosobo dan dipandang berhasil mengembangkan ajaran ini dibeberapa tempat. 2. Kiai Illham ia berasal dari daerah Kalipucang batang ia datang ke pesantren Kalisalak dan belajar beberapa ilmu keislaman seperti ul aldn, fikih, dan tasawuf, dialah yang dianggap sebagai mediator untuk mencapai ajaran tarajumah di berbagai wilayah. 3. Kiai Muhammad Tubo ia berasal dari wilayah kecamatan Patebon Kendal dan dipandang sebagai penyebar ajaran Rifaiyah di wilyah Kendal. 4. Kiai Muharrar ia berasal dari daerah Ambarawa dan dipandang sebagai pendiri pesantren didaerah Ngasem dan setelah pesantren tersebut dibubarkan oleh Belanda ia pindah ke Purworejo dan disana juga mendirikan pesantren dikecamatan Mbayan. 5. Kiai Maufura Bin Nawawi ia bersal dari daerah sekitar kalisalak dan dipandang sebagai penyebar ajaran Rifaiyah dikawasan limpung batang. 6. Kiai Idris ia dilahirkan di Pekalongan pada tahun 1810 dan termasuk murid generasi pertama bersama-sama dengan Kiai Muhmmad Tubo, Kiai Abdul Hamid, dan Kiai Abdul Halim ia dipandang sebagai penyebar ajaran tarajumah di wilayah jawa barat. Dari penuturan tulisan yang beredar dikalangan Rifaiyah terdapat informasi bahwa murid generasi pertama mencapai jumlah empat puluh

satu

orang

tetapi

biografi

mereka

tidak

dapat

diungkap

secara

keseluruhan. Laporan residen Kendal kepada residen Semarang tanggal 24 oktober 1924 menyatakan bahwa di wilayah Kendal ada tujuh guru yang mengajarkan ajaran Ahmad Rifai yaitu Achmad Badri,Nasipan ,Haji Sidik, Haji Amin, Oemar Said, Sarboen,Matsaid, dan dari semua itu mempunyai murid masing masing. Diantara guru guru ini hanya dua yang yang memproleh izin mengajar sedangkan lima lainnya belum, sementara itu dapat diketahui pula adanya sejumlah pengikut Ahmad Rifai di wilayah Kendal yang tidak mengajar namun aktif mempelajari kitab tarajumah. Informasi yang diperoleh dari kalangan Belanda menyebutkan adanya sejumlah orang yang dianggap sebagai santri pertama KH Ahmad Rifai yang berasal dari berbagai daerah, antara lain Mas Sulaiman dari Wonosobo, Sri Kasri dari Wonosobo, Chasan Madjakir dari Wonosobo, Abdoel Jahja,Mas Soemodiwirajoa dari Salatiga dan lain lain. Hubungan guru dengan murid dalam lingkungan pesantren senantiasa diwarnai dengan semangat ketundukan yang luar biasa, ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh komunitas pesantren dimana hubungan guru murid sangat terwarnai oleh ikatan yang dalam dunia tasawuf disebut murid dan Syaikh atau mursyaid demikian pula para santri yang ada diwilyah Kalisalak juga memperlihatkan suatu ketundukan yang luar biasa kepada guru mereka, yakni KH Ahmad Rifai kenyataan ini terlihat pada kebesaran tokoh sentral ini dimata para santri sehingga terasa sampai generasi sekarang, karena nilai inilah maka dalam lingkungan Rifaiyah tercipta ikatan solidaritas yang sedemikian kuatnya pada masa pemerintahan Kolonial sehingga oleh penguasa dipandang memiliki potensi untuk mengobarkan antipemerintah. Jaringan pengikut KH Ahmad Rifai inilah yang kemudian menjadi mata rantai perkembangan pengikut Rifaiyah diberbagai wilayah umum nya di Jawa Tengah,Jawabarat,dan Jakarta.

Yang pertama yaitu wilayah kabupaten pati diwilayah ini pengikut Rifaiyah kurang lebih berjumlah 3000 orang dewasa yang tersebar di beberapa desa diwilayah pati bagian selatan, penyebaran berasal dari desa Sundoluhur, yakni dari seorang ulama bernama KH Shidiq, murid dari KH Abdul Kohar dan yang selanjutnya usaha ini dilanjutkan oleh putranya bernama KH Dzajuli yang berguru aliran Rifaiyah kepada KH Abdul Manan. Yang kedua yaitu wilayah kota pekalongan diwilayah ini pengikut Rifaiyah tersebar dibeberapa kecamatan Tirto, seperti Kedung Wuni, Wonopringg, pusat Bojong,Wirodeso, Pekalongan memiliki Barat, intensitas Pekalongan tersendiri

Timur,Kesesi, dan Buaran. Faktor geografis yang demikian dekat dengan Rifaiyah/batang, pekalongan, dibandingkan daerah lainnya, intensitas tersebut sering kali menjadi fanatisme kelompok sehingga berpotensi memunculkan konflik dengan komunitas islam lainnya seperti dengan NU, konflik tersebut secara langsung disebab kan oleh pendirian jumatan di desa Medura pada tahun 1965, tetapi menurut sumber Rifaiyah lebih banyak disebabkan oleh sikap politik yang diambil oleh warga Rifaiyah. Ciri yang agak menonjol dari tokoh Rifaiyah di wilayah ini adanya Kiai yang melakukan publikasi mulai dari kitab tarajumah sampai dengan buku mengenai Kiai Rifai. Yang ke tiga adalah wilayah kabupaten Batang didaerah ini pusat gerakan Rifaiyah terkonsentrasi di dua wilayah, perkotaan dan pedesaan,diwilayah perkotaan meliputi daerah Kalipucang Wetan, Karang Anyar, Watesalit, Kedungmiri, dan Karang Asem sedangkan diwilyah pedesaan meliputi Kecamatan Limpung, dan Kecamatan Raben pada beberapa desa seperti Tambakboyo,Adinuso, Limpung, dan Kalisalak. Yang keempat yaitu wilayah kabupaten Kendal diwilayah ini gerakan Rifaiyah berpusat pada beberapa desa yang memiliki kaitan sejarah dengan perkembangan masa lalu, paling tidak ada tiga desa yang memiliki kaitan dengan tokoh-tokoh Rifaiyah generasi pertama yaitu desa Purwosari,Kecamatan Patebon, desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh dan Desa Kretegan Kecamatan Weleri

Yang

kelima

yaitu

wilayah

Jakarta

yang

dimana

asal

usul

perkembangan Rifaiyah di Jakarta berpangkal pada adanya sejumlah orang dari pekalongan yang melakukan kegiatan perdagangan di Jakarta pada masa sebelum 1965, diawali dari rintisan awal yang dilakukan oleh K .Todlan dan K.Akmal yang merupakan murid-murid dari Kiai Rifaiyah di pekalongan,yaitu Kiai Syafii dan Kiai Mahfuz wilayah yang menjadi pusat kegiatan dakwah adalah kawasan kebon kelapa, kecamatan batuceper, diwilayah ini telah dirintis beberapa forum majelis taklim yang kemudian menjadi wahana untuk pengembangan Rifaiyah ke wilayah lainnya di Jakarta, jaringan penyebaran paham Rifaiyah di wilayah ini dijelaskan dalam skema terlampir. Yang keenam yaitu wilayah jawa baratyang dimana perkembangan Rifaiyah diwilayah ini dimulai sejak masa kehidupan Rifai karena adanya seorang santri bernama Idris, Kiai inilah yang mula-mula merintis pengembangan Rifaiyah di berbagai wilayah jawa barat,khususnya di Cirebon, Indramayu, Subang, dan Karawang ia merintis pengembangan ajaran dengan cara membentuk komunitas Rifaiyah pada beberapa daerah seperti arjawinangun di Cirebon, sukowero di indramayu,menurut penuturan salah seorang tokoh Rifaiyah Kiai Idris mula-mula merintis pendiri yaitu pesantren desa didesa wilayah Karangampel di desa ragasana ia kabupaten Indramayu, dan juga Kiai Idris mengembangkan di daerah lain Sukalila, kecamatan Jatibarang Indramayu, disinilah mendirikan pesantren yang kemudian mampu menyedot santri dari daerah Indramayu lainnya dan Cirebon, melalui para santri inilah paham Rifaiyah dapat berkembang ke wilayah lain di jawa barat. Dan dengan demikian bisa disimpulkan bahwa perkembangan Rifaiyah diwilayah jawabarat dapat dikatakan sebagai hasil dari rintisan Kiai Idris yang dilakukan sejak Kiai Rifaiyah masih hidup. C. Perkembangan Gerakan Rifaiyah Fase-fase perkembangan

Fase-fase perkembangan tentang gerakan perkembangan gerakan Rifaiyah secara garis besar dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pembentukan, fase konsolidasi dan fase pengembangan.1. Fase pembentukan merupaka fase paling awal dari munculnya

akumulasi ide-ide keagamaan KH Rifai dikalangan simpatisan atau murid muridnya ideologi gerakannya memang berada dalam berbagai kitab tarajumah yang telah di kemukakan di atas, namun kemudian mengalami proses kristalisasi dan menjadi semacam etos yang dimilik oleh murid-muridnya, secara sosiologis inilah yang menjadi perhatian pemerintah karena dipandang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintaha (rust en orde ), hanya saja keristalisasi ide tersebut belum sempat menjadi kekuatan yang menghawtirkan bagi stabilitas politik pemerintah,salah nama satu diantara Negara. penyebabnya Bersamaan adalah pemutusan kalangan hubungan guru dengan murid yang dilakukan oleh pemerintah atas undang-undang dengan itu birokrat bumiputra juga berusaha menciptakan kesan umum tentang kejelekan Kiai Ahmad Rifai dan reputasinya yang ternyata belum apaapa diabandingkan ulama pekalongan seperti Haji Pinang.2. Fase konsolidasi dimana kerakan Kiai Rifai mengalami masa

kejayaan sejalan dengan bertambahnya santri dari berbagai daerah yang belajar di pesantren kalisalak, ikatan jaringan antara guru dan murid dari berbagai daerah sebagaimana di sebutkan dalam laporan pemerintah,semakin kuat dan berakibat bertambahnya pengikut Kiai Rifai di berbagai daerah, konsolodasi tersebut dimungkinkan juga oleh kekuatan sosok Kiai Rifai yang melancarkan gerakan kebudayaan berupa isolasi dengan kebudayaan kota yang didominasi oleh penguasa dan seluruh jajarannya. Pada fase konsolidasi ini telah berhasil menciptakan komunitas Rifaiyah di berbagai daerah dengan militansi yang sedemikin kuat. Akan tetapi posisinya yang berhadapan dengan pemerintahan segera menjadi batu sandungan bagi pengembangan gerakan Rifaiyah dimasa datang.

3. Pada fase setelah Kiai Rifai diasingkan ke Ambon gerakan Rifaiyah mengalami kemerosotan, khusunya di pusat penyebaran Rifaiyah yakni kalisalak, hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menyerahkan asset pesantren Kiai Rifai kepada istrinya, kalisalak yang pernah menjadi pusat kegiatan Kiai Rifai pada karo kedua dari abad ke -19 tidak menyisakan peninggalan fisik dan bahkan masa berikutnya tidak lagi menjadi basis kekuatan gerakan Rifaiyah. Kekuatan gerakan berpindah secara sporadis diberbagai wilayah seperti Wonosobo,Batang, Pekalongan, Kendal, dan Temenggung, ia tidak lagi menjadi gerakan reaksoner terhadap pemerintah sebagaimana masamasa produktifnya Kiai Rifai tetap menjadi gerakan yang selalu bertahan terhadap tekanan yang berlanjut sampai masa-masa pascakemerdekaan.perkembangan gerakan Rifaiyah pada fase sesudah pengasingan Kiai Rifai banyak terfokus pada dua tokoh sentral yaitu KH Muhammad tubo dan KH abdul hadi.KH Muhammad tubo berhasil membuna lima orang ulama terkemuka generasi penerus yang tersebar di daerah pesisir utara jawa tengah,KH abdul hadi berhasil membina seorang ulama terkemuka generasi penerus di wonosobo. Pada tahun 1950 an terdapat delapan tokoh ulama Rifaiyah yang terkemuka pada zamannya yaitu Kiai mastur di limpung, Kiai karim di kedungwuni,Kiai murdoko di kretek, Kiai tahir darin kretek, Kiai jajuli,Kiai Abdullah, Kiai suwud.dan juga pada tahu 1970 terdapat tiga orang ulama Rifaiyah yang terkemuka yaitu Kiai ridwan,Kiai sajari, dan Kiai rahmatullah. Perkembangan gerakan Rifaiyah senantiasa tidak pernah sepi dari masalah,namun pengikutnya senantiasa memiliki kemandiria,gerakan Rifaiyah senantiasa berada dalam situasi terpencil di masa datang bila ajaran kontroversi Kiai Rifai tidak diberi penafsiran baru. Interaksi dengan klompok keagamaan lain Keberadaan mereka menjadi perhatian pemerintah karena dua hal pertama yaitu pandangan keagamaan Kiai Rifai yang berlawanan dengan

pandangan umum umat islam,seperti masalah shalat jumat,pengulangan perkawinan,qhada salat, dan rukun islam. Dan yang kedua gerakan keagamaan Kiai Rifai mempunyaii tendensi ke arah isolasi cultural dengan pengusaha sebagaimana sering dinyatakan dalam kitab tarajumah dan sikap yang diperlihatkan oleh Kiai Rifai sendiri dan para santri kalisalak,hal ini dianggap berbahaya karena mengandung muatan politis. Pemerintah menggunakan logika bahwa membiarkan Kiai Rifai terlalu lama bersama-sama dengan komunitasnya di kali salak akan berpotensi mengobarkan permusuhan secara terbuka terhadap pemerintahan belanda , dua keadaan diatas memiliki implikasi semakin terpisahnya komunitas kalisalak dengan masyarakat luas, khusus yang berbau pengusaha dan birokrat tradisonal. Meskipun demikian,tidak selamanya komunitas lain mengalami konflik dengan komunitas kalisalak, ada tendensi yang menganggap Kiai Rifai sebagai pemimpin yang amat menentukan sejarah umat islam jawa di masa depan atau paling tidak memberi apresiasi terhadap pemikiran dan gerakan agamanya. Hubungan Kiai Rifai dengan komunitas keagamaan,lain pada waktu itu memiliki keserupaan dengan fenomena Kiai ahmad mutamakkin dari tuban yang dianggap mengajarkan ajaran sesat yakni ajaran mistik sehingga di kucilkan oleh komunitas ulama dan bahkan terancan hukuman mati oleh pemerintah mangku rat IV,keduanya juga memiliki keserupaan dalam menetang kekuasaan sehingga keduanya menghadapi aliansi anatara penguasa dan ulama, jika Kiai Rifai dan para santrinya menghadapi aliansi pengusaha belanda dengan ulama,maka Kiai muttamakkin menghadapi aliansi penguasa sunan mangkurat dengan ulama khususnya ulama pesisisir. 4. TIPOLOGI PEMIKIRAN DAN GERAKAN KH. AHMAD RIFAI A. Tipologi Pemikiran Islamnya

Untuk menemukan tipologi pemikiran Kiai RifaI, digunakan pola piker tipologik yang merupakan modifikasi dari pemikiran kategorik. Atas dasar pola pikir ini, analisis tipologik berangkat dari beberapa sudut pandang dalam rangka meletakkan tipologi pemikiran secara proposional. Beberapa sudut pandang itu adalah:1. Dilihat dari sudut pandang hubungan ajaran agama dengan dimensi

ruang dan waktu, ajaran mengenai sosok orang kepercayaan dalam agama yang dapat dijadikan sebagai figur panutan adalah refleksi dari kritiknya terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggapnya telah melakukan penyimpangan karena mau bekerja sama dengan penguasa kafir. Sosok Alim Adil dijadikan sebagai alat untuk menciptakan jarak antara komunitas yang dibangunnya dengan penguasa beserta jajarannya. Implikasi yang ditimbulkannya adalah munculnya kesan ekslusif karena ideologi Alim Adil pada kelompok Rifaiyah berlanjut hingga masa-masa setelah wafatnya Rifai. 2. Dilihat dari sudut pandang hubungannya dengan kelompok-

kelompok keagamaan lain, pemikiran islam Kiai Rifai memiliki semangat yang ekslusif karena ia terlihat berusaha menciptakan isolasi secara kultural dengan kebudayaan penguasa.3. Dilihat dari sudut pandang keagamaan, pemikiran Rifai merupakan

tipe sinkronisasi antara aqidah, syariah, dan tasawuf yang kemudian dikenal dengan sebutan ahlussunah wal jamaah . tipe pemikiran Rifai dapat dipandang sebagai tipe paling awal dalam konteks Jawa abad ke19 yang pada intinya mengikuti pandangan ulama kepercayaan (taqlid), yaitu dalam bidang aqidah mengikuti pandangan al-Asyari dan al-maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti Imam asy-Syafii, dan dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Bagdadi. Cara beragama yang dikembangkan pada abad ke-19 oleh Kiai Rifai ini kemudian menjadi model yang juga dikembangkan Nahdhatul Ulama dan disebut dengan ahlussunah wal jamaah.

Cara taqlid yang dikembangkan Kiai Rifai sebenarnya merupakan cermin dari upaya kontekstualisasi pemahaman agama sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam menggali ajaran dari sumber pokoknya (Al- Quran dan Hadits). Inilah cara beragama yang berusaha mempertahankan sinkronisasi antara tiga bidang ilmu keislaman yaitu aqidah, syariah, dan tasawuf yang secara makro menjadi ciri dari ideologi sunni yang mempertahankan hubungan harmonis antara syariat dan hakikat. 4. Dilihat dari sudut pandang hubungan antara norma dan kenyataan sosial, pemikiran Kiai Rifai bercorak induktif dalam arti berangkat dari fenomena dilapangan yang demikian majemuk, kemudian dicari referensinya dari Al-Quran, Hadits, dan pandangan ulama. Dan pemikiran Kiai Rifai lebih banyak menggunakan pemikiran ulama. Tipe pemikiran seperti inilah yang mengesankan Kiai Rifai sebagai sosok ulama yang banyak mencampuri urusan diluar ibadah mahdhah seperti kecamannya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, disisi lain muncul implikasi yang kurang menguntungkan bagi pengembangan paham Kiai Rifai sebab, dimata pengikutnya, figur Kiai Rifai sedemikian besar sehingga kurang ada keberanian bagi kalangan Rifaiyah untuk berbeda pemikiran dengan sang guru. Dibandingkan yang lain, Kiai Rifai lebih memperlihatkan tipe tersendiri dalam pemikirannya. Pemikiran Kiai Rifai yang tipenya induktif kurang dapat memiliki elastisitas untuk masa-masa yang akan datang, sekalipun pada waktu itu benar-benar memberi kemudahan bagi umat islam dalam konteks lokal abad ke-19. B. Tipologi Gerakannya Ada beberapa sebab yang melandasi munculnya gerakan sosial. Yaitu:1. Struktur politik dan ekonomi, ketidak puasan yang dirasakan oleh

kaum pribumu terhadapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah

colonial sehingga memicu munculnya protes terhadap sistem ekonomi dan dan politik yang telah dibuat oleh pihak kolonial. 2. Banyaknya dasar ideologi, karakter sosiokultural dapat menjadi unsur yang dapat menimbulkan konflik. 3. Adanya para pemimpin dari tokoh-tokoh agama, mereka merupakan simbol dari tatanan tradisional dan memperoleh penghargaan yang cukup besar dari para pengikutnya. 4. Dari sisi ideologi, terdapat adanya elemen-elemen yang

mendasarinya, seperti: Millenarianisme, Eschatologisme, Mesianisme, Nativisme, perang suci, dan Revivalisme (gerakan Revitalisme). 5. Dari segi kondisi budaya, dapat diidentifikasi adanya suasana budaya yang bercorak agamis yang kental dengan hal-hal yang bersifat magis (magico-religiouse practice). 6. Dari segi hubungan antargerakan, adanya tipe gerakan seperti separatis dan reformatif. Gerakan separatis memiliki ciri terorganisir berdasarkan institusi agama dan memberikan tekanan pada status kelompok dalam masyarakat yang lebih luas. Sedangkan gerakan reformatif berisi usaha yang dilakukan secara kreatif dan sadar dalam rangka mencapai kesatuan masyarakat dan perorangan melalui penolakan dan perubahan secara selektif terhadap komponenkomponen budaya tradisional dan yang terkait dengannya. Gerakan keagamaan Kiai Rifai tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial dimana ia muncul. Disatu sisi ada kebutuhan terhadap pengajaran agama bagi orang awam, disisi lain, ada kekuasaan asing yang dinilainya telah melakukan banyak penyimpangan. Kedua hal itulah yang menyebabkan munculnya komunitas Kalisalak yang kemudian menjadi gerakan Rifaiyah (diambil dari nama tokoh yang diikutinya, yaitu KH. Ahmad Rifai). Dalam lingkup wilayah Kendal, ia dikenal sebagai tokoh yang sering membuat kekacauan sehingga pernah dipenjara di Semarang.

Sartono Kartodirjo memasukkan gerakan Rifaiyah dalam kategori gerakan puritanisme Islam yang merupakan kebalikan dari gerakan antiIslam seperti gerakan Agama Djawa Pasundan (agama ini diprakarsai oleh Muhammad Rais, sehingga ia sering disebut Madraisme, peny) dan gerakan Islam Abangan. Gerakan Rifaiyah termasuk pada gerakan keagamaan yang bercorak tradisionalyang memiliki implikasi sosial. Ciriciri utamanya adalah memiliki elemen-elemen seperti loyalitas lokal, hubungan kekerabatan, dan hubungan-hubungan berdasarkan status tradisional. Meskipun gerakan Kiai Rifai bercorak tradisional, karena beberapa sebab, diantaranya adalah: 1. Intensitas jaringan pengikut dalam mengembangkan ajaran KH. Ahmad Rifai masih terus berlanjut sekalipun Kiai Rifai nya diasingkan ke Ambon. 2. Keterkaitan pengikut terhadap Kiai Rifai sangat kuat karena memang dibangun oleh sosialisasi nilai mengenai hubungan guru dan murid sebagaimana ada pada pesantren tradisional. Elemen-elemen itulah yang menjadikannya sebagai gerakan namun tidak termasuk pada gerakan yang berumur pendek. Itu disebabkan

eksklusif yang sering menghadapi persoalan. Hal ini digambarkan oleh laporan berbagai pihak kepada penguasa kolonial yang menganggapnya sebagai pembawa ajaran Islam yang sesat dan menyalahkan orang Islam lain yang tidak masuk pada kelompoknya. Pemerintah melihat gerakan ini sebagai bahaya laten yang sewaktuwaktu dapat mengobarkan semangat antipemerintah. Sedangkan kalangan birokrat Jawa menganggapnya sebagai sosok Kiai yang perlu diwaspadai yang ajarannya cenderung menyalahkan orang Islam lainnya. Meskipun demikian, sebagai gerakan yang selalu dihadapkan pada tuduhan yang negatif, ia memiliki kemandirian dalam konsolidasi yang dibuktikan organisasi. dengan dan sejumlah pertemuan dana besar untuk yang mencapai mereka tujuan selenggarakan penghimpunan

Pada

gerakan

Kiai

Rifai

terdapat

elemen-elemen

separatis,

mesianis, dan nativis. Elemen separatis terlihat pada adanya penekanan pada penghargaan status keterlibatan seseorang dalam organisasi Rifaiyah. Elemen mesianis terlihat pada ideologi Alim Adil yang dijadikannya tokoh sentral dalam memperbaiki masyarakat yang sudah rusak oleh tatanan baru yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Gerakan Kiai Rifai tersebut pada dasarnya bermuara pada

persoalan agama dalam dinamika sosial politik kolonial Hindia Belanda. Dari berbagai karyanya yang mengandung unsur penciptaan gerakan isolasi terhadap pemerintah, terlihat sedemikian banyak muatan agama di dalamnya yang dijadikan sebagai dasar gerakan. Gerakan Rifai pada mulanya mengandung unsur protes secara terbuka, tetapi kemudian menjadi lunak setelah melalui proses cukup panjang khususnya setelah adanya tekanan dari pemerintah disatu sisi dan ulama yang tidak sepakat dengannya disisi lain. Dapat disimpulkan lebih lanjut, bahwa gerakan Kiai Rifai bercorak budaya, yakni isolasi dengan penguasa dan pembantu-pembantunya. Selain agama, dinamika sosial politik juga dapat dipandang sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari gerakan Kiai Rifai. Penjelasan Biro A memperlihatkan bahwa sejak sebelum Rifai berangkat ke Makkah, ia sering terlibat dalam kegiatan yang oleh Belanda dianggap mengacaukan ketentraman. Ini mengandung arti bahwa sejak dini, ia sudah berada diluar kekuasaan pemerintah. Pendidikan agama yang diterimanya dari ulama yang anti pemerintah seperti Syeh Asyari dari Kaliwungu, menjadikan sosok yang sejak masa-masa awal kehidupannya bersebrangan dengan pemerintah. Tipologi tradisionalisme dari gerakan KH. Ahmad Rifai juga terlihat pada komunitas keagamaan di pesantren Kalisalak yang memiliki loyalitas tinggi kepadanya sebagai guru dengan berbagai macam kelebihan. Keberadaan Kiai Rifai dengan pengaruh yang demikian besar inilah yang mampu menciptakan ikatan solidaritas diantara pendukungnya.

Unsur keagamaan dari gerakan Rifaiyah lebih lanjut terlihat pada pengajaran Islam kepada lapisan masyarakat awam dalam bentuk sosialisasi ajaran melalui kitab Tarajumah yang bersifat praktis dan dalam banyak hal bersifat teknis. Sosialisasi ajaran seperti ini menimbulkan dua implikasi yang saling bertentangan. Di satu sisi, hal ini akan memberi kemudahan bagi kalangan yang karena satu alasan tidak mungkin melakukan kajian atas kitab agama berbahasa arab. Di sisi lain, bisa berakibat menutup dinamika bagi kalangan yang memang memiliki paham keterbukaan dalam memahami agama (seperti kalangan intelektual).

BAB III ANALISIS

BAB IV KESIMPULAN KH. Ahmad RifaI lahir pada tahun 1786 di kabupaten Kendal dari seorang penghulu pada masa pemerintahan kolonial, sebelum menetap di

Kalisalak dan mendirikan pesantren disana, Ia pernah pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan belajar Agama selama delapan tahun. Setelah kembali dari Makkah, Ia menetap di Kendal, tetapi, karena sejak awal dikenal sebagai tokoh agama yang tidak kompromistik dengan pemerintah, maka Ia pun pindah ke daerah yang terpencil yaitu desa Kalisalak. Meskipun tidak diketahui dengan pasti apa penyebab kepindahan KH. Ahmad RifaI kedaerah yang terpencil itu. Ada faktor

internal juga eksternal yang menyebabkan Ia pindah ke desa Kalisalak. 1. Faktor internal : KH. Ahmad RifaI menikahi seorang janda yang berasal dari desa Kalisalak yang menyebabkan Ia juga ikit pindak kedaerah tersebut2. Faktor eksternal : dilihat dari segi politik, terdapat indikasi adanya

usaha mengucilkan KH. Ahmad RifaI dari kehidupan kota. Dinyatakan bahwa KH. Ahmad RifaI sejak dulu dikenal sebagai sosok yang bersikap kurang menyenangkan dan selalu membuat kekacauan. Banyaknya laporan yang masuk pada pemerintah, posisinya memang kurang menguntungkan ditengah-tengah wilayah perkotaan sehingga mendorongnya untuk pindah. Pemikiran kitabnya, keagamaannya bidang banyak dituangkan dan kedalam kitab-

meliputi

Ushul,

Fiqih,

Tasawuf.

Menurut

pengikutnya, karya-karya dari KH. Ahmad RifaI berjumlah 53 buah. Pemikiran keagamaan yang dicetuskan dalam lingkup pesantren Kalisalak segera menjadi gerakan keagamaan. Gerakannya itu berbentuk isolasi terhadap kekuasaan pemerintah yang dianggapnya banyak melakukan penyimpangan dari ajaran Islam. Munculnya gerakan Rifaiyah di tanah Jawa yang menyebabkan munculnya gerakan protes. Gerakan Kiai Rifai dapat dipandang sebagai gerakan kebudayaan dalam bentuk gerakan agama tradisional, dan bukan merupakan gerakan perlawanan terbuka seperti halnya gerakan Padri dan gerakan Diponego. Gerakan KH. Ahmad RifaI lebih banyak didorong oleh upaya untuk bukan didominasi oleh penyebab yang terkait dengan hadirnya kekuasaan kafir

merealisir hasil pemikiran Islam. Selain perlawanan secara fisik, ada juga perlawanan dalam bentuk isolasi secara kultural dengan penguasa melalui karya tulis yang banyak berpengaruh dalam masyarakat. Tulisan-tulisan itu dianggap sebagai bahaya laten oleh pemerintah Belanda karena memiliki kaitan dengan persoalan politik. KH. Ahmad RifaI dalam rangka membentuk masyarakat yang bersih dan tidak tercemar oleh kebudayaan yang berbau kafir. Gerakan KH. Ahmad RifaI bukanlah tipe pemikiran yang ingin membangkitkan Islam masa lalu (Revival), tapi justru ingin menerapkan pemahaman KH. Ahmad RifaI dalam konteks sosiokultural dalam lingkungan Kalisalak dan sekitarnya.