KULTUR FITOPLANKTON

33
KULTUR FITOPLANKTON (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) PADA SKALA LABORATORIUM Oleh : IIS ROSTINI, S.Pi NIP. 132317114 UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JATINANGOR 2007

Transcript of KULTUR FITOPLANKTON

Page 1: KULTUR FITOPLANKTON

KULTUR FITOPLANKTON (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) PADA SKALA LABORATORIUM

Oleh :

IIS ROSTINI, S.Pi

NIP. 132317114

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

JATINANGOR

2007

Page 2: KULTUR FITOPLANKTON

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : KULTUR FITOPLANKTON (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) PADA SKALA LABORATORIUM

PENULIS : IIS ROSTINI, S.Pi NIP : 132317114

Jatinangor, Agustus 2007

Menyetujui :

Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan

Evi Liviawaty, Ir., MSi NIP 131760488

Page 3: KULTUR FITOPLANKTON

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul “Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada Skala Laboratorium”.

Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran yang telah

memberikan dukungan bagi penulis untuk melaksanakan kegiatan kultur fitoplankton ini.

2. Ketua Program Studi Perikanan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk melaksanakan kegiatan kultur fitoplankton ini.

3. Evi Liviawaty, Ir., MSi, selaku Kepala Laboratorium TIHP atas masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini.

4. Dr. E. Danakusumah, Ir., MSc, selaku pembimbing lapangan I atas bimbingannya selama pelaksanaan kultur fitopolankton.

5. Sofyan Sulaiffy, selaku pembimbing lapangan II atas pengarahannya selama pelaksanaan kultur fitoplankton.

6. Muchari, MSc, selaku kepala IPPTP Bojonegara Serang Banten atas dukungan dan fasilitas bagi penulis untuk melaksanakan kegiatan kultur fitoplankton.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata semoga apa yang telah dilaksanakan oleh penulis dapat memberikan

manfaat bagi pengembangan pengetahuan di bidang perikanan.

Jatinangor, Agustus 2007

Penulis

Page 4: KULTUR FITOPLANKTON

iv

DAFTAR ISI Bab Halaman Lembar Pengesahan .…………………………………………………..... ii Kata Pengantar ………………………………………………………….. iii Daftar Isi ………………………………………………………………… iv Daftar Gambar …………………………………………………………... vi Daftar Lampiran ………………………………………………………… vii I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………….. 1 1.2 Maksud dan Tujuan ……………………………………………... 2 1.3 Metode Penulisan ……………………………………………….. 2 1.4 Tempat Pelaksanaan Kegiatan Kultur ………………………….. 3

II. KEADAAN UMUM INSTALASI PENELITIAN DAN PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BOJONEGARA SERANG 2.1 Sejarah Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian

Bojonegara ………………………………………………………. 4 2.2 Letak Geografis dan Klimatologis ……………………………… 5 2.3 Fasilitas dan Prasarana ………………………………………….. 5 2.4 Tugas, Fungsi dan Organisasi …………………………………… 7

III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tinjauan Umum

3.1.1 Sistematika dan morfologi ……………………………….. 9 3.1.2 Habitat …………………………………………………… 11 3.1.3 Reproduksi ………………………………………………. 12

3.2 Peranan Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii 3.2.1 Peranan dalam budidaya perikanan ……………………… 13 3.2.2 Peranan bagi manusia ……………………………………. 14

3.3 Teknik Kultur Fitoplankton 3.3.1 Media isolasi …………………………………………….. 15 3.3.2 Metode isolasi …………………………………………… 15 3.3.3 Cara menghitung kepadatan plankton …………………... 15

IV. KEGIATAN KULTUR FITOPLANKTON (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) PADA SKALA LABORATORIUM 4.1 Persiapan Alat dan Bahan ……………………………………….. 17 4.2 Persiapan Media …………………………………………………. 18 4.3 Penebaran Bibit ………………………………………………….. 19 4.4 Perawatan ………………………………………………………… 20 4.5 Pengamatan Populasi Fitoplankton ……………………………… 20

Page 5: KULTUR FITOPLANKTON

v

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengamatan Kultur Fitoplankton ………………………….. 21 5.2 Pembahasan ………………………………………………………. 22

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 24 6.2 Saran ……………………………………………………………… 24

Daftar Pustaka ……………………………………………………………. 25 Lampiran …………………………………………………………………. 27

Page 6: KULTUR FITOPLANKTON

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Struktur Organisasi IPPTP Bojonegara Serang ………………….. 7

2. Sel Tunggal Chlorella sp ………………………………………… 10

3. Sel Tunggal Tetraselmis chuii ……………………………………. 11

4. Siklus Hidup Chlorella sp ………………………………………… 12

5. Siklus Hidup Tetraselmis chuii …………………………………… 13

6. Haemacytometer Model Thoma …………………………………. 16

Page 7: KULTUR FITOPLANKTON

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Lokasi Teluk Banten ……………………………………. 27

2. Tata Letak Fasilitas dan Sarana Pendukung IPPTP

Bojonegara Serang …………………………………………… 28

3. Tempat Pemeliharaan di IPPTP Bojonegara …………………. 29

4. Sirkulasi Aerasi dan Pemberian Gas CO2 dalam Kultur

Fitoplankton di Stasiun Bojonegara Serang ………………….. 30

5. Foto Tempat Budidaya (Labu Ukur) Chlorella sp dan

Tetraselmis chuii ……………………………………………… 31

6. Sirkulasi Air di IPPTP Bojonegara Serang …………………… 32

7. Sistem Penyaringan Air di IPPTP Bojonegara ……………….. 33

Page 8: KULTUR FITOPLANKTON

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik

secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar,

payau, dan laut. Selain pengembangan skala usaha, ikan yang dibudidayakan semakin

beragam jenisnya.

Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan usaha budidaya ikan adalah

ketersediaan pakan, dimana penyediaan pakan merupakan faktor penting di samping

penyediaan induk. Pemberian pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup akan

memperkecil persentase larva yang mati. Jenis pakan yang dapat diberikan pada ikan ada

dua jenis, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami merupakan pakan yang sudah

tersedia di alam, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang diramu dari beberapa

macam bahan yang kemudian diolah menjadi bentuk khusus sesuai dengan yang

dikehendaki.

Sasaran utama untuk memenuhi tersedianya pakan adalah memproduksi makanan

alami, karena makanan alami mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang banyak

sehingga dapat menunjang kelangsungan hidup larva selama budidaya ikan, mempunyai

nilai nutrisi yang tinggi, mudah dibudidayakan, memiliki ukuran yang sesuai dengan

bukaan mulut larva, memiliki pergerakan yang mampu memberikan rangsangan bagi ikan

untuk mangsanya serta memiliki kemampuan berkembang biak dengan cepat dalam

waktu yang relatifsingkat dengan biaya pembudidayaan yang relatif murah. Upaya untuk

memperoleh persyaratan dan memenuhi makanan alami yang baik adalah dengan

melakukan kultur fitoplankton.

Ada dua jenis fitoplankton yang digunakan pada kegiatan pembenihan ikan laut di

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara Serang yaitu

Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii. Pembudidayaan plankton jenis Chlorella sp. dan

Tetraselmis chuii tergantung pada kondisi lingkungan perairannya, serta diperlukan paket

teknologi budidaya yang baik. Budidaya plankton berbeda di tiap-tiap Negara sesuai

Page 9: KULTUR FITOPLANKTON

dengan kondisi alamnya, misalnya Indonesia adalah Negara tropis dimana suhu airnya

relative sama sepanjang tahun dibandingkan dengan Negara lain termasuk Jepang

(Anonimus, 1985).

Dalam kultur fitoplankton ada dua tujuan, ialah monokultur dan kultur murni. Bila

hendak mengkultur fitoplankton sebagai makanan zooplankter cukuplah membuat

monokultur, misalnya sebagai makanan untuk Brachionus plicatilis, yang hidup di air

payau. Tetapi bila mengkultur fitoplankter untuk keperluan genetika, fisiologi atau siklus

hidup harus mengkkultur fitoplankter yang bersangkutan secara murni, artinya tanpa

adanya bakteri (Sachlan, 1982).

Untuk menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan

berkesinambungan, pengetahuan tentang teknik kultur murni fitoplankton yang baik

mutlak diketahui oleh mereka yang bergerak di bidang usaha perikanan baik dalam skala

besar maupun kecil. Mengingat pentingnya pakan alami tersebut sebagai salah satu faktor

penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang, maka penulis berpendapat perlu

dilakukan pengamatan kultur fitoplankton Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii secara

intensif untuk memperkaya pengetahuan dalam rangka sumbangsih ilmu pengetahuan di

bidang perikanan .

1.2 Maksud dan Tujuan

Kegiatan pengamatan ini dilaksanakan di Instalasi Penelitian dan Pengkajian

Teknologi Pertanian Bojonegara dimaksudkan untuk mempelajari kultur murni

fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) dengan tujuan untuk :

1. mengetahui ruang lingkup kegiatan kultur fitoplankton (Chlorella sp. dan

Tetraselmis chuii) pada khususnya dan kultur plankton serta budidaya hewan laut

lainnya.

2. memperoleh pengetahuan keterampilan lapangan, khususnya mengenai kultur

murni fitoplankton.

3. mengetahui permasalahan dalam kultur Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii

Page 10: KULTUR FITOPLANKTON

1.3 Metode Penulisan

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dan informasi dalam pelaksanaan

pengamatan dan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Koasistensi, yaitu penerapan praktis pengetahuan teoritis di bawah bimbingan staf

instansi setempat dengan mengikuti kegiatan-kegiatan rutin, baik secara aktif

maupun secara pasif.

2. Wawancara dengan Kepala Sub Balai, staf peneliti dan teknisi yang menangani

kultur pakan alami, untuk memperoleh gambaran lebih jelas dan bimbingan selama

praktek.

3. Pengamatan langsung dengan melakukan kultur fitoplankton di laboratorium dan

studi banding

4. Diskusi

5. Studi Pustaka

1.4 Tempat Pelaksanaan Kegiatan Kultur

Pengamatan dilaksanakan di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi

Pertanian Bojonegara yang terletak di Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara,

Kabupaten Serang, Banten.

Page 11: KULTUR FITOPLANKTON

BAB II KEADAAN UMUM INSTALASI PENELITIAN DAN PENGKAJIAN

TEKNOLOGI PERTANIAN BOJONEGARA SERANG

2.1 Sejarah Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara Serang

Pada tahun 1978 dimulai suatu proyek kerjasama antara pemerintah Indonesia

dan JICA (Japan International Cooperation Agency), yaitu Marineculture Research

and Development Project (ATA-192, 1979-1996) dalam rangka pengembangan

budidaya laut di Indonesia. Maka pada tahun 1979 didirikanlah Stasiun Penelitian di

Bojonegara serang dan pada tahun 1985 menjadi Instalasi Penelitian di bawah BAlai

Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros yang bernaung di bawah Pusat

Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Instalasi

Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara Serang merupakan salah

satu institusi yang melaksanakan penelitian budidaya ikan laut di Indonesia. Instalasi

Penelitian ini didirikan berdasarkan Kepres No. 23 Tahun 1982, Kepres No.214/1983

dan Keputusan Menteri Pertanian No. 613/Kpts/OT.210/8/1984.

Penelitian di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian

Bojonegara Serang diarahkan pada pemetaan sumberdaya, seleksi induk, pematangan

dan pemijahan induk, serta pemeliharaan larva ikan laut yang potensial untuk

dibudidayakan. Instalasi ini bergerak dalam bidang budidaya Kerapu (Epinephelus

tauvina), juga melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembenihan Kakap Putih

(Lates calcalifer), Beronang (Siganus sp), dan pembesaran Cumu-cumi (Sepioteutis

lessoniana). Selain itu juga bekerjasama dengan perguruan tinggi terutama dalam

kegiatan magang, praktek lapang, dan penelitian mahasiswa.

Kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Instalasi Penelitian dan Pengkajian

Teknologi Pertanian Bojonegara Serang ini meliputi aspek-aspek bioreproduksi dan

bioteknologi, yaitu :

1. Pemeliharaan Induk Ikan

� Pengumpulan induk

� Pengamatan fisiologi dan ekologi induk

� Nutrisi pakan

� Pemijahan rangsang

Page 12: KULTUR FITOPLANKTON

2. Pembenihan

� Kultur pakan

� Teknologi pemeliharaan benih

3. Pembesaran

� Nutrisi dengan pemberian pakan

� Teknologi pembesaran dalam karamba jarring terapung

� Teknologi transportasi

4. Lain-lain

� Pengamatan kualitas perairan

� Konstruksi jaring apung (rekayasa)

� Survey sumberdaya induk ikan

� Lingkungan perairan

2.2 Letak Geografis dan Klimatologis

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara Serang

terletak di Teluk Banten pada posisi 105o5”-106o15” BT dan 5o55”-6o5” LS, di ujung

barat bagian utara Pulau Jawa. Sebelah timur, barat dan selatan dibatasi oleh pantai

yang dialiri oleh beberapa sungai kecil.

Perairan Teluk Banten relatif dangkal dengan kedalaman rata-rata 5-7 meter,

mengalami musim kemarau sekitar bulan April-September. Sementara musim hujan

terjadi pada bulan Oktober-Maret dengan curah hujan tahunan rata-rata mendekati

1500 mm. Berdasarkan pengumpulan data mulai Oktober 1979-September 1980

didapatkan suhu perairan Teluk Banten sekitar 27o-31oC, salinitas 26-35 ppm dan

kecerahan berkisar antara 1-8 m.

Secara administrasi Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian

Bojonegara Serang, termasuk ke dalam Desa Margagiri, Kecammatan Bojonegara,

Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Kecamatan Bojonegara terletak di sebelah barat

Kabupaten Serang yang mempunyai luas wilayah 6.926,947 Km2 dengan ketinggian

0-30 Km di atas permukaan laut.

2.3 Fasilitas dan Prasarana

Instalasi Penelitian memiliki total area 64,9 ha dengan dilengkapi berbagai

fasilitas dan sarana pendukung bagi kegiatan penelitian, yaitu :

1. Bangunan

Page 13: KULTUR FITOPLANKTON

Gedung utama (ruang administrasi, ruang computer, laboratorium biologi dan

kimia), laboratorium kering (kantor dan perpustakaan), laboratorium basah,

gudang, ruang teknisi.

2. Kaspal sebanyak 5 buah

3. Jaring terapung sebanyak 44 jaring (12 unit) di Pulau Tarahan

4. Total area 64,9 ha tersebar di beberapa daerah : 0,5 ha di Bojonegara; 0,9 ha di

Pulau Panjang; 2 ha di Linduk; 61,5 ha di Kamal.

5. Wadah budidaya terdiri dari : tangki reservoir, tangki filter, tangki pemeliharaan

benih, dan tangki stok induk.

Tata letak fasilitas dan sarana pendukung instalasi disajikan pada lampiran 2.

Laboratorium yang terdapat di IPPTP terdiri dari laboratorium biologi, laboratorium

basah dan dua laboratorium kimia yang terdapat di dua lokasi yaitu Bojonegara dan

Karang Hantu. Kegiatan identifikasi ikan, pemotretan telur dan larva ikan, serta

perhitungan kepadatan plankton dilakukan di laboratorium biologi. Sedangkan

laboratorium kimia digunakan untuk kegiatan pemantauan kualitas air. Pemeliharaan

larva dan pembesaran induk dilakukan pada tangki 3-30 ton di laboratorium basah.

Pembesaran induk dilakukan dalam jaring apung dan tambak. Kemurnian jasad pakan

dipertahankan pada ruang kultur plankton.

Ruangan plankton dilengkapi dengan pendingin dan lampu neon. Dalam

ruangan ini terdapat juga tabung gas karbondioksida dan system aerasi yang sangat

diperlukan. Di Bojonegara, temperature ruangan adalah 20o-27oC. Filter Millipore

untuk menyaring udara digunakan pada pipa aerasi. Untuk menunjang kegiatan kultur

plankton, beberapa jenis planton disimpan dalam lemari khusus yang mempunyai

temperature 20oC.

Instalasi ini memiliki fasilitas pengadaan air laut dan air tawar. Pengadaan air

laut diperoleh dari air laut alami perairan Teluk Banten, 220 meter dari pantai

Bojonegara yang dilengkapi dengan bak penampungan dan bak penyaringan. Sistem

pengambilan air laut dilakukan dengan menggunakan pompa sentrifugal 3 PK, untuk

mencari daerah yang airnya jernih atau bebas dari Lumpur dipasang pipa paralon

berdiameter 12 cm sepanjang 200 meter dari pinggir pantai ke tengah perairan. Ujung

pipa dibungkus dengan jaring berdiameter 1 cm. Pemasangan pipa sebaiknya tidak

menyentuh dasar paerairan agar Lumpur tidak terbawa, sehingga ujung pipa perlu

diberi penyangga berupa tumpukan batu.

Page 14: KULTUR FITOPLANKTON

Pengadaan air laut, digunakan pompa sentrifugal untuk menyedot air laut ke

dalam sumur penampungan (reservoir) berkapasitas 30 ton dengan system biofilter

tipe submerged. Air yang diperoleh dari bak reservoir dapat langsung dialirkan ke

tangki-tangki percobaan dapat juga dialirkan lebih dahulu ke bak penyaringan pasir

persegi, kemudian dialirkan ke bak-bak percobaan. Air dari bak-bak percobaan

dikeluarkan dan dibuang kembali ke perairan teluk.

Pengadaan air tawar didapatkan dari PDAM yang ditampung dalam bak

penampungan air tawar. Selain itu terdapat reservoir penampung air hujan untuk

memenuhi kebutuhan air tawar.

2.4 Tugas, Fungsi dan Organisasi

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara Serang

dikepalai oleh seorang Kepala Instalasi Penelitian yang membawahi Tata Usaha

(Pembantu Kepala IPPTP Bidang Administrasi), Kelompok Peneliti dan Fungsional

lainnya.

Gambar 1. Struktur Organisasi IPPTP Bojonegara Serang

Sumber : IPPTP Bojonegara Serang.

Kepala IPPTP

Pembantu Kepala IPPTP Bidang Administrasi

Ketua Kelompok Peneliti dan Fungsional lain

Pengelola Sarana

Pengelola Kepegawaian dan Rumah Tangga

Pengelola Keuangan dan Rencana Kerja

Pengelola Kerjasama dan Informasi

Page 15: KULTUR FITOPLANKTON

Staf Instalasi Penelitian berjumlah 82 oerang termasuk staf pada tambak

percobaan Kamal sebanyak 25 orang, dan jumlah peneliti sebanyak 20 orang

termasuk ke dalamnya 6 orang staf peneliti tambak percobaan Kamal. Tugas

peneliti di instalasi ini adalah membantu Kepala Instalasi dalam menjalankan

tugasnya dalam bidang penelitian budidaya pantai dan laut, makanan alami,

pembenihan ikan dan lingkungan perairan.

Tugas staf laboratorium adalah mengelola laboratorium dengan

menyelenggarakan pelaksanaan analisis fisika, kimia, biologi air, tanah Lumpur,

dan tumbuhan air. Staf di kolam atau tambak percobaan Bojonegara, Pulau Panjang,

Pulau Tarahan dan Linduk bertugasmelaksanakan budidaya ikan di tambak,

pembenihan, pembuatan pakan, seleksi benih, mengatur kelancaran air, memberi

makan ikan dan mencatat hasil kegiatan yang dilaksanakan.

Staf teknisi dibagi ke dalam dua kelompok yaitu teknisi kapal penelitian

KM.Lencam dan teknisi pada instalasi bengkel. Teknisi kapal penelitian

KM.Lencam bertugas melancarkan jalannya penelitian perairan, mengatur

penjemputan tamu dan memberikan informasi kepada tamu yang sedang diantar ke

tempat tujuan melalui laut. Sedangkan teknisi pada instalasi bengkel bertugas

melaksanakan pendayagunaan dan pengelolaan instalasi bengkel dan membuat

sarana penelitian serta memelihara alat agar setiap saat siap dipakai.

Kelompok peneliti dan jabatan fungsional bertugas melaksanakan penelitian

dan pengembangan budidaya laut, pakan alami, pembenihan ikan dan lingkungan

perairan.

Page 16: KULTUR FITOPLANKTON

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinjauan Umum

Fitoplankton merupakan jenis alga, termasuk ke dalam sub filum Thallofita

yang mempunyai klorofil. Fitoplankton yang ada di seluruh dunia adalah sebagai

produsen primer, dapat menyediakan makanan untuk fauna lebih banyak daripada

seluruh flora yang ada di daratan. Kapasitas fotosintesis dari semua fitoplankton yang

ada di laut lebih besar daripada seluruh flora yang ada di daratan. Dengan adanya

konsentrasi fitoplankton yang besar di laut maka terdapat banyak zooplankton sebagai

konsumen primer bagi ikan, udang-udangan dan sebagainya.

Penyebarluasan teknologi dalam bidang budidaya fitoplankton berperan

penting bagi pembenihan ikan dan udang laut. Teknologi praktis budidaya

fitoplankton yang dilakukan di IPPTP Bojonegara Serang adalah merupakan bagian

dari transfer teknologi yang disampaikan oleh para tenaga ahli budidaya laut Jepang

kepada para pendamping Indonesia selama enam tahun. Dua jenis fitoplankton

Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii telah digunakan dalam praktek budidaya

fitoplankton ini.

1.1.1 Sistematika dan morfologi

3.1.1.1 Sistematika dan morfologi Chlorella sp.

Menurut Vashista (1979), Cholrella termasuk dalam :

Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales Famili : Chlorellaceae Genus : Chlorella Spesies : Chlorella sp.

Sel Chlorella berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 µm. Dalam sel

Chlorella mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K, disamping

banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai katalisator dalam

proses fotosintesis (Sachlan, 1982).

Page 17: KULTUR FITOPLANKTON

Sel Chlorella umumnya dijumpai sendiri, kadang-kadang bergerombol.

Protoplast sel dikelilingi oleh membrane yang selektif, sedangkan di luar membran sel

terdapat dinding yang tebal terdiri dari sellulosa dan pektin. Di dalam sel terdapat

suatu protoplast yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan posisi

menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vacuola kontraktil tidak ada

(Vashista, 1979). Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya mengandung klorofil a

dan b dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan xantofil (Volesky, 1970).

Gambar 2. Sel tunggal Chlorella sp. dengan mikroskop elektron, perbesaran 25.000

kali (vashista,1979)

Keterangan gambar : 1. Dinding sel

2. Vakuola

3. Kloroplast

4. Mitokondria

5. Cytoplasma

6. Dictiosom

7. Membran nukleus

8. Nukleus

9. Lamella kloroplast

Page 18: KULTUR FITOPLANKTON

3.1.1.2 Sistematika Tetraselmis chuii

Menurut Butcher (1959) mengklasifikasikan kedudukan Tetraselmis chuii

sebagai berikut :

Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo : Chlamidomonacea Genus : Tetraselmis

Spesies : Tetraselmis chuii Tetraselmis chuii termasuk alga hijau, mempunyai sifat selalu bergerak,

berbentuk oval elips, mempunyai empat buah flagella pada ujung depannya yang

berukuran 0,75-1,2 kali panjang badan dan berukuran 10x6x5 µm (Butcher, 1959).

Menurut Mujiman (1984), Sel-sel Tetraselmis chuii berupa sel tunggal yang

berdiri sendiri. Ukurannya 7-12 µm, berkolorofil sehingga warnanya pun hijau cerah.

Pigmen penyusunnya terdiri dari klorofil. Karena memiliki flagella maka Tetraselmis

dapat bergerak seperti hewan.

Pigmen klorofil Tetraselmis chuii terdiri dari dua macam yaitut karotin dan

xantofil. Inti sel jelas dan berukuran kecil serta dinding sel mengandung bahan

sellulosa dan pektosa.

(1) (2) (3) (4)

Gambar 3. Sel tunggal Tetraselmis chuii, (1) dilihat dari ventral, (2) dan (3) bentuk cyst, (4) dari puncak. (Butcher, 1959)

1.1.2 Habitat

Chlorella tumbuh pada salinitas 25 ppt. Alga tumbuh lambat pada salinitas 15

ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm. Chlorella tumbuh

Page 19: KULTUR FITOPLANKTON

baik pada suhu 20oC, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32oC. Tuimbuh sangat baik

sekitar 20o-23oC (Hirata, 1981).

Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35 ppm

(Fabregas et al, 1984). Menurut Griffith et al (1973) mengatakan bahwa Tetraselmis

chuii masih dapat mentoleransi suhu antara 15o-35oC, sedangkan suhu optimal

berkisar antara 23o-25oC.

1.1.3 Reproduksi

Menurut Presscott (1978) Chlorella sp. berkembang biak dengan membelah

diri membentuk autospora. Sedangkan pada waktu membelah diri membentuk

autospora, Chlorella sp. melalui empat fase siklus hidup (hase, 1962; Kumar and

Singh, 1981). Keempat fase tersebut adalah :

1. Fase pertumbuhan (growth), periode perkembangan aktif sel massa yaitu

autospora tumbuh menjadi besar.

2. Fase pematangan awal (early revening), autospora yang telah tumbuh menjadi

besar mengadakan persiapan untuk membagi selnya menjadi sel-sel baru.

3. Fase pematangan akhir (late revening), sel-sel yang baru tersebut mengadakan

pembelahan menjadi dua.

4. Fase autospora (autospora liberation), pada fase ini sel induk akan pecah dan

akhirnya terlepas menjadi sel-sel baru.

pemasakan awal pertumbuhan

Pelepasan pemasakan akhir Gambar 4. Siklus hidup Chlorella sp.

Page 20: KULTUR FITOPLANKTON

Pertumbuhan Chlorella sp. dapat di ukur dengan cara mengamati dan

menghitung perkembangan jumlah sel dari waktu ke waktu (Bold dan Wyne , 1983).

Reproduksi Tetraselmis chuii terjadi secara vegetatif aseksual dan seksual.

Reproduksi aseksual dimulai dengan membelahnya protoplasma sel menjadi dua,

empat, delapan dalam bentuk zoospore setelah masing-masing melengkapi diri

dengan flagella. Sedangkan reproduksi secara seksual, setiap sel mempunyai gamet

yang identik (isogami) kemudian dengan bantuan substansi salah satu gamet tersebut

ditandai dengan bersatunya kloroplast yang kemudian menurunkan zygote yang

sempurna (Erlina dan Hastuti, 1986).

Gambar 5. Siklus hidup Tetraselmis chuii (Prescott, 1970)

3.2 Peranan Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii

3.2.1 Peranan dalam budidaya perikanan

Kegunaan Chlorella secara tidak langsung mulai berkembang. Chlorella

merupakan makanan hidup bagi jenis-jenis tertentu golongan ikan sehingga seringkali

sangat diperlukan dalam budidaya. Penyediaan makanan alami berupa plankton nabati

dan plankton hewani yang tidak cukup tersedia, seringkali menyebabkan kegagalan

dalam mempertahankan kelangsungan hidup larva pada pemeliharan larva udang

Penaeid.

Page 21: KULTUR FITOPLANKTON

Seperti halnya Chlorella, Tetraselmis juga sangat penting untuk menunjang

budidaya perikanan, terutama sebagai pakan yang baik pada larva ikan maupun

udang.

3.2.2 Peranan bagi manusia

Menurut Prescott (1976), jasad renik dengan kesanggupannya tumbuh dan

berkembang biak dengan cepat serta bergizi tinggi, merupakan potensi sumber bahan

makanan yang dapat membantu mengatasi masalah kebutuhan protein bagi kehidupan

manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berbagai penelitian yang

telah dilakukannya mengenai Chlorella, ternyata jenis alga memenuhi syarat untuk

dipergunakan sebagai bahan makanan manusia. Penelitian Spoehr dan Milner dalam

Burlew (1976) misalnya, menunjukkan bahwa alga mempunyai kandungan nutrisi

yang dapat dikontrol menurut kondisi kulturnya.

Chlorella termasuk cepat dalam berkembang biak, mengandung gizi yang

cukup tinggi, yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk ekstrak,

kadar air 5,7%, dan serat 0,4%. Untuk setiap berat kering yang sama, Chlorella

mengandung vitamin A, B, D, E, dan K, yaitu 30 kali lebih banyak dari pada vitamin

yang terdapat dalam hati anak sapi, setta empat kali vitamin yang terkandung dalam

sayur bayam, kecuali vitamin C (Watanabe, 1978).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Chlorella dapat digunakan sebagai

makanan tambahan yakni ditambahkan ke dalam es krim, roti, ataupun air susu sapi.

Dengan penambahan tepung Chlorella, ternyata dapat meningkatkan kadar protein

sebesar 20% dan lemak 75% di dalam roti dan mie, dan kira-kira 30% protein dan

lemak 15% di dalam es krim (Verkarataman, 1969).

Chlorella juga menghasilkan suatu antibiotik yang disebut Chlorellin, yaitu

suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri

(Vashista, 1979). Hingga kini manfaat Tetraselmis sangat penting dalam dunia

perikanan, sedangkan pada manusia belum ada hubungannya secara langsung.

Tetraselmis termasuk dalam kelas Chlorophyceae yang merupakan salah satu alga laut

yang dimanfaatkan sebagai pakan ikan, udang dan kerang-kerangan.

Page 22: KULTUR FITOPLANKTON

3.3 Teknik Kultur Fitoplankton

Pada suatu unit pembenihan, penyediaan pakan alami untuk larva ikan

dibedakan menjadi dua kegiatan, yaitu kultur murni (skala laboratorium) dan kultur

missal (dalam bak bervolume besar).

Alga untuk makanan larva udang pada awalnya berasal dari laut. Oleh karena

itu diperlukan suatu teknik untuk mengambil satu jenis plakton yang dikehendaki,

yang disebut teknik isolasi (Martosudarmo dan Sabarudin, 1983).

3.3.1 Media isolasi

Media isolasi dengan media alami adalah berupa air yang di ambil dari bak air

tawar maupun air laut yang diperkaya dengan penambahan unsur hara yang sesuai

dengan jenis plankton yang akan dimurnikan (Mujiman, 1984).

3.3.2 Metode isolasi

Dalam hal mengisolasi satu spesies plankton dari alam ada beberapa metode

yang dapat dilakukan, salah satunya adalah metode agar media. Metoda ini digunakan

untuk plankton yang dapat dibudidayakan dalam agar-agar seperti Chlorella sp. dan

Tetraselmis chuii.

Pada dasarnya teknik isolasi menggunakan sejumlah cawan petri, pipa kapiler,

beaker glass dan pipet yang sebelum dipergunakan harus steril terlebih dahulu dengan

autoclave. Cawan steril di isi larutan agar dan sesudah larutan agar membeku di taburi

air plankton dengan pipet tetes yang berujung kecil. Cawan petri di tutup dan di

simpan pada suhu kamar (± 25oC) selama beberapa hari. Setiap koloni plankton yang

tumbuh diperiksa dengan bantuan mikroskop, untuk mencari jenis alga yang

dikehendaki. Apabila masih tercampur harus dikultur lagi dalam media agar sampai

diperoleh koloni yang benar-benar murni (Martosudarmo dan Sabaruddin, 1980).

3.3.3 Cara menghitung kepadatan plankton

Untuk mengetahui keberhasilan dalam pembibitan dari jenis plankton yang

dikehendaki perlu diketahui tingkat kepadatannya (Mujiman, 1984). Alat yang

digunakan untuk mengukur kepadatan adalah Haemacytometer (Thoma) dengan

bantuan mikroskop.

Page 23: KULTUR FITOPLANKTON

Penghitungan kepadatan Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii dilakukan setiap

hari sekali. Pipet yang digunakan untuk mengambil Chlorella sp. dan Tetraselmis

chuii terlebih dahulu di cuci dengan air tawar yang bersih lalu dipanaskan dalam oven

pada suhu 100oC selama sepuluh menit, guna menghindari kontaminasi. Air dari pipet

diteteskan pada haemacytometer dan di tutup dengan cover glass, selanjutnya dilihat

di bawah mikroskop dengan perbesaran 100-400 kali.

Menurut Fatuchri (1984), mengatakan bahwa ruang hitung dalam suatu

haemacytometer mempunyai dimensi sebagai berikut : kedalaman 0,1 mm dan

panjang 1 mm serta lebar 1 mm (volume 0,0001 cm3). Luas ruang hitung adalah

1 mm2 yang terbagi dalam 400 kotak yang masing-masing luasnya 0,0025 mm2.

Penghitungan Chlorella sp.dilakukan dalam 400 kotak (bila kepadatan relatif rendah)

atau dalam beberapa kotak yang di pilih secara acak (bila kepadatan terlalu tinggi).

Cara penghitungan Tetraselmis chuii sama dengan cara penghitungan Chlorella sp.

Estimasi kepadatan sel alga dapat di hitung sebagai berikut :

1. Dalam 400 kotak (bila kepadatan rendah)

Jumlah sel x 104/ml = a sel/ml

2. Dalam beberapa kotak (bila kepadatan terlalu tinggi)

Rata-rata jumlah sel x 400 x 104/ml = a sel/ml

A

C

B

Gambar 6. Haemacytometer model Thoma

Keterangan : A = tampak atas B = tampak samping C = ruang hitung dilihat dalam mikroskop Sumber : Fatuchri M.S, 1984

Page 24: KULTUR FITOPLANKTON

BAB IV

BAHAN DAN METODE

4.1 Persiapan Alat dan Bahan

4.1.1 Persiapan alat

1. Wadah budidaya

Selama pemeliharaan digunakan wadah budidaya (labu ukur) yang volumeya

5 Liter, sebanyak tiga buah. Wadah-wadah tersebut ditempatkan di ruangan

tertutup, ber-AC dan tanpa ada ventilasi udara. Masing-masing wadah

dilengkapi dengan aerasi yang berkekuatan sama. Sebelum penebaran

dilakukan sterilisasi terhadap wadah budidaya dengan cara dibersihkan dengan

menggunakan larutan HCL 0,1 N.

2. Aerator

Aerasi yang diberikan bertujuan ntuk suplai oksigen dan membantu

penguapan gas-gas yang tidak berguna. Aerasi diberikan terus menerus, mulai

penebaran bibit (inokulasi) sampai kegiatan kultur selesai. Besarnya aerasi

adalah 50 ml/detik.

3. Autoclave

Sebelum kegiatan kultur dimulai, media budidaya perlu dipanaskan dahulu

dengan alat yang disebut autoclave. Tujuannya adalah untuk menghilangkan

dan membunuh jasad-jasad renik yang terbawa, sehingga didapatkan air yang

steril. Autoclave yang digunakan diberikan tekanan 1 atm dengan suhu

pemanasan 121oC.

4. Timbangan

Sebagai alat pengukur berat bahan yang dipakai pada pembuatan larutan atau

sol, timbangan yang dipergunakan adalah timbangan elektronik Shimadzu

buatan Jepang.

5. Lampu

Selama pemeliharaan, diberikan cahaya dengan intensitas yang merata pada

semua wadah budidaya. Lampu yang dipergunakan adalah lampu neon sebesar

20 Watt dengan intensitas cahaya sebesar 5000 lux.

6. Selang plastik

Digunakan untuk memberikan saluran aerasi, berdiameter 0,5 cm.

Page 25: KULTUR FITOPLANKTON

7. Filter Millipore

Digunakan pada pipa aerasi.

8. Alat-alat yang digunakan dalam perhitungan kepadatan fitoplankton, yaitu :

• Mikroskop

• Pipet

• Haemacytometer (Thoma)

• Cover glass

• Hand counter

• Termometer

• Beaker glass

• Botol sample

Persiapan yang dilakukan sebelum penebaran adalah membersihkan wadah

budidaya (labu ukur) beserta pipa selang aerasi. Wadah budidaya sebelum digunakan

terlebih dahulu dibersihkan dengan larutan HCL 0,1 N.

4.1.2 Persiapan bahan

1. Biota peliharaan

Biota peliharaan yang digunakan dalam budidaya adalah Chorella sp. dan

Tetraselmis chuii yang diambil dari biakan murni yang telah tersedia di

laboratorium makanan alami di IPPTP Bojonegara Serang.

2. Air laut, sebagai media kultur berasal dari perairan pantai Banten.

3. Pupuk, jenis pupuk yang digunakan untuk memperkaya media kultur adalah

Mequel Solution yang terbagi tiga bagian, yaitu Sol A, Sol B, dan Sol C.

4. Vitamin B12

5. Filter paper, buatan Jepang dengan merek Toyo no.2

6. Alumunium foil, untuk menutup botol budidaya (labu ukur)

7. Formalin 10%, untuk melumpuhkan plankton pada saat penghitungan

4.2 Persiapan Media

Media yang digunakan adalah air laut yang bersalinitas 32 ppt. Untuk

pemeliharaan organisme makanan alami , seperti Chorella sp. dan Tetraselmis chuii,

terlebih dahulu air diozonisasi dan di beri sinar ultra violet (UV), untuk

menghilangkan organisme-organisme yang tidak diperlukan. Air laut tersebut

Page 26: KULTUR FITOPLANKTON

dimasukkan ke dalam wadah budidaya (labu ukur) sebanyak 4 Liter. Kemudian

dipanaskan di dalam autockave selama satu jam, dengan suhu mencapai 121oC. Labu

ukur di tutup dengan alumunium foil. Setelah air dingin, alumunium foil dilubangi

dan di beri pupuk Mequel Solution (Sol A, Sol B, dan Sol C dengan perbandingan

2:1:1 dalam mili liter untuk tiap liter air laut yaitu Sol A sebanyak 8 ml, Sol B

sebanyak 4 ml, dan Sol C sebanyak 4 ml).

Tabel 1. Komposisi Larutan Pupuk Analyse Mequel Solution

Larutan / Sol Bahan Kimia Ukuran Unit (gram)

A KNO3 20,2

Na2HPO4.12H2O 50

CaCl3.2H2O 33,56

EDTA 15

HCl 25

B

Cleurat 32 4

MnCl2.4H2O 4,323

CuSO4.5H2O 0,047

CoCl2.6H2O 0,121

H3BO3 0,342

FeCl3.6H2O 3,872

Na2MnO4.2H2O 1,261

C

ZnCl2 0,313

Larutan A, B dan C diberi Vitamin B12 sebanyak 0,5 ml

Sumber : IPPTP Bojonegara Serang

4.3 Penebaran Bibit

Penebaran Chorella sp. dan Tetraselmis chuii dilakukan setelah selesai

persiapan media budidaya. Media budidaya yang digunakan dimasukkan dahulu ke

dalam labu ukur, setelah itu bibit Chorella sp. dimasukkan ke dalam labu 1 dan

Tetraselmis chuii dimasukkan ke dalam labu 2 dan 3. Bibit Chorella sp. dan

Tetraselmis chuii yang dimasukkan ke dalam labu ukur tersebut harus diperiksa

terlebih dahulu agar tidak mengalami kontaminasi yaitu dilakukan penyaringan

dengan penyaring air Whatman GF/C dengan bantuan Toyo filter.

Page 27: KULTUR FITOPLANKTON

Bibit Chorella sp. yang dimasukkan ke dalam labu 1 sebanyak 100 ml,

sedangkan Tetraselmis chuii yang dimasukkan ke dalam labu 2 dan 3 masing-masing

sebanyak 200 ml. Setelah semua bibit dimasukkan, kemudian di beri aerasi dengan

memasukkan selang aerasi yang dilengkapi pipet.

4.4 Perawatan

Perawatan meliputi pengontrolan aerasi dan dilakukan pengocokan setiap hari

sekali, supaya tidak terjadi pengendapan di dasar labu.

4.5 Pengamatan Populasi Fitoplankton

Pengamatan populasi fitoplankton yaitu dengan menghitung kepadatan

Chorella sp. dan Tetraselmis chuii yang dilakukan setiap hari sekali. Untuk

menghitung kepadatannya digunakan alat Haemacytometer dengan bantuan

mikroskop dan Hand Counter.

Page 28: KULTUR FITOPLANKTON

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 Hasil Pengamatan Kultur Fitoplankton

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap kepadatan kultur

Chorella sp. dan Tetraselmis chuii selama masa kultur, tingkat kepadatan populasi

tertinggi Chorella sp. dan Tetraselmis chuii disajikan dalam Tabel 2. Setelah di amati

selama 10 hari, dapat di lihat bahwa pertumbuhan harian populasi Chorella sp. dan

Tetraselmis chuii terus meningkat.

Tabel 2. Tingkat Kepadatan Kultur Murni Chorella sp. dan Tetraselmis chuii Selama Masa Kultur

Kepadatan (x 104 individu/ml) Hari ke-

Chorella sp. Tetraselmis chuii Tetraselmis chuii

1 133 17 20

2 202 64 51

3 428 119 112

4 650 185 219

5 723 458 542

6 825 473 578

7 1136 491 623

8 1231 527 696

9 1382 665 827

10 1513 752 940

Tingkat kepadatan Chorella sp. terbanyak terjadi pada hari ke-10 yaitu

sebanyak 1513 x 104 individu/ml . Dan tingkat kepadatan Tetraselmis chuii terbanyak

juga pada hari ke-10, yaitu hari pengamatan yang terakhir dengan jumlah populasinya

pada wadah 2 (Tetraselmis chuii I) adalah sebanyak 752 x 104 individu/ml,

sedangkan pada wadah 3 (Tetraselmis chuii II) adalah sebanyak 940 x 104

individu/ml. Jumlah populasi puncak pada wadah 3 tersebut merupakan jumlah

populasi puncak tertinggi dari kedua wadah pada kultur Tetraselmis chuii.

Page 29: KULTUR FITOPLANKTON

Kegiatan kulltur fitoplankton dilakukan di ruang plankton, dengan suhu media

berkisar antara 21o-24oC dan suhu usdara berkisar antara 20o-27oC. Salinitas pada

awal kultur adalah 32 ppm, di mana pada saat kultur terjadi kenaikan salinitas tapi

tidak begitu nyata.

Selama kegiatan kultur berlangsung, aerasi diberikan secara terus menerus dan

semua wadah budidaya diberi cahaya dengan menggunakan lampu neon. Sebelum

kultur di mulai dilakukan pemupukan dan pemberian vitamin B12 terhadap media

kultur.

1.2 Pembahasan

Keberhasilan kultur fitoplankton yang berasal dari air laut ditentukan oleh

beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kekuatan cahaya, dan pH, serta aerasi yang

harus di jaga benar selama pelaksanaan kultur.

Kegiatan kultur murni Chorella sp. dan Tetraselmis chuii yang dilakukan di

ruang plankton dengan suhu ruangan (udara) dan suhu media (larutan) tidak banyak

mengalami perubahan karena kultur berlangsung di dalam ruangan ber-AC yang

menjamin suhu ruangan selalu stabil sehingga sedikit kemungkinan terjadinya

penguapan media kultur. Suhu media berkisar antara 20o-27oC. Suhu tersebut cukup

baik untuk pertumbuhan Chorella sp. dan Tetraselmis chuii, hal ini sesuai dengan laju

pertumbuhan harian yang selalu meningkat pada kedua jenis fitoplankton laut

tersebut.

Salinitas merupakan salah satu sifat kimia air yang secara langsung maupun

tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan organisme air.

Salinitas pada awal kultur Chorella sp. dan Tetraselmis chuii adalah 32 ppm. Pada

saat kultur biasanya terjadi kenaikan kadar garam, hal ini disebabkan oleh adanya

hasil metabolisme dan adanya pengendapan. Chlorella sp tumbuh baik pada salinitas

antara 15-35 ppm dan tumbuh paling baik pada salinitas 25 ppm. Pertumbuhan alga

pada salinitas 15, 45, 50, dan 55 ppt, dan hampir tidak tumbuh baik pada salinitas 0

dan 60 ppt (Hirata, 1981). Dan Tetraselmis chuii tumbuh dengan salinitas optimal

antara 25-35 ppm (Fabregas et al, 1984). Cahaya di laboratorium makanan alami di

IPPTP Bojonegara Serang sangat mendukung kehidupan dan pertumbuhan

Chorella sp. dan Tetraselmis chuii.

Aerasi diberikan secara terus menerus mulai penebaran bibit sampai

percobaan selesai, dimana aerasi yang diberikan ini bertujuan untuk mensuplai

Page 30: KULTUR FITOPLANKTON

oksigen dan membantu penguapan gas-gas yang tidak berguna. Selain itu, aerasi dapat

menyebabkan turbulensi dan sirkulasi media kultur yang penting sekali untuk

mempertahankan temperatur agar tetap homogen sehingga aerasi sangat dibutuhkan

selam kultur.

Untuk memperkaya kandungan nutrien yang sangat dibutuhkan dalam

pertumbuhan plankton perlu dilakukan pemupukan air media. Pupuk merupakan

bahan yang mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh jasad hidup. Faktor

yang menentukan untuk mendapatkan efisiensi dan efektivitas pemupukan setinggi-

tingginya adalah dengan memberikan dosis pemupukan yang tepat dan cara

pemupukan yang baik.

Disamping unsur anorganik, alga juga membutuhkan unsur organik antara lain

adalah vitamin. Menurut Danikusumah dkk (1989), mengatakan bahwa vitamin B12

penting untuk merangsang pertumbuhan alga walaupun diperlukan dalam jumlah

yang sedikit.

Kesempurnaan pembilasan dengan air tawar pada peralatan kultur dan

pemeriksaan pedahuluan pada bibit Chorella sp. dan Tetraselmis chuii yang

diinokulasi sangat penting untuk menghindari terjadinya kontaminasi terhadap media

kultur. Kemampuan menjaga faktor lingkungan dan pemupukan juga merupakan hal

yang harus diperhatikan selama kultur, sehingga kendala-kendala yang dihadapi

selama kultur dapat teratasi.

Page 31: KULTUR FITOPLANKTON

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kultur murni fitoplankton (Chorella sp. dan Tetraselmis chuii) perlu dilakukan

secara intensif untuk menyediakan makanan alami dalam jumlah yang cukup, tepat

waktu dan berkesinambungan. Mengingat pentingnya pakan alami tersebut sebagai

salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan kultur murni

fitoplankton adalah kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, kekuatan cahaya, dan

pH. Keberhasilan media dan semua peralatan yang digunakan selama kultur,

pemupukan serta aerasi yang diberikan secara terus menerus.

Berdasarkan hasil pengamatan selama kultur, laju pertumbuhan Chorella sp.

dan Tetraselmis chuiiselalu mengalami peningkatan setiap harinya. Di samping itu,

tidak terdeteksi adanya kontaminasi. Suhu media berkisar antara 21o-24oC, sedangkan

suhu ruangan berkisar antara 20o-27oC. Salinitas pada awal kultur adalah 32 ppm.

Pencahayaan menggunakan lampu neon, dan aerasi diberikan secara treus menerus

selama pelaksanaan kultur murni fitoplankton.

6.2 Saran

Dalam kegiatan kultur murni fitoplankton, sebaiknya sterilisaasi media dan

alat-alat harus selalu di jaga agar kultur tidak terkontaminasi.

Perlu adanya penambahan unsur hara terhadap media kultur, yaitu berupa

pemberian pupuk yang optimal dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan dan

kualitas air agar makanan alami tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan

berkesinambungan.

Page 32: KULTUR FITOPLANKTON

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1985. Budidaya Phytoplankton. Seri ke sembilan. Sebuah Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Serang Banten.

Anonymous. 1992. Pedoman Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang.

Departemen Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.

Burlew, J.S. 1995. Algal Culture from Laboratories to Pilot Plant. Carnegie

Institution of Washington. Washington. Cristiani. 1983. Pengaruh Salinitas terhadap Perkembangan Populasi Monokultur

Chlorella sp. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Erlina, A. Hastuti, W. 1986. Kultur Plankton-BBAP. Ditjen Perikanan. Jepara. Fabregas, Jaime., dkk. 1984. Growth of Marine Microalga Tetraselmis svecica in

Batch Culture with Different Salinities and Concentration. Publisher. B.V. Amsterdam.

Hase, E. 1962. Cell Division. Physiologys and Biochemistry of Algae. Academic

Press. New York and London. Hirata, Hachiro., Ishak Andrias and Shigehisa Yamashaki. 1981. Effect of Salinity

and Temperature on The Growth of The Marine Phytoplankton Chlorella saccharophila. Vol. 30. Mem. Fac. Kagoshima University. Japan.

Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan

Zooplankton. Cetakan Pertama. Kanisius. Yogyakarta. Khulsum, Umi. 1986. Kultur Chlorella pyrenoidosa dan Tetraselmis tetrathele dalam

Perlakuan Dosis Pupuk yang Berbeda. Diklat Ahli Usaha perikanan. Jakarta.

Martosudarmo, B. dan Sabarudin, S. 1979. Makanan Larva Udang . Balai Budidaya

Air Payau. Jepara. Mujiman, Ahmad. 1984. Makanan Ikan. Cetakan 14. Penebar Swadaya. Jakarta. Prescott, G. W. 1978. How to Know The Freshwater Algae. Wne. Brown Company

Publisher. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas

Diponegoro. Semarang.

Page 33: KULTUR FITOPLANKTON

Vashista, B. R. 1979. Botany for Degree Student. S. Chand and Company Ltd. Ram

Nager. New Delhi. Verkarataman, G.S. 1969. The Cultivation of Algal. Indian Council of Agriculture

research. New Delhi. Volesky, B. 1979. Algal Product. In Properties of Algal (Ed) Penum Press. New

Delhi. Watanabe, T. 1979. Nutritional Quality of Living Feeds Used in Seed Production of

Fish. Proc. Japan-Soviet Joint. Symp Agriculture 7.