Kultur Brachionus
-
Upload
samidaryanto -
Category
Documents
-
view
310 -
download
23
description
Transcript of Kultur Brachionus
Branchionus
Dosen : Eko Prasetio, S.Pi, M.P
Disusun Oleh
Muhammad Sami Daryanto (10 111 0449)
Mustain (10 111 0449)
Ibrahim (10 111 0449)
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kendala dari usaha budidaya ikan adalah ketersediaan pakan.
Semakin berkembangnya usaha budidaya maka jumlah pakan yang dibutuhkan
akan semakin banyak. Biaya pakan adalah biaya terbesar yang dikeluarkan dari
total biaya produksi suatu usaha budidaya ikan. Salah satu bentuk pakan yang
diberikan adalah pakan alami. Salah satu pakan alami tersebut adalah Brachionus
plicatilis
Brachionus plicatilis sering digunakan pada tempat perbenihan ikan laut
karena jenis pakan tersebut memiliki keuntungan dibanding zooplankton lainnya.
Teshima et al. (1980) telah mencoba serangkaian penelitian untuk menggantikan
Brachionus plicatilis dengan pakan buatan atau plankton lainnya sebagai pakan
awal larva ikan laut, tetapi peran Brachionus plicatilis belum dapat digantikan
dengan pakan lainnya. Brachionus plicatilis mempunyai keuntungan-keuntungan
sebagai berikut: mudah dicerna oleh larva ikan, mempunyai ukuran yang sesuai
dengan mulut larva ikan, mempunyai gerakan yang sangat lambat sehingga mudah
ditangkap oleh larva, mudah dikultur secara massal, pertumbuhan dan
perkembangannya sangat cepat dilihat dari siklus hidupnya, tidak menghasilkan
racun atau zat lain yang dapat membahayakan kehidupan larva serta memiliki
nilai gizi yang paling baik untuk pertumbuhan larva.
Dalam pembahasan kali ini dibahas bagaimana teknik pembudidayaan
(kultur) pakan alami yaitu Brachionus plicatilis secara benar agar dapat digunakan
sebagaimana mestinya sebagai pakan alami pada ikan.
1.2 Tujuan
2
Penulisan ini betujuan untuk mengetahui bagaimana kultur Brachionus
plicatilis yang baik dan benar agar dapat digunakan sebagaimana mestinya oleh
pembudidaya guna menggantikan pakan alami artemia yang harganya mahal.
Adapun tujuan kedua adalah untuk mengetahui peranan brachionus pada budidaya
perikanan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi Brachionus plicatilis:
Filum : Avertebrata
Kelas : Aschelmintes
Subkelas : Rotaria
Ordo : Eurotaria
Famili : Brachionidae
Subfamili : Brachioninae
Genus : Brachionus
Spesies : Brachionus plicatilis Gambar 1. Brachionus plicatilis
2.2. Morfologi
Tubuh Brachionus plicatilis terbagi atas tiga bagian yaitu kepala, badan dan
kaki atau ekor. Batas bagian kepala dengan badan tidak jelas, bagian kaki dan
ekor berakhir dengan belahan yang disebut jari. Badannya dilapisi oleh kutikula
yang tebal dan disebut lorika. Ujung depan tubuh dilengkapi dengan gelang-
gelang silika yang kelihatan melingkar seperti spiral disebut korona dan berfungsi
untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Anonim, 1992).
Sel tubuh Brachionus picatilis tersusun sebagai jaringan tubuh yang
membentuk sistem organ yang umumnya masih sangat sederhana. Sistem
pencernaan dimulai dari mulut yang dekat dengan korona. Di bagian mulut
terdapat faring yang disebut mastax. Kerongkongannya pendek, yaitu yang
menghubungkan antara mastax dengan lambung. Makanan yang tidak dicerna
dibuang keluar melalui anus (Djuhanda, 1980 dalam Wahyuni, 2009). Makanan
4
diambil terus menerus sambil berenang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Secara alami Barchionus suka makan jasad–jasad renik yang lebih kecil dari
dirinya, antara lain ganggang renik, ragi, bakteri dan protozoa.
Dari hasil penelitian Snell & Garman (1996) dalam Wahyuni (2009),
menyimpulkan bahwa perkembangan secara kawin atau tidak kawin sebenarnya
terjadi pada waktu yang hampir bersamaan perkawinan. Peristiwa
perkawinan Brachionus plicatilis akan sangat bergantung pada peluang terjadinya
kontak antara Brachionus plicatilis jantan dengan Brachionus plicatlis betina.
Pada saat populasi meningkat, jumlah jantan semakin banyak maka peluang untuk
tejadinya perkawinan akan semakin besar.
Lama hidup Brachionus plicatilis betina berkisar antara 12-19 hari dan
umur Brachionus plicatilis jantan berkisar antara 3-6 hari. Antara bentuk jantan
dan betina terdapat perbedaan bentuk yang mencolok yaitu, Brachionus jantan
memiliki bentuk tubuh yang jauh lebih kecil daripada yang betina dan juga
mengalami degenerasi dan yang jantan biasanya muncul pada musim-musim
tertentu saja baik secara partenogenesis. (Anonim, 1990)
Gambar 2. Morfologi Brachionus plicatilis
2.3. Perkembangan
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (1995) dalam Wahyuni
(2009) menjelaskan bahwa Brachionus plicatilis mempunyai daur hidup yang
5
unik dalam keadaan normal brachionus berkembang secara
parthenogenesis (bertelur tanpa kawin). Brachionus plicatilis betina yang
amiktik akan menghasilkan telur yang berkembang menjadi betina amiktik pula.
Namun dalam keadaan yang tidak normal, misalnya terjadi perubahan salinitas,
suhu air dan kualitas pakan, maka brachionus betina yang amiktik tadi, telurnya
dapat menetas menjadi betina miktik. Betina miktik akan menghasilkan telur yang
akan berkembang menjadi Brachionus plicatilis jantan. Selanjutnya
bila Brachionus plicatilis jantan dan Brachionus plicatilis betina miktik tersebut
kawin maka betina miktik akan menghasilkan telur kista yang akan tahan terhadap
kondisi perairan yang sangat jelek dan tahan terhadap kekeringan. Telur kista ini
akan dapat menetas lagi apabila keadaan perairan telah menjadi normal kembali.
Menurut Isnansetyo & Kurniastuti (1995) dalam Wahyuni (2009), Pada
mulanya betina miktik menghasilkan 1- 6 telur kecil. Betina miktik adalah betina
yang dapat dibuahi. Telur yang dihasilkan oleh betina miktik akan menetas
menjadi jantan. Jantan ini akan membuahi betina miktik dan menghasilkan 1-2
telur istirahat. Telur ini mengalami masa istirahat sebelum menetas menjadi betina
amiktk. Betina amiktik adalah betina yang tidak dapat dibuahi. Dari betina
amiktik yang terjadi ini maka reproduksi secara aseksual akan terjadi lagi. Betina
miktik hanya akan menghasilkan telur miktik demikian pula sebaliknya.
Gambar 3. Reproduksi Brachionus plicatilis
6
Walaupun telah banyak literatur yang menerangkan adanya perubahan antara
betina amiktik menjadi betina miktik ini, namun pembiakan secara bisexual ini
belum banyak diketahui secara jelas. Untuk beberapa genera dari famili
Brachionidae diketahui bahwa kondisi yang menentukan seekor betina menjadi
amiktik atau miktik terjadi beberapa saat sebelum telur mulai membelah. Hal ini
juga menunjukkan banwa yang mngontrol produksi betina miktik ini pada
umumnya adalah kondisi lingkungan (faktor luar) dan bukan merupakan faktor
dalam semata (Dahril, 1996) dalam (Wahyuni,2009).
2.3. Kandungan Gizi
Makanan merupakan salah satu faktor penunjang dalam perkembangan larva
ikan, karena ikan membutuhkan energi untuk pertumbuhan, aktifitas dan
reproduksi. Sebagian dari energi berasal dari makanan, demikian juga
pertambahan biomass ikan sangat tergantung dari energi yang tersedia pada ikan
tersebut. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan energi perlu diberikan
makanan yang berkualitas tinggi sehingga memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Nilai
nutrisi makanan, pada umumnya dilihat dari komposisi gizinya seperti kandungan
protein, lemak, kadar air, serat kasar dan abu (Hariati, 1989). Menurut Anonimus
(1990) Adapun kandungan gizi dari Brachionus plicatilis adalah: kadar air 85,70,
protein: 8,60, lemak: 4,50, abu: 0,70
Berbagai macam alga dapat dijadikan sebagai bahan pengkaya gizi
brachionus dari hasil-hasil penelitian diperoleh alga yang paling baik adalah
Chlorella sp. yang merupakan mikro organisme laut yang merupakan sumber
produsen omega-3 HUFA. Asam lemak yang dihasilkan cukup tinggi karena
mempunyai siklus rantai makanan yang pendek dan kandungan asam lemak
omega-3nya cukup tinggi yaitu sebesar 20-45% dari seluruh kandungan asam
lemak esensialnya.
2.4. Makanan Branchionus
Brachionus plicatilis Umumnya bersifat omnivora dan suka memakan jasad-
jasad renik yang mempunyai ukuran tubuh kecil dari dirinya, seperti : alga, ragi,
bakteri dan protozoa. Brachionus plicatilis bersifat penyaring tidak selektif (non
7
selective filter-feeder). Pakan diambil secara terus menerus sambil berenang
(Isnansetyo & Kurniastuty, 1995).
Makanan utama dari brachionus adalah fitoplankton dan plankton lainnya,
detritus dan bahan-bahan organik terutama yang mengendap di dasar perairan.
Brachionus plicatilis juga pemakan segala dan partikel-partikel yang berukuran
sesuai dengan besar alat penghisapnya.
Semua jenis makanan tersebut dikonsumsi dengan cara filtrasi. Dari jenis
makanan tersebut, jenis alga hijau Chlorella sp. yang paling efisien untuk pakan
brachionus dalam kultur massal. Jumlah dan kualitas makanan brachionus sangat
mempengaruhi populasi brachionus. Beberapa hasil penelitian menyebutkan
bahwa kepadatan Tetraselmis dan Chlorella sebesar 5 juta sel/ml dan ragi roti
sebanyak 1-2 g/berat badan/1 juta brachionus akan diperoieh brachionus sebanyak
500-700 ekor/ml selama 3 minggu dengan inokulasi awal 10 ekor/ml. Oleh sebab
itu untuk mendapatkan brachionus yang lebih baik disarankan agar dalam
memberikan pakan Chlorella sebaiknya dengan kepadatan 2,13- 3,5 x I juta
sel/ml.
8
BAB III
PEMBAHASAN
3. 1 Prinsip Kultur Brachionus
Pada suatu unit pembenihan, penyediaan pakan alami untuk larva ikan
dibedakan menjadi dua kegiatan, yaitu kultur murni atau skala laboratorium dan
kultur massal atau dalam bak bervolume besar, Brachionus sp. dapat berkembang
dengan baik jika dipelihara di tempat yang mendapat sinar matahari (Mujiman,
1998). Brachionus plicatilis bersifat euthermal.
Brachionus ditemukan di perairan tawar, payau, atau laut, tergantung jenisnya
(Mudjiman, 1984). Pertumbuhan populasi Brachionus sp. Dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti suhu, pH, salinitas, konsentrasi oksigen terlarut. Pada
umumnya berbagai faktor lingkungan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan populasi Brachionus plicatilis, faktor lingkungan yang dimaksud
antara lain: suhu, derajat keasaman dan salinitas (Isnansetyo & Kurniastuty,
1995).
1.1.1. Suhu
Pada suhu 15°C Brachionus plicatilis masih dapat tumbuh, tetapi tidak
dapat bereproduksi, sedangkan pada suhu di bawah 10°C akan terbentuk telur
istirahat. Kenaikan suhu antara 15-35°C akan menaikkan laju reproduksinya.
Kisaran suhu antara 22-30°C merupakan kisaran suhu optimum untuk
pertumbuhan dan reproduksi.
1.1.2. Salinitas
Isnansetyo & Kurniastuty,(1995) menyatakan bahwa Brachionus plicatilis
betina dengan telurnya dapat bertahan hidup pada salinitas 98 ppt, sedangkan
salinitas optimalnya adalah 10-35 ppt, disamping itu Brachionus plicatilis juga
bersifat euryhalin.
1.1.3. pH
9
Keasaman air turut mempengaruhi kehidupan brachionus.
Brachionus Brachionus plicatilis ini masih dapat bertahan hidup pada pH 5 dan
pH 10, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi berkisar antara
7,5-8,0 (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995).
1.1.4. DO
Jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh brachionus pada suhu air 10°C
adalah 7,07x10-5 ml/hari, pada suhu air 25° C 10,04x10-5 ml/hari dan pada suhu
30°C sebesar 16,48xl0-5ml/hari (Fukusho, 1989).
1.1.5. Intensitas Cahaya
Cahaya secara tidak langsung dapat mempengaruhi fotosintesa bakteri dan
mikroalga yang terdapat dalam tangki kultur dan dapat tumbuh subur serta dapat
digunakan sebagai pakan brachionus (Fukusho, 1989). Sebagian besar jenis
brachionus sangat bereaksi positif dengan cahaya dan sebagian lainnya
menghindari cahaya demikian pula terhadap brachionus pelagik lebih responsif
terhadap cahaya dibanding brachionus bentik (Hyman, 1951).
Menurut Hoff and Snell dalam Fulks and Man (1991), intensitas cahaya
yang diperlukan untuk kultur brachionus dalam ruangan tidak melebihi 2.000-lux
dandianjurkan menggunakan photoperiod selama 18:6 jam untuk siklus terang dan
gelap per harinya.
1.1.6. Senyawa-senyawa Organik
Senyawa organik terpenting pada budidaya adalah NH3-N (amoniak),
NO2-N (nitrit)dan N03
-N (nitrat). Senyawa organik dari unsur alami didalam air
maupun yang berasal dari cemaran dan perombakan bahan- bahan pupuk, kotoran
atau pakan yang diberikan dalam jumlah berlebihan. Menurut Yu and Hirayama
(1986), kandungan senyawa N anorganik yang meningkat dalam media kultur
langsung menurunkan densitas brachionus.
Amoniak merupakan produk hasil metabolisma dan pembusukan senyawa
organik oleh bakteri. Amoniak (NH3) berbentuk ion adalah racun untuk budidaya
sedangkan NH4 tidak berbahaya kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi (Cholik
1987). Konsentrasi amoniak bebas tidak melebihi 1 mg/1 pada kultur brachionus 10
(Hoff and Snell dalam Fulks & Main, 1991). Jumlah NH3 dapat diakibatkan oleh
pH yang tinggi, suhu yang tinggi dan pada salinitas tinggi. Adanya amoniak bebas
dalam kultur brachionus akan mempengaruhi peningkatan jumlah populasi
brachionus pada kultur massal (Yu and Hirayama 1986). Kadar NH3-N 17 ppm
menyebabkan penurunan populasi sebanyak 50% dalam waktu 24 jam sedangkan
NO2-N sebesar 10,5- 20 ppm sudah bersifat toksik bagi hewan air laut. Sedangkan
kadar NO3-N sebesar 1000 ppm bersifat toksik.
Dengan makin bertambahnya umur kultur jasad pakan maka makin banyak
akumulasi bahan-bahan tersebut. Akibatnya akan meracuni jasad pakan yang
dikultur dan menghambat pertumbuhannya oleh karena itu suatu cara yang paling
praktis adalah mengusahakan media kultur diperbaharui. dalam waktu yang tidak
terlalu lama agar tidak terjadi akumulasi senyawa-senyawa beracun tersebut.
3. 2 Teknik Kultur Brachionus
Menurut Juliaty (1999), teknik kultur brachionus secara massal dilakukan
dalam bak beton berukuran 100 ton. Dalam kegiatan ini hal yang perlu
diperhatikan adalah ketersediaan bibit brachionus murni, ketersediaan
fitoplankton sebagai pakan brachionus, juga ketersediaan pakan brachionus
lainnya (ragi). Lebih lanjut dikatakan bahwa teknik kultur brachionus dilakukan
dengan dua metode yaitu metode panen harian dan metode panen transfer.
Metode panen harian, brachionus dikultur dengan kepadatan 20 individu/mL
kemudian dipanen pada hari ke-5 setelah mencapai kepadatan 100-150 individu
sebanyak 30% dari total kultur. Selanjutnya bak kultur brachionus diisi kembali
dengan fitoplankton (kepadatan 3-4 juta sel/mL) pemanean dilakukn dengan
menggunakan plankton net 40 mikron dan disaring kembali dengan plankton net
250 mikron untuk memisahkan kotoran.
Metode kultur brachionus lainnya adalah metode panen transfer dalam
metode ini diperlukan beberapa bak kultur alga hijau. Pada bak pertama ditebar
brachionus dengan kepadatan awal 20 individu/mL setelah kepadatnnya mencapai
11
100 sampai 150 individu/mL brachionus dipanen dan hasil panen tersebut
digunakan sebagai bibit pada bak kultur ke-2 dan seterusnya. Pemanenan dapat
dilakukan setiap hari pada bak kultur brachionus yang berbeda.
Teknik kultur Brachionus pada umumnya terdiri dari pembibitan,
pemeliharaan, dan pemanenan.
1.1.7. Pembibitan
Brachionus merupakan pakan alami yang membutuhkan teknik yang
matang dalam melakukan pembibitan untuk mendapatkan kultur Brachionus yang
bagus. Langkah pertama yaitu menyiapkan wadah berupa bak tembok atau
bak fiberglass dengan ukuran 25 liter atau wadah lain tersedia. Wadah dibersihkan
dengan cara mencuci kemudian mengeringkannya di bawah sinar matahari.
Media pemeliharaan yang dipakai adalah ekstrak pupuk kandang seperti
kotoran ayam atau kotoran kuda. Media pemeliharaan dibuat dengan cara merebus
kotoran ayam atau kuda dalam panci sebanyak 500 g/liter air. Setelah dimasak,
kotoran disaring dengan menggunakan kain trilin.
Cairan hasil penyaringan ditampung dalam bak fiberglass ukuran 25 liter
dan diencerkan dengan menambahkan air kolam 5-10 liter. Penambahan air kolam
bertujuan agar bakteri dan jasad renik sebagai pakan brachionus dapat tumbuh.
Pada hari ketujuh, bibit brachionus yang diperoleh dari perairan umum
dimasukkan ke dalam media pembibitan. Untuk memastikan ada tidaknya
Brachionus dalam air harus dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Dalam
waktu 1-2 minggu brachionus sudah berkembang dengan baik, dan dapat
diinokulasikan untuk dipelihara. (Mujib, 2008)
1.1.8. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan setelah pembibitan. Inokulum yang sudah siap
digunakan akan dikultur melalui 2 metode, yaitu:
1). Dalam akuarium (terbatas)
Ukuran akuarium yang dapat digunakan sebagai wadah pemeliharaan
adalah 60 x 40 x 50 cm, sedangkan fiberglass yang biasa dipakai adalah
yang berukuran hingga 1 ton. Wadah dicuci bersih dan dikeringkan di
bawah terik matahari.
12
Akuarium diisi dengan air kolam dan volume air yang dimasukkan
dihitung. Hal ini diperlukan untuk memperkirakan jumlah pupuk yang
akan digunakan. Pupuk yang digunakan adalah kotoran ayam atau kotoran
kuda dengan dosis 300-400 g/liter air. Pemberian pupuk dilakukan dengan
jalan membungkus pupuk tersebut dalam kain, kemudian digantung
hingga seluruh pupuk terendam air.
Setelah tujuh hari, kondisi air media sudah siap ditebari bibit
Brachionus. Panen dapat dilakukan pada minggu berikutnya ketika
populasi Brachionus mencapai puncak. Pemanenan dilakukan dengan
menggunakan plankton net. Kepadatan populasi akan bisa dipertahankan
tetap tinggi selama satu bulan apabila setiap 5-6 hari dilakukan
pemupukan ulang sebanyak separuh dosis pupuk awal.
2). Dalam kolam (massal)
Kolam yang digunakan bisa kolam tembok atau kolam tanah yang
berukuran antara 100-00 m2. Kolam dikeringkan slama 2-4 hari hingga
dasarnya menjadi pecah-pecah. Pencangkulan dan pembajakan dilakukan
untuk membalik tanah dasar kolam sehingga udara dapat masuk ke dasar
kolam. Perbaikan-perbaikan dilakukan pada saluran pemasukan serta
kebocoran-kebocoran yang ada pada tanggul ditutup.
Perbaikan pH tanah air dan membunuh bibit-bibit penyakit dilakukan
pengapuran dengan memakai kapur pertanian atau Kapur Tohor 200-300
g/m2. Pemupukan dilakukan dengan cara menebar irisan jerami atau daun
kol secara merata dengan dosis 500 g/m2 air. Kolam diisi air hingga
menggenang.
Penyemprotan insektisida dilakukan pada hari keempat setelah
penggenangan. Insektisida yang dipakai adalah Sumithion 50 EC dengan
dosis 4 ppm untuk membunuh organisme lain seperti Cladocera yang
menjadi pemangsa Brachionus.
1.1.9. Pemanenan
Pemanenan Brachionus dapat dilakukan seminggu setelah pemeliharaan.
Brachionus sudah mencapai populasi puncak. Pemanenan dilakukan dengan 13
menggunakan plankton net. Cara pemanenannya yaitu dengan mengambil air
kolam kemudian air yang terkonsentrasi pada tabung plankton net ditampung
dalam ember. Cara lain panen Brachionus adalah dengan menggunakan pompa air
yang dialirkan pada wadah tertentu.
Pemupukan ulang perlu dilakukan untuk mempertahankan populasi
Brachionus dengan dosis sebanyak setengah dosis pemupukan awal. Sebaiknya
pemupukan dilakukan setiap 5-6 hari sekali. Brachionus hidup pada perairan yang
banyak tersuspensi bahan organik. Kesukaannya memakan organisme lain yang
mempunyai ukuran lebih kecil, seperti ganggang renik, ragi, bakteri, dan
protozoa.
1.1.10.Budidaya Massal
Untuk budidaya massal wadah yang digunakan adalah bak yang
berkapasitas 1 – 10 ton. Bahkan, untuk usaha besar-besaran wadah yang
digunakan adalah bak berkapasitas antara 10 – 100 ton. Wadah untuk budidaya
dicuci dulu dan dindingnya dibilas dengan dengan laruta klorin 150 ml/ton.
Budidaya Brahcionus secara massal dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai
berikut :
a) Budidaya dengan pemupukan
Setelah wadah untuk budidaya dicuci dilanjutkan dengan pengisian air
melalui saringan dan dilanjutkan pemupukan. Pupuk yang digunakan adalah
kotoran sapi kering sebanyak 100 mg/l. bungkil kelapa sebanyak 20 mg/l, pupuk
urea 2 mg/l, dan TSP sebanyak 2 mg/l. selama 4 – 5 hari. Air dibiarkan dulu
supaya ditumbuhi oleh jasad-jasad renik yang merupakan makanan brachionus
berupa diatom seperti cyclotella, melosira, asterionella, nitzchia, dan amphora.
Setelah diatom tumbuh, bibit brachionus ditebarkan sebanyak 10 ekor/ml.
satu minggu kemudian brachionus telah berkembang menjadi 100 ekor/ml. pada
saat inilah brachionus diumpankan pada burayak-burayak ikan yang dipelihara.
b) Budidaya dengan pemberian makanan
Wadah yang digunakan berkapasitas 1 ton. Apabila menggunakan wadah
yang terlalu besar akan menyulitkan dalam pemberian makanan. Wadah tersebut
dapat dibuat dari papan kayu yang diisi lembaran plastic, bahan semen ataupun
14
fiberglass. Persiapan baknya tidak secermat pada budidaya alga. Cukup dicuci
biasa saja. Setelah itu, wadah diisi air media.
Wadahnya diletakkan di luar ruangan di bawah atap bening agar terkena
cahaya matahari langsung. Pemberian aerasi air media tidak terlalu berpengaruh
dalam pertumbuhan brachionus karena brachionus akan terdorong untuk
berkembang biak lebih cepat jika kekurangan oksigen. Pemberian oksigen cukup
dengan mengaduk-aduh air media setiap pagi.
Setelah air dan medianya siap kemudian dipupuk dengan 100 mg/l urea,
20 mg/l TSP, dan 2 mg/l FeCl3. Pemupukan tersebut bertujuan untuk
menumbuhkan chlorella atau tetraselmis. Jika alga sudah tumbuh maka airnya
berwarna kehijau-hijauan. Agar penyebaran pupuk dan alganya merata, air
diaerasi selama 4 – 5 hari sampai alga berkembang cukup banyak dengan
kepadatan sekitar 5 juta sel/,l. Setelah itu dilanjutkan penebaran bibit brachionus
dengan kepadatan 10 ekor/ml. Pada saat yang sama aerasi dihentikan.
Pemanen dilakukan setelah 5 – 7 hari berikutnya saat brachionus mencapai
kepadatan 100 ekor/ml. Selama masa pemeliharaan sampai saat panen tersebut,
populasi alga semakin lama semakin sedikit karena dimakan brachionus. Untuk
menjaga populasi alga sebaiknya dilakukan secara terpisah. Dengan demikian,
saat alga di dalam media pemeliharaan mulai berkurang dapat ditambah dengan
alga baru dari luar.
Untuk mengganti alga dapat digunakan ragi roti akan tetapi ragi roti
mempunyai pengaruh buruk terhadap nilai gizi brachionus. Hal ini disebabkan
kandungan asam lemak tak jenuh ragi roti kurang lengkap.
3. 3 Peranan Brachionus
Brachionus plicatilis merupakan jenis plankton hewani yanng hidup di
perairan litoral dan termasuk pakan larva ikan laut yang penting. Dalam
percobaan pembenihan ikan laut, brachionus diberikan sebagai pakan larva selama
kurang lebih satu bulan.
15
Kegunaan Brachionus plicatilis secara tidak langsung mulai
berkembang. Brachionus plicatilis merupakan pakan hidup bagi jenis-jenis
tertentu golongan ikan sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya.
Penyediaan pakan alami berupa plankton nabati dan plankton hewani yang tidak
cukup tersedia, seringkali menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan
kelangsungan hidup larva ikan. Brachionus plicatilis sangat penting dalam
menunjang budidaya perikanan, terutama sebagai pakan yang baik pada larva ikan
maupun udang.
Budidaya ikan secara komersial dari berbagai jenis spesies-spesies
diantaranya bivalve, crustaceae, dan ikan bertulang belakang akan mengalami
permasalahan yang serius apabila didalam proses produksinya tidak tersedia
pakan alami yang kontinyu baik kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini
dikarenakan masih banyak jenis kultivan budidaya yang masih tergantung input
pakan dari pakan organisme hidup, terutama untuk pemeliharaan kultivan dalam
bentuk larva. Dilain pihak, budidaya pakan alami harus menyesuaikan dengan
kebutuhan kultivan ikan yang dipelihara. Untuk memenuhi kebutuhan kultivan
tersebut disyaratkan sifat fisiologi jenis/spesies pakan hidup yang dikultur,
ukuran, kecepatan reproduksi, kemampuan tumbuh, dan nilai nutrisi dari setiap
jenis pakan alami. Dengan perkembangan kebutuhan pangan penduduk dunia saat
ini, maka peningkatan budidaya perikanan sangat diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Pengembangan budidaya perikanan baik di perairan tawar, payau
maupun laut diberbagai negara merupakan suatu bentuk revolusi pertumbuhan
industri baru. Kenyataan ini selaras dengan bertambahnya populasi penduduk
dunia dari tahun ketahun, permintaan akan pangan dunia, potensi produksi
perikanan yang sudah mencapai maximum sustainable yield, produksi pertanian
yang semakin menurun akibat pergeseran tata guna lahan untuk keperluan lain dan
permintaan kualitas hidup perkapita meningkat. Dengan demikian permintaan
akan pangan dari sumber hewani juga akan meningkat, lebih-lebih dilihat dari
kandungan protein ikan yang mempuyai kandungan asam amino yanglebih
lengkap dari pada sumber protein hewani lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan
gizi dari sumber protein hewani ikan diperlukan pengembangan budidaya
16
perikanan dan untuk mendukung produksi sesuai dengan kuantitas maupun
kualitas produk ikan, maka diperlukan ketersediaan pakan alami. Penyediaan
pakan alami baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas diperlukan pengetahuan
tentang teknik dasar budidaya pakan alami yang baik agar kontinyuitas produksi
ikan hasil budidaya dapat terpenuhi sesuai dengan yang diharapkan.
Sebagaian besar larva ikan umumnya memakan tumbuhan dan atau hewan
yang berukuran 4-200 mikron. Jenis tumbuhan dan hewan tersebut termasuk
didalamnya adalah plankton, yakni organisme yang hidup melayang dalam air
gerakannya selalu mengikuti arus. Namun demikian dari sejumlah spesies yang
diketahui tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami bagi
pemeliharaan larva, organisme yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan alami
dalam pemeliharaan larva harua memenuhi kriteria tertentu yaitu: ukuran sel
sesuai dengan bukaan mulut larva, kandungan nutrisi cukup tinggi, mudah dicerna
dan dapat diserap dalam tubuh larva, gerakannya lambat sehingga larva ikan
mudah menangkapnya, mudah dikultur dan mampu bertahan hidup terhadap
lingkungan yang fluktuatif salinitas, suhu, dan intensitas cahaya, pertumbuhan
populasi membutuhkan waktu yang relatif cepat sehingga dengan segera dapat
digunakan dalam keadaan segar dan hidup, usaha pembudidayaannya memerlukan
biaya yang relatif sedikit, selama daur hidupnya tidak menghasilkan bahan
beracun yang dapat membahayakan kehidupan larva.
Dari kriteria tersebut Brachionus plicatilis telah memenuhi syarat untuk
dapat digunakan sebagai pakan alami larva ikan karena memiliki ukuran yang
relatif kecil, lambat dalam berenang, mudah dibudidayakan, mudah dicerna dan
mempunyai nilai gizi yang tinggi serta diperkaya dengan asam lemak dan
antibiotik (Murtiningsih, 1985).
17
BAB IV
PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Teknik kultur brachionus secara massal dilakukan dalam bak beton berukuran
100 ton. Dalam kegiatan ini hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan bibit
brachionus murni, ketersediaan fitoplankton sebagai pakan brachionus, juga
ketersediaan pakan brachionus lainnya (ragi). Lebih lanjut dikatakan bahwa teknik
kultur brachionus dilakukan dengan dua metode yaitu metode panen harian dan
metode panen transfer.
Metode panen harian, brachionus dikultur dengan kepadatan 20 individu/mL
kemudian dipanen pada hari ke-5 setelah mencapai kepadatan 100-150 individu
sebanyak 30% dari total kultur. Selanjutnya bak kultur brachionus diisi kembali
dengan fitoplankton (kepadatan 3-4 juta sel/mL) pemanean dilakukan dengan
menggunakan plankton net 40 mikron dan disaring kembali dengan plankton net
250 mikron untuk memisahkan kotoran.
Metode kultur brachionus lainnya adalah metode panen transfer dalam
metode ini diperlukan beberapa bak kultur alga hijau. Pada bak pertama ditebar
brachionus dengan kepadatan awal 20 individu/mL setelah kepadatnnya mencapai
100 sampai 150 individu/mL brachionus dipanen dan hasil panen tersebut
digunakan sebagai bibit pada bak kultur ke-2 dan seterusnya. Pemanenan dapat
dilakukan setiap hari pada bak kultur brachionus yang berbeda.
Teknik kultur Brachionus pada umumnya terdiri dari pembibitan,
pemeliharaan, dan pemanenan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous 1985. Budidaya rotifera (Brachionus plicatilis O.F.Muller). Proyek
Penelitian dan pengembangan Budidaya Laut (ATA- 192). Kerjasama
antara Sub Balai Penelitian Budidaya Laut dan Japan International
Cooperation Agency : 16 pp.
Fukusho, K. 1989b. Biology and mass pro-duction of the rotifer, Brachionus
plicatilis (2). Int. Jour. Aqua. Fish. Tech. 1 : 292-299.
Fulks, W. and K. L. Main. 1991. Rotifer and microalgae culture systems. Pro-
ceeding of a U.S. Asia workshop. The Oceanic Institute, Honolulu, Hawaii
364 pp.
Hyman, L. H. 1951. The invertebrates: Acanthocephala, Ascelminthes and
Entoprocta. The Pseudocoelomata bilateria. Vol. III. Me. G raw Hill Book
Company. Inc. New York : 572 pp.
Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton,Zooplankton.
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius: Yogyakarta.
Mujiman, A. 1984. Makanan Ikan. Penebar Swadaya : Situbondo.
Redjeki, Sri. 1999. Budidaya Rotifera (Brachionus plicatilis). Oseana, Vol. 24,
(2) : 27 - 43
Teshima S., A. Kanazawa and M. Sakamoto 1980. Attempt to culture the rotifer
with micro encapsulated diets. Nippon Suisan Gakkaishi 44 (12) : 1351-
1355.
Theilacker, G. H. and M. F. McMaster. 1971. Mass culture of the rotifer
Brachionus plicatilis and its evaluation as a food for larval anchovies.
International Journal on Life in Oceans and Coastal Waters, Vol. 10, No.
2. Cambridge University Press : 183-188.
Wahyuni, S. H. 2009. Laju Pertumbuhan Populasi Rotifera (Brachionus
Plicatilis) Pada Media Kombinasi Kotoran Ayam, Pupuk Ures Dan Pupuk
Tsp, Serta Penambahan Beberapa Variasi Ragi Roti. Universitas Sumatera
Utara : Medan.
19