Koordinasi Antara Recloser Dan FCO

35
Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Distribusi Sistem distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang paling dekat dengan pelanggan. Sistem distribusi juga merupakan bagian sistem tenaga listrik yang paling banyak mengalami gangguan, sehingga masalah utama dalam operasi sistem distribusi adalah mengatasi gangguan. Sistem distribusi tenaga dalam hal ini berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan tenaga listrik dari gardu induk (GI) ke pusat-pusat beban berupa gardu distribusi (trafo distribusi) atau secara langsung mensuplai tenaga listrik ke konsumen dengan mutu yang memadai. Dengan demikian, sistem distribusi ini menjadi suatu sistem tersendiri, karena sistem distribusi ini memiliki peralatan-peralatan yang saling berkaitan dalam operasinya untuk menyalurkan tenaga listrik. Ilustrasi instalasi sistem distribusi tenaga listrik digambarkan oleh Gambar 2.1. Gambar 2.1 Instalasi Sistem Distribusi Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, sistem distribusi tenaga listrik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan Kelas Tegangan Berdasarkan kelas tegangan sistem distribusi diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu : Jaringan Tegangan Menengah (JTM) Gardu Induk Sekering T.M. Trafo Distribusi Rel T.R. Sekering T.R. Jaringan Tegangan Rendah (JTR) Sambungan Rumah Gardu Distribusi Tiang Pelanggan

description

Landasan Teori

Transcript of Koordinasi Antara Recloser Dan FCO

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 5

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Sistem Distribusi

    Sistem distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik yang paling

    dekat dengan pelanggan. Sistem distribusi juga merupakan bagian sistem tenaga

    listrik yang paling banyak mengalami gangguan, sehingga masalah utama dalam

    operasi sistem distribusi adalah mengatasi gangguan. Sistem distribusi tenaga

    dalam hal ini berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan tenaga listrik

    dari gardu induk (GI) ke pusat-pusat beban berupa gardu distribusi (trafo

    distribusi) atau secara langsung mensuplai tenaga listrik ke konsumen dengan

    mutu yang memadai. Dengan demikian, sistem distribusi ini menjadi suatu sistem

    tersendiri, karena sistem distribusi ini memiliki peralatan-peralatan yang saling

    berkaitan dalam operasinya untuk menyalurkan tenaga listrik. Ilustrasi instalasi

    sistem distribusi tenaga listrik digambarkan oleh Gambar 2.1.

    Gambar 2.1 Instalasi Sistem Distribusi

    Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, sistem distribusi tenaga listrik dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut :

    1. Berdasarkan Kelas Tegangan

    Berdasarkan kelas tegangan sistem distribusi diklasifikasikan menjadi 2

    kelompok, yaitu :

    Jaringan Tegangan Menengah (JTM)

    Gar

    du I

    nduk

    Sekering T.M.

    Trafo Distribusi

    Rel T.R.

    Sekering T.R.Jaringan Tegangan Rendah (JTR)

    Sambungan Rumah

    Gardu Distribusi Tiang

    Pelanggan

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 6

    a. Distribusi Primer

    Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari gardu distribusi

    sampai dengan trafo distribusi, beroperasi dengan tegangan nominal 20 kV/11,6

    kV. Sering disebut jaringan tegangan menengah (JTM), jaringan dapat berupa

    saluran kabel tegangan menengah (SKTM) atau saluran udara tegangan menengah

    (SUTM).

    b. Distribusi Sekunder

    Merupakan jaringan yang menyalurkan tenaga listrik dari keluaran trafo

    distribusi sampai dengan alat penghitung dan pembatas (APP) di instalasi

    konsumen, beroperasi dengan tegangan nominal 380 V/220 V. Sering disebut

    jaringan tegangan rendah (JTR), jaringan dapat berupa saluran kabel tegangan

    rendah (SKTR) atau saluran udara tegangan rendah (SUTR).

    2. Berdasarkan Konfigurasi Jaringan

    Berdasarkan konfigurasi jaringan sistem distribusi diklasifikasikan

    menjadi 3 kelompok, yaitu :

    a. Pola Radial

    Jaringan pola radial adalah jaringan yang setiap salurannya hanya mampu

    menyalurkan daya dalam satu aliran daya. Jaringan ini merupakan pola yang

    paling sederhana dan ekonomis. Gambar 2.2 menggambarkan saluran berupa

    feeder-feeder radial yang keluar dari GI. Sepanjang feeder terdapat gardu-gardu

    distribusi yang diletakan sedekat mungkin dengan beban.

    Keuntungan dari jaringan pola radial adalah tidak rumit dan lebih murah

    dibanding dengan pola yang lain. Namun keandalan pola ini lebih rendah

    dibanding dengan pola lainnya. Kurangnya keandalan disebabkan karena hanya

    terdapat satu jalur utama yang menyuplai gardu distribusi, sehingga apabila jalur

    utama tersebut mengalami gangguan, maka seluruh gardu distribusi akan ikut

    padam. Kerugian lain yaitu kualitas tegangan pada gardu distribusi yang paling

    ujung kurang baik, hal ini dikarenakan jatuh tegangan terbesar ada di ujung

    jaringan. Peralatan proteksi yang biasa dipasang pada jaringan pola ini berupa

    recloser sebagai pengaman saluran utama dan fuse cut out sebagai pengaman

    saluran percabangan. Fungsi peralatan proteksi tersebut adalah untuk membatasi

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 7

    GD3 GD2

    GI

    GD1

    GD4 GD5 GD6

    PMT

    PMT

    daerah yang mengalami pemadaman total, yaitu daerah saluran sesudah atau

    sebelum titik gangguan selama gangguan belum teratasi.

    Gambar 2.2 Jaringan Sistem Distribusi Pola Radial

    b. Pola Loop

    Jaringan pola loop adalah jaringan yang dimulai dari satu titik pada rel

    daya yang berkeliling di daerah beban kemudian kembali ke titik rel daya semula.

    Pola ini ditandai dengan adanya dua sumber pengisian yaitu sumber utama dan

    sumber cadangan. Jika salah satu sumber pengisian (saluran utama) mengalami

    gangguan, akan dapat digantikan oleh sumber pengisian yang lain (saluran

    cadangan). Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola loop ini ada 2 macam yaitu:

    i. Bentuk open loop, bila dilengkapi dengan normally open switch yang

    terletak pada salah satu bagian gardu distribusi, dalam keadaan normal

    rangkaian selalu terbuka,

    ii. Bentuk close loop, bila dilengkapi dengan normally close switch yang

    terletak pada salah satu bagian diantara gardu distribusi, dalam keadaan

    normal rangkaian selalu tertutup,

    Gambar 2.3 merupakan konfigurasi jaringan sistem ditribusi pola loop

    dalam kondisi normally open. Apabila pada salah satu feeder mengalami

    gangguan maka pelanggan pada feeder tersebut akan mendapat pasokan listrik

    dari feeder yang normal dengan merubah posisi LBS menjadi close. Jaringan

    sistem distribusi pola loop ini, biasanya digunakan pada sistem distribusi yang

    melayani beban dengan kebutuhan kontinuitas pelayanan yang baik. Pola jaringan

    ini mempunyai keandalan yang lebih baik daripada pola jaringan primer radial.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 8

    Gambar 2.3 Jaringan Sistem Distribusi Pola Loop Normally Open

    c. Pola Spindle

    Jaringan sistem distribusi dengan konfigurasi spindle digambarkan oleh

    Gambar 2.4 yang merupakan pengembangan dari jaringan radial dan loop yang

    terpisah. Beberapa saluran yang keluar dari gardu induk (GI) diarahakan menuju

    tempat yang disebut gardu hubung (GH), kemudian antara GI dan GH tersebut

    dihubungkan dengan satu slauran yang disebut feeder express. Pada pola ini GD

    terdapat disepanjang saluran dan terhubung seri.

    Dalam keadaan normal, semua PMT dari setiap feeder yang keluar dari GI

    dalam keadaan masuk kecuali PMT dan PMS feeder yang ada di GH. Hanya PMT

    dan PMS dari feeder express di GH yang dalam keadaan masuk. Dalam keadaan

    gangguan, pola jaringan ini bekerja seolah-olah seperti pola loop yang mendapat

    pasokan melalui feeder express dengan cara memasukan PMT dan PMS yang

    berada di GH pada feeder yang mengalami gangguan, dengan catatan daerah yang

    terkena gangguan sudah dipisahkan terlebih dahulu dari sistem yang sehat.

    Konfigurasi jaringan sistem distribusi pola spindle mempunyai keuntungan

    sebagai berikut;

    i. Sederhana dalam hal teknis pengoperasian seperti radial,

    ii. Memberikan kontinuitas pelayanan lebih baik daripada pola radial

    maupun pola loop,

    iii. Mudah dalam melakukan pengecekan beban masing-masing saluran,

    iv. Mudah dalam penentuan daerah atau bagian yang terganggu,

    v. Cocok digunakan pada daerah perkotaan dengan kerapatan beban yang

    tinggi.

    GD3 GD2

    GI

    GD1

    GD4 GD5 GD6

    PMT

    PMT LBS

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 9

    Gambar 2.4 Jaringan Distribusi Pola Spindle

    3. Berdasarkan Konfigurasi Saluran

    Secara umum berdasarkan konfigurasi saluran sistem distribusi

    diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :

    a. Konfigurasi Horizontal

    b. Konfigurasi Vertikal

    c. Konfigurasi Delta

    4. Kontinuitas Pelayanan

    Kontinuitas pelayanan merupakan salah satu unsur dari mutu pelayanan

    yang nilainya akan tergantung kepada jenis sarana penyalurannya dan sarana

    peralatan pengaman yang dipilihnya. Tingkat kontinuitas pelayanan dari peralatan

    penyalur tenaga listrik disusun berdasarkan lamanya upaya untuk pemulihan

    suplai tenaga listrik ke konsumen setelah mengalami pemutusan. Pada SPLN 52-

    3: 1983 tentang Pola Pengamanan Sistem, tingkat kontinuitas pelayanan tenaga

    listrik tersusun seperti berikut:

    a. Kontinuitas tingkat 1

    Pada tingkat ini memungkinkan jaringan berada pada kondisi padam

    dalam waktu berjam-jam dalam rangka mencari dan memperbaiki bagian-bagian

    yang mengalami kerusakan karena gangguan.

    b. Kontinuitas tingkat 2

    Kondisi jaringan padam dimungkinkan dalam waktu beberapa jam untuk

    keperluan mengirim petugas kelapangan, melokalisir kerusakan dan melakukan

    pengaturan switching untuk menghidupkan suplai beban pada kondisi sementara

    dari arah atau saluran lain.

    GD5

    GD4

    Feeder E xpress

    GI

    GH

    GD1 GD2

    GD3

    GD6

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 10

    c. Kontinuitas tingkat 3.

    Dimungkinkan padam dalam waktu beberapa menit untuk kegiatan

    pengaturan switching dan pelaksanaan switching oleh petugas yang berada di

    gardu induk atau pelaksanaan deteksi dengan bantuan Distribution Control

    Centre ( DCC ).

    d. Kontinuitas tingkat 4

    Dimungkinkan padam dalam beberapa detik, pengaturan switching dan

    pengamanan dilaksanakan secara otomatis.

    e. Kontinuitas tingkat 5

    Dimungkinkan tanpa adanya pemadaman dengan melengkapi instalasi

    cadangan terpisah dan otomatisasi penuh.

    Jaringan distribusi untuk luar kota (pedesaan) terdiri dari saluran udara

    dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi radial yang memenuhi

    kontinuitas tingkat 1 sedangkan untuk daerah dalam kota terdiri dari saluran udara

    dengan susunan jaringan menggunakan konfigurasi loop atau yang lebih baik

    yaitu konfigurasi spindle dengan bantuan DCC dimana tingkat kontinuitas sistem

    ini akan menjadi lebih baik lagi. Tingkat keandalan suatu sistem merupakan

    kebalikan dari besarnya jam pemadaman atau pemutusan pelayanan. Jadi tingkat

    keandalan yang tinggi dapat diperoleh dengan memilih jaringan dengan tingkat

    kontinuitas pelayanan yang tinggi dan frekuensi pemadaman karena gangguan

    yang rendah.

    5. Sistem Distribusi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta

    Gambar 2.5 Pola Pentanahan Langsung

    70 atau 150 kV 20 kV

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 11

    Pola sistem distribusi di wilayah Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta

    digambarkan oleh Gambar 2.5 yakni dengan menggunakan sistem 4 kawat ( 3 fase

    dan 1 netral) dengan pentanahan netral secara langsung. Sistem ini melayani

    beban fase tiga 4 kawat dengan tegangan nominal 20/11,6 kVdan fase tunggal 2

    kawat dengan tegangan nominal 11,6 kV. Di sepanjang jaringan, kawat netral

    ditanahkan dan dipakai bersama untuk saluran tegangan menengah dan saluran

    tegangan rendah dibawahnya. Sistem pelayanan ini menggunakan pola radial

    dengan kemungkinan saluran utama antara jaringan yang berdekatan dapat saling

    berhubungan dalam keadaan darurat. Pada sistem distribusi pola ini memiliki

    sistem proteksi sebagai berikut;

    a. Penutup Balik Otomatis

    Sebagai pengaman utama pada jaringan ini dengan menggunakan PMT

    yang dipasang di gardu induk. Pada jaringan dengan panjang >20 km pengaman

    yang dipasang pada sisi hulu tidak lagi peka untuk mengidentifikasi gangguan

    yang berada jauh pada ujung hilir, sehingga untuk pengaman terhadap gangguan

    temporer maupun untuk membagi jaringan dalam beberapa seksi guna melokalisir

    daerah yang terganggu sekecil mungkin maka dipasang PBO pada jarak tertentu

    sepanjang saluran utama.

    b. Saklar Seksi Otomatis

    Model saklar ini dipergunakan sebagai alat pemutus rangkaian untuk

    memisahkan saluran utama dalam beberapa seksi agar pada saat gangguan

    permanen luas daerah yang terganggu diusahakan sekecil mungkin. Saklar seksi

    otomatis pada sistem distribusi pola ini akan membuka pada saat rangkaian tidak

    ada arus yang mengalir dan PBO tidak menutup kembali. Sakalar ini bekerja

    berdasarkan penginderaan arus hubung singkat dan hitungan trip PBO, dengan

    demikian saklar ini dipasang apabila dibagian hulu terpasang PBO.

    c. Fuse Cut Out

    Fuse Cut Out dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dan

    saluran cabang, juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi sebagai pengaman

    saluran terhadap gangguan-gangguan yang bersifat permanen antara fase dengan

    tanah yang harus dikoordinasikan dengan PBO.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 12

    B. Proteksi Sistem Distribusi

    Proteksi sistem distribusi merupakan seperangkat peralatan yang

    dipergunakan untuk mengamankan sistem dari gangguan listrik atau beban lebih,

    yaitu dengan cara memisahkan bagian sistem yang terganggu dengan sistem yang

    tidak terganggu, sehingga sistem kelistrikan yang tidak terganggu dapat terus

    mengalirkan arus ke beban.Pada dasarnya sistem proteksi dalam sistem distribusi

    mempunyai peranan sebagai berikut :

    1. Mencegah atau membatasi kerusakan pada jaringan beserta peralatannya dari

    akibat adanya gangguan listrik,

    2. Menjaga keselamatan umum dari akibat gangguan listrik,

    3. Meningkatkan kelangsungan pelayanan tenaga listrik kepada konsumen.

    1. Persyaratan Sistem Proteksi

    a. Harus mampu melakukan koordinasi dengan sistem tegangan tinggi (gardu

    induk, transmisi dan pembangkit),

    b. Harus mampu mengamankan dari kerusakan,

    c. Harus mampu membatasi kemungkinan terjadinya kecelakaan,

    d. Harus dapat secepatnya membebaskan pemadaman karena gangguan

    temporer,

    e. Harus dapat membatasi daerah pemadaman akibat gangguan,

    f. Harus dapat mengurangi frekuensi pemutusan tetap karena gangguan.

    2. Persyaratan Alat Proteksi

    Sebagai pengaman jaringan distribusi tenaga listrik, semua peralatan

    proteksi yang terpasang pada sistem harus mampu bekerja secara optimal,

    sehingga sistem dapat dipastikan aman dari gangguan. Untuk dapat bekerja secara

    optimal, maka semua peralatan proteksi tersebut harus memenuhi persyaratan

    sebagai berikut :

    a. Sensitivty (Kepekaan)

    Suatu pengaman bertugas mengamankan suatu alat atau bagian tertentu

    dari sistem tenaga listrik termasuk dalam jangkauan pengamanannnya.Tugas

    suatu pengaman yaitu mendeteksi adanya gangguan yang terjadi didaerah

    pengamanannya dan harus cukup sensitif untuk mendeteksi dengan nilai

    minimum dan bila perlu mentripkan PMT atau pelebur untuk memisahkan bagian

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 13

    yang terganggu dengan bagian yang sehat. Pada prinsipnya relai harus cukup peka

    sehingga dapat mendeteksi gangguan di kawasan pengamanannya meskipun

    dalam kondisi yang memberikan rangsangan minimum.

    b. Selectivity (Ketelitian)

    Suatu pengaman harus dapat memisahkan bagian sistem yang terganggu

    sekecil mungkin yaitu hanya seksi yang terganggu saja yang menjadi kawasan

    pengamanan utamanya. Pengamanan yang demikian disebut pengaman yang

    selektif. Jadi relai harus dapat membedakan apakah gangguan terletak di kawasan

    pengamanan utamanya dimana ia harus bekerja cepat atau terletak di seksi

    berikutnya dimana ia harus bekerja dengan waktu tunda atau harus tidak bekerja

    sama sekali karena gangguannya di luar daerah pengamanannya atau sama sekali

    tidak ada gangguan.

    c. Reliability (Keandalan)

    Yaitu tingkat kepastian bekerjanya suatu alat pengaman. Dalam keadaan

    normal pengaman tidak boleh bekerja, tetapi harus pasti dapat bekerja bila

    diperlukan. Pengaman tidak boleh salah bekerja, jadi susunan alat-alat pengaman

    harus dapat diandalkan. Keandalan keamanan akan tergantung kepada desain,

    pengerjaan dan perawatannya.

    d. Speed (Kecepatan)

    Semakin cepat pengaman bekerja tidak hanya dapat memperkecil

    kerusakan tetapi juga dapat memperkecil kemungkinan meluasnya akibat-akibat

    yang ditimbulkan oleh gangguan. Untuk menciptakan selektifitas yang baik

    mungkin saja suatu pengaman terpaksa diberi waktu tunda (time delay) antara

    pengaman yang terpasang. Namun waktu tunda itu harus secepat mungkin, setelah

    waktu minimum yang disetkan ke relay untuk menghindari thermal stress.

    e. Ekonomis

    Dengan biaya yang sekecil-kecilnya diharapkan peralatan proteksi mampu

    memberikan pengamanan yang sebesar-besarnya.

    3. Peralatan Proteksi Sistem Distribusi

    Peralatan proteksi yang terpasang pada sistem distribusi bermacam-macam

    yang ditempatkan menurut fungsinya masing-masing. Adapun macam-macam

    peralatan proteksi sistem distribusi adalah sebagai berikut :

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 14

    a. Saklar Pemutus Tenaga (PMT)

    PMT merupakan peralatan proteksi utama sistem distribusi yang

    ditempatkan disisi hulu (gardu induk) jaringan yang beroperasi dengan cara

    menutup dan membuka rangkaian listrik dalam keadaan tanpa beban, beban penuh

    dan gangguan arus hubung singkat sesuai dengan ratingnya. Pada PMT ini

    terdapat media isolasi yang berfungsi untuk mengisolasi dan memadamkan busur

    api saat terjadi pemutusan rangkaian. Media isolasi pada PMT ada yang

    menggunakan minyak, hampa udara (vakum) dan gas SF6. Namun kebanyakan

    yang digunakan PLN masa kini adalah dengan menggunakan media isolasi hampa

    udara dengan alasan ekonomis juga memberikan unjuk kerja yang optimal.

    Gambar 2.6 Pemutus Tenaga 20 KV

    b. Penutup Balik Otomatis (PBO) /Recloser

    Recloser merupakan peralatan proteksi sejenis PMT yang dilengkapi

    dengan peralatan kontrol dipasang pada tiang SUTM yang difungsikan sebagai

    peralatan hubung untuk manuver jaringan dan dapat membuka secara otomatis

    apabila saluran yang dilayaninya ada gangguan arus lebih dan menutup kembali

    secara otomatis beberapa saat setelah membuka. Jumlah buka tutupnya

    dikoordinasikan dengan PMT utama yang ada di gardu induk. Untuk mendeteksi

    adanya indikasi gangguan maka recloser ini dilengkapi dengan reclosing relay

    (relai penutup balik). Pemasangan recloser pada SUTM dimaksudkan agar ketika

    terjadi gangguan temporer, jaringan dapat normal kembali dengan sendirinya dan

    ketika terjadi gangguan yang bersifat permananen akan mengurangi daerah

    padam. Recloser ditempatkan pada SUTM saluran utama dengan panjang 25 km.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 15

    Gambar 2.7 Penutup Balik otomatis / Recloser

    c. Saklar Seksi Otomatis (SSO) /Sectionalizer

    Sectionalizer merupakan peralatan proteksi yang dilengkapi kontrol

    elektronik yang digunakan untuk mengisolir seksi SUTM yang terganggu secara

    otomatis, agar daerah yang terganggu sekecil mungkin. Pengaman ini bekerja

    berdasarkan pengindra tegangan, maka dari itu SSO akan selalu berkaitan dengan

    pengaman di sisi hulunya (seperti recloser). Pengaman ini menghitung jumlah

    operasi pemutusan yang dilakukan oleh pelindung backupnya secara otomatis di

    sisi hulunya (biasanya 2 atau 3 kali trip) dan akan membuka pada saat peralatan

    pengaman di sisi hulunya dalam posisi terbuka. SSO biasanya ditempatkan pada

    SUTM dipasang seri dengan recloser (setelah recloser) bukan diantara 2 recloser

    (ditengah-tengah). Namun pengaman ini akan sulit bila dikoordinasikan dengan

    fuse cut out, karena saat terjadi gangguan fuse cut out akan langsung putus

    sehingga tegangan hilang dan SSO akan terbuka.

    Gambar 2.8 Sectionalizer

    d. Pengaman Lebur (PL) /Fuse Cut Out (FCO)

    Fuse Cut Out seperti yang terlihat pada Gambar 2.9 merupakan alat

    proteksi sistem distribusi yang bekerja dengan cara meleburkan bagian dari

    komponennya (fuse link) apabila jaringan yang dilayaninya mengalami arus

    gangguan hubung singkat atau beban lebih. Prinsip kerja dari fuse ini adalah jika

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 16

    arus yang melewati fuse melebihi nilai arus rating nominal dari fuse maka elemen

    lebur (fuse link) akan panas dan terus meningkat jika telah mencapai titik leburnya

    maka elemen akan melebur (putus). Pada SUTM, FCO biasanya ditempatkan pada

    saluran percabangan dan sebagai alat pengaman peralatan seperti trafo distribusi.

    Gambar 2.9 Fuse Cut Out

    e. Lightning Arrester (LA)

    Lightning Arrester adalah alat proteksi bagi peralatan listrik terhadap

    tegangan lebih, yang disebabkan oleh petir atau surja hubung (switching surge).

    Alat ini bersifat sebagai jalan pintas (by-pass) di sekitar isolasi. Arrester akan

    membentuk jalan yang mudah dilalui oleh arus kilat ke sistem pentanahan

    sehingga tidak menimbulkan tegangan lebih yang tinggi dan tidak merusak isolasi

    peralatan listrik. Jadi dalam keadaan normal, arrester berlaku sebagai isolator dan

    apabila timbul tegangan surja alat ini bersifat sebagai konduktor yang tahanannya

    relatif rendah, sehingga dapat meneruskan arus yang tinggi ke tanah. Setelah surja

    hilang, arrester harus dapat dengan cepat kembali menjadi isolasi. Pada sistem

    distribusi pemasangan arrester antara lain diletakan pada kabel keluaran gardu

    induk dengan saluran listrik udara, trafo tenaga yang terpasang di tiang dan di

    ujung jaringan atau ujung percabangan SUTM.

    Gambar 2.10 Lightning Arrester

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 17

    C. Penutup Balik Otomatis (PBO) / Recloser

    Penutup Balik Otomatis atau Recloser merupakan pemutus tenaga yang

    dilengkapi kotak kontrol elektonik (Electronic Control Box), yaitu suatu peralatan

    elektronik sebagai kelengkapan recloser dimana peralatan ini tidak berhubungan

    dengan tegangan menengah dan pada peralatan ini recloser dapat dikendalikan

    cara pelepasannya. Dari dalam kotak kontrol inilah pengaturan (setting) recloser

    dapat ditentukan.

    1. Kegunaan PBO / Recloser

    Pada saat terjadi gangguan permanen, recloser dapat memisahkan secara

    cepat daerah atau jaringan yang terganggu sistemnya sehingga dapat

    memeperkecil daerah yang terganggu. Pada saat terjadi gangguan sesaat, recloser

    akan memisahkan daerah gangguan sesaat sampai gangguan tersebut dianggap

    hilang, dengan demikian recloser akan masuk kembali sesuai settingnya sehingga

    jaringan akan normal kembali secara otomatis.

    2. Klasifikasi PBO / Recloser

    PBO atau Recloser dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    a. Menurut Jumlah Fase

    i. PBO 1 fase, digunakan untuk proteksi jaringan 1 fase seperti pada saluran

    percabangan. Tiga buah PBO 1 fase dapat juga digunakan pada sistem 1

    fase. Bila terjadi gangguan permanen 1 fase, maka hanya 1 fase yang

    terganggu yang akan dikunci, sedangkan pelayanan untuk 2 fase lainnya

    yang sehat yang akan terus berjalan.

    ii. PBO 3 fase, digunakan bila dibutuhkan untuk penguncian ketiga fase

    secara bersamaan sehingga jika terjadi gangguan permanen 1 fase, beban 3

    fase tidak akan bekerja dengan 2 fase.

    b. Menurut Media Pemadam Busur Api

    i. PBO dengan pemadam busur api minyak. Dalam hal ini minyak digunakan

    sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada saat kontak dipisahkan, busur

    api akan terjadi di dalam minyak, sehingga minyak menguap dan

    menimbulkan gelembung gas yang menyelubungi busur api. Minyak yang

    berada diantara kontak sangat efektif untuk memutuskan arus. Kelemahan

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 18

    pemadam busur api dengan minyak yaitu minyak mudah terbakar dan

    kekentalan minyak memperlambat pemisahan kontak, sehingga tidak

    cocok untuk sistem yang membutuhkan pemutusan arus cepat.

    ii. PBO dengan pemadam busur api hampa udara (vakum). Dalam hal ini

    vakum digunakan sebagai isolasi dan pemadam busur api. Pada PBO jenis

    ini, kontak ditempatkan pada suatu bilik vakum. Untuk mencegah udara

    masuk ke dalam bilik, maka bilik ini harus ditutup rapat dan kontak

    bergeraknya diikat ketat dengan perapat logam.

    iii. PBO dengan pemadam busur api gas SF6. Media gas yang digunakan pada

    tipe ini adalah gas SF6 (sulphur hexafluoride). Sifat gas SF6 murni adalah

    tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun dan tidak mudah terbakar.

    Sifat lain dari gas SF6 ialah mampu mengembalikan kekuatan dielektrik

    dengan cepat, tidak terjadi karbon selama terjadi busur api dan tidak

    menimbulkan bunyi pada saat pemutus tenaga menutup atau membuka .

    c. Menurut Peralatan Kontrol

    i. PBO dengan kontrol hidrolik. Digunakan dalam semua PBO 3 fase dan

    sebagian PBO 1 fase. Tipe ini dapat merasakan arus lebih melalui trip coil

    yang dihubung seri dengan jaringan.

    ii. PBO dengan kontrol elektornis. Pada PBO jenis ini akan memudahkan

    dalam mengubah karakteristik arus waktu, tingkat arus trip dan urutan

    operasi PBO tanpa harus menurunkan atau melepas PBO dari jaringan,

    merupakan kelebihan karena tidak mengganggu sistem.

    3. Operasi Kerja PBO

    Operasi kerja PBO dapat disetel cepat atau lambar seperti yang terlihat

    pada Gambar 2.11. Penyetelan operasi cepat dimaksudkan agar ketika

    gangguan temporer jaringan bisa pulih kembali dalam waktu yang cepat.

    Sedangkan operasi lambat dimaksudkan untuk memberikan kesempatan

    bekerja pada pengaman yang berada di sisi hilir pada saat terjadi gangguan

    yang bersifat permanen. Apabila recloser merasakan gangguan yang bersifat

    permanen, maka recloser akan trip sesuai settingnya sehingga mencapai

    kondisi lockout.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 19

    Gambar 2.11 Operasi Kerja PBO

    D. Pengaman Lebur (PL) / Fuse Cut Out (FCO)

    Pengaman Lebur atau FCO merupakan sebuah alat pemutus rangkaian

    listrik yang berbeban pada jaringan distribusi yang bekerja dengan cara

    meleburkan bagian dari komponennya (fuse link) yang telah dirancang khusus dan

    disesuaikan ukurannya. FCO berfungsi untuk melindungi jaringan terhadap arus

    beban lebih (over load current) yang mengalir melebihi dari batas maksimum,

    yang disebabkan karena hubung singkat (short circuit) atau beban lebih (over

    load). Konstruksi dari FCO ini jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan

    pemutus beban yang terdapat di Gardu Induk. Akan tetapi FCO ini mempunyai

    kemampuan yang sama dengan pemutus beban. FCO ini hanya dapat memutuskan

    satu saluran kawat jaringan di dalam satu alat. Apabila diperlukan pemutus

    saluran tiga fasa maka dibutuhkan FCO sebanyak tiga buah.

    1. Klasifikasi Fuse cut out

    Fuse Cut Out dapat diklasifikasi dalam 2 macam fuse yaitu :

    a. Fuse letupan (Expulsion Fuse)

    Pengaman lebur atau FCO yang digunakan pada jaringan distribusi adalah

    jenis letupan. Kontruksi pengaman lebur letupan dapat dilihat pada Gambar 2.12.

    Fuse ini tidak dilengkapi dengan alat peredam busur api, sehingga bila digunakan

    untuk daya besar maka fuse tidak mampu meredam busur api yang timbul pada

    saat terjadi gangguan, akibatnya akan timbul ledakan. Karena itu fuse ini

    dikategorikan sebagai pengaman letupan.

    Istilah letupan (expulsi) merupakan suatu tanda yang dipergunakan fuse

    sebagai tanda adanya busur listrik yang melintas didalam tabung fuse yang

    Close

    Trip

    Operasi Cepat Operasi Lambat

    Interval Reclosing

    Lockout

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 20

    kemudian dipadamkannya. Peristiwa yang terjadi pada bagian dalam tabung fuse

    ini adalah peristiwa penguraian panas secara partial akibat busur dan timbulnya

    gas yang di deionisasi pada celah busurnya sehingga busur api segera menjadi

    padam pada saat arus menjadi nol. Tekanan gas yang timbul pada tabung akibat

    naiknya temperatur dan pembentukan gas menimbulkan terjadinya pusaran gas

    didalam tabung dan ini membantu deionisasi lintasan busur api. Tekanan yang

    semakin besar pada tabung membantu proses pembukaan rangkaian, setelah busur

    api padam, partikel-partikel yang diionisasi akan tertekan keluar dari ujung

    tabung yang terbuka.

    Gambar 2.12 Bagian-bagian Pengaman Lebur Letupan

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 21

    Keterangan :

    1. Isolator Porselen 6. Mata kait dari brons

    2. Kontak dari tembaga disepuh perak 7. Tabung pelebur dari resin

    3. Klem terminal dari kuningan 8. Penggantung dari baja tahan karat

    4. Tutup yang dapat dilepas(kuningan) 9. Klem pemegang dari baja

    5. Batang pemegang atas dari baja 10. Lengan pemutus hubungan dari

    baja

    b. Fuse Liquid (Liquid Filled Fuse)

    Fuse Liquid, fuse jenis ini tidak dikenal diwilayah PT PLN (Persero).

    Namun menurut referensi, FCO semacam ini dapat digunakan untuk jaringan

    distribusi dengan saluran kabel udara.

    2. Fuse link

    Perlengkapan Fuse Cut Out terdiri dari sebuah rumah fuse (fuse support),

    pemegang fuse (fuse holder) dan fuse link sebagai pisau pemisahnya. Fuse link

    merupakan pembatas arus yang dipasang pada FCO. Ukuran fuse link ditentukan

    oleh panjang fuse link dan besarnya penampang elemen lebur. Panjang fuse link

    menentukan jumlah yang dapat ditampung dan dihantarkan dari pengikat ketika

    elemen lebur.

    3. Standar Fuse link

    Ada sejumlah standar yang dianut fuse link, salah satu standar pengenal

    fuse link dikenal dengan sebutan pengenal H. Pengenal H dispesifikasi fuse link

    tersebut mampu untuk disalurkan arus listrik sebesar 100 % secara kontinue dan

    akan melebur pada nilai tidak lebih dari 230 % dari angka pengenalnya dalam

    waktu 5 menit.

    Pada praktek dilapangan ketentuan tersebut kurang memuaskan

    penggunaanya karena hanya satu titik yang dispesifikasi pada karakteristik arus

    waktu sehingga fuse link yang dibuat oleh sejumlah pabrik yang berbeda

    mempunyai keterbatasan dalam memberikan jaminan koordinasi antar fuse link.

    Setelah fuse link dengan pengenal H kemudian muncul standar industri fuse link

    dengan pengenal K dan pengenal T pada tahun 1951.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 22

    Pengenal K untuk menyatakan fuse link dapat bekerja memutus jaringan

    listrik yang berbeban dengan waktu kerja lebih cepat dan pengenal T untuk

    menyatakan fuse link bekerja memutus jaringan listrik yang berbeban dengan

    waktu kerja lebih lambat. Fuse link tipe T dan tipe K ini merupakan rancangan

    yang universal karena fuse link ini bisa ditukar tukar (interchangeability)

    kemampuan elektris dan mekanisnya yang dispesifikasi dalam standar.

    Karakteristik fuse link tipe K dan tipe T sudah distandarisasi dan sebagai titik

    temu nilai arus maksimum dan minimum yang diperlukan untuk melelehkan fuse

    link ditetapkan pada 3 titik waktu dalam kurva karakteristik. Kondisi ini lebih

    menjamin koordinasi antara fuse link yang dibuat oleh beberapa pabrik menjadi

    lebih baik dari pada yang dimiliki fuse link H.

    Tabel 2.1 Arus Pengenal Fuse Link Tipe K

    Tabel 2.2 Arus Pengenal Fuse Link Tipe T

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 23

    Kurva karakteristik kerja fuse link tipe K dan T masing-masing dapat

    dilihat pada Gambar 2.13 dan Gambar 2.14 sebagai berikut :

    Gambar 2.13 Kurva Karakteristik ArusWaktu Fuse Link Tipe K

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 24

    Gambar 2.14 Kurva Karakteristik ArusWaktu Fuse Link Tipe T

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 25

    Dari kedua kurva karakteristik kerja fuse ini masing-masing memiliki hal

    sebagai berikut :

    a. Kurva waktu leleh minimum (minimum melting time). Yaitu kurva yang

    menunjukkan waktu yang dibutuhkan mulai dari saat terjadinya arus lebih

    sampai dengan mulai meleburnya pelebur untuk harga arus tertentu.

    b. Waktu busur. Yaitu waktu antara saat timbulnya busur permulaam sampai saat

    pemadaman.

    c. Kurva waktu pembebasan maksimum (maximum clearing time). Yaitu kurva

    yang menunjukkan waktu yang dibutuhkan dari saat terjadinya arus lebih

    sampai dengan padamnya bunga api untuk harga arus tertentu.

    4. Pemilihan Rating Arus Fuse Link FCO untuk Proteksi Percabangan

    Salah satu hal yang menjadi pertimbangkan dalam pemilihan arus

    pengenal FCO untuk proteksi saluran cabang atau saluran anak cabang adalah

    besarnya nilai arus beban maksimum yang akan atau dapat mengalir pada saluran

    cabang atau anak cabang tersebut. Untuk menentukan rating arus fuse link FCO

    yang dipilih dapat dilakukan sebagai berikut :

    1. Pilih fuse link yang sesuai dengan standar dalam hal ini PLN dalam SPLN 64

    :1985 menentukan pilihan tipe K atau T.

    2. Bagilah arus beban maksimum yang sudah ditentukan dengan kemampuan arus

    kontinyu fuse link.

    3. Koordinasi yang sebaik baiknya dengan alat proteksi yang lain seperti recloser

    dan FCO lainnya baik yang berada di sisi hulu ataupun sisi hilirnya.

    4. Perhatikan batas ketahanan penghantar terhadap arus hubung singkat.

    5. Perhatikan pula kemampuan pemutusan dari FCO, khususnya bagi FCO yang

    terpasang dekat dengan sumber tenaga

    Pemilihan rating arus fuse link FCO yang benar adalah tidak akan

    melebur atau terjadi kerusakan oleh gangguan sesaat yang terjadi disebelah

    hilirnya, karena recloserlah yang seharusnya membuka rangkaian tanpa

    memutuskan fuse link. Pada saat gangguan tetap fuse link pertama pada sisi hulu

    dari gangguan akan melebur dan membuka rangkaian setelah operasi recloser.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 26

    E. Koordinasi Antara Recloser dan Fuse Cut Out

    Dalam jaringan distribusi, khususnya saluran udara sering digunakan

    recloser dan fuse cut out bersama-sama untuk keperluan pengamanan. Recloser

    digerakan oleh relai dengan karakteristik tertentu, sedangkan fuse mempunyai

    karakteristik sendiri. Oleh karenanya perlu koordinasi antara kedua alat ini.

    Gambar 2.15 Feeder Dengan Pengaman Recloser dan FCO

    Gambar 2.15 menggambarkan SUTM 20 kV yang dilengkapi dengan

    recloser pada saluran utama dan fuse pada saluran cabang. Apabila terjadi

    gangguan pada saluran cabang, recloser pada saluran utama harus segera trip dan

    jangan sampai di dahului oleh putusnya fuse yang ada di saluran cabang. Setelah

    recloser trip, kemudian ada dead time dengan harapan agar selama waktu mati ini

    penyebab gangguan sudah hilang dan recloser masuk kembali sehingga keadaan

    menjadi normal kembali. Hal ini terasa sebagai gangguan temporer.

    Tetapi apabila gangguan yang terjadi adalah gangguan permanen dan

    terjadi di saluran cabang di belakang fuse, maka setelah dead time diatas habis dan

    recloser masuk kembali, diharapkan kali ini fuse bekerja terlebih dahulu

    mendahului recloser trip kembali. Agar hal ini dapat terlaksana maka relai harus

    berubah karakteristiknya seperti terlihat pada Gambar 2.16.

    Gambar 2.16 Kurva Waktu Arus Relai Recloser dan Fuse Cut Out

    SUTM 20 KV

    Saluran Utama

    Saluran Cabang

    Fuse Cut Out

    Waktu(detik)

    Arus (Amp) 0 100 1000 10000

    R1

    R2 S1

    S2

    0,1

    0,5

    1

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 27

    Keterangan :

    R1= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip pertama kali.

    R2= Kurva relai arus lebih sewaktu recloser trip kedua kali.

    S1= Kurva waktu minimum dari fuse.

    S2= Kurva waktu maksimum dari fuse.

    Dengan kurva arus seperti yang ditunjukan oleh Gambar 2.16 maka pada

    waktu recloser menutup kembali setelah trip yang pertama kali, fuse telah

    melebur terlebih dahulu sehingga gangguan permanen yang terjadi di saluran

    cabang tidak menyebabkan recloser trip kembali. Dengan demikian yang padam

    hanya saluran cabang yang mengalami gangguan permanen.

    F. Relai Proteksi

    Relai merupakan alat yang bekerja secara otomatis untuk mempengaruhi

    bekerjanya alat lain akibar adanya perubahan pada rangkaian. Adapun relai yang

    terpasang pada sistem proteksi distribusi terdiri dari :

    1. Relai proteksi Over Current Relay (OCR), dipergunakan untuk mengamankan

    sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat 3 fase atau 2 fase.

    2. Relai proteksi Ground Fault Relay (GFR), dipergunakan untuk mengamankan

    sistem ditribusi jika ada gangguan hubung singkat satu fase ke tanah.

    1. Relai Arus Lebih / Over Current Relay (OCR)

    Relai arus lebih adalah suatu relai yang bekerja berdasarkan adanya

    kenaikan arus yang melebihi nilai arus dan waktu settingnya. Relai arus lebih ini

    berfungsi sebagai proteksi terhadap gangguan hubung singkat antar fasa.

    Berdasarkan karakteristik hubungan kerja antara besar arus dan waktu kerja relai

    arus lebih dibagi menjadi 3 yaitu :

    a. Relai arus lebih seketika (instanstaneous over current relay).

    Relai yang bekerja seketika (tanpa waktu tunda) ketika arus yang mengalir

    melebihi nilai settingnya, tapi masih bekerja dengan waktu cepat sebesar 50-100

    mili detik dengan karakteristik seperti terlihat pada Gambar 2.17. Pada sistem

    distribusi tegangan menengah disebut setelan instant/moment/cepat. Setelan relai

    dengan karakteristik instant dapat di setkan pada OCR atau GFR.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 28

    Gambar 2.17 Karakteristik Relai Arus Lebih Instant

    Setelan instant :

    i. Setelan arus, untuk relai outgoing diambil dari arus gangguan 3 fase atau 2

    fase di lokasi gangguan 50% - 60% panjang penyulang 20 kV. Sedangkan

    untuk setelan relai incoming 40% dari panjang penyulang 20 kV.

    ii. Setelan waktu, untuk relai outgoing setelan waktunya 50 100 mili detik

    sedangkan untuk relai incoming setelan waktunya lebih besar dari setelan

    waktu di outgoing.

    b. Relai arus lebih dengan waktu tertentu (definite time over current relay).

    Relai ini akan memberikan perintah pada PMT pada saat terjadi gangguan

    hubung singkat dan besarnya arus gangguan melampaui settingnya dan jangka

    waktu kerja relai mulai pick up sampai kerja relai diperpanjang dengan waktu

    tertentu, tidak tergantung besarnya arus yang mengerjakan relai. Kurva time

    definite over current relay dapat dilihat pada Gambar 2.18, dimana waktu

    kerjanya lebih lama dari waktu setelan instant dan setelan relainya didasarkan

    pada arus beban sesuai BS 142 1996. Setelan relainya sebagai berikut :

    i. Setelan arus : 1,2-1,3 . Ibeban

    ii. Setelan waktu : 0,3 detik (minimum)

    Apabila terdapat recloser, maka terdapat tunda waktu antar relai senilai

    0,3-0,4 detik.

    Gambar 2.18 Karakteristik Relai Arus Lebih Definite

    Waktu (detik)

    Arus (Amp) If

    besar

    t=50-100 mdetik

    Waktu (detik)

    Arus (Amp) If(sesuai setelan)

    t(sesuai setelan)

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 29

    c. Relai arus lebih dengan waktu terbalik (inverse time over current relay).

    Setelan relai proteksi dengan karakteristik inverse time over current relay

    adalah karakteristik yang grafiknya terbalik antara arus dan waktu, dimana

    semakin besar arus gangguan maka semakin kecil waktu yang dibutuhkan untuk

    membuka pemutus (PMT). Karakteristik inverse sesuai IEC 60255-3 dan BS. 142

    1996 sebagai berikut :

    t =

    ((If Iset )1) x Tms (2.1)

    Tms =((If Iset )1)

    x t (2.2)

    Keterangan :

    t = Waktu trip relai (detik)

    If = Arus gangguan (Amp)

    Iset = Arus setelan relai (Amp)

    Tms = Time Multiplier Setting. Nilai yang disetkan ke relai sebagai konstanta

    , = Faktor konstanta.

    Tabel 2.3 Faktor dan

    Nama Kurva

    Standard Inverse 0,02 0,14

    Very Inverse 1 13,2

    Extremely Inverse 2 80

    Long Inverse 1 120

    Gambar 2.19 Karakteristik Relai Arus Lebih Inverse

    Arus (Amp)

    Waktu

    (detik)

    Iset1

    tset1

    Iset2

    tset2

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 30

    2. Relai Gangguan Tanah / Ground Fault Relay (GFR)

    Relai gangguan tanah yang lebih dikenal dengan GFR (ground fault relay)

    pada dasarnya mempunyai prinsip kerja sama dengan relai arus lebih, namun

    memiliki perbedaan dalam kegunaanya. Bila relai OCR mendeteksi adanya

    hubung singkat antara fase, maka GFR mendeteksi adanya hubung singkat ke

    tanah. Relai ini akan efektif apabila digunakan pada sistem tenaga listrik dengan

    pentanahan netral dengan tahanan rendah. Cara penyambungan relai gangguan

    tanah dapat dilihat pada Gambar 2.120 sebagai berikut :

    Gambar 2.20 Penyambungan Relai Gangguan Tanah

    3. Relai Penutup Balik (Reclosing Relay)

    Reclosing relay merupakan relai yang berfungsi untuk memberi perintah

    close setelah proteksi utama memberi perintah trip. Apabila gangguan bersifat

    temporer maka posisi terakhir PMT setelah ada perintah close adalah dalam

    kondisi tertutup dan sistem normal kembali. Apabila gangguan bersifat permanen

    maka relai akan memberi perintah close setelah PMT trip, namun PMT akan

    kembali ditripkan oleh proteksi utama. Reclosing relay memiliki diagram waktu

    kerja sebagai berikut :

    a. Dead Time

    Dead time merupakan selang waktu dari PMT trip sampai masuk kembali

    dan berfungsi untuk memadamkan busur api atau menghilangkan gangguan

    temporer. Sehingga penentuan dead time dipengaruhi oleh lama waktu padam

    busur api (deionisasi udara), karakteristik PMT dan stabilitas sistem. Setelan dead

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 31

    time harus lebih besar dari waktu deionisasi udara. Hal ini untuk mengindari

    terjadinya gangguan yang berulang karena busur api masih ada. Semakin besar

    level tegangan maka akan semakin lama waktu deionisasi udaranya. Penyetelan

    dead time juga memperhatikan karakteristik PMT, karena PMT mempunyai batas

    waktu minimum agar dapat menerima perintah close dengan baik setelah

    mendapat perintah trip. Karakteristik ini disebut trip close operation time yang

    bervariasi tergantung jenis penggerak PMT dan media pemadam busur apinya.

    b. Blocking/Reclaim Time

    Blocking time merupakan waktu yang digunakan untuk memblok dead

    time beberapa saat setelah PMT masuk dan berfungsi memberi kesempatan untuk

    memulihkan tenaganya setelah melakukan siklus reclosing. Blocking time

    ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan PMT untuk siap melakukan

    operasi trip-close-trip kembali. Ketika PMT trip, PMT akan melakukan charging

    ke mekanik penggerak PMT. Sehingga selama proses charging ini PMT tidak

    boleh close. Maka dari itu, untuk mengakomodasi hal ini setelan blocking time

    pada reclosing relay harus lebih besar dari waktu yang diperlukan PMT untuk

    siap melakukan operasi trip-close-trip. Prinsip kerja dari reclosing relay

    diilustrasikan oleh Gambar 2.21.

    Gambar 2.21 Rangkaian Reclosing Relay

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 32

    G. Gangguan Pada Sistem Distribusi

    Gangguan yang terjadi pada sistem distribusi lebih sering jika

    dibandingkan dengan bagian sistem tenaga listrik lainnya. Maka dari itu masalah

    utama dalam operasi distribusi adalah mengatasi gangguan tersebut. Memang

    gangguan yang terjadi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya akan tetapi pihak

    perusahaan berusaha untuk meminimalisir gangguan tersebut.

    1. Berdasarkan Penyebab Gangguan

    a. Gangguan Berasal dari Dalam

    Gangguan yang disebabkan oleh sistem itu sendiri berupa tegangan lebih,

    arus lebih dan pemasangan material yang tidak baik pada sistem. Misalnya

    pemasangan sambungan konduktor yang tidak sempurna atau pemasangan

    peralatan yang tidak sesuai dengan SPLN.

    b. Gangguan Berasal dari Luar

    Gangguan yang disebabkan oleh kondisi geografis dan faktor alam suatu

    wilayah yang dilewati oleh jaringan distribusi tenaga listrik. Misalnya pohon

    tumbang mengenai SUTM, surja petir dan gempa bumi.

    2. Berdasarkan Lama Gangguan

    a. Gangguan Temporer

    Merupakan gangguan yang dapat hilang dengan sendirinya (dalam waktu

    singkat) atau memutuskan sesaat bagian yang terganggu dari sumber tegangannya

    kemudian akan menutup kembali. Gangguan seperti ini biasanya terjadi pada

    SUTM dimana pernghantarnya tidak mempunyai isolasi. Gangguan ini antara lain

    disebabkan oleh :

    i. Disebabkan karena adanya sambaran petir pada penghantar listrik yang

    tergelar di udara sehingga menyebabkan flashover antara penghantar dengan

    traves melalui isolator.

    ii. Penghantar tertiup angin yang dapat menimbulkan gangguan antar fase atau

    penghantar fase menyentuh pohon sehingga menimbulkan gangguan fase ke

    tanah.

    b. Gangguan Permanen

    Merupakan gangguan dimana untuk pembebasannya perlu dilakukan

    tindakan perbaikan atau menyingkirkan material penyebab gangguan dalam waktu

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 33

    yang lebih lama daripada gangguan yang bersifat temporer, sehingga gangguan ini

    menyebabkan pemutusan tetap.

    3. Gangguan Hubung Singkat

    Pada sistem tenaga listrik, gangguan hubung singkat diklasifikasikan ke

    dalam 2 jenis yaitu :

    a. Gangguan Simetris

    Merupakan gangguan yang terjadi pada semua fasenya sehingga arus

    maupun tegangan setiap fasenya tetap seimbang setelah gangguan terjadi.

    Misalnya gangguan hubung singkat 3 fase.

    b. Gangguan Tak Simetris

    Merupakan gangguan yang mengakibatkan arus dan tegangan pada setiap

    fasenya menjadi tak seimbang. Misalnya gangguan hubung singkat 1 fase ke

    tanah (single line to ground fault), gangguan hubung singkat 2 fase (line to line

    fault) dan gangguan hubung singkat 2 fase ke tanah (double line to ground

    fault).

    4. Upaya-Upaya Mengurangi Jumlah Gangguan

    Upaya untuk mengurangi jumlah gangguan pada sistem dapat dilakukan

    dengan hal-hal sebagai berikut :

    a. Memasang peralatan yang dapat diandalkan dalam hal ini harus sesuai dengan

    standar PLN.

    b. Penentuan spesifikasi dan desain yang baik sehingga tahan terhadap kondisi

    kerja normal ataupun pada saat gangguan.

    c. Merencanakan dan melaksanakan pemeliharaan peralatan secara periodik

    sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dari dalam sistem dapat dicegah.

    d. Memeriksa peralatan pengaman seperti relai-relai untuk memastikan unjuk

    kerja relai yang baik.

    e. Melakukan pemangkasan ranting-ranting pohon yang sudah dekat dengan

    saluran.

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 34

    H. Komponen Simetris

    Menurut teori Fortescue dalam sistem tak seimbang yang terdiri dari n

    buah fasor yang saling berhubungan dapat diuraikan menjadi n buah sistem

    dengan pasor seimbang. Jadi tiga pasor tidak seimbang dari suatu sistem tiga fase

    dapat diuraikan menjadi tiga sistem pasor seimbang, dimana komponennya

    sebagai berikut :

    a. Komponen urutan positif, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam

    magnitude dimana masing-masing terpisah satu dengan lainnya dalam sudut

    fase 1200 dan mempunyai urutan fase sama seperti pasor aslinya.

    Gambar 2.22 Komponen Urutan Positif

    b. Komponen urutan negatif, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam

    magnitude, dimana masing-masing terpisah satu dengan yang lainnya dalam

    sudut fase 1200 dan mempunyai urutan fase yang berlawanan dengan pasor

    aslinya.

    Gambar 2.23 Komponen Urutan Negatif

    c. Komponen urutan nol, terdiri dari tiga pasor yang sama besarnya dalam

    magnitude, dengan pergeseran fase nol antara fase yang satu dengan yang lain.

    Va1 Vc1

    Vb1

    Va2

    Vb2

    Vc2

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 35

    Gambar 2.24 Komponen Urutan Nol

    Jumlah tegangan dan arus pada sistem merupakan penjumlahan masing-

    masing komponen simetris masing-masing urutan, sebagaimana dijelaskan oleh

    persamaan berikut :

    Va = Va1 + Va2 + Va0 (2.3)

    Vb = Vb1 + Vb2 + Vb0 (2.4)

    Vc = Vc1 + Vc2 + Vc0 (2.5)

    Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0 (2.6)

    Ib = Ib1 + Ib2 + Ib0 (2.7)

    Ic = Ic1 + Ic2 + Ic0 (2.8)

    Dengan bantuan operator a = 1120o dan a2 = 1 2402 maka persamaan

    diatas menjadi sebagai berikut :

    Va = Va1 + Va2 + Va0 (2.9)

    Vb = a2Va1 + a Va2 + Va0 (2.10)

    Vc = a Va1 + a2Va2 + Va0 (2.11)

    Ia = Ia1 + Ia2 + Ia0 (2.12)

    Ib = a2Ia1 + a Ia2 + Ia0 (2.13)

    Ic = a Ia1 + a2Ia2 + Ia0 (2.14)

    Kemudian untuk menghitung tegangan dan arus komponen masing-masing

    urutan dapat menggunakan persamaan berikut :

    Va0 = 1

    3 Va + Vb + Vc (2.15)

    Va1 = 1

    3 Va + a Vb + a

    2 Vc (2.16)

    Va2 = 1

    3 Va + a

    2 Vb + a Vc (2.17)

    Va0 Vb0

    Vc0

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 36

    Ia0 = 1

    3 ( Ia + Ib + Ic ) (2.18)

    Ia1 = 1

    3 ( Ia + a Ib + a

    2 Ic ) (2.19)

    Ia2 = 1

    3 ( Ia + a

    2 Ib + a Ic ) (2.20)

    I. Perhitungan Impedansi

    1. Impedansi Sumber

    Impedansi sumber merupakan nilai impedansi pada sisi 150 kV yang

    mencakup impedansi sumber pembangkit, impedansi trafo tenaga di pusat listrik

    dan impedansi transmisi. Untuk mengetahui impedansi sumber pada sisi 20 kV,

    maka harus menghitung terlebih dahulu impedansi sumber pada sisi150 kV yang

    kemudian dikonversikan ke impedansi sumber sisi 20 kV dengan menggunakan

    rumus sebagai berikut :

    Xsc1 =kV 1

    2

    MVA sc (2.21)

    Keterangan :

    Xsc1 = Impedansi sumber 150 kV (ohm).

    kV1 = Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)

    MVAsc = Data daya hubung singkat sisi 150 kV (MVA)

    Untuk mengkonversi impedansi yang terletak di sisi 150 kV ke sisi 20 kV

    dengan cara menggunakan rumus sebagai berikut :

    Xsc 2 =kV 2

    2

    kV 12 x Xsc 1 (2.22)

    Keterangan :

    Xsc2 = Impedansi sumber 20 kV (ohm)

    kV2 = Tegangan sisi sekunder trafo tenaga (kV)

    kV1 = Tegangan sisi primer trafo tenaga (kV)

    2. Impedansi Trafo Tenaga

    Impedansi urutan positif dan negatif di dapat dari rumus sebagai berikut :

    XT1 = XT2 =kV 2

    MVA x % (2.23)

    Keterangan :

    XT1 = Impedansi trafo urutan positif (ohm)

    XT2 = Impedansi trafo urutan negatif (ohm)

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 37

    kV = Tegangan operasi (kV)

    MVA = Kapasitas daya trafo (MVA)

    % = Persentase impedansi tercantum pada name plate

    Sedangkan untuk nilai impedansi urutan nol (XT0) trafo tenaga dengan

    hubungan belitan Dyn adalah :

    XT0 = XT1 (2.24)

    3. Impedansi Penyulang

    Nilai impedansi penyulang di dapat dari rumus sebagai berikut :

    ZPenyulang = R + jXL L (2.25)

    Keterangan :

    R = Resistansi kawat saluran (ohm/km)

    jXL = Reaktansi kawat saluran (ohm/km)

    L = Panjang saluran (km)

    Untuk nilai resistansi dan reaktansi masing-masing urutan positif, negatif

    dan nol ditentukan berdasarkan diameter dan jenis kawat yang digunakan pada

    saluran. Standar nilai resistansi dan reaktansi untuk jenis kawat A2C dan A3C

    ditunjukan pada Tabel 2.4.

    Tabel 2.4 Nilai Impedansi Kawat

    4. Impedansi Ekuivalen

    a. Nilai impedansi ekuivalen urutan positif (Z1eq) dan negatif (Z2eq) adalah

    sebagai berikut :

    Z1eq = Z2eq = Xsc 2 + XT1 + Z1Penyulang (2.26)

    b. Nilai impedansi ekuivalen urutan nol (Z0eq) adalah sebagai berikut :

    Z0eq = XT0 + 3Rn + Z0Penyulang (2.27)

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 38

    Rn = Resistansi pentanahan netral (pentanahan langsung = 0)

    J. Perhitungan Arus Hubung Singkat

    Perhitungan arus gangguan hubung singkat pada saluran diperlukan untuk

    mengetahui besarnya arus setiap titik tertentu pada saluran untuk dijadikan bahan

    pertimbangan pemasangan peralatan pada jaringan dan keperluan setting peralatan

    proteksi. Pada perhitungan arus hubung singkat digunakan rumus dasar hukum

    ohm sebagai berikut :

    I = V

    Z (2.28)

    Keterangan :

    I = Arus hubung singkat (ampere)

    V = Tegangan sumber (volt)

    Z = Impedansi ekuivalen dari titik gangguan sampai ke sumber (ohm)

    Perhitungan arus hubung singkat dalam hal ini dibatasi hanya pada

    perhitungan arus hubung singkat 1 fase ke tanah (Single Line to Ground Fault /

    SLG). Dimana arus hubung singkat 1 fase ke tanah ini termasuk ke dalam kategori

    gangguan hubung singkat tak simetri seperti telah di sampaikan pada pembahasan

    gangguan hubung singkat terdahulu.

    Gangguan 1 fase ke tanah terjadi misalnya salah satu penghantar tersentuh

    pohon atau kawat yang terhubung dengan tanah. Dengan adanya gangguan pada

    salah satu fase ini maka akan muncul diagram pasor tak seimbang. Pada Gambar

    2.25 dimisalkan pada sistem terjaadi gangguan hubung singkat pada fase a.

    Gambar 2.25 Hubung Singkat 1 Fase ke Tanah

    Dengan terjadinya gangguan hubung singkat 1 fase ke tanah seperti yang

    terlihat pada Gambar 2.25 dapat dinyatakan bahwa :

    Ec Eb

    Ea

    Zb

    Zc

    Zn

    Za Ia

    Ib

    Ic

  • Wisnu Fajri PDTE SV UGM 2012 | 39

    a. Dalam kondisi normal maka Va=Vb=Vc dan Ia=Ib=Ic=0,

    b. Dalam kondisi gangguan maka Ib=Ic=0, Ia0 dan Va=0.

    Sehingga pada kondisi SLG, persamaan arus komponen simetrisnya

    menjadi :

    Ia0 = Ia1 = Ia2 = 1

    3Ia (2.29)

    Dan persamaan tegangan komponen simetrisnya yang dinyatakan dalam

    bentuk matrik menjadi :

    Va0 Va1 Va2

    = 0

    Ea0

    Z0eq 0 0

    0 Z1eq 0

    0 0 Z2eq

    Ia1Ia1Ia1

    (2.30)

    Apabila kedua suku matrik diatas dikalikan dengan matrik [ 1 1 1] maka

    akan di dapatkan persamaan sebagai berikut :

    Va0 + Va1 + Va2 = Ea Z0eq Ia1 Z1eq Ia1 Z2eq Ia1

    0 = Ea Z0eq + Z1eq + Z2eq Ia1

    Ia1 = If1 =Ea

    Z0eq + Z1eq + Z2eq (2.31)