KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL …digilib.unila.ac.id/21634/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL …digilib.unila.ac.id/21634/3/SKRIPSI TANPA BAB...
KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL
MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ
(Skripsi)
Oleh
SURTINI KARLINA SARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK
KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL
MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ
Oleh
Surtini Karlina Sari
Pada penelitian ini, katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ telah dipreparasi menggunakan
metode sol-gel dan pektin sebagai agen pengemulsi, dilanjutkan dengan kalsinasi
pada temperatur 600 dan 700 oC. Katalis telah dikarakterisasi dengan teknik yang
berbeda. Katalis digunakan untuk uji konversi selulosa menjadi gula alkohol pada
temperatur 100, 120 dan 140 oC serta aliran gas H2 50 ml/menit dari awal proses
hidrolisis selulosa selama 1, 2 dan 3 jam. Analisis keasaman dengan metode
gravimetri, mengungkapkan bahwa katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ memiliki keasaman
6,36 dan 6,17 mmol piridin/gram pada katalis yang telah dikalsinasi 600 dan 700 oC. Berdasarkan metode Fourier Transform Infra Red (FTIR) situs asam Lewis
lebih dominan. Hasil analisis difraksi sinar-X (XRD) katalis terdiri dari beberapa
fasa kristal yakni fasa La2(MoO4)3, LaCrO3, dan sedikit LaCrO4 dengan fasa
kristal terbanyak berupa LaCrO3 pada katalis 700 oC. Hasil analisis morfologi
katalis dengan metode Transmission Electron Microscop (TEM) menunjukkan
morfologi permukaan yang heterogen. Hasil analisis distribusi ukuran partikel
dengan metode Particle Size Analyzer (PSA) menunjukkan adanya nanopartikel
dengan jumlah relatif 15,35% pada kalsinasi 600 o
C dan 13,38 % pada kalsinasi
700 oC. Uji Fehling mengindikasikan bahwa hasil terbaik diperoleh menggunakan
aliran gas H2 50 ml/menit dan waktu hidrolisis 2 jam. Analisis menggunakan
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) mengungkapkan bahwa
selulosa dikonversi menjadi mannitol dengan konsentrasi tertinggi sebesar
30504,58 ppm dihasilkan dari eksperimen pada kondisi 100 oC, menggunakan
katalis yang dikalsinasi pada 700 oC.
ABSTRACT
CELLULOSE CONVERSION INTO SUGAR ALCOHOL
USING THE CATALYST LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ
By
Surtini Karlina Sari
In this study, LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ catalysts were prepared using sol-gel method and
pectin as an emulsifying agent, followed by calcination at 600 and 700 oC. The
catalysts were characterized using different techniques. The catalysts were then
tested for conversion of cellulose into alcohol sugars at different temperatures of
100, 120 and 140 oC and 50 ml/min H2 gas flow, for different times of 1, 2, and 3
hours. The acidity by gravimetric methods revealed that LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ
catalysts have acidity of 6.36 and 6.17mmol pyridine/gram of catalysts calcined
at 600 and 700 oC, respectively. According to Fourier Transform Infra Red (FTIR)
method the Lewis acid sites are predominant. The results of the analysis of X-ray
diffraction (XRD) indicated that catalyst comprises several crystalline phase,
including La2(MoO4)3, LaCrO3, and LaCrO4 with the highest crystallinity of
LaCrO3 exhibited by the catalyst calcined at 700 oC catalyst. The results of
morphology analysis using Transmission Electron Microscop (TEM) method
shows heterogeneous morphology of the surface. The results of the particle size
distribution analysis by Particle Size Analyzer (PSA) demonstrated the presence
of nano-particles with the relative amount of 15.35% in the catalyst calcinated at
600 oC and 13.38% in the catalyst calcinated at 700
oC. Fehling test indicated that
the best result was obtained using 50 ml/min H2 gas flow and hydrolysis time for
2 hours. Analysis using High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
revealed that cellulose was converted into mannitol with the highest concentration
of 30504.58 ppm produced from the experiment carried out at 100 oC, using the
catalyst calcined at 700 oC.
KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL
MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ
Oleh
SURTINI KARLINA SARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA SAINS
pada
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 Juni 1992 sebagai anak pertama
dari empat bersaudara dan merupakan buah hati dari pasangan Muhammad Saman dan
Erni.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Kedaton Bandar
Lampung pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Bandar
Lampung pada tahun 2007, dan penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di
MAN 1 Bandar Lampung pada tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai
mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Kimia
Dasar untuk Jurusan Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Unila pada tahun 2014. Pada tahun 2013 penulis melakukan Kerja Praktik di
Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.
Penulis juga aktif di Lembaga Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki)
periode 2012/2013 sebagai anggota bidang sosial masyarakat, Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FMIPA Unila periode 2012/2013 sebagai anggota muda. Rohani
Islam (ROIS) periode 2012/2013 sebagai anggota bidang sosial masyarakat, serta Bina
Rohani Islam Mahasiswa (Birohmah) periode 2013/2014 sebagai sekretaris staf sekjen.
Karya kecil ini kupersembahkan sebagai wujud sayang, bakti dan tanggung jawabku
Kepada
Orang-orang yang kusayangi:
Kedua orang tuaku, Mama dan Papa yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilanku,
Adik-adikku Maya Surya Ningsih, Tri Dewi Cahyani, dan Rani Nirmala yang selalu memberi semangat dan dukungan yang luar biasa
disetiap langkahku,
Sahabat, Teman, dan Adik-adik yang selalu menemani dan berjuang bersamaku,
Guru-guru yang senantiasa membimbing dan membagi ilmunya untukku,
dan Almamater tercinta.
“...Allah akan Mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat... (Al-
Mujadalah: 11)”.
MOTO
SANWACANA
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, ridho,
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tidak lupa
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia.
Skripsi dengan judul “Konversi Selulosa Menjadi Gula Alkohol Menggunakan
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
tulus kepada:
1. Dr. Rudy T. M. Situmeang, M.Sc., selaku Pembimbing Utama. Terimakasih karena
bapak telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Memberikan ilmu
pengetahuan, motivasi, arahan, dan nasehat kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D., selaku pembantu pembimbing penulis atas
kesediaan waktu, memberikan petunjuk, saran, serta nasehat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku pembahas dan Ketua Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan, kepercayaan, arahan, dan saran demi
terselesaikan skripsi ini.
4. Prof. Warsito, D.E.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
5. Dr. Noviany,S.Si., M.Si., Heri Satria, S.Si., M.Si., Ni Luh Gede Ratna Juliasih,
Dian Herasari, serta Seluruh dosen yang telah mengajarkan, membimbing, dan
memberikan ilmu dengan tulus.
6. Ibu Liza Aprilia, S.Si., selaku laboran Kimia Anorganik-Fisik FMIPA Universitas
Lampung, yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
7. Bapak Gani dan Ibu Nora selaku administrasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
8. Staf dan karyawan di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Lampung.
9. Papa dan Mama terimakasih banyak untuk bantuan, usaha, kerja keras, nasehat, dan
senantiasa berkorban tanpa kenal lelah serta usaha untuk selalu memberikan yang
terbaik bagi penulis. Sosok yang sangat tulus dan membanggakan.
10. Nekno Papa (Alm) dan Nekno Mama, Makcik Zaura dan Bakcik Son, Bicik Heni
Ira Wati, S.Pd dan Om Febri, Mang Limurzikal dan cik Dina, Cik Rukmila dan Om
Ir. Handrason Napoleon, Wak Nazili dan makwo Elun, Wak Sudirman Lintang dan
Bude Mis Ria, S.E., Bakwo Sudin dan Makwo, Wak Mat dan Makwo, Abacik Mis
Nardi dan Makcik Ermi, Om Amin dan Tante Ida, Om Iskandar dan tante Depi.
Terimakasih atas dukungan baik moril maupun materil.
11. Adik-adikku Maya Surya Ningsih, Tri Dewi Cahyani, Rani Nirmala, Yepi Tri
Apriani, Meita Indriani, atas doa, bantuan, dan dukungan bagi penulis. Juga seluruh
sepupuku. Terimakasih telah membersamai dan memberikan keceriaan.
12. Adik-adikku Intan, Ulis, Ema, Alif, Sarah, Fabian, Tegar, Nora, Inayah, Inka, Fira,
Fiyo, yang selalu memberikan semangat baru untuk penulis. Semoga sukses dan
bahagia selalu.
13. Sahabat sekaligus partner penelitian Lolita Napatilova Albert Kahar, S.Si.
Terimakasih untuk bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Sukses
selalu untuk Iyi’.
14. Kakak dan adik-adik seperjuanganku, Septhian Try Sulistiyo, M.Si., Bapak Rodhi,
M.Si., Dani Agus Setiawan, S.Si., Sukmawibowo, S.Si., Richa Agustine, S.Si.,
Rizki Amalia, S.Si., Eva Dewi Novita, S.Si., Fatma Maharani, S.Si., Sanjaya Yudha
Gautama, calon S.Si., Feby Rinaldo Pratama, calon S.Si., Ana Maria Kristiani,
calon S.Si., dan tujuh adik ku yang cantik yang akan memulai praktik kerjanya.
Sukses dan bahagia selalu untuk kalian. Semoga Tuhan YME membalas kebaikan
kalian yang tidak terhingga. Juga Eka, Sofian, Edi, dan rekan-rekan yang telah
banyak membantu kami. Terimakasih dan sukses selalu.
15. Sahabatku Ariyanti, S.Si., Fajria Faizah, S.Si., Kristi Arina, S.Si., Hapin Afriani,
S.Si. calon M.Si. Silvana Maya Pratiwi, S.Si., Rani Anggraini, S.Si., Faradila
Syani, S.Si. calon M.Si., Nopitasari, S.Si., Nanda Nurrafiana, S.E., Ruli Prayetno,
S.Si., Rofiqul Umam, M.Sc. Dwi Puji Astuti, M.Si., dan seluruh sahabat-sahabatku
Kimia 2010 Chemut (Chemistry Imut). Terimakasih atas persahabatan,
kebersamaan, kegembiraan, bantuan, dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.
Sukses untuk kalian semua.
16. Pimpinan, staf, dan karyawan UPT Laboratorium Biomassa Terpadu. Atas bantuan
dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian dan analisis.
17. Keluarga besar Himaki FMIPA Kimia atas persaudaraan yang terjalin selama ini.
18. Keluarga Besar ROIS FMIPA Unila atas kebersamaan dan kekeluargaan yang
terjalin selama ini.
19. Keluarga Besar Birohmah Unila periode kepengurusan 2013/2014 atas
kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.
20. Mbak Dwi, Mbak Aulia, Mbak Ningrum, S.Si., Mbak Erma Febrianti, S.Pd., Mbak
Oktavianti Mala, S.E., Mbak Rini Fathonah,S.H., M.H., Ummi Herawati, Mbak
Okta magister IPB, Bapak Bram Marta, S.H. M.Kn., Bapak Dancik Ibrahim
pembelajar sejati yang semangatnya tak terhingga, Bapak Sugianto, Bapak
Mugiyanto, Bapak Wisnu, Bapak Wahyu, Bapak Budi, Bapak Rahmat, dan semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang secara tulus memberikan
bantuan moril dan materil kepada penulis.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……………………………………………............. i
DAFTAR GAMBAR …………………………………………… iii
DAFTAR TABEL……………………………………………….. v
I. PENDAHULUAN …………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………. 1
B. Tujuan Penelitian ………………………………………….. 4
C. Manfaat Penelitian ………………………………………… 4
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….. 5
A. Nanopartikel……………………………………………….. 5
B. Katalis LaCr0,7Mo0,3O3…………………………………….. 6
C. Preparasi Katalis........……………………………………… 8
D. Pektin………………….……..…………………………….. 12
E. Selulosa………..…………………………………………… 14
F. Gula Alkohol….……………………………………………. 17
G. Karakterisasi Katalis ………………………………………. 21
1. Keasaman Katalis............................................................. 21
2. Struktur Katalis ................................................................ 24
3. Morfologi Permukaan Katalis........................................... 25
4. Ukuran Partikel Katalis..................................................... 26
H. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)……… 27
III. METODELOGI PENELITIAN ………………………….... 35
A. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………. 35
B. Alat dan Bahan …………………………………………… 35
C. Prosedur Kerja ………………………………………......... 36
1. Pembuatan Nanokatalis ………………………………... 36
2 Karakterisasi Katalis …………………………………... 39
a. Analisis Keasaman Katalis ……………………….... 39
b. Analisis Struktur Katalis ………………………….... 40
c. Analisis Morfologi Katalis……………………..…… 40
d. Analisis Distribusi Ukuran Partikel………………… 41
ii
3. Uji Katalitik…………………………………………... 41
a. Preparasi Sampel…………………………………… 41
b. Reaksi Katalitik…………………………………….. 42
c. Uji Fehling………………………………………….. 43
d. Analisis dengan KCKT……………………………… 43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………...... 44
A. Pembuatan Nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ…………………… 44
B. Karakterisasi Katalis…………………………………………. 47
1. Analisis Keasaman Katalis………………………………. 47
2. Analisis Struktur Katalis …………………………........... 52
3. Analisis Morfologi Katalis……………………..………… 55
4. Analisis Distribusi Ukuran Partikel……………………… 57
C. Uji Katalitik…………………………………………………… 58
V. SIMPULAN DAN SARAN………………………………….. 66
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 68
LAMPIRAN……………………………………………………….. 74
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur umum perovskite ABO3 ................................................................ 7
2. Struktur α-Galakturonat, Metilasi α-Galakturonat , dan Pektin………… .. 12
3. Struktur Selulosa ......................................................................................... 15
4. Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol………………………… 17
5. D-Glukosa (Aldoheksosa) dan D-Fruktosa (Ketoheksosa) ......................... 18
6. Manitol, Sorbitol, dan xilitol ....................................................................... 19
7. Skema instrumentasi FTIR………………………………………………… 22
8. Asam Bronsted dan Asam Lewis pada katalis ............................................ 23
9. Skema Instrumen TEM ............................................................................... 26
10. Skema alat HPLC ………………………………..……………..………. 30.
11. Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa……………………… 32
12. Kromatogram dari gula alkohol, monosakarida, disakarida ...................... 32
13. Profil kalsinasi sampai temperatur 600˚C................................................... 38
14. Profil kalsinasi sampai temperatur 700˚C................................................... 38
15. Rangkaian alat utama hidrolisis.......................................................... ....... 42
16. Gel LaCr0,7Mo0,3O3±δ .................................................................................. 45
iv
17. Padatan Prekursor LaCr0,7Mo0,3O3±δ .......................................................... 46
18. Serbuk padatan LaCr0,7Mo0,3O3±δ setelah proses kalsinasi ......................... 47
19. Spektra Infra Merah Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ .......................................... 48
20. Difraktogram pola difraksi katalis.............................................................. 54
21. Mikrograf TEM katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ................................................... 56
22. Grafik % konversi selulosa Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ................................ 59
23. Hasil Uji Fehling........................................................................................ 60
24. Kromatogram Mannitol pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
temperatur kalsinasi 600 oC..................................................................... 63
25. Kromatogram Mannitol pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
temperatur kalsinasi 700 oC..................................................................... 64
26. Tahapan reaksi konversi selulosa menjadi gula alkohol secara katalitik.... 65
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Uji katalitik konversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 ( variable
x=0,2; 0,5; 0,8 dan 1) pada suhu 120˚C dan 140 ⁰C ........................ 31
2. Keasaman Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ……………………………….. . 48
3. Puncak-puncak representatif masing-masing difraktogram acuan
pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ………………………………………. 53
4. Puncak-puncak representatif difraktogram katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ.. 54
5. Distribusi ukuran partikel katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
yang dikalsinasi pada temperatur 600 ⁰C………………………..…. 57
6. Distribusi ukuran partikel katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
yang dikalsinasi pada temperatur 700 ⁰C…………………………… 58
7. Hasil konversi selulosa dengan katalis LaCr0,7Mo0,3O3…………… 61
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biomassa telah banyak menarik perhatian diantaranya sebagai sumber daya yang
ramah lingkungan dan dapat dikembangkan untuk produksi bahan bakar serta
berbagai produk kimia. Biomassa selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia tidak
seperti pati atau minyak serta sumbernya banyak terdapat di alam. Maka dari itu,
biomassa selulosa sebagai sumber daya alam yang menjanjikan dapat dikonversi
menjadi bahan kimia yang lebih bermanfaat diantaranya, dapat digunakan sebagai
bahan penghasil bioenergi dan senyawa kimia lainnya (Ladisch et al., 1980).
Selulosa termasuk dalam polimer alam yang berasal dari reaksi fotosintesis CO2
dan H2O. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam
atau enzim. Meskipun hidrolisis selulosa menjadi gula alkohol masih mengalami
kendala menuju pemanfaatan energi selulosa yang ekonomis dan efisien, banyak
peniliti telah memfokuskan peningkatan hidrolisis selulosa menjadi gula alkohol
dan bahan kimia yang bermanfaat (Fukuoka and Dhepe, 2006). Di antara berbagai
jalur reaksi kimia, hidrolisis dan hidrogenolisis dianggap menjadi jalur yang
menjanjikan untuk konversi selulosa (Park et al., 2013).
2
Usaha konversi selulosa telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya,
penguraian selulosa menjadi gula alkohol seperti CMC (Heydarzadeh, 2009),
xilitol (Ghindea et al., 2010), asam levulinat (Lin et.al., 2010), heksitol (Sels et
al., 2012); glukosa (Furnazukuri, 2013), fruktosa, asam laktat (Wang et al., 2013),
dan sorbitol (Lee et al, 2014).
Beberapa peneliti telah menunjukkan kinerja katalis padatnya untuk
mengkonversi selulosa. Fukuoka dan Dhepe., 2006 melaporkan bahwa konversi
selulosa menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan perolehan rendemen sorbitol 32%
dan manitol 6,6% pada temperatur reaksi 463 oC dan tekanan H2 5,0 MPa.
Selain itu, HPMo juga dapat mengkatalisis konversi selulosa menjadi asam
glikolat dengan rendemen 49,3% dan katalis MoO3 dengan rendemen 24,5% pada
temperatur 180 oC dan dialiri gas O2 0,5 MPa selama 1 jam menggunakan pelarut
air (Han et al., 2013). Katalis CrCl3 juga ditemukan efektif untuk konversi
selulosa menjadi asam levulinat, dengan rendemen optimum 67 mol %, pada
temperatur 200 oC setelah 180 menit (Lin et al., 2010).
Aktivitas katalis yang optimal dapat meningkatkan hasil konversi. Ukuran
nanopartikel pada katalis memiliki aktivitas yang lebih baik karena luas
permukaan pada nanokatalis cukup tinggi dengan rasio atom-atom yang menyebar
merata pada permukaan sehingga memudahkan transfer massa reaktan untuk
dapat berdifusi ke dalam situs aktif katalis di dalam pori-pori (Widegren et al.,
2003). Metode sol-gel merupakan salah satu metode preparasi yang dapat
menghasilkan katalis berukuran nano. Sebagai contoh preparasi nanokatalis α
3
Fe2O3 menggunakan pelarut asam sitrat dan (PEG)-6000 menghasilkan ukuran
partikel sebesar 30 nm pada kalsinasi 600 oC (Wu and Wang, 2011).
Konversi selulosa menjadi gula alkohol menggunakan katalis logam transisi
dengan komposisi perovskite telah dilakukan sebelumnya menggunakan katalis
NixFe2-xO4 dengan variable x= 0,5 pada suhu 120 oC dan variable x= 1 pada suhu
140 oC, hasil uji katalitik menunjukkan bahwa katalis dapat mengkonversi
selulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xilitol (Amalia dkk, 2013). Selain itu, telah
dilakukan juga konversi fruktosa menjadi manitol menggunakan katalis LaCr1-
xNixO3±δ (x= 0,06; 0,50; 0,94) yang dikalsinasi pada suhu 600 oC dan
LaCr0,06Ni0,94O3±δ yang dikalsinasi pada suhu 800 oC, hasil uji katalitik
menunjukkan bahwa katalis dapat mengkonversi fruktosa menjadi manitol
(Agustine dkk., 2009).
Berdasarkan penelitian di atas, maka pada penelitian ini akan dipreparasi
nanokatalis dengan metode sol-gel menggunakan pengemulsi pektin. Selanjutnya
dilakukan freeze dry dan kalsinasi, dengan suhu kalsinasi 600 oC dan 700
oC, serta
uji aktivitas nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dalam konversi selulosa pada suhu 100
oC, 120
oC, dan 140
oC (Amalia et al., 2012) untuk menghasilkan gula alkohol
seperti sorbitol, manitol, dan xilitol. Selanjutnya, katalis akan dikarakterisasi
seperti, penentuan keasaman situs aktif katalis menggunakan metode gravimetri
dan Fourier Transform Infra Red (FTIR), fasa kristalin menggunakan metode
difraksi sinar-X (XRD), morfologi permukaan katalis menggunakan Tansmission
Electron Microscopy (TEM), distribusi ukuran partikel katalis menggunakan
Particle Size Analyzer (PSA), serta aktivitas nanokatalis dalam konversi selulosa
4
menjadi gula alkohol atau produk lain dianalisis menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC).
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mempelajari cara pembuatan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dikalsinasi
pada temperatur 600 oC dan 700
oC
2. Menguji aktivitas nanokatalis terhadap konversi selulosa menjadi gula
alkohol pada temperatur reaksi 100 oC, 120
oC, dan 140
oC.
3. Menganalisa karakteristik nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ terhadap hasil
konversi selulosa.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
penggunaan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ serta menguji kemampuan nanokatalis
tersebut pada proses konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xilitol.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Nanopartikel
Nanopartikel dapat terjadi secara alamiah ataupun melalui proses sintesis oleh
manusia. Nanopartikel merupakan partikel mikroskopis yang memiliki
ukuran antara 1-100 nm (Mebashi, 2010). Sintesis nanopartikel dapat
dilakukan dalam fasa padat, cair, maupun gas. Proses sintesis dapat
berlangsung secara fisika atau kimia. Proses sintesis secara fisika tidak
melibatkan reaksi kimia, yang terjadi hanya pemecahan material besar
menjadi material berukuran nanometer, atau pengabungan material berukuran
sangat kecil, seperti kluster, menjadi partikel berukuran nanometer tanpa
mengubah sifat bahan. Proses sintesis secara kimia melibatkan reaksi kimia
dari sejumlah material awal (precursor) sehingga dihasilkan material lain
yang berukuran nanometer. Contohnya adalah pembentukan nanopartikel
garam dengan mereaksikan asam dan basa yang bersesuaian (Abdullah,
2008).
Material nanopartikel menunjukkan potensi sebagai katalis karena material
nanopartikel memiliki area permukaan yang luas dan rasio-rasio atom yang
tersebar secara merata pada permukaanya, sifat ini menguntungkan untuk
6
transfer massa di dalam pori-pori dan juga menyumbangkan antar muka yang
besar untuk reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren and Finke, 2003).
B. Katalis LaCr0,7Mo0,3O3
Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia
agar reaksi tersebut dapat berjalan lebih cepat. Katalis mempercepat reaksi
dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi. Penurunan energi aktivasi
tersebut terjadi akibat interaksi antara katalis dengan reaktan. Katalis
menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs
aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban
atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut
umumnya adalah logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau
elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga
terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).
Perovskite oksida memiliki adsorpsi, asam-basa, serta material redoks, yang
mengakibatkan sifat katalitiknya menarik (Pena, 2001). Studi pertama yang
berkaitan dengan penggunaannya sebagai katalis dilakukan oleh Parravano et
al. dan Dickens et al. pada tahun 1952 dan 1965. Sejak itu, perovskite oksida
dievaluasi dalam berbagai reaksi katalitik misalnya, oksidasi hidrokarbon,
senyawa oksigen atau halokomponen hidrogenasi CO atau CO2;
hidrogenolisis hidrokarbon, proses fotokatalitik dan elektrokatalitik (Pena,
2001). Contoh struktur umum perovskite pada Gambar 1 berikut.
7
Gambar 1. Struktur umum perovskite ABO3 (Navrotsky et al., 1989).
Subtitusi parsial dapat dilakukan dengan mengacu pada rumus A1-xA’xB1-
yB’yO3 (Royer et al., 2005). Substitusi parsial pada kation La3+
telah banyak
dilakukan baik dengan kation yang bervalensi sama maupun berbeda, seperti
Sr2+
(Wei et al., 2008), Ca2+
(Merino et al., 2005), dan Ce4+
(Bialobok et al.,
2008). Substitusi tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah kekosongan
oksigen (mengakibatkan terjadinya cacat kristal) dan mobilitas oksigen pada
oksida (Tsipis et al., 2005).
Stojanovic, 1997 melaporkan studi efek substitusi Ni untuk Cr pada
strukturnya, kestabilan dan reduksi di bawah kondisi tekanan O2 rendah
dengan komposisi permukaan LaCr1-xNixO3 dengan 0 ≤ x ≤ 1 untuk reaksi
pembakaran metana (Purnomo, 2003). Menurut Hofer dkk, 1994 dan
Stojanovic dkk, 1997, substitusi nikel pada LaCrO3 membolehkan
penggunaan kisi pereduksi kuat, yang meningkatkan aktivitas katalitik dan
konduktivitasnya (Stojanovic dkk, 1997). Selanjutnya, telah dilaporkan juga
pembuatan dan karakterisasi katalis perovskite LaCr1-xNixO3±δ (x= 0,06; 0,50;
0,94) untuk uji katalitik pada konversi fruktosa (Agustine, 2009).
Pada mekanisme reaksi menggunakan katalis padatan, terjadi adsorpsi
molekul-molekul reaktan pada permukaan padatan logam yang memiliki
8
elektron yang tidak berpasangan pada orbital d merupakan dasar yang tepat
dalam aksi katalitik permukaan logam. Logam Mo merupakan unsur transisi
dari golongan VIB pada Sistem Periodik Unsur yang mempunyai sifat relatif
inert atau sedikit bereaksi dengan larutan asam dan alkali. Kemampuan logam
Mo dalam mengkatalisis reaksi sangat berkaitan dengan keberadaan elekton
pada orbital d yang berbaur dengan keadaan elektronik orbital s dan p yang
terdekat, sehingga timbul keadaan elektronik berenergi rendah dalam jumlah
yang besar dan orbital kosong yang sangat ideal untuk reaksi katalis
(Hegedus, 1987 dalam Yusnani, 2008).
C. Preparasi Katalis
Pemilihan metode preparasi yang tepat akan memberikan karakteristik katalis
yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang
tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan
struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif
yang lebih terbuka, sedangkan penggunaan pendukung seperti pelarut
dilakukan untuk lebih memberikan peluang kepada fasa aktif dalam reaksi
dan mendistribusikan secara homogen pada permukaan penyangga. Dalam
hal ini diharapkan terbentuk dispersi yang tinggi untuk mendapatkan luas
permukaan spesifik yang besar dan aktivitas yang maksimal. Beberapa jenis
metode preparasi katalis adalah sebagai berikut .
9
1. Sol Gel
Metode sol-gel merupakan proses pembuatan nanopartikel yang melalui
perubahan sistem dari suspensi koloid (fasa sol) menjadi padatan atau semi
padatan (fasa gel). Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
konsumsi energi yang rendah karena rendahnya temperatur proses, dan
investasi peralatan yang relatif murah dibandingkan teknik deposisi (Yuwono,
2011).
Preparasi katalis heterogen dengan proses sol-gel melibatkan tahapan
pembentukan sol dan kemudian menjadi gel. Sol gel adalah suatu suspensi
koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Sol adalah suspensi cair
dari partikel padat dengan ukuran 1 nm – 1 mikron, dapat diperoleh dari
hidrolisis dan kondensasi parsial prekursor seperti sebuah garam anorganik
atau logam. Kondensasi lebih lanjut dari partikel sol menjadi jaringan tiga
dimensi yang berbentuk gel, yang merupakan material fasa ganda dengan
enkapsulat padat dan pelarut (Mills et al., 1997; Radic et al., 2004).
Proses sol-gel melibatkan transisi menggunakan prinsip pada sistem dari fasa
sol menjadi fasa gel yang didasarkan pada kemudahan memasukkan satu atau
dua logam aktif secara bersamaan dalam prekursor katalis. Metode sol gel
digunakan secara luas dalam sintesis katalis berpendukung logam karena
kemudahannya dalam memasukkan satu atau lebih logam aktif sekaligus
dalam prekursor katalis (Lambert and Gonzalez, 1998). Keuntungan dari
metode sol gel yaitu:
10
a. Dispersi tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada
permukaan katalis.
b. Tekstur pori yang dihasilkan memberikan kemudahan untuk berdifusi dari
reaktan menuju ke situs aktif.
c. Luas permukaan tinggi.
d. Peningkatan stabilitas termal (Lecloux and Pirard, 1998; Lambert and
Gonzalez, 1998).
2. Freezer-Dry
Penggunaan metode freezer-dry dalam katalis yaitu untuk menghilangkan air
hidrat dalam rongga bahan katalis tanpa merusak struktur jaringan yang telah
terbentuk dari bahan tersebut. Air yang terperangkap dalam rongga bahan
katalis diubah menjadi air beku dan selanjutnya diubah menjadi uap air tanpa
melalui intermediat air cair. Dasar sublimasi ini melibatkan absorbsi panas
oleh sampel beku guna menguapkan air, pemindahan dan pengumpulan uap
air ke dalam suatu kondensor, menghilangkan panas sebagai akibat
pembentukan es dari kondensor dengan sistem refrigerator, terjadi
keseimbangan antara panas yang diabsorbsi oleh sampel untuk menguapkan
air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi
es. Inti dari proses freezer-dry adalah keseimbangan antara panas yang
diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari
kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Efisiensi freezer-dry
bergantung pada luas permukaan dan ketebalan sampel, temperatur kondensor
dan tekanan yang diperoleh, titik eutektik dan konsentrasi terlarut dari
sampel. Laju freezer-dry berbanding lurus terhadap tekanan uap dan tekanan
11
uap bergantung pada kedua temperatur eutektik dan konsentrasi terlarut
sampel. Sebagai contoh, suatu larutan NaCl akan kering–beku pada laju lebih
lambat dari air murni. Temperatur eutektik NaCl adalah -21oC dan pada
temperatur ini tekanan uap kira-kira 1/16 tekanan uap pada 0 oC. Meskipun
temperatur eutektik tidak bergantung pada konsentrasi NaCl, tekanan uap air
akan turun ketika konsentrasi NaCl naik. Kenyataan ini disebabkan
konsentrasi terlarut bertambah, luas permukaan sampel beku yang ditempati
air berkurang. Pada umumnya, larutan atau sampel biologis akan mempunyai
temperatur eutektik -10 hingga -25 oC. Bagaimanapun, jika ada sampel gula
seperti glukosa atau jika sampel jaringan hewan atau tanaman, temperatur
eutektik bisa serendah -30 hingga -50 oC (Manual Book of Freezer-Dry,
1996). Keuntungan menggunakan metode freezer-dry yaitu hasilnya
homogen, murni, dengan ukuran partikel dapat diproduksi kembali serta
memiliki aktivitas yang seragam (Bermejo et al., 1997).
3. Kalsinasi
Proses kalsinasi merupakan pemanasan zat padat di bawah titik lelehnya
untuk menghasilkan keadaan dekomposisi termal dari transisi fasa lain selain
fasa lelehan. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk untuk proses
lebih lanjut dan memperoleh ukuran partikel yang optimum serta
menggunakan senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida,
membentuk fase kristal. Peristiwa yang terjadi pada proses kalsinasi yaitu:
1. Dekomposisi komponen prekursor pada pembentukan spesi oksida. Proses
pertama terjadi pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung
sekitar suhu 100oC dan 300
oC.
12
2. Pelepasan gas CO2 yang berlangsung sekitar suhu 600 oC, terjadi
pengurangan berat secara berarti dan terjadi reaksi antara oksida yang
terbentuk dengan penyangga.
3. Sintering komponen prekursor. Pada proses ini struktur kristal sudah
terbentuk namun ikatan di antara partikel serbuk belum kuat dan mudah
lepas (Pinna, 1998).
D. Pektin
Pektin merupakan polisakarida kompleks tersusun atas polimer asam α D-
galakturonat yang terikat melalui ikatan α 1,4-glikosidik. Pektin terkandung
di dalam dinding sel primer yaitu diantara selulosa dan hemiselulosa (Nelson
et al.,1977). Sumber pektin komersil paling utama yaitu pada buah-buahan
seperti kulit jeruk (25-30%), kulit apel kering (15-18%), bunga matahari (15-
25%) dan bit gula (10-25%) (Ridley et al., 2001). Struktur pektin ditunjukkan
pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. (a) Struktur α-galakturonat, (b) Stuktur metilasi α-galakturonat
(c) Struktur Pektin
13
Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Sifat penting pektin adalah
kemampuannya membentuk gel. Kandungan metoksi pada pektin
mempengaruhi kelarutannya. Kadar metoksi merupakan jumlah metanol di
dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam
menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel
pektin (Constenla and Lozano, 2003). Pektin dengan kadar metoksi tinggi (7-
9%) akan mudah larut di dalam air serta membentuk gel dengan gula dan
asam pada konsentrasi gula 58-70%, sedangkan pektin dengan kadar metoksi
rendah (3-6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat serta tidak
mampu membentuk gel dengan asam dan gula tetapi dapat membentuk gel
dengan adanya ion-ion kalsium. Pembentukan gel terjadi melalui ikatan
hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan di antara gugus hidroksil
(Caplin, 2004). Pektin bersifat asam dan koloidnya bermuatan negatif karena
adanya gugus karboksil bebas. Larutan 1% pektin yang tidak ternetralkan
akan memberikan pH 2,7-3,0. Larutan pektin stabil pada pH 2,0-4,0. Pada pH
lebih dari 4,0 atau kurang dari 2,0, viskositas dan kekuatan gelnya akan
berkurang karena terjadi depolimerisasi rantai pektin. Pektin dapat mengalami
saponifikasi dan degradasi melalui reaksi β-eliminasi pada kondisi basa
(Nelson et al. 1977).
Pemanfaatan pektin cukup luas dan berguna dalam industri pangan maupun
nonpangan. Pektin berkadar metoksil tinggi digunakan untuk pembuatan selai
dan jeli dari buah-buahan, pembuatan kembang gula bermutu tinggi,
pengental untuk minuman dan sirup buah-buahan, serta digunakan dalam
emulsi flavor dan saus salad. Pektin dengan kadar metoksil rendah biasa
14
digunakan dalam pembuatan saus salad, puding, gel buah-buahan dalam es
krim, selai, dan jeli. Pektin berkadar metoksil rendah efektif digunakan dalam
pembentukan gel saus buah-buahan beku karena stabilitasnya yang tinggi
pada proses pembekuan, thawing dan pemanasan, serta digunakan sebagai
penyalut dalam banyak produk pangan (Glicksman 1969). Dalam industri
farmasi, pektin digunakan untuk menyembuhkan diare dan menurunkan
tingkat kolesterol darah. Pektin bisa digunakan sebagai zat penstabil emulsi
air dan minyak. Pektin juga berguna dalam persiapan membran untuk
ultrasentrifugasi dan elektrodialisis. Dalam industri karet pektin berguna
sebagai bahan pengental lateks. Pektin juga dapat memperbaiki warna,
konsistensi, kekentalan, dan stabilitas produk yang dihasilkan (Towle and
Christensen, 1973). Pada penelitian ini, pektin digunakan sebagai pengkhelat
yang dapat mengikat ion logam pada preparasi katalis.
E. Selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang terdapat dalam tumbuhan, yang
berfungsi sebagai bahan pembentuk dinding sel dan serat tumbuhan dengan
rumus empiris (C6H12O5)n. Struktur kimianya terdiri dari glukosa anhidrat
yang dihubungkan oleh ikatan β‐1,4-glikosidik. Struktur selulosa ditunjukkan
dalam gambar 3 berikut.
15
Gambar 3. Struktur Selulosa
Selulosa tidak berwarna, tidak berbau dan polimer padat tidak beracun, ia
memiliki beberapa sifat yang menjanjikan yaitu, kekuatan mekanik,
biokompatibilitas, hidrofilisitas, stabilisasi termal, kapasitas penyerapan
tinggi dan pertimbangan penampilan optik (Klemm, 1998). Sifat ini
memungkinkan selulosa diterapkan ke berbagai bidang (Hu, 2013). Oleh
karena itu banyak peneliti yang berusaha keras untuk mengeksplorasi
produksi bahan bakar dan bahan kimia dari selulosa (Zhang, 2014).
Unit glukosa lebih erat terikat oleh ikatan hidrogen intramolekul dengan
jaringan luas. Panjang rantai molekul selulosa berkisar 100 - 14000 unit.
Perbedaan jenis ikatan kimia dan struktur kristal polisakarida menyebabkan
sifat fisik dan kimia juga berbeda (Zhang, 2001) misalnya, pati juga
merupakan polisakarida dengan rumus umum (C6H12O5) sama seperti
selulosa. Namun, unit molekul glukosa pada pati (amilosa) dihubungkan
dengan ikatan α-1,4-glikosidik atau ikatan α-1,6 glikosidik (amilopektin)
(Prabaharan, 2010). Perbedaan ini memiliki efek mendalam pada struktur tiga
dimensi dan reaktivitas molekul biopolimer. Seperti ikatan α-1,4 glikosidik di
16
pati lebih mudah diserang oleh asam atau enzim. Dengan demikian, pati
menggunakan katalis asam atau enzim lebih mudah dipecah menjadi
monomer glukosa daripada selulosa. Keuntungan yang didapat misalnya,
fermentasi pati lebih mudah untuk menghasilkan etanol daripada selulosa
(Farrell, 2006; Service, 2010) .
Namun, dalam hal kelimpahan dan ketersediaan sumber daya dan dampak
pada sedikitnya pasokan makanan, bahan-bahan selulosa sebagai bahan baku
lebih praktis dan berkelanjutan untuk produksi bahan bakar dan bahan kimia.
Selulosa banyak ditemukan pada limbah hasil pertanian, antara lain sekam
padi sekitar 58%, kulit batang sagu 56,86%, tongkol jagung 44,9%, kayu
keras 40-45%, kayu lunak 38-49%, tandan kosong kelapa sawit 36-42%,
rumput esparto 33-38%, ampas tebu 32-44%, jerami gandum 29-37%, jerami
padi 28-36% dan bambu sekitar 26-43% (Johanson et al., 1987). Dalam
konteks ini, konversi katalitik selulosa untuk bahan bakar dan bahan kimia
lebih menarik dan menjanjikan daripada sumber biomassa lain seperti pati.
(Danner et al., 1999; Kwon et al., 2011; Zhou et al., 2011).
Selulosa dapat dimanfaatkan untuk produksi gula alkohol seperti sorbitol,
manitol, xilitol dengan bantuan katalis. Selulosa dapat menghasilkan sorbitol
dengan rendemen 71,1% menggunakan katalis yang mengandung gugus
sulfonat dan nanopartikel Ru (Lee et al, 2011). Konversi selulosa menjadi
sorbitol dengan rendemen 32 % dan manitol dengan rendemen 6,6%
menggunakan katalis Pt/Al2O3 (Fukuoka et al., 2006). Selain gula alkohol,
selulosa dapat diubah menjadi beberapa senyawa kimia, diantaranya etilen
17
glikol sebesar 60% dengan katalis tungsten karbida yang dipromosikan
dengan sejumlah kecil nikel (Ji et al., 2008), asam levulinat 67%
menggunakan katalis CrCl3 dengan waktu 180 menit pada temperatur reaksi
200oC (Peng et al., 2010), asam laktat 60% dengan katalis timbal (II) pada
temperatur reaksi 190oC (Wang et al., 2013) dan 5-hidroksi metil furfural
menggunakan kromium triklorida dengan perolehan rendemen sebesar 43,7%
dengan waktu 90 menit pada temperatur reaksi 140oC (Wang et al., 2014).
F. Gula Alkohol
Gula alkohol, seperti sorbitol dan manitol, digunakan dalam gas bahan bakar
(gas H2 sintetik), cairan alkana, bahan bakar cair dan untuk memproduksi
bahan kimia seperti etilen glikol dan polietilen glikol. Selulosa terdiri dari
unit D‐glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β‐14‐glikosidik. Struktur ini
mirip dengan gula alkohol. Oleh karena itu, konversi langsung selulosa
menjadi gula alkohol memiliki nilai ekonomi dan energi yang efisien (Jie et
al., 2013). Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol adalah dua
tahapan proses, yang meliputi hidrolisis selulosa menjadi gula dilanjutkan
hidrogenasi gula menjadi gula alkohol (Gambar 4).
Gambar 4. Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol
18
Fukuoka dan Coworkers melaporkan bahwa selulosa dapat dikonversi
menjadi gula alkohol dengan bantuan katalis logam, dan diperoleh rendemen
gula alkohol 31% menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan kondisi reaksi pada
190oC dan 5MPa H2, selama 24 jam. Mereka menyarankan bahwa selulosa
diawali dengan reaksi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa menggunakan
bantuan situs asam dan gas H2. Kemudian hidrogenasi turunan glukosa
menggunakan katalis logam Pt (Fukuoka, 2006).
Pada reaksi katalitik selulosa, sebelum diubah menjadi gula alkohol, selulosa
akan diubah menjadi glukosa dengan bantuan katalis (Fukuoka et al., 2011).
Glukosa adalah monosakarida yang paling berlimpah di alam dan memiliki
rumus molekul C6H12O6. Glukosa merupakan aldehida polihidroksi,
sedangkan fruktosa yang memiliki rumus molekul sama seperti glukosa,
merupakan ketosa polihidroksi. Gula ditemukan dalam berbagai jenis buah-
buahan dan sayuran, mereka juga digunakan secara komersial sebagai aditif
untuk meningkatkan rasa makanan dan minuman olahan (Miesfeld, 2008).
Struktur glukosa dan fruktosa ditunjukkan pada gambar 5 berikut.
a. b.
Gambar 5. a. D-Glukosa (Aldoheksosa), b. D-Fruktosa (Ketoheksosa)
19
Gula alkohol merupakan hasil dari reduksi glukosa berupa monosakarida atau
disakarida yang memiliki tiga atau lebih kelompok hidroksil atau alkohol
polihidrat (Goldberg, 1994). Gula alkohol mempunyai rasa dan kemanisan
hampir sama dengan gula tebu (sukrosa), bahkan beberapa jenis lebih manis.
Gula jenis ini dibuat dari bahan berpati seperti tapioka, pati umbi-umbian,
sagu atau pati jagung . Senyawa gula alkohol diantaranya yaitu, manitol,
sorbitol, dan xilitol yang merupakan turunan monosakarida dari glukosa
(Wolevar, 2002). Struktur manitol, sorbitol dan xilitol ditunjukkan pada
gambar 6 berikut.
a. b. c.
Gambar 6. a. Manitol, b. Sorbitol, c. xilitol (JECFA, 1996).
Manitol memiliki rumus kimia C6H14O6 dengan berat molekul 182,17 g/mol.
Manitol digunakan untuk pembuatan tablet kunyah dan granulasi serbuk
sebagai eksipien. Secara alami manitol banyak ditemukan pada bahan alam
seperti alga, manna, rumput laut dan zaitun. (Kuusito et al, 2005). Produksi
manitol skala industri dilakukan dengan reaksi hidrogenasi fruktosa, sukrosa,
atau sirup glukosa-fruktosa. Untuk mendapatkan hasil manitol yang tinggi
disarankan menggunakan sirup dengan kadar fruktosa yang lebih tinggi. Saat
reaksi hidrogenasi, β-fruktosa akan menjadi manitol sedangkan α-fruktosa
akan menjadi sorbitol (Toukoniitty et al, 2005).
20
H2
C6H12O6 C6H14O6
Sorbitol atau juga dikenal dengan heksitol memiliki rumus kimia C6H14O6
dengan berat molekul 182,17 g/mol. Sorbitol umumnya digunakan sebagai
bahan baku industri dan makanan seperti pasta gigi, permen, kosmetik,
farmasi, vitamin C, dan termasuk industri tekstil dan kulit (Othmer, 1960). Di
Indonesia sorbitol diproduksi dari umbi tanaman singkong. Sorbitol dapat
dibuat dari glukosa dengan proses hidrogenasi katalitik bertekanan tinggi.
Penambahan hidrogen yang dikatalis dengan logam (platinum, palladium,
nikel dan rhodium) akan meningkatkan suhu kamar sehingga produk yang
dihasilkan lebih banyak (Robert and Francis, 2002). Mekanisme reaksinya
adalah sebagai berikut:
Katalis Ni
C6H12O6 + H2 C6H14O6
Xilitol adalah gula alkohol jenis pentitol dengan rumus umum C5H12O3
dengan berat molekul 152,15 g/mol. Secara alami xilitol banyak ditemukan
pada buah-buahan dan sayuran seperti strawberry, wortel, bayam, selada dan
bunga kol. Sedangkan untuk produksi skala besar, dilakukan dengan proses
kimiawi dan bioteknologi. Proses kimia dilakukan dengan hidrogenasi xilosa
menggunakan larutan asam. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
Katalis Ni
C6H10O5 + H2 C6H12O6
21
G. Karakteisasi Katalis
1. Keasaman Katalis
Spektrofotometri IR adalah spektroskopi yang memanfaatkan sinar IR dekat,
yakni sinar yang berada pada jangkauan panjang gelombang 2,5-25 µm atau
jangkauan frekuensi 400-4000 cm-1
. Prinsip kerja spektrofotometer IR adalah
sebagai berikut, pertama sinar dari sumber laser dipantulkan melewati plat
pemecah sinar, sementara sumber dari sumber IR dipantulkan melalui cermin
kembali melewati plat pemecah berkas, kedua sumber ini dipantulkan
kembali melewati cermin dan berkas cahaya diteruskan melalui lintasan optik
sebelum dipantulkan dengan cermin, kemudian berkas melewati sampel,
dipantulkan dan dilakukan pembacaan pada detektor yang mengubah energi
panas menjadi energi listrik.
Instumen FTIR menggunakan sistem yang disebut dengan interferometer
untuk mengumpulkan spektrum. Interferometer terdiri atas sumber radiasi,
pemisah berkas, dua buah cermin, laser dan detektor. Skema lengkap dari
instrumentasi FTIR ditunjukan pada Gambar 7.
22
Gambar 7. Skema instrumentasi FTIR.
Karakterisasi sifat keasaman katalis dilakukan untuk mengetahui tingkat
keasaman dari katalis yang telah dibuat. Keasaman dari suatu katalis adalah
jumlah asam, kekuatan asam, serta sisi aktif katalis yang ditinjau dari gugus
asam Brønsted-Lowry dan asam Lewis (Nugroho, 1997). Asam menurut
Brønsted-Lowry, asam adalah spesies yang dapat menyumbangkan proton
atau lebih sering disebut donor proton dan basa adalah spesies yang dapat
menerima proton (akseptor proton). Sedangkan asam menurut Lewis adalah,
spesies yang dapat menerima pasangan elektron (akseptor elektron) dan basa
adalah spesies yang dapat menyumbangkan pasangan elektron (donor
elektron).
Penentuan jenis situs asam pada katalis dapat ditentukan menggunakan
spektroskopi infra merah (FTIR) dari katalis yang telah mengadsorpsi basa
adsorbat (Seddigi, 2003). Basa yang dapat digunakan adalah kuinolin,
piperidin, trimetilamin, dan amonia (Fessenden & Fessenden, 1995).
Penentuan jumlah situs asam memberikan informasi tentang banyaknya situs
23
asam yang terkandung pada katalis, yang pada umumnya berbanding lurus
dengan situs aktif pada katalis yang menentukan keaktifan suatu katalis.
Sedangkan penentuan jenis situs asam memberikan informasi tentang situs
asam yang terkandung pada katalis apakah asam Brønsted-Lowry atau asam
Lewis, yang pada umunya berkaitan dengan interaksi ikatan yang terjadi
antara katalis dan reaktan. Reaksi katalitik dapat terjadi melalui transfer
elektron, seperti ditunjukkan pada gambar.
Gambar 8. Asam Bronsted dan Asam Lewis pada katalis (Parry, 1963).
Metode spektrofotometri infra merah digunakan untuk melihat sisi aktif
katalis. Adanya puncak serapan dari ion piridinium (C5H5N+) dan piridin
yang teradsorpsi berturut-turut mengindikasikan adanya situs asam Brønsted-
Lowry dan situs asam Lewis yang berperan pada permukaan katalis. Situs
asam Brønsted-Lowry pada spektra infra merah ditunjukkan pada daerah
bilangan gelombang 1350-1500 cm-1
dan situs asam Lewis pada daerah
bilangan gelombang1550-1650 cm-1
(Tanabe, 1981).
24
2. Struktur Katalis
Prinsip dari Difraktometer Sinar-X (XRD) adalah difraksi gelombang sinar-X
yang mengalami penghamburan (scattering) setelah bertumbukan dengan
atom kristal. Pola difraksi yang dihasilkan merepresentasikan struktur kristal.
Dari analisis pola difraksi dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan
identifikasi fasa kristalin. Jenis material dapat ditentukan dengan
membandingkan hasil XRD dengan katalog hasil difraksi berbagai macam
material. Metode yang biasa dipakai adalah memplot intensitas difraksi XRD
terhadap sudut difraksi 2θ. Intensitas akan meninggi pada nilai 2θ yang terjadi
difraksi, intensitas yang tinggi tersebut dalam grafik terlihat membentuk
puncak-puncak pada nilai 2θ tertentu. Pelebaran puncak bisa diartikan
material yang benar-benar amorf, butiran yang sangat kecil dan bagus, atau
material yang memiliki ukuran kristal sangat kecil melekat dengan struktur
matrix yang amorf .
Untuk menghitung ukuran kristal dengan menggunakan persamaan Scherrer:
Dimana D merupakan diameter rata-rata, K merupakan faktor keadaan, B
merupakan perluasan Full Width at Half Maximum (FWHM) puncak difraksi
yang dihitung dalam radian, λ merupakan panjang gelombang sinar-x, dan θ
merupakan sudut difraksi Bragg (Cullity, 1956).
Keberadaan atau terbentuknya katalis LaCrO3 dalam bentuk amorf dan kristal
dapat diidentifikasi menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD), karena
25
metode XRD didasarkan pada fakta bahwa pola difraksi sinar-X untuk
masing-masing material kristalin adalah karakteristik. Dengan demikian, bila
pencocokan yang tepat dapat dilakukan antara pola difraksi sinar-X dari
sampel yang tidak diketahui dengan sampel yang telah diketahui, maka
identitas dari sampel yang tidak diketahui itu dapat diketahui (Skoog dan
Leary, 1992).
3. Morfologi Permukaan Katalis
Untuk mempelajari morfologi permukaan katalis dapat menggunakan
instrumentasi Tansmission Electron Microscopy (TEM). Tem adalah alat
untuk mengamati bentuk, struktur serta distribusi pori padatan. Prinsip kerja
TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditansmisikan ke dalam
objek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar (Liu et al., 2009).
Mekanisme kerja TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten
dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi (100-300 kv) ditransmisikan
pada sampel yang tipis, pistol akan memancarkan elektron secara termionik
maupun emisis medan magnet ke sistem vakum. Interaksi antara elektron
dengan medan magnet menyebabkan elektron bergerak sesuai aturan tangan
kanan, sehingga memungkinkan elektromagnet untuk memanipulasi berkas
elektron. Penggunaan medan magnet akan membentuk sebuah lensa
magnetik dengan kekuatan fokus variabel yang baik. Selain itu, medan
elektrostatik dapat menyebabkan elektron didefleksikan melalui sudut yang
konstan. Dua pasang defleksi yang berlawanan arah dengan intermediate gap
26
akan membentuk arah elektron yang menuju lensa yang selanjutnya dapat
diamati melalui layar (Bendersky et al., 2001).
Gambar 9. Skema Instrumen TEM.
4. Distribusi Ukuran Partikel Katalis
Ukuran partikel katalis dapat ditentukan menggunakan instrument Particle
Size Analyzer (PSA) yang memiliki keunggulan dalam bidang analisis ukuran
partikel, dimana:
a. Lebih akurat.
27
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika
dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD
ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media
sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.
b. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan
keseluruhan kondisi sample.
c. Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan
metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan
metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan
analisa gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan
submikron yang biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi.
Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel
tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel
yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran
dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah
menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.
H. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau biasa juga disebut
dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. KCKT merupakan suatu teknik
kromatografi yang menggunakan fasa gerak cair untuk pemisahan sekaligus
28
untuk analisis senyawa berdasarkan kekuatan atau kepolaran fasa geraknya.
Berdasarkan polaritas relatif fasa gerak dan fasa diamnya, KCKT dibagi
menjadi dua, yaitu fasa normal yang umumnya digunakan untuk identifikasi
senyawa nonpolar sehingga fasa gerak yang digunakan kurang polar
dibandingkan fasa diam dan fasa terbalik yang umumnya digunakan untuk
identifikasi senyawa polar, menggunakan fasa gerak lebih polar dibandingkan
fasa diam (Gritter et al., 1991). Prinsip pemisahan senyawa menggunakan
KCKT adalah perbedaan distribusi komponen diantara fasa diam dan fasa
geraknya. Semakin lama terdistribusi dalam fasa diam maka semakin lama
waktu retensinya.
Tujuan utama KCKT yaitu agar diperoleh hasil pemisahan/ resolusi yang baik
dengan waktu singkat. Maka, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1. Wadah fase gerak
Jenis dan komposisi dari fase gerak mempengaruhi pemisahan komponen.
Wadah fase gerak harus bersih sebelum dan setelah digunakan supaya tidak
ada pengotor yang dapat mengganggu analisis. Untuk HPLC fase normal
biasanya digunakan pelarut nonpolar, sedangkan HPLC fase terbalik
digunakan pelarut campuran dari air dan pelarut organik polar.
2. Pompa
Pompa berfungsi mengalirkan eluen ke dalam kolom. Pompa yang digunakan
dalam HPLC adalah pompa bertekanan tinggi, biasanya sekitar 1000-2000 psi
untuk memastikan reproduktivitas dan akurasi yang dihasilkan.
29
3. Injektor
Injektor berfungsi untuk memasukkan cuplikan ke dalam kolom. Injektor
dalam sistem HPLC harus menyediakan volume injeksi antara 1-100 mL
dengan reproduktivitas tinggi dan di bawah tekanan tinggi (hingga 4000 psi).
4. Kolom
Kolom atau fase diam berfungsi untuk memisahkan komponen. Ditinjau dari
ukurannya (panjang dan diameternya) terdapat tiga jenis kolom HPLC yaitu
kolom konvensional (panjang 10-20 cm dan diameter 4,5 mm), kolom
mikrobor (panjang 10 cm dan diameter 2,4 mm) dan kolom high speed
(panjang 6 cm dan diameter 4,6 mm). Sedangakan dilihat dari jenis fasa diam
dan fasa geraknya kolom HPLC dibedakan menjadi dua jenis yaitu kolom
fase normal dan kolom fase terbalik. Kromatografi dengan kolom
konvensional mempunyai fase diam normal bersifat polar seperti silika dan
fase geraknya non polar sehingga akan memisahkan senyawa yang bersifat
non polar. Silika yang digunakan yaitu silika dengan modifikasi kimiawi
menggunakan reagen klorosilan, silika tanpa modifikasi seperi silika
aminopropil dan sianopropil (nitril), polimer stiren dan divinil benzen.
Adanya residu silanol (Si-OH) menyebabkan permukaan silika bersifat polar
dan sedikit asam. Oktadesil silika (ODS atau C18) adalah fase diam yang
banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan
kepolaran yang rendah, sedang maupun tinggi. Kolom fase terbalik adalah
kolom yang fase diamnya bersifat non polar dan fase geraknya bersifat polar.
30
5. Detektor
Detektor berfungsi untuk mendeteksi senyawa yang ada dan mengukur
jumlahnya. Detektor yang sering digunakan pada HPLC yaitu detektor
indeks bias, serapan optik (UV-Vis), fluoresensi, dioda array, elektrokimia
dan detektor konduktivitas.
6. Integrator
Sinyal-sinyal yang ditangkap oleh detektor diteruskan pada komputer untuk
ditampilkan dalam bentuk puncak-puncak kromatogram (Kupiec, 2004).
Skema alat HPLC ditunjukkan pada Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Skema alat HPLC (Kupiec, 2004).
Berdasarkan gambar di atas, mekanisme kerja ringkas dari HPLC yaitu
sampel yang dilarutkan dalam solvent dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak
dengan cara injeksi, di dalam kolom akan mengalami pemisahan komponen
dengan adanya interaksi antara analit dengan fase diam. Analit yang
interaksinya kurang kuat dengan fase diam akan keluar dari kolom terlebih
dahulu. Sedangkan analit yang interaksinya kuat akan keluar lebih lama.
Setiap komponen yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor
kemudiam direkam dalam bentuk kromatogram. Contoh hasil analisis HPLC
31
dalam mengkonversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 (x=0,2; 0,5; 0,8 dan
1) ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji katalitik konversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 ( variable
x=0,2; 0,5; 0,8 dan 1) pada suhu 120˚C dan 140˚C (Amalia, 2013).
Katalis
Suhu
(˚C)
Hasil Produk
Glukosa Fruktosa Sukrosa Manitol Sorbitol Xylitol
x= 0,2
x= 0,2
x= 0,5
x= 0,5
x= 0,8
x= 0,8
x= 1
x= 1
120
140
120
140
120
140
120
140
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
+
Berdasarkan Tabel 1 di atas, hanya 2 katalis NixFe2-xO4 yang menunjukkan
hasil positif pada uji konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol dan xilitol
yaitu katalis NixFe2-xO4 dengan variable x= 0,5 pada suhu 120˚C dan variable
x= 1 pada suhu 140˚C.
Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol
dan xilitol ditunjukkan pada Gambar 11 berikut.
32
Gambar 11. Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa menjadi
sorbitol, manitol dan xilitol dengan katalis NixFe2-xO4 dengan variable x=0,5
pada suhu 120˚C.
Kromatogram dari beberapa gula alkohol monosakarida, dan disakarida dapat
ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 12. Kromatogram dari gula alkohol, monosakarida, disakarida
(Ratnayani dan Dwi, 2008).
Dapat dilihat bahwa waktu retensi yang dihasilkan oleh senyawa-senyawa
tersebut berbeda. Pengukuran analisis untuk fase gerak digunakan aquabides
alkohol, kolom yang digunakan SCR-101C, dengan laju alir 1 mL/menit pada
suhu 80ᵒC. Hasil yang diperoleh untuk gula alkohol seperti gliserol, xilitol,
33
sorbitol dan manitol kromatogramnya muncul pada waktu retensi kurang dari
5 menit. Untuk monosakarida seperti glukosa dan fruktosa dihasilkan pada
rentang waktu retensi antara 5-10 menit, sedangkan untuk disakarida (sukrosa
dan laktosa) dihasilkan pada rentang waktu retensi 10-15 menit. Hal ini
disebabkan karena senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi
yang berbeda. Uji aktifitas pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Larutan baku
(sorbitol, manitol, dan xilitol) serta larutan sampel diinjeksikan ke KCKT
dilakukan dengan waktu analisis 15 menit.
Untuk mengidentifikasi selulosa yang terkonversi menjadi gula alkohol, akan
terlihat berupa data luas area puncak yang diambil dari kromatogram hasil
pengukuran tiap larutan. Dari data tersebut, dibuat plot grafik antara luas area
puncak (sumbu y) larutan baku terhadap konsentrasi larutan baku (sumbu x),
kemudian dibuat persamaan garis linier dari plot menggunakan metode least
square. Bentuk persamaan linier :
Dimana, y = luas area puncak dari larutan baku
x = konsentrasi tiap larutan baku (ppm)
a,b = intersep dan slope dari persamaan least square
Nilai luas area puncak larutan sampel dibandingkan dengan persamaan least
square yang didapat untuk mendapatkan nilai konsentrasi larutan sampel. Jika
dilakukan pengenceran larutan sampel maka nilai konsentrasi larutan sampel
dikalikan dengan faktor pengenceran. Perhitungan konsentrasi sampel :
34
Dimana, C = konsentrasi selulosa dalam sampel (ppm)
Area = luas area puncak untuk larutan sampel
a = intersep
b = slope
Fp = faktor pengenceran
(Amalia, 2012)
35
III. METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Preparasi katalis, analisis keasaman dan uji aktivitas katalis dilakukan di
Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Analisis struktur katalis dilakukan
di Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan
Serpong. Analisis morfologi permukaan dilakukan di Laboratorium TEM
Jurusan Kimia FMIPA UGM. Analisis distribusi ukuran partikel dilakukan di
UPT. Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi, Universitas
Lampung. Analisis hasil uji aktivitas katalis dilakukan di PT. SIG Bogor.
Penelitian ini dilakukan dari April 2015 sampai Desember 2015.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas,
termometer, desikator, Freezer merek LG, Magnetic Strirrer merek Stuart
heat-stir CB162, oven merek Fischer Scientific (SEA) Pie Ltd, neraca digital
merek Kern ABT 220-4M, ultrasonikasi merek Bandelin Sonorex Technik,
Magnetic Strirrer, Freeze Dry merek ModulyoD Freeze Dryer , reaktor
katalitik, Fourier Transform Infra Red (FTIR) merek SHIMADZU
36
PRESTIGE 21, Particle Size Analyzer (PSA) merek FRITSCH GmbH,
Transmission Electron Microscopy (TEM) merek TEM JEOL JEM 1400, X-
ray Difraction (XRD) Type Miniflex 600 Merek Rigaku. dan High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) merek Waters Alliance 2695.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, serbuk
pektin, aquabidest, lantanum nitrat La(NO3)2.6H2O (Merck, 99%), kromium
nitrat Cr(NO3)2.9H2O (Merck, 99%), ammonium molibdat
(NH4)6.Mo7O24.4H2O (Merck, 99%), piridin (J.T. Baker), amoniak
(Merck,25%), dan gas hidrogen (BOC 99,99%).
C. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Nanokatalis
a. Proses sol-gel
Pembuatan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dilakukan dua kali untuk kebutuhan
katalis yang dikalsinasi pada temperatur 600 o
C dan 700 o
C, yang dilakukan
dengan cara melarutkan 8 gram pektin dalam 400 mL aquabidest. Larutan
tersebut diaduk menggunakan magnetik stirer pada temperatur ruang sampai
diperoleh larutan yang homogen (± 3 jam ). Sebanyak 20 mL amoniak 25%
ditambahkan ke dalam larutan tersebut. Kemudian ke dalam larutan tersebut
ditambahkan tetes demi tetes secara perlahan larutan lantanum nitrat (3,4355
gram La(NO3)2.6H2O dalam 200 mL aquabidest), kromium nitrat (2,2223
gram Cr(NO3)3.9H2O dalam 400 mL aquabidest), dan amonium molibdat
37
(2,9409 gram (NH4)6Mo7O24.4H2O dalam 200 mL aquabidest),
menggunakan heating magnetic stirrer pada suhu ruang sampai campuran
benar-benar homogen. Kemudian sistem larutan tersebut dipanaskan pada
suhu 80 oC hingga volum larutan menyusut dan membentuk gel.
b. Freezer-dry
Gel yang didapatkan selanjutnya difreezer-dry untuk menghilangkan molekul
air sampai terbentuk serbuk kering. Freezer-dry digunakan untuk
menghilangkan uap air dalam rongga bahan nanokatalis tanpa merusak
jaringan yang telah terbentuk dari bahan tersebut. Keseimbangan antara
panas yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan
panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es adalah inti dari
proses freezer-dry.
c. Kalsinasi pada Temperatur 600 oC dan 700
oC
Serbuk kering hasil freezer-dry tersebut dimasukkan ke dalam cawan
penguap untuk kemudian dikalsinasi sampai temperatur 600 oC dan 700
oC
dengan laju temperatur 2 oC /menit. Kemudian katalis digerus hingga halus
menggunakan mortar, ditimbang dan dilanjutkan untuk uji karakterisasi
katalis. Adapun profil kalsinasi disajikan dalam Gambar 13 berikut.
38
Gambar 13. Profil kalsinasi sampai temperatur 600
oC.
Berdasarkan Gambar 13 di atas mula-mula katalis dipanaskan sampai
temperatur 28 o
C. Kemudian temperatur dinaikkan sampai 350 o
C dengan laju
temperatur 2 o
C /menit, ditahan selama 2 jam, dan terakhir temperatur
dinaikkan sampai 600 o
C, ditahan selama 3 jam. Setelah 3 jam, temperatur
dibiarkan kembali ke temperatur ruang.
Gambar 14. Profil kalsinasi sampai temperatur 700
oC.
39
2. Karakterisasi Katalis
a. Analisis Keasaman Katalis
Penentuan jumlah situs asam katalis dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode gravimetri (ASTM, 2005) dilakukan dengan cara,
mula-mula wadah kosong ditimbang kemudian diisi dengan 0,25 gram katalis
dan dimasukkan ke dalam desikator bersama basa piridin, ditutup dan
dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam katalis yang telah mengadsorpsi
basa piridin dikeluarkan dan dibiarkan di tempat terbuka selama 2 jam.
Selanjutnya sampel ditimbang dan jumlah situs asam dari katalis ditentukan
menggunakan persamaan berikut.
Dimana, w1 = Berat wadah kosong
w2 = Berat wadah + cuplikan
w3 = Berat wadah + cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin
BM = Bobot molekul piridin
Selanjutnya, penentuan jenis situs asam katalis dilakukan secara kualitatif
dengan menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR). Sampel katalis
yang dianalisis dicampur dengan KBr, dengan perbandingan 1:50 atau 1:100.
Kemudian sampel yang sudah dicampur dengan KBr dibentuk menjadi tablet,
lalu dimasukkan ke dalam vessel sampel. Setelah itu sampel diukur
40
menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR) pada daerah bilangan
gelombang 1200 – 2100 cm-1
(Rodiansono et al., 2007).
b. Analisis Struktur Katalis
Analisis struktur kristal dilakukan menggunakan instrumentasi difraksi sinar-
X (XRD). Prosedur analisis ini disesuaikan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Maiti et al., (1973). Analisis dilakukan menggunakan radiasi
CuKα (1,5425 Å), tabung sinar-X dioperasikan pada 40 kV dan 200 mA.
Rentang difraksi yang diukur (2θ) dalam rentang 15 – 80o, dengan scan step
size 0,05o/menit. Puncak-puncak yang terdapat pada difraktogram kemudian
diidentifikasi menggunakan difraktogram yang diterbitkan JCPDF dalam
PCPDFwin 1997 sebagai acuan (Drbohlavova et al., 2009).
Ukuran partikel dihitung menggunakan persamaan Debye-Scherrer berikut.
D=
Dimana: D= ukuran partikel (nm)
k= konstanta (0,94)
λ= 1,5425 Å
β= radian (FWHM)
θ= lebar puncak
c. Analisis Morfologi Katalis
Analisis morfologi permukaan nanokatalis dilakukan menggunakan
instrumentasi Transmission Electron Microscop (TEM). Sampel katalis
41
(±5mg) yang akan dianalisis ditempatkan pada wadah sampel dengan dengan
ukuran 3 mm dan ketebalan 300 µm. Sampel diteteskan methanol untuk
mencegah aglomerasi. Kemudian sampel tersebut ditembakkan dengan ion
argon sampai berlubang. Pada bagian yang tipis ini ditembakkan berkas
elektron sehingga menembus sampel kemudian hasil dari tembusan elektron
tersebut yang ditangkap detektor dan diolah menjadi gambar (Bendersky and
Gayle, 2001).
d. Analisis Distribusi Ukuran Partikel
Untuk mengetahui distribusi ukuran partikel , katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
dianalisis menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). Merk Alat Nano Tec
plus/ Seri Analysette 22 FRITSCH. Sampel divakum dan partikel yang
memasuki sensing area dilaser dengan sinar inframerah dan dibaca oleh
detektor.
3. Uji Katalitik
a. Preparasi Sampel
Sebanyak 0,5 g selulosa dan 100 mL aquabidest diultrasonik selama 8 jam.
Pada penelitian ini dilakukan reaksi katalitik sebanyak 9 kali untuk katalis
LaCr0,7Mo0,3O3±δ pada temperatur kalsinasi 600 o
C serta 9 kali untuk katalis
LaCr0,7Mo0,3O3±δ pada temperatur kalsinasi 700 o
C. Sehingga selulosa yang
dibutuhkan sebanyak 9 gram dan aquabidest 1800 mL.
42
b. Reaksi Katalitik
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dihasilkan pada penelitian ini selanjutnya
digunakan dalam proses uji katalitik konversi selulosa menjadi gula alkohol.
Larutan selulosa yang telah diultrasonikasi dipindahkan ke dalam labu leher
tiga, lalu diaduk dengan pengaduk. Dipanaskan hingga variasi suhu 100 o
C,
120 o
C dan 140 o
C. Selanjutnya ditambahkan katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ
sebanyak 0,1 g dan dialirkan gas hidrogen dengan laju 10 mL/ menit selama 2
jam. Kemudian aliran gas hidrogen dan suhu reaksi dimatikan, namun
pengaduk dibiarkan hidup hingga temperatur reaktor turun (dalam penelitian
ini pada suhu 50 o
C). Setelah temperatur reaktor turun, pengaduk dimatikan
dan hasil konversi dikeluarkan dari dalam labu leher tiga. Kertas saring yang
belum digunakan ditimbang kemudian hasil reaksi disaring menggunakan
kertas saring tersebut. Kertas saring dikeringkan di dalam oven, setelah itu
dihitung persen konversi pada masing-masing reaksi. Sedangkan filtrat
dianalisis menggunakan uji Fehling dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT).
1.Tabung hidrogen 4. Pemanas magnet stirer 7. Wadah PR. Pengatur tekanan
2. Penangas air 5. Termometer 8. Kondensor NV.Kran pengatur
3. Stirer 6. katalis 9. Silinder R Alat Pemutar
Gambar 15. Rangkaian Alat Utama Hidrolisis
43
c. Uji Fehling
Masukkan 2 mL pereaksi Fehling ke dalam tabung reaksi. Tambahkan 1 mL
larutan hasil hidrolisis selulosa ke dalam tabung reaksi tersebut. Panaskan
campuran tersebut pada pembakar spiritus. Uji positif gula pereduksi
menunjukkan warna merah bata.
d. Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang menunjukkan hasil positif gula pereduksi
(endapan merah bata), dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) dengan parameter fasa gerak acetonitril : aquabides, kolom
Carbohydrate High Performance (4,6 x 250 mm), detektor indeks refraksi,
laju alir 1,4 mL/ menit, dan suhu kolom 35 o
C. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan alkohol yang terkandung dalam senyawa tersebut.
66
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Penelitian ini mampu menghasilkan katalis dengan ukuran partikel skala nano
menggunakan metode sol gel, serta pektin sebagai agen pengemulsi.
2. Kedua katalis menunjukkan jenis situs asam Lewis, dengan jumlah situs asam
katalis 600 oC relatif lebih besar dibandingkan katalis 700
oC.
3. Hasil analisis difraksi sinar-X (XRD) menunjukan terbentuknya struktur katalis
LaCr0,7Mo0,3O3±δ dengan fasa kristalin La2(MoO4)3, LaCrO3, dan sedikit LaCrO4,
dengan fasa kristal terbanyak berupa LaCrO3 pada katalis 700 oC.
4. Hasil analisis Transmission Electron Microscop (TEM) menunjukkan morfologi
permukaan nanokatalis yang heterogen.
5. Hasil analisis Particle Size Analyzer (PSA) pada katalis 600 oC menunjukkan
distribusi ukuran nano yang lebih besar dibandingkan katalis 700 oC.
6. Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ 600 o
C dan 700 o
C aktif dalam mengkonversi selulosa
menjadi gula akohol berupa mannitol dengan % konversi dan hasil produk terbaik
terbentuk pada katalis 700 oC.
67
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka pada penelitian selanjutnya
disarankan untuk :
1. Melakukan uji katalitik pada temperatur reaksi yang lebih rendah (T<100oC),
untuk menguji apakah pada kondisi tersebut fruktosa, sorbitol, dan manitol dapat
terbentuk.
2. Melakukan uji analisis lanjut untuk produk gula pereduksi lainnya dengan
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., V. Yudistira, Nirmin dan Khairurrijal. 2008. Sintesis nanomaterial.
Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. Hal 33–36.
Agustine, R dan R.T.M. Situmeang. 2009. Pembuatan dan karakterisasi katalis
perovskite (LaCr1-xNixO3±δ) dengan metode sol-gel dan uji katalitiknya
pada konversi fruktosa (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung.
Bandar Lampung. Hal 52–58.
Aimin, Jiang., W. Li, W. Hao, Z. Xiaohua, H. Yinchen, L. Wangwang and Y.
Gongming. 2015. Pectin-chitosan complex: Preparation and application in
colon-specific capsule. Int J Agric & Biol Eng. P 156.
Amalia, R dan R.T.M.Situmeang. 2013. Studi pendahuluan konversi selulosa
menjadi gula alkohol dengan katalis NixFe2-xO4 dengan variabel x=0,5; 0,8
dan 1. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hal 47–49.
Bai, Renbi and D. Deng. 2004. Removal of trivalent and hexavalent chromium
with aminated polyacrylonitrile fibers: Performance and mechanisms.
Water Res. 38, pp 2423–2431.
Bermejo E., T. Dantas, C. Lacour and M. Quarton. 1995. Mechanism of formation
of nanocrystalline hematite prepared by freeze-drying. Material Res. B. 30,
pp 645–652.
Bikshalu, K., V.S.K. Reddy, P.C.S. Reddy and K.V. Rao. 2014. Synthesis of
La2O3 nanoparticles by pechini method for future CMOS applications.
IJEAR. 4, pp 2348–0033.
Campbell, I.M. 1988. Catalyst at surfaces. Chapman and Hall. New York. Pp 1–3.
Chiang, T.H. and H.C. Yeh. 2013. The synthesis of α-MoO3 by ethylene glycol.
Materials. 6, pp 4609–4625.
Constenla, D. and J. E. Lozano. 2006. Kinetic model of pectin demethylation.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1516-
69
89132005000200013. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 pukul 05.30
WIB.
Cullity, B. D. 1978. Element of X-ray Diffraction 2nd edition. Addison-Wesley
Publishing Company, Inc. Philippines. Pp 397–398.
Danner, H and R. Braun. 1999. Biotechnology for the production of commodity
chemicals from biomass, Chem. Soc. Pp 395–405.
Drbohlavova, J., R. Hrdy, V. Adam, R. Kizek, O. Schneeweiss and J. Hubalek.
2009. Preparation and properties of various magnetic nanoparticles.
sensors. 9, pp 2352–2362.
Duguet, E. 2000. Introduction to hybrid organic-inorganic materials. University
Bordeaoux. Pp 12–15.
Farrell, A. E., R. J. Plevin, B. T. Turner, A. D. Jones, M. O’Hare and D. M.
Kammen. 2006. Ethanol can contribute to energy and environmental goals.
Science. 311(5760), pp 506–508.
Fessenden, R. J. and J. S. Fessenden. 1995. Kimia Organik Jilid II Edisi Ketiga.
Erlangga. Jakarta. Hal 319–337.
Fukuoka, A., H. Kobayashi,Y. Ito, T. Komanoya,Y. Hosaka, P. L. Dhepe, K.
Kasai and K. Hara. 2011. Synthesis of sugar alcohols by hydrolytic
hydrogenation of cellulose over supported metal catalysts. Green Chem.
13, pp 326–333.
Funazukuri, T. 2013. Hydrothermal conversion of cellulose to glucose and
oligomers in dilute aqueous formic acid solution. DOI. 10, 5772–52007.
Gritter, R.J., J. M. Bobbit, and A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.
2nd edition. ITB. Bandung. Pp 160–179.
Hanke, L. D. 2001. Handbook of analytical methods for materials. Materials
Evaluation and Engineering Inc. Plymouth. Pp 35–38.
Han, Y., J. Zhang., and X. Liu. 2013. Molybdenum-Containing Acidic Catalysts
to Convert Cellulosic Biomass to Glycolic Acid. United States Patent
Application Publication. US 2013/0281733 A1. Pp 1–2
Hegedus, L.L. 1987. Catalyst design progress and prespective. John Willey and
Sons. USA. Pp 5–9
Heydarzadeh, H., D. G.G. Najafpour and A.A. Nazari-Moghaddam. 2009.
Catalyst-free conversion of alkali cellulose to fine carboxymethyl cellulose
at mild conditions. World Applied Sciences. ISSN 1818–4952.
70
Hu,Shuwen and X. Qiu. 2013. “Smart” materials based on cellulose: A review of
the preparations, properties, and applications. Materials. 6, pp 738–781.
Israel, E.W. 1995. Infrared spectroscopy of supported metal oxide catalysts.
Physicochem and Eng Asp. Pp 143–149.
JECFA. 1996. Mannitol. Ins- No-421-1.
JECFA. 1996. Sorbitol. Ins-No-50-70-4.
JECFA. 1996. Xylitol. Ins-No-967.
Ji, N., T. Zhang, M. Zheng, A. Wang, H. Wang, X. Wang and J. G. Chen. 2008.
Direct catayitic convertion of cellulose into ethylene glycol using nickel-
promoted tungsten carbide catalysts. Angewandte Chemie Int. Edition. 47
(44), pp 8510–8513.
Jie, X.U., M.A. Jiping, Y.U. Weiqiang, W. Min, J.I.A. Xiuquan and L.U. Fang.
2013. Advances in selective catalytic transformation of ployols to value added chemicals. Chinese J. Catal. Pp 492–507
Johanson, A., O. Aoltonen and P. M. Ylinen. 1987. Organosolv pulping method
and pulp property biomassa. Tappi J. P 2.
Kalapathy, U and A. Protor. 2001. Effect of acid extraction and alcohol
precipitation condition on the yield and purity of soy hull pectin. Food
Chem. Pp 393–396.
Klemm, D., B. Philipp, T. Heinze, U. Heinze, W. Wagenknecht. 1998.
Comprehensive cellulose chemistry: Fundamentals and analytical
methods. Wiley-vch verlag GmbH. Germany. Pp 1–5
Kupiec, T. 2004. Quality-Control Analytical Methods: High Performance Liquid
Chromatography. Int. J. of Pharmacceutical Comp. 8 (3), pp 223–227.
Kuusisto J., J.P. Mikkola, P.P. Casal, H. Karhu, J. Vayrynen and T Salmi. 2005.
Kinetics of the catalytic hidrogenation of D-fructose over a CuO-ZnO
catalyst. Chem Eng J. 115, pp 93–102.
Kwon, K. C. H. T. Mayfield. B. Marolla, Nichols and M. Mashburn. 2011.
Catalytic deoxygenation of liquid biomass for hydrocarbon fuels.
Renewable Energy. 36(3), pp 907–915.
Ladisch, M. R., T.A. Hsu and G.T. Tsao. 1980. Alcohol from cellulose. Chem
Tech. 10(5), pp 315–319.
Lambert C.K. and R. D. Gonzalez. 1998. The importance of measuring the metal
71
content of supported metal catalysts prepared by the sol gel method. Appl
Catal a General. 172, pp 233–239.
Lee, J and T. W. Jeffries. 2011. Efficiencies of acid catalysts in the hydrolysis of
lignocellulosic biomass over a range of combined severity factors.
Bioresource Tech. Pp 5884–5890.
Lee, H. V., S. B. A. Hamid and S. K. Zain. 2014. Conversion of lignocellulosic
biomass to nanocellulose structure and chemical process. Scientific World
J. 19, pp 1–16.
Lin, Y and G. W. Huber. 2009. The critical role of heterogeneous catalysis in
lignocellulosic biomass conversion. Energy and Environmental Science. 2,
pp 68–80.
Lin, L., J. Zhuang, L. Peng, B. Zhang and Y. Gong. 2010. Catalytic conversion of
cellulose to levulinic acid by metal chlorides. Molecules. 15, pp 5258–
5272.
Luypaert, J., Zhang, M., and Massart, D.L. 2003. Feasibility study for the use of
near infra-red spectroscopy in the qualitative and quanttitative analysis
green tea. Analyt Chem Acta. Pp 310–312.
Maiti, G. C., M. L. Kundu, S. K. Ghosh and B. K. Banerjee. 1973. Cyrstallite size
measurements and phase transformation of Fe2O3, Cr2O3 and Fe2O3 -
Cr2O3 system by x-ray difraction method. Physic Res Wing Fertilizer Corp
India Limited. 41 (5), pp 496–505.
Miesfeld, D. 2008. Lecture 31 - Carbohydrate structure. Cellulose is a biofuel.
Bioc. P 460.
Navrotsky, A., Weidner, D. J. and Preface. 1989. In perovskite: a structure of
great interest to geophysics and material science. American Geophysical
Union. Washington D.C. 45, p 146.
Nelson, D. B., C.J.B. Smith and Wiles. 1977. Commecially important pectic
substance in food colloids. Avi Publishing Co.Westport. P 418.
Park, E. D., I.G. Baek and S.J. You. 2013. Direct convertion of cellulose into
spolyols over Pt/CsxH3-xPW12O40. Clean Technology. 19, pp 13–21
Parry, E. P. 1963. An infrared study of pyridine adsorbed on acidic solids
characterization of surface acidity. J. Catal. Pp 371–379.
Peng, L., L. Lin, J. Zhang, J. Zhuang, Z. Beixiao and Y. Gong. 2010. Catalytic
conversion of cellulose to levulinic acid by metal chlorides. Molecules. 15
(8), pp 5258–5272.
72
Pinna, F. 1998. Supported metal catalyst preparation. B. Catal Today. 41, pp 29–
137.
Purnomo, Eko Ari. 2003. Pembuatan dan karakterisasi katalis NiO/LaCrO3 untuk
reaksi dekomposisi NO2 (Skipsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hal 14–31.
Ratnayani, K. dan A. S. Dwi. 2008. Penentuan kadar glukosa dan fruktosa pada
madu randu dan madu kelengkeng dengan metode kromatografi cair
kinerja tinggi. Jurnal Kimia. Hal 77–86.
Ridley, B.L., M. A. O’Neill and D. Mohnen. 2001. Pectins: Structure,
biosynthesis and oligogalacturonide-related signaling. Phytochem. Pp 929–
967.
Rodiansono, W., Trisunaryanti and Triyono. 2007. Pembuatan, karakterisasi dan
uji aktifitas katalis NiMo/Z dan NiMo/Z-Nb2O5 pada reaksi hidrorengkah
fraksi sampah plastik menjadi fraksi bensin. Berkala MIPA. 17, pp 44–54.
Ryczkowski, J. 2001. IR spectroscopy in catalysis. Elsevier. Catalysis Today. Pp
263–381.
Santosa, A. 2008. Analisa struktur dan komposisi material lapisan tungsten
carbide/ cobalt (WC-Co) yang dipersiapkan dengan metode HVOF.
(Tesis). Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 14–17.
Service, R. F. 2010. Is there a road ahead for cellulosic ethanol?. Science. Pp 784–
785.
Skoog, D. A. and D. M. West. 1982. Fundamentals of Analytical Chemistry,
fourth edition. HRW International Editions. Pp 85–92
Song, Y.F., L. Cronin, C.G. Lin, D. L. Long and W. Chen. 2014. Step-by-step
covalent modification of crtemplated anderson-type polyoxometalates.
Dalton Trans J. 43, p 8587
Sopyan, I., D. A. Winarto dan Sukartini. 1997. Pembuatan bahan keramik melalui
teknologi sol gel. Bidang Pengembangan Teknologi BPPT. Pp 137–143.
Stojanovic M., R. G. Haverkamp, C. A. Mims, H. Moudallal and A. J. Jacobson.
1997. Synthesis and characterization of LaCr1-xNixO3 perovskite chatalyst.
J Chatal. 165, pp 315–323.
Sukmawibowo. 2010. Preparasi dan karakterisasi katalis Fe2O3 untuk reaksi
hidrogenasi katalitik CO2. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas
Lampung. Bandar Lampung. Hal 45–48.
Tanabe, K. J.R. Anderson and M. Boudart 1981. Solid acid and base catalyst in
73
catalysis science and technology. Springer- Link. Berlin. 2, pp 231– 273.
Toukoniitty, B., J. Kuusisto, J.P. Mikkola, T. Salmi and D.Y. Murzin. 2005.
Effect of ultrasound on catalytic hydrogenation of D-fructose to D-
mannitol. American Chem Society. Pp 9370–9375.
Towle, G. A. and O. Christensen. 1973. Pectin in R.L Whistler (ed.). Industrial
Gum. Academic Press. New York. P 429.
Wang, Y., W. Deng, B. Wang, Q. Zhang, X. Wan, Z. Tang, Y. Wang, C. Zhu, Z.
Cao, G. Wang and H. Wan. 2013. Chemical synthesis of lactic acid from
cellulose catalysed by lead (ii) ions in water. Nature Communications 4.
Article Number 2141. Pp 1–5
Wang, S., Y. Du, W. Zhang, X. Cheng and J. Wang. 2014. Catalytic convertion
into 5-hydroxymethylfurfural over chromium trichloride in ionic liquid.
Korean J Chem Eng. Spxinger US. Pp 0256–1115. 31 (10), pp 1786 –
1791.
Widegren, J. A., R. G. Finke and J. Mol. 2003. Preparation of a multifunctional
core-shell nanocatalyst and its characterization by HRTEM. Catal. A:
Chem. 191, p 187.
Wu, Y and X. Wang. 2011. Preparation and characterization of single-phase α-
Fe2O3 nano-powders by pechini sol-gel method. Materials Letters. Pp
2062–2065.
Yusnani, A. 2008. Rasio optimum konsentrasi prekursor pada sintesis katalis
Ni-Mo/zeolit Y. (Skripsi FMIPA). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hal 51–53.
Yuwono, A.H., D. Dhaneswara, A Ferdiansyah dan A. Rahman. 2011. Sel surya
tersensitasi zat pewarna berbasis nanopartikel TiO2 hasil proses sol-gel
dan perlakuan paska hidrotermal. Jurnal Material dan Energi Indonesia.
Hal 127–140.
Zhang, C., Y. Su, H. M. Brown, G. Li, et.al. 2010. Accelerated cellulose
depolymerization catalyzed by paired metal chlorides in ionic liquid
solvent. Applied Catalysis A. Pp 436–442.
Zhang ,Tao., M. Zheng, J. Pang and A. Wang. 2014. One pot catalytic conversion
of cellulose to ethylene glycol and other chemicals: From fundamental
discovery to potential commercialization. Chinese Journal of Catalysis. Pp
602–613.
Zhou, C., X. Xia, D. Tong and J. Beltramini. 2011. Catalytic conversion of
lignocellulosic biomass to fine chemicals and fuels. Cite this: Chem. Soc.
Rev. 40, Pp 5588–5617.