KONSUMSI MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO DAN … · 96 KONSUMSI MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO DAN...
Transcript of KONSUMSI MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO DAN … · 96 KONSUMSI MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO DAN...
96
KONSUMSI MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO DAN
STATUS GIZI ANAK SEKOLAH
(The Consumption of Gorontalo Traditional Food and Student Nutritional Status)
Abstrak
Tujuan penelitian mengkaji konsumsi makanan tradisional Gorontalo
(MTG) dan status gizi anak sekolah yang mendapat mata pelajaran muatan lokal
(mulok) ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok. Penelitian ini adalah deskriptif
cross-sectional, metode survei dengan recall 2 kali 24 jam pada siswa sebagai
unit analisis baik siswa SMP mulok maupun tidak mulok. Juga pengukuran status
gizi secara antropometri dan biokimia. Asupan energi 2307 kkal pada mulok dan
2277 kkal tidak mulok tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan kontribusi protein
adalah 13,51% pada mulok dan 13,42% pada tidak mulok, lemak 35,67% pada
mulok dan 35,78% tidak mulok, karbohidrat 50,82% pada mulok dan 50,80 tidak
mulok. Kontribusi energi dari MTG siswa mulok lebih tinggi (32,84%)
dibandingkan tidak mulok, (29,45%), namun kontribusi karbohidrat sangat rendah
yaitu 19,58% pada siswa mulok dan 18,40% tidak mulok, lemak adalah 45,61%
pada mulok dan 41,07% tidak mulok serta protein 41,29% pada mulok dan
41,78% pada tidak mulok. Selanjutnya kontribusi serat dari MTG terdapat
perbedaan yang siknifikan (p<0,05). Rata-rata IMT tergolong dalam kategori
normal yaitu pada contoh siswa mulok 19,03±2,94 kg/m2 dan 19,02±3,26 kg/m
2
pada tidak mulok. Namun ada kecenderungan peningkatan status gizi gemuk dan
obesitas. Untuk Hemoglobin (Hb) antara contoh siswi mulok dan tidak mulok
tidak ada perbedaan (p>0,05) dengan rata-ratanya 12,45±1,34 g/dl dan
12,39±1,42 g/dl.
Kata kunci: Gorontalo, konsumsi makanan, status gizi, tradisional
Abstract
The objective of the research was to examine the consumption of Gorontalo
traditional food (GTF) and nutritional status of students who study local content
subject (mulok) contained with nutrition science based on GTF and non mulok.
This research is a descriptive cross-sectional survey method with recall twice in
24 hours as an analysis unit to each group of student. As well as anthropometric
measurements of nutritional status and biochemistry. Energy intake was 2307 kkal
on mulok group and 2277 kkal on the other group which showed no significant
difference (p>0,05) with contribution of protein was at 13,51% on mulok group
and at 13,42% on non-mulok group. Fat was 35,67% on mulok group and 35,78%
on non-mulok group, carbohydrate rate was 50,82% on mulok group and 50,80%
on non-mulok group. Energy contribution of GTF mulok students were higher
(32,48%) compare to the other group (29,45%), but carbohydrate intake was very
low at 19,58% on mulok group and 18,40 on non-mulok group, fat was 45,61% on
97
mulok group and 41,07% on non-mulok group as well as protein rate was 41,29%
on mulok group and 41,78 on non-mulok group. Furthermore, the contribution of
fibers from MTG there are significant differences (p <0.05). The average BMI
was classified as normal for example the average of mulok student was
19,03±2,94 kg/m2 and non-mulok student was 19,02±3,26 kg/m
2. However, there
was an increasing trend of fat and obesity. There was no significant difference for
Hemoglobin (Hb) on schoolgirls of mulok and non-mulok group, which the
average was 12,45±1,34 g/dl and 12,39±1,42 g/dl, respectively.
Keywords: food consumption, Gorontalo, nutritional status, traditional
98
Pendahuluan
Makanan tradisional terbentuk sebagai akibat dari adanya hasil suatu evolusi
pengalaman yang sudah turun temurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-
abad yang tersusun dalam hidangan sehari-hari (Soerjodibroto 1995).
Kesanggupan menyusun hidangan ini tidaklah diturunkan dalam pengertian
herediter, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari leluhur melalui orang
tua, terus ke generasi yang lebih muda (Suhardjo 1989). Selanjutnya menurut Nor
et al. (2012) bahwa proses transformasi pengetahuan makanan tradisional Melayu
di kalangan generasi yaitu dari ibu ke anak-anak perempuan mereka dengan
penjelasan tentang bahan-bahan yang digunakan, metode memasak, peralatan
yang digunakan dan keterampilan memasaknya. Dari penjelasan ini maka
dapatlah dikatakan bahwa makanan tradisional adalah makanan yang dibuat
dengan menggunakan resep khas hasil ciptaan masyarakat daerah tertentu dan
sudah ada dari generasi sebelumnya.
Makanan tradisional dapat menunjang status gizi dan kesehatan serta
kebugaran seseorang (Soerjodibroto 1995). Banyak hasil penelitian mengenai
makanan tradisional bahwa ternyata hampir semua bahan makanan yang
digunakan secara tradisional maupun resep-resep makanan tradisional Indonesia
mempunyai khasiat terhadap kesehatan karena mengandung satu atau lebih
komponen senyawa yang mempunyai sifat fungsional terhadap satu atau lebih
reaksi metabolisme dan biokimia yang esensial bagi tubuh (Zakaria dan
Andarwulan 2001). Hal ini yang dapat mendasari bahwa makanan tradisional
penting untuk dilestarikan dan dikembangkan sebagai bagian dari budaya bangsa.
Di Gorontalo sejak tahun 2008 telah dilaksanakan kebijakan pelestarian dan
pengembangan makanan tradisional melalui mata pelajaran muatan lokal (mulok)
ilmu gizi berbasis MTG di pendidikan dasar (SD, SMP) dan pendidikan
menengah (SMU/SMK) (DinKes Provinsi Gorontalo, 2008). Mulok ini
dibelajarkan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Gorontalo dan merupakan
jenis muatan lokal yang pertama di Indonesia. Tujuan mulok ilmu gizi berbasis
MTG diantaranya adalah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang
MTG, gizi dan kesehatan. Menurut Dwiriani et al. (2011) bahwa intervensi
pendidikan gizi dapat meningkatkan pengetahuan gizi. Harapan dari peningkatan
pengetahuan dan pemahaman tersebut adalah agar terjadi pola konsumsi yang
baik sehingga dapat berdampak pula pada status gizi dan kesehatannya.
Menurut Muhilal (1995) bahwa ada empat kelompok makanan Indonesia
beserta fungsinya yaitu pertama, makanan pokok sebagai sumber karbohidrat atau
sumber energi berupa beras, jagung, ubi, sagu, yang fungsinya membuat rasa
kenyang dan diangap baik untuk kesehatan. Kedua, lauk sebagai sumber protein
dan lemak berupa daging, ikan, telur, tempe dan tahu yang membuat hidangan
terasa lebih enak. Ketiga, sayur yang fungsinya dalam menu memperlancar
pengunyahan dan makanan lebih mudah ditelan. Sayuran merupakan sumber
vitamin dan mineral, karena sebagian besar wilayah Indonesia umumnya sayuran
dimasak lebih dahulu sebelum dimakan maka vitamin C sebagian besar menjadi
rusak. Keempat, buah yang fungsinya untuk menetralkan rasa dari berbagai
hidangan dan sering disebut pula pencuci mulut. Buah merupakan sumber vitamin
dan mineral. Buah ini biasanya dimakan mentah maka vitamin yang
dikandungnya terutama vitamin C tidak mengalami kerusakan.
99
Berdasarkan ulasan sebelumnya maka dapat dirumuskan bahwa
bagaimanakah konsumsi MTG dan status gizi anak sekolah baik yang mendapat
mata pelajaran Mulok Ilmu Gizi Berbasis MTG dan tidak mulok? Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis konsumsi MTG siswa mulok dan tidak mulok
yang meliputi pola konsumsi; tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan
karbohidrat; tingkat kecukupan vitamin A, C dan serat; tingkat kecukupan mineral
Ca, Fe, dan Zn; kontribusi zat gizi dari MTG. Selain itu menganalisis status gizi
contoh siswa.
Metode Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional dengan
metode survei untuk memperoleh fakta-fakta konsumsi MTG dan status gizi anak
sekolah serta mendapatkan makna dan implikasi dari masalah yang ingin
dipecahkan dengan instrumen dalam bentuk kuesioner (Nasir 2009). Penelitian ini
sebagian didanai oleh Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Gorontalo pada 1 kota dan 5 kabupaten
yang masing-masing bertempat di perwakilan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sekolah tersebut adalah sekolah yang melaksanakan mata pelajaran Mulok Ilmu
Gizi Berbasis MTG dan tidak mulok yang ditentukan secara purposive. Penelitian
dilaksanakan selama 5 bulan sejak bulan Oktober – Maret 2011.
Populasi dan Contoh Penelitian
Populasi penelitian adalah siswa SMP kelas IX yang sedang bersekolah di
Provinsi Gorontalo. Ditentukan contoh dengan cara stratified random sampling
karena populasi terdiri dari dua kelompok. Secara purposive ditentukan contoh 2
SMP mulok dan 2 SMP tidak mulok pada setiap daerah kabupaten/kota yang
mempunyai kesamaan letak geografi, dan tingkat akreditasi. Dengan demikian
diperoleh contoh sekolah berjumlah 24 SMP yang terdiri dari 12 sekolah mulok
dan 12 tidak mulok, sehingga di kabupaten/kota diwakili 2 contoh sekolah mulok
dan 2 tidak mulok. Sekolah ini ada 12 yang terakreditasi A, 10 terakreditasi B dan
2 terakreditasi C. Setiap sekolah secara acak sederhana diwakili oleh 13 contoh
tetapi ada 3 SMP yang contohnya kurang dari 13 siswa yaitu: 1 contoh SMP
mulok hanya mempunyai 10 siswa yang memenuhi kriteria dan 2 contoh SMP
tidak mulok masing-masing terdiri dari 12 dan 10 contoh. Diperoleh 153 contoh
siswa SMP mulok, ibu siswa, dan nenek siswa; dan 152 SMP tidak mulok yang
sama kriterianya, sehingga total contoh ada 915.
Pengukuran Konsumsi Makanan
Konsumsi makanan pada siswa dilakukan dengan metode recall 24 jam
Recall dilakukan pada siswa sebagai unit analisis baik siswa SMP mulok maupun
tidak mulok. Recall dilakukan 2 kali 24 jam yaitu konsumsi makanan pada hari
sekolah (Senin – Sabtu) dan pada hari Minggu. Ini akan mengetahui totalitas
konsumsi makanan setiap hari dan zat gizi meliputi energi, protein, lemak,
100
karbohidrat, vitamin (meliputi A dan C) mineral (meliputi Ca, Fe dan Zn), serta
serat. Jenis vitamin dan mineral yang dipilih tersebut karena dibutuhkan dalam
pertumbuhan dan perkembangan. Perhitungan zat-zat gizi ini dengan
menggunakan perangkat lunak Nutrisurvey Indonesia. Untuk menghitung tingkat
kecukupan energi dan zat gizi maka digunakan angka kecukupan gizi (AKG)
berdasarkan Widya Karya Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004 dan juga
dikoreksi dengan berat badan individu yang bersangkutan. Khusus untuk
menghitung kecukupan lemak berdasarkan persentase dari total energi yaitu
sebesar 20% (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Dalam menghitung karbohidrat
berdasarkan selisih dari total energi yang dikurangi dengan total energi protein
dan lemak kemudian dibagi dengan 4. Sebagai contoh anak laki-laki umur 13-15
tahun (Tabel 51 dengan kecukupan energi (berdasarkan AKG) 2400 kkal, protein
60 g (240 kkal); lemak 20% dari total energi 2400 adalah 480 g atau 53,3 g. Jadi
komponen karbohidrat adalah 2400 - (240 + 480) kemudian dibagi dengan 4,
karena 1 gram karbohidrat adalah 4 kkal, sehingga hasilnya adalah 420 g. Lihat
Tabel 51.
Tabel 51 Angka kecukupan gizi laki-laki dan perempuan tahun 2004 umur 13 -
18 tahun
Umur
(tahun)
BB
(kg)
TB
(cm)
Energi
(kkal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
KH
(g)
Vit.A
(RE)
Vit.C
(mg)
Ca
(mg)
Fe
(mg)
Zn
(mg)
Laki-laki
13-15 48 155 2400 60 53.3 420 600 75 1000 19 18.2
16-18 55 160 2600 65 57.8 455 600 90 1000 15 16.9
Perempuan
13-15 49 152 2350 57 52.2 413 600 65 1000 26 15.8
16-18 50 155 2200 55 48.9 385 600 75 1000 26 14 Sumber: WNPG tahun 2004, kecuali lemak dan karbohidrat yang baru direkomendasikan.
Jumlah asupan zat gizi dibandingkan dengan AKG kemudian diklasifikasi
(Depkes 1996), lihat Tabel 52. Sementara klasifikasi tingkat kecukupan vitamin
dan mineral digolongkan dalam 2 kategori meliputi kategori kurang adalah <70%
dan kategori cukup adalah >70% (Gibson 2005).
Tabel 52 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein
Klasifikasi tingkat kecukupan
energi dan protein Cut of point
Defisit berat ≤70%
Defisit sedang 70.0-79.9%
Defisit ringan 80.0-89.9%
Normal 90.0-109.9%
Kelebihan ≥110% Sumber DepKes tahun 1996
Kecukupan serat yang direkomendasikan melalui WNPG (2004) adalah
antara 19-30 g/orang/hari. Untuk mempermudah perhitungan penulis tentukan
kecukupan rata-rata serat adalah 25 g/orang/hari. Untuk klasifikasi tingkat
kecukupan serat makanan juga digolongkan dalam 2 kategori meliputi kategori
kurang adalah <70% dan kategori cukup >70%. Selanjutnya dibuat penggolongan
makanan berdasarkan jenis makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, snack/kue.
Sementara untuk buah termasuk dalam jenis snack/kue.
101
Pengukuran Status Gizi dan Kesehatan
Makanan tradisional dapat digunakan sebagai aset atau modal untuk
meningkatkan status gizi masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Winarno
2004). Pengukuran status gizi dengan unit analisisnya adalah contoh siswa SMP
yang mendapat mulok dan yang tidak mulok pada semua contoh sekolah.
Adapun pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran antropometri yang
meliputi berat badan dan tinggi badan. Pengukuran berat badan dilakukan dengan
contoh menggunakan pakaian yang seminimal mungkin, tidak memakai jaket,
mengeluarkan isi kantong, tidak mengenakan sepatu, sandal dan topi. Pengukuran
berat badan dengan menggunakan alat timbang injak digital (SECA ketelitian 0,1
kg merek Tanita HD 312) dan pengukuran tinggi badan dengan menggunakan
mikrotois (ketelitian 0,1 cm). Untuk interpretasi data dilakukan melalui
perhitungan Indeks massa tubuh (IMT) berdasarkan umur dan juga berdasarkan
jenis kelamin. Lihat Tabel 53.
Tabel 53 Klasifikasi standar penilaian status gizi anak secara antropometri
Indeks Kategori status gizi Ambang batas (z-score)
Indeks massa tubuh menurut
umur (IMT/U) 13-18 tahun
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3SD sampai <-2 SD
Normal -2SD sampai < +1SD
Gemuk > +1 SD sampai +2SD
Obesitas > +2 SD (Keputusan Menkes No. 1995/Menkes/SK/XII/2010).
Dilakukan pula pengukuran status gizi secara biokimia yakni status anemia.
Contoh adalah berjenis kelamin wanita yang terdiri dari siswi SMP mulok dan
tidak mulok. Pengambilan contoh pada siswi dengan alasan bahwa kejadian
anemia sebagian besar terjadi pada wanita, demikian juga pada masa tersebut
wanita sudah banyak yang mengalami perubahan fisiologi tubuh diantaranya
ditandai oleh menstruasi setiap bulan. Pengambilan darah dilakukan pada contoh
yang sebelumnya telah menyetujui informed consent yang diwakili oleh orang
tuanya. Dilakukan pengukuran Hemoglobin (Hb) pada darah tersebut dengan
kriteria dikatakan anemia jika <12 g/dl (UNICEF/UNU/WHO 2001). Briawan et
al. (2011) dalam penelitiannya bahwa penggolongan anemia yaitu ringan (10,0 -
11,9 g/dl), sedang (7,0 - 9,9 g/dl) dan berat (<7,0 g/dl).
Alat yang digunakan dalam pengukuran hemoglobin adalah HemoCue Hb
201+ yang memberikan hasil yang berkualitas secara mudah dan cepat. Setelah
darah kapiler atau arteri diambil dengan menggunakan smartcare yang berisi
blood lancets, kemudian darah diletakkan pada microvcuvette dan langsung
dimasukan pada HemoCue yang sebelumnya telah dijalankan. Adapun proses
pengukuran Hb dengan alat tersebut adalah: 1). Setelah tanda start ditekan, layar
akan menampilkan tiga strip berkedip dan simbol HemoCue. 2). Pastikan tangan
contoh dalam keadaan hangat dan contoh dalam keadaan santai. 3). Untuk
pengambilan darah dilakukan pada jari tengah yang sebelumnya telah dibersihkan
dengan desinfektan yaitu alkohol 70% dan dibiarkan kering. 4). Digunakan ibu
jari untuk menekan jari tengah dari atas buku jari sehingga merangsang aliran
darah ke bagian titik sampling. 5). Agar aliran darah baik dan nyerinya sedikit,
contoh darah diambil pada sisi ujung jari. 6). Sementara menekan pergelangan jari
untuk menangkal ujung jari, tusukan jari menggunakan jarum (blood lancets)
102
yang telah dipasangkan pada tempatnya yaitu smartcare. Darah yang keluar 2 atau
3 tetes pertama dihapus dengan kapas steril. 7). Kembali menekan lingkarang jari
ke arah ujung jari sampai setetes darah keluar. Ketika tetesan darah cukup banyak,
kemudian microcuvette diisi dengan darah tersebut (microcuvette ini hanya
digunakan sekali). 8). Darah yang berlebih di bagian luar ujung microcuvette
dibersihkan dan dipastikan tidak ada darah yang keluar dari microcuvette selama
prosedur ini. 9). Tempatkan microcuvette dalam tempat kuvet di HemoCue.
dorong pemegang kuvet dan proses pembacaan dimulai. Setelah 15-60 detik nilai
hemoglobin contoh ditampilkan pada HemoCue.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh seorang dokter dari Dinas Kesehatan
Provinsi Gorontalo. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fisik, anamnesa keluhan
dan riwayat penyakit. Kemudian berdasarkan data yang ada dokter menentukan
diagnosa contoh yang diperiksa.
Instrumen Pengumpulan Data
1. Tabel untuk recall makanan 24 jam dan kuesioner untuk frekuensi makanan
(Lampiran 2 point praktik).
2. Tabel pengukuran status gizi (Lampiran 3)
Analisis Data
Dianalisis dengan melakukan uji beda (t-test) antara contoh siswa mulok
dengan yang tidak mulok tentang konsumsi makanan dan status gizi contoh siswa.
Konsumsi makanan dianalisis secara keseluruhan, kemudian dianalisis pula
kontribusi zat gizi dari MTG. Sementara status gizi dianalisis berdasarkan IMT
menurut umur dan juga berdasarkan kandungan hemoglobin darah contoh.
Analisis data menggunakan SPSS (Statistical Program for Sosial Sciences) V. 16.
Hasil dan Pembahasan
Pola Konsumsi
Pola konsumsi adalah jumlah macam makanan dan jenis serta banyaknya
bahan pangan dalam pola makanan disuatu daerah tertentu (Suhardjo et al. 1988).
Selanjutnya menurut Sandjaja et al. (2009) bahwa pola konsumsi adalah susunan
makanan yang mencakup jenis dan jumlah makanan rata-rata perorang perhari
yang umum dikonsumsi atau dimakan penduduk dalam waktu tertentu. Ditinjau
dari jenis makanan yang dikonsumsi berdasarkan hasil recall 2 kali 24 jam,
konsumsi makanan contoh siswa mulok dan tidak mulok dengan 6 klasifikasi
jenis makanan yang dikonsumsi.
Tabel 54 menunjukkan bahwa pola konsumsi contoh siswa mulok dan tidak
mulok sesungguhnya tidak jauh berbeda. Ada yang pola konsumsinya terdiri dari
makanan pokok dan lauk pauk sebesar 3,92% pada contoh siswa mulok dan
7,24% tidak mulok. Sementara pola konsumsi makanan pokok dan sayuran tidak
terdapat di Gorontalo karena dalam konsumsinya bahwa pasangan makanan
pokok adalah lauk pauk. Paling banyak pola konsumsi makanan contoh terdiri
dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah yang masing-masing ada
40,52% pada contoh siswa mulok dan 32,89% tidak mulok. Sementara yang
lainnya yaitu terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah, dan snack ada
103
16,99% pada contoh siswa mulok dan 17,76% tidak mulok. Snack yang
dimaksudkan di sini adalah kue, roti bungkus, gorengan, atau jenis camilan baik
yang tradisional maupun modern.
Tidak ditemukan pola konsumsi makanan pokok dan sayuran, ini
dimungkinkan karena kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat Gorontalo bahwa
selamanya pendamping atau pasangan makanan pokok apakah dari beras, jagung,
umbi-umbian, sagu, adalah lauk berupa ikan, udang, atau daging (ayam, sapi,
kambing). Temuan ini hampir sama dengan hasil penelitian Sudiarti (1997) yaitu
pola konsumsi di Kota Depok Jawa Barat terdiri dari makanan pokok, lauk pauk,
sayur (lalapan) dan buah. Lalapan yang di konsumsi ini menjadi salah satu
pembeda jenis sayuran yang dikonsumsi, karena di Gorontalo tidak terdapat
lalapan tersebut.
Tabel 54 Jenis makanan yang dikonsumsi siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG
dan tidak mulok
Jenis makanan yang dikonsumsi Siswa mulok Siswa tdk mulok Total
n % n % n %
Pokok+lauk 6 3.92 11 7.24 17 5.57
Pokok+lauk+buah 2 1.31 3 1.97 5 1.64
Pokok+lauk+sayur 55 35.95 59 38.82 114 37.38
Pokok+lauk+sayur+buah 62 40.52 50 32.89 112 36.72
Pokok+lauk+sayur+snack 2 1.31 2 1.32 4 1.31
Pokok+lauk+sayur+buah+snack 26 16.99 27 17.76 53 17.38
Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Karbohidrat
Tingkat kecukupan gizi diukur berdasarkan kelompok umur dan berat badan
contoh siswa yang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2004
bagi orang Indonesia kecuali lemak dan karbohidrat. Penelitian ini menemukan
bahwa kontribusi gizi siswa mulok dengan tidak mulok tidak jauh berbeda. Rata-
rata kontribusi protein sebesar 13,51% pada mulok dan 13,42% tidak mulok;
lemak 35,67% pada mulok dan 35,78% pada tidak mulok; serta karbohidrat
50,82% pada mulok dan 50,80% tidak mulok. Temuan Oenzil (1993) pada
penelitiannya tentang gaya hidup kebiasaan makan masyarakat pedesaan dan
perkotaan di Sumatra Barat ditemukan bahwa kontribusi protein dan lemak di
daerah perkotaan adalah 11,3% dari total energi dan 9,8% di daerah pedesaan,
lemak sebesar 20,4% dan 15%.
Protein dalam MTG sebagian besar bersumber dari protein hewani berupa
ikan. Sumber protein ini dikenal sebagai bahan makanan yang banyak
mengandung asam lemak tak jenuh termasuk omega 3 yang berperan dalam
mencegah terjadinya penyumbatan lemak pada dinding pembuluh darah
(Soekirman et al. 2003). Protein ini sangat penting untuk anak usia sekolah karena
sebagai zat pembangun dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya.
Sumber karbohidrat MTG meliputi beras, jagung, dan umbi-umbian.
Penganekaragaman sumber karbohidrat ini dapat saling melengkapi unsur zat-zat
gizinya. Dua atau lebih jenis bahan makanan yang dimasak bersama-sama sebagai
sumber energi seperti beras dan jagung, dipadukan dengan ikan sebagai sumber
protein serta dipadukan juga dengan sayuran sebagai sumber vitamin, mineral dan
104
serat. Ini dapat memberikan pemenuhan kebutuhan pada tubuh, tetapi sebaiknya
pula harus ditambah dengan buah.
Kontribusi lemak telah melebihi pola konsumsi pangan yang baik, juga
diatas kontribusi energi zat gizi rata-rata penduduk Indonesia yaitu sebesar 20%
(Hardinsyah dan Tambunan 2004). Sekalipun kandungan lemak dari MTG
tersebut tinggi tetapi sumbernya paling banyak berasal dari lemak nabati yaitu
dalam bentuk minyak kelapa, santan kelapa dan juga kelapa parut yang
mengandung asam lemak jenuh rantai sedang. Menurut Almatsier (2003) bahwa
lemak nabati ini, dibutuhkan oleh tubuh karena tidak lebih berbahaya jika
dibandingkan dengan lemak hewani yang mengandung asam lemak jenuh dan
juga dibutuhkan untuk aktivitas yang seimbang.
Tidak ditemukan perbedaan yang nyata (p>0,05) asupan gizi contoh siswa
mulok dan tidak mulok. Adapun rata-rata asupan energi, protein, lemak dan
karbohidrat adalah seperti Tabel 55, 56.
Tabel 55 Rata-rata asupan dan persentase AKG energi dan protein siswa
mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
Zat gizi Siswa mulok Siswa tidak mulok Sig (2-
tailed) Rata-rata %AKG Rata-rata %AKG
Energi (kkal) 2307±503a 97.15±20.98 2277±572a 95.91±23.86 0.634
Protein (g) 77.93±17.08a 133.21±29.20 76.43±19.78a 130.65±33.81 0.479
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Rata-rata asupan energi siswa mulok dan tidak mulok masing-masing adalah
2307 kkal dan 2277 kkal. Asupan energi ini masih lebih rendah (93-122 kkal)
dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi tahun 2004 umur 13-15 tahun yaitu
2400 kkal. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan asupan energi rata-rata usia 13-15
tahun ditingkat provinsi Gorontalo adalah 76,6±26,5% dari AKG (1838±636 kkal)
dan secara nasional hanya 74,7±23,6% (1792±556 kkal). Jadi temuan ini
menunjukkan tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok siswa tersebut
adalah lebih dari 95% dan tergolong sebagai kategori asupan energi normal. Ini
berbeda dengan hasil penelitian Tanziha (2011) yang menemukan tingkat
kecukupan energi di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari adalah lebih tinggi
dengan masing-masing rata-ratanya adalah 128,4% dan 131,6% atau rata-ratanya
129,9%. Sementara hasil peneltian Dwiriani et al. (2011) menunjukkan bahwa
asupan energi siswa di tiga SMP kabupaten Bogor adalah lebih rendah dari yang
ditemukan dalam penelitian ini dan riskesda dengan rata-ratanya 1557 kkal.
Rata-rata asupan protein antara siswa mulok dan tidak mulok tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0,05). Pada contoh siswa mulok terdapat 77,93 g/hari
dan tidak mulok 76,43 g/hari. Tingkat kecukupan kedua kelompok contoh siswa
ini adalah diatas dari AKG yaitu 133,21±29,20% pada contoh siswa mulok dan
130,65±33,81% tidak mulok. Ini lebih tinggi dari hasil Riskesdas 2010 yang
menunjukkan rata-rata asupan protein anak usia 13-15 tahun Provinsi Gorontalo
adalah 67,56±41,94 g/hari atau 115,5±71,70% dari AKG, sementara secara
nasional adalah 102,8±52,5%. Hasil penelitian Budi (2012) di SMP Tegalrejo
Kabupaten Magelang bahwa asupan protein adalah hanya rata-rata 31,3 g/hari
atau 64% dari AKG dan temuan Dwiriani et al. (2011) adalah 38,5 g/hari protein
yang menunjukan hanya 67,8% dari AKG.
105
Rata-rata asupan lemak antara siswa mulok dan tidak mulok tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata
asupan lemak siswa mulok dan tidak mulok melebihi 20% dari energi. Adapun
rata-rata asupan lemak tersebut yaitu 91,45±25,35 g/hari pada siswa mulok dan
90,56±30,61 g/hari siswa tidak mulok. Sementara rata-rata hasil Riskesdas 2010
untuk golongan umur ini hanya 55,7±34,7 g/hari. Berarti terdapat selisih yang
sangat besar yaitu ±34,86 - 35,75 g/hari. Sementara hasil penelitian Oktaviani et
al. (2012) bahwa sebagian besar (65%) siswa SMA di Semarang menunjukkan
tingkat kecukupan lemak ≥120%.
Tabel 56 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat siswa
mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
Zat gizi
Siswa mulok Siswa tidak mulok
Sig (2-
tailed) Rata-rata
Tingkat
kecukupan
Gizi (%)
Rata-rata
Tingkat
kecukupan
Gizi (%)
Lemak (g) 91.45±25.35a 173.36±48.06 90.56±30.61a 171.68±58.03 0.784
Karbohidrat (g) 319.88±202.50a 76.80±48.62 303.96±131.46a 72.98±31.56 0.418
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Proses memasak MTG paling banyak menggunakan minyak goreng dan
santan kelapa. Ini sebagai penyebab terjadinya asupan lemak yang tinggi. Bahwa
memang sumber lemak makanan tradisional di Indonesia pada umumnya adalah
minyak kelapa dan santan yang meskipun mengandung lemak yang tinggi tetapi
penggunaannya selama berabad-abad tidak memberikan bahaya kesehatan yang
berarti (Soerjodibroto 1995).
Makanan tradisional Gorontalo yang menjadi pilihan utama setiap hari oleh
contoh siswa mulok dan tidak mulok adalah dimasak dengan cara digoreng,
ditumis, diliwet/kukus dengan santan. Ini terjadi baik pada: jenis makanan pokok
yaitu nasi kuning sebanyak 42,86%; bilenthango pada jenis lauk pauk sebanyak
85,71%, kando tilumiti jenis sayuran 70,97% dan sanggala jenis snack/kue
sebanyak 31,95% (Tabel 47).
Selanjutnya temuan rata-rata asupan karbohidrat adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2010 (umur 13-15 tahun) yang hanya
257±115 g, sementara pada kedua kelompok siswa tersebut rata-ratanya adalah
319,88±202,50 g/hari pada siswa mulok dan 303,96±131,46 g/hari siswa tidak
mulok. Lihat Tabel 56.
Tabel 57 menunjukkan kategori kecukupan energi terbanyak ada pada
kategori normal dan kelebihan yaitu pada contoh siswa mulok ada 49,67% normal
dan 36,60% kelebihan. Sementara untuk contoh siswa tidak mulok ada 44,08%
normal dan 31,58% kelebihan. Riskesdas (2010) menetapkan bahwa asupan
energi di bawah kebutuhan minimal adalah bila konsumsinya kurang dari 70%
AKG (2004). Penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi energi yang kurang
dari 70% adalah berada pada kategori defisit berat yaitu contoh siswa mulok ada
1,31% dan tidak mulok sebanyak 3,29% sehingga totalnya adalah 2,30%. Asupan
minimal energi hasil penelitian ini menunjukkan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan hasil Riskesdas (2010) yaitu kurang dari 70% AKG umur 13-15 tahun di
tingkat provinsi Gorontalo dan nasional masing-masing 53,9% dan 54,5%.
106
Tabel 57 Sebaran siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
berdasarkan kategori kecukupan energi dan protein
Kategori Energi Protein
Siswa mulok Siswa tdk mulok Total Siswa mulok Siswa tdk mulok Total
Defisit berat (≤ 70%)
n 2 5 7 1 1 2
% 1.31 3.29 2.30 0.65 0.66 0.66
Defisit ringan (70.0 - 79.9%)
n 3 12 15 0 1 1
% 1.96 7.89 4.92 0.00 0.66 0.33
Defisit sedang (80.0 - 89.9%)
n 16 20 36 0 3 3
% 10.46 13.16 11.80 0.00 1.97 0.98
Normal (90.0 - 109.9%)
n 76 67 143 17 21 38
% 49.67 44.08 46.89 11.11 13.82 12.46
Kelebihan (≥ 110%)
n 56 48 104 135 126 261
% 36.60 31.58 34.10 88.24 82.89 85.57
Terdapat 88,24% siswa mulok dengan kontribusi protein berkategori
kelebihan dan 82,89% pada siswa tidak mulok. Ini sehubungan dengan konsumsi
setiap hari lauk pauk MTG berbahan ikan diantaranya yaitu bilenthango pada
seluruh contoh siswa mulok dan tidak mulok sebanyak 85,71% (Tabel 47).
Kontribusi protein di bawah kebutuhan minimal adalah kurang dari 80% AKG
2004 yang dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit berat dan defisit
sedang. Konribusi protein yang kurang dari 80% ini terlihat pada Tabel 23 sebesar
0,65% siswa mulok dan 1,32% siswa tidak mulok. Kontribusi protein di bawah
kebutuhan minimal hasil penelitian ini adalah jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan hasil Riskesdas tahun 2010 (umur 13-15 tahun) baik di tingkat provinsi
Gorontalo maupun nasional yaitu masing-masing 22,4% dan 38,1% dari AKG.
Tingkat Kecukupan Vitamin A, C, dan Serat
Asupan vitamin A antara siswa mulok dan tidak mulok tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0,05). Asupan rata-rata dibandingkan dengan AKG
2004 adalah pada siswa mulok sebesar 127,06±106,88% dan 109,69±94,04%
siswa tidak mulok. Temuan ini berbeda jauh dengan hasil penelitian Tanziha
(2011) yaitu sebesar 609,9%. Tingkat kecukupan vitamin A terbanyak adalah
kategori cukup dengan total 78,03% yang masing-masingnya ada 83,66% pada
siswa mulok dan 72,37% siswa tidak mulok. Lihat Tabel 58, 59.
Asupan vitamin A ini sebagian besar diperoleh dari jagung kuning, minyak
goreng, kangkung, dan daun singkong, serta ditambah dari sumber lainnya seperti
dari ikan yang digoreng. Menurut Gibson (2005) bahwa sumber vitamin A yang
berasal dari tumbuhan yang disebut karoten diantaranya sayuran yang berwarna
hijau tua (seperti yang dikonsumsi oleh contoh siswa), minyak kelapa, jagung
kuning, juga dari ikan dan telur untuk sumber vitamin A. Menurut Tarwotjo
107
(1990) bahwa vitamin A ini selain berhubungan dengan kesehatan mata seseorang
juga yang terpenting dalam dimensi yang lebih luas adalah berhubungan dengan
pertumbuhan, morbiditas dan mortalitas.
Asupan vitamin C pada contoh siswa mulok dan tidak mulok tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0,05). Penelitian ini menunjukkan tingkat kecukupan
vitamin C berdasarkan AKG 2004 yaitu 79,13±52,67% pada siswa mulok dan
85,07±65,10% siswa tidak mulok. Hanya terdapat 50,49% contoh dengan tingkat
kecukupan vitamin C berada pada kategori cukup dengan masing- masing rata-
ratanya adalah 50,33% pada siswa mulok dan 50,66% siswa tidak mulok. Secara
keseluruhan terdapat 49,51% siswa dengan asupan vitamin C di bawah AKG.
Kemungkinan ini terjadi karena konsumsi buah-buahan yang rendah terjadi pada
contoh siswa tersebut. Lihat Tabel 58, 59.
Menurut Gibson (2005) bahwa sumber vitamin C adalah buah-buahan
(terutama jeruk) dan sayuran. Vitamin C berhubungan dengan peningkatan
kekebalan tubuh, termasuk dalam proses penyembuhan penyakit infeksi dan
pencegahannya. Hemila et al. (2011) menemukan manfaat vitamin C dalam
mengatasi penyakit asma pada anak-anak di Mesir.
Tabel 58 Rata-rata asupan dan persentase AKG vitamin A, vitamin C dan
serat siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
Vitamin/ serat Siswa mulok Siswa tidak mulok Sig (2-
tailed) Rata-rata %AKG Rata-rata %AKG
Vit. A (RE) 762.34±641.31a 127.06±106.88 658.14±564.23a 109.69±94.04 0.134
Vit. C (mg) 55.39±36.87a 79.13±52.67 59.55±45.57a 85.07±65.10 0.383
Serat (g) 12.37±4.9a 49.48±19.60 13.12±5.03a 52.48±20.12 0.192
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Tingkat kecukupan serat pada contoh siswa mulok dan tidak mulok tidak
terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05), tetapi masih jauh di bawah rekomendasi
WNPG (2004) yaitu antara 19-30 gr/orang/hari. Adapun rata-rata asupan serat
siswa mulok adalah 49,48±19,60% dan 52,48±20,12% tidak mulok.
Masih rendahnya asupan serat ini akan dapat menjadi masalah yang
berhubungan dengan saluran pencernaan dan juga penyakit degeneratif. Menurut
Kusharto (2006) bahwa hampir semua fungsi metabolisme serat berkaitan dengan
kolon, dan serat ini tidak dicerna di dalam usus, sehingga tidak berkepentingan
dengan pembentukan energi; Sihombing dan Riyadina (2009) bahwa asupan serat
berpeluang terhadap kejadian anemia sebesar 1,1 kali dibanding yang cukup serat
(tidak bermakna). Menurut Muchtadi et al. (2002) dalam penelitiannya bahwa
serat yang terdapat dalam sayuran adalah bersifat hipokolesterolemik seperti taoge
kacang hijau, bayam, daun singkong, wortel, terung. Selanjutnya bahwa terong
dan kangkung menurunkan kadungan trigliserida. Terong, bayam, dan taoge dapat
menurunkan kandungan kolesterol LDL juga dapat meningkatkan kandungan
kolesterl HDL.
Rata-rata ada 82,95% siswa dengan asupan serat dengan kategori cukup
yang masing-masingnya 79,08% pada siswa mulok dan 86,84% tidak mulok.
Lihat Tabel 58. Ini berkaitan dengan MTG jenis sayuran yang dikonsumsi setiap
hari (Tabel 47) yaitu kando tilumiti sebesar 70,97%, pilitode lo poki-poki 16,13%
dan ihu tilinanga 6,45%. Selain itu sumber serat lainnya yang banyak dikonsumsi
108
adalah MTG jenis snack/kue yaitu sanggala yang terbuat dari bahan pisang masak
sebanyak 31,95% (Tabel 47).
Tabel 59 Sebaran siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
berdasarkan kategori kecukupan vitamin A, vitamin C dan serat
Kategori Vitamin A Vitamin C Serat
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Kurang (<70%)
n 25 42 67 76 75 151 32 20 52
% 16.34 27.63 21.97 49.67 49.34 49.51 20.92 13.16 17.05
Cukup (≥70%)
n 128 110 238 77 77 154 121 132 253
% 83.66 72.37 78.03 50.33 50.66 50.49 79.08 86.84 82.95
Tingkat Kecukupan Mineral Ca, Fe dan Zn
Asupan mineral pada setiap individu sangat dipengaruhi oleh jenis makanan
yang dikonsumsinya setiap hari. Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan
yang nyata asupan mineral siswa mulok dan tidak mulok. Rata-rata asupan Ca, Fe
dan Zn masih dibawah dari AKG yaitu kurang dari 54%. Lihat Tabel 60.
Tingkat kecukupan kalsium pada contoh siswa mulok dengan kategori
kurang sebanyak 29,41% dan 22,37% pada tidak mulok. Di sini terlihat bahwa
kategori cukup melebihi 70% yaitu ada 70,59% pada contoh siswa mulok dan
77,63% tidak mulok. Menurut Park et al. (2013) bahwa konjugasi asam linoleik
dengan kalsium memiliki potensi besar digunakan untuk mencegah keropos
tulang dan penurunan berat badan.
Menurut Gibson (2005) bahwa sumber kalsium yang tinggi adalah ikan
terutama ikan kecil-kecil yang dapat dimakan dengan tulangnya juga susu dan
produk susu lainnya. Dalam penelitian ini sebagian besar contoh mengonsumsi
jenis ikan kecil-kecil namun konsumsi susu dan produk susu masih rendah karena
belum merupakan kebutuhan yang dimungkinkan berhubungan dengan faktor
ekonomi.
Tabel 60 Rata-rata asupan dan persentase AKG Ca, Fe, dan Zn siswa
mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
Mineral Siswa mulok %AKG Siswa tidak
mulok %AKG
Sig (2-
tailed)
Ca (mg) 502.63±402.96a 50.26±40.30 536.80±625.64
a 53.68±62.56 0.572
Fe (mg) 10.06±10.22a 44.71±45.42 11.09±15.00
a 49.29±66.67 0.485
Zn (mg) 7.17±2.30a 42.18±13.53 7.32±5.70
a 43.06±33.53 0.764
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Selanjutnya untuk kecukupan zat besi pada contoh siswa mulok diperoleh
bahwa yang berkategori cukup sebanyak 89,54% dan 86,84% pada tidak mulok.
Jadi ada 10,46% contoh siswa mulok kecukupan zat besinya berkategori kurang
dan ada 13,36% pada tidak mulok. Kwong et al. (2004) dalam hasil penelitiannya
tentang interaksi zat besi dengan keracunan timah pada manusia ditemukan bahwa
asupan zat besi yang tinggi dan zat besi yang cukup dapat mengurangi risiko
keracunan timah. Selain itu secara klinis bahwa Fe merupakan mineral terpenting
dalam tubuh dengan banyak fungsinya terutama diperlukan dalam pembentukan
109
hemoglobin, sehingga manifestasi dari kekurangan zat besi berkaitan dengan
konsekuensi fungsional yang merugikan (Jain dan Sharma 2012), sementara
kecukupan zat besi yang memadai dapat juga merupakan salah satu penentu
utama kebugaran pada siswa (Basan dan Tanziha 2012).
Tingkat kecukupan mineral seng pada penelitian ini berkategori cukup
adalah melebihi 95% baik pada contoh siswa mulok dan tidak mulok. Seng
merupakan mineral mikro (trace element) yang sangat penting setelah besi,
berperan dalam banyak enzim untuk metabolisme tubuh, produksi hormon
pertumbuhan, sebagai antioksidan dan diperlukan dalam fungsi imunitas yang
dapat mencegah infeksi seperti infeksi saluran nafas, malaria dan diare (Agustian
et al. 2009). Sebelumnya temuan Bhandari et al. (2007) bahwa suplementasi seng
menunjukan penurunan morbiditas diare dan pneumonia.
Menurut Kartono dan Soekatri (2004) bahwa ikan merupakan sumber zat
besi dan seng. Sumber ini sebagian besar selalu dikonsumsi oleh contoh siswa.
Sementara susu dan produk susu lainnya masih terbatas yang kemungkinan
disebabkan oleh faktor kebiasaan dan juga ekonomi seperti telah dijelaskan
sebelumnya. Lihat Tabel 61 dan 51.
Tabel 61 Sebaran siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
berdasarkan kategori kecukupan Ca, Fe, dan Zn
Kategori
Ca Fe Zn
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Siswa
mulok
Siswa tdk
mulok Total
Kurang (<70%)
n 45 34 79 16 20 36 5 5 10
% 29.41 22.37 25.90 10.46 13.16 11.80 3.27 3.29 3.28
Cukup (≥70%)
n 108 118 226 137 132 269 148 147 295
% 70.59 77.63 74.10 89.54 86.84 88.20 96.73 96.71 96.72
Kontribusi Zat Gizi dari MTG
Makanan tradisional Gorontalo memberikan kontribusi dalam asupan zat
gizi setiap hari. Kontribusi zat-zat gizi dari MTG terlihat lebih tinggi pada siswa
mulok dibandingkan dengan tidak mulok, tetapi kontribusi ini tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antara keduanya (p>0,05) kecuali asupan serat. Lihat Tabel
62.
Terlihat bahwa kontribusi rata-rata energi dari MTG pada siswa mulok
sebesar 757±279 kkal atau 32,84±55,45% dari total energi dan 679±185 kkal atau
29,45±32,31% pada tidak mulok. Kontribusi protein dari MTG ini adalah lebih
dari setengah kecukupan protein berdasarkan AKG yaitu 32,18±11,17 gram pada
siswa mulok dan 32,56±10,76 gram tidak mulok. Untuk kontribusi energi dari
lemak adalah tertinggi, yaitu pada mulok sebesar 45,61±59,53% dari total asupan
energi dan 41,07±37,18% tidak mulok. Kontribusi energi dari karbohidrat
merupakan yang terendah yaitu sebesar 19,58±20,21% pada mulok dan
18,40±20,25% tidak mulok.
110
Tabel 62 Rata-rata kontribusi dan persentase sumbangan zat gizi dari
MTG siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
Zat gizi Siswa mulok % dari total
asupan
Siswa tidak
mulok
% dari total
asupan
Sig. (2-
tailed)
Energi (kkal) 757±279 a 32.84±55.45 679±185 a 29.45±32.31 0.149
Protein (g) 32.18±11.17 a 41.29±65.40 32.56±10.76 a 41.78±54.40 0.876
Lemak (g) 41.71±15.09 a 45.61±59.53 37.56±11.38 a 41.07±37.18 0.174
Karbohidrat (g) 67.81±39.64 a 19.58±20.21 58.86±26.62 a 18.40±20.25 0.245
Vitamin A (RE) 345.17±175.76 a 51.52±23.56 339.08±132.95 a 45.28±27.41 0.864
Vitamin C (mg) 33.25±15.77 a 60.03±42.77 33.83±13.18 a 56.81±28.92 0.861
Serat (g) 7.34±3.50a 59.34±71.43 5.91±2.17b 45.12±43.14 0.033
Ca (mg) 228.72±231.05 a 45.50±57.34 165.90±156.20 a 30.91±24.97 0.164
Fe (mg) 3.52±1.30 a 34.99±12.72 3.17±0.90 a 28.58±6.00 0.163
Seng (mg) 2.44±0.98 a 34.03±42.61 2.37±0.88 a 32.38±15.44 0.757
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Kontribusi energi dari MTG banyak yang berasal dari jenis lauk pauk yaitu
ikan, dengan makanan pokoknya dari jagung, sehingga ini memberikan kontribusi
lebih dari setengah kecukupan vitamin A yaitu sebesar 51,52±23,56% pada siswa
mulok dan 45,28±27,41% tidak mulok. Sementara kontribusi vitamin C
mendekati separuh dari kecukupan gizi yang dianjurkan yaitu 60,03±42,77% pada
siswa mulok dan 56,81±28,92% tidak mulok yang tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (P>0,05).
Kontribusi serat dari MTG yang diasup oleh kedua kelompok siswa
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Hal ini dibuktikan oleh jenis MTG
sayuran yang dikonsumsi berbahan kangkung, terong, daun pepaya serta dari
snack/kue yang terbuat dari pisang (Lampiran 36, 37). Rata-rata asupan serat dari
MTG pada siswa mulok yakni 59,34±71,43% dan 45,05±43,14 tidak mulok.
Kontribusi zat gizi lainnya seperti Ca, Fe, dan Zn dibawah dari 50% dan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Lihat Tabel 63.
Status Gizi dan Kesehatan
Sebelum menentukan status gizi, maka dapat dilihat terlebih dahulu keadaan
berat badan (BB) dan tinggi badan contoh siswa mulok dan tidak mulok. Kedua
indikator antropometri ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
antara BB dan TB baik pada contoh siswa mulok dan tidak mulok. Adapun rata-
rata BB contoh siswa mulok yaitu 43,70±8,14 kg dan 44,62±9,32 kg tidak mulok.
Sementara rata-rata TB siswa mulok adalah 151,36±7,63 cm dan 152,90±6,60 cm
pada tidak mulok, lihat Tabel 63. Rata-rata berat badan dan tinggi badan yang
ditemukan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan review data berat badan dan
tinggi badan penduduk Indonesia yang dilakukan oleh Jahari dan Jus’at (2004)
yaitu rata-rata berat badan 44,7±6,73 kg dan tinggi badan 152,3±4,63 cm.
Dari berat badan dan tinggi badan ditentukan IMT berdasarkan umur kedua
kelompok contoh dengan hasil tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(p>0,05), lihat Tabel 63. Rata-rata IMT contoh siswa mulok 19,03±2,94 kg/m2
dan 19,02±3,26 kg/m2 pada contoh siswa tidak mulok. Rata-rata kedua kelompok
ini berdasarkan standar antropometri penilaian status gizi anak termasuk dalam
kategori normal. Kemungkinan keadaan status gizi ini berhubungan dengan
111
keseimbangan makanan yang dikonsumsi dengan aktivitas contoh siswa. Ini
berbeda dan lebih rendah dibandingkan temuan Sungkowo et al. (2008) bahwa
tidak berbeda nyata IMT antara kelompok yang diintervensi pendidikan gizi dan
yang tidak dengan masing-masingnya adalah 25,6 kg/m2 dan 24,8 kg/m
2 (status
gizi ini cenderung dalam kategori gemuk).
Tabel 63 Berat badan dan tinggi badan siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG
dan tidak mulok
Antropometri Siswa mulok Siswa tdk mulok Sig. (2-tailed)
Berat badan (kg) 43.70±8.14a 44.62±9.32
a 0.362
Tinggi badan (cm) 151.36±7.63a 152.90±6.60
a 0.061
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Terdapat 5 kategori status gizi yaitu sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan
obesitas. Pada Tabel 64 menunjukkan bahwa kategori status gizi normal adalah
terbanyak yaitu ada 90,85% pada contoh siswa mulok dan 81,58% tidak mulok.
Hasil penelitian Budi (2012) di SMP Tegalrejo Kabupaten Magelang ditemukan
bahwa status gizi siswa sebagian besar adalah normal yaitu 86,5%. Selanjutnya total status gizi kurus dan sangat kurus ada 5,91%. Total
keadaan gemuk dan obesitas berjumlah 24 siswa atau 7,87%. Ini juga dapat
dikatakan sebagai penggambaran beban ganda yang dialami daerah yaitu selain
terdapatnya status gizi kurus dan sangat kurus juga kecenderungan meningkatnya
status gizi gemuk dan obesitas yang dapat disebabkan oleh kelebihan asupan
lemak (ada 97,38 %). Dalam temuan ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dwiriani et al. (2012) pada siswa kelas 7 dan 8 di 3 SMP di Bogor status gizi
kurus dan sangat kurus adalah 3,6%, sementara status gizi gemuk dan obesitas
yakni 9,8%, sedangkan untuk status gizi normal tidak jauh berbeda yaitu 86,6%.
Tabel 64 Sebaran siswa mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
berdasarkan status gizi
Status Gizi Siswa mulok Siswa tdk mulok Total
Sig. (2-tailed) n % n % n %
Sangat kurus 0 0.00 2 1.32 2 0.66
0.980
Kurus 5 3.27 11 7.24 16 5.25
Normal 139 90.85 124 81.58 263 86.23
Gemuk 7 4.58 10 6.58 17 5.57
Obesitas 2 1.31 5 3.29 7 2.30
Dilakukan pula penentuan status kesehatan secara biokimia yang lebih
dikenal sebagai penentuan kadar hemoglobin (Hb) dengan menggunakan alat
HemoCue. Pengukuran ini dilakukan pada 184 siswa putri yang terdiri dari 97
contoh siswa putri mulok dan tidak mulok berjumlah 87. Sebelumnya diketahui
bahwa siswi mulok yang haid berjumlah 16,49% (16 siswi) dan tidak haid
85,51% (81 siswi), sementara pada siswi tidak mulok yang tidak haid ada 79,31%
(69 siswi) dan haid ada 20,69% (18 siswi). Total yang haid ada 18,48% (34 siswi)
dan tidak haid 81,52% (150 siswi) dengan umur haid pertama berkisar antara
umur 10-15 tahun. Hal ini berbeda dengan dengan hasil penelitian Indriani et al.
112
(2009) pada remaja putri di Kabupaten Bogor yaitu antara 9 - 15 tahun, Dwiriani
et al. (2011) antara 10 -14 tahun. Selanjutnya hasil uji beda terhadap Hb tersebut
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05).
Kadar hemoglobin darah contoh siswa berkisar antara 8,0 - 15,5 g/dl.
Temuan ini hampir sama dengan hasil penelitiannya Dwiriani (2011) yang
berkisar antara 9,2-15,2 g/dl. Rata-rata Hb contoh siswi berada dalam kategori
normal yaitu ≥12 g/dl dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,760).
Pada contoh siswi mulok rata-rata 12,45±1,34 g/dl dan 12,39±1,42 g/dl pada tidak
mulok. Temuan rata-rata Hb ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Briawan (2008) pada remaja putri sebelum diberikan intervensi gizi yaitu rata-rata
12,61±1,47 g/dl, selanjutnya temuan Marudut (2012) rata-rata Hb siswi pesantren
putri (kelas 9-12) adalah lebih rendah dari temuan yang telah disebutkan
sebelumnya yaitu 10,63±1,13 g/dl.
Tabel 65 menunjukkan bahwa terdapat 62,5% siswi dengan kadar Hb ≥12
g/dl, sementara yang lainnya adalah <12 g/dl ada 37,5%. Temuan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian Briawan (2008) yaitu sebesar 25,1% yang
Hbnya <12 g/dl. Jika ditinjau hasil recall dari Fe yang menunjukkan hampir 90%
berkategori cukup (89,54% siswi mulok dan 86,84% tidak mulok), sementara
tingkat kecukupan vitamin C dengan kategori kurang hampir 50% (49,67%
mulok dan 49,34% tidak mulok). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
kemungkinan faktor yang kurang mendukung ini yang menyebabkan penggunaan
(absorbsi) Fe di dalam tubuh menjadi tidak optimal. Selain itu rendahnya asupan
vitamin C juga yang menyebabkan Hb siswi dalam kategori rendah karena
diketahui bahwa vitamin tersebut sangat berperan dalam absorbsi dan
metabolisme Fe. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero di dalam usus
sehingga mudah dan meningkatkan absorbsi Fe (Johnston et al. 2001). Hasil
penelitian Zulaekah (2009) menunjukkan bahwa intervensi dengan zat besi,
vitamin C dan pendidikan gizi memberikan peningkatan kadar hemoglobin relatif
lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan pendidikan gizi.
Tabel 65 Sebaran contoh siswi mulok ilmu gizi berbasis MTG dan tidak mulok
berdasarkan status anemia
Status
anemia
Hb
(g/dl)
Mulok
Tidak mulok
Total
n % n % n %
Normal ≥ 12 61 62,9 54 62,1 115 62,5
Ringan 10.0 - 11.9 31 32,0 29 33,3 60 32,6
Sedang 7.0 - 9.9 5 5,2 4 4,6 9 4,9
Berat < 7.0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 97 100,0 87 100,0 184 100,0
Keadaan anemia memang menimbulkan resiko, seperti yang ditemukan oleh
Briawan et al. (2001) bahwa faktor resiko pada remaja putri diantaranya adalah
menstruasi dan status gizi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa remaja putri pada
kelompok usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan mengalami anemia 2,73 kali
lebih besar dibandingkan yang berusia 10-12 tahun karena berhubungan dengan
menstruasi (lebih 50% yang belum haid pertama). Selain itu, yang berstatus gizi
113
kurus cenderung mengalami anemia 8,32 kali lebih besar dibandingkan yang
berstatus gizi gemuk.
Status kesehatan berkaitan erat dengan status gizi begitu pula sebaliknya.
Menurut hasil pemeriksaaan dokter, bahwa pada contoh siswa mulok dan tidak
mulok tidak terdapat perbedaan status kesehatan. Ada 98,7% contoh yang sehat
dan tidak mempunyai riwayat penyakit yang kronis. Ada 3 contoh siswa mulok
yang mempunyai riwayat penyakit yaitu 2 siswa dengan riwayat penyakit asma
dan 1 siswa dengan riwayat penyakit kelainan jantung bawaan. Sementara contoh
siswa tidak mulok terdapat 1 contoh siswa yang mempunyai riwayat penyakit
asma.
Simpulan
Terdapat 6 klasifikan jenis makanan yang dikonsumsi. Contoh siswa mulok
paling banyak dengan jenis makanannya berupa makanan pokok, lauk pauk,
sayur, dan buah sebesar 20,33% dan 16,39% contoh siswa tidak mulok.
Selanjutnya untuk contoh siswa tidak mulok pola konsumsi terbanyak adalah
makanan pokok, lauk pauk, dan sayur sebesar 37,38% dan contoh siswa mulok
sebesar 18,03%.
Rata-rata asupan energi siswa mulok dan tidak mulok masing-masing adalah
2307 kkal dan 2277 kkal; kontribusi protein 13,51% pada mulok dan 13,42%
tidak mulok; lemak pada mulok 35,67% dan 35,78% pada tidak mulok; serta
karbohidrat 50,82% pada mulok dan 50,80% tidak mulok. Tingkat kecukupan
vitamin A sebagian besar dalam kategori cukup yaitu sebesar 83,66% pada siswa
mulok dan 72,37% tidak mulok; Vitamin C hanya terdapat 50,49% berada pada
kategori cukup; serat tingkat kecukupannya pada siswa mulok baru mencapai
49,48±19,60% dari rekomendasi WNPG (2004) dan 52,48±20,12% tidak mulok.
Demikian pula tidak terdapat perbedaan yang nyata asupan Ca, Fe dan Zn antara
siswa mulok dan tidak mulok masih di bawah AKG yaitu kurang dari 54%.
Kontribusi zat-zat gizi dari MTG terhadap energi terlihat lebih tinggi pada
siswa mulok dibandingkan dengan tidak mulok, tetapi tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (p>0,05) kecuali asupan serat. Kontribusi ini masih rendah
dengan rata-rata energi dari MTG pada siswa mulok sebesar 32,84±55,45% dari
asupan energi dan 29,45±32,31% tidak mulok; kontribusi protein sebesar
41,29±65,40 g/hari pada mulok dan 41,78±54,40 g/hari atau ini lebih dari
setengah kecukupan protein; lemak adalah tertinggi yaitu sebesar 41,71±15,09 %
pada mulok dan 41,07±37,18 tidak mulok; kontribusi energi dari karbohidrat
adalah terendah yaitu sebesar 19,58±20,21% pada mulok dan 18,40±20,25%
tidak mulok. Ini dapat mengandung pengertian bahwa kontribusi energi dari MTG
lebih banyak dari makanan bukan sumber karbohidrat.
Kontribusi energi dari MTG banyak yang berasal dari jenis lauk pauk yaitu
ikan, dengan makanan pokoknya dari jagung, ini memberikan kontribusi lebih
dari setengah kecukupan vitamin A yaitu sebesar 57,53±29,29% pada siswa
mulok dan 56,51±22,16% tidak mulok. Sementara kontribusi vitamin C
mendekati separuh dari kecukupan gizi yang dianjurkan yaitu 48,33±18,83% pada
siswa mulok dan 47,50±22,53% tidak mulok yang tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (P>0,05). Kontribusi zat gizi lainnya seperti Ca, Fe, dan Zn dibawah
114
50% dari total asupan mineral dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Kontribusi serat dari MTG yang dikonsumsi oleh kedua kelompok siswa adalah
terdapat perbedaan yang nyata.
Rata-rata IMT tergolong dalam kategori normal yaitu pada contoh siswa
mulok 19,03±2,94 kg/m2 dan 19,02±3,26 kg/m
2 pada tidak mulok. Hal ini
terimplikasi pada jumlah status gizi sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan
obesitas yang jumlahnya tidak jauh berbeda pada siswa mulok dan tidak mulok.
Hemoglobin antara contoh siswi mulok dan tidak mulok tidak ada perbedaan
(p>0,05) dengan rata-ratanya 12,45±1,34 g/dl dan 12,39±1,42 g/dl, namun yang
berstatus anemia sebanyak 37,5%.
Saran
Baik pada siswa mulok dan tidak mulok rata-rata kontribusi lemak adalah
lebih dari 35% dan sumber lemak tertinggi berasal dari makanan yang digoreng
dengan penggunaan minyak kelapa, santan dan kelapa. Hal ini perlu tetap
diseimbangkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh siswa karena dapat menjadi
pemicu terjadinya peningkatan status gizi gemuk dan obesitas.
Contoh siswa sebagian besar berstatus gizi normal, namun terdapat status
anemia yang tinggi. Oleh karena itu pentingnya meningkatkan konsumsi MTG
yang memberikan konstribusi zat-zat gizi terutama dari bahan pangan yang tinggi
kandungan zat besi seperti dari ikan, sayur dan buah. Juga penting ditingkatkan
upaya-upaya dalam menurunkan masalah anemia pada siswa yang diketahui dapat
menurunkan produktivitas mereka diantaranya dengan pemberian suplementasi
zat besi dan multivitamin lainnya.
Daftar Pustaka
Agustian L, Sembiring T, Ariani A. 2009. Peran Zinkum Terhadap Pertumbuhan
Anak. Sari Pediatri Vol.11 No.4:244-249.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Basan DT, Tanziha I. 2012. Determinan Tingkat Kebugaran Siswa Sekolah Dasar.
Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol. 5. No. 2: 705-716.
Bhandari N, Taneja S, Mazumder S, Bahl R, Fontaine O, Bhan MK, and Ohter
members of the Zinc Study Group. 2007. Adding Zinc to Supplemental Iron
and Folic Acid Does Not Affect Mortality and Severe Morbidity in Young
Children. Journal of Nutrition. Vol. 137 Num. 1: 112-117.
Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi-Multivitamin Terhadap Perbaikan
Status Gizi Remaja Wanita. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjan Institut
Pertanian Bogor.
Briawan D, Arumsari E, Pusporini. 2011. Faktor Risiko Anemia pada Siswi
Peserta Program Suplementasi. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol. 6 No. 1: 74-83.
Budi M. 2012. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi, Protein, dan Iodium dengan
Kejadian Menarche pada Remaja Putri di SMP Negeri 1 Tegalrejo
Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1. No. 2: 605-616.
115
Dwiriani CM, Rimbawan, Hardinsyah, Riyadi H, Martianto D. 2011. Pengaruh
Pemberian Zat Multi Gizi Mikro dan Pendidikan Gizi Terhadap
Pengetahuan Gizi, Pemenuhan Zat Gizi dan Status Besi Remaja Putri. Jurnal
Gizi dan Pangan. Vol. 6 Nomor 3: 171-177.
Gibson RS. 1990. Principles of Nutirional Assessment. New York: Oxford
University Press.
Hardinsyah, Tambunan V. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat
Makanan. Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 2004. Jakarta, 17-19
Mei 2004.
Hemila H, Al-Biltagi M, Bast AA. 2011. Vitamin C and asthma in children:
modification of the effect by age, exposure to dampness and the severity of
asthma. Journal of Imflammation. http://www.ctajournal. com/content/1/1/9.
Indriani Y, Amir M, Mirza I. 2009. Kebiasaan Makan yang Berhubungan dengan
Kesehatan Reproduksi Remaja Putri di Kabupaten Bogor. Jurnal Gizi dan
Pangan. Vol. 4 Nomor 3: 133-140.
Jahari AB, Jus’at I. 2004. Review Data Berat dan Tinggi Badan Penduduk
Indonesia. dalam prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi.
Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 2004.Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Jain M, Sharma S. 2012. Iron Deficiensy and Anaemia. Indian Journal of
Fundamental and Applied Life Sciences Vol. 2. No.2:101 -107.
Johnson CM, Sharkey JR, Dean WR, McIntosh WA, Kubena KS. 1997. It's who I
am and what we eat. Mothers’ Food-related identities in family food
choice Original Research Article Appetite, 57: 220-228.
Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng,
Mangan, Selenium. Di dalam: Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan
Label Gizi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)VIII, 2004.
Jakarta. Direktorat Standarisasi Produk Pangan. hlm: 127-140.
[KEMENKES] Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak.
[KEMENKES] Kementrian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta.
Kushato CM. 2006. Sera Makanan dan Perannya Bagi Kesehatan. Jurnal Gizi dan
Pangan. Vol. 1 No. 2: 45-54
Kwong WT, Friello P, Semba RD. 2004. Interactions between iron deficiency and
lead poisoning: epidemiology and pathogenesis Original Research Article
Science of The Total Environment, Vol. 330:21-37
Muchtadi D, Amira N, Astawan M, Wijaya H. 2002. Kajian Terhadap Serat
Makanan dan Antioksidan dalam Berbagai Jenis Sayuran untuk Pencegahan
Penyakit Degeneratif. Di dalam: Aunuddin, Gunawan AW, Achmadi SS,
Wigena AM, Hadiyanto, Rustiadi E. Menuju Kemandirian Pertanian
Unggul. Kumpulan Hasil Penelitian Pilihan 1997-2002. Bogor. Lembaga
Penelitian IPB. Edisi 2003: 67-68.
Muhilal. 1995. Makanan Tradisional Sebagai Sumber Zat Gizi dan Non Gizi
dalam Meningkatkan Kesehatan Individu dan Masyarakat. Di dalam:
Winarno FG. Puspitasari NL, Kusnandar Feri. Editor. Prosiding Widyakarya
Nasional Khasiat Makanan Tradicional. FKUI, 9-11 Juni 1995. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia. hlm: 217-222.
116
Nasir M. 2009. Metode Penelitian. Bogor. Ghalia Indonesia.
Nor NM, Sharif MM, Zahari MSM, Isha N, Muhammad R. 2012. The
Transmission Modes of MalayTraditional Food Knowledge within
Generations Original Research Article Procedia - Social and Behavioral
Sciences, Vol.50:79-88.
Oenzil F. 1993. Coronary Rrisk in West Sumatran Men. Asia Pacific J Clin Nutr
2, 97-100.
Oktaviani WD, Saraswati LD, Rahfiludin MZ. 2012. Hubungan Kebiasaan
Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi, Karakteristik Remaja
dan Orang Tua dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Studi Kasus pada Siswa
SMA Negeri 9 Semarang Tahun 2012). Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.
1. No. 2: 542-553.
Park Yooheon, Kim J, Scrimgeour AG, Condlin ML, Kim D, Park Yeonhwa.2013.
Conjugated linoleic acid and calcium co-supplementation improves bone
health in ovariectomised mice. Original Research Article Food
Chemistry, In Press, Accepted Manuscript, Available online.
Sandjaja, Budiman B, Herarti R, Afriansyah N, Soekatri M, Sofia G, Suharyati,
Sudikno, Permaesih D. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga.
Di dalam; Sandjaja, Atmarita, Editor. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara.
Sihombing M, Riyadina W. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Anemia pada Pekerja Di Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol. XIX No. 3: 116-124. Soerjodibroto W. 1995. Hubungan antara Makanan Tradisional dan Tingkat
Kebugaran Masyarakat Indonesia. Di dalam: Winarno FG. Puspitasari NL,
Kusnandar Feri. Editor. Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan
Tradisional. FKUI, 9-11 Juni 1995. Jakarta. Kantor Menteri Negara Urusan
Pangan Republik Indonesia. hlm: 223-233.
Sudiarti T. 1997. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Rumah Tangga Pedesaan
dan Perkotaan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjan Institut Pertanian
Bogor.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo, Hardinsyah, Riyadi H. 1988. Survei Konsumsi Pangan. Pusat Antar
Universitas IPB Bekerja Sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-
IPB.
Sungkowo, Setiawan B, dan Madanijah S. 2008. Intervensi Pengayaan
Pengetahuan Pangan dan Gizi pada Muatan Lokal Untuk Sekolah Menengah
Pertama di Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan, Vol. 3. No.
3: 156 – 166.
Tanziha I. 2011. Model Pemberdayaan Petani Menuju Ketahanan Pangan
Keluarga. Jurnal Gizi dan Pangan. Vo. 6 No.1: 90-99.
Tarwotjo I. 1990. Hubungan Kurang Vitamin A dengan Status Gizi Khususnya
Pertumbuhan Sebagai Suatu Dasar Upaya Peningkatan Kesehatan Anak di
Purwakarta Jawa Barat. [disertasi]. Universitas Diponegoro Semarang.
117
UNICEF/UNU/WHO [United Nations Children’s Fund/United Nations
University/World Health Organization]. 2001. New York. Iron Deficiency
Anaemia Assessment, Prevention, and Control A guide for programme
managers.
Zakaria FR, Andarwulan N. 2001. Khasiat Berbagai Pangan Tradisional untuk
Pangan Fungsional dan Suplemen. Di dalam Nuraida I, Dewanti R. Riyadi.
Editor. Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan fungsional dan
Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB. hlm: 41-53.
Zulaekah S. 2009. Peran Pendidikan Gizi Komprehensif untuk Mengatasi
Masalah Anemia di Indonesia. Jurnal Kesehatan. Vol. 2 No. 2: 169-178.