KONSUMERISME SEBAGAI GAY A sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan...
Transcript of KONSUMERISME SEBAGAI GAY A sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan...
KONSUMERISME SEBAGAI GAY A HIDUP
Ariel Heryanto --- ~---~-~--~-----------~-.--.. ~-~-.--.----
Ariel Heryanto
The contradictions within the capitalist societies and the waves of consumerism are more than mere conflicts ofinterests on the bases of political and economic reasons. It is necessary to view the complexity of the contradictions from the psychological and cultural perspectives. It is pitiful to promote the idea of simple life for the rich since they are not going to take it. Even the poor will not accept it if they have choices to make.
Pengantar ----.--~--------~--~------- --~----~
Limabelas atau duapuluh tahun yang lalu di Indonesia konsumerisme dianggap sebagai musuh masyarakat yang sulit untuk luput dari kecaman. Para cendekiawan dan ilmuwan sosial sendiri bolehlah dimaafkan, bila ikut-ikutan atau malahan merintis· kecaman demikian. Apalagi bila kecaman itu disertai dengan bumbu-bumbu moralitas atau religius, maka dapat dipahami posisi kehormatan kec.'lm-mengecam itu juga dimanfaatkan oleh pemerintah dengan seruan Pol a Hidup Sederhana serta larangan bagi iklan di dalam siaran TVRI.
Kini persoalannya menjadi sangat lain. Semakin lama semakin sulit untuk memaafkan ilmuwan sosial yang mengecam konsumerisme. Kini orang belajar menyadari bahwa konsumerisme tidak lagi atau tidak hanya sekedar persoalan kebodohan atau nafsu yang tercela. Gaya hidup bukan lagi dipuja kalangan tertentu yang kaya atau yang berpikir dangkal. Sebagian dari kita perubahan gaya hidup itu masih bergerak perlahan dan sedikit, bagi yang lain perubahan itu sudah sangat besar. Tampaknya sejarah akan berpihak kepada perubahan demikian, dengan akibat akan semakin banyak orang yang ikut arus sejarah ini.
Apa yang sebenamya telah terjadi? Paling sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan penting dalam masyarakat mutakhir ini. Keduanya akan dicoba diuraikan dalam tulisan sederhana ini. Tapi sebelum itu, keduanya dapat diperkenalkan secara ringkas.
Perubahan pertama berupa terjadinya letupan Gika istilah 'Iedakan' dianggap berlebihan) industri kapitalisme di Indonesia. Yang kedua, terjadinya pergolakan radikal dalam ilmu-ilmu sosial yang disulut oleh wawasan post-modernisme. Perubahan kedua ini pada mulanya berkecamuk di lingkungan intelektual di luar Indonesia. Tetapi segera menjadi jelas bahwa pengaruhnya tidak terbendung masuk ke wacana para sarjana Indonesia Dalam kiasan yang sudah agak kuno, kedua perubahan itu dapat dijelaskan sebagai perubahan dalam realitas obyektif di dunia empirik dan perubahan kesadaran subyektif di kalangan ilmuwan dan khalayak umum yang mengamati realitas empirik itu.
Dua catatan kecil perlu ditambahkan. Pertama, hingga kini belum ada kesepakatan apakah kiasan tentang dua bentuk 'realitas' itu (empirik versus persepsi) masih pantas dipertahankan. Kalau pun kiasan itu masih dianggap bermanfaat,
14 Akademika, NomorOl Tahun XIII/1995
orang masih mer mana persisnya hI duanya? Polaris? . sing-masing relatif tu pada dasarnya I
Kedua, catatan tarr tas diingat, perul Indonesia masa ini atau khas. Seba; sendiri bukan sua! dasarnya unik atal perti yang selama nyak.
~asyarakatlndon
Dasawarsa 1981 yang sangat pentil syarakat Indonesia ditandai oleh mere hasilan utama neg pasaran dunia. Di s ligus merupakan I
para pengusaha yang semula dilah negara. Seorang sa ma Richard Robins neliti gejala ini seb modalan' dalam bu jadi bacaan klasik ( imbangan kekuata merintah dan sw yang lalu itu terus tengahan dasawan
Sejak itu Indofii dan lebih khusus I. Jawa merupakan i
yang berbeda. Bul tahun-tahun 1980l tahun 1960an yan~ rintahan Orde Bar tahun 1980an, dan' pada pertengahan menjadi sangat bel na pun dari seluru~ pau.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
IDUP
~ and the wa ves of erests on the bases of l'iew the complexity nd cultural perspec'ife for the rich, since 1 not accept it if they
amya teJah terjadi? jua hal yang dapat emahami perubahan 'arakat mutakhir ini. ,ba diuraikan dalam U. Tapi sebelum itu, perkenalkan secara
Ima berupa terjadilah 'ledakan' diangustri kapitalisme di ua, terjadinya pergom ilmu-ilmu sosial wawasan post-mo-
1. kedua ini pada muI lingkungan intelekI. T etapi segera menIgaruhnya tidak terwacana para sarjana kiasan yang sudah ,erubahan itu dapat erubahan dalam renia empirik dan peubyektif di kalangan 'ak umum yang me)irik itu. perlu ditambahkan, i belum ada kesepatentang dua bentuk
ik versus persepsi) rnankan. Kalau pun anggap bermanfaat,
orang masih memperdebatkan bagaimana persisnya hubungan diantara keduanya? Polaris? Atau dikotomis? Masing-masing relatif otonom, atau yang satu pada dasarnya ditentukan yang lain? Kedua, catatan tambahan lain yang pantas diingat, perubahan yang terjadi di Indonesia masa ini sama sekali tidak unik atau khas. Sebagaimana Indonesia sendin bukan suatu realitas yang pada dasamya unik ataU pun khas. Tidak seperti yang selama ini diduga orang banyak.
Masyarakat Indonesia Mutakhir
Dasawarsa 1980an merupakan masa yang sangat penting dalam sejarah masyarakat Indonesia. Di satu sisi masa itu ditandai oleh merosotnya sumber penghasilan utama negara, yakni minyak di pasaran dunia. Di sisi lain, masa itu sekaligus merupakan masa lepas-Iandasnya para pengusaha swasta di Indonesia yang semula dilahirkan dan diasuh oleh negara. Seorang sarjana Australia bernama Richard Robinson dengan cermat meneliti gejala ini sebagai bangkitnya permodalan' dalam bukunya yang kini menjadi bacaan klasik (1986). Perubahan perimbangan kekuatan ekonomi antara pemerintah dan swasta dari dasawarsa yang lalu itu terus berlanjut hingga pertengahan dasawarsa 1990an ini.
Sejak itu Indonesia, khususnya Jawa, dan lebih khusus lagi kota- kota besar di Jawa merupakan sebuah realitas dunia yang berbeda. Bukan saja berbeda dan tahun-tahun 198Oan, atau pertengahan tahun 1960an yang menjadi awal pemerintahan Orde Baru. Sejak pertengahan tahun 198Oan, dan terlebih mencolok lagi pada pertengahan 1990an ini, Indonesia menjadi sangat berbeda dari bagian mana pun dan seluruh sejarahnya yang lampau.
Bukan saja jumlah sekolah, jalan aspal, klinik, rumah sakit, pabrik, dan toko telah berkembang-biak secara berlipat-lipat. Pertambahan semacam itu boleh dibilang biasa dan sudah berlangsung lama sejak pemerintah Hindia Belanda melancarkan program 'Pem- bangunan' kolonia!. Perubahan yang kini terjadi tidak lagi bersifat kuantitatif, tetapi kualitatif. Tidak sekedar evolutif tetapi mungkin transformatif.
Bukan saja lebih banyak orang Indonesia menjadi lebih kaya dan bukan saja 'Iebih kaya' dalam ukuran dalam negeri, tetapi kawasan Asia. Yang lebih penting dan semua itu, telah terjadi perubahan penting dalam pengertian 'menjadi kaya' itu sendin dalam masyarakat kita. Perubahan makna itu bukan saja telah terjadi, namun masih belum selesai. Ia sedang berlanjut terus yang belum jelas apa sosok selanjutnya.
Howard Dick pernah menyajikan laporan penelitian empirik tentang gejala maraknya kebangkitan kelas menengah kota di Indonesia di awal dasawarsa 1980an (1985). Selain kaya dengan penggambaran etnografis, tulisan Dick menampilkan sebuah pendapat teoretis yang layak dikaji sen us. Katanya, yang terjadi di Indonesia bukan sekedar lebih banyak orang yang kaya, tetapi pemahaman orang tentang 'kesederajatan' dan 'kecukupan' telah bergeser. Yakni dan pengertian yang absolut (orang miskin mutlak) menjadi pengertian relatif (orang tidak mau kalah kaya dengan sekelilingnya).
Apa yang diamati Dick sudah lewat sepuluh tahun lalu bagi banyak orang Indonesia mungkin berlangsung secara wajar, walau sangat pesat. Antara lain disebutkan meningkatnya penggunaan sepeda-motor (menggantikan sepeda), perluasan dan perbaikan perumahan dengan perabot yang semakin mewah. Termasuk televisi, alat musik dan video,
Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 15
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
pendingin udara, kulkas, dan penanaknasi listrik. Di kota-kota semakin marak salon tata-rambut, pemakaian barang impor, dan lalu-lintas orang Indonesia yang berwisata ke luar negeri. Singkatnya, kata Dick, tingkat dan jenis konsumsi kelas menengah kota Indonesia sudah semakin suli t dibedakan dengan yang terjadi pada rekannya di Barat. Bahkan gaya hidup kelas menengah kota Indonesia ini terbilang sangat mewah untuk ukuran rekanrekannya di Barat sendiri (Dick, 1985: 89)!
Pengamatan Dick tidak keliru, tetapi mengandung beberapa masalah yang perlu dicermati lebih jauh agar tidak menyesatkan. Ia tepat dalam menunjuk terjadinya peningkatan baik jumlah orang Indonesia di kota yang menjadi kaya maupun tingkat kekayaannya. Pengamatan Dick atas konsumensme di kotakota Indonesia sepuluh tahun lalu kelihatannya agak sepele bila ditengok pada pertengahan dasawarsa 1990an ini. Terutama jika kita menyaksikan gencarnya pembangunan kawasan hum elit di sekitar Jakarta. Juga iklan-iklan pembangunan kawasan itu, apartemen, real estate, acara konser musik mega bintang duma, atau liburan wisata ke luar negeri.
Yang kurang tampil dalam gambaran yang dibuat Dick dan mungkin terjadi pada saat yang bersamaan adalah peningkatan jumlah dan kadar kemiskinan pada bagian lain yang tidak kecil pada masyarakat yang sama. Masalah lain yang juga sudah mulai digulati Dick, tetapi masih membutuhkan kajian lebih lanjut adalah apakah persoalan ini hanya atau terutama pada perubahan kuantita konsumen dan konsumsi? Ataukah telah terjadi perubahan kualita atau kategori, baik pada identitas konsumen maupun konsumsi mereka?
Jika diringkas dan disederhanakan, jawaban Dick terhadap pertanyaan itu adalah sebagai berikut. Memang terjadi perubahan sosial yang bersifat kualitatif,
baik pada identitas konsumen kota itu maupun pola konsumsinya. Identitas konsumen itu bukan lagi sekedar 'orang kaya', tetapi 'kelas menengah kota' (Dick, 1985: 74). Kebangkitan masyarakat Indonesia Orde Baru dipandangnya sebagai hasH kontra-revolusi kelas menengah (1985: 87). Sedang pola konsumsi mereka semakin menekankan watak privatization, sebuah istilah/konsep yang sampai sekarang tak punya padanan memuaskan dalam Bahasa lndonesia mutakhir. Artinya, orang kota Indonesia tidak lagi terlalu berselera saling-pinjam atau memiliki-bersama barang konsumsi, tetapi secara mutlak memiliki harta-benda sendiri-sendiri (1985:75). Hal ini diuraikan lebih jauh dalam tulisan Dick yang kemudian (1989/1993).
Tentu saja persoalannya tidak selesai di situ. Seperti telah kita saksikan bersama di Indonesia ini pengertian 'kelas menengah' masih terus menjadi pokok perdebatan yang seru (lihat Heryanto, 1990). Dick memberikan identitas kelas menengah kepada kaum kaya baru Indonesia berdasarkan pengamatannya atas "sikap dan gaya hidup" mereka (1985:74). Pada saat yang sama identitas "kelas menengah" itu disamakan dengan 'burjuis" (1985:74).
Kelas Menengah: Masalah Konseptual
Bukan di sini tempatnya untuk membahas panjang-Iebar perdebatan konseptual dan teoritik tentang 'kelas', dan lebih khusus lagi 'kelas menengah'. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa pada uraian semacam yang disajikan Dick terkandung sejumlah kerancuan. Konsep 'kelas' bukan tak bisa, tetapi sulit sekali disamakan dengan persoalan gaya hidup. Kelas lebih mudah dikaitkan dengan konsep burjuasi. Namun dalam analisa kelas yang memberi tempat bagi burjuasi, hanya dikenal dua jenis kelas,
16 Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995
yakni burjuasi da yang dinamakan k
Kesulitan kons< pahami secara se orang-orang yang pada tingkat yan~ dari orang-orang lera dan gaya hidu yak di antara mer gaya hidup yang 50
lain pada tingkat E
secara sangat mer reka yang punya sama seringkali tei pok dari tingkat pE berbeda-beda.
Secara singkat, sederhanakan seb kai tan antara suatl kehidupan materi sial, dengan tingk. hidupnya, atau k reka pada umumf1 persisnya kaitan d kehidupan yang c menjadi ajang pE dengan kemungk la dalam dunia s tidak ada batas-b atasl menengah/l perbedaan yang !
an itu akan muda tempat secara cep
Riwayat celal contoh yang gam!: nya sebagai celal menjadi lambang nerasi pemberol Amen ka di zama Masuk ke Indone dipakai oleh anak 'stabilitas & keam celana yang semu keperluan-keperl rah keras dan kc dan tak perlu d berubah menjadi
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
onsumen kota itu msinya. Identitas agi sekedar 'orang lengah kota' (Dick, I masyarakat Indondangnya sebagai
kelas menengah l konsumsi mereka watak privatizati
nsep yang sampai padanan memuasIdonesia mutakhir. ~donesia ti dak lagi .g-pinjam atau meg konsumsi, tetapi ki harta-benda sen-
Hal ini diuraikan san Dick yang ke-
annya tidak seJesai kita saksikan ber
Ii pengertian 'keJas rus menjadi pokok -u (Ii hat Heryanto, kan identitas kelas um kaya baru Indoengamatannya atas p" mereka (1985:74). identitas "kelas mean dengan "burjuis"
asalah Konseptual
patnya untuk memperdebatan konsepIllg 'kelas', dan lebi h nengah'. Hanya saja ii sini bahwa pada g disajikan Dick terkerancuan. Konsep ;a, tetapi sulit sekali persoalan gaya hiudah dikaitkan deasi. Namun dalam lemberi tempat bagi mal dua jenis kelas,
yakni burjuasi dan pekerja. Tidak ada yang dinamakan kelas menengah.
Kesulitan konseptual di atas dapat dipahami secara sederhana. Sehari-hari, orang-orang yang menerima pendapatan pada tingkat yang hampir sama terdiri dari orang-orang yang mempunyai selera dan gaya hidup sangat berbeda. Banyak di antara mereka punya selera dan gaya hidup yang sama dengan kelompok lain pada tingkat ekonomi yang berbeda secara sangat mencolok. Sebaliknya mereka yang punya selera dan gaya hidup sama seringkali terdiri dari aneka kelompok dari tingkat pendapatan yang sangat berbeda-beda.
Secara singkat, persoalan itu dapat disederhanakan sebagai berikut. Jelas ada kaitan antara suatu kondisi ekonomi atau kehidupan material suatu kelompok sosial, dengan tingkat mau pun corak gaya hidupnya, atau kehidupan mental mereka pada umumnya. Namun bagaimana persisnya kaitan di antara bidang-bidang kehidupan yang dibeda-bedakan itu? Ini menjadi ajang perdebatan yang penuh dengan kemungkinan jawaban. Lagi pula dalam dunia selera dan gaya hidup, tidak ada batas-batas yang jelas antara atas/menengah/bawah. Kalau pun ada perbedaan yang samar-samar, perbedaan itu akan mudah beralih dan bertukar tempat secara cepat dan drastis.
Riwayat celana jeans memberikan contoh yang gamblang. Dari kedudukannya sebagai celana pekerja atau pel aut menjadi lambang avant-gard dalam generasi pemberontak kelas menengah Amerika di zaman anti perang Vietnam. Masuk ke Indonesia celana jeans banyak dipakai oJeh anak-anak Mami dari zaman 'stabilitas & keamanan' Orde Baru. Bahan celana yang semula sengaja dipilih untuk keperluan-keperluan masuk-keluar daerah keras dan kotor (tak mudah sobek, dan tak perlu dicuci-diseterika), telah berubah menjadi 'busana' yang disete-
rika mulus, dan dipakai anak-anak priyayi yang lebih banyak duduk di bangku kuliah, atau mobil mewah. Tak pernah loncat-Ioncat atau berguling-guling di tanah. Bahkan kini di sejumlah pertokoan mewah di Amerika dan di Indonesia, celana jeans dipajang dalam design yang nostalgik: warna yang sudah memudar dan robek-robek di bagian lututnya. Kisah yang mirip dapat dilacak pada sejarah status sosial makan fast-food dengan merek kodian dari Amerika Serikat. Juga sayur lodeh, musik dangdut, blues dan jazz, pengobatan dan senam tradisional, atau membangun rumah atau memiliki perabot rumah dari bambu.
Jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia belakangan ini hendak dipilih sebagai titik-tolak dan pertimbangan utama dalam memahami gejala konsumersime, maka penemuan Yoon Hwan Shin (1991) jauh lebih penting untuk diperhitungkan. Yoon menilai apa yang sedang terjadi di Indonesia saat ini lebih daripada sekedar 'bangkitnya permodalan', yakni usaha kerja-keras untuk membangkitkan hegemoni kelas burjuasi.
Hegemoni Burjuasi
Secara lebih sederhana, hal di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembentukan kelas burjuasi yang berjaya mungkin sedang terjadi di Indonesia. Kekuasaan ekonomi itu tidak cukup menjamin stabilitas dan keamanan bagi kedudukan dominan mereka. Yang perlu dan sedang mereka kerjakan saat ini adalah mengkampanyekan sebuah pandangan-hidup, ideologi, atau nilai budaya yang bersemboyan 'menjadi kaya itu enak dan perlu'. Atau lebih ekstrem lagi: menjadi kaya itu mulia dan terhormat.
Propaganda ideologi seperti ini diperlukan bagi kelas burjuasi yang sedang sibuk dan sukses menimbun kekayaan di
Akadernika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 17
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
tengah masyarakat yang terbiasa bercuriga pada orang-orang yang kaya, khususnya para pengusaha. Apalagi bila dalam masyarakat itu masih terdapat banyak orang miskin. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di semua masyarakat lain. Di Indonesia selama berpuluhpuluh tahun kita diajar untuk menghargai hal-hal mental dan spiritual daripada materi. Orang malu atau takut mengaku untuk bercita-cita menjadi kaya sebagai tujuan hidupnya. Padahal dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagian besar dari warga masyarakat bernafsu besar atau berlomba habis-habisan untuk menjadi (lebih) kaya.
T ugas propaganda ideologi burjuis ialah mengangkat ke permukaan apa yang sudah ada secara remang-remang di bawah sadar masyarakat. Mereka sudah terserang pola hubungan sosial kapitalistik. Nafsu terpendam itu bukan sekedar dibongkar dan diangkat ke permukaan, tetapi bahkan diarak dan disoraki sebagai sesuatu yang hebat dan mulia. Disengajaatau tidak, film-film HoIywood, film nasional Indonesia, dan telenovela asing, musik pop, iklan berbagai benda konsumsi, dan sejumlah acara hiburan memompakan propaganda demikian.
WaJau pada awalnya agak kikuk atau malu, masyarakat kota di Indonesia mutakhir muJai belajar menikmati propaganda ini. Tidak kebetulan jika mereka menggemari film semacam Pretty Woman atau Indecent Proposal. Walau film-film ini seakan-akan bicara tertang seks, ada pesan lain yang lebih penting dari film-film itu dan menyelundup ke batin ~nonton dengan cara lebih canggih ketlmbang P4. Semua pahlawan dalam film itu adalah milyader. Maka amanat yang dipompakan film-film 'hiburan' dan bukan 'penataran' semacam itu: tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada menjadi kaya. Model
baku untuk menjadi kaya yang bahagia itu adalah seperti yang ditampilkan dalam film-film itu, yakni mereka yang berjenis kelamin pria, dan berkulit putih.
Dalam konteks seperti itulah, kini dapat disaksikan bagaimana orang Indonesia yang kaya belajar untuk semakin berani tampil dan memamerkan kekayaannya di depan umum. Bukannya malu. Malahan semakin lama orang dilatih merasa malu bila tidak mempunyai rumah atau mobillebih dari satu. Dalam konteks inilah kampanye resmi 'pola hidup sederhana' kelihatan menemui kesulitan. Kesulitan ini sendi ri menandakan perubahan keseimbangan kekuatan sosial di antara pemerintah dan pengusaha swastao
Posisi pemerintah semakin merosot. Sebaliknya terjadi pada posisi kaum pengusaha swasta sebagai kekuatan sosial baru yang hidupnya justru bergantung pad a kemampuan menggenjot nafsu konsumtif masyarakat. Di satu pihak, himbauan moral dari pemerintah itu mungkin bisa menyejukkan batin mereka yang terpentaJ dari persaingan pasar dan kasar dalam kapitalisme. Dengan demikian kemarahan sosial diharapkan dapat diredakan atau dipendam. Maklum, jumlah kaum tersisih ini tidaklah kecil. Hi mbauan yang sama juga sedikit menggelitik sisa-sisa (kalau masih ada) rasabersalah dan solidaritas sosial kaum kay a baru. Di pihak Jain, himbauan itu kelihatan semakin mubazir, jika bukan konyol, ditelan gelombang konsumerisme yang menderu.
Dalam gambaran sederhana begitu, kelihatan bagaimana kapitalisme dan konsumerisme yang menggila adalah faktor destabilisasi. Keduanya mengandung tenaga subversif bagi masyarakat kapitalistik itu sendiri, bukan saja gerakan 'ekstrem kiri' mau pun 'ekstrem kanan'. Padahal masyarakat kapitalis ini menuntut stabilitas dan keamanan. Jadi
18 Akademika, Nomor 01 Tahun XIIJ/1995
yang terjadi adalah : internal, sebuah prl an perlahan-Iahan.
Konsumerisme Sel:
Kontradiksi dal~ talis dangelomban8 hanya bentrok ant. bilitas (politik) dan I bihan (ekonomi). ~
kompleksitas dan kl psikologis dan bud~ masyarakat umum
Di sisi psikologi dup Sederhana dap pukulan besar yanl song. Immanuel memberikan penjE Menurutnya, musl kaya mengikuti pc Buat apa jadi kaya, I nikmati enaknya I
Orang yang paling gika ini. Mereka til dan mengikuti pola lau saja ada pilihan
Wallerstein ml menyatakan bahw2 ya tidaklah berarti dipropaganda pare rat pemerintah di I: mat, bekerja keras, pikir rasional ke m kesalahan para ilm dikecoh peneliti il
kapitalis Indonesia dungan atau ersat:.i pitalis Indonesia ti yang ditulis di bIJ mik.
Menjadi burjw Wallerstein, artiny bangsawan kerato usah kerja. Makan pesta berfoya-foya bih-Iebihan, seper!
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
:aya yang bahagia ang ditampilkan akni mereka yang dan berkulit putih. oerti itulah, kini dalana orang Indoneuntuk semakin bemerkan kekayaan.. Bukannya malu. a orang dilatih menempunyai rumah atu. Oalam konteks ni 'pola hidup selenemui kesulitan. menandakan per
l kekuatan sosial di n pengusaha swas-
I semakin merosot. 1a posisi kaum pen;ai kekuatan sosial justru bergantung
menggenjot nafsu :at. Oi satu pihak, Iri pemerintah itu jukkan batin mereri persaingan pasar talisme. Dengan de)Sial diharapkan dalipendam. Maklum, 1 ini tidaklah kecil. a juga sedikit mengu masih ada) rasa:as sosial kaum kayo. himbauan itu keIi
lzir, jika bukan ko.ang konsumerisme
I sederhana begitu, ta kapitalisme dan g menggila adalah Keduanya mengansif bagi masyarakat ri, bukan saja gerakIU pun 'ekstrem ka·arakat kapitalis ini dan keamanan. Jadi
yang terjadi adalah semacam kontradiksi internal, sebuah proses pembunuh-dirian perlahan-Iahan.
Konsumerisme Sebagai Gaya -~--.----.---.-.-------------- - -----
Kontradiksi dalam masyarakat kapitalis dan gel om bang konsumerisme tidak hanya bentrok antara kepentingan stabilitas (politik) dan konsumsi berlebih-Iebihan (ekonomi). Kita perlu menengok kompleksitas dan kontradiksi itu dari sisi psikologis dan budaya. Juga perlawanan masyarakat umum terhadapnya.
Di sisi psikologis, kampanye Pola Hidup Sederhana dapat dikasihani sebagai pukulan besar yang menerpa angin kosong. Immanuel Wallerstein pernah memberikan penjelasan bagus (1991). Menurutnya, mustahil meminta orang kaya mengikuti polo. hidup sederhana. Buat apa jadi kaya, kalau tidak dapat menikmati enaknya menjadi orang kaya. Orang yang paling miskin pun tahu 10-gika ini. Mereka tidak ingin jadi miskin dan mengikuti pola hldup sederhana, kalau saja ada pilihan yang lain.
Wallerstein mungkin benar ketika menyatakan bahwa menjadi burjuasi kaya tidaklah berarti menjadi sosok yang dipropaganda para ilmuwan dan birokrat pemerintah di banyak negara: berhemat, bekerja keras, menabung, dan berpikir rasional ke masa depan. Oi sinilah kesalahan para ilmuwan Indonesia yang dikecoh peneliti asing yang mengejek kapitalis Indonesia sebagai kapitalis gadungan atau ersatz, hanya gara-gara kapi talis Indonesia tidak bertindak seperti yang ditulis di buku-buku teks aka demik.
Menjadi burjuasi, seperti dikatakan Wallerstein, artinya ingin hidup sebagai bangsawan keraton. Hidup enak tanpa usah kerja. Makan enak, tidur enak, dan pesta berfoya-foya secara ekstrem berlebih-lebihan, seperti layaknya para raja-
raja dalam dongeng. Seperti menjadi lakilaki berkuIit putih dan kaya dalam filmfilm Holywood. Iming-iming pola hidup berfoya gila-gilaan itulah yang diumbar oleh berbagai iklan, film, musik pop, dan berbagai acara hiburan lain dalam masyarakat kapitalis. Bukan sesuatu yang khas Indonesia. lni dapat ditemui pada keluarga birokrat negara yang sangat konservatif di dunia Ketiga (misalnya ketika mereka mengadakan resepsi pemikahan anak mereka) hingga keluarga pengusaha kaya-raya di masyarakat post-moderen atau post-industrial di Eropa atau Amerika Serikat!
Persoalannya tidak terhenti disitu. Para pengamat post-modernis menyaksikan sesuatu yang lain dan tidak kalah penting dalam kebudayaan masyarakat mutakhir yang sudah mabuk-berat dalam hal bergaya-hidup konsumtif. Imitasi, tiruan, pemalsuan, atau citra semakin lama semakin menjadi lebih penting ketimbang hal-hal yang asli, nyata, otentik, atau substansial. Kalau menjadi kaya dirasa terlalu sulit, maka cukup tam pi! seakan-akan kaya. Ini dimungkinkan oleh hukum penawaran/permintaan dalam pasar, dan teknologi informasi. Akibatnya luar biasa dan merambah ke berbagai dimensi. Dalam sisa ruang yang sempit ini saya akan menyebut dua hal saja.
Pertama, muncul persoalan yang dikatakan perlindungan bagi konsumen. Ki ta semakin kebanjiran barang-barang konsumsi yang tampil cantik di muka umum, tetapi terbukti rendah kualitasnya dan singkat usianya bila dipakai. U ntuk mengejar laba dalam persaingan yang semakin sengit di pasar, para produsen berlomba menekan harga barang dan menaikkan anggaran promosi. Akibatnya, ongkos produksi dikurangi dan kualitas produk dikorbankan. Biaya produksi disedot untuk membangun citra yang memukau nafsu konsumtif masya-
Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 19
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
rakat. Para produsen tidak berlomba menciptakan barang yang lebih bagus, tetapi iklan yang lebih menawan. Seperti dikatakan dengan jujur oleh sebuah ikIan: "kesan pertama sungguh menggoda, sesudahnya terserah Anda ..... Amnya, yang penting kesan dan gaya. Bukan barangnya. Resiko kerugian ditanggung konsumen sendiri.
Itu sebabnya sebagian besar pusat-belanja dibangun dengan interior-design, arsitektur bangunan, perabot, serta busana pramuniaga yang tampil mewah dan anggun. Jika kita memasuki ke pusat-belanja itu dan berkeliling dengan cermat, akan kelihatan betapa banyak barang-barang di situ yang harganya tidak lebih mahal dari toka-toko kelontongan kecil di sekelilingnya.
Kedua, masyarakat sendiri bukanlah kumpulan orang bodoh yang dengan mudah ditipu iklan gombal ala kampanye Pemilu. Dalam kadar dan strategi yang berbeda-beda, mereka siap dan sigap menghadapi tipu-daya iklan dan produksi massal itu. Mereka tidak membutuhkan nasihat lembaga perlindungan konsumen. ApaJagi kotbah para ilmuwan sosiaJ. Kalau pun membutuhkan tidakJah sebanyak seperti yang sering diduga pihak-pihak yang sok pintar tersebut.
Kalau masyarakat membeli barangbarang tiruan yang cuma eJok rupanya, itu tidak selalu karena mereka tertipu. Seringkali alasannya sederhana saja. Permm.-i, barang-barang itu murah dan keuangan mereka terbatas. Kedua, mereka memang sengaja membeli sebuah kesan dan gaya-hidup kaya dengan ongkos rendah. Sebuah perangkat sandiwara untuk tampil trendy, seakan-akan kaya.
Buat apa? Macam-macam. Ada yang menggunakan penampiJan palsu itu untuk sekedar menarik perhatian masyarakat, membentuk identitas sosial, menggertak lawan, berkompetisi karir yang menuntut kemampuan bergaya, atau sekedar iseng bermain-main. Banyak intelektual yang gagal memahami ini, malahan memberikan aneka khotbah dan kecaman pada konsumerisme. Saya teringat cerita seorang anak muda yang suka iseng mempermainkan curahan perhatian orang-orang padanya dengan memainkan telpon-genggam palsu di depanumum.
Kalau iklan membanjiri setiap poripori kehidupan masyarakat, kita tidak perlu buru-buru panik, atau menyatakan peperangan total krhadap gejala konsumerisme. Selain kita tidak akan mampu, antipati itu juga tidak perlu. Terlalu banyak orang kuatir iklan menyesatkan masyarakat, karena anggapan (yang keliru) bahwa masyarakat bodoh. Tidak sedikit iklan yang digandrungi masyarakat. Bukan karena mereka ingin membeli barang yang dijajakan iklan, tetapi semata-mata karena iklan itu jadi sumber hiburan: lagunya enak, kata-katanya lucu, gambar-nya bagus, foto-modelnya menawan, dan sebagainya.
Persis seperti masyarakat berbondong-bondong menghabiskan akhir pekan dan masa liburan di pusat-pusat pertokoan mewah. Mereka di sana tidak mau belanja dan menghabiskan uang. Mereka mau cuci mata, cari hiburan, jumpa teman, ngeceng, dan menikmati ruang berAC yang tidak tersedia di rumah sendiri. Di sini kapitalisme dan hegemoni burjuis menghadapi perlawanan massa yang menjengkelkan.
20 Akademika, Nomor01 Tahun XIII/1995
Daftar Pustaka
Dick, Howard. 1 ( in Indonesii
-------------. 1989. MjddleCla~
Centre ofS<
-------------. 1993. Meneng.1h, hknn Nur IT
Heryanto, Ariel. No.4, Th. X
---------------. 1993 Menengah, hkan Nur IT
Robison, Richard
Wallerstein,Imrr Nation, CIa Wallerstein,
Yoon Hwan Shin Bomlndom
'21
r-,_ " ,f>m
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
carn-macam. Ada yang mampilan palsu itu unlarik perhatian masyak identitas sosial, meng~rkompetisi karir yang npuan bergaya, atau selain-main. Banyak intetl memahami ini, malahaneka khotbah dan keDnsumerisme. Saya terrang anak muda yang npermainkan curahan ·orang padanya dengan )n-genggam palsu di de-
membanjiri setiap porimasyarakat, kita tidak panik, atau menyatakan 1 terhadap gejala konsukita tidak akan mampu, tidak perlu. Terlalu ba
a.tir iklan menyesatkan ~na anggapan (yang ke)' arakat bodoh. Tidak se; digandrungi masyaraLa mereka ingin membeli jajakan iklan, tetapi se:\a i klan itu jadi sumber a enak, kata-katanya luI bagus, foto-modelnya ebagainya. ·ti masyarakat berbonmenghabiskan akhir pe)uran di pusat-pusat per-
Mereka di sana tidak In menghabiskan uang. uci mata, cari hiburan, 19eceng, dan menikmati mg tidak tersedia di rusini kapitalisme dan heT1enghadapi perlawanan ljengkelkan.
Daftar Pustaka
Dick, Howard. 1985. "The Rise of a Middle Class and the Changing Concept of Equity in Indonesia: an Interpretation", Indonesia, No. 39, hal. 71-92.
-------------. 1989. "Further Reflections on the Middle Class", dalam The Politics of M.iddle Class Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
-------------. 1993. "Refleksi Lanjutan terhadap Kelas Menengah", dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, diterjemahkan Nur Iman Subono dkk., Jakarta: LP3ES, hal. 67-76.
Heryanto, Ariel. 1990. "Kelas Menengah Indonesia; Tinjauan Kepustakaan", Prisma, No.4, Th. XIX, hal. 52-71.
---------------. 1993. "Memperjelas Sosok yang Samar", pengantar dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, diterjemahkan Nur Iman Subono dkk., Jakarta: LP3ES, hal. ix-xxv.
Robison, Richard. ] 986. Indonesia; The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin.
Wallerstein, Immanuel. 1991. "The Bourgeois(ie) as Concept and Reality", dalam Race, Nation, Class; Ambiguous Identities, disunting Etienne Balibar dan Immanuel Wallerstein, London: Verso, hal. 135-152.
Yoon Hwan Shin. 1991 , "The Role of Elites in Creating Capitalist Hegemony in Post-0il Bom Indonesia", Indonesia, Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, hal. 127-143.
.. h !~
.~ l~
t: .... ,
\" ..
"t;rr.
Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 21
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>