KONSUMERISME SEBAGAI GAY A sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan...

8
KONSUMERISME SEBAGAI GAY A HIDUP Ariel Heryanto --- .. Ariel Heryanto The contradictions within the capitalist societies and the waves of consumerism are more than mere conflicts ofinterests on the bases of political and economic reasons. It is necessary to view the complexity of the contradictions from the psychological and cultural perspec- tives. It is pitiful to promote the idea of simple life for the rich since they are not going to take it. Even the poor will not accept it if they have choices to make. Pengantar Limabelas atau duapuluh tahun yang lalu di Indonesia konsumerisme diang- gap sebagai musuh masyarakat yang su- lit untuk luput dari kecaman. Para cende- kiawan dan ilmuwan sosial sendiri bo- lehlah dimaafkan, bila ikut-ikutan atau malahan merintis· kecaman demikian. Apalagi bila kecaman itu disertai dengan bumbu-bumbu moralitas atau religius, maka dapat dipahami posisi kehormatan kec.'lm-mengecam itu juga dimanfaatkan oleh pemerintah dengan seruan Pol a Hi- dup Sederhana serta larangan bagi iklan di dalam siaran TVRI. Kini persoalannya menjadi sangat lain. Semakin lama semakin sulit untuk memaafkan ilmuwan sosial yang menge- cam konsumerisme. Kini orang belajar menyadari bahwa konsumerisme tidak lagi atau tidak hanya sekedar persoalan kebodohan atau nafsu yang tercela. Gaya hidup bukan lagi dipuja kalangan ter- tentu yang kaya atau yang berpikir dang- kal. Sebagian dari kita perubahan gaya hidup itu masih bergerak perlahan dan sedikit, bagi yang lain perubahan itu su- dah sangat besar. Tampaknya sejarah akan berpihak kepada perubahan demi- kian, dengan akibat akan semakin ba- nyak orang yang ikut arus sejarah ini. Apa yang sebenamya telah terjadi? Paling sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan penting dalam masyarakat mutakhir ini. Keduanya akan dicoba diuraikan dalam tulisan sederhana ini. Tapi sebelum itu, keduanya dapat diperkenalkan secara ringkas. Perubahan pertama berupa terjadi- nya letupan Gika istilah 'Iedakan' diang- gap berlebihan) industri kapitalisme di Indonesia. Yang kedua, terjadinya pergo- lakan radikal dalam ilmu-ilmu sosial yang disulut oleh wawasan post-mo- dernisme. Perubahan kedua ini pada mu- lanya berkecamuk di lingkungan intelek- tual di luar Indonesia. Tetapi segera men- jadi jelas bahwa pengaruhnya tidak ter- bendung masuk ke wacana para sarjana Indonesia Dalam kiasan yang sudah agak kuno, kedua perubahan itu dapat dijelaskan sebagai perubahan dalam re- alitas obyektif di dunia empirik dan pe- rubahan kesadaran subyektif di kalangan ilmuwan dan khalayak umum yang me- ngamati realitas empirik itu. Dua catatan kecil perlu ditambahkan. Pertama, hingga kini belum ada kesepa- katan apakah kiasan tentang dua bentuk 'realitas' itu (empirik versus persepsi) masih pantas dipertahankan. Kalau pun kiasan itu masih dianggap bermanfaat, 14 Akademika, NomorOl Tahun XIII/1995 Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of KONSUMERISME SEBAGAI GAY A sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan...

KONSUMERISME SEBAGAI GAY A HIDUP

Ariel Heryanto --- ~---~-~--~-----------~-.--.. ~-~-.--.----

Ariel Heryanto

The contradictions within the capitalist societies and the waves of consumerism are more than mere conflicts ofinterests on the bases of political and economic reasons. It is necessary to view the complexity of the contradictions from the psychological and cultural perspec­tives. It is pitiful to promote the idea of simple life for the rich since they are not going to take it. Even the poor will not accept it if they have choices to make.

Pengantar ----.--~--------~--~------- --~----~

Limabelas atau duapuluh tahun yang lalu di Indonesia konsumerisme diang­gap sebagai musuh masyarakat yang su­lit untuk luput dari kecaman. Para cende­kiawan dan ilmuwan sosial sendiri bo­lehlah dimaafkan, bila ikut-ikutan atau malahan merintis· kecaman demikian. Apalagi bila kecaman itu disertai dengan bumbu-bumbu moralitas atau religius, maka dapat dipahami posisi kehormatan kec.'lm-mengecam itu juga dimanfaatkan oleh pemerintah dengan seruan Pol a Hi­dup Sederhana serta larangan bagi iklan di dalam siaran TVRI.

Kini persoalannya menjadi sangat lain. Semakin lama semakin sulit untuk memaafkan ilmuwan sosial yang menge­cam konsumerisme. Kini orang belajar menyadari bahwa konsumerisme tidak lagi atau tidak hanya sekedar persoalan kebodohan atau nafsu yang tercela. Gaya hidup bukan lagi dipuja kalangan ter­tentu yang kaya atau yang berpikir dang­kal. Sebagian dari kita perubahan gaya hidup itu masih bergerak perlahan dan sedikit, bagi yang lain perubahan itu su­dah sangat besar. Tampaknya sejarah akan berpihak kepada perubahan demi­kian, dengan akibat akan semakin ba­nyak orang yang ikut arus sejarah ini.

Apa yang sebenamya telah terjadi? Paling sedikit ada dua hal yang dapat disebutkan untuk memahami perubahan penting dalam masyarakat mutakhir ini. Keduanya akan dicoba diuraikan dalam tulisan sederhana ini. Tapi sebelum itu, keduanya dapat diperkenalkan secara ringkas.

Perubahan pertama berupa terjadi­nya letupan Gika istilah 'Iedakan' diang­gap berlebihan) industri kapitalisme di Indonesia. Yang kedua, terjadinya pergo­lakan radikal dalam ilmu-ilmu sosial yang disulut oleh wawasan post-mo­dernisme. Perubahan kedua ini pada mu­lanya berkecamuk di lingkungan intelek­tual di luar Indonesia. Tetapi segera men­jadi jelas bahwa pengaruhnya tidak ter­bendung masuk ke wacana para sarjana Indonesia Dalam kiasan yang sudah agak kuno, kedua perubahan itu dapat dijelaskan sebagai perubahan dalam re­alitas obyektif di dunia empirik dan pe­rubahan kesadaran subyektif di kalangan ilmuwan dan khalayak umum yang me­ngamati realitas empirik itu.

Dua catatan kecil perlu ditambahkan. Pertama, hingga kini belum ada kesepa­katan apakah kiasan tentang dua bentuk 'realitas' itu (empirik versus persepsi) masih pantas dipertahankan. Kalau pun kiasan itu masih dianggap bermanfaat,

14 Akademika, NomorOl Tahun XIII/1995

orang masih mer mana persisnya hI duanya? Polaris? . sing-masing relatif tu pada dasarnya I

Kedua, catatan tarr tas diingat, perul Indonesia masa ini atau khas. Seba; sendiri bukan sua! dasarnya unik atal perti yang selama nyak.

~asyarakatlndon

Dasawarsa 1981 yang sangat pentil syarakat Indonesia ditandai oleh mere hasilan utama neg pasaran dunia. Di s ligus merupakan I

para pengusaha yang semula dilah negara. Seorang sa ma Richard Robins neliti gejala ini seb modalan' dalam bu jadi bacaan klasik ( imbangan kekuata merintah dan sw yang lalu itu terus tengahan dasawan

Sejak itu Indofii dan lebih khusus I. Jawa merupakan i

yang berbeda. Bul tahun-tahun 1980l tahun 1960an yan~ rintahan Orde Bar tahun 1980an, dan' pada pertengahan menjadi sangat bel na pun dari seluru~ pau.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

IDUP

~ and the wa ves of erests on the bases of l'iew the complexity nd cultural perspec­'ife for the rich, since 1 not accept it if they

amya teJah terjadi? jua hal yang dapat emahami perubahan 'arakat mutakhir ini. ,ba diuraikan dalam U. Tapi sebelum itu, perkenalkan secara

Ima berupa terjadi­lah 'ledakan' diang­ustri kapitalisme di ua, terjadinya pergo­m ilmu-ilmu sosial wawasan post-mo-

1. kedua ini pada mu­I lingkungan intelek­I. T etapi segera men­Igaruhnya tidak ter­wacana para sarjana kiasan yang sudah ,erubahan itu dapat erubahan dalam re­nia empirik dan pe­ubyektif di kalangan 'ak umum yang me­)irik itu. perlu ditambahkan, i belum ada kesepa­tentang dua bentuk

ik versus persepsi) rnankan. Kalau pun anggap bermanfaat,

orang masih memperdebatkan bagai­mana persisnya hubungan diantara ke­duanya? Polaris? Atau dikotomis? Ma­sing-masing relatif otonom, atau yang sa­tu pada dasarnya ditentukan yang lain? Kedua, catatan tambahan lain yang pan­tas diingat, perubahan yang terjadi di Indonesia masa ini sama sekali tidak unik atau khas. Sebagaimana Indonesia sendin bukan suatu realitas yang pada dasamya unik ataU pun khas. Tidak se­perti yang selama ini diduga orang ba­nyak.

Masyarakat Indonesia Mutakhir

Dasawarsa 1980an merupakan masa yang sangat penting dalam sejarah ma­syarakat Indonesia. Di satu sisi masa itu ditandai oleh merosotnya sumber peng­hasilan utama negara, yakni minyak di pasaran dunia. Di sisi lain, masa itu seka­ligus merupakan masa lepas-Iandasnya para pengusaha swasta di Indonesia yang semula dilahirkan dan diasuh oleh negara. Seorang sarjana Australia berna­ma Richard Robinson dengan cermat me­neliti gejala ini sebagai bangkitnya per­modalan' dalam bukunya yang kini men­jadi bacaan klasik (1986). Perubahan per­imbangan kekuatan ekonomi antara pe­merintah dan swasta dari dasawarsa yang lalu itu terus berlanjut hingga per­tengahan dasawarsa 1990an ini.

Sejak itu Indonesia, khususnya Jawa, dan lebih khusus lagi kota- kota besar di Jawa merupakan sebuah realitas dunia yang berbeda. Bukan saja berbeda dan tahun-tahun 198Oan, atau pertengahan tahun 1960an yang menjadi awal peme­rintahan Orde Baru. Sejak pertengahan tahun 198Oan, dan terlebih mencolok lagi pada pertengahan 1990an ini, Indonesia menjadi sangat berbeda dari bagian ma­na pun dan seluruh sejarahnya yang lam­pau.

Bukan saja jumlah sekolah, jalan aspal, klinik, rumah sakit, pabrik, dan toko telah berkembang-biak secara berli­pat-lipat. Pertambahan semacam itu boleh dibilang biasa dan sudah berlang­sung lama sejak pemerintah Hindia Be­landa melancarkan program 'Pem- ba­ngunan' kolonia!. Perubahan yang kini terjadi tidak lagi bersifat kuantitatif, te­tapi kualitatif. Tidak sekedar evolutif te­tapi mungkin transformatif.

Bukan saja lebih banyak orang Indo­nesia menjadi lebih kaya dan bukan saja 'Iebih kaya' dalam ukuran dalam negeri, tetapi kawasan Asia. Yang lebih penting dan semua itu, telah terjadi perubahan penting dalam pengertian 'menjadi kaya' itu sendin dalam masyarakat kita. Pe­rubahan makna itu bukan saja telah ter­jadi, namun masih belum selesai. Ia se­dang berlanjut terus yang belum jelas apa sosok selanjutnya.

Howard Dick pernah menyajikan la­poran penelitian empirik tentang gejala maraknya kebangkitan kelas menengah kota di Indonesia di awal dasawarsa 1980an (1985). Selain kaya dengan peng­gambaran etnografis, tulisan Dick me­nampilkan sebuah pendapat teoretis yang layak dikaji sen us. Katanya, yang terjadi di Indonesia bukan sekedar lebih banyak orang yang kaya, tetapi pema­haman orang tentang 'kesederajatan' dan 'kecukupan' telah bergeser. Yakni dan pengertian yang absolut (orang miskin mutlak) menjadi pengertian relatif (orang tidak mau kalah kaya dengan sekeliling­nya).

Apa yang diamati Dick sudah lewat sepuluh tahun lalu bagi banyak orang Indonesia mungkin berlangsung secara wajar, walau sangat pesat. Antara lain disebutkan meningkatnya penggunaan sepeda-motor (menggantikan sepeda), perluasan dan perbaikan perumahan dengan perabot yang semakin mewah. Termasuk televisi, alat musik dan video,

Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 15

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

pendingin udara, kulkas, dan penanak­nasi listrik. Di kota-kota semakin marak salon tata-rambut, pemakaian barang im­por, dan lalu-lintas orang Indonesia yang berwisata ke luar negeri. Singkatnya, ka­ta Dick, tingkat dan jenis konsumsi kelas menengah kota Indonesia sudah semakin suli t dibedakan dengan yang terjadi pada rekannya di Barat. Bahkan gaya hidup kelas menengah kota Indonesia ini terbi­lang sangat mewah untuk ukuran rekan­rekannya di Barat sendiri (Dick, 1985: 89)!

Pengamatan Dick tidak keliru, tetapi mengandung beberapa masalah yang perlu dicermati lebih jauh agar tidak me­nyesatkan. Ia tepat dalam menunjuk ter­jadinya peningkatan baik jumlah orang Indonesia di kota yang menjadi kaya maupun tingkat kekayaannya. Penga­matan Dick atas konsumensme di kota­kota Indonesia sepuluh tahun lalu keli­hatannya agak sepele bila ditengok pada pertengahan dasawarsa 1990an ini. Teru­tama jika kita menyaksikan gencarnya pembangunan kawasan hum elit di seki­tar Jakarta. Juga iklan-iklan pembangu­nan kawasan itu, apartemen, real estate, acara konser musik mega bintang duma, atau liburan wisata ke luar negeri.

Yang kurang tampil dalam gambaran yang dibuat Dick dan mungkin terjadi pada saat yang bersamaan adalah pe­ningkatan jumlah dan kadar kemiskinan pada bagian lain yang tidak kecil pada masyarakat yang sama. Masalah lain yang juga sudah mulai digulati Dick, te­tapi masih membutuhkan kajian lebih lanjut adalah apakah persoalan ini hanya atau terutama pada perubahan kuantita konsumen dan konsumsi? Ataukah telah terjadi perubahan kualita atau kategori, baik pada identitas konsumen maupun konsumsi mereka?

Jika diringkas dan disederhanakan, jawaban Dick terhadap pertanyaan itu adalah sebagai berikut. Memang terjadi perubahan sosial yang bersifat kualitatif,

baik pada identitas konsumen kota itu maupun pola konsumsinya. Identitas konsumen itu bukan lagi sekedar 'orang kaya', tetapi 'kelas menengah kota' (Dick, 1985: 74). Kebangkitan masyarakat Indo­nesia Orde Baru dipandangnya sebagai hasH kontra-revolusi kelas menengah (1985: 87). Sedang pola konsumsi mereka semakin menekankan watak privatizati­on, sebuah istilah/konsep yang sampai sekarang tak punya padanan memuas­kan dalam Bahasa lndonesia mutakhir. Artinya, orang kota Indonesia tidak lagi terlalu berselera saling-pinjam atau me­miliki-bersama barang konsumsi, tetapi secara mutlak memiliki harta-benda sen­diri-sendiri (1985:75). Hal ini diuraikan lebih jauh dalam tulisan Dick yang ke­mudian (1989/1993).

Tentu saja persoalannya tidak selesai di situ. Seperti telah kita saksikan ber­sama di Indonesia ini pengertian 'kelas menengah' masih terus menjadi pokok perdebatan yang seru (lihat Heryanto, 1990). Dick memberikan identitas kelas menengah kepada kaum kaya baru Indo­nesia berdasarkan pengamatannya atas "sikap dan gaya hidup" mereka (1985:74). Pada saat yang sama identitas "kelas me­nengah" itu disamakan dengan 'burjuis" (1985:74).

Kelas Menengah: Masalah Konseptual

Bukan di sini tempatnya untuk mem­bahas panjang-Iebar perdebatan konsep­tual dan teoritik tentang 'kelas', dan lebih khusus lagi 'kelas menengah'. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa pada uraian semacam yang disajikan Dick ter­kandung sejumlah kerancuan. Konsep 'kelas' bukan tak bisa, tetapi sulit sekali disamakan dengan persoalan gaya hi­dup. Kelas lebih mudah dikaitkan de­ngan konsep burjuasi. Namun dalam analisa kelas yang memberi tempat bagi burjuasi, hanya dikenal dua jenis kelas,

16 Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995

yakni burjuasi da yang dinamakan k

Kesulitan kons< pahami secara se orang-orang yang pada tingkat yan~ dari orang-orang lera dan gaya hidu yak di antara mer gaya hidup yang 50

lain pada tingkat E

secara sangat mer reka yang punya sama seringkali tei pok dari tingkat pE berbeda-beda.

Secara singkat, sederhanakan seb kai tan antara suatl kehidupan materi sial, dengan tingk. hidupnya, atau k reka pada umumf1 persisnya kaitan d kehidupan yang c menjadi ajang pE dengan kemungk la dalam dunia s tidak ada batas-b atasl menengah/l perbedaan yang !

an itu akan muda tempat secara cep

Riwayat celal contoh yang gam!: nya sebagai celal menjadi lambang nerasi pemberol Amen ka di zama Masuk ke Indone dipakai oleh anak 'stabilitas & keam celana yang semu keperluan-keperl rah keras dan kc dan tak perlu d berubah menjadi

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

onsumen kota itu msinya. Identitas agi sekedar 'orang lengah kota' (Dick, I masyarakat Indo­ndangnya sebagai

kelas menengah l konsumsi mereka watak privatizati­

nsep yang sampai padanan memuas­Idonesia mutakhir. ~donesia ti dak lagi .g-pinjam atau me­g konsumsi, tetapi ki harta-benda sen-

Hal ini diuraikan san Dick yang ke-

annya tidak seJesai kita saksikan ber­

Ii pengertian 'keJas rus menjadi pokok -u (Ii hat Heryanto, kan identitas kelas um kaya baru Indo­engamatannya atas p" mereka (1985:74). identitas "kelas me­an dengan "burjuis"

asalah Konseptual

patnya untuk mem­perdebatan konsep­Illg 'kelas', dan lebi h nengah'. Hanya saja ii sini bahwa pada g disajikan Dick ter­kerancuan. Konsep ;a, tetapi sulit sekali persoalan gaya hi­udah dikaitkan de­asi. Namun dalam lemberi tempat bagi mal dua jenis kelas,

yakni burjuasi dan pekerja. Tidak ada yang dinamakan kelas menengah.

Kesulitan konseptual di atas dapat di­pahami secara sederhana. Sehari-hari, orang-orang yang menerima pendapatan pada tingkat yang hampir sama terdiri dari orang-orang yang mempunyai se­lera dan gaya hidup sangat berbeda. Ban­yak di antara mereka punya selera dan gaya hidup yang sama dengan kelompok lain pada tingkat ekonomi yang berbeda secara sangat mencolok. Sebaliknya me­reka yang punya selera dan gaya hidup sama seringkali terdiri dari aneka kelom­pok dari tingkat pendapatan yang sangat berbeda-beda.

Secara singkat, persoalan itu dapat di­sederhanakan sebagai berikut. Jelas ada kaitan antara suatu kondisi ekonomi atau kehidupan material suatu kelompok so­sial, dengan tingkat mau pun corak gaya hidupnya, atau kehidupan mental me­reka pada umumnya. Namun bagaimana persisnya kaitan di antara bidang-bidang kehidupan yang dibeda-bedakan itu? Ini menjadi ajang perdebatan yang penuh dengan kemungkinan jawaban. Lagi pu­la dalam dunia selera dan gaya hidup, tidak ada batas-batas yang jelas antara atas/menengah/bawah. Kalau pun ada perbedaan yang samar-samar, perbeda­an itu akan mudah beralih dan bertukar tempat secara cepat dan drastis.

Riwayat celana jeans memberikan contoh yang gamblang. Dari kedudukan­nya sebagai celana pekerja atau pel aut menjadi lambang avant-gard dalam ge­nerasi pemberontak kelas menengah Amerika di zaman anti perang Vietnam. Masuk ke Indonesia celana jeans banyak dipakai oJeh anak-anak Mami dari zaman 'stabilitas & keamanan' Orde Baru. Bahan celana yang semula sengaja dipilih untuk keperluan-keperluan masuk-keluar dae­rah keras dan kotor (tak mudah sobek, dan tak perlu dicuci-diseterika), telah berubah menjadi 'busana' yang disete-

rika mulus, dan dipakai anak-anak pri­yayi yang lebih banyak duduk di bangku kuliah, atau mobil mewah. Tak pernah loncat-Ioncat atau berguling-guling di tanah. Bahkan kini di sejumlah pertokoan mewah di Amerika dan di Indonesia, ce­lana jeans dipajang dalam design yang nostalgik: warna yang sudah memudar dan robek-robek di bagian lututnya. Ki­sah yang mirip dapat dilacak pada se­jarah status sosial makan fast-food dengan merek kodian dari Amerika Seri­kat. Juga sayur lodeh, musik dangdut, blues dan jazz, pengobatan dan senam tradisional, atau membangun rumah atau memiliki perabot rumah dari bambu.

Jika pertumbuhan ekonomi di Indo­nesia belakangan ini hendak dipilih seba­gai titik-tolak dan pertimbangan utama dalam memahami gejala konsumersime, maka penemuan Yoon Hwan Shin (1991) jauh lebih penting untuk diperhitung­kan. Yoon menilai apa yang sedang ter­jadi di Indonesia saat ini lebih daripada sekedar 'bangkitnya permodalan', yakni usaha kerja-keras untuk membangkitkan hegemoni kelas burjuasi.

Hegemoni Burjuasi

Secara lebih sederhana, hal di atas da­pat dijelaskan sebagai berikut. Pemben­tukan kelas burjuasi yang berjaya mung­kin sedang terjadi di Indonesia. Kekuasa­an ekonomi itu tidak cukup menjamin stabilitas dan keamanan bagi kedudukan dominan mereka. Yang perlu dan sedang mereka kerjakan saat ini adalah meng­kampanyekan sebuah pandangan-hi­dup, ideologi, atau nilai budaya yang ber­semboyan 'menjadi kaya itu enak dan perlu'. Atau lebih ekstrem lagi: menjadi kaya itu mulia dan terhormat.

Propaganda ideologi seperti ini diper­lukan bagi kelas burjuasi yang sedang sibuk dan sukses menimbun kekayaan di

Akadernika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 17

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

tengah masyarakat yang terbiasa bercu­riga pada orang-orang yang kaya, khu­susnya para pengusaha. Apalagi bila da­lam masyarakat itu masih terdapat ba­nyak orang miskin. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di semua masya­rakat lain. Di Indonesia selama berpuluh­puluh tahun kita diajar untuk menghar­gai hal-hal mental dan spiritual daripada materi. Orang malu atau takut mengaku untuk bercita-cita menjadi kaya sebagai tujuan hidupnya. Padahal dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagian besar da­ri warga masyarakat bernafsu besar atau berlomba habis-habisan untuk menjadi (lebih) kaya.

T ugas propaganda ideologi burjuis ialah mengangkat ke permukaan apa yang sudah ada secara remang-remang di bawah sadar masyarakat. Mereka su­dah terserang pola hubungan sosial kapi­talistik. Nafsu terpendam itu bukan se­kedar dibongkar dan diangkat ke per­mukaan, tetapi bahkan diarak dan diso­raki sebagai sesuatu yang hebat dan mulia. Disengajaatau tidak, film-film Ho­Iywood, film nasional Indonesia, dan telenovela asing, musik pop, iklan berba­gai benda konsumsi, dan sejumlah acara hiburan memompakan propaganda de­mikian.

WaJau pada awalnya agak kikuk atau malu, masyarakat kota di Indonesia mu­takhir muJai belajar menikmati propa­ganda ini. Tidak kebetulan jika mereka menggemari film semacam Pretty Woman atau Indecent Proposal. Walau film-film ini seakan-akan bicara tertang seks, ada pesan lain yang lebih penting dari film-film itu dan menyelundup ke batin ~nonton dengan cara lebih cang­gih ketlmbang P4. Semua pahlawan dalam film itu adalah milyader. Maka amanat yang dipompakan film-film 'hiburan' dan bukan 'penataran' sema­cam itu: tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada menjadi kaya. Model

baku untuk menjadi kaya yang bahagia itu adalah seperti yang ditampilkan dalam film-film itu, yakni mereka yang berjenis kelamin pria, dan berkulit putih.

Dalam konteks seperti itulah, kini da­pat disaksikan bagaimana orang Indone­sia yang kaya belajar untuk semakin be­rani tampil dan memamerkan kekayaan­nya di depan umum. Bukannya malu. Malahan semakin lama orang dilatih me­rasa malu bila tidak mempunyai rumah atau mobillebih dari satu. Dalam konteks inilah kampanye resmi 'pola hidup se­derhana' kelihatan menemui kesulitan. Kesulitan ini sendi ri menandakan per­ubahan keseimbangan kekuatan sosial di antara pemerintah dan pengusaha swas­tao

Posisi pemerintah semakin merosot. Sebaliknya terjadi pada posisi kaum pen­gusaha swasta sebagai kekuatan sosial baru yang hidupnya justru bergantung pad a kemampuan menggenjot nafsu konsumtif masyarakat. Di satu pihak, himbauan moral dari pemerintah itu mungkin bisa menyejukkan batin mere­ka yang terpentaJ dari persaingan pasar dan kasar dalam kapitalisme. Dengan de­mikian kemarahan sosial diharapkan da­pat diredakan atau dipendam. Maklum, jumlah kaum tersisih ini tidaklah kecil. Hi mbauan yang sama juga sedikit meng­gelitik sisa-sisa (kalau masih ada) rasa­bersalah dan solidaritas sosial kaum kay a baru. Di pihak Jain, himbauan itu keli­hatan semakin mubazir, jika bukan ko­nyol, ditelan gelombang konsumerisme yang menderu.

Dalam gambaran sederhana begitu, kelihatan bagaimana kapitalisme dan konsumerisme yang menggila adalah faktor destabilisasi. Keduanya mengan­dung tenaga subversif bagi masyarakat kapitalistik itu sendiri, bukan saja gerak­an 'ekstrem kiri' mau pun 'ekstrem ka­nan'. Padahal masyarakat kapitalis ini menuntut stabilitas dan keamanan. Jadi

18 Akademika, Nomor 01 Tahun XIIJ/1995

yang terjadi adalah : internal, sebuah prl an perlahan-Iahan.

Konsumerisme Sel:

Kontradiksi dal~ talis dangelomban8 hanya bentrok ant. bilitas (politik) dan I bihan (ekonomi). ~

kompleksitas dan kl psikologis dan bud~ masyarakat umum

Di sisi psikologi dup Sederhana dap pukulan besar yanl song. Immanuel memberikan penjE Menurutnya, musl kaya mengikuti pc Buat apa jadi kaya, I nikmati enaknya I

Orang yang paling gika ini. Mereka til dan mengikuti pola lau saja ada pilihan

Wallerstein ml menyatakan bahw2 ya tidaklah berarti dipropaganda pare rat pemerintah di I: mat, bekerja keras, pikir rasional ke m kesalahan para ilm dikecoh peneliti il

kapitalis Indonesia dungan atau ersat:.i pitalis Indonesia ti yang ditulis di bIJ mik.

Menjadi burjw Wallerstein, artiny bangsawan kerato usah kerja. Makan pesta berfoya-foya bih-Iebihan, seper!

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

:aya yang bahagia ang ditampilkan akni mereka yang dan berkulit putih. oerti itulah, kini da­lana orang Indone­untuk semakin be­merkan kekayaan­.. Bukannya malu. a orang dilatih me­nempunyai rumah atu. Oalam konteks ni 'pola hidup se­lenemui kesulitan. menandakan per­

l kekuatan sosial di n pengusaha swas-

I semakin merosot. 1a posisi kaum pen­;ai kekuatan sosial justru bergantung

menggenjot nafsu :at. Oi satu pihak, Iri pemerintah itu jukkan batin mere­ri persaingan pasar talisme. Dengan de­)Sial diharapkan da­lipendam. Maklum, 1 ini tidaklah kecil. a juga sedikit meng­u masih ada) rasa­:as sosial kaum kayo. himbauan itu keIi­

lzir, jika bukan ko­.ang konsumerisme

I sederhana begitu, ta kapitalisme dan g menggila adalah Keduanya mengan­sif bagi masyarakat ri, bukan saja gerak­IU pun 'ekstrem ka­·arakat kapitalis ini dan keamanan. Jadi

yang terjadi adalah semacam kontradiksi internal, sebuah proses pembunuh-diri­an perlahan-Iahan.

Konsumerisme Sebagai Gaya -~--.----.---.-.-------------- - -----

Kontradiksi dalam masyarakat kapi­talis dan gel om bang konsumerisme tidak hanya bentrok antara kepentingan sta­bilitas (politik) dan konsumsi berlebih-Ie­bihan (ekonomi). Kita perlu menengok kompleksitas dan kontradiksi itu dari sisi psikologis dan budaya. Juga perlawanan masyarakat umum terhadapnya.

Di sisi psikologis, kampanye Pola Hi­dup Sederhana dapat dikasihani sebagai pukulan besar yang menerpa angin ko­song. Immanuel Wallerstein pernah memberikan penjelasan bagus (1991). Menurutnya, mustahil meminta orang kaya mengikuti polo. hidup sederhana. Buat apa jadi kaya, kalau tidak dapat me­nikmati enaknya menjadi orang kaya. Orang yang paling miskin pun tahu 10-gika ini. Mereka tidak ingin jadi miskin dan mengikuti pola hldup sederhana, ka­lau saja ada pilihan yang lain.

Wallerstein mungkin benar ketika menyatakan bahwa menjadi burjuasi ka­ya tidaklah berarti menjadi sosok yang dipropaganda para ilmuwan dan birok­rat pemerintah di banyak negara: berhe­mat, bekerja keras, menabung, dan ber­pikir rasional ke masa depan. Oi sinilah kesalahan para ilmuwan Indonesia yang dikecoh peneliti asing yang mengejek kapitalis Indonesia sebagai kapitalis ga­dungan atau ersatz, hanya gara-gara ka­pi talis Indonesia tidak bertindak seperti yang ditulis di buku-buku teks aka de­mik.

Menjadi burjuasi, seperti dikatakan Wallerstein, artinya ingin hidup sebagai bangsawan keraton. Hidup enak tanpa usah kerja. Makan enak, tidur enak, dan pesta berfoya-foya secara ekstrem berle­bih-lebihan, seperti layaknya para raja-

raja dalam dongeng. Seperti menjadi laki­laki berkuIit putih dan kaya dalam film­film Holywood. Iming-iming pola hidup berfoya gila-gilaan itulah yang diumbar oleh berbagai iklan, film, musik pop, dan berbagai acara hiburan lain dalam ma­syarakat kapitalis. Bukan sesuatu yang khas Indonesia. lni dapat ditemui pada keluarga birokrat negara yang sangat konservatif di dunia Ketiga (misalnya ke­tika mereka mengadakan resepsi pemi­kahan anak mereka) hingga keluarga pengusaha kaya-raya di masyarakat post-moderen atau post-industrial di Eropa atau Amerika Serikat!

Persoalannya tidak terhenti disitu. Para pengamat post-modernis menyaksi­kan sesuatu yang lain dan tidak kalah penting dalam kebudayaan masyarakat mutakhir yang sudah mabuk-berat da­lam hal bergaya-hidup konsumtif. Imi­tasi, tiruan, pemalsuan, atau citra sema­kin lama semakin menjadi lebih penting ketimbang hal-hal yang asli, nyata, oten­tik, atau substansial. Kalau menjadi kaya dirasa terlalu sulit, maka cukup tam pi! seakan-akan kaya. Ini dimungkinkan oleh hukum penawaran/permintaan da­lam pasar, dan teknologi informasi. Aki­batnya luar biasa dan merambah ke ber­bagai dimensi. Dalam sisa ruang yang sempit ini saya akan menyebut dua hal saja.

Pertama, muncul persoalan yang di­katakan perlindungan bagi konsumen. Ki ta semakin kebanjiran barang-barang konsumsi yang tampil cantik di muka umum, tetapi terbukti rendah kualitas­nya dan singkat usianya bila dipakai. U n­tuk mengejar laba dalam persaingan yang semakin sengit di pasar, para pro­dusen berlomba menekan harga barang dan menaikkan anggaran promosi. Aki­batnya, ongkos produksi dikurangi dan kualitas produk dikorbankan. Biaya pro­duksi disedot untuk membangun citra yang memukau nafsu konsumtif masya-

Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 19

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

rakat. Para produsen tidak berlomba menciptakan barang yang lebih bagus, tetapi iklan yang lebih menawan. Seperti dikatakan dengan jujur oleh sebuah ik­Ian: "kesan pertama sungguh menggoda, sesudahnya terserah Anda ..... Amnya, yang penting kesan dan gaya. Bukan barangnya. Resiko kerugian ditanggung konsumen sendiri.

Itu sebabnya sebagian besar pusat-be­lanja dibangun dengan interior-design, arsitektur bangunan, perabot, serta bu­sana pramuniaga yang tampil mewah dan anggun. Jika kita memasuki ke pu­sat-belanja itu dan berkeliling dengan cermat, akan kelihatan betapa banyak ba­rang-barang di situ yang harganya tidak lebih mahal dari toka-toko kelontongan kecil di sekelilingnya.

Kedua, masyarakat sendiri bukanlah kumpulan orang bodoh yang dengan mudah ditipu iklan gombal ala kampa­nye Pemilu. Dalam kadar dan strategi yang berbeda-beda, mereka siap dan si­gap menghadapi tipu-daya iklan dan produksi massal itu. Mereka tidak mem­butuhkan nasihat lembaga perlindungan konsumen. ApaJagi kotbah para ilmu­wan sosiaJ. Kalau pun membutuhkan ti­dakJah sebanyak seperti yang sering di­duga pihak-pihak yang sok pintar terse­but.

Kalau masyarakat membeli barang­barang tiruan yang cuma eJok rupanya, itu tidak selalu karena mereka tertipu. Seringkali alasannya sederhana saja. Per­mm.-i, barang-barang itu murah dan ke­uangan mereka terbatas. Kedua, mereka memang sengaja membeli sebuah kesan dan gaya-hidup kaya dengan ongkos rendah. Sebuah perangkat sandiwara un­tuk tampil trendy, seakan-akan kaya.

Buat apa? Macam-macam. Ada yang menggunakan penampiJan palsu itu un­tuk sekedar menarik perhatian masya­rakat, membentuk identitas sosial, meng­gertak lawan, berkompetisi karir yang menuntut kemampuan bergaya, atau se­kedar iseng bermain-main. Banyak inte­lektual yang gagal memahami ini, malah­an memberikan aneka khotbah dan ke­caman pada konsumerisme. Saya ter­ingat cerita seorang anak muda yang suka iseng mempermainkan curahan perhatian orang-orang padanya dengan memainkan telpon-genggam palsu di de­panumum.

Kalau iklan membanjiri setiap pori­pori kehidupan masyarakat, kita tidak perlu buru-buru panik, atau menyatakan peperangan total krhadap gejala konsu­merisme. Selain kita tidak akan mampu, antipati itu juga tidak perlu. Terlalu ba­nyak orang kuatir iklan menyesatkan masyarakat, karena anggapan (yang ke­liru) bahwa masyarakat bodoh. Tidak se­dikit iklan yang digandrungi masyara­kat. Bukan karena mereka ingin membeli barang yang dijajakan iklan, tetapi se­mata-mata karena iklan itu jadi sumber hiburan: lagunya enak, kata-katanya lu­cu, gambar-nya bagus, foto-modelnya menawan, dan sebagainya.

Persis seperti masyarakat berbon­dong-bondong menghabiskan akhir pe­kan dan masa liburan di pusat-pusat per­tokoan mewah. Mereka di sana tidak mau belanja dan menghabiskan uang. Mereka mau cuci mata, cari hiburan, jumpa teman, ngeceng, dan menikmati ruang berAC yang tidak tersedia di ru­mah sendiri. Di sini kapitalisme dan he­gemoni burjuis menghadapi perlawanan massa yang menjengkelkan.

20 Akademika, Nomor01 Tahun XIII/1995

Daftar Pustaka

Dick, Howard. 1 ( in Indonesii

-------------. 1989. MjddleCla~

Centre ofS<

-------------. 1993. Meneng.1h, hknn Nur IT

Heryanto, Ariel. No.4, Th. X

---------------. 1993 Menengah, hkan Nur IT

Robison, Richard

Wallerstein,Imrr Nation, CIa Wallerstein,

Yoon Hwan Shin Bomlndom

'21

r-,_ " ,f>m

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

carn-macam. Ada yang mampilan palsu itu un­larik perhatian masya­k identitas sosial, meng­~rkompetisi karir yang npuan bergaya, atau se­lain-main. Banyak inte­tl memahami ini, malah­aneka khotbah dan ke­Dnsumerisme. Saya ter­rang anak muda yang npermainkan curahan ·orang padanya dengan )n-genggam palsu di de-

membanjiri setiap pori­masyarakat, kita tidak panik, atau menyatakan 1 terhadap gejala konsu­kita tidak akan mampu, tidak perlu. Terlalu ba­

a.tir iklan menyesatkan ~na anggapan (yang ke­)' arakat bodoh. Tidak se­; digandrungi masyara­La mereka ingin membeli jajakan iklan, tetapi se­:\a i klan itu jadi sumber a enak, kata-katanya lu­I bagus, foto-modelnya ebagainya. ·ti masyarakat berbon­menghabiskan akhir pe­)uran di pusat-pusat per-

Mereka di sana tidak In menghabiskan uang. uci mata, cari hiburan, 19eceng, dan menikmati mg tidak tersedia di ru­sini kapitalisme dan he­T1enghadapi perlawanan ljengkelkan.

Daftar Pustaka

Dick, Howard. 1985. "The Rise of a Middle Class and the Changing Concept of Equity in Indonesia: an Interpretation", Indonesia, No. 39, hal. 71-92.

-------------. 1989. "Further Reflections on the Middle Class", dalam The Politics of M.iddle Class Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.

-------------. 1993. "Refleksi Lanjutan terhadap Kelas Menengah", dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, diterjema­hkan Nur Iman Subono dkk., Jakarta: LP3ES, hal. 67-76.

Heryanto, Ariel. 1990. "Kelas Menengah Indonesia; Tinjauan Kepustakaan", Prisma, No.4, Th. XIX, hal. 52-71.

---------------. 1993. "Memperjelas Sosok yang Samar", pengantar dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, diterjema­hkan Nur Iman Subono dkk., Jakarta: LP3ES, hal. ix-xxv.

Robison, Richard. ] 986. Indonesia; The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin.

Wallerstein, Immanuel. 1991. "The Bourgeois(ie) as Concept and Reality", dalam Race, Nation, Class; Ambiguous Identities, disunting Etienne Balibar dan Immanuel Wallerstein, London: Verso, hal. 135-152.

Yoon Hwan Shin. 1991 , "The Role of Elites in Creating Capitalist Hegemony in Post-0il Bom Indonesia", Indonesia, Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, hal. 127-143.

.. h !~

.~ l~

t: .... ,

\" ..

"t;rr.

Akademika, Nomor 01 Tahun XIII/1995 21

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>