Konsep Plural dalam Bahasa Sunda
Click here to load reader
-
Upload
andalusia-neneng-permatasari -
Category
Documents
-
view
2.246 -
download
1
Transcript of Konsep Plural dalam Bahasa Sunda
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa Sunda adalah salah satu dari tiga bahasa (Sunda, Jawa, Melayu-Betawi) yang
dituturkan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten. Sampai sekarang bahasa Sunda masih
memiliki banyak penutur, yaitu lebih dari 20 juta penutur. Bahasa Sunda termasuk papan
atas jika dibandingkan jumlah penutur bahasa lain di dunia. Dengan jumlah penutur yang
demikian banyak, bahasa Sunda memiliki potensi menjadi bahasa dunia. Ditambah lagi
bahasa Sunda memiliki area penyebaran yang cukup luas. Selain mencakup hampir semua
daerah di Jawa Barat dan Banten, terdapat pula kantong-kantong bahasa Sunda (enclave) di
luar wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di Brebes (Jawa Tengah) dan di beberapa pulau
lain di Indonesia akibat perpindahan penduduk (transmigrasi). Sebaran geografis bahasa
Sunda yang cukup luas melahirkan berbagai dialek, yaitu dialek Priangan, Banten, Pantura,
Kuningan, Bogor, dan Pantai Selatan. Dialek-dialek tersebut menjadi fondasi sekaligus
sebagai khazanah kekayaan bahasa Sunda.
Dalam tataran alat komunikasi bahasa Sunda digunakan di hampir semua ruang tutur sosial
baik resmi maupun tidak resmi. Seperti ranah pendidikan, keagamaan, pemerintahan,
ketetanggaan, kekariban, dan sebagainya. Bahasa Sunda tidak hanya digunakan di ranah
diglosia low atau biasa disebut ruang tutur tidak berprestise), tetapi juga mampu “bersaing”
di ranah diglosia high, yaitu ruang tutur berprestise. Masih banyak ditemui penggunaan
bahasa Sunda dalam pengajaran, ceramah keagamaan dan khutbah jumat, siaran berita,
perdagangan, dan pelayanan publik.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan bahasa Sunda
agar bahasa ini tetap survive. Pertama, secara politik Pemprov Jabar mengeluarkan Perda
nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah. Peraturan
daerah tersebut menetapkan bahwa bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar
pendidikan, sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, dan penggunaan aksara
daerah untuk nama-nama tempat dan bangunan yang bersifat publik. Kedua, sekarang
bahasa Sunda diajarkan hingga jenjang pendidikan menengah atas, bahkan ada wacana
1
hingga perguruan tinggi. Kemudian, ada upaya lain untuk memperkokoh bahasa Sunda,
yaitu berupa penerbitan, penelitian, pertemuan ilmiah, dan sebagainya.
Walaupun bahasa Sunda memiliki lingustic force yang demikian besar, namun fakta lain
berbicara. Pertama, menurunnya jumlah penutur bahasa Sunda dalam etnik Sunda itu
sendiri. Gejala ini banyak ditemui di daerah perkotaan. Kegagalan transmisi bahasa dalam
keluarga menjadi sebab utamanya. Ada gejala terjadi pertukaran tempat antara bahasa
Sunda dan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda bergeser menjadi bahasa kedua dan bahasa
Indonesia menjadi bahasa ibu. Bahasa Sunda dipelajari di sekolah, sedangkan bahasa
Indonesia dipelajari di rumah. Akibatnya, terjadi degradasi kemampuan berbahasa Sunda di
generasi kedua dan generasi selanjutnya (Khak, 2004). Kalangan remaja dan anak-anak lebih
fasih dan lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Sunda. Bahasa
Sunda hanya dipergunakan apabila situasi sangat menghendakinya.
Kedua, kebocoran diglosia akibat ketidakstabilan diglosia. Wardaugh (dalam Alwasilah,
2006) menyebutkan bahwa keinginan yang besar untuk menciptakan bahasa persatuan
(bahasa Indonesia) merupakan salah satu faktor yang paling dominan peranannya dalam
melemahkan situasi diglosia. Ruang tutur yang selama ini ditempati bahasa Sunda sedikit
demi sedikit digerogoti oleh bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang selama ini mengisi
ruang tutur high atau ranah komunikasi berprestise merembes ke ruang tutur low yang
seharusnya menjadi porsi bahasa Sunda, misalnya ranah keluarga, kekariban, dan
ketetanggaan. Di ketiga ranah tersebut, bahasa Sunda mulai ditinggalkan.
Ketiga, rapuhnya pusat kegiatan bahasa (heartland). Pusat kegiatan bahasa Sunda di
perkotaan semakin rapuh akibat asimilasi budaya yang memaksa penutur bahasa Sunda
berkompromi dengan penutur bahasa lain. Migrasi luar tatar Sunda yang memungkinkan
terjadinya kontak penutur bahasa Sunda dengan penutur bahasa lain memunculkan
kebutuhan bahasa pengantar lain (bahasa Indonesia). Kompromi kebudayaan ini
menunjukkan lemahnya kesetiaan bahasa (language loyalty).
Khazanah Morfologis Bahasa Sunda
2
Berbicara tentang khazanah morfologis bahasa Sunda dalam artian mendetail dan
menyeluruh tentunya bukan kapasitas kami. Selain itu, kesempatan waktu dan ruang tulisan
yang kami miliki amat terbatas. Jadi, bagian ini hanya mengupas secara umum dan pintas
sehingga pembaca dalam kelas morfologi ini memiliki gambaran awal tentang morfologi
bahasa Sunda.
Berapa kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini
karena tidak seorang pun yang dapat menghitung secara akurat berapa jumlah kosa kata
yang dimilliki bahasa Sunda. Hal tersebut mengingat bahasa Sunda adalah bahasa yang amat
dinamis. Selain karena dalam bahasa Sunda terdapat beberapa dialek yang tadi disebutkan,
kosa kata bahasa Sunda pun banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain yang hidup
bertetangga dengan bahasa Sunda, misalnya bahasa Jawa dan Melayu Betawi. Di era kuno
bahasa Sunda banyak menyerap kosa kata bahasa Sansekerta dan Kawi. Di era kemaritiman
lama bahasa Arab dan Melayu banyak menambah kosa kata bahasa Sunda. Di era
penjajahan kosa kata bahasa Sunda bertambah dengan masuknya kosa kata bahasa yang
dibawa para penjajah terutama Belanda. Di era kekinian kosa kata bahasa Sunda semakin
bertambah banyak dimasuki kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris akibat pengaruh
politik-bahasa pemerintah dan globalisasi. Fakta-fakta adanya pengaruh bahasa luar
terhadap bahasa Sunda dapat dicek dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (2007) yang disusun
oleh Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS). Contoh kosa katanya adalah lawas (Jawa),
juara (kawi), mugia (Sansekerta), imsak (Arab), lantik (Melayu), jongos (Belanda).
Perlu dicatat bahwa bahasa Sunda tidak sekadar sebagai bahasa yang secara pasif menerima
kosa kata asing, tetapi bahasa Sunda pun secara aktif memperkaya kosa kata bahasa asing
tersebut. Contoh yang sederhana adalah kata ngabuburit yang sekarang ini sudah
mengindonesia. Kata ngabuburit dibentuk dari dasar burit ‘senja atau sore’ yang mendapat
awalan nga(bu)-.
Perlu diketahui pula bahwa dalam b. Sunda terdapat tingkatan bahasa kasar, sedang, halus,
halus sekali. Pemakaian tingkat bahasa ini bergantung hubungan sosial di antara
interlocutor. Tingkat bahasa ini, secara historis, akibat pengaruh bahasa Jawa yang terlebih
dahulu mengenal tingkatan bahasa. Menurut catatan sejarah sepeninggal Prabu Geusan
3
Ulun, kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, Raden Aria
Suriadiwangsa I (1608-1624). Tahun 1620, karena terjepit oleh tiga kekuasaan (Mataram di
timur, Banten dan Kompeni di barat), Aria Suriadiwangsa I memilih menyerahkan diri ke
Mataram (Lubis dkk, 2000). Diperkirakan sejak itulah b. Sunda mengenal tingkatan bahasa.
Sebelum dipengaruhi bahasa Jawa, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa. Jejak
tidak adanya tingkatan bahasa pada bahasa Sunda dapat dilihat di daerah Banten Selatan
dan baduy. Di sana tidak terdapat pemisahan kosa kata halus dan kasar. Bahasa Sunda yang
tertulis dalam berbagai prasasti kerajaan Sunda kuno pun tidak mengenal tingkatan bahasa.
Berikut adalah contoh tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda.
Kasar Halus
dahar emam/neda ‘makan’
cokot candak ‘ambil’
indit angkat ‘pergi’
1.2 Sumber data
Sumber data yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah kata bahasa Sunda
yang memiliki arti banyak (jamak). Kami bertiga yang merupakan penutur asli bahasa Sunda
memilih semua kata tersebut secara acak sebagai sampel yang akan dianalisis dalam
penelitian kecil morfologi.
1.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Kami mengambil
sejumlah kata bahasa sunda yang memiliki arti banyak (jamak) secara acak. Kemudian, kami
deskripsikan proses perubahan kata bahasa sunda dengan mengidentifikasi imbuhan dan
proses pembentukan kata yang mencirikan penanda jamak dalam kata- kata tersebut.
1.4 Teknik Penelitian
Teknik penelitian yang digunakan adalah klasifikasi dan deskripsi. Langkah- langkah yang
digunakan adalah sebagai berikut: Pertama, kami mengumpulkan sejumlah kata
4
berimbuhan dalam bahasa sunda yang memiliki arti banyak (jamak). Kedua, kami
klasifikasikan kata-kata tersebut berdasarkan kelas kata. Ketiga, kami deskripsikan proses
pembentukan kata bahasa sunda tersebut dengan menganalisis penanda banyak (jamak)
dalam semua kata tersebut berdasarkan beberapa buku referensi dan pengetahuan kami
bertiga yang merupakan penutur asli bahasa sunda.
2. Teori
Untuk membantu kami menganalisis proses pembentukan kata bahasa sunda yang memiliki
arti banyak (jamak), kami menggunakan beberapa buku referensi mengenai morfologi
secara umum dan buku referensi mengenai proses pembentukan kata bahasa sunda yang
memiliki arti banyak (jamak).
Untuk mengidentifikasi proses pembentukan kata yang memiliki arti banyak (jamak),
kami menggunakan daftar istilah sebagai berikut yang bersumber dari Francis Katamba,
Edward Finnegan dan lain- lain.
1). Morphemes are the smallest units of meaning and grammatical functions. ( page 5:
Katamba)
2). Creativity or productivity or open endedness is a human’s ability to produce aand
understand a vast ( and indeed unlimited) number of utterances of that language that one
may never have heard or produced. (Page 5: Katamba)
3). Lexemes are the vocabulary items that are listed in the dictionary. (Page 18: Katamba)
4). A root is the irreducible core of a word, with absolutely nothing else attached to it. (Page
41: Katamba)
5). Free morphemes are roots which are capable of standing independently. (Page 41:
Katamba)
Free morphemes are divided into
(1). lexical morphemes: morphemes that carry most of the ‘semantic content’ of utterances;
(page 41: katamba)
5
(2). function words: the function words mainly (but not exclusively)signal grammatical
information or logical relations in a sentence; (Page 41- 42: katamba)
6). bound morphemes: roots which are incapable of occurring in isolation. Thus, they always
occur with some other word-building element attached to them; ( Page 42: katamba)
7). an affix is a morpheme which only occurs when attached to some other morpheme or
morphemes such as a root or stem or base. (Page 44: katamba).
There are three types of affixes.
(1). A prefix is an affix attached before a root or a stem or a base.
(2). A suffix is an affix attached after a root ( or stem or base).
(3). An infix is an affix inserted into the root itself.
8). The stem is the part of a word that is in existence before any inflectional affixes. (Page 47:
Katamba)
9). A base is any unit whatsoever to which affixes of any kind can be added. (Page 47:
Katamba)
10). Derivational morphemes are bound morphemes that can either change the meaning of
a base to which they are attached or change the word-class that a base belongs to. (Page 47:
Katamba)
11). Reduplication is the morphological process by which a morpheme is repeated, thereby
creating a word with a different meaning or a different word class.
There are two types of reduplications:
(1). Partial reduplication, which reduplicates only part of the morpheme.
(2). Full reduplication, in which the entire morpheme is reduplicated.
(Page 96: Finegan, Edward et.al. )
12). allomorphs: different morphs represent the same morpheme
-complementary distribution
6
-the same gramatical function
-they are never found in identical context
Sedangkan untuk mengidentifikasi proses pembentukan kata yang memiliki arti
banyak (jamak) dalam bahasa Sunda, kami menggunakan teori sebagai berikut:
Sebagai bahasa fleksi dan derivasi, kosa kata bahasa Sunda mengalami proses
morfologis dalam tuturan agar memenuhi kaidah gramatika dan makna. Berikut ini adalah
bentuk-bentuk afiks dalam bahasa Sunda.
a. Prefiks
Bentuk Prefiks Dasar Hasil Proses Morfologis
n- teunggeul neunggeul
ny- cokot nyokot
m- bawa mawa
ng- keureut ngeureut
nga- goler ngagoler
pa- tani patani
pi- duit piduit
pang- gosok pangosok
sa- sajalan sabapa
si- beungeut sibeungeut
ti- dagor tidagor
ting- kocepat tingkocepat
di- teunggeul diteunggeul(pasif)
ka- tenjo katenjo(pasif)
mang- meuli mangmeulikeun
ba- gilir bagilir
pada- mere padamere
para- guru paraguru
silih- tincak silihtincak
barang- hakan baranghakan
pri-(per-) bumi pribumi
7
b. Infiks
Bentuk Infiks Dasar Hasil Proses Morfologis
-ar- mandi marandi
-al- leumpang laleumpang
-um- geulis gumeulis
c. Sufiks
Bentuk Infiks Dasar Hasil Proses Morfologis
-an cai caian
-eun cacing cacingeun
-keun alung alungkeun
-na maneh manehna
-ing/ning wantun wantuning
Dalam bahasa Sunda afiksasi dikenal dengan istilah kecap rundayan, yaitu kata jadian yang
terwujud melalui kombinasi kata dasar dengan afiks, atau biasa juga disebut afiksasi. Afiksasi
dalam bahasa Sunda selain dapat membentuk dan menunjukkan makna kategorial bentuk
dasar, di samping dapat mengubah makna kelas bentuk dasar, juga menjadi penunjuk
jamak. Di bawah ini adalah bentuk afiksasi sebagai penanda jamak.
Prefiks –ar
Prefiks –ar dapat bergabung dengan morfem dasar adjektiva. Untuk penanda jamak, prefiks
–ar hanya dapat bergabung dengan morfem dasar adjektiva yang berawalan pada suku
pertama dengan bunyi vokal.
Contoh :
Ateul menjadi arateul
Infiks –ar-
8
Infiks –ar- dapat bergabung dengan morfem dasar nomina, verba, dan adjektiva. Infiks –ar-
pun mendukung makna jamak.
Contoh :
Budak menjadi barudak
Infiks –al-
Infiks –al- dapat bergabung dengan morfem dasar verba dan adjektiva. Infiks –al- biasanya
bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/ dan bentuk dasar dengan fonem final /r/
pada silabe kedua. Infiks ini pun mendukung makna gramatikal jamak.
Contoh :
Lumpat menjadi lalumpat
Selain dengan afiksasi, penanda jamak dalam bahasa Sunda ditunjukkan juga oleh sistem
pengulangan, yang terbagi sebagai berikut:
a. dwilingga (pengulangan penuh)
b. dwipurna (pengulangan sebagian (silabel inisial) )
c. trilingga (pengulangan tiga kali dengan perubahan bunyi)
d. pengulangan semu (accidental)
Untuk menunjukkan jamak hanya satu bentuk reduplikasi yaitu dwilingga atau disebut juga
dwimurni. Di bawah ini kami sebutkan beserta contohnya.
Dwilingga atau biasa disebut dwimurni
Dwilingga atau dwimurni adalah bentuk ulang penuh. Proses morfemis dwilingga atau
dwimurni dapat terjadi pada nomina, verba, ataupun adjektiva.
Contoh:
imah menjadi imah-imah
9
3. Analisis
Sebagai penanda bentuk jamak dalam bahasa Sunda, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, dapat terjadi dalam dua proses, yaitu proses afiksasi (kecap rundayan) dan
reduplikasi (dwilingga atau dwimurni).
Prefiks ar-
Prefiks ar- untuk penanda jamak hanya dapat bergabung dengan bentuk dasar adjektiva
yang berawalan pada suku pertama dengan bunyi vokal. Misalnya dalam kata {ateul} ‘gatal’
yang berkelas kata ajektiva akan berubah menjadi {arateul} ‘gatal-gatal’ yang berkelas kata
tetap ajektiva. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan prefiks ar- untuk penanda jamak
dalam bahasa Sunda tidak mengubah kelas kata.
Berikut ini contoh-contoh bentuk jamak yang lain dalam penggunaan prefiks ar- :
{asin} ‘asin’ akan berubah menjadi {arasin} ‘semua asin’
Adj Adj
{enak} ‘lezat’ akan berubah menjadi {arenak} ‘lezat-lezat’
Adj Adj
{untung} ‘beruntung’ berubah menjadi {aruntung} ‘semua beruntung’
Adj Adj
{isin} ‘malu’ berubah menjadi {arisin} ‘’
Adj Adj
{ompong} ‘ompong’ menjadi {arompong} ‘semua ompong’
Adj Adj
Untuk beberapa dialek penggunaan prefiks –ar ini akan berubah menjadi –arar, terutama
dalam ujaran. Sama halnya seperti prefiks –ar, prefiks –arar ini pun digunakan untuk bentuk
dasar yang diawali dengan bunyi vokal dan berkelas kata ajektiva. Prefiks –arar pun tidak
mengubah kelas kata.
10
Contoh: {ateul} ‘gatal’ menjadi {ararateul} ‘gatal-gatal’
{ateul} yang merupakan ajektiva berubah menjadi {ararateul} yang ajektiva juga. Hal ini
membuktikan bahwa prefiks –arar pun tidak mengubah kelas kata. Prefiks –arar ini bisa
dikatakan merupakan alomorf dari prefiks –ar, karena prefiks –arar ini hanya biasa
digunakan pada ujaran, bukan merupakan bahasa Sunda yang formal.
Selain –arar, prefiks –ar memiliki alomorf –al yang bisa kita lihat misalnya dalam bentuk
dasar seperti {ancur} ‘hancur’ dan {ambrug} ‘roboh’. {ancur} akan berubah menjadi
{alancur}, seperti halnya prefiks –ar, untuk bisa disisipi –al pun bentuk dasar ini haruslah
yang berawalan dengan bunyi vokal. Dalam {ancur} mengapa disisipi –al, karena pada silabel
kedua dalam {ancur} terdapat bunyi /r/. Kedua hal tersebut Menurut Haspelmath ini
termasuk pada phonological alomorphy.
Infiks –ar-
Infiks –ar- dalam mendukung makna jamak dalam bahasa Sunda dapat bergabung dengan
bentuk dasar nomina, verba, dan adjektiva.
Contoh :
Kelas kata Nomina
{budak} ‘anak’ berubah menjadi {barudak} ‘anak-anak’
Kata {budak} yang berkelas kata nomina disisipi infiks –ar- berubah menjadi {barudak}
dengan kelas yang sama yaitu nomina.
Kelas kata Verba
{nyumput} ‘sembunyi’ berubah menjadi {nyarumput} ‘semua bersembunyi’
Kata {nyumput} yang berkelas kata verba disisipi infiks –ar- berubah menjadi {nyarumput}
yang masih berkelas kata sama yaitu verba.
Kelas kata Ajektiva
{geulis} ‘cantik’ berubah menjadi {gareulis} ‘cantik-cantik’
11
Kata {geulis} yang berkelas kata ajektiva disisipi infiks –ar- berubah menjadi {gareulis} yang
berkelas kata sama yaitu ajektiva.
Dengan melihat tiga contoh di atas terlihat bahwa infiks –ar- jika masuk pada kelas kata
apapun sebagai penanda jamak, entah itu nomina, verba, atau ajektiva tidak mengubah
kelas kata.
Di bawah ini contoh-contoh yang lainnya.
Nomina
{maneh} ‘kamu’ berubah menjadi {maraneh} ‘kamu semua’
N N
{beungeut} ‘wajah’ berubah menjadi {bareungeut} ‘wajah-wajah’
N N
{ceuli} ‘telinga’ berubah menjadi {careuli} ‘telinga-telinga’
N N
{botol} ‘botol’ berubah menjadi {barotol} ‘botol-botol’
N N
{gadis} ‘perawan’ berubah menjadi {garadis} ‘para perawan’
N N
Verba
{sare} ‘tidur’ berubah menjadi {sarare} ‘semua tidur’
V V
{ngumpul} ‘berkumpul’ berubah menjadi {ngarumpul} ‘semua berkumpul’
V V
{nginum} ‘minum’ berubah menjadi {ngarinum} ‘semua minum”
12
V V
{maca} ‘membaca’ berubah menjadi {maraca} ‘semua membaca’
V V
{nulis} ‘menulis’ berubah menjadi {narulis} ‘semua menulis’
V V
Ajektiva
{geulis} ‘cantik’ berubah menjadi {gareulis} ‘cantik-cantik/ semua cantik’
Adj Adj
{sieun} ‘takut’ berubah menjadi {sarieun} ‘semua takut’
Adj Adj
{kolot} ‘tua’ berubah menjadi {karolot} ‘tua-tua’
Adj Adj
{haseum} ‘asam’ berubah menjadi {haraseum} ‘semua berasa asam’
Adj Adj
{kasep} ‘tampan’ berubah menjadi {karasep} ‘semua tampan’
Adj Adj
Infiks –al-
Infiks –al- untuk membentuk makna gramatikal jamak hanya dapat bergabung dengan
bentuk dasar verba dan adjektiva.
Contoh :
13
{lumpat} ‘lari’ yang berkelas kata verba berubah menjadi {lalumpat} ‘semua berlari’ yang
masih berkelas kata verba. Dengan ini menunjukkan bahwa infiks –al- tidak mengubah kelas
kata.
{luhur} ‘atas’ yang berkelas kata ajektiva berubah menjadi {laluhur} ‘atas-atas’ yang masih
berkelas kata yang sama yaitu ajektiva. Ini pun menunjukkan bahwa infiks –al- jika disisipkan
pada kelas kata verba dan ajektiva tidak mengubah kelas kata.
Infiks –al- ini tidak bisa disisipkan pada nomina, misalnya {leupeut} ‘lontong’ tidak akan
berubah menjadi {laleupeut} tapi biasanya akan menjadi {leupeut-leupeut}.
Infiks –al- biasanya bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/ pada silabel pertama.
Oleh karena itu, infiks –al- merupakan alomorf dari infiks –ar-, karena infiks –al- hanya bisa
bergabung dengan bentuk dasar yg berawalan huruf lateral yaitu /l/.
Contoh: {luhur} ‘atas’ menjadi {laluhur} ‘atas-atas’
Akan tetapi seringkali kita juga menemukan kata “palinter” yang di mana {pinter} tidak
bersilabel awal dengan bunyi lateral yaitu /l/. Hal ini adalah pengecualian dari proses jamak
dengan menggunakan infiks –al-. {pinter} dapat berubah menjadi {palinter} karena infiks –al-
dapat digunakan pada bentuk dasar yang berawalan /l/ atau pada bentuk dasar yang tidak
berawalan /l/ tetapi memiliki bunyi /r/ pada silabel kedua. Menurut Haspelmath ini
termasuk pada phonological alomorphy.
Di bawah ini contoh-contoh yang lainnya.
{leutik} ‘kecil’ berubah menjadi {laleutik} ‘kecil-kecil’
Adj Adj
{leumpang} ‘berjalan’ berubah menjadi {laleumpang} ‘semua berjalan’
V V
{lancar} ‘lancar/ tidak ada hambatan’ berubah menjadi {lalancar} ‘semua lancar’
Adj Adj
14
{lila} ‘lama’ berubah menjadi {lalila} ‘semua lama’
Adj Adj
{bunder} ‘bulat’ berubah menjadi {balunder} ‘semua berbentuk bulat’
Adj Adj
{ngukur} ‘mengukur’ berubah menjadi {ngalukur} ‘semua mengukur’
V V
{dahar} ‘makan’ berubah menjadi {dalahar} ‘semua makan’
V V
Dwilingga atau biasa disebut dwimurni
Dwilingga atau dwimurni adalah bentuk ulang penuh. Proses morfemis dwilingga atau
dwimurni sebenarnya dapat terjadi pada nomina, verba, ataupun adjektiva. Akan tetapi
untuk pembentuk jamak, proses dengan bentuk dwilingga ini hanya berlaku untuk pada
bentuk dasar dengan kelas kata nomina.
Contoh:
{imah} ‘rumah’ berubah menjadi {imah-imah} ‘rumah-rumah’
{imah} yang berkelas kata nomina berubah menjadi {imah-imah} yang masih tetap berkelas
kata nomina. Hal ini membuktikan bahwa bentuk jamak dengan proses dwilingga tidak
mengubah kelas katanya.
Di bawah ini contoh-contoh lainnya.
{elmu} ‘ilmu’ berubah menjadi {elmu-elmu} ‘ilmu-ilmu’
N N
{korsi} ‘kursi’ berubah menjadi {korsi-korsi} ‘kursi-kursi’
15
N N
{kolot} ‘orangtua’ berubah menjadi {kolot-kolot} ‘orangtua-orangtua’
N N
{jalma} ‘manusia’ berubah menjadi {jalma-jalma} ‘manusia-manusia’
N N
{leupeut} ‘lontong’ berubah menjadi {leupeut-leupeut} ‘lontong-lontong’
N N
{leunca} berubah menjadi {leunca-leunca}
N N
{mutu} ‘ulekan’ berubah menjadi {mutu-mutu} ‘ulekan-ulekan’
N N
Kita juga seringkali menemukan bentuk dwilingga seperti ini dengan kelas kata yang tidak
hanya nomina, seperti {nelek-nelek} ‘mengamati’ yang berkelas kata verba. Tentu saja hal
ini pun memang menjadi bagian dari bentuk dwilingga tapi tidak membentuk kata jamak.
Hal ini dikarenakan dwilingga memiliki memiliki berbagai fungsi selain sebagai pembentuk
jamak.
Membentuk dan menunjukkan verba
Contoh: nelek menjadi nelek-nelek
Menunjukkan ajektiva
Contoh: {cekas} ‘bersih’ berubah menjadi {cekas-cekas} ‘bersih-bersih’
Menunjukkan numeralia (urutan kesatuan)
Contoh: {hiji} ‘satu’ berubah menjadi {hiji-hiji} ‘satu-satu’
16
Menunjukkan modalitas (kemampuan)
Contoh: {bisa} ‘mampu’ berubah menjadi {bisa-bisa} ‘sebenarnya mampu’
Membentuk partikel dari interogativ (kata tanya)
Contoh: {saha} ‘siapa’ berubah menjadi {saha-saha} ‘barang siapa’
PSEUDOJAMAK
Ada beberapa bentuk dalam bahasa Sunda yang menyerupai jamak padahal bukan jamak.
Oleh karena itu, kami menamainya “pseudojamak”. Misalnya saja {cacauan}, {kukuean},
{sasaliman}, atau {gogorowokan}.
{cacauan} berasal dari {cau} ‘pisang’ yang berarti sesuatu yang menyerupai pisang, atau bisa
disebut pisang-pisangan atau pisang mainan. {sasaliman} bukan berarti banyak orang yang
melakukan {salim} ‘salam’ tapi merupakan kegiatan {salim} yang berulang-ulang. Dalam
bahasa Sunda gejala seperti ini disebut dwipurwa yaitu pengulangan yang terjadi bila
sebagian bentuk dasar (silabel awal) diulang.
Selain dwipurwa yang seolah menyerupai jamak, sering juga kita lihat atau dengar seperti
{curat-coret} atau {tumpa-tempo}. {curat-coret} bukan berarti kegiatan mencoret yang
dilakukan banyak orang, tapi kegiatan mencoret yang berulang. Begitu juga dengan {tumpa-
tempo} yang bukan berarti kegiatan {tempo} dilakukan banyak orang tapi menunjukkan
kegiatan mencari yang biasanya dilakukan berulang-ulang. Dalam bahasa Sunda gejala
seperti ini disebut dwireka yaitu dwilingga dengan perubahan bunyi. Bentuk yang diulang
mengalami perubahan vokal, dan perubahan bunyi vokal ini bersistem.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda; Interpelasi Untuk Aksi. Kiblat: Bandung.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
17
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press.
Khak, M. Abdul. 2004. Intergenerasi dalam Keluarga Sunda-Sunda; Jurnal Metalingua Vol 3:
Balai Bahasa Bandung.
Lubis, Nina H. dkk, (2000). Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Geger Sunten:
Bandung.
18