KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5764/1/SKRIPSI...
Transcript of KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5764/1/SKRIPSI...
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD NATSIR
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Oleh:
Syifa Fitri Choirulloh
NIM : 23010-15-0064
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
ii
iii
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD NATSIR
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Oleh:
Syifa Fitri Choirulloh
NIM : 23010-15-0064
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
iv
v
vi
vii
MOTTO
"أُنْظُرْمَاقَلَ
وَلَتَنْظُرْمَنْ قَلَ"
“Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa
yang mengatakan” MOTTO HIDUP
JANGAN BATASI DIRI UNTUK BEREKSPRESI !
KETIKA KAMU BERANI BERAKSI PASTI JUTAAN ORANG
TERINSPIRASI
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Ayahandaku tercinta Bambang Wiryanto dan Ibundaku Trismiyati yang
telah melahirkan, membesarkan serta mendidikku dengan ketulusan, kasih
sayang dan pengorbanan yang tanpa lelah baik secara lahir maupun batin
dengan iringan do‟a restu.
2. Kakakku tersayang Miftakhun Nurul Jannah yang kadang bawel dan
jengkel dengan sikapku namun rasa sayangmu terhadapku yang membuat
aku juga merasa sayang dan bahagia punya kakak seperti dirimu.
3. Teman-temanku “kentang BOV” yang sama-sama berjuang dan belajar di
IAIN Salatiga yang selalu memberi kenangan dan kerinduan disetiap
pertemuan kita.
4. Semua pihak yang selalu memberi semangat kepadaku untuk
menyelesaikan skripsi ini yang mana saya tidak bisa menyebutkan satu
persatu.
5. Teman spesialku yang selalu mendukung dan menyemangatiku dalam
proses menulis skripsi.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah
SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut
setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Ibu Dra, Siti Asdiqoh, M.Si., selaku Ketua Progam Studi Pendidikan Agama
Islam (PAI).
4. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan
waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.
5. Bapak Hafidz, M.Ag., selaku pembimbing akademik.
x
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan ibu serta kakakku di rumah yang telah mendoakan dan mendukung
penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh kasih
sayang dan kesabaran.
8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan SMC (Seni Music Club) dan para demisionernya
yang telah mengajarkan cara berorganisasi.
10. Segenap manusia kontrakan yang telah bersama-sama dalam setiap harinya
selama 3 tahun hidup bersama.
11. Rekan-rekan seperjuangan jurusan PAI angkatan 2015 yang menjadi motifasi
dan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Keluarga B ON VACATION yang saya banggakan karena bisa menjadi bagian
dari kalian yang awalnya kita dipertemukan tahun 2015 di kelas PAI B.
13. Pengasuh PP. Al-Hasan (KH. Ichsanuddin) serta para Ustadz-Ustadz yang
senantiasa mendo‟akan dan membimbing dalam menuntut ilmu.
14. Temen-temen PP. Al-Hasan yang senantiasa memberi dukungan dan
mendo‟akan dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa
memanjatkan doa kepada Allah Swt, semoga segala amal kebaikan yang
tercurahkan pada penulis diridhoi Allah Swt dengan mendapatkan balasan yang
berlipat ganda.
xi
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dengan keterbatasan dan
kemampuan, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 31 Juli 2019
Penulis
Syifa Fitri Choirulloh
NIM 23010-15-0064
xii
ABSTRAK
Choirulloh, Syifa Fitri. 2019. Konsep Pendidikan Islam Menurut Muhammad
Natsir. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan (FTIK). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing : Mufiq, S.Ag., M.Phil.
Kata Kunci : Konsep, Natsir, Relevansi
Penelitian ini membahas tentang pendidikan Islam Menurut Nuhammad
Natsir, karena masih terjadinya dikotomi ilmu. Artinya, terjadi pemisahan antara
ilmu agama dan ilmu dunia. Cara pandang semacam ini jelas akan berpengaruh
besar terhadap sikap seseorang dalam memandang hakikat sebuah ilmu karena
manusia punya sebuah sudut pandang yang berbeda dan bisa jadi memandang
rendah pendidikan Islam. Berangkat dari itu penulis kemudian membahas tentang
konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir. Dalam hal ini penulis
menelaah beberapa hal, diantaranya: (1) Bagaimana konsep M. Natsir tentang
pendidikan Islam? (2) Apa landasan konsep pemikiran M. Natsir dalam
pendidikan Islam? (3) Apa relevansi konsep pendidikan Islam menurut M. Natsir
pada praktek pendidikan sekarang?.
Metodologi yang digunakan adalah Library Search (Literatur) dengan
mengambil 2 sumber data yaitu primer buku Muhammad Natsir dengan judul
capita selecta dan Islam dan akal merdeka dan data sekunder yakni buku-buku
karya orang lain yang menceritakan tentang pemikiran Islam menurut Muhammad
Natsir, adapun teknis analisis data menggunakan deskriptif analisis.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
Muhammad Natsir ingin mengkonsep pendidikan yang bernuansa integral,
harmonis dan universal yang beliau dapat dari ijtihad beliau dan renungan dari Al-
Qur‟an dan hadis yang diharapkan dapat membawa manusia untuk mendapatkan
penghidupan yang layak di dunia. Landasan yang beliau pakai adalah tauhid dan
akhlak karena keduanya itu berkesinambungan tauhid yang ditekankan,
diharapkan mampu memupuk dan mempertebal keimanan manusia dan akhlak
dapat terlihat dari manifestasi pada kepribadian seseorang seperti keikhlasan,
kejujuran, tanggung jawab dan menghambakan diri kepada Allah. Relevansi
konsep Muhammad Natsir integral, harmonis dan universal adalah sudah
digabungkannya antara pendidikan umum dan pendidikan agama dan
menyelaraskan pemikiran para peserta didik dan tidak membedakan antar
golongan, warana kulit, pemikiran barat atau timur yang dapat kita jumpai di
banyak sekolahan ataupun pondok modern yang ada di sekitar seperti pondok
pesantren Darussalam Gontor, Pondok pesantren Darul Muhajirin Yogyakarta dan
Pondok pesantren Al-Manar Tengaran.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ................................................................................................ ii
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................................. vi
MOTTO ...................................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ....................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ix
ABSTRAK .................................................................................................................. xii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9
E. Kajian Pustaka ............................................................................................... 10
F. Penegasan Istilah ............................................................................................ 12
G. Metodologi Penelitian .................................................................................... 13
1. Pendekatan Penelitian .............................................................................. 13
2. Metode Pengumpula Data ....................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan .................................................................................... 16
xiv
BAB II
A. Silsilah Keluarga M. Natsir ............................................................................ 18
B. Riwayat Pendidikan M. Natsir ....................................................................... 19
C. Karir Politik M. Natsir ................................................................................... 22
D. Karya Ilmia M. Natsir .................................................................................... 25
E. M. Natsir dan PERSIS ................................................................................... 29
F. Sumbangan M. Natsir dalam Pendidikan ....................................................... 31
BAB III
A. Konsep Pendidikan Umum ............................................................................ 33
B. Konsep Pendidikan M. Natsir ........................................................................ 36
C. Peran dan Fungsi Pendidikan ......................................................................... 42
D. Tujuan Pendidikan ......................................................................................... 43
E. Landasan Pendidikan menurut M. Natsir ....................................................... 48
BAB IV
A. Analisis Konsep M. Natsir ............................................................................. 55
B. Relevansi Konsep M. Natsir .......................................................................... 61
BAB V
A. Kesimpulan .................................................................................................... 66
B. Saran .............................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar Konsultasi Pembimbing
Lampiran 2 : Satuan Kredit Kegiatan (SKK)
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak sekali buku-buku pendidikan yang menerangkan tentang
manfaat dan tujuan pendidikan. Diantaranya yang terdapat dalam Tujuan
Pendidikan Nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang bunyinya sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2005: 94).
Jika kita melihat tentang tujuan pendidikan di atas, jika tugas
pendidikan selain mencerdaskan bangsa juga harus hidup mandiri. Dapat
kita ketahui, jika banyak lulusan dari perguruan tinggi yang masih
memenuhi daftar pengangguran di Indonesia berarti pendidikan di
Indonesia belum sesuai dengan apa yang dicita-citakan bangsa kita.
Apalagi bila kita lihat di banyak media masa saat ini yang meliput tentang
para aksi mahasiswa untuk menyerukan aspirasinya kepada pemerintahan
terkesan masih kurang sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional yang
2
berkaitan dengan budi pekerti. Di tempat-tempat terjadinya demo sering
terdapat kejadian yang dapat meresahkan masyarakat, di antaranya seperti
pemblokiran jalan, membakar ban bekas yang mengakibatkan pencemaran,
dan mengganggu fasilitas umum.
Muhammad Natsir mengatakan, bahwa tak ada satu bangsa yang
terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan
mamperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka. Bangsa
Jepang, satu bangsa Timur yang sekarang jadi buah bibir orang seluruh
dunia lantaran majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan
sekiranya mereka tidak mengatur pendidikan bangsa mereka; kalau
sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang selama ini
tertutup rapat, untuk orang-orang pintar dan ahli ilmu, negeri lain lah yang
akan memberi didikan dan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda
mereka disamping mengirim pemuda-pemuda mereka keluar negeri
mencari ilmu (M. Natsir, 1954:77).
Jika kita ingin membandingkan pendidikan di Indonesia dengan
pendidikan di Eropa agaknya kurang begitu sesuai, dikarenakan secara
struktur wilayah sudah sangat berbeda. Jika di Eropa dan Negara-negara
yang lain dapat dengan mudah mengontrol dan memberi bantuan kepada
sekolah-sekolah sampai pelosok desa, karena tempatnya yang memang
mudah dilalui. Berbeda dengan wilayah di Indonesia yang antara pulau
satu dengan pulau yang lainnya sangat jauh, sehingga menyulitkan
pemerintah untuk mengontrol dan memberikan bantuan untuk
3
meningkatkan mutu pendidikan sekolah-sekolah di Indonesia. Tapi jika
melihat Negara Jepang sebagai korban bom atom bisa keluar dari masalah
yang mereka hadapi mengapa bangsa Indonesia tidak.
Bila kita mulai melirik Pendidikan Islam bukan menjadi wacana
yang baru bagi kalangan pemikir, pendidik dan dunia pendidikan sendiri
bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu jawaban atas
ketidakteraturan sistem pendidikan yang ada pada dekade terakhir ini.
Hampir di seluruh penjuru Indonesia mulai menerapkan sistem pendidikan
Islam dalam proses pembelajaran dan pengajaran mereka. Maka bukan hal
yang tabu jika orang-orang non-Islam pun mulai melirik kekhasan dari
pendidikan Islam.
Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang
luas. Disebutkan dalam beberapa poin, diantaranya adalah:
1. Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan perkembangan
berdasarkan ruh ajaran Islam.
2. Perpaduan antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental,
perasaan (emosi), dan rohani (spiritual).
3. Keseimbangan antara jasmani-rohani, keimanan-ketakwaan, pikir-
dzikir, ilmiah-amaliah, material-spiritual, individual-sosial, dan dunia-
akhirat.
4. Realisasi dwi fungsi manusia, yaitu peribadatan sebagai hamba Allah
(„Abdullah) untuk menghambakan diri semata-mata kepada Allah dan
4
fungsi kekhalifahan sebagai khalifah Allah (khalifatullah) yang diberi
tugas untuk menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan
memakmurkan alam semesta (rahmatan lil „alamin) (M Rokib, 2009:
22).
Akan tetapi, realitas sosial yang dihadapi saat ini menempatkan
pendidikan Islam pada posisi yang dilematis. Seakan pendidikan Islam
masih terkungkung dalam hegemoni “determinisme-historis” dan
“realisme-praktis”. Di samping itu kejayaan di masa lampau serta kondisi
sosial saat ini pun makin membuat posisi pendidikan terombang-ambing,
layaknya masih mencari-cari jati diri yang mulai tergerus tuanya jaman.
Seiring kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
gencarnya arus modernisasi mengakibatkan pendidikan Islam yang mau
tak mau dihadapkan pada kondisi yang serba materialis, sekularis, pluralis
serta multikulturalis.
Selain pendidikan Islam terpuruk dalam kondisi yang dilematis
seperti itu, problematika dikotomi yang kerap di-floor-kan dalam
diskursus-diskursus pendidikan pun belum mendapatkan porsi jawaban
yang memuaskan. Secara jelas, baik normatif maupun konseptual, Islam
tidak memiliki ruang dikotomi ilmu. Dalam beberapa pembahasan,
dikotomi ilmu sebenarnya muncul dikarenakan beberapa hal, diantaranya:
Perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, historis perkembangan umat
Islam ketika mengalami kemunduran dan faktor internal ke lermbagaan
5
pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan
pembaruan akibat kompleksnya problematika kehidupan.
Di antara beberapa faktor tersebut tidak menjadi sebuah
keniscayaan ketika dari hal yang paling fundamental, pendidikan Islam
melakuan recheck, recorrect serta reform terhadap hal-hal yang sekiranya
mulai menjauh dari dasar dan tujuan adanya pendidikan Islam itu sendiri.
Dasar pendidikan Islam sebagai acuan pergerakan pendidikan Islam
memiliki posisi yang penting serta sakral. Dasar-dasar pendidikan Islam
tersebut berupa Al-Qur‟an sebagai sumber pendidikan Rasul, Sahabat serta
sebagai sumber yang edukatif dan As-Sunnah sebagai teladan pendidukan
Islam.
Belajar pada sejarah bukan berarti silau akan kejayaan masa lalu.
Belajar suatu ilmu bukan berarti membatasi gerak ilmu itu sendiri. Maka
dari itu, perlu adanya analisis kritis dan komprehensif atas problem yang
dihadapi saat ini. Dengan belajar pada pengalaman dan ide-ide dari para
tokoh pemikir, pendidikan Islam harus mampu mengembalikan
keunikannya sebagaimana yang telah Rasulullah ajarkan. Konsep
pendidikan Qur‟ani pun beberapa waktu terakhir mulai gencar
dikembangkan dan terbukti membawa nilai lebih bagi kemajuan dunia
pendidikan Islam khususnya. Seruan iqro‟ sebagaimana yang tersurat
dengan jelas dalam Al-Qur‟an bukan tanpa maksud khusus dan krusial
diturunkan oleh Allah sebagai wahyu yang pertama. Budaya membaca
apapun, baik itu berupa teks atau ayat kauniyah sekalipun merupakan
6
bahan ajar yang harus kita jadikan sebagai sebuah sumber ilmu yang
disediakan oleh Allah. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi saat ini
adalah budaya membaca tersebut mulai luntur bahkan dicuri oleh orang-
orang non-Islam.
Maka perlu dan harus bagi kita saat ini, dimulai dari diri sendiri
dan dari yang terkecil untuk mengembalikan hasanah pendidikan Islam
yang berbasis Qur‟an dan Sunnah guna memcetak generasi Ulul Albab
yang paripurna.
Memahami pendidikan Islam tidak semudah mengurai kata “Islam”
dari kata “pendidikan”, karena selain sebagai predikat, Islam juga
merupakan satu subtansi dan subjek penting yang cukup komplek.
Karenanya, untuk memahami pendidikan Islam berarti kita harus melihat
aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia
dari sisi pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah
Sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu
membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia
sempurna. Islam sebagai agama universal telah memberikan pedoman
hidup bagi manusia menuju menuju kehidupan bahagia, yang
pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci
penting untuk membuka jalan kehidupan manusia (Rahman, 2001:2).
Dalam bukunya Capita Selekta, Natsir mengatakan bahwa
seringkali pula kenyataan, ada yang mengganggap bahwa didikan Islam itu
ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam.
7
Boleh jadi, ini reaksi terhadap didikan “kebaratan” yang ada di negeri
kita, yang memang sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita
menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar
dan bertanya : “Apakah sudah boleh kita katakan bahwa Islam anti-Barat
dan pro-Timur, khususnya dalam pendidikan?.
Muhammad Natsir adalah salah seorang tokoh yang dikenal
sebagai birokrat, politisi, dan juga sebagai dai ternama. Muhammad Natsir
pernah menduduki jabatan sebagai wakil Rabithoh Alam Islam, serta
menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967
sampai wafatnya beliau tahun 1993. Dalam organisasi inilah beliau mulai
berkiprah dalam bidang pendidikan, politik dan dakwah. Perjuangan beliau
dan kawan-kawannya adalah ingin menghidupkan dan membangkitkan
kembali ajaran Islam, khususnya di Indonesia dari keterpurukan, sehingga
tidak ketinggalan dalam peradaban. Di antara jalan yang ditempuh
Muhammad Natsir dan kawan-kawannya adalah dengan mengajarkan
pendidikan agama dan pendidikan umum tanpa memisahkan keduanya.
Muhammad Natsir adalah tokoh yang sangat berpengaruh di
Indonesia, yang pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai
menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama
pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, beliau juga pernah
menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi, dan
menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Luth, 1999:9).
8
Melihat begitu luasnya cakupan pengalaman Muhammad Natsir
dan beliau adalah salah satu pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang
tidak memilah-milah antara pendidikan Islam dan pendidikan umum.
Beliau beranggapan bahwa semua ilmu penting, karena pada hakikatnya
semua ilmu itu dari Allah, maka tak berlebihan jika penulis mengangkat
Skripsi dengan tema “Konsep Pendidikan Islam Menurut Muhammad
Natsir”. Semoga mampu memberikan kesegaran dalam dahaga kita akan
wacana tentang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep Muhammad Natsir tentang pendidikan Islam ?
2. Apa landasan konsep pemikiran Muhammad Natsir dalam Pendidikan
Islam?
3. Apa relevansi konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir
pada praktek pendidikan sekarang ?
C. Tujuan Pembahasan
Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan kegunaan, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep Muhammad Natsir tentang pendidikan
Islam.
2. Untuk mengetahui landasan konsep pemikiran Muhammad Natsir
dalam pendidikan Islam.
9
3. Untuk mengetahui relevansi konsep pendidikan Islam menurut
Muhammad Natsir pada praktek pendidikan sekarang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yag diharapkan dari peneliti adalah dapat
menambah pengetahuan tentang para ilmuan Islam di Indonesia
khususnya dalam tulisan ini Muhammad Natsir yang kala itu resah
dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia maka melalui ijtihad
beliau lahirlah suatu konsep yang berbeda dan sangat bermanfaat serta
dapat diterima oleh masyarakat Indonesia khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Denga membaca karya ilmiah ini diharapkan para pembaca
mengetahui dan memiliki gambaran yang cukup jelas tentang siapa itu
M. Natsir dan corak pemikirannya tentang pendidikan Islam.
b. Bagi Penulis
Dapat melatih kemampuan meneliti, menaganalisis tentang
pemikiran tokoh-tokoh Indonesia lainnya, penulisan skripsi ini dapat
digunakan sebagai tolok ukur bagi peneliti untuk mengetahui seberapa
besar pengetahuan dan kemampuan si penulis dalam menganalisis,
serta menyajikannya dalam suatu karya ilmiah.
10
c. Bagi Peneliti Lain
Skripsi ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk para peneliti lain
yang ingin meneliti tentang M. Natsir lebih lanjut khususnya dalam
bidang pemikiran penididikan Islam menurut M. Natsir.
E. Kajian Pustaka
1. Rina Lailana, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
PEMIKIRAN SYAIKH AHMAD RIFAI (Telaah Kitab BAYAN),
Salatiga: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, 2018. Penulis
tertarik menggali informasi seputar Syaikh Ahmad Rifai dan Kitab
Bayan karena Syeikh Ahmad Rifai merupakan ulama Jawa yang
menulis kitab Bayan dengan bahasa Jawa dimana di dalam kitab itu
mencakup tujuan pendidikan Islam, hukum pendidikan Islam, rukun
pendidikan Islam, syarat pendidik maupun murid serta menjelaskan
tujuan ilmu dan amal. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan
(Library Research).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan Islam
menurut pemikiran Syeikh Ahmad Rifai harus selaras dengan dasar-
dasar pendidikan dalam Al-Qur‟an dan Hadits.
Penelitian di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan yakni sama-sama menggunakan penelitian studi
kepustakaan lewat buku induk karangan beliau maupun buku
karangan orang yang menceritakan tokoh tersebut dan juga sama-sama
menggunakan Al-Qur‟an dan Hadits serta hasil Ijtihad dalam
11
merumuskan konsep pendidikan Islam. Namun perbedaannya terletak
pada konsep yang ditekankan jika Syekh Ahmad Rifai yang
ditekankan tentang tujuan pendidikan Islam, hukum pendidikan Islam
serta sayarat pendidik maupun murid saja berbeda halnya dengan M.
Natsir yang mengkonsep tentang pendidikan yang integralistik,
harmonis dan universal yang sampai kini sangat relevan digunakan
dalam pendidikan yang sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
2. Rina Meyliani, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H
AHMAD DAHLAN, Lampung: Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Raden Intan Lampung, 2015. Penulis tertarik untuk menggali
informasi seputar pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam pendidikan
Islam. K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam
di Jawa, merupakan type man of action ia lebih banyak merujuk pada
bagaimana membangung sistem pendidikan, cita-cita pendidikan yang
digagas Kyai Ahmad Dahlan lahirnya manusia-manusia yang mampu
tampil sebagai “Ulama Intelek atau Intelek Ulama”. Yaitu seorang
muslim yang memiliki keteguhan dan ilmu yang luas. Jenis penelitian
ini adalah studi kepustakaan (Library Research).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut K.H Ahmad
Dahlan pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan
yang kokoh. Dalam pendidikan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas
penciptaan manusia, yaitu sebagai „Abd Allah dan Khalifah fi Al-Ardh.
12
Penelitian di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan yakni sama-sama penelitian studi kepustakaan lewat
buku induk karangan beliau maupun buku karangan orang yang
menceritakan tokoh tersebut dan juga sama-sama menggunakan
membahas tentang konsep pendidikan Islam yang harus mempunyai
landasan yang kokoh (Tauhid) dan juga senantiasa menghambakan
diri kepada Allah swt. Namun perbedaannya terletak kepada konsep
yang dipakai yakni K.H Ahmad Dahlan ingin para manusia yang
belajar menjadi ulama yang intelek sedangkan M. Natsir lebih
menekankan kepada pendidikan integrallistik, harmonis dan universal
yang diharapkan para peserta didik punya kecerdasan intelektual serta
kecerdasan spiritual sehingga bisa bersaing dengan perkembangan
zaman.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekaburan dalam
penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan
istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini agar dapat dipahami secara
kongrit dan lebih oprasional. Adapun batasan istilah tersebut adalah :
1. Konsep
Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstraksikan
dari peristiwa kongrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998: 205).
13
2. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam ialah: “Segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumberdaya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma Islam.” (Achmadi,1992: 20).
3. Menurut M. Natsir,
Muhammad Natsir, Pendidikan (didikan) ialah suatu
pembinaan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan
dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya (Muhammad Natsir, 1954: 73).
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research). Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data
kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka disini
adalah studi teks yang seluruh substansinya diolah secara filosofis dan
teoritis (Muhajir, 2007: 158-159).
Karena penelitian di sini sifatnya adalah kajian pustaka atau
literer, maka penulis dalam mengkaji Konsep Pemikiran Muhammad
Natsir dengan bantuan buku-buku, yang kami ambil dari tulisan beliau
dan juga tulisan orang lain yang menceritakan tentang kehidupan
maupun pemikiran Muhammad Natsir.
14
2. Metode Pengumpulan Data
Data yang dihimpun merupakan sumber tertulis yang secara
garis besar ada dua macam sumber yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer disini adalah data yang penulis ambil dari karya
tulis asli dari tokoh yang dibahas dalam penulisan sekripsi ini. Yang
diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Muhammad Natsir, 1954, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang.
b) Muhammad Natsir, 1947, Islam dan Aqal Merdeka, Jakarta: Media
Da‟wah.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder disini adalah data yang penulis ambil dari
karya yang berkaitan dengan tokoh yang dibahas bisa jadi itu berupa
buku-buku yang berkaitan atau yang lainnya.
Diantaranya:
a) Musthofa Rahman. 2001, Pendidikan Islam dalam Perspektif al-
Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
b) Anwar Harjono. 1968, Hukum Islam, Keluasan, dan Keadilannya.
Jakarta: Bulan Bintang.
c) Abudin Nata. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
d) Thohir Luth. 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani Press.
15
e) Ajip Rosyidi. 1990, M Natsir, sebuah Biografi, Jakarta: Girimukti
Pasaka, cet I.
f) Badiatul Roziqin. 2009 Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul
Munif, 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta: e-Nusantara.
g) Endang S Anshari/ M A Rais/ Muhammad Natsir, (ed). 1988, Pak
Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda,
Jakarta: Media Da‟wah.
h) Abibullah Djaini. 1996, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad
Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus.
i) Hakim Lukman. 1993, Pemimpin Pulang: rekaman peristiwa
wafatnya M. Natsir. Jakarta: DDII.
j) Mansur. 2004, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
k) Yunus Mahmud. 1995, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
l) Yusuf Abdullah Puar. 1978, Mohammad Natsir 70 tahun, Jakarta:
Pustaka Antara.
m) Dan referensi lainnya yang bersangkutan dengan judul yang penulis
angkat.
16
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab
dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan. Berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode Penulisan Skripsi, Serta dilengkapi dengan Sistematika
penulisan skripsi untuk mempermudah membaca alur pemikiran yang
ada.
BAB II : Biografi M. Natsir. Berisi tentang silsilah keluarga M.
Natsir, riwayat pendidikan M. Natsir, karir politik M. Natsir, karya
ilmiah M. Natsir, M. Natsir dan PERSIS (Persatuan Islam) dan
sumbangan M. Natsir dalam dunia pendidikan.
BAB III : Konsep Umum dan Konsep Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Natsir. Berisi penyajikan mengenai gambaran
umum pendidikan Islam dan juga gambaran pemikiran M. Natsir
tentang pendidikan Islam. Yang meliputi (peran dan fungsi pendidikan
Islam, tujuan pendidikan Islam) pandasan pendidikan Islam yang
meliputi (pendidikan tauhid sebagai dasar pendidikan Islam dan
pendidikan akhlak). Ideologi dan pendekatan dalam pendidikan yang
meliputi: (adanya koordinasi perguruan-perguruan Islam, fungsi bahasa
ssing, sifat-sifat yang harus dimiliki guru, pendidikan yang bersifat
integral).
17
BAB IV : Pendidikan Islam Kontemporer. Berisi analisis konsep
M. Natsir dan relevansi konsep pendidikan Islam menurut muhammad
natsir pada praktek pendidikan sekarang.
BAB V : Penutup. Bab terakhir dalam skripsi ini adalah
penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran yang mungkin dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan.
18
BAB II
BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR
A. Silsilah Keluarga Mohammad Natsir
M. Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten
Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat‟ 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah,
bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Ibunya bernama Khadijah, sedang
ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai
rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau
dan sipir penjara di Sulawesi selatan (Rosyidi, 1990: 150)
Ketika pindah ke Bekeru daerah Sinjai selatan Sulawesi selatan,
dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah ke Padang. Mamaknya yang
biasa dikenal dengan makcik Ibrahim adalah seorang yang bekerja sebagai
buruh harian di sebuah pabrik kopi yang hanya memperoleh upah
beberapa puluh sen sehari. Sehari-hari mereka hidup sangat sederhana,
bahkan dalam urusan makanan untuk sehari-hari hanya seadanya saja dan
hanya ketika hari raya saja atau peristiwa-peristiwa penting saja Natsir dan
keluarga dapat makanan yang enak. Sehingga dapat dikatakan bila sejak
kecil Natsir sudah belajar hidup sederhana.
Pada tanggal 20 Oktober 1934, M. Natsir melangsungkan
pernikahannya dengan Putri Nur Nahar, guru Taman Kanak-kanak
Pendidikan Islam. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana saja. Tamu-
tamu makan di langgar yang terletak di depan rumah tempat pernikahan
dilangsungkan. Pergaulan selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan
19
Islam, menambah perkenalan sebelumnya tatkala keduanya sama-sama
aktif di JIB (Jong Islamieten Bond), telah mengeratkan kedua insan yang
sama-sama tulus mengabdikan hidupnya bagi kemajuan umat Islam
(Rosyidi, 1990: 177)
Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan
tanggal 14 Sya‟ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama di
berbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari
kalangan kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat
pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan
Perdana Menteri Jepang yang di wakili oleh Nakadjima, menyampaikan
bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita
wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di
Hirosima (Luth, 1999: 28).
B. Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir
M. Natsir pertama kali masuk ke sekolah kelas I di Maninjau, yaitu
sekolah rakyat yang memakai bahasa pengantar bahasa Melayu. Di situ M.
Natsir duduk sampai kelas II. Kemudian ketika ayahnya pindah ke Bekeru,
dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah ke Padang, agar dapat masuk ke
HIS (Hollandsch Inlandsche School). Natsir gembira sekali menerima
tawaran itu. Dia pun akan meninggalkan Sekolah Rakyat untuk masuk
HIS. Tetapi apa hendak dikata, HIS Padang menolaknya sebagai murid.
Menurut Natsir sendiri, karena ayahnya hanya pegawai kecil yang gajinya
20
tak sampai F. 70 sebulan, padahal untuk diterima di HIS mestilah anak
pegawai negeri yang gajinya minimum F.70, atau anak saudagar yang
kaya raya. Untunglah pada waktu itu di Padang sudah berdiri HIS
Abadiyah, sebuah usaha swasta yang menyelenggarakan pendidikan bagi
anak-anak negeri. Natsir diterima di situ sebagai murid.
N. Natsir sekolah di HIS Adabiyah hanya lima bulan saja. Ayahnya
yang telah pindah kerja ke Alahan Pajang, mengajak Natsir untuk pindah
karena telah dibuka HIS pemerintah di Solok.
Karena jauhnya jarak Solok dan tempat M. Natsir sekolah, maka
M. Natsir dititipkan di rumah Pak Haji Musa, memiliki anak yang sekolah
di HIS kelas satu, sedang Natsir langsung masuk ke kelas dua, karena
lowongan yang ada cuma kelas dua. Akan tetapi Natsir diberi kesempatan
untuk mencoba di kelas dua selama beberapa hari. Ternyata M. Natsir
berhasil, sehingga diterima di sekolah tersebut secara resmi.
Setelah menamatkan HIS di Padang, Natsir remaja meneruskan
pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang
pada tahun 1923. Karena prestasinya, M. Natsir remaja dapat sekolah
MULO gratis. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Belanda. Di
MULO, Natsir mulai berkenalan dengan organisasi kepemudaan, seperti
Jong Sumatra (Pemuda Sumatra), Jong Islamieteten Bond (Perserikatan
Pemuda Islam).
Beliau melanjutkan studinya di AMS (Algemeene Midel School) di
Bandung. Natsir remaja mengambil jurusan Sastra Barat Klasik.
21
Pendidikannya di AMS juga dibiyayai oleh Pemerintahan Belanda. Saat
studi di AMS, M. Natsir ketika remaja berkanalan dengan ustadz A.
Hasan, Tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing
dirinya melakukan studi tentang Islam. Dengan ustadz ini ia mengelola
majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932. Pendidikan beliau di AMS
diselesaikan pada tahun 1930 saat usianya 22 tahun (Roziqin, dkk, 2009:
222).
Meskipun M. Natsir melanjutkan pendidikannya di sekolah
Belanda, yaitu dari A.M.S. Bandung. Tetapi dalam hidupnya sehari-hari,
hidup secara orang santrilah yang banyak menonjol pada dirinya. Kalau
berbicara di hadapan umum, tidak bersifat agitatif, menggeledek dan
mengguntur. Tetapi dengarkanlah ucapannya dengan tenang, kian lama
kian mendalam dan tidak akan membosankan. Karena semua berisi dan
terarah dan M. Natsir pun terbiasa dengan hal yang seperti itu maka tidak
akan terasa membosankan bagi dirinya (Rosyidi, 1990: 194).
Diawali dari sejak beliau menamatkan sekolahnya di HIS, M.
Natsir melanjutkan sekolahnya MULO di Padang dan AMS di Bandung
dengan mengambil jurusan sastra Barat dengan mengandalkan beasiswa.
Sehingga bisa dikatakan bahwa M. Natsir adalah seorang anak yang
cerdas.
Selain beliau mengikuti sekolah formal, beliau juga mengikuti
kursus guru diploma selama setahun, yaitu pada tahun 1931-1932. Karena
prestasinya yang gemilang, beliau juga pernah mendapatkan tawaran
22
beasiswa dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolahnya ke
Fakultas Hukum Jakarta dan Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda,
namun M. Natsir remaja menolaknya. M. Natsir remaja lebih tertarik
untuk terjun di dunia Pendidikan dan melakukan pembenahan serta
pembelaan kepada kaum yang tertindas (Roziqin. dkk, 2009: 224).
C. Karir Politik Mohammad Natsir
M. Natsir mulai aktif di bidang politik dengan melibatkan diri
sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada
tahun 1940-1942, Natsir menjabat ketua PII, dan pada tahun 1942-1945, ia
merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kota Jakarta yang
merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri pasca
kemerdekaan.
Karir politik M. Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berlangsung dari tahun
1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia
pada kabinet Syahrir ke-1 dan ke-2 serta kabinet Hatta ke-1. Dari tahun
1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua Masyumi, hingga partai ini
dibubarkan. Puncak karir Natsir dalam bidang politik terjadi ketika M.
Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-1951).
Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 M. Natsir terpelih menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dari tahun 1956-1957, ia
menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia (Nata, 2005: 77).
23
Sebagai pemimpin politik Islam, M Natsir telah memberikan
seluruh tenaga dan fikirannya bagi kepentingan seluruh umat Islam di
Indonesia pada khususnya dan pada seluruh rakyat Indonesia pada
umumnya. Dengan munculnya pemikiran untuk menyatukan masing-
masing Negara bagian untuk bersatu kembali dalam Negara kesatuan RI.
Yang telah dibicarakan terlebih dahulu dalam Dewan Pimpinan Partai
Masyumi.
Setelah M. Natsir tidak digunakan lagi dalam pemerintahan,
bahkan partai Masyumi yang dipimpinnya dibubarkan karena perbedan
pandangan tentang Pemahaman Islam dengan Soekarno, dan juga
keinginan M. Natsir untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Pada
puncak konflik antara keduanya, Natsir juga melibatkan diri dalam
gerakan opososi, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatra. Tokoh-tokoh ini menyatakan bahwa pemerintahan Soekarno
telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar 1945, yang
mengakibatkan Natsir dan kawan-kawannya di tangkap dan dimasukkan
ke dalam penjara.
Ketika Pemerintahan Orde Baru muncul M. Natsir juga tidak di
berikan tempat untuk ikut memimpin negeri ini. Beliau tersingkir bukan
karena keraguan orang terhadap kredibilitas dan kemampuannya, akan
tetapi karena masalah ideologi pula yang menyebabkan pemerintahan
Orde Baru tidak menginginkannya.
24
Dalam keadaan yang demikian M. Natsir meneruskan
perjuangannya dengan menggunakan media dakwah yang dibentuknya
bersama Ulama di Jakarta, yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Sehingga menyebabkan hubungan Natsir dengan
Pemerintahan Orde Baru kurang harmonis. Kritiknya yang tajam
menyengat dan menunjuk langsung pada persoalan-persoalan yang
mendasar, tetap menjadi aktifitas rutinnya. Keberaniannya mengoreksi
Pemerintahan Orde Baru dan ikut menandatangani Petisi 50 pada tanggal 5
Mei 1980, menyebabkan M. Natsir dicekal ke luar negeri tanpa melewati
proses pengadilan. Pencekalan ini pun terus berlangsung tanpa ada proses
hukum yang jelas dari pemerintahan Orde Baru, dan ini berjalan hingga M.
Natsir dipanggil ke hadirat Allah SWT (Luth, 1999: 26).
Di kancah Internasional M. Natsir pada tahun 1956, bersama
Syekh Maulana Abul A‟la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-
Nadawi (Lucknow), M. Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Aslamy
di Damaskus. Ia juga menjabat wakil presiden kongres Islam sedunia. Ia
menerima penghargaan internasional berupa Bintang penghargaan dari
Tunisia dan yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia
menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Islam
Lebanon (1967) dalam bidang sastra, dari Universitas kebangsaan
Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang
pemikiran Islam.
25
D. Karya Ilmiah Mohammad Natsir
Meski aktif di dunia politik beliau adalah seorang cendekiawan
Muslim yang sangat produktif menulis. Baginya menulis adalah cara yang
sangat efektif untuk berjuang menegakkan kebenaran. Tulisan-tulisan itu
banyak terdapat di artikel-artikel, majalah, dan juga buku yang terkumpul
lebih dari berpuluh-puluh buku.
Dalam salah satu laporannya, Yusuf Abdullah Puar menyebutkan
ada 52 judul telah ditulis M. Natsir dalam berbagai kesempatan sejak
tahun 1930 di antaranya: (Puar, 1978: 4).
1. Agama dan Moral. Djakarta, Dewan Da‟wah Islamijah Indonesia
Perwakilan Djakarta Raya, 1972. 16 hal.
2. Berbahagialah Perintis...! Djakarta, Sinar Hudaya (dll), 1971. 26 hal.
3. Blibiophilisme in den Islam. Bandung, Pustaka Raya, 1941. 32 hal.
4. Bila doa tak dijawab lagi. Djakarta, Dewan DA‟wah Islamijah
Indonesia Pusat, 1971. 20 hal.
5. Capita Selecta. Dihimpun oleh D.P Sati Alimin. Tjet, ke-3. Djakarta,
Bulan Bintang, 1973 508 hal.
6. Khotbah Hari Raya. Djakarta, Kem. Agama, 1950. II 13 hal.
(Penjiaran Kem. Agama; no. 20).
7. Dapatkah dipisahkan politik dari Agama? (peringatan). Djakarta, dsb,
Mutiara, (1953). 32 hal.
8. Da‟wah dan Pembangunan. Djakarta, Dewan Da‟wah Islamijah
Indonesia, 1973. 22 hal
26
9. Di bawah Naungan Risalah, (Djakarta 1971).
10. Ikhtaru, Al-Khas Sabilani, Addi nu aw la dinu, (Jeddah:1971), buku
yang mengulas tentang konsistensi manusia sesudah beragama.
11. Dari mas ke masa (Djakarta:1975).
12. Fiqhud Dakwah, (Djakarta: DDII, t.t) cet. IV.
13. Bahaya Takut, Jakarta : Media Dakwah, 1991
14. Selamatkan Demokrasi Berdasarkan Jiwa Proklamasi dan UUD 1945,
(T.T.,: Forum Silaturrahmi 45, 1984).
15. Islam dan Akal Merdeka, (Jakarta: Media Dakwah, 1988) Cet. III.
16. Azaz Keyakinan kami Islam sebagai dasar Negara, (Pimpinan Fraksi
Masyumi dalam Konstituante, 1957).
17. Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad, T.T.). 13. Demokrasi di
bawah Hukum, (Djakarta: Media Dakwah, 1987), cet I.
18. Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan
Nostalgia, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), cet. I.
19. Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran
Berkonstitusi, 1990).
20. Islam di Persimpangan Jalan, T.T.,
21. Mempersatukan Umat, (Jakarta: CV Samudra, 1983), cet. III.
22. Kebudayaan Islam dalam Persepektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti
Pustaka, 1988).
23. Percakapan antara Generasi, Pesanan Perjuangan Seorang Bapak,
(Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991).
27
24. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan: T.P, 1951).
25. The Role of Islam in the Promotion of National Resil-ience, (Jakarta:
T.P., 1976).
26. Membangun di Antara Tumpukan Puing dan Pertumbuhan, (Djakarta :
Kementrian).
27. Marilah Shalat, Jakarta : Media Dakwah. 1981.
28. Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia, Jakarta:
Media Dakwah, 1983).
29. Asas Keyakinan Agama Kami, (Jakarta: Dewan Da‟wah Islamiyah,
1984).
30. Kumpulan Khutbab Idul Fitri/Adha, (Jakarta: Media Dakwah, 1978).
31. The New Morality, (Surabaya: Perwakilan DDII, 1969).
32. Tinjauan Hidp, Widjaja, Djakarta, 1957.
33. Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Djakarta: Media Dakwah,
1981).
34. Keragaman Hidup Antar Agama, Djakarta: Hudaya, 1970.
35. Hidupkan Kembali Idealisme dan Semangat Pengorbanan, Djakarta:
Bulan Bintang, 1970.
36. Gubahlah Dunia dengan Amlamu, Sinarlah Zaman dengan Imanmu,
Djakarta: Hudaya, 1970.
37. Kubu Pertahanan Mental dari Abab ke Abad, Surabaya: T.P., 1969.
38. Hendak ke mana Anak-anak Kita di bawa oleh PMP, (Djakarta: Panji
Masyarakat, 1402 H.).
28
39. Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Negara,
(Djakarta: T.P., 1957).
40. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
41. Tolong Dengarkan Pula Suara Kami, Jakarta: Panji Masyarakat,
1982).
42. Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Pelajar Bulan Sabit, 1969).
43. Pancasila akan Hidup Subur Sekali dalam Pengakuan Islam, (Bangil:
T.P., 1982).
44. Cultur Islam, (Bandung: T.P., 1936).
45. Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumbergia Bahagia, (Bandung:
Jajasan Djaja, 1953).
46. Dengan nama samaran A. Moechlis, dengan Islam ke Indonesia
Moelia, (Bandung: Persatuan Islam, Madjlis Penjiaran, 1940).
47. World of Islam Festival dalam Persepektif sejarah (Jakarta: Yayasan
Idayu, 1976.
48. Agama dan Negara dalam persepektif Islam (Kumpulan Karangan)
Jakarta: 1985.
49. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang
Konstuitusional, Jakarta: 1986.
50. Buku PMP dan Mutiara yang Hilang, (Jakarta: Panji Masyarakat,
1982).
51. Gauden Regels uit den Qur‟an, T.T.,
29
52. Some Observations Concering the Role of Islam in National and
International Affairs, (Ithaca New York: Departement of Far Eastern
Studies, Cornell University, 1954), Publishing XVI.
Namun tidak jelas apa yang dimaksud dengan 52 judul tulisan M.
Natsir tersebut, apakah itu judul yang telah di himpun menjadi buku atau
judul artikel lepas yang berada di berbagai media massa. Kalau betul ke-52
judul itu berupa buku yang telah tercetak, ini bisa dimengerti karena
berbagai buku M. Natsir itu isinya berupa kumpulan artikel-artikel, seperti
Kapita Selekta I dan II dan sebagainya. Akan tetapi, jika judul tersebut
juga termasuk tulisan lepas M. Natsir, menurut penulis, lebih dari itu buku
ataupun artikel yang telah dihasilkan oleh pikiran dan tangan M. Natsir.
E. Mohammad Natsir dan PERSIS (Persatuan Islam)
Dengan mengikuti organisasi Persatuan Islam (Persis) M. Natsir
mulai meniti karirnya sebagai negarawan dan pejuang Islam. Dengan
mendapatkan bimbingan dari Ahamad Hasan, yaitu salah satu tokoh dari
organisasi Persatuan Islam yang sangat berpegang teguh kepada Al-Qur‟an
dan sunnah, sehingga tidak heran jika M. Natsir mengikuti jejak beliau
untuk menegakkan syariat Islam dari yang beliau anggap penyimpangan,
seperti kurofat, taqlid dan bid‟ah.
Persis didirikan oleh Haji Zam Zam tanggal 12 September 1923 di
Bandung. Pendirian Persis ini sangat terlambat jika dibandingkan dengan
gerakan-gerakan modern Islam lainnya seperti Jami‟at Khoir (1905),
Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1913).
30
Memang, pada tahun 1913, di Bandung telah didirikan Sarekat Islam,
namun usaha pengikutnya dalam aktivitas keagamaan tidak tampak jelas,
karena pada umumnya mereka para saudagar. Dengan demikian kesadaran
atas keterlambatan ini merupakan salah satu pendorong untuk mendirikan
organisasi ini. Awal mula ide yang menjadi cikal bakalnya Persis ini
adalah dari diskusi-diskusi tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam
yang belakangan telah menjadi tokoh berdirinya Persis. Diskusi-diskusi
tidak resmi tersebut membahas bagaimana jawaban Islam terhadap
masalah-masalah yang sedang berkembang. Dengan menggunakan
kesempatan berkenduri, para jamaah yang dimotori oleh Haji Zam Zam itu
mencoba menjawab masalah-masalah khurafat, tahayul, bid‟ah dan taqlid,
yang menurut pengamatannya sedang merasuk jiwa dan alam pandangan
masyarakat pada waktu itu, diksi tersebut belum mendapat bentuk dan arah
yang jelas sebagai organisasi dakwah yang bisa digerakkan untuk
kepentingan dakwah Islam. Organisasi ini mendapat bentuk yang jelas
setelah bergabungnya Ahmad Hasan dan M. Natsir di dalamnya pada
tahun 1927. Ketertarikan Muhammad Hasan dan M. Natsir pada Persis tak
lepas dari jasa atau ajakan temannya, Fahrudin al-Khaeri, untuk
menghadiri pengajian dan pengajaran yang di lakukan oleh organisasi ini
(Luth, 1999: 31-32).
31
F. Sumbangan Mohammad Natsir Dalam Dunia Pendidikan
Beliau ikut serta dalam menyiapkan Sekolah Tinggi Islam di
Zaman Jepang, yang kemudian sekolah tersebut pada saat ini menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) yang terletak di Yogyakarta.
Dalam makalahnya Dr. Fadhullah Jamil mengatakan bahwa di
antara sumbangan Mohammad Natsir dalam dunia Pendidikan adalah ide
pendidikan yang bersifat integral, yaitu dengan berdirinya Universitas
Islam Antar Bangsa di Kuala Lumpur Malaysia yang mana dengan ini M.
Natsir berharap pendidikan Islam akan mengalami kemajuan yang sangat
signifikan dibanding pendidikan Islam di zaman lampau (Djaini, 1996:
108).
Pada masa-masa belanda M. Natsir jika kurikulum yang digunakan
di sekolah-sekolah belanda seperti HIS, MULO, AMS tidak memberikan
kesempatan kepda pelajar Muslim untuk memperdalam pengetahuannya
dalam soal agama khususnya agama Islam, bahkan malah memperdangkal
nya karena di sana yang ada hanya dituntut hanya untuk mempunyai
kecerdasan otak belaka. Bahkan dalam ilmu modern pun M. Natsir
menganggap belum begitu benar. Maka harus ada bentuk sekolah yang
mengajarkan ilmu-ilmu modern, tetapi juga mengajarkan agama Islam
kepada para pelajar supaya ketika terjun kedalam masyarakat mereka
menjadi muslim yang tahu harga diri dan kukuh tegak prinsipnya dalam
menghadapi tantangan di dunia modern dan tidak hanya menjadi korban
bangsa asing.
32
M. Natsir mengomentari pendidikan di Taman Siswa yang
didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, cabangnya yang ada di Bandung,
yang menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa, tetapi dia mendapat
kesan paham ajarannya terlalu bersifat Jawa. Mereka terlalu memuja-muja
dan membesar-besarkan kebudayaan Jawa yang kesannya makah ke-
Hinduan, yang tidak pula di kaitkan dengan agama Islam, kendati raja-raja
Jawa di gelari Sultan, tetapi lebih banyak dihubungkan dengan ke-
Hinduan. Hubungannya yang mesra terhadap “Kaum Kebangsaan”
menyebabkan sering juga timbulnya sikap yang merendahkan dan
menyinggung perasaan orang Islam. Di sekolah itu ajaran Islam memang
tidak diajarkan, melainkan ada didikan budi pekerti yang bersumber
kepada etika Jawa dan ke-Hinduan yang mana pada saat itu M. Natsir
tidak ingin pendidikan Islam dinodai dengan etika Jawa dan ke-Hinduan
(Rosyidi, 1990: 159-160).
33
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Pendidikan Secara Umum
Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstraksikan dari
peristiwa kongrit, dan pendidikan sebagai usaha membina dan
mengembangkan pribadi manusia, secara aspek rohaniah serta jasmaniyah,
juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan
yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan, baru dapat tercapai
bilamana pendidikan berlangsung melalui proses ke arah tujuan akhir
perkembangan atau pertumbuhan yang lebih baik. Akan tetapi suatu proses
yang diinginkan dalam usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan
bertujuan, yaitu mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuan
yang ada pada dirinya, sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah
terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual
dan sosial (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998: 205).
Di dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha
dasar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Bahkan pengertian pendidikan lebih luas cakupannya sebagai aktivitas dan
fenomena.
Arti pendidikan menurut UU RI No. 20 tahun 2003: “Pendidikan
adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
34
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dari beberapa pengertian pendidikan di atas, maka dapat
dirumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan adalah transformasi
pengetahuan, budaya sekaligus nilai-nilai yang berkembang pada suatu
generasi agar dapat ditransformasikan kepada generasi berikutnya untuk
menjadi pribadi yang siap terjun ke masyarakat, serta menjadi orang yang
bisa bermanfaat bagi orang sekitarnya. Seperti kata pepatah “indahnya
hidup bukan dilihat dari seberapa banyak orang yang kita kenal, akan
tetapi seberapa banyak orang yang bahagia karena mengenal kita”.
Indonesia secara umum mengenal dua model sistem pendidikan,
pertama model pendidikan nasional dan model pendidikan lokal. Model
pedidikan nasional artinya sistem pendidikan yang menganut kurikulum,
penilaian, pengawasan, dan untuk mengukur taraf pendidikan bangsa ini
dikelola dan diawasi oleh negara. Sedangkan pendidikan lokal merupakan
pendidikan yang dikembangkan oleh individu-individu masyarakat baik
kurikulum, sistem penilaian bahkan evaluasinya. Dalam kaitan dengan
pengertian ini, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan secara umum
dibagi antara pendidikan formal yang diselenggarakan oleh negara dan
pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh pesantren (Achmadi,
1992: 46)
35
Dalam SK Mendiknas No. 008-E/U/1975 disebutkan bahwa
pendidikan umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang wajib
diikuti oleh semua siswa dan mencakup progam pendidikan moral
Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik. Konsep
pendidikan umum mempunyai beberapa tujuan:
1. Membiasakan siswa berpikir objektif, kritis, dan terbuka.
2. Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup seperti
kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
3. Menjadi manusia yang sadar akan dirinya sebagai makhluk, sebagai
manusia, sebagai pria dan wanita serta sebagai warga negara yang
berhak akan pendidikan.
4. Mampu menghadapi tugasnya, bukan saja karena menguasai bidang
profesinya, tapi karena mampu mengadakan bimbingan dan hubungan
sosial yang baik dalam lingkungannya.
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah
yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta
didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, bahkan
perguruan tinggi sekalipun.
Dalam peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang
pendidikan dasar, pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan dasar adalah
pendidikan umum yang lamanya 9 tahun, diselenggarakan selama 6 tahun
di sekolah dasar, dan 3 tahun di sekolah menengah pertama. Secara umum
36
sistem pendidikan nasional cenderung menerapkan ilmu-ilmu praktis yang
berkaitan dengan pengelolaan dunia (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia, 1990: 28).
B. Konsep Pendidikan Menurut M. Natsir
M. Natsir ingin mengkonsep pendidikan yang universal integral
dan harmonis di satu sisi memang hasil ijtihad dan renungan yang ia gali
langsung dari Al-Qur‟an dan Hadis, serta tulisan-tulisan berbagai majalah
dan surat kabar, dan dalam konteks yang berbeda-beda, di samping juga
ada kutipan ceramah (Roziqin, dkk, 2009: 81).
Akan tetapi di sisi lain adalah karena reaksi dan refleksi dari
kenyataan historis sosiologis yang ia temui yakni di mana konsep itu
sendiri secara empiris sudah dilaksanakan di masa klasik tetapi ternyata
sekarang tidak ditemukan lagi dalam masyarakat Islam di mana-mana.
Akibat dunia Islam berada dalam dunia kegelapan karena didominasi oleh
pemikiran tasawuf dan berada dalam penjajahan barat selama berabad-
abad, maka konsep-kensep yang terpakai adalah yang sebaliknya, yang
ditemukan bukanlah yang universal, integral dan harmonis, tetapi konsep
yang berbeda dan tidak harmonis karena keikutsertaan masyarakat yang
sedikit. M. Natsir juga memandang Islam bukan agama dalam pengertian
sempit melainkan sebagai ajaran tentang tata hubungan antara manusia
dengan tuhan (Hablumminallah), pandangan hidup sekaligus jalan hidup
(A. Azra, 1999: 44).
37
M. Natsir mengemukakan konsep pendidikan yaitu: universal,
harmonis dan integral. Pendidikan integralistik tersebut berdasarkan
tauhid, dan bertujuan menjadikan manusia yang mengabdikan diri pada
Allah dari arti yang seluas-luasnya, dengan misi mencari kebahagian hidup
di dunia dan akhirat. Dalam suatu tulisan, M. Natsir membagi
keseimbangan dalam Islam meliputi: satu keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan ukhrawi, kedua keseimbangan antara badan dan roh, ketiga
keseimbangan antara individu dan masyarakat. M. Natsir berusaha
mengembangkan semua aspek dan daya yang ada pada manusia secara
seimbang.
Pendidikan Islam mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan SDM. Secara ideal pendidikan Islam berfungsi untuk
menyiapkan SDM yang berkualitas tinggi baik terhadap penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter,
sikap moral dan pengahayatan dan pengamalan ajaran agama, hal ini
sesuai dengan ciri pendidikan agama. Pendidikan Islam yang integral tidak
mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Intinya, pendidikan
Islam berfungsi membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu,
berteknologi, berketerampilan tinggi, sekaligus beriman, bertaqwa serta
beramal saleh.
Dalam kerangka perwujudan fungsi idealnya untuk meningkatkan
kualitas pemikiran manusia, maka sistem pendidikan Islam haruslah
senantiasa mengorientasikan kepada kebutuhan jasmani dan rohani serta
38
tantangan dari bangsa barat dan kemajuan teknologi yang muncul dalam
masyarakat kita sebagai konsekuensi untuk meningkatkan SDM yang
berkualitas agar dapat bersaing di zaman selanjutnya. Dengan demikian
menurut penulis tidak dak ada alternatif lain, kecuali penyiapan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, meguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi serta keahlian dan keterampilan.
Di Indonesia, melihat jelas kaitan antara peningkatan kondisi
ekonomi masyarakat dengan demikian baiknya ekonomi pada masyarakat,
semakin banyak pula dibangun rumah-rumah ibadah, dan juga banyak
masyarakat yang menunaikan ibadah haji, maka kurikulum pendidikan
Islam jelas selain harus berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan
nilai-nilai agama, seperti yang selama ini dilakukan, kini harus pula
diberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dengan kata lain, setiap materi yang diberikan kapada anak
didik harus memenuhi dua tantangan pokok tadi, yaitu penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan penanaman ajaran agama.
Diharapkan dengan jalan ini, pendidikan Islam bisa fungsional
dalam menyiapkan dan membina SDM, yang menguasai iptek dan
memiliki pendidikan agama yang mumpuni untuk menyiarkan agama
kepada masyarakat yang lain, pendidikan Islam hingga saat ini sering
terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecendrungan
perkembangan sekarang dan masa yang akan datang.
39
Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderung
mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial
ketimbang ilmu-ilmu umum semacam fisika, kimia, biologi dan
matematika. Ilmu-ilmu umum ini belum mendapat apresiasi dan tempat
yang sepatutnya dalam sistem pendidian Islam, padahal ilmu-ilmu ini
mutlak diperlukan dalam pengembangan teknologi, selain itu, sebagain
besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara profesional,
akibatnya sering kalah bersaing dalam banyak segi dengan sub-sistem
pendidikan nasional yang diselenggarakan sekelompok masyarakat lain
(Roqib, 2009: 40).
Bukan sebuah rahasia, bahwa citra dan gengsi lembaga pendidikan
Islam sering dipandang lebih rendah dipandingkan dengan sistem
pendidikan yang diselenggarakan pihak-pihak lain. Karena, sudah saatnya
untuk lebih serius menangani pembaharuan dan pengembangan sistem
penididikan Islam, selama ini pembaharuan dan peningkatan sistem
pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh,
maka tidak terjadi perubahan yang esensial dalam sistem pendidikan Islam
apabila tetap cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi
ke masa depan (Drajat, 2012: 88).
Melihat dari konsep yang dipegang oleh M. Natsir, bahwa
kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur
dengan penguasaan atau dengan supremasi atas segala kepentingan
40
duniawi saja, akan tetapi dengan melihat sampai di mana kehidupan
duniawi memberikan aset untuk kehidupan kelak.
M. Natsir, dalam pandangannya menegaskan bahwa pandidikan
Islam yang integral tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu umum
dan ilmu agama, penyatuan kedua sistem pendidikan adalah tuntunan
akidah Islam, dalam ajaran Islam ada dua hukum yang mengatur
kehidupan manusia yaitu; sunnatullah dan dinnullah.
Hukum-hukum yang mengenai alam fisik dinamai sunnatullah,
sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia
telah ditentukan pula dalam ajaran agama dinamakan dinullah. Studi
mengenai alam fisik atau studi tentang ayat Al-Kauniyah, dilakukan dalam
ilmu seperti fisika, geografi, geologi, biologi dan sebagainya untuk
mempelajari alam semesta agar manusia dapat mendalami kebesaran Allah
melalui tata surya dan segala ciptaan-Nya, sedangkan tentang tata
kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan dari ayat-ayat
yang berupa Tanziliyah, yang meliputi pedoman hidup manusia yang
dilakukan dalam bidang ilmu politiik, hukum, sosiologi, psikologi, ilmu
ekonomi, antropologi dan sebagainya, yang tercakup dalam ilmu-ilmu
sosial dan humanitas (Ramayulis, 2005: 338).
Dengan demikian menurut M. Natsir semua cabang ilmu termasuk
ilmu umum dan ilmu agama yang merupakan studi yang bersumber dari
Allah asal didasari dan dilakukan dalam rangka pemahaman ilmu
pengetahuan, dan apabila dalam pengembangan ilmu pengetahuan
41
nantinya terdapat perbedaan atau pertentangan antara hasil penelitian
ilmiah dengan wahyu Allah tentu terjadi, berarti dalam hal ini
penyelidikan ilmiah belum mencapai pada kebenaran ilmiah yang
obyektif, atau kita belum mampu memahami ayat yang menyangkut objek
penelitian.
Oleh karena itu semua ilmu-ilmu tersebut harus dipelajari dalam
lebaga pendidikan Islam, pendidikan yang dirumuskan M. Natsir adalah
pendidikan yang integral, yang dijabarkan dalam suatu sistem pendidikan
yang universal, harmonis, dan integral. Pendidkan integralistik tersebut
didasarkan tauhid, yang bertujuan untuk menjadikan manusia yang
mengabdikan diri kepada Allah yang dalam arti yang seluas-luasnya
dengan misi kebahagian dunia akhirat. Dapatlah dianggap pendidikan
masa lalu sebagai kelanjutan sejarah pendidikan sampai sekarang (M.
Natsir, 1954: 169).
Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia, melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang
belum mereka ketahui, bahkan dengan pendidikan seorang manusia dapat
menguasai dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi
dirinya. Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi
khalifah Allah di bumi ini, seperti diungkapkan oleh M. „Abduh, seorang
tokoh pembaharu muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal
terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu
(Nata. 2005: 74).
42
Karakteristik yang khas dari kemanusiaannya ialah iman dan ilmu
(sains). Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju “ke arah
kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci”. Manusia tidak bisa hidup
tanpa mensucikan dan memuja sesuatu”. Tetapi manusia juga memiliki
kecenderungan untuk memahami alam semesta, untuk “menjelajah tempat-
tempat yang berada di luar lingkungannya, seperti planet-planet lain dan
juga tentang masa lampau dan masa depan”. Oleh karena itu, penulis
menyimpulkan bahwa perbedaan yang paling penting dan mendasar antara
manusia dan makhluk-makhluk lainnya terletak pada iman dan ilmu
pengetahuan yang merupakan kriteria kemanusiaan.
C. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam
Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang
dimajukan M. Natsir.
1. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan
membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut
dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
secara sempurna.
2. Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki
sifat-sifat kemanusiaan dan mencapai akhlaq al-karimah yang
sempurna.
3. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia
yang jujur dan benar (bukan pribadi yang berpura-pura).
43
4. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai
tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah SWT.
5. Pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala
perilaku atau interaksi vertikal maupun horisontal selalu menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
6. Pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaan dan
bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat
kemanusiaan (Nata, 2005: 81).
D. Tujuan Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan Umum
Dalam rumusan tujuan pendidikan dirancang tujuan serta
jenjang persekolahan (pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi) jenjang pendidikan
dasar sesuai dengan UU sistem pendidikan nasional No. II tahun 1989
terdiri dari sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama. Tujuan
setiap jenjang biasa disebut tujuan institusional, dan ini dikembangkan
tujuan kurikulum setiap jenis sekolah pada suatu jenjang.
a. Tujuan pendidikan pra-sekolah bertujuan untuk membantu
meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan
keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik untuk
mempertumbuh serta memperkembang ke proses selanjutnya.
b. Tujuan pendidikan dasar memberi bekal kemampuan dasar kepada
peserta didik untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi
44
anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta
mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
menengah.
c. Tujuan pendidikan menengah bertujuan meningkatkan kemampuan
siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan
timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan sekitarnya.
d. Tujuan pendidikan tinggi: Pertama, menyiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang berkembang akademik dan
profesional yang dapat menerapkan atau menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesenian. Kedua,
mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan, teknologi atau
kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan
kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan sosial.
Dari rumusan tujuan pendidikan di atas dapat disimak bahwa
tujuan ini merupakan penjabaran dari tujuan yang lebih khusus
yang di sesuaikan perkembangan peserta didik kepada institusinya
dan lebih profesional (Ahmadi, 1991: 46).
2. Tujuan Pendidikan Islam
Sudah sering kita dengar kalau orang di luar sana bertanya
kepada pemimpin-pemimpin sekolah agama kita, dari Sabang sampai
Merauke, dari Balikpapan sampai Cilacap, dari kota-kota yang besar
sampai kedusun-dusun: “Apakah dasar dan cita-cita dari pendidikan
yang tuan berikan?”, maka sudah tentu akan mendapat jawaban,
45
pendek ataupun panjang, dapat disimpulkan dengan: “Dasar
pendidikan kami ialah Tuhid, yang tersimpul dalam dua kalimah
syahadat”. Tauhid, yang menjadi pokok dari kemerdekaan dan
kekuatan rohani, dasar dari kemajuan dan kecerdasan manusia. Tujuan
pendidikan adalah mendidik anak-anak, agar sanggup memenuhi
syarat-syarat penghidupan manusia sebagai yang tersimpul dalam
kalam Allah:
Artinya: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”(Q.S. Al-Qoshos : 76).
Dari itu diharapkan supaya peserta didik dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban yang diperlukan untuk mencapai tingkat “hamba
Allah”, yakni setinggi-tinggi derajat yang menjadi tujuan bagi setiap
manusia menurut keyakinan Muslimin, sebagaimana yang terlukis
dalam firman Allah:
46
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Adz-Dzariyat : 56)
Begitulah jawaban yang akan kita dengar lebih kurang, di
segenap perguruan-perguruan kita yang berdasar Islam (M. Natsir,
1954: 105).
Untuk lebih jelasnya dalam memaparkan tentang tujuan
pendidikan menurut M. Natsir, penullis terangkan sedikit mengenai
pendidikan itu sendiri. Menurut Natsir pendidikan ialah suatu
pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan
lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.
Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam, Natsir
terlebih dahulu menyarankan agar mengetahuai apa yang menjadi
tujuan hidup kita di dunia?. Natsir mengutip dalam Al-Qur‟an bahwa
manusia diciptakan oleh Allah tidak lain adalah untuk menyembah
kepada Allah. Menurut M. Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya
adalah merealisasikan idealisme Islam yang pada intinya adalah
menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak
yang harus ditaati.
Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mangandung makna
menyerahkan diri secara total kepada Allah, menjadikan manusia
47
menghambakan diri hanya kepada Allah, itulah tujuan hidup manusia
di atas dunia, dan itulah tujuan pendidikan yang harus kita berikan
kepada anak-anak kita kaum muslimin, yang bercahaya yang harus
memberi suara kepada tiap-tiap pendidik muslimin dalam
mengemudikan perahu pendidikannya supaya peserta didik berlabuh
ke arah yang lebih baik (Rosyidi, 1990: 175-176).
Konferensi International pertama tentang pendidikan Islam di
Mekkah tahun 1977 merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai
berikut: “Pendidikan betujuan mencapai pertumbuhan keperibadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, dari manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu
pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala
aspeknya: spiritual, intlektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik
secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua
aspek ini kearah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir
pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang
sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia“ (Azra, 1999: 57).
Selanjutnya M. Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah
menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada
dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan
membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir, dalam menetapkan tujuan
pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia
sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai kholifah di muka bumi
(Nata, 2005: 82-83).
48
E. Landasan Pendidikan Islam Menurut M. Natsir
1. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam
Semua umat manusia wajib bersyukur kepada Allah yang telah
memberikan nikmat yang paling berharga, yaitu kenikmatan yang
membedakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang yang yang
tidak memiliki agama alias Ateis dan agama-agama lain selain Islam,
yaitu hidayah yang telah diberikan Allah kepada kita semua, yang
semoga sampai kita meninggal dunia tetap dalam keadaan Islam, yang
akhir dari ucapan kita adalah dua kalimah syahadat amin.
Ajaran Allah dalam Al-Qur‟an melalui hikmah yang di
contohkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad SAW, yang
memerintahkan kita untuk mendidik kepada anak pertama kali adalah
agar anak tersebut jangan sekali-kali menyekutukan Allah.
Nabi Muhammad SAW telah menerangkan bahwa ketika anak
dilahirkan ke dunia, orangtuanyalah yang akan menjadikan mereka
agama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Maka sangatlah penting bagi
para orangtua untuk sejak dini dalam mengajarkan anaknya tentang
tauhid dan hal-hal yang dapat mengeluarkan anak tersebut dari berbuat
syirik atau menyekutukan Allah, yang bentuknya sangat banyak dan
bermacam-macam.
Mengenalkan Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan
menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar
bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang
49
kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu dan bapak,
betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipetaruhkan Allah
kepada kita itu maka ajaran tauhidlah yang harus menjadi dasar untuk
anak itu (M. Natsir, 1954: 142).
Ketika membahas tentang tauhid, Natsir sering kali
mencontohkan kepada kita tentang seorang yang bernama Paul
Ehrenfest. Dia adalah seorang terpelajar, seorang intelektual, berasal
dari keluarga yang baik, dan beliau adalah seorang yang terkenal
dengan budi pekertinya yang baik, karena tidak pernah terdengar
melakukan pekerjaan yang tercela.
Kenapa sekarang ia melakukan suatu berbuatan yang lebih buas
dan ganas dari sifatnya perbuatan seorang penjahat, membunuh anak
sendiri, dan setelah itu membunuh dirinya sendiri?.
Dari suatu surat yang ditinggalkan untuk teman sejawatnya
yang paling dekat, yakni Prof. Kohnstamm itu nyata, bahwa perbuatan
yang menewaskan dua jiwa itu bukan suatu pekerjaan terburu nafsu,
melainkan suatu perbuatan yang difikir lama, berasal dari suatu
perjuangan rohani yang telah mendalam, yang tak dapat diselesaikan
dengan lautan ilmu yang ada pada dirinya saat itu, karena ia tidak
memiliki agama dan Tuhan untuk ia bersandar ketika sedang banyak
masalah datang menerpa (M. Natsir, 1954: 140).
Pidato beliau pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 juni
1934, dengan judul “Idiologi Didikan Islam” maupun tulisan beliau di
50
Pedoman Masyarakat tiga tahun kemudian (1937). Dengan judul
“Tauhid Sebagai Dasar Didikan” dengan jelas dan gamblang sekali
untuk menggariskan ideologi pendidikan umat Islam yang harus
bertitik tumpu dan berorientasi kepada kata Tauhid, yang bersimpul
dalam dua kalimah syahadah itu (Djaini, 1996: 100).
Pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan ini menurut M.
Natsir barhubungan erat dengan akhlak yang mulia. Tauhid dapat
terlihat dari manifestasinya pada kepribadian yang mulia seperti yang
dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Yaitu pribadi yang memiliki
keikhlasan, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab untuk
melaksanakan tugas atau kewajiban yang diyakini kebenarannya
(Nata, 2005:86).
Selain itu juga M. Natsir mengisahkan tentang kisah Ismail
yang rela disembelih oleh bapaknya sendiri kalau memang itu adalah
perintah Allah. Sehinnga Allah menurunkan kambing untuk di
sembelih menggantikan Ismail, yang sering dilakukan umat Islam
ketika hari raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya.
M. Natsir menyarankan kepada kita bahwa landasan
pendidikan bagi umat Islam sebagai butir dari berbagai butir dalam
sistem pendidikan, adalah Tauhid. Keyakinan akan keesaan Allah
akan menempa ketangguhan pribadi seseorang dalam melaksanakan
tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah lewat ujian hidup yang
dialami setiap insan manusia, yang beribadah kepada-Nya maupun
51
yang tidak beribadah kepada-Nya sebagai makhluk sosial, yang
mampu melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggung jawab demi
kepentingan pribadi maupun masyarakat. Tauhid pada hakikatnya
adalah landasan seluruh aspek kehidupan manusia dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT (Djaini, 1996: 89).
Hubungan manusia dan sesama makhluk dapat diadakan kapan
saja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh
dinanti-nantikan setelah besar atau berumur lanjut karena hubungan
dengan Allah harus di latih sejak kecil agar selalu terbiasa dan
senantiasa ingat kepada Allah.
Maka berbahagialah seorang anak apabila ia mempunyai
seorang bapak yang tahu menanamkan tauhid dalam sanubarinya
sedari kecilnya. Akan terpelihara ia dari malapetaka, karena senantiasa
ada hubungan kepada khalik yang menjadikannya, serta
mengutamakan mu‟amalah dengan sesama makhluk. Itulah dua syarat
yang tak dapat tidak harus dipakai supaya mendapat keselamatan dan
kebahagiaan hidup, lahir dan batin seseorang (M. Natsir, 1954: 143).
2. Pendidikan Akhlak
Akhlak adalah sikap yang terpuji yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Kemudian ia memerintahkan kepada murid-muridnya
untuk berakhlak baik. Ucapan yang baik, senyuman, dan raut muka
yang berseri dapat menghilangkan jarak yang membatasi antara
seorang guru dengan muridnya. Sikap kasih dan sayang, serta
52
kelapangan hati seorang pendidik akan dapat menangani kebodohan
seorang murid .
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy‟ari berkata dalam
bukunya, kebanyakan orang meremehkan akan pentingnya pendidikan
akhlak, mereka beranggapan bahwa pendidikan akhlak cuma berputar
pada kesopanan saja. Padahal jika kita telusuri sangat banyak sekali
cabang-cabang yang terdapat dalam pendidikan akhlak, bahkan saking
pentingnya Rasulullah diutus kedunia tidak lain adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia, dalam agama Islam pendidikan
akhlak mengajarkan tentang bekerja dengan giat, rajin, optimis,
toleransi, tidak boleh curang dan sebagainya. Jadi bisa disimpulkan
jika seseorang guru memiliki akhlak yang baik maka anak didiknya
juga akan memiliki kecerdasan yang baik pula (H. Asy‟ari, 2018: 57).
Pernah diadakan penelitian pada salah satu pendidikan dasar di
Negara liberal, tentang pendidikan yang diperoleh anak-anak didik di
Negara tersebut. Salah satu yang sangat mengesankan tentang sistem
pendidikan di sana adalah, guru-guru lebih memperhatikan dan
mengutamakan anak didik mereka yang pandai dalam mengantre
ketika menyebrang daripada pandai dalam pelajaran matematika atau
pelajaran geografi atau pelajaran umum lainnya. Salah satu dari guru
mengatakan bahwa mengajari anak untuk dapat mengantre dengan
baik lebih sulit dibandingkan mengajari anak untuk pandai dalam
pelajaran matematika maupun geografi ataupun lainnya, untuk
53
mengajari anak belajar mengantre bisa memerlukan waktu sampai
lima belas tahun lebih, akan tetapi anak dapat pandai dalam
matematika ataupun geografi cuma dengan belajar beberapa bulan
saja, menurut penulis pendidikan akhlak harus berada diurutan nomor
satu sebelum ilmu yang lain karena pendidikan akhlak itu sangat
penting bagi berkelanjutnya hidup seorang pendidik maupun peserta
didik untuk hidup dilingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi
sebuah akhlak.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa adab atau akhlak lebih
utama daripada ilmu karena akhlak dapat menuntun manusia ke arah
yang lebih baik namun ilmu belum tentu bisa membawa perubahan
yang baik bagi diri manusia.
Dalam wawancara dengan A. Bachruddin tentang kosep
pendidikan Islam M. Natsir tidak jauh beda dengan yang sudah di
jelaskan oleh para pakar tentang M. Natsir diantara hasil wawancara:
1. M. Natsir tidak setuju dengan pemikiran barat yang hanya
bertumpu pada olah pikir (kecerdasan otak), karena M. Natsir
ingin menyatukan antara pendidikan moral dan kecerdasan
menjadi satu sehingga seseorang disamping otaknya cerdas tetapi
juga mempunyai moralitas yang tinggi, maka ia mendirikan
pesantren persis di jawa barat yang mempunyai kurikulum yang di
buat oleh M. Natsir yang mana diharapkan para santri selain punya
ilmu yang memadai juga punya moralitas yang tinggi.
54
2. Pendidikan keterampilan, sehingga setelah menyelesaikan
mempunyai keterampilan yang hebat sehingga tidak
mengandalkan pemerintah semata sehingga punya bekal untuk
kehidupan di masa depan.
3. Pendidikan akidah yang kuat, yang bisa di lihat dalam koreksi M.
Natsir dalam masa pemerintahan orde baru berkaitan tentang
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di mana konsep Pendidikan
Moral Pancasila yang di istilahkan pemerintah itu cenderung
dinilai oleh M. Natsir terjadi pendangkalan akidah karena
menyamakan semua agama, yang tercantum dalam buku M. Natsir
dakwah dan pemikiran yang salah satunya berbunyi “sebagai
makhluk beragama “wajib” berdoa semoga yang meninggal
diampuni dan diterima Tuhan yang Maha Esa” setelah dikoreksi
oleh M. Natsir, kata “wajib” menjadi “sebaiknya”.
55
BAB IV
PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
A. Analisis Konsep M. Natsir
1. Konsep Pendidikan M. Natsir
Konsep pendidikan yang diusung oleh M. Natsir yang terkenal
adalah konsep pendidikan yang Integral, Harmonis dan Universal.
a. Integral
Pendidikan yang integral adalah pendidikan yang memadukan
intelektual, moral dan spiritual. Bisa juga pendidikan integral
adalah sebuah pendidikan yang mencakup diri manusia antara
jasmani dan rohani. Memiliki ilmu adalah syarat untuk menjadi
hamba Allah dalam perjalanannya sebagai khalifah di bumi.
Pengetahuan dan teknologi merupakan alat, baik yang berkaitan
dengan perintah Allah secara langsung maupun hubungannya
dengan interaksi sosial dengan makhluk Allah yang lain.
Pendidikan integral dapat dicontohkan dalam sistem madrasah
dimana madrasah merupakan sistem yang selain mendidik para
peserta didik untuk menjadi orang yang kuat Ismlamnya, juga
mendidik agar mereka memiliki pengetahuan keduniawian sebagai
bekal untuk memperolah profesi dalam sistem kehidupan modern,
tentu hal ini sangat bermanfaat dan masih relevan dengan kondisi
masyarakat Indonesia saat ini.
56
b. Harmonis
Pendidikan yang harmonis adalah menyelaraskan seluruh
potensi peserta didik. Sebagaiman dikatakan oleh M. Natsir bahwa
pendidikan adalah pimpinan jasmani dan rohani yang menuju
kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan yang
sesungguhnya. Pendidikan bukanlah sekedar transfer ilmu
pengetahuan melainkan sebuah upaya menuju kematangan otak
atau persediaan rohani yang cukup untuk berfikir dalam ilmu
pengetahuan.
M. Natsir menjelaskan bahwa Islam menyuruh agar manusia
menggunakan akal untuk menyelidiki kebenaran dari Al-Qur‟an
dan melarang untuk berbuat taklid buta.
c. Universal
Dalam tulisannya, M. Natsir mengatakan bahwa “kemunduran
dan kemajuan itu tidak bergantung kepada ketimuran atau
kebaratan, tidak bergantung pula pada putih, kuning atau hitamnya
warna kulit, namun bergantung kepada ada atau tidaknya SDM
yang memadai dan layak untuk menduduki tempat yang mulia di
dunia ini tanpa harus menjatuhkan yang lainnya”.
Dari pandangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa
pendidikan Islam tidak perlu memperbesar pertentangan barat
dengan timur, karena Islam hanya mengenal antara hak dan batil.
Semua yang hak akan ia terima, meskipun datangnya dari barat,
57
dan semua yang batil akan ia singkirkan walaupun datangnya dari
timur sekalipun.
2. Dasar pendidikan Islam
Ramayulis menyatakan bahwa : “adanya dasar yang kokoh
terutama Al-Qur‟an dan Sunnah, karena keabahan dasar ini sebagai
pedoman hidup dan kehidupan menjadi jaminan Allah dan Rasul-Nya”
(Ramayulis, 2005: 15).
Dasar pendidikan di atas selaras dengan dasar pendidikan
menurut M. Natsir dalam tulisannya yang berjudul “Tauhid sebagai
dasar didikan”, karena ideologi pendidikan Islam harus bertitik pada
Tauhid, yang bersimpul dalam kalimat syahadat. Pentingnya Tauhid
berhubungan erat dengan akhlak yang mulia dan dapat dilihat dari
pribadi yang memiliki keikhlasan, kejujuran, keberanian, dan tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajiban yang diyakini kebenarannya.
Dari uraian di atas, penulis dapat meyimpulkan bahwa poin
terpenting dari pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan
Tauhid dan menjadikan manusia yang menghambakan diri kepada
Allah agar dapat menjadi manusia yang mulia di dunia maupun di
akhirat.
3. Peran dan fungsi pendidikan Islam menurut M. Natsir
a. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan
membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan
58
tersebut dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani secara sempurna.
b. Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki
sifat-sifat kemanusiaan dan mencapai akhlaq al-karimah yang
sempurna.
c. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan
manusia yang jujur dan benar (bukan pribadi yang berpura-pura).
d. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai
tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah SWT.
e. Pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala
perilaku atau interaksi vertikal maupun horisontal selalu menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
f. Pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaan
dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-
sifat kemanusiaan (A. Nata, 2005:81).
4. Tujuan pendidikan Islam Menurut M. Natsir
Menurut Natsir, tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah
untuk membentuk insan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan
mandiri sehingga memiliki ketahanan rohani yang kuat serta mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarkat modern ini.
Apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada
Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang
mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Dalam
59
menetapkan tujuan pendidikan Islam hendaknya mempertimbangkan
posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan bisa amanah
sebagai khalifah di muka bumi ini.
Sebgaimana mengacu pada surat Adz-Dzariyat ayat 56:
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Adz-Dzariyat : 56)
Sampai pada rumusan M. Natsir tentang tujuan pendidikan
Islam yang hakikatnya sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu
menghambakan diri kepada Allah. Tujuan pendidikan menurut M.
Natsir ini wajib untuk diberikan kepada peserta didik yang sedang
dalam proses pendidikan entah dari dasar maupun lanjut karena
menurutnya dengan tujuan tersebut peserta didik dapat kehidupan
yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat.
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah memperhambakan diri kepada Allah semata, yang
mana bisa memberi kebahagiaan dan rasa aman untuk umatnya.
Pemikiran M. Natsir tentang pendidikan Islam berdasarkan,
kepada: Pertama, landasan normatif yaitu pemikiran yang berlandaskan
kepada ajaran Islam yang dapat membedakan antara yang hak dan batil,
menegakkan yang hak dan mencagah yang batil. Kedua, landasan historis
yaitu pemikiran yang diterapkan merupakan pengalaman yang didapat
60
semasa hidup M. Natsir dalam menuntut ilmu, pendidikan yang tidak
membedakan status ekonomi dalam menuntut ilmu. Ketiga, landasan
filosofis yaitu kebenaran yang hakiki adalah kebenaran Tuhan, yang
terdapat dalam AlQur‟an dan Sunnah, namun setiap muslim wajib
berij‟tihad untuk mencari suatu kebenaran jika dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah tidak ditemukan suatu dasar hukum dan setiap muslim tidak boleh
bertaklid buta.
Dari rumusan-rumusan tersebut ada beberapa hal yang perlu di
garis bawahi M. Natsir menyebutkan bahwa:
a. Pendidikan sebagai satu bimbingan agar manusia yang dididik itu
dapat bertumbuh dan berkembang jasmani dan rohani.
b. Pendidikan itu diarahkan agar anak yang dididik dapat memiliki
kesempurnaan sifat-sifat kemanusiaan dalam arti kesempurnaan
akhlak karimahnya.
c. Pendidikan harus didasari oleh Tauhid supaya peserta didik
mempunyai jiwa rohani yang kokoh.
d. Pendidikan tidak boleh membentuk manusia yang dalam
kehidupannya terkesan suka berpura-pura dalam perilakunya untuk
hipokrit (berpura-pura).
e. Tujuan pendidikan itu sama dengan tujuan hidup, berarti para
pendidik harus dapat membentuk peserta didik menjadi manusia-
manusia yang mengabdi kepada Tuhan dan mencari keridhoan-Nya.
61
f. Alumnus pendidikan harus dapat menjadi manusia yang dalam segala
perilaku dan interaksi vertikal maupun horizontalnya selalu menjadi
rahmat bagi sesama manusia.
g. Segala informasi dalam pendidikan yang bertujuan menyesatkan
peserta didik, apalagi menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan mereka
harus dijauhkan (T. Luth, 1999: 95-96).
Tak dapat dipungkiri bahwasanya pemikiran M. Natsir tentang
pendidikan Islam di atas sudah sangat gamblang dan bisa diterapkan dalam
sistem pendidikan di negara kita ini. Apalagi M. Natsir menitikberatkan
kepada pendidikan Tauhid yang mana Tauhid itu menjadi dasar untuk para
peserta didik melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat lanjut sebagai
seorang yang kokoh ke-Tauhidannya agar negara Indonesia ini mampu
mencetak generasi yang mumpuni dan ketersedian SDM tercukupi dan
mampu bersaing dengan negara-negara yang lain dalam hal ilmu umum
dan ilmu agama serta bersaing dalam bidang teknologi.
B. Relevansi Pendidikan Islam M. Natsir dengan Pendidikan Islam di
Indonesia
Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 bab I tentang ketentuan
umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
62
Merupakan hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan
pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa
beragama. Pendidikan menurut undang-undang tersebut juga sejalan
dengan pemikiran yang dikemukakan oleh M. Natsir tentang pendidikan
yang integral. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1990: 28).
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini sudah memadukan antara
pendidikan agama dan pendidikan umum, meskipun tidak semua lembaga
pendidikan memadukan antara keduanya. Pelajaran agama sekarang sudah
diajarkan di sekolah-sekolah negeri, dimana sistem pendidikan seperti ini
belum diterapkan pada zaman kolonial Belanda, karena pada zaman
dahulu pendidikan dalam sekolah belum merupakan suatu bentuk
pendidikan umum, melainkan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
pegawai gubernur. Dan hal ini juga selaras dengan pemikiran M. Natsir
yang ingi mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum.
Demikian juga dengan sekolah Islam dan pesantren yang sekarang
sudah menambahkan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Hal ini
berbeda dengan zaman kolonial Belanda. Pada saat itu sekolah Islam dan
pesantren mengambil jalan sendiri dan punya sistem pendidikan sendiri
untuk diajarkan kepada peserta didik atau santri pada saat itu.
(http://masnoer80.blogspot.com/2013/01/posisi-pendidikan-agama-dalam-
sistem.html, diakses tanggal 17 Juli 2019).
63
Sebagai contoh kongkrit relevansi pendidikan M. Natsir meliputi
beberapa bagian yang yaitu:
1. Pendidikan dengan dasar agama.
Adapun konsep pendidikan menurut M. Natsir yang relevan dengan
dasar agama adalah pendidikan yang mengacu kepada Al-Qur‟an dan
Sunnah yang mana di aktualisasikan kepada konsep yang integral,
universal, dan harmonis seperti: SD Islam, SMP Islam dan SMA Islam
serta sekolah Islam terpadu yang setara jenjangnya. Jadi peserta didik
tidak hanya diajarkan tentang pengetauan umum saja tetapi juga
dibarengi dengan pengetahuan agama, sehingga peserta didik
diharapkan cerdas secara intelektual dan spiritualnya.
2. Pendidikan dengan dasar sosial.
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mempersiapkan peserta
didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat yang berarti memberi
bekal, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup bekerja dan mencapai
perkembengan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan
baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat,
dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi
landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Oleh karena itu tujuan
maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan,
64
kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di
masyarakat.
Salah satu aspek yang terpenting dalam sistem sosial adalah tatanan
nilai-nilai yang mengatur cara kehidupan dan berperilaku warga
masyarakat. Pendidikan yang harmonislah yang sangat berpengaruh
dan menciptakan peserta didik yang berkarakter mulia sehingga
terhindar dari perbuatan tercela dirinya terhadap masyarakat dan dapat
melanjutkan kehidupan bermsayarakat yang harmonis dan universal.
Contoh lain konsep M. Natsir yang berkaitan dengan harmonis dan
universal yaitu konsep yang telah dilaksanakan oleh pesantren-
pesantren modern yang biasa kita ketahui kalau berada di lingkungan
pesantren modern kita bisa melihat keharmonisan yang ada dan juga
keseluruhannya dari berbagai keragaman. yang mana pesantren itu
sudah mengintegrasikan antara pendidikan agama dengan pendidikan
umum, di antaranya: Pondok pesantren Darusslam Gontor, Pondok
pesantren Darul Muhajirin Yogyakarta, Pondok pesantren Al-Manar
Tengaran, dan masih banyak pondok lainnya.
Dan juga peran universitas-universitas yang ada di Indonesia ini
yang kita ketahui kalau pendidikan di universitas itu merupakan
pendidikan yang universal karena di dalam suatu universitas tidak
membeda-bedakan antara mana orang yang golongan kulit putih,
hitam, ataupun coklat karena di semua universitas sudah menerima
65
dengan baik orang-orang yang seperti itu tanpa membedakan ras,
golongan, ataupun warna kulit mereka.
Karena sejatinya di universitas itulah kita bisa mengenal saudara-
saudara kita yang berbeda ras, golongan dan warna kulit itu yang dulu
tempat tinggalnya jauh dengan kita dapat berjumpa dalam satu
universitas yang bertujuan baik untuk saling menghormati dan saling
mempelajari budaya satu sama lain antar golongan.
Dapat dilihat bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
integral, dan harmonis biasanya jauh lebih maju dan modern. Hal ini
tidak lain karena pendidikan intelektual dan spiritual dalam satu
sistem yang integral dan terpadu, dimana terdapat ketiga asas
pendidikan yaitu: kognitif, psikomotorik dan afektif yang berintegrasi
dan menyatu.
Maka dari itu pendidikan menjadi sangat penting bagi para
generasi penerus bangsa dan harus mulai diperkenalkan sejak dini. Peran
orangtua sangat penting untuk mengenalkan pendidikan pertama kali
kepada buah hatinya karena hanya dengan pendidikanlah seseorang dapat
membawa dampak yang positif bagi kemajuan serta perkembangan bangsa
kita tercinta ini namun pendidikan yang dapat menciptakan generasi
seperti yang diharapkan haruslah didasari oleh hal-hal yang telah
disebutkan konsep M. Natsir di atas.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil rumusan masalah yang telah disebutkan, penulis mendapat
beberapa point kesimpulan yaitu:
1. Konsep M. Natsir tentang pendidikan Islam yang integral, harmonis
dam universal adalah hasil ijtihad dan renungan yang digali M. Natsir
dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Pendidikan integralistik yang
dikemukakan oleh M. Natsir adalah dimana pendidikan yang
diinginkan oleh M. Natsir yang tidak mengkotakan antara pendidikan
agama dengan pendidikan umum yang artinya pendidikan itu harus
memadukan pendidikan agama dan pendidian umum dan bisa
menselaraskan para peserta didik serta harus bersifat menyeluruh tidak
membedakan antar golongan ras maupun warna kulit para peserta
didik maupun para pengajar. Konsep yang di pegang oleh M. Natsir
adalah, bahwa kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam
tidaklah diukur dengan penguasaan atau kepentingan yang sifatnya
duniawi saja, akan tetapi juga dengan melihat sampai dimana
kehidupan duniawi yang memberi bekal untuk kehidupan di akhirat
kelak.
2. Pemikiran M. Natsir tentang pendidikan Isam berlandaskan kepada:
Tahuid sebagaia dasar pendidikan Islam dan juga akhlak karena
keduanya itu berkesinambungan, Tauhid yang ditekankan diharapkan
67
mampu memupuk dan mempertebal keimanan manusia dan akhlak
dapat terlihat dari manifestasi pada kepribadian seseorang seperti
keikhlasan, kejujuran, tanggung jawab dan menghambakan diri
kepada Allah. Dan ada lagi landasan yang dipakai oleh M. Natsir
yaitu: Pertama, landasan normatif yaitu pemikiran yang berlandaskan
kepada ajaran Islam yang dapat membedakan antara yang hak dan
batil, menegakkan yang hak dan mencagah yang batil. Kedua,
landasan historis yaitu pemikiran yang diterapkan merupakan
pengalaman yang didapat semasa hidup M. Natsir dalam menuntut
ilmu, pendidikan yang tidak membedakan status ekonomi dalam
menuntut ilmu. Ketiga, landasan filosofis yaitu kebenaran yang hakiki
adalah kebenaran Tuhan, yang terdapat dalam AlQur‟an dan Sunnah,
namun setiap muslim wajib berij‟tihad untuk mencari suatu kebenaran
jika dalam Al-Qur‟an dan Sunnah tidak ditemukan suatu dasar hukum
dan setiap muslim tidak boleh bertaklid buta.
3. Relevansi pemikiran M. Natsir dalam pendidikan di Indonesia saat ini
dapat dilihat dari sekolah-sekolah negeri dan sekolah Islam atau
pesantren-pesantren saat ini. Di mana pelajaran agama sekarang sudah
diajarkan di sekolah-sekolah negeri, begitu juga dengan pelajaran
umum yang sudah diajarkan di sekolah Islam dan pesantren. Jadi para
peserta didik tidak hanya diajarkan tentang pengetahuan umum saja
namun juga sudah dibarengi dengan pengetahuan agama, sehingga
peserta didik diharapkan cerdas secara intelektual dan spiritualnya.
68
B. Saran-saran
Dari kesimpulan diatas, perlu kiranya penulis memberikan saran
kepada:
1. Bagi Pembaca
Denga membaca karya ilmiah ini diharapkan para pembaca
mengetahui dan memiliki gambaran yang cukup jelas tentang siapa itu
M. Natsir dan corak pemikirannya tentang pendidikan Islam.
2. Bagi Penulis
Dapat melatih kemampuan meneliti, menaganalisis tentang pemikiran
tokoh-tokoh Indonesia lainnya, penulisan skripsi ini dapat digunakan
sebagai tolok ukur bagi peneliti untuk mengetahui seberapa besar
pengetahuan dan kemampuan si penulis dalam menganalisis, serta
menyajikannya dalam suatu karya ilmiah.
3. Bagi Peneliti Lain
Skripsi ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk para peneliti lain yang
ingin meneliti tentang M. Natsir lebih lanjut khususnya dalam bidang
pemikiran penididikan Islam menurut M. Natsir.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Puar, Yusuf. 1978. Mohammad Natsir 70 tahun, Jakarta: Pustaka
Antara.
Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Semarang: Erlangga
Anshari S, Endang. dkk. 1988. Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian
Generasi Muda, Jakarta: Media Da‟wah.
Asy‟ari, Hasyim. 2018. Pendidikan Akhlak Untuk Pelajar dan Pengajar,
Terjemah kitab Adabul Alim wal Muta‟alim, Tebuireng: Pustaka
Tebuireng.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan
Tantangan,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998. “Konsep”.
Djaini, Abidullah. 1996. Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Dradjat, Zakiah. 2012. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Hakim, Lukman. 1993. Pemimpin Pulang: rekaman peristiwa wafatnya M. Natsir.
Jakarta: DDII.
Harjono, Anwar 1968. Hukum Islam, Keluasan, dan Keadilannya. Jakarta: Bulan
Bintang.
Luth, Thohir. 1999. M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani
Press.
Mansur. 2004, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Penelitian. Bandung: Rake Sarasin
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Natsir, Muhammad. 1954. Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang.
Natsir, Muhammad. 1947. Islam dan Aqal Merdeka, Jakarta: Media Da‟wah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2005. Undang-undang no 20 Tahun
2003 “tentang sistem pendidikan nasional”.
Rahman, Musthofa 2001. Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur‟an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
70
Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agma Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Rokib, M. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS.
Rosyidi, Ajip. 1990. M Natsir, sebuah Biografi, Jakarta: Girimukti Pasaka, cet I.
Roziqin, Badiatul. dkk. 2009. 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta: e-Nusantara.
Yunus Mahmud. 1995, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
http://masnoer80.blogspot.com/2013/01/posisi-pendidikan-agama-dalam-
sistem.html, diakses tanggal 17 Juli 2019 pukul 16.22 WIB.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Syifa Fitri Choirulloh
Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Grobogan, 31 Januari 1998
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Pelajar
TB, BB : 170 cm, 75 kg
Agama : Islam
Alamat : RT 03/ RW 07 Ngombak, Kec KedungJati, Kab Grobogan
Kode pos : 58167
No HP : +6282241373033
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
A. FORMAL
1. SD Negeri 2 Ngombak 2003 - 2009
2. Mts Al-Falah 2010 - 2012
3. MAN Salatiga 2013 - 2015
4. IAIN Salatiga
B. NON FORMAL
1. Kursus Stir Mobil UNISTAMA Salatiga
RIWAYAT ORGANISASI
1. Pengurus Ponpes Al-Hasan Devisi Keamanan
2. Pengurus UKM SMC IAIN Salatiga Devisi Cantora
3. Pengurus BOV Devisi Humas