KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal...

103
KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh: Ryan Alfian NIM: 1110034000080 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2014 M.

Transcript of KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal...

Page 1: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA

DALAM KITAB AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ryan Alfian

NIM: 1110034000080

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H./2014 M.

Page 2: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

1.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2014

2.

J.

Ciputat,28 Oktober

Ryan Alfian

Page 3: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

KONSEF KEPE &{ I &4 p} hrAru &,g $i ru Lr g{ [ 1'g. sA'6 F] ggA q&, 1&/ADA{-A&{ K{?'ABrg-,4s.{s yf ag_-gars,gg* g}Aru ae__Esg_Aw

SkripsiDiaj ukan kepada Fakultas Ushrrludclin

untuk Memenul:i lrersyaratan Meirper*lchGelar Sarjana Theoi*gi lslarn {S.,Iii. l}

Cieh:

Rya_n AlfiegNIM: 11 l0ci34000Sii

PROGRAN{ STUDI TAFSIR }IADiSFAKULTA S {ISH UL [iDDIhi_

trNlvERSrrAS rsLAM NE GER| syARrF H{B,4,YAT[J n-LA,]{JAKARTA

1436H.nar4 M"

Perirbiinbing,

Page 4: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

FEIiIGESAHAF{ PANTTFA U.3SAN

skripsi berjudul KoNsEF KHPEVI{&.{F$HAN e,FENuHe{i t- srt,?6}gAl}lryA DALAM KrrAB At--as.as ri ax-:ragEyg flpAro.*'&_rsn"6.,r.f relahdiu.jikan dalain sidang mrinaclasl,ah Fakultas Usliujuddin Uil.i S;,;11jj, F{ida-yaiiiilair

'iakarta pada tanggal28 oktobei"20l4. sliripsi ini telah diterjrna sebagar salah sa.tra

syara't memperoleh gelar sa{ana Thc*l+gr Islaie {s rh.i) pa.4a Fr+gran: *{tr:<_!i

Tafsir-Hadis.

.jakarta, 28 Oktaber 20i4

Sidang ll{unaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Anggota,

Penguji I

HtAhmad Rifqi Muchtar. MA

NIP: 196908221997W t A{Jz

T'(L

iii

l/b-td

*Jauhar Aziz_v" ir,,,tA

NIP: 1982082i 20090 j i 0l:

I {i03

Pengu.li 11

,Erra tli,ei;d. MA1971{}6A7 199803

NIP: 19620624 200003 1 001

Page 5: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

iv

ABSTRAK

Ryan Alfian

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB

AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM

Setelah Rasulullah Saw. wafat, banyak permasalahan yang muncul,

baik permasalahan dalam bidang agama, sosial, politik, budaya, dan lail-lain.

Salah satu permasalahan yang muncul adalah tentang kepemimpinan. Pasca

wafatnya Rasulullah, tidak dijelaskan apakah Islam memerintahkan untuk

mendirikan negara Islam atau tidak, serta tidak spesifiknya Islam di dalam

mengatur urusan politik dan pemerintahan. Skripsi ini mempunyai tujuan

membahas tentang kepemimpinan menurut Saʻîd Hawwa. Metode awal yang

penulis lakukan adalah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan

dengan kepemimpinan, dengan merujuk kepada “Tafsir Al-Qur’an Tematik

Kementrian Agama RI”. Setelah itu penulis mencoba untuk memasukan

penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tersebut dengan merujuk kepada

kitabnya al-Asâs fî al-Tafsîr. Untuk memperluas pandangan Saʻîd Hawwa tentang

kepemimpinan, penulis juga merujuk kepada salah satu karyanya yakni kitab al-

Islâm. Data yang didapat dideskripsikan, setelah itu menganalisanya secara

proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang

berhubungan dengan pokok pembahasan.

Sa’îd Hawwa di dalam menjelaskan kepemimpinan, dimulai dengan

membahas tema khilâfah. Pada pembahasan selanjutnya, adalah hal-hal yang

berkaitan dengan kepemimpinan dan pemimpin. Seperti, bagaimana cara

mengangkat seorang pemimpin, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin, bagaimana seorang pemimpin bisa diturunkan dari jabatannya, serta

apa saja yang menjadi kewajiban dan hak dari seorang pemimpin.

Setelah mendeskripsikan serta menganalisa data yang terdapat dalam

kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm, penulis mendapatkan beberapa poin

penting dari kedua kitab tersebut, bahwa seorang pemimpin harus beragama

Islam, tidak bisa seorang non-Muslim dijadikan seorang pemimpin. Selanjutnya,

sekalipun banyak tugas yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, tetapi jika

dikelompokkan ada dua tugas utama dari seorang pemimpin, pertama adalah

menegakkan agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-tugas kenegaraan

dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Kemudian hal yang

paling sering dibicarakan adalah, bahwa seorang pemimpin harus selalu

menegakkan keadilan dalam menetapkan hukum dan aturan, serta harus selalu

bermusyawarah di dalam mengambil sebuah keputusan.

Page 6: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai rasa syukur yang tak terhingga

kepada Tuhan seluruh alam, Allâh Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB

AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM.

Salawat teriring salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan

kita nabi Muhammad Saw. yang kehadirannya di dunia ini menjadi pelita bagi

umat serta ajarannya yang senantiasa membimbing kita menuju kepada

kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita semua umatnya akan mendapat

pertolongan dari beliau pada hari pembalasan nanti. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini, banyak pihak yang turut

membantu dan memberi andil, baik telah membarikan ilmunya maupun telah

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis, terutama kepada dosen

pembimbing, sehingga tulisan ini dapat penulis selesaikan. Maka dari itu penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak,

diantaranya adalah:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. Selaku rektor Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu berupaya untuk

menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para mahasiswa di Fakultas

Ushuluddin.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Tafsir-Hadis

Fakultas Ushuluddin. Bapak Jauhar Azizy, MA selaku Sekretaris Jurusan

Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin, yang telah banyak memberikan

waktunya bagi penulis untuk berkonsultasi tentang skripsi yang penulis

angkat.

4. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. Selaku dosen pembimbing penulis

yang sudah memberikan banyak ilmu, arahan dan masukan sehingga

Page 7: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

vi

skripsi ini dapat selesai. Penulis memohon maaf jika selama masa

bimbingan terdapat kesalahan, baik yang disengaja maupun tak disengaja.

Semoga ilmu yang bapak berikan akan menjadi ilmu yang bermanfaat

untuk penulis.

5. Bapak Eva Nugraha, MA dan Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku

dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan, serta

kritikan yang membangun sangat penulis rasakan untuk mengahasilkan

skripsi yang lebih berkualitas.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Tafsir Hadis yang telah

memberikan ilmunya untuk penulis, semoga dengan ilmu yang diberikan

ini dapat membimbing penulis pada jalan kebaikan. Penulis berharap

semoga semua ilmu yang diberikan oleh seluruh dosen bernilai kebaikan

di sisi Allâh Swt.

7. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, tempat-tempat yang selalu

memberi kenyamanan, inspirasi dan menjadi saksi, serta banyak

membantu dalam menyediakan referensi-referensi disaat penulis

menyusun skripsi ini.

8. Kedua orangtua tua tercinta, yang jasanya tak akan pernah terbalas

sepanjang masa, ibunda Tihani dan ayahanda Supriyanto Kustanto.

Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keduanya.

Terimakasih atas segala do’a, nasihat, semangat dan semuanya yang telah

diberikan penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya

hingga saat ini. Tuhan, izinkan aku untuk meraih kesuksesan hidup

sehingga aku dapat mengukir senyum di wajah keduanya. Semoga ayah

dan umi selalu berada dalam lindungan Allâh Swt.

9. Kepada segenap keluarga, kerabat, kakanda Nurhaidah, “encang-encing”

serta semuanya yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu,

terimakasih atas segala dukungan doa dan semangatnya selama penulis

menyusun skripsi ini.

Page 8: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

vii

10. KH. Bahruddin, MA. Pimpinan pondok pesantren Dar El-Hikam, Pondok

Ranji, yang telah banyak membantu penulis di dalam menterjemahkan

kitab-kitab al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan

beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt.

11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep. yang selalu menyemangati penulis dikala

suka maupun duka, yang senantiasa sabar dan ikhlas serta banyak

meluangkan waktunya untuk menemani penulis di dalam menyusun

skripsi ini, serta untuk semua kebaikan yang telah diberikan, semoga

skripsi ini menjadi hadiah istimewa untukmu. Terimakasih yang tulus

penulis ucapkan kepadamu yang selalu ada untukku. Semoga apa yang

menjadi harapan kita dikabulkan oleh Allâh Swt.

12. Kepada semua teman-teman jurusan Tafsir-Hadis 2010, khususnya kepada

teman-teman TH-C 2010, penulis ucapkan terimakasih kepada semuanya.

Semoga hari-hari yang pernah kita lewati bersama, akan menjadikan kita

semua menjadi satu keluarga yang tak akan saling melupakan. Semoga

kita semua menjadi individu yang berguna untuk agama dan masyarakat.

13. Teruntuk teman-teman terbaik yang selalu bersama-sama dan selalu ada

untuk penulis, baik dari semenjak penulis masuk bangku perkuliahan

hingga menyusun skripsi ini, yakni kepada sahabat Alamuddin Syah,

Ahmad Ubaidillah, Aceng Aum Umar Fahmi, M. Lailu Ramadhona, M.

Afwan Al-Muta’ali, Abdus Salam, Abdur Rijal, Januri, Cep Supriadi,

Ilmawan Hikmansyah, Adi Sunarya, Aceng Muchtar Rosyadi,

Shalahuddin Al-Faruqi, Ahmad Ghazali, geng “Kuya Rangers” dan

semuanya, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga

persahabatan yang telah kita rajut, akan terus berlanjut untuk selamanya.

14. Kepada semua teman-teman yang tergabung dalam FORMABI (Forum

Mahasiswa Bidik Misi) 2010, penulis ucapakan terimakasih atas

persahabatan dan persaudaraan yang telah terbina selama berada di bangku

perkuliahan.

15. Kepada seluruh sahabat Alfalah 36. Terimakasih atas segala doa dan

motivasinya. Semoga kita semua menjadi manusia yang bermanfaat.

Aamiin.

Page 9: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

viii

16. Kepada para sahabat yang tergabung dalam GEMMA (Generasi Muda

Musholla Al-Amin), penulis ucapkan terimakasih atas segala doa dan

semangat yang diberikan selama penulis menyusun skripsi ini.

17. Kepada semua kyai, ustadz, guru, kerabat, saudara, sahabat dan semua

pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis di dalam menyusun

skripsi ini, dan mohon maaf tidak bisa penulis sebutkan namanya satu

persatu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. Semoga

semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, bernilai kebaikan di

sisi Allâh Swt.

Tangerang Selatan, Oktober 2014

Ryan Alfian

Page 10: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

ḏ de dengan garis di bawah ض

ṯ te dengan garis di bawah ط

ẕ zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ، ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

Page 11: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

x

w we و

h ha ھ

ʼ apostrof ء

y ye ي

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

------ a fathah

------ i kasrah

------ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ي ------ ai a dan i

و ------ au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ا-- â a dengan topi di atas

ي-- î i dengan topi di atas

و-- û u dengan topi di atas

Page 12: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

xi

Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-

huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-

darûrah, demikian seterusnya.

Page 13: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN …...............……………….............…......…........ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............…….……..….......... ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii

ABSTRAK .......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... ix

DAFTAR ISI ………………….......………...............………………................. xii

BAB I: PENDAHULUAN …………...………………...................................… 1

A. Latar Belakang Masalah …………………..…………...................… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..……….………….... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 10

D. Studi Pustaka …….......………………………..………....................11

E. Metodologi Penelitian...………................……...…….…………..... 13

F. Sistematika Penulisan …..…………………………....………....…. 15

BAB II: PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA …………................ 16

A. Saʻîd Hawwa........ …………………………….............………….... 16

1. Biografi Saʻîd Hawwa ...................................................................16

2. Karya-karya Saʻîd Hawwa ........................................................... 21

B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr …..............................…………………. 25

1. Metode dan Corak Penafsiran ...................................................... 25

2. Sistematika Penulisan ................................................................... 29

3. Referensi Penulisan ...................................................................... 31

4. Kelebihan dan Kekurangan .......................................................... 33

Page 14: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

xiii

BAB III: KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA ..................... 36

A. Khilafah …………………............................................................... 36

B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi) ........................... 41

1. Pengertian Khilafah .................................................................... 41

2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib .................... 44

3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin .................. 45

C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin ................... 50

1. Islam ........................................................................................... 50

2. Laki-laki ...................................................................................... 53

3. Akil Balig .................................................................................... 54

4. Pandai ......................................................................................... 56

5. Adil ............................................................................................. 57

6. Mempunyai Kemampuan ............................................................ 60

7. Sehat Jasmani .............................................................................. 61

8. Keturunan Quraisy ...................................................................... 62

D. Pengangkatan Seorang Pemimpin ................................................... 64

1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan

Agama ............................................................................................... 64

2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin ................................................ 65

3. Pencopotan Seorang Pemimpin .................................................. 67

4. Cacatnya Keadilan ...................................................................... 67

5. Kecacatan Pada Tubuh ............................................................... 69

E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin.................................... 71

1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin ................................... 72

2. Hak-hak Seorang Pemimpin ........................................................ 77

BAB IV: PENUTUP ……….………………..................…................................ 83

A. Kesimpulan …….………………………………………………...... 83

B. Saran .............….………...................……….................................... 83

DAFTAR PUSTAKA

Page 15: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an bagi umat Islam adalah sebagai konstitusi (hukum dasar) untuk

kehidupan di dunia dan akhirat, memuat prinsip-prinsip umum dan membiarkan

rinciannya diterangkan oleh sunnah dan ijtihad para mujtahid sepanjang masa.

Misalnya al-Qur‟an hanya menyebutkan teks atau lafalnya saja, namun dari

redaksi dan lafal inilah para mujtahid atau mufasir dapat mengimplementasikan

secara rinci makna lafal tersebut menjadi suatu konsep utuh yang dijadikan

pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti khalîfah (wakil, pengganti,

pemimpin), syûrâ (permusyawaratan, demokrasi), al-„adl (keadilan), al-mulk

(kedaulatan, kerajaan).1

Dalam firman Allâh Swt. dikatakan bahwa al-Qur‟an itu sudah bersifat

final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah Saw. adalah

pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Allâh

Swt. berfirman dalam surah al-An‟âm/6: 115 sebagai berikut:

“Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu (al-Qur‟an) sebagai kalimat

yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan Dia

Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”2

1 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta:

Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 180. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h.

142.

Page 16: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

2

Hamka mengatakan tentang ayat di atas bahwa kebenaran wahyu Ilahi itu

tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran asli dari Dia dan keadilanpun dari Dia.

Tidak ada hakim lain dan hukum lain yang dapat melebihi itu. Undang-undang

kebenaran dan keadilan yang diwahyukan Allâh adalah untuk kepentingan umat

manusia, bukan untuk mempertahankan kekuasaan Allâh.3

Al-Qur‟an membicarakan segala aspek kehidupan tentang manusia.

Bagaimana cara manusia harus berhubungan dengan Allâh (hablun mina Allâh),

serta bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain (hablun mina al-

Nâs).

Salah satu yang menjadi ajaran serta pembicaraan di dalam al-Qur‟an

adalah tentang kepemimpinan. Di dalam al-Qur‟an terdapat cukup banyak

petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, isyarah-isyarah, yang memberikan petunjuk

bahwa masalah kepemimpinan dan pemimpin tersebut, adalah merupakan

keharusan di dalam masyarakat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah bagi

setiap Muslim.4

Allâh Swt. berfirman dalam surah Âli „Imrân/3: 104 sebagai berikut:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5

Di dalam ayat ini terkandung perintah Tuhan, kepada setiap Muslim, agar

selalu menyeru kepada perbuatan baik dan selalu mencegah dan menjauhi

3 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 14.

4 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (Palembang: Al-Mukhtar,

1997), h. 11. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 63.

Page 17: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

3

perbuatan munkar, keji dan jahat. Jadi intinya adalah memerintahkan setiap

Muslim itu untuk memimpin manusia ke arah perbuatan baik, berfaedah, dan

menjauhi kejahatan dan semua perbuatan munkar, buruk, keji, dan tercela.6

Kepemimpinan pada dasarnya adalah rahmat dan karunia Allâh pada

seseorang dan sekaligus merupakan amanat Allâh dan umat kepadanya. Pemimpin

adalah pemegang amanat dan harapan umatnya untuk memimpin, membelanya

dan melindunginya yang semuanya harus dituntaskan dan dipertanggungjawabkan

kepada Allâh dan umatnya.7

Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar

ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mulia yang mengatakan bahwa

pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu

pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin pada suatu

organisasi pada posisi yang terpenting.8

Rasulullah juga membahas tentang kepemimpinan di dalam hadis yang

beliau sabdakan yang berbunyi;

ز رض ع عبد انهو ب دنبر ع عبد انهو ب بعم حدثن يبنك ع حدثنب إس

ب انهو عني

رعتو كهكى يسئل ع سهى قبل أنب كهكى راع و رسل انهو صهى انهو عه أ

انزجم راع عهى أىم رعتو يسئل ع ى فبنإيبو انذي عهى اننبس راع

يسئل ى تو ب ى نده جيب ت س زأة راعت عهى أىم ب ان رعتو ع

6 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 11.

7 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 159.

8 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2006), h. 1.

Page 18: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

4

يسئل عنو أنب فكهكى راع ى عبد انزجم راع عهى يبل سده يسئنت عنيى

رعتو 9كهكى يسئل ع

“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku

Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma,

Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap

kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang

memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang

dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan

dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin

terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai

pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin

terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya,

ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."

Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari

sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi

perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya

dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya

suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak

manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang

yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya

kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.10

Kepemimpinan di bidang apapun berhubungan dengan ketaatan dan

loyalitas. Dalam kepemimpinan rumah tangga, loyalitas pertama adalah kepada

Allâh dalam menjalankan hukum di dalam keluarga. Pria sebagai suami adalah

pemimpin yang harus ditaati oleh seorang istri dan anak-anaknya sebagai anggota

keluarga. Ketaatan kepada suami dan ayah dalam batas-batas yang telah

9 Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh,

2001), h. 42. 10

Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, h. 3.

Page 19: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

5

ditetapkan hukum Allâh, sebagai kepala rumah tangga, merupakan suatu

keharusan. Rumah tangga adalah unit terkecil masyarakat.11

Begitu juga di dalam masyarakat, ada yang disebut dengan pemimpin

formal seperti lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden; dan warga atau rakyat

harus taat kepada pemimmpinnya. Keberhasilan pemimpin sangat ditentukan oleh

kepemimpinan informal di rumah tangga dan keberhasilan kepemimpinan rumah

tangga adalah anak tangga dasar menuju kepemimpinan masyarakat yang berhasil.

Realitas di berbagai negara di seluruh dunia berbicara, kepemimpinan pada

umumnya dimulai dari bawah. Keberhasilan dari bawah inilah yang membuat

masyarakat memilih seseorang untuk kepemimpinan yang lebih tinggi.12

Di dalam al-Qur‟an, minimal terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan

kepemimpinan manusia atas manusia lainnya. Kata tersebut adalah khalîfah,

imâmah dan imârah/amîr. Kata imâmah atau imâm terambil dari kata amma-

ya‟ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Ibu, dinamai dengan

umm, karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amâm karena mata

selalu tertuju kepadanya dan sebab ia berada di depan. Demikian juga seorang

imam dalam salat adalah orang yang posisinya berada di depan makmum dan

gerak-geriknya diteladani oleh para makmum. Dengan demikian, secara umum

dipahami bahwa seorang imam (pemimpin) adalah orang yang diteladani oleh

masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing

masyarakatnya.13

11

Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, h. 182. 12

Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h.

70. 13

M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387.

Page 20: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

6

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, bahwa

setelah kematian Rasulullah Saw. tidak dijelaskan secara pasti apakah Islam

memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan negara Islam. Hal

penting lain ialah kurang spesifiknya ketentuan-ketentuan Islam dalam mengatur

sistem politik dan pemerintahan.14

Melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat,

penulis ingin membahas bagaimana konsep kepemimpinan yang telah diajarkan

Allâh di dalam al-Qur‟an, dengan mengangkat salah seorang tokoh ulama yaitu

Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama al-Asâs fî al-

Tafsîr dan kitab al-Islâm.

Beberapa alasan penulis mengangkat tokoh Saʻîd Hawwa untuk membahas

tema tentang kepemimpinan ialah, Saʻîd Hawwa merupakan tokoh yang terlibat

langsung dalam politik dan banyak menulis buku-buku yang banyak

membicarakan masalah politik dan kepemimpinan dalam karya-karyanya, serta

Saʻîd Hawwa merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam jamaʻâh

Ikhwân al-Muslimîn.15

Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Syaikh Saʻîd bin Muẖammad Dib

Hawwa. Beliau dilahirkan di kota Hamat, Suriah, pada tahun 1935 M. Ibunya

meninggal dunia ketika usianya baru dua tahun, lalu diasuh oleh neneknya. Di

bawah bimbingan bapaknya yang termasuk salah seorang mujahidin pemberani

melawan Prancis, Saʻîd Hawwa muda berinteraksi dengan banyak pemikiran.

14

Mhd. Yunus RKT, Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam

(Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014), h.3. 15

Muhammad Pisol, Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa (Disertasi:

Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000). h. I.

Page 21: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

7

Tetapi akhirnya Saʻîd Hawwa bergabung ke dalam jamâ‟ah Ikhwân al-Muslimîn

pada tahun 1952 M, ketika masih duduk di kelas satu SMA.16

Bergabungnya Saʻîd Hawwa ke dalam jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn

membawanya masuk ke dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang

berkuasa saat itu. Saʻîd Hawwa semasa kuliah pernah mengikuti tiga kali

demonstrasi, pertama ketika Ikhwân al-Muslimîn Suriah menuntut dimasukannya

kepanduan di sekolah tsanawiyah, kedua pembelaan terhadap pembantaian

Ikhwân al-Muslimîn di Mesir, ketiga peringatan duka atas perjanjian Belfour.

Dalam ketiga aksi demonstrasi ini Saʻîd Hawwa menjadi pembicara resmi dari

Ikhwân al-Muslimîn.17

Ikhwân al-Muslimîn, yang kalau disalin secara harfiah ke dalam bahasa

Indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi yang

didirikan di Ismailiyah, sebelah Timur Laut Kairo, pada tahun 1928 oleh seorang

tokoh agama yang karismatis, Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun

pertama sejak didirikan, organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatan-

kegiatan reformasi moral dan sosial.18

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Ikhwân al-Muslimîn terlibat secara

langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiata-kegiatannya menentang

kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina.

16

Saʻîd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. (Jakarta:

Robbani Press, 1995) (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 6. 17

Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemprer, Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham

Cahaya Umat, 1998), h. 406. 18

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

UI-Press, 1993), h. 145.

Page 22: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

8

Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan

berdirinya negara Islam di Mesir.19

Pandangan keagamaan serta politik dari Ikhwân al-Muslimîn yang paling

sentral dan mendasar adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat

lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga

petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk

kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan

dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna

dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur‟an dan Sunah Nabi,

mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau

bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.20

Setelah membahas secara singkat tentang Ikhwân al-Muslimîn, tentu akan

menjadi hal yang menarik jika meneliti lebih jauh tentang sosok Saʻîd Hawwa,

yang di atas telah dikatakan bahwa ia mempunyai latar belakang yang berasal dari

jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn.

Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa ada salah satu kata dalam

al-Qur‟an yang beruhubungan dengan kepemimpinan, yakni kata imâmah/imâm.

Salah satu ayat al-Qur‟an yang di dalamnya terdapat kalimat tersebut adalah surah

al-Baqarah/2: 124:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat

(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman:

19

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 146. 20

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 148.

Page 23: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

9

"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim

berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku

(ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”21

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan

dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng,

yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan

Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut

merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah,

beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan

dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan

yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa

risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah

dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk

menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang

merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji

pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan.

Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang

imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”22

Itulah merupakan sekilas gambaran penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat

yang berkaitan dengan kepemimpinan. Maka selanjutnya, penelitian yang akan

dilakukan adalah ingin mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan yang

ditawarkan oleh Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsir al-Asâs fî al-

21

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14. 22

Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),

h. 346-347.

Page 24: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

10

Tafsîr karyanya, dengan lebih banyak menggali ayat-ayat al-Qur‟an lain yang

berkaitan dengan konsep kepemimpinan.

Setelah melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah

masyarakat, serta setelah kita mengetahui secara sekilas tentang tokoh Saʻîd

Hawwa yang merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang jamâʻah

Ikhwân al-muslimîn, maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah penelitian

dengan judul “Konsep Kepemimpinan Menurut Saʻîd Hawwa Dalam Kitab Al-

Asâs Fî Al-Tafsîr dan Al-Islâm”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penafsiran yang dikaji pada penulisan ini dikhususkan pada ayat-ayat yang

membicarakan tentang kepemimpinan, baik itu kriteria dan syarat-syarat seorang

pemimpin, pengangkatan seorang pemimpin, serta hak dan kewajiban dari seorang

pemimpin. Untuk memudahkan pembahasan ini, diperlukan adanya perumusan

masalah yang menjadi tema pokok pembahasan, perumusan masalah yang ingin

dibahas dalam penulisan ini adalah, Bagaimana penafsiran Saʻîd Hawwa

terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan

al-Islâm?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan pesan tentang

konsep kepemimpinan, dengan menjadikan kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm

karya Saʻîd Hawwa sebagai rujukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk

memenuhi syarat akhir guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program

Page 25: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

11

Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Dengan demikian, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan

akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan tentang bagaimana konsep kepemimpinan di tengah masyarakat

dalam pandangan Saʻîd Hawwa. Sedangkan kegunaan praktis dalam penelitian ini

dapat menjadi solusi alternatif atau dapat dijadikan khazanah pengetahuan dalam

membangun masyarakat yang lebih baik dengan cara mengikuti konsep

kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh Swt. melalui kitab suci al-Qur‟an.

D. Studi Pustaka

Penelitian mengenai konsep kepemimpinan bukanlah sesuatu yang baru

dalam dunia akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai

perspektif juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian

mengenai konsep kepemimpinan, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun

disertasi, diantaranya adalah:

1. Annas Khairullah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis

UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripisnya yang berjudul “Ulil Amri

Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al-

Azhar Surat an-Nisa ayat 59,” skripsi ini menjelaskan bagaimana

penafsiran Hamka tentang arti dari ulil amri dalam surat an-Nisa ayat

59. Dimana term ulil amri juga masuk pada pembahasan yang

Page 26: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

12

berkaitan dengan kepemimpinan. Pembahasannya hanya difokuskan

kepada pengertian tentang ulil amri.23

2. Noor Rohman, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN

Syarif Hidayatullah, 2009, skripsinya yang berjudul “Konsep

Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an; Analisis

Tafsir Muhammad Syahrur,” skripsi ini menjelaskan bagaimana

konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur‟an, serta tentang

konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan sosial politik, dengan

menjadikan kitab Tafsir Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24

3. Masfufah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN

Syarif Hidayatullah, 2014, skripsinya yang berjudul “Konsep

Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An-

Nisa‟ (4): 34,” skripsi ini berusaha untuk mengetahui bolehkah seorang

perempuan menjadi pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber

kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir,

buku-buku, dan literatur-literatur lainnya.25

4. Septiawadi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, dengan disertasi berjudul

“Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”,

kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini adalah, penafsiran sufistik

terhadap al-Qur‟an yang dilakukan oleh para mufassir adalah dengan

23 Annas Khairullah. “Ulil Amri Dalam Al-Qur‟an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka

Dalam Tafsir al-Azhar Surat an-Nisa ayat 59”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis

UIN Syarif Hidayatullah, 2009). 24

Noor Rohman. “Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur‟an;

Analisis Tafsir Muhammad Syahrur”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif

Hidayatullah, 2009). 25

Masfufah. “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An-

Nisa‟ (4): 34”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014).

Page 27: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

13

menggunakan makna isyâri dengan tetap mengacu kepada makna

zâhir, termasuk mufassir di dalamnya adalah Saʻîd Hawwa.26

5. Mhd. Yunus RKT, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga: 2014, dengan judul skripsi “Limitasi Kepemimpinan di

Indonesia Perspektif Politik Islam.” Skripsi ini mengupas secara

mendalam tentang masa jabatan atau batas waktu jabatan dari seorang

pemimpin.27

6. Muhammad Pisol, Mahasiswa Universitas Malaya Kuala Lumpur,

2000, dengan judul disertasi “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran

Saʻîd Hawwa.” Disertasi ini membahas pandangan politik Saʻîd

Hawwa, di mana Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa keterlibtan

seseorang dalam politik termasuk urusan kerja jihad yang akan diberi

pahala. Saʻîd Hawwa juga membagi negara ke dalam tiga kelompok,

yakni negara Islam yang adil, negara Islam yang menyeleweng, dan

negara kafir. 28

Dari penelitian-penelitian terdahulu, sejauh penelusuran penulis, belum

menemukan suatu karya yang membahas tentang konsep kepemimpinan secara

umum, baik itu bagaiamana kita harus memilih seorang pemimpin, apa saja yang

menjadi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin, serta apa saja yang

menjadi hak dan kewajiban dari seorang pemimpin, dengan bersumber kepada

26

Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, (Disertasi

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 27

Mhd. Yunus RKT. “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam”,

(Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014). 28

Muhammad Pisol. “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa”, (Disertasi

Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000).

Page 28: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

14

kitab suci al-Qur‟an. Maka dari itu penulis menilai hal ini perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research). Secara

operasional, kajian ini menggunakan dua langkah penelitian:

1. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari informasi yang

diperlukan melalui perujukan ke referensi primer dan referensi sekunder.

Referensi primer adalah kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr (1999) dan al-Islâm

(1993) karya Saʻîd Hawwa, serta buku-buku yang berkaitan dengan Saʻîd Hawwa.

Sementara referensi sekunder adalah buku-buku yang di dalamnya

membicarakan tentang kepemimpinan dan hal-hal yang diperlukan didalam

membahas penelitian ini, buku-buku tersebut antara lain, Etika Berkeluarga,

Bermasyarakat, dan Berpolitik (2012), Kementrian Agama RI. Kepemimpinan

Menurut Ajaran Islam (1997), karya Mochtar Effendy. Wawasan Al-Quran Tafsir

Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (2013), karya M. Quraish Shihab.

Kepemimpinan dalam Manajemen (2006), karya Miftah Thoha. Islam dan Tata

Negara (1993) karya Munawir Sjadzali. Teori Politik Islam (2001) karya M.

Dhiauddin Rais. Leadhership (2006) karya Andrew J. Dubrin. Etika Politik

Qur‟ani: Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Kekuasaan (2010)

karya Muhammad Iqbal.

2. Metode pembahasan

Page 29: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

15

Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode

Deskriptif Analisis Isi, yaitu mendeskripsikan data yang ada, kemudian

menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas

persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.

Secara teknis, skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi, Tesis, dan Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011.”

F. Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian dalam skripsi ini akan disusun dalam

beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang sesuai dengan

keperluan kajian.

Bab pertama akan memberikan informasi kenapa pembahasan tentang

kepemimpinan penulis angkat, serta apa saja tujuan serta manfaat dari

pembahasan skripsi ini. Bab pertama terdiri dari pendahuluan, terbagi menjadi

enam sub bahasan, yaitu: pertama, latar belakang masalah. Kedua, pembatasan

dan perumusan masalah. Ketiga, tujuan dan manfaat penelitian. Keempat, studi

pustaka. Kelima, metodologi penelitian. Keenam, sistematika penulisan.

Bab kedua akan menjelaskan bagaimana profil Saʻîd Hawwa serta kitab

tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, dengan membaca bab yang kedua ini, penulis berharap

pembaca dapat mendapatkan informasi yang jelas mengenai sosok Saʻîd Hawwa

sehingga dapat lebih memahami kenapa tokoh tersebut yang penulis angkat. Bab

kedua berisi tentang profil Sa‟îd Ḥawwa dan tafsirnya. Pembahasannya meliputi:

pertama, biografi dan karya-karya dari Saʻîd Ḥawwa. Kedua, metode, corak,

Page 30: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

16

sistematika penulisan, referensi penulisan, serta kelebihan dan kekurangan dari

kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.

Bab ketiga merupakan bab yang akan membahas pandangan serta

pemikiran Saʻîd Hawwa terhadap masalah kepemimpinan. Bab ketiga ini

membahas kepemimpinan perspektif Saʻîd Ḥawwa. Pembahasannya meliputi

tentang khilafah atau kepemimpinan, al-Khilafah al-Uzma (Kepemimpinan

tertinggi), Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang imam atau pemimpin,

pengangkatan seorang khalifah, serta pemilihan imam atau khalifah.

Bab keempat, terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari

rumusan masalah dan penelitian ini dan saran.

Page 31: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

17

BAB II

PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA

A. Saʻîd Hawwa

1. Biografi Saʻîd Hawwa

Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa.

Beliau merupakan seorang tokoh yang berasal dari Hamah, Suriah yang lahir pada

tahun 1935 M. Saʻîd Hawwa lahir ketika kondisi politik Suriah di bawah

kekuasaan Prancis. Ibunya meninggal ketika Saʻîd Hawwa berusia dua tahun.

Kemudian Saʻîd Hawwa pindah ke rumah neneknya dengan bimbingan dari

ayahnya yang seorang pejuang pemberani yang berjihad melawan Prancis.1 Darah

pejuang dalam dirinya mengalir dari ayahnya ditambah situsasi kota Suriah yang

berada di bawah kekuasan Prancis, membuat ia tumbuh menjadi seorang pemuda

yang tegar dan pemberani.2 Di masa kecil, keluarga Saʻîd Hawwa hidup dalam

kesederhanaan. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa

mengeluarkannya dari sekolah, karena biaya. Waktu itu usia Saʻîd Hawwa baru

berusia 8 tahun.3

Pada masa muda Saʻîd Hawwa, berkembang beberapa pemikiran, seperti

pemikiran Nasionalis, Baʻats, dan Ikhwân al-Muslimîn. Tahun 1952, ketika masih

berada di bangku „Aliyah, Saʻîd Hawwa memilih untuk bergabung dengan barisan

jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di

1 Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I‟tisham

Cahaya Umat, 2003), h. 400. 2 Saʻ îd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terjemahan

(Jakarta: Robbani Press, 1995), h. IX. 3 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema

Insani, 2006), h. 25

Page 32: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

18

Universitas Syria dan lulus pada tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer

dan lulus sebagai perwira pada tahun 1963. Setahun kemudian ia melakukan

pernikahan dan dikaruniai empat orang anak.4

Dalam perjalanan intelektualnya, Saʻîd Hawwa banyak berguru dan belajar

kepada beberapa ulama dan Syaikh yang terdapat di kota Hamah. Di antara ulama

yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Muhammad al-Hamîd, Syaikh

Muhammad al-Hasyimi, Syaikh „Abdul Wahhab Dabuz Wazit, Syaikh „Abdul

Karîm al-Rifa‟i, Syaikh Aẖmad al-Murad, dan Syaikh Muẖammad „Ali al-

Murad.5

Al-Mustasyar „Abdullah al-„Aqil6 yang sempat bertemu dengan Saʻîd

Hawwa mengatakan, bahwa Saʻîd Hawwa dikenal sebagai seseorang yang

penyabar, ramah dan memiliki sifat tawadu‟, wara‟ dan zuhud. Sikap

kesederhanaan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di tempat

kediamannya yang bersahaja yang jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah

dan wara‟ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak

bukunya atas izin atau tanpa izin.7

Kiprah Saʻîd Hawwa di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga-

lembaga pendidikan, seperti pada al-Ma‟had al-„Ilmi di kota al-Hufuf wilayah ihsa

selama dua tahun. Selain itu Saʻîd Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun

4 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 5 Al-Mustasyar „Abdullah „Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401. 6 Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mereka

telah Pergi. Al-Mustasyar al-„Aqil adalah alumnus fakulstas Syari‟ah al-Azhar tahun 1954.

Sebelumnya ia belajar di Irak (negeri kelahirannya al-Zubair). Sekembali dari pendidikan al-Azhar

Kairo ia pernah mengajar di al-Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai

negara. Terakhir ia menjabat sebagai sekjen OKI. Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang

Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangun Gerakan Islam Kontemporer, vii. 7 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.

Page 33: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

19

dan disampaikan lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa

buku. Ia termasuk penulis besar pada modern ini, kemampuan menulisnya

mengambil tema; dakwah dan gerakan, fiqih, tentang pembinaan jiwa (rûhiyyah-

tasawuf).8

Selain memberikan kuliah, Saʻîd Hawwa dikenal juga sebagai daʻi. Aktifitas

dakwahnya tidak hanya di wilayah Suriah, tapi pada umumnya meliputi negara-

negara Arab seperti Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah sampai

ke Jerman dan Amerika. Hal itu dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika dan

daerah-daerah Eropa. Semangat dakwahnya sangat melekat pada dirinya apalagi

ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah.9 Dari sini bisa terlihat

bahwa kegiatan dakwahnya yang ia lakukan dapat berkaitan dengan hal

kepemimpinan, karena kegiata Ikhwân al-Muslimîn juga mengurusi masalah

politik.

Saʻîd Hawwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang

Suriah pada tahun 1973. Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5

Maret 1973-29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis

kitab tafsir dan buku-buku dakwah ataupun buku-buku gerakan. Pada waktu itu

pemerintahan al-Asad membuat undang-undang baru yang menghilangkan

penyebutan Islam sebagai agama negara. Ketidakpuasan Ikhwân al-Muslimîn

bukan saja pada hal yang demikian, namun yang lebih utama lagi al-Asad berasal

dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.10

8 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 9 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402. 10

Jonh L. Esposito, Enksilopedi Oxford Dunia Islam Modern, penerjemah Eva Y.N dkk,

(Bandung: Mizan, 2002), jilid 5, Cet. Ke-2, h. 272.

Page 34: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

20

Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Saʻîd Hawwa mengadakan

perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan, ia

menghadiri pemakaman Abul A‟lâ al-Maudûdi. Pada kesempatan lain Saʻîd

Hawwa bersama delegasi Islam Suriah bertemu Khomeini serta Menteri Luar

Negeri Iran Ibrahim Yazdi untuk membicarakan bantuan terhadap saudara-

saudara muslim di Suriah. Ia sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang

diperjuangkan oleh Ikhwân al-Muslimîn di Suriah kepada Khomeini dalam rangka

mempererat Ukhuwah Islamiyah.11

Pada tahun 1980 atas prakarsa Saʻîd Hawwa, dibentuklah Front Islam Syria

(FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwân al-

Muslimîn yang gagal menentang rezim al-Asad karena sudah banyak anggota

Ikhwân al-Muslimîn yang jadi korban. Kekuatan Ikwân al-Muslimîn dan FIS

waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan oposisi. Iran dengan terang-

terangan justru mendukung pemerintahan rezim al-Asad. Baik FIS dan Ikhwân al-

Muslimîn, tokoh-tokohnya banyak di pengasingan karena diburu oleh tentara

rezim al-Asad. Di samping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan Ikhwân

al-Muslimîn. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besar-

besaran tahun 1980 di Aleppo, Hamah, Homs serta ada upaya pembunuhan

terhadap al-Asad.12

11

Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.

12

Jonh L. Esposito, Dunia Islam Modern Enksilopedi Oxford (Terj), jilid 2, Cet. Ke-2, h.

277.

Page 35: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

21

Pada pertengahan tahun 1980-an aktifitas Saʻîd Hawwa dengan Ikhwân al-

Muslimîn tidak terdengar lagi. Apalgi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini

yang kurang menguntungkan bagi Ikhwân al-Muslimîn dan FIS.13

Pada tahun 1978 Saʻîd Hawwa terserang stroke hingga sebagian anggota

tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula,

ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama

masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 tak kunjung

membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya

tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania.14

Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi

selama-lamanya dengan banyak meninggalkan buku-buku karyanya yang dapat

dikembangkan dan dipelajari.

Ustadz Zuhair al-Syawisy di surat kabar al-Liwa’, yang terbit di Yordania

pada tanggal 15 Maret 1989, berkata, “Allah menetapkan takdir-Nya dan tidak ada

seorangpun mampu menolak takdir-Nya. Allah mengakhiri hidup Saʻîd bin

Muhammad bin Dib Hawwa, di Rumah Sakit Islam Amman, Kamis pagi, 9 Maret

1989. Jenazahnya dishalatkan setelah Jum‟at di Masjid Al-Faiha‟ Al-Syumaisani

dan dikebumikan di pemakaman Sahab, wilayah selatan Amman. Jenazahnya

dihadiri dan diiringi puluhan ribu orang. Diantaranya, ustadz Yûsuf al-Adam,

Syaikh „Ali „Al-Faqîr, penyair Abu al-Hasan, Syaikh „Abdul Jalîl Rizq, ustadz

Fâruq al-Masyuh dan sastrawan „Abdullah at-Tantâwi. Masyarakat Yordania yang

mulia memperlakukan orang asing yang meninggal dunia di negeri mereka

dengan hormat, sama seperti penghormatan mereka kepada orang-orang yang

hidup dan singgah di tempat mereka. Ini kedermawanan, keindahan ucapan dan

antusias yang simpatik.”15

13

Septiawadi, “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”, (Disertasi

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 39. 14

Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-ʻ Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 409. 15

Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402.

Page 36: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

22

2. Karya-karya Saʻîd Hawwa

Pada usianya masih muda, Saʻîd Hawwa untuk pertama kalinya

berkenalan dengan pergerakan jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pikiran-pikiran dari

gerakan ikhwân al-Muslimîn sangat membentuk pola dan kepribadian Saʻîd

Hawwa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam

pergerakan Ikhwân al-Muslimîn di Suriah. Selain itu, pemikirannya di

manifestasikan lewat buku-buku yang tersebar dan dapat dibaca dan dijangkau

oleh siapapun. Dari beberapa karya Saʻîd Hawwa bisa dikategorikan bahwa

pandangan gerakan Islam Saʻîd Hawwa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwân al-

Muslimîn Hasan al-Banna. Faktor guru yang mendidik Saʻîd Hawwa juga

berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran

keagamaan Saʻîd Hawwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai

Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Pola pemikiran Saʻîd Hawwa dapat dilihat melalui

penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11

jilid besar.16

Kegemaran Saʻîd Hawwa untuk menorehkan hasil pemikirannya dalam

sebuah buku tidak dapat dipungkiri lagi. Publikasi terhadap bukunya tahun 1968

membuatnya digolongkan dalam pemikir Suriah yang menonjol. Semasa dalam

tahanan akibat peristiwa Dastur, beliau menulis tafsir yang diberi judul al-Asâs fî

al-Tafsîr yang terdiri dari sebelas jilid.17

16

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 39-40. 17

Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1985), h. 30.

Page 37: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

23

Saʻîd Hawwa adalah seorang penulis yang produktif, hasil karyanya

meliputi berbagai macam keilmuan. Diantara buku-buku karya Saʻîd Hawwa yang

dikutip dari disertasi Septiawadi adalah sebagai berikut:18

1. Al-Islâm

Di dalam buku ini Saʻîd Hawwa mengupas seluk-beluk Islam yang

didasarkan kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang

menerangkan tentang rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Saʻîd

Hawwa, dalam Islam memuat aqidah yang meliputi syahadat serta pilar iman.

Kedua, ibadah yang tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai

rukun Islam sedangkan bangunan Islam berada di atas rukun-rukun yang disebut

tadi. Bangunan Islam meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem

politik, ekonomi, militer, akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam

satu lagi yaitu kekuatan bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup

jihad, amar ma’rûf nahi munkar serta penegakan hukum.

Tema pokok yang disebut di atas, diuraikan dengan kajian mendalam

yang disusun dalam empat bab. Buku al-Islâm ini merupakan satu dari tiga karya

lain Saʻîd Hawwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku

yang dimaksud yaitu dengan judul Allâh dan al-Rasûl.

Buku ini menjadi bagian penting dalam pembahasan skripsi ini, karena

banyak pemikiran Saʻîd Hawwa yang berhubungan dengan kepemimpinan yang

menjadi pembahasan di dalam skripsi ini.

18

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 46-50.

Page 38: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

24

2. Al-Asâs Fî Al-Sunnah

Sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam lima qism (tema kajian).

Qism pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran

sampai tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan nabi Muhammad sebelum diangkat

menjadi Rasul dan peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta

peperangan-peperangan dalam Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para

sahabat, ada tercatat sebanyak 62 sahabat yang disusun pada bagian dari akhir

qism ini. Qism kedua tentang persoalan akidah yaitu hal-hal yang berkaitan

dengan keimanan sebagai misi utama nabi menegakkan akidah Islamiyah. Qism

ketiga tentang ibadah seperti ibadah pokok yang tercakup dalam rukun Islam dan

yang terkait dengannya. Qism keempat tentang akhlak, persoalan pergaulan

hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum keperdataan dan persoalan

muamalah.

Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya.

Dalam membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau

berdasarkan riwayat nabi, sahabat, tabi‟in dan pendapat ulama. Saʻîd Hawwa tidak

sekedar mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau

komentar ulama lain. Penyajian sumber khusus dari nabi diberi tanda dan diberi

penomoran. Berkenaan dengan cara pembahasan demikian, sangat tepat bukunya

dinamai al-Asâs fî al-Sunnah. Artinya semua keterangan pada buku tersebut

berasal dan bersumber pada sunnah nabi Muhammad Saw.

Pembahasan-pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam

dijelaskan dengan sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan

Page 39: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

25

dengan menyajikan sunnah apa adanya. Dari sini terlihat bahwa Saʻîd Hawwa

selain mengusai bidang tafsir, ia juga menguasai bidang hadis. Hal ini ini

berbanding lurus dengan uraian pada kitab tafsirnya yang juga banyak diperkuat

oleh hadis.

3. Jundullâh Tsaqafatan wa Akhlâqan

Di dalam kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, Saʻîd Hawwa menjelaskan

secara sekilas tentang kitab Jundullâh Saqafatah wa Akhlâqan, dimana salah satu

tujuan buku atau kitab tersebut yakni dijelaskan di dalamnya pentingnya al-walâ

(saling tolong-menolong antara umat Islam), juga dijelaskan batasan-batasan al-

walâ tersebut.19

Dalam buku ini, Saʻîd Hawwa menyebutkan bahwa tsaqafah seorang

Muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da‟i yang ulung seharusnya

punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas

menjadi sepuluh: ilmu al-Qur‟an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fikih,

ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allâh,

Rasul dan Islam), dan ilmu fikih dakwah.20

4. Hâdzihi Tajrîbat wa Hâdzihi Syahâdatî

Di dalam buku ini diceritakan pengalaman hidup Sa‟îd Hawwa,

seperti dalam satu jam ia dapat membaca buku sebanyak enam puluh halaman. Di

dalam buku ini juga diceritakan kegiatan demosntrasi yang pernah diikuti Sa‟îd

Hawwa. Juga diceritakan dalam buku ini adalah revolusi militer Amerika di

Suriah.21

19

Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid III (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 1426. 20

Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 29 21

Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405 dan 407.

Page 40: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

26

Karya-karya lain dari Saʻîd Hawwa adalah sebagai berikut:22

Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam, Al-Mustkhlâs Fî

Tazkiyah al-Anfûs, Allâh Jalla Jalâluhu. Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, Min Ajli Khutuwat

ilal Amâm ‘ala Tarîqi al-Jihâd al-Mubârak, Durus Fil ‘Amâl Al-Islâmi Al-

Mu’asir, Fî Afaqi al-Ta’alîm, Iẖyâ Al-Rabbaniyyah, Qawaninu al-Bait al-

Muslimîn, Al-Ijâbah, Jundullâh Takhtitan wa Tanzîman, , Al-Sirah bi Lughah Al-

Hubb.

Itulah beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh Saʻîd Hawwa.

Sehingga dapat dikatakan beliau merupakan salah satu ulama yang cukup

produktif dengan melihat hasil karya yang telah dihasilkannya cukup banyak.

B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr

1. Metode dan Corak Penafsiran

Metode atau metodologi berasal dari dua kata; method dan logos. Dalam

bahasa Indonesia Method dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur

dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan

sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu

kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.23

Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih

metode dalam menafsirkan al-Qur‟an. Pilihan metode-metode tersebut tergantung

kepada kecenderungan dan sudut pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan

22 Al-Mustasyar „Abdullah Al-„Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405.

23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 1989), h. 580-581.

Page 41: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

27

dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan,

metode-metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir

itu untuk kebutuhan penafsir dimaksud. Hanya saja metode-metode tersebut tidak

disebutkan dan dibahas secara eksplisit. Setelah ilmu pengetahuan Islam nantinya

berkembang pesat, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang

dikenal dengan metodologi tafsir.24

Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang

ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur‟an

secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan

suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam

upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat Islam itu.

Hasil upaya keras dengan menggunakan alat dimaksud terwujud sebagai tafsir.

Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi

yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tentunya.25

Di dalam penulisan kitab tafsir, ada beberapa metode yang seringkali

digunakan penafsir dalam menulis kitabnya. Diantaranya adalah metode tahlîlî,26

ijmâlî,27

muqâran,28

dan juga metode maudû’î.29

24

Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38. 25

Abdul Mu‟in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 38. 26

Yakni salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-

Qur‟an dari seluruh aspeknya. Penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟an secara runtun dari awal hingga akhirnya, dan surat-surat sesuai dengan mushaf „Utsmani.

(Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î (Kairo: al-Hadârah al-„Arabiyah,

1977,) h. 23.) 27

Yakni metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan cara mengemukakan

makna global. Dengan metode ini penafsir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal

selain seperti apa yang dikehendaki. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-

Mawdûʻ î, h. 42.) 28

Yakni metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi)

tafsir al-Qur‟an. Penafsiran yang menggunakan menggunakan metode ini pertama sekali

menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran

sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka. Melalui cara ini penafsir

Page 42: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

28

Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa dapat dikatakan di dalam

pembahasannya menggunakan metode tahlîli. Dimana pada penjelasan di atas

telah dijelaskan bahwa metode tahlîli yaitu suatu metode penafsiran yang dimulai

dari surat al-Fâtihah sampai surat tekahir al-Nâs. Penjelasan uraian penafsiran

dikemukakan secara rinci dan panjang.

Penerapan tahlîli sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya

penafsiran surah al-Baqarah. Pertama, Saʻîd Hawwa membagi surah al-Baqarah

dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk

mukaddimah terdiri dari dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat

284, sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat. Mukaddimahnya terdiri dari

tiga faqrah. Untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmû’ah. Bagian tengah al-

Baqarah terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqta’ dan faqrah.

Ayat yang ditafsirkan disusun dalam kelompok-kelompok ayat untuk

memudahkan uraiannya.30

Rangkaian metode penafsiran Saʻîd Hawwa dapat dirumuskan sebagai

berikut:31

1. Menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.

Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqta’ dengan

beberapa faqrahnya. Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan

mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya yang dimaksudkan dalam objek

kajiannya. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 45) 29

Disebut juga dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema

tertentu yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir maudû‟î:

pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang masalah

(maudu/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda

dan tersebar dalam berbagai surah al-Qur‟an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat

al-Qur‟an. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 61-62.) 30

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 54-55. 31 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 55.

Page 43: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

29

surat tersebut baik menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan

surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan

riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.

2. Menafsirkan ayat.

Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa‟îd Hawwa mengenai ayat

yang sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna

secara umum atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan

pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat.

Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir al-Nasâfî dan Ibnu

katsîr juga tafsir Sayyid Qutb dan al-Alusi. Dengan demikian makna harfi yang

dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat.

Penjelasan makna umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu

mencantumkan ayat atau potongan ayat yang ditulis dalam kurung.

3. Menjelaskan hubungan susunan ayat (munasabahnya)

Disini Sa‟îd Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya

hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam

satu maqta’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar

maqta’ bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda.

4. Menjelaskan hikmah ayat

Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid.

Dalam poin ini ada juga dibahas tentang munâsabah ayat khususnya hubungan

suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis nabi. Poin ini merupakan

penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh Saʻîd Hawwa dengan

memahami ayat berdasarkan konteks.

Page 44: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

30

Demikian langkah dari metode penafsiran Saʻid Hawwa yang lebih

banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini

merupakan keunggulan dari tafsir Saʻid Hawwa yang membedakannya dengan

mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.

Selanjutnya untuk mengetahui corak dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr,

maka tidak terlepas dari beberapa corak kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam

penulisan kitab tafsir ini. Kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan ini

adalah kitab tafsir Ibnu Katsîr, tafsir al-Nasâfî, tafsir Rûh al-Ma’ani dan kitab

tafsir fî Zilâl al-Qur’ân. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kitab tafsir

al-Asâs fî al-Tafsîr menampakkan corak tasawuf, aqidah, adabi ijtimâ’i

(sosiologis), pola ra’yi dan ma’tsûr juga memperkaya memperkaya corak

penafsiran Saʻîd Hawwa. Tafsir Ibnu Katsîr termasuk tafsir jenis ma’tsûr,

sedangkan tafsir al-Nasâfî tergolong tafsir bi al-Ra’yi. Selain itu tafsir al-Nasafi

berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir Rûh al-Ma’âni merupakan

corak tafsir tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qutb termasuk tafsir modern yang

berorientasi politik, sosial dan dakwah.32

2. Sistematika Penulisan

Kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr merupakan kitab tafsir yang terdiri dari 11

(sebelas) jilid besar. Kitab tafsir yang dijadikan penelitian dalam kajian ini

merupakan terbitan dari penerbit Dâr al-Salâm, Mesir, dengan tahun terbit 1985

M/ 1405 H. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan kata pengantar

penerbit oleh „Abdul Qâdir Maẖmûd al-Bukâr yang terdiri dari dua halaman.

32

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 58.

Page 45: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

31

Kemudian disusul pengantar penyusun (al-Asâs fî al-Manhaj) tentang metode

pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya. Masih

di dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al-Asâs (Muqaddimah al-

Asâs fî al-Tafsîr) yang memberikan tentang karakteristik kitab tafsir ini serta

keistimewaannya dibandingkan dengan kitab tafsir lain.

Kitab tafsir al-Asâs ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan

menguraikan penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal.

Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan oleh Saʻîd Hawwa dalam

pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa

pemerintahan Hafiz al-Asad dalam kurun waktu 1973-1978 M.33

Secara umum, sistematika penulisan kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr yaitu

dalam setiap jilid Saʻîd Hawwa selalu mengemukakan pendahulan sebelum masuk

dalam penafsiran surat-surat al-Qur‟an. Paparan menyangkut kategori surat sesuai

yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Saʻîd Hawwa. Setiap surat yang ditafsirkan

terlebih dahulu pada awal surat dijelaskan munasabahnya dengan surat-surat

lainnya. Biasanya dikutip dari penjelasan Sayyid Qutb dalam kitab tafsir fî Zhilâl

al-Qur’ân dan al-Alusi dalam kitab tafsir Rûh al-Ma’âni. Runtutan penafsiran

disesuaikan dengan urutan surat-surat seperti yang terdapat di dalam mushaf.

Untuk memudahkan penyajiannya sistematika dengan membagi

kelompok-kelompok surat dalam al-Qur‟an. Saʻîd Hawwa memberikan

pengkategorisasian pada 4 macam atau qism: pertama; Tiwâl, yaitu (surah al-

Baqarah samapi dengan surah Barâah), kedua, Mi-in yaitu (surah Yunus sampai

dengan surah al-Qasâs), kelompok ini dibagi pula oleh Saʻîd Hawwa menjadi

33

Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid I (Mesir: Dâr al-Salâm, 1993 M/ 1414 H), h.

21.

Page 46: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

32

tiga bagian yang disebutnya dengan al-Majmu’ât berdasarkan kepada makna

yang dikandungnya. Ketiga; Matsâni yaitu (surah al-„Ankabût sampai dengan

surah Qâf). Keempat; Mufassal yaitu (surah al-Dzâriyât sampai surah al-Nâs).

Pembagian seperti ini merupakan suatu cara bagi Saʻîd Hawwa menyajikan

susunan surat dengan pertimbangan melihat aspek munasabahnya.34

3. Referensi Penulisan

Saʻid Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr,

menjadikan beberapa kitab tafsir lain serta mengambil pendapat dari beberapa

mufassir sebagai rujukan atau referensi. Baik itu penafsir kontemporer maupun

penafsir-penafsir salaf. Diantara mufassir salaf yang pendapatnya banyak diambil

oleh Saʻîd Hawwa adalah Ibnu Katsîr dan al-Nasafî.

Alasan Saʻîd Hawwa mengambil kedua tafsir ini, lebih disebabkan pada

keterbatasan bahan yang tersedia dan apa adanya. Karena penulisan tafsir ini,

yaitu ketika Saʻîd Hawwa berada di dalam tahanan. Namun hal ini bukan berarti

Saʻîd Hawwa mengambil bahan seadanya, akan tetapi Saʻîd Hawwa mempunyai

alasan dari pengambilan kedua tafsir ini. Hal ini dapat kita lihat pada akhir

muqaddimah kitab tafsirnya, Saʻîd Hawwa mengatakan:

“Dan bukan hasil dari ikhtiarku untuk menguatkan bagian pertama aku

berpegangan hanya pada dua tafsir, yaitu tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafi.

Tidak banyak bahan yang ada ketika aku berada di penjara ketika aku mulai

menulis tafsir ini kecuali kitab tafsir ini. Dan keduanya adalah tafsir yang

terkenal, yang pertama adalah tafsir bi al-Ma’tsûr yang terkenal, sedangkan yang

kedua adalah tafsir yang unggul dalam masalah-masalah ringkas dalam hal

i’tiqadiyah dan madzhabiyah. Dari kedua tafsir ini mencukupi untuk makna

harfiyyah dalam kitab Allâh.”35

34

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 53-54.

35

Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1, h. 11.

Page 47: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

33

Di samping dari kedua mufassir tersebut, Saʻîd Hawwa juga banyak

mengambil pendapat dari al-Alusi dan juga Sayyid Qutb. Saʻîd Hawwa banyak

mengambil dari kedua mufassir ini yang berhubungan dengan masalah

munâsabah.36

Dijelaskan oleh Iyazi mengenai penyusunan tafsir yang dikerjakan oleh

Saʻîd Hawwa bahwa dalam menggunakan rujukan atau referensi penafsirannya

menempuh dua tahap. Pertama ia menggunakan sumber utama penafsirannya pada

kitab tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-Nasafî. Hal ini dilakukannya ketika ia masih

berada dalam penjara. Pada tahap berikutnya Saʻîd Hawwa menggunakan kitab

tafsir Rûh al-Ma’âni karya al-Alûsi dan tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid

Qutb disamping dua kitab tafsir terdahulu.37

Maka disini terlihat, dua tafsir

pertama tergolong ke dalam kitab tafsir klasik, sedangkan dua tafsir terakhir

tergolong ke dalam tafsir modern. Saʻîd Hawwa memadukan pemahamannya

melalui empat kitab tafsir tersebut dalam karya kitab tafsirnya.

Itulah beberapa kitab yang dijadikan rujukan atau referensi oleh Saʻîd

Hawwa di dalam menyusun kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Dengan adanya

referensi penulisan tersebut, maka kita akan sering menemui pendapat atau

komentar-komentar dari ulama-ulama tersebut di dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr.

36

Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 2, h. 978. 37

Iyazi, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum (Teheran: Wazarah al-Taqâfah wa

al-Irsâd, 1992), h. 134.

Page 48: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

34

4. Kelebihan dan Kekurangan

Setiap kitab tafsir karya dari seorang ulama, tidak akan terlepas dari

kelebihan dan kekurangan, baik itu dari segi isi, metode, dan hal-hal lainnya yang

berhubungan dengan penulisan kitab tafsir tesebut.

Jika meneliti kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa, dapat

ditemukan beberapa kelebihan kitab tafsir ini jika dibandingkan dengan kitab-

kitab tafsir yang lain. Salah satu yang menjadi kelebihan tafsir ini adalah banyak

menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya.

Di dalam menjelaskan hubungan susunan ayat (munâsabah), Saʻîd Hawwa

mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat

seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqta’, atau satu faqrah.

Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqta’, bahkan dijelaskan

hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda.

Selain menjelaskan aspek munasabah, Saʻîd Hawwa juga menjelaskan

hikmah ayat. Menjelaskan aspek munasabah dan menjelaskan hikmah ayat secara

mendalam, merupakan beberapa kelebihan kitab tafsir ini dibanding dengan kitab

tafsir lain. Tentunya masih banyak kelebihan-kelebihan yang terdapat di dalam

tafsir ini.

Beberapa kelebihan atau keistimewaan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr

ini, di antaranya adalah:38

38

Saʻ îd Hawwa, Tafsir Al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press,

1999), h. 23-29.

Page 49: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

35

1. Bahwa untuk pertama kali diketengahkan teori baru tentang kesatuan

al-Qur‟an dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr, berdasarkan teori

komprehensif yang mencakup segala dimensi kesatuan al-Qur‟an.

2. Kitab tafsir ini sangat rinci didalam menjelaskan kesatuan al-Qur‟an

secara keseluruhan, sehinga kita akan mengetahui mengapa ayat-ayat

al-Qur‟an yang mempunyai kandungan yang sama tidak dicantumkan

secara berdampingan, serta hikmah turunnya al-Qur‟an secara

berangsur-angsur akan lebih jelas dan terang untuk kita ketahui.

3. Kitab tafsir ini juga berusaha memanfaatkan berbagai literatur berupa

buku-buku agama klasik, dan berupaya menyederhanakan dan

mempermudah redaksi-redaksi dari literatur-literatur klasik tersebut.

4. Di dalam tafsir ini tidak akan ditemukan hal-hal yang tidak ada

hubungannya dengan inti persoalan, karena Saʻîd Hawwa

mengesampingkan semua persoalan yang dianggap tidak ilmiah.

5. Tafsir ini berupaya secara maksimal untuk memanfaatkan kenunggulan

zaman sekarang, yaitu ketelitian dan kecenderungan spesialisasi dalam

melakukan kajian terhadap satu sisi kehidupan, alam dan manusia,

6. Tafsir ini juga merupakan buku ilmu pengetahuan, dakwah, pendidikan

dan jihad sekaligus. Itulah beberapa kelebihan dan keistimewaan dari

kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.

Setelah membahas beberapa kelebihan dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr,

adapula kekurangan dalam kitab tafsir ini. Kekurangan di dalam sebuah hasil

karya, merupaka hal yang niscaya terjadi, karena hal ini tidak terlepas dari kodrat

Page 50: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

36

manusia yang hanya manusia biasa. Di antara beberapa kekurangan yang menjadi

catatan untuk kitab tafsir ini adalah:

1. Penulisan kitab tafsir ini dilakukan Saʻîd Hawwa ketika ia sedang

berada di dalam penjara atau tahanan. Hal ini diakui Saʻîd Hawwa

menjadi penghalang untuk mencapai kesempurnaan tafsir ini, karena

pada saat berada di dalam penjara, pada mulanya ia hanya

mengandalkan dua tafsir saja, yakni tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al-

Nasafî. Sehingga harus diakui bahan-bahan rujukan untuk menulis

tafsir ini sangat terbatas.

2. Saʻîd Hawwa berkata bahwa ia menyesalkan dan merupakan suatu

ketidakadilan jika ada yang mengatakan tafsir karyanya merupakan

ringkasan dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Di sini dapat dipahami

bahwa ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tafsir al-Asâs fî al-

Tafsîr tidak lain merupakan ringkasan dari dari tafsir Ibnu Katsîr dan

al-Nasafî. Itulah beberapa kekurangan yang menjadi catatan terhadap

kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.

Page 51: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

36

BAB III

KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SAʻÎD HAWWA

A. Khilafah

Kepemimpinan secara luas memilki arti yakni proses memengaruhi dalam

menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai

tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok budayanya.1 Jadi dapat

dikatakan kepemimpinan merupakan cara untuk memimpin, sedangkan pemimpin

adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan

dalam membimbing masyarakatnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa seorang

pemimpin bukan hanya harus mampu menunjukkan jalan meraih cita-cita rakyat

yang dipimpinnya, tetapi juga harus dapat mengantarkan mereka ke pintu gerbang

kebahagiaan. Seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi mampu

memberi contoh aktualisasi, sebagaimana halnya dengan pemimpin (imâm)

shalat.2 Selain itu, kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan pada

keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam menghadapi berbagai

tantangan dan ujian.3

Saʻîd Hawwa menjelaskan, bahwa umat Islam sama sekali tidak boleh

berada dalam kondisi vacuum of caliphate (kosong dari seorang pemimpin atau

khalifah). Karena dasar kekuatan hukum wajibnya pembentukan institusi adalah

1 Veithzal Rivai dan Dedi Mulyadi, kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta:

Rajawali Press, 2011), h. 2. 2 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387.

3 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1, h. 318.

Page 52: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

37

ijma‟nya umat. Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan

bahwa:4

“Sesungguhnya pengangkatan seorang imam, hukumnya adalah wajib.

Hukum wajibnya didasarkan atas ijma‟ para sahabat dan tabiʻin. Setelah

Rasulullah Saw. meningal dunia, para sahabat bergegas untuk mengangkat Abu

Bakar sebagai pemimpin dan memasrahkan segala urusan mereka kepadanya.

Demikian pula dalam setiap generasi setelah masa sahabat. Pada setiap masa,

umat tidak dibiarkan dalam kondisi chaos atau kacau-balau. Jadilah hal tersebut

sebagai ijma‟ yang bisa dijadikan dasar atas kewajiban pengangkatan imam.”

Saʻîd Hawwa berpendapat dan mengatakan bahwa bentuk kepemimpinan

yang disepakati oleh umat Islam adalah khilafah. Sistem khilafah ini berbeda

dengan sistem-sitem pemerintahan lainnya di dunia. Memang, ada beberapa

bagian yang sama dengan sistem pemerintahan lain, namun secara keseluruhan

perbedaan sistem khilafah dengan sistem-sistem lainnya adalah perbedaan yang

sangat substantif. Hal ini karena sumber institusi khilafah adalah dari Allâh Swt.

yang diberikan kepada Rasulullah. Allâh Swt. berfirman dalam surah Sâd/38: 26

sebagai berikut:5

“Hai Dâwud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)

di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu

dari jalan Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan

mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”6

4 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press,

2004), h. 461. 5 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h.

454.

Page 53: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

38

Kepemimpinan yang diterangkan di atas adalah khilâfah al-nubuwwah.

Abu Bakar menegaskan masalah ini setelah ia di baiat di al-Saqîfah. Ketika ada

seseorang yang memanggilnya, “wahai khalifatullah,” Abu Bakar langsung

berkata, “Saya bukanlah khalifatullah, saya adalah khalifatu Rasulillah Saw.”

demikianlah Abu Bakar dipanggil dengan panggilan ini selama masa

pemerintahannya.7

Saʻîd Hawwa di dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Imâm al-Nasafî,

yang mengatakan bahwa Allâh mengangkat nabi Dâwud sebagai raja atau khalifah

bagi orang-orang yang sebelumnya. Nabi Dâwud diperintahkan untuk memberi

hukuman sesuai dengan hukuman Allâh, karena Nabi Dâwud adalah khalifah, dan

jangan mengikuti hawa nafsu di dalam membuat ketetapan hukum.8

Pada mulanya kepemimpinan adalah tugas para Rasul. Allâh Swt.

berfirman dalam surah al-Baqarah/2: 124 sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat

(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman:

"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim

berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku

(ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”9

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan

dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng,

yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan

Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut

7 Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462.

8 Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 4775.

9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 14.

Page 54: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

39

merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah,

beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan

dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan

yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa

risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah

dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk

menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang

merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji

pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan.

Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang

imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”10

Sistem khilafah pada dasarnya adalah pengganti kenabian. Khalifah

mempunyai tugas sebagai pewaris kenabian dengan menegakkan hukum-hukum

yang sudah ditetapkan oleh para Nabi. Saʻîd Hawwa memberikan beberapa contoh

ayat yang terkait dengan tugas khalifah:11

1. Allâh Swt. menyebutkan tugas Rasulullah dalam firman-Nya surah al-

Baqarah/2: 151:

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami

kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang

membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan

10

Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),

h. 346-347. 11

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 462-463.

Page 55: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

40

mengajarkan kepadamu al-Kitâb dan al-Hikmah, serta mengajarkan

kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”12

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa tugas khalifah adalah

mengajari dan mendidik manusia untuk memahami dan mengamalkan

al-Qur‟an dan al-Sunnah.

2. Di antara tugas Rasulullah adalah menegakkan keadilan Allâh dan

melaksanakan hukum-hukum Allâh. Allâh Swt. berfirman, “Hai

orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâs berkenaan

dengan orang-orang yang dibunu....” (Q.S. al-Baqarah/2: 178). Di

ayat lain Allâh Swt. berfirman, “(Ini adalah) satu surat yang Kami

turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukukm-hukum yang ada

di dalam) nya....”(Q.S. al-Nûr/24: 1). Demikian juga tugas seorang

khalifah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah

pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan syariat-syariat Allâh

Swt.. Poin inilah yang membedakan sistem khilafah dari sistem-sistem

lainnya.

Seorang khalifah harus diangkat dengan cara pemilihan yang dilakukan

oleh umat Islam dan juga atas dasar kerelaan mereka. Seorang khalifah sama

sekali tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam dengan tanpa adanya pemilihan

dan kerelaan dari mereka. Karena pemilihan merupakan hak setiap umat Islam.

Allâh Swt. menyifati umat Islam dalam firman-Nya, “.... Sedang urusan mereka

(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (al-Syûrâ/42: 38). Maksud

dari ayat ini adalah segala urusan umat Islam harus diselesaikan lewat mekanisme

12

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 23.

Page 56: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

41

musyawarah. Pemilihan seorang pemimpin merupakan urusan umat yang sangat

penting, sehingga pemilihan tersebut harus melibatkan mereka secara langsung.13

B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi)

1. Pengertian Khilafah

Pengertian dari al-Khilâfah al-„Uzma atau al-Imâmah al-„Uzma adalah

kepemimpinan tertinggi dalam agama Islam. Khalifah atau al-Imâm al-A‟zam

adalah pemimpin negara Islam tertinggi.14

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang berdiri

atas ajaran Islam yang mengatur setiap individu dan kelompok, dan membimbing

mereka dalam kehidupannya di dunia dalam berbagai bidang-bidang tertentu.

Oleh karena itu, seorang khalifah mempunyai dua tugas, pertama, menegakkan

agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Kedua, menjalankan politik

negara sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam.15

Saʻîd Hawwa juga menjelaskan bahwa tugas khalifah atau pemimpin

adalah menegakkan Islam, karena Islam adalah agama dan negara. Menegakkan

Islam berarti menegakkan ajaran-ajaran agama dan melaksanakan tugas-tugas

kenegaraan dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam.16

Definisi khalifah yang diberikan para ahli fiqih tidak keluar dari konsepsi

di atas. Khalifah didefinisikan dengan “Kepemimpinan umum dalam masalah-

masalah keagamaan dan keduniaan sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw.”

Definisi lainnya adalah, “Pengganti Rasulullah Saw. dalam menegakkan agama

13

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 463. 14

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 15

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 16

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477.

Page 57: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

42

dan menjaga semua hal yang termasuk agama dan mempunyai hak untuk dipatuhi

dan ditaati oleh seluruh umat Islam.”17

Imam al-Mawardi mendefinisikan khalifah dengan, “Khalifah diangkat

untuk mengganti tugas kenabian dalam hal menjaga agama dan mengurus masalah

dunia.”18

Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mendefinisikan

khalifah dengan, “Mengantarkan umat untuk mencapai dan merealisasikan teori-

teori syara‟ dalam hal kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan-kemaslahatan

duniawi yang ada kemaslahatan ukhrawinya. Karena menurut syara‟ semua

urusan-urusan dunia harus dipertimbangkan kemaslahatan ukhrawinya. Sehinga

khalifah pada hakikatnya adalah pengganti Rasulullah dalam menjaga agama dan

mengatur masalah-masalah dunia dengan (panduan) agama.”19

Atas dasar pertimbangan tugas khalifah di atas juga maka, Abu Bakar

dipanggil dengan sebutan khalîfah al-Rasûlillah Saw., dan sebagian sahabat

menyebutnya dengan sebutan khalîfah Allâh, dengan pertimbangan bahwa sosok

Rasulullah Saw. bergerak atas dasar perintah Allâh Swt., dan Abu Bakar juga

melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt. tersebut, sehingga keduanya

(Rasulullah Saw. dan Abu Bakar) bisa dianggap sebagai khalîfatu Allâh. Namun,

Abu Bakar memilih untuk dipanggil dengan khalîfatu Rasûlillâh Saw.20

Ketika Umar bin Khattab memegang kekhalifahan dia berpendapat agar

pemimpin negara dipanggil dengan sebutan Amîr al-Mu‟minîn, agar lebih mudah

dan pendek dibanding menggunakan panggilan khalifah yang harus

17

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 18

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 477. 19

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 20

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478.

Page 58: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

43

disambungkan dengan nama khalifah sebelumnya hingga Rasulullah Saw.. Umat

Islam dalam sejarah akhirnya mengenal istilah Amîr al-Mu‟minîn untuk

memanggil pemimpin negaranya. Namun tugas Amîr al-Mu‟minîn masih tetap

seperti tugas khilafah atau imamah.21

Khalifah juga kadang disebut dengan al-Imâm al-A‟zam. Penamaan al-

Imâm al-A‟zam ini selaras dengan maksud firman Allâh Swt. dalam surah al-

Qasas/28: 5:

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di

bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan

mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”22

Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa Allâh memberikan keistimewaan kepada

bani Isrâil bahwa mereka menjadi pemimpin di dunia ini. Pemimpin yang

dimaksud adalah pemimpin yang diikuti dalam hal kebaikan atau pemimpin yang

mengajak kepada kebaikan, serta Allâh menjadikan bani Isrâil pewaris kekuasaan

dan kerajaan yang lainnya.23

Alasan lain mengapa seorang pemimpin negara Islam dipanggil dengan al-

Imâm al-A‟zam adalah untuk membedakan dengan imam-imam lainnya seperti

imam shalat.24

21

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478. 22

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 385. 23

Saʻîd Hawwa, al-asâs fî al-Tafsîr, jilid VII, h. 4060-4061. 24

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478.

Page 59: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

44

2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib

Mengangkat khalifah atau pemimpin merupakan kewajiban kolektif (fardu

kifâyah) sebagaimana kewajiban melakukan jihad dan mendirikan institusi

pengadilan. Apabila ada orang yang memegang jabatan ini dan dia memang

mampu, maka kewajiban tersebut gugur dari tanggung jawab seluruh umat.

Namun apabila tidak ada seseorang yang memegang jabatan khalifah ini, maka

semua umat Islam berdosa hingga mereka mengangkat orang yang mempunyai

kemampuan untuk menjadi khalifah.25

Sebagian orang berpendapat bahwa yang menanggung dosa adalah dua

kelompok umat saja, yaitu tokoh-tokoh umat yang pandai (ahl al-ra‟yu) hingga

mereka memilih khalifah dan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk

menjadi khalifah hingga mereka dipilih salah satunya untuk menjadi khalifah.26

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa yang benar adalah dosa tersebut

ditanggung oleh semua umat Islam, karena umat Islam semuanya menjadi objek

perintah dan larangan syara‟ dan yang berkewajiban menegakkan khilafah adalah

mereka semua.27

Terlihat sekali, dengan adanya beragam pendapat di atas, menunjukkan

bahwa seorang pemimpin merupakan tokoh yang sangat penting keberadaannya di

tengah-tengah masyarakat, yang memang sudah sepatutnya sebuah negara

memiliki seorang pemimpin.

25

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 478-479. 26

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 27

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479.

Page 60: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

45

3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin

Dasar utama bagi kewajiban pengangkatan khalifah adalah perintah-

perintah ajaran agama (syara‟). Menegakkan khilafah atau imamah merupakan

kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ kepada semua umat Islam. Syara‟

memerintahkan hal itu kepada semua umat Islam. Sehingga umat Islam wajib

melakukan usaha hingga tercapainya dan terlaksananya kewajiban tersebut.

Apabila kewajiban tersebut telah terlaksana, maka mereka telah lepas dari

tanggung jawab dan kewajiban. Apabila khalifah tersebut turun atau meninggal,

maka kewajiban itu kembali lagi di pundak semua umat Islam.28

Sa‟îd Hawwa memaparkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban

mendirikan khilafah sebagai berikut:

Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi‟liyyah yang

dilakasanakan Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim. Rasulullah membentuk

kesatuan politik yang terdiri dari umat Islam seluruhnya. Dengan kesatuan politik

umat Islam tersebut, Rasulullah membangun satu negara, dan Rasulullah sebagai

pemimpinnya (al-imâm al-a‟zam). Pada prinsipnya Rasul mempunyai dua tugas,

pertama menyampaikan risalah dari Allâh, kedua melaksanakan perintah-perintah

Allâh dan mengarahkan politik negara sesuai dengan aturan dan batasan yang

telah ditetapkan dalam ajaran Islam.29

Setelah wafatnya Rasulullah Saw., manusia tidak memerlukan lagi adanya

tambahan risalah dari Allâh Swt. karena semua risalah sudah terkumpul dalam al-

28

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479. 29

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479.

Page 61: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

46

Qur‟an dan Sunnah. Namun setelah Rasulullah membentuk kesatuan politik umat

dan memimpin mereka semua, baik yang berada di belahan barat atau timur, maka

umat manusia setelah wafatnya memerlukan orang yang menegakkan ajaran-

ajaran al-Qur‟an dan Sunnah dan menyiasati penegakannya dalam batas-batas

yang telah ditetapkan oleh agama. Bahkan atas dasar meneladani Rasululah Saw.

dan mengikuti sunnahnya, umat Islam wajib membentuk kesatuan politik di antara

mereka, mendirikan negara yang menyatukan mereka semua dan mengangkat

pemimpin sebagai pengganti Rasulullah dalam tugasnya melaksanakan ajaran-

ajaran agama dan mengurusi politik negara dengan menggunakan pedoman dan

petunjuk-petunjuk agama Islam yang murni.30

Kedua, Ijma‟ umat Islam, khususnya para sahabat untuk mengangkat

seseorang menjadi pemimpin negara yang menggantikan Rasulullah. Para sahabat

adalah orang yang lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk Islam. Sejenak setelah

meninggalnya Rasulullah, Abu Bakar menemui orang-orang dan berkata kepada

mereka, “Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad Saw. telah meninggal dunia, dan

agama ini harus ada yang mengurusnya.” Para sahabat meninggalkan urusan

persiapan pemakaman Nabi, dan mereka mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah

pengganti Rasulullah Saw. sebelum menyemayamkan jasad mulia Rasulullah.

Ijma‟ merupakan salah satu dasar hukum dalam Islam dan mempunyai kekuatan

laksana teks keagamaan, dan ijma‟ ini mengikat umat Islam secara hukum.31

Ketiga, banyak dari kewajiban-kewajiban keagamaan yang tidak bisa

dilaksanakan kecuali apabila ada khalifah atau imam. Sesuatu yang tanpanya,

menyebabkan sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana dengan sempurna, maka

30

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 479-480. 31

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480.

Page 62: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

47

sesuatu tersebut hukumnya juga wajib. Dengan mengangkat pemimpin, maka

bahaya-bahaya yang mengancam bisa ditanggulangi, dan mengatasi bahaya-

bahaya yang mengancam hukumnya adalah wajib. Di ketahui bersama bahwa

tujuan syara‟ menetapkan aturan-aturan dalam interaksi sesama manusia

(muʻâmalah), pernikahan, jihad, hukum had, dan ritual-ritual lainnya adalah untuk

kemaslahatan yang bisa dirasakan oleh umat, dan kemasalahan ini tidak bisa

terwujud kecuali dengan adanya seorang pemimpin yang memutuskan

perselisihan-perselihan yang terjadi di tengah umat. Tidak adanya pemimpin

menyebabkan banyak terabaikannya urusan agama dan banyak kebijakan,

keputusan dan langkah-langkah yang keluar dari ajaran Islam.32

Keempat, teks-teks al-Qur‟an dan al-Sunnah menetapkan bahwa

mengangkat pemimpin untuk umat Islam adalah wajib.33

Di antaranya firman

Allâh Swt. dalam suran al-Nisâ‟/4: 59:

.....

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu....”34

Rasulullah Saw. bersabda:

فشر دذث ب بب ب ش دذث ب هب ب غ دبصو دذث ب جشش ع اب

صه انه انب شة ع ش أب سبح ع ظ ب أب ل جشش ع

بث يبث بعت ف فبسق انج انطبعت خشج ي لبل ي عهى أ عه

هتيخ ت جب “Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farruh telah menceritakan

kepada kami Jarir -yaitu Ibnu Hazim- telah menceritakan kepada kami Ghailan

bin Jarir dari Abu Qais bin Riyah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam, bahwa beliau bersabda: Barangsiapa keluar dari ketaatan dan

32

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. 33

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 480. 34

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87.

Page 63: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

48

memisahkan diri dari (kesatuan) jamaʻah, maka apabila ia mati, ia mati

sebagaimana matinya orang jahiliyah.”35

Hadis lain dari Rasulullah yang berkaitan dengan pemimpin adalah:

أخبشب أب ع ع ب عث ب لبل دذثب عبذ انه ص ش ذ ان ذ ب يذ ه

خ لبل شش عشفجت ب عهبلت ع صبد ب ضة ع أب د صه انه لبل انب

بعذ ب عخك عهى إ بثعه خ سأ ف سفع ذ بث بث

ع فبلخه كبئب ي ى ج عهى عه ذ صه انه شذ حفشك أيش أيت يذ

انبط ي كب

“Telah mengabarkan kepada kami Abu Ali Muhammad bin Yahya Al

Marwazi, Ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Utsman dari

Abu Hamzah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari 'Arfajah bin Syuraih, ia berkata; Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya akan terjadi setelahku

fitnah dan fitnah -dan beliau mengangkat kedua tangannya- maka siapa yang

kalian lihat telah ingin memecah belah keadaan umat sedang mereka telah bersatu

maka bunuhlah dia siapapun dia.”36

Dari teks-teks di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus memilih

seorang khalifah yang memimpin mereka. Apabila dalam hidupnya seorang

Muslim tidak mempunyai khalifah, maka apabila dia meninggal akan meninggal

dalam keadaan seperti orang jahiliyah. Dari beberapa teks tersebut juga dapat

disimpulkan bahwa umat Islam harus mengangkat satu pemimpin, apabila ada dua

khalifah dibaiat maka yang terakhir dibaiat harus diperangi apabila ia tidak mau

menyerahkan kekuasaan kepada yang pertama. Begitu juga wajib bagi umat Islam

memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah belah persatuan umat Islam

yang berada di bawah kekuasaan satu pemimpin.37

35

Abu Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim. Sahîh Muslim (Beirut: Dâr al-Jîl, t.th.) Juz

6, h. 20. 36

Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman al-Nasâ‟i. Sunan al-Nasâ‟i (Beirut: Maktab al-

Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986) juz 7, h. 93. 37

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482.

Page 64: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

49

Kelima, Allâh Swt. menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu,

meskipun mereka berbeda bahasa, jenis dan bangsanya.38

Allâh Swt berfirman

dalam surah al-Mu‟minûn/23: 52:

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama

yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.”39

Pada ayat lain Allâh Swt. berfirman:

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama

yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (Q.S. al-Anbiyâ/21:

92).40

Saʻîd Hawwa mengatakan tuntutan dari ayat-ayat ini adalah umat Islam

harus menjadi umat yang satu, mempunyai kesatuan politik yang satu dan

mempunyai negara yang satu yang didirikan oleh mereka sendiri.41

Keenam, sesungguhnya Allâh Swt. telah menetapkan bahwa umat Islam

adalah umat yang satu, Allâh Swt. juga mewajibkan umat Islam untuk mendirikan

satu negara yang dibentuk oleh mereka sendiri dan menetapkan bahwa masalah

pemerintahan harus didasarkan atas syura. Allâh Swt. berfirman, “Dan urusan-

urusan mereka diselesaikan dengan cara syura di antara mereka.” Apabila umat

Islam diharuskan menjadi umat yang satu dan diwajibkan memilih seseorang

untuk memimpin pemerintahan, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali

memilih seorang pemimpin untuk memimpin negara Islam di saat memang belum

38

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482. 39

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 345. 40

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 330. 41

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483.

Page 65: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

50

ada pemimpinnya. Mereka harus mengangkat hanya satu pemimpin karena

pertimbangan mereka adalah umat yang satu dan harus memiliki satu negara.42

C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, karena tugas sebagai

pemimpin di samping memang memang merupakan tugas yang penting dan berat,

ia juga mengharuskan orang tersebut memiliki sifat-sifat khusus. Saʻîd Hawwa

menyebutkan ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin.

Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:43

1. Islam

Saʻîd Hawwa mengatakan tugas kekhalifahan dengan sendirinya

mensyaratkan orang yang memegang jabatan khalifah harus beragama Islam.

Tugas seorang khalifah adalah menegakkan agama Islam dan mengarahkan politik

negara sesuai dengan aturan-aturan Islam. Tugas seperti itu tidak bisa dijalankan

dengan benar kecuali oleh seorang Muslim yang meyakini agamanya dengan

sungguh-sungguh, mengetahui dasar-dasar dan petunjuk Islam. Sehingga bisa

disimpulkan, dengan sendirinya seorang pemimpin negara Islam haruslah seorang

Muslim.44

Kemusliman seorang khalifah merupakan konsekuensi logis dari

karakter negara Islam dan juga sesuai dengan logika normal. Islam sendiri

melarang jabatan khalifah dipegang oleh non-Muslim.45

Jika dilihat pandangan

Saʻîd Hawwa, pemimpin harus Muslim jika negara tersebut adalah negara Islam.

42

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483. 43

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483-484. 44

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 45

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484.

Page 66: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

51

Syarat ini tentunya agak sulit terpenuhi jika negara tersebut bukanlah negara

Islam. Namun, syarat ini terlihat akan lebih mudah terpenuhi jika negara tersebut

mayoritas berpenduduk Muslim sekalipun negaranya tidak berbentuk negara

Islam, seperti negara Indonesia yang ber-azaskan demokrasi.

Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengangkat firman Allâh

Swt. surah Âli „Imrân/3: 28 sebagai berikut:

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai

pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat seperti itu,

niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allâh, kecuali karena (siasat)

memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allâh

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allâh kembali

(mu).”46

Dalam ayat ini ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan non-

Muslim sebagai penolong, begitu juga ajaran Islam melarang seorang mukmin

menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin mereka, karena pemimpin juga

termasuk penolong.47

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa surah Âli „Imrân/3: 28 merupakan sebuah

larangan bagi orang-orang mukmin agar mereka tidak menjadikan orang-orang

kafir sebagai pemimpin, baik itu karena faktor kekerabatan, persahabatan, ingin

mendapatkan manfaat, karena faktor kecintaan ataupun karena rasa takut.48

Maka

46

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 53. 47

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 48

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II (Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 730.

Page 67: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

52

jelas bahwa orang mukmin hanya boleh memilih orang yang beriman untuk

dijadikan pemimpin mereka.

Di dalam menafsirkan kata ي د انؤي, Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa

orang-orang mukmin dipersilahkan untuk mengangkat sebagian dari mereka

(orang mukmin) sebagai pemimpin, hal ini sebagai alternatif atau untuk

menghindar dari menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, sehingga

orang-orang mukmin tidak mengutamakan orang-orang kafir di atas orang-orang

mukmin.49

Selanjutnya Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa bagi siapa saja yang

menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, bahwa dia telah keluar dari wilayah

Allâh. Karena menjadikan Allâh sebagai pemimpin dan sekaligus menjadikan

musuh-Nya (orang kafir) sebagai pemimpin, merupakan dua hal yang

bertentangan.50

Di sini akan terlihat sebuah pertentangan jika orang mukmin

memilih orang kafir sebagai pemimpin, karena orang kafir adalah orang yang

memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang mukmin di dalam hal keyakinan

agama. Maka antara hukum atau aturan yang berasal dari Allâh dengan hukum

aturan yang berasal dari orang kafir, sangat mungkin sekali untuk terjadi

pertentangan.

Kemudian Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Katsîr dalam menafsirkan

kalimat إال أ حخما يى حمبةdimana Ibnu Katsîr mengatakan; “kecuali orang mukmin

yang khawatir terhadap kejahatan orang-orang kafir dalam sebagian negeri dan

waktu, maka boleh bagi orang mukmin tersebut untuk menghindari kejahatan

mereka secara lahiriyah/taqiyah (menyembunyikan identitas), tidak secara batin

49

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 50

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.

Page 68: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

53

dan niat”.51

Di sini diperbolehkan jika memiliki pemimpin kafir, dikarenakan

mayoritas penduduk negeri itu adalah orang kafir, atau karena orang yang beriman

takut atau khawatir terhadap kejahatan yang dilakukan orang kafir. Namun

menjadikan mereka sebagai pemimpin, hanya sebatas lahiriyah saja, namun di

dalam hati tetap beriman kepada Allâh dan selalu mengikuti aturan-aturan-Nya.

Saʻîd Hawwa mengutip sebuah hadis dari Imâm Bukhâri yang meriwayatkan

dari Abû Dardâ bahwa ia berkata: “sesungguhnya kita bermanis-manis di hadapan

beberapa kaum (orang kafir), padahal hati kami melaknat mereka”. Imâm Bukhâri

berkata yang berasal dari Imâm Hasan bahwa taqiyah diperbolehkan sampai hari

kiamat.52

Imâm al-Nasafî mengomentari dalam makna pengecualian berikut: “kecuali

kamu khawatir terhadap orang-orang kafir akan satu perkara yang wajib

menghindarinya, maksudnya adalah kecuali bila orang kafir tersebut mempunyai

kekuasaan atasmu. Jika kamu khawatir terhadap jiwa dan hartamu, maka ketika

itu dibolehkan bagimu untuk menampakkan muwâlah (bersahabat/persahabatan)

dan menyembunyikan permusuhan”.53

Saʻîd Hawwa mengatakan Allâh telah memperingatkan siksaan-Nya

terhadap kita di dalam menentang Allâh. Dia juga telah memperingatkan siksaan

dan azab-Nya terhadap orang-orang yang menolong musuh-Nya dan memusuhi

para kekasih-Nya. Karena hanya kepada Allâh kita kembali dan siksaan tersebut

telah dipersiapkan di sisi-Nya.54

51

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 52

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 53

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730. 54

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730-731.

Page 69: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

54

2. Laki-laki

Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang laki-laki, karena tabiat

wanita tidak memungkinkannya memegang kepemimpinan negara, yang

menuntutnya untuk bekerja secara terus-menerus, memimpin tentara dan

mengatur segala urusan. Tugas-tugas ini tentunya sangat berat dan melelahkan

bagi wanita.55

Saʻîd Hawwa mengangkat sebuah hadis yang menjadi dalil untuk

melarang kepemimpinan wanita. Rasulullah Saw. bersabda:

أب بكشة ت دذث أب ع ع عهى دذثب ذ ع عه صه انه انب ع

فه ى إن ايشأةلبل ن و أعذا أيش خ ل

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Uyainah, telah

menceritakan kepadaku Ayahku dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam, beliau bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang menyandarkan

urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita.”56

Pada bagian ini, Saʻîd Hawwa tidak menjelaskan panjang lebar bahwa

syarat seorang pemimpin haruslah laki-laki. Namun jika dilihat negara-negara di

dunia, terdapat beberapa negara yang memiliki pemimpin atau pernah dipimpin

oleh seorang wanita, termasuk salah satunya adalah negara Indonesia. Boleh jujur

dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan ketika Indonesia dipimpin

baik oleh laki-laki maupun perempuan.

3. Akil Balig

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin disyaratkan harus

sudah mukallaf atau akil balig. Anak kecil, orang gila dan orang ayan sudah

barang tentu tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin negara. Maksud

55

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484. 56

Imâm Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 5, h. 38.

Page 70: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

55

utama dari kepemimpinan adalah mengurusi wilayah orang lain, sedangkan orang-

orang tersebut (orang gila dan ayan) tidak ada kemampuan untuk mengurusi diri

mereka sendiri, sehingga tidak mungkin mereka diserahkan tugas untuk

mengurusi orang lain.57

Anak kecil, orang gila dan orang ayan secara syara‟ tidak dimintai

pertanggungjawaban, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw:

ت ع عه بد ب أخبشب د بس بت دذثب ضذ ب أب ش ب ب ب عث دذث

ب ع انه عبئشت سض د ع انأع ى ع إبشا بد ع صه د سعل انه أ

بخه ان ع مظ انبئى دخ غخ ثهبثت ع عهى لبل سفع انمهى ع عه انه

دخ كبش انصب ع دخ بشأ

“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata,

telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan

kepada kami Hammad bin Salamah dari hammad dari Ibrahim dari Al Aswad dari

'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Pena (pencatat amal) di angkat (tidak digunakan untuk mencatat amal) tiga

golongan: anak kecil hingga ia sampai masa akil balig, orang yang tidur hingga ia

bangun dan dari orang gila hingga ia sadar.”58

Orang yang tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sudah barang

tentu tidak akan mungkin bertanggung jawab atas diri orang lain. Dasar utama

kepemimpinan adalah mengemban tanggung jawab penuh (al-Masʻûliyyah al-

Tâmmah). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

ب عبذ انه بعم دذث يبنك ع دذثب إع ش سض ع ب عبذ انه دبس ع

ب ع انه

سعخ كهكى يغئل ع عهى لبل أنب كهكى ساع عه صه انه سعل انه أ

يغئل ع م فبنئيبو انز عه انبط ساع انشجم ساع عه أ سعخ

57

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485. 58

Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats al-Sajastani. Sunan Abî Dâwud (Beirut: Dâr al-

Kitâb al-ʻArabî, t.th) Juz 4, h. 243.

Page 71: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

56

نذ ب ج ج ص م ب شأة ساعت عه أ ان سعخ يغئل ع خ ب

أنب يغئل ع عبذ انشجم ساع عه يبل عذ ى فكهكى ساع يغئنت ع

سعخ كهكى يغئل ع

“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku

Malîk dari „Abdullah bin Dinâr dari „Abdullâh bin „Umâr radiallahu 'anhuma,

Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap

kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang

memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang

dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan

dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin

terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai

pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin

terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya,

ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”59

Dapat dikatakan bahwa seseorang yang sudah akil balig, sudah bisa

membedakan antara yang baik dan buruk, dapat membedakan antara yang benar

dan salah, tentunya akan mempunyai pemikiran yang matang jika diserahkan

tanggungjawab untuk memimpin sebuah negara. Maka dikhawatirkan jika negara

dipimpin oleh seseorang yang belum akil balig, negara tidak mempunyai tujuan

yang jelas, sehingga akan timbul kekacauan.

4. Pandai

Seorang pemimpin disyaratkan harus seorang yang pandai. Ilmu yang

pertama-tama harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah ilmu tentang hukum-

hukum Islam, karena ia berkewajiban untuk melaksanakan dan menerapkan

hukum-hukum tersebut dan mengarahkan politik negara agar sesuai dan selaras

dengan aturan-aturan Islam. Apabila seseorang tidak mengetahui hukum-hukum

Islam, maka ia tidak boleh diajukan untuk menjadi pemimpin.60

59

Muẖammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 (Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh,

2001), h. 42. 60

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 485.

Page 72: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

57

Sebagian ulama berpendapat bahwa tingkat kemampuan keilmuan

seorang pemimpin dalam masalah hukum harus tinggi, tidak boleh hanya taklid

kepada ulama-ulama pendahulunya, karena taklid termasuk kekurangan, sehingga

disyaratkam harus sudah sampai pada taraf mujtahid.61

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus

ahli dalam masalah hukum Islam, ia juga harus mempunyai wawasan dan

cakrawala pengetahuan yang luas. Mengetahui dengan baik cabang-cabang ilmu

yang berkembang pada masanya, meskipun ia tidak sampai pada taraf ahli dalam

setiap spesialisasi ilmu-ilmu tersebut. Pemimpin juga disyaratkan harus

mengetahui sejarah dan pengetahuan tentang negara-negara di dunia, mengetahui

undang-undang internasional, perjanjian-perjanjian internasional, dan juga

pengetahuan tentang hubungan-hubungan politik, sejarah dan perdagangan di

antara negara-negara di dunia.62

Kepandaian adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin. Kepandaian dari seorang pemimpin adalah bekal serta jaminan bagi

sebuah negara untuk terus maju. Jika melihat realita yang terjadi sekarang ini,

persaingan antara negara yang satu dengan negara lain terjadi, maka apabila

seorang pemimpin tersebut adalah orang yang pandai, ia dapat memenangi

persaingan tersebut dengan cara yang sehat dan bijak. Tentunya pemimpin harus

memiliki kepandain, terutama dalam hal agama. Sehingga nilai-nilai agama akan

selaras dan sejalan dengan arah tujuan negara tersebut.

5. Adil

61

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 62

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486.

Page 73: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

58

Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus

mempunyai sifat adil, karena dia membawahi jabatan-jabatan yang harus

dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil juga, oleh karena itu sudah

barang tentu apabila jabatan pemimpin harus dipegang oleh orang-orang yang

mempunyai sifat adil.63

Saʻîd Hawwa mengutip standar adil menurut para ahli fiqih yakni

apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dan juga

keutamaan-keutamaan dalam agama, meninggalkan kemaksiatan, hal-hal yang

hina dan semua hal yang bisa menghilangkan kehormatan. Sebagian ulama

mensyaratkan sifat adil harus muncul dari kebiasaan diri bukan karena

keterpaksaan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meskipun

sifat adil berawal dari keterpaksaan, namun akhirnya nanti juga akan menjadi

kebiasaan pribadi seseorang.64

Bersikap adil merupakan sebuah etika yang wajib dimiliki oleh

seorang pemimpin. Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari

bahasa Arab “‟adl”. Kata „adl terambil dari kata „adala yang terdiri dari huruf

„ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang

bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda.”65

Seorang

yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran

63

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 64

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 65

Abu Husain Ahmad bin Fâris, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr,

1994/1415), h. 745.

Page 74: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

59

yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seroang yang

adil tidak berpihak kepada yang salah.66

Salah satu ayat al-Qur‟an yang mebicarakan tentang keadilan adalah

surah al-Nisâ/4: 58, yang menjelaskan bahwa apabila menetapkan hukum harus

dengan adil. Berikut surah al-Nisâ/4: 58:

“Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah

Maha mendengar lagi Maha melihat.”67

Al-Baidhâwi menyatakan bahwa al-„adl bermakna al-insâf wa al-sawiyyat,

“berada di pertengahan dan mempersamakan.”68

Pendapat serupa juga

dikemukakan oleh al-Râghib69

dan Rasyîd Ridhâ.70

Sejalan dengan pendapat ini,

Sayyid Qutb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan

yang dimilki setiap orang.71

Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama

oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan

66

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/

tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran dan (3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Lihat

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 7. 67

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87 68

Nasruddin Abu Al-Khair „Abdullâh bin „Umar Al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr

al-Ta‟wîl, jilid I (Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939), h. 191. 69

Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‟ân

(Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H) h. 235. 70

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, jilid V, h. 174. Ridhâ menyatakan bahwa

keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti

menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. 71

Sayyid Qutb, Fî Zilâl Al-Qur‟ân, jilid V (Beirut: Dâr al-„Arabiyah, 2000), h. 118;

Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalil di atas menhendaki keadilan yang menyeluruh di antara

sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula

atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai

manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

Page 75: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

60

oleh al-Marâghî. Ia tidak meilhat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi

menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah

ditetapkan menjadi milik seseorang. Konsep al-Marâghî ini lebih relevan dengan

kata al-qist dari pada kata al-„adl.72

Saʻîd Hawwa menjelaskan tentang makna keadilan pada ayat tersebut,

bahwa di dalam menetapkan hukum antar sesama manusia, maka harus

memutuskan dengan sama rata, tidak dicampuri atau tidak disertai dengan hawa

nafsu dan kecurangan, dan memutuskannya dengan menggunakan hukum Allâh.73

Itulah pendapat Saʻîd Hawwa di dalam menjelaskan tentang makna “menetapkan

hukum dengan adil.”

6. Mempunyai Kemampuan

Saʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus

mempunyai kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing

masyarakat di samping tentunya harus mempunyai keahlian dalam melaksanakan

tugas-tugas administratif dan perpolitikan. Barangsiapa mengerjakan hal itu

dengan adil maka ia telah melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.74

Tidak dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa secara spesifik bagaimana

kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Namun, sudah menjadi

keniscayaan bahwa seorang pemimpin harus mempunayi kemampuan di dalam

memimpin. Negara merupakan sebuah institusi besar, yang di dalamnya hidup

manusia yang banyak terdiri dari berbagai agama, suku, kebudayaan, adat-istiadat,

72

Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik , h. 190. 73

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1088. 74

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486

Page 76: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

61

dan lain-lain. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan beragam masalah, baik itu

permasalahan dalam bidang agama, ekonomi, sosial, budaya serta permasalahan-

permasalahan lain yang lazimnya muncul dari sebuah negara. Makan menjadi

keharusan bagi seorang pemimpin, untuk memiliki kemampuan mengahadapi

setiap permasalahan, serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan negara,

sehingga negara akan terus menjadi lebih baik.

7. Sehat Jasmani

Saʻîd Hawwa memasukkan pendapat sebagian ulama yang

mensyaratkan seorang pemimpin harus berbadan sehat dan tidak cacat. Orang

yang buta, tuli, bisu, dan hilang sebagian anggota badannya tidak boleh menjadi

seorang pemimpin. Argumentasi ulama yang berpendapat seperti ini adalah,

kecacatan seseorang akan mengurangi kemampuan kerja atau paling tidak

pekerjaannya tidak akan terselesaikan dengan sempurna.75

Jika seseorang secara jasmani tidak sehat atau cacat, bisa

dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi penghambat bila ia ditugaskan untuk

memimpin sebuah negara. Namun hal ini bisa jadi menimbulkan pertentangan,

karena tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak sehat secara jasmani,

tetapi memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara dikarenakan

memiliki illmu yang luas, gagasan-gagasan besar yang bisa menjadi solusi untuk

kemajuan sebuah negara. Sehingga harus dikaji lebih dan spesifik syarat seorang

pemimpin dalam poin ini.

75

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486-487.

Page 77: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

62

8. Keturunan Quraisy

Pada syarat yang terakhir ini untuk dipenuhi seorang pemimpin, Saʻîd

Hawwa mengatakan bahwa syarat ini masih banyak yang memperdebatkan.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang khalifah harus dari keturunan

Quraisy, argumentasi mereka adalah hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan

dengan masalah ini. Sabda nabi Muhammad Saw. yang menyangkut masalah ini

adalah sebagai berikut:76

انذبسد ع انمبعى ب أب ثببج ع دبب ب ع ى دذثب عفب دذثب أب ع

أب يغعد لبل عخبت ع ب عبذ انه عهى لبل سعل انه عه صه انه

زا انأيش نب ضال ش إ يب نى حذذثا فئرا فعهخى رنك عهط نمش نبح خى أ فكى

ب هخذ انمضب كى ك انخذ كى ششاس خهم عه انه

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada

kami Sufyan dari Habib bin Abu Tsabit dari Al Qosim bin Al Harits dari

'Abdullah bin 'Utbah dari Abu Mas'ud berkata; Rasulullah

Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada kaum Quraisy; Masalah kekuasaan

ini akan tetap ada pada kalian dan kalian yang menguasainya selama kalian tidak

membuat-buat hal-hal baru. Bila kalian melakuannya, Allah akan memberi kuasa

pada makhlukNya yang jahat untuk menguasai kalian lalu mereka akan menguliti

kalian laksana pedang tajam menguliti.”77

Saʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun, yang memberikan

alasan bahwa keharusan kepemimpinan dipegang oleh Quraisy adalah karena

soliditas dan fanatisme suku Quraisy yang sangat kuat.78

“Sesungguhnya kaum Quraisy merupakan kaum yang paling kuat

solidaritasnya dalam komunitas bani Mudhir, dia juga merupakan asal-usul

keberadaan komunitas ini dan ia jga kaum yang paling kuat dalam komunitas ini.

76

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 487. 77

Ahmad bin Hanbal Abu „Abdullâh al-Syaibâni. Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo:

Mu‟assasah Qurtbah, t.th) Juz 5, h. 274. 78

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 489.

Page 78: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

63

Orang-orang Arab selain suku Quraisy mengakui keistimewaan Quraisy tersebut.

Kalau seandainya para pemimpin diangkat dari selain kaum Quraisy, maka

hampir dipastikan akan muncul perpecahan karena suku Quraisy pasti menentang

dan tidak mau tunduk kepadanya. Suku-suku lainnya yang masih dalam

komunitas bani Mudhir juga tidak mampu menghalangi atau memaksa kaum

Quraisy ini untuk menghentikan pembangkangan ini. Maka akan muncul banyak

kelompok dan kekuatan akan terpecah belah. Padahal syara‟ melarang hal itu dan

sangat mengharapkan adanya persatuan.”

Dari uraian Ibnu Khaldun, Saʻîd Hawwa menyimpulkan bahwa alasan

disyaratkanya seorang khalifah atau pemimpin harus dari keturunan Quraisy

adalah karena kaum Quraisy mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Hak mereka

untuk diprioritaskan menjadi khalifah hilang dengan sendirinya di saat kekuatan

mereka melemah.79

Saʻîd Hawwa mengingatkan untuk perlu diperhatikan bahwa kelompok

yang masih tetap mensyaratkan khalifah harus dipegang oleh keturunan Quraisy,

membolehkan kekhalifahan atau kepemimpinan tersebut dipegang oleh orang

yang menang dalam perebutan kekuasaan, walaupun ia bukan orang Quraisy.

Namun mereka membolehkan hal itu karena darurat.80

Demikianlah delapan syarat menurut pandangan Saʻîd Hawwa yang

harus dimiliki dan dipenuhi oleh seorang pemimpin. Kemudian Saʻîd Hawwa juga

mengatakan, apabila kondisi menuntut ditambahnya beberapa syarat karena

pertimbangan kemaslahatan umum, maka boleh menambahkan syarat-syarat

tersebut. Seperti, persyaratan pemimpin harus dipegang oleh seseorang yang

sudah mencapai umur tertentu, juga diperbolehkan. Boleh juga mensyaratkan

pemimpin harus sudah mencapai tingkatan akademis tertentu. Al-hasil, syarat-

syarat lain boleh ditetapkan apabila memang kondisi yang berubah dan

79

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 80

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.

Page 79: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

64

kemaslahatan umat menuntut itu. Namun, semuanya harus ditetapkan melalui

prosedur penetapan Dewan Tinggi Permusyawaratan Muslimin.81

D. Pengangkatan Seorang Pemimpin

1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan

Agama

Sa‟îd Hawwa mengatakan bahwa hanya ada satu prosedur legal

pengangkatan seorang khalifah atau pemimpin, yaitu dengan pemilihan yang

dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahl al-halli wa al-ʻaqdi) dan

kesanggupan yang dinyatakan oleh orang yang dipilih menjadi pemimpin.82

Pengangkatan seorang pemimpin harus dilakukan dengan mekanisme

kontrak. Pihak pertama adalah orang yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin

dan pihak kedua adalah para tokoh yang mewakili umat Islam. Sebuah kontrak

(aqad) tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijâb, penyerahan tanggung jawab,

dan al-qabûl, yaitu penerimaan tanggung jawab. Al-Ijâb dilakukan oleh ahl al-

halli wa al-„aqdi atau ahl al-syura. Al-Ijâb pada hakikatnya adalah proses

pemilihan pemimpin itu sendiri. Adapun al-qabûl datang dari pihak orang yang

terpilih menjadi pemimpin. Mekanisme inilah yang dipraktikkan oleh para sahabat

setelah meninggalnya Rasulullah Saw.. Khulafa al-Rasyidîn dipilih dan diangkat

dengan mekanisme seperti ini.83

Namun, jika dilihat dari realita yang ada,

sebagian besar negara di dunia menggunakan sistem pemilu dengan multi-partai,

atau hanya beberapa partai, yang boleh dikatakan tetap bisa menghasilkan seorang

pemimpin yang berkualitas.

81

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 82

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 491. 83

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.

Page 80: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

65

Inti dari mekanisme yang dijelaskan oleh Saʻîd Hawwa adalah

pengangkatan seorang pemimpin dengan cara musyawarah. Saʻîd Hawwa

mengangkat surah al-Syûra/42: 38 untuk menjelaskan hal ini. Berikut bunyi surah

al-Syûra/42: 38:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara

mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada

mereka.”84

Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa masalah pemerintahan adalah masalah

umat yang penting yang harus diselesaikan lewat mekanisme musyawarah. Umat

Islam harus memilih orang yang akan memegang kepemimpinan yang bertugas

menangani urusan-urusan mereka dan melaksanakan perintah-perintah Allâh Swt.

agar mereka memang betul-betul sesuai dengan sifat yang diberikan oleh Allâh

Swt. kepada mereka, yaitu urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka.85

2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin

Menurut syara‟ seorang khalifah atau pemimpin adalah wakil resmi umat

dalam menjalankan perintah-perintah Allâh dan mengatur urusan-urusan umat

dengan pedoman aturan-aturan Allâh. Kedua tugas ini merupakan tugas permanen

umat Islam. Khalifah atau pemimpin sebagai wakil umat tidak dibatasi dengan

84

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 487. 85

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 492.

Page 81: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

66

waktu tertentu untuk menjalankan tugas ini, namun tugas tersebut tetap harus

dijalankan oleh pemimpin hinga akhir umurnya selagi ia mampu

melaksanakannya dan selagi ia tidak melakukan hal-hal yang bisa dijadikan alasan

untuk mencopotnya dari jabatannya. Pembatasan waktu pemberian tugas terhadap

pemimpin tidak artinya di saat tugas tersebut masih menjadi kewajibannya, karena

masih mampu melaksankannya dan masih layak menjadi pemimpin.86

Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa praktik kekhalifahan pada masa awal

Islam juga menunjukkan bahwa jabatan khalifah berlangsung hingga

meninggalnya khalifah tersebut, selagi ia tidak memutuskan untuk mengundurkan

diri, seperti yang dilakukan oleh al-Hasan bin „Ali dan Muʻawiyah bin Yazîd, dan

selagi ia tidak diturunkan dari jabatannya karena suatu sebab, sebagaimana yang

terjadi pada diri Ibrahim bin Walîd dan Marwan bin Muhammad pada masa

kekhalifahan Muʻawiyah.87

Pengalaman sejarah menegaskan bahwa jabatan khalifah hingga

meninggalnya pemegang jabatan lebih menjamin stabilitas berbagai urusan umat;

mencegah terjadinya perselisihan dalam menentukan seorang khalifah dan

mencegah terjadinya kompetisi untuk merebut kekuasaan. Pergantian khalifah

hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat. Keadaan darurat tersebut hanya

terjadi pada tiga kondisi, yaitu ketika khalifah meninggal dunia, ketika khalifah

dicopot dari jabatannya, dan ketika khalifah menyatakan sendiri pengunduran

dirinya dari jabatan.88

86

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 87

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 88

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498.

Page 82: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

67

Sebenarnya tidak ada nas yang menyatakan bahwa seorang khalifah atau

pemimpin harus bertugas hingga meninggalnya, namun ijma‟ umat Islam sudah

cukup untuk dijadikan dalil mengenani masalah ini.89

Karena ijma‟ merupakan

salah satu dasar syariat Islam.

3. Pencopotan Seorang Pemimpin

Memegang tugas sebagai pemimpin hingga mati merupakan hak seorang

pemimpin, namum pencopotan pemimpin dari jabatannya juga merupakan hak

umat apabila pemimpin tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal

ini karena pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin disertai dengan

syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Apabila dia masih sanggup memenuhi

syarat-syarat tersebut maka ia masih berhak memegang jabatannya, namun

apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka ia berhak untuk dicopot dari

jabatannya.90

Seorang pemimpin bisa dianggap berubah dan berhak untuk dicopot dari

jabatannya apabila terjadi kecacatan dalam keadilannya atau terjadi kecacata pada

tubuhnya. Saʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengutip pendapat al-

Mawardi.91

4. Cacatnya Keadilan

89

Ijma‟ di sini hanya menetapkan kebolehan seorang khalifah bertugas hingga akhir masa

hidupnya. Ijma‟ ini tidak bisa dipahami sebagai pelarangan pembatasan masa tugas khalifah atau

pemimpin. Jika umat Islam mensyaratkan pembatasan waktu, maka harus dijalankan karena syarat

yang ditetapkan oleh umat Islam harus dipenuhi. 90

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498. 91

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.

Page 83: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

68

Hal yang bisa menyebabkan keadilan seseorang rusak atau cacat adalah

karena ia telah melakukan kefasikan. Kefasikan ada dua macam. Pertama,

kefasikan-kefasikan yang disebabkan menurut hawa nafsu. Kedua, kefasika-

kefasikan yang termasuk kategori syubhat, yakni hal-hal yang belum jelas status

hukumnya.92

Bentuk kefasikan yang pertama berhubungan dengan kerja anggota tubuh.

Yaitu di saat anggota tubuh melakukan hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang

munkar karena menuruti syahwat dan hawa nafsu, seperti melakukan perzinaan,

meminum khamr atau mengambil sesuatu tanpa izin. Apabila seseorang

melakukan bentuk kefasikan ini, maka ia tidak bisa diangkat menjadi pemimpin.

Apabila seseorang sudah menjadi pemimpin dan ia melakukan kefasikan ini,

maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila ia bertaubat dan keadilannya

kembali lagi, maka tidak bisa menjadi pemimpin lagi secara otomatis, melainkan

harus dengan akad baru lagi, pendapat seperti ini dikemukakan oleh al-Mawardi

dan sebagian ahli fiqih.93

Adapun bentuk kefasikan yang kedua berhubungan erat dengan masalah

keyakinan. Orang yang melakukan penakwilan-penakwilan dengan berdasarkan

hal-hal yang masih belum jelas (syubhat) akan terjerumus pada kesalahan. Orang

yang melakukan jenis kefasikan ini dihukumi sebagaimana orang yang melakukan

kefasikan jenis pertama. Ia tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan harus

dicegah untuk melakukan kefasikan itu lagi. Adapun sebagian ulama lain

berpendapat bahwa kefasikan yang berhubungan dengan keyakinan ini tidak

sampi menyebabkan dicopotnya seorang pemimpin dari jabatannya. Bahkan ada

92

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499. 93

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.

Page 84: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

69

yang berpendapat bahwa dua jenis kefasikan tersebut sama sekali tidak

berpengaruh apapun bagi jabatan pemimpin selagi tidak sampai pada tingkatan

kafir.94

Di antara dalil yang digunakan oleh kelompok terakhir ini adalah hadis

yang diriwayatkan oleh „Ubadah bin al-Samit, ia berkata:

عع ذ ب يبنك ع دذث ع عببدة ب نذ ب ان ذ لبل أخبش عببدة ب

لبل جذ ع أب عهى عه انصبيج ع عه صه انه ببعب سعل انه

كش ان شط ان انعغش انطبعت ف انغش ع انغ ه نب بصع انأيش أ أ

يت نبئى ن ب كب نب خبف ف انه ث مو ببنذك د مل أ أ“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id berkata,

telah mengabarkan kepadaku 'Ubadaah bin Al Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit

dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Kami telah berbai'at kepada Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam untuk selalu mendengar dan taat, baik pada waktu

mudah ataupun sulit, dalam keadaan semangat ataupun terpaksa, untuk tidak

menentang pemerintahnya, serta selalu berkata atau menegakkan kebenaran di

mana pun kami berada, untuk tidak takut dalam menegakkan urusan karena Allah

meskipun mendapat celaan.”95

5. Kecacatan Pada Tubuh

Hal-hal yang menyebabkan kondisi pemimpin berubah, dan karenanya

bisa dicopot dari jabatannya, Saʻîd Hawwa mengutip pendapat al-Mawardi yang

mengatakan bahwa ada tiga macam yang menyebabkan seorang pemimpin dapat

diturunkan dari jabatannya karena disebabkan kecacatan tubuh yang ada pada diri

seorang pemimpin.96

Pertama, hilangnya daya pancaindra (naqsu al-hawâs). Orang yang tidak

mempunyai kemampuan melihat, tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, begitu

juga jika kecacatan tersebut terjadi ketika ia sedang menjadi pemimpin, maka ia

harus turun dari jabatannya. Adapun kecacatan tuli atau bisu, para ula ulama

94

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, 499. 95

Imâm Muslim. Sahîh Muslim, Juz 6, h. 16. 96

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500.

Page 85: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

70

sepakat bahwa orang yang tuli dan bisu tidak boleh diangkat menjadi pemimpin,

namun para ulama berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut terjadi ketika ia

sedang menjabat sebagai pemimpin, sebagian mengkategorikannya sebagai hal

yang membatalkan kepemimpinannya, dan sebagian lagi menganggapnya tidak,

sehingga ia masih berhak menjadi pemimpin.97

Kedua, hilangnya anggota badan (naqsu al-a‟dâ). Hilangnya sebagian

anggota badan ada yang menyebabkan pengangkatan seorang pemimpin menjadi

tidak sah, baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau sesudah pengangkatan.

Termasuk ke dalam kategori ini adalah hilangnya anggota badan yang

meyebabkan pekerjaan dan tugas tidak bisa dilaksanakan, seperti hilangnya kedua

tangan atau yang menyebabkan seseorang sama sekali tidak bisa bergerak dengan

aktif, seperti hilangnya kedua kaki. Ada perbedaan pendapat di antara ulama,

apabila anggota badan yang hilang tersebut tidak menyebabkan terhentinya

pekerjaan dan aktivitas secara total; sebagian berpendapat apabila kecacatan

seperti ini terjadi dalam masa kepemimpinannya, maka hal itu menyebabkan

gugurnya hak kepemimpinan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat hal itu

tidak menggugurkan hak kepemimpinan sama sekali.98

Ketiga, tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan aktivitas (naqsu

al-tasarruf). Kondisi ini adakalanya disebabkan oleh adanya pihak lain yang

mengendalikannya (al-hijr) atau karena adanya tekanan dan paksaan dari pihak

lain (al-qahr). Maksud dari al-hijr adalah, adanya pihak-pihak lain semisal kawan

pemimpim yang mengendalikan dan berperan secara dominan dalam

melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, namun orang-orang tersebut tidak

97

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500. 98

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.

Page 86: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

71

melakukan kemaksiatan-kemasiatan dan juga tidak mengangkat perselisihan dan

penentangan terhadap pemimpin. Apabila terjadi kondisi seperti ini, maka seorang

pemimpin tidak harus diturunkan dari jabatannya, namun harus dilihat terlebih

dahulu aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya.

Apabila aksi-aksianya sesuai dengan hukum-hukum agama dan selaras dengan

semangat keadilan, maka pemimpin terus berada pada jabatannya, namun, apabila

aksi-aksinya melanggar hukum-hukum agama dan tidak sesuai dengan semangat

keadilan, maka pemimpin harus meminta bantuan dari pihak lain untuk

melepaskan diri dari kendali orang-orang tersebut.99

Adapun yang dimaksud dengan al-qahr adalah, suatu kondisi di mana

seseorang berada di bawah tekanan dan paksaan musuh, dan dia tidak bisa lepas

dari tekanan tersebut. Orang yang seperti ini tidak boleh diangkat menjadi

pemimpin, karena ia tidak mampu memikirkan urusan-urusan umat. Apabila

kondisi ini terjadi di tengah masa kepemimpinan, maka umat boleh mencopotnya

dari jabatan dan memilih pengganti yang lainnya, karena untuk melepaskan diri

dari tekanan dan paksaan musuh tersebut merupakan masalah yang sangat sulit.100

E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin

Apabila ahl al-syura telah memilih dan membaiat seorang pemimpin,

maka ia secara resmi menjadi pemimpin dengan pembaiatan tersebut. Ketika

pemimpin memegang jabatannya tersebut, ia mendapatkan tugas dan kewajiban-

kewajiban dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya

tersebut. Pemimpin juga dibebani tanggung jawab-tanggung jawab yang

99

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. 100

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501.

Page 87: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

72

jumlahnya tidak terhitung. Namun di sisi lain, ia juga mempunyai hak-hak yang

harus dipenuhi oleh umat Islam, selagi ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya

dan tidak ceroboh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.101

1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin

Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa kewajiban-kewajiban yang harus

dilakukan oleh seorang pemimpin sangat banyak, namun secara umum bisa

dikelompokkan kepada dua tugas utama, menegakkan ajaran agama Islam dan

mengatur urusan negara sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh

Islam.102

Pemimpin berkewajiban mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan

ajaran yang ditetapkan oleh Islam. Maksud dari uraian tersebut adalah dalam

mengatur urusan-urusan negara, seorang pemimpin harus menggunakan

mekanisme musyawarah, karena agama Islam menetapkan bahwa musyawarah

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Seorang

pemimpin harus mengajak musyawarah pihak-pihak yang dipimpinnya dalam

segala permasalahan yang beruhubungan dengan pemerintahan. Pemimpin harus

mengambil pendapat atau sebagian besar pendapat dari mereka apabila memang

mereka tidak sepakat dalam suatu masalah.103

Musyawarah merupakan sebuah ungkapan yang sering diidentikkan

dengan kata demokrasi di era modern. Meskipun ada perbedaan, dalam pandangan

Yûsuf al-Qardâwî, musyawarah dan demokrasi memiliki titik persamaan. Di

101

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 505. 102

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 103

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.

Page 88: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

73

antaranya adalah bahwa substansi demokrasi adalah memberikan bentuk dan

beberapa sistem yang praktis seperti pemilu untuk meminta pendapat rakyat,

kebebasan berpendapat dan lain-lain. Hal-hal tersebut jelas adalah bagian penting

dari musyawarah yang diajarkan Islam.104

Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyâwarah yang

merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syâwara, yusyâwiru. Kata ini

terambil dari akar kata syin, wau, dan ra yang bermakna pokok mengambil

sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu.105

M. Quraish Shihab

menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan

madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup

segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk

pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,

sejalan dengan makna dasar di atas.106

Salah satu ayat yang mengajarkan bahwa seseorang pemimpin harus

bermusyawah di dalam mengambil keputusan adalah surah Âli „Imrân/3: 159.

“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu Berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah

mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam

urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka

104

Yûsuf al-Qardâwî, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1997), h.

125. 105

Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât, h. 270; Ibnu Faris. Mu‟jam Maqâyis, h. 541. 106

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid II, h. 244; Bandingkan dengan Al-Râgib

al-Asfahânî. al-Mufradât, h. 270.

Page 89: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

74

bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya.”107

Ayat ini turun berkenaan denga peristiwa perang Uhud yang terjadi pada

tahun ketiga hijrah. Dalam peperangan tersebut pada mulanya pasukan muslim di

bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. memperoleh kemenangan. Namun,

karena sebagian pasukan Islam tidak disiplin, maka akhirnya kaum kafir Quraisy

berhasil memporak-porandakan pasukan Nabi. Beliau sendiri menderita luka agak

serius dalam pertempuran tersebut dan bahkan sempat beredar kabar di kalangan

pasukan muslim bahwa Nabi sudah wafat. Akhirnya, berkat pertolongan Allâh,

pasukan muslim berhasil mengusai keadaan dan memenangkan pertempuran

kembali.108

Ayat ini menjelaskan bagaimana Rasulullah diajarkan oleh Allâh untuk

melakukan musyawarah dengan para sahabat atau pasukan Islam dalam peristiwa

perang Uhud. Saʻîd Hawwa menjelaskan makna bermusyawarah pada kalimat di

atas adalah bahwa Rasulullah harus bermusyawarah dengan para sahabat dan

pasukan muslim, dalam seluruh urusan yang khusus ada pada mereka, baik berupa

urusan peperangan, perdamaian dan lain-lain. Saʻîd Hawwa juga menerangkan

bahwa termasuk harus mengadakan musyawarah terhadap hal-hal yang belum

diturunkan wahyu atas nabi Muhammad, hal ini untuk menyenangkan hati mereka

(pasukan Muslim), menggembirakan jiwa mereka, mengangkat derajat mereka,

memberikan kesadaran kepada mereka terhadap pernyataan-pernyataan yang

mereka sampaikan di dalam musyawarah dan menggerakkan mereka ke arah yang

membuat mereka merasa puas, karena musyawarah adalah hal yang maslahat,

107

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 71. 108

Abû Al-Hasân „Ali bin Ahmad Al-Wâhidi Al-Naisaburi, Asbâb al-Nuzûl (tkp:

Maktabah wa Mathba‟ah al-Manâr, t.t.), h. 112.

Page 90: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

75

sehingga mereka dapat mengeluarkan kemampuan akal terbaik mereka untuk hal

yang lebih baik bagi kelompok mereka dengan diadakannya musyawarah.109

Pada bagian akhir, Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa jika telah diputuskan

satu pendapat atas sesuatu (telah sepakat) beradasarkan hasil musyawarah, maka

hal yang harus dilakukan adalah bertawakkal atau berserah diri kepada Allâh.

Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal adalah orang-orang

yang bersandar dan orang-orang yang menyerahkan urusan mereka hanya kepada

Allâh. Tawakkal mereka disertai dengan menjalankan serta menunaikan hak-hak

Allâh, melaksanakan perintah-Nya dengan mencurahkan seluruh kemampuan, dan

mereka tidak bersandar kecuali hanya kepada Allâh.110

Dalam menyebutkan tugas-tugas seorang pemimpin, Saʻîd Hawwa

merujuk kepada al-Mawardi yang menyebutkan bahwa tugas-tugas seorang

pemimpin terdiri dari sepuluh hal. Tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut:111

1. Menjaga agama berdasarkan dasar-dasar yang telah disepakati oleh

pendahulu-pendahulu umat Islam, atau dengan kata lain melaksanakan

ajaran-ajaran agama dengan benar.

2. Melaksanakan hukum dan menetapkan hukum bagi orang-orang yang

bersengketa. Dengan kata lain, menegakkan keadilan di tengah-tengah

masyarakat dan melaksanakan hukum dengan benar.

3. Menjaga keamanan sehingga manusia bisa hidup dan bepergian dengan

aman, dan menjaga stabilitas keamanan dalam negeri.

109

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. 110

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 916. 111

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.

Page 91: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

76

4. Menegakkan hukuk-hukum had untuk menjaga kehormatan hak-hak

Allâh Swt. agar tidak dilanggar dan juga hak-hak manusia agar tidak

direndahkan dan dicampakkan.

5. Menjaga benteng dengan persiapan yang matang dan kekuatan yang

mantap, sehingga musuh tidak bisa melewatinya dan melakukan

pelanggaran-pelanggaran dan pembunuhan terhadap umat Islam, atau

dengan kata lain, menjaga keamanan daerah perbatasan dengan sarana

dan persiapan yang mantap.

6. Berjihad melawan orang-orang yang memusuhi Islam setelah

mendakwahi mereka dengan baik, hingga mereka masuk Islam.

7. Mengumpulkan harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir

tanpa melalui peperangan), dan harta sedekah sesuai dengan aturan-

aturan yang ditetapkan oleh agama, baik aturan yang didasarkan atas

teks keagamaan atau atas dasar ijtihad, serta menjauhi kelaliman dalam

mengumpulkan harta tersebut.

8. Menetapkan ukuran pemberian (gaji) dan harta-harta lain yang

berhubungan dengan bait al-mâl dengan tanpa berlebih-lebihan dan

tidak ceroboh. Serta tepat waktu ketika memberikan harta tersebut

kepada orang yang berhak.

9. Memilih orang-orang yang terpercaya (amânah) ketika hendak

memberi suatu tugas.

10. Hendaknya pemimpin melaksanakan tugas-tugasnya secara langsung

dan meneltinya dengan seksama, agar ia berkonsentrasi dan

Page 92: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

77

bersungguh-sungguh dalam mengurusi umat dan menjaga ajaran-ajaran

agama.

Inilah kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang pemimpin.

Semua kewajiban-kewajiban tersebut, tercakup dalam tugas utamanya, yaitu

melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dan mengatur urusan-urusan negara

sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh ajaran Islam.

2. Hak-hak Seorang Pemimpin

Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa seorang pemimpin mempunyai dua hak

sebagai imbalan atas keseriusannya dalam melaksankan tugas-tugasnya. Yang

pertama adalah hak yang menjadi kewajiban rakyat untuk melaksanakannya, dan

yang kedua adalah hak untuk mendapatkan sebagian harta umat Islam.112

1. Hak yang Menjadi Kewajiban Rakyat

Hak seorang pemimpin adalah ditaati dan dipatuhi oleh rakyatnya.

Saʻîd Hawwa mengangkat surah al-Nisâ/4: 59 sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang

sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. yang demikian

itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”113

112

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507.

113 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 87

Page 93: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

78

Saʻîd Hawwa menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah

pemimpin yang Muslim. Adapun pemimpin yang bukan Muslim, maka seorang

muslim tidak boleh taat dan tidak boleh menjadikannya sebagai pemimpin.114

Kemudian Saʻîd Hawwa menukil pendapat dari Ibn „Abbas yang mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah mereka para ahli fiqih dan ahli

agama. Tidak ada kontradiksi terhadap pendapat di atas, karena pada dasarnya

umarâ atau pemimpin harus juga seorang ulama lagi fuqaha.115

Maka jika dilihat

dari pendapat Saʻîd Hawwa, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kewajiban untuk

taat terhadap pemimpin yang bukan berasal dari Islam (non-Muslim).

Sayyid Qutb mengatakan tentang ayat ini, bahwa Allâh Swt. menjelaskan

syarat iman dan batasan Islam. Dalam waktu yang sama dijelaskan pula kaidah

nizam asasi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber

kekuasaan. Semuanya dimulai dan diakhiri dengan menerimanya dari Allâh saja,

dan kembali kepada-Nya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya, seperti

urusan-urusan parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia sepanjang

perjalanannya dan dalam generasi-generasi berbeda yang notabene berbeda-beda

pula pemikiran dan pemahaman dalam menanggapinya. Untuk itu semua,

diperlukan timbangan yang mantap, agar menjadi tempat kembalinya akal,

pikiran, dan pemahaman mereka.116

Sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amr adalah

orang-orang yang berasal dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah

memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan ayat itu, yaitu ulil amri

114

Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. 115

Saʻîd Hawwa. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, jilid II, h. 1102. 116

Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah

As‟ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 399.

Page 94: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

79

yang taat kepada Allâh dan Rasul. Juga ulil amri yang mengesakan Allâh swt

sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh

manusia, menerima hukum dari-Nya saja (sebagai sumber dari segala sumber

hukum) sebagaimana ditetapkan dalam nash, serta mengembalikan kepada-Nya

segala urusan yang diperselisihkan oleh akal pikiran dan pemahaman mereka yang

tidak terdapat nash padanya untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang

terdapat dalam nas.117

Ayat ini menetapkan bahwa taat kepada Allâh merupakan pokok.

Demikian juga taat kepada Rasul, karena beliau diutus oleh Allâh. Sedangkan taat

kepada ulil amri minkum hanya mengikuti ketaatan kepada Allâh dan Rasûl.

Karena itulah, lafal taat tidak diulangi ketika menyebut ulil amr, sebagaimana ia

diulangi ketika menyebut Rasul Saw. untuk menetapkan bahwa taat kepada ulil

amr ini merupakan pengembangan dari taat kepada Allâh dan rasûl, sesudah

menetapkan bahwa ulil amr itu adalah “minkum” dari kalangan kamu sendiri

dengan catatan dia beriman dan memenuhi syarat-syarat iman.118

Hamka mengatakan bahwa ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa

masyarakat manusia, dan di sini dikuhususkan masyarakat orang yang beriman,

mestilah tunduk kepada peraturan. Peraturan yang maha tinggi ialah peraturan

Allâh. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allâh telah menurunkan peraturan itu

dengan mengutus Rasul-rasul, dan penutup segala Rasul ialah Nabi Muhammad

Saw. Rasul-rasul membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam

kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur‟an. Maka isi kitab suci itu

117

Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah

As‟ad Yasin, dkk, h. 399. 118

Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilâl al-Qur‟an: Di bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah

As‟ad Yasin, dkk, h. 399.

Page 95: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

80

semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan

manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika

tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih

dahulu taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata

karena segan kepada manusia, dan bukan pula semata-mata mengharapkan

keuntungan duniawi. Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat

kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan.

Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau

tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul.

Dengan taat kepada Rasul barulah sempurna beragama.119

Saʻîd Hawwa menjelaskan, jika para umarâ atau pemimpin tidak seperti

ulama dan fuqaha, maka wajib atas mereka (pemimpin) untuk kembali kepada

para ulama dalam segala urusan kepemiminan mereka. Oleh karena itu para ulama

berada di atas mereka (umarâ). Akan tetapi bila mereka pemimpin yang adil dan

orang-orang yang adil, maka kewajiban mereka hanya taat kepada para ulama

dalam hal selain kepemimpinan.120

Selanjutnya, Saʻîd Hawwa menjelaskan, rakyat hanya wajib taat kepada

pemimpin dalam hal-hal yang sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh

Allâh Swt.. Kewajiban yang tidak mutlak ini didsarkan atas dalil bahwa apabila

ada hala yang diperselisihkan, maka hak tersebut harus dikembalikan kepada

aturan Allâh dan Rasul-Nya. Apabila pemimpin memerintahkan hal-hal yang

sesuai dengan aturan Allâh Swt., maka menaatinya adalah wajib. Namun, apabila

119

Hamka, Tafsir al-Azhar, juz V (Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983) h. 127-128. 120

Saʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1102.

Page 96: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

81

pemimpin memerintahkan hal-hal yang bertentangan dengan yang diajarkan Allâh

dan Rasul-Nya, maka rakyat tidak boleh mematuhinya.121

Rasulullah Saw. menerangkan dengan jelas batas-batas ketaatan kepada

seorang pemimpin, beliau bersaba:

عب ععذ ع دذثب يغذد دذثب ذ ب سض عبذ انه دذث بفع ع ذ انه

ع انه

ب غهى ف شء ان انطبعت عه ان ع عهى لبل انغ عه صه انه انب ع

ع عصت فئرا أيش ب يب نى ؤيش ب كش نب طبعتأدب ع صت فهب ع

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada

kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah Telah menceritakan kepadaku Nafi' dari

Abdullah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun

yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun

jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan

menaati.”122

Saʻîd Hawwa juga mencamtumkan sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:

دذث أب سجبء ب انجعذ أب عث ذ ع ص بد ب دذثب د ب دذثب أب انع

ان بع ع انه عببط سض عج اب لبل ع انعطبسد عه صه انه ب

بعت فبسق انج ي فئ فهصبش عه ئب كش ش أيش سأ ي عهى لبل ي

هت بث إنب يبث يخت جب شبشا ف

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man telah menceritakan kepada

kami Hammad bin Zaid dari Alja'd Abi Utsman telah menceritakan kepadaku Abu

Raja' Al 'utharidi mengtakan, aku mendengar Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dari

Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Siapapun yang melihat sesuatu dari

pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab

siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama'ah, kecuali dia mati dalam

jahiliyah.”123

Dari beberapa penjelasan di atas, telah dijelaskan bahwa al-Qur‟an dan al-

Sunnah menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak menjadi kewajiban,

121

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 507. 122

Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78. 123

Imâm Bukhâri. Sahîh al-Bukhârî, Juz 9, h. 78.

Page 97: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

82

kecuali dalam hal-hal yang termasuk dalam ketaatan kepada Allâh Swt.. juga

ditegaskan bahwa seseorang tidak boleh menaati pemimpin dalam hal-hal yang

bertentangan dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.

2. Hak Pemimpin Mendapatkan Sebagian Harta Umat Islam

Seorang pemimpin merupakan wakil rakyat. Kontrak perwakilan tidak

dengan sendirinya menuntut adanya gaji bagi pihak yang menjadi wakil. Namun,

karena sebagian besar waktu pemimpin dihabiskan untuk melaksanakan tugas-

tugas kenegaraan yang menyebabkan ia tidak bisa bekerja untuk menghasilkan

finansial, Saʻîd Hawwa menjelaskan, maka sebagai gantinya ia mendapatkan harta

dari baitul mal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga

yang menjadi tanggungannya, di samping ia juga sebagai individu warga negara,

maka mendapatkan bagian harta umum yang dibagi untuk semua rakyat, misalnya

bagian harta al-fai‟ (harta yang diperoleh dari orang kafir dengan tanpa melalui

peperangan) dan pemberian (al-„atâ‟).124

Sudah menjadi hal yang sangat wajar, bahwa seorang pemimpin juga

merupakan seorang pekerja yang harus mendapatkan bayaran atau gaji. Beban

tanggungjawab serta memikul amanah yang sangat berat, harus melayani

masyarakat, harus menguras tenaga serta pikiran di dalam mengurus sebuah

negara, hal-hal yang demikian menjadi sebuah kewajaran bahkan menjadi hak dari

seorang pemimpin untuk mendapatkan upah di dalam menjalankan tugasnya.

124

Saʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 508.

Page 98: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

83

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada pembahasan dalam tulisan ini telah dijelaskan bahwa kepemimpinan

merupakan sesuatu yang sangat penting di tengah masyarakat. Suatu

kepemimpinan akan menentukan nasib ke depan bagi orang-orang atau bangsa

yang dipimpinnya. Hal ini amat bergantung kepada individu yang memimpin

tersebut.

Menurut Saʻîd Hawwa berdasarkan dua kitab hasil karyanya, yakni al-Asâs

fî al-Tafsîr dan al-Islâm, didapatkan kesimpulan bahwa seorang pemimpin

haruslah orang yang beragama Islam. Seseorang yang beragama selain Islam,

tidak boleh dijadikan pemimpin. Hal yang paling sering diangkat oleh Saʻîd

Hawwa, bahwa seorang pemimpin harus bermusyawarah di dalam setiap

mengambil keputusan, serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan

menggunakan hukum Allâh. Seorang pemimpin mempunyai dua tugas utama,

pertama menegakkan ajaran agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-

tugas kenegaraan dengan tetap berpedoman pada aturan-aturan yang telah

ditetapkan oleh agama Islam. Pemimpin dapat diturunkan dari jabatannya, apabila

ia telar melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama.

B. Saran

Pembahasan yang penulis angkat, merupakan pembahasan yang selalu

menarik untuk dibicarakan walaupun telah banyak orang yang menulis tentang

kepemimpinan ini. Jika dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan

Page 99: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

84

penelitian lebih lanjut, penulis berharap peneliti tersebut dapat lebih membahas

secara detail dari setiap bagian bahasan, serta dapat memberi informasi baru yang

mungkin belum pernah dibahas. Sehingga hal tersebut dapat menambah khazanah

bagi para pembaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana

konsep kepemimpinan yang diajarkan oleh agama, serta berbagai konsep

kepemimpinan baru yang terus bermunculan di atas bumi ini.

Page 100: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

DAFTAR PUSTAKA

al-‘Aqil, Al-Mustasyar ʻAbdullah. Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin.

Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat, 2003.

al-Asfahânî, Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân.

Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H.

al-Baidhâwî, Nasruddin Abu Al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar. Anwâr al-Tanzîl wa

Asrâr al-Ta’wîl, jilid I. Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939.

al-Bukhâri, Muẖammad bin Ismâ’il. Sahîh al-Bukhâri, Juz 9. Mesir: Dâr Ṯuq al-

Najâh, 2001.

al-Dârimî, Imâm. Sunan al-Dârimî. Riyad: Dâr al-Mughni, 1421 H.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro,

2011.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Effendy, Mochtar. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam. Palembang: Al-

Mukhtar, 1997.

Esposito, John L. Dunia Islam Modern-Ensiklopedi Oxford. Penerjemah Eva Y.N

dkk, jilid 1, 5. Bandung, Mizan: 2002.

Fâris, Abu Husain Ahmad Ibnu. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dâr al-Fikr,

1994/1415.

al-Farmâwi, ‘Abdu al-Hay. Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo: al-

Hadârah al-‘Arabiyah, 1977.

Hamka. Tafsir al-Azhar, juz V. Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983.

---------. Tafsir al-Azhar, juz 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Hawwa, Saʻîd. al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1. Kairo: Dar al-Salam, 1985.

Page 101: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

------------------. al-Asâs fî al-Sunnah, jilid I, Cet. Ke-3. Kairo: Dâr al-Salâm,

1995.

------------------. al-Islâm, cet. Ke. 2. kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425.

------------------. al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani. Jakarta: Gema Insani

Press, 2004.

------------------. Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj.

Jakarta: Robbani Press, 1995.

------------------. al-Rasûl. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.

Hawwa, Saʻîd. Tafsir al-Asas. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani Press,

1999.

------------------. Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Cet. Ke-9. Kairo: Dar Al-Salâm, 2007.

Iyazi. Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum. Teheran: Wazarah al-Taqâfah

wa al-Irsâd, 1992.

Jazuli, Ahzami. Fiqh Al-Qur’ân. Jakarta: Kilau Intan, t.t.

Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Khairul Bayan,

2005.

Katsîr, Imâduddîn Abû Fidâ’ Ismâ’il Ibnu. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, jilid I.

Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.

Kementrian Agama RI. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik.

Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.

al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghî , jilid V. Beirut: Dâr al-Fikr,

2001.

Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:

Gema Insani, 2006.

Muslim, Abu Husain bin Al-Hajjaj. Sahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr,

1994/1414.

Page 102: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

Mustafa, Ibrâhîm. al-Mu’jâm al-Wasit. Mesir: Dâr al-Maʻârif, 1972.

al-Naisâbûrî, Abû Al-Hasân ‘Ali bin Ahmad Al-Wâhidi. Asbâb al-Nuzûl. tkp:

Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, t.t.

al-Nasâ’i, Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman. Sunan al-Nasâ’i, juz 7.

Beirut: Maktab al-Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986.

al-Nawawî. Sahîh Muslim bi Syarhi al-Nawawî, jilid XI. Mesir: Al-Mataba’at al-

Misriyah, 1392 H.

al-Qurtûbî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurtûbî. Penerjemah Amir Hamzah, vol. 11.

Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Qutb, Sayyid. Fî Zilâl Al-Qur’ân, jilid V. Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 2000.

-----------------. Tafsir fi Zhilâl al-Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an,

Penerjemah As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, jilid V. Kairo: Maktabah al-Qâhirah,

1990.

Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi. kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.

Jakarta: Rajawali Press, 2011).

al-Sajastani , Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats. Sunan Abî Dâwud, juz 4.

Beirut: Dâr al-Kitâb al-ʻArabî, t.th.

Salim, Abdul Mu’in. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an.

Jakarta: Rajawali Press, 2002.

--------------------------. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”.

Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Shihab, M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

-------------------------. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Page 103: KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD … al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt. 11. Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.

Jakarta: UI-Press, 1993.

al-Syaibâni, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullâh. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz

5. Kairo: Mu’assasah Qurtbah, t.th.

al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Fath al-Qadîr, jilid I.

al-Ṯabarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr. Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîli al-Qur’ân,

jilid V. Kairo: al-Halabi, 1954.

-----------------------------. Tafsir Al-Tabarî, penerjemah Ahsan Askan, vol. 18.

Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Taimiyyah, Taqîuddîn Ibnu. al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Islâh al-Râ’i wa al-

Râ’iyyah. Arab Saudi: Dâr al-Ma’rifah, 1418 H..

Thoha, Miftah. Kepemimipnan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006.