konsep keadilan
-
Upload
tetalamdani -
Category
Documents
-
view
84 -
download
5
description
Transcript of konsep keadilan
PERANAN PANCASILA DI ERA REFORMASI Sebagai Dasar Negara
Dan Idiologi Nasional
Filed Under : Uncategorized by admin
Jun.18,2010
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki
agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan
akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan,
peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara
konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif
sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam
wacana politis maupun akademis.
· Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara
(Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno
diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal
1 Juni 1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara
merdeka, sesuai dengan permintaan ketua. Menurut Soekarno,
pembicaraan-pembicaraan terdahulu belum menyampaikan dasar
Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno menyatakan :
Maaf, beribu maaf ! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato
mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka.
Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia
ialah bahasa Belanda “philosofische groundslag” dari pada Indonesia
merdeka. Philosofische groundslag itulah pundamen, filsafat, pemikiran
yang sedalam-dalamnya untuk diaasnya didirikan gedung Indoensia
Merdeka yang kekal dan abadi (sekretariat negara, 1995 : 63)
Pada bagian pidato berikutnya, Soekarno menyatakan, bahwa
Philosofische Groundslag diatas mana kita mendirikan negara Indonesia,
tidak lain adalah Waltanschauung. Bahkan Soekarno lebih menegaskan
lagi Waltanschauung yang kita harapkan tidak lain adalah persatuan
philosofische graoundslag. Untuk itu Soekarno menegaskan sebagai
berikut :
Apakah itu ? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya : apakah kita
hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk
sesuatu golongan ? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya
saya Indonesia Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang,
untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi
pada satu golongan bangsawan ? Apakah maksud kita begitu ? Sudah
tentu ! Baik saudara –saudara yang bernama kaum kebangsaan yang
disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya
telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendidikan suatu negara “semua buat semua” Bukan
buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan
maupun golongan yang kaya, tetapi “semau buat semua”. Inilah salah
satu dasar pikiran yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu
mendengung di salam saya punya jiwa, bukan saja didalam beberapa hari
didalam sidang Dokuritsu zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun
1981, 25 tahun lebih, ialah : dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”. (sekretariat negara,
1995 : 71)
Paparan berikut Soekarno menyatakan filosofische principe yang kedua
adalah internasionalisme. Pada saat menegaskan pengertian
internasionalisme, Soekarno menyatakan bahwa internasionalisme
bukanlah berarti kosmopolitisme, yang menolak adanya kebangsaan,
bahkan beliau menegaskan : “Internasionalisme tidak dapat hidup subur
kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak
dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme. “Seraya mengutip ucapan Gandhi, beliau menegaskan
my nasionalisme is humanity. Pada saat menjelaskan prinsip dasar ketiga,
Soekarno menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara “Semua
buat semua, satu buat semua, semua buat satu”, oleh karenanya saya
yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah
permusyawaratan perwakilan. Demikian berikutnya untuk prinsip dasar
yang keempat Soekarno mengusulkan prinsip kesejahteraan ialah prinsip
tidak akan ada kemiskinan didalam Indonesia merdeka. Prinsip dasar
kelima adalah prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Pada kesempatan itu, Soekarno menjelaskan :
Prinsip ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.
Yang Kristen menyembah Tuhan yang menurut petunjuk Isa al Masih,
yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang
Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan !
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan
cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagai hadirin).
Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang
verdragzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun
telah menunjukkan verdragzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa
prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan.
Ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat
menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-
saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa ! Disinilah, dalam pengakuan asas yang kelima
inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang
ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan engara kita akan
ber-Tuhan pula ! (sekretariat negara, 1995 : 81)
Prinsip-prinsip filsafati yang jelas oleh Soekarno tersebut diatas
merupakan dasar negara. Berbicara tentang nama dasar negara,
Soekarno menyatakan sebagai berikut :
Saudara-saudara ! “Dasar-dasar negara “ telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma ? Nama Panca Dharma tidak tepat
disini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar,
saya senang kepada simbolik. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang
lima bilangannya ? (Seorang yang hadir : pandawa lima). Pandawa
limapun orangnya, sekarang banyak prinsip : kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan, lima pula
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah
Pancasila, sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita
mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” (Sekretariat Negara 1995
: 81)
Prinsip-prinsip filsafati Pancasila sejak awal kelahirannya diusulkan
sebagai dasar negara (philosofische grondslag, Weltanschauung) Republik
Indonesia, yang kemudian diberi status (kedudukan) yang tegas dan jelas
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (18
Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
· Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Generasi Soekarno – Hatta telah mampu menunjukkan keluasan dan
kedalaman wawasannya, dan dengan ketajaman intelektualnya telah
berhasil merumuskan gagasan-gagasan vital sebagaimana dicantumkan
didalam pembukaan UUD 1945, dimana Pancasila sebagai dasar negara
ditegaskan dalam satu kesatuan integral dan integratif. Oleh karena itu
para tokoh menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang 1945
merupakan sebuah dokumen kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah
kontemporer setelah American Declaration of Independent 1976.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 nyaris sempurna, dengan nilai-
nilai luhur yang bersifat universal, oleh karenanya Pancasila merupakan
dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya
sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan
perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu :
(1) tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis, (2) tahap 1969 – 1994
sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan (3) tahap 1995 – 2020 sebagai
tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini memang tampak berbeda
lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan penahapan
perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu : (1) 1945 – 1949 masa
Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949 – 1950 masa
konstitusi RIS ; (3) 1950 – 1959 masa UUDS 1950 ; (4) 1959 – 1965 masa
orde lama ; (5) 1966 – 1998 masa orde baru dan (6) 1998 – sekarang
masa reformasi. Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan
pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.
1. 1945 – 1968 merupakan tahap politis dimana orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character
Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk
survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar
negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Disisi
lain pada masa ini muncul gerakan pengkajian ilmiah terhadap Pancasila
sebagai Dasar Negara misalnya oleh Notonagoro dan Driarkara. Kedua
ilmuwan tersebut menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal
sudut pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan
Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat Indonesia, dan
ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan ilmiah filsafati tentang
manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi dijadikan alternatif
melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical concensus
dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan
persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang
Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa
Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental Norm yang tidak
dapat diubah secara hukum oleh siapapun. Sebagai akibat dari
keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari
luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu menempatkan
Pancasila sebagai asas tunggal.
2. 1969 – 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi yaitu
upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi.
Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi,
akibatnya cenderung menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap
ini pembangunan ekonomi menunjukkan keberhasilan secara spektakuler,
walaupun bersamaan dengan itu muncul gejala ketidakmerataan dalam
pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan sosial merupakan fenomena
yang dilematis dengan program penataran P4 yang selama itu
dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan
setelah terjadinya gejala KKN dan Kroniisme yang nyata-nyata
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Bersamaan dengan
itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah hancurnya negara-negara
komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia yaitu Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar negara tidak
hanya dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping
menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kroniisme.
3. 1995 – 2020 merupakan repositioning Pancasila. karena dunia
masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat,
mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda
seluruh penjuru dunia, khususnya di adab XXI sekarang ini, bersamaan
arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi
telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin
terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam
kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan
nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu
di era reformasi ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus
diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945,
dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya yaitu :
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya
dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat
“sein im sollen dan sollen im sein”
Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah
sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta
kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga
masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif menuju hari esok
yang lebih baik.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif,
melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan
zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa
kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta
fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan
negara dengan jiwa semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Reposisi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan
dan pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan
dasar dan arah untuk mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas
Pancasila harus disertai penegakkan (supremasi) hukum.
· Peranan Pancasila Di Era Reformasi
1. Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai
dasar negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini
berarti, bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus
selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai
negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat maupun dari
pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam
pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya
hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk
hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila.
2. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
sosial politik
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik
mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita
Indonesia merdeka di implementasikan sbb :
- Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan
politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
- Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan
keputusan ;
- Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan ;
- Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab ;
- Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang
menghasilkan) dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha
Esa.
3. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
ekonomi
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung
pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil
dan sistematis dalam kehidupan nyata.
4. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
kebudayaan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan
mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan,
dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan
dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal
Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan
kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan
nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang
memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai
bahasa persatuan.
5. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
hankam
Dengan berakhirnya peran sosial politik, maka paradigma baru TNI terus
diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran
sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari sistem nasional.
6. Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan
Dengan memasukai kawasan filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu
pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya
perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis,
epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu
pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu
pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai
masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat
menunjukan adanya suatu academic community yang akan dalam hidup
kesehariannya para warganya mempunyai concerm untuk terus menerus
menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai proses
menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi,
komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan
kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses,
yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik
ataupun non fisik.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah
didalam pengembangan ilmu pengetahuan ; yang parameter kebenaran
serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogi yaitu bahwa dengan
menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek
pengemabgnan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan
dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-
nilai ideal Pancasila. Lebih dari itu, dengan penggunaan Pancasila sebagai
paradigma, merupakan keharusan bahwa Pancasila harus dipahami
secara benar, karena pada gilirannya nilai-nilai Pancasila kita jadikan
asumsi-asumsi dasar bagi pemahaman di bidang otologis, epistemologis,
dan aksiologisnya.
Konsep Keadilan Yang Ideal
Label: makalah, paper
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Negara kita masih
terdapat disana sini ketidakadilan, baik ditataran pemerintahan,
masyarakat dan disekitar kita. Ini terjadi baik karena kesengajaan
atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia
akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau
dengan sesama makhluk Hidup.di Indonesia ini keadilan masih
lemah dalam menegakan suatu keadilan yang baik dan
benar.bentuk-bentuk keadilan di Indonesia ini seperti orang yang
kuat pasti hidup sedangkan orang yang lemah pasti akan tertindas
dan di Indonesia ini jelas bahwa keadilan belum di laksanakan atau
diterapkan dengan baik yang sesuai dengan aturan-aturan hukum
yang ada di Indonesia. di Indonesia ini keadilan masih lemah dan
masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
harus di adili dan keadilan di Indonesia ini keadilan nya
menggunakan keadilan yang sesuai dengan UUD 1945.bukan
menggunakan keadilan yang sesuai dengan hukum islam. Dengan
adanya penulisan ini penulis berharap dengan adanya konsep ini
kita bisa membahas dan mengambangkan suatu bentuk
pengetahuan tentang suatu keadilan di Indonesia ini dimana
keadilan di Indonesia ini masih banyak penyimpangan-
penyimpangan tentang masalah keadilan yang ada di lingkungan
kita Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan
demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan
yang dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi
yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang imiliki
Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama
diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan?
Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan
persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan
hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan
hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-
usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah
dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi
meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya
demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang
jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak
wawasan keadilan yang terkandung dalam Al-qur’an memenuhi
kebutuhan sebuah masyarakat modern dimasa yang akan datang.
Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka
kita yakin tidak akan terjadi protes yang disertai kekerasan,
kemiskinan yang bekepanjangan, perampokan, kelaparan, gizi
buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang
tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita dikatakan keadilan
hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan
mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga
diharapkan nantinya dapat meminimalisir ketidakadilan yang terjadi
di indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latarbelakang diatas
maka, kita dapat rumuskan masalah konsep keadilan
1. Bagaimanakah konsep keadilan yang ideal ?
2. Sejauh mana keadilan diterapkan di Indonesia ?
3. mengapa keadilan itu harus ada di indonesia ?
C.tujuan masalah
1.keadilan yang ideal adalah suatu keadilan yang bisaengambil
keputusan secara benar dan tidak bersikap pandang bulu.atau
bisa dispesifikasikan cara mengambil keputusan atas dasar
keadilan yang sesuai dengan hukum islam pengertian- penrtian
terkait langsung dengan keadilan,yaitu sebagai penjabaran
bentuk-bentuk keadilan dalam hidup
2.di Indonesia ini keadilan masih lemah dan masih belum bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang harus di adili dan
keadilan di Indonesia ini keadilan nya menggunakan keadilan yang
sesuai dengan UUD 1945.bukan menggunakan keadilan yang sesuai
dengan hukum islam.
3.di Indonesia ini jika tidak ada suatu keadilan maka tidak
terciptalah suatu hukum yang mengadili.keadilan itu di setiap
Negara pasti ada dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
di tetapkan oleh Negara masing-masing.oleh karena itu keadilan di
Indonesia harus ada dan harus di tegaskan dengan baik dan benar.
PEMIKIRAN KEADILAN
Diposkan oleh muchamad ali safa'at di 07:25
PEMIKIRAN KEADILAN
(PLATO, ARISTOTELES, DAN JOHN RAWLS)
Oleh: Muchamad Ali Safa’at
PENGERTIAN
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya
filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai
dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.
Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil
tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil
cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya
penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari
bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang
berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair
(sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan
hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak
menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan
(sinonimnya judge, jurist, magistrate).
Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang
artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak
seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk
menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim)
seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam
berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang
langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam Al-
Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “al ‘adl” dalam Al qur’an dalam
berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisth” terulang
sebanyak 24 kali. Kata “al wajnu” terulang sebanyak kali, dan kata “al
wasth” sebanyak 5 kali.
Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan
diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan
harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta
bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika
ingin memainkan peran menegakkan keadilan.
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran
hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah
keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain
dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada
diantara kedua titik ekstrim tersebut.
PLATO
Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-
kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk
dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato
berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.
Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.
Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan,
yaitu:
1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi
oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas
dengan domba manusia.
2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian
khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada
persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan
kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-
kepentingan anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat
diturunkan, misalnya berikut ini:
3. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti
keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima
semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan
berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha
mencari penghasilan,
4. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa,
dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan
pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan
agama harus dicegah atau ditekan.
5. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan
pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan
bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri
menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan
mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas
penguasa dan stabilitas negaranya.
Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada
struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi
penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan
perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara
individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu
melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas
atau fungsi smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati
oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke
dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial
bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau
keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilah
Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya
manusia super, yaitu the king of philosopher.
Sedangkan Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme.
Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul
Nicomachean Ethics. Buku ini secara keselurahan membahas aspek-aspek
dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-masalah hukum,
keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.
ARISTOTELES
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5
buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan
ketidakadilan harus dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang
terkait dengan istilah tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua
titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.
1. Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan
karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas
keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat
orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap
obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;
1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih,
diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk
menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka
sisi yang lain juga ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang
tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair
(unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum
(law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum
adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif
sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum
adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua
tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan
kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial.
Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri
sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai
sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain,
adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam
hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai
hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai
suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam
hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama
tindakan yang tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas,
bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai
salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu
kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan
tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan
yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan.
Sebagai contoh, seorang pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah
UMR, adalah suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan
ini belum tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan
kemampuan membayar perusahaan tersebut memang terbatas, maka
jumlah pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya walaupun seorang
pengusaha membayar buruhnya sesuai dengan UMR, yang berarti bukan
kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan
pengusaha tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang diambil
untuk upah buruh. Ketidakadilan ini muncul karena keserakahan.
Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti
ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang
masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar
hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair.
Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap
hukum
2. Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut
ini, yaitu:
a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau
hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu
tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak
diantara “yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan
adalah titik tengan atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice).
Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada
sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi,
landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan
manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar
persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat
kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya
adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut
menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini
adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah (intermediate)
dan proporsi.
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi
Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification).
Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang
yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah
keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah
(intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik
(reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah
ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih
dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan
tugasnya menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan
memberikan kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah.
Tindakan hakim ini dilakukan sebagai sebuah hukuman.
Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan
masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari
ketidaksukarelaan berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik
tengah sebagai sebuah proporsi dari yang memperoleh keuntungan dan
yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak dilakukan dengan semata-mata
mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak diberikan kepada pihak
lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak diselesaikan
dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal balik
dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu
sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah
digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara
tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil.
Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas kesukarelaan.
Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang
melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam
beberapa cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil
harus ada ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga
dalam hubungan antara manusia ada beberapa aspek untuk menilai
tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika (1)
kecideraan berlawanan deengan harapan rasional, adalah sebuah
kesalahansasaran (misadventure), (2) ketika hal itu tidak bertentangan
dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan, itu
adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi
tanpa pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4) seseorang
yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan
orang yang jahat.
Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan
sesuatu dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara
tidak adil apabila orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil.
Mungkin seseorang rela menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada
seorangpun yang berharap diperlakukan secara tidak adil.
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan
keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil
ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal,
sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap
tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut
dengan nilai.
Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara
keadilan universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran
keadilan hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam
waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal
yang harus benar. Adalah sangat penting untuk berbicara secara
universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena
hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan.
Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu
kasus muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah
persamaan dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.
JOHN RAWLS
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21
lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada
saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan
stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi
dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah
struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan,
kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan
terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:
1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi
sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan
yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik.
Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for
redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam
posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original
agreement) anggota masyarakat secara sederajat.
Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih
seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah
bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial
yang lain.
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten
untuk memegang pilihannya tersebut.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu
dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami
manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip
keadilan.
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap
menguntungkan semua pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang
paling lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan
yang adil atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas.
2. perbedaan
3. persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk
mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan
umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga
merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan
untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat
menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena
adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi
dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila
sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh
kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun
nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai
berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.
PENUTUP
Uraian dalam tulisan ini adalah secuil khasanah pemikiran keadilan yang
berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan
semangat jamannya, situasi politik, dan pandangan hidup yang
berkembang. Untuk mempelajari keadilan memang sebuah aktivitas yang
tidak ringan, apalagi mencoba merumuskannya sesuai dengan semangat
jaman saat ini.
Namun kesulitan tersebut bukan berarti bahwa studi-studi tentang
keadilan harus dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan
merupakan hal yang utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan
hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai tujuan utamanya.
Mempelajari hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan
mempelajari tubuh tanpa nyawa. Hal ini berarti menerima perkembangan
hukum sebagai fenomena fisik tanpa melihat desain rohnya. Akibatnya
bisa dilihat bahwa studi hukum kemudian tidak berbeda dengan studi ilmu
pasti rancang bangun yang kering dengan sentuhan keadilan.
Praktek hukum terseret pada tantangan-tantangan spesialistik, teknologis,
bukan lagi pertanyaan-pertanyaan moral. Kaum profesional adalah orang-
orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan
tanyakan pada mereka tentang moralitas. Praktek ini membuat sindiran
sinis terhadap hukum di Amerika di mana semboyan Equal Justice Under
The Law di dinding Supreme Court (AS) ditambah dengan kata-kata To All
Who Can Afford It. Bagaimana dengan di Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central
Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. 2002.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur. International Law Book
Services. 1994.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Friedmann, W. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan
oleh: Mohamad Arifin. Susunan I. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada. 1993.
-----------------. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan
oleh: Mohamad Arifin. Susunan II. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada. 1993.
Hart, H.L.A. .The Concept Of Law. Tenth Impression. London. Oxford
University Press. 1961.
Kelsen, Hans. Introduction To The Problems Of Legal Theory. (Reine
Rechtslehre). First Edition. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and
Stanley L. Paulson. Oxford. Clarendon Press Oxford. 1996.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan II.
Jakarta. Pustaka Mizan. 1997.
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. (Open Society
and Its Enemies). Diterjemahkan oleh:Uzair Fauzan. Cetakan I.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Media Massa:
Rahardjo, Satjipto. “52 Tahun Negara hokum Indonesia, Negara Hukum
dan Deregulasi Moral”. Harian Kompas. 13 Agustus 1997.
Internet:
“ ‘Adala “.”. http://orb.rhodes.edu/ Medieval_Terms.html. diakses tanggal
6 November 2002.
Aristoteles. “Nicomachean Ethics”. Transalated by: W. D. Ross.
http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html. Diakses pada
tanggal 20 Oktober 2000.
Gergen, Mark P. “What Renders Enrichment Unjust?”.
http://www.utexas.edu /law/conferences/ restitution/gergen.pdf. Diakses
pada tanggal 6 Nopember 2002.
Hutagalung, Daniel. “Paradoks Demokrasi”.
http://www.detakanalisis.com/kolom/ 2002/ 04/090402-kolom-1535.htm.
Diakses pada tanggal 6 Nopember 2002.
Kilcullen, R. J. “Tape 11: Rawls, A Theory of Justice (Draft)”.
http://www.humanities.mq.edu.au/ Ockham/y6411.html. Diakses pada
tanggal 6 Nopember 2002.
Neurath, R. Rawls’s “A Theory of Justice”.
http://www.sydgram.nsw.edu.au/ College_Street/
extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 6 Nopember 2002.
Nozick, Robert. “Two Conception of Justice”.
http://www.catholicwelfare.com.au/
publications/COMMON_Wealth/2of6.HTM. Diakses pada tanggal 6
Nopember 2002.
Nurjaeni, “Kosep Keadilan Dalam Al-Qur’an”,
http://www.duriyat.or.id/artikel/ keadilan.htm, diakses pada tanggal 6
November 2002
Plato. The Republic. “Translated by: Benjamin Jowett”. http://www.universi
dadabierta.edu.mx/SerEst/Filosofia/FilosofiaI/GuiaFilosofia1.htm. Diakses
pada tanggal 20 Oktober 2000.
The Philosophy Club. “Rawls’s Theory of Justice”.
http://www.sydgram.nsw.edu.au/
College_Street/extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 6
Nopember 2002.
Vaggalis, Ted and Drury College. “John Rawls’s Political
Liberalism”.http://caae.
phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/Rawls_pl.htm. Diakses
pada tanggal 6 Nopember 2002.
Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan,
http://www.isnet.org/~djoko/Islam/ Paramadina/00index, diakses pada
tanggal 6 November 2002.
0 Comments:
Keadilan Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
KEADILAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI (Pertama diterbitkan 1990, dicetak ulang 1992, situs 2003)
Dunia sehari-hari adalah konteks di dalam mana sejumlah besar orang lebih mungkin mengalami, setidaknya pada awalnya, Roh yang diberikan mereka martabat dan kekuasaan untuk mengambil bagian dalam transformasi dunia.
Pengantar Sebuah komitmen untuk keadilan sosial merupakan ciri penting dari kehidupan yang hidup menurut Injil Yesus Kristus. Hal ini tidak mungkin, dalam tradisi Katolik, untuk menjalani kehidupan yang penuh iman dalam ketiadaan komitmen ini. Bekerja untuk keadilan adalah tugas penting dan mendesak bagi orang Kristen karena orang terlalu banyak menderita dan reformasi dan transformasi berani mendesak diperlukan.
Ini panggilan untuk bertindak demi keadilan adalah pesan yang jelas dari Gereja Universal, pesan menyatakan dan menegaskan kembali waktu dan lagi oleh paus banyak serta oleh Konsili Vatikan Kedua, Sinode para Uskup, banyak Uskup Konferensi nasional dan federasi regional Konferensi Uskup . Ini adalah pesan tanpa lelah diproklamasikan oleh Paus Yohanes Paulus II, yang merupakan pesan dekat dengan jantung Konferensi Uskup Katolik Australia.
Meskipun panggilan untuk bekerja untuk keadilan yang jelas, konsisten dan tidak ambigu, tidak selalu didengar atau ditindaklanjuti. Pada saat ini adalah karena kata-kata tidak terdengar jelas atau disalahpahami. Di lain waktu kata-kata yang didengar cukup jelas, tetapi pesan yang menentang karena ketegaran hati. Gereja sendiri perlu mencerminkan terus pada kedua tindakan dan cara komunikasi untuk memastikan proklamasi yang jelas dari Injil.
Australia Keadilan Sosial Katolik Dewan (ACSJC) percaya bahwa alasan utama Injil Keadilan tidak selalu hidup dalam kepenuhannya adalah karena rasa kecilnya dan ketidakberdayaan pada bagian dari mereka yang dinyatakan terbuka untuk pesan yang diproklamirkan. Ini bukan sekedar firasat atau intuisi, tetapi sebagai kepercayaan yang didasarkan pada pengalaman banyak orang selama beberapa tahun.
Dalam dokumen ini ACSJC berupaya untuk terus mewartakan ajaran Gereja mengenai keadilan sosial dan untuk menawarkan serangkaian refleksi tentang bagaimana ini mungkin tinggal keluar dalam pengaturan biasa dan keadaan hidup. Fokusnya adalah pada apa yang mungkin bagi wanita Australia, laki-laki dan anak-anak melakukan keadilan dalam dunia kecilnya langsung dari rumah, sekolah, lingkungan tempat kerja,.
Ini bukan pernyataan komprehensif tentang aksi untuk keadilan karena hanya berfokus pada satu konteks mungkin untuk tindakan tersebut, yaitu dimensi biasa atau kehidupan sehari-hari. Ini merupakan lokasi penting untuk aksi, tetapi komitmen publik yang lebih luas atau lebih dalam sosial, ekonomi, bidang politik dan budaya juga signifikan. Saksi kenabian dari jenis publik sering diperlukan dalam bekerja untuk keadilan, seorang saksi yang mungkin pada waktu menjadi karakter dramatis atau bahkan heroik, seperti yang dibuktikan oleh kehidupan dan kematian Uskup Agung Oscar Romero, antara lain.
Dokumen ini berkonsentrasi pada karena kecil dan biasa aspek-aspek dari keberadaan kita sering undervalued oleh suatu masyarakat yang menekankan besar dan publik. Dalam tradisi Kristen, tersembunyi, kecil dan tampak tak berdaya diadakan dalam hal khusus, sering menunjuk kehadiran Kerajaan Allah. Dunia sehari-hari juga dalam konteks di mana sejumlah besar orang lebih mungkin mengalami, setidaknya pada awalnya, Roh yang diberikan mereka martabat dan kekuatan untuk mengambil bagian dalam transformasi dunia.
Para ACSJC berharap bahwa makalah ini akan membantu orang Katolik untuk mengambil langkah pertama, atau mungkin langkah lebih lanjut, dalam perjalanan mereka menuju keadilan.
Untuk memperbaharui Bumi: ajaran-ajaran Gereja Katolik pada keadilan sosial
Injil atau Kabar Baik dari Yesus Kristus mengharuskan semua orang yang percaya di dalamnya untuk bekerja menuju transformasi radikal dunia.
Magisterium Gereja telah selama seratus tahun terakhir mengembangkan tubuh sistemik ajaran tentang keadilan, pembangunan dan perdamaian untuk membantu umat Katolik dalam tugas mereka memperbaharui bumi. Sebuah minoritas Katolik di Australia memang telah mendengar panggilan Injil untuk keadilan dan perdamaian dan telah berkomitmen untuk menanggapi panggilan ini.
Banyak, mungkin sebagian besar dari umat Katolik, terus tetap tidak menyadari sebagian besar dari isi atau bahkan keberadaan ajaran Gereja di bidang sosial. Katolik Australia Keadilan Sosial Dewan berkomitmen untuk membantu Gereja di tingkat nasional dan keuskupan untuk memperbaiki situasi ini.
Bagian dari Kertas Masalah ini '? menyajikan pengantar ringkas untuk ajaran Gereja mengenai keadilan sosial. Menjadi ringkasan itu tidak menguras kekayaan dari ajaran Katolik.
Ajaran sosial Katolik adalah tubuh yang jelas tentang ajaran Gereja resmi pada tatanan sosial dalam dimensi budaya, politik, ekonomi dan lingkungan. Ajaran ini adalah interpretasi realitas dalam terang Injil, tradisi Gereja dan kebijaksanaan manusia.
Sampai ajaran sosial Katolik baru-baru diproklamasikan terutama melalui ensiklik kepausan (surat yaitu dari Paus untuk seluruh Gereja), desakan dan pidato. Baru-baru ini, mencerminkan perubahan yang ditimbulkan oleh Vatikan II, pernyataan otoritatif telah dibuat oleh Sinode Uskup, dan oleh Konferensi Uskup nasional dan Federasi Konferensi Uskup. Di Australia, ajaran sosial Katolik telah diartikulasikan, dipromosikan dan diterapkan oleh Konferensi Uskup baik dalam dirinya sendiri dan melalui lembaga itu telah diatur untuk tujuan ini.
Gereja mengajar di bidang sosial penawaran dengan pemerintah pusat, dan tidak perifer atau opsional, aspek iman Katolik. Sinode 1971 dokumen Uskup, Keadilan di Dunia (n 6), menyatakan bahwa:
Tindakan atas nama Keadilan dan partisipasi dalam transformasi dunia sepenuhnya tampak bagi kita sebagai dimensi konstitutif pewartaan Injil, atau, dengan kata lain, dari misi Gereja untuk penebusan umat manusia dan pembebasan dari setiap menindas situasi.
Sinode, dalam perjanjian dengan Paus, mengindikasikan dalam pernyataan ini bahwa pekerjaan Gereja untuk keadilan dan perdamaian merupakan bagian penting dari perannya. Karya ini bukanlah pilihan untuk dipilih sesuai dengan minat dan kecenderungan individu. Hal ini, sebaliknya, tanggung jawab incumbent pada semua pengikut Yesus. Setelah diterima, tanggung jawab ini kemudian dapat hidup dalam berbagai cara sesuai dengan penegasan sendiri informasi kita panggilan Tuhan dalam konteks konkret kehidupan kita.
Prinsip-prinsip dasar Ajaran sosial Katolik mengusulkan bahwa akal manusia, dikombinasikan dengan wawasan yang diambil dari kitab suci, dapat memberikan interpretasi yang valid dari tatanan sosial, dapat menghidupkan agar dengan nilai-nilai otentik dan dapat memberikan pedoman untuk bertindak. Berikut ini merupakan prinsip dasar ajaran sosial Katolik:
1. Tujuan dari tatanan sosial Tujuan dari tatanan sosial adalah, cukup sederhana, orang tersebut. Dalam kata-kata Pius XII:
Individu manusia, jauh dari objek dan, pada kenyataannya, harus dan harus terus menjadi, subjek, dasar dan akhir. (Pacem in Terris, n 26)
Fakta bahwa manusia diciptakan dalam gambar Allah dan telah ditebus oleh Yesus Kristus
berarti bahwa mereka memiliki martabat mendasar. Martabat ini disertai dengan sejumlah hak-hak asasi dan tanggung jawab, termasuk yang secara aktif membentuk sejarah kita, baik sebagai individu dan masyarakat.
Meskipun tujuan masyarakat adalah orang, orang ini tidak harus dipahami sebagai individu yang mandiri, terpisah dan otonom dari orang lain. Penekanan pada pentingnya fundamental dan martabat pribadi manusia perlu diadakan dalam ketegangan kreatif dengan prinsip solidaritas.
2. Prinsip solidaritas Prinsip solidaritas menyatakan bahwa pribadi manusia adalah sosial oleh alam. Artinya, kita tidak kepada masyarakat sebagai sesuatu gambar tambahan untuk orang tersebut. Sebaliknya, dimensi sosial adalah bagian dari kemanusiaan kita. Vatikan II menyatakan bahwa:
Pribadi manusia adalah sosial oleh alam. (Gaudium et Spes, n 12) dan
Allah telah berkenan untuk membuat orang-orang suci dan menyimpannya bukan hanya sebagai individu, tanpa ada ikatan timbal balik, tetapi dengan membuat mereka menjadi orang tunggal. (Lumen Gentium, Bab 11, Pasal 9)
Setiap kali kita merenungkan kemanusiaan kita perlu kita ingat baik dimensi personal dan sosial, mengingat dalam pekerjaan kami untuk keadilan bahwa perkembangan orang individu, dan pengembangan masyarakat bergantung satu sama lain. (Populorum Progressio, n 43).
Prinsip solidaritas kebutuhan, pada gilirannya, yang akan diadakan dalam ketegangan kreatif dengan prinsip subsidiaritas.
3. Prinsip subsidiaritas Prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa:
Ini adalah sebuah ketidakadilan dan pada saat yang sama kejahatan serius dan gangguan untuk urutan yang benar untuk transfer ke fungsi kolektivitas yang lebih besar dan lebih tinggi yang dapat disediakan oleh badan-badan yang lebih rendah dan bawahan. (Quadragesimo Anno, n 79)
Kolektivitas dapat dilihat ada pada tingkat yang berbeda, mulai dari yang kelompok kecil dan keluarga, melalui asosiasi lingkungan dan organisasi Negara, sampai ke pemerintah nasional dan lembaga internasional. Prinsip ini menyatakan bahwa tingkat yang lebih tinggi, seperti pemerintah nasional, tidak harus melakukan fungsi yang bisa lebih baik disediakan untuk di tingkat bawah, seperti masyarakat lokal atau keluarga.
Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menyingkirkan sebagai pilihan Kristen Negara kolektif, di mana semua daya terpusat. Ini juga pengamanan inisiatif pribadi dan kreativitas.
4. Tujuan pemerintah Tujuan pemerintah adalah promosi dari Kebaikan Umum yang digambarkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Mater et Magistra (n 65) sebagai:
Jumlah total dari kondisi kehidupan sosial, dimana orang-orang yang diaktifkan lebih penuh dan lebih mudah untuk mencapai kesempurnaan mereka sendiri.
Artinya, Negara diperlukan dalam ajaran sosial Katolik untuk campur tangan secara aktif dalam masyarakat, termasuk ekonomi, untuk mempromosikan dan menjamin keadilan. Negara ini tidak akan dikurangi menjadi pengamat pasif sosial-ekonomi proses, termasuk proses mekanisme pasar.
5. Prinsip partisipasi Prinsip partisipasi menyatakan bahwa manusia, dalam pekerjaan mereka untuk suatu masyarakat baru, perlu mengambil peran aktif dalam pengembangan kehidupan sosial-ekonomi, politik dan budaya.
Penekanan di sini adalah pada tanggung jawab manusia untuk menjadi subyek bukan obyek, yaitu, untuk menjadi aktif pembentuk sejarah bukan hanya penerima pasif dari keputusan orang lain.
6. Tujuan universal barang Prinsip tujuan universal barang yang menyatakan barang-barang dunia yang dimaksudkan untuk semua.
Meskipun Gereja secara konsisten menjunjung tinggi hak milik pribadi sebagai hak asasi manusia yang fundamental, itu juga mengajarkan bahwa hak ini tidak mutlak dan tak tersentuh. Hak milik pribadi sebenarnya tunduk pada hak untuk menggunakan umum, fakta bahwa barang-barang yang dimaksudkan untuk semua orang. (Laborem Exercens, n 14)
7. Pilihan bagi masyarakat miskin Prinsip ini mengharuskan kita untuk side stand-by-side dengan orang miskin dan tertindas.
Menurut Yohanes Paulus II, itu adalah Yesus sendiri yang, dalam dan melalui orang miskin dan terbuang, datang ke pertanyaan kita. Yesus meminta kita untuk mendengarkan orang miskin dengan cara yang khusus dan untuk 'berjalan dengan sepatu mereka?. Selanjutnya, terutama yang miskin, yang menolak dan sederhana yang benar-benar mendengar pesan Tuhan. Ini adalah karena itu mereka yang menjadi, dalam inversi fundamental nilai-nilai dunia dan praktek, para agen utama transformasi dunia.
Di zaman modern panggilan untuk latihan pilihan bagi masyarakat miskin telah diartikulasikan terutama di Gereja Amerika Latin. Yohanes Paulus II telah mengambil panggilan ini, menegaskan validitas dan kesesuaian untuk seluruh gereja di ensiklik, On Kekhawatiran Sosial. Paus mengatakan kepada kita bahwa komunitas Yesus? pengikut, Gereja, harus berdiri berdampingan dengan para korban ketidakadilan sebagai bagian dari misinya terus melalui sejarah untuk mewartakan, merayakan dan melayani Injil Yesus Kristus.
Teologi keadilan Dalam 25 tahun terakhir pesan Gereja pembebasan telah semakin diproklamasikan dalam terang pewahyuan alkitabiah. Hal ini tidak mungkin di sini untuk memberikan survei komprehensif dari teologi keadilan karena ukuran dari tugas yang terlibat. Hal ini dimungkinkan, namun, untuk menunjuk ke lima tema dasar:
1. Keluaran acara Israel memahami dirinya sebagai memiliki terlahir sebagai bangsa keluar dari pengalaman Keluaran, yaitu, pembebasan dari, pribadi agama, penindasan sosial, politik dan ekonomi Mesir. Arti dari Keluaran bagi Israel (dan bagi kita) adalah bahwa Allah menyatakan dirinya sebagai Tuhan dalam pembebasan suatu masyarakat yang tertindas. Allah adalah Tuhan yang berbelas kasih yang mendengar seruan umat-Nya. Dia tidak berdiri terpisah dan jauh dari sejarah manusia, tidak hanya yang bersangkutan dalam kehidupan setelah-di mana semua penderitaan akan absen dan semua ketidakadilan dikoreksi. No Allah campur tangan dalam sejarah atas nama semua yang tertindas dan menderita untuk membebaskan mereka dalam kehidupan ini, di sini dan sekarang dan konkret sejarah mereka. Dia adalah Sang Pencipta, Allah-yang-dibuat-kita, yang masih erat terlibat dengan penciptaan, sehingga memperlihatkan dirinya juga Tuhan Sejarah, Allah beserta kita.
2. Dalam Israel sendiri Allah membawa keadilan bagi yang tertindas, miskin dan juara tunduk pada jeritan orang berdaya (Ps.76: 9; 103:6; 9:10-12; Yehezkiel 34:27 dan banyak lainnya). Para nabi terus-menerus mengingatkan Israel bahwa Tuhan menginginkan apa yang paling adalah keadilan. Menonjol di antara ini adalah Yesaya, Yeremia, Amos, Hosea dan Mikha (Is.1: 23, 3:14-15; Jr 21:12; 22:03, 13; Ho 4:1-2; Am 5..: 7-17; Mi 6:2-12 dan banyak lainnya).
3. Yesus? proklamasi Kerajaan Allah Tujuan Tuhan bagi umat manusia langit yang baru dan bumi yang baru, kerajaan keadilan dan kedamaian serta kekudusan dan kasih karunia, waktu dari kedua pemenuhan sosial dan pribadi.
Yesus? tujuannya adalah justru untuk mewartakan kedatangan Kerajaan dan kebutuhan untuk konservasi, yang berbalik dari kehidupan kita, titik balik terbalik-down dari nilai-nilai dunia. Kecuali jadi dikonversi kita tidak dapat menerima karunia kerajaan Allah.
Lukas, dalam Injilnya, telah Yesus katakan ini pada awal pelayanan publik-Nya.
The Spirit of the Lord is upon me, because he has anointed me to preach good news to the poor. He has sent me to proclaim release to the captives and recovering of sight to the blind. To set at liberty those who are oppressed, to proclaim the successful liberty of the Lord.
God's message, according to Luke, is aimed particularly (though not exclusively) at the poor, the outcast, the afflicted. It is a message of liberation, of freedom from everything which militates against the fullness of life.
Read again the Beatitudes ? they are a summary statement of the values of the Kingdom. Reflect on how they overturn the wisdom of the world and offend commonsense. The whole of the Law is summed up by Jesus in 'love of God and love of neighbour?, a love which encompasses both love of ourselves and of our enemies.
Because God's Kingdom is coming, Jesus asks us to repent, to turn around, to change. We do this by living according to the values of the Kingdom, that is, by the rules which will definitively characterise God's future. In doing this we enable the future to be active as a leaven in the present and prepare ourselves for God's great gift of a new heaven and a new earth.
4. Yesus? konflik dengan otoritas Yesus makan dengan orang berdosa publik dan dengan orang buangan masyarakat Yahudi dan ia mengidentifikasi dengan mereka. Bahkan, ia membuat hidup yang kekal tergantung pada bagaimana kita memperlakukan sedikitnya dan ditolak di antara kita. Ini adalah skandal bagi setiap orang Yahudi yang taat pada waktu itu karena percaya bahwa situasi orang buangan (misalnya, kemiskinan, penyakit, cacat) adalah konsekuensi langsung dari dosa-dosa mereka. Itulah mengapa mereka orang buangan sosial, karena mereka berada di tempat pertama orang buangan Allah. Dalam memperluas persekutuan meja untuk orang buangan, dalam menerima mereka sebagai pengikut-Nya, Yesus tidak hanya merusak keyakinan agama dasar, tapi juga praktek sosial yang mapan ditopang oleh abad 'akal sehat?.
Yesus merevisi perayaan Sabat dengan menyembuhkan pada hari Sabat dan dengan menyatakan bahwa Sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Ketaatan Sabat adalah batu fondasi dari kepercayaan Yahudi. Itu adalah salah satu perintah. Bersama dengan sunat itu adalah salah satu karakteristik yang membedakan Israel, salah satu kualitas yang membuat orang Israel apa itu, sebuah negara terpisah oleh dan untuk Allah. Hari Sabat karena itu adalah baik politik dan budaya, serta agama, realitas. Sekali lagi, apa yang Yesus telah dikatakan dan dilakukan akan dialami sebagai skandal oleh seorang Yahudi yang taat.
Israel Yesus? waktu adalah teokrasi, bentuk pemerintahan di mana dewa dianggap menjadi penguasa utama. Ini berarti bahwa pada saat agama Yesus dan politik terkait erat. Para pemimpin agama juga merupakan kepemimpinan politik. Untuk menyerang satu adalah untuk menyerang yang lain. Yesus mengeluarkan kecaman kuat dari beberapa kelompok terkemuka, misalnya, orang-orang Farisi dan Saduki, menuduh mereka pembenaran diri, menjadi buta dengan apa yang terjadi dalam dirinya sendiri, menjadi lebih peduli dengan huruf dari semangat UU.
Sebuah analisis tentang Yesus? konflik dengan otoritas dan masyarakat pada masanya mengungkapkan bahwa misinya prihatin dengan transformasi total dari dunia ini, aspek sosial dan politik disertakan. Jelaslah bahwa untuk menjadi pengikut Yesus memerlukan konfrontasi dari kekuatan dunia ini jika hal ini tidak mencerminkan nilai-nilai Kerajaan.
5. Pilihan bagi masyarakat miskin Kita telah mencatat bagaimana dalam Perjanjian Lama Allah dialami sebagai seseorang yang berada di pihak orang miskin. Yesus terus dalam tradisi ini dengan berasosiasi dengan kaum miskin dan dengan menerima mereka di antara pengikutnya. Yesus, bagaimanapun, berjalan lebih jauh dari ini dengan bertujuan pesannya di miskin dan ditolak dan dengan mengidentifikasi dengan mereka. Menurut Matius 25:, 31-46 berdiri di samping kaum miskin dan untuk mengidentifikasi dengan mereka adalah untuk membuat layanan yang sama kepada Yesus sendiri dan untuk mendapat hidup yang kekal dengan Allah.
Bagaimana Kita Memahami Keadilan di Dunia? Ajaran sosial Gereja Katolik adalah interpretasi realitas yang dibuat dalam terang Injil, tradisi sendiri dan hikmat manusia. Bagaimana, kemudian, apakah ajaran sosial Katolik menafsirkan dunia?
Menurut Gaudium et Spes (Konsili Vatikan Kedua, 1965), manusia dihadapkan oleh pilihan mendasar antara kemajuan atau mundur, kebebasan atau perbudakan, solidaritas atau divisi
dan kebencian. Dunia adalah pada pegangan dari serangkaian paradoks: meskipun kemajuan teknologi dan ilmiah ada buta huruf luas dan kelaparan; meskipun kesadaran yang lebih besar dan keinginan untuk kebebasan, ada bentuk-bentuk baru perbudakan sosial dan psikologis.
Sinode para Uskup 1971 menyatakan bahwa dunia menderita
Sebuah jaringan dominasi, penindasan dan pelanggaran yang melumpuhkan kebebasan dan yang menjaga sebagian besar umat manusia dari berbagi dalam membangun dan kenikmatan dunia yang lebih adil. (Keadilan di Dunia, n 3)
Sinode mencatat bahwa kekuasaan di dunia semakin terkonsentrasi di tangan kelompok mengendalikan kecil. Hal ini juga mencatat bahwa meskipun pembebasan akhirnya merupakan pembebasan dari dosa, struktur sosial yang tidak adil terjadi kendala obyektif dalam cara konversi hati. Ini mengikuti bahwa bekerja untuk keadilan harus mencakup baik pertobatan pribadi dan perubahan sosial. Selanjutnya, Sinode memperingatkan, keadilan tidak bisa hanya berarti mengekspor cara hidup negara-negara kaya ke negara miskin karena jika tingginya tingkat konsumsi dan polusi dari dunia industri, baik Timur dan Barat, diberikan kepada seluruh umat manusia, kerusakan dapat diperbaiki akan dilakukan untuk elemen-elemen penting dari kehidupan di bumi.
Paus Yohanes Paulus II sejauh ini (1990) menulis tiga ensiklik tentang tema-tema sosial. Dia telah memperingatkan bahwa umat manusia semakin terancam dari produk tangannya sendiri. Pengembangan etika dan spiritual tertinggal kemajuan teknologi. Kami telah melupakan prioritas etika melalui teknologi, keunggulan orang atas hal-hal, didahulukan dari pekerja terhadap modal. Begitu mendesak adalah situasi dunia sekarang mengenai kemiskinan bahwa panggilan menjadi pertanyaan berbagai lembaga-lembaga ekonomi dan struktur yang mendukung perekonomian dunia saat ini. "Transformasi penting? diperlukan.
Dalam ensiklik sosial, On Keprihatinan Sosial, Yohanes Paulus II berpendapat bahwa solidaritas global merupakan prasyarat untuk pencapaian pembebasan manusia penuh. Solidaritas ini, di tempat pertama, solidaritas dengan para korban ketidakadilan, sebuah pilihan bagi masyarakat miskin. Paus mencatat bahwa mayoritas penduduk dunia adalah miskin dan menyatakan bahwa situasi ini tidak bisa dihindari juga bukan kesalahan dari orang miskin. Kemiskinan, kata Paus, adalah skandal. Ini menyinggung martabat manusia dan bertentangan dengan kepercayaan Gereja bahwa barang di dunia milik semua orang
Bersama dengan Paulus IV, Yohanes Paulus II mengeluarkan kecaman keras dari apa yang ia syarat superdevelopment negara kaya banyak. Ini adalah ketersediaan berlebihan dari semua jenis barang-barang material yang mengubah manusia menjadi budak kepemilikan dan kepuasan segera. Sebuah pemahaman yang benar terhadap pembangunan manusia melampaui dimensi ekonomi murni dan termasuk memperhatikan hak asasi manusia, keprihatinan untuk pemerataan barang, penghargaan terhadap alam dan makhluk-makhluk yang merupakan dan pendekatan yang lebih cerdas dan kurang kritis untuk teknologi modern. Kita juga perlu menolak, Paus menambahkan, apa yang telah menjadi keinginan memakan semua untuk keuntungan dan haus mapan untuk kekuasaan.
Yohanes Paulus II juga menunjukkan tanda-tanda positif di dunia, beberapa di antaranya adalah:
? Meningkatnya kesadaran martabat manusia dan hak asasi manusia. ? Sebuah kesadaran yang berkembang menjadi terkait dengan nasib global umum yang akan dibangun bersama-sama, yaitu saling ketergantungan kita pada skala dunia. ? Perhatian luas untuk perdamaian. ? Realisasi tumbuh dari batas-batas sumber daya alam dan kebutuhan untuk menghormati integritas dan siklus alam. ? Keberhasilan yang dialami oleh beberapa negara-negara miskin untuk menjadi mandiri dalam produksi pangan.
Kembali ke pertanyaan sentral kita, "Apa yang bisa kita lakukan?? Jawaban Yohanes Paulus II adalah solidaritas. Paus menggunakan kata ini dengan cara yang klimaks dan merangkum seratus tahun ajaran sosial Katolik. Apakah solidaritas?
Sudah bukan kasih sayang yang samar-samar maupun kesusahan dangkal di kemalangan, tapi tekad untuk mengkomitmenkan diri pada kebaikan bersama, yaitu, untuk bekerja bagi mereka, sosial ekonomi, kondisi politik, budaya dan lingkungan yang akan memungkinkan semua umat manusia untuk mencapai mereka maksimum potensial. Kondisi minimum termasuk pelaksanaan hak asasi manusia, kesetaraan yang lebih besar dalam distribusi barang dan jasa, penghapusan semua bentuk diskriminasi dan langkah-langkah untuk perlindungan lingkungan. Ini melibatkan pilihan bagi masyarakat miskin, kesediaan untuk berdiri di samping semua korban ketidakadilan, untuk bekerja dengan dan untuk mereka, untuk melihat dunia melalui mata mereka.
Ini termasuk kesediaan dan kesiapan pada bagian dari mereka lebih makmur untuk berbagi kekayaan dan kekuasaan mereka.
Ini termasuk pengabaian pasif pada bagian dari orang miskin. Orang miskin dan tertindas memiliki kewajiban untuk berlatih solidaritas antara mereka sendiri dan untuk mengklaim hak-hak sah mereka. Solidaritas kita sendiri harus, di tempat pertama, berada di layanan solidaritas antara orang miskin.
Solidaritas melibatkan ditinggalkannya politik 'blok?, Divisi, dan pertumbuhan kepercayaan dan kolaborasi. Kesatuan umat manusia adalah tujuan akhir.
Aksi untuk Keadilan: Model Berbeda Ada banyak cara untuk bekerja untuk keadilan. In the Catholic tradition there have been, and continue to be, two basic models of work in the social area. One is sometimes called the social welfare model. Those working within this framework are primarily concerned with alleviating the pain and suffering caused by a variety of life-events, including injustice. Examples of such work include medicine and nursing, counselling, social and welfare work. The focus here is on the individual person and, at times, the small group. This model has been the most widely adopted and best-known among Catholics until fairly recently.
Model lain adalah kadang-kadang dikenal sebagai model perubahan sosial. Mereka yang bekerja dalam kerangka kerja ini terutama prihatin dengan menghilangkan penyebab penderitaan dan ketidakadilan. Contoh pekerjaan tersebut meliputi pendidikan, penelitian dan lobi, vigils dan pawai, surat-menulis, partisipasi dalam partai-partai politik dan kelompok tindakan. Kekhawatiran dengan perubahan sosial, politik, budaya dan ekonomi dan, oleh
karena itu, fokus cenderung pada lembaga, struktur masyarakat, sosial atau Negara. Kebanyakan orang Katolik yang baik tidak akrab dengan bentuk bantuan sosial atau tidak mengidentifikasi sebagai mengalir keluar dari Injil.
Kami sangat berkepentingan untuk menegaskan keabsahan, kebutuhan dan pentingnya kedua kesejahteraan sosial dan pendekatan perubahan sosial. Keduanya menemukan asal-usul mereka dalam kata-kata dan tindakan, kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Keduanya perlu tetap terbuka untuk yang lain dan untuk hidup dalam ketegangan kreatif dengan satu sama lain.
Bekerja untuk meringankan rasa sakit dan luka para korban ketidakadilan dan penderitaan adalah mutlak diperlukan oleh Injil. Mereka yang terlibat dalam pelayanan penting perlu tetap terbuka terhadap kenyataan bahwa banyak rasa sakit mereka berusaha untuk mengurangi telah menyebabkan sosial, yang akhirnya menyebabkan perlu ditangani. Apakah ini pelayanan harus ditutup dengan perspektif sosial, itu akan sendirinya merupakan semacam ketidakadilan.
Bekerja untuk menghilangkan penyebab ketidakadilan mutlak diperlukan oleh Injil. Mereka yang terlibat dalam pelayanan penting perlu tetap terbuka pada kenyataan bahwa selalu orang-orang yang terluka dalam partikularitas dan kehancuran kehidupan fisik, emosional dan spiritual. Apakah ini pelayanan harus ditutup dengan kebenaran dari dimensi subjektif dan pribadi, itu akan berubah menjadi ideologi dehumanised akhirnya memanipulasi orang dan peristiwa dalam nama abstraksi tak bernyawa.
Pentingnya Biasa dan Sehari-hari Hal ini dimungkinkan untuk salah memahami apa yang baru saja kita katakan. Hal ini dimungkinkan untuk salah memahami bagaimana perubahan yang terjadi di dunia. Kami memiliki kecenderungan, sering diperkuat dan diperbesar oleh media massa, untuk melihat perubahan terutama sebagai hasil dari kegiatan 'besar? individu. Kita ingat para pemimpin gerakan sosial, Martin Luther King atau Mahatma Gandhi atau Pankhurst Emily atau Caroline Chisholm. Kami melupakan peran yang sama penting yang dimainkan oleh jutaan manusia yang tak terhitung lainnya sepanjang sejarah.
Kecenderungan pada bagian kita untuk menekankan dan mengingat individu yang besar tunggal memiliki sejumlah konsekuensi negatif. Mungkin yang paling signifikan dari ini adalah kenyataan bahwa kita cenderung melupakan apa yang bisa kita lakukan dalam hidup kita biasa-biasa. Merasa kecil, kita merasa tak berdaya. Seringkali terisolasi, kita merasa tidak berarti. Kita lupa bahwa gerakan besar perubahan dalam sejarah manusia, dan terus, hanya mungkin karena jutaan orang mendukung mereka dengan hidup mereka setiap hari melalui tindakan-tindakan kecil dan sepertinya tidak penting yang tak terhitung harapan, keberanian dan daya tahan. Sejarah Gereja Kristen itu sendiri merupakan contoh yang baik dari kebenaran ini.
Sebagian besar kehidupan manusia telah, dan akan terus menjadi kehidupan biasa. Para hakim dunia hidup tersebut menjadi penting, tidak ada konsekuensinya. Cara dunia, bagaimanapun, adalah bukan cara Tuhan. Tujuan Allah melalui sejarah yang dicapai terutama melalui hal-hal yang biasa dan lemah dari dunia.
Magnificat Maria adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana Allah ternyata nilai-nilai dan harapan terbalik. Maria menyatakan bahwa besar akan jatuh dari singgasana mereka
dan rendah hati akan ditinggikan. Di tempat lain dalam Injil orang buta dibuat melihat, sedangkan kuat dan bijaksana dinyatakan buta. Ini adalah miskin dan menolak yang mendengar dan menanggapi Kabar Baik. Orang miskin, belas kasihan, mereka yang berdukacita, mereka yang mencari keadilan dan perdamaian dinyatakan diberkati, bukan orang kaya, orang arogan dan tangguh. Para mandul melahirkan. Orang miskin dan terbuang yang dibuat kriteria untuk masuk ke dalam hidup dengan Allah.
Selain itu, prinsip inti dari teologi Katolik, Prinsip Sakramentalitas, menyatakan bahwa yang terbatas dan menciptakan adalah kendaraan yang melaluinya Tak Terbatas dan Ilahi mengekspresikan dirinya. Dalam sakramen, misteri Allah mengulurkan tangan dan memeluk kita melalui zat biasa air dan minyak, roti dan anggur. Di luar hal-hal sakramen sehari-hari, seperti hadiah atau mendengarkan penuh perhatian atau persahabatan dalam menghadapi ejekan atau oposisi, adalah cara-cara di mana perawatan dan kasih sayang Allah dapat dikomunikasikan.
Yang benar adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan hal-hal, bagaimanapun kecil atau tidak signifikan mungkin tampak di permukaan. Hanya ada satu syarat untuk kebenaran ini menjadi aktif: apa pun yang kita lakukan harus diilhami dan dipandu oleh nilai-nilai Kerajaan. Ini, seperti yang telah kita sebelumnya menunjukkan, ditemukan di dalam Yesus? Khotbah di Bukit (juga dikenal sebagai The Ucapan Bahagia).
Apapun yang kita lakukan dalam semangat ini, betapapun kecilnya, akan dikumpulkan oleh Allah dalam kepenuhan waktu dan berubah menjadi gelombang pasang yang kekuasaan dunia ini tidak akan mampu menahan.
Beberapa Pedoman untuk Aksi Pedoman berikut ini untuk aksi untuk keadilan dan berasal dari pemahaman kita tentang ajaran Injil dan Gereja dan dari refleksi atas pengalaman kita sendiri dalam bekerja untuk keadilan. Maksud kami disini adalah untuk mendorong tindakan sementara yang menunjuk ke kedua kemungkinan dan batas-batas yang diperlukan.
1. Sebelum mengambil tindakan kita harus terlibat dalam proses penegasan yang selalu mencakup doa dan juga mungkin termasuk membaca, diskusi dan konsultasi. Kuncinya di sini adalah untuk melihat cara di mana Allah memanggil kita masing-masing dalam keadaan tertentu dari kehidupan kita sendiri. Penegasan ini adalah suatu proses yang berkelanjutan yang akan mengarah pada peningkatan kemampuan untuk mendengar firman Tuhan dan untuk menanggapinya.
2. Setiap tindakan kita melakukan harus ditandai dengan pilihan bagi masyarakat miskin dan dipandu oleh prinsip solidaritas sebagai dijelaskan oleh Yohanes Paulus II. Praktis, ini berarti berdiri dengan orang miskin dan terbuang bukan sesuatu yang melakukan untuk pendekatan. Ini berarti bersikap terbuka untuk kebenaran bahwa kita akan belajar lebih dari yang kita dapat mengajar, menerima lebih dari yang kita berikan. Ini berarti tidak dapat diterimanya hubungan berdasarkan ketergantungan. Mungkin yang paling sulit dari semua, itu menyiratkan kesediaan pada bagian kami untuk tidak berada dalam kontrol, untuk menerima bahwa pada akhirnya orang-orang dengan siapa kita berdiri bisa, harus dan akan membebaskan diri.
3. Dunia sudah ditebus. (Apakah kita benar-benar percaya bahwa?) Tindakan kami adalah partisipasi dalam bahwa penebusan dan bukan penyebabnya.
4. Kerajaan, langit baru dan bumi baru akan datang, adalah karunia Tuhan. Kami bekerja untuk itu dengan cara mempersiapkan diri untuk itu. Kami tidak menyebabkan kerajaan yang akan datang.
5. Kami mempersiapkan diri bagi kedatangan Kerajaan dengan bekerja untuk perubahan pribadi dan sosial, dengan baik membantu para korban ketidakadilan dan mengatasi penyebab ketidakadilan.
6. Kami bertanggung jawab untuk bertindak, dan untuk melakukannya dalam cara yang cerdas, bijaksana dan berani sesuai dengan kemampuan kita dan keadaan. Tapi kita perlu meninggalkan makna tertinggi dan konsekuensi dari tindakan kita di tangan Tuhan.
7. Mengharapkan kesalahpahaman, konflik, kegagalan serta keberhasilan dan kepuasan. Mencari dukungan dan persahabatan dari orang lain dengan komitmen yang sama terhadap keadilan.
8. Bertindak lokal tapi berpikir secara global. Tidak ada masalah sangat kecil sehingga tidak memiliki bantalan pada masa depan dunia dan tidak ada masalah begitu besar sehingga tidak memiliki dampak pada kehidupan pribadi kita. Kami bertindak di mana kita menemukan diri kita, semakin sadar karena kita tumbuh dalam pengalaman dan wawasan, dari interkoneksi yang rumit antara lokal dan global, antara bagian dan keseluruhan.
9. Ambil tepi terdekat dari sebuah isu. Ini tidak benar-benar peduli masalah karena mereka semua penting dan semua akhirnya terhubung. Cukup melakukan apa yang mungkin bagi Anda? bahwa adalah Allah semua bertanya karena satu-satunya hal yang dapat Anda lakukan. Apa yang Anda mungkin menemukan setelah beberapa saat adalah bahwa bidang memperluas kemungkinan seperti yang Anda tumbuh dalam kepercayaan diri dan keterbukaan Anda kepada Allah.
10. Ingatlah bahwa kita semua memiliki karunia yang berbeda. Ini kadang-kadang dilupakan dalam bekerja untuk keadilan. Anda memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi sesuai dengan hadiah Anda. Sebaliknya, tidak mengkritik orang lain untuk tidak berolahraga hadiah yang mereka tidak miliki. Kita semua diminta untuk melakukan sesuatu tetapi ada kecenderungan terkadang untuk tekanan baik diri kita sendiri dan orang lain untuk melakukan segalanya.
11. Latihan kerendahan hati serta keyakinan, kemampuan Anda hadiah dan wawasan. Menghormati apa yang Anda mampu memberikan kontribusi tetapi tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa Anda mungkin salah.
Keadilan Sosial dan Keadilan EkonomiOPINI | 09 August 2010 | 07:22 1285 0 Nihil
Linkers, pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep kedilan ini sudah tentu memiliki implikasi terhadap aktifitas manusia. Tuhan memerintahkan pada kita untuk berbuat adil pada semua manusia dan tidak boleh membeda-bedakan. Tulisan ini inspirasi dan panduan moralistiknya dari beberapa ajaran cak Nur, sekedar ingin be-romantisme juga mengkorelasi terhadap realita yang tengah terjadi secara makro Indonesia dan Bandung secara mikro, poinnya adalah kita sedang menghadapi sinegitas antara minimnya fenomena keadilan dan merebaknya kemiskinan, tanpa bermaksud menghakimi, selamat menyimak.
Keadilan diartikan sebagai suatu paham kesamaan antar manusia, dalam konteks ini dimengerti bahwa tidak ada perbedaan antara manusia atas alasan apapun. Diskriminasi adalah suatu hal yang abnormal. Abnormal karena kelainan itu bertentangan dengan jati diri
primordial manusia. Dalam pandangan Islam keberadaan individu dan masyarakat adalah sama pentingnya. Sebagai individu, manusia memiliki kemerdekaan yang penuh. Namun ketika ia berada di lingkup masyarakat, maka kebebasan pada dirinya menjadi terbatas. Oleh karena itu, setiap individu tidak boleh menggunakan kemerdekaannya itu untuk kepentingan pribadi dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Jika hal tersebut terjadi maka yang terjadi adalah konflik antar kepentingan. Sebaliknya bila melulu kepentingan masyarakat yang diutamakan maka akibatnya potensi individu menjadi sulit untuk dikembangkan.
Melihat hal semacam ini maka diperlukan sebuah aturan bersama (common rules) yang berfungsi menjamin kepentingan-kepentingan indivudu dapat dicapai tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Wilayah inilah yang kemudian disebut sebuah perspektif tentang keadilan. Keadilan dalam hubungannya dengan status dan lingkup sosial adalah bahwa Islam memberikan panduan moralistik agar manusia dapat hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan manusia lain meskipun berbeda suku, agama dan ras. Sedangkan konsep keadailan ekonomi adalah bahwa Islam sangat menekankan egaliterianisme (persamaan hak) dan menghindari segala bentuk kepincangan sosial yang dimulai dari kepincangan ekonomi. Dengan demikian, konsep-konsep keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam perspektif Islam adalah disandarkan pada ajaran bersaudara.
Selanjutnya mengenai keadilan ekonomi adalah aturan main (rules of the game) tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada kaidah-kaidah etika, prinsip-prinsip yang mana pada gilirannya bersumber pada hukum Tuhan atau pada sifat-sifat dasar manusia. Dari uraian ini, agaknya masalah keadilan ekonomi sangat berkaitan erat dengan penegakan etika.
Etika adalah pondasi awal untuk membangun keadilan, tanpanya bangunan keadilan yang coba didirikan akan lemah dan sangat subyektif untuk membaca konteks zaman. Mencipta keadilan ekonomi pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi logis dari konsep bersaudara dalam Islam. Keadilan ekonomi akan dapat memberikan jalan bagi tiap manusia untuk mendapatkan haknya, dan menjamin akan kebebasannya dari unsur eksploitasi.
Pada hal inilah perbedaan keadilan sosial dengan keadilan ekonomi digariskan. Keadilan sosial akan sangat berkaitan dengan keadilan distribusi dan pembagian hak, sedangkan keadilan ekonomi adalah pemberian kesempatan pada setiap orang untuk melakukan proses produksi. Berkaitan dengan hal ini, dalam konteks hubungan majikan dan buruh sering kali mengalami transmutasi secara prinsip. Karena umumnya buruh berada dalam posisi yang lemah, sedangkan majikan berada di posisi yang kuat. Konsep keadilan Islam dalam hal distribusi dan konsep tentang keadilan ekonomi sesungguhnya menghendaki bahwa setiap manusia mendapatkan imbalan berdasarkan apa yang dikerjakannya, dengan kata lain bagaimana seseorang mendapatkan apa yang menjadi haknya dengan terlebih dahulu memenuhi kewajiban yang menyertainya.
Mencipta struktur sosial yang adil ini memang menjadi tugas kita semua, namun menjadi tugas pemerintah yang paling utama. Ada hal menarik seputar masalah keadilan ekonomi. Pada saat ini kesadaran terhadap aspek-aspek keadilan ekonomi hampir dikatakan minimal karena stigma yang beredar di masyarakat adalah aspek ekonomi pasif semata. Pemerataan pembangunan hanya terbatas pada aspek teknis bagaimana menutupi luka tanpa mau tahu akar permasalahan penyebab luka. Sifatnya seperti pemadam kebakaran, reaktif tapi kurang mendayagunakan precoutinary principle (prinsip kehati-hatian), melalui tindakan preventif. Maka tak ayal lagi, kemiskinan akan mudah merebak.
Sedikitnya terdapat 4 (empat) pendapat tentang kemiskinan di Indonesia. Pertama, mereka yang modernis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena salah si miskin. Solusinya harus dilakukan pendidikan, diberikan pelatihan-pelatihan terhadapnya. Kedua, mereka yang tradisionalis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena takdir. Solusinya banyak beribadah, berdo’a. Ketiga, mereka yang revivalis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi
karena manusia lari dari kitabnya, berbuat tidak sesuai dengan apa yang digariskan kitab sucinya. Solusinya kembali pada kitab, mengkaji kitab, melakukan studi terhadap kitabnya itu. Keempat, mereka yang strukturalis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi bukan karena takdir, bukan pula salah si miskin, bukan karena manusia lari dari kitabnya. Melainkan miskin terjadi karena struktur kekuasaan. Solusinya, harus diciptakan struktur yang sedemikian rupa agar mencipta struktur sosial yang berkeadilan.
Sehingga pada wilayah ini, merubah struktur yang tidak adil ini adalah hal yang krusial yang segera harus dilakukan. Ketidakadilan ini dapat berwujud dalam bentuk penyiapan undang-undang yang berpihak pada kaum mustadz’afin, menutup segala peluang untuk melakukan KKN dan lebih memberikan porsi yang sama kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam segala aktivitas ekonomi. Karena gagasan negara sejahtera hanya akan terwujud jika pemerintah dan rakyat dapat bekerja sama secara harmonis. Pada satu sisi negara berperan menyediakan perangkat peraturan yang memihak rakyat kecil, dengan metodologi penggunaan instrumen-instrumen dan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi rakyat dan disisi lain rakyat harus dituntut untuk memanfaatkanya secara optimal. Semoga…