Komunikasi Politik Gender
-
Upload
nayomi-valenzia -
Category
Documents
-
view
130 -
download
12
Transcript of Komunikasi Politik Gender
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ranah politik menjadi arena yang sangat menarik untuk digeluti lebih serius
oleh masyarakat. Banyak orang yang menganggap bahwa dengan terjun ke ranah ini,
mereka bisa mendapatkan hidup yang lebih baik.
Runtuhnya orde baru yang disusul dengan masa reformasi, memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik semakin luas.
Masyarakat diberi kebebasan untuk bisa terjun ke ranah ini dengan berbagai cara yang
telah ditentukan, misalnya, bebas membuat partai politik dan mengajukan diri menhadi
CaLeg. Banyaknya partai politik yang terbentuk semakin membuka peluang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi pada ranah ini. Partai politik dijadikan kendaraan bagi
seluruh masyarakat yang ingin berada di parlemen. Namun hal di atas belum
sepenuhnya terlaksana. Kesempatan yang ada belum diberikan secara merata pada
seluruh masyarakat. Dalam hal ini ada perbedaan quota bagi perempuan dan laki-laki
yang akan duduk di parlemen.
Oleh karena itu, materi tentang komunikasi politik dan gender perlu dibahas agar
kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang terdapat dan berpengaruh pada komunikasi
politik dan gender tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi polik?
2. Bagaimana kondisi perempuan dalam dunia politik?
3. Bagaimana budaya politik bagi kaum perempuan?
4. Bagaimana komunikasi politik perempuan?
5. Apa gambaran politisi perempuan dalam media?
6. Apa contoh kasus dari komunikasi poltik dan gender?
1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi perempuan dalam dunia politik
2. Untuk mengetahui budaya politik bagi kaum perempuan
3. Untuk mengetahui komunikasi politik perempuan
4. Untuk mengetahui gambaran politisi perempuan dalam media
5. Untuk mengetahui contoh kasus yang berhubungan dengan komunikasi dan
gender
6. Untuk mengetahui contoh kasus yang berkaitan dengan komunikasi politik dan
gender
2
BAB II
ISI
A. Pengertian Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap
proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi
politik dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Bagaimana tidak, aneka struktur
politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat,
kelompok kepentingan, dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui
komunikasi politik ini. Setiap struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan
berdasarkan informasi ini.
Komunikasi politik banyak menggunakan konsep-konsep dari ilmu komunikasi
oleh sebab, ilmu komunikasi memang berkembang terlebih dahulu ketimbang
komunikasi politik. Konsep-konsep seperti komunikator, pesan, media, komunikan, dan
feedback sesungguhnya juga digunakan dalam komunikasi politik. Titik perbedaan
utama adalah, komunikasi politik mengkhususkan diri dalam hal penyampaian
informasi politik. Sebab itu, perlu terlebih dahulu memberikan definisi komunikasi
politik yang digunakan di dalam tulisan ini.
R.M. Perloff mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses
dengan mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa
bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan
kebijakan publik. Dalam definisi ini, Perloff menjadi media sebagai
pihak yang ikut melakukan komunikasi politik.
Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi,
pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini,
keyakinan, dan lainnya) yang dilakukan oleh para partisipan dalam
kerangka kegiatan-kegiatan politik yang terlembaga. Definisi ini
menghendaki proses komunikasi politik yang dilakukan secara
terlembaga. Sebab itu, komunikasi yang dilakukan di rumah
antarteman atau antarsaudara tidak termasuk ke dalam fokus kajian.
Meskipun demikian, konsep-konsep yang dikaji di dalam komunikasi
politik sangat banyak, yang oleh sebab keterbatasan tempat, maka
hanya akan diambil beberapa saja. 3
B. Kondisi Perempuan dalam Dunia Politik
Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang dimasyarakat,
perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi
semakin sulit bagi perempuan untuk mengkonsooidasikan posisi dan kedudukannya
dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan
berpartisipasi aktif di instiusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang
gerak,sekaligus suara perempuan yang terwakili. Kondisi inilah yang tidak
menguntungkan bagi perempuan,tidak saja bagi eksistensi dan keterlibatan perempuan
di arena politik negara,tetapi juga tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan
perempuan.
Usaha untuk memperjuangkan jumlah peremouan duduk di lembaga parlemen
dan pemerintahan,dilakukan agar keterwakilan jumlah dan suara perempuan seimbang
dalam lembaga negara ini, namun,hasil yang diperoleh hanya sebatas kuantitas,atau
numerik keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kuantitas ini belum memadai
dibandingkan dengan kualitas suara dan peran-peran strategis perempuan sebagai
pengambil kebijakan di domain politik.
Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang terlibat dalam dunia
pokitik untuk bersuara, atau dengan kata lain mempunyai kemampuan komunikasi
politik yang kurang. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor
politik dan politisi laki-laki di media massa, semakin menyurutkan eksistensi
perempuan.
Setelah pemilu 2004 lalu,muncul wacana tentang kuota perempuan 30%. Sampai
pada akhirnya UU pemilu telah menetapkan kuota 30% perempuan harus dilakukan
pada pemilu 2009. Namun apa yang terjadi , hampir semua partai politik tidak siap
dengan para kader dan calon yang disiapkan untuk mengisi kuota ini. Akibatnya yang
terjadi "saling comot" orang keluarga sendiri,putrinya,artis perempuan, dan sosok-sosok
lainnya yang muncul menjadi "kader dadakan". Sejak pemilu 2004, dukungan untuk
mengisi 30% kuota perempuan di parlemen diharapkan menjadi lebih banyak.
Perkembangannya, rata-rata kuota ini terpenuhi tidak hanya di pusat tetapi di daerah-
daerah juga, namun, kemampuan komunikasi politik yang dimiliki oleh perempuan di
parlemen masih jauh dari yang diharapkan. Kekuatan lobi-lobi perempuan di parlemen
masih jauh kalah dari kekuatan dan dominasi laki-laki dalam berbagai forum
pengambikan keputusan di lembaga parlemen ini.
Kondisi di atas mengalami pergeseran pada era pemilihan umum 2010. Hal ini
4
terutama terjadi di daerah daerah di Indonesia. Pemilihan para kepala daerah selama
tahun 2010, misalnya menunjukkan peningkatan jumlah perempuan yang maju dan
berhasil memenangkannya. Di jawa timur sebagai contohnya, dibandingkan gelombang
pertama pilkada di propinsi ini tahun 2005-2008 , perempuan yang mencalonkan
sebagai kandidat pada pilkada 2010 meningkat tajam. Beberapa perempuan yang
menjadi calon berangkat dari berbagai profesi , termasuk artis, dan akademisi. Catatan
litbang menyebutkan sepanjang 2005-2008 hanya ada lima perempuan calon kepala
daerah pada pilkada di jawa timur kala itu,dua diantaranya berhasil memenangi
pemilukada. Jumlah ini meningkat pada pemilukada 2010. Sampai awal juni 2010
misalnya, dari 18 jumlah pemilukada yang dilakukan, terdapat 11 nama perempuan
yang maju menjadi calon. Dari jumlah itu, tujuh kandidat perempuan yang maju
diantaranya berhasil menjadi pemimpin dan wakil pemimpin daerah.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang maju menjadi
pemimpin di daerah maupun pusat perkembangannya begitu sigjifikan. Di balik
kontroversi dan konflik yang muncul seperti kasus bupati Banyuwangi Ratna Ani
Lestari yang dihalangi maju kedua kali karena kasus korupsi lapangan terbang
Banyuwangi dan bupati Tuban Haeny Relawati yang menghadapi teror hingga
rumahnya dibakar, serta kontroversi pencalonan bupati Pacitan, Julia Perez, semuanya
menunjukkan bahwa perempuan mulai berbenah diri untuk maju dalam arena-arena
politik yang masih kental dengan mitos patriarki dan kekerasan tersebut.
C. Budaya Politik Bagi Kaum Perempuan (Female Political Culture)
Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum
memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan
di ranah domestik lebih mengedepankan dibandingkan kedudukan dan posisi
perempuan di ranah publik apalagi di bidang politik. Opini publik terhadap eksistensi
perempuan dalam politik kurang mendukung. Opini mayoritas publik dengan
keterlibatan perempuan dalam politik belum sampai pada tingkat mayoritas numerik.
Perilaku memilih atau voting behavior juga tidak memberikan dukungan kepada
perempuan-perempuan yang ada. Kuatnya nilai patriarki dengan kepercayaan "laki laki
adalah imam" begitu kuat,sehingga pada saat memilih pun, perempuan sendiri enggan
memilih kaumnya.
Tambahan lagi, banywk studi yang menunjukkan bahwa perempuan dalam arena
politik seringkali harus berjuang untuk menerima lioutan media dan legitimasi publik
dan media. Media massa dianggap sering menggambarkan politisi perempuan
5
mempunyai masalah atau dikaitkan dengan isu-isu domestik berkaitan dengan perilaku
anak dan suaminya. Namun, media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki
laki.
Menurut Bistrom, media massa dianggap sering mempertanyakan politisi
perempuan dengan pertanyaan berbeda dengan yang ditanyakan kepada politisi laki
laki. Media juga dianggap telah mendeskripsikan kepada politisi laki-laki. Media juga
dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan dengan berbagai cara dan kata kata
yang menekankan pada peran tradisional perempuan dirumah, persoalan penampilan
mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat, misal model
rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan jeleknya minum-minuman atau menghabiskan
uang miliaran untuk belanja online, dsb.
Seperti yang terjadi di Amerika , ketika media lebih menonjolkan masalah model
rambut Hillary Clinton yang akan maju menjadi senator politik daripada gerakan-
gerakan pokitiknya. Calon gubernur Texas, Ann Richards dan anggota senat Amerika
Lynn Yeakel yang ditonjolkan tentang isu koleksi pakaiannya, berat badannya dan
penampilan fisik lainnya selama kampanye politik mereka di Amerika.
Perempuan yang maju di ranah politik juga sering dijadikan subjek perbedaan
gender negatif atau "negative gender distinctions". Jenis kelamin perempuan sering
dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk kedalam dunia politik. Sebaliknya, para
kandidat pokitikus laki laki di deskripsikan dalam istilah "gender neutral terms" atau
terminologi gender yang lebih natural. Meskipun politisi laki-laki juga melakukan
counter terhadap gambaran image mereka, tetapi secara umum kandidat laki-laki lebih
memilih kebebasan dalammberpakaian dan bertingkah laku karena publik telah
terkondisikan atau terbiasa untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin. (Bisstrom
dalam Lee Kaid, 2004:443)
D. Komunikasi Politik Perempuan
Seringkali perempuan yang akan menjadi calon legislatif tidak mempunyai
kemampuan komunikasi politik yang andal. Terkesan malu-malu dan tidak dapat
meyakinkan publik pemilihnya bahwa ia layak untuk dipilih.
Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak
kasus,perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya
sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya.
Pesan perempuan dan perempuan adalah pesan yang perlu untuk diperjelas dan
dipahami oleh perempuan. Seringkali meskipun perempuan mempunyai ruang dan
6
posisi yang menguntungkan di parlemen baik sebagai ketua fraksi atau ketua DPRD
sendiri,perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan
perempuan, dan proporsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi
perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap
kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain , belum mampu
secara maksimal di kedepankan , dibandinhkan persoalan atau masalah yang dihadapi
umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki laki.
Perempuan sendiri masih enggan bersahabat dengan media. Perempuan harus
berani tampil dan menunjukkan dirinya di media massa . Tidak banyak perempuan yang
sadar perlunya memasarkan citra diri sendiri di media massa. Banyak pernyataan politik
penting yang dikutip dan dijadikan diskursus publik dilontarkan oleh laki-laki. Anggota
legislatif,pengamat politik,menteri, dan pembuat kebijakan perempuqn,termasuk para
bupati dan wali kota perempuan, sangat sedikit tampil di media massa dan dijadikan
rujukan media dibandingkan dengan sosok laki-laki. Sehingga keterwakilan perempuan
di dunia politik pum menjadi bisu/silent.
Gerakan politik yang dilakukan kaum perempuan merupakan dinamika positif
bagi perkembangan politik kaum perempuan untuk membuktikan adanya kesetaraan dan
kesederajatan antara politik laki-laki dan perempuan, terutama gerakan politik yang
dilakukan dalam wilayah politik lokal dimana keberadaan perempuan tengah menjadi
bagian penting dalam setiap proses politik yang terjadi. Bahkan, kaum perempuan
kerapkali mampu mewarnai gerakan politik yang dilakukan, sehingga eksistensi
perempuan mulai menjadi figur baru dalam konstelasi politik yang terus berkembang,
terurama dalam momentum Pemilu dimana banyak kaum perempuan tampil sebagai
caleg. Kajian terhadap politik perempuan pada dasarnya merupakan sesuatu yang
menarik, mengingat perempuan berada di tengah arus budaya politik patriarkhi dimana
masyarakat masih kurang responsif terhadap pemimpin perempuan. Untuk memberikan
keyakinan yang maksimal terhadap masyarakat, kaum perempuan sejatinya, tidak
pernah lepas dari taktis dan strategi yang dipakai, terutama menyangkut strategi
komunikasi politik yang dilakukan oleh kaum perempuan pada Pemilu 2009.
Penelitian ini merupakan penelitian field research (penelitian lapangan),
sedangkan pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini ialah metode kualitatif,
yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari individu atau kelompok serta perilaku yang dapat diamati. Untuk
mencapai tujuan penelitian agar sesuai dengan metode yang disampaikan.
7
E. Gambaran Politisi Perempuan Dalam Media
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian atas, berbagai studi yang dilakukan di
Amerika dan di Indonesia sendiri, menunjukkan bahwa persoalan gender dan
komunikasi politik adalah persoalan yang serius . Masih banyak liputan media massa
yang tidak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan yang terlibat dalam
kepemimpinan politik. Sehingga pada akhirnya gambaran ini akan bisa mempengaruhi
opini publik yang beredar di masyarakat.
Erika Falk (2008) melakukan studi tentang gender dan liputan media di Amerika
ketika senator Amerika Serikat Hillary Clinton mencalonkan diri menjadi presiden dari
partai Demokrat bersaing dengan Obama pada bulan januari 2007, Falk melihat ada
tidaknya perbedaan media mengupas dua calon yang berbeda kelamin (battle of sexes).
Falk mengkaji liputan media tentang pengumuman candidacy Obama dan Hillary ini di
enam surat kabar yang beredar di Amerika Serikat. Oleh karena itu mayoritas publik
tidak bisa bertemu langsung dengan kandidat, maka gambaran media tentang kandidat
pada permulaan kampanye menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui respon
pemilih. Dalam kesimpulan penelitiannya, Falk mengemukakan bahwa meskipun
memimpin dalam polling saat itu, Hillary Clinton memperoleh liputan yang lebih
sedikit dibandingkan obama. Hillary juga lebih sering memiliki julukan yang rendah
dan menjatuhkan, serta dipanggil dengan nama pertamanya. Hal yang berbeda
dilakukan pada Obama yang lebih banyak dikutip , diberitakan, dan posisi-posisinya
yang banyak dikutip media. Menurut Falks pers tidak hanya penting untuk
mengkonstruksi ide khalayak tentang kandidat, tetapi juga penti telah membentuk
pemahaman budaya khalayak tentang gender dan perempuan.
Kondisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Khrisna Sen (2002) pernah menulis tentang tekanan-tekanan publik dan media terhadap
pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia. Isu yang banyak di angkat oleh
media ketika itu adalah isu-isu yang berkaitan dengan "haram" seorang pemimpin
perempuan di Indonesia, pemberitaan media massa yang lebih cenderung mendukung
suara dominan yang menentang kepemimpinan politik perempuan di Indonesia. Upaya
menggulingkan Megawati dari kandidat presiden perempuan ketika itu cukup kuat, yang
pada akhirnya media massa berhasil membentuk agenda publik untuk memusuhi
perempuan menjadi pemimpin politik di Indonesia,
Partisipasi politik perempuan tidak saja dilakukan dengan memberikan suara
saja, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah
politik. Selama ini jumlah keerlibatan perempuan di dunia politik memang
8
menunjukkan progres yang menggembirakan. Tetapi, kondisinya tidak menunjukkan
perubahan yang signifikan, terlebih ketika media massa tidak menunjukkan perubahan
yang signifikan. Terlebih ketika media massa tidak menunjukkan dukungannya melaui
teknik liputan dan framing atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik.
F. Hambatan dan Kelebihan Perempuan dalam Berkomunikasi Politik
Untuk melihat bagaimana perempuan dibandingkan laki-laki dalam melakukan
komunikasi politik, maka kita harus mengidentifikasi apa hambatan perempuan dalam
melakukan komunikasi politik. Beberapa hambatan perempuan juga kelebihan
perempuan teridentifikasi di bawah ini:
a. Hambatan Kultural
Secara kultural, perempuan distereotypekan sebagai orang yang: pemalu, takut,
suka menangis. Sedang laki-laki identik dengan: berani, pantang menyerah,
tidak pernah menangis. Inilah yang menyebabkan perempuan mempunyai
kendala dalam melakukan komunikasi politik karena perempuan sering minder,
tak punya keberanian dan rendah diri ketika mendapatkan kritikan.
Hambatan kultural lain, perempuan juga distereotypekan sebagai ibu rumah
tangga, pekerja domestik, tak pantas tampil di publik dibandingkan laki-laki.
Inilah yang menyebabkan perempuan mendapatkan banyak kritik ketika tampil
di muka publik.
Mereka juga distereotypekan sebagai orang yang: tak pantas memimpin.
Identitas inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara
terbuka, malu, tidak percaya diri. Bahkan di Amerika ada stereotype tentang
Cinderella complexe untuk perempuan. Yaitu perempuan identik dengan orang
yang malu, tak percaya diri kemudian dipinang menjadi seorang putri karena
menikah dengan bangsawan kaya.
b. Hambatan Pengetahuan
Selain secara kultural, perempuan juga mempunyai banyak hambatan
pengetahuan. Banyak perempuan yang tidak punya waktu untuk pergi dari
rumah karena ia bertanggungjawab secara domestik. Perempuan yang bekerja di
luar juga tak banyak mempunyai akses untuk berkomunikasi/ berjaringan/
mencari pengetahuan karena ia juga harus mengurusi urusan domestik. Inilah
yang menyebabkan laki-laki mempunyai banyak pengetahuan dan banyak waktu
untuk berjaringan. Dalam berkomunikasi secara politik, ini menyebabkan
9
perempuan menjadi minder ketika melakukan kampanye politik.
Indentifikasi tentang politik yang kotor dan korup juga menyebabkan perempuan
menjadi takut untuk berkiprah di dunia politik. Dalam berkomunikasi secara
politik, di satu sisi ini merupakan hambatan bagi perempuan untuk maju dalam
berpolitik.
Begitu juga dalam hal mendapatkan akses. Di media, karena tak banyak tampil
di depan publik dan merasa tak punya pengetahuan cukup maka perempuan tak
berani berbicara di depan media. Ini mengakibatkan banyak laki-laki yang
mengisi media untuk berkomunikasi secara politik.
Dalam komunikasi modern, para kandidat di Amerika sejak tahun 1990
menggunakan internet, website dan kemudian tahun-tahun berikutnya
menggunakan yotube, videostyle untuk melakukan kampanye. Nampaknya ini
agak sulit dilakukan oleh banyak kandidat perempuan di Indonesia dan beberapa
negara miskin lainnya. Di Indonesia misalnya, akses internet baru menyentuh
kandidat di perkotaan,sedangkan banyak perempuan di daerah masih kesulitan
untuk mendapatkan akses internet karena persoalan infrastruktur. Di perkotaan
sendiri, perempuan juga banyak yang masih mendapatkan hambatan karena
teknologi adalah wilayah laki-laki. Misalnya: beberapa perempuan boleh
menggunakan handphone, namun jika suaminya sudah tidak lagi memakainya.
G. Kelebihan Perempuan (Persuasif dan Melakukan Praktek terhadap Isu)
Namun sejumlah penelitian lain juga menyebutkan bahwa dengan kondisi ini
perempuan harus melihat kelebihannya, yaitu: perempuan lebih pandai untuk
berkomunikasi secara personal, tidak sombong dan acuh, inilah yang menyebabkan
perempuan lebih dekat dengan publik ketika berkampanye.
Kelebihan lain, karena setiap hari berpraktek dengan lingkungannya, ini
menjadikan perempuan sangat paham bagaimana mengelola isu dan berpraktek secara
isu, misalnya: melakukan komunikasi politik dengan membawa isu kemiskinan,
kesehatan, dll.
H. Contoh Kasus
Inilah 167 Calon Anggota DPR untuk Sumbar
Jumat, 23 Agustus 2013 19:32 WIB
RANAHBERITA-- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menetapkan 6.607 calon
10
legislatif (caleg) dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI. Para caleg dari 12
partai politik peserta Pemilu 2014 tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR RI.
“DCT DPR RI Pemilu 2014 berjumlah 6.607 orang yang akan memperebutkan 560
kursi DPR RI di 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia," ujarnya Ketua KPU RI
Husni Kamil Manik, usai menggelar rapat pleno penetapan DCT di Jakarta, Kamis
(22/8).
Total caleg yang diusulkan partai politik sebanyak 6.641 orang. KPU mencoret 33 caleg
karena tidak memenuhi syarat, sementara satu orang caleg mengundurkan diri sehingga
DCT DPR RI untuk Pemilu 2014 menjadi 6.607 orang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 167 orang, merupakan caleg yang akan dipilih di dua
daerah pemilihan (dapil) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Nama-nama calon legislatif tersebut bisa dilihat di link berikut, berdasar nomor urut
partai:
1. Partai Nasdem
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
4. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan
5. Partai Golkar
6. Partai Gerindra
7. Partai Demokrat
8. Partai Amanat Nasional (PAN)
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10. Partai Hanura
14. Partai Bulan Bintang (PBB)
15. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Para caleg yang terdaftar dalam DCT tersebut, sudah resmi menjadi caleg dan akan
dipilih oleh masyarakat pada pemilu 2014.
Mereka terdiri atas 107 laki-laki dan 60 perempuan (35,93%), akan memperebutkan 14
kursi, yakni delapan kursi di Dapil Sumbar I dan enam kursi di Dapil Sumbar II.
Dapil I Sumbar meliputi 11 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai,
11
Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Sijunjung, Dharmasraya dan Tanah Datar serta
Kota Padang, Solok, Sawahlunto dan Padangpanjang.
Sementara, Dapil II terdiri atas 8 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pasaman, Pasaman
Barat, Lima Puluh Kota dan Padang Pariaman serta Kota Bukittinggi, Payakumbuh dan
Pariaman.
Bila dibandingkan dengan nama-nama yang tercantum dalam daftar calon sementara
(DCS) yang ditetapkan KPU pada Juni 2013 lalu, ada penambahan 8 orang.
Delapan orang tersebut seluruhnya merupakan caleg PAN di Dapil Sumbar I yang
sempat dicoret ketika KPU mengumumkan DCS. Hak-hak mereka menjadi caleg
kembali dipulihkan setelah ada keputusan Badan Pengawas Pemilu dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Selain penambahan tersebut, satu orang caleg PKB juga diganti. (Hdm/Ed1)
Sumber: www.ranahberita.com
Analisa Kasus
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa calon caleg terdiri dari 107 laki-laki dan
60 perempuan. Jumlah caleg perempuan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
terdapat peningkatan. Peningkatan ini dapat berawal dari keinginan perempuan sebagai
kelompok yang dianggap subordinat untuk dapat menyampaikan aspirasinya dalam
perpolitikan di Indonesia.
Jika dilihat dari prosesnya, informasi yang diberikan oleh media akan
mempengaruhi kogniis khalayak, menambah pengetahuan khalayak tentang
perpolitikan, dalam hal ini adalah terbukanya peluang partisipasi politik bagi
perempuan. Terpaan terus menerus yang diberikan tentang issu ini akan memperkuat
nilai-nilai yang ada pada perempauan atau mengubah nilai-nilai tersebut. Sebagai
contoh anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak mampu terjun ke ranah politik,
sedikit dmei sedikit terkikis dengan informasi yang di dapat melalui media. Efek yang
terakhir yaitu partisipasi. Informasi yang terus bertambah dan nilai yang telah berubah
membawa dampak pada partisipasi politik perempuan. Keyakinan akan kemampuan
yang ditimbulkan dari media telah membuat perempuan berbondong-bondong untuk
menjadi calon legislative di pemilu 2014. Hal ini juga tidak terlepas dari pemerintah 12
yang membuka peluang sebesar 30% dan peran media sebagai alat persuasive yang
dapat mempengaruhi kognisi masyarakat dan akhirnya dapat menyentuh tataran
perilaku khalayak perempuan untuk berani terjun ke ranah politik. Hal ini sebagai bukti
bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat kuat sebagai alat propaganda dalam
berbagai aspek terutama Komunikasi Politik.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi,
pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini,
keyakinan, dan lainnya) yang dilakukan oleh para partisipan dalam
kerangka kegiatan-kegiatan politik yang terlembaga
Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang dimasyarakat,
perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi
semakin sulit bagi perempuan untuk mengkonsooidasikan posisi dan kedudukannya
dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan
berpartisipasi aktif di instiusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang
gerak,sekaligus suara perempuan yang terwakili
Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum
memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan
di ranah domestik lebih mengedepankan dibandingkan kedudukan dan posisi
perempuan di ranah publik apalagi di bidang politik
Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak
kasus,perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya
sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Subiakto, Henry, & Ida, Rachmah. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sanit, Arbit. 2003. Sistem Politik Indonesia Kestabilan, peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers
Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik,komunikator, pesan dan media. Bandung:
Remaja Rosdakarya,
15