Komplikasi Dari Ventrikulostomi Ventrikel III Secara Endoskopi
Komplikasi Dari Ventrikulistomi Ventrikel III Secara Endoskopi.doc
-
Upload
bocahbritpop -
Category
Documents
-
view
35 -
download
0
Transcript of Komplikasi Dari Ventrikulistomi Ventrikel III Secara Endoskopi.doc
Reading
Komplikasi Dari Ventrikulostomi
Ventrikel III Secara Endoskopi
Oleh
Ida Bagus Gde Suwibawa Putra
Pembimbing
Dr. Sri Maliawan, SpBS
Bagian /SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2007
1
Komplikasi Dari Ventrikulostomi Ventrikel III Secara Endoskopi
Henry W. S. Schroeder, M.D., Ph. D., Wulf-Rudiger Niendorf, M.D., dan Michael R.
Gaab, M.D., Ph.D.
Departemen Bedah Saraf, Universitas Ernst Moritz, Greifswald, Jerman
Sasaran : Tujuan dari penelitian prospektif ini adalah untuk menentukan besarnya
komplikasi yang berhubungan dengan ventrikulostomi ventrikel tiga secara endoskopi
(ETV)
Metode : Antara maret 1993 dan oktober 2001, 193 ETV dikerjakan pada 188 pasien
pada satu lembaga yang sama. Umur pasien berkisar antara 1 bulan hingga 85 tahun
(dengan rata-rata umur 39 tahun). Satu prosedur dibatalkan karena perdarahan vena yang
hebat mengganggu penglihatan dari ahli bedah. Akan tetapi, ventrikulostomi ventrikel III
telah dapat diselesaikan pada pasien tersebut 14 hari kemudian. Sebagai tambahan,
terdapat dua kasus dimana perdarahan vena yang cukup berarti dapat dikontrol
menggunakan irigasi secara endoskopi. Hasil foto pasca operasi menunjukkan adanya
tiga kasus penumpukan subdural, satu kontusio thalamus yang kecil, satu perdarahan
kortikal pada titik tusukan, dan satu perdarahan subarachnoid hebat (SAH). Terdapat dua
kematian (1% tingkat mortalitas) yang berhubungan dengan prosedur endoskopi.
Penyebab dari kematian adalah adanya satu SAH dari robekan arteri basiler yang
mengalami perforasi dan infeksi dari luka yang menjadi meningitis dan kegagalan
berbagai organ akibat sepsis. Tiga defisit permanen muncul (bingung, kelumpuhan
oculomotor, diabetes insipidus (1,6 % angka kesakitan permanen). Defisit sementara
termasuk empat kasus meningitis, tiga kasus kebocoran cairan serebrospinal, dua kasus
sindrom herniasi, dua kasus konfusi/kebingungan, satu kasus penurunan kesadaran, dua
kasus kelumpuhan okulomotor dan satu kasus dimana terjadi kehilangan rasa haus (7,8 %
angka kesakitan sementara). Kesalahan lokasi dari fenestrasi merupakan alasan utama
terjadinya komplikasi yang berbahaya. Selama proses penelitian, tingkat komplikasi
turun dengan sangat signifikan (tidak ada kematian atau kesakitan permanen dalam 100
prosedur).
2
Kesimpulan. Semua komplikasi yang permanen dan fatal terjadi pada saat paling awal
dari penelitian penulis, menandakan bahwa terdapat kurva pembelajaran yang berbentuk
curam yang berhubungan dengan prosedur yang dilaksanakan. Ventrikulostomi ventrikel
III dengan endoskopi, jika dilaksanakan dengan baik, akan aman, sederhana dan efektif
sebagai pilihan pengobatan untuk berbagai jenis noncomunicating hidrocephalus.
Kata Kunci. Arteri basilaris. Perdarahan subarachnoid. Neuroendoskopi.
Ventrikulostomi ventrikel III secara endoskopi. Komplikasi.
Akhir-akhir ini ETV menjadi prosedur pilihan untuk pengobatan noncomunicating
hidrocephalus. Popularitas dari prosedur ini berdasarkan atas fakta bahwa shunts yang
diatur dengan katup sering mengalami kegagalan yang cukup tinggi dan berbagai
komplikasi, meskipun ada peningkatan pesat dalam teknologi shunt. Data dari beberapa
seri ETV telah dipublikasikan, namun komplikasi belum dijelaskan secara detail. Kami
melaporkan komplikasi yang ditemukan dalam beberapa ETV yang kami catat secara
prospektif.
Gambar 1. Grafik batang menunjukkan distribusi dari komplikasi lethal (grafik warna hitam), komplikasi
permanen (grafik abu-abu), dan komplikasi simtomatis sementara (grafik putih) pada pemeriksaan tiap
tahun antara Maret 1993 dan Oktober 2001.
Bahan dan Metode
Semua data diperoleh dari simpanan data endoskopi yang dikumpulkan secara prospektif.
Semua komplikasi yang muncul sebelum pasien menyelesaikan perawatan telah dicatat.
Komplikasi di golongkan sebagai letal (kematian), menyebabkan defisit permanen
3
(kesakitan permanen), menyebabkan defisit sementara (kesakitan sementara), atau
menyebabkan masalah intra operasi namun tidak menyebabkan kerusakan atau sequelae
pada pasien.
Populasi Pasien
Antara maret 1993 dan oktober 2001, 193 ETV telah dikerjakan pada 188 pasien pada
institusi kami. Seratus pasien laki-laki dan 88 pasien perempuan masuk dalam kelompok
penelitian. Sebagian besar pasien adalah dewasa, walaupun 10 pasien adalah berusia 1
tahun dan lebih muda. Usia pasien berkisar antara 1 bulan hingga 85 tahun (rata-rata
umur adalah 39 tahun). Pada semua pasien, hidrosefalus ditunjukkan lewat gambaran CT
atau MR. Hidrocefalus disebabkan oleh tumor (91 pasien), stenosis aquadukta (37
pasien), perdarahan (18 pasien), dan infark (8 pasien). Comunicating hidrocepalus
ditemukan pada 21 pasien dan pada 15 pasien disertai oleh malformasi yang lain seperti
myelomeninocle, dandy-walker varian pembesaran cisterna magna, atau arachnoid atau
kista forencephalie. 3 pasien menderita multilocular hidrocepalus. 20 pasien terjadi
kegagalan shunt. Operasi dikerjakan oleh tujuh ahli bedah saraf. Dengan pengecualian
dosen senior (m.r.g), dokter bedah mendapatkan pengalaman mereka mengenai prosedur
endoscopy selama penelitian ini.
Tekhnik Endoscopy
Semua prosedur dikerjakan dengan bantuan sistem neuro endoscopy universal dari gaab
(carl storz gmbh and co, tutlingan, jerman) setelah dikerjakannya anastesi umum pada
pasien. Pemberian antibiotik tidak dikerjakan secara rutin. Pada sebagian besar pasien,
teropong Gaab I dipergunakan (diameter selubung terluar 6,5 mm). Pada anak-anak dan
beberapa pasien dimana foramen monro sangat sempit dipergunakan miniatur teropong
Gaab II (diameter selubung terluar 3,8 mm). Pada 130 prosedur pendekatan pembedahan
direncanakan berdasarkan MRI dan 63 intervensi berdasarkan atas CT-scan. Pada
umumnya, selubung operasi dimasukkan secara freehand melalui burr hole koronal kanan
masuk ke ventrikel lateral kanan. Pada 14 kasus, neuronavigasi tanpa frame telah
dikerjakan. Pada kasus dimana ventrikel asimetris, sisi dengan foramen monro yang lebih
besar dipilih. Selubung operasi dilekatkan dengan menggunakan dua lengan retraktor
4
standar bedah mikro (Leyla arms; Aesculap, Tutlingen, Jerman). Teropong diagnostik
dipergunakan terlebih dahulu untuk inspeksi awal. Endoskop diarahkan melewati
foramen Monro menuju ventrikel tiga. Dasar dari ventrikel tiga dengan mammilary
bodies dan recessus infundibular ditemukan. Daerah fenestrasi yang ideal telah dipilih
berdasarkan anatomi dasar ventrikel. Pada sebagian besar kasus, perforasi lantai
dilakukan di belakang clivus, pada pertengahan antara recessus infundibular dan
mamilary bodies. Pada awal mulanya kami menggunakan balon kateter Fogarty atau
Cordis untuk melubangi dasar ventrikel. Selanjutnya, kami menggunakan forsep biopsi
yang tertutup atau kauter bipolar tanpa energi (diameter 1,5 mm). Jika dasar terlalu tebal
atau sangat keras, awal perforasi dikerjakan dengan tangkai kauter bipolar pada energi
rendah (10 W). Setelah itu, lubang diperbesar dengan meniup balon untuk mencapai
besar celah yang cukup yaitu diameternya 3 sampai 6 mm. Cisterna interpendicular dan
cisterna pontis diinspeksi melalui ventrikulostomi. Jika terdapat membran Liliequist,
dilakukan fenestrasi juga pada membran ini. Pada umumnya, tidak dipasang drainase
ventrikular eksternal. Endoskop dilkeluarkan dengan panduan visual sehingga dokter
bedah dapat melihat perdarahan aktif pada saluran punksi. Kulit ditutup sesuai
lapisannya.
Hasil Penelitian
Ikhtisar pasien dengan komplikasi tercantum dalam tabel 1. Komplikasi muncul pada 23
prosedur yang dikerjakan pada 22 pasien. Hipertermia dengan temperatur hingga 400 C
tanpa ada gejala klinis maupun hasil lab yang menunjang diagnosa meningitis telah
dicatat selama periode pasca operasi pada beberapa pasien, tapi ini tidak dimasukkan
sebagai komplikasi. Lebih lagi, adanya perdarahan kecil yang muncul dari tepi
ventrikulostomi setelah peniupan balon, perdarahan lemah dari vena ependym setelah
memasukkan selubung endoskopi ke ventrikel lateral dan kerusakan ependym superfisial
pada foramen monro tidak dianggap sebagai komplikasi.
5
TABEL 1
Ikhtisar dari pasien yang menjalani prosedur ETV dengan komplikasi *
No.
Prosedur
Jenis Kelamin,
Usia Pasien
Penyebab
Hidrosefalus Komplikasi Outcome
3 L, 60 th tumor Infeksi pada luka, meningitis, ventrikulitis,
kegagalan multiorgan akibat sepsis
Meninggal
9 L, 65 th tumor Sindrom herniasi dengan penurunan kesadaran,
konfusi
Defisit sementara, konfusi
permanen
13 L, 42 th tumor Perdarahan vena, pembatalan prosedur, konfusi
yang semakin meningkat
ETV yang sukses 14 hari
kemudian, konfusi sementara
20 P, 29 th tumor Sindrom herniasi dengan penurunan kesadaran Defisit sementara
30 L, 63 th tumor SAH yang parah dari arteri basilar yang robek Meninggal
33 L, 60 th tumor Perdarahan vena, kontusi hipotalamus
asimtomatis
ETV berhasil setelah irigasi
37 L, 9 th stenosis
aduaductal
Paralisis okulomotor Defisit permanen
40 Kehilangan rasa haus, diabetes insipidus Kehilangan rasa haus
sementara, diabetes insipidus
permanen
41 L, 3 th tumor Kebocoran cairan serebrospinal Defisit sementara, dibutuhkan
shunt
47 L, 60 th IVH Penurunan tingkat kesadaran, meningitis Defisit sementara
58 L, 0,25 th stenosis
aquaductal
Penumpukan subdural bilateral Asimtomatis, dibutuhkan
shunt
61 P, 66 th stenosis
aquaductal
Paralisis okulomotor parsial Defisit sementara
66 L, 25 th tidak diketahui
(comm)
Meningitis Defisit sementara
72 L, 17 th stenosis
aqueductal
Kebocoran cairan serebrospinal Defisit sementara, dibutuhkan
shunt
76 P, 2 th tidak diketahui
(comm)
Konfusi yang semakin meningkat Defisit sementara, dibutuhkan
shunt
78 P, 59 th tumor Meningitis Defisit sementara
82 L, 9 th tumor Meningitis, kebocoran cairan serebrospinal Defisit sementara
84 L, 13 th stenosis
aqueductal
Penumpukan subdural bilateral Asimtomatis, dibutuhkan
shunt
106 L, 3 th Dandy-Walker
variant
Kontusi dari fornix Asimtomatis
116 L, 71 th hematoma
cerebellar
Perdarahan pada titik punksi kortikal Asimtomatis
120 L, 59 th tidak diketahui
(comm)
Perdarahan vena ETV yang berhasil setelah
irigasi, asimtomatis
128 L, 66 th tidak diketahui
(comm)
Penumpukan subdural unilateral Asimtomatis
167 L, 19 th stenosis Paralisis okulomotor Defisit sementara
6
aqueductal
193 P, 0,08 th stenosis
aqueductal
Debu metal intraventrikular dari trocar yang
mengalami abrasi
Asimtomatis
* Hanya satu pasien yang dikerjakan dua prosedur (prosedur 37 dan 40); pada kasus lain dimana komplikasi muncul, hanya dilakukan
satu prosedur. Singkatan : comm = communicating hidrocephalus
Pada semua prosedur kecuali satu prosedur (99,5%), ventrikulostomi telah dilaksanakan
dengan sukses. Satu prosedur (prosedur 13) telah dibatalkan dan drainase ventrikel
eksternal telah dimasukkan karena perdarahan intraventrikuler yang hebat telah
mengganggu pandangan operator. Pada kasus ini ETV dikerjakan pada 14 hari kemudian.
Terjadi 2 kematian (1% mortalitas) sehubungan dengan prosedur endoskopi. Infeksi luka
(dibuktikan dengan kultur stafilokokus) menyebabkan ventrikulitis-meningitis pada satu
pasien (prosedur 3) yang meninggal karena kegagalan multi organ akibat sepsis. Pada
pasien lain (prosedur 30), SAH yang hebat muncul setelah arteri basiler berlubang akibat
robek saat balon kateter Fogarty dikembangkan. Selama operasi, SAH berhenti setelah
irigasi yang terus-menerus. Pada awal mula pasca operasi tidak banyak peristiwa terjadi.
Akan tetapi 12 jam kemudian, pasien menjadi koma dan menunjukkan kekakuan
desereberasi. CT scan emergensi menunjukkan adanya perluasan SAH pada
mesencephalic-peripontine dan peningkatan hidrocephalus pada pasien. Walaupun
dilakukan insersi emergensi drain ventrikel eksternal, pasien meninggal 3 jam kemudian.
Detail dari kasus ini telah dipublikasikan sebelumnya.
Tiga defisit permanen muncul (1,6% dari kesakitan permanen). Pria usia 65 tahun
(prosedur 9) menderita konfusi setelah mengalami sindrom herniasi transien. Detail dari
kasus ini akan ditampilkan belakangan pada artikel ini. Pada satu pasien, dua sequelae
permanen ditemukan. Setelah pembedahan pertama (prosedur 37), pasien mengalami
okulomotor palsy yang membutuhkan operasi strabismus 1 tahun kemudian. Tiga bulan
setelah ETV, MRI menunjukkan adanya sumbatan dari ventrikulostomi. Eksplorasi
secara endoskopi menunjukkan celah fenestrasi telah tertutup oleh jaringan parut dan
ETV ulangan dilakukan (prosedur 40). Pasca operasi, ditemukan diabetes insipidus dan
kehilangan rasa haus. Ditemukan kadar Natrium lebih tinggi dari 160 mmol/L. Walaupun
pasien kembali dapat merasakan haus, terapi desmopressin tetap digunakan lebih dari 6
tahun setelah pembedahan.
7
Sequelae transien muncul pada 15 pasien (7,8 % dari seluruh kesakitan transien)
termasuk empat kasus meningitis, tiga kebocoran cairan serebrospinal, dua sindrom
herniasi, dua kasus konfusi, dua kasus okulomotor palsy, dua kasus dimana terjadi
penurunan kesadaran dan satu kasus dimana terjadi kehilangan rasa haus. Meningitis
dijabarkan sebagai kombinasi dari demam yang terus menerus (> 5 hari), kaku kuduk,
peningkatan C-reaktif protein, dan pleositosis dari cairan serebrospinal. Dua dari pasien
yang menderita meningitis, telah dilakukan drainase ventrikuler eksternal (prosedur 47
dan 82). Kultur cairan serebrospinal ditemukan positif pada dua kasus (satu kasus
(prosedur 47) merupakan enterococcus, dan pada kasus lain (prosedur 66) merupakan
streptococcus sp.). Meningitis sembuh dengan cepat pada semua pasien yang
memperoleh pengobatan antibiotika. Satu dari pasien ini (prosedur 76) membutuhkan
penggantian shunt. Pada dua pasien yang kurang beruntung, cairan serebrospinal bocor
dan mereka membutuhkan penggantian shunt. Kebocoran cairan serebrospinal yang lain
ditemukan pada pasien dengan meningitis perioperatif (prosedur 82). Pada dua pasien
sindrom herniasi ditemukan, yang menyebabkan penurunan kesadaran secara transien
(prosedur 9 dan 20), serta konfusi permanen (prosedur 9). Selama prosedur 9 ahli bedah
kurang waspada terhadap ujung dari saluran keluar yang buntu, sehingga irigasi yang
terus menerus menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial hingga batas kritis. Pada
pasien yang menjalani prosedur 20, saluran keluar tertutup oleh jaringan otak, dan sekali
lagi irigasi yang terus menerus menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pada
keadaan pasien dengan kesadaran yang menurun dapat dipulihkan secara bertahap. Pasien
yang menjalani prosedur 9, mengalami konfusi menetap hingga orang tersebut meninggal
1 tahun kemudian akibat pertumbuhan tumor. Pada dua pasien (prosedur 13 dan 78)
konfusi akibat adanya tumor memburuk sesaat setelah ETV. Pada satu pasien (prosedur
61) terjadi okulomotor palsy parsial dengan pupil yang berdilatasi namun gerakan mata
normal, walaupun ventrikulostomi diletakkan dengan tepat. Komplikasi ini menghilang
dengan cepat. Okulomotor palsy diketahui setelah ETV ulangan dikerjakan pada pasien
lain (prosedur 167) dimana terdapat jarak yang sempit antara mamilary bodies dengan
dorsum sellae. Ventrikulostomi harus diletakkan segera di depan mammilary bodies
dekat dengan saraf. Palsy akan sembuh dalam 4 bulan. Kami menemukan penurunan
tingkat kesadaran pada pasien dengan IVH setelah dilakukan ETV. Sebab dari
8
kemunduran ini tidak diketahui. Kehilangan rasa haus di observasi setelah ETV ulangan,
seperti dijelaskan sebelumnya.
Sembilan komplikasi asimtomatis (4,7 %) telah di observasi. Pada dua pasien (prosedur
33 dan 120) IVH yang berarti muncul dari vena ependym kecil pada foramen monro, saat
selubung endoskopi dimasukkan ke ventrikel 3. perdarahan ini berhenti secara spontan
setelah beberapa menit irigasi, dan pembedahan segera dilanjutkan. Satu kontusi pada
fornix telah ditemukan pada pasien (prosedur 106) dimana terdapat foramen monro yang
sangat sempit; tidak ada sequelae klinik muncul pada kasus tersebut. CT-scan pada
operasi menunjukkan adanya penumpukan subdural pada tiga pasien (prosedur 58, 84 dan
128), kontusi thalamus yang kecil pada satu pasien (prosedur 33), dan perdarahan kortikal
pada titik punksi pada satu pasien (prosedur 116). Tidak ada intervensi pembedahan
dibutuhkan pada kasus ini. Meskipun pada dua pasien (prosedur 58 dan 84) terjadi
kegagalan ETV dan shunt harus dimasukkan. Perdarahan subdural muncul pada pria tua
usia 66 tahun dimana terjadi dilatasi ventrikular yang luas dan ketebalan korteks
sekitarnya kurang dari 1 cm. Kontusi thalamus ditemukan setelah memasukkan endoskop
meskipun pandangan terdanggu akibat IVH yang cukup hebat (prosedur 33). Satu
hematoma kortikal kecil yang ditemukan pada titik punksi pada pria usia 71 tahun
dengan perdarahan serebellum (prosedur 116). Ia telah memperoleh pengobatan
antikoagulan untuk cardiac arrhytmia sebelum menjalani ETV. Pada kasus terakhir dalam
penelitian ini (prosedur 193), kami menemukan debu metal pada ependym, yang secara
nyata berasal dari abrasi trocar yang menempel pada selubung endoskopi. Hingga kini,
tidak ada sequela yang muncul dari kejadian yang tidak diharapkan ini. MRI pasca
operasi, pada kasus yang tidak bermasalah ini, menunjukkan adanya artifak metal pada
dinding ventrikel.
Semua komplikasi yang fatal serta permanen kami alami selama 20 bulan pertama
(gambar 1). Tingkat komplikasi turun secara signifikan selama proses penelitian. Jika
komplikasi pada seluruh seri dibandingkan dengan 100 prosedur terakhir, kami
menemukan penurunan kematian dan kesakitan permanen berturut-turut dari 1% dan
1,6% menjadi 0% dan 0% (tabel 2). Tingkat komplikasi sementara turun dari 7,8%
menjadi 1%.
9
Tingkat kesuksesan klinis secara umum (perbaikan terhadap gejala-gejala terkait
hidrocephalus saat menghindari pemasangan shunt) adalah 66%. Periode follow-up rata-
rata adalah 9 bulan, berkisar mulai 1 hingga 62 bulan. Tingkat kesuksesan yang tinggi
(79%) didapatkan pada kasus dimana hidrosefalus disebabkan oleh tumor. MRI atau CT
scan pasca operasi dilakukan pada 178 prosedur. Pada 10 kasus, ventrikel terlihat lebih
besar (6%), pada 100 kasus lebih kecil (56%), dan pada 68 kasus tidak berubah (38%).
Diskusi
Ventrikulostomi ventrikel tiga secara endoskopi telah diterima sebagai prosedur pilihan
dalam pengobatan non-communicating hidrosefalus. Prosedur ini dianggap sederhana,
cepat serta aman. Data dari beberapa seri ETV telah dipublikasikan; akan tetapi
komplikasi dari prosedur ini belum dapat diterangkan secara spesifik. Hanya pada satu
paper penulis memfokuskan pada komplikasi dari 173 prosedur neuroendoskopi,
termasuk 55 prosedur ETV. Pada pasien yang pada pasien yang menjalani ETV pada seri
penelitian tersebut, penulis menemukan tingkat komplikasi yang sangat signifikan yaitu 9
%. Sebagian besar data dari komplikasi yang berbahaya telah dipublikasikan dalam
laporan kasus. Tabel 3 mencantumkan komplikasi yang dilaporkan pada literatur; tingkat
komplikasi secara keseluruhan berkisar antara 0 hingga 20 %. Komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian atau defisit permanen telah dilaporkan; akan tetapi, tidak ada
keraguan bahwa tingkat komplikasi ETV tidak dilaporkan. Kami menaruh perhatian
terhadap beberapa komunikasi personal dimana dilaporkan terjadinya komplikasi yang
berbahaya dan sangat berbahaya. Komplikasi ini terutama berasal dari perdarahan akibat
arteri basilar yang berlubang. Sebagian besar laporan diperoleh dari ahli bedah yang baru
mulai melakukan endoskopi. Pada paper ini, kami harap dapat membantu yang lain untuk
menghindari komplikasi yang terjadi pada seri penelitian kami. Lebih lagi, laporan yang
jujur dari seluruh komplikasi penting untuk alasan medikolegal.
10
TABEL 2
Komplikasi ETV
Komplikasi Jumlah Pasien (%)
Seluruh seri penelitian (193 prosedur)
Pembatalan ETV 1 (0,5)
Kematian 2 (1,0)
Kesakitan permanen 3 (1,6)
Kesakitan sementara 15 (7,8)
Komplikasi asimtomatis 9 (4,7)
100 prosedur terakhir
Pembatalan ETV 0 (0)
Kematian 0 (0)
Kesakitan permanen 0 (0)
Kesakitan sementara 1 (1)
Komplikasi asimtomatis 5 (5)
Trauma pada arteri basilar atau pembuluh basilar yang berlubang, merupakan komplikasi
ETV yang membahayakan. Satu komplikasi yang menyebabkan kematian dalam
penelitian kami disebabkan oleh trauma pada arteri basilar yang berlubang. Perdarahan
mungkin dapat dihindari. Tepi dari arteri basilar dapat dilihat secara jelas melalui lantai
yang tembus cahaya. Setelah melihat rekaman video dari prosedur, terlihat jelas bahwa
kateter Fogarty tergelincir ke posterior saat sedang melakukan perforasi pada lantai.
Itulah sebabnya mengapa ventrikulostomi dikerjakan di depan mamilary bodies, dimana
terdapat ujung arteri basilar dan ”perforating arteri”. Tergelincirnya kateter juga
menyebabkan paralisis okulomotor yang permanen pada pasien kami. Dengan
penempatan fenestrasi yang tepat, barangkali komplikasi akan dapat dihindari. Pada awal
seri penelitian, kami menggunakan balon dari kateter untuk melakukan perforasi pada
lantai. Jika lantai keras, kateter akan mudah tergelincir sehingga lokasi fenestrasi akan
menyimpang. Setelah pengalaman awal kami, teknik diganti menggunakan instrumen
kaku seperti forsep biopsi yang ditutup atau tangkai kauter bipolar tanpa energi untuk
melakukan perforasi awal pada lantai. Fenestrasi yang tepat sangat penting untuk ETV
yang sukses serta mengurangi peristiwa yang terjadi selama prosedur. Kami sangat
menekankan bahwa perforasi harus dilakukan pada pertengahan antara infundibular
recess dan mammilary bodies pada garis tengah, dan langsung di belakang dorsum sellae.
Dengan cara ini, diabetes insipidus, paralisis okulomotor, serta kerusakan vaskular akan
sulit terjadi. Tentu saja harus dipertimbangkan mengenai variasi anatomi individual.
11
Lantai akan terlihat sangat berbeda antara satu pasien dengan pasien yang lain. Pada
beberapa pasien hanya terdapat celah yang sempit antara clivus dengan mamilary bodies
atau arteri basilar. Pada kasus seperti ini, harus dilakukan perforasi dengan segera di
depan mamilary bodies atau apex arteri basilar. Perlakuaan khusus harus dikerjakan
untuk menghindari kerusakan vaskular pada keadaan ini. Inspeksi dari MRI sagital sangat
berguna untuk mengetahui hubungan antara arteri basilar dengan lantai dari ventrikel
tiga. Penggunaan Doppler mikrovaskular untuk menghindari trauma arteri basilar masih
belum dapat dipastikan.
TABEL 3
Hasil survei literatur yang melaporkan tingkat kesuksesan dan komplikasi ETV
Peneliti
& Tahun
No.
ETV
No.
Pasi
en
No. ETV
yang
dibatalkan
Teknik
Pembedahan
Komplikasi Sementara (jml
pasien)
Komplikasi
permanen (jlm
pasien)
Tingkat
kompli
kasi
(%)†
Tingkat
kesuks
esan
(%)±
Guiot,
1973
21 30 0 Leukotome TD TD 0 75,0
Kelly,
1991
17 16 0 Stereotaksi,
leukotome
TD TD 0 93,8
Teo, et
al., 1991
52 52 5 Endoskop Hemiparesis (1), ventriculitis
(1), SDH (1), infeksi luka (1)
TD 7,7 62,0
Handler,
et al.,
1994
1 1 0 - Henti jantung, kejang jangka
pendek, disfungsi memori (1)
TD - -
Jones, et
al., 1994
101 90 6 Forsep,
endoskop
Ventriculitis (1), infeksi luka
(1), SDH (1)
Hemipareisis (2),
kerusakan
midbrain (1)
5,9 60,0
Sainte
Rose &
Chumas,
1996
82 82 ? Monopolar
probe, balon
IVH (3), hemiparesis (1),
penumpukan subdural (2)
TD 7,3 ?
Enya, et
al., 1997
1 1 0 ? Henti nafas (1) TD - -
Ferrer, et
al., 1997
4 4 1 Saline torch,
endoskop,
elektrode
bipolar
Perdarahan arteri (1), hilang
ingatan (1)
TD - -
McLaug
hlin, et
al., 1997
1 1 0 Laser IVH/SAH yang hebat karena
trauma pada arteri basilar,
pembentukan aneurisma,
aneurisma ruptur 35 hari
kemudian (1)
Bicara terlambat 1
th pasca op (1)
- -
Mohanty 1 1 0 Monopolar Henti jantung dan nafas TD - -
12
, et al.,
1997
probe, balon karena penumpukan subdural
yang luas (1)
Abtin, et
al, 1998
1 1 0 Endoskop IVH/SAH yang hebat karena
trauma pada arteri basilar,
pembentukan aneurisma
TD - -
Baskin,
et al.,
1998
18 16 0 Monopolar
probe,
balon,
endoskop
Hilang ingatan jangka pendek
(2)
TD 11,1 62,5
Brockme
yer., et
al, 1998
98 97 26 Endoskop,
balon,
forsep,
dissecting
probe
Sindrom herniasi (1), trauma
arteri basilar (1), penurunan
dalam kesadaran (1),
ventriculitis (2), hemiparesis
(1)
TD 6,1 36,1
Buxton
et al,
1998
29 27 1 Diatermi,
balon
IVH (1), kebocoran cairan
serebrospinal (2),
TDventrikulitis (1)
TD 13,8 22,2
Buxton,
et al,
1998
20 19 2 Diatermi,
balon
IVH (2), kebocoran cairan
serebrospinal (1), kejang (1)
TD 20,0 31,6
Cinalli,
et al,
1998
23 23 1 Monopolar
probe, balon
Trauma arteri basilar (1),
hematom epidural (1)
TD 8,7 ?
Doczi et
al., 1998
89 89 0 ? Meningitis 93), infkeksi luka
(2), perdarahan hebat (1)
TD 6,7 77,5
Rieger,
et al.,
1998
17 16 0 Monopolar
probe
Konfusi (2) TD 11,8 94,1
Teo,
1998
129 129 8 Endoskop Kehilangan rasa haus (1),
hiperfagia (1), diabetes
insipidus (1), amenore (1),
henti jantung (1) kebocoran
caran serebrospinal (1), IVH
(2)
Amenore (1) 7,0 68,2
Choi, et
al., 1999
83 81 2 Monopolar
probe
Diabetes insipidus (2)
hematom epidural (1), IVH
(1), kehilangan memori (1)
TD 6,0 91,5
Cinalli,
et al.,
1999
121 119 6 Monopolar
probe, balon
IVH (4) hemiparesis (1) TD 4,1 85,7
Di Roio,
et al,
1999
1 1 0 ? TD Diabetes insipidus
(1)
- -
Gangemi
, et al.,
1999
125 125 0 Balon IVH (4), meningitis (4), ICH
(3), kebocoran cairan
serebrospinal (2), paralisis
TD 12,0 86,4
13
nervus abducen (2)
Hopt, et
al., 1999
100 95 2 Balon, atau
bipolar
probe, atau
forsep jika
lantai lunak
Perdarahan vena (3),
perdarahan arteri (1), ICH (1),
kehilangan darah yang banyak
(1), infeksi (1)
TD 7,0 75,8
Kumar,
et al,
1999
1 1 0 ? Halusinosis peduncular (1) TD - -
Schroede
r, et al,
1999
1 1 0 Balon TD SAH yang
mematikan akibat
robekan arteri
basilar (1)
- -
Buxton
& Punt,
2000
1 1 0 Elektrode
monopolar
IVH/SAH yang hebat karena
perdarahan arteri; paralisis
okulomotor, mengantuk,
konfusi & hemiparesis karena
infark serebral; hiperfagia (1)
TD - -
Fukuhara
, et al,
2000
95+? 89 0 Forsep
fleksibel,
balon
Konfusi (2), IVH (2), SDH
(1), asistol (1), horner sindrom
(1)
TD 7,4 67,4
Schonau
er, et al.,
2000
1 1 0 balon Hematoma sub ependym (1) TD - -
* ICH= perdarahan intraserebral; TD=tidak dilaporkan; SDH = perdarahan subdural; 95+ = kemungkinan lebih dari 95; ? = tidak
diketahui; - : tidak dapat dikerjakan
† Tingkat komplikasi yang dihitung pada tiap prosedur
± Tingkat keseuksesan yang dihitung tiap pasien
Tehnik yang berbeda telah direkomendasikan untuk melakukan ventrikulostomi ventrikel
tiga, termasuk perforasi secara tumpul dengan leukotome atau endoskop itu sendiri,
perforasi tajam dengan menggunakan ”semisharp probe”, penggembungan dari balon
kateter, fenestrasi dengan forsep khusus untuk ventrikulostomi, pembuatan lubang
dengan ultrasonic probe, koagulasi dengan diatermi monopolar atau fiber laser diatermi.
Kami lebih memilih melakukan perforasi secara tumpul menggunakan instrumen kaku
dan melakukan lanjutan untuk memperbesar lubang dengan meniup balon kateter
Fogarty, seperti yang disarankan oleh Frerebeau et al. Kadang-kadang, lantai ventrikel
tebal atau sangat keras, sehingga perforasi tumpul menyebabkan tekanan yang keras
sepanjang lantai dan hypothalamus. Pada kasus ini, kami menggunakan bipolar dengan
energi rendah (maksimum 10 W) untuk melakukan perforasi awal, dan dilebarkan dnegan
menggunakan balon dari kateter Fogarty. Beberapa penulis menyarankan fenestrasi harus
14
berdiameter 5 mm untuk menghindari tertutupnya lubang; akan tetapi, kami
mengobservasi serangkaian pasien dimana fenestrasi hanya 3 mm karena alasan anatomis
(lantai yang sempit). Tidak terjadi penutupan lubang pada semua pasien tersebut.
Sehingga, serupa dengan pembukaan yang lebar, lubang yang lebih kecil juga cukup
paten, karena aliran melewati ventrikulostomi akan menyebabkan tetap terbukanya
lubang. Pengalaman serupa juga dilaporkan oleh peneliti lain. Kami setuju bahwa
fenestrasi dari membran Liliequist juga penting, seperti yang dilaporkan pada literatur,
walaupun beberapa penulis menyatakan bahwa tidak dibutuhkan pembukaan pada
membran Liliequist.
Penerapan stereotaksis tanpa frame pada neuroendoskopi, sebelumnya telah dilaporkan.
Bagaimanapun juga, aturan untuk memperlihatkan gambar dalam ETV sebelumnya telah
ditentukan. Berdasarkan pengalaman kami, dari 370 prosedur endoskopi intrakranial,
kami menemukan bahwa pendekatan secara freehand sangat adekuat untuk kebanyakan
prosedur endoskopi yang dilakukan pada ventrikel-ventrikel hidrosefalik. Ventrikel-
ventrikel yang telah berdilatasi menyediakan ruangan yang cukup untuk memasukkan
endoskop dan untuk melakukan manuver pada koreksi posisi minor. Menyesuaikan
dengan ventrikel umumnya sangat mudah karena dapat diketahui organ-organ yang
menonjol seperti vena-vena, pleksus koroideus dan foramen monro. Dari 14 gambaran
ventrikulostomi ventrikel 3 yang kami dapat, tidak ada yang menunjukkan bahwa
navigasi sangat membantu dalam memilih titik masuk atau orientasi intraventrikular.
Kami percaya bahwa neuronavigasi hanya sedikit berperan dalam keamanan prosedur ini.
Walaupun pada kondisi dasar dari ventrikel 3 itu tebal, atau jarak antara resesus
infundibularis dengan mammilary body sangat sempit. Ketepatan aplikasi pada gambar
dengan sistem yang dituntun, yang terbaik adalah 3 mm. Namun bisa terjadi kesalahan
penempatan sebanyak 2-3 mm dalam menunjukkan lokasi perforasi pada dasar dari
ventrikel 3. dimana hal ini dapat menimbulkan komplikasi yang merusak. Oleh karena itu
adalah sangat krusial untuk menggunakan orientasi optik dalam menentukan bagian-
bagian yang menonjol secara anatomi walaupun gambar yang ditampilkan tidak jelas.
Adanya hubungan secara individual pada tepi arteri basiler dapat diketahui dengan MRI
dan CT scan pada potongan sagital atau axial. Pada kebanyakan kasus, arteri-arteri kecil
yang mengalami perforasi hanya bisa diidentifikasi secara endoskopi setelah melakukan
15
fenestrasi pada dasar. Untuk itu, penempatan yang tepat dari ventrikulostomi yang
dituntun dengan penglihatan secara endoskopik sangat krusial untuk menghindari adanya
kerusakan pada pembuluh maupun saraf. Kami telah melakukan beberapa kali ETV
sebagai operasi emergensi karena adanya tanda-tanda akut dari peningkatan tekanan
intrakranial. Pada kasus-kasus yang akut ini kami biasanya menemukan dasar yang tebal
dan non-translucent. Meskipun demikian, kami melakukan ETV hanya dengan
pemeriksaan pada CT-scan axial yang telah diterima berdasarkan studi preoperatif. Kami
tidak pernah menemukan adanya masalah pada kasus-kasus ini bila ETV telah diletakkan
secara tepat. Untuk itu kami tidak menganggap bahwa dasar yang tebal dan non-
translusen adalah kontraindikasi pada ETV. Pada ETV yang kami lakukan sebanyak 193
kali secara serial, kami menemukan hanya 2 pasien dengan shunt hidrosefalus yang
bertahan lama, dimana seluruh penanda-penanda anatomis tidak ditemukan kecuali pintu
masuk dari aquaductus. Penanda ini menuntun kami untuk melakukan fenestrasi pada
tempat yang tepat. Kami setuju bahwa neuronavigasi sangat membantu dalam menangani
hidrosefalus setelah terjadinya infeksi multiple pada shunt khususnya pada kasus
hidrosefalus multilokular dimana harus diketahui adanya kesulitan untuk menentukan
gambaran anatomis dan menentukan gambaran yang ada.
Tingkat pembatalan prosedur yang telah dilaporkan sebanyak 0-26%. Alasan untuk
pembatalan ini, adanya perdarahan, variasi anatomis dan ketidakmampuan untuk
melakukan fenestrasi pada dasar ventrikel. Dari prosedur-prosedur yang kami lakukan
secara serial, hanya satu prosedur yang dibatalkan karena IVH mengaburkan pandangan
dari ahlibedah-ahli bedah kami. Kecilnya angka kesalahan yang didapat pada
ventrikulostomi disebabkan karena sedikitnya jumlah bayi atau pasien dengan variasi
anatomis yang berat seperti myelomeningocele atau hidrosefalus multilokular setelah
terjadinya infeksi pada shunt.
Dua kasus sindrom herniasi terjadi karena ahli bedah kurang memperhatikan aliran cairan
irigasi. Pada kedua kasus, terhambatnya cairan irigasi (tertutup dan tersumbatnya saluran
keluar) menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial yang cukup berarti. Kedua pasien
sadar dengan lambat. Konfusi menetap pada satu pasien hingga meninggal satu tahun
kemudian akibat pertumbuhan tumor. Sebelumnya, telah dilaporkan sindrom herniasi
16
akibat irigasi berlebih, sehingga menekankan bahwa dibutuhkan suatu pelatihan khusus
sebelum melakukan metode endoskopi.
Sebagian besar perdarahan yang kami temukan dalam penelitian dapat dikontrol secara
endoskopik. Perdarahan kecil yang seringkali muncul pada tepian ventrikulostomi saat
balon dari kateter Fogarty dikembangkan, dan menghilang secara spontan dengan
ataupun tanpa irigasi. Akan tetapi, pembuluh darah yang lebih besar seperti arteri yang
robek, harus dikoagulasi menggunakan kauter bipolar. Pembuluh darah seperti ini harus
dikauterisasi walaupun perdarahan berhenti secara spontan untuk mencegah perdarahan
kembali, dimana terjadi pada satu kasus yang fatal.
Kami menemukan kontusio pada fornix di foramen Monro yang sangat sempit karena
disproporsi antara ukuran foramen dengan endoskopi yang digunakan. Untungnya, lesi
ini tidak menyebabkan sequela klinik. Komplikasi ini bisa dicegah dengan menggunakan
endoskopi yang lebih kecil, sebagai contoh ialah miniatur dari Gaab scope (diameter
terluar 3,8 mm). Kebocoran cairan serebrospinal yang menetap merupakan pertanda dari
kegagalan pengobatan. Dua dari tiga pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal
akhirnya membutuhkan pengganti shunt. Satu kebocoran muncul selama terjadi
meningitis dan menghilang setelah pengobatan antibiotik. Hematoma subdural seringkali
didapatkan setelah pemasangan shunt, namun jarang ditemukan pada ETV. Tiga
hematome subdural didapatkan pada penelitian kami. Dua pasien menjadi ketergantungan
terhadap shunt. Satu penumpukan subdural terjadi pada pasien hidrosefalus dimana
mantel kortek sangat tipis. Semua penumpukan subdural pada pasien kami tidak
menimbulkan gejala sehingga tidak diperlukan pengobatan.
Tidak ada komplikasi yang ditemukan pada 20 pasien dengan kegagalan shunt ataupun
infeksi. Sehingga, pemasangan shunt sebelumnya tidak meningkatkan resiko terjadinya
ETV, walaupun orientasi menjadi lebih sulit setelah infeksi multipel pada shunt. Pada 13
(65 %) pasien, ETV berhasil, sehingga tidak terjadi ketergantungan terhadap shunt.
Pada enam pasien, pembukaan kembali terhadap ventrikulostomi yang tertutup telah
dikerjakan. Penutupan disebabkan oleh jaringan ikat terjadi pada tiga kasus, akibat
perdarahan setelah pengeluaran tumor pada fosa posterior terjadai pada satu kasus, serta
akibat ventrikulitis persisten pada dua kasus dimana sebelumnya terjadi infeksi shunt
multiple. Fibrosis dari ventrikulostomi ditemukan pada pasien dengan anatomi dasar
17
ventrikel yang kurang menguntungkan. Pada kasus ini, mamilary bodies dan apex dari
arteri basilar terletak tepat di belakang clivus, sehingga hanya tersedia ruang yang sempit
untuk melakukan fenestrasi. Pada usaha perbaikan secara endoskopik ditemukan
penutupan oleh membran yang menyerupai arachnoid. Pembukaan kembali
ventrikulostomi telah menyebabkan palsy okulomotor sementara akibat perluasan
fenestrasi ke intermamilary. Penutupan oleh jaringan ikat selanjutnya disebabkan karena
kecilnya ventrikulostomi awal dan membran arachnoid yang tebal, yang menutupi
seluruh batang otak, yang tidak di-fenestrasi. Fibrosis ketiga dari ventrikulostomi
ditemukan pada pasien dimana dasar ventrikel tebal dan fenestrasi dilakukan terlalu jauh
di posterior dan lateral, teapat di depan mamilary bodies kiri. Pembukaan kembali dekat
dengan resessus infundibular telah mengyebabkan terjadinya diabetes insipidus yang
permanen dan kehilangan rasa haus yang sementara. Sehingga, ETV berulang
berhubungan dengan peningkatan resiko yang sangat signifikan pada penelitian kami.
Meskipun demikian, menurut pendapat kami, ETV berulang merupakan indikasi pada
semua pasien yang menunjukkan gejala dimana terjadi penutupan ventrikulostomi,
kecuali jika endoskopi awal menunjukkan kecilnya kemungkinan untuk berhasil karena
sebelumnya terdapat tanda terjadinya perdarahan atau peradangan dengan dasar ventrikel
yang menyerupai lentur atau membran arachnoid yang mengalami fibrosis multipel pada
interpeduncular dan cisterna prepontine. Kejelasan dari ventrikulostomi harus di ketahui
dengan menggunakan ”T2-weighted sagittal turbo inversion-recovery spin echo MR
imaging” (TE 4300 msec, TE 60 msec, ketebalan slice 2 mm) dan ”cine phase contrast
MR imaging”. Jika pengulangan prosedur membahayakan karena kondisi anatomis yang
kurang menguntungkan, jangan ragu untuk membatalkan intervensi dan memasukkan
shunt. Pada prosedur ETV yang diulang, kami berusaha membuat fenestrasi selebar
mungkin. Seringkali, kami menggunakan forsep biopsi untuk mengeluarkan jaringan dari
tepi ventrikulostomi untuk memperlebar celah dan mencegah penutupan.
Pada prosedur ini, distribusi komplikasi sesuai dengan waktu, sehubungan dengan
pembelajaran, berupa kurva berbentuk curam. Tentu saja tidak semua ahli bedah saraf
mengalami kurva yang berbentuk curam ini karena kami bekerja dalam satu tim pada
institusi kami. Setiap ahli bedah belajar dari kesalahan teman sejawat. Meskipun
demikian, kami mengalami kurve pembelajaran berbentuk curam sebagai suatu tim.
18
Semua komplikasi yang fatal dan dan defisit neurologis yang permanen terjadi pada awal
seri penelitian kami. Perbandingan antara seluruh prosedur dengan 100 prosedur terakhir
menunjukkan penurunan tingkat komplikasi yang cukup berarti. Tingkat komplikasi pada
100 prosedur terakhir adalah 6 %, dimana lima komplikasi adalah asimtomatis, yang
tidak dialami oleh pasien. Hanya komplikasi sementara yang ditemukan. Tingkat
komplikasi ini sesuai dengan seri ETV yang lebih besar. Tingkat kesuksesan secara
keseluruhan adalah 66 %, sesuai dengan yang dilaporkan pada literatur. Akan tetapi, ada
beberapa penulis yang melaporkan tingkat kesuksesan lebih dari 85 %. Ini menunjukkan
strategi pemilihan pasien. Hingga kini, tidak ada tes yang dapat digunakan sebagai
perkiraan kesuksesan suatu prosedur. Oleh sebab itu, kami menawarkan prosedur
endoskopi pada pasien dengan semua jenis noncommunicating dan kadang-kadang
communicating hidrosefalus untuk menghindari pemasangan shunt. Kami setuju dengan
Sainte-Rose dan Chumas, yang menyatakan bahwa ”keinginan membuat pasien terbebas
dari shunt memberikan dorongan yang kuat untuk mencoba prosedur tersebut baik pada
pasien yang kurang ideal”. Grant dan McLone menyatakan bahwa ”setiap pasien dengan
hidrosefalus merupakan calon penerima prosedur ini”. Terakhir, telah dianjurkan bahwa
ETV mungkin juga akan berhasil pada kasus dengan communicating hidrocephalus.
Kami telah melaksanakan 21 prosedur ETV pada pasien dengan communicating
hidrocephalus. Hingga sekarang, sembilan pasien membutuhkan penggantian shunt.
Lama dari follow up hingga kini tidak memberikan makna lebih dalam evaluasi.
Pengalaman kami sangat terbatas dengan pasien lebih muda dari 1 tahun; sehingga, tidak
ada rekomendasi yang bisa kami berikan pada kelompok umur ini. Rincian dari tingkat
kesuksesan pada sub-grup dan kriteria pemilihan pasien adalah diluar lingkup dari paper
ini.
Pencegahan Komplikasi.
Sebelum dilakukan pembedahan, harus dilakukan CT-scan atau sagital MRI untuk
mengetahui hubungan langsung antara arteri basilar dengan dasar dari ventrikel tiga.
Untuk prosedur, lebih baik jika menggunakan endoskopi lensa dengan tangkai
kaku/”rigid rod-lens endoscope”. Kualitas optik yang sangat baik menyebabkan orientasi
yang aman walaupun cairan serebrospinal sangat suram akibat darah maupun kadar
19
protein yang tinggi. Fenestrasi yang tepat pada dasar ventrikel merupakan hal yang paling
penting dalam mencegah kerusakan vaskular dan neural. Pada umumnya, perforasi dari
dasar harus diletakkan pada pertengahan antara resesus infundibular dengan mamilary
bodies di garis tengah. Jika ini berhasil, perforasi akan terletak di belakang dorsum sellae
dan komplikasi neurovaskular jarang muncul. Tentu saja anatomi individu harus
dipertimbangkan. Dasar harus dilubangi dengan alat tumpul menggunakan instrumen
kaku untuk mencegah terpeleset ke arah samping. Jika lantai tebal, kami lebih menyukai
penggunaan kauter bipolar yang diatur pada energi rendah (maximum 10 W) untuk
melakukan perforasi awal. Sumber energi yang lain, seperti laser dan alat diatermi
monopolar harus dicegah. Perforasi awal diperlebar dengan peniupan balon kateter
French Fogarty No. 3. Sebelumnya, balon harus diisi dengan air sebelum dilanjutkan
dengan pengisian udara untuk menghindari efek ”pop-up” dan memperoleh pembesaran
yang berlanjut terus. Cisterna pontine dan interpeduncular harus diperiksa untuk
mengetahui membran arachnoid yang mengganggu sirkulasi cairan serebrospinal.
Membran Liliequist juga harus di-fenestrasi.
Kesimpulan
Pemasangan shunt untuk pengobatan hidrosefalus kurang sesuai dengan harapan,
meskipun terjadi perkembangan desain katup yang baru. Kira-kira 33% shunt akan
mengalami kegagalan setelah satu tahun pemasangan, 50 % dalam 2 tahun, dan 70 %
dalam 10 tahun. Tidak menjadi masalah shunt manapun yang dipergunakan. Berita
terakhir, shunt yang terbuka tanpa katup dilaporkan memberikan hasil yang sama bahkan
lebih baik jika dibandingkan dengan desain yang lebih rumit. Resiko pembedahan dari
ETV jauh lebih besar dibandingkan pemasangan shunt; akan tetapi pada jangka waktu
panjang, tingkat komplikasi cukup rendah. Oleh sebab itu kami mempertimbangkan ETV
untuk menjadi prosedur pilihan untuk pengobatan noncommunicating hidrocephalus. Jika
dilaksanakan dengan benar, ETV merupakan pilihan terapi yang aman, sederhana, dan
efektif. Karena komplikasi berbahaya bisa muncul, disarankan untuk melakukan
pelatihan intensif menggunakan kadaver sebelum menerapkan teknik ini secara klinis.
20