Kompilasi Makalah Loknas 23012012 jam 00 - Fakultas Pertanian
Kompilasi Makalah Sejarah
-
Upload
alif-fikri -
Category
Documents
-
view
1.933 -
download
6
Transcript of Kompilasi Makalah Sejarah
Kompilasi Makalah SejarahKompilasi Makalah SejarahKompilasi Makalah SejarahKompilasi Makalah Sejarah
Penyusun:
alif fikri
2
Judul : Kompilasi Makalah Sejarah Penyusun : alif fikri Penyusunan : 21 Desember 2009
Perhatian:Perhatian:Perhatian:Perhatian: EEEE----book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran ilmu dan da’wah semata, bukan untuk diperjualbelikan atau book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran ilmu dan da’wah semata, bukan untuk diperjualbelikan atau book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran ilmu dan da’wah semata, bukan untuk diperjualbelikan atau book ini bertujuan untuk kepentingan penyebaran ilmu dan da’wah semata, bukan untuk diperjualbelikan atau
tujuan komersial lainnyatujuan komersial lainnyatujuan komersial lainnyatujuan komersial lainnya.
ل ا����م� � ��� هـ1431 ���م 4
3
Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi
1. Syaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati al----AnsharAnsharAnsharAnshariiii……………………………………………………………………………………………...4 PP alPP alPP alPP al----Irsyad alIrsyad alIrsyad alIrsyad al----IslamiyyahIslamiyyahIslamiyyahIslamiyyah
2. Tentang Sejarah IslamTentang Sejarah IslamTentang Sejarah IslamTentang Sejarah Islam……………………………………………………………………………………………………………..9
Abdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, Lc 3. Rasulullah SAW daRasulullah SAW daRasulullah SAW daRasulullah SAW dan Nabi Palsun Nabi Palsun Nabi Palsun Nabi Palsu……………………………………………………………………………………………..14
Ahmad RofiqiAhmad RofiqiAhmad RofiqiAhmad Rofiqi 4. Ibnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari Spanyol………………………………………………………………………..18
Bahauddin AmyasiBahauddin AmyasiBahauddin AmyasiBahauddin Amyasi 5. Mengenang Pak NatsirMengenang Pak NatsirMengenang Pak NatsirMengenang Pak Natsir…………………………………………….……………………………………………………………..22
Dato' Dr. Siddiq FadzilDato' Dr. Siddiq FadzilDato' Dr. Siddiq FadzilDato' Dr. Siddiq Fadzil 6. HarHarHarHarga Sejarahga Sejarahga Sejarahga Sejarah…………………………………………………………………………………………………………………….....26
KH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah Sahal 7. Shalawat Atas Nabi SAWShalawat Atas Nabi SAWShalawat Atas Nabi SAWShalawat Atas Nabi SAW………………………………………………………………………………………………………..29
KH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'Abdullah 8. "Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan…………………………………………………………………………………………………………32
MS Dt. Tan KabaMS Dt. Tan KabaMS Dt. Tan KabaMS Dt. Tan Kabasaransaransaransaran 9. Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di KepalanyaImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di KepalanyaImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di KepalanyaImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di Kepalanya…………………………………………………..36
Prof. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa Yaqub 10. HAMKA Menggerakkan InfakHAMKA Menggerakkan InfakHAMKA Menggerakkan InfakHAMKA Menggerakkan Infak………………………………………………………………………………………………….41
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc & Fuad Nashar, S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc & Fuad Nashar, S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc & Fuad Nashar, S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc & Fuad Nashar, S.Sos 11. Yusuf Qardhawi: FaYusuf Qardhawi: FaYusuf Qardhawi: FaYusuf Qardhawi: Faqih dan Da'i Abad Iniqih dan Da'i Abad Iniqih dan Da'i Abad Iniqih dan Da'i Abad Ini…………………………………………………………………………………45
Yendri Junaidi, LcYendri Junaidi, LcYendri Junaidi, LcYendri Junaidi, Lc 12. Bahtera Nabi NuhBahtera Nabi NuhBahtera Nabi NuhBahtera Nabi Nuh…………………………………………………………………………………………………………………..61
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc 13. Khadijah Mengajarkan Cinta Kepada KitaKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada KitaKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada KitaKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada Kita………………………………………………………………………………66
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc 14. Sejarah IndonesiSejarah IndonesiSejarah IndonesiSejarah Indonesia Dekat dengan Palestinaa Dekat dengan Palestinaa Dekat dengan Palestinaa Dekat dengan Palestina…………………………………………………………………………….71
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc
4
Syaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati alSyaikh Ahmad Surkati al----AnshariAnshariAnshariAnshari (Pendiri Al(Pendiri Al(Pendiri Al(Pendiri Al----Irsyad AlIrsyad AlIrsyad AlIrsyad Al----Islamiyyah)Islamiyyah)Islamiyyah)Islamiyyah)
Syaikh Ahmad Surkati adalah tokoh utama berdirinya Jam'iyat al-Islah
wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam'iyat al-Islah
wal Irsyad al-Islamiyyah) , atau disingkat dengan nama Al-Irsyad.
Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun sayang namanya
tak banyak disebut dalam wacana sejarah pergulatan pemikiran Islam
di Indonesia.
Sejarawan Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati "memainkan peran
penting" sebagai mufti.¹ Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia "seorang pembaharu
Islam di Indonesia." Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yang punya
kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan
Rashid Ridha lewat Jam'iyat al-Islah wal Irsyad (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).²
Sejarawan Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa.³
Howard M. Federspiel menyebut Syaikh Ahmad Surkati sebagai "penasehat awal pemikiran Islam
fundamental di Indonesia". Dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad
Yunus, oleh Federspiel disebut sebagi sahabat karib Syaikh Ahmad Surkati.
Pengakuan terhadap ketokohan Syaikh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persis, A.
Hassan. Menurut A. Hassan juga menyebut, pendiri Muhammadiyah H. Ahmad Dahlan dan pendiri
Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.
Menurut A. HassanMenurut A. HassanMenurut A. HassanMenurut A. Hassan
"Mereka itu tidak menerima pelajaran dengan teratur, namun Al-Ustadz Ahmad Surkati inilah yang
membuka pikirannya sehingga berani membuang prinsip-prinsip yang lama, dan menjadi
pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Kitab dan Al-Sunnah."
Pujian terhadap Ahmad Surkati juga datang dari ayah Hamka, H. Abdul Karim Amrullah. Kisahnya,
di tahun 1944 Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama
besar di Jawa. Ayahnya menjawab, "Hanya Syaikh Ahmad Surkati." Hamka bertanya kembali,
"Tentang apanya?"
"Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap
5
mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah
Jepang. Ilmunya amat dalam, pahamnya amat luas dan hati sangat tawadhu!"
Dalam bukunya yang berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera, Hamka juga menulis hubungan khusus antara ayahnya dengan Syaikh
Ahmad Surkati. "Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungannya dengan almarhum
Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuan beliau yang pertama dengan
Syaikh itu di Pekalongan pada 1925. Ketika itu Syaikh masih sehat dan matanya belum rusak…"
Syaikh Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula (Sudan), 1292 H atau 1875 M.
Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin
Abdullah al-Anshari, Sahabat Rasulullah saw. dari golongan Anshar.
Syaikh Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad
Surkati, adalah lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Syaikh Ahmad dikenal cerdas sedari kecil.
Dalam usia muda, ia sudah hafal Al-Qur'an.
Setamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati dikirim oleh ayahnya belajar di
Ma'had Sharqi Nawi, sebuah pesantren besar di Sudan waktu itu. Ia kembali lulus memuaskan, dan
ayahnya ingin ia bisa melanjutkan ke Uniersitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi
yang berkuasa di Sudan waktu itu, melarang warganya meninggalkan Sudan. Putus keinginan
Ahmad muda untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana Al-Azhar.
Namun suatu waktu, Ahmad Surkati bisa juga lolos dari Sudan dan berangkat ke Madinah dan
Mekkah, untuk belajar agama. Tepatnya, setelah ayah beliau wafat pada 1896 M. Di Mekkah, ia
sempat memperoleh gelar AlAlAlAl----AllaamahAllaamahAllaamahAllaamah yang prestisius waktu itu, dari Majelis Ulama Mekkah, pada
1326 H. Syaikh Ahmad lantas mendirikan sekolah sendiri di Mekkah, dan mengajar tetap di Masjidil
Haram.
Meski berada di Mekkah, ia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat.
Hingga suatu waktu datang utusan dari Jami'at Kheir (Indonesia) untuk mencari guru, ulama Al-
Azhar langsung menunjuk ke Syaikh Ahmad. Dan beliaupun pergi ke Indonesia bersama dua kawan
karibnya, Syaikh Muhammad Abdulhamid al-Sudani dan Syaikh Muhammad Thayyib al-Maghribi.
Di negeri barunya ini, Syaikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam
Indonesia. Syaikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami'at
Kheir di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju
pesat. Namun Syaikh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami'at Kheir, karena perbedaan
6
paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami'at Kheir, yang umumnya keturunan Arab
sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami'at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun
pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik.
Ini nampak setelah para pemuka Jami'at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syaikh Ahmad
Surkati tentang kafaah (persamaan derajat).
Karena tak disukai lagi, Syaikh Ahmad memutuskan mundur dari Jami'at Kheir, pada 6 September
1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu juga Syaikh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari
golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk
menaunginya: Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama Jam'iyat al-Islah
wal-Irsyad Al-Islamiyyah).
Karya Tulis Syaikh Ahmad SurkatiKarya Tulis Syaikh Ahmad SurkatiKarya Tulis Syaikh Ahmad SurkatiKarya Tulis Syaikh Ahmad Surkati
Selain mengajar di sekolah formal, di Indonesia Syaikh Ahmad Surkati juga rajin membuat karya
tulis . Antaranya yang penting adalah:
1. Surat al-Jawab (1915):
Risalah ini merupakan jawaban Ahmad Surkati terhadap permintaan pemimpin surat kabar Suluh
India, H.O.S. Tjokroaminoto, sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafa'ah.
2. Risalah Tawjih al-Qur'an ila Adab al-Qur'an (1917):
Karyanya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain:
kedekatan seseorang pada Muhammad sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan,
namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya.
3. Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923):
Ini majalah bulanan yang dikelola Syaikh Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-
Anshari. Melalui majalah ini Syaikh Ahmad Surkati membongkar praktek-praktek beragama yang
keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan persatuan
ummat.
4. Al-Masa'il al-Thalats (1925):
Yang berisi pandangan Syaikh Ahmad tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid'ah serta tentang
ziarah kubur dan tawassul.
5. Al-Wasiyyat al-Amiriyyah (1918)
7
6. Zedeleer Uit Den Qor'an (1932)
7. Al-Khawatir al-Hisan (1941)
Beberapa buku di atas sudah diterjemahkan ke Bahasa
Melayu (Indonesia).
G.F. Pijper menulis: "Sebagai seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat
pemerintah. Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial…." Pijper adalah
penasehat Pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke Indonesia.
Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syaikh Ahmad, bahkan ia sempat tiga tahun belajar
Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih pada Syaikh Ahmad.
Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat erat Syaikh Ahmad, juga sempat menimba
ilmu darinya. Antara lain A. Hassan, salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis). Juga KH. Mas
Mansyur dan H. Fachruddin (pemuka Muhammadiyah) , KH. Abdul Halim, pemuka Persyarikatan
'Ulama yang kemudian menjadi PUI (Persatuan Umat Islam).
A. Hassan-lah yang memperkenalkan Syaikh Ahmad Surkati pada Bung Karno, ketika Bung Karno
berada dalam pembuangan di Ende, lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Syaikh Ahmad.
Presiden pertama RI ini ketika bebas dari Ende, sering bertandang ke rumah Syaikh Ahmad.
Syaikh Ahmad juga menjadi "guru spritual" Jong Islamieten Bond (JIB), di mana para aktifisnya
seperti Muhammad Natsir (mantan perdana Menteri), Kasman Singodimedjo, dkk. Sering belajar
pada beliau.
Ahmad Surkati tutup usia pada hari Kamis, 6 September 1943, jam 10.00 pagi, di kediaman beliau
Jalan Gang Solan (sekarang Jl. KH. Hasyim Asy'ari no. 25) Jakarta, tepat 29 tahun setelah beliau
mendirikan Al-Irsyad. Jenazahnya diantar ke Pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada
tanda apa-apa di atas tanah kuburannya. Ini sesuai amanat beliau sendiri sebelum meninggal.
Di antara orang-orang dan para muridnya yang melayat, sebagian besar telah menjadi tokoh
masyarakat dan pejuang bangsa. Diantaranya Bung Karno, yang pernah menyatakan: "Almarhum Almarhum Almarhum Almarhum
telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesiatelah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesiatelah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesiatelah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia."
Sumber: PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah
FootnoteFootnoteFootnoteFootnote
8
1. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 - 1942, Oxford
2. University Press, Singapore, 1973, hal. 59 dan 63.
3. G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950, terj. Oleh Prof. Dr.
Tudjimah dan Drs. Yessy Dagusdin, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 120 dan 114.
4. Abubakar Aceh, Salaf, Permata, Jakarta, 1970, hal. 27
5. Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Cornell
University, Ithaca, 1970, hal.12
6. Umar Sulaiman Naji, Tarjamat Al-Hayat al-Ustadz Ahmad al-Surkati al-Ansari al-Sudani,
Manuskrip, hal.29
9
Tentang Sejarah IslamTentang Sejarah IslamTentang Sejarah IslamTentang Sejarah Islam
Oleh:
Abdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, LcAbdul Hayyie al Kattani, Lc
(Dewan Asaatid Pesantren Virtual)
Jika disebut sejarah, yang sering terlintas dalam benak kita adalah tentang catatan-catatan tahun
terjadinya berbagai peristiwa, yang harus dihapal, terutama pada saat ujian tiba. Bagi sebagian
orang, ini amat membosankan.
Dalam bahasa Arab, untuk menunjukkan sejarah, sering digunakan terma tarikh dan qishah dan
untuk biografi sering dengan mengunakan terma sirah. Al Quran lebih banyak menggunakan terma
qishah untuk menunjukkan sejarah, dengan pengertian sebagai ekplanasi terhadap peristiwa
sejarah yang dihadapi oleh para Rasul(1). Dalam bahasa Indonesia, sejarah sebagai istilah diangkat
dari terma bahasa Arab 'syajaratun' yang berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran
pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena memberikan gambaran pertumbuhan
peradaban manusia dengan "pohon", yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang
dan berkesinambungan(2). Dalam ayat-ayat Al Quran: 2:35; 7:10,22; 14: 24,26; 17:60; 20: 120; 23:
20; 24: 35; 28: 30; 31:27; 37: 62,64,146; 44: 43 dapat ditarik kesimpulan, pengertian syajarah
berkaitan erat dengan "perubahan" (change). Perubahan yang bermakna "gerak" (movement)
menuju bumi untuk menerima dan menjalankan fungsinya sebagai khalifah (QS. 2:35; 7:19, 22).
Juga merupakan gambaran keberhasilan yang dicapai oleh Musa a.s., yang digambarkan dengan
pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (QS. 28: 30). Sebaliknya, ia juga memberikan
gambaran kegagalan Nabi Yunus a.s. yang dilukiskan sebagai "pohon labu" yang rendah dan lemah
(QS. 37: 146). Bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk
Allah, hasilnya menumbuhkan "pohon pahit" (syajaratuz zaqqum) (QS. 37:62, 64 dan 44: 43).
Petunjuk Allah pun diibaratkan pula sebagai "pelita kaca yang bercahaya seperti mutiara" dan
dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (QS. 24: 35)(3).
Setiap pelaku sejarah hakikatnya tidak mengetahui hasil perubahan yang direncanakannya(4).
Maka setiap orang tidak dapat memastikan "masa depannya". Masa depan adalah gudang
ketidakpastian. Hanya fakta-fakta sejarah yang dapat diketahui; dan kita hanya dapat mempunyai
pengetahuan positif tentang masa lampau. Sedangkan masa depan adalah ladang ketidakpastian,
juga merupakan bagian atas mana kita mempunyai sedikit kekuasaan.
Kemampuan untuk membentuk masa depan sendiri dimiliki oleh semua individu dan masyarakat.
Ketidakmampuan kita untuk mengetahui fakta-fakta masa depan atau masa depan-masa depan
diimbangi oleh kemampuan kita memberi masukan bagi pembentukan fakta-fakta ini(5).
10
Oleh karena itu, Al Quran memerintahkan manusia untuk menyiapkan masa depannya dengan
mempelajari sejarah yang telah dilaluinya(6). Dalam penuturan kembali kisah umat-umat terdahulu,
Al Quran berkali-kali mengingatkan bahwa dalam kisah-kisah tersebut terkandung ibrah--pelajaran
yang dapat dipetik oleh umat Islam(7). Pelajaran atau mau'izhah yang terdapat dalam Al Quran
adalah "hukum sejarah" yang terpolakan dalam 25 peristiwa kerasulan. Dari peristiwa kerasulaan
tersebut disimpulkan lagi menjadi 5 persitiwa sejarah kerasulan. Kelima peristiwa sejarah ini
dialami oleh Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s, dan terakhir adalah Nabi
Muhammad Saw. Umat Islam dituntut untuk "menangkap pesan-pesan sejarah yang terumuskan
dalam peristiwa Ulul Azmi tersebut", sehingga umat Islam tidak saja mengetahui "guna sejarah"
tetapi sekaligus "akan mampu memanfaatkannya" sesuai dengan fungsinya masing-masing(8).
Ketika ada seseorang yang berkata history is bunk--sejarah adalah omong kosong, Soekarno segera
berkomentar: "Seorang penulis berkata, "mempelajari sejarah adalah omong kosong". "History is
bunk", katanya. Penulis ini tidak benar. Sejarah adalah berguna sekali. Dari mempelajari sejarah
orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu
ialah: Bahwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar 'zonder' kerja. Terbukti dalam sejarah segala
zaman, bahwa kebesaran bangsa-bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit.
Kebesaran bangsa dan kemakmuran selalu "kristalisasi" keringat. Ini adalah hukum, yang kita
temukan dari mempelajari sejarah. Bangsa Indonesia, tariklah moral dari hukum ini!"(9).
Esensi sejarah adalah perubahan. Dan tugas hidup manusia di bumi adalah "menciptakan
perubahan sejarah" (khalifah). Perubahan sejarah yang akan terjadi merupakan pengulangan dari
peristiwa yang telah terumuskan dalam Al Quran, yang terpolakan dalam 25 peristiwa sejarah
kerasulan. Peristiwa yang pernah terjadi bukanlah merupakan masa lalu yang mati, melainkan
sebagai peristiwa yang tetap hidup di masa kini(10).
Dari uraian di atas, kita dapat menangkap dengan jelas urgensi sejarah bagi pembangunan kembali
peradaban umat Islam. Namun, problem yang dihadapi kemudian adalah, ketika umat Islam
menatap kembali sejarahnya yang telah lalu, ada beberapa kendala yang menghalangi pandangan
tersebut. Sehingga tidak dihasilkan suatu pandangan yang benar-benar jernih. Oleh karena itu,
Muhammad Quthb menyarankan untuk menulis ulang sejarah umat Islam. Ada beberapa hal,
menurut Muhammad Quthb, yang mengharuskan umat Islam untuk menyusun kembali sejarahnya.
Antara lain adalah:
a. Kitab-kitab sejarah umat Islam, yang ditulis oleh ulama-
ulama terdahulu, merupakan sebuah kompilasi sejarah yang
demikian besar. Namun, ia hanya cocok untuk para periset,
tidak untuk orang awam, yang ingin mendapatkan
kesimpulan yang cepat. Sehingga kitab-kitab tersebut tidak
11
menarik untuk dibaca oleh khalayak ramai. Hal itu terjadi karena para ulama tersebut amat
memegang amanah ilmiah. Sehingga mereka menulis semua yang mereka ketahui dan mereka
dengar dalam kitab sejarah mereka. Meskipun isinya adalah pengulangan atau saling bertentangan
satu sama lain, atau malah sesuatu yang jauh kemungkinan terjadi. Bagi mereka, amanah ilmiah
adalah dengan menulis semua yang mereka tahu dan mereka dengar(11). Dalam mukaddimah
kitab tarikhnya, Thabari berkata: "Jika ada suatu catatan sejarah yang tertulis dalam kitab kami ini,
yang dipungkiri oleh pembaca atau tidak sedap didengar, karena jauh sekali dari kebenaran dan
tidak bermakna sama sekali, maka perlu diketahui, itu semua bukan karena kesengajaan kami,
namun datang dari orang-orang yang menyampaikan berita itu kepada kami. Sedangkan kami
hanya menyampaikannya sesuai dengan apa yang kami terima"(12).
b. Jika kita membaca buku-buku sejarah yang ditulis pada masa modern ini, baik oleh orientalis
maupun murid atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, kita dapati bentuk maupun
penyajian buku tersebut menarik. Enak dibaca dan dapat memberikan pemahaman yang cepat
kepada pembacanya. Namun, banyak dari buku-buku tersebut ditulis tidak dengan semangat
amanah ilmiah, atau memang ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga banyak terjadi
pemutarbalikkan fakta atau penarikan kesimpulan yang gegabah. Contohnya adalah: Will Durant,
ketika mendapati suatu catatan sejarah yang mengatakan: "Zubair mempunyai seribu orang hamba
sahaya yang membayarkan kharaj mereka kepadanya setiap hari, namun semua uang itu tidak satu
dirhampun yang masuk ke rumahnya, karena semuanya habis ia sedekahkan". Ia merubahnya
menjadi: "Zubair mempunyai rumah di berbagai kota, ia juga mempunyai seribu ekor kuda dan
sepuluh ribuh hamba sahaya". Di sini, sosok Zubair yang zuhud diubah oleh penulis menjadi sebuah
sosok yang glamour dan penuh kemewahan(13). Dan banyak contoh-contoh lainnya, sehingga bagi
pembaca yang tidak teliti, akan terperangkap oleh sikap membenci atau mencela umat Islam
terdahulu.
c. Penulisan sejarah dewasa ini, banyak didominasi oleh penekanan pada sisi politik. Dan
mengesampingkan sisi lainnya yang demikian banyak. Seperti akidah, pemikiran, peradaban,
ilmiah, sosial dan seterusnya. Padahal, sejarah politik Islam, adalah sisi yang paling buruk dari sisi
lainnya. Yang dituntut dari para sejarahwan Islam adalah, tidak hanya memusatkan diri pada
sejarah pergulatan politik umat Islam, juga hendaknya menampilkan sisi lain yang demikian
banyak. Sehingga tercipta sejarah yang seimbang. Pengajaran sejarah Islam dengan tekanan pada
sisi politik beserta segala tipu muslihatnya, seperti pembunuhan, penipuan, meracun musuh,
pembasmian musuh-musuh politik dan tindakan-tindakan kotor lainnya, adalah sebuah konsep
yang diterapkan oleh Dunlop, yang ditunjuk oleh Lord Cromer sebagai konsultan ahli kementerian
pendidikan Mesir. Setelah memberikan pengajaran seperti itu tentang sejarah Islam, kepada anak
didik, mereka melanjutkan dengan mengajarkan sejarah Eropa yang digambarkan dengan
berkilauan, berperadaban, maju dan seterusnya. Sehingga tertanamkan dalam jiwa anak didik,
bahwa Islam yang hakiki telah lenyap setelah masa Khulafa Rasyidin yang empat, setelah itu, yang
terjadi adalah kekotoran dan kekejian yang harus dihindari, dan tidak ada sesuatupun yang pantas
12
untuk dibanggakan atau diketengahkan kepada umat manusia. Kemudian tertanamkan pula
bahwa sejarah yang pantas untuk dikagumi dan cintai dengan sungguh-sungguh adalah sejarah
Eropa!(14).
d. Dalam mengkaji sejarah Islam, kita sering mengembalikan segala sesuatu kepada faktor-faktor
politik, peperangan, ekonomi dan sebagainya. Sehingga, seakan-akan agama ini hanyalah sebuah
budaya yang sama dengan budaya yang lain. Tidak mempunyai kaitan dengan hukum-hukum
(sunnah-sunnah) Allah Swt. Ini pula yang tampak dalam tulisan Michel H. Hart ketika meletakkan
Nabi Muhammad Saw. di urutan teratas dari seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Betul ia meletakkan Nabi Muhammad Saw. di urutan teratas, namun dalam penulisan dan alasan-
alasan penempatannya, ia tidak mengkaitkan pribadi Nabi Muhammad Saw. dengan kedudukannya
sebagai seorang utusan Allah Swt.
e. Dalam mengkaji sejarah umat Islam, kita sering melupakaan hubungan antara karakteristik
umat ini, yang telah dianugerahkan Allah Swt. dengan kondisi kemanusiaan dengan segala
aspeknya. Umat Islam, bukanlah hanya sekedar sebuah fenomena sejarah yang kebetulan timbul
ke permukaan. Namun, ia adalah umat tauhid yang besar, yang dipilih Allah Swt. Sebagai saksi atas
seluruh manusia. Allah Swt. befirman: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah: 143). Demikian juga,
kita sering melupakan pengaruh yang dihasilkan oleh umat Islam terhadap kemanusiaan sepanjang
sejarah(15).
Padahal, seperti diakui oleh banyak ilmuan Barat yang fair, ilmuan Islamlah yang telah
mengantarkan bangsa Barat menuju kemodernannya saat ini. Tentang Roger Bacon, bapak
kebangkitan ilmu pengetahuan (renaissance) Barat, Robert Briffault berkata: "Roger Bacon belajar
bahasa Arab dan ilmu Arab dan ilmu-ilmu kearaban di Universitas Oxford dari bekas dosen-dosen
Arab di Andalusia. Roger Bacon dan siapapun orang yang datang setelahnya tidak mempunyai hak
untuk mengaku sebagai orang yang menemukan metode eksprimentalisme. Roger bacon hanyalah
seorang duta dari duta-duta ilmu pengetahuan dan metodologi umat Islam kepada orang-orang
Kristen Eropa"(16).
Dari konsideran-konsideran di atas, dapat dikatakan, usaha untuk menatap sejarah Islam dengan
penekanan pada sisi peradaban dan ilmu pengetahuan adalah amat terpuji. Dan usaha seperti itu
harus terus digalakkan dalam skala yang lebih luas dan dengan perhatiannya yang lebih intens.
Karena dari sanalah, nantinya, diharapkan umat Islam menemukan kembali --seperti dikatakan
oleh Syed Ameer Ali(17) dan sering dikutip oleh Soekarno-- api Islam yang sebenarnya.
13
CatatanCatatanCatatanCatatan
1. Lihat, misalnya: QS. 12: 111
2. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung, Mizan,
cet. 1, 1995, hal. 20
3. Sca. Hal. 22-23.
4. Lihat: QS. 31: 34
5. Lihat: Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, Mansell Publishing Limited, London,
1985. Edisi bahasa Indonesia: hal. 1-2.
6. QS. 59: 18
7. Lihat, misalnya: QS. 12: 111
8. Scn.2, hal. 24-26
9. Diucapkan oleh Presiden Soerkarno pada Hari Ulang Tahun Proklamasi RI VI. Lihat Di Bawah Bendera
Revolusi, Vol. II.
10. QS.2: 154
11. Muhammad Quthb, Kaifa naktubu at-tarikh al Islami, Dar Syuruq, Kairo, cet. 1, 1992, hal. 11-12.
12. Lihat: Tarikh Thabary, vol. 1, hal. 8, tahqiq, Muhamad Abul Fadl Ibrahim, cet. IV, Darul Ma'arif, Mesir.
13. Scn. 11. Hal. 15
14. Sca. Hal. 16-18
15. Sca. Hal. 24-26
16. Seperti dikutip oleh Sayyid Quthb, dalam Al Islam Wa Musykilat al Hadlarah, Kairo, Dar Syuruq, cet. 12,
Hal.37
17. Dan menjadi judul bukunya: The Spirit of Islam
14
Opini - Republika
Jumat, 29 Februari 2008
Rasulullah SAW dan Nabi Palsu Rasulullah SAW dan Nabi Palsu Rasulullah SAW dan Nabi Palsu Rasulullah SAW dan Nabi Palsu
Oleh:
Ahmad RofiqiAhmad RofiqiAhmad RofiqiAhmad Rofiqi
(Mahasiswa Pasca-Sarjana Program PPI Universitas Ibn Khaldun, Bogor)
Dominasi peradaban Barat telah menyebabkan banyak cendekiawan berusaha mengubah ajaran-
ajaran Islam agar sesuai dengan konsep HAM sekuler Barat. Salah satu konsep Islam yang
mendapat serangan adalah konsep tentang murtad (orang yang keluar dari agama Islam).
Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, manusia dijamin haknya untuk memeluk
agama apa saja, termasuk keluar masuk suatu agama. Bagi mereka, agama dianggap seperti baju.
Kapan saja boleh ditukar-tukar. Salah satu cara yang dilakukan para cendekiawan adalah berusaha
”mengubah sejarah dengan menulis bahwa seolah-olah Nabi Muhammad SAW berdiam diri
terhadap tindakan kemurtadan. Bahkan, perang melawan kaum murtad yang dilakukan oleh Abu
Bakar ash-Shiddiq ra dikatakan sebagai perang melawan pemberontak yang semata-mata bermotif
politik, bukan perang atas dasar agama.
Sebuah buku sejarah Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Dr Muhammad Husein Haekal,
misalnya, juga menulis nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah SAW tidaklah terlalu
memengaruhi beliau untuk melakukan tindakan militer. ''Itulah sebabnya tatkala ada tiga orang
yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. (Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad (terjemahan) , 1990:559).
Di Indonesia, disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung 'hak murtad' sangat banyak.
Salah satu trik mereka mengungkap sejarah dengan keliru.
Kisah Dua UtusanKisah Dua UtusanKisah Dua UtusanKisah Dua Utusan
Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2.380) Abu Daud meriwayatkan
sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud. Ketika menerima dua utusan nabi palsu, Musailamah al-
Kazzab, Rasulullah SAW bertanya kepada mereka: ''Apa yang kalian katakan (tentang
Musailamah)? Mereka menjawab, ''Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)''. Rasulullah SAW
15
berkata: ''Kalau bukan karena utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher
kalian berdua''.
Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no 15.420), Al Hakim (2: 155 no 2.632). Ahmad
(hadits no 15.420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz la-qataltu-kumaa, (aku
pasti membunuh kalian berdua). Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah, seperti
Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al
Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi, tt, Juz 6, hal: 5).
Riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah terhadap orang yang mengakui kenabian
Musailamah. Tetapi, karena Rasulullah SAW memegang etika diplomatik yang tinggi, beliau
membiarkan begitu saja kedua utusan nabi palsu itu.
Abu Daud (hadits no 2.381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar,
hadits no 2.391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang
mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani
Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn
Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), ''Aku mendengar Rasulullah
SAW dulu bersabda: ''Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu. Nah, sekarang ini
engkau bukanlah seorang utusan.''
Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud
berkata, ''Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar.'' Masjid mereka
pun akhirnya turut dirobohkan.
Mengapa Rasulullah SAW tidak memerangi Musailamah? Ibn Khaldun menjelaskan masalah ini
bahwa ''Sepulangnya Nabi SAW dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita
sakit tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan
Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad, mereka semua mengaku nabi.
Rasulullah SAW segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-
utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia
dalam keislamannya. Rasulullah SAW menyuruh mereka
semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para
nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum
beliau wafat.
Rasulullah menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab
yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh
16
mereka jihad (melawan kelompok murtad).'' (Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar
Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon, cetakan 1, tahun 1992, hal 474-475).
Tindakan Abu BakarTindakan Abu BakarTindakan Abu BakarTindakan Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar kekisruhan negara sumbernya ada dua. Yang pertama orang yang menolak
membayar zakat. Kedua adalah para nabi palsu.
Dalam Al Bidayah wa Al Nihayah Imam Ibn Katsir menulis judul Fasal Peperangan Abu Bakar
Melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat (cetakan 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut,
Lebanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk
menumpas gerakan tersebut (Al Daulah Al Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah
Dakwah Islamiyah, Tripoli, Libya: tt. hal 177-178)
Semula Umar bin Khatab ra mencoba membujuk Abu Bakar agar tidak memerangi penolak zakat.
Kata Abu Bakar, ''Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya
mereka berikan pada Rasulullah SAW, aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini.''
(Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1.561, Muslim Kitab Al
Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)
Pada riwayat lain disebutkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq yang dikenal sangat lembut
perangainya menyatakan: ''Rasulullah SAW telah wafat dan wahyu sudah tidak turun lagi! Demi
Allah aku akan memerangi mereka selama masih memegang pedang di tanganku meski mereka
tidak mau menyerahkan seutas tali!'' (Tarikh Al Khulafa', Al Suyuthi, Fasal fii maa Waqa'a fii
Khilafati Abi Bakar Al Shiddiq ra).
Ungkapan Abu Bakar 'dan wahyu sudah tidak turun lagi' menunjukkan ketegasannya terhadap
persoalan nabi palsu. Dari Handzalah bin Ali Al Laitsi ia berkata, ''Abu Bakar memerintahkan Khalid
bin Al Walid memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak
salah satunya hendaknya ia diperangi.'' (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihda 'Asyr Bab
Khabar Al Riddah).
Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas'ud berkata, ''Setelah Rasulullah
SAW wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan
Abu Bakar.'' (Tarikh Al Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda 'Asyr, bab Akhbar al Riddah). Juga
dikatakan: ''Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan
perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar.'' (Al Bukhari hadits no 1.561).
17
Islam memandang masalah agama (ad-Dinul Islam) sebagai hal yang prinsip karena menyangkut
urusan dunia dan akhirat. Agama tak hanya laksana baju, boleh dipakai dan ditanggalkan kapan
saja.
Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersikap tegas terhadap setiap penyelewengan agama. Jadi, sangat
tidak benar umat Islam, apalagi para ulamanya, hanya berdiam diri terhadap segala bentuk
kesesatan dan kemurtadan. Oleh sebab itu, sesuai dengan fungsinya, tindakan MUI yang
menetapkan ajaran sejumlah nabi palsu sebagai ajaran sesat adalah tindakan yang sangat tepat.
Tentu saja tindakan berikutnya adalah menjadi tanggung jawab penguasa (umara).
IkhtisarIkhtisarIkhtisarIkhtisar
- Disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung hak murtad sangat banyak.
- Nabi mencontohkan memerangi musuh Allah dengan cara yang halus, tetapi tegas.
18
Ibnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari SpanyolIbnu Malik: Biografi Linguis Arab dari Spanyol
Oleh:
Bahauddin AmyaBahauddin AmyaBahauddin AmyaBahauddin Amyasisisisi
Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir
pada tahun 600 H di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol).
Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam
menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada
masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w.
645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji, dan
diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat,
antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada
Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena
cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang
menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu
itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn
al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan
teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-
Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia
mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses
melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair
puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah
dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak
berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara
karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan
semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian
kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah ibn Malik. Kitab ini
bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa
juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari
delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah
Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai
Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan
19
shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal
yang rumit dengan bahasa yang singkat, tetapi sanggup
menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan
sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu
persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu. (3)
membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin
mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini
lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai
Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior
harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreatifitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi
yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik
menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang
mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-
Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata
lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan
merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti
pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya,
tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan
dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di
sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai
karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat,
dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn
Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda
baru dan banyak menyajikan terobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap
menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai.
Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup
mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan
Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-
ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh
orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat
(mukhtashar) , dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah
beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap
kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri,
Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan
oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat.
Kritikannya itu aneh tapi putra ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu,
20
Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Di situ
tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa
disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada
masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia
banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz. Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang
muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran
putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga
ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855
H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli
Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-
Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah,
keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonesia, tetapi pendapat-
pendapatny a banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang
sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai
kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika
menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama
berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal
dengan sebutan Audlah. Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang
konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan
kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu
saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah
dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah ibn Jama’ah, Hasyiyah putra Ibn Hisyam
sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik
lagi adalah catatan kaki (ta’liq) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari
(w. 905 H).
Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu
besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat
sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah ibn Malik .
Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang
dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah
Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum
santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara
21
lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah al-
Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini
sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai
sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab
dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah
sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat putra Ibn Malik, Al-
Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang
dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah, tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah. Semua kutipan-
kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para
pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain: Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah
Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah
hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan
atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang
mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan
mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah paham bagi pembaca. (c) Menyajikan
komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab
ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
22
Friday, 14 November 2008
Mengenang Pak NatsirMengenang Pak NatsirMengenang Pak NatsirMengenang Pak Natsir
Ditulis oleh:
Dato’ Dr. Siddiq FadzilDato’ Dr. Siddiq FadzilDato’ Dr. Siddiq FadzilDato’ Dr. Siddiq Fadzil
“Izinkan kami untuk menumpang berteduh di bawah
bimbingan beliau, izinkan kami untuk sama-sama memiliki
beliau, karena kami tidak memiliki orang sebesar itu di
Malaysia”. Itulah kata-kata yang saya ucapkan selaku Presiden
ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) ketika berkunjung ke
DDII sekitar tahun 1980-an. Saya ucapkan demikian sebagai
satu apresiasi ikhlas dari kami yang mewakili gerakan Islam di
Malaysia. Karena sejak berdirinya ABIM tahun 1972 kami tidak
dapat melihat orang lain yang dapat kami tuakan sebagai
tokoh gerakan Islam di rantau ini.
Kami mengenali Pak Nasir sejak tahun 1975. Saya dan Anwar
Ibrahim telah berkunjung ke rumah beliau untuk bersilaturahmi. Kunjungan kami pada waktu itu
sebenarnya dalam rangka menemui tokoh-tokoh pergerakan Islam di Indonesia dan sudah tentu
terutama sekali Pak Natsir yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan Islam. Ketika itu kami
mewakili MBM (Majlis Belia Malaysia) dan Anwar Ibrahim sebagai presidennya untuk satu
pertemuan dengan pimpinan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Ketika kunjungan ke
rumah Pak Natsir itu kami sangat terkesan dengan kesederhanaan beliau. Sebagai mantan
Perdana Menteri kami menjangkakan akan berkunjung ke rumah yang besar. Rupa-rupanya beliau
adalah orang yang sangat sederhana. Beliau juga mempunyai perwatakan yang lemah lembut dan
ramah. Kami mendengar nasihat beliau dan bertukar fikiran tentang perkembangan gerakan Islam.
Pada masa itulah pertama kali kami mendengar daripada beliau istilah “the rising tide of Islam”
sebagai menggambarkan fenomena kebangkitan Islam yang sedang menyemarak ketika itu. Tidak
lama daripada kunjungan kami itulah Anwar Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan karena terlibat
dalam memprakarsai sebuah demonstrasi.
Pertemuan kami selanjutnya adalah sewaktu kunjungan Pak Nasir ke Malaysia. ABIM menyambut
kedatangan beliau dengan besar hati. Ketika itu presiden ABIM sedang dalam penjara, maka Al-
marhum Fadhil Noor, pemangku Presiden ABIM telah mewakili Anwar Ibrahim menyambut
kedatangan beliau. Saya ingat pada waktu itu beliau memberikan nasehat atau wejangan yang
sangat berharga bagi kami yang sedang mencari arah untuk membawa gerakan Islam yang kami
pimpin di Malaysia. Nasehat beliau adalah agar gerakan Islam tidak melawan semua musuh
23
sekaligus. Bagi kami yang sedang mempunyai semangat yang membara karena masih muda-muda
ketika itu kami anggap sebagai nasehat dari orang tua kepada anak-anaknya. Kami menerima
nasehat itu sebagai satu kebijaksanaan dalam perjuangan. Saya masih ingat ketika beliau
memberikan khutbah di masjid negara, beliau telah merespon terhadap teori domino yang
dikaitkan dengan kemaraan Soviet Union. Dengan sangat bijaksana beliau mengupas satu hadis
yang biasa kami dengar tetapi cara pembahasannya sangat luar biasa. Hadis tentang 7 golongan
yang dilindungi oleh Allah itu dibahas dengan cerdas sehingga menjadi panduan dalam
memperkuat ketahanan nasional. Maka beliau merumuskan perlu adanya 7 faktor, seperti yang
disebut di dalam hadith tersebut, supaya bangsa ini kuat menghadapi musuh-musuhnya, baik itu
komunis atau lainnya. Pada masa itulah kami melihat kekuatan Pak Natsir iaitu ketajaman
intelektual yang dimiliki beliau sehingga mampu mengupas sesuatu dengan begitu menakjubkan.
Beliau begitu mahir mengangkat sesuatu nas tepat dengan situasi yang dihadapi umat.
Dalam satu kesempatan lain, saya berkunjung ke DDII mewakili teman-teman dari Malaysia. Ketika
itu DDII sedang menganjurkan kursus untuk pelajar-pelajar Timur Tengah yang sedang bercuti.
Tujuannya adalah untuk memberi pendedahan terhadap pemikiran haraki. Yang memeranjatkan
kami ketika itu ialah Pak Natsir meminta kami memberikan ceramah kepada para peserta, padahal
kami ke sana untuk belajar dengan beliau. Di sinilah kami terkesan dengan kerendahan hati beliau
yang justeru sebenarnya menunjukkan kebesaran jiwa dan sikap terbuka beliau. Entah dengan
sebab apa dan atas tujuan apa dia mengatakan mungkin ada sesuatu yang bermanfaat yang anda
dapat sampaikan kepada mereka. Dengan rendah hati kami menyahut cabaran tersebut dan saya
telah membicarakan tentang peranan Islam dalam sejarah kepulauan Melayu, dengan menekankan
kesatuan sejarah dan tradisi keintelektualan, bagaimana Islam telah merubah rupa dan jiwa rantau
ini. Saya juga menekankan perlunya kita mewujudkan perpaduan umat Islam tanpa melihat batas-
batas geografis.
Terakhir saya bertemu dengan Pak Natsir ketika beliau terlantar di rumah sakit. Kebetulan waktu
itu ada pertemuan di Indonesia dan beliau sedang sakit tenat dan tidak mampu berkomunikasi lagi.
Selain sebagai seorang aktivis gerakan Islam, Pak Natsir juga seorang pemikir. Beliau memiliki
banyak ide-ide yang orisinal. Beliau telah membicarakan tentang konsep demokrasi Islam lama
sebelum orang lain membicarakannya di Nusantara. Demokrasi Islam, beliau tegaskan, sangat
berbeda dengan demokrasi Barat. Istilah yang beliau kemukakan pada waktu itu adalah teistik
demokrasi. Konsep yang beliau kemukakan walaupun baru dan terawal tetapi cukup berbobot dan
dapat dipertahankan secara ilmiah. Selain itu beliau juga saya lihat adalah tokoh Islam di
Nusantara yang pertama yang mengkritik sekularisme secara intelektual. Walaupun tidak sedalam
yang dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas tetapi beliau telah berjaya menggambarkan
kesesatan ideologi tersebut dan menyadarkan khalayak.
24
Pak Nasir sering berpesan agar gerakan Islam sentiasa optimis. Beliau selalu memetik ayat
“wallazina jahadu fina lanahdiyannahum subulana” “Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami” (al-Ankabut: 69). Cara beliau
mengupas ayat ini sangat mengesankan. Janji Tuhan katanya pasti terlaksana. Tetapi kejayaan
gerakan Islam itu menuntut pengorbanan. Pertolongan hanya akan diberikan kepada orang yang
benar-benar telah berjihad di jalan-Nya. Dan Jalan yang Allah bukakan itu bukan satu tetapi banyak
jalan karena dalam ayat itu disebut subul bukan sabil. Beliau juga mengatakan bahwa kekuatan
gerakan Islam terletak pada golongan dhu’afa (lemah). Sebagaimana disebut dalam sebuah hadis
“sesungguhnya kamu ditolong kerana kaum dhu’afa kamu”. Golongan ini beliau sebut sebagai
golongan “nothing to lose” karena mereka tidak punya apa-apa untuk dikhuatirkan.
Pesan beliau juga agar umat Islam waspada terhadap usaha musuh-musuh Islam menjatuhkan
umat Islam. Beliau pernah berucap tentang perlunya umat Islam waspada terhadap fenomena
penguasaan orang-orang Kristen dalam kabinet Suharto pada tahun 80-an. Beliau telah
mengingatkan umat Islam terhadap ayat “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (al-Baqarah 120). Di sini tampak
penguasaan beliau dan kemampuan beliau dalam berhujah dengan al-Qur’an dan Hadith. Sehingga
apapun isu yang ditangani beliau akan merujuk kepada al-Qur’an dan Hadith.
Kami juga sangat terkesan dengan kata-kata hikmat yang selalu diungkapkan oleh beliau dalam
banyak ucapannya. Di antaranya adalah: “air jangan keruh, ikan biar tertangkap”. Ini
menggambarkan wisdom yang beliau miliki. Sedapat mungkin gerakan Islam bisa mengelakkan diri
daripada bentrokan dengan musuh. Dan berfikir dengan bijaksana bagaimana tujuan dapat dicapai
tanpa mengundang berlakunya kekerasan. Beliau juga sering berpesan: “yang mudah kita kerjakan
sekarang, yang susah kita kerjakan nanti, yang mustahil kita kerjakan esok”. Di sini tampak beliau
sangat optimistik, langsung tidak menolak sebarang kemungkinan. Baginya segalanya mungkin
dan tidak ada yang mustahil dikerjakan. Cuma bagaimana kita bisa memberi keutamaan terhadap
perkara-perkara yang lebih utama, kini pemikiran seperti ini lebih dikenali dengan istilah fiqh al-
awlawiyyat. Bagi saya inilah buah fikiran beliau yang orisinal.
Pak Natsir memberi kesan terhadap perjuangan ABIM, khususnya dalam menyusun strategi
dakwah. Buku-buku beliau seperti fiqh al-dakwah, capita selecta, kepada ABIM beliau
menasihatkan perlunya dilakukan “blood transfusion” terhadap gerakan Islam yang lain. Ketika itu
PAS sedang mengalami pukulan hebat akibat kekalahan yang teruk dalam pemilu. Maka ABIM
katanya harus memberikan bantuan agar dapat menyegarkan dan menguatkan gerakan Islam itu.
Karena katanya apapun perbedaan yang wujud antara ABIM dan PAS, kedua-duanya merupakan
gerakan Islam yang perlu saling menyokong dan membantu. ABIM dibawah pimpinan Anwar
Ibrahim telah menerima saranan ini dan mengarahkan Fadhil Noor untuk menyertai PAS yang
semenjak itu telah banyak melakukan pembaikan dan memperkasakan organisasi tersebut.
Bahkan di bawah kepimpinan Fadhil Noor PAS telah menjadi ketua pembangkang (pembangkang
25
dalam bahasa Indonesia berarti oposisi - af), walaupun kejayaan PAS ini tidak dapat disaksikan oleh
Pak Natsir sendiri.
Sejak jalinan mesra yang kami bina dengan Pak Nasir, ABIM mempunyai hubungan istimewa
dengan DDII sehinggalah sekarang. Keakraban kami dengan pimpinan DDII tetap wujud setelah
ketiadaan Pak Natsir, baik dengan Pak Rashidi, Anwar Haryono, sehinggalah Bang Husein. Kami
umpama adik beradik dalam satu keluarga dakwah. Atas dasar ini, banyak persamaan wujud
antara ABIM dan DDII khususnya dari segi visi dan misi. Tidak syak lagi ABIM telah banyak
terhutang kepada kebesaran Pak Natsir.
Pak Natsir adalah tokoh yang besar yang menjadi kebanggaan Nusantara. Beliau adalah seorang
pemikir yang berpengaruh di rantau ini. Keperibadian dan keintelektualan beliau terserlah. Bangsa
ini harus berbangga karena memiliki anak bangsa sepertinya. Beliau tidak mempunyai latar
belakang agama seperti para ulama kita namun sesiapapun tidak akan meragui kemampuannya
dalam bidang agama. Di rantau Melayu, beliau telah melakukan eksperimen pemerintahan Islam
yang terawal pada abad ke-20. Siapapun kita, baik seorang ilmuwan, pejuang dakwah, politikus,
atau orang biasa, ketika berhadapan dengan beliau akan terpikat dan terpegun dengan kebesaran
beliau. Dan yang menariknya kebesaran beliau sebenarnya terletak pada kerendahan hati, sikap
terbuka, dan lemah lembutnya.
26
04-06-2007 23:32
Harga SejarahHarga SejarahHarga SejarahHarga Sejarah
Oleh:
KH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah SahalKH. Hasan Abdullah Sahal
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM)
Darussalam Gontor
Perbedaan background sejarah pribadi, referensi bacaan fenomena romantika kehidupan, why dan
what for, paling besar pengaruhnya dalam membaca dan menulis sejarah. Maka tidak bisa derajat
tingkat pangkat dijadikan jaminan. Lihat betapa riwayat hadits, berita media, politik ambisi dan
ambisi politik belahan dunia barat timur dan utara selatan.
Kesatuan karunia rasa dan karsa pada suatu bangsa adalah aset mahal yang tidak boleh dengan
mudah-murah disingkirkan, diremehkan, seakan tak berharga karena kedatangan suatu yang baru
dengan hiasan-hiasan yang banyak kepalsuan dan penipuannya.
Perjalanan panjang beberapa fase pencarian, dihambat kultur lama/ penjajahan, naik turun nasib,
simpang siur peristiwa menyedihkan ditambah SDM yang amat lemah buah penjajahan menjadi
modal mental tersendiri bagi bangsa yang cerdas, kritis, militan, golongan paling dibenci dan
ditakuti penjajah dan kaki tangannya.
Keadaan semakin kuat tapi diuji terus. Keterbukaan, kepeloporan, tanpa niat lompat kanan dan kiri,
seperti komedi monyet. Begitulah seharusnya Kyai/ Pemimpin Ummat menghargai sejarah. Bukan
keagungan manusianya, tokohnya, sakral keturunannya, tapi nilai-nilai positif, ajaran-ajarannya,
untuk mewaspadai masuknya nilai-nilai penjajah dan menghapus segala bentuk penjajahan dalam
bidang apapun, melalui jalur manapun, serta iming-iming rayuan bagaimanapun, meskipun dibalut
rapi dengan bertebarannya bunga-bunga istilah ilmiah "mencengangkan" , berlabel "teruji,
disepakati" para ilmuan-ilmuan, etc etc. Itu mulut penjajah dan kiat penjajahan.
Kita sedang dijajah, bukan akan dijajah. Jalan pintas orang terjepit nasib "sakit, miskin, bodoh,
mundur lagi adalah mengaduh mengeluh minta petunjuk dari penjajah yang katanya "sehat, kaya,
pandai, maju". Tak mungkin pernah ada penjajah yang meproklamirkan diri sebagai penjajah.
"Penyelamat" bangsa.
Solusi dan pelarian dari posisi terjepit bukan lagi pola dan praktek kerja keras kesungguhan,
kejujuran, keikhlasan pengorbanan ala para pendahulu tapi jalan pintas mengemis petunjuk
kepada yang bernasib kaya, berkuasa, orang pintar, punya ilmu pertuyulan, jin dan sebagainya.
27
Bangsa yang besar adalah yang percaya bahwa: HANYA ALLAH SWT MAHA BESAR, AKBAR.
Renungkan kebalikannya!
Indahnya cobaan kepahitan. Manisnya ujian kenaikan pangkat "Kinasih Allah" selalu khusus
dinikmati pemegang panas "bara" jamroh Amanat Risalah Tauhid, menghadapi masalah-masalah
yang tak ada hentinya.
Ada menteri takut di reshuffle, ada pejabat takut dipecat, ada konglomerat takut tersaingi dan
bangkrut, ada celebrity takut tak "dibooking" lagi, ada cendekiawan takut digaji minim, ada pak
ustadz takut tak diundang kenduri, ada kyai ditinggalkan santrinya... ah palsu!, ada pedagang takut
kehilangan langganan, ada penjual takut kesepian pembeli, ada majikan takut didemo karyawan,
ada petani pajak pupuk panen pas-pasan, ada kuasa hukum kehabisan perkara, ada legislatif takut
direcall..ada apa lagi yaaa....teruskan sendiri.
Sejarah sudah tidak berharga? Semua sudah pernah punya sejarah, semua bebas membuat
sejarah, tapi kebebasan membuat sejarah ada aturannya. Seperti bebasnya orang membuat jalan,
tetap ada aturannya, meskipun di tanah sendiri, meskipun sudah bersertifikat, apalagi membuat
parit comberan. Meskipun itu jalur KAUM ARISTOKRAAT.
Kasihan yang tak boleh maju karena dianggap sudra. Lebih kasihan lagi oknum-oknum
pembodohan mewariskan kasta di alam kemerdekaan mempertahankan feodalisme modern. Nabi
Adam akan marah dan menyesal, nabi Musa akan kecewa, nabi Isa akan merintih, nabi
Muhammad akan menangis. Bukan untuk ini kami diutus menjadi rasul-rasul Allah, bukan ini pula
risalah kami.
Berlomba menjadi penggembala semua, siapa yang digembala? Mengaku paling berhak, mengaku
paling tahu, mengaku paling mampu, mengaku paling layak, mengaku paling disuka, mengaku
paling…..apa lagi?
Menghargai sejarah bangsa sendiri dengan cara salah, menghargai sejarah bangsa lain dengan cara
salah pula. Tidak benar, tidak adil, tidak jujur pula. Hasilnya salah dan terjadilah kerusakan
menyikapi sejarah dan membuat sejarah berikutnya.
Sumber-sumber sejarah harus yang paling kuat, terpercaya
penjelasan dan penafsirannya, kemudian menyikapinya
dengan positif, produktif. seperti sejarah penjajahan,
sejarah perjuangan kemerdekaan, sejarah kemerdekaan,
membangun RI. Semua menulis..... ..untuk manfaat siapa?
Putus asa, alih profesi (hijrah) atau menonaktifkan
28
potensinya. Itu adalah hak setiap orang sedangkan putus asa lari dari tanggungjawab apalagi
membunuh masa depan dengan kekosongan atau bunuh diri adalah kekerdilan dan sikap protes
terhadap takdir. Tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa.
Semua bentuk keputusasaan tercela dari segala penjuru, sedang alih profesi bisa di kategorikan
hijrah. TERBUKA, BERANI, KRITIS, CERDAS atau BIYAYAAN (perilaku tanpa pertimbangan perasaan/
adab, jiwa sedikitpun)? Nah, zaman anak-anak bertambah terbuka, kritis dan berani terhadap
lingkungan, pembenahan diri orang tua akan perilaku kesehariannya amat besar pengaruhnya
terhadap kepatuhan, respek mereka kepada miliu termasuk orang tua. Nanti mereka akan
menyanyi di mana-mana setelah orang tuanya tidak ada, positif atau negatif, sesuai konteks
pembicaraannya kelak.
Dua sikap cuek dan peduli bila kurang, tidak seimbang akan menimbulkan penyakit masyarakat
keluarga dan pribadi. Kesinambungan yang harmonis dan teduh amat ideal sekali, tapi banyak
"awet" tinggal di rak-rak perpustakaan "teori"..... . Kesinambungan sejarah nilai-nilai lebih penting
daripada kesinambungan fisik, lembaga. Teladani proses kaderisasi Rasulullah SAW, suasana akan
indah, teduh, damai dan bermoral.
Mengapa tulisan sejarah tentang politik kekuasaan lebih menonjol? Mengapa sengitnya persaingan,
panasnya perebutan dan ketatnya perlombaan "adu tangkas" memperjuangkan popularitas
mendorong penulis meletakkan politik, juga pertahanan dan ekonomi sebagai yang paling tidak
boleh tidak dikedepankan? Agama, moral dan pendidikan menjadi sumber penyakit menurut
pemilik kekuasaan, karena bisa mengurangi kredibilitas kepemimpinan, kecakapan dan lebih dari
itu membuka "kedok" kelicikan penjajahannya. Maka tidak perlu heran bila generasi yang akan
datang berpola dan bergaya musang bertitel ilmiah, berseragam "bulu ayam", berwibawa
meyakinkan. Hasilnya, "mark up" laporan bohong-bohongan. JALAN PINTAS menuju.....
POPULARITAS KOSONG!
29
Shalawat AShalawat AShalawat AShalawat Atas Nabi SAWtas Nabi SAWtas Nabi SAWtas Nabi SAW
Oleh:
KH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'AbdullahKH. Rahmat 'Abdullah
Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat
mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi
kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim
sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan
kepribadian selain kepribadiannya sendiri.
Ia produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari
dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan
namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.
Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia
iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya
pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah.
Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-
Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan hilang kemandirian.
Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan
bangsawan, ia menegaskan: "Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu
ialah, apabila seorang bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri itu rakyat
jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad
mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."
Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk -- lebih dari satu dua
kali -- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat
dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya "si Benar". Suatu kewajaran yang
menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau
menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil ia
menjawab: "Labbaik".
Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan
kualitasnya sebagai "orang rumah".
30
Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama
perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.
"Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang yang terbaik diantara
kamu terhadap keluargaku." "Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak
akan menghina perempuan kecuali seorang hina," demikian pesannya.
Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau di panglimai shahabatnya
(sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur'an, sunnah, hukum, peradilan,
kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang
paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua
pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid
seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang
berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada
mereka: "Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya." Sang Badui terkagum. Ia mengangkat
tangannya, "Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami."
Dengan senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak,
bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka; yang merdeka,
budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit di ujung
Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.
Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah
menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di
tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang,
kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-
sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah
(sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah
berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan
segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: "Seandainya ada seorang shalih mau
mengawalku malam ini." Dengan kesadaran dan cinta, beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di
tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber
suara. Ternyata Ia telah ada di sana mendahului mereka, tegak di atas kuda tanpa pelana. "Tenang,
hanya angin gurun," hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan
atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.
31
Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata: "Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan
apapun yang dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya
dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum."
Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih dari 4
dirham, seraya berkata, "Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum'ah." Pada
kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia
menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih,
tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.
Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini
membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan
shalawat atasnya: "Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan
aku menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti."
Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan
untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, "Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan
dari sulbi mereka kelak akan menerima da'wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak
menyekutukan- Nya dengan apapun."
Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, Sumber
kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini
membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat
yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan
akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan
diukirnya.
Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta,
menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah
tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikat bershalawat atasnya (QS. 33:56 ),
justru Ia nyatakan dengan begitu "vulgar" perintah tersebut, "Wahai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam."
Allahumma shalli 'alaihi wa'ala aalih!
32
"Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan"Kabinet" Tengah Hutan
Siapa pemimpin kita sekarang yang hidupnya sederhana, bersahaja dan bisa dengan mudah kita
temui seperti Natsir?
Oleh:
M.S Dt. Tan KabasaranM.S Dt. Tan KabasaranM.S Dt. Tan KabasaranM.S Dt. Tan Kabasaran *
Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatanginya. Tapi ia --
Mohammad Natsir, datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950--
mengundang untuk bertatap-muka. Kala itu, umur saya baru berusia 22
tahun. M. Natsir, kala itu, ia baru saja menjadi Ketua Partai Masyumi.
Saya aktif di Masyumi sejak belia. Berkecimpung di markas GPII
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia) mulai dari tukang sapu, pembawa
tang Natsir, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.
Sekarang, umur saya sudah 83 tahun.
"Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah
Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi) . Angku Malin harus menjadi
tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah
Minang," ujarnya kala itu.
Amanah itu, tetap saya pegang. Tenah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi
amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.
Saya sangat mendalami garis dasar perjuangan Masyumi, yakni mewujudkan Islam sebagai Dasar
Negara Indonesia. Sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato beliau di muka sidang
Konstituante yang bertajuk "Islam Sebagai Negara ". Dan karena itulah pertama kali saya jadi
tertarik terjun ke GPII dan kemudian Masyumi.
Teladan di Tengah HutanTeladan di Tengah HutanTeladan di Tengah HutanTeladan di Tengah Hutan
M Natsir yang saya kenal adalah seorang pemimpin yang ikhlas dan istiqamah di mana dan kapan
pun, bahkan di tengah hutan sekalipun. Sebagai pembawa tas, saya ikut keluar masuk hutan.
Suatu ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung yang
mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Jumlah orang kampung ingin
menemuinya tak terseleksi. Seseorang berpakaian kotor, berambut kusut-masai datang sambil
33
mengendap-ngendap padanya. Tapi, orang kampung ini dilarang pulang sebelum makan
bersamanya. Bahkan, orang kampung –yang tak jelas ini— diberi tempat duduk 'istimewa’, di
sebelah kanan beliau. Sedangkan di sebelah kiri, duduk ummi dan anak-anak beliau.
Kebesaran Pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang dengan orang kampung itu.
Natsir mebicarakan spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau
datang tidak dibebani rasa takut. Lain dengan Pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau Pak Bur
(Burhanuddin Harahap).
Hampir dua tahun berada dalam rimba bersamanya, tak sekalipun ia minta dipapah atau ditandu.
Teladan ini menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati kami, dan para kadernya hingga di
pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kadernya itu sangat kami rasakan
dan kami saksikan.
Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah Rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung
dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan, hanya satu jam sudah dekat
dengan lokasi tentara terlatih. Di sebuah dangau , di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir
diungsikan dari kejaran tentara Soekarno. Lebih delapan bulan beliau ada di sini. Tapi tidak pernah
tercium oleh tentara Soekarno. Masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan keberadaanya.
Sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar
bisa menutup mulut. Begitulah kharisma Pak Natsir di hati ummat.
Natsir berada dalam persembunyian itu selama lebih 11 bulan dengan aman. Barulah keluar dari
hutan melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein, mengumumkan
dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.
Perlawanan M Natsir —bahkan ada yang menyebut pemberontakan PRRI dan RPI—oleh RZ Leirissa,
dalam buku PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, merupakan usaha
untuk menggalang kesatuan di antara berbagai kelompok dalam bangsa Indonesia yang menolak
konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme. Menurut Leirissa, PRRI sejak awal tak
berniat memberontak. Namun, setelah Soekarno mengeluarkan amnesty, membuat Natsir turun
gunung.
Kabinet Tengah Malam Kabinet Tengah Malam Kabinet Tengah Malam Kabinet Tengah Malam
Ada kenangan yang membuat saya tak pernah bisa tidur terkait dengan Pak Natsir. Saat itu
terdengar rencana kaum Kristen mendirikan Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi. Allah SWT
berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu "bocor" keluar. Saya
berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka melalui seorang kader. Bocoran itu lalu kami
sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan.
34
Kemudian kami "tabik pangana", perjuangan harus diarahkan bukan lagi pada pemilik tanah
karena "kijang lah lapeh ka rimbo", tetapi kepada "pemilik" kota ini yaitu pemerintah. Caranya
dengan mendesak DPRD bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi
izin pembangunan RS Baptis. Kegagalan ini membuat misi terselubung lewat Rumah Sakit menjadi
sedikit cerdas. Mereka berpindah-pindah memanfaatkan cara dengan membeli tanah masyarakat
di berbagai tempat.
“Perjuangan” akhirnya harus dirobah dengan cara lebih strategis. Yakni mendesak Ketua DPRD
Bukit Tinggi, kala itu, Munir Marzuki Datuk Sutan Maharajo, untuk menjelaskan masalah ini.
"Kami minta DPRD melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan melarang Walikota
Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis," ujar saya mewakili teman-teman.
Gayung bersambut, ketua DPRD terbakar semangatnya melaksanakan rapat darurat. Kader
Masyumi yang di parlemen --memang teruji kesetiaannya pada perjuangan umat-- mendadak
mengumpulkan anggota dewan, lalu membicarakan tuntutan kami yang mendesak
dilaksanakannya 'sidang istimewa' DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan
keputusan melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS Baptis.
Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu, akhirnya DPRD sepakat
menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo
1x24 jam lagi, ternyata mereka penuhi. Walau saat itu puasa (Ramadhan). Besok malamnya,
DPRD Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya, di sebelah Masjid Raya sekarang.
Inilah peristiwa pertama DPRD bersidang malam hari, dengan agenda tunggal yang terkait dengan
nasib umat. Sidang disaksikan umat Islam Bukittinggi yang datang berduyun-duyun. Menjelang
makan sahur Ketua DPRD tampil membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat. Isinya, larangan
kepada Walikota Bukitinggi memberi izin mendirikan bangunan kepada Yayasan Baptis untuk
mendirikan Rumah Sakit. Keputusan DPRD disambut pekikan takbir oleh ribuan massa dan sujud
syukur kaum ibu. Sebagian basalah oleh air mata.
Awal Juli 1968, datanglah Pak Natsir dari Jakarta. Beliau diundang oleh Gubernur Sumbar, ketika
itu Pak Harun Zain dan Walikota Padang Akhirun Yahya. Ketika itu Pak Harun berpikir bagaimana
mengembalikan dan membangkitkan harga diri orang Minang yang merasa 'kalah' pasca PRRI.
Kedatangan pak Natsir juga membuat kami bercerita tentang kasus RS Baptis.
Sebelum balik ke Jakarta, Pak Natsir menitipkan pesan khusus di atas kertas koran ukuran
setengah folio. Belum ada kertas HVS seperti sekarang.
35
”Perlu mengubah cara engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin hari semakin
kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi umat. Umpanya, membuat Rumah
Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini, dan nanti kita persamakan," begitu pesan pentingnya.
Surat kecil itu saya serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. Setelah pesan kecil itu menghasilkan
satu keputusan umat Islam Bukutittinggi yakni sepakat membentuk sebuah badan yang diberi
nama Lembaga Kesehatan Dakwah. Belakangan melahirkan keputusan dibangun Rumah Sakit
Islam di Bukitinggi. Untuk yang ini, M. Natsir bahkan mengirim tenaga ahli dari Jakarta. Tidak hanya
di Bukittinggi, surat M Natsir juga telah memprakarsai pembangunan RS Islam Yarsi di Padang,
Padang Panjang, Payakumbuh, Panti dan di Kapar Pasaman.
Tapi, siapa pemimpin kita sekarang –hatta, pemimpin partai-partai Islam— yang hidupnya
sederhana, bersahaja dan bisa dengan mudah kita temui? Siapa pula anggota dewan dan DPRD
kita yang bisa diajak rapat sampai tengah malam? Allahu a’lam?
Tan Kabasaran adalah Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, tokoh Masyumi
Sumbar dan Senior Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia wilayah Sumatera Barat. Cerita ini sedang
dalam proses pembukuan
36
Imam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits diImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits diImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits diImam Muslim: Ulama dengan 300.000 Hadits di Kepalanya Kepalanya Kepalanya Kepalanya
Oleh:
Prof. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa YaqubProf. Dr. Ali Mustafa Yaqub
Pengasuh Pesantren Darus-Sunnah dan Imam Besar Masjid Istiqlal
Keharuman namanya tak akan pernah hilang sepanjang zaman. Dalam setiap ceramah, hampir
semua ustadz selalu mengutip karya-karyanya. Beliau adalah ulama kenamaan, terutama dalam
bidang dan ilmu hadits. Nama lengkap berikut silsilahnya adalah Imam Abu al-Husain Muslim bin
Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Lahir tahun 204 H/ 820 M atau menurut riwayat lain
206 H/ 822 M.
Beliau dinisbahkan kepada nenek moyangnya, Qusyair bin Ka'ab bin Rabiah bin Sha'sha'ah, suatu
keluarga bangsawan besar di wilayah Arab. Di samping (penisbahan) kepada Qusyair, beliau juga
dinisbahkan kepada Naisapur. Hal ini karena beliau putera kelahiran Naisapur, yakni kota kecil di
Iran bagian timur laut.
PengembaraanPengembaraanPengembaraanPengembaraan
Semenjak berusia kanak-kanak, Imam Muslim telah rajin menuntut ilmu. Di dukung kecerdasan
luar biasa, kekuatan ingatan, kemauan yang membaja, dan ketekunan yang mengagumkan, konon
ketika berusia 10 tahun, beliau telah hafal al-Qur'an seutuhnya serta ribuan hadits berikut
sanadnya. Sungguh prestasi yang teramat mengagumkan.
Seperti halnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga mengadakan pengembaraan intelektual ke
berbagai negeri Islam, seperti Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, Baghdad, dan lain-lain guna memburu hadits
dan berguru pada ulama-ulama kenamaan. Beliau telah mengunjungi hampir seluruh pusat
pengkajian hadits yang ada pada saat itu, bahkan terkadang dilakukannya berkali-kali, seperti ke
Baghdad. Semua ini merupakan bukti konkret bahwa perhatian Imam Muslim terhadap
peninggalan Nabi saw yang monumental ini sangat besar.
Pengembaraan perdananya dimulai ke Makkah pada tahun 220 H sekaligus menunaikan ibadah
haji. Kemudian pada tahun 230 H beliau melakukan pengembaraan intelektual yang secara spesifik
untuk kepentingan hadits. Sedang lawatannya yang terakhir terjadi pada tahun 259 H ke Baghdad
saat usianya mencapai 53 tahun. Dalam pengembaraannya itu, beliau tidak mengenal usia.
Semenjak usia yang relatif masih sangat muda sampai berusia senja, beliau tidak pernah berhenti
apalagi putus asa dalam pengembaraannya mengejar dan memburu Hadits Nabi saw.
37
Guru dan MuridnyaGuru dan MuridnyaGuru dan MuridnyaGuru dan Muridnya
Dalam lawatan intelektualnya, Imam Muslim tercatat
banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan, tentunya
dalam rangka mencari hadits. Beliau berguru kepada Yahya
dan Ishak bin Rahawaih di Khurasan, Muhammad bin
Mahran dan Abu Ghassan di Ray, Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah di Iraq, Said bin Manshur dan Abu MasUab di Hijaz, Tamr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya di Mesir. Beliau juga belajar dari Usman dan Abu Bakar (keduanya putra Abu
Syaibah), Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Jury, Zuhair bin Harb, Amr al-Naqid, Muhammad bin al-
Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Said al-UAili, Qutaibah bin Sa'id, dan yang tak boleh
terlupakan beliau juga berguru pada Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat
ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad
bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa
al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain;
Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian
banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli
fiqih lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.
Selain karya besar Imam Muslim yang sangat monumental, yaitu kitab Shahih Muslim, beliau juga
tercatat mempunyai buah karya lebih dari 20; antara lain: al-Ullal, al-Aqran, al-IntifaUbi Uhub al-Siba,
Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, Aulad al-Shahabah, Al-Musnad al-Kabir, Al-Thabaqat
(Thabaqat al-Kubra), Kitab al-Mukhadramin, Al-JamiUal-Kabir, Kitab al-Tamyiz, Kitab al-Asma wa al-
Kuna, Kitab Su'alatihi Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.
Banyak ulama yang memandang Imam Muslim sebagai ulama hadits nomor dua setelah Imam al-
Bukhari. Hal yang tidak mengherankan, mengingat Imam Muslim merupakan murid Imam al-
Bukhari.
Al Khatib al-Baghdadi mengatakan, Muslim telah mengikuti jejak al-Bukhari, memperhatikan
ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya. Pernyataan ini tidaklah berarti Imam Muslim
hanyalah figur yang hanya mampu bertaqlid pada al-Bukhari, sebab Imam Muslim mempunyai ciri
dan pandangan tersendiri dalam menyusun kitabnya. Beliau juga mempunyai metode baru yang
belum pernah diperkenalkan ulama sebelumnya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama
lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanad lengkap dari Ahmad bin Salamah,
38
katanya "Saya melihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan
Muslim bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadits sahih atas guru-guru mereka."
Ishaq bin Rahawaih pernah memuji Imam Muslim dengan perkataannya "Adakah orang yang
seperti Muslim?" Demikian pula Ibn Abi Hatim menyatakan "Muslim adalah seorang hafidh (ahli
hadis). Saya menulis hadits yang diterima dari dia di Ray." Selanjutnya Abu Quraisy al-Hafidh
menyatakan bahwa di dunia ini, orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat, salah
satunya adalah Muslim. Tentunya, yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah ahli-ahli hadits
terkemuka yang hidup pada masa Abu Quraisy.
Dengan munculnya berbagai komentar dari para ulama terhadap kepakaran Imam Muslim dalam
disiplin ilmu Hadits ini, cukuplah kiranya menjadi bukti awal bahwa beliau memang figur yang
pantas mendapat sanjungan yang demikian, dan tentunya setelah al-Bukhari.
Karya MonumentalKarya MonumentalKarya MonumentalKarya Monumental
Sejarah mencatat bahwa Imam Muslim merupakan ulama kedua yang berhasil menyusun kitab al-
Jami' al-shahih yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan Shahih Muslim. Kitab ini berisi
10.000 hadits yang disebutkan secara berulang-ulang (mukarrar) atau sebanyak 3.030 buah hadits
tanpa pengulangan. Hadits sejumlah itu disaring dengan sangat ketat dari 300.000 buah hadits
selama kurun waktu 15 tahun.
Berdasarkan kualitas keshahihannya, para ulama memasukkan karya Imam Muslim ini pada
peringkat kedua setelah karya monumental Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari). Hal ini karena
syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim relatif lebih longgar daripada syarat yang ditetapkan
Imam al-Bukhari. Dalam persambungan sanad (ittisal al-sanad) antara yang meriwayatkan (rawi)
dengan yang menerimanya (marwi'anhu) atau antara murid dan guru menurut Imam Muslim hanya
cukup syarat mu'asharah (semasa), tidak harus terjadi liqa' (pertemuan) antara keduanya.
Sementara Imam Al-Bukhari mensyaratkan terjadinya liqa 'untuk menyatakan terjadinya
persambungan sanad.
Shahih Muslim merupakan hasil dari sebuah kehidupan yang penuh berkah. Pasalnya, ia dikerjakan
secara terus-menerus oleh penulisnya, baik ketika berada di suatu tempat, dalam perjalanan
pengembaraan, dalam situasi sulit maupun lapang, serta melalui proses pengumpulan,
penghafalan, penulisan, dan penyaringan yang ekstra ketat. Sehingga kitab ini sebagaimana kita
lihat, merupakan sebuah kitab shahih yang teramat baik dan sistematis. Oleh karena itu, tidak
heran rasanya jika Imam Muslim sangat menyanjung dan mengagungkan kitab monumentalnya.
Sebagai wujud kegembiraan atas karunia Allah yang diterimanya, beliau pernah bertutur "Apabila
penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-
39
putar di sekitar kitab musnad ini." Maksud beliau adalah kitab Shahih Muslim itu.
Adapun ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian beliau terhadap hadits yang dituangkan dalam
kitab Shahih-nya itu dapat disimak dari penuturannya sebagai berikut:
"Aku tidak mencamtumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini melainkan dengan alasan. Aku juga
tiada menggugurkan sesuatu hadits dari kitabku ini melainkan dengan alasan pula."
SpesifikSpesifikSpesifikSpesifikasi Shahih Muslimasi Shahih Muslimasi Shahih Muslimasi Shahih Muslim
Secara eksplisit, Imam Muslim tidak menegaskan syarat-syarat tertentu yang diterapkan dalam
kitab Shahih-nya. Kendati demikian, para ulama telah menggali dan mengkaji syarat-syarat itu
melalui penelitian yang serius terhadap kitab itu. Penelitian dan pengkajian ini membuahkan
kesimpulan bahwa syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya adalah
antara lain:
Pertama, beliau tidak meriwayatkan hadits kecuali dari para periwayat yang adil, dlabith (kuat
hafalan), dan dapat dipertanggungjawabk an kejujurannya.
Kedua, beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits-hadits musnad lengkap dengan
sanad-nya), muttashil (sanad-nya bersambung), dan marfu' (berasal dari Nabi saw). Keterangan
Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya akan lebih memberikan gambaran yang cukup
jelas kepada kita mengenai syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam karya besarnya.
Beliau mengklasifikasikan hadits menjadi tiga katagori: hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi
adil dan kuat hafalan; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak diketahui keadaannya
(majhul al-hal) dan sedang-sedang saja kekuatan hafalan dan ingatannya; hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah (hafalan dan ingatan) dan rawi yang haditsnya ditinggalkan
orang.
Untuk hadits kategori ketiga, Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya. Sementara
apabila Imam Muslim meriwayatkan hadits kategori pertama, beliau senantiasa menyertakan pula
hadits kategori kedua.
Sebagai buah karya yang monumental, kitab Shahih Muslim memiliki beberapa ciri khusus, di
antaranya; beliau menghimpun matan-matan hadits yang satu tema lengkap dengan sanad-nya
pada satu tempat (bab), tidak memisahkannya dalam tempat yang berbeda, serta tidak mengulang-
ulangnya, kecuali dalam kondisi yang mengharuskan, seperti untuk menambah faedah pada sanad
atau matan hadits.
40
Ketelitian dan kecermatan dalam menyampaikan kata-kata selalu dipertahankannya secara
optimal, sehingga apabila seorang rawi berbeda dengan rawi lain dalam penggunaan redaksi yang
berbeda, padahal makna (substansi) dan tujuannya sama; yang satu meriwayatkan dengan suatu
redaksi dan rawi lain meriwayatkan dengan redaksi yang lain pula; maka dalam hal ini Imam
Muslim menjelaskannya. Selain itu, beliau berusaha menampilkan hadits-hadits musnad (hadits
yang sanad-nya Muttashil) dan marfu' (hadits yang dinisbahkan kepada Nabi saw). Karenanya,
beliau tidak memasukkan perkataan-perkataan sahabat dan tabiin.
Imam Muslim juga tidak banyak meriwayatkan hadits muallaq (hadits yang sanad-nya tidak ditulis
secara lengkap). Di dalam kitab Shahih-nya hanya memuat 12 Hadis muallaq yang kesemuanya
difungsikan sebagai mutabi' atau penguat, bukan sebagai hadits utama (inti).
Begitulah, akhirnya setelah mencapai usia 55 tahun, Imam Muslim menghembuskan nafas yang
terakhir pada Ahad sore, 25 Rajab 261 H. Jenazahnya dikebumikan di salah satu daerah di luar
Naisapur pada hari Senin. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Semoga Allah merahmati dan
meridhainya, serta menerima jerih payahnya dalam menyebarluaskan ilmu-ilmu keislaman. Amin.
41
Opini - Republika
Rabu, 13 Februari 2008
HAMKA Menggerakkan Infak HAMKA Menggerakkan Infak HAMKA Menggerakkan Infak HAMKA Menggerakkan Infak
Oleh:
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin M.Sc dan Fuad Nashar S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin M.Sc dan Fuad Nashar S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin M.Sc dan Fuad Nashar S.SosProf. Dr. KH. Didin Hafidhuddin M.Sc dan Fuad Nashar S.Sos
(Badan Amil Zakat Nasional)
Buya Prof. Dr. Hamka adalah seorang ulama pejuang, ulama panutan
umat, yang istiqamah menjalankan fungsi ulama waratsatul anbiya
(ulama pewaris nabi). Ulama dan pujangga besar Islam yang lahir di
Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908, itu juga
seorang pemimpin Islam yang disegani.
Beliau ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama.
Seluruh kehidupan Buya Hamka tidak dapat dipisahkan dari dakwah
dan perjuangan yang ikhlas untuk kemajuan Islam, kemerdekaan bangsa, dan pembangunan umat
dalam dimensi yang luas.
Membicarakan peranan Buya Hamka dalam pengentasan kemiskinan dan memotivasi umat dalam
berinfak sekurangnya dapat ditelusuri dari perjuangan beliau di medan dakwah dan
kemasyarakatan serta dari buku-buku pembangun jiwa yang beliau tulis sejak dekade 1930-an. Di
bidang dakwah dan kemasyarakatan, sejak 1926 Buya Hamka aktif membina umat sebagai
pemimpin Muhammadiyah Cabang Padang Panjang yang waktu itu merupakan pusat
perkembangan Muhammadiyah di Sumatra Barat.
Muhammadiyah bukan saja dikenal sebagai gerakan pembaharuan Islam yang memandu umat
agar kembali kepada Alquran dan As-Sunnah serta meninggalkan kepercayaan dan amalan yang
tidak diajarkan dalam Alquran dan Sunah, tapi sekaligus menghidupkan dan menyuburkan amal
tolong-menolong di dalam masyarakat Islam.
Muhammadiyah menjadi perkumpulan Islam yang memelopori dakwah dan membangun
pendidikan umat secara mandiri, yakni tidak menerima bantuan subsidi dari pemerintah kolonial,
tapi sepenuhnya didukung oleh infak dan amal jariyah umat Islam sendiri. Dalam organisasi
Muhammadiyah terdapat majelis PKU yang dahulu singkatan dari Penolong Kesengsaraan Umum,
Majelis Ekonomi, serta Majelis Wakaf dan Kehartabendaan.
42
Buya Hamka adalah penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga wafatnya. Menarik disimak
dalam salah satu buku karya Hamka yang legendaris sampai sekarang, yaitu Tasawuf Modern
(cetakan pertama 1939), Hamka mengupas secara filosofis sikap manusia terhadap harta benda
dan tuntunan Islam agar manusia tidak jatuh diperbudak oleh harta.
Lebih jauh Hamka mengutip ahli hikmah yang menyatakan, ''Maa ahsanad diina wad dunya idzaj
tama'a, wa 'aqbahal kufra wal iflasa fir rajul''. Artinya, alangkah indahnya kalau berkumpul agama
dan dunia pada seseorang dan alangkah sengsaranya pula kalau berkumpul kekafiran dan
kemiskinan pada diri manusia.
Dalam buku Lembaga Hidup (cetakan pertama 1940), Buya Hamka mengupas hak perseorangan
dalam Islam, yaitu hak hidup, hak kemerdekaan diri, hak persamaan, hak politik, dan hak mencari
rezeki. Ketika mengupas hak mencari rezeki, Hamka memotivasi umat dengan menjelaskan
kedudukan dan peranan zakat sebagai wujud tanggung jawab terhadap sesama manusia.
Menurut Hamka, perbedaan nyata antara teori komunis dan Islam ialah dalam komunis harta
kepunyaan bersama, hasilnya untuk sendiri-sendiri. Dalam Islam, harta kepunyaan sendiri hasilnya
dinikmati bersama-sama.
Hamka menyatakan bahwa zakat adalah pengorbanan yang tidak boleh tidak untuk masyarakat.
Siapa yang bertambah tinggi jiwanya boleh ditambah dengan sedekah sunat berapa suka dan
sanggup sesuai dengan ayat Alquran, ''Barang siapa yang dapat membersihkan kebakhilan dirinya,
itulah orang yang beroleh keberuntungan. '' (QS Muhammad [47] ayat 38).
Perspektif pemikiran Hamka lebih jauh menyingkap korelasi zakat dengan kemajuan masyarakat
dalam Islam. Hamka dalam bukunya itu menjelaskan cita-cita yang paling tinggi di dalam
kehidupan masyarakat, yaitu bebas dari kemiskinan, bebas dari rasa takut. Itu merupakan tangga
untuk kemerdekaan dan jalan untuk kemajuan masyarakat (QS Quraisy [106] ayat 3-4).
Pada tahun 1950 terbit buku Buya Hamka berjudul Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam buku
tersebut beliau antara lain mengetengahkan masalah zakat ditinjau dari sisi hukum maupun
praktiknya sebagai salah satu pilar dalam mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan umat
Islam. Pada masa itu buku-buku berbahasa Indonesia yang mengupas masalah zakat belum begitu
banyak.
Sementara itu, layak dicatat peranan dan amal Buya Hamka dalam gerakan pengentasan
kemiskinan dan memotivasi umat dalam berinfak, yaitu sewaktu Pemerintah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta di bawah pimpinan Gubernur H Ali Sadikin tahun 1968 memelopori pembentukan
Badan Amil Zakat (disingkat BAZ, tahun 1973 diubah menjadi BAZIS). Buya Hamka adalah tokoh
43
ulama yang mendukung langkah pembentukan Badan Amil Zakat tersebut, sebagai bagian dari
upaya pengentasan kemiskinan dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Dukungan Buya Hamka dan beberapa tokoh ulama lainnya saat itu sangat besar artinya terhadap
pertumbuhan BAZIS. Umat Islam di Ibu Kota dan jamaah Masjid Agung Al-Azhar khususnya
mengenang Buya Hamka sebagai pemimpin, khatib, dan imam besar Masjid Agung Al-Azhar yang
pertama.
Beliaulah yang pertama kali menggerakkan kegiatan memakmurkan masjid ini. Buya Hamka
mengajak umat dan jamaah masjid untuk melengkapi sarana dan fasilitas masjid, termasuk
mengembangkan Yayasan Pesantren Islam (YPI Al-Azhar) dari dana infak, shadaqah, dan wakaf
umat Islam.
Buya Hamka adalah orang yang diminta pendapat, manakah yang akan dibangun lebih dahulu,
sekolah ataukah masjid, mengingat dana yang ada sangat terbatas. Saran Buya Hamka begitu
visioner. Bangunlah masjid lebih dahulu!
Menurut Hamka, sementara bangunan gedung sekolah dan lain-lain belum tercapai, dapatlah
melalui masjid dihimpun sumbangan umat untuk pembangunan pesantren sekolah secara
berangsur-angsur. Demikian diungkapkan almarhum KH Ghazali Syahlan, salah satu pendiri dan
panitia pembangunan masjid tahun 1951 dalam buku 70 Tahun Buya Hamka.
Dirindukan Dirindukan Dirindukan Dirindukan UmatUmatUmatUmat
Sosok kharismatik Buya Hamka yang wafat di Jakarta 24 Juli 1981 sampai sekarang masih kuat
melekat di mata hati umat. Generasi sekarang merindukan ulama teladan seperti Buya Hamka.
Sikap hidupnya yang sederhana dan jauh dari kecintaan terhadap harta benda, tutur dakwahnya
yang santun dan penuh kearifan, satu kata dan perilakunya, keluasan ilmu serta kekokohan
pendiriannya, menjadikan sosok Buya Hamka dipandang sebagai ulama sejati. Selain itu juga
karena semasa hidupnya beliau rajin berdakwah dan produktif menulis. Ketulusannya melayani
umat dari berbagai lapisan masyarakat menyebabkan sosok Buya Hamka dikenang sebagai 'dokter
rohani' yang nasihat-nasihatnya mampu mengobati penyakit masyarakat, seperti kemalasan,
kebodohan, kemiskinan, serta kerusakan akhlak dan moral.
Meski Buya Hamka sudah lama meninggalkan kita, jasa, pemikiran, dakwah, dan perjuangannya
dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi
inspirasi bagi generasi berikutnya. Adalah kewajiban kita bersama untuk melanjutkan cita-cita dan
44
perjuangan besar Buya Hamka dan kawan-kawan untuk meninggikan Kalimatullah di Tanah Air
tercinta ini.
IkhtisarIkhtisarIkhtisarIkhtisar
- Buya Hamka mampu menghidupkan gerakan Muhammadiyah.
- Muhammadiyah menjadi perkumpulan Islam yang memelopori dakwah dan membangun
pendidikan umat secara mandiri.
- Cita-citanya mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan umat harus terus diperjuangkan.
45
Kajian Ilmiah – Perwakilan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir
Yusuf Qardhawi: Faqih dan Da’Yusuf Qardhawi: Faqih dan Da’Yusuf Qardhawi: Faqih dan Da’Yusuf Qardhawi: Faqih dan Da’i Abad Inii Abad Inii Abad Inii Abad Ini
(Sebuah Biografi Pemikiran)(Sebuah Biografi Pemikiran)(Sebuah Biografi Pemikiran)(Sebuah Biografi Pemikiran)
Oleh:
Yendri Junaidi, LcYendri Junaidi, LcYendri Junaidi, LcYendri Junaidi, Lc
MuqaddimahMuqaddimahMuqaddimahMuqaddimah
Salah satu hal yang selalu dipegang oleh para ulama salaf dalam
menulis biografi seorang tokoh adalah bahwa biasanya tokoh yang
akan ditulis adalah mereka yang sudah wafat. Hal ini karena tokoh
yang masih hidup, tidak seorang pun yang bisa menjamin
bagaimana akhir kehidupannya. Barangkali hanya segelintir tokoh saja yang biografinya banyak
ditulis saat ia masih hidup.
Di antara yang sedikit itu adalah tokoh kita kali ini: Dr. Yusuf Qaradhawi. Sudah banyak buku yang
beredar mengupas biografi hidup, pemikiran, proyek peradaban dan pandangan-pandangannya
seputar permasalahan umat. Sehingga, ketika hendak menulis bigrafinya, kata-kata 'tokoh ini
Ghaniyyun 'An al-Ta'rîf' (tak perlu diperkenalkan lagi karena sudah sangat terkenal) tidak lagi
menjadi kalimat basa-basi, sebagaimana halnya yang kerap dilontarkan para moderator sebuah
seminar atau diskusi ketika memperkenalkan tokoh pembicara.
Dalam tulisan ini, kita tidak akan mengupas biografi Yusuf Qaradhawi secara rinci dari segala sisi.
Kita hanya akan memfokuskan pada dua sisi utama dari sosoknya, yaitu: Pertama, sepak
terjangnya dalam dunia dakwah dan; Kedua, konsep serta metode beliau dalam lapangan fiqih.
Barangkali dua sisi inilah yang paling menonjol dari sosok beliau, sehingga tidak berlebihan bila
sebagian ulama dan pemikir menjuluki Yusuf Qaradhawi sebagai Faqîh al-Du'ât wa Dâ'iyah al-
Fuqahâ (faqihnya para da’i dan da’inya para fuqaha').[1] Di akhir tulisan ini, kita akan menyinggung
pandangan-pandangan beliau tentang Tajdîd al-Dîn (pembaharuan agama). Namun, sebelum
mengupas sisi-sisi tersebut lebih jauh, alangkah baiknya jika kita paparkan secara singkat
lingkungan di mana beliau dilahirkan dan tumbuh dewasa, serta pilar-pilar yang banyak
mempengaruhi pribadi dan pemikiran-pemikiran nya, sebagaimana dalam sebuah ungkapan al-
Rajulu walîdu Bî’atihi (seorang tokoh adalah anak lingkungannya) .
Lingkungan Kelahiran QaradhawiLingkungan Kelahiran QaradhawiLingkungan Kelahiran QaradhawiLingkungan Kelahiran Qaradhawi
46
Beliau bernama Abu Muhammad Yusuf bin Abdullah al-Qaradhawi. Dilahirkan pada 09 September
1926 di sebuah kampung bernama Shafth al-Turab, Propinsi Gharbiyah, Mesir. Beliau adalah
seorang anak tunggal. Sebelum berusia dua tahun, ayahnya sudah berpulang ke rahmatullâh,
sehingga ia diasuh oleh pamannya yang—bagi Qardhawi—lebih dari sekedar ayah kandung. Sebelum
genap berusia 10 tahun, beliau sudah hafal al-Qur’an dengan sempurna, serta menguasai hukum-
hukum tajwid dan qira’at.
Awalnya, sang paman ingin agar Qaradhawi remaja menjadi seorang pedagang atau tukang jahit
karena kondisi ekonomi sang paman yang cukup sulit apalagi beliau juga memiliki beban keluarga
dengan jumlah anak yang cukup banyak. Tetapi karena kecintaan pada ilmu dan berkat motivasi
seorang syekh yang kebetulan berjumpa dengan pamannya akhirnya Qaradhawi lebih memilih
untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.
Pada tahun 1952, Yusuf Qaradhawi berhasil menyelesaikan program S1-nya dan meraih gelar
License (Lc) dari Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar; dan pada tahun 1954, ia juga meraih
gelar yang sama dari Fakultas Bahasa Arab, Universitas AL-Azhar. Kedua gelar akademisnya diraih
dengan predikat pertama di kedua fakultas tersebut. Pada tahun 1960, beliau menyelesaikan
pendidikan program S2-nya pada Fakultas Ushuluddin di Universitas yang sama. Sementara
program S3-nya diselesaikan pada tahun 1973 dalam studi hadits dengan judul disertas: Zakat dan
peranannya dalam mengatasi problematika sosial yang dengannya ia mendapatkan Yudisium
Summa Cum Laude.[2] Disertasi ini dicetak dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan
judul “Fiqh al-Zakât”. Sebagian ulama menganggap buku ini sebagai karya monumental yang paling
sempurna dalam masalah zakat serta peranannya dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial
dan ekonomi secara lebih sistematis, ilmiah dan komprehensif. Bahkan, Abul 'A'la Al-Maududi
berkomentar tentang buku ini: “Seandainya Qaradhawi tidak mengarang selain fiqih zakat ini, itu
sudah cukup menjadi kemuliaan besar baginya, apalagi beliau juga telah banyak menghasilkan
karya-karya berbobot dan sangat bernilai dalam berbagai bidang keilmuan.”[3]
Beliau tumbuh dan bekembang dalam lingkungan yang taat beragama. Banyak aliran tasawuf dan
thariqat yang berkembang di lingkungan tempat beliau tumbuh. Faktor ini tampaknya cukup
dominan dalam membentuk karakter pribadi Qaradhawi kecil, sehingga perhatian beliau pada
masalah-masalah pembersihan diri dan penyucian hati sangat besar. Apalagi sejak kecil, Qaradhawi
sudah mempelajari kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya besar Imam al-Ghazali. Buku ini secara khusus juga
banyak berperan dalam mewarnai corak pemikiran Yusuf Qaradhawi di masa-masa berikutnya.
TokohTokohTokohTokoh----Tokoh Yang Berpengaruh Besar Dalam Kehidupan Yusuf QaradhawiTokoh Yang Berpengaruh Besar Dalam Kehidupan Yusuf QaradhawiTokoh Yang Berpengaruh Besar Dalam Kehidupan Yusuf QaradhawiTokoh Yang Berpengaruh Besar Dalam Kehidupan Yusuf Qaradhawi
Secara umum, ada dua institusi besar yang sangat berpengaruh dalam membentuk dan mewarnai
kepribadian serta pemikiran Qaradhawi, yaitu: Pertama, Al-Azhar sebagai institusi pendidikan resmi
47
dan pusat keilmuan Islam terbesar saat ini dan; kedua, gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah
gerakan Islam terbesar di dunia yang mengakar di berbagai penjuru dunia dan telah melahirkan
tokoh-tokoh besar yang senantiasa dikenang karena pengorbanan dan perjuangan mereka dalam
menegakkan syariat Allah di muka bumi.
Di antara masyâyikh Al-Azhar yag sangat beliau kagumi adalah: Syekh Musthafa al-Maraghi, Syekh
Abdul Halim Mahmud, Syekh Mahmud Syaltout dan Syekh Muhammad Abdullah Darraz. Sementara
tokoh-tokoh Ikhwan yang banyak mewarnai pribadi beliau adalah Imam Hasan Al-Banna, Ustadz
Hasan Al-Hudhaibi dan Syekh Muhammad Al-Ghazali.[4] Namun, seperti yang beliau ungkapkan
dalam beberapa buku yang menulis tentang biografinya, pengaruh jamaah Ikhwanul Muslmin dan
para tokohnya lebih banyak mewarnai dan membentuk pribadi dan pemikirannya dibandingkan
institusi-institusi lainnya. Sehingga, tidak heran bila beliau rela dipenjara dan mengalami berbagai
siksaan saat bergabung dalam gerakan besar ini. Beberapa kali beliau keluar masuk penjara di
zaman rezim Jamal Abdul Naser dan Anwar Sadat bersama tokoh-tokoh Ikhwan lainnya.
Kiprah QaradhawiKiprah QaradhawiKiprah QaradhawiKiprah Qaradhawi DDDDalam Dunia Dakwahalam Dunia Dakwahalam Dunia Dakwahalam Dunia Dakwah
Kiprah Yusuf Qaradhawi dalam dunia dakwah sudah tampak sejak beliau masih remaja, terutama
pada era 70-an, saat maraknya gerakan yang menamakan dirinya dengan jama’ah takfîr. Mereka
mengkafirkan siapa saja yang tidak sesuai dengan paham yang mereka yakini sekalipun dalam
masalah-masalah furu' (cabang-cabang fiqih). Fenomena ghuluw (berlebih-lebihan) ini banyak
disorot Qaradhawi dalam ceramah dan khutbahnya. Ia selalu mengajak pada Islam yang wasath
(moderat), tengah-tengah antara arus ghuluw dan tafrîth (terlalu kurang dan menganggap enteng),
antara pihak-pihak yang ingin lepas dari tali-tali syariat yang sudah kokoh dan baku dengan klaim
untuk mengikuti perkembangan zaman dan pihak-pihak yang terlalu mengkultuskan turâts serta
tetap bersikukuh dengan fatwa dan pandangan-pandangan usang tanpa melihat zaman yang sudah
berubah.
Ruh tawassuth (moderat) inilah yang selalu didengungkan dan dipegang teguh oleh Qaradhawi
dalam berbagai kiprahnya di dunia dakwah dan fatwa. Sehingga, tidak heran bila sebagian ulama
dan pemikir mengganggapnya sebagai lokomotif arus moderat Islam (râ’id Yayyâr al-Wasathiyyah
al-Islâmiyyah). Ringkasnya, metode yang beliau usung dalam dakwahnya adalah tabsyîr (memberi
berita gembira) bukan tanfîr (membuat lari), sementara dalam lapangan syariat (fatwa) adalah
taysîr (memberi kemudahan) bukan ta’sîr (memberi kesulitan).
Dalam berdakwah, Qaradhawi senantiasa menggunakan gaya bahasa (uslûb) yang mudah
dimengerti oleh objek dakwahnya. Bahkan, tidak jarang beliau menggunakan pepatah-pepatah atau
kata-kata bijak yang berkembang di masyarakat (amtsâl sya'biyyah) untuk memahamkan dan
48
mengakrabkan dakwah pada setiap pendengarnya, sehingga dakwah menjadi sesuatu yang
menarik, ditunggu-tunggu sekaligus juga menghibur.
Dakwah yang ditekuni Qaradhawi tidak hanya sebatas ceramah dan seminar-seminar, tapi lebih dari
itu ia telah menyebarkan dakwahnya dengan berbagai sarana dan media seperti buku, majalah dan
internet. Sehingga kaum Muslimin di seluruh dunia dapat mengakses fatwa dan pemikiran-
pemikiran nya melalui berbagai situs Islam seperti islamonline. net, qaradawi.net dan lain-lain.
Dakwahnya juga tidak hanya berkutat pada satu aspek permasalahan, tetapi menyentuh berbagai
sisi dan lini kehidupan yang berhubungan langsung dengan kemaslahatan umat. Dalam sisi
ekonomi dan sosial misalnya, Qaradhawi dipandang sebagai lokomotif utama gerakan boikot
(muqâtha'ah) produk-produk Israel , Amerika dan Inggris yang punya peran utama dalam
menyengsarakan dan menindas rakyat Palestina. Karena gencarnya propaganda yang beliau
lancarkan dengan gerakan boikot yang banyak merugikan perekonomian Israel itu, sampai-sampai
kepalanya pernah dihargai sekian puluh ribu dolar oleh Zionis Israel . Tapi semua itu tidak membuat
langkah beliau surut dalam perjuangan membebaskan rakyat Palestina dari kekejaman dan
pencaplokan kaum zionis.
Di sisi lain, Qaradhawi sangat giat mengkampanyekan upaya pendekatan pemahaman antara aliran
dan mazhab-mazhab yang tengah berkembang (taqrîb bainal madzâhib). Adalah sesuatu yang
sangat memprihatinkan beliau dan kaum Muslimin pada umumnya menyaksikan jama’ah-jama’ah
dan gerakan-gerakan Islam yang berkembang saat ini, saling menyalahkan dan kehilangan
semangat ta’âwun (kerja sama). Padahal, pada dasarnya mereka semua berjuang untuk tujuan
yang sama yaitu meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Dengan demikian, tentu sudah
sewajarnya dan semestinya masing-masing gerakan dan mazhab yang ada lebih mencari titik-titik
persamaan daripada memperlebar jurang perbedaan yang akan berimplikasi negatif pada usaha
mencapai tujuan bersama di samping memang perbedaan cara pandang sesungguhnya adalah
sebuah sunnatullah yang mesti disikapi secara bijaksana dan diberdayakan menjadi energi
potensial yang positif bukan sebaliknya.
Meskipun untuk menyatukan umat yang besar ini dalam satu bendera dan gerakan adalah sesuatu
yang mustahil, karena sudah menjadi
sunnatullah bahwa perbedaan itu mesti ada,
akan tetapi upaya untuk mendekatkan
pemahaman dan target-target utama guna
menghindari gesekan-gesekan negatif yang
tidak diharapkan tentu masih terbuka lebar
dan mesti selalu diupayakan. Kaidah masyhur
yang selalu beliau dengungkan adalah
Nata'âwanu Fîmattafaqnâ wa Ya'dziru Ba'dhuna
49
Ba'dhan fîmakhtalafnâ Fîhi (Kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan kita
saling toleran dalam hal-hal yang masih dipersilisihkan) .
Bagi Yusuf Qaradhawi, dakwah bukanlah sebuah profesi untuk menghasilkan materi dan ketenaran,
namun ia adalah kewajiban setiap Muslim yang loyal pada agamanya. Oleh karena itu, tak ada kata
libur atau istirahat dalam kamus dakwah. Kapan dan di manapun, hari-hari seorang Muslim mesti
selalu berada dalam jalan dakwah. Dakwah harus dimaknai dalam arti yang luas, di mana seluruh
ucapan, perbuatan dan aktivitas seorang Muslim adalah dakwah ketika diniatkan untuk mencapai
ridha Allah. Gebrakan-gebrakan Qaradhawi adalah bukti nyata atas hal ini bahwa lapangan dakwah
itu sangat luas, mulai dari ceramah umum, konferensi, buku, majalah, intenet dan sebagainya.
Bahkan tidak hanya dalam tataran teori, dakwah mesti melangkah pada aplikasi dan kerja nyata
yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh umat.
Salah satu mimpi terbesar Qaradhawi yang ingin diwujudkannya adalah mendirikan sebuah
lembaga Islam Internasional untuk mengayomi generasi Islam yang berpotensi khususnya dalam
bidang akademis. Mimpi ini berangkat dari keprihatinan Qaradhawi melihat banyak generasi muda
Islam berpotensi yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena
tersandung faktor dana. Untuk mewujudkan mimipi ini, sebagian besar penghargaan yang ia
peroleh dalam berbagai bidang seperti penghargaan yang beliau peroleh dari Amîr Qatar atas jasa-
jasanya dalam fiqih Islam, telah dialokasikan bagi proyek besar ini. Jika gereja-gereja kristiani saja
—pikir Qardhawi— mempunyai banyak lembaga dan yayasan untuk mengayomi generasi mudanya
untuk menempuh tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seharusnya umat Islam lebih wajib dan
berhak untuk berbuat lebih baik demi kejayaan Islam di masa kini dan akan datang.[5]
Konsep Fiqih Yusuf QaradhawiKonsep Fiqih Yusuf QaradhawiKonsep Fiqih Yusuf QaradhawiKonsep Fiqih Yusuf Qaradhawi
Menurut Qaradhawi, fiqih yang kita butuhkan saat ini tidak sebatas mengetahui hukum-hukum
syariat juz’iy yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshîliy (rinci). Akan tetapi, yang sangat kita
butuhkan adalah pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang sunnah (ketentuan-
ketentua n) yang telah Allah gariskan pada setiap jiwa, alam dan seluruh ciptaan-Nya. Fiqih
(pemahaman) dalam konteks inilah yang tidak dimiliki orang-orang musyrik sebagaimana
disebutkan dalam surat al-Anfal: 65 “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti.”
Dalam ayat ini, al-Qur’an menafikan fiqih (pemahaman) kaum Musyrik terhadap sunnatullah
tentang falsafah menang dan kalah, ketika logika mereka mengatakan bahwa kemenangan selalu
50
identik dengan jumlah dan kelengkapan senjata, sementara menurut al-Quran, faktor mendasar
untuk meraih kemenangan adalah keimanan.
Fiqih ini juga yang tidak dimiliki orang-orang munafik, seperti dapat difahami dari ayat 87 surat al-
Taubah: “Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah
dikunci mati maka mereka tidak memahami.”
Fiqih yang tidak dimiliki orang-orang munafik disini adalah fiqih tentang keniscayaan jihad dan
mengerahkan segala daya upaya dalam menjaga agama, diri, kehormatan serta kekokohan
bangunan jamaah. Kesimpulannya, fiqih dalam terminologi al-Quran bukanlah fiqih dalam
pengertian sempit seperti yang banyak dipahami sebagian orang, melainkan yang dimaksud adalah
fiqih (memahami) ayat-ayat dan sunnatullah dalam kehidupan baik dalam skala individu maupun
masyarakat.
Berangkat dari pemahaman fiqih seperti ini, Qaradhawi telah melahirkan fiqih-fiqih baru yang
semakin memperkaya khazanah fiqih Islam kontemporer. Di antara fiqih-fiqih tersebut adalah:
1. Fiqh al-Maqâshid (memahami tujuan-tujuan syari’at)
2. Fiqh al-Awlawiyyât (memahami prioritas amal)
3. Fiqh al-Sunan (memahami sunnatullah di alam)
4. Fiqh al-Muwâzanah (memahami proporsional amal)
5. Fiqh al-Ikhtilâf (memahami perbedaan pendapat)
6. Fiqh al-Wâqi’ (memahami realitas)
7. Fiqh al-Daulah (fiqih ketatanegaraan)
8. Fiqh Al-Aqalliyyât (fiqih minoritas muslim)
Memang, substansi dan esensi dari fiqih-fiqih di atas sudah ada sejak masa para ulama
salafusshâleh, tapi masih dalam bentuk yang terpisah-pisah dan tercerai-berai. Qaradhawi telah
berjasa menghidupkan kembali fiqih-fiqih itu dan menghimpunnya dari berbagai referensi
kemudian menyajikannya dalam bentuk yang lebih tersusun dan tertata rapi serta mudah dipahami.
Jadi, lapangan dan jangkauan fiqih itu sangat luas. Karena fiqih pada hakikatnya adalah
pemahaman seorang faqîh tentang suatu objek permasalahan. Maka sangat mungkin akan lahir
51
fiqih-fiqih baru di masa-masa akan datang, dengan syarat tidak keluar atau melenceng dari garis-
garis syariat yang sudah baku . Adalah hak setiap faqîh untuk memahami suatu permasalahan
berbeda dari pemahaman faqîh yang lain atau bahkan dengan para fuqaha’ terdahulu selama hal
itu dalam masalah-masalah furu'.
Qaradhawi bahkan mengajak para ahli dan spesialis setiap bidang keilmuan untuk melakukan
ijtihad di lapangannya masing-masing, sehingga akan lahirlah fiqih politik, fiqih sosial, fiqih
kedokteran dan sebagainya. Tentu saja dengan satu catatan penting bahwa hal itu tidak mendobrak
pilar-pilar utama syariat yang telah digariskan Al-Quran dan Sunnah secara baku .
Kita Butuh IjtihadKita Butuh IjtihadKita Butuh IjtihadKita Butuh Ijtihad
Karena kebutuhan kita pada fiqih-fiqih baru untuk menjawab tantangan perkembangan zaman
sangat mendesak, maka dengan sendirinya kita memerlukan ijtihad sebagai perangkat utama
untuk memproduk pemahaman-pemahaman baru dalam berbagai bidang kehidupan.
Ijtihad, dalam pandangan Qaradhawi adalah: “Reinterpretasi dan pengkajian ulang warisan fiqih
yang begitu kaya dengan berbagai mazhab dan pendapat-pendapat para tokohnya untuk memilih
pendapat yang paling kuat dan cocok dengan kondisi saat ini dalam rangka mewujudkan (tahqîq)
tujuan-tujuan syariat (maqâshid syariah) dan kemaslahatan umat. Ijtihad dilakukan dengan
memperhatikan kondisi kehidupan yang terus berkembang dan berubah-ubah serta kembali
merujuk pada sumber-sumber referensi utama berupa nash-nash yang sudah baku , lalu memahami
warisan fiqih yang kaya tersebut dalam kerangka tujuan-tujuan syariat secara umum (Maqâshid
‘Âmmah li al-Syarî’ah). Setelah memperhatikan semua itu, baru kemudian dilakukan ijtihad pada
masalah dan wacana-wacana baru yang tidak dikenal oleh para fuqaha’ terdahulu atau pada
masalah yang belum mereka tetapkan hukumnya secara pasti. Tujuan akhir dari proses ijtihad itu
adalah menghasilkan hukum yang relevan dengan setiap permasalahan yang muncul tanpa
mengabaikan dalil-dalil agama yang sudah baku .
Dalam upaya mengatasi problematika umat yang sangat kompleks ini kita —dalam pandangan
Qaradhawi- sangat membutuhkan sebuah ijtihad kolektif, di mana para ahli dalam berbagai disiplin
ilmu duduk satu meja membicarakan setiap permasalahan dan
wacana yang berkembang untuk mencari solusi yang lebih
komperehensif dan tepat sasaran. Tapi, Qaradhawi mengingatkan
agar tidak terjebak pada al-Tasâhul (bermudah-mudah dalam
berfatwa) ketika setiap orang —meski dengan tingkat keilmuan yang
tidak memadai— berani bicara masalah hukum terutama yang
berkaitan dengan hukum-hukum syari’at.
52
Qaradhawi juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap fatwa-fatwa yang keluar dari
mereka yang tidak kompatibel. Ijtihad sesungguhnya adalah pekerjaan besar tapi juga berat yang
hanya disanggupi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Tidak semua ulama yang punya
keahlian berijtihad sebagaimana juga tidak semua ijtihad yang sudah pasti benar. Namun bagi
mereka yang punya kemampuan untuk berijtihad dan memenuhi syarat-syaratnya dilarang untuk
bersikap taqlîd dan mengabaikan potensi yang dimilikinya.
Lapangan IjtihadLapangan IjtihadLapangan IjtihadLapangan Ijtihad
Ketika kita mengatakan bahwa lapangan dan jangkauan ijtihad itu sangat luas, tidak berarti bahwa
ia bisa merambah wilayah apa saja sekalipun ‘kawasan-kawasan terlarang’ (Manthiqah
Muharramah). Kebebasan berijtihad tetap mesti dikontrol dan diarahkan pada kawasan-kawasan
yang diizinkan syariat.
Ada dua wilayah yang menjadi ladang garapan ijtihad:
Pertama, wilayah yang tidak memiliki nash hukum yang sengaja dibiarkan kosong oleh Allah
SWT dan Rasul-Nya selaku pemegang otoritas mutlak pembuat syari’at. ‘Pengosongan’ ini semata-
mata karena rahmat-Nya pada manusia bukan karena lupa, agar hukum-hukum Islam tetap relevan
dengan perkembangan zaman. Ruang-ruang kosong yang dibiarkan al-syâri' itu hendaknya diisi oleh
para mujtahid dengan produk-produk hukum yang sejalan dengan tujuan-tujuan utama syariat
(Maqâshid ‘Âmmah) melalui perangkat-perangkat ijtihad yang ada seperti qiyâs, mashlahah
mursalah, istihsân dan sebagainya. Di sinilah peran utama bisa dimainkan oleh para mujtahid untuk
menjawab tantangan perkembangan zaman, karena alangkah banyaknya masalah-masalah baru
yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang belum ada keterangan hukumnya dalam kitab-
kitab fiqih klasik dan sangat mendesak untuk segera dijawab.
Kedua, wilayah nash-nash zhanniyah, baik zhanniyah al-Tsubût (belum dapat dipastikan
keotentikannya) maupun zhanniyyah al-Dilâlah (memiliki penafsiran yang beragam). Sebagian besar
nash-nash hadits —menurut Qardhawi— masuk dalam kategori pertama, sementara sebagian besar
nash-nash al-Qur’an masuk dalam kategori kedua. Jadi, adanya nash tidak berarti menjadi
penghalang bagi proses ijtihad karena tidak semua nash yang qath’iy al-Tsubût (sudah pasti
keotentikannya) sebagaimana juga tidak semua nash Qath’iy al-Tsubût yang Qathiy al-Dilâlah (punya
satu penafsiran saja). Bahkan menurut Qaradhawi, hampir sembilan puluh persen dari nash-nash
yang ada sangat terbuka untuk lapangan ijtihad dan beda cara pandang atau penafsiran. Dalam
konteks inilah kita mengatakan bahwa lapangan ijtihad itu sesungguhnya sangat luas.
Dengan kesadaran bahwa lapangan dan daerah ijtihad yang dibolehkan syariat sangat luas,
maka menjadi sangat mengherankan bila masih ada pihak-pihak yang sengaja mengusik wilayah-
53
wilayah terlarang yang sudah menjadi sesuatu yang baku (aksiomatik) dalam pandangan syari’at.
Padahal, mengusik wilayah terlarang itu tidak akan menghasilkan apa-apa bagi kemajuan dan
kemaslahatan umat, bahkan hanya akan menimbulkan keresahan dan keragu-raguan. Alangkah
indahnya bila seluruh potensi umat yang ada dikerahkan untuk menggarap wilayah-wilayah kosong
yang belum sempat dijamah oleh para ulama salafusshâleh untuk mencapai kemajuan dan
kemaslahatan bersama daripada mengusik-usik daerah terlarang yang sesungguhnya adalah
bagaikan rel-rel dan bingkai yang akan mengontrol, menyatukan dan membimbing langkah
bersama umat yang besar ini di bawah panji al-Quran dan Sunnah.
Berangkat dari hal ini juga, ada dua jenis ijtihad yang ditawarkan Qaradhawi yaitu Tarjîhî dan
Ibdâ'i. Yang dimaksud dengan ijtihad tarjîhi adalah memilih (menyeleksi) pendapat-pendapat yang
paling kuat dan paling cocok dengan kondisi umat saat ini dari sekian banyak pendapat yang
tersebar dalam warisan fiqih para ulama terdahulu. Seandainya dalam satu permasalahan, Ibnu
Qayyim —sebagai contoh— menyebutkan sembilan pendapat maka ijtihad yang kita perlukan adalah
memilih pendapat yang paling kuat dan paling sesuai dengan kondisi kita saat ini dari pendapat-
pendapat tersebut. Sementara yang dimaksud dengan ijtihad ibdâ'i adalah ijthad yang menyangkut
permasalahan- permasalahan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang belum ada
keterangan hukumnya secara pasti dalam syariat.
Dalam melakukan ijtihad ada hal-hal yang mesti selalu diperhatikan oleh seorang mujtahid
seperti Fiqh Awlawiyyât (prioritas), Fiqh Muwâzanah (proporsional) , Fiqh Wâqi' (realitas) dan
sebagainya. Kemudian, mengingat ijtihad dan fatwa adalah produk akal manusia, maka sudah pasti
akan terjadi perbedaan pendapat antara para mujtahid. Perbedaan pendapat ini mesti disikapi
secara arif dan lapang dada, maka dibutuhkanlah apa yang disebut dengan fiqh ikhtilâf, sehingga
perbedaan pendapat benar-benar menjadi seperti yang diharapkan dalam sebuah atsar: "Perbedaan
pendapat di kalangan umatku adalah rahmat."
Konsep Qaradhawi dalam FatwaKonsep Qaradhawi dalam FatwaKonsep Qaradhawi dalam FatwaKonsep Qaradhawi dalam Fatwa
Dalam memberikan fatwa, Qaradhawi selalu konsisten pada konsep yang telah ia gariskan, di
antaranya:
Pertama, bebas dan lepas dari belenggu fanatisme dan taqlîd buta pada mazhab dan tokoh-tokoh
tertentu. Dalam mengeluarkan sebuah fatwa, Qaradhawi tidak mau terikat pada satu mazhab
tertentu, tapi ia akan ‘keliling’ pada setiap mazhab untuk menemukan pendapat yang paling kuat
dan paling sesuai untuk kondisi saat ini.
Dalam satu permasalahan misalnya, ia akan mengambil pendapat mazhab Syafi’i, tetapi dalam
permasalahan yang lain ia akan mengambil pendapat dari mazhab yang berbeda. Bahkan tak
54
jarang dalam permasalahan yang sama Qaradhawi mengeluarkan
fatwa yang berbeda -malah saling kontradiktif- setelah menimbang
kondisi, daerah dan mulâbasât (hal-hal yang melingkupi objek fatwa
yang bersangkutan) seperti yang tampak dalam fatwa beliau tentang
bunga bank. Ia dikenal sangat getol mempertahankan fatwanya yang
menyatakan keharaman bunga bank. Tapi bagi kaum Muslimin
minoritas yang hidup di negara-negara kuffâr (baca: Barat) Qaradhawi menghalalkan interaksi
dengan bank-bank di negara yang bersangkutan yang masih menggunakan sistem ribawi setelah
melalui berbagai pertimbangan kemaslahatan muslim setempat.
Kedua, ia lebih mendahulukan ruh taysîr (memudahkan) daripada tasydîd (keras) apalagi ta'sîr
(menyulitkan) . Konsep ini berdasarkan dua alasan: Pertama, syari’at Islam memang dibangun di
atas pondasi kemudahan dan menjauhkan kesulitan dari para hamba sebagaimana yang
tergambar dalam firman Allah dalam surat Al-Maidah: 6, al-Baqarah: 185, al-Hajj: 78 dan
seterusnya. Juga dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda: "Mudahkanlah dan jangan persulit
serta berilah kabar gembira dan bukan kabar pertakut." Dalam hadits lain "Sesungguhnya kalian
diutus untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesulitan." Imam Ats-Tsaury juga pernah
berkata: “Sesungguhnya hakikat ilmu itu adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan seorang
‘alim, adapun sikap tasyaddud (terlalu keras atau ekstrim) maka semua orang pun bisa.”
Ketiga, tabiat zaman saat ini di mana sisi-sisi materialis sudah mengalahkan spritualis, egois
mengalahkan kebersamaan, kepentingan pribadi mengalahkan akhlak dan seterusnya. Di samping
itu, gerakan-gerakan kejahatan dan penghalang kebaikan tersebar di mana-mana sehingga orang
yang konsisten pada agamanya, ibarat seseorang yang menggenggam bara api. Di tambah lagi
dengan serangan-serangan yang dilancarkan antek-antek kekafiran yang berusaha mencabut Islam
hingga ke akar-akarnya.
Berdasarkan semua itu, Qaradhawi melihat sepantasnyalah para ahli fatwa menempuh metode
taysîr dan memberatkan sisi rukhshah (dispensasi) daripada 'azîmah (hukum awal yang ideal) untuk
mengokohkan umat pada ajaran agamanya. Ringkasnya, seandainya terdapat dua pendapat yang
sama-sama kuat dan seimbang dalam satu permasalahan, salah satunya lebih mudah sementara
yang lainnya lebih hati-hati (ahwath) maka Qaradhawi lebih memilih yang termudah sesuai dengan
sunnah Rasulullah SAW. yang bila dihadapkan pada dua pilihan maka ia akan memilih yang paling
mudah selama itu bukan dosa. Sementara yang ahwath ia ambil untuk dirinya sendiri atau untuk
mereka yang memiliki semangat yang kuat selama tidak membawa pada sikap ghuluw (berlebih-
lebihan) dalam agama.
Keempat, konsep lain yang selalu dipegang Qaradhawi dalam setiap fatwanya adalah
berinteraksi dengan umat menggunakan bahasa yang mudah mereka pahami dan menjauhi istilah-
istilah sulit serta kalimat-kalimat yang asing dan sulit dicerna. Berkenaan dengan hal ini —menurut
Qardhawi— ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh para ahli fatwa:
55
1. Berinteraksi dengan pikiran umat menggunakan logika bukan dengan membangkitkan
emosional mereka melalui propaganda-propagan da yang berlebihan. Karena mukjizat Islam
terbesar itu adalah mukjizat logika yang termanifestasi dalam ayat-ayat Al-Quran. Tidak ada agama
yang sangat menghargai logika dan ilmu seperti halnya agama Islam.
2. Menjauhi pemakaian ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang sulit dimengerti oleh umat dan
tidak akrab di telinga mereka. Karena, tingkat pemahaman dan kecerdasan mereka berbeda-beda.
Akan lebih baik lagi bila seorang faqîh mampu memilih kalimat-kalimat yang tidak terlalu tinggi
sehingga sulit dipahami masyarakat awam dan tidak pula terlalu rendah sehingga akan
diremehkan oleh kalangan intelektual dan golongan terpelajar.
3. Menerangkan sebuah hukum disertai dengan hikmah dan ‘illat (sebab) dibaliknya. Ini juga
merupakan metode Al-Quran dan Sunnah dalam menetapkan sebuah hukum ( Surat al-Baqarah:
183 dan 222, al-‘Ankabut:45, al-Taubah:103 al-Hajj:28 dan lain-lain).
Di samping itu, menjamurnya pihak-pihak yang menebarkan keraguan pada Islam memaksa kita
untuk menjelaskan hukum pada umat disertai hikmah dan tujuan kenapa hukum itu muncul,
terutama dalam lapangan di luar ibadah ritual guna lebih meyakinkan umat pada hukum-hukum
agama mereka.
Kelima, Qaradhawi tidak mau menyibukkan diri dan umatnya kecuali dengan hal-hal yang berguna
dan dibutuhkan dalam realitas keseharian mereka. Oleh karena itu Qaradhawi enggan melayani
pertanyanan- pertanyaan yang dimaksudkan untuk berjidâl (debat) atau untuk ‘mencari muka’,
seperti pertanyaan-pertanya an tentang hal-hal ghaib yang tidak ada nash yang menerangkannya
dan tidak pula bermanfaat bagi kehidupan umat seperti pertanyaan: dengan bahasa apa mayat
akan ditanya oleh malaikat dalam kubur.
Keenam, memberikan penjelasan dan keterangan yang cukup bagi setiap fatwa yang
dikeluarkannya dan tidak cukup dengan jawaban “ini boleh dan ini tidak boleh” atau “ini halal dan
ini haram”. Karena seorang mufti pada hakikatnya tidak hanya seperti seorang pengajar tetapi ia
juga seorang pendidik, pembimbing dan dokter masyarakat.
Faqîh AlFaqîh AlFaqîh AlFaqîh Al----MaqashidMaqashidMaqashidMaqashid
Keistemewaan utama dalam ijtihad dan fatwa-fatwa Qaradhawi adalah pandangan dan
penguasaannya yang dalam terhadap maqâshid syarîat al-'ammah (tujuan-tujuan umum syariat).
Semua fiqih baru yang diusungnya lahir dari pandangannya yang tajam melihat maqâshid syarîat.
Ketika fatwa-fatwa Qaradhawi mempunyai ciri taysîr dan raf'ul Harj, hal itu dikarenakan taysîr dan
56
raf'ul Harj merupakan tujuan utama dari syariat Islam. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa seluruh produk fatwa dan ijtihad Qaradhawi adalah hasil dari pemahaman beliau terhadap
maqâshid syarîat.[6]
Maqâshid ‘ÂmmahMaqâshid ‘ÂmmahMaqâshid ‘ÂmmahMaqâshid ‘Âmmah Dalam Pandangan QaradhawiDalam Pandangan QaradhawiDalam Pandangan QaradhawiDalam Pandangan Qaradhawi
Menurut Qaradhawi, Maqâshid ‘Âmmah dalam syari’at Islam adalah seluruh hikmah dan tujuan-
tujuan umum yang untuk semua itu Allah telah membuat hukum-hukum, memfardhukan berbagai
kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram dan membuat batasan-batasan
hukum. Di antara maqâshid ‘ammah ini adalah: mewujudkan keadilan (al-Hadid: 25), menyediakan
kecukupan (al-Hasyr: 7), nilai-nilai moral dan sosial dalam Islam, persaudaraan, kemuliaan,
kebebasan dan sebagainya.
Puncak dari semua maqashid ammah itu adalah memelihara dan menjaga lima yang pokok (al-
Dharûriyat al-Khams), yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Urutan ini merupakan urutan
yang paling masyhur dalam kajian ushul fiqh sekalipun ada sebagian fuqaha’ seperti Imam al-Âmidi
yang mendahulukan keturunan dari akal.
Di samping lima hal pokok di atas, Qaradhawi juga sependapat dengan Al-Qarrâfi untuk menambah
satu materi lagi yaitu memelihara kehormatan, atau dalam ungkapan lain: menjaga nama baik.[7]
Untuk mengetahui maqâshid syarîat, menurut Qardhawi, mestilah dengan jalan meneliti hukum-
hukum syariat yang sangat beragam dan mengkaji nash-nash serta ‘illat-‘illatnya secara teliti.
Karena di antara maqâshid itu ada yang dapat diketahui dari nash-nash al-Quran dan Sunnah dan
ada yang mesti melalui penelitian dan pengkajian hukum-hukum furu’ syariat secara lebih
mendalam.
Karena urgennya pemahaman terhadap maqâshid ‘ammah ini maka Qaradhawi sependapat dengan
Imam Syâthibi yang mengatakan bahwa mengetahui maqâshid ‘ammah adalah sebuah syarat
utama yang mesti dimiliki seorang mufti. Dalam men-tarjîh maqâshid syariat ini, Qaradhawi
menempuh metode para fuqaha’ terdahulu yang menyusun maqâshid dan mashlahah ke dalam tiga
tingkatan: Dharûriyât (primer), Hâjiyyât (sekunder) dan Tahsîniyât (tertier). Berangkat dari
pemahaman dan konsistensinya pada maqâshid syarîat, Qaradhawi sering melancarkan kritik pada
aliran yang ia sebut dengan al-Zhâhiriyah al-Judad, yaitu orang-orang yang hanya melihat pada
tekstual nash semata dengan mengabaikan subtansinya. Sebagaimana ia juga sering mengkritik
orang-orang yang ia sebut dengan al-Mu'aththilah al-Judad yang terlalu berlebihan dalam klaim
maqâshid sehingga melabrak nash-nash hukum yang sudah baku .
Pandangan Qaradhawi Tentang Wacana Pandangan Qaradhawi Tentang Wacana Pandangan Qaradhawi Tentang Wacana Pandangan Qaradhawi Tentang Wacana Tajdid al-Din
57
Menurut Qardhawi, sesungguhnya ijtihad adalah merupakan upaya
untuk melakukan sebuah proses tajdîd sebagaimana yang dijanjikan
Rasulullah SAW dalam sebuah sabdabya: "Sesunguhnya Allah akan
mengutus pada umat ini setiap penghujung seratus tahun orang yang
akan mentajdîd agamanya."
Tapi tajdîd yang dimaksudkan adalah pembaharuan pemahaman bukan menciptakan agama versi
baru. Maka, hakikat pembaharuan adalah memperbaharui agama dengan agama, mampu
menyodorkan Islam dengan bahasa kekinian dengan tetap memperhatikan maqâshid syarîat,
kondisi zaman dan umat secara keseluruhan.
Lapangan tajdîd boleh jadi berbeda dari abad ke abad, sebagaimana halnya tajdîd yang dilakukan
oleh Umar bin Abdul Aziz -pada abad pertama- adalah dalam bidang amal dan hukum. Sementara
tajdîd yang dilakukan Imam Syafi’i pada abad kedua lebih dititikberatkan pada bidang pemikiran
dan keilmuan. Jadi porsi bidang garapan tajdîd bisa saja berbeda dari masa ke masa selama berada
dalam lingkaran dan rel syariat.
Kunci dari proses tajdîd itu adalah kesadaran dan pemahaman. Sehingga yang dimaksudkan
dengan tajdîd itu sesungguhnya adalah mengartikulasikan kembali nilai-nilai mulia di masa
Rasulullah dan salafusshâleh untuk diterapkan di masa kini seraya tetap memperhatikan
perkembangan zaman. Tajdîd juga tidak mesti termanifestasi dalam seorang tokoh tapi ia bisa
berbentuk sebuah gerakan Islam, instisusi pendidikan dan sebagainya.
Menerapkan Metodologi Ijtihad Qaradhawi Dalam Tarjih MuhammadiyahMenerapkan Metodologi Ijtihad Qaradhawi Dalam Tarjih MuhammadiyahMenerapkan Metodologi Ijtihad Qaradhawi Dalam Tarjih MuhammadiyahMenerapkan Metodologi Ijtihad Qaradhawi Dalam Tarjih Muhammadiyah
Menurut hemat penulis, metodologi yang dipakai oleh Yusuf Qaradhawi dalam ijtihad dan fatwa-
fatwanya sangat cocok untuk diterapkan dalam majlis tarjih Muhammadiyah sebagai salah satu
ormas Islam terbesar di Indonesia .
Hal ini didasari beberapa alasan:
1. Adanya kesamaan karakter antara metodologi yang digunakan Qaradhawi dengan yang
digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Kesamaan karakter itu tampak pada konsep at-taysîr
dan raf’ul harj yang selalu dipegang teguh oleh Qaradhawi dalam setiap fatwa-fatwanya.
Muhammadiyah sebagai ormas yang mempunyai massa yang sangat majemuk juga menganut
konsep ini dalam setiap fatwa-fatwa yang dikeluarkannya.
58
2. Sikap Yusuf Qaradhawi yang sangat tasâmuh (toleran) dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkannya
juga tak jauh beda dengan sikap toleran yang dimiliki Majlis Tarjih. Dr. Yusuf Qaradhawi tidak
menganggap fatwanya adalah harga mati untuk sebuah hukum. Tetapi ia sangat terbuka pada
setiap koreksi dan masukan-masukan dari ulama-ulama lain. Begitu pula dengan Majlis Tarjih, sejak
dibentuk pada tahun 1947 di Pekalongan selalu mengajak para ulama untuk memberikan bahan-
bahan masukan dan pertimbangan serta koreksi terhadap fatwa-fatwa yang dikeluarkannya.[8]
3. Pandangan Yusuf Qaradhawi yang sangat terbuka terhadap wacana-wacana baru yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat serta kampanye-kampanye perubahannya juga selaras
dengan semangat Muhammadiyah yang memang mengusung semangat perubahan dan
pembaruan.
4. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk menghendaki pandangan yang lebih
integral dan komprehensif dalam mengeluarkan (istinbâth) sebuah hukum atau fatwa. Ini juga
menjadi ciri utama dari fatwa-fatwa Yusuf Qardhawi.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka sangat tepat bila majlis tarjih Muhammadiyah juga
menggunakan metodologi dan konsep-konsep yang dipegang Qaradhawi dalam fatwa-fatwanya
sebagai bahan pertimbangan utama dalam setiap keputusan-keputusan hukumnya. Beberapa
metodologi yang dapat dikemukakan disini adalah sebagai berikut:
1. Lebih memberi perhatian pada ‘illat (sebab) dan maqâshid yang terkandung dalam sebuah
hukum meskipun sekilas terlihat kontradiktif dengan zhâhir nash. Metodologi ini juga yang
digunakan oleh para shahabat dan ulama salafusshâleh. Misalnya, ketika Umar bin Khattab
menghapuskan para muallaf dari daftar penerima zakat karena ‘illat keberhakan mereka untuk
menerima zakat (yaitu untuk membujuk mereka menerima Islam) sudah hilang, karena Islam
sudah kuat dan tidak lagi diperlukan men-ta’lîf (membujuk) hati orang-orang kafir agar masuk
Islam. Namun, bukan berarti bagian mereka dari zakat hilang untuk selama-lamanya. Hukum
tersebut akan kembali diterapkan bila ‘illatnya kembali ada (al-Hukm Yadûru Ma’al ‘illah Wujûdan
Wa ‘Adaman (Hukum beredar bersama ‘illat-nya; ada ‘illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada
hukum)).
2. Lebih mengutamakan al-aysar (yang lebih mudah) daripada al-ahwath (lebih hati-hati) mengingat
kondisi zaman yang sudah jauh berubah dan menghendaki banyak kemudahan bagi setiap muslim
untuk mengokohkan umat pada ajaran agamanya. Oleh karena itu dalam banyak fatwanya
Qaradhawi memang dikenal lebih menitikberatkan sisi taysîr ini daripada al-ihtiyâth, misalnya
ketika beliau memfatwakan boleh melempar jumrah sebelum matahari tergelincir, boleh tidak
mabît di Mina dengan alasan-alasan tertentu (transportasi dan sebagainya) dan lain-lain.
59
3. Tidak terikat dengan satu mazhab tertentu atau bahkan mengistinbath hukum di luar dari empat
mazhab yang ada selama tetap berada dalam koridor dhawâbith (ketentuan-ketentua n) ijtihad dan
tidak terjebak pada sikap al-talfîq (mengambil setiap yang mudah dan ringan dari setiap mazhab).
Karena ijtihad yang paling utama itu adalah yang berangkat dari pemahaman yang dalam tentang
maqâshid syarîat dan bukan dari dasar-asar ushul fiqih yang ada.
Artinya, kaidah-kaidah ushul fiqih yang telah disusun oleh para ulama pada hakikatnya hanyalah
alat dan sarana untuk sampai pada sebuah kongklusi hukum. Ketika seseorang -apalagi sebuah
lembaga- mampu untuk mengistinbath hukum langsung dari sumber utamanya (maqâshid syarîat)
tanpa mesti bergantung pada kaidah-kaidah ushul fiqih tentu akan lebih baik.
Secara umum, metodologi dan konsep yang digunakan Qaradhawi dalam ijtihad dan fatwa-
fatwanya adalah memberikan kemudahan, menimbang fiqh awlawiyat (prioritas), fiqh muwâzanah
(proporsional) , fiqh al-wâqi’ (realitas), tidak terikat pada satu mazhab saja tapi berusaha
mendalami semua mazhab untuk mencari hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat terutama seperti masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan lain-lain.
PenutupPenutupPenutupPenutup
Apa yang penulis kemukakan dalam tulisan sederhana ini tentu masih jauh dari sempurna. Tapi
cukuplah bagi penulis bahwa penulis telah berusaha untuk menyumbangkan sesuatu sesuai dengan
kapasitas dan potensi yang dimiliki. Tentu semua layak untuk diterima, ditolak dan dikritisi. Semoga
setiap usaha kita dalam rangka membumikan ajaran-ajaran Islam khususnya di Indonesia
memperoleh ridha dan pertolongan dari Allah SWT, Amîn. Wallâhu a’lam bishshawâb
Daftar ReferensiDaftar ReferensiDaftar ReferensiDaftar Referensi
Dr. Hasan Ali Daba, Al-Qaradhawi wa Dzâkirat al-Ayyâm, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet I Th 1425 H /
2004 M
Dr. Yusuf Qardhawi, Ibnu al-Qaryah wa al-Kuttâb Malâmih Sîrah wa Masîrah, Dar al-Syuruq, Kairo, Cet
I Th 1423 H / 2003 M
(Kumpulan Makalah), Yusuf al-Qardhawi; Kalîmât fi Takrîmihi wa Buhûts fi Fikrihi wa Fiqhihi Muhdât
Ilaihi Bimunâsabah Bulûghihi al-Sab’în, Dar al-Salam, Kairo, Cet I Th 1424 H / 2004 M
Al-Mustasyar Abdullah ‘Aqil Sulaiman Al-‘Aqil, Min A’lâm al-Da’wah wa al-Harakah al-Islâmiyah al-
Mu’âshirah, Dar al-Tauzi’, Kairo, Cet II Th 1423H/ 2003M
60
Dr. ‘Adnan Muhammad Umamah, At-Tajdîd fi al-Fikri al-Islamiy, Dar Ibnul Jauzi, Arab Saudi, Cet I Th
1424 H / 2004 M
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta , Cet VIII Th 1996
Catatan KakCatatan KakCatatan KakCatatan Kakiiii
[1] Kumpulan Makalah, Kalimât fi Takrîmihi wa Buhûts fi Fikrihi wa Fiqhihi Muhdât Ilaihi
Bimunâsabah Bulûghihi Al-Sab'in, Darus Salam, Kairo, Cet. I 2004 Juz I hal 371
[2] Dr. Yusuf Qardhawi, Ibnu al-Qaryah wa al-Kuttâb Malâmih Sirah wa Masîrah, Dar al-Syuruq, Kairo,
Cet. I 2003 hal 10
[3] Kumpulan Makalah, op.cit., hal 396
[4] Ibid, hal 20 dan 22
[5] Dr. Hasan Ali Daba, Al-Qaradhawi wa Dzâkirat Al-Ayyâm, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet.I 2004
[6] Kumpulan Makalah, op.cit., hal. 111
[7] Ibid, hal 114
[8] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta , Cet. VIII 1996
61
Bahtera Nabi NuhBahtera Nabi NuhBahtera Nabi NuhBahtera Nabi Nuh
Oleh:
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc
Agar misi dakwah ilallah berjalan dengan lancar dan kontinu, Allah swt. membekali para nabi dan
rasul dengan salah satu sifat asasi, yaitu sabar. Sabar dalam terus mengajak kebaikan, sabar
dalam menghadapi hinaan, tegar dalam menghadapi penentangan, sebagaimana mereka juga
dibekali dengan sifat bijaksana dan santun. Dengan demikian, tidak ada lagi hujjah atau udzur bagi
orang kafir dengan menyalahkan Allah swt. di yaumil akhir kelak setelah datangnya para nabi dan
rasul di tengah-tengah mereka.
Membuktikan KesabaranMembuktikan KesabaranMembuktikan KesabaranMembuktikan Kesabaran
Adalah Nabi Nuh alaihissalam, salah satu dari rasul yang memiliki sebutan ulul azmi, yang memiliki
ketegaran. Ia mendakwahi kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Subhanallah, waktu
yang tidak sebentar. Ia sabar menghadapi celaan kaumnya, ia tegar menghadapi penentangan
mereka. Sisi lain, ia sangat menghendaki kebaikan dan keimanan kaumnya. Akan tetapi mereka
bukannya menerima seruan dakwah Nabi Nuh, justru kian hari mereka kian menolak dan
menentang.
Perihal penolakan kaumnya, Nabi Nuh alaihissalam mengadu kepada Allah swt. Ia merasa tidak
ada peluang kebaikan dan keimanan lagi dari kaumnya. Akhirnya Allah swt. memberitahu Nuh
bahwa kaumnya tidak akan ada yang mau beriman lagi.
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu,
kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang
selalu mereka kerjakan.” (Huud: 36)
Ketika mengetahui bahwa Allah swt. telah memutuskan kalimat-Nya bahwa tidak akan ada yang
beriman seorang pun dari mereka setelah ini, Allah telah menutup kalbu mereka dan menguncinya
dengan gembok yang kuat, Nabi Nuh alaihissalam berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan
seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan
mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan
melahirkan kecuali anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Nuh: 26-27)
Allah swt. mengabulkan pengaduan Nabi Nuh dan memerintahkannya untuk bersiap-siap
mengadakan penyelamatan bila tiba saatnya. “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
62
petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim
itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Huud: 37)
Melaksanakan Perintah Tanpa RaguMelaksanakan Perintah Tanpa RaguMelaksanakan Perintah Tanpa RaguMelaksanakan Perintah Tanpa Ragu
Nabi Nuh menjauh dari pusat kota untuk membuat bahtera. Ia mulai bekerja. Sampai di sini, ia pun
tidak luput dari celaan dan hinaan kaumnya.
Sebagian mereka mengatakan, “Wahai Nuh, kamu sebelum ini mengaku sebagai Nabi dan Rasul,
bagaimana sekarang kamu menjadi tukang kayu? Apakah kamu melepaskan kenabian? Ataukah
kamu lebih suka menjadi tukang kayu?”
Sebagian yang lain mengatakan, “Kamu membuat bahtera di tempat yang jauh dari sungai dan
laut? Apakah kamu mengharapkan banjir akan menjalankan bahteramu? Atau kamu paksa angin
akan membawanya terbang?”
Nabi Nuh tidak menggubris hinaan dan celaan mereka. Ia dengan santun melalui omong kosong
mereka, sambil berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu
sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan
ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (Huud: 38-39)
Nabi Nuh berkonsentrasi membuat bahtera. Ia menyusun kayu-kayu, menguatkan susunan-
susunannya, sampai akhirnya jadilah bahtera besar dan kokoh. Nabi Nuh menunggu keputusan
Allah swt. sampai akhirnya Allah swt mewahyukan kepadanya: “Jika sudah datang keputusan Kami,
telah tampak tanda-tanda ayat-ayat Kami, maka berlindunglah kamu di dalam bahtera, dan
bawalah orang yang beriman dari keluarga dan kaummu, dan bawalah setiap hewan dan tanaman
masing-masing sepasang.”
Tibalah putusan Allah swt., yaitu ketika pintu-pintu langit terbuka dengan mengguyurkan hujan yang
sangat deras, sedangkan bumi memancarkan sumber air yang sangat kencang, hingga
menyebabkan air bah meluap, meninggi dan terus meninggi. Nabi Nuh bergegas menuju
bahteranya dengan melaksanakan segala perintah Tuhannya, yaitu membawa manusia, hewan, dan
tanaman berpasangan.
Tawakkal kepada AllahTawakkal kepada AllahTawakkal kepada AllahTawakkal kepada Allah
Bahtera melaju dengan nama Allah swt., Dzat yang
menjalankan dan melepasnya. Kadang bahtera melaju
dengan tenang, kadang melaju dengan goncangan hebat.
63
Tsunami menggulung setiap yang diterjangnya. Ombak menggunung mengubur orang-orang kafir.
Busa air bah bak kain kafan yang menyelimuti mereka. Mereka berjuang menyelamatkan diri dari
maut, padahal maut mengejar dan mengalahkan mereka. Mereka melawan ombak, justru ombak
menggilas mereka.
Nabi Nuh dan kaumnya tenang di atas bahtera, sampai akhirnya ia melihat putranya, Kan’an –
penentang Allah, membenci dan menjauh dari ayahnya– berusaha menyelamatkan diri dari
gulungan ombak yang dahsyat. Ia terlihat berusaha memegang tali agar selamat, atau menuju bukit
agar terhindar dari tsunami. Akan tetapi maut mengincar dirinya.
Melihat kejadian itu, Nabi Nuh sebagai seorang ayah merasa kasihan. Cinta dan kasih-sayang
seorang ayah bergolak. Nabi Nuh memanggil putranya dengan harapan panggilan itu sampai pada
kalbu, sehingga ia mau beriman. Atau sampai pada perasaan yang paling dalam sehingga ia mau
mendengar seruan ayahnya. “Wahai putraku, mau ke mana kamu? Kamu lari dari takdir Allah dan
keputusan-Nya menuju takdir dan keputusan-Nya yang lain. Kemari beriman, wahai putraku, kamu
akan bersatu lagi dengan keluargamu, dan kamu akan selamat dari tsunami ini.”
”Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh
memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke
kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Huud: 42)
Seruan sang ayah rupanya tidak sampai pada lubuk hatinya, tidak sampai ke relung kalbunya. Ia
menyangka mampu menghindar dari keputusan Allah swt., ia mengira bisa selamat dari takdir-Nya.
Kan’an menjawab, ”Menjauhlah kamu dari saya, karena saya akan mencari perlindungan ke gunung
yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini!”
Nabi Nuh menyeru dengan penuh kegalauan dan kekhawatiran, ”Wahai putraku, tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang. Dan gelombang
menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan.” (Huud: 43)
Melihat putranya tenggelam di depan mata kepalanya, Nabi Nuh berujar dengan penuh kesedihan
dan duka cita: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji
Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” (Huud: 45)
Allah swt. menegur Nabi Nuh, “Wahai Nuh, ia bukan dari anggota keluargamu, ia juga bukan dari
keluarga besarmu. Ia telah menentang, ia telah nyata-nyata kufur, maka jangan kamu anggap ia
sebagai keluargamu, kecuali orang yang telah beriman kepadamu, mempercayai risalahmu,
64
mengikuti dakwahmu. Itulah keluargamu yang Aku janjikan akan selamat dan mendapatkan
kemenangan. ”Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(Rum: 47)
Adapun orang-orang yang menentang risalahmu, mendustakan kalimat Tuhanmu, ia keluar dari
anggota keluargamu, jauh dari syafa’atmu, meskipun kalian ada hubungan darah atau nasab.
Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan.” (Huud: 46)
Mengakui Kesalahan dan Segera BertaubatMengakui Kesalahan dan Segera BertaubatMengakui Kesalahan dan Segera BertaubatMengakui Kesalahan dan Segera Bertaubat
Seketika itu Nabi Nuh paham bahwa perasaannya telah menjerumuskan kepada kesalahan.
Dorongan cinta telah menutupinya dari kebenaran. Ia lebih pantas menengadahkan tangan
bersyukur kepada Allah swt. yang telah menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari
tsunami, dan atas ditimpakannya kehancuran dan ditenggelamkannya orang-orang kafir. Nabi Nuh
kembali kepada Allah swt., memohon ampun atas kesalahan dirinya seraya berlindung akan murka-
Nya. Ia berkata: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada
Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi
ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-
orang yang merugi.” (Huud: 47)
Ketika tsunami telah sampai puncaknya, dan orang-orang zalim telah tergilas olehnya, langit tidak
lagi menurunkan hujan, bumi tidak lagi memancarkan sumber air, dan bahtera pun selamat menepi
di Bukit Judi. Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia.
“Dan difirmankan: Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan air pun
disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan:
“Binasalah orang-orang yang zalim.” (Huud: 44).
Dikatakan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan
dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada
(pula) umat-umat yang kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian
mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (Huud: 48)
Sebagian NilaiSebagian NilaiSebagian NilaiSebagian Nilai----nilai dari Kisah di nilai dari Kisah di nilai dari Kisah di nilai dari Kisah di AtasAtasAtasAtas
65
Pertama, bekal asasi penyeru dakwah ilallah swt. adalah sabar; sabar dalam terus mengajak
kebaikan, dan sabar atas penolakan objek dakwah. ”Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”. Dan tidaklah sama kebaikan dan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-
sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”
(Fushshilat: 33-35)
Kedua, tidak lari dari medan dakwah, sehebat apapun penentangan yang dihadapi. Nabi Nuh
tidaklah memohon agar kaumnya dihancurkan, kecuali setelah Allah swt memberitahunya, bahwa
tidak ada yang akan beriman lagi di antara mereka.
Ketiga, melaksanakan perintah, tanpa komentar dan meninggalkan larangan tanpa kompromi.
Rasulullah saw bersabda, ”Tinggalkanlah apa yang aku larang, karena penyebab kaum sebelum
kalian hancur adalah karena mereka selalu mendebat dan menyalahi para nabi mereka. Jika aku
larang sesuatu bagimu, maka jauhilah. Dan jika aku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah sesuai
dengan kesanggupanmu.” (HR. Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 22, Hal. 255).
Keempat, bahwa tugas seorang muslim adalah berdakwah, adapun hidayah adalah hak prerogatif
Allah swt saja. Sekalipun itu anak kita sendiri, kalau Allah swt tidak menentukan mendapat
hidayah, maka ia tidak akan beriman. Sebagaimana kisah paman Nabi Muhammad saw., Abu
Thalib yang meninggal dalam keadaan kafir.
Kelima, segera minta ampun dan beristighfar ketika melakukan kesalahan, sekecil apapun
kesalahan itu dan mengiringinya dengan mengerjakan kebaikan. Rasulullah saw bersabda, ”Dan
iringilah kesalahan dengan perbuatan kebaikan, agar kebaikan itu menghapusnya.” (Hadits Shahih
berdasarkan syarat Bukhari-Muslim, Kitab Mustadrak Imam Hakim, Jilid I, Hal. 174).
66
Khadijah Mengajarkan Cinta Kepada KKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada KKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada KKhadijah Mengajarkan Cinta Kepada Kiiiitatatata
Oleh:
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc
dakwatuna.com dakwatuna.com dakwatuna.com dakwatuna.com ---- Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dengan sanadnya, dari Ibnu Syihab dari Urwah
bin Az Zubair dari Aisyah, ummul mukminin menceritakan hadits tentang pemulaan turunnya
wahyu, yaitu ketika Malaikat Jibril turun menemui Muhammad di Gua Hira’ dan memintanya
membaca ” iqra’ ” tiga kali.
Tiga kali juga Muhammad saw. Menjawab “Maa ana biqari’ “, menegaskan bahwa beliau tidak bisa
membaca. Kata “maa” merupakan penafian atau pengingkaran bahwa memang beliau tidak
sanggup membaca sama sekali. Kemudian Jibril mendekapnya dengan kuat. Peristiwa tiba-tiba itu
membuat Muhammad saw. takut dan khawatir terhadap dirinya.
Muhammad saw. segera pulang menemui Khadijah binti Khuwailid ra seraya berkata, “Selimuti aku,
selimuti aku.” Dengan sigap Khadijah menyelimutinya, perlahan rasa takut mulai menghilang.
Setelah merasa tenang, Muhammad saw. menceritakan kejadian yang dialaminya. “Sungguh saya
takut terhadap diriku.” pungkas Muhammad saw.
“���� ��� : ���� ���� ����� ���� ��� ���� �� �� ! " ��� #$
%&� '(�)� *+, -./0� 123�� 4�/0� 5��.6� '7�/0�”
Dengan sigap dan mantap Khadijah menjawab, “Tidak, sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak
akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang
memerlukan, meringankan orang yang tidak berpunya, memuliakan tamu dan menolong untuk
kebenaran.”
****************
Yang menarik untuk disebut dari periwayatan ini adalah, bahwa Aisyah istri Rasulullah saw. sangat
cemburu dengan Khadijah, namun demikian, Aisyah secara amanah meriwayatkan kisah ini apa
adanya, tidak dikurangi sedikit pun. Subhanallah!
****************
67
)�+�)� �:� ���� *+, ����(
“Maka Muhammad segera pulang menemui Khadijah di rumahnya”, mengisyaratkan bahwa
Muhammad saw. “betah” berkeluarga dengan Khadijah, bahkan beliau mengkhususkan curhat
kepadanya atas kejadian yang dialaminya. Padahal Khadijah ra tidak sendirian di rumahnya,
Khadijah bersama anak-anaknya -bukan anak Muhammad dari hasil pernikahan dengan Khadijah.
Seandainya Muhammad saw. tidak “betah” di rumah Khadijah, pasti beliau tidak akan pulang ke
rumah Khadijah di saat dirinya dihantui ketakutan seperti itu.
Muhammad saw. minta diselimuti, ketika rasa takut dalam dirinya lenyap dan rasa khawatir yang
menyelimuti jiwanya hilang, Muhammad saw. baru menceritakan apa yang terjadi.
****************
Rasa takut yang demikian hebat mampu menghalangi berpikir jernih dan menghambat berinisiatif
secara cepat dan tepat.
)<)� 5)= > :�?� 4�@A�� B0CD� E���� �2F���� G, 'FH �+�)
“Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun
bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) kami tentang kaum Luth.” Huud:74
)E���� B:, 'FH I� J)+" �(
Penggunaan huruf ” fa’ ” dalam potongan hadits di atas menunjukkan kesigapan seorang istri,
“Maka Khadijah langsung menyelimutinya, sehingga
hilanglah rasa takut darinya.”
Muhammad saw. terkenal sebagai seorang yang selalu
menjaga kehormatan dan kepribadian dirinya, sehingga
tidak mungkin beliau meminta diselimuti, kalau bukan
karena kondisi yang menimpa dirinya sedemikian hebat.
68
Namun, rasa takut dan khawatir yang dialami Muhammad saw. adalah hal yang wajar,
sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga demikian, “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak
menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.
Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang
diutus kepada kaum Luth.” Huud:70
“Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” Thaaha:67
“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka
berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan
(kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Adz Dzariat:28
Muhammad menceritakan kejadian yang dialaminya setelah beliau benar-benar merasakan
ketenangan. Muhammad memilih Khadijah sebagai tempat curhat beliau. Kenapa? Karena
Khadijah orang yang paling tahu tentang dirinya, orang yang paling dekat dengannya, Khadijah tahu,
bahwa apa yang diceritakan suaminya adalah benar.
Sekaligus Muhammad saw. juga paham bahwa istrinya mampu memberi jalan keluar dari peristiwa
yang hadapinya.
Khadijah seorang yang cerdas, mengetahu solusi jitu atas apa yang dialami suaminya, termasuk
perihal yang belum pernah terjadi sekalipun.
****************
Permulaan turunnya wahyu merupakan tahapan baru bagi kehidupan Muhammad saw. turunnya
wahyu dengan tiba-tiba menjadikan diri beliau berubah statusnya. Turunya permulaan wahyu ini
sebagai deklarasi tersambungnya kembali antara langit (risalah Ilahiyah) dengan bumi (tugas
penyampaian dan sikap optimisme hidup).
Tersambungnya kembali jalinan langit dan bumi, setelah sebelumnya terputus beberapa abad.
Inilah proses penguatan jiwa Muhammad saw. sebagai seorang manusia untuk menerima risalah
Ilahiyah.
****************
Karena itu, Muhammad saw. berkata, “Saya takut terhadap diriku sendiri” rasa takut terhadap apa
yang ia lihat dan didengar itu bagian dari tipu daya jin atau dukun, sebagaimana yang dipaparkan
dalam buku-buku sirah tentang ketakutan Muhammad saw. terhadap dirinya.
69
Khadijah menjawab dengan mantap, karena dilatarbelakangi pengenalan panjangnya terhadap
pribadi Muhammad saw. sejak menjadi pedagang.
Pengenalan panjang Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad, yaitu informasi di dapat dari
pembantunya yang bernama Maisaroh -seorang laki-laki- yang menemani Muhammad saw.
berdagang ke Syam, di mana Maisaroh melihat awan dengan mata kepala sendiri berjalan
menaungi Muhammad saw. di suasana terik matahari. Dalam riwayat lain dua malaikat menaungi
Muhammad saw. ke mana saja ia berjalan dari terik matahari.
Atau berteduhnya Muhammad saw. di bawah sebuah pohon. Seorang Rahib yang melihat kejadian
itu berkomentar, “Tidak ada orang yang berteduh di pohon ini kecuali ia adalah seorang nabi,
sebagaimana diterangkan dalam kitab asli kami.” Dan ketika diceritakan ciri-ciri Muhammad, maka
itu persis tertulis dalam kitab mereka.
Kisah ini ditulis di banyak buku sirah, seperti sirah Ibnu Ishaq, sirah Ibnu Hisyam, sirah As Suyuthi,
sirah As Suhaili dan lain-lain.
****************
Makanya, ketika Khadijah menjawab dengan mantap, “Tidak, sekali-kali tidak” adalah berdasarkan
data-data panjang yang ia ketahui sebelumnya. Jawaban yang juga tidak diduga Muhammad saw.
sendiri. Jawaban tegas, memancar dari aliran cintanya kepada suaminya. Kenapa tidak? Karena
Khadijah yakin bahwa beliau adalah utusan Allah swt. untuk umat ini.
Khadijah segera mencarikan informasi kepada tokoh agama, Waraqah bin Naufal, atau kepada
pendeta Buhaira tentang kejadian yang dialami Muhammad saw. Keduanya berkomentar, bahwa
Muhammad seorang nabi akhir zaman untuk umat ini.
****************
Proses nikahnya Khadijah dengan Muhammad pun unik, di mana Khadijah meminta salah seorang
wanita Quraisy untuk mempengaruhi Muhammad dengan menceritakan keistimewaan dan
kelebihan Khadijah. Di akhir lobi, wanita itu menawarkan kepada Muhammad, bahwa Khadijah
layak menjadi Istrinya, dan Muhammad cocok menjadi suaminya.
Dengan ditemani pamannya, Abu Thalib dan paman-paman yang lain, Muhammad saw. melamar
Khadijah. Sejarah sirah mencatat, bahwa Khadijah ketika itu sebagai seorang pebisnis ulung yang
sangat kaya raya.
****************
70
Kisah lain yang menguatkan bahwa Muhammad saw. seorang Rasul adalah sebagaimana
diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ibnu Ishaq, bahwa Khadijah bersanding dengan Muhamamd saw. di
dalam rumahnya. Khadijah berkata, “Apakah engkau melihat Malaikat Jibril? Muhammad
menjawab, “Ya”. Maka Khadijah masuk ke bilik kamarnya dan bersanding dengan Muhammad
seraya membuka tutup kepala dan cadar yang dipakainya. Khadijah kembali bertanya, “Apakah
engkau masih melihatnya? Tidak, jawab Muhamamd saw. Khadijah berkomentar, Ia bukanlah
setan, ia adalah malaikat wahai putra pamanku. Khadijah yakin dan bersaksi bahwa apa yang
dibawa Muhammad saw. adalah kebenaran.
Demikian, kita melihat sikap bijak ummul mukminin, Khadijah ra. Dirinya menjadi dewasa dan
matang bersamaan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya. Khadijah menjadi mudah
menyelesaikan persoalan bersamaan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
Khadijah tidak sekedar menggembirakan dan membela Muhammad saw. berdasarkan dugaan atau
kamuflase belaka. Akan tetapi Khadijah mempersembahkan pembelaan dan menyenangkan hati
suaminya karena berdasarkan data-data panjang yang ia hadapi selama ini.
Dengan sigap dan penuh cinta, Khadijah mendampingi suaminya menghadapi persoalan hidup.
Allahu a’lam.
71
Sejarah Indonesia Dekat dengan PalestinaSejarah Indonesia Dekat dengan PalestinaSejarah Indonesia Dekat dengan PalestinaSejarah Indonesia Dekat dengan Palestina
Oleh:
Ulis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, LcUlis Tofa, Lc
dakwatuna.com dakwatuna.com dakwatuna.com dakwatuna.com ---- Sejarah bangsa Indonesia wabil khusus sejarah umat muslimnya sangat dekat
dengan bangsa Palestina. Fakta sejarahnya ada sampai sekarang ini, adalah kota Kudus, Masjid Al
Aqsha, madzhab Imam Asy Syafi’i, pengakuan kemerdekaan dan penjajahan.
Apa hubungannya semua itu dengan Palestina?
Fakta pertama, Adalah Syaikh Ja’far Shadiq juru dakwah sekaligus panglima perang kerajaan
Demak, sebelum akhirnya beliau hijrah ke kota Tajug, kota sebelah utara Demak. Ja’far Shadiq
yang lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus itu menamakan masjid yang dibangunnya pada
tahun 956 H atau 1530 M. dengan Masjidil Aqsha. Dalam prasasti pendirian masjid tertuliskan:
“Telah dibangun Masjidil Aqsha fil Quds” Maksud beliau adalah penamaan ini meniru apa yang ada
di Palestina, yaitu masjidil Aqsha di Kota Quds. Sehingga beliau merubah nama kota Tajung
menjadi kota Kudus.
Apakah Sunan Kudus pernah mengadakan pengembaraan ilmiyah ke Timur Tengah, terutama
Palestina? –ada referensi yang menulis demikian-, atau beliau hanya membaca sejarah Palestina
lewat referensi buku? Keduanya ini masih menjadi penelitian penulis. Yang jelas penamaan hal di
atas bukan tanpa maksud, bukan tanpa disengaja. Justru karena pengetahuan beliau terhadap
sejarah Palestina, sehingga dengan bangga beliau menjadikannya nama di negerinya.
Masjidil Aqsha dengan menaranya yang demikian tegar sampai sekarang yang berlokasi di tengah
kota Kudus ini menjadi kebanggaan umat muslim, tidak hanya di Indonesia bahkan di manca
negara. Menjadi tempat yang dikunjungi. Rahimahullah Syaikh Ja’far Shadiq.
Fakta kedua, adalah Imam Asy Syafi’i, salah satu imam mazhab besar yang empat, madzhabnya
dijadikan sebagai acuan sebagian besar umat muslim di Indonesia. Siapa Imam Asy Syafi’i? Beliau
adalah Muhmmad bin Idris Asy Syafi’i, lahir di kota Ghazzah atau Gaza, Palestina pada tahun 150 H
atau 767 M. beliau masih ada nasab dengan Nabi Muhamamd saw., ia termasuk dari Bani
Muththalib, saudara dari Bani Hasyim, kakek Rasulullah saw.
Fakta ketiga, Bahwa yang pertama kali menyuarakan kemerdekaan Indonesia adalah bangsa
Palestina. Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir,
seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua
Panitia Pusat Perkumpulan kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan, Lc. Buku ini diberi kata
72
sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil
Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana
Menteri RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI
ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H.
Nasution.
M. Zein Hassan Lc. sebagai pelaku sejarah,
menyatakan dalam bukunya pada hal. 40,
menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan
nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk
memutuskan sikap. Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti
besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:
“.., pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar
Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia kedua)
kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia . Berita yang
disiarkan radio tersebut dua hari berturut- turut, kami sebarluaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang
terkenal telitinya juga menyiarkan. ”Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai
mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan
Indonesia” dan memberi dukungan penuh.”
Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat
di negeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan
kemerdekaan RI. Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan
Indonesia , Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan
menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah
semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia ..”
Setelah seruan itu, maka negara daulat yang berani mengakui kedaulatan RI pertama kali adalah
Negara Mesir tahun 1949. Pengakuan resmi Mesir itu (yang disusul oleh negara-negara Timur
Tengah lainnya) menjadi modal besar bagi RI untuk secara sah diakui sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan itu membuat RI berdiri sejajar dengan Belanda (juga
dengan negara-negara merdeka lainnya) dalam segala macam perundingan dan pembahasan
tentang Indonesia di lembaga internasional.
Fakta keempat. Adalah adanya kesamaan dijajah, bedanya kalau Indonesia sudah terlepas dari
penjajah, sedangkan Palestina sampai sekarang ini masih dijajah Zionis Israel.
73
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa akar masalah dari bangsa Palestina adalah penjajahan
Zionis Israel terhadap bumi Palestina, itulah yang diungkapkan oleh Menlu RI, Hasan Wirayuda
menanggapi agresi Israel ke Palestina akhir tahun 2008 yang lalu. Sehingga Indonesia sangat
peduli dengan kondisi Palestina, ini sebagai bukti pengejawantahan amanat konstitusi bangsa ini
“…bahwa kemerdekaan adalah hak suatu bangsa, oleh karena itu segela bentuk penjajahan harus
dihapuskan di atas muka bumi.”
Karenanya wajar jika rakyat Palestina bersama-sama pemerintahannya mengadakan perlawanan,
sebagaimana bangsa ini terdahulu, rakyat dan para pejuangnya melawan penjajah, mereka bangga
dengan pemimpinnya, bahkan kita pun memperingatinya setiap tahun sekali sebagai hari
pahlawan.
Demikian juga rakyat Palestina, mereka bangga dan mendukung penuh gerakan perlawanan
bangsanya menentang Zionis Israel.
Ini beberapa catatan fakta sejarah yang menguatkan hubungan Indonesia dan Palestina, sehingga
bangsa Indonesia akan terus peduli dengan Palestina, sampai Palestina merdeka, sampai masjidil
Aqsha yang sekarang masih di bawah cengkeraman Zionis Israel terbebaskan, sampai boklade atas
Gaza dicabut, sampai pintu-pintu perbatasan dibuka. Sampai Palestina menjadi negara berdaulat,
sejajar dengan bangsa lain. Allahu a’lam