Kompetensi Kepribadian
-
Upload
roni-tri-h -
Category
Documents
-
view
157 -
download
5
Transcript of Kompetensi Kepribadian
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
USAHA MEMPERBAIKI KUALITAS MENGAJAR YANG MENDIDIK
GURU MELALUI OPTIMALISASI PERAN KOMPETENSI
KEPRIBADIAN GURU
Kelompok :
SRI WAHYU (12501244034)M. AFIF AMALUL A. (12501244035)ABROR FITRIYANTO (12501247001)ADIT BUDIANTO (12501247002)ALPAN IRPANDI (12501247003)HADI HIKMARISANTO (12501247004)HANA STEVANI (12501247005)RONI TRI H. (12501247006)FATHIMAH AHMAD (12501247007)I.G.A. PT. KRISMAWATI (12501249001)I. KT. TELIK SETYAWAN (12501249002)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTROJURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga
negara. Pendidikan yang berkualitas ini dapat terwujud melalui komitmen
serta upaya meningkatkan pendidikan yang dilakukan secara terus-menerus
dan berkelanjutan.
Guru sebagai pengajar berperan dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai
seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar. Guru sebagai
pembimbing diharapkan dapat memberikan bantuan kepada siswa dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Peranan ini termasuk ke dalam aspek
pendidik sebab tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga
mendidik untuk mengalihkan nilai-nilai kehidupan. Hal tersebut menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan adalah sikap yang mengubah tingkah laku peserta
menjadi lebih baik. Guru sebagai administrator kelas berperan dalam
pengelolaan proses belajar mengajar di kelas. Guru merupakan komponen
penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Guru yang
berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai
pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai
dan mengevaluasi peserta didik.
Nilai-nilai kehidupan yang mengubah tingkah laku peserta didik agar
menjadi lebih baik berasal dari kepribadian yang dimiliki peserta didik.
Perkembangan kepribadian individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya faktor hereditas dan faktor lingkungan. Faktor hereditas yang
dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian individu antara lain: bentuk
tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat yang diturunkan dari orang tua. Sedangkan
faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian
individu antara lain adalah lingkungan rumah, sekolah dan kebudayaan
masyarakat.
Meskipun kepribadian seseorang relatif konsisten, namun dalam
kenyataannya sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan
mungkin terjadi. Perubahan kepribadian terjadi pada umumnya lebih
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik. Faktor-faktor
gangguan fisik dapat menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian, seperti:
gangguan otak, kurang gizi, mengkonsumsi obat-obat terlarang, minum keras,
dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan). Faktor lingkungan sosial
budaya, seperti: pendidikan, krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang
menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stres, depresi), dan masalah sosial
(pengangguran, premanisme, dan kriminalitas). Faktor diri sendiri, seperti:
tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau
imitasi terhadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.
Perubahan kepribadian dapat terjadi pada siapa saja, baik guru maupun
peserta didik. Perubahan kepribadian dapat berkembang karena disebabkan
oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka sebagai usaha pencegahan
(preventif), seyogyanya pihak keluarga (orang tua), sekolah (guru dan staf
sekolah lainnya) dan pemerintah perlu senantiasa bekerja sama untuk
menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberikan
kemudahan untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas
perkembangannya secara optimal, baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan
moral-spiritual. Faktor yang cenderung memiliki sifat berubah-ubah dan
sangat kuat pengaruhnya terhadap kepribadian adalah faktor lingkungan,
misalnya lingkungan sekolah. Di dunia pendidikan, sekolah merupakan
fasilitas yang memberikan kemudahan untuk mengembangkan potensi dan
perkembangan kepribadian secara optimal.
Sekolah merupakan lingkungan baru bagi anak. Tempat bertemunya
ratusan anak dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda, baik
status sosial maupun agamanya. Di sekolah anak akan terwarnai oleh berbagai
corak pendidikan, kepribadian dan kebiasaan, yang dibawa masing-masing
anak dari lingkungan dan kondisi rumah tangga yang berbeda-beda.
Begitu juga para pendidik berasal dari berbagai latar belakang
pemikiran dan budaya serta kepribadian. Seorang pendidik merupakan figur
dan tokoh yang menjadi panutan para siswa dalam mengambil semua nilai dan
pemikiran tanpa memilah antara yang baik dengan yang buruk. Karena para
siswa memandang guru adalah sosok yang disanjung, didenar dan ditiru,
sehingga pengaruh guru sangat besar terhadap kepribadian dan pemikiran
siswa. Oleh karena itu guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang
matang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang mempengaruhi kualitas mengajar seorang pendidik?
2. Bagaimana Optimalisasi kompetensi kepribadian bagi seorang pendidik?
3. Bagaimana hubungan kualitas mengajar dengan kompetensi kepribadian?
C. Batasan Masalah
Agar penulisan makalah ini dapat maksimal dan tidak melebar, serta
sesuai dengan substansinya maka penulis membatasi permasalahan pada
perbaikan kualitas mengajar pada optimalisasi kompetensi kepribadian.
D. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan yang diinginkan penulis dari penyusunan makalah ini
adalah:
1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan.
2. Menjadi bekal bagi calon guru khususnya mahasiswa Pendidikan Teknik
Elektro untuk meningkatkan mutu kepribadian peserta didik.
3. Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
4. Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri
secara mandiri dan berkelanjuatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kualitas Mengajar
Arti dasar dari kata kualitas menurut Dahlan Al-Barry dalam Kamus
Modern Bahasa Indonesia adalah “kualitet” = “mutu” yaitu baik buruknya
barang. Seperti halnya yang dikutip oleh Quraish Shihab yang mengartikan
kualitas sebagai tingkat baik buruk sesuatu atau mutu sesuatu.
Mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan
yang terdiri dari pendidikan dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam
melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan
pengajaran tercapai.
Jadi kualitas mengajar adalah kualitas baik buruk suatu interaksi dari
sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidikan dan peserta didik dalam
melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan belajar
tercapai.
Kualitas mengajar dapat tercapai apabila seorang guru profesional
dalam melakukan tugasnya. Menurut Kunandar (2007: 46) profesionalisme
guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan
kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan
pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang
profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk
melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyatakan
bahwa guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal S1 dan
D-IV dan memiliki empat standar kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
B. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik dan
berakhlak mulia. Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam
standar kompetensi ini mencakup lima kompetensi utama yakni: 1) Bertindak
sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
Indonesia, 2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia,
dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, 3)Menampilkan diri sebagai
pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, 4) Menunjukkan
etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa
percaya diri, dan 5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia.
Norma adalah seperangkat ukuran yang berasal dari nilai-nilai
tertentu yang menjadi dasar untuk menentukan baik buruknya perilaku
manusia. Norma bersumber dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat,
seperti norma agama, norma adat istiadat, atau norma hukum. Mengapa
guru dituntut untuk bertindak sesuai dengan norma-norma tersebut, karena
guru senantiasa berurusan dengan nilai-nilai, sehingga kehidupan guru
haruslah merupakan perwujudan dari nilai-nilai itu.
Norma agama adalah petunjuk hidup yang berasal dari tuhan yang
disampaikan melalui utusan-Nya yang berisi perintah, larangan dan
anjuran-anjuran. Pelanggaran norma agama mendapatkan sanksi secara
tidak langsung, artinya pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti
di akhirat berupa siksaan di neraka. Contoh-contoh norma agama ialah:
a. Rajin beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan berdoa sebelum
makan, sebelum tidur, sebelum perjalanan, sebelum belajar, sebelum
memasuki tempat ibadah, dll.
b. Mencegah dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
c. Mengimani adanya tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing.
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-
lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat
melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan
keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini
berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Ciri-ciri norma hukum adalah :
a. Aturannya pasti (tertulis)
b. Mengikat semua orang
c. Memiliki alat penegak peraturan
d. Dibuat oleh penegak hukum
e. Bersifat memaksa
f. Sanksinya berat
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan
perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.
Norma sosial akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan
sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma
sosial menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam
menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat
bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai
dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun
agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung
tertib sebagaimana yang diharapkan.
Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan pancasila adalah
perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan
keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat
dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan
dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan
bangsa. Wujud kebudayaan daerah di Indonesia tercermin dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah
memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda dikarenakan sukunya yang
berbeda-beda. Contohnya: rumah adat, tarian, lagu, musik, gambar, patung,
pakaian, suara, dll.
Bertindak sebagai norma agama, norma hukum dan norma sosial
serta Kebudayaan Nasional Indonesia mengharuskan guru untuk satu
dalam kata dan perbuatan. Apa yang diajarkan kepada murid haruslah
menjadi sikap dan cara hidupnya yang selalu diterapkan secara konsisten.
Guru tidak hanya bekerja mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga
menjadi pemberi teladan nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat.
Guru harus menjadi garda terdepan dalam teladan moral yang tercermin
dalam sikap, perilaku, dan cara hidupnya. Karakter inilah yang
menyebabkan guru dianggap sebagai sebuah tugas yang istimewa dan
mulia di mata masyarakat.
Dalam kaitan dengan guru Indonesia, segala sikap, tutur kata dan
tindakannya menjadi cerminan dari kesetiaan penghayatannya terhadap
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dari
segala norma kehidupan bangsa indonesia. Karena itu guru Indonesia
adalah guru yang Pancasilais. Artinya guru yang senantiasa menjunjung
tinggi nilai-nilai religiusitas melalui penghayatan terhadap ajaran-ajaran
agama yang dianutnya; nilai-nilai kemanusiaan yang menempatkan
martabat manusia dan keluhurannya sebagai salah satu keutamaan; nilai
kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjunjung
tinggi dan menghormati kedaulatan NKRI; nilai demokrasi yang
mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan nilai
keadilan sosial yang bertindak pada seluruh bangsa Indonesia tanpa
membedakan latar belakang agama, etnis, kebudayaan, jenis kelamin, dan
sebagainya.
Kemampuan ini memang membutuhkan waktu dan proses
pembentukan yang panjang, karena berkaitan erat dengan pembentukan
karakter sebagai seorang guru. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan
Nasional telah mewariskan karakter ini melalui semboyan-semboyannya:
Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri
Handayani.
Tugas guru menjadi penjaga bagi sikap dan perilaku masyarakat
dalam kaitan dengan pelaksanaan norma-norma yang ada. Maka guru
hendaknya menjadi sumber pencerahan bagi terlaksananya norma-norma
dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat. Guru harus berani untuk
menyuarakan kebenaran dan keadilan yang bersumber dari nilai dan
norma-norma yang dianut.
Tugas ini tentu saja tidak mudah, terutama di tengah semakin
merosotnya peran guru dalam kehidupan masyarakat di satu pihak dan
semakin merajalelanya perilaku hidup elit masyarakat atau pemerintah
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di pihak lainnya.
Akibat dari pergeseran pandangan tentang profesi guru, masyarakat juga
semakin merasakan pengaruh dari kehidupan guru sebagai pilar penegak
norma-norma yang menjadi suluh bagi masyarakat.
Implikasi dari kemampuan ini adalah bagaimana guru menjaga
disiplin dan aturan serta menerapkan secara konsisten dalam interaksi
pembelajaran di sekolah. Untuk mewujudkan ini maka guru haruslah orang
yang memiliki disiplin dan ketaatan terhadap peraturan yang ada di
sekolah. Disiplin waktu misalnya mengharuskan guru untuk tertib waktu
dan tidak boleh terlambat sekolah. Selanjutnya terkait dengan displin
dalam berpakaian, guru hendaknya menunjukkan teladan dengan
mengenakan pakaian yang rapi, bersih dan pantas. Dalam menjaga
kebersihan sekolah, guru juga harus menunjukkan teladan dengan
membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan kelas, rapih, dan
bebas dari berbagai macam sampah atau kotoran. Disiplin berbicara juga
mengharuskan guru untuk berbicara secara santun, ramah, dan baik denagn
siswa maupun dengan rekan sejawat.
2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Tugas guru sebagai seorang pribadi profesional juga harus nampak
dalam eksistensi dirinya sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan
menjadi suri teladan bagi siswa dan masyarakat.
Jujur berarti keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada.
Menjadi pribadi yang jujur berarti berani untuk mengakui kekurangan dan
kelemahannya serta bersedia untuk memperbaiki diri. Guru memang
bukanlah seseorang yang bisa dalam segala hal, tetapi juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam sikap, perilaku atau kemampuan-
kemampuan yang dimilikinya. Karena itu guru harus terbuka juga terhadap
masukan, kritik atau saran, serta bersedia mendengarkannya dengan hati
yang lapang. Guru harus juga menyadari bahwa siswa sebagai individu
yang unik, dapat menjadi sumber untuk belajar tentang kehidupan. Seorang
guru dapat berkembang menjadi semakin profesional apabila senantiasa
belajar dalam pergaulan dan interaksinya dengan siswa. Guru bisa
melengkapi kekurangan-kekurangannya melalui interaksi pedagogis
dengan para siswa.
Tuntutan untuk menjadi pribadi yang jujur harus dimulai dari diri
sendiri. Jujur terhadap diri sendiri adalah kunci bagi keberhasilan hidup
dan juga kenyamanan dalam berkarya. Jujur terhadap diri sendiri berarti
berlaku autentik, bertindak sesuai dengan hati nurani dan bersedia untuk
“diadili” oleh hati nurani apabila melakukan kesalahan-kesalahan atau
bertindak tidak sesuai dengan kata hati. Untuk dapat melakukan hal ini
maka dibutuhkan kemampuan guru untuk terus-menerus melakukan
refleksi terhadap segala sikap, perilaku, dan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan baik dalam kehidupannya sebagai manusia maupun dalam tugas
pengabdiannya sebagai seorang pendidik. Guru harus berani menolak atau
bahkan melawan kecurangan, kelicikan, atau praktik-praktik kotor yang
sering dijumpai dalam tugasnya sebagai pendidik.
Akhlak Mulia adalah seluruh perilaku umat manusia yang sesuai
dengan tuntunan agama. Secara garis besar akhlak mulia dapat
dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu:
a. Akhlak kepada tuhan
Akhlak mulia kepada tuhan berarti mengikuti seluruh perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
b. Akhlak kepada ciptaan tuhan.
Akhlak mulia kepada ciptaan tuhan meliputi segala perilaku, sikap,
perbuatan, adab dan sopan santun terhadap sesama ciptaan Tuhan.
Guru harus menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki akhlak
yang mulia sehingga dapat menjadi sumber teladan bagi siswa maupun
masyarakat. Berakhlak mulia berarti guru harus menampilkan sikap dan
perilaku yang terpuji, mengedepankan sopan santun dan tata krama dan
menjauhkan perilaku-perilaku yang buruk. Hendaknya sikap dan perilaku
guru jangan sampai skandal bagi pembentukan moral siswa. Karena itu
harus menjadi pribadi yang bermoral atau memiliki keteladanan moral,
tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta selalu
memilih untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang tidak
bertentangan denagn harkat dan martabatnya sebagai pendidik dan pemberi
terang kepada siswa dan masyaakat sekitar.
Guru merupakan seorang individu yang bermakna bagi siswa. Guru
menjadi model yang memperhatikan sikap dan perilaku yang pantas
dicontohi. Itu sebabnya guru dikatakan digugu dan ditiru karena
karakternya sebagai pemberi teladan. Nilai-nilai yang diajarkan guru tidak
hanya sekedar berwujud kata-kata kosong tetapi lebih dari itu harus
menggema dan terpancar dalam sikap dan cara hidup guru itu sendiri.
Ketika guru mengajarkan sikap dan perilaku yang baik dan berbudi pekerti
luhur, maka semua itu menjadi berdaya guna dan mempengaruhi sikap dan
perilaku siswa bila apa yang diajarkannya itu nyata juga dalam sikap dan
cara hidupnya. Inilah keutamaan yang luar biasa dalam diri guru.
3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa.
Guru juga haruslah individu yang memiliki pribadi yang stabil
secara emosional sehingga mampu membimbing siswa secara efektif. Hal
ini memprasyaratkan bahwa guru setidak-tidaknya harus memiliki
kecerdasan emosional yang cukup. Kecakapan dan kemampuan yang
dimilikinya baik pedagogik maupun keilmuan belumlah cukup apabila
tidak dibarengi dengan kestabilan emosional guru.
Menjadi pribadi yang matang secara emosional berarti guru
haruslah mampu mengendalikan diri, hawa nafsu, dan kecenderungan-
kecenderungan tertentu yang dimilikinya. Berhadapan dengan siswa yang
berasal dari berbagai macam latar belakang, watak dan karakter, guru
haruslah dapat menempatkan diri, mengelola diri dan emosinya sehingga
dapat berinteraksi secara efektif dengan siswa. Tidak jarang memang
ditemukan bahwa ada guru yang tidak dapat menahan emosinya
berhadapan dengan siswa yang nakal, bandel, tidak disiplin, bahkan siswa
yang mungkin memiliki keterbatasan kemampuan sehingga lamban dalam
belajar.
Guru yang labil secara emosional tidak jarang melakukan
kekerasan-kerasan kepada para siswa. Terdapat empat bentuk kekerasan
yang bisa saja terjadi di sekolah, yang diantaranya dapat dilakukan oleh
guru, yakni:
a. Hukuman fisik dan psikologis
b. Bullying
c. Kekerasan berbasis gender dan jenis kelamin
d. Kekerasan eksternal akibat dari pengaruh geng, situasi konflik atau
juga penembakan.
Dari beberapa jenis kekerasan tersebut, hukuman fisik dan
psikologis adalah yang paling sering dilakukan oleh guru terhadap para
siswa. Hukuman fisik adalah setiap jenis hukuman yang menggunakan
kekuatan fisik yang dimaksudkan untuk menyebabkan rasa sakit atau tidak
menyenangkan. Jenis hukuman semacam ini yang sering ditemukan dalam
latar pendidikan adalah: menendang, memukul, menjambak rambut,
menjewer telinga, memelintir tangan, mencekik, atau memaksa siswa
untuk berada dalam posisi yang tidak nyaman (misalnya berlutut,
mengangkat kaki sebelah, berjemur di terik matahari dsb). Sementara itu
hukuman psikologis adalah bentuk hukuman yang memberikan rasa tidak
nyaman dalam diri siswa secara psikologis sehingga mereka merasa
tertekan, terancam, atau bahkan mengalami ketakutan. Jenis hukuman ini
tidak menggunakan kontak fisik secara langsung tetapi melalui ungkapan-
ungkapan verbal atau non verbal seperti cemoohan, gertakan, ancaman,
omelan, makian, sinisme, atau juga penggunaan kata-kata kasar sehingga
menyebabkan siswa merasa terluka secara psikologis dan merasa tidak
nyaman.
Jenis-jenis hukuman seperti itu maka dapat mengakibatkan reaksi
serius terhadap kesehatan mental dan fisik siswa. Jenis hukuman semacam
itu juga membawa dampak pada rendahnya keterampilan sosial siswa,
timbulnya depresi, kecemasan, perilaku agresif, dan bahkan kurangnya rasa
empati kepada orang lain. Hukuman fisik juga dapat memperburuk
hubungan guru siswa sehingga dapat menjadi halangan yang serius
terhadap proses pembelajaran di sekolah.
Guru harus mengedepankan manajemen konflik dan manajemen
diri yang baik sehingga bisa berinteraksi dengan siswa. pendekatan-
pendekatan humanistik yang mengedepankan pemberian tanggungjawab
dan kepercayaan kepada para siswa harus menjadi pedoman dalam
berinteraksi dengan siswa. Menurut sudut pandang ini, dalam melihat
siswa hendaknya guru tidak menggunakan kacamata orang dewasa tetapi
melihat siswa dari sudut pandang siswa sehingga ia mampu memahami
mereka sebagaimana adanya. Tidak berarti bahwa dengan demikian, guru
harus merativisir berbagai nilai dan norma yang berlaku tetapi melalui
bimbingan dan tuntutan yang terus menerus diharapkan, siswa juga dapat
menyesuaikan diri dengan sikap dan perilaku hidup orang dewasa serta
nilai dan norma yang dihayati oleh orang dewasa.
Emosi adalah daya insan yang menggerakkan segenap perilaku
manusia, namun demikian harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat
terarah kepada sikap dan perilaku yang positif. Menurut kaum humanis,
emosi yang dikemukakan secara jujur dapat menjadi modal ampuh untuk
membangun hubungan baik dengan orang lain. Karena itu emosi harus
diekspresikan secara jujur. Misalnya ketika guru marah kepada siswa
karena tingkah lakunya yang tidak disiplin atau melanggar aturan di kelas,
guru dapat mengatakan melalui ungkapan verbal, “Maaf saya merasa
sanggat terganggu dengan sikap dan perilaku Anda” atau, “Saya sulit untuk
menyesuaikan diri dengan anda bila anda tetap bersikap atau berperilaku
semacam itu”
Agar berhasil mengelola emosi, sehingga guru dapat menampilkan
pribadinya yang stabil dan mantap maka kecerdasan emosi nampaknya
sangat bermanfaat. Memiliki kecerdasan intelektual saja bagi guru tidaklah
cukup, karena itu guru harus memiliki kecerdasan emosi yang baik.
Melalui kecerdasan emosi, guru dapat mengenali emosinya secara baik,
mengelolanya, dan menggunakannya secara tepat.
Guru juga harus menampilkan diri sebagai pribadi yang berwibawa.
Wibawa adalah pengaruh tertentu yang timbul dari dalam diri seseorang
pendidik atau orang dewasa dan dirasakan oleh orang lain sehingga
menyebabkan orang lain memberikan rasa hormat atau penghargaan
kepadanya. Dalam pedagogi tradisional pendidikan dalam arti
sesungguhnya baru dimulai ketika anak mengenal adanya kewibawaan atau
pengaruh tertentu dalam diri pendidik sehingga anak merasa taat atau
hormat terhadapnya. Dengan demikian maka kewibawaan adalah
keutamaan yang dimiliki oleh pendidik yang menyebabkan segala
perkataan dituruti oleh anak.
Menjadi pribadi yang berwibawa tidak berarti guru haruslah gila
hormat menghormati atau penghargaan yang diberikan siswa kepada guru
bersumber dari pancaran kepribadiannya yang mulia. Keteladanan guru
sekaligus menjadi sumber kewibawaannya. Karena itu guru dihormati atau
ditaati bukan karena posisi dan jabatannya sebagai guru melainkan karena
pribadinya yang memperhatikan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai yang
dihayati. Pancaran nilai yang tercermin dalam sikap dan perilaku guru
itulah yang menjadi daya tarik dan kekuatan bagi guru sehingga guru
dihormati dan disegani oleh para siswa.
4. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri.
Guru profesional adalah guru yang memiliki etos kerja yang tinggi
dan bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya. Etos kerja
tercermin dalam sikap yang positif terhadap pekerjaan, kesetiaan dan
dedikasi dalam tugas dan pelayanannya serta kesediaan untuk
melaksanakan tugas dengan penuh rasa taggung jawab.
Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi selalu menjunjung tinggi
semangat pengabdian tanpa pamrih. Guru mengedepankan kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhi dan mengutamakan pelayanan prima
kepada siswa atau pihak-pihak lain yang membutuhkannya. Etos kerja
tercermin dalam kedisiplinan dan ketaatannya dalam bekerja, keberanian
mengambil tanggungjawab dan kesediaan melakukan inovasi-inovasi yang
bermanfaat bagi perkembangan siswa maupun bagi peningkatan mutu
pendidikan secara keseluruhan.
Guru yang bertanggung jawab adalah guru yang setia kepada tugas
yang diembannya yakni tugas dalam mengajar, membimbing dan
mendampingi siswa. guru tidak hanya mengutamakan tuntutan-tuntutan
administrasi birokrasi tetapi lebih dari fokus kesetiaannya adalah
bagaimana kebutuhan-kebutuhan siswa terpenuhi melalui pelayananan
yang tanpa pamrih. Guru berani bertanggungjawab terhadap keputusan-
keputusan profesional yang dilakukannya yang dilandasi pertimbangan-
pertimbangan etis dan rasional.
Guru profesional juga harus memiliki kebanggan terhadap
profesinya. Kebanggaan terhadap profesi ini ditunjukkan dengan
melakukan pekerjaan-pekerjaan lain sebagai sarana untuk mendapatkan
penghasilan tambahan. Ketika seseorang memilih untuk menjadi guru,
maka profesi ini sudah menjadi panggilan hidupnya. Karena itu pekerjaan-
pekerjaan lain yang tidak menunjang perkembangan profesionalisme
haruslah dikesampingkan. Menulis buku bagi seorang guru adalah hal yang
positif karena menunjang perkembangan profesionalismenya sebagai guru,
karena itu pantas didorong atau diapresiasi. Tetapi jika seorang guru
bekerja juga sebagai manager atau konsultan perusahaan tertentu saja akan
membagi perhatiannya terhadap tugas pokoknya sebagai guru. Banyak
sekali tugas guru jadi terbengkalai karena para guru melakukan pekerjaan-
pekerjaan lain dan bahkan pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan
nomor dua.
Rasa bangga menjadi guru juga harus ditunjukkan melalui
kepercayaan diri yang kokoh. Menurut Branden, kepercayaan diri
sebetulnya bersumber dari harga diri (self-esteem). Harga diri memiliki dua
aspek yang saling berkaitan yakni rasa kemampuan diri (a sense of
personal efficacy) dan rasa maknaan diri (a sense of personal worth). Rasa
kemampuan diri kemudian melahirkan kepercayaan diri sedangkan rasa
bermaknaan diri melahirkan penghargaan terhadap diri sendiri (self-
respect). Seorang yang memiliki kepercayaan diri pertama-tama merasa
bahwa dirinya memiliki optimisme bahwa kemampuan potensial yang
dimiliki menjadikan dirinya dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-
baiknya. Guru harus merasa diri kompeten dalam tugas dan profesinya
meskipun disana-sini terdapat kekurangan-kekurangan. Rasa percaya diri
tidak serta merta menutupi kekurangan atau ketidakmampuan yang
dimilikinya, tetapi justru dalam kekurangan-kekurangan itu guru bisa
berhadap sesuatu melalui pertimbangan-pertimbangan rasionalnya.
Sementara itu rasa kebermaknaan diri yang melahirkan penghargaan
terhadap diri sendiri (self-respect) justru lahir dari kesadaran tentang
kemampuan dirinya. Ketika seseorang merasa diri mampu dan kompeten
dan dapat berbuat sesuatu maka pada saat yang sama guru merasa dirinya
bermakna sehingga kemudian memberikan rasa penghargaan terhadap
dirinya. Guru bisa menyadari bahwa dirinya kompeten dan karena itu dapat
melaksanakan tugas-tugas secara profesionalnya. Itulah sebabnya, antara
self-confidence dan self-respect keduanya bisa dipilah-pilah secara
konseptual tetapi tidak dapat dipisahkan secara praktis.
5. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Guru sebagai profesional yang diikat melalui suatu persekutuan
kesejawatan dalam sebuah organisasi profesi guru tentu harus memiliki
kode etik yang mengatur sikap dan perilaku profesionalnya. Kode etik
merupakan pedoman sikap dan perilaku bagi anggota profesi dalam
layanan profesional maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Undang-
undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 43 menyatakan:
a. untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam
pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk
kode etik
b. kode etik sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 berisi norma dan
etika mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Menurut Hermawan sebagaimana dikutip Marselus, kode etik
profesi apa saja pada umumnya memiliki beberapa tujuan yakni:
a. untuk menjunjung tinggi martabat profesi
b. untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
c. untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
d. untuk meningkatkan mutu profesi
e. untuk meningkatkan mutu profesi
Khusus untuk profesi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) dalam kongres PGRI XIII di Jakarta pada tahun 1973 telah
menetapkan sebuah kode etik guru indonesia. Dalam pidato pembukaan
Kongres PGRI XIII tersebut, Ketua Umum PGRI Basunimendasarkan
bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman
tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan
pengabdiannya sebagai guru.
Beberapa pokok kode etik guru Indonesia berdasarkan hasil
Kongres PGRI XIII tahun 1973 di Jakarta yang kemudian disempurnakan
dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 di Jakarta adalah bahwa guru
Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani
dasar-dasar sebagai berikut:
a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia
Indonesia.
b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional
c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai
bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang
berhasil proses belajar-mengajar
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung
jawab bersama terhadap pendidikan.
f. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya
g. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial
h. Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi
PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
i. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan.
Guru profesional terikat dengan kode etik profesionalnya karena itu
sudah kewajiban bagi guru untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan
kode etik profesional itu secara konsisten. Guru dalam tugas
pengabdiannya, dalam tutur kata dan perbuatannya harus memperhatikan
kode etik sebagai pedoman kerja dan pelayananannya.
Pelanggaran terhadap kode etik sekaligus juga merupakan
pelecehan terhadap martabat guru sebagai profesional karena itu harus
mendapatkan sanksi tertentu. Karena itu dibutuhkan dewan etik dari
organisasi profesi guru untuk senantiasa memantau sikap dan perilaku guru
anggota profesi ini dan berani mengambil tindakan tegas terhadap anggota
profesi ini yang melakukan pelanggaran serius terhadap kode etik profesi.
sanksi terhadap anggota profesi yang melakukan pelanggaran kode etok
dapat berupa sanksi moral sampai pemecatan sebagai anggota profesi. Jika
pelanggaran itu berat dan memiliki implikasi hukum tertentu, maka guru
dapat dipecat dari keanggotan profesi guru dan jabatan profesionalnya
sebagai guru dicabut serta di proses melalui jalur hukum, apakah pidana
atau perdata. Guru profesional hendaknya menjunjung tinggi kode etik
profesionalnya sebagai pedoman sikap dan perilaku, dengan tidak
melakukan pelanggaran kode etik.
C. Hubungan antara kualitas mengajar dengan kompetensi kepribadian
Guru sebagai pendidik adalah seorang yang berjasa besar terhadap
masyarakat dan bangsa. Tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat, maju atau
mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara sebagian besar
bergantung pada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru-guru.
Makin tinggi pendidikan guru, makin baik pula mutu pendidikan dan
pengajaran yang diterima anak, dan makin tinggi pula derajat masyarakat.
Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang mulia, baik ditinjau dari
sudut masyarakat dan negara maupun ditinjau dari sudut keagamaan. Tugas
seorang guru tidak hanya mendidik. Maka, untuk melaksanakan tugas sebagai
guru tidak sembarang orang dapat menjalankannya. Sebagai guru yang baik
harus memenuhi syarat, yang ada dalam undang-undang No. 12 Tahun 1954
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh
Indonesia. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Berijazah,
2. Sehat jasmani dan rohani,
3. Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik,
4. Bertanggungjawab,
5. Berjiwa nasional.
Selain syarat-syarat diatas, guru juga harus memiliki kualitas mengajar
yang baik. Kualitas mengajar guru dipengaruhi oleh 4 kompetensi, salah
satunya adalah kompetensi kepribadian. Kemampuan kepribadian lebih
menyangkut jati diri seorang guru sebagai pribadi yang baik, tanggung jawab,
terbuka, dan terus mau belajar untuk maju. Yang pertama ditekankan adalah
guru itu bermoral dan beriman. Hal ini jelas merupakan kompetensi yang
sangat penting karena salah satu tugas guru adalah membantu anak didik agar
bertaqwa dan beriman serta menjadi anak yang baik. Guru yang menguasai
kompetensi kepribadian berarti guru tersebut dapat membantu anak didik
untuk meningkatkan ketaqwaan dan keimanan
Guru yang menguasai kompetensi kepribadian baik sangat berpengaruh
terhadap kualitas mengajar karena kompetensi kepribadian lebih menekankan
kepada tindakan yang diatur sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia sehingga guru dituntut untuk menjadi pribadi
yang jujur, berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Kualitas mengajar dapat tercapai apabila seorang guru profesional dalam
melakukan tugasnya. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
menyatakan bahwa guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal
S1 dan D-IV dan memiliki empat standar kompetensi, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
sosial.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam standar kompetensi ini
mencakup lima kompetensi utama yakni: 1) Bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, 2) Menampilkan diri
sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, 3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, 4) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa
bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan 5) Menjunjung tinggi kode etik
profesi guru.
Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jati diri seorang guru sebagai
pribadi yang baik, tanggung jawab, terbuka, dan terus mau belajar untuk maju.
Guru yang menguasai kompetensi kepribadian berarti guru tersebut dapat
membantu anak didik untuk meningkatkan ketaqwaan dan keimanan.
DAFTAR PUSTAKA
Payong, Marsel R., 2011. Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya. Jakarta: PT Indeks.
Nanang, Hanafiah., 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika Aditama.
Kunandar., 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Satuan Pedidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.