Koleksi Cerpen Majalah Annida

49
Tu (Dilarang Bersiul di Hutan) Maya Lestari GF, Padang Pemenang 3 LMCPI Annida VII Setiap kali hujan datang, Tu selalu berlari menuju ambang pintu dan mendongak melihat langit. Warna yang abu-abu pucat membentang luas di atas kepalanya. Seolah- olah bentangan itu menutup langit dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Titik-titik air jatuh deras dari langit, mengguyur daun-daun yang mengembang, merekah kesegaran. Air jatuh di helai-helai daun nipah yang menjadi atap rumah, untuk kemudian meluncur jatuh ke bawah dan menghunjam tanah, meninggalkan lubang-lubang kecil berderet di sekeliling rumah. Kadang-kadang guntur meledak hebat sekali, nyaris memekakkan telinga. Juga petir yang seperti berurat-urat di langit sesekali mengilat. Pada saat-saat seperti itu orang-orang akan lebih senang berada di dalam rumah yang hangat. Mereka yang berada di luar akan segera berlari-lari pulang sekedar berusaha menghindarkan diri diperangkap hujan lebih lama. “Masuk ke dalam, Tu.” Satu orang yang paling tidak suka melihat Tu berlama-lama di ambang pintu adalah Momoa. Kalau hujan sudah turun dengan lebat ia lebih suka berbaring di lantai kayu dengan sehelai selimut tipis yang menutupi kakinya. Momoa suka mengeluh dingin bila hujan datang. Dan pintu yang terbuka membawa hawa dingin itu masuk lebih banyak, membuat Momoa menggigil. Dengan enggan Tu mengangguk lalu menutup pintu. Rumah seketika gelap dan semua benda di dalamnya hanya menjadi bayangan samar. Hanya ada satu jendela di rumah. Di dekat pintu. Itu pun tertutup sebelah. Daun pintu jendela yang satu lagi dibiarkan sedikit merenggang. Tu berjalan ke bawah jendela itu dan duduk. Memerhatikan Momoa yang membawa selimutnya lebih tinggi menutup badannya. Tu tidak ingat sudah berapa lama ia tinggal dengan Momoa, yang pasti semenjak orang tua Tu meninggal, ia sudah bersama Momoa. “Alam sedang mencurahkan berkat dan kesegarannya untuk bumi,” ia mendengar Momoa berkata, “Jangan ganggu alam menjalankan tugasnya.” Tu melihat sebentar ke luar. “Menjalankan tugasnya?” ia mengulang kata-kata terakhir Momoa. “Kita semua berasal dari alam. Dilahirkan oleh alam, dan diberi berkat oleh alam,” berujar Momoa, “Kek Anta telah mengatur semuanya dengan sempurna. Ia adalah wujud alam ini. Batu, sungai, hutan, gunung, pantai. Adalah kewajiban kita untuk menjaganya, agar selalu diberi berkat oleh alam.” Tu tak menjawab. Dilihatnya kembali hujan yang masih deras mengguyur di luar. Kepalanya menyembul dari bawah jendela. Langit masih berwarna abu-abu pucat. Hujan yang diturunkan pun masih sederas yang tadi.

description

Koleksi Cerpen Majalah Annida

Transcript of Koleksi Cerpen Majalah Annida

Page 1: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Tu (Dilarang Bersiul di Hutan)Maya Lestari GF, PadangPemenang 3 LMCPI Annida VII

Setiap kali hujan datang, Tu selalu berlari menuju ambang pintu dan mendongak melihat langit. Warna yang abu-abu pucat membentang luas di atas kepalanya. Seolah-olah bentangan itu menutup langit dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Titik-titik air jatuh deras dari langit, mengguyur daun-daun yang mengembang, merekah kesegaran. Air jatuh di helai-helai daun nipah yang menjadi atap rumah, untuk kemudian meluncur jatuh ke bawah dan menghunjam tanah, meninggalkan lubang-lubang kecil berderet di sekeliling rumah. Kadang-kadang guntur meledak hebat sekali, nyaris memekakkan telinga. Juga petir yang seperti berurat-urat di langit sesekali mengilat. Pada saat-saat seperti itu orang-orang akan lebih senang berada di dalam rumah yang hangat. Mereka yang berada di luar akan segera berlari-lari pulang sekedar berusaha menghindarkan diri diperangkap hujan lebih lama.

“Masuk ke dalam, Tu.” Satu orang yang paling tidak suka melihat Tu berlama-lama di ambang pintu adalah Momoa. Kalau hujan sudah turun dengan lebat ia lebih suka berbaring di lantai kayu dengan sehelai selimut tipis yang menutupi kakinya. Momoa suka mengeluh dingin bila hujan datang. Dan pintu yang terbuka membawa hawa dingin itu masuk lebih banyak, membuat Momoa menggigil.

Dengan enggan Tu mengangguk lalu menutup pintu. Rumah seketika gelap dan semua benda di dalamnya hanya menjadi bayangan samar. Hanya ada satu jendela di rumah. Di dekat pintu. Itu pun tertutup sebelah. Daun pintu jendela yang satu lagi dibiarkan sedikit merenggang.

Tu berjalan ke bawah jendela itu dan duduk. Memerhatikan Momoa yang membawa selimutnya lebih tinggi menutup badannya. Tu tidak ingat sudah berapa lama ia tinggal dengan Momoa, yang pasti semenjak orang tua Tu meninggal, ia sudah bersama Momoa.

“Alam sedang mencurahkan berkat dan kesegarannya untuk bumi,” ia mendengar Momoa berkata, “Jangan ganggu alam menjalankan tugasnya.”

Tu melihat sebentar ke luar. “Menjalankan tugasnya?” ia mengulang kata-kata terakhir Momoa.

“Kita semua berasal dari alam. Dilahirkan oleh alam, dan diberi berkat oleh alam,” berujar Momoa, “Kek Anta telah mengatur semuanya dengan sempurna. Ia adalah wujud alam ini. Batu, sungai, hutan, gunung, pantai. Adalah kewajiban kita untuk menjaganya, agar selalu diberi berkat oleh alam.”

Tu tak menjawab. Dilihatnya kembali hujan yang masih deras mengguyur di luar. Kepalanya menyembul dari bawah jendela. Langit masih berwarna abu-abu pucat. Hujan yang diturunkan pun masih sederas yang tadi.

Page 2: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Tutuplah jendelanya, Tu,” ujar Momoa lagi, “Dingin.”

“Nanti jadi gelap,” Tu protes.

“Terang dan gelap adalah bagian dari alam. Hanya matamu yang tak bisa melihat kesatuannya,” jawab Momoa. “Tutuplah jendelanya.”

Tu mengulurkan tangan, menutup jendela.

*** Hujan berhenti ketika masa tengah hari telah berlalu lama. Tu membuka pintu dan mendapati alam sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Langit tampak bersih cerah. Sesaput awan melenggang melayari langit yang biru membentang. Tu melihatnya serupa kapal di atas lautan. Ia tersenyum.

Tu menuruni tangga kayu. Anak-anak tangga itu berbentuk bulat dan jumlahnya tak lebih dari tiga buah. Di anak tangga terbawah ia melompat dan hup! Kakinya menjejak tanah. Tanah basah dan becek. Air menggenang di mana-mana. Ceruk-ceruk tanah nyaris seperti danau-danau yang kebanyakan air. Sayang tidak ada ikannya. Jati, yang rumah tak jauh dari rumah Tu, sendiri melambai dari jendela. Tu membalas lambaian itu, ia berlari kecil untuk mendapati Jati.

“Andui bilang kalau dia akan ke rumah Kak Juli,” Jati memberitahu.

“Apakah kau akan melihat itu?” mata Tu membesar.

“Itu?” Jati mengerutkan kening, lalu tertawa kecil, nyaris tanpa suara, “Tentu saja kita akan melihat itu, kita akan melihat bagaimana Andui belajar di sana.”

“Ayo kita pergi.”

“Apakah Momoa tidak melarang?” tanya Jati sambil melirik sebentar ke rumah Tu.

Tu menggeleng.

“Kalau begitu ayo.”

“Hei, kalian akan pergi ke mana?”

Seorang perempuan muncul di belakang Jati. ia membawa semangkuk besar bu yang mengepul hangat. “Kami akan melihat Andui,” jawab Jati. Perempuan itu adalah ibunya.

“Apakah ia masih belajar bersama orang dari kota itu?” tanya ibu Jati.

Page 3: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Jati mengangguk.

“Kalau begitu kalian hati-hatilah,” berujar ibu Jati, “Kota itu penuh dengan orang-orang jahat. Mereka itu licik dan curang. Tidak jujur. Mereka suka menipu. Kalian awasilah Andui. Jangan sampai ia terpengaruh oleh orang kota itu.”

Jati mengangguk. “Jangan sampai orang itu merusak suku Lom yang masih murni seperti bayi,” ibu Jati mendengus sedikit, “Alam memberi berkah kepada kita karena kemurnian hati kita. Jangan orang kota itu memberi pengaruh buruk sehingga kita kena kutukan.” Jati mengangguk lagi. “Pergilah,” ujar Ibu Jati, “Tapi kalian cepatlah kembali.”

Jati dan Tu mengangguk lalu dengan cepat mereka berlalu. Melintasi tanah yang becek. Melintasi ceruk-ceruk yang kecil maupun yang besar.

“Apakah menurutmu orang kota memang jahat?” tanya Tu pada Jati. “Entahlah,” Jati mengangkat bahu, “tapi kata kepala dusun, orang itu banyak yang licik dan tidak jujur. Mereka suka menyakiti orang lain untuk mencapai keinginannya.”

Sebuah ceruk besar menghadang mereka. Penuh dengan air. Tanah di sisi kiri dan kanan ceruk itu berlumpur. Tampak bekas-bekas kaki orang di sana, pertanda sebelum mereka tiba di sini, telah ada sebelumnya orang yang melintasi jalani itu.

Pelan-pelan kaki telanjang Jati masuk ke dalam ceruk itu, lalu dengan wajah gembira ia berkata.

“Lihat ini adalah danau kecil, tidak dalam, hanya sebatas mata kakiku.”

“Ya,” Tu tertawa. Ia mengikuti Jati. Pelan-pelan dimasukkannya kakinya ke danau kecil itu.

“Hei, itu kan kotor,” tiba-tiba mereka mendengar seseorang berseru. Cepat mereka menoleh. Andija berdiri beberapa puluh langkah dari mereka. Pakaiannya terlihat bersih juga kakinya. Ia mengenakan sandal.

“Lihat dia,” bisik Jati, “Dia sudah mengenakan sandal. Dia sudah menjauhi bumi.” Tu mengangguk. “Ayo cepat pergi.” “Ya.” Kembali mereka berjalan menyusuri jalan tanah. Melewati rumah-rumah, pepohonan yang basah dan cericit hewan hutan. Samar-sama suara arus sungai Air Abik menyusup

Page 4: Koleksi Cerpen Majalah Annida

ke telinga, meninggalkan kesan yang begitu nyaman. Katak-katak melompat di antara pohon.

“Apa yang dipelajari Andui?” tanya Tu tiba-tiba begitu mereka melihat rumah yang dituju. Rumah itu disangga oleh empat belas batang kayu yang sama sekali tak bisa dibilang lurus. Atapnya daun nipah yang disusun sedemikian rupa sehingga tak memungkinkan air hujan untuk menyusup masuk ke dalam rumah. Di depan rumah ada atap tambahan yang disangga tiga tonggak kayu untuk melindungi pintu dan jendela dari hujan. Sama seperti rumah Tu, rumah itu juga hanya memiliki satu jendela. Dua buah keranjang rotan tertelungkup di samping rumah. Di dekatnya sebuah topi lebar dari daun pandan.

Mereka mendengar suara Andui.

“Entahlah,” ujar Jati sambil mengangkat bahu, dibawanya Tu untuk mendekat ke rumah itu. Pintunya terbuka lebar. Tapi mereka tidak ke sana. Jati malah membawa Tu ke samping rumah dan menguping.

“Ayo kita dengar apa yang mereka bicarakan.” Tu ikut menguping. Mereka mendengar seseorang berkata tentang huruf-huruf, lalu Andui dan beberapa orang lain mengikuti kata orang itu. “Mereka belajar apa?” tanya Tu. “Mereka belajar membaca.” “Membaca apa?” Jati mengangkat bahu.

Mereka kembali menguping. Beberapa saat kemudian terdengar suara tawa dari dalam rumah. “Sepertinya belajar membaca itu menyenangkan,” gumam Tu. “Ya, tapi tak ada gunanya,” Jati lalu menyeret Tu menjauhi rumah itu, “Begitu kata ibu.” “Mengapa tak ada gunanya?” “Sebab tak bisa digunakan untuk menamam lada,” jawab Jati, “Untuk menanam lada kita hanya membutuhkan tenaga, dan peralatan berladang. Aku pernah melihat Andui belajar membaca di rumah, membosankan, tahu tidak?” “Membosankan?” Tu membesarkan mata. “Ya, seluruh waktu hanya dihabiskan untuk melihat-lihat sebuah buku, tidakkah itu sia-sia?” Jati berkata, “aku bisa menanam sepetak ladang selama waktu Andaui membaca sebuah buku.” Tu terdiam sejenak. “Kalau tidak ada gunanya, mengapa membaca itu diajarkan?” tanyanya kemudian. Jati mengangkat bahu. “Kata Ibu...” ujarnya setelah melompati sebuah ceruk, “Membaca itu kegiatan orang kota, bukan orang-orang suku Lom yang masih murni seperti kita.” “Oh, ya?”

Page 5: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Orang-orang kota itu suka membaca dan akibatnya mereka menjadi orang yang licik, tamak, suka menipu, bahkan, kata kepala dusun...orang kota itu bisa dibeli dengan uang.” “Ya?” “Tapi kita...suku Lom sangat mementingkan kejujuran, dan kedamaian. Kita menyatu dengan alam dan diberi berkah oleh alam. Di sekeliling kita banyak terdapat roh-roh kehidupan yang menghuni setiap tanaman. Roh-roh yang memberi berkat.”

Tu tak menjawab. Hanya diikutinya saja langkah-langkah Jati menyusuri jalan tanah dusun yang becek.*** “Andui belajar membaca,” kata Tu pada Momoa siang itu. Mereka berada di tepi sungai Air Abik yang bening. Dasar sungai itu terlihat begitu jelas, layaknya kaca. Kerikil coklat, kuning muda dan abu-abu seperti permata di dasar sungai. Ikan seluang berenang-berenang riang di antara lumut dan tanaman-tanaman air. Momoa duduk di atas batu hitam datar. Tangan kanannya mengambang di atas permukaan sungai untuk kemudian turun dan dengan lembut menjentik-jentikkan jemarinya. Jentikan itu berirama, Membentuk riak-riak kecil yang melebar hingga ketepian sungai. Dan seperti sebuah lagu, irama jentikan itu menarik ikan-ikan kecil untuk mendekat ke Momoa. Kulit Momoa tampak mengkilat di bawah sinar matahari. Itu membuat ia tampak seperti raja.

“Andui belajar membaca,” kata Tu lagi pada Momoa. Matanya memandang lurus ke Momoa meminta untuk ditanggapi. Di usianya yang kedua belas, Tu mulai tampak tumbuh sebagai seorang laki-laki suku Lom, bukan bocah kecil lagi.

Momoa mengangguk-angguk. Dihentikannya jentikannya. Ketika ikan-ikan itu sudah menjauh Momoa menceduk air lalu meminumnya. Dipandangnya Tu.

“Dahulu, Kek Anta membangun alam dengan kekuatannya, segala sesuatu lahir dari kemuliannya. Gunung, hutan, sungai. Anak-anak yang ia turunkan lalu memikul satu kewajiban untuk menjaga itu semua agar berkah dan kebahagiaan tetap tercurah. Agar roh-roh kehidupan selalu berdiam di pepohonan. Agar roh-roh kehidupan juga tetap berdiam di tanaman-tanaman supaya hasil panen terus melimpah. Kau lihat ikan-ikan kecil tadi, Tu?” Memoa berujar sambil menyapu pandangannya ke permukaan sungai yang bening datar, “Anak-anak Kek Anta bersahabat dengan alam, dan karena itu pula alam tak pernah menjauh. Kita, suku Lom sebagai anak-anak Kek Anta, dicintai oleh alam. Dan karena itu pula alam tak pernah menjauh. Kita, suku Lom sebagai anak-anak Kek Anta, dicintai oleh alam. Ikan-ikan kecil di sungai mendekat dan ramah kepada kita karena kita tak pernah memakan mereka. Kita hanya memakan ikan-ikan besar, itu pun dengan seperlunya, tidak berlebihan. Kita tidak pernah menebang pohon yang masih muda, kita hanya menebang pohon yang besar dan matang, itu pun dengan upacara khusus. Kita menyatu dengan alam, dan karena itu kita diberi berkah,” Momoa memandang Tu, “Apakah kau juga ingin belajar membaca seperti Andui dan berlaku layaknya orang kota seperti Andija?”

Tu tak menjawab.

Page 6: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Andija telah menjauh dari alam, ia tak lagi dicintai,” Momoa bangkit dari duduknya, “Dulu aku pergi ke kota bersama kepala dusun dan yang kudapati adalah orang-orang kota yang pendusta, tak bisa dipercaya dan dibeli dengan uang. Kita orang Lom mementingkan kejujuran, kasih sayang dan harga diri. Itu adalah kemuliaan paling utama dari seorang manusia.”

Momoa melompat ke tepi sungai. Dipandangnya Tu. “Banyak anak-anak suku Lom yang belajar bersama guru yang dari kota itu. Tapi itu tak menjadikan anak-anak pandai bertanam lada, dan mengerti adat mereka sendiri. Kepandaian membaca itu juga tak membuatmu pandai bergaul dengan alam. Kau pergilah ke kota, atau setidaknya pergilah ke Bangka, di sana kau bisa dapati orang-orang kota yang pandai membaca itu, merusak alam dan akhirnya kena kutukan.”

Tu menatap Momoa.

“Kutukan itu tak pernah datang ke kita, bukan?” Momoa membesarkan mata, “Alam memberi berkah pada kita karena kita tak menjauh darinya,” Momoa menunjuk kakinya yang telanjang, “Kita terikat pada alam ini, Tu. Kita terikat pada Gunung Pelawan dan dengan segala roh-roh kehidupan yang ada di dalamnya. Kita terikat dan mempercayai istri kepala dusun sebagai penimba mato kiamat yang akan menjaga kita dari semua kutukan itu.”

Tu tak menjawab. Momoa mendekat pada Tu.

“Bahkan demi menjaga alam, kita pun dilarang bersiul di sini, supaya roh-roh kehidupan tidak menjauh dan pergi meninggalkan kita,” Momoa menatap Tu lekat-lekat.

“Kau mengerti, Tu?”

Tu tetap tak menjawab.

“Kau mengerti, Tu?”

Tu memberanikan diri menatap Momoa. Dua pandang mata mereka bertemu. Tatapan Momoa begitu kuat dan tajam, pertanda kekerasan hatinya. Orang-orang dusun sangat menghormati Momoa. Ia pandai mengucap jirat untuk menjaga ladang orang-orang dusun dari pencurian atau memaksa orang untuk mengakui kesalahannya. Tu sangat menghormati Momoa atas semua kepandaian dan wibawanya.

Tu mengangguk.

“Bagus, kau mengerti,” Momoa meletakkan telapak tangannya di kepala Tu, “Jadilah kau penjaga alam ini, sehingga kau dicintai dan diberi berkah oleh apa yang kau jaga.”*** Keadaan rumah beratap daun nipah dengan dua keranjang rotan di sampingnya itu masih sama seperti terakhir kali Tu melihatnya bersama Jati. Bedanya, sekarang daun-

Page 7: Koleksi Cerpen Majalah Annida

daun nipah itu tidak lagi basah dan meneteskan titik-titik air ke tanah. Atap itu kering, dan bila angin datang, daun-daun nipah yang menjuntai melambai-lambai tertiup angin. Sepasang sandal jepit tergeletak di kaki tangga.

Tu tahu, bangunan itu bernama sekolah. Gurunya bernama Kak Juli yang didatangkan dari Belinyu. Kak Juli tinggal di bangunan itu, dan setiap hari Sabtu ia pulang ke Belinyu untuk kembali lagi hari Minggu sore. Tu sering melihat Kak Juli tapi tak pernah bertegur sapa dengannya.

Kali ini, tanpa Jati, ia memberanikan diri untuk datang ke bangunan sekolah itu. Pelan-pelan ia melangkah ke samping rumah dan menguping pembicaraan di dalam.

Ia mendengar beberapa suara. Ia juga mendengar suara Andui.

Mereka berangkat ke sekolah ketika hari sudah siang. Dulu, seingat Tu anak-anak suku Lom bersekolah pagi hari, tapi entah kenapa kemudian berubah menjadi siang hari. Biasanya, kalau pergi ke sekolah, Andui membawa sebuah tas pandan. Isinya buku dan pensil. Wajah Andui terlihat bahagia setiap kali pergi ke sekolah. Kadang-kadang Tu bertanya sendiri, apakah sekolah betul-betul menyenangkan? Apakah belajar membaca itu betul-betul membahagiakan? Karena sepertinya anak-anak yang belajar itu sering sekali tertawa.

Tu mendengar seseorang berbicara mengenai sesuatu yang tidak dimengerti oleh Tu. Ada kata-kata negara, bangsa, dan yang lainnya. Itu semua hal yang baru bagi Tu, dan ia merasa aneh dengan itu semua. Apakah Momoa benar ketika mengatakan bahwa orang kota dengan segala perilakunya hanya akan merusak keseimbangan yang mulanya tercipta antara manusia dengan alam?

Tu berdiam sejenak, menimbang-nimbang, apakah ia akan tinggal di sana lebih lama lagi ataukah harus pergi. Tapi kemudian kakinya melangkah dan ia memutuskan untuk pergi.

“Hai!” tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil. Cepat Tu menoleh. Kak Juli. ia berdiri di ambang pintu, menatap Tu dengan senyum.

“Ingin belajar?” tanyanya pada Tu.

Tu tak menjawab. Ia mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam bangunan itu lalu beberapa kepala muncul di ambang pintu. Salah satunya Andui.

“Tu,” panggil Andui, “Kau mau belajar?”

Mendadak Tu merasa malu karena ketahuan telah menguping. Ia melangkah mundur. Ia merasa seperti maling yang ketahuan sedang mengambil barang yang bukan miliknya.

Page 8: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Ayo, masuk,” Kak Juli berkata dengan ramah. Ia menuruni tangga dan memasang sandal. Didekatinya Tu, “Kau suka belajar, Tu?”

Tu kembali melangkah mundur. Anak-anak seusianya yang berdiri di ambang pintu juga tengah menatapnya. Andui terlihat sedang menuruni tangga.

“Tu?” Kak Juli berkata lagi, “Namamu Tu, kan? Mau bergabung bersama teman-temanmu untuk belajar?”

Tu menatap Kak Juli, lalu Andui, lalu anak-anak yang lain. Lalu ia teringat Momoa.

“Tu?”

“Tidak!” kata Tu kemudian sambil melangkah mundur sekali lagi, “Aku cuma mau bilang, dilarang bersiul di sini. Kau bisa menakut-nakuti roh kehidupan yang ada di pepohonan.”

Ia lalu berbalik, secepatnya berlari pergi. Melintasi jalan tanah, melintasi pepohonan.

“Tu!” ia mendengar seseorang berteriak.

Tu terus berlari, tak tahu apakah harus menangis atau tertawa.

Padang, 30 Juni 2005

Keterangan:Suku Lom: adalah sebuah suku terpencil yang tinggal di Dusun Air Abik, Dusun Pejam, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Suku ini dikenal sebagai suku yang masih sangat kuat memegang kemurnian tradisi mereka di tengah perubahan zaman. Umumnya orang-orang suku Lom mencela hidup orang kota yang sudah kehilangan jati diri.Kek Anta: Nenek moyang suku Lom, ia dipercaya sebagai seorang yang sakti yang diibaratkan dapat melahirkan berbagai wujud alam di Bangka seperti batu, sungai, hutan, gunung, dan lain-lainBu: nasiPenimba Mato Kiamat: Pelindung bencana besar.Jirat: semacam mantra untuk menjaga ladang dari pencurian.

==============================RAMBUT GONDRONG ZULBoim Lebon

07:30. Zul masih ngulet di atas kasur. Gaya nguletnya lain daripada yang lain! Kaya penari balet lagi show, tangannya melesat ke atas, kakinya megar, terus pose beberapa detik,

Page 9: Koleksi Cerpen Majalah Annida

baru ganti gaya lagi! Ya, begitu berulang-ulang, sampai akhirnya cowok bernama lengkap Zulkifli itu melintir dan jatuh dari atas kasurnya! Gedubraaak! “Aduuh…! Kenapa saya ada di sini?” Zul mengucek-ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik, kaya mata itik. Hihihi. Setelah menyadari bahwa dirinya barusan bermimpi terjun payung dari pesawat hercules, cowok kelas satu aliyah itu berusaha bangun untuk langsung mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong… iiih… kok jadi nyanyi? “Iiih, kenapa juga saya bisa ada di sini?” Zul melihat ke jam dinding yang tertawa. Zul kaget. “Wow, udah siang!” Cowok yang punya berat badan 55 kg itu segera bergerak meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi, tapi sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, anak yang punya rambut panjang menjuntai nyaris melewati bahunya itu tertegun. Dia melihat ada seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah yang jelek banget! Muka gembil dan rambut panjang awut-awutan. Zul kembali mengulang adegan, yaitu mengucek-ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik itu. Zul menajamkan pandangan ke arah sosok misterius. Tentu saja sambil membaca doa-doa yang dihapalnya. “Allahumma barik lana fima rajak tana wa kina aja bannnar, eh itu sih doa mau makan, Ya Allah doa apalagi ya?” Zul mulai panas dingin. “S-siapa dia? Makhluk halus dari mana ini? Hiiii… syereeem!” Zul kembali mengucek-ucek matanya (iiih, apa nggak ada adegan lain? Dari tadi ngucek-ngucek mata melulu!), sambil menahan napasnya dan mengamati sosok aneh bin ajaib di hadapannya itu, dan ternyata… olala, cowok yang punya pipi temben itu pun tersadar sambil nyengir, rupanya dia sedang berdiri di depan cermin! Hihihi. Akhirnya Zul dengan cengengesan segera masuk ke kamar mandi. “Kirain ada penampakan…!”

***

04:00 Sebetulnya Zul sudah bangun pada jam segitu. Shalat tahajud dua rakat, plus witir tiga rakaat, terus berangkat ke masjid di belakang rumah. Shalat Subuh berjamaah, ikutan ta’lim masjid, terus balik lagi ke rumah, terus mata sepet, ya tidur lagi, deh! Yah, Zul masuk sekolah siang, jadinya dia masih bisa tidur lagi setelah aktifitas ibadah paginya beres. Zul ini anak kos-kosan. Tadinya sih dia sekolah di daerah Tangerang, sekolah di SMP Negeri, tapi karena dia ingin masuk ke sekolah agama yang bagus menurut informasi yang dia terima, maka akhirnya dia sekolah di luar kota. Waktu itu Zul bertemu sama Yudha, kakak kelasnya yang cerita kalo di sebuah daerah ada sekolah SMU yang berasrama dan memiliki sejumlah mata pelajaran bagus, artinya ada keseimbangan antara pelajaran umum dan pelajaran agamanya, bahkan kata Yudha,

Page 10: Koleksi Cerpen Majalah Annida

banyak siswanya yang sudah hapal Qur’an. Zul tertarik. Dia ngomong sama ortunya dan ortunya setuju sekallleee! Apalagi Zul waktu itu bilang dia mau berubah jadi anak yang shaleh, nggak mau banyak main, nggak mau naksir-naksiran lagi, pokoknya nggak mau buang-buang waktu lagi, deh! Percuma! Nggak benar itu filosofi muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga! Uh, nehi! Tapi pas Zul daftar, di sekolah itu lagi ada renovasi, akibatnya asramanya nggak bisa langsung dipakai. Jadinya dia kudu kos dulu. Namun begitu ia merasa tetap bisa melatih sifat kemandirian. Misalnya dengan cara belajar bangun malam untuk shalat tahajud, nyuci baju sendiri, masak nasi sendiri, mandi sendiri! Hihihi. Tapi untuk bangun malam, kadang-kadang masih sering kebablasan. Apalagi kalo malamnya dia keasyikan nonton tivi, jangankan tahajud, subuh juga suka los! Makanya mulai sekarang dia nggak mau lagi di kamarnya ada tivi! Pokoknya yang namanya tv tidak boleh ada di kamar lagi, harus masuk ke ruang tamu! Lho, kok cuma pindah ke ruang tamu? Sama aja, dong! Nggak, pokoknya nggak ada lagi yang namanya tivi, radio, cd, vcd, dvd, si didi, eh, ini kan nama kucing tetangga, pokoknya semua harus mengungsi dari ruangan ini!” Ya, sebetulnya menurut Zul yang namanya tivi itu bisa dibilang penting nggak penting! Dibilang penting karena suka ada informasi menarik, tapi jadi nggak penting karena di sana masih suka ada tayangan yang bikin mata dan hati risih. Bahkan kalo diitung-itung masih banyak yang bikin risih daripada yang berisi. Jadi ya gitu deh, penting nggak penting, pokoknya harus ngungsi! Yang jelas, untuk sementara tivi itu harus diparkir di dalam lemari pakaiannya, berikut perangkat lunak lainnya. Nanti, kalo acara-acara tivi di Indonesia udah banyak yang baik dan benar Zul akan memajangnya kembali. Zul sudah mandi. Mencari baju di lemari bajunya yang penuh sesak dengan segala macam barang, jadi selain ada baju, ya ada tivi yang disimpan, juga ada album foto kenangan waktu SMP dulu. Aduh, Zul mesem-msesem melihat foto seorang cewek cantik dalam album itu. “Maharani kamu kok cantik banget, sih?” kata Zul sambil geleng-geleng kepala, ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah. Dulu Zul naksir banget ama si Rani itu, bahkan sampai sering ngimpi berdampingan dengan Maharani hingga akhir hayat. Duilee! Tapi ketika Zul mendapat nasihat dari Yudha supaya jangan mikiriin cewek dulu, Zul berusaha melupakan Maharani yang sebetulnya sudah mulai memberikan lampu ijo. “Udahlah Zul jangan mikirin yang begituan dulu kalo lo mau cita-cita kesampaian,” pesan Yudha. Buat Zul, berat melupakan Maharani yang cantik, makanya ketika dia ingin pindah sekolah ke sekolah agama yang bagus, pikirnya sekalian aja biar bisa ngelupain Maharani, deh. Biar nggak ketemu-ketemu lagi, gitu! Abis, kalo masih ketemu susah ngelupainnya! Tapi untuk sementara Zul belum bisa membuang sisa-sisa foto itu, makanya sebagian disembunyikan di lemari bajunya. Itung-itung pengganti kamper!

***

Page 11: Koleksi Cerpen Majalah Annida

08:30! Ini adalah hari Jum’at! Saatnya untuk bersih-bersih!Zul yang sudah mandi, langsung mau nyari barbershop! Doski mau potong bebek angsa, eh sori, mau potong rambut! Udah tiga bulan lebih cowok kelahiran kota industri ini nggak potong rambut sehingga rambutnya mulai gondrong. Lagian kasihan sama kutu, jadi pusing kalau mau jalan-jalan di kepala Zul. Juga Ustadz Hendra paling nggak suka melihat santri cowok berambut gondrong! Setelah rapih-jali, Zul keluar kamar untuk mencari tukang potong rambut. Ketika melewati sebuah pusat pertokoan, Zul mampir dulu. Mau lihat-lihat dan numpang ngadem.Biar pun baru buka tapi pusat pertokoan itu sudah ramai. Zul melihat-lihat deretan kemeja yang dipajang, dan tiba-tiba Zul beristigfar, karena di ujung sana nampak seorang cewek cantik berdiri memandang ke arahnya. Zul terus ngucap sambil berusaha menundukkan pandangan, dia nggak mau tergoda untuk melihat sosok itu. Ya, biarpun baru beberapa bulan jadi anak sekolah agama, Zul sudah ingin kelihatan sebagai anak santri yang hakiki. Sambil melihat-lihat ke deretan kemeja dia terus saja menundukkan pandangan, dan ketika mendekati ke arah cewek cantik itu, Zul tanpa sengaja melihat ke arah kakinya, lho kok… menggantung? Zul kaget. “Setan? Masak sih, siang-siang ada setan?” Buru-buru Zul merapal doa-doa yang dihapalnya lagi, “Allahuma barik lana, iiih, kok doa mau makan lagi? Bismilllah… Bismillah…” Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Again, ngucek-ngucek mata lagi? Abis, mau ngucek-nguce mata siapa lagi! Akhirnya Zul memastikan sosok cewek cantik tadi… oops, teryata sebuah manekin!Zul jadi ngikik sendiri! Capek-capek udah jaga pandangan mata, taunya cuma cewek boongan alias boneka peraga yang sengaja di pajang di sudut toko! Ih, jijay bajaj!Setiap minggu, biasanya menjelang shalat Jum’at si Zul emang suka rapih-rapih, dengan memotong kuku tangannya, kuku kakinya dan juga kalo kerajinanan sampe ke kuku-kuku teman-temannya. Hehehe. Eh, asal jangan motongin kuku kaki kuda aja! Disepak tau rasa, deh, Zul! Zul memang paling terkenal rapi-rapi. Eh, rapi itu bersih, dan bersih itu sebagian daripada iman. Iya, kan? Tapi kadang suka kelewatan, bisa hampir semua tempat dia rapihkan. Dari mulai kamar, terus lemari bukunya, terus kamar mandinya, dan kadang-kadang kelasnya juga dirapikan, terus sandal-sandal di masjid, sandal-sandal di toko… Hihihi.

***

09:15 Di dekat pertokoan ada sebuah barbershop, dan Zul berjalan ke arah tempat itu. Tapi penuh. “Berapa orang lagi nih, Kang?” tanya Zul ke tukang potong rambut. “Yang ngantri?” “Ya, ada empat setengah kepala lagi, deh!”

Page 12: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Lho, kok pake setengah, sih?” “Yang satu anak kecil!” “Oooh…” Kalo diitung-itung setiap kepala menghabiskan waktu setengah jam, berarti bisa dua jam lebih Zul harus menunggu giliran dipotong rambutnya. “Hm, daripada nunggu dua jam mendingan cari tempat lain, deh!” Zul memutuskan naik angkot yang melewati pasar tradisional, di sana kayanya lebih banyak tempat untuk potong rambut. Tapi pas sampai sana tempat itu juga penuh! “Duile, banyak banget orang mau potong rambut!” Zul melihat ke jam tangannya, menghitung-hitung, “Hmm, setengah dua belas sudah harus siap shalat jum’at, nih. Jadi masih sempat mencari tempat lain.” Ya, Zul memutuskan jalan lagi untuk mencari tempat cukur yang lain.

10:30 Pas di barbershop pojokan pasar Zul menarik napas lega, karena agak mendingan, di situ si tukang cukur cuma nyukur satu orang aja. “Berarti cuma nunggu sebentaran, nih,” kata Zul seraya bersiap memasuki tempat cukur rambut. Tapi begitu mau masuk ke barbershop, Zul kaget bukan main. Dia melihat Maharani! Dia langsung mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Kali ini nggak cuma sekali mengucek, bahkan sampai pake so clean segala biar pandangan matanya jadi is the best! “Eh, nggak salah lihat, nih?” “Eh, Zul?” ujar si Rani. “R-ante eh kok rante, R-ranii?” “Kok kamu di sini?” tanya Maharani lagi. “Saya kan sekarang sekolah di sini, mondok di sini, kamu sendiri ngapain di sini?” tanya Zul masih nggak percaya. “Lagi ke rumah nenek. Dia sakit jadi sekeluarga pada nengokin. Iiih, gak nyangka ya bisa ketemu di sini,” ujar Rani kelihatan senang bertemu Zul. “Eh, i-iya,” kata Zul mulai deg-degan. “Udah lama juga ya nggak ketemu, sejak lulus sampe sekarang. Lama juga ya?” “Iya, hampir setengah tahun.” “Eh, kamu gemukan, deh!” komentar Maharani lagi. “Makan melulu ya?” Zul nyengir. Pantesan aja yang diingatnya cuma doa mau makan! “Di sini udaranya kan masih bersih,” jawab Zul memberi alasan kenapa badannya tumbuh subur. “Terus kamu ngapain?” “M-mau potong rambut...” “Potong rambut? Kayanya kamu bagusan gondrong, gitu. Manglingin tau. Aku aja tadi nggak tau kalo itu kamu.” “Ooh, gitu ya?” idung Zul kembang-kempis. 11:30

Page 13: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Sebelum azan berkumandang Zul sudah ada di masjid sekolahan, untuk shalat Jum’at berjamaah. “Hei, Zul, rambut kamu masih gondrong? Ntar ditegur Ustad Hendra lho!” kata Ridwan yang menggelar sajadah di samping Zul. “Iya, nih, mungkin besok kali baru gue mau potong. Abis, abis…” “Abis kenapa?” “Ah, abis… abis...” Zul nggak berani meneruskan kata-katanya hanya dalam hatinya dia bertekad, untuk menjadi calon santri yang baik, harus mampu mengenyahkan godaan, termasuk godaan dari sang cewek pujaan yang tiba-tiba saja muncul di sebuah kota yang berjarak sekitar 300 kilo meter dari kota asalnya itu! “Abis jum’atan deh, baru potong...” kata Zul lagi. “Lho, kan sunahnya sebelum Jum’atan rapih-rapih, bersih-bersih…” Zul cuma nyengir.

***

16:45 Zul bertekad potong rambut! Habis shalat Ashar, kebetulan jam terakhir kosong, Zul kembali mencari barber shop. Tapi anehnya Zul mendatangi tempat cukur di mana dia bertemu dengan Maharani tadi. “Kayanya nyukur di sini enak, deh! Adem,” kata Zul beralasan. Atau Zul masih berharap ketemu lagi dengan cewek cantik mantan incerannya di SMP dulu? “Ah, nggak! Ini baru salah satu godaan, pokoknya saya harus potong rambut! Apapun yang terjadi! Niatnya potong rambut. Biar kelihatan rapih dan bersih! Titik! Nggak ada niat-niat lain! Titik. Tapi kalo dia nongol lagi, gimana? Koma…” “Mau dipotong model apa nih?” tanya tukang cukur mengingatkan Zul yang bengong. “Eh, potong pendek Kang!” “Sepuluh senti, lima senti?” “Satu senti!” “Botak dong?” Tak lama, rambut Zul sudah hampir lenyap dipangkas pisau cukur. Tersisa sedikit. Zul kelihatan lebih segar, karena kepalanya yang punya satu pitak itu kelihatan lebih cerah dan bercahaya, apalagi kalo berdiri di bawah lampu neon! “Masa bodo, kalo ntar ketemu Maharani lagi dan dia bilang suka rambut gondrong masa bodo! Rambut gue sekarang botak dan itulah gue!” Eh, pas keluar dari barbershop anehnya Maharani lewat lagi. Tentu saja Zul kaget lagi, tapi kali ini dia nggak perlu ngucek-ngucek mata lagi. Nanti terlalu banyak pengulangan adegan! “Eh, kok ketemu lagi, sih? Jadi sepeti kebetulan, deh!” tegur Zul ke Rani. “Iya, kaya di sinetron-sinetron!” jawab Maharani menimpali. “Tadi siang belanja tapi masih ada yang kurang, terus disuruh ke sini lagi, deh. Lha, kamu juga ngapain lagi di sini?” "Potong rambut!” kata Zul menjawab dengan mantap.

Page 14: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Ow, pantesan, kamu jadi kelihatan botski begitu? Aduuuh… bagus banget! Jadi keliatan rapih!” “Lha, tadi kamu bilang suka cowok rambut gondrong?” “Oh, saya sih melihat cowok rambut gondrong suka, melihat cowok rambutnya botak juga suka…” Hah, Zul jadi bingung. Tapi kini tekadnya sudah bulat, “Tapi sori, saya harus cepat pulang, karena menjelang magrib ada ta’lim!.” “Cepat pulang? Iih, kayaknya lagunya slank aja. Eh, tapi aku paling suka deh sama cowok yang hobi ta’lim!” Hah? “Boleh ikutan ta’lim, Zul?” “Eh nggak, nggak boleh ini ta’lim khusus santri!” jelas Zul. “Khusus anak-sanak sekolahan aja!” “Ikut pulang bareng, deh! Kita kan satu arah. Rumah nenekku di belakang sekolahan kamu lho, ternyata!” “Eh jangan…!” “Dulu kamu paling sering ngajakin pulang bareng. Kamu kok sekarang berubah, deh!” “Eh iya, eh nggak, eh iya, ehenggak, eh iya gue udah berubah, eh nggak kok! G-gue masih seperti yang dulu, yuk kita pulang bareng…” Maharani tersenyum. Tapi ketika hendak melangkah menggandeng tangan Rani, kaki Zul tersandung badan trotoar. Dia terjatuh! Gedubraaak! “Eh, di mana nih?” Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu sambil melihat ke sekelilingnya. “Lho, Maharani mana? “Hei suara apa, itu?” teriak suara bariton dari arah depan. Tak ada jawaban, yang ada hanya cekikikan anak-anak sekelas! “Zul, kenapa kamu? Ya, ampun tidur lagi!” “Astagfirullah, j-jadi, j-jadi saya m-mimpi? Alhamdulilllaaaah…!” teriak Zul dari bangkunya! “Hei, Zul, “ bentak Ustadz Hendra dari depan kelas, “kamu ngigo ya? Di kelas kok bisa tertidur? Cepat bangun dan cuci muka sana!” “Eh iya, Pak…” “Hei Zul,” tahan ustad Hendra, “kenapa rambutmu belum dipotong?” “Eh, nanti pulang pulang sekolah…” jawab Zul dengan cepat ngeloyor keluar kelas. Sementara tawa cekikikan anak sekelas belum juga mereda. Hihihi.

Muharam 1426 H

====================SLAMET, HEPY, DAN TAHUN BARUIyus

Pagi tahun baru 2006 di rumah Erdin dibuka dengan kehebohan. Pasalnya, Mami mencak-mencak ketika masuk ke kamar mandi tercium aroma jengkol yang menyengat.

Page 15: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Erdin, Zef, Atiee……!!!” teriak Mami dengan histeris, mengingatkan orang pada jurus Auman Singa di film Kungfu Hustle-nya Stephen Cow.

Erdin yang lagi berskiping ria, buru-buru berlari ke arah si empunya suara. Bang Zef yang masih gosok gigi langsung mencelat keluar dari kamar mandi. Sementara Mpok Atie yang asyik memupuri mukanya, spontan ngibrit menuju asal suara.

“Ada apa sih, Mi…??” tanya Erdin, Bang Zef, dan Mpok Atie bareng-bareng, kayak keluar dari satu tenggorokan.

“Siapa yang pipis dengan aroma jengkol ini?!” tanya Mami dengan gaya interogator.

Ketiga kakak beradik itu serentak mengendus-ngendus aroma yang dimaksud Mami.

“Hmm…jengkol jenis apa nih?” tanya Erdin sambil terus mengendus.

“Kayaknya semur jengkol nih…” sahut Bang Zef.

“Ah, bukan. Ini mah kerupuk jengkol,” ralat Mpok Atie.

“Kalian ini apa sih?!” sergah Mami sambil melotot. “Mami tanya siapa yang pipis dengan aroma jengkol ini, bukan identifikasi jenis jengkolnya!”

“Hmm…Mami baru nyadar ya?” tanya Bang Zef. “Fenomena ini kan muncul sejak si Slamet numpang di rumah kita.”

“Iya, Mi,” timpal Mpok Atie. “Mami ingat nggak, kemaren kamar mandi kita beraroma apa? Pete kan? Itu karena dia habis makan pete dua papan.”

“Ya Allah, Slamet!” pekik Mami. “Aduh, gimana caranya menghilangkan aroma jengkol ini ya?”

“Tenang, Mi,” sahut Erdin dengan gayanya yang tengil. “Menghilangkan aroma jengkol ini sangat mudah.”

“Caranya?” tanya peserta yang hadir.

“Caranya, nanti kalo Slamet datang, kita suruh dia makan pete yang banyak, karena aroma pete dapat menghilangkan aroma jengkol yang menyengat.”

“Lha, nanti kan jadi bau pete?” protes Mpok Atie.

“Jangan panik! Untuk menghilangkan bau pete, caranya juga sangat mudah.”

“Gimana caranya?” tanya semua orang.

Page 16: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Suruh si Slamet makan jengkol lebih banyak lagi, karena aroma jengkol dapat menghilangkan aroma pete yang menyengat.”

Bang Zef siap memoles kepala Erdin, tapi si empunya kepala buru-buru kabur ke depan untuk melanjutkan skipingnya. Pas Erdin membuka pintu, Slamet muncul. Erdin hampir nabrak cowok jangkung itu.

“Eh, Met, kamu dicari Mami tuh,” sambut Erdin.

“Ada apa?”

“Soal jengkol!”

“Jengkol? Ada apa dengan jengkol?”

Erdin ngangkat bahu. Slamet ngoloyor ke dalam. Mami yang masih uring-uringan langsung mendampratnya.

“Slamet, kamu kalo makan jengkol jangan pipis di sini!” rutuk Mami.

“Lha, jadi saya harus pipis di mana, Tante?” tanya Slamet dengan wajah lugu.

“Di terminal sana!” sungut Mami. “Kamu tahu nggak sih, di rumah ini nggak ada orang yang doyan jengkol.”

“Habis, saya bingung harus makan apa, Tante. Sekarang kan lagi musim makanan mengandung formalin. Daripada saya kena penyakit, saya makan jengkol aja yang bebas formalin. Lagian kan jengkol mengandung vitamin B, A, dan U yang tinggi, Tante.”

“Vitamin B, A, dan ..?”

“Iya, Tante...” jawab Slamet, kalem. “Vitamin B..A..U...”

Itulah segelintir masalah yang dihadapi keluarga Erdin di tahun baru. Slamet yang jadi trouble maker itu datang persis subuh-subuh di malam tahun baru kemarin. Katanya dia habis ikut pawai tiup terompet sama teman-teman sekampungnya di monas. Sambil niup terompet yang bikin kuping kriting, cowok itu melas-melas supaya diizinkan numpang tidur di rumah Erdin.

“Please dong, Tante, rumah saya lagi kena banjir tahunan. Saya kan nggak mungkin tidur di emperan toko. Tahun baru gitu loh, Tante...”

“Kamu ini! Udah tahu rumah kebanjiran malah ikut pawai tahun baruan!” semprot Mami. “Memangnya dengan niup terompet banjir di rumah kamu itu bakal surut?”

Page 17: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Ya, nggak sih, Tante,” sahut Slamet. “Kan nggak perlu niup terompet banjirnya juga lama-lama surut sendiri.”

Sambil menahan dongkol, Mami akhirnya mengizinkan Slamet untuk nginap di rumahnya. Kedongkolan Mami memang ada alasannya. Terbukti, besoknya, pagi-pagi buta, dari kamar Slamet melengking lagu dangdut yang digeber dengan volume tinggi.

“Aku bukan pengemis cintaaaa......!”

Mami yang lagi tadarusan di kamarnya langsung syok.

“Slameeet...!” Mami menahan gemeletuk giginya sambil keluar lalu menggedor pintu kamar Slamet.

“Slamet, buka pintunya!” teriak Mami.

Pintu terbuka, kepala Slamet nongol. Terasa hempasan angin diikuti raungan musik dangdut yang keluar dari kamar Slamet.

“Ada apa, Tante?” tanyanya tanpa dosa.

“Kamu sadar nggak ini jam berapa?”

“Emang kenapa, Tante?”

“Emang kenapa?” Mami melotot. “Kamu pikir apa yang biasa dilakukan orang pagi-pagi buta begini?”

“Tidur lagi. Tapi, saya lagi senam aerobik, Tante. Tante mau ikut? Sini ke dalam, Tante!”Mami sudah tak sanggup lagi. “MATIKAN MUSIKNYAAAA.....!”

Jurus Auman Singa lagi. Dan Slamet langsung mencelat ke dalam, lalu raungan musik dangdut itu pun mati seketika.

***

SELAMAT TAHUN BARU 2006. Triple-E membaca spanduk gede yang terpampang di pintu masuk RSJ Mendingan Waras itu.

“Jadi, sekarang mami kamu selalu mengeluarkan jurus Auman Singa setiap marah sama sesuatu?” tanya Evita, ngomentarin cerita tentang si Slamet yang heboh.

“Tadinya ogut khawatir itu jadi kebiasaan baru Mami dalam rangka mengisi tahun baru 2006 ini,” sahut Erdin. “Tapi, pas si Slamet udah balik lagi ke rumahnya, Mami udah nggak teriak-teriak lagi tuh.”

Page 18: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Berarti nasib kita masih lebih baik, Ta,” timpal Eddy. “Di tahun baru ini kita juga lagi kedatangan tamu, Din. Hepy namanya. Dia anak kakaknya Bibi Maryam yang lagi tugas di Jakarta.”

“Gimana orangnya? Rese kayak si Slamet nggak?”

“Untungnya nggak. Semua kebiasaannya normal-normal aja.”

“Cuma,” timpal Evita. “Narsisnya itu nggak ketulungan. Setiap hari dia ngebangga-banggain soal kehebatan prestasi kerjanya melulu. Pegawai teladan-lah, the rising star-lah, pokoknya bikin bete deh!”

“Wah, itu bagus. Berarti si Hepy itu orangnya kreatif dan inovatif.”

“Iya sih. Cuma kadang-kadang ngenyeknya itu bikin kuping panas. Abis, dia selalu ngebandingin pekerjaannya dengan pekerjaan kita di Wistang.”

Slamet, pasien RSJ yang masih suka angot, muncul sambil menjinjing kantong semen berisi sesuatu. Di belakang Slamet, Pak Munadi berjalan membuntuti dengan muka curiga.

“Hei, Slamet, bawa apa kamu?” teriak Pak Munadi.

Slamet cengar-cengir di tempatnya. “Ini Apel...!”

Slamet menunjukkan bungkusan kantong semen berisi tikus hasil buruannya yang bergerak-gerak.

“Kamu jangan macam-macam ya, Met. Di sini dilarang piara binatang! Awas kamu kalau ketahuan bawa binatang.”

Pak Munadi pergi sambil menggerutu. Triple-E menghampiri Slamet.

“Eh, Met, tikus jenis apa yang berhasil kamu tangkep?” tanya Eddy.

“Ini Apel!” sahut Slamet dengan sengit.

“Coba sini saya lihat!” Erdin mengambil kantong semen dari tangan Slamet lalu membukanya. Dua ekor tikus di dalamnya langsung berlompatan.

“Nah, ini tikus kan? Kamu bilang ini apel? Gimana sih kamu?” sungut Evita.

“Iya...ini memang tikus, tapi saya kasih nama Apel!”

Triple-E geleng-geleng kepala, lalu ngeloyor menuju ruang Om Probo.

Page 19: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Di tahun baru ini, Om ingin membuat program yang mengarahkan pasien untuk berpikir secara ilmiah. Harapan Om, pasien yang sudah mulai sembuh bisa menggunakan kembali nalarnya dengan baik.”

“Apa nama programnya, Om?”

“Lomba berpikir ilmiah. Tapi, pasien nggak perlu harus membuat percobaan. Yang penting mereka punya ide untuk kita nilai ilmiah atau tidak.”

Ide Om Probo itu digelar dua hari kemudian.

“Kamu punya ide ilmiah apa?” tanya Om Probo kepada seorang pasien yang asyik mengunyah makanan.

“Ini hasil penelitian dadakan, baru aja saya lakukan.”

“Apa hasil penelitian kamu?”

“Menggabungkan dua jenis tanaman yang berbeda spesiesnya. Saya rasa ini pasti berhasil.”

“Oh ya?” Om Probo, antusias. “Apa dua jenis tanaman itu?”

“Kelapa dan singkong.”

Om Probo berpikir sebentar. “Apa yang terjadi dengan kedua tanaman itu?”

“Jadi getuk,” sahut si pasien sambil menunjukkan makanan di tangannya.

Sementara itu Triple-E sedang menghadapi Dulkamdi dan Jonted yang terlibat perang mulut. “Kenapa kalian berantem?” tanya Erdin.

“Dia ngatain saya kambing kurap!” teriak Dulkamdi setengah menangis. “Saya kan selebritis!”

“Lho, saya cuma bilang, “Selamat Tahun Baru, Kambing Kurap!”. Emang itu salah?” balas Jonted nggak mau kalah.

“Jelas salah,” sahut Eddy. “Soalnya teman kamu ini bukan kambing, apalagi kambing kurap. Dia ini selebritis...”

“Kamu harus minta maaf sama dia,” kata Evita. “Bilang, “Selamat Tahun Baru, Selebritis.” Ayo!”

Page 20: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Ntar dulu. Saya mau tanya,” kata Jonted. “Kalau saya nggak boleh ngatain selebritis sebagai kambing kurap, boleh nggak saya ngatain kambing kurap sebagai selebritis?”

Triple-E berpikir sebentar.

“Boleh!” jawab Erdin mantap. “Boleh banget. Ayo lakukan!”

“Asal kambing kurap itu nggak tersinggung aja,” timpal Eddy.

“Terima kasih kalo begitu,” ucap Jonted. Habis gitu dia ngomong keras-keras ke arah Dulkamdi, “Selamat Tahun Baru, Selebritis!”

Dulkamdi tersenyum senang. Triple-E kelihatan lega karena berhasil mendamaikan dua pasien itu. Sementara Jonted ngoloyor sambil nyengir penuh kemenangan.

“Ah, kena kita dikadalin si Jonted!” cetus Evita.

“Iya, ogut juga baru sadar...” Erdin menyahut dengan lesu.

“Jadi...tetap saja si Dulkamdi itu kambing kurap kan...?” tanya Eddy, sambil memanyunkan bibirnya.

*** Di rumah Eddy, keluarga Bibi Maryam sedang membicarakan soal Hepy, keponakan Paman Yadi yang numpang tinggal buat ngurus kenaikan jabatannya di kantor cabang Jakarta.

“Kalian contoh tuh si Hepy,” cetus Bibi Maryam. “Kerja baru satu tahun, dia sudah mau diangkat jadi kepala cabang Jakarta. Hebat nggak tuh?”

“Satu tahun?” Eddy bertanya sambil ngemil combro. “Gimana bisa? Kalo nggak nyogok, pasti ada main tuh si Hepy.”

“Buruk sangka deh!” sungut Bibi. “Ingat ya, sirik itu tanda tak mampu.”

“Bukan sirik, Bi,” ralat Evita. “Eddy cuma curiga. Kepala Cabang itu kan jabatan tertinggi di kantor cabang. Masa sih bisa didapat cuma dalam jangka satu tahun?”

“Ogut baru percaya kalo si Hepy itu kerja di ABTI.”

“ABTI?” tanya Bibi Maryam. “Apa itu?”

“Asosiasi Bandar Togel Indonesia...”

“Ah, kamu!” sergah Bibi, sebel. “Kalo sirik bilang aja sirik!”

Page 21: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Tahu-tahu yang diomongin nongol. Hepy muncul dari pintu gerbang diapit sama Bang Zambronx yang pake seragam polisi! Triple-E langsung melotot. Bang Zambronx preman jalanan jadi polisi?

“Hai!” sapa Hepy dengan riang. “Lagi pada ngobrolin apaan nih?”

“Nggak, lagi kaget aja ngelihat gandengan kamu.”

“Oh ya? Kenalin nih. Bang Zambronx...”

“Kamu ngapain juga, Bronx, pake pakaian polisi? Kamu kan preman?”

“Biarin. Polisi aja boleh pake pakaian preman, kenapa preman nggak boleh pake pakaian polisi?”

Evita menarik tangan Hepy sambil berbisik, “Ngapain juga kamu bergaul sama Zambronx? Kamu kan cewek baik-baik, Py!”

“Ih, biarin aja. Bang Zambronx kan juga preman baik-baik.”

“Kamu jangan ngeyel ya, Py! Kamu anak baru di sini. Aku tuh tahu banget gimana kelakuan Zambronx.”

“Aku cuma berteman kok. Lagian Bang Zambronx tuh orangnya baik, suka nolong aku kalo lagi digangguin sama cowok-cowok norak di sini.”

Evita cuma bisa geleng kepala. Hepy nggak bisa dikasih tahu kalau Zambronx itu BD yang paling dicari sama polisi berpakaian preman. Dia itu bukan cuma BD narkoba, tapi juga BD togel.

“Abang balik dulu ya, Py,” kata Zambronx sambil melambaikan tangan. “Kalo kamu dapat masalah sama cowok-cowok di sini, jangan ragu-ragu buat ngontak Abang. Daag..!”Hepy balas berdaag ria. Eddy dan Evita saling pandang sambil tersenyum sepet.

“Eh, Bi, besok aku menghadap direktur utama buat ngomongin soal pengangkatan aku jadi kepala cabang Jakarta. Bibi mau nggak nganterin aku?”

“Ah, Bibi malu, Py,” sahut Bibi Maryam. “Ajak Eddy dan Evita aja tuh. Biar mereka bisa belajar sama kamu, gimana caranya mengukir prestasi kayak kamu.”

“Boleh,” jawab Hepy sambil melihat Eddy dan Evita dengan pandangan nyebelin, “asal mereka nggak bikin bete aja.”

Page 22: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Besok paginya, Hepy sudah melenggang di kantornya dengan lagak tengil yang nggak ketulungan. Apalagi di kanan dan kirinya berjalan Eddy dan Evita dengan wajah manyun. Pikiran Hepy, orang pasti menganggap dua saudaranya itu bodyguard sewaannya.

“Kalian tunggu di sini ya!” perintah Hepy. “Aku mau menghadap dirut yang udah nggak sabar buat ngangkat aku jadi kepala cabang di sini.”

Eddy dan Evita cuma bisa menatap Hepy dengan sinis campur pasrah. Hepy melangkah dengan gagah gemulai menuju ruangan dengan pintu bertuliskan “Don’t Disturb! Dirut Gitu Lohh..!”

“Kepala cabang?” gerutu Eddy. “Huh, amit-amit cabang bayi...!”

“Paling urusannya dari Cabang sampai Merauke...” sahut Evita.

Sementara di dalam ruang dirut, Hepy duduk dengan khusyuk, menunggu detik-detik dirut mengeluarkan suara emasnya yang berisi persetujuan pengangkatan dirinya sebagai kepala cabang.

“Hepy...” akhirnya setelah ditunggu lama, terdengar juga suara dirut. “kamu sudah satu tahun bekerja di perusahaan ini. Mulai dari jadi SPG (Sales Promotion Girl), lalu STM (Sales Ter-Manja), dan terakhir SMA (Sales Minta Ampun). Hari ini saya telah memutuskan untuk mengangkat kamu menjadi kepala cabang Jakarta.”

Hepy kelihatan senang bukan main, wajahnya bercabang-cabang...senang, bahagia, bangga, dan senang lagi.

“Nah, apa pendapat kamu tentang keputusan saya ini, Hepy?” tanya sang dirut.

“Terima kasih...” suara Hepy terdengar pelan.

“Terima kasih? Cuma terima kasih yang bisa kamu lakukan?”

“Iya deh iya...terima kasih atas semua kebaikan Papi selama ini kepada Hepy...”

Eddy dan Evita yang diam-diam mengintip adegan itu, nggak tahan untuk nggak ketawa. Dasar si Hepy Anak Papi! ***

========================OnenganHanan Novianti

Perjalanan terasa amat panjang, padahal jam baru menunjukkan pukul 1.15 siang. setengah jam sejak aku naik becak ini. Sinar matahari begitu terik, membuat peluh dan dahaga. Atap becak yang melindungi seolah tidak sanggup menahan pancarannya. Aku berpikir tentang bapak si tukang becak. Luar biasa semangatnya mencari nafkah. Terik

Page 23: Koleksi Cerpen Majalah Annida

matahari seperti bukan halangan baginya untuk terus mengayuh. Mengayuh pedalnya, mengayuh hidupnya. Aku melirik ke sebelahku, Mbak Narti. Sejak menjemputku tadi di terminal ia tidak banyak bicara. “Masih jauh ya, Mbak?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Ndak, kok. Sebentar lagi. Habis ini kita masuk ke gang yang di sebelah sana itu. Kamu udah ndak sabar, ya?”

Sebentar lagi itu ternyata masih setengah jam lagi. Setelah kami masuk ke gang kecil, kami masih harus belok kanan, belok kiri, belok kanan lagi... Lalu berhentilah kami di depan sebuah rumah besar berpagar kayu setinggi pinggang. Ada pohon jambu dan mangga di pekarangannya. Beberapa ekor ayam bertengger di atas pintu pagar. Rumah itu kelihatan apik, bersih. Aku menarik napas lega. Akhirnya sampai juga.

“Iki, Pak,” perjalanan tadi kami bayar dengan lima ribu rupiah saja. Di daerahku, tidak mungkin dibayar segitu. Aku menunggu sampai Mbak Narti masuk ke pekarangan, lalu kuberikan uang tambahan kepada tukang becak itu. Dia tersenyum. “Matur nuwun,” ujarnya.

Aku mengikuti Mbak Narti masuk ke pekarangan. Ayam-ayam yang tadi bertenggeran di pintu pagar kini asyik mematuk-matuk tanah.

“Dikasih lima ribu juga dia mau. Biasanya juga segitu,” ternyata Mbak Narti tahu aku memberi tambahan uang ke bapak tukang becak.

“Habis kasihan, Mbak. Panas-panas begini narik becak. Jauh, lagi.”

“Ya, memang pekerjaannya begitu. Sudah resiko. Tapi kamu ini murah hati. Seperti Mbah-mu.”

Mbak Narti kemudian mengetuk pintu. “Kula nuwun...”

Tidak berapa lama keluar seorang perempuan seusiaku. Ketika dia melihat Mbak Narti, wajahnya langsung sumringah. “Oalah... Mbak Narti. Tak kira sopo.” Perempuan itu melihat ke arahku. “Mbak Ima, ya? Monggo. monggo, masuk. Sudah ditunggu Mbah Batik.”

Kami pun masuk ke dalam rumah, duduk di atas kursi kayu berukir.

“Kalau di sini, Mbah Sumi dipanggil Mbah Batik,” celetuk Mbak Narti. Aku cuma mengangguk seraya tersenyum tipis.

Aku merasa jantungku berdetak semakin kencang. Tanganku berkeringat. Pertemuan ini adalah pertemuan pertama sejak 12 tahun yang lalu. Mbah Sumi datang ke rumah dengan mengenakan kebaya dan kain batik. Sanggulnya besar. Tusuk kondenya juga tak

Page 24: Koleksi Cerpen Majalah Annida

kalah besar. Sosok Mbah Sumi saat itu amat asing dan aneh bagiku. Di rumah ia tinggal di kamar belakang. Menjelang Isya, saat aku baru selesai mengaji bersama Ibu, Mbah Sumi selalu menyanyikan lagu-lagu aneh. Tembang Jawa. Tapi aku sangat tidak suka nyanyiannya. Aneh. Ketika itu, hampir tak ada yang aku suka darinya. Aku tak suka bajunya, sanggulnya yang besar, aku tak suka bau parfumnya. Jika Mbah Sumi minta dipeluk aku tak pernah mau. Namun Mbah Sumi seakan tak peduli akan sikapku waktu itu. Ia selalu menunjukkan rasa sayangnya padaku. Dia tetap senang memangkuku, memberiku baju-baju kebaya kecil buatannya sendiri, menciumku (yang sering kali kutolak), bahkan menceritakan dongeng sebelum tidur.

Sampai suatu ketika. Di sekolah, aku baru saja belajar surat Al Kafirun. Aku pulang dari sekolah, dengan hapalan surat yang masih terngiang-ngiang di kepala. Ah, aku tak sabar menunjukkan pada orang-orang di rumah bahwa aku sudah hapal surat Al Kafirun dengan terjemahannya. Aku masuk ke dalam rumah. “Assalamualaikum...”

Tak ada jawaban, tapi ada Mbah yang duduk di kursi makan sambil menyulam. “Eh... sudah pulang to, Nduk?”

Aku mencium tangan Mbah. Sebenarnya aku lebih berharap bisa menunjukkan hasil hapalanku ke Ibu, tapi aku terlalu tak sabar untuk bercerita. Akhirnya aku bercerita ke Mbah Sumi.

“Mbah, tadi aku belajar surat Al Kafirun. Sekarang aku udah hapal. Mbah Sumi dengerin, ya...” aku bersemangat sekali. Kulafalkan surat itu dengan artinya. Mbah hanya mendengarnya, tersenyum lalu terdiam. Kemudian ia meneruskan menyulam.

“Bener kan, Mbah? Mbah kok diem aja? Mbah nggak dengerin aku, ya?” aku protes karena Mbah Sumi tidak berkomentar apa-apa.

Mbah menjawab sambil terus menyulam. “Mbak ndak tahu, Nduk. Mbah ndak hapal.”

Aku kecewa dengan reaksi Mbah yang biasa saja. “Ih, Mbah kok nggak hapal, sih... Mbah kan udah gede...”

Tak ada reaksi dari Mbah. Kemudian ia berkata, “Makan dulu, Nduk. Mbah tadi bikin ayam goreng buat kamu.”

Masih kesal dengan Mbah, aku hanya menjawab. “Nggak mau! Aku mau shalat dulu.” karena terbiasa shalat berjamaah, aku bertanya ke Mbah, “Mbah, shalat jama'ah, yuk. Mbah jadi imam, ya?”

Mbah kembali hanya menatapku. “Kamu dulu aja, Nduk.”

“Ayo dong, Mbah... nanti kan kalo shalat jamaah, pahalanya jadi 27...”

Page 25: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Mbah ndak bisa shalat, Nduk...”

“Iih... masa' Mbah nggak bisa shalat juga... Mbah kan udah gede...”

“Nduk,” Mbah berhenti menyulam dan mengusap kepalaku. “Nduk, Mbak ndak bisa karena Mbah ndak pernah diajari. Agama Mbah beda sama agama kamu.”

“Mbah bukan orang Islam?” aku cukup terkejut mendengar perkataan Mbah. Lalu, kata-kata itu keluar begitu saja...

“Berarti Mbah orang kafir, dong? Ih, Mbah orang kafir!”

Astaghfirullah al'adzim.... Ada hati yang telah robek. Ada luka yang menganga. Mungkin. Dan luka itu barangkali telah menganga sekian lama. Setelah beberapa tahun aku baru sadar bahwa perkataanku itu bisa saja menyakiti Mbah, walaupun itu hanya celetukan spontan seorang anak berusia 8 tahun. Dua hari setelah kejadian itu Mbah pulang ke Solo. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu Mbah lagi...

“Ima, ayo! Kita ke belakang. Ketemu Mbah di belakang. Kok malah bengong, to?” Mbak Narti mengajakku.

Kami tiba di pekarangan belakang rumah yang ternyata sangat luas. Ada sebuah pendopo yang terpisah dari rumah utama. beberapa orang terlihat sedang membatik di pendopo itu. Di samping pendopo, terlihat kain-kain batik sedang dijemur. Seseorang berjalan tergopoh-gopoh dari balik kain-kain batik itu.

Mbah Sumi. Dia berjalan cepat, mengangkat kain batiknya, menghampiriku. memelukku. “Oalah... cucuku... Iqlima cucuku. Duh, Gusti... sudah besar sekali kamu, Nduk... duh, Cah Ayu.. ayu tenan,” Mbah tak henti-hentinya menciumku, membelai kepalaku, sampai-sampai posisi jilbabku bergeser. “Ayo, duduk.” Mbah mengajakku duduk di sebuah kursi bambu, di bawah pohon kecapi yang menjulang tinggi.

“Kamu sendirian, Nduk? Kukira adikmu ikut. Sopo nama adikmu itu? Mbah lupa, sopo, ya... tak inget-inget...”

“Nabil...”

“Iya, iya. Nabil. Ndak diajak?”

“Nggak, Mbah. Nabil lagi ada ujian.”

Setelah itu kami berbincang-bincang sebentar. Tidak. Sebenarnya Mbah lah yang lebih banyak bercerita. Aku lebih banyak diam. Mbak Narti yang tadi ikut bersamaku ke belakang, kini sedang asyik mengobrol dengan beberapa perempuan di pendopo, sambil

Page 26: Koleksi Cerpen Majalah Annida

mencermati kain-kain yang sedang dibuat. Mbah Sumi bercerita tentang kegelisahannya menanti-nanti kedatanganku. Bagaimana dia selama berhari-hari sibuk membuatkan kebaya untukku, dan beberapa lembar kain batik khusus untukku.

“Oalah, aku kebanyakan cerita. Yo, wis. Kamu bersih-bersih dulu. Seger-seger dulu,” Mbah kemudian memanggil perempuan yang membuka pintu tadi. “Ning... Ningsih... kemari! Tolong bantu Mbakmu ini bawa barang-barangnya ke kamar.”

Aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Memejamkan mata. Mengistirahatkan tubuhku yang terasa sangat lelah. Sebenarnya aku enggan datang ke Solo. Namun setelah Bapak meninggal, Mbah Sumi terus mengirim telegram, memintaku untuk datang ke sini. Mbah Sumi sendiri tidak bisa melayat, karena tidak bisa melakukan perjalanan jauh. Sejak keberangkatanku semalam, aku terus bertanya-tanya apa alasan Mbah Sumi memintaku datang ke kota ini.

Usai shalat ashar, Ningsih memanggilku dari balik tirai kamar. “Mbak... Mbak Ima, dipanggil Mbah Batik, diminta ke pendopo.”

“Iya, Ning. Sebentar lagi aku ke pendopo,” aku meneruskan membaca Al Ma'tsurat sebentar. Berganti pakaian dan jilbab, kemudian bergegas ke belakang.

“Iki, lho Nduk... Batik yang Mbah bikinin buat kamu,” tukas Mbah saat aku tiba di pendopo. Batik itu berwarna putih-coklat krem, dengan motif kotak dan hiasan di tengahnya. “Terus ini kebayanya. Pas, kan?” Mbah mengepaskan baju itu.

Aku memperhatikan kebaya itu. “Kayaknya... agak tipis dan sempit ya buatku, Mbah...?” Astaghfirullah, kenapa aku mesti ngomong gitu? Kenapa aku tidak diam saja dan menerima kebaya itu? Duh, aku keceplosan ngomong....

Lalu Mbah terdiam sebentar. “Oalah, aku lupa. Kamu kan pake jilbab.”

Aku juga terdiam sambil mengamati kebaya di tangan Mbah. Aduh, suasana jadi tidak enak. Terbayang lagi kenangan 12 tahun yang lalu....

Mbah Sumi tidak bicara apa-apa lagi soal kebaya itu. Aku juga tak bicara apa-apa lagi soal kebaya itu. Bahkan kami tidak bicara apa-apa pun lagi setelah itu. Hanya mengamati para perempuan yang sedang meniup cantingnya agar lilin dalam canting tidak membeku. Seandainya mereka bisa mencairkan kebekuan antara aku dan Mbah. Alhamdulillah, hal itu tak berlangsung lama. Seorang pria memanggil Mbah, mengatakan bahwa di depan ada tamu yang mencari Mbah.

“Sebentar ya, aku tak ke depan dulu,” ujar Mbah yang dibalas dengan anggukanku. Aku duduk sendiri di atas bangku kayu, memperhatikan para pembatik di pendopo. Aku menghampiri mereka, mengamati lebih dekat bagaimana cara mereka membuat kain batik yang indah-indah itu. Sebenarnya aku ingin berbincang-bincang banyak dengan

Page 27: Koleksi Cerpen Majalah Annida

mereka semua. Tapi aku tak bisa bahasa Jawa. Lagipula, aku takut mengganggu mereka. Akhirnya aku cukup puas mengamati dan mengagumi hasil kerja mereka.

“Membatik itu bukan cuma keahlian yang diperlukan... tapi juga rasa, kebijaksanaan, pengalaman, ketulusan...” seorang perempuan keluar dari balik pintu bagian dalam pendopo.

Bude Inggit! Alhamdulillah... dari sekian banyak wajah asing di sini, akhirnya ada seorang yang kukenal. Bude Inggit adalah sepupu Bapakku. Ia pernah beberapa kali datang ke rumah. Ke Jakarta. Pertama kali ketika aku berumur 9 tahun. Bude Inggit membantu menjagaku saat Ibu melahirkan adikku, Nabil. Saat melahirkan Nabil, Ibu meninggal. Selama beberapa waktu Bude Inggit yang mengurusku. Dia amat baik. Tentunya ukuran 'baik' bagiku saat itu adalah karena ia tidak pernah memarahiku dan suka membelikanku es krim. Makanan yang sangat dilarang oleh ibu. Terakhir Bude Inggit datang ketika pemakaman Bapak. Tapi itu tak lama. Ia langsung pulang ke Solo karena harus mengurus suaminya yang juga sedang sakit.

“Bude Inggit...! Kok nggak bilang-bilang kalo' Bude ada di sini?”

“Kamu yang ndak bilang kalo ada di sini. Tadi Ningsih bilang, ada tamu dari Jakarta. Ternyata kamu. Gimana? Apa kabar Cah Ayu?" “Baik. Baik, Bude. Cuma masih capek aja. Alhamdulillah banget... Untung ada bude. Ima bingung. Di sini nggak ada yang Ima kenal.”

“Lho, kan ada Mbah Sumi...”

Seandainya Bude Inggit tahu bagaimana hubunganku dengan Mbah Sumi....

Dengan Bude Inggit, tak ada kebekuan yang terjadi Yang ada kehangatan. Bude Inggit juga membantu menjadi penerjemah antara aku dengan para pembatik di pendopo.

“Kain-kain yang di sana itu sudah jadi ya, Bude?” tanyaku sambil menunjuk ke arah kain-kain batik yang sedang dijemur.

“Belum,” jawab Bude. Yang itu perlu dicelup lagi.”

“Lho, memangnya harus berapa kali dicelup, Bude?”

“Tergantung warna yang ingin dihasilkan. Setelah membatik, ada lagi proses yang namanya mbabar. Maksudnya, tahap penyelesaian. Nah, mbabar itu dibagi-bagi lagi tahapannya. Pertama medel, bironi, terus nyoga, lalu nyareni. Setiap tahap bisa berhari-hari.”

Bude Inggit menjelaskan tahapan-tahapan itu. “Nah, ini yang sudah jadi,” kemudian Bude menunjukkan beberapa kain yang sedang dipegang seorang perempuan. “Ini pake

Page 28: Koleksi Cerpen Majalah Annida

saren kualitas terbaik. Kalau pake saren yang paling baik, setiap pagi kain musti diembun-embunkan subuh-subuh, sampai matahari mau terbit.”

“Saren itu opo, Bude?” tanyaku ikut-ikut ngomong Jawa.

“Saren itu ya adonan yang dipake buat nyareni. Mbah-mu paling pinter bikin adonan saren.” Kemudian Bude Inggit juga menjelaskan tentang motif-motif kain. “Kalau di sini, yang paling terkenal ya motif parangnya. Ada juga motif-motif lain. Mbah Batik juga bikin motif-motif tertentu sesuai pesanan. Setiap motif punya makna masing-masing.” Bude Inggit menunjukkan sebuah kain. “Ini. Kain pesenanku. Ini namanya Sri Nugroho. Lambang mendapatkan anugrah. Dapet calon menantu,” kata Bude sambil tersenyum lebar.

Semangat sekali ia bercerita.

“Kalau ini, maksudnya apa Bude?” tanyaku sambil menyodorkan sebuah kain pemberian Mbah. “Ini dari Mbah.”

“Ini namanya motif Onengan. Oneng artinya rindu. Onengan berarti kerinduan kepada seseorang yang dicintai,” Bude menatapku. “Ini ungkapan kerinduan Mbah ke kamu, Cah Ayu.”

Mbah Sumi rindu padaku?

Aku asyik mendengarkan Bude Inggit hingga tak terasa tiba waktu maghrib. Suara adzan terdengar sangat dekat. Ternyata ada sebuah pendopo kecil yang sejak tadi tidak kulihat karena terhalang kain-kain batik yang sedang dijemur. Sebuah mushola. Suara adzan berasal dari sana. Belum sempat aku merasa heran, Bude Inggit sudah berkata, “Monggo, Ma. Kamu shalat dulu. Jama'ah saja sama yang lain di mushala.”

Aku bergegas ke dalam rumah utama. Berwudhu. Dengan sebersit tanya yang masih menggantung di kepala.

Para pegawai Mbah tidak melakukan shalat isya berjamaah. Bakda maghrib mereka langsung pulang, karena keluarga mereka sudah menunggu di rumah. Menunggu Isya, aku tilawah. Alam begitu hening. Hanya suara jangkrik dan suara burung malam yang terdengar sesekali. Aku membaca ayat-ayat-Nya. Keheningan ini juga ayat-ayat-Nya. Malam ini adalah ayat-Nya, begitu juga malam-malam sebelumnya. Hidup yang kulalui adalah ayat-Nya. Lalu, bagaimanakah aku membaca ayat-ayat-Nya selama ini? Sudah sempurnakah? Sudah dengan lafal yang benarkah? Sudah dengan penglihatan yang benarkah?

Shodakallahul adzim...

Page 29: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Tak kusadari, keheningan telah terpecah dengan suara isak tangisku sendiri. Keheningan telah mengingatkanku pada detik-detik ketika menunggu Bapak di rumah sakit. Aku menarik nafas. Dada ini terasa amat sesak. Astaghfirullah al'adzim... apakah rasa sesak ini karena ketidakikhlasanku? Lapangkanlah jiwaku, ya Rabb... ikhlaskanlah hatiku....

Selama tiga hari berikutnya aku tidak bertemu Mbah Sumi. Juga Bude Inggit. Kata Ningsih, Mbah Sumi sedang ada urusan. Aku mulai tidak betah. Hari pertama, aku celingukan di antara para pembatik. Seorang yang sudah dikenalkan bude Inggit padaku kemudian menawariku untuk mencoba membantik. Dengan bahasa isyarat, tentunya. sebab ia tak bisa bahasa Indonesia. Atau terbalik? Aku yang tak bisa bahasa Jawa.

Membatik ternyata tak segampang yang kukira. Padahal aku tinggal mengikuti motif parang sederhana, namun susahnya bukan main. Olesan lilin-ku tidak rata. Aku meniup cucuk canting terlalu keras sehingga malam-nya tumpah ke tanganku. Panas! Lilinku juga menetes-netes ke kain.

Hari kedua aku diajak melihat proses pencelupan. Aku baru mengerti perkataan Bude Inggit. Bahwa membatik itu perlu ketulusan, kebijaksanaan dan pengalaman. Seorang pembatik harus tulus mengerjakan proses membatik yang demikian lama. Dan pengalaman seorang pembatik ditunjukkan lewat kain batik buatannya.

Hari ketika aku ngobrol-ngobrol sebentar dengan Ningsih. Tapi tak lama. Ningsih masih harus menyelesaikan kain buatannya. Dari Ningsih aku tahu bahwa Mbah sedang ke Yogya, dan Ningsih tidak tahu kapan Mbah pulang. Ia juga tidak tahu alasan mengapa Mbah begitu ingin aku datang ke kota ini...

Sudah lima hari aku di sini, dan ini hari ke empat tanpa Mbah. Aku mulai merasa bosan. Bude Inggit tak datang-datang mengunjungiku. Terus terang, aku mulai agak kesal. Aku diminta ke sini sama Mbah, tapi Mbah malah pergi. Atau jangan-jangan...Mbah marah padaku gara-gara soal kebaya itu? Mengapa mesti marah? Atau jangan-jangan Mbah nggak mau ketemu aku? Ya, Allah... prasangka buruk datang lagi... Duh, susah sekali menghilangkan prasangka ini.

“Ndak mau tunggu Mbah Batik dulu, Mbak?” ujar Ningsih ketika aku menitipkan surat untuk Mbah, Aku akan pulang.

“Maunya, Ning. Tapi aku nggak bisa lama-lama di sini. Lagipula, kita kan juga nggak tahu Mbah pulang kapan.”

“Waduh, Mbak. Nanti aku ngomong apa, kalau Mbah Batik pulang?”

“Sudah, nggak usah khawatir. Yah?” aku memeluk Ningsih. “Makasih, lho...sudah nemenin aku di sini...”

“Wah, ojo gitu, Mbak. Aku jadi ndak enak, aku ndak bisa nemenin Mbak terus.”

Page 30: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Aku berpamitan pada semua orang yang ada di sana. “Salam buat Bude Inggit ya, Ning,” ujarku ketika hendak naik becak.

Akhirnya aku pulang. Sebenarnya tidak enak juga sama Mbah, tapi aku hanya ingin pulang. Agak menyesal juga, aku. Tapi sudahlah. di dalam suratku buat Mbah, aku sudah menjelaskan semuanya. Aku minta maaf karena pulang tanpa menunggu Mbah dulu. Aku minta maaf kalau aku menyinggung perasaan Mbah soal kebaya waktu itu. Dan, aku juga minta maaf perkara 12 tahun lalu...12 tahun! Haruskah membutuhkan waktu selama itu untuk meminta maaf? Kemana saja aku selama 12 tahun? Kenapa tak pernah terucap maaf? Begitu sombongkah aku? Begitu angkuhkah?

Setitik air menetes, jatuh tepat di atas sebuah kain.

*** Sebuah telegram dari Solo: Segera ke solo koma mbah sakit titik.

Mbah terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia belum sadar sejak di bawa ke rumah sakit seminggu yang lalu. Gagal ginjal. Seharusnya Mbah sudah harus cuci darah, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk cuci darah. Ningsih, aku dan Bude Inggit bergantian menjaga. Malam kedelapan, Mbah terbangun. Suaranya lemah memanggil Ningsih, “Ning... Ningsih...”

Mbah mencari Ningsih, bukan aku.

“Sebentar, Mbah. Aku panggilkan Ningsih.”

Selama Mbah berbicara dengan Ningsih, aku keluar. Tidak lama kemudian, Ningsih keluar kamar. “Mbak Ima... Mbak Ima... Mbah Batik!”

“Kenapa. Ning?!”

Aku masuk ke kamar, nafas Mbah tersengal-sengal.

“Panggilkan dokter, Ning...!” tukasku. Tapi Ningsih telah tergeletak di sampingku. Ia pingsan.

Sekali lagi, Allah telah menunjukkan kuasa-Nya. Malam ini Mbah telah “pulang”, juga tanpa sempat pamit padaku. Aku pulang bersama Ningsih yang terus menangis. Kepergian Mbah cukup mengguncangnya. Sejak kecil ia tinggal bersama Mbah. Selama perjalanan ia terus menangis. Sampai ia tertidur kelelahan.

Besok Mbah akan dimakamkan. Beberapa pegawai Mbah datang ke rumah, membantu mengurusi persiapan untuk pemakaman besok. Aku di kamar, shalat Isya, lalu tilawah. Kutumpahkan semua tangis yang tak sempat tercurah pada-Nya.

Page 31: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Mbak Ima...? suara Ningsih terdengar dari balik tirai.

“Ya, Ning. Masuk,” jawabku. Ada apa, Ning?”

“Iki. surat, dari Mbah Batik. Mbah Batik titip ke aku, suruh dikirim ke Jakarta. Tapi belum sempat aku kirim, karena Mbah Batik keburu sakit. Aku jadi lupa. Maaf ya, Mbak?”

“Nggak apa-apa, Ning. terima kasih, ya?”

Kemudian Ningsih pergi.

Aku membuka amplop itu berisi surat itu. Ini tulisan tangan Mbah sendiri. Kapan Mbah menulisnya?

Iqlima cucuku. Kenapa pulang to, Nduk? kenapa ndak tunggu aku dulu? Nduk, aku sudah baca suratmu. Oalah, Nduk... Mbahmu ini ndak pernah marah sama kamu. Aku sudah lupa. Aku bahkan ndak ingat kejadian 12 tahun lalu itu. Waktu itu Mbah harus cepat-cepat pulang ke Solo karena ada urusan penting. Itu saja. Bukan karena marah sama kamu, Nduk. Malah aku heran. Kenapa setiap bapakmu pulang ke Solo, kamu ndak pernah ikut. Kukira kamu yang benci sama Mbah. Kukira kamu ndak suka sama Mbah. Apalagi kamu ndak pernah mau Mbah peluk. Ndak mau Mbah cium. Iqlima cucuku. Mbah rindu. Rindu sekali padamu. Itulah alasan kenapa aku memintamu datang ke Solo. Mbah minta maaf ya, Nduk. Waktu kamu ke Solo aku malah pergi. Nduk, ada satu alasan lagi kenapa aku memintamu datang ke Solo. Mbah ingin belajar ngaji. Aku ingin kamu mengajari Mbahmu ini mengaji. Alhamdulillah, Mbah mendapat hidayah dari Gusti Allah. Mbah sudah masuk Islam, Nduk. Waktu kamu di sini dan Mbah pergi, sebenarnya Mbah pergi ngurusi surat-surat. Karena surat-surat akte kelahiranku, kartu keluarga, semuanya ada di rumah pakdeku, di Yogya. Nduk, kalau kamu ndak ada urusan di Jakarta, segera balik ke Solo, ya? Aku rindu. Aku rindu. Gelisah. Penat. Sesak menyeruak. Ya Allah... ampunilah aku. Tak sempat aku mengajar Mbah mengaji. Aku terisak.

Dan aku semakin terisak ketika kulihat selembar kain tersembul dari balik tumpukan pakaian. Onengan. Kerinduan.

=============================Malam Hujan Dua Oktober

Ragdi F. Daye

Page 32: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Pikiran saya sedang di pantai. Rozar mau bunuh diri.”Serbet warna putih itu bergeser di atas meja lapis kaca.

Tangan berjemari kecil-kecil mengambil. Membaca baris kata. Memandang wajah risau di depannya seraya menghembuskan napas. Ada apa, Dik?

Hiru

Hujan teramat jahat. Saya menggigil di lobi hotel Permindo. Uni datang dari Jakarta. Tapi saya tidak punya rasa gembira. Saya tidak menjemput ke Bandara Tabing. Ke hotel ini pun terpaksa karena tadi Uni kirim pesan: Temui Uni malam ini pukul setengah delapan. Penting. Tentang masa depanmu.

Bukan apa-apa.

Saya sedang tidak gembira.

Saya sedang rusuh. Rozar saya tinggalkan di Bungus. Kemah Bakti Mahasiswa. Ia depresi. Frustasi oleh luka-luka yang disayatkan oleh orang yang dipercayanya.

Saya terpaksa meninggalkannya gara-gara Uni datang. Kenapa Uni ke Padang pada saat saya susah untuk merasa bahagia.

Asmarani

Wajahnya basah. Aku bingung. Tak menyangka kalau orang yang disebut-sebut Pak Yak itu ternyata hanya seorang pemurung. Ia cuma menekur atau membuang pandang ke relung-relung berhias motif etnik.

“Dia penulis biografi berbakat. Amat pandai menjalin perjalanan hidup seseorang sehingga begitu hidup dan dramatis. Ada beberapa orang tokoh yang setuju dibuatkan biografinya oleh Hiru.”Aku diperintahkan untuk menyempatkan diri menemuinya dalam perjalanan tugas di kampung halaman, Sumatera Barat. Penerbit tempatku bekerja mau mengontraknya.

“Bagaimana kalau kita cari tempat yang cukup nyaman untuk ngobrol?”Kami keluar dari hotel. Ia cuma mengangkat bahu ketika kuajak memasuki restoran siap saji.

Hiru

“Aku terluka, Hiru.”

Page 33: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Pantai Bungus begitu teduh. Tapi laut di mata Rozar bergemuruh. Ia mengulangi kata-katanya. Keluh kesah sebagai penyesalan tak putus-putus. Telah sejak kemarin saya dijadikannya tong sampah. Bertambah-tambah kemarahannya dimuntahkan dari mulut. “Ia menipuku dengan baik-baik.”

Tentang Serga, datang dari Jakarta bawa kabar gembira. Kita bangun dunia audio visual di Sumbar. Memproduksi film-film dokumenter, atau apa, mari berkarya. Kita adakan pelatihan terlebih dahulu. Workshop. Cerita Rozar. Setelah hari-hari pontang-panting yang meletihkan itu, Serga balik ke Jakarta. Diam-diam. Setelah mengantongi selembar surat kerja sama dengan seorang pengusaha. Akan membuat film. Tanpa bicara. Sendiri mengemasi. Tanpa melibatkan kelompok panitia sama sekali.

“Aku terlalu tolol percaya bulat-bulat pada orang kalapia itu!”

Perasaan malu akibat tertipu, itu yang meninjunya.

“Perlukah kita ke pengadilan?” Saya ikut-ikutan gusar. Membanting buah ketaping yang gugur muda ke laut. Terapung-apung. “Ini penipuan!”

“Aku terlalu tolol! Bisa-bisanya dibodohi.” Rozar mencengkram pasir. Meremukkan. Aku telah mempermalukan kawan-kawan!” Rozar tegak. Lalu turun ke laut. Mengaum sambil mencabik-cabik ombak.

“Rozar!”

Saya terjun segera. Membetot tubuhnya yang melejang-lejang dengan kegeraman yang sempurna.

Lokasi perkemahan gempar.

Anak-anak baru telanjur tahu.

Dikira Rozar, ketua panitia, kesurupan. Dukun kampung langsung datang. Rozar menendang tempurung berisi kemenyan. Ia marah-marah. “Aku akan ke Jakarta! Merobek mulutnya yang pandai berjanji-janji. Atau aku mati saja di laut!”

Sampai hampir Maghrib.

Sampai SMS itu nongol membuat saya mau tak mau bertolak ke Padang karena menyangkut masa depan. Saya meninggalkan Rozar setelah menyumpal telinganya dengan serentatan kata-kata.

“Kamu jangan berbuat lebih bodoh! Apa kata anak-anak baru itu! Senior stres! Mau ditaruh di mana muka. Tidak bisa memenej konflik. Tidak lucu bila semuanya tahu masalah ini! Saya mau ke Padang, nanti malam balik lagi.”

Page 34: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Hati saya berat meninggalkan Rozar.

Saya merasa ia butuh saya.

“Hiru...! Hiru!”

Saya gelagapan ketika sebelah tangan melambai-lambai di depan mata saya.

“Bagaimana? Kamu bisa ikut ke Jakarta Rabu besok?”“Apa, Ni?”

Asmarani

Kalau tak mengingat rekomendasi dari Pak Yak, barangkali telah kutinggal pergi anak itu. Sedang bicara serius bisa-bisanya melamun. Apakah baginya tawaran kontrak ini sesuatu yang sepele? Tidak sopan sekali!

“Kesempatan ini belum tentu akan datang dua kali, Hiru!”

Ia menatapku. Lurus. Lama.

Aku jadi rikuh. “Maaf, Uni tak mengancam.”

Tapi mata itu terus menikam tajam.

“Ada yang kamu keberatan? Masalah royalti? Atau akomodasimu ke kantor pusat, tenang...”

Hiru

Saya melepaskan pandang dari matanya. Ia telah menyerah. Saya pandang kaca. melihat ke luar. Orang-orang dan kendaraan-kendaraan disiram hujan. Permindo mengabur. Saya mungkin terlalu sensitif.

Laki-laki baik hati bernama Serga itu mengontak Rozar pertama kalinya juga dengan begitu arif bijaksana.

“Saya mau buka cabang di Padang. Sebagai langkah awal kita adakan rekrutmen, kemudian wokshop dan pembekalan pengurus. Setelah itu mulai berproduksi. Kamu bisa coba-coba bikin skenario. Nanti kita kerjakan bersama. Dananya ada. Oke, kan?”

Rozar yang punya impian pun menggalang teman-temannya membentuk panitia—saya kebetulan tidak terpikat pada bidang itu—dan menyelenggarakan acara yang lumayan sukses dengan susah payah.

Page 35: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Tapi Serga pergi begitu saja. Setelah dapat order sekian juta. Buat film pesanan. Rozan dan teman-teman gigit jari, padahal orang-orang telah (diberi) tahu bahwa mereka akan membuat film bersama orang film ternama dari Jakarta.

Maka saya jadi meragukan mulut yang berkotek-kotek merdu di depan saya. Tidakkah perempuan rancak ini juga seorang penipu yang pintar bersopan-santun?

Asmarani

Aku jadi jengkel.

Tatapannya kurang ajar. Seperti mencibir.

Menangkal gerah kukudap keripik pedas-manis di piring pipih.

“Ada masalah?”

Ia meraih serbet. Membuka lipatannya. Mengambil pena dari tas. Menoreh kertas lembut itu dengan ujung bertinta. Lantas menggesernya ke dekat tanganku tanpa bercakap sepotong pun.

“Siapa Rozar?” Aku selesai membaca.

“Untuk apa kamu tahu?” Kamu. Bukan 'uni' seperti sebelumnya.

“Kenapa ia mau bunuh diri?”Mukanya merah. Tangannya menumbuk meja. Retak.

“Pertemuan ini omong kosong saja, bukan? Apa misi kamu dengan memanfaatkan saya? Cari uang untuk apa?!”

“Hiru, saya tidak mengerti!”

“Kamu penipu, bukan?!”

“Apa maksudmu?!”

“Sudahlah! Saya tidak punya waktu untuk melanjutkan omong kosong ini!”

“Hiru!”

Ia berlari ke pintu. Mendorong pramusaji hingga terjuangkal. Ke luar menerobos hujan.

Murka, aku duduk terhenyak. Memencet keyboar HP keras-keras. SMS ke Pak Yak.

Page 36: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“ANAK ITU GILA!”

Hiru

Saya berlari di Permindo yang basah.

Hati saya seperti dicucuk oleh rasa sedih dan muak yang begitu semesta. Rozar yang dikhianati. Kenapa saya meninggalkannya. Hanya untuk obsesi saya. Apa sikap saya tidak tolol pula?

Rozar. Rozar! Maafkan saya!

Saya berlari mencari angkutan umum biru tua 407.

Saya harus segera ke Pantai Bungus.

Swing...! Swing...!

“Ya, halo!”

“Hiru di mana kamu?!”

Azwar!

“Ada apa?!”

“Rozar, dia...”

Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.

2 Oktober, malam setelah hujan

Melewati Permindo yang selalu ramai, saya menyempatkan berdiri di seberang resto yang berdampingan dengan hotel itu. Dada saya menggigil. Di tepi jalan itu setahun lalu saya terjatuh dan menangis.

Saya remas bungkusan kenang-kenangan acara bedah buku biografi Gamawan Fauzi yang akhirnya saya tulis juga dengan setengah hati.

Saya masih susah memaklumi tindakan saya hari itu.

Meninggalkan Rozar.

“Aku terluka, Hiru.”

Page 37: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Saya pergi

Dan Azwar menelpon saya, malam itu. “Hiru, Rozar tenggelam!”

Dada saya sesak.

Kembali.

Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.

Padang, Oktober 2004

======================ELANG HILANG SAYAP

Muttaqwiati

Lautan putih bergerak seperti sekawanan bangau terbang berarak. Suara takbir menggema bahkan suaranya terasa memantul-mantul. Memukul-mukul gendang telinga, juga dadaku. Lautan putih terus bergerak, sementara aku diam tak beranjak. Menatap iri dari kejauhan

“Harusnya aku ada di antara mereka,” desahku.

Arakan putih memanjang itu lama-lama memudar dan berubah menjadi lingkaran-lingkaran pemuda. Duduk di bawah pohon, ada pula yang di dalam masjid. Sebagian lagi masuk ke dalam kos-kosan. Bersalaman dan berpelukan penuh kerinduan. Mereka pun sama, duduk melingkar. Di semua lingkaran itu selalu ada aku. Duduk di sisi papan tulis putih. Tunduk memegang mushaf menyimak bacaan demi bacaan. Spidol yang tak pernah absen dari dalam tas keluar dan telah berada di tangan dengan segudang catatan.

“Akhi fillah, Allah telah membeli harta dan jiwa kita dengan syurga. Jadi hidup ini sebenarnya adalah transaksi jual beli, antara kita dan Allah…”

“Tet tet tot tet tot tet tot…” Suara HP telah mengubah lingkaran-lingkaran itu menjadi arak-arakan putih kembali.

“Heh, meeting!” kumatikan HP-ku dengan kesal. Aku kembali pada barisan putih yang begitu panjang. Rasanya aku ingin terbang dari lantai atas tempatku berdiri saat ini, hinggap di antara mereka dan meneriakkan takbir. Mengeluarkan yel-yel. Turut serta mengukir sejarah bangsa. Akulah pemuda Alkahfi itu. Saatnya kini keluar dari goa tempat penggemblengan.

Page 38: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Tet tet tot…”

“Ya, ya saya segera ke sana.” Kumatikan kembali HP-ku dengan kesal. Namun apa boleh buat, aku harus meninggalkan kawanan bangau itu. Bagaimanapun suara sekretaris di seberang sana mengharuskanku untuk tidak boleh menunda lagi.

Aku tak mampu konsentrasi penuh dalam meeting hari itu. Bagaimanapun lautan putih itu benar-benar menyita hati dan pikiranku. Maka seperti terlepas dari beban berat begitu acara telah usai. Aku kembali ke tempatku berdiri, berharap lautan putih masih ada di sana.

“Ah… mereka telah bergerak kian jauh, aku sudah tak lagi bisa melihatnya bahkan mungkin mereka sudah pada naik angkot atau berjejal, bergelantung di dalam bus kota, pulang menuju rumah atau kos-kos mereka,” keluhku penuh sesal. Mataku tak henti memandangi jalan, berharap lautan putih itu masih tersisa. Namun yang ada hanyalah deretan mobil. Kecewa menyelusup jiwa. Namun aku tak beranjak juga, hingga jadilah deretan mobil itu menjadi lingkaran para pemuda kembali.

“Akhi, saya sudah mulai mengerjakan TA. Saya ingin benar-benar konsentrasi. Untuk itu saya minta ijin cuti dari aktivitas kajian dan tugas-tugas dakwah.”

Seperti sebuah palu besar memukul kepala dan dadaku. Kupandangi wajah binaanku mencari kepastian dengan keterkejutan yang tak bisa kusembunyikan. Ia pun tertunduk.

“Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqiin…”

Pemuda binaanku itu mendongak, menatapku tak mengerti.

“Ayat itu tidak menyuruh kita untuk menyembah Allah sampai mengerjakan TA, sampai lulus kuliah, sampai menikah, sampai punya jabatan, tapi sampai waktu yang diyakini, yakni ajal bila telah menjemput.”

Binaanku nampak belum paham betul atas jawabanku.

“Para generasi terdahulu paling paham bagaimana mengaplikasikannya. Ammar bin Yasir tidak sekedar aktif berdakwah saat tulang belulang mulai rapuh dan kekuatan tubuh tak lagi prima. Di usianya yang sembilan puluh tahun beliau masih turut berperang. Abu Sufyan bin Harb memotivasi para sahabat untuk turun ke medan laga, di saat usianya tujuh puluh tahun. Demikian juga..."

Kudengar suaraku dalam telingaku, dalam jiwa rapuhku, dalam ketakberdayaanku. Kudengar semua nasihat itu, nasihat yang dulu pernah kuhunjamkan ke jiwa-jiwa yang lelah dalam kebaikan. Aku tertunduk lemas.

“Net net net net…”

Page 39: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Pasti dari bidadariku.”

“Ya, Sayang, Mas segera pulang.”

Aku bergegas meninggalkan tempat yang telah membangkitkan berjuta kenang. Kenang yang sudah sangat lama terkubur dari ingatan.

Tak butuh waktu lama, aku sudah berada dalam sejuknya Karimun.

Bayang bidadariku berkelebat. Senyum malu-malunya setiap bertemu denganku dulu, muncul sesaat. Ketika kami berdua masih sama-sama sendiri.

“Dia memang perempuan energik, cantik dan cerdas,”gumanku sambil tersenyum sendirian.

Baru sekitar lima ratus meter roda mobilku berputar, rerintikan hujan turun, semakin lama semakin deras. Wiper bergerak, menyeka air yang mulai mengaburkan kaca. Lagi-lagi aku tersenyum. Entahlah, hujan selalu memberi nuansa kesejukan di hatiku. Juga menghadirkan kenang yang amat dalam terhadap bidadariku. Hujan telah turut menjadi saksi kesepakatan kami.

“Tele let.” Kuambil HP dari saku. “SMS, siapa ya?”

“Ass. Pa kabar? Gmn 13 th menikah? Dah suksses mendidik istri? ( Kamal ).”

Kenangan indah tentang bidadariku tercerabut. Kubaca sekali lagi tulisan itu, kemudian kututup. Ingin benar aku membalasnya, atau seharusnya langsung meneleponnya. Tiga belas tahun waktu yang cukup lama. Sejak pernikahanku dengan bidadari, kontak antara aku dan Kamal terputus. Kesibukan telah membuat kami berada dalam urusan masing-masing. Kamal, teman sekamarku, se-halaqoh-ku. Teman yang sering berada dalam satu kegiatan denganku. Dialah yang paling tidak setuju aku menikah dengan bidadari. Segudang alasannya.

“Kalau aku boleh memberikan saran, sebaiknya jangan, Zak. Dia memang cantik, cerdas, supel, aktif di berbagi kegiatan. Tapi ingat, Zak, dia bukan aktivis Islam!”

“Apa salahnya menikah bukan dengan aktivis Islam? Toh dia muslimah?”

“Tidak ada yang salah secara syar’i, tapi apa dia akan mendukung aktivitasmu?”

“Aku akan mendidiknya!” tandasku yakin saat itu.

“Dia tipikal dominan, Zak, sedang kamu pengalah. Saya khawatir kamulah yang akan terbawa.” Kamal yang teman sekelas Bidadari terus meyakinkanku. Aku tak menghiraukan nasihat Kamal saat itu.

Page 40: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Masih banyak aktivis Muslimah yang bisa kita pilih, Zak. Kenapa tidak mereka saja?”

Kutarik napas panjang dan kuhembuskan dengan berat. Dialogku dengan Kamal kala itu seolah memunculkan kerinduan yang selama tiga belas tahun ini sengaja kukubur dalam jiwaku dan hari ini secara beruntun kerinduan yang telah terimbun manisnya pernikahan dan jabatan menyeruak kembali. Lautan putih dan SMS Kamal telah mampu membongkar timbunan-timbunan itu.

Kamal benar, bidadari cantikku itu tipe dominan, dan kedominannya belum ter-sibghoh dengan sibghotullah. Maka aku yang pengalah ini benar-benar kalah dibuatnya.

“Mas, sudah dua malam ini kau selalu pulang larut. Tempo hari katanya kau ngaji dengan teman-temanmu. Malam ini kau menjadi pembimbing kajian. Kita sudah tidak berada di kampus, Mas. Dan yang jelas kita sudah berumah tangga. Seharian kita sama-sama sudah disibukkan dengan pekerjaan, saya juga membutuhkanmu, Mas…”

“Ah…” Kubuang napas yang menggumpal.

Aku tidak bisa bertahan lama dengan semua protes istriku, aku kalah akhirnya, dan sekarang… aku hanya terbenam dalam suasana kerja, bidadari cantikku, dan satu gadis mungilku yang sepuluh tahun kami tunggu.

“Aku kalah, Mal… Bagaimana pula denganmu? Apa kabarmu? Aku tak sanggup bicara denganmu. Bahkan walau sekedar menanyakan kabar.”

“Tel le let” SMS lagi.

“Terlalu sibukkah antum, akhi, walau sekedar menjawab smsku?”

Kamal, dia seperti mengejekku, dan aku semakin tak sanggup menghadapinya. Aku tak akan bisa mejawab jika dia bertanya tentang aktivitas halaqoh-ku, tentang para binaan yang kutelantarkan begitu saja, tentang istriku, tentang…. Sungguh aku tak kan sanggup.

Karimun terus melaju, berderet bersama mobil-mobil dalam sesaknya Jakarta. Hujan tak juga reda, gundahku pun kian menggulana.

“Sesungguhnya aku rindu padamu, akhi Kamal… namun aku malu.”

***

Aku datang lebih awal dari istriku. Putri semata wayangku telah pulas di tempat tidur. Aku mencium dan menyentuhnya penuh sayang tanpa dia merasakan.

“Subhanallah, kau cantik sekali, Nak, mirip mamamu.”

Page 41: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Kutinggalkan dia dalam ketenangan. Badanku yang sudah segar oleh air hangat di kamar mandi membuatku ingin duduk-duduk santai ditemani teh hangat. Kunyalakan TV kemudian kubiarkan tubuhku bersandar nyaman di sofa setelah seteguk teh mengalir hangat di tenggorokan.

“Wow...!” mataku terbelalak melihat wajah yang sangat kukenal.

“Kamal Fauzi, ketua departemen buruh, petani dan nelayan,” sebuah tulisan berderet di bawah sosoknya yang dengan cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Gayanya masih seperti dulu. Tenang, santai, tapi sangat mengena. Aku melihat pancaran semangat di matanya. Pancaran semangat yang tak pernah lelah.

“Tahu enggak, Zak, sungguh, aku ingin mewarisi semangat burung hud-hud. Burung kecil yang terbangnya rendah, namun ia mampu melintas gurun, menahan angin kencang, menebas rintangan, hingga ia mampu menempuh perjalanan yang demikian jauh, dari Yaman menuju negeri putri Saba’ di Palestina.”

“Kalau kamu burung hud-hud, aku akan menjadi burung elang bersemangat hud-hud. Jadi lebih hebat lagi.”

Kau menertawakanku saat itu.

“Kalau itu nanti jadi dongeng, kawan, tak pernah ada dalam sejarah.” Kau tertawa terpingkal-pingkal. Namun sejak itu kau sering memanggilku Elang, dan aku senang sebutan itu. Ah…engkau memang burung hud-hud, Mal.

Wajah Kamal tergeser iklan hingga tak lagi tampak di layar kaca. Sementara perasaanku mulai diaduk-aduk oleh berbagai kenangan masa lajang yang penuh hamasah, tak kenal lelah untuk semua hal yang bertema dakwah. Ah… betapa ingin aku terbang sepertimu, Mal.

Wajah Kamal yang kembali muncul di layar kaca tak lagi mampu menyedot perhatianku. Kenangan masa lalu lebih banyak menyitaku. “Aku kalah, aku kalah, aku kalah….!” jeritku dalam hati. Aku harus memulai lagi. Sebaiknya aku menghubungi Kamal. Jika siaran langsung itu selesai, aku janji akan meneleponmu, Mal.

Tak lama suara mobil berhenti di depan rumah. Bidadariku datang. Dengan keriangannya yang khas, tiba-tiba bibir belah jambenya telah menyentuh pipiku.

“Nih, kejutan. Aku bersih-bersih dulu ya?” Ditaruhnya sebuah majalah di pangkuanku. Kutatap wajahnya tak mengerti.

“Buka aja, di dalamnya ada sahabat spesialmu yang lama tak ada kabar.”

Page 42: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Bidadariku sudah pergi seperti merpati.

“Penasaran, siapa sih?”

Mataku terbelalak, lagi-lagi Kamal Fauzi. Duduk didampingi istri dan tujuh anaknya. Kucermati satu per satu wajah mereka. Semua seperti memancarkan semangat yang sama dengan ayahnya. Kembali kucermati satu per satu, dan betapa kagetnya aku menatap foto perempuan berjilbab di sisinya.

“Hai, ternyata… kau menikah dengan ukhti ini?”

Aku teringat sebuah biodata yang di sodorkan guru ngajiku.

“Akhowat aktivis dakwah. Cerdas, supel, dan wirid yaumiyyah-nya bagus.”

“Tapi dia tiga tahun di atas saya,” protesku waktu itu.

Guru ngajiku tersenyum. “Tak ada paksaan, Zak, ini kalau ente mau. Saya mencarikan akhowat yang terbaik untukmu, karena saya pikir, ente pun ikhwan yang sangat baik. Kalian berdua sekufu, itu menurut pengamatan ane. Tapi ya sudah, masing-masing orang punya kriteria, kalau ente nggak mau, ya buat ikhwan yang mau. Yang jelas, yang mendapatkannya haruslah ikhwan yang baik.”

Suara tangis anakku membuyarkan masa lalu. Aku mau beranjak ke kamar namun bidadariku telah mendahului. Aku jadi ingat bahwa aku berjanji akan menelepon Kamal hari ini.

“Mas, sini.” Telepon yang nyaris kupencet kuletakkan kembali. Kuhampiri bidadari yang kelihatan begitu bersemangat ingin mengungkap sesuatu.

“Mas, main ke rumah Kamal yuk. Tadi teman sekantorku si Asti yang bawa majalah itu cerita banyak tentang dia dan istrinya.”

Dengan menggebu-gebu, khas cara bicaranya, ia bercerita detil tentang rumah Kamal yang sederhana, tentang aktivitasnya yang bejibun, tentang istrinya yang aktif. Juga tentang Kamal yang lolos menjadi anggota DPR RI.

“Telepon, Mas, mumpung besok libur, kita bisa ke sana.”

Kusambut gembira usulan bidadariku. Maka aku segera menuju meja telepon.

“Selamat, Mal…” Sebagai sahabat yang lama tak ketemu, obrolan pun serasa tak ada habisnya. Bermenit-menit bicara, tak akan bisa memuaskan kecuali saling berjupa.

“Gimana, Mas?” tanya bidadariku begitu telepon kututup.

Page 43: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Besok, kita ke sana habis subuh.”

“Bercanda kau, mana ada tamu datang pagi-pagi sekali.”

“Nanti ceritanya ya?” Aku berlari tak tahan dengan perut yang mulai mules minta isinya dikeluarkan.

“Hem… anak-anak kreatif. Pasti anak-anaknya.”

Dinding keramik WC seolah berubah menjadi dinding-dinding rumah Kamal. Aku makin mencermati detil rumahnya. Sebuah rumah mungil bercat putih dan tertapa rapi. 150 meter persegi. Tak kulihat furniture mahal di sana. Malahan di ruang tamu tergelar karpet biru, tanpa meja kursi.

“Kita ke atas saja, Zak, biar istrimu bincang-bincang di dapur dengan istriku. Kan bisa sambil ngapa-ngapain, ya nggak?” Kuikuti langkah Kamal, menuju ruangan lantai atas. Nuansa sejuk langsung kurasakan. Di semua dinding tertempel rak-rak buku. Gelaran karpet hijau membuat ruangan terasa adem. Di pojok ruang sebuah meja duduk menyangga seperangkat komputer. Luas kurasakan.

“Hebat kamu, Mal. Di ruang ini pasti rapat-rapat, acara halaqoh, mabit sering kalian lakukan.”

Kamal hanya tersenyum. Ia tak mempersilakan aku duduk. Bahkan seperti membiarkan aku mencermati seluruh isi ruangan dan mengamati jejeran buku satu per satu.

“Maaf ya, Zak, kita tak punya waktu lama untuk bertemu hari ini. Jam tujuh nanti saya harus keluar lagi. Ada jalasah ruhi di Markazudda’wah. Saya terlanjur janji untuk mengisi mereka.”

Kutatap Kamal dengan rasa iri yang membuncah.

“Pagi-pagi ba’da subuh tadi kamu sudah mengisi kuliah subuh, dhuha nanti mengisi jalasah ruhi, Sekitar jam sepuluhan ada janjian wawancara, kapan kamu punya acara untuk keluargamu, untuk istrimu?”

“Alhamdulillah, Zak, istriku berlatar belakang aktivis Islam dan sampai hari ini pun masih aktivis Islam. Dia sangat mendukung aktivitasku, demikian pula sebaliknya. Kami berdua komitmen menjadikan dakwah sebagai nadi hidup, dan tentunya bukan berarti mengesampingkan keluarga. Bukankah keduanya tak ada saling kontradiksi seharusnya?”

“Apa tidak ada titik-titik jenuh kalau seperti itu terus?”

“Kami selalu mencari waktu untuk bisa berdua. Kami juga mengagendakan waktu untuk rihlah misalnya. Tidak harus jauh, jalan-jalan cari tempat lapang sambil menggelar tikar dan membuka bekal masakan istri, itu mengasyikkan.”

Page 44: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Beruntung sekali kau mendapat istri yang demikian, Mal, gumanku dalam hati, menyesali kenapa dulu aku menolaknya.

“Tok tok tok… Mas, lama sekali di WC, sakit perut?” suara bidadari mencemaskanku.

Semua lintasan yang bergerak dalam pikiranku berhenti seketika. Cerita bidadari tentang Kamal, profilnya dalam majalah, obrolan lewat telepon dengannya, telah dengan sendirinya saling mengait dan membuat sebuah cerita dalam pikiranku.

“Mas, sakit perut?” ulang bidadari.

“Enggak, Sayang…” Aku bersegera bersih-bersih diri, kemudian keluar. Bidadari menungguku.

“Tadi Kamal telepon, katanya besok acaranya ternyata padat sekali. Jadi kita tidak bisa ke sana. Dia khawatir kita terlanjur ke sana tapi tidak ketemu. Rencana malam ini juga dia akan mampir ke sini sebelum pulang. Tadi sudah saya kasih alamat.”

Betapa gembiranya aku mendengar itu. Namun tiba-tiba, aku merasa sangat malu. Juga merasa sangat iri padanya.

“Ia menjadi seperti burung elang yang bulunya tercabut. Ia merasa rugi setiap melihat burung lain terbang.” Sebuah syair tiba-tiba menggema dalam hatiku. Terus menggema dan menggema.

“Bukan cuma tercabut bulunya. Bahkan sayapnya telah lepas. Akulah si elang yang kehilangan sayap. Dan aku… merasa rugi, tak mampu lagi terbang seperti sekawanan burung bangau tadi pagi, atau burung hud-hud yang sebentar lagi terbang ke sini.”

Ingin rasanya kutumpah air mataku, barangkali ia mampu menyiram api kesalahanku kelak, namun bidadari itu seolah menyedot air mata itu.

“Mas, kita jamu tamu kita malam ini,” usul bidadariku riang. Aku tersenyum dalam berjuta gelisah, menunggu hadirnya pemilik sayap yang tak pernah lelah.Brebes, 18 Mei 2004Untuk semua aktivis dakwah

Special aktivis beda generasi, Ichad

=============================Perempuan Yang Memeluk MalamDwitra Silvana

Page 45: Koleksi Cerpen Majalah Annida

“Dia gila.” “Tidak, dia hanya perempuan kesepian yang menanti suaminya pulang dari laut.” “Dia gila!” “Tidak, dia hanya perempuan yang selalu membawakan pelita, agar suaminya tak sesat menghampiri pelabuhan.” “Tidak, dia perempuan gila. Betul-betul gila, menunggu 22 tahun lebih untuk suami yang tak pernah pulang. Dia gila!”*** Malam gelap mengembang kelam. Angin terpatah-patah menghembus keras menusuki kekosongan yang pekat. Gelisirnya menyayat karang-karang diam membisu sepanjang pantai yang berkabut. Gemetarnya menggoyahkan jajaran pohon nyiur yang tinggi menjulang bisu di pasir-pasir yang membeku. Dari balik jendela, kulihat lagi kerlipan pelita bergerak perlahan bagai kunang-kunang kecil yang kelelahan. Ah, pasti perempuan itu lagi, mengangkat tinggi pelita minyaknya berjalan terseok-seok, dengan tubuh ringkihnya menyusuri tepian pantai yang tak pernah berubah karena waktu. Tak juga berhenti barang sejenak, walau diterpa angin malam yang dinginnya menggeliat merembesi tulang. Malam gulita ini, adalah malam keempat aku melihatnya melintasi jalan kecil di depan losmen tua ini. Dari balik kaca jendela yang cat kuning lusuhnya bagai dedaunan yang gugur terpijak, aku melihatnya berjalan tertatih-tatih dengan pelita tinggi terangkat di tangan kanannya. Kadang tubuhnya mendoyong ke kiri ke kanan tersapu angin pantai yang tak juga mau bersabar, sambil tangan kirinya memegangi erat-erat baju hangatnya yang warnanya sudah pudar di makan waktu. Seperti biasa, pelan-pelan dirambatinya jalanan kecil ini menuju tempat yang tampaknya sudah dikenalnya betul, ujung dermaga tua tak jauh dari losmen kecil ini. Butiran-butiran pasir tertinggal di ujung sandalnya, bekas jejaknya yang tipis meninggalkan deretan panjang perjalanan penuh luka. Di dermaga itu, seperti biasanya dia akan berdiam diri dengan pelita masih terangkat tinggi, berjam-jam lamanya. Kadang di sela dengan berjalan hilir mudik, membunuh waktu. Tapi tetap di tempat yang sama. Di ujung dermaga tua, dengan pelita minyak berkelip-kelip dari kejauhan. Di tengah kegelapan malam pantai yang pekat, di antara gelisir kejam hembusan angin yang tak pernah ramah. Berjam-jam, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Malam gulita ini, 22 tahun sudah. “Dia gila.” “Tidak, dia hanya perempuan kesepian yang menanti suaminya pulang dari laut.” *** Kecupan hangat di pipi memerah, di ujung pagi yang wanginya membangunkan semesta, dari kekasih hati yang akan bersiap melaut. Senyuman Kang Jaka merebak melebar memenuhi ruang. Pandangan matanya yang lembut mewarnai gubuk kami dengan keriangan pagi yang tak pernah berhenti. Tangannya yang kokoh mengangkat tinggi permata hati yang tak henti-hentinya berceloteh manja, di pelukan ayahnya. Kaki-kaki kecil mungil ananda Elang Muda menendang-nendang dada ayahnya, sambil tertawa-tawa dengan suara bayinya. Ah, pagi, sering-seringlah berkunjung kemari dan berhenti sejenak menikmati sedikit sarapan dari kumpulan hati yang bahagia.

Page 46: Koleksi Cerpen Majalah Annida

*** “Dik Seruni, akang nanti melaut lagi ya. Sepertinya samudera sedang berbaik hati berbagi isinya pada kita. Akan banyak ikan yang akan terjaring, akan banyak udang yang berlomba masuk ke dalam kerabu. Alamat hutang-hutang kita pada Pak Gede akan lunas sudah akhir minggu ini. Doakan saja, dan jangan lupa jemput akang dengan pelitamu dan senyum manismu pelipur segala lelah dan lara yang terbawa dari laut. “Jangan khawatir, Kang. Ada seribu doa, seribu cinta dan seribu pelita yang telah kusiapkan untuk menjemput Akang besok malam.” Lalu ketika sore menjelang, dan matahari mulai memejamkan mata setelah berjaga seharian, Kang Jaka dan 2 temannya pergi melaut menyisir ombak melaju ke samudera tak berbatas. Dari depan rumah cinta biru tua, Seruni melambaikan tangan mengiringi kepergian kekasihnya, ayahanda dari Elang Muda pemilik segenap sanubari.*** Ini pagi pertama setelah Kang Jaka Pergi. Tapi rupanya pagi lupa menengok kami kali ini, lupa mengirimkan titipan semburat cahayanya seperti biasa. yang ditinggalkannya hanya rasa sendu dan rasa menggigil yang menisik-nisik seluruh kepekaan diri. Elang Muda badannya panas meninggi, menjejak-jejak kaki bayinya dengan marah dan lengkingan tangis yang tak biasa. Seribu ucapan menghibur dan tepukan sayang tak juga menenangkan tangisnya. Seruni yang kebingungan segera membawanya ke dukun bayi Mak Lantip di depan kantor Kepala Desa. Diminumkannya satu gelas ramuan entah apa, dan ditiupnya pelipis Elang Muda dengan doa-doa dari Al-Qur'an yang Seruni tak mengerti artinya. Walau begitu tampaknya minuman tersebut membawa pengaruh cukup banyak pada Elang Muda. Tak lagi kaki mungilnya menendangi udara kosong. Malah dia mulai pelan-pelan terlelap memasuki dunia mimpi menghitung pelangi bersama bidadari. Rasa lelah seharian menggendong belahan jiwa, dan berusaha menenangkannya dengan runtutan cinta, membuat kantuk dengan mudah mengambil alih diri. Tanpa terasa kegelapan yang memabukkan membawaku ke alam bawah sadar, bersanding dengan kekasih mungil di pelukan lelap melekat di dada. Lupa Seruni dengan janji sejuta pelita yang akan harus dibawa ke ujung dermaga, yang kelap-kelip cahayanya petunjuk tempat berlabuh kapal para lelaki yang kelelahan. Lupa Seruni dengan janji seribu senyuman, yang seharusnya di antaranya menjemput suami tercinta di gerbang pantai bergelombang buih. Di luar, malam mengharu biru, ombak menerpa dan menghanyutkan pasir pantai dengan kasarnya, angin selatan menghempas buih-buih gelombang dengan marah. Badai rupanya datang tanpa diundang, menyelimuti desa kecil Seruni di ujung dermaga dengan rasa dingin mencekam. Seluruh jiwa penghuni desa sibuk merapatkan selimut menghangatkan diri tenggelam ke dalam mimpi yang berkabung. Jauh di tengah samudera, sepotong kapal kecil mengharu biru diayun gelombang. Sosok-sosok penumpangnya berebutan berusaha menimba air yang dengan rakusnya menggenangi dek kapal. Malam begitu gelap, pekat bersemadi.*** Ini pagi kelima aku terbangun, dalam pelukan angin laut yang menghilir masuk tanpa permisi lewat jendela yang terbuka. Wangi pasir pantai dan ceriwis burung camar

Page 47: Koleksi Cerpen Majalah Annida

mengiringi hari yang menggeliat menggoda mentari untuk mulai lagi berjaga. Jari-jari air mengguyur deras dari pancuran, menelusup ke dalam seluruh pori-pori mengagetkan seluruh urat syaraf yang basah. Kesegaran merembes masuk ke seluruh raga, mencoba lagi membangkitkan jiwa yang lelah semalaman. Tapi rasa pedih itu tetap tertinggal, bersembunyi di ujung sanubari, berkali-kali muncul mengingatkan rasa bersalah yang terpendam dalam. “Ah... seharusnya aku sesegera mungkin bercerita, berbagi berita yang telah dititipkan bunda padaku. Perempuan tua itu...dan Elang Muda.”*** Dia gila!” “Tidak, dia hanya perempuan yang selalu membawakan pelita, agar suaminya tak sesat menghampiri pelabuhan.”*** Seperti biasa di hari kelima ini sarapan pagiku dimulai dengan sepiring nasi goreng dan 2 potong telur mata sapi. Seperti biasa, seperti 4 hari berturut-turut sebelumnya. Dengan rasa biasa, cukup pedas tapi tak sampai membakar lidah. Di tempat biasa, di kafe kecil yang bersuasana ramah dengan hiasan kerang-kerang laut di sepanjang dinding. Bersama teman makan pagi yang biasa, seorang manajer hotel bintang empat yang baru dibuka 5 bulan lalu, tak jauh dari dermaga tua. Yang tak biasa, adalah mendengar lanjutan ceritanya yang berbeda-beda, menyambung cerita hari-hari sebelumnya. Yang tak biasa adalah nada bicaranya yang kini berbeda ketika kami mulai akrab dan dibaginya sebuah cerita rahasia kecil milik desa pantai itu, cerita yang penuh dengan kesenduan, penuh kepedihan cinta seorang perempuan muda yang terenggut paksa, hilang terkoyak laut dalam samudera gelap, di malam yang berbadai. Cerita cinta perempuan yang sama namun kini tak lagi muda, perempuan yang setia bertahun-tahun meniti malam dengan berbekal pelita minyak. Yang selalu sabar menunggu di ujung dermaga tua, menanti kekasih tercinta kembali dari laut. Perempuan, yang pernah lalai menghantarkan senyum pada malam berkabut walau telah mengucap janji. Perempuan, yang terus-menerut menyalahkan dirinya, karena malam itu suami terkasihnya, Kang Jaka, tak lagi menemukan pelita petunjuk jalan, dan mungkin tersesat di pelabuhan lain. Perempuan, yang selalu percaya suatu saat nanti, Kang Jakanya akan kembali dari laut, membawa kembali cinta yang selalu abadi dan janji-janji setia sehidup semati. Dan kembali dengan pelukannya yang begitu damai dan tangannya yang selalu kokoh siap mengayun manja ke udara buah hati tercinta, Elang Muda, manajer tampan yang kini duduk di hadapanku. Yang tak biasa, adalah binar mata Elang Muda tak lagi dingin berkabut seperti saat kami pertama berkenalan. Tapi makin lama makin berbinar-binar bagai mata Kang Jaka yang pendarnya mempesona setiap gadis muda. Kedalaman tatapannya masuk menyelusup kalbuku, mengantarkan isyarat lain yang membuatku takut. Yang tak biasa adalah senyumnya yang makin sering muncul, kadang malu-malu, kadang begitu bercahaya, bagai rumput-rumput hijau di pinggiran taman kota. yang tak biasa, adalah debar jantungku yang tak lagi mau diajak kompromi. Menggelitik menggeliat masuk keseluruh ujung-ujung urat nadi. Yang tak biasa adalah perasaan bersalah yang muncul, menarik-narik alam bawah sadarku.

Page 48: Koleksi Cerpen Majalah Annida

*** “Tidak, dia perempuan gila. Betul-betul gila, menunggu 22 tahun lebih untuk suami yang tak pernah pulang. Dia gila!” Kang Jaka memang tidak pernah pulang, dan tidak akan pernah pulang. Tiga bulan lalu, hampir seluruh penduduk yang berjumlah ribuan orang di kota di seberang pulau dermaga tua ini, menghantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. Kang Jaka pergi dengan tenang, di pelukan istri yang telah dinikahinya hampir 21 tahun lamanya, dikelilingi dengan 3 anak gadisnya. Kang Jaka pergi dengan senyum, diiringi doa kepedihan dari seluruh warga kota, yang selama ini terpesona dengan ceramah-ceramah agamanya setiap pagi di Masjid di pusat kota. Kang Jaka pergi dengan ikhlas, setelah mengantar dakwah tentang keindahan batin di seluruh ucapan dan gerak lakunya di hari-hari hidupnya. Kang Jaka pergi dengan kesucian seorang Ustadz, yang dicintai seluruh orang yang bernaung dalam keindahan kata-kata, yang mengingatkan kami semua akan kebesaran-Nya. Atau paling tidak itu yang kami kira. Sampai Ibu Nurani istrinya, menemukan sebuah buku catatan kecil usang ditumpukan buku-buku tua di kamar kerjanya. Buku tua yang berlapis sampul kulit coklat kumuh dimakan usia. Buku tua yang berisi tulisan rapi Kang Jaka, yang ternyata tetap diisinya dengan catatan-catatan kecil tiap bulan selama ini. Buku tua yang ternyata berisi tulisan cinta dan rindu penuh luka. Tulisan cinta seorang suami pada istrinya dan rindu seorang ayah pada anaknya yang tak pernah mampu dikunjunginya. Tulisan penuh marah pada kekerdilan kelelakiannya sendiri dan tulisan tentang maaf yang tak pernah berani diucapkannya. Tulisan yang penuh panggilan-panggilan sayang pada Seruni, perempuan cantik bermata rembulan dan senyuman bagai mawar yang menenangkan hati. Tentang Elang Muda, lelaki kecil yang genggaman tangannya sudah mampu membuat dadanya tergoyang perlahan saat tinju bayinya memukuli dada sang ayah. Tentang kepengecutannya mengakui kelalaian untuk kembali berlayar ke desa kecil dengan dermaga tua di seberang pulau, saat badai telah mereda. Tentang tak mampunyai hati untuk kembali pulang setelah berpandang mata dengan gadis manis berhidung mancung, yang suaranya mengalun merdu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di pengajian malam. Di halaman terakhir, yang ditulisnya sehari sebelum pergi, berurut beberapa kalimat, yang menggoreskan luka baru pada Nurani istrinya dan Mawar Merah, Kenanga Jingga dan Melati Biru anak-anak gadisnya. Kekasihku, Nurani, perempuan-perempuan bunga setamanku Mawar Merah, Kenanga Jingga dan Melati biru, maafkan ayahandamu ini. Lelaki yang datang dari kabut, kembali kepada kabut. Datang berbekal segudang rahasia, pergi dengan segudang rahasia. Tapi kusadar cinta sulit berbagi, karenanya kutanggung dosa dan pedih sendiri tanpa membuat kalian luka tersayat pisau masa laluku.” “Hanya pintaku, sampaikan sejumput berita pada Seruni dan Elang Muda, cinta mereka kubawa ke alam kubur. Maafkan daku, maafkan lelaki kecil yang tak mampu menjadi lelaki sebenarnya. Biarkan kabut yang selalu datang menjenguk tiap pagi di desa kecil mereka, tetap membawa bisikan hati yang amat pedih.”***

Page 49: Koleksi Cerpen Majalah Annida

Perlahan kuminum kopi kental pahit di hadapanku dengan sendu. Pagi masih berbau pasir pantai dan bersuarakan ceriwis camar. Angit laut masih nakal menggoyang-goyangkan 3 kuntum mawar merah di jambangan bunga di meja sarapanku. Suara Elang Muda yang dalam dan lembut, masih mengisi ruangan yang begitu sepi. Ceritanya tentang ibunya, Seruni, perempuan tua yang dianggap gila oleh penduduk sedesa, masih berturutan keluar dari bibirnya yang dibingkai rahang yang begitu kokoh. Matanya masih dalam memandangiku lekat-lekat. “Kamu mau kan mengenal ibuku. Dia lembut dan manis, pendiam dan masih tetap sanggup mengerjakan banyak tugas rumah tangga sehari-hari. Yang berbeda hanya sejak ayah pergi, dia menjadi sangat tertutup. Dia tidak gila, tidak seperti yang diucapkan para penduduk desa ini.” Kutatap lagi matanya dan senyumnya. Begitu penuh makna, penuh rasa. Perempuan muda mana yang tak berdesir, dipandangi dan disenyumi seorang lelaki tampan dan gagah seperti Elang Muda. Lagipula kabarnya, sejak kepulangannya dari tugasnya dari hotel dengan jaringan yang sama di Madinah, dia makin dewasa dan makin tekun mendalami agama, persis seperti Kang Jaka, ayahnya. Sayang dia tidak tahu itu. Sayang dia juga tidak tahu bahwa seharusnya sejak hari-hari lalu, aku menemui ibunya, Seruni, dan menyampaikan cerita dari pulau di seberang dermaga tua. Bahwa seharusnyalah tak kubiarkan Elang Muda memandangi aku dengan kedalaman mata penuh makna dan senyum begitu pekat dengan rasa.Tapi mengapa tak mampu bibir ini berucap cerita, tak mampu hati ini menguatkan diri berbagi kabar. Mengapa begitu lemah setiap kata kebenaran yang seharusnya keluar dari ujung lidah. Rasa bersalah yang dalam mendengar nasib Seruni, membuat bibirku bisu, kelu dan kaku. “Bagaimana, kamu mau menemui ibuku kan. Beliau pasti senang bertemu dengan gadis secantik dan seramah kamu, yang begitu sabar mendengar cerita-ceritaku yang membosankan lima hari berturut-turut. Apalagi jarang ada gadis berjilbab seanggun kamu, berjalan-jalan sendiri di desa kecil ini. Mau ya?” Angin laut masih nakal menggoyang-goyangkan 3 kuntum mawar merah di jambangan bunga di meja makanku ini. Bergoyang-goyang perlahan, persis seperti hatiku yang tergoncang. Mawarnya begitu merah, seperti namaku pilihan Kang Jaka ayahku, Mawar Merah. Ah, Elang Muda seandainya saja kau tahu, tak akan kau pandangi aku dengan kedalaman mata penuh makna dan senyum begitu pekat dengan rasa...

Reston, akhir Juni 2005

=============================