Koalisi Tanpa Agenda

3
KOALISI TANPA AGENDA Fitra Arsil (Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI) dimuat di Harian Republika, Selasa 12/05/09 Koalisi antarpartai politik dalam rangka pencalonan presiden dan wakil presiden sudah semaki n menger ucut dan para kandidat masing-ma sing koalisi sudah mulai diumumka n ke publi k. Menari knya, hingga kini, masyara kat sangat terbata s menget ahui landasan masing-masing partai untuk berkoalisi. Tidak pernah jelas, sampai ke publik, agenda  pembangunan apa yang menyatukan antarpartai untuk berkoalisi. Padahal, di sisi lain, masyarakat menyaksikan bahwa koalisi terjadi antarpartai yang berbeda basis ideologis, haluan politik, strategi perjuangan, dan kultur kadernya. Maka, jika tidak ditampilkan agenda pembangunan bersama antarpartai yang berkoalisi, tentu akan membuat bingung. Bukan saja masyarakat pemilih, tetapi juga bagi kalangan kader setiap partai politik. Fenomena koalisi sekarang memang tidak mudah dibaca formulasinya. Dapat disaksikan, fenomena partai dalam pemerintahan lalu dengan terang menarik kembali koalisi dengan  pemerintah karena tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, sekarang malah memutuskan berkoalisi. Padahal, partai pemerintah tetap dengan haluan kebija kan lama yang bahkan menjadi promosi besarny a dalam kampanye legisla tif lalu. Di sisi lain, juga dapat disaksikan partai politik yang memiliki persoalan serius dan kritik tajam terhadap penegakan hukum hak asasi manusia malah berkoalisi dengan partai yang mendukung calon presiden yang dianggap memiliki persoalan dalam penegakan HAM. Dapat juga dilihat, tokoh yang pernah hengkang dari suatu partai politik dan mendirikan  partai politik baru sebagai bentuk kritiknya terhadap partai-partai yang ada dapat bersatu kembali dengan partainya yang lama. Oleh karena itu, penjelasan formulasi koalisi antarpartai politik kepada publik sebaiknya dilakukan dengan memaparkan agenda pembangunan bersama yang lebih konkret. Dalam masa kampanye, agenda bersa ma koali si tentu berfungs i sebaga i pencer dasan rakyat  pemilih dalam rangka menentukan pilihannya. Karena itu, agenda pembangunan bersama antarpeserta koalisi harus diumumkan kepada  pub lik sebelum pemilihan pre siden ata u ket ika kampanye pre siden ber lan gsun g dan  berla ku sebaga i dokumen resmi koalisi. Setelah terpil ih, dokumen ini berfun gsi sebagai  pedoman bagi program pemerintah dan mitra koalisinya di parlemen. Selain itu, dapat  juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi rakyat terhadap program-program pemerintah. Se ti ap saat, ra kyat da pa t te rus di in gatk an ol eh se ti ap pe serta koal is i te ntang  per kembang an pel aksanaan age nda bersama koal isi . Jik a ter jadi penyimpangan ata u  pe merintah tidak disi pl in den gan agenda ters ebut , se ti ap pes er ta koa li si dap at

Transcript of Koalisi Tanpa Agenda

Page 1: Koalisi Tanpa Agenda

8/8/2019 Koalisi Tanpa Agenda

http://slidepdf.com/reader/full/koalisi-tanpa-agenda 1/3

KOALISI TANPA AGENDA 

Fitra Arsil (Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI)

dimuat di Harian Republika, Selasa 12/05/09

Koalisi antarpartai politik dalam rangka pencalonan presiden dan wakil presiden sudah

semakin mengerucut dan para kandidat masing-masing koalisi sudah mulai diumumkan

ke publik. Menariknya, hingga kini, masyarakat sangat terbatas mengetahui landasanmasing-masing partai untuk berkoalisi. Tidak pernah jelas, sampai ke publik, agenda

 pembangunan apa yang menyatukan antarpartai untuk berkoalisi. Padahal, di sisi lain,

masyarakat menyaksikan bahwa koalisi terjadi antarpartai yang berbeda basis ideologis,haluan politik, strategi perjuangan, dan kultur kadernya. Maka, jika tidak ditampilkan

agenda pembangunan bersama antarpartai yang berkoalisi, tentu akan membuat bingung.

Bukan saja masyarakat pemilih, tetapi juga bagi kalangan kader setiap partai politik.

Fenomena koalisi sekarang memang tidak mudah dibaca formulasinya. Dapat disaksikan,

fenomena partai dalam pemerintahan lalu dengan terang menarik kembali koalisi dengan pemerintah karena tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah,

sekarang malah memutuskan berkoalisi. Padahal, partai pemerintah tetap dengan haluan

kebijakan lama yang bahkan menjadi promosi besarnya dalam kampanye legislatif lalu.Di sisi lain, juga dapat disaksikan partai politik yang memiliki persoalan serius dan kritik 

tajam terhadap penegakan hukum hak asasi manusia malah berkoalisi dengan partai yang

mendukung calon presiden yang dianggap memiliki persoalan dalam penegakan HAM.

Dapat juga dilihat, tokoh yang pernah hengkang dari suatu partai politik dan mendirikan partai politik baru sebagai bentuk kritiknya terhadap partai-partai yang ada dapat bersatu

kembali dengan partainya yang lama.

Oleh karena itu, penjelasan formulasi koalisi antarpartai politik kepada publik sebaiknya

dilakukan dengan memaparkan agenda pembangunan bersama yang lebih konkret. Dalammasa kampanye, agenda bersama koalisi tentu berfungsi sebagai pencerdasan rakyat

 pemilih dalam rangka menentukan pilihannya.

Karena itu, agenda pembangunan bersama antarpeserta koalisi harus diumumkan kepada

 publik sebelum pemilihan presiden atau ketika kampanye presiden berlangsung dan

 berlaku sebagai dokumen resmi koalisi. Setelah terpilih, dokumen ini berfungsi sebagai pedoman bagi program pemerintah dan mitra koalisinya di parlemen. Selain itu, dapat

 juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi rakyat terhadap program-program pemerintah.

Setiap saat, rakyat dapat terus diingatkan oleh setiap peserta koalisi tentang perkembangan pelaksanaan agenda bersama koalisi. Jika terjadi penyimpangan atau

  pemerintah tidak disiplin dengan agenda tersebut, setiap peserta koalisi dapat

Page 2: Koalisi Tanpa Agenda

8/8/2019 Koalisi Tanpa Agenda

http://slidepdf.com/reader/full/koalisi-tanpa-agenda 2/3

mengomunikasikannya kepada rakyat dan biarkan rakyat yang langsung menilai. Karena,

memang, dalam sistem presidensial, pertanggungjawaban presiden dilakukan langsung

kepada rakyat, bukan kepada lembaga negara mana pun.

Koalisi Pragmatis

Fenomena koalisi tanpa mengumumkan agenda pembangunan bersama dalam setiap

koalisi dan koalisi yang terjadi ternyata melewati batas-batas dasar idelogis, haluan

 politik, strategi perjuangan, dan kultur kader memang patut diduga terjadi karena faktor kepentingan akan jabatan dan sumber daya politik lainnya.

Kepentingan akan jabatan dan sumber daya politik lainnya memang telah menjadi lumrahdalam setiap aktivitas politik. Partai politik memang dibentuk untuk mendapatkan

kekuasaan dan jabatan-jabatan adalah salah satu bentuk kekuasaan yang sah didapatkan partai karena keberhasilannnya dalam melakukan aktivitas politik. Kenyataannya, setiap

kali partai politik mendasarkan hubungannya pada jabatan semata, hal itu dapat

melahirkan berbagai kekecewaan dan ketidakpuasan. Itu terjadi karena pertukaran antara

 pihak yang mendukung dan pihak yang didukung tidak pernah sepadan. Dalam sistem pemerintahan yang presidensial, tidak ada mekanisme penegakan hukumnya atau sanksi

yang memadai jika salah satu pihak tidak disiplin dengan putusan koalisi.

Sistem pemerintahan presidensial dibangun dengan filosofi pemisahan yang lebih tegas

antara eksekutif dan legislatif. Maka, kedua lembaga tersebut memiliki legitimasi yangsama kuat, yaitu sama-sama dipilih langsung rakyat. Berbeda dengan sistem

 pemerintahan parlementer di mana hanya parlemen yang mendapat legitimasi rakyat,

sedangkan pemerintahnya memiliki sumber legitimasi dari parlemen. Oleh karena itu,dalam sistem pemerintahan presidensial, goncangan politik di parlemen tidak berarti

goncangan bagi eksekutif. Presiden tidak akan kehilangan legitimasinya meskipun

memiliki jumlah pendukung yang minoritas di parlemen. Maka, koalisi dalam sistem

 presidensial diperlukan. Bukan sebagai jalan untuk memelihara legitimasi, melainkanlebih karena efektivitas pemerintahan, terutama dalam rangka harmonisasi hubungan

antara eksekutif dan legislatif.

Dengan demikian, mengharapkan koalisi dalam sistem presidensial berjalan permanen

dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi di antara para peserta koalisi menjadi tidak mudah. Apalagi, jika basis koalisinya hanya semata-mata kepentingan akan jabatan atau

lebih dikenal dengan 'politik dagang sapi'. Transaksi politik antara partai pendukung

 presiden terpilih dalam pemilihan dan pihak presiden terpilih biasanya berakhir ketika

  pembagian jabatan dalam kabinet selesai. Anehnya, partai-partai yang mendukung

Page 3: Koalisi Tanpa Agenda

8/8/2019 Koalisi Tanpa Agenda

http://slidepdf.com/reader/full/koalisi-tanpa-agenda 3/3

 presiden terpilih dalam pemilihan biasanya cukup puas dengan mekanisme 'beli putus'

tersebut. Padahal, mekanisme koalisi dalam sistem presidensial hampir selalu lebih

  banyak menguntungkan pihak yang didukung daripada pihak yang mendukung pemerintah terpilih. Apalagi, kini sedang terus digagas mekanisme untuk mengikat

koalisi menjadi lebih kuat dan permanen. Mekanisme koalisi permanen niscaya akan

hanya berhasil mengunci partai-partai pendukung pemerintah di parlemen untuk tetapsetia. Sementara itu, presiden tetap tidak dapat diganggu legitimasinya jika ternyata

mengambil putusan tanpa melibatkan peserta koalisi atau mengambil putusan yang

 bertentangan dengan peserta koalisi. Dalam sistem presidensial yang dianut dalam UUD  NRI 1945 sekarang, presiden tidak dapat dijatuhkan karena kebijakannya, melainkan

hanya dapat dijatuhkan jika melakukan pelanggaran hukum (pidana) seperti yang diatur 

dalam Pasal 7A UUD 1945.

Keuntungan lain bagi pihak presiden juga terlihat bahwa dalam sistem presidensial,

 presiden juga tampil sebagai single executive (eksekutif tunggal). Presiden-lah pemimpin

eksekutif. Wakil presiden, dan para anggota kabinet adalah pembantu presiden danmelaksanakan tugas sesuai arahan presiden, bukan arahan parlemen. Mekanisme rapat

kerja atau dengar pendapat dengan parlemen yang biasa berlangsung saat ini di DPR dilakukan dalam rangka parlemen melaksanakan fungsi pengawasan terhadap

  pemerintah, bukan sebagai bentuk parlemen yang ikut mengambil kebijakan dalam

 pemerintahan. Maka, keinginan DPR memberi semacam 'hukuman' kepada menteri yang

tidak menjalankan keinginan DPR yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat dapatdikatakan salah kaprah. Sistem presidensial di negara ini juga memberi kewenangan bagi

 presiden melakukan perubahan atau pergantian anggota kabinet tanpa perlu melakukan

konsultasi dengan parlemen, termasuk dengan peserta koalisinya. Karena, memang, paramenteri ketika selesai dilantik sudah menjadi milik presiden, bukan lagi milik partai yang

mencalonkannya jika ia berasal atau dicalonkan oleh partai politik. Partai politik atau

 peserta koalisi yang kehilangan menterinya tidak punya mekanisme apa pun yang dapat'menghukum' secara efektif presiden yang melakukan pergantian menteri yang tidak 

sesuai dengan keinginan partai atau peserta koalisi. Dengan demikian, pragmatisme

terhadap jabatan semata dalam menjalin koalisi bukan saja melakukan pembodohanterhadap rakyat pemilih, namun juga menanam benih konflik di antara para peserta

koalisi. Setiap elite partai politik mudah-mudahan mempertimbangkan hal tersebut dalam

setiap langkah yang diambil.