KNF Radioterapi
-
Upload
fahrul-ibn-nas -
Category
Documents
-
view
90 -
download
0
Transcript of KNF Radioterapi
RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING
I. PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam
lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan
leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa.1,2
Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor kanton” (Canton
tumor).Menurut estimasi WHO, sekitar 80 % dari kasus karsinoma nasofaring di
dunia terjadi di China.1
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat
Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, Radioterapi dikombinasi dengan
kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.1
Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum mole, menghubungkan
rongga hidung dan orofaring . Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang
tidak beraturan, diameter atas- bawah dan kiri- kanan masing- masing 3 cm, diameter
depan- belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior,
inferior, dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral.
Gambar 1: Anatomi Nasofaring
Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan,
di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas,, sehingga secara
klinis disebut sebagai dinding supero- posterior. Dinding lateral mencakup pars
anterior tuba timpanofaringeus, pars kartilago tuba timpanofaringeus, dan pars
posterior tuba timpanofaringeus. Dinding anterior: Margin posterior septum nasalis
dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum
nasalis. Dinding dasar: Dorsum palatum mole dan ismus orofaring di belakangnya.
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar
limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga sebagai limfe Rouviere,
sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase kanker nasofaring), kemudian
masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: rantai
kelenjar limfe jugularis interna, rantai kelenjar limfe nervi asesorius, rantai kelenjar
limfe arteri dan vena transversalis koli (di fossa supraklavikular).1.2
Gambar 2: Kelenjar getah bening di kepala dan leher
Pembuluh darah berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis
eksterna, masing- masing adalah: arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri
karotis eksterna; arteri palatine asendens; arteri faringea; dan arteri pterigoideus.
Persarafan nasofaring, saraf sensorik berasal dari nervi glosofaringeal dan vagus.
Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum
mole.
Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia
30- 60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.
Terjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya
kanker nasofaring adalah:2
1. Kerentanan genetik
Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tapi kerentanan
terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol
dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring,
mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring.
2. Virus EB
Virus EB memiliki kaitan erat dengan kanker nasofaring, alasannya adalah:
di dalam serum pasien kanker nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB
(termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll); di dalam sel kanker nasofaring dapat
dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA; epitel nasofaring di
luar tubuh bila diinfeksi dengan galut sel mengandung virus EBA, ditemukan
epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh cepat, gambaran pembelahan inti juga
banyak; dan dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa
nasofaring fetus manusia.
3. Faktor lingkungan
Penelitian akhir- akhir ini menemukan zat- zat seperti golongan nitrosamin,
hidrokarbon aromatik dan unsur renik dapat memicu timbulnya kanker
nasofaring.
II. DIAGNOSIS1,2,3
1. Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah:
a. Epistaksis: Sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, di antaranya 23,2%
pasien datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan
kuat secret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum
mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di
permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis. Yang ringan timbul
epistaksis. Yang timbul hemoragi nasal masif.
b. Hidung tersumbat: Sering hanya sebelah dan secara progresif bertambah
hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior, insiden
sekitar 48%.
c. Tinitus dan pendengaran menurun: masing-masing menempati 51,5%-
62,5% dan 50%. Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan
dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachii,
menyebabkan tekanan negative di dalam kavum timpani, hingga terjadi
otitits media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan
dilatasi tuba eustachii dapat meredakan sementara. Menurunnya
kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai
rasa penuh di dalam telinga.
d. Sefalgia: Menempati 57,2-68,6%, kekhasannya adalah nyeri kontinu di
regio temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan
desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atauos basis cranial, juga mungkin
karena infeksi local atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan
sefalgia reflektif.
e. Rudapaksa saraf kranial: Kanker nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi
direk ke superior, dapat mendestruksi tulang basis cranial, atau melalui
saluran atau celah alami cranial masuk ke area petrosfenoid dan fossa
media intracranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os
temporal, foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat saraf
karanial III,IV,V (radiks I,II) dan VI rudapaksa, manifestasinya berupa
ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata, neuralgia terminal atau nyer
area temporal akibat iritasi meningen, bila terdapat juga rudapaksa saraf
cranial II, disebut sindroma apeks orbital atau petrosfenoid. Ketika kanker
nasofaring meluas hingga area posterior prosesus stiloideus dari selah
parafaring, atau metastasis kelenjar limfe parafaring menekan,
menginfiltrasi lebih ke dalam, dapat mengenai saraf cranial IX, X, XI, XII
dan saraf sompatis leher. Radiks ke-3 N. Trigeminus dapat terinfiltrasi di
intracranial, atau terkena rudapaksa di celah parafaring. Saraf cranial I, II,
terletak intracranial condong ke depan, saraf cranial VII, VIII terlindung
oleh pers petrosus os temporalis, sehingga mereka lebih jarang terkena
invasi kanker nasofaring ke saraf cranial.
f. Pembesaran kelenjar limfe leher: Sekitar 40% pasien datang dengan
gejala pertama pembesaran kelenjar imfe leher, pada waktu diagnosis
ditegakkan, sekitar 60-80% sudah metastasis kelenjar limfe leher. Lokasi
tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior
koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup
otot strenokleidomastoid, dan benjolan tiodak nyeri, maka pada mulanya
sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya
pertama kali munculk di region untaian nervi aksesorius di segitiga koli
posterior.
g. Gejala metastasis jauh: karena 95% lebih sel kanker nasofaring
berdiferensiasi buruk, dengan derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis
ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita metastasis jauh. Dari kasus yang
wafat setelah radioterapi, angka metastasis jauh mencapai 45,5%. Lokasi
metastasis paling sering ke tulang, paru, hati. Metastasis tulang tersering
ke pelvis, vertebra, iga, dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis
tulang adalah nyeri kontinu dan nyeri tekan setempat, lokasinya tetap,
tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase dini
tidak sealu terdapat perubahanpada foto sinar X, bone scan seluruh tubuh
dapat membantu diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat
tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut
rutin dengan ronsen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG.
2. Gambaran Radiologi
a. Pemeriksaan CT: makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu
diagnosis; (2) memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3)
secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi; (4)
memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak
lanjut.
Gambar 3: potongan axial CT-Scan pada penderita KNF
b. Pemeriksaan MRI: MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan
lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,
sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan
lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini
menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis
pasca radio-terapi dan reurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
c. Pencitraan tulang seluruh tubuh: berguna untuk diagnosis kanker
nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan
ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan
ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai
akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek
radioaktivitas. Bone scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun
tidak spesifik. Maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas,
harusmemperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi,
fraktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radoterapi, kemoterapi,
dll.
d. PET (positron emission tomography): disebut juga pencitraan biokimia
molecular metabolic in vivo. Menggunakan pencitraan biologis
metabolism glukosa darizat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari
CT yang dipadukan hingga mendapatkan gambar PET-CT. itu
memberikan informasi gambaran biologis dari dokter klinisi, membantu
penentuan area target biologis kanker nasofaring, meningkatkan akurasi
radioterapi, sehingga efektivitas meningkat dan rudapaksa radiasi
terhadap jaringan normal berkurang.
3. Patologi Anatomi
Pada pasien kanker nasofaring, sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi
primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai
harus diperoleh diagnosis histology yang jelas. Hanya jika lesi primertidak
dapat memberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi
kelenjar limfe leher.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh
WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
b. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.6
4. Penggolongan Stadium
Penggolongan stadium tahun 1992 :
T1: Kanker terbatas di rongga nasofaring
T2: Kanker menginfiltrasi kavum nasal, nasofaring, atau di celah parafaring
di anterior garis SO (garis SO adalah garis penghubung prosesus stiloideus
dan margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital; garis batas
region servikal superior dan inferior adalah margo inferior kartilago
krikoidea)
T3: Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis
cranial, fossa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal saraf cranial
kelompok anterior atau posterior.
T4: Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau
kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fossa intra-
temporal.
N0: Belum teraba pembesaran kelenjar limfe
N1: Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4cm, mobil.
N2: Kelenjar limfe koli inferior membesar atau berdiameter 4-7cm
N3: Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7cm
Penggolongan stadium klinis:
Stadium I : T1N0M0
Stadium II : T2N0-1M0, T0-2N1M0
Stadium III : T3N0-2M0, T0-3N2M0
Stadium IV a : T4N0-3M0, T0-4N3M0
Stadium IV b : T apapun, N apapun, M1
III. PENATALAKSANAAN1,3
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif.
Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu
juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini,
tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode
pengobatan.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah
mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam
tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam
hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari
tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita.
Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah leukosit
tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.
Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk
menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta
kelenjar-kelenjar getah bening regional.
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm meliputi foramen ovale, kanalis
karotikus dan foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.
Gamabr 4: Lapangan opposing lateral
Gambar 5: Lapangan supraklavikula
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum
nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila
perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas
dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran
tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau
orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak
termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau
apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila.
Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana
- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila
terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba.
- Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila
didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar
yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.
Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode
radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan
lapangan depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii.
Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3
distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.
Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari
lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah
lapangan radiasi untuk tumor primer.
Teknik Radioterapi
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
1. Radiasi Eksterna / Teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan
di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar
energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari : besarnya energi
yang dipancarkan oleh sumber energi, jarak antara sumber energi dan
tumor dan kepadatan massa tumor.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250
rad per kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2
minggu untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi
memerlukan waktu 4-6 minggu.
2. Radiasi Interna / Brachiterapi
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor
di dalam rongga tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna :
a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
jarum radium atau jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
- After loading : Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga
tubuh ke empat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru
dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
- Instalasi :Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh,
misal : pleura atau peritoneum.
3. Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang
disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.
Dosis radiasi
Ada 2 jenis radiasi, yaitu :
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher
dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000
rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000
rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.
Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x
per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada
daerah kambuh.
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening
leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon
radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah benin
yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25%
atau lebih.
Komplikasi radioterapi
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
1. Komplikasi dini. Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu
setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis - Anoreksi
- Dermatitis
- Eritema
2. Komplikasi lanjut. Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian
radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Gangguan pertumbuhan
- dll
Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan tingkat
keparahan: pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana atau
radioterapi eksternal ditambah brakiterapi kavum nasofaring; pasien stadium
III/IV dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi; pasien dengan metastasis
jauh harus bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatif.
Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energy tinggi atau
radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar
isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi
stereotaktik. Lingkup radiasi mencakup lesi primer nasofaring, aream sekitar yang
mungkin terinfiltrasi, area drainase limfatik nasofating. Sekitar nasofaring
terdapat banyak organ vital, maka desain medan radiasi dan penetapan posisi
harus tepat, secara maksimal mencakup jaringan tumor, sekaligus secara
maksimal mengurangi dosis radiasi jaringan normal sekitarnya. Melalui plat
timbal bertitik leleh rendah kepada pasien diberikan iradiasi medan gabungan dan
medan dipersempitmuka dan leher tak beraturan lalu iradiasi isosentrum medan
terpisah muka dan leher tak beraturan, dapat secara lebih baik melindungi
serebrum, batang otak, medulla spinal dan lensa, dan organ vital lain, mengurangi
reaksi radioterapi, meningkatkan kualitas hidup. Radioterapi konformal modulasi
intensitas merupakan teknik tebaru yang dikembangkan dari radioterapi
konformal tiga dimensi, teknik ini tidak hanya dapat menyesuaikan bentuk area
iradiasi agar secara tiga dimensional sesuai dengan bentuk tumor yang diradiasi,
tapi juga dapat memberikan dosis radiasi berbeda pada tumor dan jaringan sehar
sekitarnya, sehingga dapat lebih jauh mengurangi dosis radiasi yang diterima
jaringan normal sekitar tumor, hingga lebih dapat menjaga fungsi jaringan organ
normal.
Dosis radiasi: dosis iradiasi nasofaring 66-70 Gy/33-35 kali/6,5-7 minggu;
bagi pasien dengan kelenjar limfe leher positif diberikan dosis kuratif 60-70
Gy/30-35 kali/6-7 minggu; pasien dengan kelenjar limfe leher negatif diberi dosis
preventif 50-56 Gy/25-28 kali/5-5,5 minggu.
Reaksi radiasi berupa reaksi sistemik atau lokal akibat radiasi yang bersifat
temporer dan reversible. Manifestasi sistemik berupa insomnia, pusing, fatig,
mual, muntah dispepsia, kelainan pengecapan, dll. Reaksi lokal terutama berupa
reaksi akut kulit, mukosa rongga mulut dan kelenjar parotis, derajat reaksi
berkaitan dengan metode fraksionisasi radiasi, lokasi dan luas permukaan iradiasi.
Rudapaksa radiasi adalah rudapaksa permanen ireversibel pada jaringan organ
akibat paparan radiasi. Misalnya, rudapaksa radiasi kelenjar parotis, otitis media
radiasi, artritis mandibular radiasi, osteomielitis mandibular radiasi, karies radiasi,
hipofungsi hipofiseal radiasi, rudapaksa nervus oftalmikus radiasi, rudapaksa
medulla spinalis radiasi, atrofi kulit dan fibrosis muskular daerah leher akibat
radiasi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvan dan
kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah: PF
(DPP + 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP +
5FU dan DDP + gemsitabin, dll.
DDP : 80- 100 mg/m2 iv drip hari pertama (mulai sehari sebelum
kemoterapi, lakukan hidrasi 3 hari).
5FU : 800- 100 mg/m2 iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.
Ulangi setiap 21 hari, atau:
Karboplatin : 300 mg/m2 atau AUC = 6 iv drip, hari pertama.
5FU : 800- 100 mg/m2 iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu
intravena.
Ulangi setiap 21 hari.
3. Terapi Bedah
Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi:
1. Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring.
3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe
leher.
4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma
skuamosa grade I,II, adenokarsinoma dll.
5. Komplikasi radiasi (misal, parasinusitis radiasi, ulkus radiasi, dll).
4. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboratorium dan uji klinis.
5. Terapi Rehabilitatif
1. Rehabilitasi psikis: Pasien kanker nasofatring harus diberi pengertian
bahwa penyakitnya berpeluang untuk disembuhkan, upayakan agar pasien
secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
2. Rehabilitasi fisik : Setelah menjalani radioterapi, kemoterapi dan terapi
lain, pasien biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih,
daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi,
berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan
meningkat secara bertahap.
IV. PROGNOSIS4
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamus berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi,
walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang
disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai : limfadenopati, stadium
lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Quan Z, Zhuming G. Tumor di Kepala dan Leher. In: Desen W, editor. Onkologi Klinis. Jakarta: FK UI; 2011. p. 263-78.
2. Paulino AC. Nasopharyngeal Cancer. Medscape; 2012 [updated 2012; cited 2013 April 2nd]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview#showall.
3. Perez CA. Nasopharynx. In: Perez CA, Brady LW, editors. Principles and Practice of Radiation Oncology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1997. p. 897-935.
4. 2. Arima, Cut Aria. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.