Kliping Wereng Coklat Padi
-
Upload
kacongmarcuet -
Category
Documents
-
view
255 -
download
1
Transcript of Kliping Wereng Coklat Padi
Hama yang Ditakuti dan Cara Membasmi10.14 | Author: Urip SR
Kompas Rabu, 09/02/2011. Ukuran tubuhnya saat
dewasa hanya sekitar 3 milimeter. Namun, kemampuan berkembang biak, daya sebar,
daya serang, dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya luar biasa. Karakteristik itu
menempatkan wereng batang coklat sebagai hama utama tanaman padi.
Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan
(BBPOPT) memperkirakan, wereng batang coklat yang disingkat sebagai wereng coklat
(Nilaparvata lugens Stal) menyerang 47.005 hektar hingga 81.686 hektar padi di
Indonesia musim ini (MT 2010/2011).
Kemampuan wereng coklat berkembang biak sangat tinggi. Sebuah laporan ilmiah
tentang Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat yang ditulis Hiroichi
Sawada, Gaib Subroto, Wahyudin, dan Toto Hendarto dalam buku Wereng Batang
Coklat tahun 1992 menyatakan, jumlah telur yang dihasilkan seekor wereng coklat
betina selama hidupnya ada 1.474 butir.
Ada beberapa spesies yang termasuk dalam genus Nilaparvata. Namun, hanya
Nilaparvata lugens Stal yang menjadi hama penting pada tanaman padi di Indonesia.
Wereng batang coklat termasuk dalam famili Delphacidae yang memiliki ciri utama bintik
hitam pada sayap depan dan taji pada ujung tibia tungkai belakang.
Siklus hidup wereng, di daerah tropis dengan suhu 20-30 derajat celsius, mencapai 23-32
hari. Artinya, dalam satu periode tanam padi, wereng dapat menyelesaikan siklus tiga
generasi. Kondisi lingkungan, penanganan, dan kerentanan varietas menjadi faktor
kecepatan perkembangbiakannya.
Firdaus Natanegara, ahli wereng di BBPOPT menyebutkan, wereng coklat mampu
beradaptasi dengan varietas baru dengan membentuk biotipe atau koloni baru yang
lebih ganas. Serangan wereng coklat mengakibatkan warna daun dan batang padi
berubah menjadi kuning, kemudian kecoklatan, dan akhirnya kering.
Wereng dewasa menetap di pangkal tanaman. Selain mengisap cairan sel tanaman,
wereng menularkan virus kerdil rumput dan kerdil hampa. Jika terserang virus kerdil
rumput, padi beranak banyak, daun menjadi pendek, dan tidak bermalai. Sementara
virus kerdil hampa membuat daun pendek, kaku, anakan bercabang, dan malai hampa.
Migrasi
Migrasi wereng dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan iklim. Migrasi biasanya terjadi
antara matahari terbit hingga terbenam karena Nilaparvata lugens memerlukan cahaya
dalam penerbangan. Penerbangan bisa berlangsung dalam kondisi suhu rendah,
kelembaban tinggi, angin yang lemah, maupun angin berkecepatan lebih dari 11
kilometer per jam.
Menurut Firdaus, pada proyek penelitian kerja sama Jepang-Indonesia tahun 1986-1992,
wereng diketahui bermigrasi hingga jarak ratusan kilometer. Migrasi jarak jauh diketahui
setelah sekelompok wereng yang disemprot warna merah di persawahan daratan China
ditemukan menyerang padi di Jepang.
Menurut Firdaus, migrasi wereng di Indonesia tidak sejauh rute China-Jepang karena padi
sebagai sumber pakan ada di mana-mana.
Kepala BBPOPT Gaib Subroto menambahkan, sebelum tahun 1970-an, wereng coklat
tidak diperhitungkan sebagai hama di Indonesia. Situasi berubah saat program
intensifikasi gencar dilaksanakan pemerintahan Soeharto, antara lain dengan
menyemprotkan insektisida organosfat berspektrum luas secara massal dengan pesawat
udara.
Di Buletin Peramalan OPT Edisi XII
Tahun 2010tertulis, tahun 1976/1977, wereng coklat mengakibatkan serangan berat
pada 450.000 hektar padi sawah dan kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras.
Pemakaian pestisida mengakibatkan ledakan serangan hama tahun 1979 dan 1986.
Pemakaian insektisida yang tak tepat jenis, konsentrasi, dosis, volume, cara, waktu, dan
sasaran semprot memicu meluasnya serangan wereng coklat. Sebab, selain wereng
menjadi kebal, hal itu memicu terbunuhnya musuh alami wereng.
Ledakan wereng coklat mendorong terbitnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986
tentang Pengendalian Hama Terpadu yang berujung pada pencabutan subsidi pestisida.
Jamur
Demi menghindari terbunuhnya musuh alami, petani dianjurkan mengembangkan
jamur Beauveria bassiana dan Metharrizium anisopliae.
Penggunaan agen hayati itu relatif murah; aman terhadap lingkungan, manusia, dan
hewan; efisien dalam jangka panjang; serta efektif untuk pengendalian OPT sasaran.
Kekurangannya, pengendalian berjalan lambat, tidak dapat diramalkan, dan butuh
pengawasan ketat.
Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman (LPHPT) Balai Perlindungan
Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Jawa Tengah di Surakarta salah satu yang mengembangkan Beauveria bassiana.
”Kami mengembangkan jamur ini karena perbanyakannya mudah dikerjakan oleh
petani,” kata KetuaLPHPT Surakarta V Driyatmoko, Senin (7/2).
Untuk mendapatkan bibit murni Beauveria bassiana, dilakukan pemurnian jamur yang
diperoleh dari lapangan di laboratorium.
”Bibit lantas diperbanyak melalui media cair atau padat,” kata staf fungsional LPHPT
Surakarta, Sri Hartati.
Proses perbanyakan dapat dilakukan oleh petani. Media cair menggunakan ekstrak
kentang gula, sedangkan media padat menggunakan beras atau jagung.
Jika spora jamur sudah tumbuh di media cair, ditambahkan gula pasir dan bubuk
detergen, lalu disemprotkan ke tanaman.
Jamur menjadi parasit bagi wereng sehingga lama-kelamaan wereng mati. Efektivitas
akan terlihat setelah seminggu. (Mukhamad Kurniawan dan Sri rejeki)***
Sumber Kompas 09/02/2011
Keterangan Foto:
1.Populasi tinggi wereng coklat pada rumpun padi di Desa Pelutan , Pemalang (Survey tgl
1-3 Feb 2011)
2. Staf teknis BBPOPT sedang melakukan pengamatan wereng di sawah.
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Waspadai Wereng (Kompas 20/01/2011)09.11 | Author: Urip SR
Karawang, Kompas - Petani dan pengamat
lapangan di sejumlah sentra padi di Indonesia perlu terus mewaspadai serangan wereng
batang coklat. Karakteristik perkembangbiakan yang cepat dan daya rusak yang tinggi
menempatkan wereng sebagai organisme utama yang mengganggu ketahanan pangan.
Secara kumulatif, wereng batang coklat (WBC) menyerang 30.342 hektar padi di
Indonesia pada musim tanam (MT) 2009/2010 dan 96.498 hektar pada MT 2010. Pada MT
2010/2011, WBC diramalkan menyerang 81.686 hektar terutama di Pulau Jawa.
Kepala Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BB POPT) Gaib
Subroto, di Karawang, Jawa Barat, Rabu (19/1), mengatakan, sekecil apa pun populasi
WBC yang ditemukan pada musim ini berpotensi menjadi sumber serangan pada musim
tanam mendatang. Wereng terus berpindah mencari sumber pakan baru dan
berkembang biak dengan pesat di lingkungan yang mendukung.
Siklus hidup wereng hanya 28 hari. Laju perkembangbiakannya mencapai 2.000 kali per
musim tanam dengan daya sebar dan daya serang tinggi. Selain mengisap cairan sel
tanaman, wereng juga menebar virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang memicu
gagal panen.
Gaib menuturkan, selain karakteristik itu, kondisi cuaca yang lembab dapat memicu
ledakan populasi wereng. Kewaspadaan juga perlu ditingkatkan karena beberapa titik
serangan musim ini ditemukan di lokasi yang belum terserang sebelumnya, seperti di
Purwakarta dan Karawang (Jawa Barat), Sukoharjo (Jawa Tengah), serta Nganjuk, Ngawi,
Lamongan, dan Bojonegoro (Jawa Timur).
Firdaus Natanegara, pelaksana teknis BB POPT, menambahkan, pengamatan ekstra perlu
ditingkatkan di sentra padi Pulau Jawa, seperti Pandeglang (Banten), Karawang, Subang,
Indramayu (Jabar), Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Pati, Demak, Kudus, Grobogan (Jateng),
serta Jember, Lumajang, dan Banyuwangi (Jatim). Di sejumlah daerah itu, serangan
wereng sering ditemukan meski dalam skala kecil.
Terkait itu, BB POPT menerjunkan tim guna meredam serangan wereng. Bersama
pengamat OPT di tingkat kota/kabupaten, tim mengidentifikasi, merumuskan
rekomendasi, dan melaksanakan pembasmian. Upaya itu diharapkan dapat mencegah
meluasnya area serangan. (mkn)***
Sumber: Kompas, Kamis 20/01/2011
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
PENANGGULANGAN WERENG BATANG COKLAT: Mampukah Kita Belajar dari Sejarah ?12.40 | Author: Urip SR
Tulisan: Dr. Hermanu Triwidodo, MSc, IPB
dan Ir. Nugroho Wienarto, Yayasan Field
(Makalah ini disampaikan pada Workshop Nasional WBC di Jakarta 19 Juni 2010)
Kompas, 8 Mei 2010: Wereng Coklat Meluas, Pemda Harus Aktif
Jakarta, Kompas. Serangan hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas,
padahal sudah relatif lama petani bebas dari serangan hama ini.
Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta lebih cepat merespons setiap laporan
adanya serangan agar tidak meluas.Imbauan tersebut disampaikan Wakil Menteri
Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (7/5). ”Petani juga harus lebih waspada
dan mempelajari kembali pola penanggulangan wereng coklat melalui pendekatan pola
tanam dan teknis budidaya,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat
memang tidak signifikan dibandingkan dengan total luasan areal panen padi.
Pada April-Mei 2010 total luas areal panen padi mencapai 3,3 juta hektar.”Serangan ini
tidak berdampak serius pada produksi pangan nasional, tetapi jelas sangat merugikan
petani karena petani gagal panen,” kata Wakil Menteri Pertanian.Menurut Bayu, yang
harus diwaspadai adalah meluasnya serangan, terutama di wilayah pantai utara
Jawa.Wilayah yang tanaman padinya terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa
Barat), Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan
(Jawa Tengah).
Kementerian Pertanian, kata Bayu, saat ini mengupayakan agar ada mekanisme bantuan
khusus bagi petani yang tanaman padinya terserang wereng.Selama ini bantuan bagi
petani yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya
dalam bentuk pupuk dan benih.Padahal, petani korban hama wereng perlu mendapat
ganti rugi supaya kelangsungan hidupnya terjaga pasca-gagal panen. Menurut Bayu, ada
empat faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat. Faktor-faktor tersebut
adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi pola tanam tidak
menentu, pola penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak, introduksi benih padi
hibrida yang tidak tahan wereng coklat, serta petani lupa cara melakukan antisipasi.
1. Pengantar
Kliping harian Kompas tanggal 8 Mei 2010 membuka tulisan ini, yang membahas tentang
pengalaman penanggulangan wereng batang coklat (WBC) secara ekologis, yang
dilakukan dalam kurun waktu tahun 1980-1n hingga sekarang. Ini dimulai dengan
Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Terpadu sebagai strategi
nasional perlindungan tanaman, kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan Program
Nasional Pengendalian Hama Terpadu (1989-1999) yang dimulai di bawah koordinasi
BAPPENAS dan mulai tahun 1994 dilaksanakan langsung oleh Departemen Pertanian.
Imbauan dari Wakil Menteri Pertanian ini seakan-akan menunjukkan bahwa Kementerian
Pertanian juga mengalami “lupa” tentang sebab-sebab klasik ledakan hama WBC di
pertanaman padi dan langkah penanggulangannya.
2. Sejarah Serangan Wereng Batang Coklat
Bila kita mau menengok sejarah maka masalah yang dihadapi Indonesia dengan WBC
adalah mirip dengan pengalaman negara-negara lain di Asia. Di Indonesia WBC mulai
menjadi perhatian sejak tahun 1970 dan 1971. Survei tentang kerusakan tanaman padi
akibat penggerek di beberapa wilayah di Jawa Barat mendapatkan data bahwa para
petani menggunakan insektisida, yang berakibat tidak hanya meningkatnya serangan
penggerek tetapi juga jumlah populasi WBC sepuluh kali lipat dibandingkan lahan padi
yang tidak disemprot pestisida (Soeharjan 1972). Sebelum tahun tujuh puluhan WBC
tidak diperhitungkan sebagai hama. Situasi ini segera berubah. Sebagai bagian dari
BIMAS Gotong Royong di akhir 1960-an dan awal 1970-an maka ratusan ribu hektar padi
sawah disemprot insektisida organofosfat berspektrum luas secara massal dengan
menggunakan pesawat udara. Program ini juga menyediakan paket kredit dalam bentuk
pupuk kimia dan pestisida. Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang meningkat maka
meningkat pula serangan WBC. Pada tahun 1975, sejalan dengan kebijakan pemerintah
secara langsung menyubsidi insektisida, maka kehilangan hasil akibat dari WBC sama
dengan 44% impor beras tahunan (Kenmore 1991). Sejak 1976 Pemerintah memulai
penyemprotan dari udara dengan formulasi insektisida dari jenis ultra low volume
sehingga bisa menjangkau wilayah yang luas. Hasilnya adalah pada tahun 1976/1977,
WBC mengakibatkan serangan berat pada 450.000 hektar padi sawah. Perkiraan
kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras, suatu jumlah yang cukup untuk memberi
makan 3 juta orang dalam satu tahun. (Oka 1997).
Ini bukan kejadian yang terisolasi. Kebijakan-kebijakan perlindungan tanaman Indonesia
yang mempromosikan penggunaan pestisida telah mengakibatkan dua ledakan hama di
tahun 1979 dan 1986. Thailand, Vietnam, Kamboja dan Malaysia juga mengalami
ledakan hama yang mirip. Para ahli ekologi populasi mampu mendokumentasikan proses
ini (Kenmore et al. 1984; Ooi 1988; Settle et al. 1986). WBC ditemukan berada pada
tingkat populasi yang tidak berarti di lahan padi sawah intensif yang tidak disemprot
insektisida karena dikendalikan oleh populasi musuh alami. Sekalipun ada imigrasi
sejumlah besar serangga WBC dewasa yang bereproduksi ke suatu lahan, maka populasi
musuh alami mampu merespon dan mengakibatkan tingkat kematian WBC yang tinggi
sehingga hasil panen tidak terganggu. Penggunaan insektisida telah ditemukan menjadi
penyebab terganggunya mekanisme pengendalian alami. Tingkat hidup WBC didalam
suatu sistem yang terganggu insektisida telah ditemukan meningkat lebih dari sepuluh
kali lipat. Selama satu musim tanam kepadatan populasi WBC bisa meningkat ratusan
kali lipat. Mencoba mengendalikan ledakan hama ini dengan insektisida seperti menuang
minyak kedalam api.
Dengan ledakan hama WBC yang masif maka para pemulia tanaman mengembangkan
varietas yang tahan kepada WBC. Strateginya adalah mengganti penggunaan insektisida
dengan menanam varietas padi yang tahan WBC. Tetapi di lapangan, penggunaan
insektisida yang intensif berlangsung terus. Penggunaan insektisida yang intensif
mendorong seleksi yang cepat terhadap populasi WBC yang mampu mengatasi
ketahanan varietas baru (Gallagher 1984).
Runtuhnya varietas-varietas baru ini secara cepat berarti dana dan waktu yang
diinvestasikan dalam pengembangannya telah terbuang sia-sia.
Apa yang terjadi? Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan metode perlindungan tanaman
yang baku dari pemerintah di tahun 1970-an dan 1980-an secara nyata meningkatkan
resiko ledakan hama. Contoh ledakan hama WBC ini adalah ilustrasi, karena secara
umum ini juga mengakibatkan ledakan-ledakan hama padi lainnya di daerah tropis.
Insektisida melemahkan sebuah sistem sehingga populasi musuh alami menjadi rendah
dan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap sistem tersebut. Kebijakan
pemerintah juga gagal memperhitungkan “buffer” lain agar agroekosistem padi terhindar
dari kehilangan hasil. Ini adalah kemampuan tanaman untuk mengkompensasi
kehilangan daun dan malai produktif hingga 30-40 hari setelah tanam. Beberapa varietas
unggul ini memungkinkan tanaman bertahan dari serangan hama yang diakibatkan oleh
penggerek, penggulung daun dan yang lain (Way Heong 1994). Makalah Way Heong
pada tahun 1994 berkesimpulan bahwa insektisida tidak diperlukan sehingga insektisida
dan “hama” ini perlu secara kritis dikaji ulang dan dibuktikan sebelum penggunaan
insektisida dipikirkan.
Apakah kita bisa belajar dari sejarah penanggulangan hama WBC di tanah air kita
sendiri? Untuk itu kita perlu meninjau sejarah tentang keluarnya INPRES 3/86 dan
terselenggaranya Program Nasional PHT dalam kurun waktu 1989-1999.
3. PHT sebagai Kebijakan Nasional – INPRES 3/86
Setelah bertahun-tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar didunia, Indonesia
berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Atas prestasi ini, Indonesia
mendapat pujian dari seluruh dunia serta penghargaan dari FAO. Perubahan yang
menakjubkan ini terjadi karena introduksi pupuk dan varietas unggul yang disebarkan
secara luas, pengembangan sistem irigasi, dan adanya kebijakan-kebijakan pendukung
yang tepat.
Namun demikian, pencapaian tersebut memiliki kelemahan. Insektisida berspektrum luas
selalu diikutsertakan bersama dengan masukan lainnya. Insektisida tersebut telah
memicu ledakan populasi hama wereng coklat secara luas, sehingga varietas-varietas
padi berproduksi tinggi yang dikembangkan oleh Indonesia, seperti Krueng Aceh dan
Cisadane menjadi “patah” ketahanannya. Pada akhir 1985, hampir 70% produksi padi di
Pulau Jawa terancam oleh hama tersebut.
Untunglah, penelitian yang dilakukan oleh badan penelitian nasional dan internasional
selama tahun 1979 hingga 1986 secara meyakinkan membuktikan bahwa: 1) wereng
batang coklat merupakan hama yang ledakan populasinya disebabkan oleh penggunaan
pestisida secara berlebihan, dan 2) populasi hama tersebut dapat dikendalikan oleh
agens pengendali hayati berupa predator/pemangsa yang secara alami ada di lahan
sawah.
Pada 5 Nopember 1986 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3
tahun 1986 yang menyatakan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi strategi
nasional pengendalian hama. Inpres 3/86 juga melarang 57 jenis insektisida, sebagian
besar adalah jenis organofosfat yang sangat beracun, untuk digunakan di tanaman padi,
dan memerintahkan diselenggarakannya program pelatihan PHT skala besar kepada
petugas lapangan dan petani.
Kebijakan PHT ini diperkuat dengan penghapusan subsidi pestisida dua tahun berikutnya
sehingga Pemerintah bisa menghemat $ 120 juta per tahun. Selama 10 tahun
sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan dana subsidi pestisida sebesar $1,5 milyar.
4. Program Nasional PHT 1989-1999
Sebagai kelanjutan dari terobosan ilmiah dan kebijakan yang dilakukan pada akhir tahun
1980-1n tersebut, Pemerintah Indonesia meluncurkan program PHT dengan skala paling
besar dari yang pernah dilaksanakan. Sejaka tahun 1990, Program Nasional PHT telah
mencetak lebih dari 500.000 petani Indonesia menjadi alumni dari Sekolah Lapangan
PHT (SLPHT) yang dilakukan selama satu musim penuh di 12 propinsi lumbung beras.
Pada tahun 1997/1998, hampir 200.000 petani terlibat dalam SLPHT per tahun. Hingga
1998, hampir setiap desa di daerah lumbung beras di Indonesia memiliki setidaknya satu
SLPHT yang diselenggarakan di lahan di desa tersebut.
Dalam rangka mencapai jumlah tersebut, lebih dari 2.000 Pengamat Hama dan Penyakit
(PHP) menjalani pelatihan Ahli Lapangan PHT secara intensif selama 14 bulan. Lebih
jauh, untuk mendukung pelaksanaan di lapangan, lebih dari 5.000 Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) tanaman pangan juga menjalani latihan PHT di lahan. Pada kurun waktu
1989-1993, Program Nasional PHT dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melibatkan Departemen Pertanian, Kesehatan,
Lingkungan Hidup, serta Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 1994, program ini
dikoordinir oleh Departemen Pertanian. Selama kedua periode ini, Badan Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO) memberikan bantuan teknis. Dana untuk program ini, disamping
berasal dari Pemerintah Indonesia, juga bersumber dari hibah USAID dan pinjaman Bank
Dunia.
Program PHT yang berintikan usaha pengembangan sumberdaya manusia menghasilkan
perubahan besar dalam perilaku dan praktek budidaya di lahan, yang memungkinkan
petani untuk terbebas dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya dan dari ancaman
kampanye perusahaan pestisida. Lebih dari 40 tahun yang lalu, diawal Revolusi Hijau,
pestisida dikenalkan secara luas melalui metoda “pesan dan sanksi” yang membujuk
petani untuk menggunakan pestisida bersubsidi dengan sistem kalender. Sistem
kalender kemudian digantikan dengan sistem ambang ekonomi yang memerlukan
pengamatan yang cermat, peramalan, dan teknik “hitung dan semprot”. PHT di
Indonesia telah meninggalkan konsep tersebut dengan cara mempertajam ketrampilan
petugas lapangan dan petani dalam metoda-metoda ekologis, yaitu pengambilan
keputusan dan pengelolaan lahan yang didasarkan pada analisa agroekosistem dan
pengamatan di lahan.
5. Manfaat dan Hasil PHT
Manfaat yang diperoleh dari program PHT bagi lingkungan, Pemerintah, petani, dan
masyarakat, antara lain:
· Pemerintah dapat menghemat dana subsidi sekitar 120 milyar dolar Amerika per tahun,
sementara pada saat yang sama ledakan populasi hama yang menjadi ancaman
terhadap keamanan penyediaan pangan juga telah menurun drastis.
· Petani dapat menghemat biaya produksi, panen lebih terjamin, dan keadaan kesehatan
keluarga serta masyarakat menjadi lebih baik.
· Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida menjadi berkurang, baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek.
· Konsumen terlindungi dari residu racun yang tidak diperlukan.
Setelah mengikuti SLPHT selama satu musim penuh, petani menurunkan penggunaan
insektisida, baik yang terlarang maupun yang tidak, sementara itu hasil panen tetap
dapat dipertahankan. Namun demikian, bagi kebanyakan petani, ada yang lebih penting
daripada keuntungan ekonomi tersebut, yaitu berkembang pesatnya kemampuan
mereka untuk melakukan analisa, pengambilan keputusan, dan pengelolaan lahan.
Mengacu kepada perkembangan di lapangan maka pada tahun 1999, Menteri Pertanian
M. Prakosa menulis surat kepada Pemerintah Daerah agar melanjutkan program PHT di
tingkat lapangan dari anggaran daerah, sehingga usailah Program Nasional PHT.
6. Resiko Penggunaan Pestisida terhadap Ekonomi dan Kesehatan Petani
Selama tahun 1970-an, teknologi Revolusi Hijau memasukkan insektisida ke dalam paket
komponen input produksi bersama dengan pupuk, irigasi, kredit, dan benih unggul.
Di pertanaman padi daerah tropis, penelitian yang dilakukan selama 25 tahun oleh
lembaga nasional Indonesia dan badan-badan internasional seperti IRRI dan FAO tidak
pernah membuktikan bahwa insektisida memberikan sumbangan bagi peningkatan
produksi padi ataupun peningkatan keuntungan petani. Dalam kenyataannya,
penggunaan insektisida secara sembarangan, bahkan dapat mengakibatkan kehilangan
hasil panen yang sangat besar akibat timbulnya resurjensi hama, seperti yang terjadi
pada tahun 1975 sampai 1979, sehingga produksi padi mengalami krisis akibat serangan
hama wereng coklat.
Di seluruh dunia 80% dari seluruh pestisida digunakan di negara maju. Namun demikian,
diperkirakan 90% kasus keracunan pestisida, terjadi di negara berkembang. WHO
memperkirakan bahwa 25 juta manusia mengalami keracunan pestisida setiap tahunnya.
Dengan kondisi pedesaan yang para petaninya miskin, maka “penggunaan secara aman”
dari bahan-bahan kimia yang sangat beracun tersebut, praktis tidak mungkin dilakukan.
Disamping itu, secara agronomis, perlu tidaknya penggunaan pestisida pun masih
dipertanyakan. Studi yang dilakukan pada tahun 1993 tenang hubnungan antara
penyemprotan pestisida dengan keracunan akut pada petani Indonesia menyatakan
bahwa 21% kegiatan penyemprotan mengakibatkan timbulnya tiga atau lebih gejala dan
tanda keracunan pada saraf, saluran pernafasan, dan pencenaan. Studi tersebut juga
menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan per minggu, penggunaan pestisida
berbahaya, dan tingkat pemaparan kulit oleh pestisida berhubungan secara signifikan
dan independen dengan keracunan akut (Kinshi, et al, 1995).
Ketidakmampuan petani untuk membeli perlengkapan pelindung, panasnya iklim tropis,
dan kesulitan untuk menegakkan pelaksanaan pengaturan pestisida mengakibatkan
kesehatan petani dan kondisi tanamannya menjadi terkena resiko penggunaan pestisida,
sekalipun dalam penggunaan yang “normal”.
Resiko terhadap kesehatan akibat pestisida tidak hanya dijumpai selama penggunaan di
lahan, melainkan juga ditemukan di rumah, tempat para petani penyemprot tinggal.
Delapan puluh empat persen (84%) petani yang disurvey, ternyata menyimpan bahan
kimia beracun tersebut di dalam rumah dalam keadaantidak aman dan mudah dijangkau
oleh anak-anak.
Racun kimia yang berbahaya bagi lingkungan, beresiko terhadap keberhalian panen, dan
mengancam kesehatan manusia tersebut dipasarkan dengan menggunakan siasat
pemasaran yang membujuk masyarakat, dan seringkali secara langsung melanggar
Standar Pengedaran Pestisida (FAO Code of Conduct of Production and Distribution of
Pesticide) yang dikeluarkan oleh FAO. Program PHT memerangi hal ini dengan cara
memberikan berbagai alat analisa kepada petani agar mereka dapat mengambil
keputusan sendiri, sehingga uang dan sumberdaya mereka tidak terbuang percuma,
kesehatan mereka tidak terancam, tanaman mereka tidak mengalami kerugian, dan
lingkungan mereka tidak mengalami kerusakan.
7. PHT oleh Petani: Pendekatan Ekologis
“PHT merupakan pendekatan ekologis sehingga sistem pertanian dipandang sebagai
suatu sistem yang kompleks dan hidup. Petani belajar untuk bekerjasama dengan alam
dan belajar untuk membuat dirinya mampu mencapai kapasitas yang diperlukan untuk
mengelola pertanian yang produktif dan berkelanjutan. PHT juga merupakan program
pengembangan sumberdaya manusia. Pelatihan PHT membantu petani untuk belajar
tentang mengorganisir diri mereka sendiri dan dan masyarakatnya, untuk
mengumpulkan dan menganalisa data, untuk mengambil keputusan sendiri, dan untuk
menciptakan suatu jaringan kerja yang kokoh antara petani dengan petani lainnya, serta
antara petani dengan penyuluh dan peneliti.” Menteri Pertanian, Prof. Dr. Sjarifudin
Baharsjah, 1994.
Lebih dari Soal Hama dan Pestisida
Program Nasional PHT Indonesia berusaha memperkuat kemampuan petani, membangun
organisasi petani, mempertajam ketrampilan petugas lapangan, dan menciptakan
manajer lapangan yang berkualitas. Alumni SLPHT lebih sedikit menggunakan pestisida
dan memperoleh lebih banyak keuntungan, dapat menjaga produksi tetap stabil, dan
mampu mengambil keputusan yang didasarkan pada analisa ekosistem di lahan mereka
sendiri.
Dengan menjadi kelompok inti dalam perencanaan, pelatihan, dan penelitian lapangan di
wilayahnya, para petani terlibat dalam pengembangan dan penyebaran PHT. Di tahun
anggaran proyek (1997/1998), SLPHT “Dari petani ke petani” melibatkan lebih dari
75.000 petani peserta.
Secara keseluruhan, analisa dan tindakan di dalam program PHT selalu berkisar diantara
empat prinsip dasar:
· Membudidayakan tanaman yang sehat
· Melestarikan dan mendayagunakan peranan musuh alami (predator dan parasit)
· Mengamati kondisi lahan secara mingguan untuk mengambil keputusan tentang
pengelolaan lahan.
· Memampukan petani menjadi ahli PHT dalam pengelolaan ekologi lahannya.
Metoda latihan ditekankan pada penemuan sendiri, perbandingan, dan analisa. Petani
belajar untuk bekerja secara efektif dalam kelompok-kelompok kecil untuk melalukan
percobaan lapangan, dan kemudian menguasai ketrampilan yang lebih kompleks seperti
pelatihan, perencanaan, penelitian lapangan, dan pengorganisasian masyarakat.
8. Pemberdayaan Petani melalui Sekolah Lapangan PHT
Program Nasional PHT menghidupkan kembali sistem penyuluhan dan jaringan kelompok
petani yang ada melalui pengorganisasian dan pelaksanaan SLPHT. Dengan rancangan
berupa “sekolah tanpa dinding”, Sekolah Lapangan petani ini melakukan pertemuan
mingguan sebanyak 12 kali selama satu musim tanam penuh, mulai dari tanam hingga
panen. Setiap Sekolah Lapangan memiliki 1000 meter persegi “Petak Belajar”, yang
terdiri dari 2 petak perbandingan, yaitu petak perlakuan petani dan petak PHT. Setiap
minggu, petani mempraktekan analisa agro-ekosistem yang mencakup kesehatan
tanaman, pengelolaan air, kondisi cuaca, gulma, pengamatan penyakit, serta
pengamatan dan pengumpulan serangga hama dan serangga berguna. Petani
menyimpulkan hasil pengamatannya sesuai dengan pengalaman mereka, mereka
menggunakan analisa agro-ekosistem untuk membuat keputusan pengelolaan lahan dan
mengembangkan cara pandang tentang proses ekologis yang seimbang. Fasilitator
memberikan kesempatan kepada petani untuk menjadi ahli yang aktif, dan membantu
mereka untuk mengungkapkan dan menganalisa pengalaman mereka sendiri. Selama
proses tersebut, para petani:
· Membuat sendiri alat dan bahan belajar, yang meliputi koleksi serangga, “kebun
serangga”, percobaan lapangan, poster, dan catatan pengamatan lapangan.
· Menciptakan dan menggunakan perangkat analisis berupa bagan analisis agro-
ekosistem mingguan yang dibuat dengan krayon diatas kertas plano dan contoh hidup
untuk melakukan analisis SWOT, untuk mengembangkan rencana rencana tindakan
selanjutnya.
· Memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan: petani PHT belajar untuk
mengelola program mereka sendiri dan mengadakan serta menjalankan kegiatan belajar
dan percobaan yang makin kompleks.
· Membangun organisasi petani yang lebih kuat dengan cara mempelajari ketrampilan
dalam bidang kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen, yang akan berguna di masa-
masa berikutnya setelah Sekolah Lapangan selesai.
Semenjak 1990, lebih dari 20.000 SLPHT telah diselenggarakan. Disamping padi, Sekolah
Lapangan juga diselenggarakan untuk komoditas lain, yaitu kedelai, kubis, kentang, cabe
dan bawang merah. Model SLPHT juga telah diadopsi oleh berbagai kegiatan penyuluhan
pertanian, dan “diekspor” ke berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Keberhasilan SLPHT telah memicu munculnya dukungan politis yang spontan dan
bantuan dana dari pemerintah setempat. Para kepala Desa, Bupati, dan Gubernur secara
terbuka di depan publik telah menyatakan bahwa SLPHT merupakan program pelatihan
pertanian pedesaan yang paling efektif yang pernah dilaksanakan, dan mereka
mewujudkan dukungan tersebut dalam bentuk bantuan dana dari anggaran pemerintah
setempat.
9. Kunci Kesuksesan Program PHT
a. Percaya pada Kemampuan Petani
Falsafah “PHT oleh Petani” telah menempatkan petani sebagai pusat pengembangan
PHT. Hal ini merupakan falsafah penuntun program PHT Indonesia, sekaligus merupakan
penentu utama keberhasilan program ini. Melalui SLPHT, petani mampu menguasai
ekologi di lahan tempat mereka bekerja, dan dengan demikian, mereka menjadi ahli di
lahannya. Namun, ini baru merupakan titik awal. Lebih jauh, peran mereka semakin
meningkat dan meluas, yaitu melalui pelatihan dari petani-ke petani, studi petani, dan
media petani untuk menciptakan pola “komunikasi horisontal”.
b. Dukungan Kebijakan Menyeluruh
Agar PHT dapat berhasil, maka pelaksanaannya di lapangan dan pengaturan kebijakan-
kebijakan pendukungnya haruslah berjalan seiring dan saling mendukung. Di tingkat
pusat, para pembuat kebijakan perlu menciptakan dan memelihara pola kebijakan yang
kondusif, yang mencakup pengaturan pestisida, dukungan dana, dan program pelatihan
dan penelitian PHT. Di tingkat daerah, dukungan nyata dari pemerintah daerah tingkat
propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa mendorong kelanjutan momentum
pengembangan PHT. Untuk lebih memperkuat Gerakan PHT, maka dilakukan kerjasama
dengan organisasi kemasyarakatan, kelompok konsumen, pers, dan badan-badan
pendukung yang terlibat dalam bidang kesehatan, lingkungan, dan pendidikan.
c. Penelitian Pendukung
PHT membutuhkan penelitian di semua tingkatan untuk mendukung pengembangan
program. Terobosan penelitian dalam PHT Padi yang dihasilkan oleh badan penelitian
dan universitas memungkinkan program di fase awal dapat dibangun dengan dasar
ilmiah yang kuat. Penelitian yang berorientasi lapangan tentang sistem budidaya
tanaman yang lain membuka jalan bagi pengembangan dan perluasan PHT. Yang paling
penting, kegiatan penelitian dan studi lapangan telah dipadukan langsung ke dalam
sistem yang berbasis petani sehingga memungkinkan petani, petugas penyuluhan, dan
peneliti bekerja bersama untuk memperkuat dan memurnikan PHT, sebagai jawaban atas
keadaan ekologi pertanian di darah tropika yang bersifat lokal spesifik.
d. Belajar dengan Cara Menentukan Sendiri
Inti keberhasilan program PHT adalah proses belajar partisipatoris dan inovatif, yang
memungkinkan petani dan pemandu untuk menemukan sendiri prinsip-pronsip PHT di
lahan mereka. Melalui proses ini petani menjadi pemilik – tidak hanya sekedar menjadi
pelaksana – dari pengetahuan dan cara/metoda PHT. Metoda belajar PHT memungkinkan
petani untuk menguasai teknik pengelolaan tanaman yang efektif, sekaligus
memperoleh ketrampilan dalam hal komunikasi antar pribadi, pemecahan masalah, dan
kepemimpinan melalui praktek langsung.
e. Manajemen yang Tanggap dan Mendukung Kebutuhan Lapangan
Pelaksanaan PHT dalam skala luas memerlukan sistem manajemen lapangan yang
efektif, yang dapat dengan cepat memberikan tanggapan terhadap setiap kebutuhan
yang selalu berkembang, dan muncul dari kelompok dan jaringan petani. Dalam PHT,
petugas lapangan, dan tentu saja petani, tidak pernah hanya bergelut dengan hal-hal
teknis saja karena latihan selalu berkaitan dengan pengembangan ketrampilan
berorganisasi dan manajemen di semua tingkat hingga kelompok tani. Salah satu kunci
keberhasilan program PHT Indonesia adalah terbentuknya suatu sistem yang kuat yang
terdiri dari 2.000 Pemandu Lapangan PHT dan Petugas Lapangan yang berasal dari
Direktorat Perlindungan Tanaman. Para manajer lapangan ini bertanggung jawab untuk
mengembangkan strategi lokal dan memberikan tanggapan terhadap kebutuhan teknis
petani, sekaligus membangun kemampuan berorganisasi para petani dalam rangka
pelembagaan PHT di tingkat petani sendiri.
f. Pendekatan Ekologis
Hal yang pertama kali diperhatikan orang ketika mengunjungi SLPHT adalaha gambar
analisa agro-ekosistem yang dibuat oleh petani. Dari awal, pendekatan PHT menerapkan
wawasan ekologis dalam pengelolaan budidaya pertanian. PHT tidak hanya berbicara
tentang serangga, melainkan lebih merupakan pendekatan yang menyeluruh/holistik,
yang mencakup keseluruhan sistem secara lengkap: tanah, air, cuaca, tanaman, siklus
unsur hara, jaring-jaring makanan, aliran energi, komunitas aquatik, serta isu ekonomi
pertanian dan kesehatan petani. Pendekatan ini membedakan Program PHT yang sedang
berjalan saat ini dengan program-program pendahulunya, dan memberikan landasan
luas, yang memungkinkan PHT untuk memberikan sumbangan bagi pembangunan
pertanian yang berkelanjutan.
Sebagai bahan renungan semoga bermanfaat (USR)***
Rujukan:
Departemen Pertanian. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 390/Kpts/TP/600/5/1994
tentang Penyelenggaraan Program Nasional PHT, Jakarta 1994.
Gallagher, K.D. Effect of Host Plant Resistance on the Microevolution of the Rice Brown
Planthopper, Nilaparvata lugens (STAL) (Homoptera: Delphacidae). Ph.D. thesis.
University of California, Berkeley.1994.
Kenmore, P.E. Indonesia’s Integrated Pest Management: A Model for Asia. FAO Inter-
Country Programme for Integrated Pest Control in Rice in South and Southeast Asia,
1991.
Kishi, M., N. Hirschorn, M. Djajadisastra, L.N. Saterlee. S. Strowman dan R. Dilts.
“Relationship of Pesticide Spraying to Sighns and Symtoms in Indonesia Farmers”.
Scandinavian Journal of Workplace and Enviromental Helth, 21:124-33, 1995.
Ministry of Agriculture of the Republik of Indonesia. IPM By Farmers: The Indonesian
Integrated Pest anagement (IPM) Program. World Food Summit- FAO, Rome, 1996.
Oka, I.N. “Integrated Crop Pest Management with farmer participation in Indonesia”.
Reasons for Hope: Instructive Experiences in Rural development. A. Khrisna, N. Uphoff,
M.J. Esman, eds. Kumarian Press, Connecticut, 1997.
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Pos Pemantau Wereng Didirikan di Perbatasan Gunung Kidul14.47 | Author: Urip SR
GUNUNG KIDUL, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mulai
menggelar langkah antisipatif agar serangan hama wereng tidak terulang kembali. Pos
pemantauan wereng pun telah didirikan di beberapa titik perbatasan dengan Jawa
Tengah.
"Di masing-masing posko, petugas dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan
Hortikultura Gunung Kidul telah siap memberikan sosialisasi pencegahan hingga
pembasmian hama wereng. Intensitas serangan wereng masih pada taraf ringan," kata
Supriyadi, Rabu (28/7/2010).
Menurut Pelaksanaa Tugas Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura
Supriyadi, enam posko pemantauan wereng telah didirikan di Kecamatan Karangmojo,
Semin, Ponjong, Ngawen, Gedangsari, dan Patuk. Enam kecamatan tersebut berbatasan
langsung dengan Klaten dan Wonogiri, Jawa Tengah.
Petugas juga akan menggelar observasi ke lapanga n untuk mendeteksi gejala dini
serangan wereng. Jika ditemukan minimal dua ekor hama wereng di petakan seluas satu
meter persegi, petani harus mulai waspada. Masing-masing posko juga telah dilengkapi
cadangan 20 liter pestisida.
Pencegahan serangan hama wereng terutama dilakukan di lahan sawah dengan luasan
500 hektar di Gunung Kidul. Wilayah Gunung Kidul bagian tengah dan selatan dengan
tradisi pertanian tadah hujan cenderung aman dari serangan wereng ka rena seluruh
petani di wilayah tersebut sudah tidak menanam padi. Musuh alami wereng seperti laba-
laba kembali diperkenalkan ke petani untuk mengatasi wereng
Sebelumnya, Kepala Desa Bejiharjo, Karangmojo, Yatno mengatakan lebih dari 5 hektar
sawah di wilayahnya gagal panen akibat serangan wereng cokelat. Hasil panenan
semakin jelek karena perubahan musim yang disebabkan sering turunnya hujan di
musim kemarau.
Perubahan musim, lanjut Supriyadi, menjadi salah satu faktor penyebab turunnya
produktivitas padi hingga 0,3 persen. Produktivitas padi tadah hujan saat ini 44,32
kuintal per hektar. M eskipun produktivitasnya turun, produksi padi Gunung Kidul tahun
ini justru meningkat 0,5 persen karena adanya tambahan luasan areal lahan pertanian.
(Kompas, Rabu, 28 Juli 2010 | 22:07 WIB)
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2010/07/28/22072266/
Pos.Pemantau.Wereng.Didirikan.di.Perbatasan.Gunung.Kidul..
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Petani Tak Dapat Info08.53 | Author: Urip SR
BATAM, KOMPAS - Kenaikan harga produk pertanian di pasaran akhir-akhir ini tidak
banyak dinikmati petani. Keuntungan lebih banyak dinikmati pedagang. Penyebabnya,
petani tidak mendapat informasi harga terkini sehingga harga ditentukan sepenuhnya
oleh tengkulak.
Hal itu dikemukakan Menteri Pertanian Suswono pada pembukaan Pekan Flori dan Flora
Nasional 2010 di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (15/7). Hadir pula Gubernur Kepulauan
Riau Muhammad Sani dan Wali Kota Batam Ahmad Dahlan.
Petani tidak menikmati kenaikan harga karena tidak mendapat informasi harga terkini.
Selain itu, kondisi ekonomi yang pas-pasan menyebabkan petani menjual hasil panen
dengan harga seadanya. Tengkulak yang menentukan harga.
Untuk melindungi petani dalam jangka pendek, Suswono menyatakan akan
merevitalisasi kelembagaan petani sehingga posisi tawarnya lebih kuat. ”Informasi harga
harus diketahui petani,” kata Suswono.
Ketua Kelompok Tani Makmur Suhartono menyatakan, posisi tawar petani di Batam
sangat lemah. Harga lebih banyak dikendalikan tengkulak. ”Tidak pernah ada
pendampingan dari pemerintah. Jadi, petani serba sendiri. Tidak pernah ada
pembinaan,” katanya.
Penyakit dan cuaca
Lonjakan harga sejumlah sayuran juga disebabkan oleh gangguan pasokan akibat
penyakit dan anomali cuaca.
Benny A Kusbini, Presiden Direktur Mitra Agro Unggul, sebuah perusahaan pertanian, hari
Kamis di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, gangguan pasokan cabai terjadi mulai
empat bulan lalu. Penyebabnya, kebun cabai di Sumatera dan Jawa terkena virus daun
kuning. Virus terus berkembang jika tidak diatasi. Obat untuk penyakit itu ada di Institut
Pertanian Bogor. ”Tinggal kesiapan pemerintah memproduksi secara massal,” katanya.
Anomali cuaca juga mengakibatkan lahan tidak sehat. Setelah panas dalam jangka
panjang, tiba-tiba turun hujan. ”Anomali cuaca membuat tanaman shock dan tidak
berkembang normal,” katanya.
Hal itu juga dialami petani kentang, tomat, dan bawang. Akibatnya, komoditas pertanian
itu langka di pasar.
Serangan hama wereng batang cokelat (Nilapavarta lugens) masih mengancam sekitar
25.583 hektar lahan pertanian di Jawa Barat. Pemerintah provinsi meminta petani
menyemprot pestisida secara tepat dan meningkatkan pemanfaatan musuh alaminya.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, ancaman wereng tersebar di
13 kabupaten di Jabar. Sebanyak 22.028 hektar di antaranya di wilayah sentra padi,
seperti Kabupaten Subang, Indramayu, Cirebon, Bekasi, Karawang, dan Majalengka.
Sisanya tersebar di tujuh daerah lain.
Menurut Kepala Dispertan Jabar Endang Suhendar, itu sebagian terjadi akibat
pembasmian hama oleh petani belum maksimal. Mayoritas petani menyemprot hanya di
bagian atas tanaman.
Peneliti Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Jatisari,
Karawang, Mustaghfirin, menyatakan, untuk mengantisipasi serangan wereng, petani
dan pihak terkait perlu mengupayakan pemakaian benih tahan wereng,
menyerempakkan penanaman, meningkatkan pengamatan dini, serta mencegah
perkembangan wereng dengan mengelola musuh alami wereng, seperti laba-laba, kepik,
dan cendawan, serta menyemprotkan pestisida secara baik.
Hal senada dikemukakan Sekretaris Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jabar Rali Sukari.
(LAS/RAZ/MKN/GRE)
Sumber: http://m.kompas.com/news/read/data/2010.07.16.04430433
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Ledakan Populasi Hama Kurang Diantisipasi10.57 | Author: Urip SR
Rabu, 23 Juni 2010 | 04:27 WIB
Jakarta, Kompas - Selama enam bulan terakhir, area sawah padi terserang hama wereng
coklat tercatat 30.159 hektar. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding periode setahun pada
2009 yang seluas 13.122 hektar. Lebih parah lagi, ledakan populasi hama ini kurang
diantisipasi, padahal sebenarnya bisa diprediksi.
Kondisi iklim ekstrem seperti La Nina yang menyebabkan musim kemarau dengan
banyak hujan seperti sekarang, dapat diprediksi sebelumnya. Fenomena ini
menyebabkan kelembaban tinggi sehingga menimbulkan ledakan populasi serangga
tertentu termasuk hama tanaman pangan, seperti wereng batang coklat.
”Sekarang petani tidak disiapkan untuk mengantisipasi serangan hama wereng coklat
sehingga terjadi kerugian cukup besar,” kata Ketua Umum Perhimpunan Meteorologi
Pertanian Indonesia (Perhimpi) Rizaldi Boer, Selasa (22/6) di Jakarta.
Rizaldi mengatakan, pada 1997–1998 dan pada 2005 juga terjadi La Nina. Pada tahun itu
pula terjadi ledakan populasi hama wereng coklat di berbagai wilayah. Pengalaman ini
dapat dijadikan acuan untuk mengantisipasi La Nina berikutnya.
Informasi iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menurut
Rizaldi, tidak diterima masyarakat petani sebagai informasi yang relevan untuk
pengendalian hama.
Secara terpisah, Kepala Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor (IPB) Dadang mengatakan, wereng coklat ini merupakan hama laten.
Jenis hama ini memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan lingkungan dan akan
berkembang lebih baik pada kondisi kelembaban tinggi.
”Wereng coklat ini menyebarkan virus kerdil hampa,” kata Dadang.
Virus kerdil hampa dapat ditengarai pada kondisi daun bendera (paling muda) dalam
bentuk yang terpilin. Tanaman padi pun menjadi kerdil, warna daunnya tampak lebih
hijau dibandingkan lainnya, dan mengalami pertumbuhan tidak sempurna.
Wereng coklat memiliki indikasi merusak tanaman padi dengan mengisap cairan
tanaman, memiliki kemampuan reproduksi tinggi dengan bertelur di dalam batang,
memiliki sayap panjang dan sayap pendek.
”Satu generasi wereng coklat memiliki masa hidup sekitar satu bulan,” kata Dadang.
Untuk menghadapi ledakan populasi wereng coklat jangka pendek, Dadang
merekomendasikan untuk dilakukan pemantauan intensif di semua area, terutama pada
area endemis. Setelah itu, segera ditempuh upaya menurunkan populasi dengan
memanfaatkan insektisida yang tepat atau memanfaatkan musuh alami.
Secara jangka panjang, diharapkan program penerapan pengendalian hama tanaman
kembali digalakkan melalui sekolah-sekolah lapang petani. Pada era 1990, menurut
Dadang, sejumlah 500.000 petani mengikuti sekolah lapang pengendalian hama
tanaman.
”Sekarang, meskipun tidak ada data, diperkirakan bahwa jumlah petani yang ikut
sekolah lapang ini sudah jauh berkurang,” ujar Dadang. (NAW)
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/23/04271584/Ledakan.Populasi.Hama.Kurang
.Diantisipasi
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (3)
Lahan yang Diserang Wereng Bertambah15.17 | Author: Urip SR
Kamis, 17 Juni 2010 | 05:11 WIB
Solo, Kompas - Luas lahan pertanian di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang terserang
hama wereng terus bertambah.
Di Jawa Tengah, jika awal Januari 2010 lahan yang terserang wereng batang coklat 5.900
hektar dengan 729 hektar di antaranya puso, akhir Mei 2010 lahan yang terserang
meningkat jadi 7.502 hektar dengan 1.667 hektar di antaranya puso.
Di Jawa Barat, menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Barat Oo Sutisna,
belum ada data yang pasti tentang lahan yang diserang hama wereng. Meski demikian,
laporan tentang serangan wereng meningkat.
”Sebulan lalu dilaporkan, wereng menyerang wilayah Subang. Kini Cianjur, bahkan
Cirebon pun mengalami hal serupa. Kami mendesak pemerintah membantu petani
memberantas hama karena serangannya sulit dibendung,” ujar Sutisna.
Di Cirebon, lanjutnya, seluruh staf dinas pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perkebunan mulai Kamis ini dikerahkan untuk ikut memberantas wereng.
Pola tanam
Di Jawa Tengah, kasus serangan wereng kemarin terungkap dalam rapat koordinasi
penanggulangan serangan wereng batang coklat yang digelar di Gedung Graha Solo
Raya, Solo.
Menurut Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa
Tengah Suryo Banendro, sebagian besar pengendalian hama wereng dilakukan petani
dengan cara menggunakan pestisida. ”Dari lahan 37.292 hektar yang dikendalikan,
seluas 30.514 hektar dikendalikan melalui pestisida. Sisanya melalui pemusnahan dan
cara lain,” katanya.
Sayangnya, kata Camat Selogiri, Kabupaten Wonogiri, B Haryanto, ada petani yang
menggunakan pestisida berlebihan. Akibatnya, dalam sepekan ini tujuh petani keracunan
pestisida. Satu di antaranya dirawat di rumah sakit, tetapi kini telah kembali ke rumah
dan menjalani rawat jalan. (EKI/NIT)
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Kerugian akibat Hama Wereng Rp 90 Miliar14.39 | Author: Urip SR
Kamis, 10 Juni 2010 | 05:38 WIB
Semarang, Kompas - Keterlambatan penanganan serangan hama wereng di 28
kabupaten di Jawa Tengah telah merugikan petani tak kurang dari Rp 90 miliar. Kondisi
itu termasuk bencana ketahanan pangan.
Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah
Priyantono Djarot Nugroho, Rabu (9/6) di Semarang, mengemukakan, serangan wereng
yang terdeteksi mencakup areal 6.000 hektar. ”Dari segi kebencanaan, kegagalan sektor
pertanian menyediakan pangan dalam jumlah besar sudah kategori bencana pangan.
Target stok pangan Jateng kemungkinan bisa berkurang sebagai akibat meluasnya hama
wereng,” katanya.
Priyantono menjelaskan, meluasnya hama wereng itu diduga akibat pola tanam yang
tidak terkontrol oleh petugas pertanian di lapangan. Cakupan daerah serangan wereng
yang paling parah justru di sentra pertanian padi, seperti Klaten, Sragen, Sukoharjo,
Boyolali, Purworejo, dan Pekalongan.
Terkait serangan wereng, Kepala Bagian Humas Perum Bulog Divisi Regional Jateng Siti
Farida menjamin stok beras masih aman.
Sementara itu, koordinator pengamat hama Dinas Pertanian dan Tanaman Jateng
wilayah Purbalingga, Katiran, mengatakan, di wilayahnya sekitar 65 hektar sawah
diserang hama penggerek batang dan lebih dari 3 hektar sawah diserang hama wereng
coklat. Sementara areal sawah yang diserang tikus 140 hektar.
Sebagian besar areal sawah yang diserang ketiga macam hama itu seluruhnya gagal
panen. Usia tanaman padi yang diserang hama 55 hari atau hampir separuh masa tanam
hingga panen. Hama ini tersebar di sejumlah kecamatan. (WHO/MDN)
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (1)
Serangan Wereng belum Ganggu Produksi Padi Nasional13.49 | Author: Urip SR
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Meski serangan hama wereng kian meningkat memasuki Mei
2010, produksi padi nasional diperkirakan tak akan terganggu.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Gatot
Irianto, mengatakan dampak serangan wereng itu belum sampai mengancam
produktivitas padi nasional.
''Total lahan yang terkena masih terkendali,'' ujar Gatot yakin di sela acara Workshop
Nasional Wereng Batang Coklat di Jakarta, Rabu (19/5).
Gatot melanjutkan, perbandingan luas serangan wereng pada pertanaman padi periode
Januari-April 2010, memang lebih tinggi dibandingkan serangan wereng periode sama
pada tahun 2009. ''Bahkan lebih tinggi dibandingkan rerata lima tahun antara 2004
sampai 2008 pada periode yang sama,'' jelasnya.
Luas serangan wereng periode Januari-April 2010 adalah 23.402 hektare (puso 69
hektare). Sementara luas serangan wereng periode Januari-April 2009 adalah 12.852
hektare (puso 542 hektare). Adapun rerata lima tahun pada periode yang sama adalah
11.822 hektare (puso 179 hektare). ''Grafis serangan wereng memang meningkat, tapi
masih terlalu kecil dibandingkan luas lahan sawah kita yang mencapai 7,8 juta hektare.
Jadi tidak sampai mengancam produksi padi nasional, walaupun tetap harus
diwaspadai,'' sergahnya.
Dia memaparkan, wereng batang coklat sejatinya hama tanaman padi yang tidak hanya
menyerang Indonesia. Negara-negara produsen padi seperti Thailand, Vietnam, dan Cina
juga mengalami serangan hama yang membuat kering batang tanaman padi tersebut.
''Tahun ini memang ada laporan serangan di sana juga meningkat,'' ungkapnya.
(Republika)***
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/05/19/116207-
serangan-wereng-belum-ganggu-produksi-padi-nasional
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Padi Hibrida Picu Serangan Wereng13.46 | Author: Urip SR
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Serangan hama wereng batang coklat terhadap lahan-lahan
persawahan kian mengkhawatirkan. Tidak hanya di Pulau Jawa, lahan-lahan persawahan
di luar Jawa pun makin banyak yang terkena serangan hama.
Menurut laporan yang diterima Kementerian Pertanian, luas lahan sawah yang terkena
serangan wereng melonjak drastis. Sampai akhir bulan April, luas sawah terserang
wereng ada 22.700 hektare. Namun pada laporan per tanggal 18 Mei 2010, luas lahan
yang terkena wereng melonjak menjadi 26.008 hektare.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang terkena serangan wereng paling parah,
yaitu mencapai 15.223 hektare. Disusul Jawa Tengah 3.654 hektare, Jawa Timur, 2.091,
dan Banten 855 hektare. Sisanya berada di luar Pulau Jawa.
Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, menyatakan ada beberapa faktor yang
diindikasikan menjadi penyebab serangan wereng tahun ini. Salah satu di antaranya
adalah penggunaan padi hibrida dan kesalahan pemakaian pestisida.
''Ada dugaan benih padi hibrida yang memicu serangan wereng. Sifat hibrida yang tidak
tahan hama ini harus kita antisipasi karena Indonesia punya pengalaman serangan
wereng yang cukup besar,'' ungkap Bayu dalam Workshop Nasional Wereng Batang
Coklat di Jakarta, Rabu (19/5).
Adapun penyebab lain yang kini tengah dianalisis tim Kementerian Pertanian adalah
perubahan iklim yang semakin tak menentu, penanaman padi yang tidak serentak, dan
kelalaian petani lantaran lupa cara menangani serangan wereng. ''Soalnya ini sudah 10
tahun tidak terjadi serangan wereng yang masif,'' sambung Bayu.(Republika)***
Sumber: http://www.republika.co.id
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Penanaman Bibit Padi Hibrida Akan Dievaluasi13.43 | Author: Urip SR
JAKARTA-MI: Pemerintah akan mengevaluasi kebijakan menggenjot penggunaan benih
padi hibrida secara luas dalam areal sawah Indonesia ke depan. Sebab, penggunaan
benih padi yang berproduktifitas tinggi itu diduga turut menjadi salah satu pemicu
meluasnya serangan hama wereng belakangan ini.
Demikian dikemukakan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi usai membuka
Workshop Nasional Wereng Batang Coklat di Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu
(19/5).
Menurut dia, tak dimungkiri benih padi hasil persilangan induk tetua unggul itu unggul
dalam hal produktifitas dibandingkan jenis konvensional atau inbrida. Padi hibrida pun
diakuinya menjadi salah satu kunci mendongkrak produksi padi Indonesia, utamanya
dalam 2 tahun terakhir. Pencapaian swasembada beras di 2009 pun diakui tak lepas
akibat penggunaan padi hibrida.
"Karena itu kita terus dorong penggunaannya karena kala itu wabah wereng belum
mengkhawatirkan seperti saat ini," ujarnya.
Namun demikian, pihaknya menduga serangan hama ini juga akibat adanya penggunaan
benih-benih padi hibrida dalam jumlah besar dalam 2-3 tahun terakhir. Apalagi, ada
kemungkinan benih-benih yang diproduksi massal oleh produsen hingga digunakan
petani tidak tahan dengan hama ini. "Ini yang perlu kita evaluasi saat ini," ujarnya.
"Memang hibrida baik untuk dongkrak produksi. Tapi kita tahu, jenis itu memang
cenderung lebih rentan terhadap OPT (organisme pengganggu tanaman. Risiko inilah
yang perlu kita tetap perhitungkan di luar benefit tingginya tingkat produktifitasnya,"
ujarnya.
Karena itu, pemerintah memandang perlu melakukan evaluasi untuk melihat, sudah
tepatkah penggunaan hibrida saat ini. "Mau kita lihat lagi. Apakah inbrida atau hibrida. Di
satu sisi tingkat produktiffitas tinggi, tapi harus juga tahan terhadap serangan wereng,"
ujarnya.
Pasalnya, masih ada banyak ada banyak faktor teoritis penyebab meluasnya serangan
hama serangga yang diketahui pertama mulai menjangkiti di Indonesia sejak 1931 itu. Di
antaranya yakni adanya perubahan iklim yang membuat pola tanam menjadi tidak
serentak. Hal itu memicu persebarannya karena setiap saat ada tempat hidup.
"Selain itu, banyak petani yang sudah lupa bagaimana menangani hama ini karena 10
tahun terakhir tidak pernah lagi menjangkiti Indonesia dalam skala luas," ujarnya.
Di tempat sama, pakar proteksi tanaman UGM Kasumbogo Untung mengatakan, belajar
dari pengalaman yang lalu-lalu, salah satu faktor pemicu cepatnya wabah hama wereng
saat ini adalah penanaman benih padi dari varietas-varietas yang rentan terhadap
serangan hama serangga itu. Berdasarkan sifatnya, padi jenis hibrida diketahui sangat
peka terhadap serangan hama ini.
Apalagi, menurut laporan, daerah-daerah yang terkena serangan hama ini sebagian
besar berada pulau Jawa, khususnya di pantai utara Jawa. Lokasi itu memang diketahui
menjadi kawasan endemik (area khusus persebaran) tempat berkembang biaknya hama
serangga itu.
Karena itu, ujarnya, perlu ada pembatasan jumlah dan evaluasi penyebaran wilayah
penggunaan padi hibrida. Daerah-daerah yang diketahui menjadi lokasi endemik
persebaran hama wereng harus dilarang ditanami padi hibrida.
Selain itu, hama ini juga telah turut mewabah di negara-negara sentra produksi padi
yang juga diketahui menggenjot penggunaan padi hibrida. "Di China, lokasi asal benih
jenis ini, bahkan sampai jutaan hektar yang terkena wereng," ujarnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian, luas lahan persawahan yang terkena
serangan wereng coklat periode Januari-April 2010 mencapai 23.402 hektar (ha) dengan
puso (gagal total) seluas 69 ha. Luasan itu lebih tinggi 82% dibandingkan dengan
periode sama di 2009 yang seluas 12.852 ha dengan puso 542 ha.
Luasannya saat ini bahkan lebih tinggi 97% dibandingkan luas serangan pada rerata 5
tahun sekurun 2004-2008 yang seluas 11.822 ha dengan puso 179 ha. Per 18 Mei 2010,
luasnya telah bertambah 2.606 ha atau menjadi 26.008 ha dengan puso 268 ha.
(Anindityo Wicaksono)***
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (0)
Wereng Coklat meluas, Pemda Harus Aktif13.25 | Author: Urip SR
Jakarta, Kompas , 8 Mei 2010. Serangan
hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas, padahal sudah relatif lama
petani bebas dari serangan hama ini. Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta lebih
cepat merespons setiap laporan adanya serangan agar tidak meluas.
Imbauan tersebut disampaikan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta,
Jumat (7/5). ”Petani juga harus lebih waspada dan mempelajari kembali pola
penanggulangan wereng coklat melalui pendekatan pola tanam dan teknis budidaya,”
ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat
memang tidak signifikan dibandingkan dengan total luasan areal panen padi. Pada April-
Mei 2010 total luas areal panen padi mencapai 3,3 juta hektar.
”Serangan ini tidak berdampak serius pada produksi pangan nasional, tetapi jelas sangat
merugikan petani karena petani gagal panen,” kata Wakil Menteri Pertanian.
Menurut Bayu, yang harus diwaspadai adalah meluasnya serangan, terutama di wilayah
pantai utara Jawa.
Wilayah yang tanaman padinya terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa Barat),
Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan (Jawa
Tengah).
Kementerian Pertanian, kata Bayu, saat ini mengupayakan agar ada mekanisme bantuan
khusus bagi petani yang tanaman padinya terserang wereng.
Selama ini bantuan bagi petani yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) hanya dalam bentuk pupuk dan benih.
Padahal, petani korban hama wereng perlu mendapat ganti rugi supaya kelangsungan
hidupnya terjaga pasca-gagal panen.
Menurut Bayu, ada empat faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat.
Faktor-faktor tersebut adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi
pola tanam tidak menentu, pola penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak,
introduksi benih padi hibrida yang tidak tahan wereng coklat, serta petani lupa cara
melakukan antisipasi. (MAS) Sumber : Kompas.com***
Keterangan Foto: Wakil menteri Pertanian Bayu Krisnamurti jumpa Pers pada acara
Workshop Nasional Wereng Batang Coklat di Auditorium, Kementerian Pertanian (Foto:
Urip SR)
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (1)
19.161 Hektar Tanaman Padi Terancam14.56 | Author: Urip SR
Petani Diimbau Tanam Varietas Padi Tahan Wereng
BANDUNG, KOMPAS - Serangan hama
wereng batang coklat di areal pertanian Jawa Barat diprediksi meluas. Sedikitnya, 19.161
hektar tanaman padi terancam serangan wereng jika penyebaran hama itu tak
dihentikan. Dua pekan ini, hama wereng menyerang 7.210 hektar sawah, 395 hektar di
antaranya dipastikan gagal panen.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, ancaman wereng
tersebar di 13 kabupaten. Sebanyak 17.858 hektar (93 persen) di antaranya di wilayah
sentra padi, seperti Kabupaten Subang (7.720 hektar), Indramayu (5.039 hektar),
Karawang (3.917 hektar), dan Bekasi (1.182 hektar). Sisanya di daerah lain.
Meluasnya ancaman serangan hama yang menjadi
vektor virus kerdil rumput dan kerdil hampa ini, menurut Sekretaris Kontak Tani dan
Nelayan Andalan Jawa Barat Rali Sukari, perlu diwaspadai. Terlebih lagi memasuki musim
pancaroba, yakni peralihan iklim dari musim hujan ke musim kemarau.
”Kondisi ini menyebabkan suhu udara dan tingkat kelembaban sama-sama tinggi.
Akibatnya, wereng cepat berkembang biak,” kata Rali.
Ia menambahkan, tingginya serangan organisme pengganggu tanaman (hama) pada
awal musim tanam gadu (kedua) 2010 ini diperparah pola tanam yang tidak serempak
dan penggunaan varietas padi yang tidak direkomendasikan pemerintah.
Menurut Rali, seharusnya tiap kabupaten/kota memiliki pola tanam masing-masing agar
setidaknya masa tanam di satu kawasan itu bisa serentak. Ini bisa mencegah
penyebaran hama dari satu sawah ke yang lain. Selain itu, usia tanaman yang seragam
juga membuat program pemusnahan hama lebih tertata karena tidak perlu khawatir
merusak petak yang lain.
Varietas tahan wereng
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat Entang Sastraatmadja
menyebutkan pula, penggunaan varietas padi yang tidak direkomendasikan pemerintah
lebih rentan terhadap wereng batang coklat.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten
Karawang Kadarisman. Ia mengimbau petani menanam padi varietas tahan wereng,
mengatur jarak tanam agar tidak terlalu rapat, dan menyemprot insektisida secara
massal.
Upaya itu telah ditempuh di beberapa persawahan di Karawang yang telah memasuki
musim tanam gadu. Beberapa varietas yang dianjurkan ditanam, antara lain, Inpari 1-10,
Mekonga, dan Ciherang. Ia mengimbau petani agar tidak menanam varietas ketan dan
padi lokal yang rentan wereng.
Dari Kabupaten Indramayu dilaporkan, sedikitnya 2.571 hektar sawah di empat
kecamatan juga telah terserang wereng batang coklat. Akibatnya, produktivitas lahan
turun hingga 50 persen. Empat kecamatan itu adalah Cikedung, Terisi, Kroya, dan
Losarang. Berbeda dengan data provinsi, lahan yang terancam wereng di Indramayu
mencapai 10.984 hektar.
Beong (55), petani Desa Jatimulya, Kecamatan Cikedung, Indramayu, mengakui, sekitar
25 persen dari satu hektar sawahnya dimakan wereng. Wereng menyerang sawahnya
ketika padi berusia 60 hari atau saat padi mulai berbuah. Akibatnya, banyak bulir padi
hampa dan produksi berkurang.
Biasanya, produktivitas sawah di area hutan berkisar 3 ton per hektar, tetapi kini hanya
panen 1,5 ton-2 ton.
”Biaya tanam juga naik, dari biasanya Rp 2 juta per hektar sekarang Rp 3 juta karena
harus membeli pestisida lebih banyak,” ujar Beong.
Kepala Seksi Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Tanaman pada Dinas Pertanian dan
Peternakan Indramayu Abdul Muin mengatakan, kebanyakan hama wereng menyerang
tanaman padi usia dewasa. Kondisi itu mendorong petani segera memanen padi meski
waktu panen masih 1-3 minggu lagi. Tujuannya adalah mengurangi kerugian sebab
produktivitas lahan akan turun sampai 15 persen.
Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon meminta
petani agar selalu mengamati secara rutin tanaman padi miliknya. Jika ada serangan,
sekecil apa pun, petani diminta segera melapor supaya bisa dilakukan penyemprotan
serempak pada satu hamparan sawah.(MKN/THT/GRE/Kompas.com Jumat, 23 April 2010 |
04:56 WIB)
Keterangan Gb1 : Areal pertanaman padi di daerah Patokbeusi Foto tgl 24/4/2010
(Foto:Urip)
Gb.2 : Populasi Wereng Coklat yang sangat tinggi sampai ke atas bagian daun bendera,
merupakan vektor virus kerdil hampa dan kerdil rumput. (Foto: Urip SR).
.
KLIPING SEPUTAR HAMA WERENG | komentar (1)
WERENG SERANG PADI14.46 | Author: Urip SR
Kumpulan Kliping Seputar Serangan
HamaWereng Bantang Coklat (Nilarpavata lugens STAL)
Yang tercecer dari Harian Kompas.
Sekedar peringatan agar kita selalu WASPADA dalam menghadapi MT. 2010.
Subang, Kompas - Sedikitnya 6.265 hektartanaman padi di 102 desa di Kabupaten
Subang, Jawa Barat, diserang hama wereng batang coklat tiga bulan terakhir.
Sebanyak 395 hektar di antaranya gagal panen (PUSO) dan dimusnahkan untuk
memutus siklus serangan.
Serangan wereng terparah terjadi di kecamatan-kecamatan seperti Pabuaran seluas
1.719 hektar (ha), Patokbeusi (1.577 ha), Ciasem (850 ha), dan Blanakan (663 ha). Dari
395 ha yang gagal panen (puso), 270 ha di antaranya di Patokbeusi, 120 ha di Ciasem,
dan 5 ha di Pabuaran. Petani diperkirakan merugi hingga Rp 3 juta per ha.
Satim (60), pemilik 1 ha sawah di Desa Ciberes, Patokbeusi, Rabu (21/4), menyebutkan,
wereng menyerang sejak padi berumur 40 hari. Saat usia padi 60 hari, pekan lalu,
tanaman telah rusak. Daun dan batang tampak coklat kemerahan dan mengering.
Padahal, Satim telah mengeluarkan modal, antara lain Rp 1,5 juta untuk pengolahan
lahan, penanaman, dan pemupukan. Dia juga membayar lebih dari Rp 1,3 juta untuk
membeli pestisida dan ongkos kuli serta Rp 200.000 untuk persemaian benih. Tanaman
padi milik Satim sudah tidak dapat diselamatkan dan harus dimusnahkan.
Sarma (40), petani lain di Ciberes, menambahkan, ongkos pestisida melonjak lebih dari
dua kali lipat. Hingga usia padi 60 hari, penyemprotan dilakukan 13 kali. Padahal, pada
musim sebelumnya dilakukan 5-8 kali hingga padi panen (100 hari).
”Modal telah banyak keluar, sementara padi harus dimusnahkan karena hama sulit
dibasmi. Selain rugi, petani masih terbebani harga eceran pupuk yang naik dua pekan
ini,” ujar Sarma.
Ayub (35), petani di Desa Gempolsari, Patokbeusi, menambahkan, serangan wereng
yang menyerang sawahnya musim ini merupakan yang terparah dalam dua tahun
terakhir. ”Wereng kadang menyerang, tetapi dapat dikendalikan dan tidak menyebabkan
puso,” ujarnya.
Pemusnahan
Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman pada Dinas Pertanian Subang Ani
Sofiani menyebutkan, tahun lalu wereng menyerang lahan kurang dari 1.000 ha dan
tidak menyebabkan puso. Tahun ini serangan eksplosif dan menyebar dengan cepat,
hingga mencapai 6.265 ha dari total luas lahan di Subang pada musim tanam rendeng
(pertama) ini sekitar 88.000 ha.
Ani menambahkan, agar serangan terputus dan tidak menyebar lebih luas, tanaman
yang terserang disemprot dan dimusnahkan. Proses pemusnahan dilakukan petani
bersama instansi terkait sejak awal pekan lalu.
Selain Dinas Pertanian Subang, upaya itu melibatkan Dinas Pertanian Jawa Barat,
Kementerian Pertanian, Balai Penelitian Padi Sukamandi, Balai Besar Peramalan OPT
Jatisari, serta Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat.
Baskoro SW, praktisi dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu
Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, menambahkan, dampak perubahan iklim global yang
memengaruhi suhu, kelembaban, dan angin turut memengaruhi perkembangbiakan dan
penyebaran wereng. Untuk mengendalikan dan menekan populasi wereng, salah satu
cara yang dapat ditempuh adalah memutus sumber makanan atau inang, antara lain,
dengan awal tanam secara serentak. (mkn/Kompas.com)***
Foto ilustrasi: Urip SR ([email protected])
.