Klinik Dokter Keluarga FK UWKS Berkas Pembinaan Keluarga ...
Transcript of Klinik Dokter Keluarga FK UWKS Berkas Pembinaan Keluarga ...
1
Klinik Dokter Keluarga FK UWKS
Berkas Pembinaan Keluarga No RM : 0617
Puskesmas Urangagung Nama KK : Tn. Z ________
Tanggal Kunjungan: 14 Oktober 2014
Nama Pembina Keluarga: Rezaldy Her Wahono, S.ked
Tabel 1. CATATAN KONSULTASI PEMBIMBING (diisi setiap kali selesai satu
periode pembinaan )
Tanggal TingkatPemahaman
ParafPembimbing
Paraf Keterangan
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Nama Kepala Keluarga : Tn. Z
Alamat lengkap : Ds. Jati Utara 1 RT/RW 03/01, Kec. Sidoarjo,
Kabupaten Sidoarjo.
Bentuk Keluarga : Nuclear Family
Tabel 2. Daftar Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah
No NamaKedudukan
DalamKeluarga
L/P Umur Pendidikan PekerjaanPasienKlinik
Ket
1 Tn. F KK L 34 S1 Hukum Finance YPasien TB
PARU
2 Ny. S Istri P 35S1
EkonomiKaryawan
SwastaY -
3 An. N Anak L 4,5 TK A Murid Y -
4 An. F Anak L 2,5 - - Y -
Sumber : Data Primer, 14 Oktober 20014
2
LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA
BAB I
STATUS PENDERITA
A. PENDAHULUAN
Laporan kasus ini diambil dari seorang penderita Tuberkulosis Paru,
berjenis kelamin laki-laki dan berusia 34 tahun, penderita merupakan salah
satu dari penderita Tuberkulosis Paru yang berada di wilayah Puskesmas
Urangagung Kabupaten Sidoarjo, dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi. Mengingat penyakit Tuberkulosis Paru sebagai penyakit menular
yang diperkirakan akan meningkat jumlahnya di masa mendatang dan kasus
ini masih banyak ditemukan di masyarakat khususnya di daerah Puskesmas
Urangagung Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo beserta
permasalahannya seperti masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
Tuberkulosis Paru dan mengenai kepatuhan meminum Obat Anti
Tuberkulosis. Oleh karena itu penting kiranya bagi penulis untuk
memperhatikan dan mencermatinya untuk kemudian bisa menjadikannya
sebagai pengalaman di lapangan.
B. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Z
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Finance
Pendidikan : S1 Hukum
Agama : Islam
Alamat : Ds. Jati Utara 1 RT/RW 03/01, Kec. Sidoarjo,
Kabupaten Sidoarjo.
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 14 Oktober 2014
3
C. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Batuk-batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Kurang lebih 6 bulan yang lalu penderita mulai merasa sering batuk-
batuk, batuk ngikil dan berdahak, dahak tidak kental dan berwarna putih,
kadang-kadang batuk bercampur darah. Selain itu penderita juga
mengeluhkan napas terasa sesak, timbul keringat dingin malam hari tanpa
aktivitas, nafsu makan menurun, dan berat badan dirasakan turun terus (dari
60 kg sebelum sakit turun menjadi sekitar 50 kg). Penderita juga merasakan
badannya lemas, dan kadang mengeluhkan pusing. Penderita juga mengeluh
nyeri kepala, terkadang mual, dan nyeri dada. Selama batuk, penderita
berobat ke dokter umum di daerah Jenggolo. BAB dan BAK tidak ada
keluhan
Karena batuk tidak sembuh-sembuh akhirnya penderita di bawa ke
Puskesmas Urangagung dan dianjurkan untuk melakukan periksa dahak.
Disana penderita di beri obat 3 macam dan harus diminum selama 6 bulan.
Selain itu pasien juga ke Laboratorium Jenggolo untuk periksa foto rontgen.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat kontak dengan penderita TB : Teman kerja batuk-batuk
lama
- Riwayat batuk lama : Tidak ada
- Riwayat batuk darah : Tidak ada
- Riwayat Asma : Tidak ada
- Riwayat penyakit Jantung : Tidak ada
- Riwayat Hipertensi : Tidak ada
- Riwayat Kencing manis : Tidak ada
- Riwayat Gastritis : Tidak ada
- Riwayat MRS : Tidak ada
- Riwayat Alergi obat/makanan : Tidak ada
4
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Diabetes : Tidak ada
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : Tidak ada
- Riwayat Asma : Tidak ada
- Riwayat batuk darah : Tidak ada
- Riwayat Hipertensi : Tidak ada
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : Ya
- Riwayat olah raga : Ya
- Riwayat pengisian waktu luang dengan berbincang bincang dengan
keluarga sering, berekreasi jarang.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Community : Penderita tinggal di sebuah rumah yang berpenghuni 4
orang Tn.Z (Penderita), Ny. S (Istri Penderita), An. N
(anak penderita), dan An. F (anak penderita). Kebutuhan
rumah tangga tersebut dipenuhi oleh Tn. Z yang bekerja
sebagai tenaga Finance dan NY. S yang bekerja sebagai
karyawan Swasta dengan total penghasilan rata-rata
perbulan > Rp. 2.500.000,- .
Home : Sirkulasi udara baik, pencahayaan baik, dan kebersihan
rumah terjaga.
Hobby : -
Occupation : sebagai tenaga Finance
Diet : gemar mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi
7. Riwayat Gizi
Penderita makan sehari-harinya biasanya antara 2-3 kali dengan nasi
sepiring, sayur, dan lauk seperti telur, tahu tempe, tidak jarang dengan
daging dan ayam.
5
D. ANAMNESIS SISTEM
1. Kulit : warna kulit sawo matang, gatal (-)
2. Kepala : sakit kepala (-), pusing (-)
3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan
kabur (-), ketajaman baik
4. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)
6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-)
7. Tenggorokan : nyeri menelan (-), serak (-)
8. Pernafasan : sesak nafas (-), mengi (-), batuk darah (-)
9. Kadiovaskuler : berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
10. Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-),nyeri perut (-), BAB
tidak ada keluhan, nafsu makan menurun (+)
11.Genitourinaria : BAK lancar, 3-4 kali/hari warna dan jumlah biasa
12. Neuropsikiatri : Neurologik : kejang (-), lumpuh (-)
Psikiatrik : emosi stabil
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas : Atas : bengkak (-), sakit (-)
Bawah : bengkak (-), sakit (-)
E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sedang sakit, kesadaran compos mentis (GCS 4-5-6), status gizi
kesan kurang.
2. Tanda Vital dan Status Gizi
Tanda Vital
Nadi : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,7 oC
Tensi : 110/80 mmHg
6
Status gizi
BB : 50 kg
TB : 163 cm
BMI = BB/ TB2 = 18,8 (underweight)
3. Kulit
Warna : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, tidak ada luka, rambut tidak mudah
dicabut, atrofi m. temporalis(-), makula (-), papula (-),
nodula (-), kelainan mimik wajah/bells palsy (-)
4. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm),
reflek kornea (+/+), wama kelopak (coklat kehitaman), katarak (-/-),
radang/conjunctivitis/uveitis (-/-)
5. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-), sadle nose (-)
6. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi
lidah hiperemis (-), tremor (-)
7. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping
telinga dalam batas normal
8. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)
9. Leher
Trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar
limfe (-), lesi pada kulit (-)
10. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-).
Cor :
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba
7
P : Batas kiri atas : SIC II 1 cm lateral PSLS
Batas kanan atas : SIC II LPSD
Batas kiri bawah : SIC V 1 cm lateral MCLS
Batas kanan bawah : SIC IV PSLD
Batas jantung kesan tidak ada pembesaran
A : S1S2 tunggal, regular, mur-mur (-), bising (-)
Pulmo : Statis (depan dan belakang)
I : Gerakan nafas simetris
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : Sonor/Sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan : RBK (+/+), whezing (-/-)
Dinamis (depan dan belakang)
I : Gerakan nafas simetris
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : Sonor/Sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan : RBK (+/+), whezing (-/-)
11.Abdomen
I : dinding perut sejajar dengan dinding dada
A : Bising Usus (+) N
P : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
P : timpani seluruh lapang perut
12. Sistem Columna Vertebralis
I : deformitas (-), skoliosis (+), kiphosis (-), lordosis (-)P : nyeri tekan (-)
13. Ektremitas : Palmar Eritema -/-
Akral dingin Oedem
- - - -- - + +
14. Sistem genetalia : Dalam Batas Normal
8
15. Pemeriksaan NeurologikFungsi Luhur : dalam batas normal Fungsi Vegetatif : dalam batas normal Fungsi Sensorik : dalam batas normalFungsi motorik K T RF RP
16. Pemeriksaan PsikiatrikPenampilan : sesuai umur, perawatan diri cukupKesadaran : kualitatif tidak berubah; kuantitatif compos mentisAfek : appropriatePsikomotor : normoaktifProses pikir : Bentuk : realistik
Isi : waham(-), halusinasi (-), ilusi(-)Arus : koheren
Insight : baik
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan test Mantoux : tidak dilakukan
Pemeriksaan bakteriologis : biakan sputum/dahak tidak dilakukan
Pemeriksaan rontgen thoraks : Hillus kanan dan kiri tampak menebal,
corakan bronchovaskulerkasar, terdapat
infiltrat pada apeks sampai supra hiler
dextra sinistra.
kesan : gambaran TB
G. RESUME
Kurang lebih 6 bulan yang lalu penderita mulai merasa sering batuk-batuk, batuk
ngikil dan berdahak, dahak tidak kental dan berwarna putih, kadang-kadang batuk
bercampur darah. Selain itu penderita juga mengeluhkan napas terasa sesak , timbul
keringat dingin malam hari tanpa aktivitas, nafsu makan menurun, dan berat badan
dirasakan turun terus (dari 60 kg sebelum sakit turun menjadi sekitar 50 kg).
Penderita juga merasakan badannya lemas, dan kadang mengeluhkan pusing.
Penderita juga mengeluh nyeri kepala, terkadang mual, dan nyeri dada. Selama batuk,
penderita berobat ke dokter umum di daerah Jenggolo. BAB dan BAK tidak ada
keluhan
5 5
5 5
5 5
5 5
+ +
+ +
- -
- -
9
Karena batuk tidak sembuh-sembuh akhirnya penderita di bawa ke Puskesmas
Urangagung dan dianjurkan untuk melakukan periksa dahak. Disana penderita di beri
obat 3 macam dan harus diminum selama 6 bulan. Selain itu pasien juga ke
Laboratorium Jenggolo untuk periksa foto rontgen.
H. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS
Diagnosis Biologis
1. Tuberkulosis Paru Kasus Baru Fase Lanjutan
2. Status gizi rendah
3. Nafsu makan kurang
Diagnosis Sosial Ekonomi dan Budaya
1. Status ekonomi cukup, lingkungan kerja yang bertemu dengan banyak
orang.
2. Penyakit mengganggu aktifitas sehari-hari
I. PENATALAKSANAAN
Non Medika mentosa
1. Bed Rest tidak total
Diharapkan agar penderita mengurangi aktivitas berat yang dapat
mengurangi daya tahan tubuh penderita serta banyak istirahat.
2. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP)
Diharapkan agar penderita makan makanan yang bergizi tinggi, juga
minum susu untuk meningkatkan daya tahan tubuh sehingga
mempercepat kesembuhan dan berat badannya akan meningkat, yang
merupakan indikator kesembuhan pasien.
3. Olah raga
Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan
melakukan olah raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan
sekitar, dan latihan pernafasan untuk mengurangi sesak.
4. Mengurangi stress tertentu
Diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga
untuk kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak
10
memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-
bincang atau bermain dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Medikamentosa
Oral Anti TBC (OAT) paketan untuk kategori I fase lanjutan dari
puskesmas, dengan regimen pengobatan 2HRZ/4H3R3 yang terdiri atas :
1. Rifampicin dosis harian 10 mg/kgBB, dengan sediaan tablet 450 mg
diberikan dengan dosis tunggal selama 6 bulan (fase intensif 2 bulan,
fase lanjutan 4 bulan )
2. Isoniazid dosis harian 5 mg/kgBB, dengan sediaan tablet 300 mg
diberikan dengan dosis tunggal selama 6 bulan (fase intensif 2 bulan,
fase intensif 4 bulan )
3. Vitamin B kompleks dengan dosis 1 tablet/hari.
BAB II
IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI KELUARGA
11
1. Fungsi Biologis
Penderita tinggal serumah dengan Ny. S (istri penderita), An. N
(anak pertama penderita), dan An. F (anak ke dua penderita)
2. Fungsi Psikologis
Hubungan komunikasi antar individu dalam keluarga tersebut
terjalin cukup dekat antara satu dengan yang lain. Tn. Z dan Ny. S
bekerja dari pagi dan pulang di sore harinya. Sedangkan An. N
bersekolah hingga siang, dan An. F di asuh oleh bibi nya.
Permasalahan yang timbul dalam keluarga dipecahkan secara
musyawarah dan dicari jalan tengah, serta dibiasakan sikap saling tolong
menolong baik fisik, mental, maupun jika ada salah seorang di antaranya
yang menderita kesusahan. Meskipun penghasilan mereka cukup, namun
mereka tetap bidup sederhana, bahagia dan selalu bersyukur kepada
Tuhan.
3. Fungsi Sosial
Dalam masyarakat penderita dan istri hanya sebagai anggota
masyarakat biasa, tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam
masyarakat. Istri penderita aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat,
penderita lebih sering di rumah. Dalam kesehariannya penderita bergaul
akrab dengan masyarakat di sekitamya seperti halnya anggota
masyarakat yang lain.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan keluarga berasal dari penghasilan dari Tn. Z yang
bekerja sebagai tenaga Finance dan Ny. S yang bekerja sebagai karyawan
swasta dengan total penghasilan rata-rata > Rp 2.500.000,00 perbulannya.
Penghasilan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan 4 orang
anggota rumah tersebut. Untuk biaya hidup sehari-hari seperti makan,
minum, sekolah, susu dan iuran listrik menggunakan uang yang ada dan
sedikit menyisihkannya uang untuk biaya-biaya mendadak (seperti biaya
pengobatan dan lain-lain). Untuk kebutuhan air dengan menggunakan
pompa air. Untuk memasak menggunakan kompor gas. Makan sehari-hari
dengan lauk, tahu, tempe, daging, buah dan frekuensi makan kadang-kadang
12
2-3 kali sehari. Penderita tidak memiliki kartu Jamkesmas atau sejenisnya
sehingga untuk berobat menggunakan dana sendiri sepenuhnya.
5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi
Penderita termasuk orang yang terbuka sehingga bila mengalami
kesulitan atau masalah penderita sering bercerita kepada istrinya.
B. APGAR SCORE
ADAPTATION
Penderita selalu mendapat dukungan dari seluruh anggota keluarganya atas
masalah yang dihadapi penderita, baik dukungan moral, spiritual, dan memberi
motivasi untuk rajin minum obat dan kontrol ke puskesmas, sekaligus meyakinkan
penderita bahwa penyakitnya bisa dikontrol sehingga pasien tetap bisa beraktifitas.
PARTNERSHIP
Penderita menyadari bahwa dirinya adalah kepala rumah tangga
sehingga penderita meyakinkan dirinya agar bisa sembuh kembali,
komunikasi antar anggota keluarga masih berjalan dengan baik.
GROWTH
Penderita sadar bahwa ia harus bersabar dalam menghadapi penyakitnya,
yaitu dengan ia mau rutin mengkonsumsi obat, selalu kontrol ke puskesmas, dan
juga mematuhi saran yang diberikan oleh dokter yang merawatnya.
AFFECTION
Penderita merasa hubungan kasih dan interaksi dengan masing-masing
individu yang ada dalam rumah tersebut adalah cukup baik meskipun akhir-akhir ini
ia sering menderita sakit.
RESOLVE
Penderita merasa cukup puas dengan kebersamaan yang ada didalam
keluarga tersebut. Terjalinnya komunikasi yang efektif membuat penderita menjadi
nyaman.
APGAR Tn. Z Terhadap KeluargaSering/Selalu
Kadang-Kadang
Jarang/ Tidak
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
13
keluarga saya bila saya menghadapi masalah
PSaya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
G
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A
Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
RSaya puas dengan cara keluarga saya dan sayamembagi waktu bersama-sama
Total poin = 10 fungsi keluarga dalam keadaan baik
Tn.Z bekerja sebagai tenaga Finance, ia bekerja dari pagi hari hingga
sore hari, ia masih berusaha menyempatkan waktu untuk berkomunikasi
dengan keluarganya.
APGAR Ny. S Terhadap Keluarga Sering/selalu
Kadang-kadang
Jarang/tidak
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan sayamembagi waktu bersama-sama
Total poin = 10, fungsi keluarga dalam keadaan baik
Ny. S bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan dan
juga sebagai ibu rumah tangga sehingga kesehariannya harus di bagi untuk
bekerja, masak, merawat anak. Ny. S masih merasa puas dengan
kebersamaan didalam keluarga tersebut.
Secara keseluruhan total poin dari APGAR keluarga Tn. Z adalah
20, sehingga rata-rata APGAR dari keluarga Tn. Z adalah 10. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga Tn.F dan
14
anggota keluarganya dalam keadaan baik. Hubungan antar individu dalam
keluarga tersebut terjalin baik
C. SCREEMSUMBER PATHOLOGY KET
Sosial Interaksi sosial yang baik antar anggota keluarga juga dengan saudara partisipasi mereka dalam masyarakat cukup meskipun banyak keterbatasan.
+
Cultural Kepuasan terhadap budaya baik, hal ini dapatdilihat dari komunikasi sehari-hari dalam keluarga dan selalu berprilaku saling tolong-menolong.
+
ReligiusAgama menawarkan pengalaman spiritual yang baik untuk ketenangan individu yang tidak didapatkan dari yang lain
Pemahaman agama cukup. Namun penerapan ajaran agama cukup baik, hal ini dapat dilihat dari penderita dan anggota keluarganya rutin menjalankan sholat.
+
Ekonomi Ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke bawah, untuk kebutuhan primer sudah bisa terpenuhi, untuk mencukupi kebutuhan sekunder rencana ekonomi dapat memadai, diperlukan skala prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidup
-
Edukasi Pendidikan anggota keluarga kurang memadai. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masih rendah. Kemampuan untuk memperoleh dan memiliki fasilitas pendidikan seperti buku-buku, koran terbatas.
+
MedicalPelayanan kesehatan puskesmas memberikan perhatian khusus terhadap kasus penderita
Mampu membiayai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga ini biasanya menggunakan Puskesmas dan Rumah sakit terdekat.
+
Keterangan :
Edukasi (+) artinya keluarga Tn. F menghadapi permasalahan
dalam bidang edukasi dan informasi. Kurangnya pengetahuan dan
informasi tentang kesehatan menyebabkan kurangnya kesadaran
akan kesehatan individu sehingga keluarga tersebut rawan akan
terjadinya penyakit.
15
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Alamat lengkap : Ds. Jati Utara I RT/RW 03/02, Kec. Sidoarjo, Kabupaten
Sidoarjo.
Diagram 1. Genogram Keluarga Tn. Z
Dibuat tanggal 24 Agustus 2014
Sumber : Data Primer, 14 Oktober 2014
Keterangan :Tn. Z : PenderitaNy. S : Istri PenderitaAn. N : Anak Pertama PenderitaAn F : Anak Ke dua Penderita D. Informasi Pola Interaksi Keluarga
guy
IstriPenderita
AnakAnak F Anak NSdr AF (10 th)
Penderita
16
Keterangan : : hubungan baik
: hubungan tidak baik
Berdasarkan gambaran pola interaksi dalam anggota keluarga diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang baik antar masing-
masing individu dalam keluarga tersebut.
E. Pertanyaan Sirkuler
1. Ketika penderita jatuh sakit apa yang dilakukan oleh Istri?
Jawab : Istri membawa penderita ke puskesmas dan menyiapkan keperluan
yang diperlukan penderita.
2. Ketika istri bertindak seperti itu apa yang dilakukan anak ?
Jawab : Anak mendukung apa yang dilakukan oleh istri.
3. Ketika Anak seperti itu apa yang dilakukan anggota keluarga yang lain?
Jawab : Ikut mendukung dan membantu apa yang diputuskan.
4. Kalau butuh dirawat/operasi ijin siapa yang dibutuhkan?
Jawab : Dibutuhkan ijin istri. Namun sebelumya melalui musyawarah
dengan anggota keluarga lainya atau mungkin juga melibatkan keluarga
besarnya.
5. Siapa anggota keluarga yang terdekat dengan penderita?
Jawab : Istri
6. Selanjutnya siapa?Jawab : Anak
Penderita
Istri Penderita
Anak Penderita
17
7. Siapa yang secara emosional jauh penderita?
Jawab : Tidak ada
8. Siapa yang selalu tidak setuju dengan Tn.Z (penderita)?
Jawab : Tidak ada
9. Siapa yang biasanya tidak setuju dengan anggota keluarga lainnya?
Jawab : Tidak ada
BAB III
18
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN
A. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
1. Faktor Perilaku Keluarga
Tn. Z tinggal di rumah yang sederhana, ia dan anggota keluarganya
belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan khususnya
tentang Tuberkulosis Paru.
Lingkungan di dalam rumah pasien cukup tertata dengan rapi. Tiap
ruangan pencahayaan cukup dan ventilasi udara ada di setiap kamar.
Keluarga ini memiliki jamban sendiri di dalam rumahnya dan untuk
kegiatan mencuci dan mandi keluarga ini menggunakan air dari sumur
pompa air yang ada di rumah.
2. Faktor Non Perilaku
Dari segi perekonomian, keluarga ini termasuk keluarga menengah.
Keluarga ini memiliki sumber penghasilan dari Tn. Z yang bekerja sebagai
tenaga Finance dan Ny. S yang bekerja sebagai karyawan swasta.
Rumah yang dihuni keluarga ini cukup memadai dan memenuhi
standar kesehatan. Lantai sudah diubin, pencahayaan ruangan cukup, dan
cukup ventilasi. Fasilitas kesehatan yang sering dikunjungi oleh keluarga
ini jika sakit adalah Puskesmas Urangagung, Laboratorium Jenggolo dan
RSUD Sidoarjo.
B. Identifikasi Lingkungan Rumah
Gambaran Lingkungan
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 9 x 15m2 yang
berdempetan dengan rumah tetangganya. Memiliki teras yang berukuran 4x3
m2 di depan rumahnya, dan menggunakan pagar kayu . Terdiri dari ruang
tamu, 2 kamar tidur, dapur, ruamg untuk shalat, gudang, tempat cuci baju dan
kamar mandi yang memilki fasilitas jamban. Terdiri dari 1 pintu keluar di
depan. Jendela di ruang tamu ada 2 buah, dan di setiap kamar tidurnya ada
19
jendela. Lantai rumah sudah diubin semua. Ventilasi dan penerangan rumah
cukup. Atap rumah tersusun dari genteng. Dinding rumah terbuat dari
batubata dan dicat. Perabotan rumah tangga cukup. Sumber air untuk
kebutuhan sehari-harinya keluarga ini menggunakan mesin pompa air. Secara
keseluruhan kebersihan rumah cukup. Sehari-hari keluarga memasak
menggunakan kompor gas.
Denah Rumah :
Keterangan :
1. Sumur2. Tempat Cuci
BAB IV
Teras
Ruang Tamu
Kamar Tidur 1
Kamar Tidur 2
Tempat Shalat
Gudang
KM1
Jemuran
2
Dapur
20
DAFTAR MASALAH
A. Masalah aktif :
1. TB Paru Kasus Baru
2. Pengetahuan istri yang kurang tentang penyakit penderita
3. Resiko penularan pada anggota keluarga yang lain
B. Faktor resiko :
1.Lingkungan kerja penderita.
2.Status pengetahuan tentang kesehatan kurang.
3.Makanan yang dikonsumsi
C. DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN
(Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang adadengan faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)
Tn. Z 34 tahun
Lingkungan, temandan tempat kerjapenderita.
Pengetahuan keluarga dan penderita mengenai penyakit TB yang kurang
Makanan yang dikonsumsi tidak bergizi
21
BAB V
PATIENT MANAGEMENT
A. PATIENT CENTERED MANAGEMENT
1. Suport Psikologis
Pasien memerlukan dukungan psikologis mengenai faktor-faktor
yang dapat menimbulkan kepercayaan baik pada diri sendiri maupun kepada
dokternya. Antara lain dengan cara :
a. Memberikan perhatian pada berbagai aspek masalah yang dihadapi.
b. Memberikan perhatian pada pemecahan masalah yang ada. Memantau
kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
c. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
d. Timbulnya kepercayaan dari pasien, sehingga timbul pula kesadaran dan
kesungguhan untuk mematuhi nasihat-nasihat dari dokter.
Pendekatan Spiritual, diarahkan untuk lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan YME, misalnya dengan rajin ibadah, berdoa dan memohon
hanya kepada Tuhan YME.
Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal
yang harus dilakukan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi
kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi psikososial.
2. Penentraman Hati
Menentramkan hati diperlukan untuk pasien dengan problem
psikologis antara lain yang disebabkan oleh persepsi yang salah tentang
penyakitnya, kecemasan, kekecewaan dan keterasingan yang dialami
akibat penyakitnya. Menentramkan hati penderita dengan memberikan
edukasi tentang penyakitnya bahwa penyakitnya tersebut bukan penyakit
turunan dan dapat disembuhkan. Faktor yang paling penting untuk
kesembuhannya adalah ketekunan dalam menjalani pengobatan sesuai
petunjuk dokter. Selain itu juga didukung dengan makan makanan yang
bergizi tinggi meskipun sederhana, istirahat yang cukup. Diharapkan
pasien bisa berpikir positif, tidak berprasangka buruk terhadap
22
penyakitnya, dan membangun semangat hidupnya sehingga bisa
mendukung penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
3. Penjelasan, Basic Konseling dan Pendidikan Pasien
Diberikan penjelasan yang benar mengenai persepsi yang salah
tentang TBC. Pasien TBC dan keluarganya perlu tahu tentang penyakit,
pengobatannya, pencegahan dan penularannya. Sehingga persepsi yang salah
dan merugikan bisa dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan melalui konseling
setiap kali pasien kontrol dan melalui kunjungan rumah baik oleh dokter
maupun oleh petugas Yankes.
Beberapa persepsi yang harus diluruskan yaitu :
a. Penyakit TBC merupakan penyakit turunan
b. Penyakit TBC tidak dapat disembuhkan.
Maka pasien harus diberi pengertian untuk terus mengupayakan
kesembuhannya melalui program pengobatan dan rehabilitasi yang
dianjurkan oleh dokter. Juga harus dilakukan pendalaman terhadap berbagai
masalah penderita termasuk akibat penyakitnya (TBC) terhadap hubungan
dengan keluarganya, pemberian konseling jika dibutuhkan. Penderita juga
diberi penjelasan tentang pentingnya menjaga diet TKTP yang benar dalam
rangka mencapai berat badan ideal, pentingnya olah raga yang teratur dan
sebagainya.
4. Menimbulkan rasa percaya diri dan tanggung jawab pada diri sendiri
Dokter perlu menimbulkan rasa percaya dan keyakinan pada diri
pasien bahwa ia bisa melewati berbagai kesulitan dan penderitaannya. Selain
itu juga ditanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri mengenai
kepatuhan dalam jadwal kontrol, keteraturan minum obat, diet yang
dianjurkan dan hal-hal yang perlu dihindari serta yang perlu dilakukan.
5. Pengobatan
Medika mentosa dan non medikamentosa seperti yang tertera
dalam penatalaksanaan.
6. Pencegahan dan Promosi Kesehatan
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pencegahan dan promosi
kesehatan berupa perubahan tingkah laku (tidak meludah di sembarang
23
tempat, menutup mulut jika batuk), lingkungan (tempat tinggal yang tidak
boleh lembab dengan penggunaan ventilasi yang cukup, pemakaian
genteng kaca sehingga pencahayaan cukup dan kebersihan lingkungan
rumah dan luar rumah yang bersih dengan disapu 2x/hari), meningkatkan
daya tahan tubuh dengan cara diet makanan bergizi dan olah raga yang
teratur. Dengan demikian paradigma yang salah tentang penyakit TBC di
masyarakat dapat diluruskan.
B. PREVENSI BEBAS TUBERKULOSIS PARU UNTUK KELUARGA
LAINNYA (ISTRI, ANAK DAN KELUARGA LAINNYA)
Pada prinsipnya secara umum prevensi untuk bebas TBC adalah
sama dengan prevensi bebas TBC untuk penderita, namun dalam hal ini
diutamakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya dengan cara
sebagai berikut :
1. Bagi keluarga jangan terlalu dekat ‘cukup intim’ dengan anggota keluarga
yang lain (ayah, ibu dan kelurga lainnya), apalagi saat berbicara atau
batuk, agar tidak tertular langsung kuman TB dari penderita. Saat batuk
sebaiknya di tutup kain atau masker.
2. Diusahakan agar penderita tidak meludah di sembarang tempat yang
mengakibatkan kuman TB dapat berterbangan dan terhirup oleh anggota
keluarga yang lain.
3. Istirahat yang cukup 6-8 jam sehari semalam.
4. Olah raga teratur dan makan-makanan yang bergizi.
Kesemuanya ini merupakan langkah-langkah untuk meningkatkan
daya tahan tubuh bagi anggota keluarga yang serumah dengan penderita agar
tidak tertular infeksi TBC dari penderita.
24
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 pendduduk.9
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3
juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.9
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.9
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh
dunia
25
Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10
B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.10
C. MIKROBIOLOGI
1. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –
0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
26
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38
kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam
mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000
a, protein MTP 40 dan lain lain.9
2. Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan
kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah
diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok.
Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada
(conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang
menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan
seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat
misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti
protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs)
menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari
16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS
27
(IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan
RFLP.9
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan
Ziehl Neelsen
D. PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
28
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
29
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
30
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
31
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.12
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer danPerjalanan Penyembuhannya9
32
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11
E. KLASIFIKASI
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
1). Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
33
2). Tuberkulosis paru BTA (-)
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
a. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
a) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.b) Infeksi jamurc) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
3. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
4. Kasus gagal
a) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).b) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
5. Kasus kronik / persisten
34
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.9
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Gejala klinik
35
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratorik
1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu2) batuk darah3) sesak napas4) nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
b. Gejala sistemik
1) Demam2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
c. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
& kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
36
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
37
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
1) Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)2) Pagi ( keesokan harinya )3) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara
pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a) Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya.b) Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak + 1 ml.c) Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak.d) Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.e) Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.f) Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.g) Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak.
38
h) Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :
1) Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudiana) bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positifb) bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
39
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.c. Bayangan bercak milier.d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
a. Fibrotikb. Kalsifikasic. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
a. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
40
b. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
a. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kavitasb. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
5. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
a. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
b. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik
ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup
banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data
41
lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ
yang terlibat.
c. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda : 1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu
yang cukup lama.
2) ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38
kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk
garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.
3) Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji
ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan
ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti
42
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah.
4) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
5) Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
6. Pemeriksaan Lain
a. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
1) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)2) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)3) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).4) Otopsi
43
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
c. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
d. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.
44
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru
G. PERJALANAN PENYAKIT
1. Cara penularan12
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
45
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2. Risiko penularan12
a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.d. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
3. Risiko menjadi sakit TB12
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.b. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi
sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif.c. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).d. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat
pula.
46
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
1. 50% meninggal2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB
H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
47
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lamab) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
b. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
a) 2 RHZE / 4 RH atau b) 2 RHZE / 4R3H3 atau c) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
a) TB paru BTA (+), kasus baru
b) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan
uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
48
2. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih,
sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila
diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
3. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten
tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil
menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
a) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)b) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimalc) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
4. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
a) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.b) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
49
Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan
kategori II diulang dari awal.Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.
5. TB Paru kasus kronika) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan
H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid.b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.d) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
6. Paket Kombipak.Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.
50
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar.d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.f.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Obat Dosis(mg/kgBB/Hari)
Dosis yang dianjurkan DosisMaksimum
Dosis (mg) / BB (kg)
Harian(mg/kgBB/Hari)
Intermitten(mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensiftiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
TahapPengobatan
LamaPengobatan
Dosis per hari / kali Jumlahhari/kalimenelan
obat
TabletIsoniasid
@ 300 mg
KapletRifampisin@ 450 mg
TabletPirazinamid@ 500 mg
TabletEtambutol@ 250 mg
51
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positifc. Pasien TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
BeratBadan
Tahap IntensifTiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT+ 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+ 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+ 5 tablet Etambutol
Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
TahapPengobatan
LamaPengobatan
TabletIsoniasid
@ 300 mg
KapletRifampisin@ 450 mg
TabletPirazinamid@ 500 mg
Etambutol StreptomisinInjeksi
Jumlah/kali menelan
obatTablet
@ 250 mgTablet
@ 400 mgTahapIntenif(dosisharian
2 bulan1 bulan
11
11
33
33
--
0,75 gr-
5628
TahapLanjutan(dosis 3x
seminggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
52
b. Pasien gagalc. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT38-54 kg 3 tablet 4KDT55-70 kg 4 tablet 4KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
TahapPengobatan
LamanyaPengobatan
TabletIsoniasid
@ 300 mg
KapletRifampisin@ 450 mg
TabletPirazinamid@ 500 mg
TabletEtambutol@ 250 mg
Jumlahhari/kali
menelan obatTahap
Intensif(dosisharian)
1 bulan 1 1 3 3 28
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
53
I. TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman
tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat tabel 8. tentang sistem pembobotan
(scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,
pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaanpenunjang TB
Parameter 0 1 2 3 JumlahKontak TB Tidak
jelasLaporan
keluarga, BTA(-) atau tidak
tahu, BTA tidakjelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10mm, atau ≥ 5
mm padakeadaan
imunosupresi)Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
54
keadaan gizi (KMS) atau BB/U< 80 %
(BB/U < 60%)
Demam tanpasebab
≥ 2 minggu
Batuk ≥ 3 mingguPembesarankelenjar linfekoli, aksila,
inguinal
≥ 1 cm, jumlah > 1,tidak nyeri
Pembengkakantulang/sendi
panggul, lutut,falang
Ada pembengkakan
Foto toraks Normal/tidak jelas
Kesan TB
Jumlah
Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel
badan badan.e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anakf. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kudukb. penurunan kesadaranc. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
55
Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan
Kesehatan Dasar
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.
Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kgIsoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mgPirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
56
Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak
Berat badan (kg) 2 bulan tiap hariRHZ (75/50/150)
4 bulan tiap hariRH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet10-19 2 tablet 2 tablet20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakitb. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelahe. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
J. PENGOBATAN (PROFILAKSIS) UNTUK ANAK
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat
skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
K.EFEK SAMPING OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
57
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulangb. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diarec. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahand. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khususf. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilangg. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
58
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMinor OAT diteruskan
59
Tidak nafsumakan, mual,sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinolKesemutan sampai denganrasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
Warna kemerahan pada airseni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberiapa-apa
Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab TatalaksanaMayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahanpada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin dandievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,ganti etambutol
Gangguan keseimbangan(vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisisn dihentikan,ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis ImbasObat (penyebab laindisingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OATsampai ikterikmenghilang dan bolehdiberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung(suspect drug-inducedpre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT danlakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan EtambutolKelainan sistemik,termasuk syok danpurpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:
1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian
dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan
perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias
dilakukan terhadap obat lainnya3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,
60
gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan
agranulositosis karena thiacetazon4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
L. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demamc. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)b. Keadaan umum burukc. Pneumotoraksd. Empiemae. Efusi pleura masif / bilateralf. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milierb. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
M. TERAPI PEMBEDAHAN
61
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positifb. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatifc. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulangb. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhanc. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi2. Punksi pleura3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
N. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
62
a. Sebelum pengobatan dimulaib. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)3. Pada akhir pengob
Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
63
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.
BAB VII
64
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Segi Biologis :
Tn. Z (34 tahun), menderita penyakit TB Paru Kasus baru
(dalam pengobatan fase lanjutan)
Status gizi Tn. Z berdasarkan NCHS termasuk dalam kategori Gizi
kurang
2. Segi Psikologis :
Hubungan antara anggota keluarga dan anggota masyarakat yang
terjalin cukup akrab, harmonis, dan hangat
Pengetahuan akan TB Paru yang masih kurang Tingkat kepatuhan
dalam mengkonsumsi obat yang tidak baik walaupun pasien dan
keluarga mendukung untuk penyembuhan penyakit tersebut
B. SARAN
1. Untuk masalah medis (TB Paru) dilakukan langkah-langkah :
Preventif : penderita jangan meludah di sembarang tempat,
menutup mulut dengan kain atau masker terutama saat batuk.
Harus rajin membersihkan rumah. Rajin menjemur bantal, guling
dan kasur. Menjaga Hygiene dan sanitasi. Membuka jendela pagi
hari agar sinar matahari pagi dapat masuk terutama ke kamar tidur.
Sedapat mungkin tidak memakai tempat tidur bertingkat.
Diharapkan menggunakan genteng kaca, membersihkan rumah,
menguras bak mandi, membangun tempat pembuangan sampah
dan saluran air, menata barang-barang agar tidak menjadi sarang
kuman dan nyamuk.
Promotif : edukasi penderita dan keluarga mengenai TB Paru dan
pengobatannya oleh petugas kesehatan atau dokter yang
menangani.
65
Kuratif : saat ini penderita memasuki pengobatan fase
intensif,walaupun sempat putus obat tetapi < dari 2 bulan, sehingga
masih tetap diberikan pengobatan berupa, Rifampisin 450 mg, INH
600 mg,
Rehabilitatif : mengembalikan kepercayaan diri Tn. Z sehingga
tetap memiliki semangat untuk sembuh.
2. Untuk masalah status gizi yang masuk kategori Gizi kurang, dilakukan
.langkah-langkah ;
Promotif : edukasi penderita dan kedua oaring tua penderita
mengenai pola makan yang memenuhi gizi yang seimbang dan
diberi pengarahan agar dalam menyiapkan makanan sehari-hari
selalu memperhatikan masalah gizi makanannya, diusahakan yang
sederhana tetapi mengandung gizi yang cukup.
Kuratif : mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak
kalori dan protein untuk menjaga daya tahan tubuh. Konsumsi
protein yang mencukupi, seperti dari tempe, tahu dan daging-
dagingan atau ikan.
3. Untuk masalah persepsi mengenai penyakit TB, dilakukan langkah-
langkah :
Promotif : Memberikan pengertian kepada penderita dan anggota
keluarga mengenai penyakit TB bahwa penyakit TB bukan
penyakit keturunan dan merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan.
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium
Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of
Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 : 220-26.3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei
Darussalam and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –
7.5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam
Simposium dan Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta,
1999.6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World
Health Forum An International Journal of Health Development. WHO,
Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47.7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan
Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis
Yogyakarta 1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung, 57-63.9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta,
2007; 3-4.11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga
Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan
Keluarga FKUI. 2002.
LAMPIRAN
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76