KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

92
KITAB RIYÂD AL-S ÂLIH ÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN AHMAD NAJIH S. Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi) Skripi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S) Oleh Aa Maulana (1111024000028) PRODI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437/2016

Transcript of KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

Page 1: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI;

TERJEMAHAN AHMAD NAJIH S.

Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi)

Skripi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Aa Maulana

(1111024000028)

PRODI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437/2016

Page 2: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

i

Page 3: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

ii

Page 4: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

iii

Page 5: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab yang kemudian

ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan pedoman

transliterasi Arab-Latin dalam buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007.

1. Pedoman Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts te dan es ث

j je ج

h h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

Page 6: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

v

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

‘ عkoma terbalik di atas

hadap kanan

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ھـ

apostrof ‘ ء

y ye ي

2. Vokal

A. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fat�ah ــَــــ

i kasrah ــِــــ

u ammah ــُــــ

Page 7: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

vi

B. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ـَــ ي

au a dan u ـَــ و

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a dengan topi di atas ـــــَـا

î i dengan topi di atas ــــِـيْ

u dengan topi di atas ـــــُـوْ

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal, al-bait.

4. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda (ــّـــ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

Page 8: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

vii

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikut oleh huruf-

huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضَّرُوْرَة tidak ditulis a - ar rah, demikian

seterusnya.

5. Ta Marb��ah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marb��ah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marb��ah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marb��ah diikuti kata

benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No. Kata Arab Alih Aksara

ariqah طریقة 1

al-jâmi’ah al-islamiyyah الجامعة الإسلامیة 2

wa وحدة الوجود 3 dat al-wujud

6. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam kaidah Ejaan Ynag Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

Page 9: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

viii

sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: Ab Zakariya al-Nawawi bukan Ab

Zakariya al-Nawawi, al-Imâm bukan Al-Imâm.

Beberapa ketentuan lain dalam kaidah EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengeani huruf cetak miring (italic) atau

cetak tebal (bold). Jika menurut EYD judul buku itu ditulis dengan cetak miring,

maka demikian hanya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-

Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak N r al-Din al-Râniri.

7. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (�arf)

ditulis secara terpisah. Di bawah ini adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذَھَبَ الْأُسْتَاذُ

رُجْأَالْ تَبَثَ tsabata al-ajru

ةیَّرِصْعَة الْكَرَحَلْاَ al- arakah al-‘asriyyah

ا االلهلَّإِ ھَلَا اِلَ نْأَ دُھَشْأَ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

Page 10: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

ix

ABSTRAK

Aa Maulana. 1111024000028. Kitab Riyâd al-Sâlihîn Karya al-Nawawi; Terjemahan Ahmad Najih S. Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi).

Seorang penerjemah tidak hanya dituntut mampu menguasai bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa) atau mampu memilih diksi yang tepat untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam teks sumber (Tsu) ke dalam teks sasaran (Tsa), tetapi ia juga harus memahami kaidah-kaidah pemenggalan kalimat (pungtuasi) atau pemakaian tanda baca sesuai dengan pedoman yang berlaku dalam bahasa sasaran, dalam hal ini pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria Yahya al-Nawawi sudah tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi). Dan Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan tata bahasa Indonesia?

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, menurut peneliti, pemenggalan kalimat (pungtuasi) pada terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria Yahya al-Nawawi belum tepat. Namun, apabila ditinjau dari segi tata bahasa Indonesia terjemahan tersebut sudah cukup baik.

Page 11: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, atas

segala nikmat, dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada utusan-Nya, nabi

Muhammad SAW, yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita semua.

Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui selembar

kertas dan tinta ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini, khususnya

kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr.

Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, selaku ketua jurusan Tarjamah, dan Ibu Rizqi

Handayani, MA, selaku sekretaris jurusan Tarjamah. Terima kasih juga kepada

Bapak Abdul Wadud Kasyful Anwar, Lc.,MA, selaku dosen pembimbing penulisan

skripsi, yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan referensi serta motivasi,

sehingga karya ini dapat ditulis sebagaimana mestinya.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Darsita S, M.Hum, dan Drs. A.

Syatibi, M.A yang telah menjadi penguji dalam sidang munaqasyah, sudah

meluangkan waktunya untuk mengkaji, mengkritisi dan mengoreksi skripsi ini,

sehingga menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Terima kasih juga kepada seluruh

Page 12: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

xi

dosen jurusan Tarjamah atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan

selama ini, semoga bermanfaat dan menjadi bekal di masa depan.

Penghormatan yang setinggi-tingginya serta salam cinta dan sayang saya

sampaikan kepada dua sosok yang sangat berjasa selama ini, yakni Ayahanda

Ahmadi dan Ibunda Aisah. Terima kasih Ayah dan Ibu, atas doa-doa yang senantiasa

kalian panjatkan, atas dedikasi dan motivasinya selama ini. Terima kasih juga kepada

adik-adik tercinta, yaitu Sahrul Fauzi, Nurmala Sari, dan Indri Widya Sari, yang

sudah membantu dan mendukung penulisan skripsi ini.

Terima kasih kepada teman-teman Tarjamah, khususnya angkatan 2011, yang

telah mewarnai hari-hari semasa kuliah, atas canda tawa serta suka duka yang kalian

berikan. Semoga kita semua dapat meraih cita-cita dan kesuksesan bersama.

Saya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,

bila ditemukan kesalahan atau kekurangan, harap disampaikan kepada penulis, demi

pengembangan dan pembelajaran diri. Di samping itu saya berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya, dan bagi ilmu pengetahuan dan

ilmu penerjemahan pada umumnya. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan,

kritik dan sarannya, semoga apa yang kita lakukan dan korbankan menjadi nilai

ibadah di sisi Allah SWT. Amiin.

Ciputat, 03 Maret 2016

Penulis

Page 13: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

xii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN .................................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7

D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8

E. Metode Penelitian ..................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11

BAB II KERANGKA TEORI

A. Gambaran Umum Penerjemahan ............................................................... 13

1. Definisi Penerjemahan ......................................................................... 14

2. Proses Penerjemahan ........................................................................... 15

3. Metode Penerjemahan ......................................................................... 17

4. Teori Penerjemahan Hadits .................................................................. 20

B. Gambaran Umum Pungtuasi Bahasa Indonesia .......................................... 23

1. Definisi Pungtuasi ............................................................................... 25

Page 14: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

xiii

2. Macam-macam Pungtuasi .................................................................... 25

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN GAMBARAN UMUM KITAB RIYÂD

AL-SÂLIHÎN

A. Biografi Pengarang dan karyanya .............................................................. 42

B. Gambaran Umum Kitab Riyâd al-Sâlihîn ................................................ 47

BAB IV ANALISIS

A. Pendahuluan ............................................................................................. 48

B. Analisis ..................................................................................................... 48

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 66

B. Saran ......................................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 71

Page 15: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya terjemahan bukanlah hal yang asing dalam wawasan keilmuan. Banyak

buku yang diterjemahkan demi membuka tabir ilmu pengetahuan, melalui

penerjemahan banyak wawasan keilmiahan yang ditransfer sekaligus menjadi sarana

penghubung.1

Secara luas, penerjemahan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan manusia

dalam mengalihkan informasi atau pesan, baik verbal maupun nonverbal; dari

informasi asal atau informasi sumber kedalam informasi sasaran. Dalam pengertian

dan cakupan yang lebih sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses

pengalihan pesan yang terdapat dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (BSu)

dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (Bsa).2

Memahami struktur dan gramatikal bahasa menjadi sangat penting untuk

mempermudah penerjemah dalam memahami dan mengkaji suatu naskah atau teks.

Dengan demikian, kita akan lebih mudah dalam menentukan bagian-bagian

terpenting dalam sebuah kalimat seperti subjek, predikat, objek ataupun keterangan

yang lainnya. Di samping itu, untuk menghasilkan terjemahan yang baik ternyata

1 Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), h. 9 2 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8

Page 16: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

2

tidak cukup dengan memahami makna gramatikal saja, tetapi juga makna leksikal

yang sudah tetntu sangat membantu dalam menerjemahkan.3

Dalam menerjemahkan suatu BSu, seorang penerjemah harus mengalihkan

pesan dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan mudah dipahami, sehingga ketika

orang mendengar atau membaca hasil terjemahannya, dia seperti mendengar

pembicaraan atau membaca tulisan aslinya. Karena menerjemahkan bukanlah

memindahkan atau mengganti kata demi kata, melainkan memindahkan konsep,

pengertian dan amanat.

Menerjemahkan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain bukanlah suatu

pekerjaan yang mudah. Karena kegiatan tersebut tidak hanya membutuhkan

kemahiran dalam berbahasa asing saja, tetapi penerjemah juga harus

mempertimbangkan beberapa batasan, termasuk konteks, aturan tata bahasa, konvensi

penulisan, idiom, serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan bahasa sumber (BSu)

dan bahasa sasaran (Bsa). Sehingga ia dapat memilih dari sekian banyak alternatif

padanan terjemahannya.4

Selain itu, guna menjadikan hasil terjemahan yang baik dan mudah dipahami,

penerjemah dituntut juga untuk mampu menerapkan tanda baca atau pungtuasi

dengan tepat sesuai dengan kaidah yang berlaku, dalam hal ini pedoman Ejaan yang

Disempurnakan (EYD).

3 Zuchridin Suryawinata, Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan),

(Yogyakarta : Kanisius, 2003), h. 7 4 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik, h. 8.

Page 17: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

3

Kata pungtuasi berasal dari Yunani “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi

mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk

memperjelas arti atau tanda perubahan dalam intonasi.

Pungtuasi atau tanda-tanda sebagai hasil usaha menggambarkan unsur-unsur

suprasegmental, itu tidak lain dari gambar-gambar atau tanda yang secara

konvensional disetujui bersama untuk memberi kunci kepada pembaca terhadap apa

yang ingin disampaikan penulis kepada mereka.

Menurut Gorsys Keraf, dewasa ini penggunaan pungtuasi lazim didasarkan

atas nada, dan lagu (suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal,

frase, dan intel relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis), yaitu:

1. Unsur-unsur sintaksis yang erat hubungannya tidak boleh dipisah oleh tanda

baca.

2. Unsur-unsur sintaksis yang tidak erat hubungannya harus dipisah dengan

tanda baca.

Berikut adalah beberapa fungsi dan contoh pungtuasi:

1. Menghindari salah baca

Contoh : Dari dalam kelas terdengar beirisik. (tidak jelas)

: Dari dalam, kelas terdengar beirisik. (jelas)

: Dari dalam kelas, terdengar beirisik. (jelas)

2. Memisahkan aposisi dari kata yang diterangkan

Contoh : Kota ini, Bogor, terkenal dengan sebutan kota Hujan.

Page 18: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

4

3. Memisahkan ucapan langsung

Contoh : Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah sebagaimana kalian

melihatku shalat”.

4. Memisahkan anak kalimat sederajat

Contoh : Karena lapar; karena tidak ada makanan; mereka menjadi

liar.

Itulah sebagian kecil dari fungsi dan contoh pungtuasi, yang mana akan

dibahas pada bab II secara lebih lengkap. Dan ini adalah salah satu sampel dari buku

terjemahan Riyâd al-Sâlihîn karya Ahmad Najih S.:

قُلْتُ یَا رَسُوْلَ االله إِنَّ لِيْ جَارَیْنِ : رَضِيَ االلهُ عَنْھا قَالَتْ وَعَنْ عَائِشَةَ )رواه البخاري. (مِنْكَ بَابًاا مَفَإِلَى أیِّھِمَا أُھْدِيْ؟ قَالَ إِلَى أَقْرَبِھِ

Dari Aisyah ra. ia berkata: “Saya bertanya: “Ya Rasulullah saw., saya mempunyai dua tetangga, maka kepada tetangga yang mana saya harus memberi sedekah?”. Beliau menjawab: “Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat dengan kamu”. (HR. Bukhari.)5

Menurut saya terjemahan hadis di atas masih belum tepat, khususnya dari segi

pemenggalan kalimat (pungtuasi), karena titik dua (:) tidak bisa menjadi tanda

pemisah antara ucapan langsung maupun ucapan tidak langsung dengan kalimat

sebelumnya, harusnya ucapan di atas dipisah dari kalimat sebelumnya dengan

menggunakan tanda baca koma (,). Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD), salah satu fungsi tanda koma adalah untuk memisahkan

5 Abû Zakariya Yahya al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n. Penerjemah Ahmad Najih

S., (Surabaya : CV. Karya Utama), h. 130

Page 19: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

5

ucapan atau petikan dari kalimat sebelumnya.6 Contoh: Kata Ibu guru, “kerjakan

tugasmu!”

Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau

mengapit petikan yang terdapat dalam petikan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua

kutipan, pertama kutipan langsung yang dikutip dari pernyataan Aisyah r.a. dan kedua

kutipan yang dikutip dari pertanyaan Aisyah, yang mana petikan ini terletak dalam

petikan sebelumnya. Pada kutipan pertama, penerjemah sudah tepat dalam mengapit

kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik. Namun, pada petikan kedua,

penerjemah mengapitnya dengan menggunakan tanda petik lagi. Padahal, harusnya ia

mengapit kutipan tersebut dengan menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab,

kutipan tersebut merupakan kutipan yang berada dalam kutipan sebelumnya. Dalam

EYD dijelaskan salah satu fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan

yang tersusun dalam petikan lain.7 Contoh: Abû Bakrah r.a. berkata, “Saya

mendengar rasulullah saw. bersabda, ‘siapa pun yang menghina pemerintah maka

Allah akan menghinakan dirinya.’”

Begitupun dengan kalimat yang dikutip dari jawaban Rasulullah saw.

merupakan kutipan yang terdapat pada kutipan sebelumnya. Karenanya, kutipan

tersebut lebih tepat jika diapit dengan memakai tanda petik tunggal.

6 Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS), Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan

Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1992), h. 48.

7 , TPRS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah , h. 49.

Page 20: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

6

Kemudian pada bagian akhir dari masing-masing kutipan, penerjemah tidak

tepat dalam meletakkan tanda kutip penutup. Harusnya, tanda kutip penutup

mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung. Misal: Kata Ibu, “adikmu

sakit.”

Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika

diterjemahkan seperti berikut.

Aisyah r.a. meriwayatkan, “Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah saw., saya

mempunyai dua tetangga, maka tetangga mana yang harus saya sedekahi?’ Beliau

menjawab: ‘Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat denganmu.’” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, tidak semua hasil karya terjemahan dapat kita terima apa

adanya, karena setiap hasil karya terjemahan perlu dianalisis dan dikritisi dengan

mengacu beberapa acuan standar penerjemahan yang mampu menopang diakuinya

mutu karya terjemahan tersebut, dan mengacu pada Ejaan yang Disempurnakan

(EYD) dari tata bahasa sasaran itu sendiri, dalam hal ini bahasa indonesia.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis menganggap perlu meneliti

salah satu karya terjemahan yang ada, untuk mengkaji dan mengetahui secara spesifik

apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm

al-Nawawi sudah tepat.

Page 21: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

7

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitan ini lebih terarah, maka dalam meneliti terjemahan Ahmad

Najih S. pada kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi ini, saya hanya akan

menganalisis beberapa hadis yang diambil secara acak (random).

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Ahmad Najih menerapkan pungtuasi dalam terjemahan kitab

Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi?

2. Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan struktur tata bahasa bahasa

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan umum yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah ingin membuktikan betapa pentingnya pungtuasi dalam

penerjemahan, agar Tsa tersebut nyaman dibaca dan mudah dipahami. Adapun tujuan

khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah penerapan pungtuasi pada terjemahan kitab Riyâd

al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi sudah tepat.

2. Untuk mengetahui apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan struktur

gramatikal bahasa Indonesia?

3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pada terjemahan buku tersebut.

Page 22: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

8

Semoga dengan adanya penelitian ini kita mendapatkan beberapa manfaat, di

antaranya :

1. Dapat mengetahui macam-macam pungtuasi, berikut fungsi dan contohnya.

2. Dapat mengetahui penerapan pungtuasi yang tepat.

3. Dapat mengaplikasikan penerapan pungtuasi yang sesuai dengan pedoman

EYD.

4. Dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan pada terjemahan buku tersebut.

D. Kajian Pustaka

Setelah melihat dan menelaah dari berbagai karya ilmiah baik melalui

perpustakaan Adab dan Humaniora atau pun Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, penulis menemukan skripsi yang memiliki kesamaan studi

penelitian, yaitu tentang pemenggalan kalimat (Pungtuasi). Skripsi tersebut berjudul

“Teori Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi) dalam Bahasa Indonesia dan Waqaf dalam

al-Quran: Studi Komparatif Terhadap Terjemahan QS. al-Baqarah pada Tafsir al-

Bayân Karya Habsy Assiddiqy” oleh Muhammad Tohadi, mahasiswa Tarjamah,

tahun 2008.

Tohadi membatasi rumusan masalah pada skripsinya dengan membuat

beberapa pertanyaan, yaitu (1) apakah hubungan teori pemenggalan kalimat dalam

bahasa Indonesia dan waqf dalam al-Quran? (2) Bagaimana pengaplikasian kedua

teori tersebut dalam terjemahan al-Quran karya Habsi ash-Shiddiqy? Adapun objek

yang diteliti yaitu QS. al-Baqarah ayat 1-160.

Page 23: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

9

Pada penelitian tersebut Tohadi menggunakan metode penelitian kulitatif

yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan komparatif atau perbandingan,

untuk mengetahui fungsi dua entitas, membandingkan dan menguraikan relasi dalam

pembentukan kalimat. Kemudian berusaha memberikan pemecahan masalah dengan

cara mengumpulkan data, menyusun dan mngklasifikasikannya, menganalisis serta

menginterpretasikannya.

Dalam sebuah karya, tidak lepas dengan adanya kelebihan maupun

kekurangan. Pada skripsi Tohadi, dalam analisisnya peneliti dapat membandingkan

dan membedakan pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan waqf dalam

al-Quran. Sayangnya, penelitian tersebut tidak didukung dengan analisis yang detail

dan tidak diikuti dengan rujukan yang lebih ilmiah.

Sedangkan skripsi ini berjudul “Kitab Riyâd al-Sâlihîn Karya al-Nawawi;

Terjemahan Ahmad Najih S.: Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi)”. Selain

berbeda dari segi objek penelitian dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini

penulis hanya terfokus pada pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia saja

(pungtuasi) dalam hal ini terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn. Dengan tujuan dapat

menganalisis secara lebih detail dan terprinci.

E. Metode Penelitian

a. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Riyâd al-

Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. Di antara

Page 24: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

10

beberapa kitab hadis karangan al-Nawawi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling

populer. Karena kitab ini terdiri dari kumpulan hadis sahih dan hasan yang

mengajarkan tentang bagaimana keseharian seorang mu’min yang sesuai dengan

anjuran Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kitab ini sangat diminati oleh para

pembaca dan menjadi salah satu mata pelajaran di berbagai pondok pesantren.

b. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan dengan menginventarisasi teks-teks hadis

berikut terjemahannya yang terdapat dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-

Nawawi dengan cara membuka kitab tersebut secara sembarang, dari setiap halaman

yang dibuka peneliti mengambil satu teks hadis berikut terjemahannya secara acak

(random). Hal itu dilakukan secara berulang-ulang sampai enam kali, sehingga

terkumpullah enam sampel atau data yang menjadi bahan penelitian.

c. Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan dua macam metode:

1. Menggunakan metode kualitatif dengan melakukan pendekatan penilaian

penerjemahan berdasarkan analisis deskriftif. Dalam pembahasannya, penulis

menganalisis data-data yang telah terkumpul sekaligus menggambarkan teori-

teori pemenggalan kalimat (pungtuasi) sesuai dengan pedoman tata bahasa

baku bahasa Indonesia dan pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

Page 25: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

11

2. Menggunakan metode library research (penelitian / studi kepustakaan), yaitu

dengan mengumpulkan bahan pustaka yang berkaitan dengan kitab Riyâd al-

Sâlihîn, terjemahannya maupun dengan teori-teori pemenggalan kalimat.

Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang disusun oleh tim UIN

Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh Center for Quality Development and

Assurance (CeQDA), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari:

1. Bab I pendahuluan, berisi:

a) Latar belakang masalah,

b) pembatasan dan perumusan masalah,

c) tujuan penelitian,

d) metode penelitian, dan

e) sistematika penulisan.

2. Bab II membahas:

a) Gambaran umum tentang penerjemahan, yang berisi:

1) Definisi penerjemahan,

2) macam-macam penerjemahan,

3) perangkat penerjemahan, dan

Page 26: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

12

4) peranan penerjemahan.

b) Gambaran Umum Pungtuasi Bahasa Indonesia, berisi:

1) Definisi pungtuasi dan

2) macam-macam pungtuasi

3. Bab III membahas:

a) biografi pengarang dan

b) gambaran umum kitab Riyâd al-Sâlihîn.

4. Bab IV berupa analisis terhadap terjemahan Ahmad Najih S. pada buku

Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi Abû ZakaRiyâ Yahya.

5. Bab V berupa penutup yang membahas:

a) Kesimpulan dan

b) saran.

Page 27: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

13

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Gambaran Umum Penerjemahan

Penerjemahan merupakan salah satu sumber berkembangnya kebudayaan dan

ilmu pengetahuan. Catatan sejarah menegaskan bahwa peradaban Islam pertama-tama

berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama Yunani, Persia, India, dan

Mesir dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada masa

kepemerintahan khalifah Abû Ja’far al-Mansûr (137-159 H/754-775 M), seorang

khalifah dari dinasti Abbasiah. Upayanya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan

pada masa khalifah al-Ma’mûn sehingga mengantarkan umat Islam ke masa

keemasan.8

Al-Ma’mûn menfokuskan revolusi besar-besaran yang menakjubkan terkait

kitab-kitab peninggalan zaman dahulu. Sehingga, terbentuklah badan penerjemah dan

pensyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno itu tidak sampai

punah dan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ia menentukan penanggung

jawab dalam urusan ini pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang

menerjemahkan naskah-naskah kunonya, memberikan gaji kepada mereka dengan

gaji yang besar. Setiap bulan mereka digaji sebesar 500 dinar, atau setara 2 kilogram

emas.9

8 A.M. Majid, Sejarah Kebudayaan Islam (Bandung : Pustaka, 1997), h. 31 9 Raghib al-sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2011), h. 242.

Page 28: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

14

1. Definisi Penerjemahan

Kata penerjemahan merupakan kata turunan dari terjemah, yang berasal dari

bahasa Arab, yakni “tarjama”, yang berarti sebuah kegiatan pengalihan dari satu

bahasa ke bahasa lain. Maka, penerjemahan merupakan kegiatan secara tertulis

mengalihkan pesan dari teks suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, teks yang

diterjemahkan disebut teks sumber (Tsu) dan bahasanya disebut bahasa sumber

(Bsu), sedangkan teks yang disusun penerjemah disebut teks sasaran (Tsa) dan

bahasanya disebut bahasa sasaran (Bsa).10

Telah banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjrmahan. Dari

berbagai definisi yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa penerjemahan

adalah “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu

(Bsu) ke dalam bahasa yang lain /bahasa sasaran (Bsa) secara sepadan dan wajar

dalam pengungkapannya sehingga tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan kesan

asing dalam menangkap pesan tersebut.”11 Dalam pengertian dan cakupan yang lebih

sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat

dalam teks bahasa pertama atau BSu dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau

Bsa. 12

10 Beny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006),

h. 23 11 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer,

(Ciputat : Uin Press, 2014), cet. I, h. 17 12 Suhendra Yususf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8

Page 29: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

15

2. Proses Penerjemahan

Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, betapapun

baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai

pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-

detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam

bahasa lain. Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan

dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan

menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian

kegiatan-unsur sebagai integralnya.13

Proses yang dilalui penerjemah sangat variatif. Hal ini tergantung pada

kualifikasi penerjemah. Langkah yang ditempuh oleh penerjemah yang sudah ahli

lebih singkat dan bersifat otomatis. Proses itu pun tergantung pada jenis nas yang

diterjemahkan, kerumitan nas, dan kedekatan hubungan antara bahasa sumber dan

bahasa penerima. Namun, secara global proses penerjemahan itu terdiri atas dua

tahap, yaitu (a) memahami makna yang terkandung dalam nas sumber dan (b)

mengungkapkan makna tersebut ke dalam nas penerima.14

Dalam resensi Willie Koen, disebutkan bahwa menurut Nida dan Traber

“proses menerjemahkan dapat diringkas sebagai berikut: analysis-transfer-

restructuring. Analisis digunakan untuk mengetahui pesan yang ingin diterjemahkan,

dan memuat analisis gramatikal dan analisis semantik (baik arti referensial maupun

13 Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, h. 14. 14 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung : Humaniora,

2005), cet. I, h. 168

Page 30: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

16

arti konotatif). Transfer mempersoalkan “bagaimana hasil analisis tersebut di atas

ditransfer dari bahasa sumber berbahasa terjemahan dengan sedikit pemincangan arti

dan konotasi tetapi dengan kesamaan reaksi seperti pada orang aslinya. Maka di sini

perlu diperingatkan adanya sikap hati-hati jangan-jangan soal-soal pribadi dimasukan.

Dibicarakan pula kerja sama antara penerjemah sendiri, antara mereka dan orang

asing pada tingkat transfer.” Restructuring membicarakan “macam-macam bahasa

atau gaya bahasa, teknik yang dapat dipakai untuk membuat gaya yang diinginkan”.15

Sedangkan menurut Moch. Syarif Hidayatullah, proses penerjemahan

setidaknya melalui sebelas proses, mulai dari struktur luar Bsu hingga menjadi

struktur luar Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) struktur luar Bsu berarti masih

berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apapun; (2) pemahaman leksikal

Tsu mengharuskan pernerjemah memiliki kepekaan leksikal, sehingga dia bisa

memahami makna kosa kata yang terlihat pada Tsu: (3) pemahaman morfologis Tsu

mengharuskan penerjemah memahami bentuk morfologis kosa kata Tsu, sehingga dia

mengerti perubahan bentuk kosa kata pada Tsu yang berimbas pada perubahan

makna; (4) pemahaman sintaksis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pola

kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa; (5)

pemahaman semantis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemaknaan yang

berlaku pada Tsu; (6) pemahaman pragmatis Tsu mengharuskan penerjemah

memahami pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu; (7)

pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi transformasi pada diri penerjemah untuk

15 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, h. 14.

Page 31: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

17

kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu kedalam pemadanan Tsa; (8) pemadanan

leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang tepat untuk tiap kata

yang ditemuinya pada Tsu; (9) pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah

memiliki pengetahuan soal pada padanan yang tepat pada suatu kata setelah

mengalami perubahan bentuk; (10) Pemadanan sintaksis Tsa mengharuskan

penerjemah memiliki kepekaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga

dapat memilih padanan yang akurat pada tiap kalimat yang ada di hadapannya; (11)

pemadanan semantis Tsa berhubungan dengan pemadanan sintaksis Tsa; (12)

pemadanan pragmatis Tsa merupakan hasil dari pemahaman kontekstual Tsu,

sehingga penerjemah dapat menerjemahkan dengan tepat kalimat dalam konteks

tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama; (13)

ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa

melahirkan struktur luar Tsa yang layak dikonsumsi.16

3. Metode Penerjemahan

Metode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan oleh

penerjemah dalam menyampaikan makna Bsu secara keseluruhan ke dalam Bsa. Jika

sebuah nas, misalnya al-Quran, diterjemahkan dengan metode harfiah, maka makna

yang terkandung dalam surah pertama hingga terakhir disampaikan secara harfiah.

Namun, pada kenyataannya sebuah metode tidak dapat digunakan secara

konsisten dari awal hingga akhir. Demikan halnya dengan sebuah metode

16 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,

(Pamulang : Dikara, 2009), h. 13.

Page 32: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

18

penerjemahan, keragaman yang dihadapi seorang penerjemah menuntutnya untuk

menyelesaikan dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu, metode penerjemahan

biasanya digunakan hanya sebagai pendekatan umum atau perinsip pokok dalam

menerjemahkan sebuah teks sumber (Tsu).

Dalam literatur Barat, metode penerjemahan dikaji dan diklasifikasikan secara

lebih rinci. Newmark (1988:45-47) misalnya, memandang bahwa metode

penerjemahan dapat ditilik dari segi penekanannya terhadap Bsu dan Bsa.

penekanannya terhadap Bsu melahirkan metode penerjemahan sebagai berikut.17

a. Penerjemahan Kata Demi Kata

Melalui metode ini penerjemahan dilakukan antarbaris. Terjemahan untuk tiap

kata berada di bawah setiap bahasa sumber. Urutan kata bahasa sumber dijaga dan

dipertahankan. Kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum

tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini digunakan untuk

memahami cara operasi Bsu dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap

awal kegiatan penerjemahan.

b. Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan dilakukan dengan mengkonversi konstruksi gramatika Bsu ke

dalam konstruksi Bsa yang paling dekat. Namun, kata-kata tetap diterjemahkan satu

demi satu tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini pun

17 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 71.

Page 33: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

19

digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan

kerumitan srtuktur Tsu.

c. Penerjemahan Setia

Metode ini berupaya untuk memproduksi makna kontekstual bahasa sumber

kedalam struktur bahasa penerima secara tepat. Karena itu, kosa kata kebudayaan

ditransfer dan urutan gramatikalnya dipertahankan di dalam terjemahan. Metode ini

berupaya untuk setia sepenuhnya pada tujuan penulis.

d. Penerjemahan Semantis

Dalam metode penerjemahan semantis, nilai estetika nas Bsu

dipertimbangkan, makna diselaraskan guna meraih asonansi, dan dilakukan pula

permainan kata serta pengulangan. Metode ini bersifat fleksibel dan memberi

keluasan kepada penerjemah untuk berkreatifitas dan untuk menggunakan intuisinya.

Adapun penerjemahan yang menekankan Bsa melahirkan jenis-jenis metode sebagai

berikut.18

e. Penerjemahan Adaptasi

Adaptasi merupakan cara penerjemahan nas yang paling bebas dibandingkan

dengan cara penerjemahan lainnya. Metode ini banyak digunakan dalam

menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap mempertahankan tema,

karakter, dan alur cerita. Penerjemah pun mengubah kultur Bsu ke dalam Bsa.

18 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 72.

Page 34: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

20

f. Penerjemahan Bebas

Penerjemah memproduksi masalah yang dikemukakan dalam Bsu, tanpa

menggunakan cara tertentu. Isi Bsu ditampilkan dalam bentuk Bsa yang benar-benar

berbeda. Metode ini bersifat parafrastik, yaitu menggunakan amanat yang terkandung

dalam Bsu dengan ungkapan penerjemah sendiri di dalam Bsa sehingga terjemahan

menjadi lebih panjang dari pada aslinya.

g. Penerjemahan Idiomatis

Penerjemahan dilakukan dengan memproduksi pesan Bsu, tetapi cendrung

mengubah nuansa makna penerjemah menyajikan kolokasi dan idiom-idiom yang

tidak terdapat dalam Tsu.

h. Penerjemahan Komunikatif

Penerjemahan komunikatif dilakukan dengan mengungkapkan makna

kontekstual Tsu ke dalam Tsa dengan suatu cara sehingga isi dan maknanya mudah

diterima dan dipahami oleh pembaca.

4. Teori Penerjemahan Hadis19

Penerjemahan hadis adalah mengalihkan pesan dari Tsu yang berisi segala

informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan,

tindakan, karakter, dan ketetapan. Hadis terdiri dari sanad (nama-nama rawi yang

19 Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, h. 55.

Page 35: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

21

meriwayatkan hadis) dan matan (redaksi informasi tentang Nabi). Seorang

penerjemah hadis harus mengetahui model periwayatan hadis, seperti berikut:

a. Periwayatan yang mencantumkan sanad dan matan secara lengkap.

b. Periwayatan yang mencantumkan hanya rawi sahabat dan matan

seperlunya.

c. Periwayatan yang hanya mencantumkan matan saja dan nama

kompilatornya di akhir hadis.

d. Periwayatan yang mencantumkan hanya matan.

e. Periwayatan yang mencantumkan hanya matan, tetapi diberikan catatan

kaki terkait informasi hadis itu terdapat pada kitab apa.

Setelah mengetahui kelima model tersebut, ia baru dapat menentukan strategi

penerjemahan apa yang bisa digunakan. untuk model periwayatan hadis jenis

pertama, ia bisa memanfaatkan strategi berikut:

a. Sanad diterjemahkan secara lengkap.

b. Redaksi yang dipergunakan untuk meriwayatkan, seperti أنبأنا, سمعت,

diterjemahkan dengan diriwayatkan (apabila di rawi pertama) atau أخبرنا

diterjemahkan dengan dari (bila selain di rawi pertama).

c. Matan juga diterjemahkan secara lengkap.

d. Nama kompilator (seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i) harus

dicantumkan di akhir matan.

Page 36: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

22

e. Kata yang sulit harus dicarikan padanannya dengan melihat syarah hadis

dan kamus khusus kosakata hadis.

Untuk model periwayatan hadis kedua, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai

berikut:

a. Nama sahabat dicantumkan sebelum matan.

b. Sekiranya diketahui nama kompilatornya, akan baik juga kalau

dicantumkan.

c. Matan diterjemahkan sesuai konteks.

Untuk model periwayatan hadis ketiga, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai

berikut:

a. Nama Kompilator harus dicantumkan di akhir matan dengan teknik yang

lazim digunakan, seperti (HR al-Bukhari)

b. Matan diterjemahkan sesuai konteks.

Untuk model periwayatan hadis keempat, ia bisa memanfaatkan strategi

sebagai berikut:

a. Matan diterjemahkan sesuai konteks.

b. Jika diketahui rawi sahabatnya, akan baik bila dicantumkan.

c. Jika diketahui nama kompilatornya, akan baik jika dicantumkan.

Page 37: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

23

Untuk model periwayatan hadis kelima, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai

berikut:

a. Matan diterjemahkan sesuai konteks.

b. Informasi terkait hadis yang terdapat di catatan kaki, tetap dicantumkan di

catatan kaki, kecuali nama kompilator hadis yang dicantumkan di teks

atas.

Selain strategi di atas ada teknik umum yang harus pula diketahui oleh

seorang yang hendak menerjemahkan hadis, seperti berikut:

a. Penerjemahan matan sebaiknya tidak ditulis miring. meski demikian, ada

pula penerbit yang menulis miring untuk hadis qauli.

b. Penulisan r.a. (radiyallâh ‘anh) dicantumkan di belakang nama sahabat,

meskipun di Tsu tidak ada.

c. Penerjemahan nama kompilator dituliskan sesuai dengan kelaziman yang

dipakai, seperti (HR al-Bukhari).

B. Gambaran Umum Pungtuasi

Bahasa dalam pengertian sehari-hari adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa

tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan itu dalam bentuk symbol-

simbol tertulis. Dalam percakapan-percakapan secara lisan jelas terdengar bahwa

kata-kata seolah-olah dirangkaikan satu sama lain, serta di sana sini terdengar

Page 38: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

24

perhentian sebentar atau agak lama dengan suara menaik atau menurun selai itu

masih terdapat ekspresi-ekspresi muka, berupa menggerak-gerakan alis mata,

menggeleng-geleng atau mengangguk-anggukkan kepala, mengangkat bahu,

mengacungkan tangan, dan sebagainya.

Kata “ya” saja dapat diucapkan sedemikian rupa, untuk menyatakan

persetujuan yang bersemangat, atau bernada kemalu-maluan, kebimbangan atau

sebagai suatu penolakan yang kasar. Banyak sekali warna arti yang dapat diberikan

kepada suatu ucapan dengan perbedaan variasi kecepatan, keras-lembut, dan intonasi

yang berlainan. Semua itu begitu biasa dalam percakapan sehari-hari, sehingga tidak

muncul persoalan bagi pendengar. Setiap orang yang diajak bicara langsung

memahami apa fungsi dari suara naik atau menurun, apa makna dari suara keras atau

lembut.

Tetapi semua ini baru menjadi persoalan bila bahasa lisan itu ditranskripsikan

dalam tulisan. Bagaimana seorang dapat menyatakan nada yang naik atau turun,

bagaimana ia harus melukiskan ujaran-ujaran yang keras, lembut, dan sebagainya?

Oleh karena itu unsur-unsur suprasegmental menjadi penting dalam mengatasi

persoalan-persoalan tersebut. Biasanya unsur-unsur tersebut ditulis melalui tanda-

tanda baca atau pungtuasi.

1. Definisi Pungtuasi

Kata pungtuasi berasal dari kata “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi

mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk

Page 39: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

25

memperjelas arti atau tanda perubahan dalam intonasi. Pungtuasi yang lazim

digunakan dewasa ini menurut Gorsys keraf didasarkan atas nada dan lagu

(suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal, frase, dan inter-

relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis).20

2. Macam-macam Pungtuasi

Berdasarkan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia

pungtuasi atau pemakaian tanda baca terbagi menjadi 15 bagian:21

a. Titik (.)

Tanda ini lazimnya dipakai untuk :

1) Menyatakan akhir dari sebuah tutur atau kalimat.

Misalnya:

Adik pergi ke sekolah.

2) Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat dan

singkatan kata atau ungkapan yang sudah lazim. Pada singkatan yang

terdiri dari tiga huruf atau lebih biasanya hanya dipakai satu tanda

titik.

Misalnya:

20 Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Nusa Indah,

1994), h. 15 21 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 36

Page 40: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

26

Dr. (Dokter) a.n. (atas nama)

Ir. (Insinyur) d.a. (dengan alamat)

Kol. (Kolonel) dkk. (dan kawan-kawan)

M.A. (Magister of Arts) Yth. (yang terhormat)

Semua singkatan kata yang menggunakan inisial atau akronim tidak

menggunakan tanda titik, seperti MPR, DPR, ABRI, Hankam, dsb.

3) Tanda titik dipergunakan titik untutk memisahkan angka ribuan,

jutaan, dan seterusnya yang menyatakan jumlah ; juga dipakai untuk

memisahkan angka jam, menit dan detik.

Misalnya:

1.000 pukul 5.45.42

123.000

1.000.000

b. Koma (,)

Koma atau perhentian antara yang menunjukkan suara menaik di tengah-

tengah tutur, biasanya dilambangkan dengan tanda (,). Selain itu, koma juga dipakai

untuk :

Page 41: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

27

1) Memisahkan bagian-bagian kalimat, antara kalimat setara yang

menyatakan pertentangan, antara anak kaliamat dengan induk kalimat,

dan antara anak kalimat dengan anak kalimat.

Misalnya:

Ia sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi maksudnya tidak

tercapai.

2) Koma dipergunakan untuk menandakan suatu bentuk parentetis

(keterangan-keterangan tambahan yang biasanya ditempatkan juga

dalam kurung) dan unsur-unsur yang tak restriktif22.

Misalnya:

Anak-anak, yang sudah melaksanakan shalat tarawih itu,

pulang ke rumahnya masing-masing.

3) Tanda koma dipergunakan untuk memisahkan anak kalimat dari induk

kalimat apabila anak kalimat mendahului induk kalimatnya, atau untuk

memisahkan induk kalimat dengan sebuah bagian pengantar yang

terletak sebelum induk kalimat.

Misalnya:

Karena marah, ia meninggalkan kami.

4) Koma dipergunakan untuk menceraikan beberapa kata yang disebut

berturut-turut.

Misalnya:

22 Restriktif yaitu bersifaf restriksi; bersifat membatasi; terbatas. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 1170

Page 42: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

28

Ia membeli tiga buah apel, sepuluh jeruk dan setengah kilo

anggur sebagai oleh-oleh untuk anaknya.

5) Tanda koma dipergunakan di belakang kata atau ungkapan transisi

yang terdapat pada awal kalimat, misalnya: jadi, oleh karea itu, lagi

pula, meskipun begitu, akan tetapi, di samping itu.

Misalnya:

Biarpun demikian, pelajar-pelajar yang berkualitas baik tidak

sepenuhnya tertampung dalam universitas-universitas.

6) Koma selalu dipergunakan untuk menghindari salah baca atau keragu-

raguan.

Misalnya:

Di luar rumah kelihatan suram (kurang jelas)

Di luar, rumah kelihatan suram (jelas)

Di luar rumah, kelihatan suram (jelas)

7) Koma dipakai untuk menandakan seseorang yang diajak bicara.

Misalnya:

Saya mendoakanmu, yanto, agar diterima di universitas ini.

8) Koma dipakai untuk memisahkan aposisi dari kata yang

diterangkannya.

Misalnya:

Orang tuanya, Pak Yakub, telah meninggal tadi malam.

9) Koma dipakai untuk memisahkan kata-kata efektif seperti, o, ya, wah,

aduh, kasihan dari bagian kalimat lainnya.

Page 43: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

29

Misalnya:

Aduh, betapa sedih nasibnya.

10) Tanda koma dipakai juga untuk memisahkan sebuah ucapan langsung

dari bagian kalimat sebelumnya.

Misalnya:

Kata ibu, “Saya harus bersungguh-sungguh dalam belajar.”

11) Koma dipergunakan untuk beberapa maksud berikut:

a) Memisahkan nama dan alamat, bagian-bagian alamat, tempat

dan tanggal.

Misalnya:

Bila anda ingin bertemu dengan saya, datang ke

Universitas UIN Syarif Hidayatullah, jln. Ir. H. Juanda,

Ciputat, Tangerang Selatan.

b) Menceraikan bagian nama yang dibalikkan.

Misalnya:

Maulana, Aa

c) Memisahkan nama keluarga dari gelar akademik.

Misalnya:

A.K. Pardede, S.S., M.A.

d) Untuk menyatakan angka desimal.

Misalnya:

Tanah ini panjangnya 25,56 m.

Page 44: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

30

c. Titik-Koma (;)

Fungsi titik–koma sebenarnya terletak antara titik dan koma. Di satu pihak

orang ingin melanjutkan kalimatnya dengan bagian-bagian kalimat berikutnya, tetapi

di pihak lain dirasakan bahwa bagian kalimat tadi sudah dapat diakhiri dengan sebuah

titik.

Titik-koma dipakai dalam hal-hal berikut:

1) Untuk memisahkan dua bagian kalimat yang sederajat, di mana tidak

dipergunakan kata-kata sambung.

Misalnya:

Ia seorang sarjana yang sangat cerdas; seorang atlit yang

potensial; seorang aktor yang baik.

2) Titik-koma dipergunakan juga untuk memisahkan anak-anak kalimat

yang sederajat.

Misalnya:

Ia mengatakan bahwa ia kecapaian; ia membenci pekerjaan itu:

sebab itu ia ingin segera meninggalkan pekerjaannya.

3) Memisahkan ayat-ayat atau perincian-perincian yag bergantung pada

suatu pasal atau pada suatu induk kalimat.

Misalnya:

Menurut penyelidikan lembaga tersebut, kekurangan yang

menyolok di kalangan mahasiswa, antara lain:

Page 45: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

31

1. Pengetahuan umum mereka kebanyakan berada di bawah

taraf;

2. tidak cukup menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris;

3. cara belajar mereka kurang efisien.

Pendeknya, sebagai pedoman dapat diingat bahwa titik-koma merupakan

sebuah perhentian yang lebih lama dari koma. Dengan mempergunakan sebuah titik-

koma, penulis dapat terhindar dari tiga kemungkinan kesalahan:

1) Berhenti secara tiba-tiba pada suatu rangkaian kalimat-kalimat pendek

yang terpisah, yang diakhiri dengan titik biasa;

2) menghilangkan kejemuan (monotoni) dari suatu kalimat yang panjang,

terdiri dari bagian-bagian kalimat atau anan-anak kalimat yang

dirangkaikan begitu saja dengan kata dan atau dengan kata sambung

yang lain;

3) menghindari kekAbû ran dari sebuah kalimat yang berbelit-belit yang

dipisahkan oleh sebuah koma saja.

d. Titik dua

Titik dua biasanya dilambangkan dengan (:). Titik dua dipergunakan dalam

hal-hal berikut:

1) Tandan titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang

diikuti rangkaian atau pemerian.

Misalnya:

Page 46: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

32

Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja,

dan lemari.

2) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan

pemerian.

Misalnya:

Ketua : Ahmad

Sekretaris : Citra

3) Tanda titik dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang

menunjukan pelaku dalam percakapan.

Misalnya:

Amir : “Amir pamit dulu yaa, Bu.”

Ibu : “Iya. Hati-hati, Nak.”

Amir : “Iya, Bu.”

4) Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b)

bab dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan,

serta (d) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.

Misalnya:

a) Horison, XLIII, No. 8/2008: 8

b) Surah Yasin: 9

c) Tarjim Al-an: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia

Page 47: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

33

d) Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta:

Pusat Bahasa

e. Tanda Hubung

Tanda hubung di lambangkn dengan tanda (-). Adapun fungsinya yaitu untuk

hal-hal berikut:

1) Untuk menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh pergantian

baris.

Misalnya:

Sebagaimana kata pribahasa, tak ada gad-

ing yang tak retak.

2) Untuk menyambung awalan dengan bagian kata yang mengikutinya

atau akhiran dengan bagian kata yang mendahuluinya pada pergantian

baris.

Misalnya:

Kini ada cara yang baru untuk mengukur pa-

nas.

3) Untuk menyambung unsur-unsur kata ulang.

Misalnya:

Anak-anak

Berulang-ulang

4) Untuk menyambung bagian-bagian tanggal dan huruf dalam kata yang

dieja satu-satu.

Page 48: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

34

Misalnya:

25-11-2015

C-i-n-t-a

5) Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas (a) hubungan bagian-

bagian kata atau ungkapan dan (b) penghilangan bagian klausa atau

kelompok kata.

Misalnya:

Ber-evolusi

Tanggung jawab-dan-kesetiakawanan sosial

6) Tanda hubung dipakai untuk merangkai:

a) se- dengan kata berikutnya yang diawali huruf kapital: se-

Indonesia.

b) ke-dengan angka: ke-2.

c) angka dengan –an: tahun 90-an.

d) kata atau imbuhan dengan singkatan berhuruf kapital: hari-H

e) kata ganti yang berbentuk imbuhan:ciptaan-Nya

f) gAbû ngan kata yang merupakan kesatuan: alat pandang-

dengar.

7) Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia

dengan unsur bahasa asing.

Misalnya:

Page 49: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

35

di-smash

di-copy

f. Tanda Pisah (--)

1) Tanda pisah dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat

yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.

Misalnya:

Keberhasilan itu–saya yakin—dapat dicapai kalau kita mau

bekerja keras.

2) Tanda pisah dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau

keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.

Misalnya:

Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah

Pemuda—harus terus ditingkatkan.

3) Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat

dengan arti ‘sampai dengan’ atau ‘sampai ke’.

Misalnya:

Tahun 1990—1995

Jakarta—Bogor

Catatan:

Page 50: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

36

Tanda pisah tunggal dapat juga digunakan untuk memisahkan keterangan

tambahan pada akhir kalimat.

Misalnya:

Kita memerlukan alat tulis—pena, pensil,dan kertas.

g. Tanda Tanya

1) Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.

Misalnya:

Kapan kamu berangkat?

2) Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian

kalimat yang disangsikan kebenarannya.

Misalnya:

Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.

h. Tanda Seru

Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa

seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupau

emosi yang kuat.

Misalnya:

Alangkah indahnya pemandangan ini!

Bersihkan kamarmu sekarang juga!

i. Tanda Elipsis (…)

1) Tanda ellipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.

Misalnya:

Page 51: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

37

Kalau begitu …, marilah kita laksanakan sekarang.

2) Tanda ellipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat

atau naskah ada bagian yang dihilangkan.

Misalnya:

Sebab-sebab kemerosotan … akan diteliti lebih lanjut.

3) Tanda ellipsis pada akhir kalimat tidak diikuti dengan spasi.

Misalnya:

Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan cermat…

j. Tanda Petik (“ ”)

1) Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari

pembicaraan, naskah, atau lahan tertulis lain.

Misalnya:

Pasal 36 UUD 1945 menyatakan, “Bahasa negara adalah

bahasa Indonesia.”

2) Tanda petik dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab

buku yang dipakai dalam kalimat.

Misalnya:

Sajak “Pahlawanku” terdapat pada halaman 5 buku itu.

3) Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal

atau kata yang mempunyai arti khusus.

Misalnya:

Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara “coba dan ralat”

saja.

Page 52: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

38

Catatan :

a) Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan

langsung.

Misalnya:

Kata Tono, “Saya juga minta satu.”

b) Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di

belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai

dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.

Misalnya:

Bang Komar sering disebut “pahlawan”; Ia sendiri tidak tahu

sebabnya.

c) Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda

petik itu ditulis sangat tinggi di sebelah atas baris.

d) Tanda petik dapat digunakan sebagai pengganti idem dan sda (sama

dengan di atas) atau kelompok kata di atasnya dalam penyajian yang

berbentuk daftar.

Misalnya:

Zaman bukan jaman

Asas “ Azas

Jadwal “ Jadual

k. Tanda Petik Tunggal (‘ ’)

Page 53: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

39

1) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat di

dalam petikan lain.

Misalnya:

Tanya dia, “Kau dengar bunyi ‘kring-kring’ tadi?”

2) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna kata atau ungkapan.

Misalnya:

Terpandai ‘paling’ pandai

3) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, kata atau ungkapan

bahasa daerah atau bahasa asing.

Misalnya:

Feed-back ‘balikan’

l. Tanda Kurung (())

1) Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau

penjelasan.

Misalnya:

Anak itu tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk).

2) Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang

bukan bagian utama kalimat.

Misalnya:

Sajak Tranggono yang berjudul “Ubud” (nama tempat

yangterkenal di Bali) ditulis pada tahun 1962.

Page 54: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

40

3) Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang

kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.

Misalnya:

Kata Cocaine diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi

kokain(a).

4) Tanda kurung dipakai untuk mengapit angka atau huruf yang

memerinci urutan keterangan.

Misalnya:

Faktor produksi menyangkut masalah (a) bahan baku, (b)

biaya produksi, dan (c) tenaga kerja.

m. Tanda Kurung Siku ([])

1) Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok

kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat

yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau

kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.

Misanya:

Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemercik.

2) Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit keterangan kalimat penjelas

yang sudah bertanda kurung.

Misalnya:

Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di

dalam bab 2 [lihat halaman 35-38]) perlu dibentangkan di

sini.

Page 55: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

41

n. Tanda Garis Miring (/)

1) Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat, nomor pada alamat,

dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim

atau tahun ajaran.

Misalnya:

No. 7/Pk/2008

2) Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata, atau, tiap, dan

ataupun.

Misalnya:

Dikirim lewat darat/laut ‘Dikirm lewat darat atau lewat

laut’

Catatan:

Tanda garis miring ganda (//) dapat digunakan untuk membatasi penggalan-

penggalan dalam kalimat untuk memudahkan pembacaan naskah.

o. Tanda Penyingkat atau apostrof (‘)

Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka

tahun.

Misalnya:

Dia ‘kan sudah ku surati. (‘kan = bukan)

Page 56: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

42

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG DAN

GAMBARAN UMUM KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN

A. Biografi Pengarang

Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû ZakaRiyâ Yahya bin Syaraf bin

Muriy bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jam’ah al-Nawawi.23 Dia

dilahirkan oleh kedua orang tua yang saleh pada bulan Muharam di desa Nawa,

sebuah dusun di daerah Haruan, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan.

Oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan al-Nawawi.

Diriwayatkan bahwa al-Nawawi yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya

selalu menyendiri. Tidak seperti teman-temannya yang suka menghabiskan waktu

untuk bermain. Dalam kondisi yang demikian al-Nawawi yang dari kecilnya

mendapat perhatian besar dari orang tuanya, banyak menggunakan waktunya untuk

membaca dan mempelajari al-Qur’an.24

Pada suatu hari ada seorang syeikh yang melewati desa itu, yakni syaikh

Yasin bin al-Maraakisyi. Syeikh Yusuf melihat al-Nawawi kecil yang sedang dipaksa

bermain oleh teman-temannya, lalu ia menangis dan pulang. Kemudian syeikh

tersebut menemui kedua orang tuanya dan menyuruhnya untuk menjaga dan

mendidiknya dengan baik. Karena syeikh ini yakin bahwa anak ini akan menjadi

orang yang paling pintar dan zuhud pada masanya, dan bisa memberikan manfaat

23 Al-Imâm al-Nawawi, Riyâd al-Sâlihîn, (Beirut: Manahil al-Irfan, 1395), h. 5.

24 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 1315

Page 57: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

43

besar kepada umat Islam. Sejak saat itu perhatian orang tua dan guru-guru al-Nawawi

pun menjadi semakin besar.

Semakin bertambahnya usia, bertambah pula keilmuan dan keshalehan al-

Nawawi. Dia terus berusaha agar dapat melakukan yang terbaik untuk menghasilkan

dan mengembangkan ilmu, mengerjakan amal-amal yang shaleh, menyucikan jiwa

dari kotoran hawa, akhlak tercela dan keinginan-keinginan yang tercela. Dia juga

berusaha menguasai hadis beserta apa saja yang berkaitan dengannya, hafal mazhab

dan mempunyai wawasan luas dalam islamologi.25

Al-Imâm al-Nawawi adalah seorang yang zuhud, bertakwa dan berwibawa.

Dia menghabiskan waktunya dalam ketaatan. Jarang tidur malam untuk ibadah dan

menulis. Dia juga selalu menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, dan memberikan

manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya.26 Bahkan ia sering menegakkan

‘amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa. Karena itu beliau

digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Tetapi ia membenci gelar ini karena

sikap tawadu’nya. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Aku tidak

akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”

1. Latar Belakang Pendidikannya

Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama

terkemuka di tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa,

ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di dusun tempat kelahirannya itu.

25 Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2005), Cet. ke-1, h.

761. 26 Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 757.

Page 58: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

44

Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya, al-Nawawi berangkat ke Damaskus. Saat

itu di sana lah tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan merupakan tempat

destinasi yang baik untuk orang-orang yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman.27

Begitu sampai di Damaskus, al-Nawawi langsung berhubungan dengan

seorang alim terkenal, yaitu Syekh Abdul Kafi bin Abdul Malik al-Rabi. Melalui

syeikh tersebut al-Imâm al-Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian, dia

dikirim oleh gurunya itu ke sebuah lembaga pendidikan yang terkenal, yaitu

Madrasah al-Rawahiyyah.28

Di sana beliau belajar di madrasah Dârul Hadis, ia menghabiskan hari-harinya

dengan menuntut ilmu dan beribadah kepada Allah swt. Dikatakan bahwa beliau

menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Dengan ketekunannya beliau mampu

menguasai berbagai bidang ilmu dan menghafal berbagai matan dan syarah. Hal itu

lah yang menjadikan beliau lebih menonjol dari teman-teman seangkatannya. Dan

membuat gurunya, Abi Ibrahim Ishaq bin Ahamd al-Maghribi tertarik untuk

menjadikan al-Nawawi sebagai asisten dalam pelajarannya.

Banyak ilmu keislaman yang dikuasai oleh al-Imâm al-Nawawi. Dalam

bidang fiqih dia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i. Oleh sebab

itu, al-Imâm al-Nawawi dikenal sebagai seorang pembela Mazhab Syafi’i.29

Di antara guru-gurunya dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah Abdul Fatah

Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi, Syekh Abû Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin

27 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 735-736. 28 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736. 29 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736.

Page 59: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

45

Usman al-Maghribi, Syamsuddin Abd al-Rahman bin Nuh al-Maqdasy, Syekh Abû

Hasan Sallar bin al-Hasan al-Dimasyqi.30

Adapun guru-gurunya dalam bidang ilmu hadis adalah Ibrahim bin Isa al-

Muradi al-Andalusi al-Mashri al-Dimasyqi, Abû Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsh Umar

bin Mudhar al-Wasithi, Zainuddin Abû al-Baqa’ Khâlid bin Yusûf bin Sa’ad al-Rida

bin al-Burhân dan ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Ansari.

Kemudian guru-gurunya dalam bidang Nahwu dan Lughah adalah Malik dan al-Fakhr

al-Maliki.31

Pada tahun 651 ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, dan menetap di

Madinah selama satu setengan bulan lalu kembali ke Damaskus. Pada tahun 665 H ia

mengajar di madrasah Dâr al-Hadîts al-Asyrafiyyah. Di antara murid-muridnya

adalah: Ibnu al-‘Aththar al-Syafi’iy, Abû al-Hajjaj al-Mizziy, Ibn al-Naqib asy-

Syafi’iy, Abû al-Abbas al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abd al-Hâdi, al-Khatib Sadar Sulaiman

al-Ja’fari, Syeikh Abû al-din Ahmad bin Ja’wan, Syeikh Abû al-din al-Arbadi dan

Ibnu Abi al-Fath.32

Pada tanggal 24 Rajab 676 H, al-Imâm al-Nawawi wafat pada usia 45 tahun di

desa Nawa. Beliau tidak meninggalkan keturunan karena beliau tidak berkeluarga.33

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat yang luas dan segala ilmunya

bermanfaat. Amin.

30 Ibnu Qadi al-Syuhba al-Dimasyqi, Thabaqât Al-Syafi’iyah, (India: The Da’iratul

Ma’arifil Osmania, 1979), h. 197. 31 Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 773. 32 Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van

Hoeve, 1996), Cet. ke-1, h. 1315. 33 Dewan Redaksi Depag RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama,

1993), h. 846.

Page 60: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

46

2. Karya-karya al-Imâm al-Nawawi

Al-Imâm al-Nawawi, selain dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud, ia

pun dikenal sebagai seorang pengarang yang handal. Sejak usia 25 tahun dia banyak

menulis karya-karya ilmiah, di antaranya:

a. Kitab-kitab hadis dan ilmu hadis;

1) Kitab Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi,

2) kitab Riyâd al-Sâlihîn,

3) kitab al-Arba’in al-Nawawiyah,

4) kitab ‘Ulûm al-Hadîts,

5) kitab al-Irsyâd fî al-‘Ulûm al-Hadîts,

6) kitab Khulasah fî al-Hadîts,

7) dan lain-lain.

b. Kitab-kitab fiqih;

1) Kitab al-Majmu’,

2) kitab Raudat al- âlibîn,

3) kitab Minhâj

4) kitab al-Fatwa, yang kemudian dikenal dengan Masail al-Mansûrah,

5) kitab al-Idah fî al-Manâsik,

6) kitab al-Tahqîq, dan

7) kitab Hasiyah.

c. Kitab yang berisi tentang biografi, yakni kitab Tabaqât al-Fuqaha.

Page 61: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

47

d. Kitab yang berisi tentang bahasa;

1) kitab Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughah, dan

2) kitab Tahrîr al-Faz al-Tanbîh.

e. kitab yang berisi tentang pendidikan dan etika;

1) Kitab Adab Hamalah al-Qurân, dan

2) kitab Bustân al-‘Ârifîn.

B. Gambaran Umum Kitab Riyâd al-Sâlihîn

Ada beberapa kitab karangan al-Imâm al-Nawawi dalam bidang hadis. Akan

tetapi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling populer di antara karya-karyanya. Kitab

ini menjelaskan tentang bagaimana keseharian seorang mu’min yang sesuai dengan

anjuran Nabi Muhammad saw. Kitab ini terdiri dari 2 jilid, yang masing-masing jilid

mencakup banyak bab. Pada jilid yang pertama terdapat 129 bab. Sedangkan pada

jilid kedua terdapat 243 bab. Pada awal bab biasanya dicantumkan ayat-ayat suci al-

Quran yang berkaitan dengan masing-masing bab, yang kemudian diikuti oleh hadis-

hadis Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa setiap apa yang dilakukan

oleh Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Pada

kitab ini, dicantumkan pula nama-nama perawi dari masing-masing hadisnya.

Page 62: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

48

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Pendahuluan

Pada bab ini saya akan menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan

selama beberapa bulan terakhir, yakni menganalisis tentang kualitas terjemahan kitab

Riyâd al-Sâlih n yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. khususnya dari segi

ketepatan penerjemah dalam penerapan tanda baca atau pungtuasi. Karena

keterbatasan waktu, penulis tidak meneliti secara keseluruhan, di sini saya hanya

mengambil beberapa hadis yang akan dijadikan sebagai sampel untuk dianlisis.

B. Analisis

Berikut ini adalah beberapa sampel yang diambil secara acak (random):

1. Data I : Bab Tentang Zuhud dan Dorongan Agar Tidak Rakus Serta

Keutamaan Miskin (Hadis ke-11)

قالَ قَالَ رَسُوْلُ االلهِ صَلَى االله عَلَیْھِ وَعَنْ أَبِي ھُرَیْرَةَ رَضِيَ االلهُ عَنْھُفَھُوَ أُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ ھُوَ فَوْقَكُمْ: وَسَلَم

.وھذا لفظ مسلم. متفق علیھ. أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ االلهِ عَلَیْكُمDari Abû Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : “Pandanglah orang yang berada di bawahmu, dan janganlah kamu memandang orang yang di atasmu karena yang demikian itu lebih tepat agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu semua”. (HR. Muslim).34

34 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h.185

Page 63: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

49

Menurut penulis, terjemahan tersebut masih belum tepat, khususnya dari segi

pemenggalan kalimat (pungtuasi) atau pemakaian tanda baca. Pada terjemahan

tersebut, penerjemah kurang tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau

mengapit kutipan, baik itu kutipan langsung maupun kutipan yang terdapat dalam

kutipan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua kutipan, pertama kutipan langsung yang

bersumber dari Abû Hurairah r.a. dan kedua kutipan yang berasal dari Rasulullah

saw., yang mana kutipan ini terletak dalam kutipan sebelumnya. Harusnya tanda petik

diapitkan pada kutipan pertama, bukan pada kutipan yang terdapat dalam kutipan

sebelumnya. Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD),

salah satu penggunaan tanda petik adalah untuk mengapit kutipan langsung yang

berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.35 Contoh: Ibuku berkata,

“Kamu harus rajin belajar!”

Sedangkan untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan lain,

penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).36 Misal, Abû Bakrah r.a.

berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa pun yang menghina

pemerintah maka Allah akan menghinakan dirinya.’” Sebab selain digunakan untuk

menunjukkan makna, tanda petik tunggal dapat digunakan juga untuk mengapit

petikan yang terdapat dalam petikan lain.

Kemudian penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk

memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya

35 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 48 36 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 49

Page 64: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

50

ucapan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,).

Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk memisahkan petikan langsung dari

bagian lain dalam kalimat.37

Pada akhir kalimat, penerjemah tidak tepat dalam meletakkan tanda petik

penutup (”). Seharusnya tanda tersebut diletakkan setelah tanda titik (.), akan tetapi ia

malah meletakkannya sebelum titik. Dalam EYD dijelaskan bahwa tanda petik

penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.38

Berdasarkan hasil analisis di atas maka Tsu di atas akan lebih baik jika

diterjemahkan seperti berikut.

Abû Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Pandanglah orang yang (statusnya) berada di bawah kalian, jangan memandang

mereka yang berada di atas kalian karena yang demikian itu lebih baik, agar kalian

tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.’” (HR. al-

Bukhari dan Muslim).

Kata “dari” pada terjemahan di atas sengaja dihilangkan, karena partikel " عن"

pada Tsu di atas sebaiknya tidak perlu diterjemahkan. Apabila kalimat وعن أبي... ھریرة قال pada Tsu di atas diterjemahkan dengan Dari Abû Hurairah ra. ia

berkata ... akan terlihat rancu dan tidak sesuai dengan struktur tata bahasa Indonesia.

37 Abd. Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2011),

cet. ke-3, h. 77. 38 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 49.

Page 65: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

51

Sebab, seorang penerjemah dituntut sekreatif mungkin dapat menghasilkan

terjemahan yang yang indah dan mudah dipahami.

Kemudian pada kalimat pandanglah orang yang berada di bawahmu ...

ditambahkan keterangan untuk memperjelas dan menghindari salah paham. Pada

konteks hadis di atas, Nabi menyuruh kita untuk melihat orang yang status sosialnya

berada di bawah kita, bukan menyuruh untuk melihat orang yang posisinya berada di

bawah kita.

2. Data II : Bab Tentang Sabar dan Bersikap Ramah Tamah/Lemah Lembut

(Hadis ke-5)

بِيٌّ فِي المَسْجِدِ فَقَامَ ابَالَ أَعْرَ: وَعَنْ أَبِيْ ھُرَیْرَةَ رَضِيَ االلهُ عَنْھُ قَالَ دَعُوْهُ وَأَرِیْقُوْا : فَقَالَ النَّبِيُّ صلى االله علیھ وسلم , النَّاسُ إِلَیْھِ لِیَقَعُوْا فِیْھِ

فَإِنَّمَا بُعِثْتُم مُیَسِّرِیْنَ وَلَمْ , أَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ, عَلَى بَوْلِھِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ .رواه البخاري. تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِیْنَ

Dari Abû Hurairah ra. ia berkata: “Ada seorang Badui sedang kencing di dalam masjid lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya, maka Nabi saw. lalu bersabda: “biarkanlah dia dan tuangkanlah setimba air pada kencingnya itu. Sesungguhnya aku diutus kepada kamu semua adalah untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit kamu semua”. (HR. Bukhari).39

Pada terjemahan di atas, kasusnya hampir sama, yaitu penerjemah lebih

memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat

sebelumnya, yang mana seharusnya petikan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan

39 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 236.

Page 66: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

52

menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk

memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.40

Kemudian pada kutipan pertama, penerjemah sudah tepat dalam mengapit

kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik (“...”). Namun, pada kutipan kedua

ia tetap menggunakan tanda petik, padahal kutipan tersebut merupakan kutipan yang

terdapat dalam kutipan sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan tersebut diapit

dengan tanda petik tunggal. Sebab, berdasarkan pedoman EYD apabila terdapat

petikan yang berada dalam petikan lain maka harus diapit menggunakan tanda petik

tunggal (‘...’).41

Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak

tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti

tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,42 akan tetapi ia malah meletakkannya

sebelum titik.

Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika

diterjemahkan seperti berikut ini:

Abû Hurairah r.a. bercerita, “Ada seorang Arab Badui kencing di dalam

masjid, lalu para sahabat bangkit ingin memukulnya, namun Nabi saw. melarangnya,

‘Biarkanlah ia dan siramlah bekas air kencing itu dengan seember air. Sesungguhnya

kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.’” (HR. al-Bukhari).

40 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 40. 41 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 49. 42 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.

Page 67: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

53

Kata قال tidak selamanya harus diterjemahkan dengan berkata, penerjemah

harus menyesuaikan dengan konteks dan isi perkataannya. Kata قال dapat

diterjemahkan bertanya bila perkataannya berupa kalimat interogatif; dapat juga

diterjemahkan menyuruh atau melarang bila perkataannya berupa kalimat imperatif;

dan sebagainya. Karena ucapan Abû Hurairah r.a. berisi cerita, maka saya memilih

menerjemahkan kata قال dengan kata bercerita.

Lalu pada kata بُعِثْتُم, menurut saya kata tersebut kurang tepat jika

diterjemahkan dengan aku diutus karena kata بُعِثْتُم merupakan verba perfektif (fi’l

mâdî) yang diikuti sufiks pronomina persona kedua kategori jamak (أنتم) bukan

pronomina persona pertama (أنا). Oleh karena itu, kata بُعِثْتُم akan lebih tepat jika

diterjemahkan dengan kalian diutus. Dalam konteks ini, maksud dari kata بُعِثْتُم pada

hadis di atas yaitu, Nabi Muhammad saw. hanya sebagai penyampai wahyu dan

perintah Allah swt. yang harus diteruskan oleh umatnya.

3. Data III : Bab Tentang Marah Ketika Hukum Allah Dilanggar dan

Membela Agama Allah (Hadis Pertama)

جَاءَ : وَعَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو البَدْرِيِّ رَضِيَ االلهُ عَنْھُ قَالَعَنْ صَلَاةِ مَ فَقَالَ إِنِّيْ لَأَتَأَخَّرُى االلهِ عَلَیھِ وَسَلَلَّرَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ االلهِ صَ

ى االلهُ عَلَیْھِ رَأَیْتُ النّبِيَ صَلَّفَمَا , الصُبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا یُطِیْلُ بِنَاالنَّاسُ یَاأَیُّھَا : فَقَالَ, مِمَّا غَضِبَ یَوْمَئِذٍ بَ فِيْ مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّوَسَلَمَ غَضِ

فَأَیُّكُمْ أَمَّ النَاسَ فَلْیُوْجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِھِ الْكَبِیْرَ, یْنَرِإنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّ .متفق علیھ, رَ وَذَا الْحَاجَةِوَالصَّغِیْ

Dari. Abû Mas’ud Ukbah bin Amr Al Badri ra. ia berkata : “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Saya terpaksa mundur dari

Page 68: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

54

shalat jamaah subuh sebab si Fulan memanjangkan bacaan shalatnya bersama kami”. Ukbah berkata : “Saya tidak pernah melihat Nabi saw. marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu, dimana beliau bersabda: “Hai Manusia, masih ada juga diantara kamu semua, orang yang membuat orang jauh, maka barangsiapa di antara kamu menjadi imam maka persingkatlah bacaannya, sebab di belakangnya ada orang yang sudah tua, ada orang yang lemah dan ada juga yang mempunyai keperluan lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).43

Kasus pada terjemahan di atas, ditemukannya tanda baca titik setelah kata

pertama, tetapi saya yakin kalau itu hanyalah kesalahan redaksi saja. Kemudian sama

seperti pada kasus-kasus sebelumnya, yakni penerjemah menggunakan tanda titik dua

untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya

dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca koma. Dalam EYD

dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu untuk memisahkan

petikan dari kalimat sebelumnya.44

Pada terjemahan tersebut, penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan

tanda petik atau mengapit petikan. Pada Tsa di atas terdapat dua petikan, pertama

petikan langsung yang bersumber dari Abû Mas’ûd Uqbah r.a. dan kedua petikan

yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan

sebelumnya. Harusnya tanda petik diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan

untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan, penerjemah dapat

menggunakan tanda petik tunggal. Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi

43 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 240. 44 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 40.

Page 69: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

55

tanda petik adalah untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan,

naskah atau bahan tertulis lain.45

Kemudian pada kalimat ... orang yang membuat orang jauh, Maka ...,

penerjemah lebih memilih tanda koma untuk memisahkan kalimat tersebut dengan

kalimat sesudahnya. Padahal menurut saya kalimat tersebut lebih tepat jika diakhiri

dengan tanda titik karena di dalamnya sudah terpenuhi syarat-syarat sebuah kalimat,

yakni ada subjek, predikat dan objek.

Pada kalimat Maka barangsiapa diantara kamu menjadi imam maka

persingkatlah bacaannya, sebab di belakangnya ada orang ... Penerjemah

memberikan tanda koma untuk memisahkan induk kalimat dari anak kalimat,

meskipun anak kalimat itu mengiringi induk kalimat. Seharusnya, untuk memisahkan

anak kalimat dari induk kalimat, tanda koma dapat dipakai jika anak kalimat

mendahului induk kalimat.46 Contoh: Karena sakit, ia tidak kuliah.

Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak

tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti

tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,47 akan tetapi ia malah meletakkannya

sebelum titik.

Dengan demikian, Tsu di atas menurut saya akan lebih tepat jika

diterjemahkan seperti berikut.

45 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 82. 46 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 77. 47 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 49.

Page 70: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

56

Abû Mas’ûd Ukbah bin Amr al-Badri r.a. bercerita, “Ada seorang laki-laki

datang kepada Nabi saw., lalu berkata, ‘Saya sengaja terlambat datang shalat subuh

berjamaah sebab si Fulan (imam) memanjangkan bacaan shalatnya.’ Saya belum

pernah melihat Nabi saw. marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu,

di mana beliau bersabda, ‘Hai para sahabat, ternyata masih ada di antara kalian

yang suka membuat orang benci. Siapa pun di antara kalian yang menjadi imam,

persingkatlah bacaan shalatnya karena di belakang ada orang yang sudah tua, ada

anak kecil dan ada juga yang mempunyai keperluan lain,’” (HR. Bukhari dan

Muslim).

Menurut saya kalimat ُعَنْ صَلَاةِ الصُبْحِ إِنِّيْ لَأَتَأَخَّر kurang tepat jika

diterjemahkan saya terpaksa mundur dari shalat jamaah subuh karena kata َتَأَخَّر aritnya buka mundur, tapi terlambat; tertinggal; memperlambat; atau tertunda.48 Saya

lebih memilih menerjemahkannya dengan sengaja terlambat karena dianggap lebih

sesuai dengan konteks hadis tersebut.

Kemudian pada kata منفّرین, dalam kamus al-‘Asriy artinya yang menjijikan;

yang memuakkan.49 Namun, jika mengacu pada konteks hadis tersebut, menurut saya

kata منفّرین lebih tepat jika diterjemahkan dengan kata membuat orang benci, karena

sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad terkenal dengan kelemahlembutannya.

Jadi, semarah-marahnya Nabi, ia tidak mungkin mengeluarkan kata-kata kasar, apa

lagi kepada para sahabatnya sendiri.

48 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi

Karya Grafika), cet. ke-9, h. 383. 49 Ali dan Ahmad, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, h. 1844.

Page 71: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

57

4. Bab Tentang Larangan Meminta Jabatan Kecuali Ditunjuk Sendiri atau

Dalam Keadaan Terpaksa (Hadis ke-3)

قَالَ قُلْتُ یَا رَسُوْلَ االلهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِيْ؟ رَضِيَ االلهُ عَنْھُ أَبِيْ ذَرٍّ وَعَنْوَإِنَّھَا أَمَانَةٌ , یَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِیْفٌ: فَضَرَبَ بِیَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَ قَالَ

ى الَّذِي عَلَیْھِ دَّا وَأَمَنْ أَخَذَھَا بِحَقِّھَوَإِنَّھَا یَوْمَ القِیَامَةِ خِزْيٌ وَنِدَامَةٌ إِلَّا . رواه مسلم. فِیْھَا

Dari Abû Dzarr ra. ia berkata: “Saya bertanaya: “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk bahuku sambil bersabda: “Hai Abû Dzarr, engkau adalah seorang yag lemah dan jabatan itu merupakan amanat yang besok di hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali pejabat yang dapat memanfaatkan haknya dan dapat menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya”. (HR. Bukhari).50

Kasus pada Tsa di atas sama seperti pada kasus data I,II dan III, yakni

penerjemah tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau mengapit petikan.

Pada terjemahan tersebut terdapat dua petikan. Pertama, petikan langsung yang

bersumber dari Abû Dzarr dan kedua, petikan yang berasal dari Rasulullah saw.,

yang mana petikan ini terletak dalam petikan sebelumnya. Harusnya tanda petik

diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan untuk mengapit kutipan yang

terdapat dalam kutipan, penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).

Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi tanda petik adalah untuk mengapit

petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.51

50 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 249. 51 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 48

Page 72: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

58

Selain tidak tepat dalam mengapit petikan, penerjemah juga tidak tepat dalam

memisahkan kutipan dari kalimat sebelumnya, yanki ia memisah dua kalimat tersebut

dengan menggunakan tanda titik dua, padahal seharusnya dipisah dengan

menggunakan tanda koma.

Kemudian pada bagian “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak memberi

jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk bahuku sambil menjaab, …, jika kita

cermati pada tanda baca yang telah digaribawahi di atas, selain tidak tepat dalam

meletakkan tanda Tanya (?), yakni memisah tanda tanya dari kalimat sebelumnya

dengan spasi, penerjemah juga membubuhi kalimat tersebut dengan tanda titik yang

mana sebenarnya telah diakhiri dengan tanda tanya. Mestinya, jika kalimat tersebut

merupakan kalimat interogatif, maka pada akhir kalimat cukup diakhiri dengan tanda

tanya saja.52

Lalu pada bagian sabda Rasulullah saw., “Hai Abû Dzarr, engkau adalah

seorang yang lemah dan jabatan itu merupakan amanat ..., penerjemah tidak

membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua kalimat setara yang saling

bertentangan di atas. Menurut Rasulullah saw. Abû Dzarr seorsng yang lemah,

sedangkan jabatan merupakan amanat yang pada hari Kiamat akan diminta

pertanggungjawabannya. Sebab, salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk

memisahkan bagian-bagian kalimat, antara kalimat setara yang menyatakan

pertentangan, antara anak kaliamat dengan induk kalimat, dan antara anak kalimat

52 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 46.

Page 73: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

59

dengan anak kalimat.53 Karenanya, dua kalimat di atas akan lebih tepat jika dipisah

dengan tanda koma.

Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, II, III, yakni penerjemah

tidak tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut

mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,54 akan tetapi ia malah

meletakkannya sebelum titik.

Berdasarkan hasil analisis di atas maka menurut saya, Tsu di atas akan lebih

baik jika diterjemahkan seperti berikut.

Abû Dzarr r.a. bertanya, “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak

memberikan jabatan kepadaku? Lalu beliau menepuk bahuku sambil menjawab,

‘Abû Dzarr, engkau adalah seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu merupakan

amanat yang pada hari Kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan,

kecuali pejabat yang dapat Melaksanakan tugas dan menunaikan kewajiban dengan

sebaik-baiknya,’” (HR. Bukhari).

5. Bab Tentang Memohon Izin dan Sopan Santun (Hadis ke-3)

حَدَّثَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَامِرٍ أَنَّھُ اسْتَأْذَنَ عَلَى : وَعَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ قَالَأَأَلِجُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ االلهِ : فَقَالَ ,النَبِيِّ صَلَى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَمَ وَھُوَ فِيْ بَیْتٍ

: لْ لَھُ فَقُ, أُخْرُجْ إِلَى ھَذَا فَعَلِّمْھُ الْاِسْتِئْذَانَ, صَلَى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَمَ لِخَادِمِھِ

53 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 76. 54 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.

Page 74: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

60

أَذَنَ لَ السَّلَامُ عَلَیْكُمْ أَأَدْخُلُ؟ فَاالسَّلَامُ عَلَیْكُمْ أَأَدْخُلُ؟ فَسَمِعَھُ الرَّجُلُ فَقَ قُلْ .رواه أبو داود. لَھُ النَّبِيُّ صَلَى االلهُ عَلَیْھِ وَسَلَمَ فَدَخَلَ

Dari Rib’i bin Hirasy ia berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Amir bercerita kepada kami tatkala ia memohon izin untuk masuk rumah Nabi saw. yang mana saat itu beliau berada dalam rumah. Laki-laki itu berkata: “Apakah saya boleh masuk ?”. Lalu beliau bersabda kepada pelayannya: “Keluarlah dan ajarkan kepada laki-laki itu tentang cara mohon izin, dan katakan kepadanya: “Ucapkan ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh masuk ?”. Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu maka ia berkata: “ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh masuk ?”. Kemudian beliau memberi izin kepadanya selanjutnya laki-laki itu pun masuk”.55 ( HR. Abû Daud).

Pada terjemahan di atas, kasusnya sama dengan data-data sebelumya, yaitu

penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau

kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan dipisah dari kalimat

sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi

tanda koma yaitu untuk memisahkan kutipan langsung dari bagian lain dalam

kalimat.56

Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit

kutipan. Pada terjemahan tersebut terdapat dua kutipan. Pertama, kutipan langsung

yang bersumber dari Rib’i bin Hirasy. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat

mengapit kutipan langsung dengan menggunakan tanda petik. Dan kedua, petikan

yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan

sebelumnya. Pada Tsa penerjemah mengapit kutipan tersebut dengan menggunakan

55 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlihîn, h. 313 56 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 40

Page 75: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

61

tanda petik lagi. Sedangkan, untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan,

penerjemah harusnya menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab, salah satu

fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan yang tersusut dalam petikan

lain.57

Kemudian, jika kita perhatikan terjemahan di atas, ada tiga kalimat interogatif

yang masing-masing diakhiri dengan tiga tanda baca sekaligus, yaitu tanda tanya,

tanda petik penutup dan tanda titik. Padahal seharusnya, apabila kalimat tersebut

merupakan kalimat interogatif, maka penerjemah cukup membubuhi dengan tanda

tanya yang kemudian diapit dengan tanda kutip penutup.

Pada kutipan yang beasal dari Nabi saw., “Ucapkan assalamu ‘alaikum,

apakah saya boleh masuk ?”, penerjemah memisahkan dua kalimat tersebut dengan

menggunakan tanda koma, padahal klausa Ucapkan Assalamu ‘alaikum merupakan

kalimat imperatif, yang mana seharusnya klausa tersebut diakhiri dengan tanda seru

(!).

Kemudian pada kutipan berikutnya yang dipetik dari ucapan laki-laki itu,

“Assalamu ‘alaikum, apakah saya boleh masuk ?”, pada kutipan tersebut penerjemah

memisahkan ucapan salam dari kalimat apakah saya boleh masuk? dengan

menggunakan tanda koma. Padahal, ucapan assalamu ‘alaikum merupakan sebuah

kalimat. Sebagaimana telah dikutip oleh Moch. Syarif Hidayatullah, dalam bahasa

Arab, definisi kalimat adalah konstruksi yang tersusun dari dua kata atau lebih yang

57 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.

Page 76: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

62

mengandung arti, disengaja, serta berbahasa Arab.58 Oleh karena itu, kutipan tersebut

akan lebih tepat jika dipisah dengan tanda titik.

Lalu pada bagian Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu

maka ia berkata ..., penerjemah tidak membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua

klausa di atas. Padahal kedua klausa tersebut terdiri dari anak kalimat dan induk

kalimat, yang mana anak kalimat mendahului induk kalimatnya. Dalam EYD

dijelaskan, jika anak kalimat mendahului induk kalimat, maka harus dipisah dengan

menggunakan tanda koma.59

Sama seperti pada kasus data-data sebelumnya, yakni penerjemah tidak tepat

dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda

baca yang mengakhiri petikan langsung,60 akan tetapi ia malah meletakkannya

sebelum titik.

Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik

jika diterjemahkan seperti berikut.

Rib’i bin Hirasy meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki dari Bani Amir

menceritakan kepada kami ketika ia memohon izin kepada Nabi saw., yang saat itu

Nabi berada di dalam rumah. Ia mengucapkan, ‘Apakah saya boleh masuk?’ Lalu

Rasulullah saw. menyuruh pelayannya, ‘Keluarlah dan ajarkan laki-laki itu cara

58 Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, (Tangerang Selatan: Alkitabah,

2012), h. 96 59 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h.39 60 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.

Page 77: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

63

memohon izin. Katakan padanya, ‘Ucapkanlah ‘Assalamu ‘alaikum! Apakah saya

boleh masuk?’ Laki-laki itu mendengar perkataan Nabi tersebut, lalu ia

mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum. Apakah saya boleh masuk?’ Lalu Nabi saw.

mengizinkannya, maka ia pun masuk.’” ( HR. Abû Daud).

6. Bab Tentang Zuhud dan Dorongan agar Tidak Rakus serta Keutamaan Miskin (Hadis ke-30)

صلى االله االلهِ لُوْسُرَ امَنَ الَقَ ھُنْعَ االلهُ يَضِرَ دٍوْعُسْمَ نِبْ االلهِ دِبْعَ نْعَوَ وِلَ االلهِ لَوْسُا رَیَ: ا نَلْقُفَ, ھِبِنْي جَفِ رَثَاَ دْقَوَ امَقَفَ رٍیْصِى حَلَعَعلیھ وسلم

بٍاكِرَا كَلَّا إِیَنْي الدُّا فِنَا أَمَ, ایَنْلدُّلِوَ يْالِمَ: الَقَ؟ فَاءًطَوِ كَا لَنَذْخَاتَّ . رواه الترمذي, اھَكَرَتَوَ احَرَ مَّثُ ةٍرَجَشَ تَحْتَ لَّظَتَاسْ

Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: “Rasulullah saw. tidur di atas tikar sehingga sewaktu bangun membekaslah tikar itu pada pinggangnya. Lalu kami bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur lembut untukmu?” Beliau bersabda: “Buat apa dunia ini bagiku”. Aku di dunia ini bagaikan orang yang berpergian berteduh di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya”. (HR. Al Turmudzi).

Sama seperti pada kasus-kasus sebelumnya, yakni penerjemah menggunakan

tanda titik dua untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang

mana seharusnya dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca

koma. Dalam EYD dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu

untuk memisahkan petikan dari kalimat sebelumnya.61

Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit

petikan. Pada terjemahan tersebut terdapat tiga petikan. Pertama, kutipan langsung

yang berupa isi cerita Abdullah bin Mas’ûd. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat

61 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 40.

Page 78: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

64

dalam mengapit kutipan langsung, yakni dengan menggunakan tanda petik. Kedua,

kutipan yang berupa pertanyaan Abdullah kepada Nabi saw. Dan ketiga, kutipan yang

berisi jawaban Nabi saw. Petikan kedua dan ketiga merupakan petikan yang berada

dalam petikan pertama, harusnya kedua kutipan tersebut diapit menggunakan tanda

petik tunggal, bukan lagi kutip ganda. Sebab, salah satu fungsi tanda petik tunggal

adalah untuk mengapit petikan yang tersusun dalam petikan lain.62

Pada Tsa di atas, khususnya pada kutipan pertama, penerjemah tidak

membubuhi tanda koma untuk menghindari salah baca. Karena, kalimat tersebut

merupakan kalimat yang keterangannya terdapat pada awal kalimat. Dalam EYD

dijelaskan tanda koma dipakai - untuk menghindari salah baca – dibelakang kalimat

yang terdapat pada awal kalimat.63

Kemudian penerjemah keliru dalam menutup kutipan yang berisi jawaban

Rasulullah saw. Ia menutupnya pada bagian tengah kutipan, harusnya kutipan

tersebut ditutup pada bagian akhir kutipan. Penerjemah juga tidak tepat dalam

meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda baca

yang mengakhiri petikan langsung,64 akan tetapi ia malah meletakkannya sebelum

titik.

Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik

jika diterjemahkan seperti berikut.

62 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83. 63 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 41 64 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah, h. 49.

Page 79: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

65

Abdullah bin Mas’ûd r.a. bercerita, “Rasulullah saw. tidur di atas tikar lalu

ketika bangun, membekaslah tikar itu pada pinggangnya. Kemudian kami bertanya,

‘Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur empuk untukmu?’ Beliau

menjawab, ‘Buat apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan seorang musafir

yang berteduh di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya.’” (HR. Al-Turmudzi).

Sama seperti kasus data II, kata قال tidak selamanya harus diterjemahkan

dengan berkata, Karena seorang penerjemah harus dapat menyesuaikan dengan

konteks dan isi perkataannya. Kata قال dapat diterjemahkan bertanya bila

perkataannya berupa kalimat interogatif; dapat juga diterjemahkan menyuruh atau

melarang bila perkataannya berupa kalimat imperatif; dan sebagainya.

Karenanya, pada Tsu di atas saya memilih menerjemahkan kata قال pertama

dengan kata bercerita, karena ucapan Abdullâh bin Mas’ûd r.a. berisi cerita.

Kemudian pada kata فقلنا, saya menerjemahkannya dengan kata bertanya, karena

ucapannya berisi pertanyaan. Selanjutnya, karena ucapan Rasulullah saw. berupa

jawaban atas pertanyaan Abdullâh, maka saya menerjemahkan kata لاق tersebut

dengan kata menjawab.

BAB VI

PENUTUP

Page 80: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

66

A. Kesimpulan

Pada bab ini penulis akan memberikan beberapa kesimpulan sekaligus

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah dalam bab

I, yaitu: (1) Apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn

karya al-Imâm al-Nawawi sudah tepat? dan (2) Apakah hasil terjemahannya sudah

sesuai dengan struktur gramatikal bahasa Indonesia?

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada pada bab sebelumnya,

kita dapat menyimpulkan sekaligus mendapatkan jawaban atas pertanyaan pertama,

yaitu, bahwa hasil terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-

Imâm al-Nawawi belum tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi)

atau pemakaian tanda baca. Hal ini terlihat jelas dari kesalahan-kesalahan penerjemah

dalam menempatkan tanda baca atau pungtuasi pada teks terjemahannya.

Ketidaktepatan tersebut dapat disebabkan dengan tiga kemungkinan: pertama,

penerjemah tidak mengacu pada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD), kedua,

penerjemah kurang teliti dalam melakukan pemenggalan kalimat, dan ketiga,

penerjemah tidak memahami pemakaian tanda baca.

Apabila ditinjau dari segi gramatikalnya terjemahan Ahmad Najih sudah

cukup baik. Namun, dari enam sampel yang telah dianalisis pada bab IV, ada

beberapa kalimat yang masih rancu dan belum sesuai dengan kaidah tata bahasa

Indonesia. Penerjemah juga kerap kali keliru dalam memilih diksi yang tepat saat

menerjemahkan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi.

Page 81: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

67

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah beberapa saran yang dapat

saya berikan:

1. Dalam menggeluti dunia kepenerjemahan, seorang penerjemah harus

selalu mengasah kemampuannya dengan sering berlatih dan berdiskusi,

agar hasil terjemahannya semakin indah. Karena bagaimanapun,

menerjemahkan membutuhkan keterampilan khusus.

2. Seorang penerjemah harus selalu memperkaya diri dengan kosakata-

kosakata, baik kosakata Bsu maupun Bsa.

3. Agar hasil terjemahannya nyaman dibaca dan mudah dipahami, seorang

penerjemah harus memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa sasaran, baik

itu dari segi struktur kalimat, gaya bahasa, pemilihan diksi, pemakaian

tanda baca (pungtuasi) dan lain-lain; tidak terpaku pada teks sumber (Tsu).

Tentunya, tanpa menghilangkan atau mengurangi pesan yang terkandung

dalam Tsu.

4. Seorang penerjemah harus mengikuti perkembangan bahasa, baik bahasa

sumber (Bsu) maupun bahasa sasaran (Bsa). Sebab, bahasa itu selalu

berkembang mengikuti perkembangan zaman.

5. Seroang penerjemah juga harus kreatif dalam menerjemahkan suatu Tsu

dan mencarikan padanan yang paling sesuai dengan apa yang diinginkan

pengarang.

Page 82: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

68

Saya sadar bahwa dalam penelitian ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh

karenanya, penelitian ini harus diteruskan dan dijabarkan kebali secara lebih lengkap,

khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi) yang terdapat dalam buku

terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi.

Page 83: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

69

DAFTAR PUSTAKA

A, Widyamartaya. Seni Menerjemahkan, Yogyakarta : Kanisius, 1989.

Al-Dimasyqi, Ibnu Qadhi al-Syuhba. Thabaqât al-Syafi’iyah, India: The Da’iratul.

Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy: Arab-Indonesia, Yogyakarta:

Multi Karya Grafika.

Al-Nawawi, Abû Zakariya Yahya. Terjemah Riyâd al-Sâlih n. Pnerjemah Ahmad

Najih S., Surabaya : CV. Karya Utama.

Al-sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2011.

Chaer, Abdu. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: PT RINEKA CIPTA,

2011.

Chaer, Abdul. Bahasa Indonesia Baku, Jakarta: FPBS-IKIP, 1984.

Dahlan, Abdul Aziz. dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van

Hoeve, 1996.

Dewan Redaksi Depag RI. Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Anda

Utama, 1993.

Farid, Ahmad. 60 Biografi ‘Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2005.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Tangerang Selatan:

Alkitabah, 2012.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia

Kontemporer, Ciputat : Uin Press, 2014.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-

Indonesia, Pamulang : Dikara, 2009.

Keraf, Gorys. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Flores: Nusa Indah,

1994.

Keraf, Gorys. Tata Bahasa Indonesia, Ende-Flores: Nusa Indah, 1980.

Kridalaksana, Harimurti. Kalimat, Klausa dan frase, Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, 1976.

Page 84: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …

70

Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa, 2009.

Majid, A.M. Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1997.

Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),

Ciputat: CeQDA, 2007.

Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Trans

Pustaka, 2011.

Suhardi. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Suryawinata, Zuchridin. Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis

Menerjemahkan), Yogyakarta : Kanisius, 2003.

Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung :

Humaniora, 2005.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: PT.

Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS). Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan

dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia,

Bandung: Pustaka Setia, 1992.

Yususf, Suhendra. Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan

Sosiolinguistik, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Page 85: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 86: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 87: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 88: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 89: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 90: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 91: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …
Page 92: KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI; TERJEMAHAN …