Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

76
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL Oleh OKIANA WINARNI F34102019 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

description

desopsi

Transcript of Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

Page 1: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Oleh

OKIANA WINARNI

F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di

dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan

untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan

mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi

ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al Mujadilah (58) : 11)

Kupersembahkan karya ini untuk

Ibu, Bapak (Alm), Kakakku yang tercinta, dan semua keluarga yang kusayangi.

Page 3: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Ringkasan

Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.

Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea). Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal mengikuti persamaan Chu dan Hashim (2001). Kesesuaian antara data percobaan dengan model ditentukan berdasarkan nilai koefisien

Page 4: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan heksan sebagai pembanding.

Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi 16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.

Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3

menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten.

Page 5: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE

BY USING ETHANOL

Summary

In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.

The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.

Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity between data and model was determined from coefficient determination (r2). Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.

Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77 µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.33 µg/mL in 16 minutes at

Page 6: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C, 0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23 µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.

Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3

minutes-1, 2.6 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10-

3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of isotherm desorption of crude palm olein beta karoten from attapulgite by using ethanol was 81.86 x 10-1 kcal/mol and by using hexane was 4.91 x 10-1 kcal/mol. It was studied that the performance of ethanol was lower compare to hexane in beta carotene desorption from attapulgite.

Page 7: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika

Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan

Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen

Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, 30 Januari 2007

Yang membuat pernyataan,

Okiana Winarni F34102019

Page 8: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN

MENGGUNAKAN ETANOL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

OKIANA WINARNI

F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 9: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga

Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu

memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.

2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk

penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.

4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal

Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.

5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina),

atas bantuan dan kebersamannya.

6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan

Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.

7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Bogor, Januari 2007

Penulis

Page 10: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi

I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1

B. TUJUAN .......................................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5

A. MINYAK KELAPA SAWIT ........................................................... 5

B. KAROTENOID ............................................................................... 7

C. BETA KAROTEN ........................................................................... 9

D. ADSORPSI-DESORPSI .................................................................. 10

E. PELARUT ........................................................................................ 10

F. ETANOL .......................................................................................... 12

G. ADSORBEN .................................................................................... 13

H. KINETIKA DESORPSI ................................................................... 16

III. METODOLOGI .................................................................................. 19

A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 19

B. METODE PENELITIAN ................................................................. 19

1. Tahapan Penelitian ...................................................................... 19 2. Prosedur Percobaan ..................................................................... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23

A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT .............................. 23

B. KONDISI KESETIMBANGAN ..................................................... 24

C. KINETIKA DESORPSI ................................................................... 32 1. Konstanta Laju Desorpsi .............................................................. 32

Page 11: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

iii

2. Energi Aktivasi ............................................................................ 37

D. SELEKTIVITAS DESORPSI .......................................................... 40

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 42

A. KESIMPULAN ................................................................................ 42

B. SARAN ............................................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44

LAMPIRAN .................................................................................................... 47

Page 12: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000 (Basiron, 2002) ............................................................................... 1

Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (IUPAC, 2001) ....... 5 Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit

(PORIM, 1989) di dalam Muchtadi, 1992) .................................... 6 Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit (Zeb

dan Mehmood, 2004) ..................................................................... 7 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut (Adnan, 1997) ...................... 11

Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit (www.cnhymc.com, 2003) .............................................................................................. 15

Tabel 7. Karakteristik atapulgit (Lansbarkis, 2000) ..................................... 16

Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi ........... 22

Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit...................................................... 23

Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan ................................................................................ 26

Tabel 11. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan

koefisien determinasi (r2) desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan ...................................................................................... 35

Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar

dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan ................. 39 Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol

pada lama desorpsi 18 menit .......................................................... 41

Page 13: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002) ................................................... 9

Gambar 2. Struktur molekul etanol (www.wikipedia.org, 2006) ................. 12 Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) .................................... 16 Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian .................................................. 20

Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi ................................................. 22 Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta

karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ....................... 24

Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta

karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ...................... 25

Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit

(Sirait, 2007) ............................................................................... 31 Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et

al., 1984) ..................................................................................... 31 Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ....................................................... 33

Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ...................................................... 34

Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada

desorpsi dengan menggunakan etanol ......................................... 38 Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada

desorpsi dengan menggunakan heksan ....................................... 38

Page 14: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur penelitian ................................................................... 48

Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) .... 52 Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students ............ 57 Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) ................................................. 59 Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten ...... 60 Lampiran 6. Dokumentasi penelitian ............................................................ 60

Page 15: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 26

Oktober 1984. Penulis adalah anak kedua dari dua

bersaudara dari pasangan Supanto (Alm) dan Sri Rahayu.

Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan

sekolah dasar di SDN Karanggeneng II. Penulis

menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1

Karanggeneng pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di

SMUN 2 Lamongan dan lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut

Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)

di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah

Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) periode 2006/2007.

Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik

“Mempelajari Sistem Pengawasan Mutu Full Cream Milk Powder (FCMP) di PT.

Sari Husada, Yogyakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis

melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Kinetika Desorpsi

Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan

Etanol”.

Page 16: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak

nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan

lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10

tahun dan 20 tahun mendatang, volume perdagangan komoditas ini masih

akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak

mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak

hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini

adalah minyak sawit (Oil World, 2000 di dalam Suryadarma et al., 2006).

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat. Indonesia

merupakan penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia dan

diprediksi menjadi penghasil minyak sawit utama dunia pada tahun 2010.

Perkembangan produksi minyak sawit dunia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000

Negara

Tahun (juta ton) Rata-rata laju

pertumbuhan per tahun

(%) (1990-2000)

1980 1990 1997 1998 1999 2000

Pantai

Gading 182 270 240 275 269 266 -0,1

Nigeria 433 580 680 690 720 740 2,5

Kolombia 74 226 441 422 475 524 8,8

Ekuador 37 120 203 200 220 250 7,6

Indonesia 691 2.413 5.380 5.006 5.900 6.950 11,2

Malaysia 2.576 6.095 9.069 8.320 10.554 10.840 5,9

Thailand 13 232 390 355 400 560 9,2

Papua

Nugini 35 154 575 215 270 296 7,4

Negara

lainnya 768 934 866 1.197 1.173 1.371 3,9

Total 4.804 11.014 17.844 16.680 19.981 21.797 7,1

Sumber: Basiron (2002)

Page 17: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

2

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94

persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang

jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol,

sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen

minor lainnya. Olein sawit kasar (crude palm olein) adalah minyak fraksi cair

berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi minyak

kelapa sawit (crude palm oil) dan belum mengalami proses pemurnian (SNI,

1998). Olein sawit kasar mengandung 680-760 µg/g karoten, lebih besar

dibandingkan dengan kandungan karoten dalam minyak sawit kasar, yaitu

630-700 µg/mL (Zeb dan Mehmood, 2004).

Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng,

beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar dihilangkan

bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng

menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena

konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak

goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten merupakan

bahan yang terkandung di dalam minyak sawit yang sangat berguna bagi

kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses

pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar

dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit.

Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar

memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi

minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini

digunakan atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan belakangan

ini menunjukkan bahwa karotenoid memiliki aktivitas anti kanker.

Desorpsi merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting

untuk dikaji dalam proses pemanfaatan beta karoten yang terkandung pada

olein sawit kasar. Desorpsi adalah proses pengambilan kembali suatu bahan

yang telah diserap oleh adsorben. Etanol dipilih sebagai eluen dalam

penelitian ini karena etanol relatif aman digunakan dalam industri. Hal

tersebut didukung oleh sifat etanol yang kurang berbahaya jika dibandingkan

dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak

Page 18: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

3

sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak

berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan

jenis eluen yang dapat melarutkan karoten (Goodwin, 1976). Karoten juga

larut dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena,

kloroform, aseton, metanol, eter, dan petroleum eter. Pada penelitian ini,

heksan digunakan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi merupakan kajian

penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.

Minyak kelapa sawit memiliki kandungan karotenoid terbesar bila

dibandingkan dengan jenis minyak nabati yang lain. Beberapa jenis metode

perolehan kembali karotenoid berbasis minyak kelapa sawit telah

dikembangkan, antara lain saponifikasi, adsorbsi, ekstraksi pelarut efektif, dan

transesterifikasi, meliputi fase separasi dan distilasi ester. Transesterifikasi

hanya dapat digunakan dalam proses komersil (Baharin et al., 1998).

Pemisahan karoten sawit dari Crude Palm Oil (CPO) dengan sistem

kromatografi adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben polimer

sintetik. Perolehan kembali karoten bervariasi dari 40-65 persen tergantung

pada kondisi kromatografi (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten dengan

adsorben sintetik diikuti ekstraksi pelarut dipengaruhi jenis adsorben,

kombinasi adsorben, rasio pelarut dan Crude Palm Oil (CPO) (Latip et al.,

2000). Perolehan kembali karoten 16 sampai 74 persen tergantung pada

kondisi proses, antara lain waktu adsorpsi, waktu ekstraksi isopropanol, suhu

proses adsorpsi dan ekstraksi pelarut, serta umur pakai adsorben (Latip et al.,

2001). Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Faktor

lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan

pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen

(Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan

meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Pada penelitian ini,

parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi

aktivasi (Ea) menunjukkan kinerja etanol dalam mendesorpsi beta karoten

olein sawit kasar dari atapulgit sebagai adsorben.

Penelitian yang dilakukan merupakan suatu upaya untuk

memanfaatkan beta karoten yang terkandung di dalam olein sawit kasar yang

Page 19: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

4

selama ini dihilangkan dalam proses pemurnian minyak sawit kasar. Desorpsi

beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol

tersebut akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit yang akan

menguntungkan bagi industri minyak sawit.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi

kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan

menggunakan etanol. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk

menentukan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit

kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol, yaitu konstanta laju desorpsi

(kdes) dan energi aktivasi (Ea) sebagai dasar untuk desain proses. Heksan

digunakan sebagai eluen pembanding.

Page 20: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) atau CPO adalah minyak yang

diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guinensis

JACQ) yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut (Muchtadi, 1992).

Minyak sawit mengandung komponen trigliserida, mono dan digliserida.

Trigliserida dapat berwujud padat atau cair. Hal ini bergantung dari komposisi

asam lemak yang menyusunnya. Minyak nabati yang berbentuk cair karena

mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau

asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak yang berbentuk

padat pada suhu kamar dikarenakan banyak mengandung asam lemak jenuh,

misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi

(Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit

Asam Lemak Atom C- Komposisi (%) Laurat C12:0 0,1 – 0,5 Miristat C14:0 0,9 – 1,4 Palmitat C16:0 38,2 – 42,9 Stearat C18:0 3,7 – 4,8 Oleat C18:1 39,8 – 43,9 Linoleat C18:2 10,4 – 13,4 Komponen lain - 0,1 – 0,6

Sumber : IUPAC (2001)

Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai

komposisi yang tetap. Kandungan karoten dalam minyak sawit dapat

mencapai 1000 µg/mL atau lebih, sedangkan kandungan tokoferol bervariasi

dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).

Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam

minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak kelapa sawit terdiri dari

minyak sawit kasar (CPO), olein, stearin, dan minyak inti sawit (PKO).

Page 21: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

6

Stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks

refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada

olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak

dengan C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM, 1989 di dalam

Muchtadi, 1992).

Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit

Sifat

Jenis Minyak

sawit (CPO)

Olein Stearin Minyak inti sawit

(PKO) Titik cair (○C) Berat jenis (50○C /air 25○C ) Indeks refraksi (nD, 50○C ) Bilangan iod (Wijs) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bahan tak tersabunkan (%) Asam lemak (%) : C6 C8 C10 C12 C14 C16 C16=1 C18 C18=1 C18=2 C18=3 C20

34,2 0,892 1,455 53,3 195,7

0,5

0,2 1,1

44,0 0,1 4,5

39,2 10,1 0,4 0,4

21,6 0,902 1,459 58,0 198,0

0,5

0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4

44,5 0,882 1,477 21,6 193,0

0,2

0,3 1,5

65,0 0,2 5,0

21,3 6,5 0,4 0,4

27,3 0,902 1,451 17,1 145,0 0,3

0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8

2,0 15,1 2,7

Sumber: PORIM (1989) di dalam Muchtadi (1992)

Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan bahan pangan, industri

kosmetik, industri kimia dan industri pakan ternak. Kebutuhan minyak sawit

sebesar 90 persen digunakan untuk bahan pangan seperti minyak goreng,

margarin, shortening, pengganti lemak kokoa dan untuk kebutuhan industri

roti, cokelat, es krim, biskuit dan makanan ringan. Kebutuhan 10 persen dari

minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang menghasilkan

asam lemak, fatty alcohol, gliserin dan metil ester. Oleokimia digunakan pada

industri yang menghasilkan produk pangan dan lemak, sabun dan deterjen,

Page 22: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

7

kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering,

polimer dan pelapis permukaan (coating) dan biofuel (Gelder, 2004).

B. KAROTENOID

Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan

merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid

terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang

berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa

minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit

diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan

Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit

Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/mL)

Minyak sawit kasar (CPO) 630-700

Olein sawit kasar 680-760

Stearin sawit kasar 380-540

Residual oil from fibre 4.000-6.000

Pengepresan kedua minyak sawit 1.800-2.400

Minyak sawit merah 500-700 Sumber: Zeb dan Mehmood (2004)

Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami

yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude

Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar

daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini

dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini

kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976).

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut

dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena,

khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut

Page 23: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

8

dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan

lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976).

Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan

dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur

oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60○C tidak mengakibatkan

dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama

pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan

pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang

menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis

karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan

menurun secara drastis pada suhu sekitar 180-210○C (Klaui dan Bauernfeind,

1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid

peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya

sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi

terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda

(Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak

jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal

ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila

dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan

terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi.

Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk

poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut

dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat

dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di

dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif,

yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk

asam) (Almatsier, 2002).

Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan

terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga

oksidasi yang terjadi pada minyak yang tengik. Karotenoid merupakan

Page 24: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

9

prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat

di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai

provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang

terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002).

Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya,

dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC),

HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan

pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama

menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976).

C. BETA KAROTEN

Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten,

beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten,

alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi

vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur

kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)

Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang

ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu

menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker

dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas

yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara

liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk

(www.apotik2000.net, 2006).

Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya

penumpukan flek pada arteri sehingga aliran darah, baik ke jantung maupun

Page 25: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

10

ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu

meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein

(asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi.

Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan

menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam

jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh

dapat ditingkatkan (www.apotik2000.net, 2006).

Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten 30-60 mg per hari

selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam

tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif.

Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel

kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan

(www.apotik2000.net, 2006).

D. ADSORPSI-DESORPSI

Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk

menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik)

dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau

penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa

pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer,

1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan,

penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi,

pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan

cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995).

Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi

kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu

terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya

kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti

alkohol) (Adnan, 1997).

E. PELARUT

Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan

kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial

Page 26: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

11

dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik

pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial

dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang

termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat

menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik

yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan

eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya

polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai

struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang

dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena

itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang

lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997).

Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara

sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan

dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi

pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari

zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang

digambarkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut

Konstanta dielektrik Nama zat pelarut 1,890 2,023 2,238 2,284 4,340 4,806 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370

Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Etil eter Kloroform Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air

Sumber: Adnan (1997)

Page 27: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

12

Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil

(keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar,

misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non

polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar

misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut

dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik

akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum,

kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh

jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah

ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang

rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya.

Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat

menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan

elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna.

Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang

terlalu lama (Adnan, 1997).

F. ETANOL

Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam

minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga

digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006).

H H | |

H - C - C - O - H | |

H H

Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006)

Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih

pada 78,5○C dan titik beku pada -114,5○C. Etanol digunakan sebagai bahan

anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai

desinfektan (etanol 70-85 persen). Larutan tersebut dapat membunuh

Page 28: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

13

organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi

pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif

terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka

waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006).

Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai

pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah

terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks

dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat

volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan

Othmer, 1965).

G. ADSORBEN

Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas

permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk

karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya

berada dalam ukuran 200 – 1000 m2/g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003

– 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).

Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi

ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang

penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya,

adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm)

atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan

untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai

maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal

ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan

tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan

dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi

menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995).

Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina

adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan

mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non

polar. Proses adsorpsi yang dipengaruhi oleh sifat polaritas dari adsorben dan

Page 29: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

14

solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang

bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat

polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti

itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997).

Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke

yang kecil adalah sebagai berikut.

1. Alumina

2. Charcoal (arang)

3. Silika gel

4. Magnesia

5. Kalium karbonat

6. Sukrosa

7. Serbuk pati

8. Serbuk selulosa

Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi

yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan

menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas

tersebut (Adnan, 1997).

Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan

kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri.

Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk

untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam

industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis

permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer,

1964).

Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium,

magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga

dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi

ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004).

Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti

polimerisasi (Swern, 1982), dan bahan penstabil warna (Michael dan Irene,

Page 30: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

15

1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam

atapulgit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit

Oksida Persentase (%)

SiO2 55,6-60,5

MgO2 10,7-11,35

Al2O2 9,0-10,1

Fe2O2 5,7-6,7

K2O2 0,96-1,30

MnO2 0,61

CaO2 0,42-1,95

TiO2 0,32-0,63

Na2O2 0,03-0,11

Komponen lain 10,53-11,80 Sumber : www.cnhymc.com (2003)

Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4.4H2O.

Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit

terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk

tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium

berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang

merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain

memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali

dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak

mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan

(Lansbarkis, 2000). Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 7.

Page 31: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

16

Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989)

Tabel 7. Karakteristik atapulgit Nilai koloid (mL/15 g) 55-65

Volume ekspansi (mL/g) 4-6

Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500

Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) 25-50

Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170

pH 7,5-8,5

Warna Abu-abu

Specific gravity 32-37 Sumber: Lansbarkis (2000)

H. KINETIKA DESORPSI

Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam

hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang

diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat

dengan menurunnya pH. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat

menggantikan tembaga yang terikat pada sisi aktif rumput laut. Kemungkinan

Page 32: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

17

terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi

desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan

waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai

konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi

dan laju pengadukan.

Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah :

qe = v1/m1 (Co-Ce)

qt = qe – v2/m2 x Ct

qt/qe = exp (-kdest)

qt/qe = θ exp (-kdest) + (1- θ)

ln qt/qe = -kdest + ln θ + (1-θ) (Wankasi et al., 2005)

Keterangan :

qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g)

qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu

(µg/g)

v1 = volume olein (mL)

m1 = massa adsorben (g)

Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/mL)

Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/mL)

v2 = volume eluen (mL)

m2 = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g)

Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu

(µg/mL)

θ = fraksi terdesorpsi

Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk

terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi

tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses

desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah :

k = Ae-Ea/RT

dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta

kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta

Page 33: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

18

proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga

orientasi molekuler selama tumbukan.

Page 34: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

19

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain olein

sawit kasar yang diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya Jakarta, atapulgit

yang diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey, etanol dan

heksan pro analys, beta karoten standar (Sigma-Aldrich C9750-56, Type I,

Synthetic, 95% UV, 1,6 juta IU vitamin A/g), dan alfa tokoferol standar

(Sigma-Aldrich T3251-56, Synthetic, 95% HPLC).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan

gelas (erlenmeyer, tabung reaksi, dan corong); peralatan ukur (pipet mikro,

pipet volumetrik, gelas ukur, termometer, spektrofotometer, High

Performance Liquid Chromatography (HPLC), kolom Zorbax Sil (0,46 x 25

cm), fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v), laju alir 1 ml/menit

dan nilai absorbansi tokoferol adalah 292 nm, stopwatch dan timbangan); serta

peralatan pendukung (kertas saring, corong buchner, pompa vakum, filter inlet

dan shaker yang dilengkapi dengan waterbath dengan kecepatan 180 rpm dan

tiga kondisi suhu, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C).

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian

dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-

langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan

prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tatacara yang secara

teknis dikerjakan dalam setiap tahapan penelitian.

1. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) Karakterisasi

adsorpsi atapulgit, (2) Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta

karoten di dalam etanol dan lama desorpsi), dan (3) Penentuan parameter

kinetika desorpsi (konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea))

Page 35: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

20

beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.

Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian

a. Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit

Karakterisasi adsorpsi atapulgit yang dilakukan meliputi bentuk,

ukuran, warna visual atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta

karoten dan kapasitas adsorpsi atapulgit. Penentuan kapasitas adsorpsi

(qe) atapulgit dilakukan untuk menentukan jumlah beta karoten yang

dapat diadsorpsi oleh atapulgit secara optimal yang dinyatakan dalam

µg/mL (1 IU = 0,6 µg beta karoten). Kondisi yang digunakan adalah

kondisi adsorpsi optimum beta karoten yaitu dengan kecepatan

pengadukan 120 rpm pada suhu 60○C selama ± 3 jam. Atapulgit yang

telah mengadsorpsi beta karoten pada kondisi optimum ini digunakan

Mulai

Karakterisasi adsorpsi atapulgit

Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea)

Selesai

Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)

Selektivitas desorpsi

Page 36: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

21

sebagai bahan untuk percobaan desorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi

atapulgit dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Penentuan Kondisi Kesetimbangan

Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara

lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol

(µg/mL) sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi

beta karoten di dalam etanol. Penentuan kondisi kesetimbangan

dilakukan pada tiga suhu desorpsi, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan

heksan sebagai eluen pembanding.

c. Penentuan Parameter Kinetika Desorpsi

Penentuan parameter kinetika dilakukan pada tiga suhu yang

berbeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Model kinetika

desorpsi diidentifikasi berdasarkan jenis perubahan nilai parameter

kinetika, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) yang diperoleh dari

persamaan Chu dan Hashim (2001). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)

diperoleh dari perpotongan garis linier dengan sumbu x yang merupakan

kemiringan dari hasil regresi linier dari persamaan Wankasi et al.,

(2005). Nilai θ diperoleh menggunakan alat bantu program Mathematica

5.2 for Students. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dapat

dilihat pada Lampiran 3.

2. Prosedur Percobaan

Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebanyak 7 g dan

350 mL etanol (1:50) disiapkan di dalam erlenmeyer berukuran 500 mL.

Perbandingan atapulgit:etanol (1:50) mengacu pada penelitian Chu dan

Hashim (2001) yang mendesorpsi vitamin E dari Palm Fatty Acid

Distillate (PFAD) dengan menggunakan silika. Selanjutnya, campuran

tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan kecepatan shaker 180

rpm. Percobaan tersebut dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda yaitu

40○C, 50○C, dan 60○C. Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang

diujikan yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12, 16, 18, 24, 40, 80, dan 140 menit. Sampel

Page 37: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

22

yang telah diambil disaring untuk memisahkan antara atapulgit dengan

etanol, yang selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang

446 nm. Data hasil perhitungan percobaan desorpsi dapat dilihat pada

Lampiran 2. Diagram alir percobaan desorpsi dapat dilihat pada Gambar 5.

Kondisi percobaan untuk penentuan parameter kinetika desorpsi disajikan

pada Tabel 8.

Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi

Perlakuan Konstanta laju desorpsi (menit-1)

Energi aktivasi (kkal/mol) Eluen Suhu desorpsi

Etanol

40○C kdes 1

Ea 1 50○C kdes 2

60○C kdes 3

Heksan

40○C kdes 4

Ea 2 50○C kdes 5

60○C kdes 6

Mulai

Pencampuran 7 gram atapulgit dengan 350 mL etanol, kecepatan shaker 180 rpm

(40○C, 50○C, dan 60○C)

Selesai

Pengambilan sampel pada lama desorpsi tertentu (2-300 menit)

Analisis sampel

Page 38: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT

Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat

fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit

Karakteristik

Sifat Sebelum

mengadsorpsi beta karoten

Setelah mengadsorpsi beta karoten

Bentuk Serbuk Gumpalan

Ukuran (mesh) 150 150

Warna visual Abu-abu Coklat gelap

qe (µg beta karoten/g atapulgit) 0 482,12

Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari

percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran

atapulgit dengan olein (1:3). Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut

disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk

atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk

gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan

sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh.

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam

penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna abu-

abu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna abu-

abu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna

atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada

Lampiran 5.

Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada

Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta

karoten sebesar 482,12 µg/g. Nilai qe tersebut menunjukkan kapasitas

Page 39: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

24

adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µg/g

selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk

percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit

kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.

B. KONDISI KESETIMBANGAN

Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi

dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama

desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen (µg/mL)

selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya

desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh

etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol.

Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan

konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai

kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. (1984), suatu keadaan

kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju

dan balik berlangsung pada laju yang sama.

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150

Lama desorpsi [menit]

Kon

sent

rasi

bet

a ka

rote

n [µ

g/m

L]

Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten

selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)

Page 40: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

25

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Lama desorpsi [menit]

Kon

sent

rasi

bet

a ka

rote

n [µ

g/m

L]

Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten

selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)

Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada

masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi

hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang

diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu

desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama

untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga

terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada

Gambar 7.

Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa

suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu

dan jenis eluen terhadap kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel 10.

Page 41: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

26

Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan

Perlakuan Konsentrasi beta

karoten pada kondisi kesetimbangan (µg/mL)

Lama tercapainya

kesetimbangan(menit)

Eluen Suhu desorpsi

Etanol

40○C 0,77 70

50○C 0,61 40

60○C 0,33 16

Heksan

40○C 0,61 21,5

50○C 0,40 12,5

60○C 0,23 10,5

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu

desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang

dapat didesorpsi oleh etanol. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C

paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi

pada suhu 60○C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol

0,77 µg/mL pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40

menit, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi 16 menit. Hal tersebut terjadi

karena semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan

atapulgit sehingga semakin sulit didesorpsi oleh etanol. Kuatnya ikatan antara

beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya kemiripan sifat

kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit

merupakan senyawa semi polar. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika

ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang

merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan

oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus

polar (Grim, 1989). Berdasarkan sifat ikatan-ikatan tersebut, atapulgit dapat

digolongkan sebagai senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan

semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam etanol

semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak

beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta

Page 42: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

27

karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol dari atapulgit selama reaksi

berlangsung. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya

yang memiliki ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Oksidasi terjadi

secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester

dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Muchtadi, 1992). Oksidasi akan membuka

cincin β-ionon pada ujung molekul karoten sehingga menyebabkan kerusakan

aktifitas karoten tersebut sebagai provitamin A.

Selain itu, berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa

konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan

mengalami kecenderungan yang sama dengan proses desorpsi beta karoten

dengan menggunakan etanol. Semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan

semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh

heksan. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C paling lama dicapai

yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C,

masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,61 µg/mL

pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit,

dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit. Sebagaimana pada desorpsi

beta karoten dengan menggunakan etanol, semakin tinggi suhu, semakin kuat

ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit untuk

didesorpsi oleh heksan. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit

didukung oleh adanya persamaan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan

senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar.

Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta

karoten di dalam heksan semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu

desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga

semakin rendah jumlah beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan dari

atapulgit selama reaksi berlangsung.

Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pada suhu desorpsi yang sama,

kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol

dicapai pada lama desorpsi yang relatif lama dan konsentrasi beta karoten di

dalam etanol relatif tinggi. Di lain pihak, kondisi kesetimbangan desorpsi beta

karoten dengan menggunakan heksan dicapai pada lama desorpsi yang lebih

Page 43: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

28

cepat dan konsentrasi beta karoten di dalam heksan lebih rendah. Ini

menunjukkan bahwa etanol merupakan eluen yang lebih baik daripada heksan

dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit.

Kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan

lebih cepat dicapai disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh

daripada etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam heksan lebih

cepat tercapai daripada kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam

etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam eluen tercapai bila

laju penguraiannya sama dengan laju pembentukan kembali dari ion-ionnya

(sama dengan Ksp). Dalam keadaan kesetimbangan tersebut, konsentrasi ion-

ion beta karoten di dalam eluen tetap (larutan jenuh). Kejenuhan heksan yang

relatif cepat tersebut dapat pula disebabkan oleh heksan tidak hanya

mendesorpsi beta karoten tetapi bahan lain seperti asam lemak, kotoran, zat

warna bukan beta karoten, atau bahan-bahan lainnya.

Dalam proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari

atapulgit dengan menggunakan etanol diperoleh konsentrasi beta karoten lebih

besar daripada dengan menggunakan heksan. Hal tersebut disebabkan oleh

sifat heksan yang lebih cepat jenuh, sehingga kondisi kesetimbangan lebih

cepat dicapai. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi beta

karoten di dalam etanol yaitu adanya perbedaan waktu kereaktifan antara

etanol dan heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Heksan

lebih cepat reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai.

Sedangkan etanol membutuhkan waktu relatif lama untuk reaktif sehingga

kondisi kesetimbangan lebih lama dicapai. Selain itu, kondisi kesetimbangan

juga dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dalam hal ini atapulgit bersifat semi

polar, beta karoten bersifat non polar, dan etanol bersifat polar. Karena sifat

etanol yang polar dan sifat atapulgit yang semi polar, maka etanol dapat

berinteraksi dengan atapulgit sehingga lebih mudah melepaskan ikatan antara

atapulgit dengan beta karoten.

Pada desorpsi dengan menggunakan etanol maupun heksan, semakin

tinggi suhu desorpsi, semakin rendah konsentrasi beta karoten yang dapat

didesorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu reaksi menyebabkan

Page 44: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

29

meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan, yaitu fraksi

molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga meningkatkan

terjadinya reaksi. Peningkatan terjadinya proses reaksi desorpsi ini selanjutnya

mengakibatkan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat.

Semakin cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi

kesetimbangan, menyebabkan konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi

oleh eluen semakin rendah pada kondisi kesetimbangan. Semakin rendah suhu

desorpsi, semakin meningkat konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada

kondisi kesetimbangan, mengindikasikan bahwa proses desorpsi tersebut

termasuk reaksi endoterm. Faktor penyebab yang lain yaitu meningkatnya

kecepatan difusi dengan meningkatnya suhu desorpsi, sehingga beta karoten

lebih cepat larut di dalam eluen. Difusi merupakan hasil gerakan tetap

molekul-molekul yang terjadi pada sembarang temperatur di atas nol mutlak

(Keenan et al.,1984).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2007), kondisi

kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit

dengan menggunakan isopropanol pada suhu 40○C paling lama dicapai, yang

diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C. Masing-

masing pada konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol 1,12 µg/mL pada

lama desorpsi 26 menit, 0,99 µg/mL pada lama desorpsi 19 menit, dan 0,82

µg/mL pada lama desorpsi 17,5 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa

konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol paling tinggi dibandingkan

dengan etanol dan heksan. Di lain pihak, proses desorpsi beta karoten dari

atapulgit dengan menggunakan etanol paling lama mencapai kondisi

kesetimbangan dibandingkan dengan menggunakan isopropanol dan heksan.

Atapulgit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung

silika, aluminium, dan magnesium. Atapulgit mengandung 55,6-60,5 persen

SiO2, 10,7-13,35 persen MgO2, dan 9,0-10,1 persen Al2O2. Silika berfungsi

sebagai agen pencegah terjadinya ikatan rangkap baru. Aluminium dan

magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi dan

bahan penstabil warna. Sifat tersebut sangat menguntungkan dalam proses

desorpsi beta karoten karena akan mencegah kerusakan struktur molekul beta

Page 45: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

30

karoten sehingga tidak menurunkan aktivitas beta karoten sebagai provitamin

A.

Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih

aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang

relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang

sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang

menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup

dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat

melarutkan karoten.

Pada proses sebelumnya, yaitu adsorpsi isotermal beta karoten olein

sawit kasar dengan menggunakan atapulgit, beta karoten teradsorpsi secara

fisik dengan molekul atapulgit. Teori tentang pemucatan minyak secara

adsorpsi, bahwa proses adsorpsi pada suhu yang rendah, seperti pemucatan

(bleaching), lebih disebabkan oleh ikatan intermolekuler daripada

pembentukan ikatan kimia baru. Molekul yang terfisisorpsi tetap

mempertahankan identitasnya dan tidak menghasilkan pemutusan ikatan (Hui,

1996).

Ikatan yang terjadi antara beta karoten dengan atapulgit merupakan

ikatan van der Waals yang bersifat lemah sehingga ikatan tersebut mudah

diputuskan. Menurut Companion (1991), gaya van der Waals merupakan gaya

terlemah walaupun mungkin merupakan gaya yang paling universal.

Energinya sekitar 0,4 sampai 40 kJ/mol. Gaya tarik van der Walls adalah gaya

tarik yang lemah yang disebabkan oleh dipol imbasan sekejap, yang terjadi

antara semua molekul, bahkan juga molekul yang tak polar sekalipun (Keenan

et al., 1984).

Menurut Chu et al. (2004), silika yang terkandung di dalam atapulgit

mengandung material homogen. Silika dapat berikatan melalui dua tipe ikatan,

yaitu secara polar (energi tinggi) dan kurang polar (energi rendah). Ikatan

polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus hidroksil (Si-OH) yang

disebut silanol, sedangkan ikatan kurang polar merupakan ikatan antara silika

dengan oksigen (Si-O-Si) yang disebut siloksan. Beta karoten yang merupakan

molekul non polar diduga akan berikatan dengan gugus siloksan. Mekanisme

Page 46: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

31

adsorpsi ini terjadi akibat beta karoten memiliki sifat sebagai proton aseptor,

sehingga cenderung menarik kation dari luar (Naibaho, 1983). Ikatan van der

Walls antara beta karoten dengan atapulgit ditunjukkan pada Gambar 8.

δ+

Si O Si δ- tarik menarik δ+H

C C C δ- CH3

Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit

(Sirait, 2007)

Pada proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan

etanol, mekanisme reaksi yang diduga terjadi yaitu adanya ikatan hidrogen

antara molekul beta karoten dengan molekul etanol. Ikatan hidrogen adalah

ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan

atom elektronegatif pada molekul lain (Companion, 1991). Beta karoten

memiliki atom H yang merupakan daerah dimana terdapat gaya-gaya tarik

yang kuat untuk molekul etanol. Ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul

beta karoten dengan molekul etanol bersifat lebih kuat daripada ikatan van der

Waals antara molekul beta karoten dengan molekul atapulgit, sehingga ikatan

van der Waals tersebut mudah terputus. Pemutusan ikatan van der Waals

tersebut didukung oleh adanya proses shaking selama desorpsi berlangsung.

Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol dapat dilihat pada Gambar

9.

tarik menarik

δ+ .. δ- C H :O C2H5

H

Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol

(Keenan et al., 1984)

Adanya interaksi hidrofobik juga dapat menjelaskan mekanisme proses

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan

Page 47: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

32

menggunakan etanol. Interaksi hidrofobik merupakan interaksi antara

molekul-molekul non polar. Dalam hal ini beta karoten bersifat non polar dan

etanol memiliki gugus non polar yaitu gugus metil. Sifat yang dimiliki oleh

kedua molekul tersebut memungkinkan terjadinya interaksi hidrofobik.

C. KINETIKA DESORPSI

Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses desorpsi

karena penting untuk menentukan desain proses. Konstanta laju desorpsi (kdes)

merupakan paramater kinetika desorpsi yang menunjukkan laju desorpsi.

Energi aktivasi (Ea) merupakan parameter kinetika yang menunjukkan jumlah

energi yang dibutuhkan molekul-molekul untuk bereaksi.

1. Konstanta Laju Desorpsi

Penentuan laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit

dengan menggunakan etanol mengikuti laju perubahan konsentrasi

pereaksi, sehingga laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit

dengan menggunakan etanol ditentukan berdasarkan peningkatan

konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi

isotermal.

Kurva hubungan antara peningkatan konsentrasi beta karoten di

dalam etanol dengan lamanya desorpsi pada Gambar 6 merupakan data

percobaan yang digunakan untuk penentuan laju desorpsi isotermal beta

karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Regresi hubungan

antara lama desorpsi dengan ln qt/qe ditransformasikan menjadi bentuk

persamaan garis lurus (linier) sehingga diperoleh persamaan laju desorpsi.

Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) merupakan kemiringan dari regresi

linier tersebut.

Untuk menduga bentuk persamaan desorpsi beta karoten dari data

percobaan yang menunjukkan hubungan antara lama desorpsi dengan ln

qt/qe digunakan metoda kesesuaian dengan data percobaan, yaitu regresi.

Regresi merupakan persamaan matematik yang menduga hubungan antara

satu peubah bebas (dalam hal ini lama desorpsi) dengan satu peubah tak

Page 48: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

33

bebas (dalam hal ini ln qt/qe). Ukuran untuk melihat tingkat kesesuaian

dengan data percobaan ditentukan berdasarkan koefisien determinasi (r2).

Kurva regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe untuk

persamaan desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan pada ketiga

suhu dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11.

-0.12

-0.10

-0.08

-0.06

-0.04

-0.02

0.000 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Lama desorpsi [menit]

ln q

t/qe

Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ( , suhu 40○C, ln qt/qe = -0,0010t – 0,0129, r2 = 0,9480; , suhu 50○C, ln qt/qe = -0,0016t – 0,0044, r2 = 0,9736; , suhu 60○C, ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009, r2 = 0,9805)

Page 49: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

34

-0,08

-0,07

-0,06

-0,05

-0,04

-0,03

-0,02

-0,01

0,000 5 10 15 20 25 30

Lama desorpsi [menit]

ln q

t/qe

Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C, ln qt/qe = -0,0022t – 0,0183, r2 = 0,8114; , suhu 50○C, ln qt/qe = -0,0026t – 0,0091, r2 = 0,8570; , suhu 60○C, ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005, r2 = 0,9153)

Berdasarkan hasil regresi pada Gambar 10 dan 11 diperoleh

kemiringan dan nilai fraksi terdesorpsi (θ) dari masing-masing persamaan

desorpsi. Nilai kemiringan tersebut merupakan nilai konstanta laju

desorpsi (kdes). Semakin tinggi suhu desorpsi, maka nilai konstanta laju

desorpsi semakin tinggi pula. Nilai konstanta laju desorpsi yang semakin

tinggi ini menunjukkan adanya peningkatan laju desorpsi. Persamaan

desorpsi dan nilai koefisien determinasi pada desorpsi dengan

menggunakan etanol dan heksan pada ketiga suhu disajikan pada Tabel 11.

Page 50: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

35

Tabel 11. Nilai konstanta laju laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan koefisien determinasi desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan

Perlakuan Konstanta

laju desorpsi (menit-1)

Fraksi terdesorpsi

(θ)

Koefisien determinasi

(r2) Eluen Suhu desorpsi

Etanol

40○C 1,0 x 10-3 0,8479 0,9480

50○C 1,6 x 10-3 0,9091 0,9736

60○C 2,2 x 10-3 0,9994 0,9805

Heksan

40○C 2,2 x 10-3 0,8207 0,8114

50○C 2,6 x 10-3 0,8711 0,8570

60○C 2,3 x 10-3 0,9997 0,9153

Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari

atapulgit dengan menggunakan etanol dilakukan pada tiga suhu yaitu suhu

40○C, 50○C, dan 60○C dengan heksan sebagai pembanding. Kinetika

desorpsi isotermal beta karoten pada ketiga suhu tersebut memberikan

persamaan linier yang berbeda.

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa nilai koefisien

determinasi (r2) pada persamaan desorpsi cenderung tinggi pada desorpsi

isotermal beta karoten dengan menggunakan etanol maupun heksan. Hal

tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data percobaan

dengan persamaan desorpsi tinggi.

Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit

dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3 menit-1

meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Nilai konstanta laju

desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60○C menjadi 2,2 x 10-3 menit-1.

Peningkatan suhu desorpsi berarti akan menyebabkan meningkatnya laju

desorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu desorpsi

menyebabkan meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten dan etanol

yang teraktifkan. Selain fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang

efektif, fraksi molekul dari beta karoten dan etanol yang teraktifkan juga

berarti fraksi molekul yang energi kinetiknya meningkat. Fraksi molekul

beta karoten dan etanol yang energi kinetiknya meningkat menyebabkan

Page 51: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

36

meningkatnya laju desorpsi, yang kemudian berarti meningkatkan

konstanta laju desorpsi.

Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit

dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C sebesar 2,2 x 10-3 menit-1

meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Kenaikan konstanta

laju desorpsi tersebut menunjukkan laju reaksi yang meningkat dengan

meningkatnya suhu reaksi. Konstanta laju desorpsi menurun pada suhu

60○C menjadi 2,3 x 10-3 menit-1. Hal tersebut menunjukkan laju desorpsi

menurun yang kemungkinan disebabkan oleh etanol tidak hanya

mendesorpsi beta karoten tetapi juga senyawa lain seperti kotoran dan zat

warna lain. Kemungkinan lain yaitu adanya kerusakan beta karoten karena

oksidasi. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya

yang memiliki struktur ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi.

Walaupun demikian, nilai konstanta laju desorpsi beta karoten dari

atapulgit dengan menggunakan heksan tetap menunjukkan kecenderungan

meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi.

Berdasarkan Tabel 11 juga dapat diketahui nilai konstanta laju

desorpsi (kdes). Semakin meningkat suhu desorpsi, nilai konstanta laju

desorpsi (kdes) cenderung meningkat. Hal tersebut sesuai dengan

tercapainya kondisi kesetimbangan. Semakin tinggi konstanta laju desorpsi

(kdes), maka kondisi kesetimbangan semakin cepat tercapai. Begitu pula

sebaliknya. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan

heksan lebih tinggi daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan

menggunakan etanol. Tingginya nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan

menggunakan heksan tersebut sesuai dengan tercapainya kondisi

kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang lebih

cepat daripada desorpsi dengan menggunakan etanol.

Nilai θ menunjukkan nilai fraksi yang dapat didesorpsi dalam

reaksi tersebut. Nilai θ diperoleh dari nilai intershape menggunakan

program Mathematica 5.2 for Students. Berdasarkan Tabel 11 juga dapat

dilihat bahwa nilai konstanta laju desorpsi (kdes) yang cenderung

meningkat diikuti oleh peningkatan nilai fraksi terdesorpsi (θ). Hal

Page 52: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

37

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wankasi et al.

(2005), semakin cepat laju desorpsi, maka semakin tinggi nilai fraksi

terdesorpsi karena laju desorpsi semakin cepat pula. Nilai fraksi

terdesorpsi pada desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol

cenderung lebih besar dari pada nilai fraksi terdesorpsi dengan

menggunakan heksan pada masing-masing suhu. Hal tersebut sesuai

dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen yang dapat didesorpsi,

dimana konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan

menggunakan etanol lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi beta

karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan menggunakan heksan.

Pada masing-masing eluen yang digunakan nilai fraksi terdesorpsi

meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi. Hal tersebut karena

peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya fraksi molekul

dari beta karoten yang teraktifkan. Fraksi molekul yang menghasilkan

tumbukan yang efektif tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi

beta karoten yang terdesorpsi oleh eluen sehingga meningkatkan nilai

fraksi terdesorpsi.

2. Energi Aktivasi

Penentuan nilai konstanta laju desorpsi yang dilakukan pada

kondisi tiga suhu desorpsi yang berbeda selanjutnya digunakan untuk

mendapatkan energi aktivasi (Ea) reaksi desorpsi isotermal beta karoten

olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Untuk

mendapatkan energi aktivasi dari nilai konstanta laju desorpsi pada tiga

suhu desorpsi tersebut digunakan persamaan Arrhenius. Persamaan

Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan Svante Arrhenius

(1889) yang mengkuantitatifkan hubungan antara suhu reaksi dan energi

aktivasi dengan konstanta laju reaksi. Persamaan Arrhenius tersebut

kemudian dimodifikasi, sehingga menghasilkan bentuk persamaan garis

lurus (linier). Oleh karena itu, untuk menduga persamaan dari konstanta

laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi digunakan regresi linier. Regresi

linier merupakan persamaan persamaan matematik yang menduga

Page 53: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

38

hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini suhu desorpsi) dengan

satu peubah tak bebas (dalam hal ini konstanta laju desorpsi), dimana

hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Kurva regresi

linier hubungan antara suhu desorpsi (T) dengan konstanta laju desorpsi

(kdes) dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.

-7,00

-6,90

-6,80

-6,70

-6,60

-6,50

-6,40

-6,30

-6,20

-6,10

-6,000,00295 0,00300 0,00305 0,00310 0,00315 0,00320 0,00325

1/T

ln k

des

Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada

desorpsi dengan menggunakan etanol (r2 = 0,9914; kemiringan = 4119,67)

-6,14

-6,12

-6,10

-6,08

-6,06

-6,04

-6,02

-6,00

-5,98

-5,96

-5,940,00295 0,00300 0,00305 0,00310 0,00315 0,00320 0,00325

1/T

ln k

des

Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada

desorpsi dengan menggunakan heksan (r2 = 0,0751; kemiringan = 247,38)

Page 54: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

39

Berdasarkan kemiringan dari persamaan hasil regresi linier pada

Gambar 12 dan 13 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan

dikalikan dengan konstanta gas (R). Nilai koefisien determinasi (r2) pada

desorpsi dengan menggunakan heksan relatif kecil, sehingga nilai

kesalahan (error) relatif tinggi. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta

karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan

heksan pada tiga kondisi suhu desorpsi disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan

Eluen Energi aktivasi (kkal/mol)

Etanol 81,86 x 10-1

Heksan 4,91 x 10-1

Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan

untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Energi aktivasi

tersebut harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi

aktivasi juga kemudian berarti energi yang harus disimpan dalam spesies

antara (intermediate species), yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk

selama tumbukan molekul. Spesies antara ada dalam waktu singkat, dan

kemudian terurai, dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal (tidak terjadi

reaksi), atau menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Dalam hal ini, ikatan

van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit pada proses adsorpsi

meregang mendekati putus. Hanya molekul-molekul beta karoten dan

etanol yang memiliki energi kinetik yang melebihi energi aktivasi yang

kemudian mampu bereaksi. Molekul-molekul tersebut yang disebut

sebagai fraksi yang teraktifkan, yang kemudian berikatan hidrogen pada

proses desorpsi.

Semakin meningkat suhu desorpsi yang digunakan, maka laju

desorpsi juga semakin meningkat karena jumlah fraksi molekul yang

teraktifkan meningkat. Peningkatan laju reaksi juga dapat dilakukan

dengan menurunkan energi aktivasi. Semakin rendah energi aktivasi,

Page 55: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

40

semakin besar fraksi molekul yang teraktifkan dan semakin cepat reaksi

berlangsung.

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa energi aktivasi

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan

menggunakan etanol lebih besar (81,86 x 10-1 menit-1) daripada desorpsi

beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan

(4,91 x 10-1 menit-1). Hal tersebut berarti heksan lebih mudah bereaksi

dengan beta karoten daripada etanol. Selain itu, jumlah fraksi molekul

yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol lebih sedikit

dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Rendahnya jumlah

fraksi molekul yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol

tersebut menyebabkan rendahnya laju desorpsi yang dapat dilihat pada

nilai konstanta laju desorpsi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan

desorpsi menggunakan heksan. Selanjutnya, berdasarkan Tabel 12 dapat

dikatakan bahwa desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari

atapulgit dengan menggunakan etanol berjalan lebih lambat dibandingkan

dengan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit

dengan menggunakan heksan.

D. SELEKTIVITAS DESORPSI

Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit

dengan menggunakan heksan dilakukan dalam penelitian ini sebagai

pembanding. Heksan dipilih sebagai eluen dalam proses desorpsi karena

hanya dengan menggunakan heksan, alfa tokoferol terdeteksi pada High

Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sedangkan alfa tokoferol pada

percobaan desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol dan isopropanol

tidak terdeteksi pada High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit dengan

menggunakan heksan tersebut dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan

60○C. Perbandingan jumlah perolehan (recovery) beta karoten dengan alfa

tokoferol pada lama desorpsi 18 menit disajikan pada Tabel 13.

Page 56: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

41

Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol pada lama desorpsi 18 menit

Perlakuan Perolehan

beta karoten (recovery)(µg)

Perolehan alfa tokoferol (recovery) (µg) Suhu desorpsi Eluen

40○C Etanol 140 a

Heksan 171,5 793,38

50○C Etanol 101,5 a

Heksan 119 987,57

60○C Etanol 112 a

Heksan 70 664,43 a: tidak terdeteksi

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa pada lama desorpsi yang

sama, yaitu 18 menit, konsentrasi alfa tokoferol yang dapat didesorpsi jauh

lebih besar daripada beta karoten. Hal tersebut menunjukkan bahwa heksan

lebih bagus dalam mendesorpsi alfa tokoferol dibandingkan beta karoten.

Page 57: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

42

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit

kasar dengan menggunakan eluen etanol pada suhu 40○C paling lama dicapai

yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C,

masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL pada lama desorpsi

70 menit, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40 menit, dan 0,33 µg/mL pada

lama desorpsi 16 menit.

Pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit

dengan menggunakan eluen heksan, kondisi kesetimbangan desorpsi pada

suhu 40○C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan

desorpsi pada suhu 60○C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,61

µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5

menit, dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit. Kondisi kesetimbangan

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dipengaruhi

oleh suhu desorpsi dan jenis eluen yang digunakan.

Konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan etanol

meningkat cepat dan kondisi kesetimbangan tercapai dalam waktu yang relatif

lama, sedangkan konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan

menggunakan heksan meningkat relatif lambat dan kondisi kesetimbangan

tercapai dalam waktu yang relatif lebih cepat.

Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit

kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x

10-3 menit-1 meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Nilai

konstanta laju desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60○C menjadi 2,2 x

10-3 menit-1. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein

sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C

sebesar 2,2 x 10-3 menit-1 meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu

50○C, dan pada suhu 60○C menurun menjadi 2,5 x 10-3 menit-1.

Page 58: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

43

Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar

dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol. Nilai

tersebut lebih besar daripada energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta

karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan yaitu

4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi,

kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta

karoten. Pada lama dan suhu desorpsi yang sama, konsentrasi alfa tokoferol

yang dapat didesorpsi oleh eluen heksan lebih besar daripada beta karoten. Hal

tersebut menunjukkan bahwa heksan lebih bagus dalam mendesorpsi alfa

tokoferol.

B. SARAN

Beta karoten merupakan bahan yang mudah rusak oleh cahaya dan

oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi kondisi percobaan agar

bahan tidak mengalami kontak dengan cahaya dan oksigen. Selain itu,

perbandingan antara atapulgit dengan etanol perlu ditingkatkan agar diperoleh

konsentrasi beta karoten yang lebih besar. Penelitian lanjutan tentang

pemekatan larutan beta karoten dalam etanol juga perlu dilakukan sehingga

diperoleh konsentrat beta karoten yang hanya mengandung sedikit residu

etanol.

Page 59: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

44

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta.

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Baharin, B. S., K. A. Rahman, M. I. A. Karim, T. Oyaizu, K. Tanaka, Y. Tanaka dan S. Takagi. 1998. Separation of Palm Carotene from Crude Palm Oil by Adsorbtion Chromatography with A Synthetic Polymer Adsorbent. Vol 75, No. 3.

Basiron, Y. 2002. Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects. Oil

Palm Industry Economic Journal. Vol. 2, No. 1. Malaysian Palm Oil Board.

Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, dan E. Schneiter. 1995.

Teknologi Kimia Bagian 2. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Chu, B. S., B. S. Baharin, Y. B. C. Man, dan S. Y. Quek. 2004. Separation of

Vitamin E from Palm Fatty Acid Distillate Using Silica. III. Batch Desorption Study. Journal of Food Engineering 64. 1-7.

Chu, K. H. dan M. A. Hashim. 2001. Desorption of Copper from Polyvinyl

Alcohol-Immobilized Seaweed Biomass. Acta Biotechnol. 21 (2001) 4, 295-306.

Companion, A. L. 1991. Ikatan Kimia. Penerbit ITB. Bandung. Day Jr., R. A. dan A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Penerbit

Erlangga. Jakarta. Gelder, V. J. W. 2004. Greasy Palms: European Buyers of Indonesian Palm Oil.

Friends of Earth Ltd. London. Goodwin, T. W. 1976. Chemistry & Biochemistry of Plant Pigments. II, Second

Edition. Academic Press. New York. Grim, R. E. 1968. Clay Minerology. McGraw-Hill Inc. Amerikat Serikat. Hugo, M. 1997. Meningkatkan Konsentrasi Beta Karoten Minyak Kelapa Sawit

Kasar dengan Teknik Saponifikasi dan Diversifikasi Tingkat Polaritas Pelarut. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.

Page 60: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

45

Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 5th Edition Volume 4 Edible Oil and Fat Product: Processing Technology. John Wiley & Sons. Amerika Serikat.

IUPAC. 2001. Lexicon of Lipid Nutrition (IUPAC Technical Report). Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 4, pp. 685-744.

Keenan, C. W., D. C. Kleinfelter, dan J. H. Wood. 1984. Kimia untuk Universitas.

Penerbit Erlangga. Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.

Jakarta. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1963. Encyclopedia of Chemical Technology

Second Edition. Vol. 1. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology

Second Edition. Vol. 5. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1965. Encyclopedia of Chemical Technology

Second Edition. Vol. 8. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.

Lansbarkis. 2000. Attapulgite Clay. www.atb.com (18 Agustus 2006). Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man dan R. A. Rahman. 2000. Evaluation

of Different Types of Synthetic Adsorbents for Carotene Extraction from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 77, No. 12.

Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man, dan R. A. Rahman. 2001. Effect of

Adsorption and Solvent Extraction Process on the Percentage of Carotene Extracted from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 78, No. 1.

Maulana, F. 2004. Model Persamaan Matematika Parameter Kualitas Produk

Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Campuran Atapulgit dan Natrium Bisulfat. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.

Muchtadi, T. R. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit

(Elaeis gieneensis jacca) dalam Rangka Optimalisasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Pro Vitamin A. Disertasi. Direktorat Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Naibaho, P. M. 1983. Pemisahan Karotena (provitamin A) Minyak Sawit dengan

Metoda Adsorbsi, Disertasi, FPS, IPB. Bogor.

Page 61: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

46

Novinda. 1995. Studi Penentuan Formulasi Pelarut Kimia untuk Pemekatan Beta Karoten Minyak Sawit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.

Nur, H. M. A., M. S. Saeni, Z. A. Mas’ud, L. K. Darusman, S. S. Achmadi,

Purwantiningsih, Z. Fatma, G. Syahbirin, D. Saprudin, Risnayeti, A. Sjachriza, D. Sajuthi, L. Ambarsari, B. Marita, Aryeti, M. Sjachri, Djarot S. H., dan K. Sutriah. 2002. Kimia Dasar II. Jurusan Kimia. FMIPA-IPB. Bogor.

Saputra, V. 1996. Formulasi Produk Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak

Sawit Merah. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Sirait, K. E. E. 2007. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar

dari Atapulgit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. SNI. 1998. Crude Palm Olein (01-0016-1998). Badan Standarisasi Nasional.

Jakarta.

Suryadarma P., S. Raharja, dan I. A. Kartika. 2006. Rekayasa Proses Pemisahan dan Pemurnian Vitamin A dan E dari Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) di Industri Pemurnian Minyak Goreng Sawit. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan IPB. Bogor.

Swern, D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 4th Edition Volume 2.

John Wiley & Sons. Amerika Serikat. Wankasi, D., M. Horsfall Jnr dan A. I. Spiff. 2005. Desorption of Pb2+ and Cu2+

from Nipa Palm (Nypa fructicans Wurmb) Biomass. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp. 923-927.

www.apotik2000.net. 2006 (16 Agustus 2006). www.cnhymc.com. 2003 (18 Agustus 2006). Yuliarti, E. 2007. Kinetika Desorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar dari

Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.

Zeb, A. dan S. Mehmood. 2004. Carotenoids Contents from Various Sources and

Their Potential Health Applications. Pakistan Journal of Nutrition 3 (3): 199-204.

Zuna, S. U. 2004. Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Atapulgit untuk

Menghasilkan Pelumas Dasar Rolling Oil. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.

Page 62: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

47

LAMPIRAN

Page 63: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

48

Lampiran 1. Prosedur penelitian

a. Pembuatan kurva standar

Kurva standar yang digunakan adalah kurva standar beta karoten

dalam etanol dan heksan. Beta karoten standar dan alfa tokoferol standar

masing-masing 0,0005 g dicampur dan dilarutkan ke dalam etanol dan heksan,

kemudian ditera dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya dibuat beberapa

konsentrasi larutan beta karoten dalam etanol dan heksan, dan diukur secara

spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm.

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0

Konsentrasi beta karoten [µg/mL]

Nila

i abs

orba

nsi

Gambar kurva standar beta karoten dalam etanol (y = 0,1558x, r2 = 0,9961)

Page 64: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

49

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0Konsentrasi beta karoten [µg/mL]

Nila

i abs

orba

nsi

Gambar kurva standar beta karoten dalam heksan (y = 0,3129x, r2 = 0,9938)

b. Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit

Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit merupakan penelitian terdahulu

sebelum percobaan desorpsi dilakukan. Atapulgit sebanyak 300 g dan 900 mL

olein (1:3) disiapkan di dalam suatu reaktor berpengaduk dengan kapasitas 2 L.

Reaksi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 120 rpm dan suhu 60○C.

Pengambilan sampel dilakukan pada masing-masing waktu yang diujikan yaitu

1, 3, 5, 7, 9, 12, 15, 18, 21, 26, 36, 51, 71, 101, 131, dan 171 menit. Selanjutnya

sampel disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum

untuk memisahkan antara atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten

dengan olein. Olein yang telah diadsorpsi beta karotennya diukur absorbansinya

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm.

Page 65: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

50

Tabel data hasil perhitungan Co-Ce

t [menit] absorbansi spektrofotometer Ce (µg/mL) Co-Ce (µg/mL) 0 1,2800 409,0764 0,0000 1 0,9525 304,4104 104,6660 3 0,8975 286,8329 122,2435 5 0,8450 270,0543 139,0221 7 0,9050 289,2298 119,8466 9 0,8950 286,0339 123,0425

12 0,8500 271,6523 137,4241 15 0,8575 274,0492 135,0272 18 0,7790 248,9613 160,1151 21 0,7840 250,5593 158,5171 26 0,7660 244,8066 164,2698 36 0,6750 215,7239 193,3525 51 0,6070 193,9917 215,0847 71 0,6020 192,3937 216,6827

101 0,5330 170,3420 238,7344 131 0,5210 166,5069 242,5695 171 0,4620 147,6510 261,4254

Keterangan :

v1 = 900 mL

m1 = 300 g

Co = 409,0764 µg/mL

Persamaan kurva standar x = y/0,3129

Data hasil perhitungan Co–Ce di atas dirata-rata sehingga diperoleh nilai rata-

rata Co-Ce = 160,707 µg/mL

qe = v1/m1 (Co-Ce)

qe = 900/300 (160,707)

qe = 482,12 µg/g

Contoh perhitungan qt pada lama desorpsi 2 menit (eluen etanol, suhu 40○C) :

qe = 482,12 µg/g

v2 = 350 mL

m2 = 7 g

Ct = 0,1123 µg/mL

Page 66: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

51

qt = qe – v2/m2 x Ct

qt = 482,12 – 350/7 x 0,1123

qt = 476,51 µg/g

Page 67: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

52

Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001)

a. Eluen etanol

Keterangan :

qe = 482,12 µg/g v2 = 350 mL m2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0,1558

1. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0175 0,1123 476,51 0,988 -0,012 4 0,0220 0,1412 475,06 0,985 -0,015 6 0,0295 0,1893 472,65 0,980 -0,020 8 0,0380 0,2439 469,93 0,975 -0,026

10 0,0380 0,2439 469,93 0,975 -0,026 12 0,0485 0,3113 466,56 0,968 -0,033 14 0,0655 0,4204 461,10 0,956 -0,045 16 0,0620 0,3979 462,22 0,959 -0,042 18 0,0630 0,4044 461,90 0,958 -0,043 24 0,0640 0,4108 461,58 0,957 -0,044 40 0,0825 0,5295 455,65 0,945 -0,056 80 0,1310 0,8408 440,08 0,913 -0,091

140 0,1100 0,7060 446,82 0,927 -0,076

Page 68: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

53

2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 50○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0160 0,1027 476,99 0,989 -0,011 4 0,0175 0,1123 476,51 0,988 -0,012 6 0,0190 0,1220 476,02 0,987 -0,013 8 0,0265 0,1701 473,62 0,982 -0,018

10 0,0260 0,1669 473,78 0,983 -0,017 12 0,0365 0,2343 470,41 0,976 -0,025 14 0,0480 0,3081 466,72 0,968 -0,032 16 0,0400 0,2567 469,28 0,973 -0,027 18 0,0455 0,2920 467,52 0,970 -0,031 24 0,0630 0,4044 461,90 0,958 -0,043 40 0,0965 0,6194 451,15 0,936 -0,066 80 0,0940 0,6033 451,95 0,937 -0,065

140 0,0990 0,6354 450,35 0,934 -0,068

Page 69: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

54

3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 60○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0080 0,0513 479,55 0,995 -0,005 4 0,0100 0,0642 478,91 0,993 -0,007 6 0,0200 0,1284 475,70 0,987 -0,013 8 0,0210 0,1348 475,38 0,986 -0,014

10 0,0290 0,1861 472,81 0,981 -0,019 12 0,0410 0,2632 468,96 0,973 -0,028 14 0,0450 0,2888 467,68 0,970 -0,030 16 0,0535 0,3434 464,95 0,964 -0,036 18 0,0500 0,3209 466,08 0,967 -0,034 24 0,0505 0,3241 465,92 0,966 -0,034 40 0,0545 0,3498 464,63 0,964 -0,037 80 0,0605 0,3883 462,71 0,960 -0,041

Page 70: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

55

b. Eluen heksan

Keterangan :

qe = 482,12 µg/g v2 = 350 mL m2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0,3129

1. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer Konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0975 0,3116 466,54 0,968 -0,033 4 0,1055 0,3372 465,26 0,965 -0,036 6 0,1175 0,3755 463,35 0,961 -0,040 8 0,1325 0,4235 460,95 0,956 -0,045

10 0,1290 0,4123 461,51 0,957 -0,044 12 0,1365 0,4362 460,31 0,955 -0,046 14 0,1405 0,4490 459,67 0,953 -0,048 16 0,1585 0,5066 456,79 0,947 -0,054 18 0,1545 0,4938 457,43 0,949 -0,053 24 0,2025 0,6472 449,76 0,933 -0,069 30 0,1780 0,5689 453,68 0,941 -0,061

Page 71: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

56

2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 50○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0530 0,1694 473,65 0,982 -0,018 4 0,0740 0,2365 470,30 0,975 -0,025 6 0,0860 0,2748 468,38 0,971 -0,029 8 0,1200 0,3835 462,95 0,960 -0,041

10 0,1375 0,4394 460,15 0,954 -0,047 12 0,1290 0,4123 461,51 0,957 -0,044 14 0,1185 0,3787 463,19 0,961 -0,040

3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 60○C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0155 0,0495 479,64 0,995 -0,005 4 0,0275 0,0879 477,73 0,991 -0,009 6 0,0260 0,0831 477,97 0,991 -0,009 8 0,0640 0,2045 471,89 0,979 -0,021

10 0,0690 0,2205 471,10 0,977 -0,023 12 0,0885 0,2828 467,98 0,971 -0,030 14 0,0735 0,2349 470,38 0,976 -0,025

Page 72: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

57

Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students

a. Eluen etanol

1. Suhu 40○C

ln qt/qe = -0,0010t – 0,0129

Solve[Log[θ]-θ -1.0129,θ]

InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values

may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.847859},{θ→1.16934}}

2. Suhu 50○C

ln qt/qe = -0,0016t – 0,0044

Solve[Log[θ]-θ -1.0044,θ]

InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values

may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.909102},{θ→1.09676}}

3. Suhu 60○C

ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009

Solve[Log[θ]-θ -0.9991,θ]

InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values

may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.9994 -0.0424243 ™}}

Page 73: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

58

b. Eluen heksan

1. Suhu 40○C

ln qt/qe = -0,0022t – 0,0183

Solve[Log[θ]-θ -1.0183,θ]

InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values

may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.820689},{θ→1.2037}}

2. Suhu 50○C

ln qt/qe = -0,0026t – 0,0091

Solve[Log[θ]-θ -1.0091,θ] InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Valuesmay be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.87109},{θ→1.14104}}

3. Suhu 60○C

ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005

Solve[Log[θ]-θ -0.9995,θ]

InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values

may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some

solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…

{{θ→0.999667 -0.0316219 ™}}

Page 74: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

59

Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea)

Regresi linier untuk menentukan Ea:

kdes = Ae-Ea/RT

ln kdes = -(Ea/RT) + ln A

ln kdes = -(1/T)(Ea/R) + ln A

Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k disajikan pada gambar berikut

Gambar regresi linier hubungan 1/T dengan ln kdes

Contoh perhitungan energi aktivasi pada eluen etanol :

Ea/R = 4119,6665

R = 1,987 kal/mol K

Ea = 4119,6665 x 1,987

Ea = 8,186 kkal/mol

Kemiringan = -Ea/R

1/T

ln kdes

Page 75: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

60

Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten

Gambar atapulgit sebelum (kiri) dan setelah (kanan) mengadsorpsi beta karoten

Lampiran 6. Dokumentasi penelitian

Gambar spektrofotometer 20D+

Page 76: Kinetika desorpsi isotermal beta karoten.pdf

61

Gambar High Performance Liquid Chromatography (HPLC), detektor ultraviolet (UV), kolom Zorbax Sil dengan ukuran 250 x 4,6 mm.

Gambar shaker yang dilengkapi dengan waterbath