KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI...

96
i KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh Widodo NIM : 21111039 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015

Transcript of KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI...

i

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM

MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG

DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

Widodo

NIM : 21111039

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2015

ii

iii

iv

v

MOTTO

علم القران وعلمهتخيركم من

(Rasulullah saw)

“SEBAIK-BAIK MANUSIA

ORANG YANG SELALU

MENEBAR KEBAIKAN

DAN MEMBERI MANFAAT

BAGI ORANG LAIN”

(Rasulullah saw)

“Teringat ku teringat akan janji-MU ku terikat

Hanya sekejap ku berdiri

Ku lakukan sepenuh hati

Peduli ku peduli siang dan malam yang berganti

Sedih ini tak ada arti

Jika KAU lah sandaran hati”

(Letto)

vi

PERSEMBAHAN

Ayahanda & Ibunda Tercinta…

Karena dengan bimbingan, kasih sayang dan doa restu keduanyalah aku mampu melangkah

ke depan dengan penuh optimis untuk meraih cita-citaku

Bapak KH. Abdullah Hanif & Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh Pengasuh PP. Bustanu

Usysyaqil Qur’an

Yang saya nanti-nantikan berkah & ridhonya

Rektor IAIN Salatiga beserta segenap sivitas akademika IAIN Salatiga, yang telah banyak

memberikan ilmu, dukungan, dan bantuannya.

Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku dosen pembimbing, yang telah dengan senang hati

membimbing saya hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini

Ketua Pengadilan Agama Mungkid beserta seluruh Hakim dan jajaran pegawai Pengadilan

Agama Mungkid, yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di instansinya.

Teman-teman seperjuangan AS 2011

Segenap Pengurus Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an

Semua santri Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an

Terima kasih atas persahabatan yang indah ini

Semua pihak yang membantu selama penulisan skripsi ini.

vii

KATA PEGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamien, segala puji syukurku hanya bagi Allah SWT

yang Maha Mengetahui apa yang tampak maupun tersembunyi, karena atas

rahmat, hidayah, dan inayah serta taufiq-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar.

Lantunan Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada

baginda Rosulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari

zaman Jahiliah menuju zaman Islamiah atau zaman kegelapan menuju zaman

terang benderang, semoga pada ahir kelak kita diakui oleh umatnya dan mendapat

syafa’atnya, Amin.

Alhamdulillah, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul

“KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT

NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA

BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Keputusan

Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” ini telah

selesai.

Skripsi ini merupakan salah satu karya guna memperoleh gelar Sarjana Syariah

Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Hasil

karya ini tidak lepas dari peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa

pamrih memperlancar penulisan ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa

penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dan terlaksana dengan baik tanpa

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti menyampaikan ucapan terima

kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Ag sebagai Rektor Institut Agama Islam

Negeri Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah.

3. Bapak Sukron Makmun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AS.

viii

4. Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku pembimbing skripsi dan

pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya semata-mata

untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga

terselesainya skripsi ini.

5. Seluruh Bapak, Ibu Dosen IAIN Salatiga.

6. Drs. Lanjarto, MH, besrta stafnya di Pengadilan Agama Mungkid

yangberkenan memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan

penelitian di sana.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan doa serta

motivasinya, baik moral maupun spiritual.

8. Kepada siapapun yang memberikan ilmunya padaku, semoga Allah

memberikan pembalasan dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

9. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan dan dukungannya hingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada semuanya atas bantuan yang diberikan, penulis berdoa

semoga amal baik dari beliau semua mendapatkan balasan yang sesuai dan

mendapatkan ridlo Allah SWT.

Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, peneliti membuka tangan yang selebar-lebarnya terhadap kritik dan

saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, peneliti

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan

peneliti pada khususnya.

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 13 Juli 2015

Penulis

ix

ABSTRAK

Widodo. 2015. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Isbat Nikah

Pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU Perkawinan

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd). Skripsi Fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al-

Syakhshiyyah., Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen

Pembimbing : Heni Satar Nurhaida, M.Si.

Kata Kunci : Kewenangan, Pengadilan Agama, Isbat Nikah, Perkawinan, UU

Perkawinan.

Berdasarkan penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang

No. 3 Tahun 2006 bahwa permohonan Isbat Nikah yang menjadi kompetensi

absolut Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan sebelum

berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun Pengadilan Agama

Mungkid melalui penetapan Isbat Nikah Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

mengabulkan permohonan Isbat Nikah yang perkawinan para pemohon dilakukan

pada tahun 1989. Hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan

Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI (Inpres

No. 1 Tahun 1991) dilihat dari kedudukannya, berada dibawah Undang-Undang

No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiori,

KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan latar belakang

di atas, ada beberapa masalah yang akan penulis kaji : Pertama, apa dasar hukum

dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan

Isbat Nikah perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Kedua, bagaimana

kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian yang

dilakukan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi, wawancara, dan

studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis

dengan menggunakan pola pikir deduktif.

Dasar hukum dan pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut

adalah pasal 7 ayat (3) huruf (e) KHI, pengakuan dari para pihak serta

pertimbangan maslahah bagi masyarakat. Kewenangan Pengadilan Agama dalam

mengadili permohonan Isbat Nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a)

angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terbatas

pada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan. Namun

pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam juga memberikan kewenangan

Pengadilan Agama mengadili Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan

setelah berlakunya UU Perkawinan. Namun, tidak ada pertentangan antara kedua

ketentuan tersebut. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh hakim adalah

sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada perkawinan

paska UU Perkawinan.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i

PENGESAHAN…………………………………………………………………..ii

NOTA PEMBIMBING…………………………………………………………..iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………………….iv

MOTTO……………………………………………………………………………v

PERSEMBAHAN………………………………………………………………...vi

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii

ABSTRAK………………………………………………………………………..ix

DAFTAR ISI………………………………………………………………………x

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..………………………………………………….1

B. Rumusah Masalah………………………………………………………....6

C. Tujuan Penelitian.………………………………………………………....6

D. Kegunaan Penelitian……...…………………………………………….….7

E. Penegasan Istilah…………………………………………………………..8

F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………..9

G. Metode Penelitian………………………………………………………...11

H. Sistematika Penulisan…………………………………………………….15

BAB II ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Isbat Nikah……………………………………………….………………17

1. Pengertian Isbat Nikah…….…………………………………………17

xi

2. Dasar Hukum Isbat Nikah …………….…………………………….18

3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama…………………………20

B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan

Indonesia. ……………………………………………………………….22

1. Sejarah Lahirnya KHI……………………………………………….22

2. Sistematika KHI……………………………………………………..23

3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia…25

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN

PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

A. Peradilan Agama…………………………………………………………27

1. Pengertian Peradilan Agama…………………………………………27

2. Sejarah Peradilan Agama…………………………………………….28

3. Kewenangan Peradilan Agama………………………………………33

B. Profil Pengadilan Agama Mungkid………………………………………44

1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid…………………………………44

2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid………………………...………45

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid…………………….……46

4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid………….…….47

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid……………………51

6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid………………..52

C. Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

xii

1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..56

2. Penyelesaian Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..57

3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd…………………………………..60

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID

NOMOR : 0146/PDT.P/2014/PA.Mkd

A. Analisis Hukum Acara (Hukum Formil) Penetapan Hakim Pengadilan

Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……………………64

1. Pihak-Pihak dalam Perkara…………………………………………..64

2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah…………………….64

3. Proses Persidangan…………………………………………………...66

4. Format Penetapan…………………………………………………….70

B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materil) terhadap

Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……………………………………………….73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………78

B. Saran-Saran………………………………………………………………80

C. Penutup…………………………………………………………………...81

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………82

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi sunnatullah jika segala sesuatu diciptakan

berpasang-pasangan, demikian halnya dengan manusia yang diciptakan

berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Hikmah yang terkandung

adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia melalui

perkawinan yang sah.

Dengan perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang

terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dari

pergaulan harmonis tersebut akan terbina rumah tangga yang damai dan

tenteram. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang kuat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Mengingat kedudukan hukum

perkawinan sangat penting menurut Islam, maka tidak salah jika Islam

mengatur masalah perkawinan dengan sangat rinci.

Negara juga turut campur dalam menangani masalah yang

berkaitan seputar perkawinan dengan diterbitkannya peraturan yang

mengatur perkawinan. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Sipil (BW), Ordonasi Perkawinan Indonesia

Kristen (Huwelyks Ordonansi voor de Christenen Indonesiers), Staatsblad

1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde

2

Huwelyken), Staatblad 1898 No. 158 dan Undang-undang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 No. 32 serta Peraturan-

peraturan Menteri Agama mengenai pelaksanaannya. (Basyir, 1980:7)

Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974 diterbitkanlah Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diterbitkannya undang-

undang tersebut, maka peraturan-peraturan sebelumnya sejauh telah diatur

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku.

Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pasal

2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa ”Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan

“Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.

Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mempengaruhi keabsahan

perkawinan menurut hukum Islam. Namun pencatatan ini hanya bersifat

administratif guna memperoleh akta nikah sebagai bukti otentik telah

dilakukannya suatu perkawinan. Dengan memiliki akta nikah berarti

pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan memperoleh

perlindungan serta kepastian hukum dari negara.

3

Dengan demikian, pasca terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 menjadi sebuah keharusan perkawinan supaya dicatatkan ke Pegawai

Pencatat Nikah (PPN). Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan

sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat

mengajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang

beragama Islam atau ke Pengadilan Negeri bagi non-muslim.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama dijelaskan kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi

beban tugas Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 ditentukan bahwa

Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. (Djalil, 2006:142)

Salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama yang diberikan

undang-undang tersebut dalam bidang perkawinan adalah permohonan

Isbat Nikah. Dalam penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 dinyatakan yang dimaksud Isbat Nikah adalah

“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut

peraturan yang lain”.

Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa permohonan

Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah

perkawinan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.

4

1 Tahun 1974. Namun dalam prakteknya, Isbat Nikah yang diajukan ke

Pengadilan Agama sebagian besar adalah perkawinan yang dilakukan

setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Salah satu

contoh adalah penetapan Isbat Nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Agama Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd yang perkawinan para

pemohon dilakukan pada tahun 1989.

Dasar hukum yang sering digunakan oleh hakim di Pengadilan

Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan

yang dilakukan setelah terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal 7 (2) disebutkan

“Dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat

diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Pasal 7 (3) berbunyi :

Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b) Hilangnya Akta Nikah;

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat

perkawinan;

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan;

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974

Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari

kedudukannya, tidak ditemukan dalam hierarki perundang-undangan yang

diatur Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, posisi KHI

berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan

stufenbau teori yang disampaikan oleh Hans Kelsen, peraturan perundang-

5

undangan terbawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berada di atasnya. (Farkhani, 2009:44-45) Jika Inpres

(KHI) bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka KHI

tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas lex superiori derogate

lex inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di

bawahnya).

Berdasarkan paparan di atas, seharusnya hakim Pengadilan Agama

menolak permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah

diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dikhawatirkan

dengan diterimanya permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

berakibat semakin maraknya nikah sirri karena pada akhirnya dapat

diisbatkan di Pengadilan Agama.

Dari uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti kasus tersebut

dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM

MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG

DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN”

(Studi Analisis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”.

6

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas ada beberapa masalah yang akan

penulis kaji, yaitu :

1. Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama

Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?

2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat

Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi

Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas,

maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan

Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkara

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.

2. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam

mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

dan Kompilasi Hukum Islam.

7

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan

mendalami ilmu hukum khususnya tentang permohonan Isbat

Nikah di Pengadilan Agama.

b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum serta

berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang

Hukum Perkawinan terutama terkait dengan masalah Isbat Nikah

masa kini dan masa yang akan datang.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Bagi Hakim

Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar dan

tepat dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar hukum

yang dipakai dalam mengadili permohonan Isbat Nikah.

b. Bagi Para Pihak

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan

dengan masalah Isbat Nikah. Serta dapat menjadi rujukan terkait

permohonan Isbat Nikah.

8

E. Penegasan Istilah

Kata “kewenangan” di sini sering disebut juga dengan

“kompetensi”. Kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama terdiri atas

kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Isbat Nikah merupakan salah

satu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama.

Pengertian kompetensi absolut adalah “kewenangan suatu badan

pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak

tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain”. (Mahkamah Agung RI,

2014:69)

Pengadilan Agama “merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai

perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang”. (Mahkamah

Agung RI, 2014:55)

Mengadili artinya “memeriksa, menimbang, dan memutuskan

(perkara, persengketaan dsb)”. (Poerwadarminta, 1982:16)

Isbat Nikah adalah pengesahan perkawinan yang tidak dicatatkan

ke Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pengadilan Agama. (KHI pasal 7)

Menurut pasal (1) UU No. 1 tahun 1974 (2006:40), Perkawinan

ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

9

F. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana diketahui bahwa judul skripsi ini adalah

“Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Permohonan Isbat

Nikah Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum

Islam (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”. Melalui Penelitian ini, Penulis ingin

mengungkapkan bagaimana kewenangan yang menjadi kompetensi

absolut dari Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan

Kompilasi Hukum Islam. Serta bagaimana pendapat hakim Pengadilan

Agama Mungkid dalam menyikapi terjadinya perbedaan kewenangan yang

diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum

Islam dan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengabulkan

permohonan Isbat Nikah.

Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, di

bawah ini akan penulis sebutkan beberapa penelitian yang pernah

dilakukan tentang Isbat Nikah :

1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah dengan judul “Pelaksanaan Isbat

Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun

2009-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan pelaksanaan Isbat

Nikah di Pengadilan Agama Salatiga mulai pendaftaran perkara sampai

pembacaan penetapan. Dijelaskan pula, bahwa faktor yang mendorong

10

masyarakat Salatiga mengajukan Isbat Nikah adalah karena Akta

Nikah mereka hilang. Untuk itu mereka mengajukan permohonan Isbat

Nikah supaya KUA mengeluarkan Akta Nikah baru yang menjadi

bukti otentik adanya perkawinan.

2. Skripsi karya Achmad Kurniawan dengan judul “Isbat Nikah dalam

Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa

Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”. Dari penelitian tersebut,

diuraikan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon yang

mengajukan Isbat Nikah pada perkawinan kedua (poligami) pemohon

meskipun perkawinan tersebut dilakukan secara sirri. Dasar

pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut dikarenakan

seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan

tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap

perkawinan tersebut. Sementara dasar hukum yang dipergunakan oleh

hakim mengesahkan perkawinan dalam rangka izin poligami adalah

karena perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974. Sehingga perkawinan yang sudah sesuai

dengan bunyi undang-undang dianggap sah meskipun tidak dicatatkan.

11

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat guna menjawab rumusan

masalah yang diformulasikan, maka metode penelitian yang penulis

gunakan adalah :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

menggunakan prosedur analisis statistif atau cara kuantifikasi lainnya.

(Moleong, 2008:6)

Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

mendapatkan data dengan bahan atau materi salinan penetapan Isbat

Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Selanjutnya dilakukan penelitian

lapangan untuk menggali lebih dalam alasan-alasan hakim Pengadilan

Agama Mungkid dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada

perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan.

Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan

Yuridis Normatif. Yaitu pendekatan untuk menemukan apakah suatu

perbuatan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku

atau tidak. Dengan pendekatan ini akan dapat mengetahui semua hal

tentang kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah menurut

perundang-undangan dan prakteknya di Pengadilan Agama.

12

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus

menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah

alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen

ini hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di

lapangan mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk

mencari dokumen salinan penetapan Isbat Nikah yang akan dijadikan

bahan analisis serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna

menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui

statusnya sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Mungkid.

Karena kasus yang sesuai dengan judul penelitian, penulis temukan di

Pengadilan Agama Mungkid.

4. Sumber Data

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah salinan

penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Sebagai sumber

data tambahan, penulis juga melakukan wawancara dengan hakim

Pengadilan Agama Mungkid untuk lebih memperjelas data yang

dibutuhkan. Selain itu, data juga diperoleh dari literatur yang

mendukung dan berkaitan dengan penelitian ini.

13

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik mencari data mengenai hal-hal

yang variabel yang memungkinkan untuk dijadikan referensi

berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya. (Suharsimi, 1998:236) Dalam hal

penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah berupa berkas

salinan penetapan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Mungkid.

b. Wawancara

Wawancara digunakan untuk memperoleh beberapa jenis

data dengan teknik komunikasi secara langsung. (Surakhmad,

1990:170) Wawancara ini dilakukan untuk menggali keterangan

tentang pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengadili

permohonan Isbat Nikah. Sasaran wawancara adalah hakim

Pengadilan Agama Mungkid.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari

bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku,

surat kabar, makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan buku-buku tentang hukum

perkawinan di Indonesia maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.

Penulis juga menggunakan hasil penelitian terdahulu yang

berkaitan sebagai rujukan tambahan dan pembanding.

14

6. Analisa Data

Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis

dengan menggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan

hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum

tentang Isbat Nikah, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat

khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan Pengadilan Agama

Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Hasil penelitian

kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut, sehingga

mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti

dalam penelitian ini.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam

penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa

fakta. Fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan

pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan

menggunakan teknik-teknik kehadiran peneliti di lapangan, pelacakan

kesesuaian dan wawancara. Jadi temuan data tersebut dapat diketahui

keabsahannya.

8. Tahap-tahap Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian

pendahuluan ke Pengadilan Agama Mungkid untuk mencari data awal

mengenai kasus Isbat Nikah. Kemudian penulis melakukan

pengembangan desain dari data awal tadi dan selanjutnya penulis

15

melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan

penulisan laporan hasil penelitian tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempeoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam

memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan memberikan

gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas, dengan

sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II berisi kajian pustaka yang menjelaskan tinjauan umum

tentang Wewenang Pengadilan Agama, Isbat Nikah, dan Kedudukan

Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia.

Bab III merupakan hasil temuan di lapangan yang meliputi profil

Pengadilan Agama Mungkid, salinan Penetapan Isbat Nikah Nomor :

00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd dan faktor-faktor yang melatarbelakangi

dikabulkannya permohonan tersebut.

Bab IV merupakan analisis data dan temuan di lapangan, yang

meliputi analisis terhadap pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan

oleh hakim dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah Nomor :

00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.

16

Bab V adalah kesimpulan dari beberapa bab terdahulu. Di samping

itu penulis akan memberikan saran dan diakhiri dengan penutup.

17

BAB II

ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM

SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Isbat Nikah

1. Pengertian Isbat Nikah

Isbat berasal dari bahasa Arab االثبات yang berarti penetapan

atau pengukuhan. Menurut pasal 7 KHI, Isbat Nikah adalah

pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat

agama Islam, yang tidak dicatatkan ke KUA oleh Pengadilan Agama.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan

kepada Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan ini memang tidak

mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, karena pencatatan hanya

untuk keperluan administratif. Dengan dicatatkannya suatu

perkawinan, maka yang bersangkutan akan mendapat Akta Nikah yang

merupakan bukti otentik suatu perkawinan. Sehingga perkawinan

tersebut memiliki kekuatan hukum dan perlindungan dari negara.

Bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum itu bagi

suami-isteri adalah, jika salah satu dari suami atau isteri melalaikan

kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke

pengadilan. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang dicatatkan

akan memperoleh hak-haknya berupa biaya hidup dan biaya

18

pendidikan dari ayahnya jika ayah dan ibunya bercerai. Atau jika

ayahnya meninggal dunia maka anak tersebut berhak untuk

mendapatkan warisan.

Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan sebelum

diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan

permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang beragama

Islam. Isbat Nikah atau penetapan perkawinan adalah pengesahan

perkawinan yang dicatatkan kepada PPN oleh Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama hanya diperbolehkan mengabulkan

permohonan Isbat Nikah sepanjang perkawinan memenuhi syarat dan

rukun yang ditetapkan Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan

sebagaimana diatur dalam pasal 8 s/d 10 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 dan pasal 39 s/d 44 Kompilasi Hukum Islam. Dengan penetapan

dari Pengadilan Agama itu, pemohon dapat mengajukan pencatatan

perkawinannya ke KUA.

2. Dasar Hukum Isbat Nikah

Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan

Isbat Nikah diatur dalam pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang

No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal tersebut berbunyi

“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan

menurut peraturan lainnya”.

19

Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam juga

menjelaskan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat

Nikah. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan “Dalam hal perkawinan tidak

dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya

ke Pengadilan Agama”. Dan pasal 7 ayat (3) berbunyi :

Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat

perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum

berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halanganmenurut Undang-Undang No. 1

Tahun 1974.

Berdasarkan penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006, permohonan Isbat Nikah yang dapat

diajukan ke Pengadilan Agama hanya pada perkawinan yang dilakukan

sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sementara

Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, dan e membuka

peluang bagi Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

20

3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama

Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan Isbat

Nikah sebagaimana diatur pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Peradilan Agama (2014:143-146) harus memedomani

hal-hal sebagai berikut :

a. Permohonan Isbat Nikah dapat dilakukan oleh suami-isteri

atau salah satu dari suami atau isteri, anak, wali nikah, dan

pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut

kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dalam

wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan

permohonan Isbat Nikah harus dilengkapi dengan alasan

dan kepentingan yang jelas serta konkrit.

b. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan

oleh suami dan isteri bersifat voluntair, produknya berupa

penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan

Isbat Nikah, maka para pemohon dapat mengajukan upaya

hukum kasasi.

c. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan

oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius,

dengan mendudukkan suami atau isteri yang tidak

mengajukan permohonan sebagai pihak termohon.

Produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut

dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

d. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah

dalam huruf (b) dan (c) diketahui bahwa suami masih

terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain,

maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara.

Jika pemohon tidak bersedia merubah permohonannya

dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak,

permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

e. Permohonan Isbat Nikah yang dilakukan oleh anak, wali

nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat

kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau

ahli waris lain sebagai termohon.

f. Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau

suaminya, dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah

secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya

sebagai pihak termohon. Produknya berupa putusan dan

atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.

g. Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak

mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka

21

permohonan Isbat Nikah diajukan secara voluntair,

produknya berupa penetapan. Jika permohonan tersebut

ditolak, maka pemohon dapat mengajukan upaya hukum

kasasi.

h. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi

pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut

dalam huruf (b) dan (f), dapat melakukan perlawanan

kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang

memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perkara

belum diputus.

i. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi

pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut

dalam huruf (c), (d), dan (e), dapat mengajukan intervensi

kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang

memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perakara

belum diputus.

j. Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak

menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah

tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), sedangkan

permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariah, dapat mengajukan gugatan

pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh

Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut.

k. Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima PMH,

membuat PHS sekaligus memerintahkan juru sita pengganti

untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah

tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada

media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya

diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariah.

l. Majelis Hakim dalam menetapkan hari siding paling lambat

3 hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari

pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan

hari sidang.

m. Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi

“Menyatakan sah perkawinan antara………dengan………yang

dilaksanakan pada tanggal………………..di…………………”.

22

B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan

Indonesia

1. Sejarah Lahirnya KHI

Dalam Islam dikenal ada tiga sumber hukum utama yaitu, al-

Qur’an, Sunnah dan Ra’yu (akal) untuk berijtihad. Ketentuan hukum

yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah masih bersifat umum

sehingga masih memerlukan penafsiran dan perincian sehingga mudah

untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang diperoleh

dari al-Qur’an dan Sunnah yang telah diperinci inilah yang disebut

dengan Fiqh.

Fiqh yang berlaku dikalangan umat Islam beraneka ragam.

Kalangan Sunni mengenal empat mazhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafii

dan Hanbali yang masing-masing memiliki kitab fiqh sendiri-sendiri

sebagai pedoman. Di Indonesia, sebagian besar mengikuti mazhab

Syafii sebagai panutan dalam menentukan hukum.

Di lingkungan peradilan agama, ada 13 kitab yang semuanya

mazhab Syafii sebagai hukum materiil yang digunakan untuk

menyelesaikan perkara yang diajukan. Banyaknya kitab fiqh yang

digunakan berakibat sering dijumpai putusan yang berbeda untuk

perkara yang sama. Hal ini memicu ketidakpastian hukum dikalangan

umat Islam yang mencari keadilan. Inilah yang mendorong pakar

hukum Islam untuk melakukan unifikasi di bidang hukum keluarga.

23

Untuk menyusun sebuah unifikasi hukum ini, diadakan

berbagai kegiatan seperti penelitian kitab kuning, penelitian

yurisprudensi, wawancara dengan ulama seluruh Indonesia, studi

banding ke Timur Tengah dan diakhiri dengan pengolahan data dan

lokakarya nasional. Dari lokakarya ini berhasil disusun Kompilasi

Hukum Islam (KHI). (Muhibbin & Wahid, 2009:176)

2. Sistematika KHI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku yang

berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang Perkawinan (Buku 1),

Kewarisan (Buku 2), dan Perwakafan (Buku 3). Sistematika dari ketiga

buku tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

a. Hukum Perkawinan (Buku 1)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)

2) Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)

3) Bab III Peminangan (Pasal 11-13)

4) Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)

5) Bab V Mahar (Pasal 30-38)

6) Bab VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44)

7) Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)

8) Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)

9) Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)

10) Bab X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)

24

11) Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)

12) Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84)

13) Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)

14) Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)

15) Bab XV Perwalian (Pasal 107-112)

16) Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)

17) Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)

18) Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)

19) Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)

b. Hukum Kewarisan (Buku 2)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)

2) Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)

3) Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)

4) Bab IV Auld an Rad (Pasal 192-193)

5) Bab V Wasiat (Pasal 194-209)

6) Bab VI Hibah (Pasal 210-214)

c. Hukum Perwakafan (Buku 3)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)

2) Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat Wakaf (Pasal 216-

222)

3) Bab III Tata Cara Perwakafan (Pasal 223-224)

4) Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda

Wakaf (Pasal 225-227)

25

5) Bab V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal

228-229)

3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia

Dasar hukum KHI yang hanya berupa Instruksi Presiden

(Inpres) dianggap belum memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem

perundang-undangan di Indonesia. Meskipun begitu, fakta di lapangan

menunjukkan KHI tetap digunakan sebagai rujukan oleh hakim di

lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara. Hal ini

dikarenakan KHI dianggap sebagai fiqh khas Indonesia yang sesuai

dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal-pasal KHI banyak diambil

dari pendapat Imam Syafii yang diikuti oleh mayoritas orang

Indonesia, sehingga KHI dapat diterima oleh masyarakat.

Pada dasarnya Inpres memang bukan merupakan salah satu

jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak dicantumkan

dalam tata urutan perundang-undangan. Inpres merupakan arahan atau

perintah presiden kepada bawahannya yang bersifat individual,

konkret, dan sekali selesai. Instruksi presiden hanya dapat mengikat

menteri, atau pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah

presiden dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.

Kedudukan Inpres No.1 tahun 1991 tentang KHI memang

sangat problematik. Jika ditinjau sisi luarnya Inpres ini bukan termasuk

peraturan perundang-undangan karena Inpres hanya berupa arahan

26

presiden terhadap bawahannya. Akan tetapi jika ditinjau dari pasal-

pasalnya, dapat dikatakan Inpres tersebut mengandung norma atau

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak, dan terus-

menerus. (Harahab dan Omara, 2010:643)

Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 pasal 7 ayat (1)

yang menjelaskan jenis dan hierarki perundang-undangan, Inpres tidak

termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata

urutan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pasal 7 ayat (4)

disebutkan “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dengan demikian,

dimungkinkan Inpres menjadi salah satu jenis peraturan perundang-

undangan meskipun tidak tercantum dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan. Akan tetapi posisi dari Inpres juga masih tidak

jelas, apakah di bawah Peraturan Presiden (Perpres) atau di bawah

Peraturan Pemerintah (PP).

27

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN

PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

TENTANG ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKUKAN

PASKA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN

A. Peradilan Agama

1. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan adalah proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari

keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan

peradilan menurut peraturan yang berlaku. Sementara Pengadilan

adalah lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum

yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai peraturan

perundang-undangan. (Musthofa, 2005:5-6)

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia

yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis

perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.

(Rasyid, 2010:6) Jadi kompetensi Peradilan Agama tidak mencakup

tindak pidana, perkara perdata pun dibatasi pada perkara perdata

tertentu menurut Islam.

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,

disebutkan “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang

beragama Islam”. Selanjutnya pasal (2) berbunyi “Pengadilan Agama

28

merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Namun dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dengan demikian, setelah perubahan tersebut Pengadilan Agama juga

diberi kewenangan untuk mengadili perkara non perdata, seperti

perkara pidana atas pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan sanksi

jinayah atas pelanggaran qanun di Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Sejarah Peradilan Agama

Peradilan Agama sudah mulai dikenal sejak masuknya Islam di

Indonesia (Nusantara). Semakin berkembangnya eksistensi Peradilan

Agama disebabkan oleh kesadaran hukum dan kebutuhan masyarakat

akan adanya lembaga yang mampu menyelesaikan sengketa hukum.

Hal ini dapat dipahami mengingat jabatan dan fungsi hakim atau qadhi

merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan syara’.

Seiring dengan semakin berkembangnya agama Islam dan semakin

tingginya kesadaran hukum masyarakat muslim, maka kebutuhan akan

hakim atau qadhi semakin meningkat. Bahkan dalam keadaan tidak

29

ada hakim, masyarakat menyelesaikan sengketa dengan cara tahkim.

Tahkim adalah penyerahan kedua belah pihak yang bersengketa

kepada pihak ketiga (muhakkam) untuk menyelesaikan

persengketaannya. Penyelesaian sengketa oleh muhakkam berlangsung

beberapa waktu, hingga peradilan menjadi lebih teratur dan sistematis

pada masa Kesultanan Islam.

Periode selanjutnya itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang

dimulai ketika Islam datang dan diterima raja-raja seperti pada

kerajaan Mataram, sehingga para hakim pelaksana peradilan diangkat

oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. (Musthofa, 2005:13)

Dengan dalih untuk menertibkan Pengadilan Agama, pada tahun

1882 Raja Belanda mengeluarkan keputusan tentang pembentukan

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan menerbitkan

Staatsblad No. 24 tanggal 19 Januari 1882. Badan peradilan ini

bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut Raad Agama dan

kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama. (Musthofa,

2005:15)

Staatsblaad 1882 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1882

berisi 7 pasal yaitu :

Pasal 1

Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan

Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah

hukumnya sama dengan wilayah hokum landraad.

Pasal 2

Pengadilan Agama terdiri atas; Penghulu yang diperbantukan

kepada Landraad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan

sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai

30

anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh

gubernur/residen.

Pasal 3

Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali

dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua.

Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.

Pasal 4

Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai

alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan

ditanda-tangani oleh para anggota yang turut member

keputusan. Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos

yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara.

Pasal 5

Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan

surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.

Pasal 6

Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar

yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali

untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.

Pasal 7

Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas

wewenang/kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat

(2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.

(Zuhriah, 2009:83-84)

Selanjutnya pemerintah Belanda kembali mengeluarkan peraturan

tentang Pengadilan Agama. Peraturan tersebut dimuat dalam

Staatsblaad No. 128 tahun 1909 dan Staatsblaad No. 232 tahun 1926.

Kedua Staatsblaad tersebut menimbulkan kekecewaan bagi kalangan

ahli hukum maupun umat Islam.

Pemerintah Belanda memang melegalisasi keberadaan Peradilan

Agama, tapi mereka ingin mematikan secara perlahan keberadaan

Peradilan Agama dengan terus mengurangi kewenangan yang

diberikan. Pada masa penjajahan Jepang, Peradilan Agama tetap

dipertahankan, hanya mengalami perubahan nama.

31

Pada masa penjajahan Jepang, semua peraturan perundang-

undangan yang berasal dari Belanda masih diberlakukan sepanjang

tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang. Kemudian pada tahun

1942 diterbitkan UU No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala

Tentara Dai Nippon. Dalam undang-undang tersebut sebagimana

dijelaskan Basiq Djalil (2006:60) bahwa telah dibentuk Gunsei Hooin

(Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara) yang terdiri atas:

a. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri);

b. Keiza Hooin (Pengadilan Polisi);

c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);

d. Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan);

e. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi);

f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).

Keberadaan Pengadilan Agama sempat terancam pada saat

penjajahan Jepang, hal ini disebabkan dengan akan diberikannya

wewenang Pengadilan Agama pada pengadilan biasa. Namun hal

tersebut urung terjadi karena Jepang terlebih dahulu menyerah pada

sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Pada tahun 1970, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman yang menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan di

32

Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer

dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, semua putusan Pengadilan Agama

harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

Peradilan Agama secara de facto kedudukannya berada di bawah

Peradilan Umum. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:1) Hal ini bertentangan

dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang

menyebut kedudukan keempat peradilan tersebut setara.

Lalu diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

mengakhiri pluralisme peraturan Peradilan Agama tersebut, fungsi dan

struktur susunan kekuasaan Peradilan Agama disempurnakan dan

ditegakkan tanpa campur tangan lingkungan Peradilan Umum.

(Musthofa, 2009:18) Undang-undang ini juga mengatur pembinaan

teknis dengan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan

tujuan, terciptanya peradilan yang mandiri, bertanggung jawab, dan

tidak terpengaruh pihak lainnya.

33

3. Kewenangan Peradilan Agama

a. Kewenangan Relatif

Kompetensi relatif adalah kewenangan dari lembaga peradilan

sejenis mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara. Misalnya, antara Pengadilan Agama Mungkid

dengan Pengadilan Agama Boyolali.

Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum atau

yuridiksi relatif tertentu yang meliputi satu kotamadya atau satu

kabupaten, atau dalam kondisi tertentu memungkinkan adanya

pengecualian. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting

berhubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan

mengajukan perkaranya dan berhubungan dengan hak eksepsi

tergugat. (Rasyid, 2010:26)

b. Kewenangan Absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan badan peradilan mana

yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Misalnya, Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perceraian

bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non

muslim perkara perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan

Negeri.

Kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam pasal 49

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, hanya meliputi bidang

perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf, dan shadaqah. Namun

34

setelah perubahan, dengan disahkannya Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 untuk mengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

kewenangan Pengadilan Agama menjadi bertambah luas. Dalam

undang-undang baru tersebut, yang menjadi kompetensi absolut

Peradilan Agama adalah masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 memberikan peluang pada Peradilan Agama untuk

menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang

disengketakan termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama dan

yang bersangkutan menundukkan diri secara suka rela kepada

hukum Islam. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:13)

Untuk memperjelas rincian tentang kewenangan Peradilan

Agama dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Bidang Perkawinan

a) Izin Beristri Lebih dari Seorang

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi

pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tidak menutup kemungkinan beristri lebih

dari seorang. Suami yang menghendaki beristri

lebih dari seorang wajib mengajukan

35

permohonan izin poligami kepada Pengadilan

Agama.

b) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal

Permohonan izin melangsungkan

perkawinan diajukan calon mempelai yang

belum berusia 21 tahun dan tidak mendapat izin

dari orang tuanya. Pengadilan Agama dapat

memberikan izin melangsungkan perkawinan

setelah mendengar keterangan dari orang tua,

keluarga dekat atau walinya.

Calon suami isteri yang belum mencapai

usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan

perkawinan harus mengajukan permohonan

dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama.

Permohonan dispensasi kawin dapat diajukan

oleh calon mempelai berdua dan/atau orang tua

yang bersangkutan.

Calon mempelai wanita yang akan

melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya

tidak mau menjadi wali dapat mengajukan

permohonan penetapan wali adhal kepada

Pengadilan Agama. Pengadilan Agama dapat

36

mengabulkan permohonan penetapan wali adhal

setelah mendengar keterangan orang tua.

c) Penolakan Perkawinan

Calon suami isteri yang akan

melangsungkan perkawinan harus memenuhi

syarat sebagaimana diatur Undang-Undang No.

1 Tahun 1974. Jika salah satu atau kedua calon

mempelai tidak memenuhi persyaratan, maka

PPN dapat menolak mencatat perkawinan

tersebut. Calon mempelai dapat mengajukan

permohonan pencabutan surat penolakan

perkawinan dari PPN kepada Pengadilan

Agama. Pengadilan Agama dalam wilayah

hukum di mana PPN berkedudukan dapat

mengabulkan permohonan pencabutan surat

penolakan perkawinan dari PPN dan

memerintahkan PPN untuk melaksanakan

perkawinan kedua mempelai, bila menurut

Pengadilan Agama surat penolakan perkawinan

tersebut tidak mempunyai alasan hukum.

d) Pencegahan Perkawinan

Jika salah satu atau kedua calon mempelai

yang akan melangsungkan perkawinan tidak

37

memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang

tua, keluarga, wali pengampu, dari calon

mempelai dapat mengajukan pencegahan

perkawinan kepada Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat

permohonan pencegahan perkawinan kepada

KUA, agar KUA tidak melangsungkan

perkawinan yang bersangkutan, selama proses

pemeriksaan di Pengadilan Agama

berlangsuing. Jika permohonan pencegahan

perkawinan tersebut dikabulkan, Pengadilan

Agama akan menyampaikan salinan penetapan

kepada KUA tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

e) Pembatalan Perkawinan

Jika perkawinan telah dilangsungkan,

sedangkan salah satu atau kedua mempelai tidak

memenuhi syarat-syarat yang diatur Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang tua,

keluarga, PPN, dan jaksa dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan kepada

Pengadilan Agama. Batalnya suatu perkawinan

38

dimulai setelah putusan Pengadilan Agama

mempunyai kekuatan hukum tetap.

f) Pengesahan Perkawinan/Isbat Nikah

Perkawinan yang dilangsungkan

berdasarkan agama yang tidak dicatat oleh PPN

dapat diajukan permohonan pengesahan

perkawinan kepada Pengadilan Agama.

g) Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan

dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan

satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jika

pejabat yang berwenang mencatat perkawinan di

negara pihak yang akan melangsungkan

perkawinan menolak untuk memberikan surat

keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan

telah terpenuhi, maka pihak yang bersangkutan

dapat mengajukan permohonan pembatalan

surat penolakan tersebut kepada Pengadilan

Agama.

h) Cerai Talak

Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang

petitumnya memohon untuk diizinkan

menjatuhkan talak terhadap isterinya.

39

i) Harta Bersama

Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi

perselisihan dalam pembagian harta bersama

dapat mengajukan gugatan harta bersama

kepada Pengadilan Agama. Gugatan pembagian

harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah

terjadi perceraian.

j) Talak Khuluk

Talak khuluk merupakan gugatan isteri untu

bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses

penyelasaian gugatan tersebut dilaksanakan

sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus

diputus hakim.

k) Asal-Usul Anak

Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau

akibat perkawinan yang sah (pasal 42 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 99 KHI).

Sedangkan anak yang tidak sah adalah anak

yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir

dalam perkawinan yang sah akan tetapi

disangkal oleh suami dengan sebab li’an.

Pengadilan Agama paling lambat satu bulan

setelah putusan mempunyai kekuatan hukum

40

tetap mengirimkan salinan putusan tersebut

kepada Kantor Catatan Sipil untuk didaftarkan.

l) Pemeliharaan dan Nafkah Anak

Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi

perselisihan dalam pemeliharaan dan nafkah

anak, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Agama.

m) Perwalian

Pengadilan Agama mempunyai kewenangan

untuk memutus masalah perwalian meliputi;

pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan

kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai

wali, penunjukan seorang wali bagi anak yang

belum berusia 18 tahun yang ditinggal kedua

orang tuanya, dan pembebanan kewajiban ganti

rugi atas harta benda anak yang ada di bawah

kekuasaannya.

n) Pengankatan Anak

Permohonan pengangkatan anak oleh Warga

Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam

merupakan kewenangan Pengadilan Agama

sesuai prosedur yang telah ditentukan.

41

2) Bidang Kewarisan

Yang dimaksud waris adalah penentuan siapa yang

menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli

waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan

tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini

menghapus hak opsi dalam penyelesaian sengketa

waris. Dengan demikian sengketa waris bagi yang

beragama Islam hanya dapat diselesaikan di Pengadilan

Agama.

3) Bidang Wasiat

Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan

seseorang memberikan suatu benda atau manfaat

kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang

berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal

dunia.

4) Bidang Hibah

Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian

suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari

42

seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau

badan hukum untuk dimiliki.

5) Bidang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok

orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau

kesejahteraan umum menurut syariah. Kalau dipahami

secara literal ketentuan yang terdapat dalam pasal 49

huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka

kewenangan menyelesaikan sengketa dalam perwakafan

termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama,

termasuk di dalamnya perwakafan dengan uang tunai

(cash waqf). (Rasyid & Syamsuddin, 2009:26)

6) Bidang Zakat

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh

seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh

orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk

diberikan kepada yang berhak menerimanya.

43

7) Bidang Infaq dan Shadaqah

Infaq dan Shadaqah adalah pemberian harta dari

seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau

lembaga sosial Islam kepada mustahik guna

kepentingan tertentu dengan mengharap ridha Allah.

(Mahkamah Agung RI, 2014:170)

8) Bidang Ekonomi Syariah

Dalam penjelasan pasal 49 huruf I Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006, bahwa yang dimaksud dengan

ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha

yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain

meliputi :

a) Bank syariah;

b) Lembaga keuangan mikro syariah;

c) Asuransi syariah;

d) Reasuransi syariah;

e) Reksa dana syariah;

f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka

menengah syariah;

g) Sekuritas syariah;

h) Pembiayaan syariah;

i) Pegadaian syariah;

j) Dana pensiun lembaga keuangan syariah;

44

k) Bisnis syariah.

9) Isbat Rukyat Hilal

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, tidak mencantumkan penetapan Isbat

Rukyat Hilal sebagai salah satu kewenangan dari

Pengadilan Agama. Akan tetapi dalam buku Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,

yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:173)

dijelaskan “Pemohon (Kantor Kementerian Agama)

mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal

kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang

mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal”. Sidang

itsbat rukyat hilal merupakan sidang di tempat yang

dilaksanakan di tempat rukyat hilal. Sidang dilakukan

dengan cepat , sederhana, dan dipimpin oleh hakim

tunggal.

B. Profil Pengadilan Agama Mungkid

1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid

Lokasi Gedung Pengadilan Agama Mungkid terletak di Jl.

Soekarno Hatta No. 36 Kota Mungkid Kab. Magelang. Secara

astronomis Pengadilan Agama Mungkid terletak antara 110º-01’-51”

sampai dengan 110º-26’-58” Bujur Timur dan 7º-19’-13” sampai

45

dengan 7º-42’-16” Lintang Selatan. Berdiri di atas tanah seluas 1695

m² dengan status hak guna pakai dari Pemerintah Daerah Magelang,

dan luas bangunannya adalah 1335 m².

2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid

Pengadilan Agama Mungkid terbentuk melalui Surat

Keputusan Menteri Agama No. 207 Tanggal 22 Juli 1986, tetapi

realisasinya baru pada tahun 1987. Untuk pertama kali Pengadilan

Agama Mungkid diketuai oleh Drs. H. Yahya Arul, SH (1987-1997).

Waktu itu menempati gedung di Jalan Sailendra Raya seluas ± 150 m²

dengan cara menyewa. Pada tahun 1989 kantor pindah ke gedung

kantor milik Depag (Departemen Agama). Pada masa kepemimpinan

Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006 ) kantor lama dapat

diubah kepemilikannya dari Depag menjadi milik Mahkamah Agung

RI serta Pengadilan Agama Mungkid mendapatkan tanah untuk

digunakan membangun gedung kantor yang baru.

Pada masa kepemimpinan Drs. H. Nikmat Hadi, SH sebagai

Ketua Pengadilan Agama Mungkid (2006-2008), Pengadilan Agama

Mungkid mendapat anggaran untuk pembangunan gedung kantor yang

baru. Setelah dalam masa satu tahun pembangunan dilaksankan, maka

pada tanggal 19 Juni 2008 gedung kantor Pengadilan Agama Mungkid

yang baru diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI bersamaan

46

dengan 13 gedung Pengadilan Agama di Jawa Tengah, yang

peresmiannya mengambil tempat di Pengadilan Agama Mungkid.

Dalam perkembangannya Pengadilan Agama Mungkid telah

mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan, yaitu :

a. Drs. H. Yahya Arul, SH (menjabat ketua tahun 1987-1997)

b. Drs. H. Ahmad Mustofa, SH (1997-2002)

c. Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006)

d. Drs. H. Nikmat Hadi, SH (2006-2008)

e. Dra. Hj. Siti Nurjannah Diaz, SH (2008-2011)

f. Drs. M. Iqbal (2011-2013)

g. Drs. Lanjarto, MH (2013-sekarang).

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid

a. Visi Pengadilan Agama Mungkid

Terwujudnya badan peradilan agama yang agung.

b. Misi Pengadilan Agama Mungkid

1) Meningkatkan profesionalisme aparatur peradilan agama.

2) Mewujudkan manajemen peradilan agama yang modern.

3) Meningkatkan kualitas system pemberkasan perkara yang

dimohonkan, banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK).

4) Meningkatkan kajian syariah sebagai sumber hukum materi

peradilan agama.

47

4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid

a. Kewenangan Pengadilan Agama Mungkid

Kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama Mungkid

meliputi kewenangan absolut dan kewenangan relatif :

1) Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut adalah “kekuasaan Pengadilan

yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan

atau tingkatan Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis

perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan

lainnya”. (Zuhriah, 2009:204) Menurut Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama

mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara di

tingkat pertama antara orang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah, dan ekonomi syariah.

2) Kewenangan Relatif

Wewenang relatif adalah “wewenang dalam mengadili

perkara berdasarkan wilayah atau tempat domisili, dimana

setiap perkara yang diajukan harus berdasarkan wilayah hukum

masing-masing sehingga pengadilan tidak diperkenankan

mengadili perkara di luar wilayah hukumnya”. (Harahab,

2003:212)

48

Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama

Mungkid meliputi 21 kecamatan, yaitu :

a) Bandongan

b) Borobudur

c) Candimulyo

d) Dukun

e) Grabag

f) Kajoran

g) Kaliangkrik

h) Mertoyudan

i) Mungkid

j) Muntilan

k) Ngablak

l) Ngluwar

m) Pakis

n) Salam

o) Salaman

p) Sawangan

q) Secang

r) Srumbung

s) Tegalrejo

t) Tempuran

u) Windusari.

49

b. Fungsi Pengadilan Agama Mungkid

Di samping kewenangan di atas, Pengadilan Agama

Mungkid mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut :

1) Fungsi Mengadili (judicial power), yakni menerima,

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam

tingkat pertama (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun

2006).

2) Fungsi Pembinaan, yakni memberikan pengarahan,

bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan

fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis

yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi

umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan

pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor

No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

3) Fungsi Pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat

atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera,

Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita

Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan

diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (Pasal 53

ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006) dan

50

terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan

serta pembangunan.(KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

4) Fungsi Nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat

tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah

hukumnya, apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang

Nomor No. 3 Tahun 2006).

5) Fungsi Administratif, yakni menyelenggarakan administrasi

peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum

(kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan). (KMA

Nomor KMA/080/ VIII/2006).

6) Fungsi Lainnya :Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan

tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait,

seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia

(MUI), Ormas Islam dan lain-lain (pasal 52 A Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006). Pelayanan penyuluhan

hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta

memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam

era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan,

sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung

RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan

Informasi di Pengadilan.

51

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid

Untuk menghasilkan kerja yang baik, dibutuhkan sistem

pemerintahan yang efektif dan berdaya guna sesuai dengan UU No. 7

tahun 1989, Keputusan Menteri Agama RI No. 303 tahun 1990,

Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/ 004/ SK/ II/ 92, Surat

Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1996 Pengadilan Agama

Pemalang mempunyai struktur organisasi Pengadilan Agama.

Untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan struktur organisasi

Pengadilan Agama Mungkid beserta nama-nama yang menduduki

dalam jabatan tersebut.

Ketua : Drs. Lanjarto, MH

Wakil Ketua : Drs. Didi Nurwahyudi

Hakim-hakim :

a. Drs. Shonhaji Mansur, MH

b. Drs. Jazilin

c. Drs. H.M Iskandar Eko P, MH

d. Drs. Muklas, MH

e. Drs. Umar Mukmin

Panitera/Sekretaris : Ichtiyardi, SH

Wakil Panitera : Drs. Muh Muhtaruddin

Wakil Sekretaris : Hj. Evi Siswi Husniwati, MH

52

Pan. Muda Hukum : Anas Mubarok, SH

Pan. Muda Permohonan : H. Muhroji, S.HI

Pan. Muda Gugatan : Abdul Halim M, BA

Ka. Urusan Kepegawaian : Siti Mahmudah

Ka. Urusan Umum : Suwartiyah, SH

Ka. Urusan Keuangan : Ashari, SH

Panitera Pengganti :

a. Lukmanul Hakim, SH

b. Umi Khoiriyah, S.Ag

c. Asroni, SH

Jurusita :

a. Rahmanto

b. Rofiqoh, S.HI

6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid

Adapun langkah-langkah prosedur berperkara di Pengadilan

Agama Mungkid adalah sebagai berikut :

a. Pemohon/Penggugat datang menghadap ke Pengadilan Agama

Mungkid dengan membawa surat gugatan atau permohonan.

53

b. Pemohon/Penggugat menghadap petugas Meja I dan

menyerahkan surat gugatan atau permohonan sebanyak 5

rangkap.

c. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap

perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir

panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa

Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara

diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan

perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau

pasal 90 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan

berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan

tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari

Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.

d. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau

permohonan kepada Pemohon/Penggugat disertai dengan

SKUM rangkap 3 (tiga).

e. Pemohon/Penggugat menyerahkan kepada pemegang kas

(kasir) surat gugatan atau permohonan tersebut dan SKUM.

f. Pemegang kas menandatangani SKUM, membubuhkan nomor

urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan

dalam surat gugatan atau permohonan.

54

g. Pemegang kas menyerahkan SKUM asli kepada

Pemohon/Penggugat sebagai dasar penyetoran panjar biaya

perkara ke bank.

h. Pemohon/Penggugat datang ke loket layanan bank dan mengisi

slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip

bank tersebut sesuai dengan SKUM, seperti nomor urut, dan

besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon/Penggugat

menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang

sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut kepada teller

bank.

i. Setelah Pemohon/Penggugat menerima slip bank yang telah

divalidasi dari petugas layanan bank, Pemohon/Penggugat

menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan SKUM

kepada pemegang kas.

j. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian

menyerahkan kembali kepada Pemohon/Penggugat, pemegang

kas kemudian memberi tanda lunas dalam SKUM dan

menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan

tindasan pertama SKUM serta surat gugatan atau permohonan

yang bersangkutan.

k. Pemohon/Penggugat menyerahkan kepada petugas Meja II

surat gugatan atau permohonan serta tindasan pertama SKUM.

55

l. Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau

permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor

register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang

diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang

kas.

m. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap

surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor

register kepada pihak berperkara.

n. Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh

jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan

setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari

sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).

o. Proses persidangan, meliputi : mediasi, pembacaan

gugatan/permohonan, jawaban, replik, duplik, pembuktian,

kesimpulan, putusan.

p. Pihak berperkara dapat mengambil akta cerai atau salinan

putusan/penetapan di Meja III dan mengambil sisa panjar di

kasir.

56

C. Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama

Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

Perkara yang diteliti oleh penulis adalah mengenai permohonan

Isbat Nikah di mana perkawinan yang bersangkutan dilakukan setelah

berlakunya UU Perkawinan. Permohonan Isbat Nikah tersebut

diajukan oleh Edi Sumaryono bin Ali Darmojo (selanjutnya disebut

Pemohon I) dan Watini binti Atmo Wikromo (selanjutnya disebut

Pemohon II). Permohonan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan

Agama Mungkid pada tanggal 19 Agustus 2014, dengan nomor

perkara 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.

Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan

pada tanggal 20 Mei 1989 di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04,

Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Adapun

yang bertindak sebagai wali nikah adalah kakak kandung Pemohon II

yang bernama Rukun Santoso. Sedangkan yang bertindak sebagai

penghulu yang menikahkan adalah Hadi Rochmat (alm), saksi nikah

Adip dan Kardi dengan mahar seperangkat alat sholat yang dibayar

tunai.

Pada waktu menikah Pemohon I berumur 20 tahun dengan

status jejaka sementara Pemohon II berumur 17 tahun dengan status

perawan. Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat di KUA

57

Kecamatan Kajoran. Setelah akad nikah hingga permohonan ini

diajukan, Pemohon I dan Pemohon II tidak/belum pernah mendapat

atau mengurus akta nikah tersebut.

Antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan

mahram baik karena nasab, mushaharah (karena perkawinan, maupun

sesusuan, sehingga tidak ada yang menghalangi yang bersangkutan

untuk melangsungkan pernikahan. Sejak menikah sampai permohonan

diajukan, Pemohon I dan Pemohon II tidak pernah bercerai maupun

pindah agama (Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam).

Dari pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II telah

dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama Mariyanti umur 24 tahun

dan Adi Susilo umur 20 tahun. Para Pemohon mengajukan

permohonan Isbat Nikah dikarenakan sangat membutuhkan bukti

pernikahan. Penetapan Isbat Nikah dari Pengadilan Agama nantinya

akan digunakan untuk mencatatkan perkawinan di KUA kecamatan

Kajoran dan mengurus akta kelahiran anak para Pemohon di Kantor

Kependudukan Sipil Kabupaten Magelang.

2. Penyelesaian Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

Berdasarkan duduk perkara tersebut di atas, para Pemohon

memohon agar Ketua Pengadilan Agama Mungkid segera memeriksa

58

dan mengadili perkara tersebut dan menjatuhkan penetapan sebagai

berikut :

Primer :

a. Mengabulkan permohonan Pemohon.

b. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I (Edi

Sumaryono bin Ali Darmojo) dan Pemohon II (Watini

binti Atmo Wikromo) yang dilangsungkan pada

tanggal 20 Mei 1989 di Dusun Kembang Arum RT

06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran,

Kabupaten Magelang.

c. Memerintahkan kepada para Pemohon untuk

melaporkan penetapan ini kepada KUA Kecamatan

Kajoran, Kabupaten Magelang untuk dicatat dalam

daftar yang disediakan untuk itu.

d. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang

berlaku.

Subsider :

Apabila Majelis Hakim memutuskan lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya.

Pada hari sidang yang telah ditentukan, para Pemohon datang

menghadap di persidangan. Kemudian dibacakan permohonan

59

Pemohon dan ternyata Pemohon menyatakan tetap pada

permohonannya.

Untuk meneguhkan dalil permohonannya, Pemohon telah

mengajukan bukti surat sebagai berikut :

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon I, yang

dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang,

dan telah bermaterai cukup (P1);

b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon II, yang

dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang,

dan telah bermaterai cukup (P2);

c. Kartu Keluarga atas nama Pemohon I yang dikeluarkan oleh

Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magelang, dan telah

bermaterai cukup (P3);

d. Surat Keterangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan

Kajoran, Kabupaten Magelang, telah dicocokkan dengan

aslinya dan bermaterai cukup (P4).

Selain bukti tertulis para Pemohon juga menghadirkan saksi-

saksi ke persidangan. Para saksi yang dihadirkan telah disumpah

menurut tata cara agama Islam sebelum memberikan keterangan. Saksi

I bernama Prasojo bin Karto Suwito yang merupakan tetangga

Pemohon. Dalam keterangannya, Saksi I mengaku mengetahui antara

Pemohon I dan Pemohon II adalah pasangan suami isteri sah, dan telah

melangsungkan Pernikahan pada tahun 1989.

60

Saksi II adalah Rohmat Nurfandi yang merupakan Kaur Kesra

Desa Pucungroto. Menurut Saksi II, antara Pemohon I dan Pemohon II

telah melangsungkan akad nikah menurut agama Islam pada tahun

1989. Bertindak sebagai wali nikah adalah kakak kandung Pemohon II

yaitu Rukun Santoso bin Atmo Wikromo, saksi-saksi adalah Adip dan

Kardi, penghulu Hadi Rohmat dengan mas kawin uang Rp 25.000.

Saksi III adalah Drs. Abdul Kholiq yang merupakan Kepala

KUA Kecamatan Kajoran. Dalam keterangannya, Saksi III

menyatakan telah mencari data pernikahan para Pemohon akan tetapi

tidak ditemukan. Menurut Saksi III pada tahun 1989 memang ada

pegawai nakal yang tidak mencatatkan pernikahan yang telah

dilakukan dalam daftar yang tersedia untuk itu.

3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama

Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

Dalam mengadili perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

bahwasanya Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Mungkid yang

menyidangkan perkara tersebut telah menggunakan beberapa

ketentuan atau peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia yang

berfungsi untuk memperkuat alasan-alasan tersebut.

Setelah melihat bukti-bukti yang diajukan dan mendengarkan

keterangan saksi-saksi yang dihadirkan, Majelis Hakim menemukan

beberapa fakta, yaitu :

61

a. Pemohon I sebagai Kepala Keluarga;

b. Pemohon I dan Pemohon II sudah hidup bersama sejak 20 Mei

1989;

c. Pemohon I betul-betul sudah menikah dengan Pemohon II pada

tanggal 20 Mei 1989, tetapi tidak tercatat di Buku Laporan

Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten

Magelang.

Dalil yang dijadikan landasan oleh Majelis Hakim adalah

pendapat ahli Hukum Islam yang terdapat di dalam Kitab Tuhfah juz

IV halaman 133 yang berbunyi :

ويقبل اقرار البالغة العاقلة ابلنكاح

“Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang aqil

baligh”.

Menurut Bapak Shonhaji Mansur (hakim Pengadilan Agama

Mungkid) yang penulis wawancarai, alasan lain yang dijadikan

pertimbangan oleh hakim mengabulkan permohonan Isbat Nikah

adalah pertimbangan maslahah bagi umat Islam. Penetapan Isbat

Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus dokumen-

dokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu, penetapan

Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum bagi

pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka.

Lebih lanjut, menurut Bapak Shonhaji Mansur tidak ada

pertentangan antara KHI dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

62

dalam hal kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah pada

perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan.

Dipergunakannya KHI sebagai landasan adalah karena terjadinya

kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah terhadap perkawinan

yang dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah

dikemukakan, Majelis Hakim menyimpulkan fakta di persidangan

Pemohon I dan Pemohon II dapat membuktikan dalil permohonannya

dan selanjutnya patut untuk dikabulkan. Setelah melakukan

musyawarah Majelis Hakim menetapkan :

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;

b. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I (Edi

Sumaryono bin Ali Darmojo) dan Pemohon II (Watini binti

Atmo Wikromo) yang dilangsungkan pada tanggal 20 Mei

1989 di Dusun Kembang Arum RT 06/RW 04, Desa

Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang;

c. Memerintahkan kepada para Pemohon untuk melaporkan

penetapan ini kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan

Kajoran, Kabupaten Magelang untuk dicatat dalam daftar yang

disediakan untuk itu;

d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya

perkara ini sebesar Rp 191.000,- (seratus sembilan puluh satu

ribu rupiah).

63

Penetapan ditetapkan pada hari Selasa 18 November 2014

dengan susunan Majelis Hakim, Drs. Muklas, MH sebagai Hakim

Ketua, Drs. A. Latif dan Drs. Umar Mukmin masing-masing sebagai

Hakim Anggota, dengan dibantu H. Muhroji, SH sebagai Panitera

Pengganti. Penetapan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka

untuk umum dengan dihadiri para Pemohon.

64

BAB IV

ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

A. Analisis Hukum Acara (Hukum Formil) Penetapan Hakim

Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

1. Pihak-Pihak dalam Perkara

Isbat Nikah merupakan perkara volunteer yaitu tuntutan hak

yang diajukan secara sepihak dan tidak mengandung sengketa. Dalam

pasal 7 ayat (4) KHI dijelaskan, “Yang berhak mengajukan

permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,

wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu”.

Dalam perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, yang

bertindak sebagai pihak berperkara adalah suami (Edi Sumaryono bin

Ali Darmojo) sebagai Pemohon I, dan isterinya (Watini binti Atmo

Wikromo) sebagai Pemohon II. Jadi, dalam perkara ini para pihak

yang berpekara adalah mereka yang memang mempunyai hak untuk

mengajukan permohonan Isbat Nikah.

2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah

Pada prinsipnya prosedur administrasi perkara permohonan

adalah sama dengan prosedur administrasi perkara gugatan. Pasal 55

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

65

menyebutkan, “Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai

sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak

yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku”.

Secara singkat proses tersebut adalah sebagai berikut :

a. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan, dengan

permintaan agar Pengadilan :

1) Menentukan hari sidang;

2) Memanggil pihak-pihak berperkara;

3) Memeriksa perkara yang diajukan.

b. Mengenai cara mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam

buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan

Agama, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:144)

adalah sebagai berikut :

1) Permohonan disampaikan kepada kepaniteraan Pengadilan

Agama dalam wilayah hukum Pemohon bertempat tinggal,

dan permohonan harus dilengkapi dengan alasan dan

kepentingan yang jelas serta konkrit.

2) Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan

oleh suami dan isteri bersifat volunteer, produknya berupa

penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan

Isbat Nikah, maka suami dan isteri bersama-sama, atau

suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya

hukum kasasi.

3) Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan

oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius

dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak

mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon,

produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut

dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

c. Pemohon diwajibkan membayar biaya perkara. (pasal 89 UU No. 7

Tahun 1989)

66

Permohonan Isbat Nikah Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, merupakan permohonan yang bersifat

volunteer, karena permohonan diajukan bersama oleh suami dan isteri.

Maka sudah tepat apabila para pihak disebut sebagai Pemohon I dan

Pemohon II, dan produk hakim berupa penetapan.

Para pihak diketahui beralamat di Dusun Kembang Arum

RT 06/RW 04, Desa Pucungroto, Kecamatan Kajoran, Kabupaten

Magelang. Sudah tepat Pengadilan Agama Mungkid menerima

permohonan yang diajukan oleh para pihak, dikarenakan kecamatan

Kajoran merupakan salah satu dari kompetensi relatif Pengadilan

Agama Mungkid.

Dalam penetapannya, Majelis Hakim membebankan biaya

perkara kepada para Pemohon. Hal ini sudah sesuai dengan pasal 89

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang berbunyi : “Biaya perkara

dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau

pemohon.”

3. Proses Persidangan

a. Penetapan Majelis Hakim

Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan

Agama, Panitera kemudian menyampaikan berkas perkara kepada

Ketua Pengadilan Agama. Selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah

diterimanya berkas tersebut, Ketua Pengadilan Agama sudah

67

menunjuk Majelis Hakim dengan menyerahkan berkas perkara

untuk dipelajari. Adapun Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua

Pengadilan Agama Mungkid untuk mengadili perkara Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, adalah sebagai berikut :

1) Drs. Mukhlas, MH sebagai Ketua Majelis;

2) Drs. A. Latif sebagai Hakim Anggota;

3) Drs. Umar Mukmin, SH sebagai Hakim Anggota.

Ketua Majelis membuat Penetapan Hari Sidang (PHS),

kapan sidang pertama akan dilakukan. Hari sidang pertama tidak

boleh lebih dari 30 hari dari pendaftaran perkara. Pada perkara

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penetapan hari sidang oleh

Ketua Majelis telah sesuai karena pendaftaran perkara tertanggal

19 Agustus 2014, dan sidang pertama dilaksanakan tanggal 16

September 2014.

Berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970,

“Hakim yang menyidangkan perkara adalah majelis, sekurang-

kurangnya tiga orang, seorang sebagai ketua dan lainnya sebagai

anggota”. Dengan demikian Majelis Hakim yang mengadili suatu

perkara diperbolehkan lebih dari tiga orang, asal jumlahnya ganjil.

Ketentuan ganjil dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi

perimbangan suara perkara masih dapat diputus, di mana Ketua

Majelis yang akan menentukan. Dengan demikian, penetapan

Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Agama Mungkid untuk

68

mengadili perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd sudah sesuai

dengan ketentuan undang-undang.

b. Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak di lingkungan Peradilan Agama

diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, akan tetapi

undang-undang tersebut hanya mengatur pemanggilan para pihak

dalam perkara cerai talak dan cerai gugat. Akan tetapi, beberapa

ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat berlaku secara

umum, diantaranya :

1) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita/jurusita

pengganti berdasarkan perintah Ketua Majelis, paling lambat 3

hari kerja sebelum persidangan pertama dimulai.

2) Disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan di tempat

tinggalnya. Apabila yang bersangkutan tidak dijumpai, dapat

disampaikan melalui Kepala Desa yang bersangkutan.

3) Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus

memenuhi tenggang waktu yang patut.

Relaas yang disampaikan oleh jurusita kepada para pihak dalam

perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, telah sesuai dengan

ketentuan-ketentuan di atas.

c. Pembuktian

Setelah para Pemohon datang menghadap di persidangan

kemudian dibacakan permohonan para Pemohon, yang ternyata

69

para Pemohon tetap pada permohonannya. Dengan demikian

persidangan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Pembuktian adalah

upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim atas

kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak dengan alat

bukti yang ditetapkan undang-undang. (Rasyid, 2010:144)

Alat-alat bukti diatur dalam pasal 164 HIR terdiri atas; alat

bukti tertulis (surat), saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Dalam perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, para Pemohon

mengajukan alat bukti tertulis berupa ; fotokopi KTP atas nama

Pemohon I yang diberi tanda (P1), fotokopi KTP atas nama

Pemohon II (P2), Kartu Keluarga atas nama Pemohon I (P3), dan

Surat Keterangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran

(P4).

Selain alat bukti tertulis, para Pemohon juga mengajukan

tiga orang saksi, yaitu ; Prasojo bin Karto Suwito (Kepala Desa

Pucungroto), Rohmat Nurfandi bin Kodirun (Kaur Kesra Desa

Pucungroto), dan Drs. Abdul Kholiq (Kepala KUA Kecamatan

Kajoran). Setelah para saksi bersumpah menurut agama Islam,

kemudian memberikan keterangan.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menilai alat bukti

yang diajukan oleh pihak berperkara sudah sangat cukup dan sesuai

dengan ketetapan undang-undang. Selain alat bukti tertulis dan

saksi, menurut penulis pengakuan dari pihak berperkara juga

70

merupakan alat bukti yang sangat kuat. Dalam pasal 174 HIR

sebagaimana dikutip oleh Rasyid (2010:180) dijelaskan,

“pengakuan di depan sidang adalah merupakan alat bukti yang

sempurna dan mengikat”.

4. Format Penetapan

Mengenai bentuk dan isi penetapan Pengadilan Agama

Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penulis menilai sudah

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan ini telah memuat

unsur-unsur yang harus ada dalam penetapan. Unsur-unsur yang

dimaksud adalah :

a. Kepala Surat

Susunan pertama dalam bagian ini adalah penetapan

kemudian diikuti di bawahnya dengan nomor penetapan yaitu,

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Nomor 0146 merupakan nomor urut

register perkara, Pdt.P menunujukkan bahwa perkara ini

merupakan permohonan, 2014 adalah tahun perkara tersebut

didaftarkan, dan PA.Mkd menunjukkan penetapan tersebut

merupakan produk dari Pengadilan Agama Mungkid. Bagian ke

dua di bawah nomor perkara adalah kalimat

“BISMILAHIRROHMANIRROHIM” kemudian diikuti kalimat

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA”.

71

b. Identitas Para Pihak

Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam penetapan,

meliputi : nama, umur, agama, pekerjaan, pendidikan terakhir, dan

tempat tinggal.

c. Konsideran Singkat

Konsideran merupakan uraian singkat mengenai

pertimbangan-pertimbangan yang melandasi suatu putusan yang

akan diambil. Dalam penetapan Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd,

konsideran berbunyi :

1) Pengadilan Agama tersebut;

2) Telah membaca dan mempelajari surat-surat dalam berkas

perkara;

3) Telah mendengar keterangan pihak Pemohon dan bukti yang

diajukan dalam persidangan.

d. Duduk Perkara

Setiap penetapan pengadilan dalam perkara perdata harus

memuat duduk perkara atau kronologi kejadian secara ringkas dan

jelas. Di samping itu, dalam bagian ini harus memuat secara jelas

keterangan saksi dan alat-alat bukti lainnya yang diajukan oleh

para pihak.

e. Tentang Hukumnya

Penetapan hakim juga harus memberikan pertimbangan

hukum terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan

72

hukum biasanya dimulai dengan kata “menimbang”. Dalam

pertimbangan ini, hakim harus mempertimbangkan dalil

permohonan dan dihubungkan dengan alat bukti yang ada. Dari

pertimbangan hukum hakim menarik kesimpulan tentang terbukti

atau tidaknya suatu permohonan.

f. Amar Putusan

Dalam amar putusan, hakim harus menyatakan tentang hal-

hal yang dikabulkan, ditolak, atau tidak diterima berdasarkan

pertimbangan hukum yang telah dilakukan. Dalam perkara Nomor:

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penetapan hakim bersifat deklaratif

yaitu menyatakan atau menerangkan sahnya perkawinan para

pihak.

g. Bagian Penutup

Hal-hal yang perlu dimuat dalam bagian penutup putusan

adalah; kapan penetapan tersebut dijatuhkan, nama Majelis Hakim,

pembacaan penetapan dalam siding yang terbuka untuk umum,

keterangan kehadiran pihak berperkara, tanda tangan Majelis

Hakim dan panitera, penetapan harus diberi materai secukupnya,

serta dicantumkan rincian biaya.

Dari analisis di atas, ditinjau dari hukum acara yang

digunakan, Pengadilan Agama Mungkid dalam memutus perkara

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd sudah sesuai dengan hukum

73

acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama mulai sejak

pengajuan perkara sampai perkara tersebut diputuskan.

B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materiil) terhadap

Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd

Dalam memutuskan suatu perkara Majelis Hakim wajib

mempertimbangkan keterangan para pihak berikut dalil-dalilnya, serta

semua alat bukti yang diajukan. Dari sini, hakim dapat menarik

kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya perkara yang diajukan di

persidangan.

Setelah membaca dan mempelajari surat-surat dalam berkas

perkara, serta mendengar keterangan para pihak dan bukti yang diajukan

Majelis Hakim berkesimpulan :

a. Pemohon I sebagai kepala keluarga;

b. Pemohon I dan Pemohon II sudah hidup bersama sejak 20 Mei 1989;

c. Pemohon I betul-betul sudah menikah dengan Pemohon II pada

tanggal 20 Mei 1989 tetapi tidak tercatat di Buku Laporan Nikah

Kantor Urusan Agama Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.

Berdasarkan kesimpulan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan fakta

dipersidangan Pemohon I dan Pemohon II dapat membuktikan dalil

permohonannya untuk selanjutnya patut untuk dikabulkan.

74

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mengutip

pendapat ahli hukum Islam yang terdapat dalam Kitab Tuhfah juz IV

halaman 133 yang berbunyi :

ويقبل اقرار البالغة العاقلة ابلنكاح

“Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang aqil

baligh”.

Menurut hemat penulis, untuk lebih memperkuat dasar hukum

yang digunakan oleh Majelis Hakim, seharusnya Majelis Hakim tidak

hanya menggunakan dasar hukum dari hukum syara’, akan tetapi juga

mengambil dasar hukum dari peraturan perundang-undangan negara

sebagaimana diperintahkan oleh pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 14

Tahun 1970. Majelis Hakim dapat memasukkan pasal-pasal dalam UU

Perkawinan, KHI atau UU tentang Peradilan Agama yang berkaitan

dengan Isbat Nikah.

Ketika mengutip qaul fuqaha’, hanya dicantumkan nama kitab, juz,

dan halamannya saja. Alangkah lebih baik jika kitab tersebut disebut nama

pengarang, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid, dan

halamannya.

Isbat Nikah pada perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd,

merupakan permohonan pengesahan nikah yang perkawinannya

dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan. Padahal dalam

penjelasan pasal 49 huruf a angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

75

tentang Peradilan Agama, secara tegas dinyatakan yang menjadi

kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah penyataan sahnya

perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan.

Pada umumnya Pengadilan Agama mengabulkan Isbat Nikah yang

perkawinannya dilaksanakan setelah lahirnya UU Perkawinan adalah

berdasarkan pasal 7 ayat (3) huruf e KHI. Masalahnya kemudian adalah,

KHI tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan. Di sini penulis

menilai, penggunaan KHI sebagai dasar hukum adalah sebagai pengisi

kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada perkawinan paska

UU Perkawinan. Dikarenakan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 hanya

mengatur tentang Isbat Nikah pada perkawinan sebelum berlakunya UU

Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam undang-undang tersebut yang

melarang Pengadilan Agama mengesahkan perkawinan yang dilakukan

setelah UU Perkawinan.

Setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti

perkembangan masyarakat, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang

perlu diisi. Tugas mengisi kekosongan itulah yang dibebankan kepada

hakim dengan melakukan penemuan hukum. (Abidin, 1989:33)

Tugas pokok hakim adalah mengadili, memeriksa, dan

memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak

ada alasan bagi hakim untuk tidak menerima atau menolak suatu perkara

dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim

76

memutuskan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah sebuah

kewajiban.

Meskipun tidak dicantumkan dalam pertimbangan hukumnya,

namun penulis melihat, Majelis Hakim melakukan ijtihad yang menyalahi

ketentuan undang-undang dengan mengabulkan permohonan Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd dikarenakan Majelis Hakim lebih

menitikberatkan maslahah. Maslahah maksudnya memberikan hukum

terhadap suatu kasus atas dasar kemanfaatan yang secara khusus tidak

tegas dinyatakan oleh undang-undang, sedangkan apabila dikerjakan akan

membawa kemanfaatan yang bersifat umum.

Dahulu memang masyarakat belum terlalu membutuhkan

pengesahan nikah. Akan tetapi dengan perkembangan zaman yang

menuntut adanya akta nikah sebagai bukti otentik yang menjamin

perlindungan dan kepastian hukum pasangan suami-isteri dan anak-

anaknya, maka sudah sewajarnya jika hakim perlu melakukan terobosan

guna mempermudah akses masyarakat mengesahkan perkawinannya yang

belum dicatatkan, sehingga kemaslahatan bagi masyarakat akan tetap

terpelihara.

Dalam pemikiran ilmu hukum yang berkaitan dengan penemuan

hukum oleh hakim, dikenal aliran Soziologische Rechtsschule. Menurut

aliran ini hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang namun juga

menolak penemuan hukum oleh hakim dengan sebebas-bebasnya, akan

tetapi hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat,

77

perasaan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Rifai, 2011:33-34) Hakim

sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan

memakai nilai-nilai hukum secara sosiologis yang berkembang di

masyarakat. Maka hakim dituntut untuk turut menciptakan hukum dan

keadilan yang baru.

Salah satu bentuk jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi

suami-isteri yang perkawinannya dicatatkan adalah adanya hak dan

kewajiban secara timbal balik. Apabila salah satu dari suami atau isteri

mengabaikan kewajibannya, maka pihak yang dirugikan dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan. Anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang dicatakan akan mendapatkan hak-haknya jika

orangtuanya bercerai. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka anak

tersebut dapat mewarisi harta yang ditinggalkan ayahnya.

Namun hakim haruslah berhati-hati dalam memutuskan perkara

permohonan Isbat Nikah. Hakim dalam mengadili permohonan Isbat

Nikah harus memeriksa secara seksama dan hati-hati guna menghindari

penyelundupan hukum, dengan menggunakan Isbat Nikah untuk

menghindari prosedur poligami. Hakim juga dituntut selalu

memperhatikan hukum yang berkembang di masyarakat demi

kemaslahatan masyarakat.

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan terhadap penelitian dan analisan penetapan

Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd, penulis

dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dasar hukum yang dijadikan landasan oleh Majelis Hakim adalah

Pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI, diperkuat dengan pengakuan para pihak.

Pengakuan pihak berperkara di depan sidang adalah merupakan alat

bukti yang sempurna dan mengikat. Alasan lain yang dijadikan

pertimbangan oleh hakim mengabulkan permohonan para Pemohon

adalah pertimbangan maslahah bagi masyarakat. Penetapan Isbat

Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus dokumen-

dokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu, penetapan

Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum bagi

pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka.

2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat

Nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terbatas pada

perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan.

Pasal tersebut berbunyi : “Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang

terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lainnya”. Namun pasal 7

79

ayat (3) Kompilasi Hukum Islam juga memberikan kewenangan

Pengadilan Agama mengadili Isbat Nikah pada perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan. Pasal 7 ayat (3) KHI

berbunyi : “Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat

perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halanganmenurut Undang-Undang No. 1

Tahun 1974”.

Tidak ada pertentangan antara ketentuan menurut pasal 49 ayat (2)

angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dengan pasal 7 ayat (3)

KHI. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh hakim adalah

sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur Isbat Nikah pada

perkawinan paska UU Perkawinan. Dikarenakan Undang-Undang No.

3 Tahun 2006 hanya mengatur tentang Isbat Nikah pada perkawinan

sebelum berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam

undang-undang tersebut yang melarang Pengadilan Agama

mengesahkan perkawinan yang dilakukan setelah UU Perkawinan.

80

B. Saran-Saran

Dari pembahasan dan hasil penelitian yang penulis lakukan, ada beberapa

saran atau masukan dari penulis :

1. Penetapan Isbat Nikah sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengurus

dokumen-dokumen penting seperti akta kelahiran. Disamping itu,

penetapan Isbat dapat memberikan jaminan perlindungan kepastian

hukum bagi pasangan suami-isteri maupun bagi anak-anak mereka.

Namun kewenangan Pengadilan Agama dalam mengesahkan

perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan dibatasi oleh

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka dari itu penulis

menghimbau supaya undang-undang tersebut segera direvisi. Hal ini

perlu dilakukan supaya Pengadilan Agama mempunyai dasar hukum

yang kuat, mengingat lemahnya kedudukan KHI karena tidak

tercantum dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia.

2. Hakim dalam mengadili permohonan Isbat Nikah harus memeriksa

secara seksama dan lebih hati-hati guna menghindari penyelundupan

hukum, dengan menggunakan Isbat Nikah untuk menghindari prosedur

poligami.

3. Hakim dalam mengambil dasar hukum jangan hanya mengutip dari

pendapat ahli hukum Islam, namun juga harus mencamtumkan dasar

hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia.

81

C. Penutup

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang tidak ada daya dan

kekuatan kecuali dari-Nya, hanya karena anugerah dan pertolongan-

Nyalah penulis dapat mengatasi segala hambatan dan rintangan yang

mengusik selama proses penyelesaian karya ilmiah ini hingga pada

akhirnya penulis dapat berhasil menyelesaikannya. Seluruh kemampuan

dan usaha telah penulis coba demi sebuah hasil yang baik dan maksimal,

akan tetapi penulis sadari akan keterbatasan pengetahuan, kemampuan

serta pengalaman yang ada dalam diri penulis, dari itulah penulis mohon

maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini.

Kepada semua pihak yang turut membantu baik langsung maupun

tidak langsung hingga kami berhasil menyelesaikan skripsi ini, dengan

segala kemurahan hati penulis haturkan terima kasih, seiring do’a semoga

Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik. Akhirnya dengan

mengharap kemurahan-Nya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

82

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. 1984. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung:

Alumni.

Basyir, Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Djalil, H.A Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik

Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang

Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga

Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Farkhani. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Harahab, Yulkarnain & Andy Omara. 2010. Kompilasi Hukum Islam dalam

Perspektif Hukum Perundang-undangan. Mimbar Hukum, (Online), Vol.

22, No. 3, (http://mimbar.hukum.ugm.ac.id, diakses 26 Mei 2015)

Harahab, M. Yahya. 2003. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan

Agama. Jakarta: Sinar Grafika.

Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Seri

Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan

Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).

Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.

83

M. Amirin, Tatang. 2006. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.

Mahkamah Agung RI. 2014. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi

Peradilan Agama. Jakarta

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda

Karya.

Muhibbin, Moh & Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Musthofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana.

Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.

Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Rasyid, Chatib & Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press.

Rasyid, Roihan A. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Sulhah, Asa Maulida. 2010. Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus di

84

Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011.Skripsi tidak diterbitkan.

Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.

Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik.

Bandung: CV. Tarsito.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia & Undang-Undang Republik

Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Penjelasannya.

2006. Surabaya: Kesindo Utama.

Zuhriah, Erfaniah. 2009. Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan

Realita. Malang: UIN Malang Press.