Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

29
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum Oleh : Aan Efendhi ( E0013002 ) Aguita Bintang M.S ( E0013026 ) Resti Fouziah ( E0013333 ) Sarah Meilita I ( E0013375 ) Siti Aminah ( E0013380 ) FAKULTAS HUKUM

description

aturan pemerintah

Transcript of Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Page 1: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN

PERTANAHAN

Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria

Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum

Oleh :

Aan Efendhi ( E0013002 )

Aguita Bintang M.S ( E0013026 )

Resti Fouziah ( E0013333 )

Sarah Meilita I ( E0013375 )

Siti Aminah ( E0013380 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2014

Page 2: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………....

Daftar Isi...................................................................................................... 2

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 3

B. Rumusan Masalah…….................................................................... 6

C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 6

D. Manfaat penulisan ………………………………………………… 6

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Pengertian Hak Menguasai Negara ……….................................... 7

B. Pengertian Pengadaan Tanah…….................................................. 9

BAB III Pembahasan

A. Pembahasan 1…………………………......................................... 10

B. Pembahasan 2......................................................................... …... 13

BAB IV Penutup

A. Kesimpulan ................................................................................... 16

B. Saran……….................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA

2

Page 3: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan factor kehidupan yang vital. Tanah tidak

hanya merupakan factor produksi dalam arti ekonomi, namun juga mengandung arti social,

politik, dan budaya secara menyeluruh, bahkan cenderung mempunyai arti reigius. Betapa

pentingnya penguasaan sumber-sumber agrarian bagi kehidupan.

Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia pasca-

kolonial menemukan bentuk dengan dirumuskannya Undang-Undang Nomor

5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Niat formal UUPA 1960

adalah sebagai undang-undang organic dan induk di bidang agrarian, dan

merupakan implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945

(UUD 1945). Dengan mulai berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria)

terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama

hukum dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum

Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal sebagai

Hukum Agraria. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai

perombakan hukum agrarian, sesuai dengan namanya Peraturan dasar

pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok persoalan agrarian

serta penyelesaiannya. Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah

permukaan bumi dan tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah

air. permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah

yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,

melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam

pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hak

penguasaan atas tanah terdapat kewenangan, kewajiban, dan atau larangan

bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan

3

Page 4: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda

diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Kewenangan negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang

menentukan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah dikuasai oleh

negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa konsep ’dikuasai

negara’ artinya negara mengatur, negaralah yang mempunyai kewenangan

mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

dengan kata lain, pada tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur

peruntukan dan pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan

karena kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi

ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber

daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian adalah

wewenang yang didistribusikan dalam Undang-Undang Dasar, sehingga

negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan inilah yang

melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik; dengan

demikian kewenangan negara dalam bidang pertanahan baru dapat

diketemukan apabila didasarkan pada perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3)

UUD tahun 1945.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan pasal 3 UUPA, hak atas tanah yang

dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pakai yang diatur dalam Pasal 41 sampai

dengan Pasal 43 UUPA. Selain hak pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah yang dapat

dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pengelolaan.1 UUPA secara tersurat tidak menyebut

Hak Pengelolaan tetapi hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor

2 UUPA yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan

hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Pengetian hak pengelolaan

diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1966 jo Pasal 1 angka 4

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu Hak Pengelolaan adalah hak menguasai

1 Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group

4

Page 5: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Ada

beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat mempunyai tanah hak

pengelolaan, yaitu (1) Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965; (2) Pasal 1 huruf b

Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966; (3) Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ktentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian

Tanah Untuk Keperluan Perusahaan; (4) Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1997

tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan;

dan (5) Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agararia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9

Tahun 1999. Ada dua cara perolehan hak pakai atau Hak Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah.

Pertama, Penegasan Konversi. Konversi adalah perubahan status hak atas tanah menurut hukum

yang lama sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat,

hukum adat dan Daerah Swatantra menjadi hak atas tanah menurut UUPA. Kedua, pemberian

hak. Pemberian Hak menurut Pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999, adalah penetapan pemerintah yang memberikan sesuatu

hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak,

termasuk pemberian hak di atas hak pengelolaan. Hak penguasaan atas tanah yang dapat dikuasai

oleh pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak pengelolaan. Wewenang pemerintah daerah

terhadap hak pakainya adalah menggunakan tanah hak pakai untuk kepentingan pelaksanaan

tugasnya. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pengelolaannya adalah merencanakan

peruntukan dan penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan

tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau

bekerja sama dengan pihak ketiga. Oleh karena itu, kami menuliskan judul dalam makalah ini

yaitu “Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan”

5

Page 6: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

A. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah dan panduan yang mengerucut mengenai bahasan yang

dikaji, Perumusan masalah sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan di cari

jawabannya perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapaun permasalahan yang diangkat

dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan?

2. Bagaimana Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan?

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

b. Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur

Pertanahan

2. Tujuan Subjektif

a. Menambah pengetahuan penulis mengenai Wewenang Pemerintah Daerah Dalam

Mengatur Pertanahan

b. Melatih kemampuan penulis dalam mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah

Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

6

Page 7: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

C. Manfaat Penulisan

1. Dapat memberi pengetahuan lebih mengenai Hak Menguasai Negara

2. Dapat mengetahui dan memahami Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur

Pertanahan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai Atas Tanah

Secara etimologis, menguasai dapat diartikan sebagai “proses, cara, perbuatan menguasai

atau mengusahakan”. Jadi penguasaan adalah suatu tindakan yang mencakup dari segi proses

sampai cara menguasainya. Menurut undang-undang pokok agraria Penguasaan oleh negara

adalah suatu proses yang dilakukan oleh negara untuk menguasai atau mengusahakan sesuatu

yang sesuai dengan kepentingan.2 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat

dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Dan juga beraspek perdata

dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang

dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi

kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah

yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil

manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.3 Ada

penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah

yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh

pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan

2 Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

3 Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.

7

Page 8: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini

secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara

fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis

yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang

bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas

tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan

(jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada

pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik  atas tanah ini

dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek

publik, yaitu penguasaan atas tanah  sebagaimana yang disebutkan dalam 

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.4 Hak penguasaan atas tanah berisi

serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat

sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat,

yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di

antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan

bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu

yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang

menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam Hukum Tanah. Penguasaan dapat ditafsirkan melalui beberapa aspek seperti aspek fisik,

yuridis, privat, maupun publik. Yang masing-masing mencakup:

1. Penguasaaan dalam arti yuridis, merupakan penguasaan yang dilandasi hak, yang

dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak

untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan

atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.

2. Penguasaan fisik, penguasaan yang pada kenyataanya atau realita yang ada. siapa

pengguna atau pemanfaat tanah itulah yang disebut sebagai penguasa fisik.

3. Penguasaan privat, penguasan dalam kepentingan privat, yaitu untuk beberapa maupun

sekelompok orang tertentu.

4 Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas

8

Page 9: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

4. Penguasaan public, yaitu penguasaan demi kepentingan umum atau bersama. Dimana

tanah tidak hanya untuk sekelompok orang tertentu tapi untuk masyarakat secara

keseluruhan. Contohnya penggunaan tanah untuk pembangunan jalan tol.

Right to control the state is The condition of landlessness threatens the enjoyment of a

number of fundamental human rights. access to land is important for development and poverty

reduction, but also often necessary for acces to numerous economic, social and cultural rights,

and as a gateway for many civil and political rights. however, there is no right to land codified n

internasional human rights law. land is cross-cutting issue, and is not simply a resource for one

human right in the intrnasional legal framework. and yet, while rights have been established in

the international legal framework that relate to land access for particular groups, numerous rights

areaffected by access to land and general principles.5

B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Pemerintah

Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai  hak

penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus

ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam

Hukum Tanah Nasional, Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang

tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang

merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak

penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat

(1)-(3) UUPA.

Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik,

artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah

bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia

(Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya

seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang

Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia

dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu

5 Elisabeth wicker and anil kahlan. Land rights issues in international human rights law. Malaysian Journal on human rights law.Malaysia,2010 hal 2-3

9

Page 10: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam

keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat

memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).6

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang

hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa

yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama

ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana

dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan tanah.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan tanah.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

BAB III

PEMBAHASAN

1. Kewenangan Bidang Pertanahan

A. Kewenangan Pemerintah Pusat

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 di mana sampai dengan Amandemen yang ke IV. Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :”...bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

6 Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupa nomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah INDIKATOR

10

Page 11: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

kemakmuran rakyat”. Berdasarkan landasan ini kemudian diundangkan pada Undang-Undang

No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA menyebutkan:

Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 1,

bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.7

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu

Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat

keadilan bagi semua rakyat Indonesia terutama yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah. Untuk

menjamin keadilan bagi rakyat, negara memberikan berbagai macam Hak baik itu milik

perseorang maupun milik bersama. Namun, terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat

menghapuskan semua hak yang dimiliki baik secara perorangan maupun dimiliki bersama yaitu

Kepentingan Umum. Dengan itu, maka diharapkan semua rakyat dapat secara sukarela dan

setuju apabila tanah mereka dipakai untuk melaksanakan pembangunan untuk umum.8 Dalam

konteks ini, Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki

kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,

air, ruang angkasa;

c. Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan

1) Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan :

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat.

2) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menyebutkan :

7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)8 Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

11

Page 12: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan

dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan

peraturan pemerintah.

Penjelasan Pasal 2 menyebutkan :

Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak

penguasaandari negara atas tanah itu adalah medebewind. Segala sesuatunya akan

diselenggarakaan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat

merupakan sumber keuangan dbagi daerah itu.

3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan :

Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini

ditentukan menjadi urusan pemerintah.

4) Sedangkan yang sebenarnya urusan wajib dari Pemerintah Daerah sudah ditentukan

juga dalam Undang-Undang menurut Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan :

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota

merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: huruf k yaitu Pelayanan

Pertanahan.

Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut diatas maka dapat

disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara, artinya kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut

hak menguasai negara atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai

Negara dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara

kemudian mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum

dan tidak merugikan kepentingan rakyat. Dalam melaksanakan hak menguasai ini dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Jadi walaupun pada

asasnya tidak dapat diotonomkan tapi dapat di medebewind.

12

Page 13: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA, Pasal 14 huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2006 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 maka menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4)

UUPA hak menguasai dari negara dapat di medewind kan ke daerah swatantra . Jadi berdasarkan

pelimpahan wewenang pertanahan dari Pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis

sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu

juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi

Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,

memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah.

Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata dan

bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud dilaksanakan berdasarkan tugas,

wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Setiap bidang urusan pemerintahan yang

bersifat senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah

daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang

bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria pembagian urusan

yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.9

Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan

mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan

pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila berdampak regional

menjadi kewenangan provinsi, dan apabila berdampak nasional menjadi kewenangan

Pemerintah. Akuntabilitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan

pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat

pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang

9 Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung : Alumni

13

Page 14: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

ditangani tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban) penyelenggaraan bagian urusan

pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan

mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan

ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian

urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih

berdayaguna dan berhasil guna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah

Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut

diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu

bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh Pemerintah maka

bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah.

2. Kendala-kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melaksanakan Kewenangan di

Bidang Pertanahan.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan

amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut

menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang

mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan mempunyai Kantor Pertanahan di

kabupaten/kota (sektoral). Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak

menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah swatantra.10 Berdasarkan Pasal 13 dan

14 huruf (k) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan

wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan dari kabupaten/kota

kemudian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan

wewenang pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya

mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan. Apalagi

10 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

14

Page 15: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007,

yang pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian kewenangan di bidang

pertanahan antara pusat dan daerah.

Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2

ayat (1) dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

beserta peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan

peraturan perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan

secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi

dilain pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004,

maka secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.

Dissinkronisasi demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua undang-undang tersebut

sehingga memunculkan adanya problema dan konflik norma serta konflik kepentingan dalam

pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan. Kondisi yang demikian dapat terjadi karena

Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya mengatur tanah dalam arti sempit, yaitu

kewenangan pemanfaatan tanah dan pengelolaan bidang oleh kabupaten/kota, sedangkan

menurut Undang-Undang Pokok Agraria konsep tanah diartikan secara luas, meliputi penataan

ruang, hak atas tanah, pendaftaran tanah, landreform dan lain sebagainya. Urusan pertanahan

yang dapat dilimpahkan dalam rangka otonomi daerah hanyalah urusan agraria (pertanian),

sedangkan urusan kepemilikan tanah harus tetap berada pada kewenangan pemerintah pusat.

Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada pada

negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam Undang-

Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan

hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasannya

ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu dimaksudkan

untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak

menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, maka

pemerintah pusat berwenang mengatur dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan

penguasaan tanah. Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah,

15

Page 16: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, yang pada

kenyataannya selalu dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Memang dimungkinkan dilakukan

pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah swatantra, namun pelimpahan

tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang

ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah daerah

sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan

desentralisasi atau otonomi daerah.

Otonomi daerah sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pertanahan dapat

didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan

bahwa bidang pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus dicerna

secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh berada pada pemerintah

daerah. Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemerintah

daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu

Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat

keadilan bagi semua rakyat Indonesia. Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, ruang angkasa;

16

Page 17: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, artinya

kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut hak

menguasai negara atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai Negara

dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara kemudian

mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak

merugikan kepentingan rakyat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu

juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi

Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,

memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah.

Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka

ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal

33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai

dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan.

Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 beserta

peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan

perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan secara

yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain

pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor

22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, maka

secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.

17

Page 18: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada

pada negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam

Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan bahwa semua tanah

adalah merupakan hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

penguasannya ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu

dimaksudkan untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Memang

dimungkinkan dilakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah

swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-

pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut

diberikan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas

pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah. Wewenang yang dipunyai

oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak

bersifat nasional.

B. Saran

1. Sebaiknya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

lebih ditegaskan kembali agar dapat berjalan lancar tanpa ada kesalahpahaman yang

dapat menimbulkan konflik dan mengganggu berjalannya pembangunan.

2. Pemahaman pada setiap peraturan perundang-undangan harus disamakan dan diberi

titik terang agar lebih memperjelas maksud dari peraturan perundang-undangan itu

sendiri dan mempermudah jalannya proses pembangunan serta memperjelas dan

mempermudah tugas baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

18

Page 19: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku :

Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung :

Alumni

Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas

Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.

Santoso, Urip,  Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group.

Dari Internet :

19

Page 20: Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan

Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila

http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses

pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

Dari Jurnal :

Elisabeth wicker and anil kahlan.2010.” Land rights issues in international human rights law”.

vol 4. Malaysia: MalaysiaN Journal on human rights law.

Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupa nomor 5 tahun 1960

dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah

INDIKATOR

Dari Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

20