Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI dan Permesta

download Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI dan Permesta

of 17

description

Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI dan Permesta

Transcript of Keterlibatan Amerika Serikat dalam peristiwa PRRI dan Permesta

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi dan perdagangan hasil ekspor yang sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau Jawa dianggap tidak adil. Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian bahwa Bung Karno dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia. Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan Dewan Banteng di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera Utara) terbentuk Dewan Gajah, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 Dewan Garuda mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA) oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.[footnoteRef:1] [1: Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa: Periode 1950-1960, (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2005), hal. 372.]

Pendirian PRRI diawali dengan reuni Dewan Banteng, organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI". Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta)Melalui Operasi Militer baik dari darat, Laut dan Udara Gerekan PRRI dan Permesta dapat ditumpas oleh Pemerintah Pusat. Makalah ini membahas faktor faktor pendorong gerakan PRRI PERMESTA tersebut serta keterlibatan Amerika dalam menyokongnya.

BAB IIISI

2.1 Kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia menjelang PRRIMemasuki era 1950-an, sebagai bangsa yang baru merdeka, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks. Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Perubahan itu juga membawa dampak pada perubahan sistem penyelenggaraan negara, yaitu dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Sistem politik ini pada perjalanannya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Sistem parlementer telah mengakibatkan adanya polarisasi berbahaya dalam tubuh bangsa Indonesia. Polarisasi politik ini semakin tampak di Pemilihan Umum tahun 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai pemenang Pemilu 1955, mendapat dukungan terkuat di Pulau Jawa. Di lain pihak, partai-partai agama seperti Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, PSII, dan lain-lain lebih mewakili luar Jawa. Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah tentu mengail di air keruh dan menyokong PNI. Justru ada kecenderungan PKI akan meningkat menjadi partai terkuat. Dalam situasi demikian, tampaknya kalau sistem politik tersebut tetap diteruskan, sejarah Indonesia akan berakhir dengan kehancuran bangsa Indonesia[footnoteRef:2]. [2: Leirissa R.Z PRRI PERMESTA : Stategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta : Grafiti 1997 Hlm.8]

Pada era kabinet Hatta, Natsir, Sukiman dan Wilopo, kebijakan ekonomi yang diambil relatif lebih akomodatif terhadap modal asing. Tetapi sejak kabinet Ali (1953-1954) pembangunan ekonomi meskipun tercantum dalam program kabinet namun pembangunan ekonomi lebih banyak merupakan semboyan belaka. Ini terutama karena kabinet menganggap modal asing merugikan Indonesia. Perhatian kepada administrasi negara yang sangat diutamakan Hatta pun terbengkalai. Gantinya muncul usaha usaha menggalang persatuan melalui retorika politik dan dropping pegawai dari pusat ke daerah. [footnoteRef:3] Sistem birokrasi yang diterapkan pada saat itu sangat bergantung pada partai yang tengah berkuasa dan dipolitisasi untuk kepentingan partai politik semata. Sistem politik seperti itu juga telah menimbulkan banyak praktek praktek korupsi. [3: Ibiid Hlm. 10 ]

Dalam bidang ekonomi, keadaan Indonesia pada tahun 1950 berada pada titik yang sangat rendah yaitu tidak terjadi keseimbangan pembangunan, antara Jawa dengan luar Jawa. Selama tahun 1950an tersebut, pembangunan lebih dipusatkan pada daerah Jawa, terutama Jakarta, sementara intensitas pembangunan di daerah lain sangat minim.2.2 Faktor Faktor Yang Mendorong Pemberontakan

2.2.1 Gagalnya Pembangunan EkonomiPerang selama Revolusi Kemerdekaan telah mengakibatkan kerusakan parah dalam bidang ekonomi. Untuk mensiasatinya Kabinet Natsir membentuk Rencana Urgensi Perekonomian yang disusun oleh Sumitro Djojohadikusumo. Pola kebijakan pembangunan dalam RUP berlanjut dalam program pengembangan industri di Indonesia yang disebut Rencana Urgensi Perindustrian tahun 1951-1952. Dalam rancangan tersebut dengan tegas dikemukakan bahwa dasar pokok dari kebijakan bukanlah memberikan proteksi bagi pembangunan industri Indonesia. Namun, ditujukan untuk menghapuskan proteksi yang selama ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan Belanda.[footnoteRef:4] [4: Kanumoyoso, Bondan. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia,2001. Hlm xi.]

Program Pembangunan Ekonomi dilanjutkan pada kabinet Wilopo dan kabinet selanjutnya dengan pembentukan Biro Perancang Negara. Badan ini berhasil menyusun rencana pembangunan yang diumumkan pada tahun 1956. Implementasinya di antaranya adalah Program Benteng dan Alibaba. Namun, pada kenyataannya, Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun itu gagal, terutama karena Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang tidak mendukung. Kabinet ini terlalu memperhatikan politik luar negeri, misalnya penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika, tanpa diimbangi dengan pembangunan dalam negeri. Bung Karno kemudian muncul dengan gagasan Demokrasi Terpimpin dan berusaha mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan. Sebaliknya, muncul juga berbagai upaya membendung masuknya pengaruh komunisme dalam pemerintahan Indonesia, yang akhirnya menciptakan kondisi untuk timbul gerakan-gerakan daerah.[footnoteRef:5] [5: Leirissa .Op.Cit Hlm 13]

Kegagalan pembangunan ekonomi ini sangat dirasakan oleh berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Salah satu golongan yang merasakanya adalah prajurit. Bahkan Ulf Shandaussen menyebutkan bahwa masa kabinet Ali II sebagai Era Ketidakpuasan. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi, seperti penyalahgunaan devisa, pemberian izin istimewa kepada anggota partai penyokong, serta birokrasi perizinan yang berbelit-belit menghambat pedagang. Kalangan pemimpin pasukan pun kesal karena alokasi keuangan serta kesejahteraan prajurit tidak dihiraukan. [footnoteRef:6] [6: Ibid]

Sementara itu untuk mengatasi kesulitan ekonomi militer, di daerah lain di luar pulau Jawa dalam tahun 1954, Panglima Indonesia bagian Timur, Kolonel Warouw, dan komandan resimen di Sulawesi Utara, Mayor Worang, seorang putera Minahasa, mengizinkan penyelundupan kopra secara besar-besaran untuk dapat membiayai operasi-operasi militer dan program pemukiman kembali. Dalam bulan Februari 1955 di Minahasa, yang merupakan daerah penghasil utama kopra di Indonesia, terjadi pembangkangan terhadap Yayasan Kopra yang dipimpin dari Jakarta dan yang memagang monopoli pemasaran atas komoditi ini. Dengan dukungan garnizum tentara setempat, petani kepala dan tokoh-tokoh setempat mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa dan menyita kekayaan Yayasan Kopra. Dalam tahun berikutnya, tindakan terhadap Yayasan Kopra meluas ke Makassar, di mana aksi itu juga mendapat dukungan dari komandan garnizum setempat, Letnan Kolonel Andi Mattalata. Perdagangan barter di Sulawesi Utara dari bulan Februari sampai Maret 1956 mencapai proporsi- proporsi yang mencemaskan pemerintah pusat. Dapat disimpulkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi telah mengakibatkan sejumlah kekecewaaan masyarakat terutama kalangan tentara. Kegagalan ekonomi pulalah yang mendorong adanya ketidakpatuhan daerah terhadap pusat. Pemberontakan juga dimudahkan terjadi terutama karena kalangan tentara mensponsorinya.

2.2.2 Kesenjangan PembangunanDari catatan Sultan Takdir Alisjahbana, pada tahun 1956 didapatkan informasi bahwa dari keseluruhan ekspor Indonesia, kira kira 71% berasal dari Pulau Sumatera, sedangkan Pulau Jawa hanya mengekspor 17%, selebihnya 12% total ekspor berasal dari pulau lainya. Jika dihitung dengan rupiah dan rata rata jumlah penduduk, maka tiap jiwa di Sumatera Selatan menghasilkan deviden sebesar Rp.1000,00, Sumatera Utara Rp.399,00, dan Sumatera Tengah Rp.373,00. Sedangkan Jawa dan Madura hanya mempunyai deviden Rp. 27,60 dan pulau lain Rp 67,50. [footnoteRef:7] [7: Syamdani. PRRI : Pemberontakan Atau Bukan? Jakarta : Media Pressindo. 2009 Hlm ]

Angka angka tersebut menunjukan sumbangan yang besar yang diberikan daerah melalui hasil ekspornya, tetapi dalam hal penggunaan dana atau devisa terlihat bahwa pembangunan daerah sangat minim. Hal ini dapat diperhatikan dengan angka impor saat itu, daerah sumatera misalnya yang menghasilkan 71% deviden ternyata hanya memakai kira kira 17% dari deviden itu. Sedangkan pulau Jawa yang hanya menghasilkan 17% deviden ternyata memakai 75% dari total deviden negara. Sisanya dipakai oleh pulau-pulau lain di luar Jawa dan Sumatera.[footnoteRef:8] Angka-angka ini jelas menunjukkan ketimpangan pembangunan yang merupakan satu agenda utama yang mendorong adanya pergolakan daerah. [8: Ibid]

2.2.3. Ancaman Komunisme di Indonesia dan Kesenjangan dalam Tubuh TNI.Sejak 1952, sesuai dengan instruksi garis lunak Moskow PKI berusaha mencapai tujuan melalui prosedur politik Parlementer dari UUDS 1950 yang berlaku di Indonesia pada masa itu. Untuk menguatkan kedudukanya di Indonesia ditempuh dua cara legal. Pertama usaha pembentukan front nasional untuk bekerjasama mempenagruhi politik lainya di Indonesia. Kedua menyusun pengikut yang luas. Untuk mencapai tujuan tersebut PKI berusaha merangkul Bung Karno yang sebelumnya PKI anggap sebagai kaum kolaborator. Sejak saat itulah PKI terus mencoba memperoleh perimbangan dalam kekuatan politik Indonesia. Kedekatan PKI dengan Bung Karno juga telah memicu kesenjangan dalam tubuh AD dimana sebagian tentara pro komunis dan sebagian lainya berusaha meminimalisir komunis di Indonesia. Dengan demikian krisis dalam kehidupan politik dan ekonomi serta militer sejak 1950-an mencapai puncaknya di 1956 . Disatu sisi ada pendapat bahwa keadaan Indonesia bisa membaik jika ada kaum komunis di ikutsertakan dalam pemerintahan. Dan dilain pihak ada yang sangat khawatir mengingat kaum komunis adalah alat perjuanagan komunisme internasional. Pendapat pertama berasal dari Soekarno dan pendapat kedua berasal dari antara lain sejumlah perwira TNI AD[footnoteRef:9]. [9: Leirissa .Op.Cit Hlm 31]

Dalam kondisi memburuk itulah muncul gerakan-gerakan daerah yang bertujuan mencegah kehancuran ayng semakin parah. Sementara TNI ada makin bersifat legalistik dan karena proses politik makin tidak kondusif untuk pembangunan muncul suara-suara di Sumatera dan Sulawesi untuk menghidupkan kembali perjuangan dari masa perang kemerdekaan dengan adanya gerakan untuk memprotes pemerintah.2.3 Pecahnya Pemberontakan PRRI dan Permesta Pada tanggal 20 hingga 25 November 1956, acara reuni eks Divisi Banteng berlangsung di Padang, Sumatera Barat. Dalam acara tersebut terdapat beberapa kesepakatan yang disetujui oleh semua anggota yang hadir salah-satunya adalah disetujuinya pembentukan Dewan Banteng yang bertugas menampung segala saran dari tiap anggota. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul dewan-dewan lain seperti Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Revolusi Garuda di Sumatera Selatan. Pertumbuhan ini juga mendapat reaksi untuk perkembangan dewan-dewan lainnya di Indonesia Bagian Timur seperti munculnya Dewan Hasanuddin di Ujung Pandang, Dewan Cendrawasih di Ambon, dan Dewan Manguni di Manado. Selanjutnya dewan-dewan di Sulawesi ini menyatakan dirinya sebagai Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).Selain itu terdapat pula keputusan yang berisi pemanfaatan kekayaan dan potensi daerah untuk pembangunan daerah berdasarkan otonomi secara seluas-luasnya. Keputusan lainnya yang didapat dari rapat reuni eks Divisi Banteng ini adalah penyelesaian masalah veteran, persoalan panji, makam pahlawan, penyusunan sejarah perjuangan Sumatera Tengah dan pembangunan Museum Perjuangan. Keputusan rapat reuni ini juga ditujukan kepada Pemerintah Pusat yang berisi tuntutan untuk mementingkan pembangunan daerah yang dianggap kurang, serta tuntutan penghapusan sistem sentralisasi yang lebih mementingkan daerah pusat.Sebagai tindak lanjut dari hasil keputusan reuni tersebut, pada tanggal 20 Desember 1956 Awalnya Ruslan Mudiharjo, Gubernur Sumatera Tengah mencoba mendiskusikan usulan dewan Banteng pada pemerintah Pusat namun upaya gagal. Sehingga Gubernur Ruslan memberikan tanggungjawab sepenuhnya pada dewan Banteng Letkol Achmad Hussein membuat keputusan untuk mengambil alih pemerintah daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Murjuharjo. Ia menganggap bahwa Pemerintah Pusat kurang berhasil dalam membangun daerah Sumatera Tengah. Kegiatan pengambilalihan pemerintah Sumatera Tengah tersebut ternyata didukung oleh masyarakat Sumatera Tengah. Pemerintah Pusat terkejut ketika mendengar berita tentang pengambilalihan kekuasaan yang terjadi di Sumatera Tengah oleh Dewan Banteng. Pemerintah Pusat menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang menyalahi aturan hukum ( Coup detat). Selama masa pengambil alihan kekuasaan oleh Dewan Banteng, berbagai fasilitas umum dibangun untuk kepentingan masyarakat Sumatera dengan dana daerah yang tidak lagi diberikan ke pusat. Pada tanggal 2 Maret 1957, panglima untuk Indonesia Timur, Letnan Kolonel H. N. V. Sumual, mengumumkan keadaan darurat perang di seluruh wilayahnya dari markas besarnya di Makassar. Dengan begitu, secara teoritis dia mengambil alih kekuasaan sipil dari Bali sampai Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Kemudian, suatu Piagam Perjuangan Semesta Alam (Permesta) yang panjang dibacakan kepada para perwira Sumual, yang berikrar akan menyelesaikan Revolusi Indonesia. Dengan demikian, meletuslah pemberontakan Permesta. Pada tanggal 8 Maret, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Selatan mengajukan mosi tidak percaya kepada gubernur dan pihak tentara mengambil alih kekuasaan di wilayah itu.Untuk menyelesaikan pergolakan militer yang semakin meresahkan, pada tanggal 15 sampai 20 Maret 1957 diadakan konferensi Panglima dan teritorium seluruh Indonesia, konferensi ini juga mengundang Panglima-panglima yang memimpin pergolakan di daerah. Kolonel A.H Nasution menyatakan dalam konferensi bahwa ia memahami pergolakan daerah yang terjadi, akan tetapi, utamakan terlebih dahulu keamanan dan ketertiban di daerah baru selanjutnya merealisasikan tuntutan yang diinginkan oleh Dewan Benteng. Namun konferensi tersebut tidak langsung membuat pergolakan di daerah menjadi turun. Pergolakan daerah justru semakin bertambah dan menyebar ke Kalimantan. Di Kalimantan terbentuk suatu dewan yang dinamakan Dewan Lambung Mangkurat. Pada dasarnya Dewan ini menginginkan tuntutan yang sama dengan pergolakan daerah lainnya. Untuk menyelesaikan pergolakan yang semakin banyak dan tidak juga terselesaikan, pemerintah mengadakan Musyawarah Nasional pada 10 September 1957 di Jakarta. Namun pada akhirnya Musyawarah tersebut gagal meredam gejolak daerah sehingga pemerintah pada akhirnya bertindak tegas dengan memecat dan menangkap anggota Dewan Banteng, Dewan Garuda, Permesta maupun Dewan Lambung Mangkurat termasuk ketua umum penggerak utama Dewan Banteng yaitu Letkol Achmad Hussein. Penangkapan ini terutama karena PRRI dituduh sebagai dalang peristiwa Cikini yaitu upaya pembunuhan Presiden Soekarno di sekolah anak-anaknya. Pada tanggal 15 Februari 1958, diumumkanlah suatu pemerintahan pemberontak di Sumatera, dengan markas besarnya di Bukittinggi. Pemerintahan ini terkenal dengan nama PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Sjafruddin Prawiranegara menjadi perdana menterinya; anggota kabinetnya termasuk Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon. Dua hari kemudian,, kaum pemberontak di Sulawesi, Permesta, bergabung dengan PRRI. Kini, pihak pemb erontak mendapat jaminan dukungan secara rahasia dari Amerika Serikat, yang juga cemas terhadap Soekarno dan PKI. Akan tetapi, sejak awal pihak pemberontak menghadapi kekurangan-kekurangan yang serius. Panglima Sumatera Selatan tidak bergabung dengan mereka, karena mereka gelisah akibat letaknya yang dekat dengan Jawa dan khawatir dengan banyaknya orang Jawa yang menjadi buruh pada lading-ladang minyak yang menjadi anggo ta organisasi PKI. Pemberontakan ini pun tidak mendapat dukungan yang berarti di Sumatera Utara maupun Kalimantan. Kaum pemberontak Darul Islam di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan tetap menempuh cara mereka sendiri, walaupun pada akhir tahun 1959 terjalin juga hubungan yang tidak begitu erat antara Darul Islam dan PRRI. Perusahaan-perusahaan minyak Caltex, Stanvac, dan Shell mendapat jaminan dari pemerintah pusat bahwa kepentingan mereka akan dilindungi dan tetap membayar pajak mereka ke pemerintah pusat. Dengan demikian,PRRI merosot menjadi suatu pemberontakan yang terutama berpangkalan di dua pusat yang berjauhan, Sumatera Barat dan Sulawesi (khususnya Sulawesi Utara yang kini telah menjadi pusat gerakan Permesta).[footnoteRef:10] [10: M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010. Hal. 544]

Pada tanggal 16 Februari 1958, Sukarno kembali dan mendesak diterapkannya perlakuan yang keras terhadap kaum pemberontak. Djuanda, Nasution serta kebanyakan pemimpin PNI dan PKI juga menghendaki agar pemberontakan itu ditumpas. Hatta, bersama-sama dengan para pemimpin Masyumi dan PSI di Jakarta, mendesak agar dilakukan penyelesaian dengan perundingan, sehingga menempatkan diri mereka pada posisi kompromis. Sultan Hamengkubowono IX, yang secara tidak resmi merupakan sekutu PSI, juga lebih menyukai perundingan dan tidak bersedia menerima jabatan dalam kabinet ketika diubah susunannya pada bulan Juni 1958 karena adanya garis keras pemerintah terhadap PRRI. Sejak itu, dia tidak memainkan peran kenegaraan yang penting sampai sesudah Oktober 1965. Masyumi terpecah-belah, kehilangan semangat, dan tidak dipercaya lagi. Kelompok Sukiman berkeinginan memecat Natsir, Sjafuddin dan Burhanuddin namun dicegah para pendukung mereka. Dalam kenyataannya, Natsir tetap menjadi ketua partai selama setahun setelah meletusnya pemberontakan.[footnoteRef:11] [11: Ibid. hal 545]

Para militer bertindak secara menyakinkan. Angkatan udara mengebom instansi-instansi PRRI di Padang, Bukittinggi, dan Manado pada akhir Februari 1958. Pada awal Maret, pihak tentara mulai mendaratkan di Sumatera satuan-satuan dari Divisi Siliwangi dan Divisi Diponegoro yang berpangkalan di Jawa di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani. Pihak Amerika Serikat memasok persenjataan kepada kaum pemberontak dan meminta kepada pemerintah pusat untuk mendaratkan suatu pasukan mariner Amerika Serikat dengan dalih melindungi warga negara dan milik Amerika Serikat di ladang-ladang minyak Sumatera. Pemerintah Indonesia menolak permintaan tersebut dan, mulai tanggal 12 Maret, telah mengamankan ladang-ladang Caltex untuk mencegah terjadinya aksi sepihak Amerika Serikat. Kemudian pihak pemberontak dipukul mundur dari Medan pada tanggal 17 Maret dan sebulan kemudian Padang berhasil direbut oleh pihak pemerintah pusat setelah menghadapi perlawanan yang tidak berarti. Pada tanggal 5 Mei, Bukittinggi berhasil direbut dan gerakan PRRI di Sumatera berubah menjadi perang gerilya di wilayah pedalaman. Selanjutnya perhatian beralih ke Sulawesi Utara, di mana pertempuran berlangsung lebih berat. Di sini, pemerintah pusat mengandalkan Divisi Brawijaya dari Jawa Timur. Gorontalo berhasil direbut pada pertengahan bulan Mei, kemudian Manado pada akhir bulan Juni. Lagi, pemberontakan di sini pun berubah menjadi perang gerilya. Pada pertengahan tahun 1958 pemberontakan sudah dapat dikatakan gagal, walaupun kehancurannya yang terakhir masih terjadi tiga tahun kemudian.[footnoteRef:12] [12: Ibid ]

2.3.1 Dampak PRRI Permesta Bangsa IndonesiaPenyelesaian pemberontakan ini dilanjutkan dengan upaya membina dan bertanggung jawab terhadap masyarakat yang sebelumnya terlibat dalam pemberontakan. Rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan juga APRI dalam rangka mengembalikan kesejahteraan daerah-daerah yang sebelumnya terlibat pemberontakan. Pendekatan-pendekatan secara personal merupakan ujung tombak terhadap keberakhiran pemberontakan Permesta yang berakhir pada tahun 1961. Tindakan isolasi dilakukan oleh pemerintah terhadap pemimpin-pemimpin seperti Achmad Husein, Simbolon, M. Natsir, Nawawi, Zulkifli Lubis, dan lain-lain untuk penyesuaian diri.[footnoteRef:13] [13: Makmun Salim. 1971. Sedjarah Operasi Gabungan Terhadap PRRI/Permesta. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Pesat Sejarah. Hlm. 111.]

Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil . Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau. Krisis tersebut nampaknya membawa dampak luka bgi bagsa Indonesia. Wilayah NKRI nampaknya sangat terganggu stabilitasnya karena dilanda oleh berbagai pergolakkan diberbgai daerah terutama PRRI/Permesta yang membuat suatu refleksi selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah. Sembohya Bhinneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberikan kepada setiap daerah agar setia kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing daerah .Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom (nasionalisme, Agama, dan Komunis).Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957 . Untuk menumpas berbagai pemberontakan di daerah pemerintah menegluarkan SOB ( Surat Keadaan Darurat Perang) yang memberikan kewenangan militer untuk mengurus masalah masalah sosial dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan.Dalam pelaksanannya ikut masuk dan bekerja sama dengan sipil melalui hubungannya dengan gerakan pemuda, wanita, dan banyak aktivitas lain yang menunjukkan masuknya ABRI di dalam masyarakat. Masuknya ABRI dalam sebuah pemerintahan juga didukung dari sistem parlementer yang macet pada tahun 1957.[footnoteRef:14] Peristiwa PRRI/ PERMESTA juga menjadi salah satu alasan Presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden 1959 karena sistem Parlemen terbukti tidak dapat menuntaskan berbagai masalah yang dihadapi . [14: Harold Crouch. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 21.]

Sejak kembali NKRI melalui dekrit presiden, mengubah tugas tempur ABRI yang berada di daerah pergolakan menjadi tugas teritorial yang bergerak dalam bidang pembangunan daerah.[footnoteRef:15] [15: Nugroho Notosusanto. 1985. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan. Hlm. 87.]

2.4. Subversi Amerika dalam Pemberontakan PRRI Alasan utama yang mendasari Amerika Serikat untuk terlibat dalam membantu pemberontakan PRRI/PERMESTA sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk mencegah penyebaran paham dan pengaruh komunisme hingga menjangkau kawasan Asia, khususnya Indonesia. Selain itu, keterlibatan AS juga terkait secara langsung dengan kepentingan nasional AS dan kondisi perpolitikan di Indonesia. Dari segi kepentingan nasional, perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar bahkan sebelum Perang Dunia II, disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alam yang luar biasa. Ketertarikan AS terhadap kekayaan alam Indonesia ini dapat dilihat dari instruksi Mentri Luar Negeri AS, John Fuster Dulles, kepada Duta Besar Amerika untuk Jakarta, John M. Allison, pada awal tahun 1957 yang bunyinya, Jangan biarkan Soekarno sampai terikat kepada kaum komunis. Jangan biarkan dia menggunakan kekerasan melawan Belanda. Jangan dorong ekstremisme-nya.... Di atas segala-galanya, lakukan apa saja yang dapat Anda lakukan agar Sumatera (pulau penghasil minyak) tidak sampai jatuh ke tangan komunis.[footnoteRef:16] [16: Barbara Sillars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, (PT Pustaka Utama Grafiti, 1989) hal. 121.]

Dengan kata lain, menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang bersahabat dinilai sangat penting bagi AS. Hal ini seperti dikutip dari Gouda dan Zaalberg yang menjelaskan bahwa George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS) bahkan pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall, Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.[footnoteRef:17]. Dari dua kutipan ini dapat disimpulkan secara jelas bahwa kepentingan AS sebenarnya tidak hanya untuk membentengi pengaruh komunisme di Indonesia, namun lebih dari itu, AS juga khawatir bahwa pengaruh komunisme yang disebarkan Soviet maupun Cina kemudian mengurangi aksesnya terhadap kekayaan alam Indonesia. [17: Frances Gouda dan Thijs B. Zaalberg, Indonesia Merdeka karna Amerika?, Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949, (PT Serambi Ilmu Semesta, 1998) hal. 35]

Intensi AS, dari yang semula hanya ingin mencegah penyebaran komunisme di Indonesia ini kemudian meningkat tajam hingga berujung pada keputusan untuk membantu PRRI dan Permesta karena respon dari Soekarno dan kondisi domestik di Indonesia. Menurut Soekarno, Uni Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Uni Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS.[footnoteRef:18] Soekarno juga pernah menyatakan kepada Dulles bahwa Indonesia tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika dan tidak akan menjadi satelit dari blok AS.[footnoteRef:19] Penolakan Soekarno untuk menjadi bagian dari blok AS kemudian diartikan oleh AS sebagai kecenderungan Indonesia untuk lebih memilih bergabung dengan komunisme. [18: Hadi Soebadio, Hubungan Indonesia-Amerika : dasawarsa II tahun 1955-1965, (Tangerang, Banten : Pramita Press, 2005), hal. 42] [19: Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, (Jakarta: Media Pressindo, 2007), hal. 409-410]

Selain sikap Soekarno yang diartikan AS memihak komunisme Soviet, kondisi domestik di Indonesia pada periode 1950-an juga semakin meyakinkan AS bahwa komunisme telah menjadi ancaman yang serius dan bahwa sikap tidak kooperatif Soekarno harus ditindaklanjuti. Kondisi domestik yang dimaksudkan AS di sini adalah semakin berkembangnya kekuatan dan dukungan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekhawatiran ini semakin menguat setelah PKI yang menduduki peringkat keempat pada Pemilihan Umum 1955 begitu kuat pada saat itu. Hingga pada suatu kesimpulan, Amerika Serikat harus mampu menggulingkan Soekarno dari jabatan presiden. Cara yang dipilih adalah melibatkan diri dalam pemberontakan PRRI dan Permesta.Keterlibatan AS pada pemberontakan PRRI dan Permesta ditandai melalui campur tangan Central Intelligence Agency (CIA) milik Pemerintah Amerika Serikat yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Salah satu bentuk dari keterlibatan AS, khususnya CIA di dalam Pemberontakan PRRI dan Permesta adalah infiltrasi senjata-senjata dan personil. Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil untuk mendukung pemberontakan regional PRRI/PERMESTA yang ditujukan untuk melawan Sukarno.[footnoteRef:20] Pada bulan Januari 1958, merupakan hal yang sangat jelas bahwa Amerika Serikat akan melakukan segala upaya dalam rangka memperkuat gerakan anti-komunis di Indonesia. Operasi ini berada di bawah kepemimpinan Eisenhower sebagai Presiden Amerika Serikat, dan Allen Dulles, Director of Central Intelligent (DCI), di mana operasi ini kemudian disebut dengan istilah Operasi HAIK. Operasi HAIK ini sering kali disebut sebagai salah satu kesalahan terbesar CIA, dikarenakan propaganda yang dilakukan serta dukungan terhadap pembangkang Presiden Soekarno. Amerika Serikat dalam operasi ini telah menyisihkan dana sebesar US$ 7 juta. [20: Manai Sophiaan, Campur Tangan CIA dan KGB, diakses dari http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Dokumen-Tercecer-GESTOK-1965-CAMPUR-TANGAN-CIA-DAN-KGB-MANAI-SOPHIAAN, pada tanggal 19 April, pukul 13.22 WIB.]

Bukti fisik adanya bantuan berupa peralatan militer dan personilnya adalah sebuah pesawat terbang militer AS yang ditembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958 oleh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dengan menggunakan meriam. Pilot yang mengemudikan pesawat terbang militer tersebut adalah seorang penerbang berkebangsaan Amerika, yaitu Allan Lawrence Pope yang kemudian ditangkap dan diadili. Allan Pope merupakan penerbang Amerika yang disewa oleh kaum pemberontak Permesta yang secara legal diberi izin oleh pemerintah AS untuk menerbangkan angkutan udara sipil. Pope berhak untuk menggunakan lapangan terbang di pangkalan militer AS di dekat Manila, Filipina. Pope memiliki kemampuan untuk melakukan serangan yang mampu membunuh 700 rakyat tak berdosa di Ambon dalam satu kali serangan.[footnoteRef:21] Serangan itu ditujukan ke sebuah Gereja sampai hancur dan seluruh umat di dalam kebaktian itu terbunuh. Selain itu, Pope juga berhasil menenggelamkan sebuah kapal milik Indonesia dan semua awak kapal ini mengalami nasib yang malang. [21: Manai Sophiaan, loc.cit.]

Tidak hanya dukungan di angkatan udara, usaha-usaha CIA juga didukung oleh sebuah tugas kekuatan angkatan laut AS di lepas pantai, yaitu Armada ke-7 milik Pemerintah AS. Angkatan darat juga ikut diperbantukan dari CIA. Berdasarkan tulisan H. W. Brands dikatakan bahwa dalam pemberontakan PRRI, CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari orang Amerika Serikat, Filipina, dan Taiwan dan juga beberapa pesawat terbang.[footnoteRef:22] Segala bantuan ini dijalankan oleh CIA ini didasarkan pada kebijakan luar negeri AS yang dilakukan terhadap Indonesia. Kementerian Luar Negeri AS di pertengahan April 1958 memutuskan untuk menjaga komitmennya melalui bantuan pesawat-pesawat dan personil angkatan udara ke Sulawesi.[footnoteRef:23] Keputusan untuk mengirim Pesawat Tempur Mustang dan pesawat pembom jenis B-26 dilakukan oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sebagai pembuat kebijakan luar negeri pada masa pemerintahan Eisenhower. Bantuan militer dari AS ini dijadikan jalan untuk meningkatkan dan membantu pemberontakan PRRI dan Permesta. [22: H. W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States Didnt Topple Sukarno, dalam The Journal of American History, Vol. 76, No. 3, (The Organisation of Historians, Desember 1989), hal. 790.] [23: Andrew Roadnight, United States Policy towards Indonesia in the Truman and Eisenhower Years, (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 159.]

Berdasarkan keputusan Eisenhower, Presiden AS pada masa itu, langkah yang diambil oleh AS adalah menggerakkan unit-unit angkatan laut dan melepaskan the Third Marine Division milik AS dari Filipina memasuki area Indonesia.[footnoteRef:24] Atas bantuan kekuatan udara dan kekuatan laut baru yang dimiliki oleh Permesta, Permesta mampu untuk melakukan tindakan ofensif yang membuat adanya keuntungan di teritorialnya dalam penyerangan terhadap Indonesia. Tindakan pemberontakan ini terus terjadi sampai pertengahan Mei 1958 di waktu Pemerintah Indonesia berhasil menumpas semua pemberontakan PRRI dan Permesta di pulau Sumatera dan Indonesia bagian timur dengan cara menghancurkan beberapa pesawat dan mengambil alih kontrol di daerah teritorial tersebut. [24: Ibid, hal. 152.]

Semua persenjataan serta alat komunikasi modern ini disalurkan kepada gerombolan pemberontak melalui Singapura, yang dikendalikan dan diorganisir oleh seorang tokoh politik dan ekonomi yang terkenal, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Bahkan di Pekanbaru, rakyat sering mendapati dan melihat masuknya senjata-senjata gelap dari kapal-kapal yang datang dari Singapura. Namun demikian pihak PRRI dalam hal ini tidak pernah mau mengakui bahwa mereka sebenarnya menerima dan mengikuti arahan Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa isu yang sebenarnya terjadi adalah dugaan bahwa PRRI/PERMESTA memberontak sebagai wujud protes terhadap Presiden Sukarno yang terlalu memanjakan PKI sehingga banyak kebijakan pemerintah pusat yang berbau ideologi PKI. Keterlibatan CIA dalam peristiwa PRRI/Permesta pada dasarnya dilakukan secara tersembunyi di mana secara formal di depan media, pemerintahan Amerika Serikat berusaha menampilkan posisi netral dan tidak adanya intensi untuk melakukan segala bentuk intervensi terhadap masalah yang terjadi di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Eisenhower dalam wawancaranya dengan NBC pada bulan April 1958. Rumor keterlibatan warga Amerika Serikat dalam pemberontakan ini juga disangkal oleh Dulles yang menyatakan keraguannya akan hal tersebut. Ia juga menyatakan bagaimana pada dasarnya Amerika Serikat juga tidak memiliki kekuatan untuk mengatur setiap tindakan warga negara Amerika Serikat, khususnya di Indonesia pada zaman itu.

BAB IIIKESIMPULAN

PRRI/ PERMESTA merupakan suatu gerakan yang awalnya dibuat untuk menuntut kesetaraan pembangunan antara pusat dan daerah. Tuntutan ini dikarenakan oleh kegagalan sistem ekonomi Indonesia untuk mensejahterakan rakyat, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta upaya untuk meredam kekuatan komunis karena PRRI ternyata juga didukung oleh Amerika sehingga pemberontakan ini menjadi masalah yang serius hingga meyebabkan Kabinet Ali jatuh. PRRI Permesta memberikan dampak yang signifikan terhadap Indonesia karena setelah PRRI PERMESTA dikeluarkan Surat Keadaan Darurat Perang yang membuat militer selain berfungsi sebagai alat pertahanan juga diberi kewenangan untuk malakukan segala sesuatu untuk memulihkan keamanan. Dukungan Pemerintah Amerika secara sembunyi sembunyi merupakan satu bukti upaya pembendungan komunis di Indonesia karena pada saat itu Soekarno dinilai oleh Amerika terlalu kiri dan kekuatan komunis di Indonesia sangat kuat.

DAFTAR PUSTAKABukuPoesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Cetakan IV. Jakarta: Balai Pustaka.Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Erika dkk. 2009. Amerika Serikat dan Pemberontakan PRRI/Permesta. Depok: Universitas IndonesiaLeirissa R.Z . 1997. PRRI PERMESTA : Stategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta : Grafiti Notosusanto, Nugroho. 1985. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.Ricklefs, M. C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu SemestaSalim, Makmum. 1971. Sedjarah Operasi-Operasi Gabungan Terhadap PRRI/ Permesta. Jakarta: Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI.Syamdani. 2009. PRRI : Pemberontakan Atau Bukan? Jakarta : Media Pressindo. Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: KP3ES

TesisKanumoyoso, Bondan. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, www.lib.ui.ac.id