Keterkaitan Konsep Vastu Purusha Mandala Dengan Tata Ruang Keraton Surakarta

download Keterkaitan Konsep Vastu Purusha Mandala Dengan Tata Ruang Keraton Surakarta

If you can't read please download the document

description

seberapa besar pengaruh konsep hindu-budha dalam pembangunan tata ruang keraton surakarta

Transcript of Keterkaitan Konsep Vastu Purusha Mandala Dengan Tata Ruang Keraton Surakarta

UNIVERSITAS GADJAH MADAFAKULTAS ILMU BUDAYAJURUSAN ARKEOLOGITugas Akhir SemesterMATA KULIAH : Kapita Selekta ArkeologiSEMESTER VII 2010 / 2011Dosen Pengampu :Dr. Mahirta, M.A.Tjahjono Prasodjo, S.S., M.Hum.Dikerjakan Oleh :Khofif Duhari Rahmat ( 07/254462/SA/13930)Keterkaitan Konsep Vastu Purusha Mandala Dengan Tata Ruang Keraton SurakartaLatar BelakangSejarah Keraton SurakartaIbukota kerajaan Mataram Islam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perpindahan dibeberapa tempat. Pada awalnya kerajaan Mataram Islam beribukota di Kota Gede dibawah pemerintahan Ki Ageng Pamanahan pada tahun 1577 M sampai masa Sultan Agung (1631 M 1645 M). Kemudian kerajaan pindah ke arah selatan dari Kota Gede yaitu Plered pada masa Sunan Amangkurat I (1646 M 1677 M). Namun kerajaan di Plered tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo bersama Kraeng Galesong atas kerajaan Mataram Islam pada tahun 1676 M. Akibat peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo tersebut menyebabkan kerusakan di beberapa keraton. Berkaitan dengan hal tersebut Sunan Amangkurat II selaku penerus pemerintahan dari Amangkurat I memindahkan kerajaan Mataram Islam dari Plered menuju Kartasura pada tahun 1680 M. Keraton Kartasura hanya bertahan hingga masa pemerintahan Paku Buwana II (1729 M 1749 M). Setelah masa pemerintahan Paku Buwana II keraton Surakarta pindah ke Desa Sala. Kemudian Desa Sala berubah nama menjadi Surakarta. Perpindahan keraton Kartasura ke Surakarta disebabkan oleh peristiwa geger pecinan pada tahun 1742 M. Peristiwa geger pecinan di keraton Kartasura berawal dari pembantaian massal etnis tionghoa oleh kompeni Belanda di Batavia. Akibat peristiwa tersebut, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh etnis tionghoa di berbagai daerah, terutama disepanjang pantai utara Jawa. Bahkan pemberontakan yang dilakukan oleh etnis tionghoa tersebut menjalar hingga ke keraton Kartasura. Pasukan orang tionghoa bekerjasama dengan Tumenggung Natakusuma berhasil menguasai keraton Kartasura dan mengangkat Sunan Kuning sebagai sunan baru. Pada tahun itu juga Paku Buwana II dapat merebut kembali keraton Kartasura, akan tetapi kondisi keraton Kartasura pada saat itu telah hancur dan tidak memungkinkan untuk digunakan kembali. Oleh karena itu dicarilah lokasi baru sebagai pengganti keraton Kartasura. Pencarian lokasi baru untuk dijadikan ibu kota yang baru tidak akan lepas dari konsep pola keraton yang telah dianut selama ini. Dalam kenyataanya hampir setiap bentuk dan bagian dari bangunan Keraton Surakarta selalu disertai dengan kandungan-kandungan arti yang tersendiri. Selain dari adanya disiplin atau keharusan-keharusan tertentu dalam tata letak dan bentuk bangunan sebagai akibat dari pengaruh unsur-unsur kepercayaan dan aturan-aturan dalam agama yang dianutnya. Apabila kita melihat kembali pada sejarah tentang kerajaan-kerajaan di Jawa semenjak masuknya agama islam di tanah Jawa sekitar abad 14, pandangan hidup serta kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Jawa merupakan hasil percampuran antara kepercayaan asli Jawa (animisme), agama hindu-budha dan islam. Disisi lain pola tata ruang keraton Surakarta yang di kembangkan pada saat itu merupakan hasil dari pandangan hidup atau falsafah orang Jawa, dengan kata lain bahwa pola konsep keraton Surakarta merupakan perpaduan dari beberapa falsafah atau konsep yaitu, Jawa, hindu-budha dan islam (Reinard Irianto: 1988).Konsep Jawa (animisme)Dalam kepercayaan Jawa adalah suatu keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan satu kesatuan hidup. Kepercayaan Jawa memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. dengan demikian hidup manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman (Niels Murdel : 1973).Alam pikiran Jawa merumuskan kehidupan manusia dalam dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Disatu sisi, makrokosmos adalah sikap atau pandangan hidup terhadap alam semesta yang dianggap mengandung kekuatan-kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos merupakan sikap atau pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan hidup sendiri adalah mencari keseimbangan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dimana dalam konsep islam dikenal dengan hubungan vertikal dan horizontal. Alam pikiran ini telah berakar kuat menjadi landasan atau falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa, begitu juga dalam hal konsepsi yang mendasari tata ruang dan tata bangunan (Reinard Irianto: 1988).Konsep islamMenurut konsep islam, sebagai pusat kota, keraton Surakarta diapit oleh dua alun-alun yang berada di utara dan selatan. Disebelah barat alun-laun berdiri masjid besar dan pasar yang berada di sisi timur laut dari alun-alun. Selain bangunan keraton, masjid dan pasar terdapat pula perkampungan penduduk. Perkampungan-perkampungan tersebut ada yang didasarkan atas status sosial, ekonomi, agama, dan kekuasaan dalam pemerintahan. Konsep HinduDi dalam kosmologi Hindu, permukaan bumi berbentuk segi empat, suatu bentuk yang paling fundamental dari seluruh bentuk dalam Hindu. dimana empat sudutnya mengacu pada 4 arah mata angin : Utara, Selatan, Timur dan Barat (disebut Chaturbuhuji/empat sudut) yang diujudkan dalam bentuk simbolis yang disebut Prithvi Mandala. Kramrisch (1981) menyebutkan sebagai berikut:The surface of the earth, in traditional Indian cosmology, is regarded as area demarcated by sunrise and sunset, by the point where the sun apparently emerges above and sinks below the horizon; by the East and West, and also by the North and South Points .It is therefore represented by mandala of a square.Artinya bahwa permukaan bumi di dalam kosmologi Hindu, dipandang sebagai area yang dibatasi terbit dan terbenamnya matahari oleh titik dimana matahari muncul di atas dan terbenam di bawah cakrawala, oleh timur dan barat dan juga oleh utara dan selatan. Oleh karena itu bumi diujudkan dalam bentuk mandala segi empat. Segi empat ini bukan merupakan garis penampang bentuk bumi, akan tetapi merupakan garis penghubung titik titik dimana matahari terbit dan terbenam di timur dan barat, serta utara dan selatan (Dwi Retno Sri Ambarwati: tt).Vastu Purusha MandalaHipotesisDalam kenyataannya hampir setiap bentuk dan bagian dari bangunan keraton Surakarta selalu disertai dengan kandungan-kandungan arti yang tersendiri. Kandungan-kandungan arti tersebut bersumber dari falsafah hidup masyarakat jawa. Diatas telah diuraikan bahwa falsafah jawa merupakan percampuran antara kepercayaan asli jawa, hindu-budha dan islam. Sehingga dalam pendirian suatu komplek keraton tidak menutup kemungkinan jika ketiga unsur kepercayaan yang berkumpul dalam sebuah falsafah itu dituangkan dalam bentuk tata ruang keraton. Salah satu indikasi yang bisa kita amati berkaitan dengan pengaruh hindu-budha khususnya dalam konsep vastu purusha mandala pada tata ruang keraton Surakarta adalah bentuk bangunan-bangunan keraton yang berbentuk persegi. Dalam kosmologi hindu segi empat merupakan bentuk yang paling fundamental dari segala bentuk dalam agama hinduPerumusan MasalahDalam filosofi Jawa, pusat kekuatan ada pada raja. Konsep kerajaan Jawa adalah suatu lingkaran konsentris mengelilingi Sultan sebagai pusat. Lingkungan yang terdekat dengan sultan adalah keraton. Sehubungan dengan perlambangan tersebut, keraton dipandang sebagai lambang kekuasaan seorang raja dan merupakan tiruan (replika) dari susunan gunung Mahameru (gambaran dari susunan alam semesta). Puncak Mahameru adalah bagian keraton yang paling dalam yaitu sebagai tempat tinggal pribadi raja. Tempat tinggal raja tersebut dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang terdapat di sekitarnya. Susunan kosmis bangunan-bangunan dalam suatu wilayah kekuasaan keraton adalah sebagai berikut: a) Tempat tinggal raja (Kraton) merupakan titik pusat lingkaran (puncak gunung Mahameru), b) Lingkaran pertama disebut Negara c) Lingkaran kedua adalah daerah Manca Negara, d) Lingkaran ketiga merupakan daerah pesisir, e) Lingkaran paling luar disebut Tanah Seberang atau samudera raya. kesamaan konsep kosmologis ini menjadi suatu pertanyaan yang akan dicoba diJawab dalam makalah ini, adapun permasalahan yang akan coba di jawab antara lain :Apakah terdapat keterkaitan antara konsep vastu purusha mandala dengan konsep tata ruang keraton Surakarta?Bagian apa saja atau komponen apa saja yang mendapat pengaruh dari konsep vastu purusha mandala?Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada keterkaitan antara konsep vastu purusha mandala dalam pengembangan tata ruang keraton Surakarta, mengingat di latar belakang telah dijelaskan bahwa falsafah hidup masyarakat Jawa mendapat pengaruh dari konsep hindu-budha, islam dan falsafah Jawa sendiri. Tujuan yang kedua dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagian-bagian apa saja dari keraton Surakarta yang mememiliki keterkaitan atau relevansi dengan konsep hindu-budha (vastu purusha mandala). Baik itu pengaruh pada bangunan fisik, arah hadap, nilai-nilai kosmologis dan lain-lain.Tinjauan PustakaStudi mengenai keraton Surakarta telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dari berbagai bidang ilmu baik arkeologi, arsitektur maupun sejarah. Sri Lestari dalam skripsi arkeologinya pada tahun 1990 yang berjudul Unsur-Unsur Arsitektur Barat di Keraton Surakarta, berusaha meneliti keraton Surakarta dari sudut pandang arsitektur. Dalam skripsinya Sri Lestari lebih menitikberatkan pada komponen-komponen pada bangunan keraton Surakarta yang telah mendapat pengaruh arsitektur barat. Dari disiplin ilmu arsitektur, Reinard Irianto Kisworo, dalam makalahnya yang berjudul Perubahan Fisik Dan Lingkungan Sosial Akibat Proses Sejarah Pada Keraton Surakarta Yang Tetap Mengikuti Kaidah Falsafah Budaya mencoba meneliti perkembangan keraton Surakarta berdasarkan urutan masa pemerintahan raja, mulai dari Susuhunan Paku Buwana II hingga masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana XII. Adapun perubahan yang diamati terbagi menjadi dua, yaitu perubahan fisik dan perubahan sosial. Perubahan fisik yang diamati oleh Reinard Irianto Kisworo meliputi perkembangan bangunan dan perubahan fungsi bangunan, sedangkan perubahan sosial yang diamati adalah tradisis atau kebiasaan yang hidup di lingkungan keraton Surakarta yang berkaitan dengan tata ruang bangunan dalam keraton.Nunuk Dwi Hastuti Setyawati dalam skripsinya yang berjudul Latar Belakang Pendirian Siti Inggil di Keraton Kasepuhan, Kanoman, Surakarta Dan Yogyakarta juga membahas tentang konsep kosmologis pada bangunan siti inggil keraton Surakarta berkaitan dengan latar belakang pendirian bangunan siti inggil. Metode penelitianTipe penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penggunaan pendekatan deskriptif ini dimaksudkan untuk menyusun deskripsi data secara sistematis dan akurat. Sesudah itu akan dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut (Mely G Tan: 1983).Pengumpulan DataPengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dan studi pustaka. Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi yang relevan dan sebanyak mungkin tentang data artefaktual yang terdapat didalam kompleks keraton Surakarta. Unsur-unsur yang diamati di lapangan berupa: bangunan dan komponen pendukung pada keraton Surakarta. Pengamatan terhadap unsur-unsur bangunan tersebut diarahkan kepada: bentuk, arah hadap dan fungsi bangunan itu sendiri. Selain berupa diskripsi secara verbal terhadap data artefaktual seperti tersebut diatas, pengamatan dilapangan juga dilakukan dengan cara pengambilan gambar atau foto sebagai dokumentasi. Sementara itu, studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data tertulis berupa dokumen lama, peta, foto-foto dan tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Pengumpulan data juga dilakukan melalui metode wawancara terhadap narasumber yang dianggap mengetahui kondisi dan sejarah keberadaan keraton Surakarta. Analisis DataData yang terkumpul kemudian diolah dengan cara diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu, sehingga akan memudahkan analisis yang akan dilakukan. Secara umum data yang telah terkumpul akan dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu data yang berkaitan dengan konsep vastu purusha mandala dan data yang berkaitan dengan tata ruang keraton Surakarta. Data yang berkaitan dengan tata ruang keraton Surakarta nantinya juga akan dibagai dalam beberapa kelompok lagi yang berkaitan dengan komponen bangunan, arah hadap, filosofi dan fungsi bangunan itu sendiri. Data-data yang telah terkumpul nantinya akan di komparasikan dengan data yang berkaitan dengan konsep vastu purusha mandala. Interpretasi DataSemua data yang telah diperoleh kemudian di komparasikan untuk kemudian diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut berupa gagasan atau ide yang menunjukkan adanya keterkaitan antara konsep vastu purusha mandala dengan tata ruang keraton Surakarta.Kesimpulan Dari hasil analisis dan interpretasi diharapkan dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai hasil dari penelitian yang dapat diuji kembali validitasnya.Kerangka PenelitianPENGUMPULAN DATADATA SEKUNDERDATA PRIMERSTUDI PUSTAKAOBSERVASIKonsepVastu Purusha MandalaTata RuangKeraton SurakartaDokumentasiTinjauan LokasiDESKRIPSI DATAANALISIS DATAKESIMPULANDaftar PustakaKisworo, Reinard Irianto, 1988, Perubahan Fisik Dan Lingkungan Sosial Akibat Proses Sejarah Pada Keraton Surakarta Hadiningrat Yang Tetap Mengikuti Kaidah Falsafah Budaya. Bandung. Makalah Seminar Semester IX Tahun Akademis 1988/1989.Lestari Sri, 1990, Unsur-Unsur Arsitektur Barat Di Keraton Surakarta. Yogyakarta. Skripsi Sarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada.Singarimbun Masri dan Effendi Sofian, 1981, Metode Penelitian Survey. Yogyakarta. Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada.Sajid, R.M., 1984, Babad Sala. Surakarta. Rekso PustokoDwi Retno Sri Ambarwati, tt, Relevansi Vastushastra Dengan Konsep Perancangan Joglo Yogyakarta. Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri [email protected]