KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM (Analisis...

92

Click here to load reader

Transcript of KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM (Analisis...

  • KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM

    (Analisis Makna Kontekstual)

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

    Oleh

    Humairoh

    NIM : 1110024000002

    PROGRAM STUDI TARJAMAH

    FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1436 H./2015 M.

  • ii

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudain hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

    atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa

    pencabutan gelar.

    Jakarta, 12 Juli 2015

    Humairoh

    NIM : 1110024000002

  • ii

  • ii

  • v

    ABSTRAK

    HUMAIROH

    1110024000002

    Ketepatan Terjemahan dalam Kitab Al-Hikam Analisis Makna Kontekstual. Di

    bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA.

    Peneliti melakukan analisis tentang ketepatan terjemahan terhadap makna

    kontestual pada buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12, agar bisa

    mengetahui bagaimana cara menerjemahkan tanpa mengurangi amanat dari

    penulis. Jadi bahasa sumber harus bisa tersampaikan ke dalam bahasa

    sasarantanpa mengurangi pesan. Banyak aspek dari teks di luar pesan yang dapat

    ditransfer dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah harus tetap

    semaksimal mungkin berusaha mencari padanannya. Dalam bahasa sasaran, baik

    dari aspek pesan, emosi penulis, bentuk-bentuk linguistik, suasan teks maupun

    yang lain.

    Padanan kontekstual pada teks sumber ke dalam teks sasaran semaksimal

    mungkin inilah yang menjadi inti dari penuangan pesan. Karena makna

    kontekstual sangatlah kompleks, yang mengharuskan penerjemahn mengetahui

    situasi, keadaan, ruang dan waktu teks sumber. Penuangan tidak melulu

    menuangkan ide, pikiran atau gagasan teks sumber. Bila dimungkinkan,

    penuangan harus pula menyangkut aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu,

    penerjemah harus benar-benar pandai atau terampil dalam memilih padanan di

    dalam bahasa sasaran. Hal ini bisa direngkuh dengan membolak-balik susunan

    kata dalam kalimat bahasa sasaran, memberikan tekanan, mengurangi tekanan,

    mengurangi keluasan makna atau meluaskannya, serta mengupayakan

    penyesuaian lainnya. Maka dalam menerjemahkan kata ke dalam analisis

    kontekstual harus dengan teliti memilih makna yang terkandung pada bahasa

    sumber, dalam buku terjemahan al-Hikam yang peneliti teliti dari halaman 1-12

    masih masih ada saja teks terjemahan yang tidak sesuai dengan bahasa sumbernya.

    Menurut hemat peneliti, semua kata-kata bahasa sumber sesungguhnya secara

    makna dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dengan satu catatan bahwa

    tingkat budaya dua pemakai bahasanya tidak terlampau jauh.

  • vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

    Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam

    huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam

    Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah CeQDA UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    1. Padanan Aksara

    Berikut adalah daftar aksara Arab dan Padanannya dalam aksara Latin:

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    tidak dilambangkan B be

    T te Ts te dengan es

    J je h ha dengan garis bawah

    Kh ka dengan ha D de

    Dz de dengan zet

    R er Z zet

    S es Sy es dengan ye

    s es dengan garis bawah d de dengan garis bawah

    te dengan garis bawah zet dengan garis bawah

    koma terbalik di atas hadap kanan

  • vii

    Gh ge dengan ha

    F ef Q ki

    K ka L el

    M em N en

    W we

    H ha apostrof

    Y ye

    2. Vocal

    Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari

    vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.

    Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

    a

    i Kasrah

    u ammah

    Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

    berikut:

    Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

    ai a dan i

    au a dan i

  • viii

    3. Vocal Panjang

    Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

    dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

    a dengan topi di atas

    i dengan topi di atas

    u dengan topi di atas

    4. Kata Sandang

    Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

    yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: - bukan - - bukan -

    4.1.

    Syaddah atau yang dalam sistem tulisan Arab

    dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

    diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf

    yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang

    diikuti oleh huruf-huruf syamasiyyah. Misalnya, kata tidak

    ditulis - melainkan - demikian seterusnya.

    4.2.

    Berkaitan dengan alih aksara ini jika huruf ta terdapat

    pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

    menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga

    berlaku jika tersebut diikuti oleh kata sifat ( ) (lihat

    contoh 2). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda

    (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

    contoh 3).

    Contoh:

    No Kata Arab Kata Aksara

    ar qah 1 al-j miah al-isl miyyah 2 a dat al- uj d 3

  • ix

    5. Huruf Kapital

    Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

    alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

    yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), bahasa Indonesia, antara

    lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

    nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

    sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

    tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh A H mid al- ha l

    ukan A H mid Al- ha l al-Kindi bukan Al-Kindi).

    Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

    dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

    atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak

    miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

    dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

    katanya erasal dari ahasa Ara isalnya ditulis A dussamad al-Palim ani

    tidak A d al-S amad al-Palim n Nuruddin al-Raniri tidak N r al-D n al-R n r

    6. Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja ( ), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

    ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

    kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

    Kata Arab Alih Aksara

    d aha a al-ust d u tsabata al-ajru

    al- arakah al-as riyyah asyhadu an l il ha ill All h

    aul n alik al-S li yuatstsirukum All h

    al-ma hir al-aqliyyah al- y t al-kauniyyah

    al- ar rat tu u al-mah r t

  • x

    KATA PENGANTAR

    Segala puja dan puji senantiasa

    selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam. Dia-lah yang

    terus ada di setiap langkah kepenulisan skripsi ini, begitu banyak sekali

    nikmat yang tercurahkan untuk Peneliti. Shalawat serta salam senantiasa

    terhatur kepada teladan alam semesta, yaitu Baginda Nabi Besar

    Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Semoga kita

    mendapatkan curahan kebaikan sampai akhir nanti.

    Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para

    civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof.

    Dr. Dede Rosyada, MA,. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

    Sukron Kamil, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Moch.

    Syarif Hidayatullah, M.Hum., Ketua Jurusan Tarjamah; Rizqi Handayani,

    MA,. Sekretaris Jurusan Tarjamah.

    Terima kasih sedalam-dalamnya kepada pembimbing skripsi Drs.

    Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA yang telah

    meluangkan waktu untuk membaca, mengoreksi, memberi referensi,

    memotivasi, dan menyemangati Peneliti dalam proses penulisan skripsi.

    Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan Bapak.

    Tak lupa Peneliti ucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih kepada

    jajaran dosen yang telah menginspirasi Peneliti Dr. Akhmad Saehuddin,

    M.Ag., Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag., Dr. Tb. Ade Asnawi, MA., Abdul

    Rasyid, MA., semoga ilmu yang Peneliti dapatkan bermanfaat. Dan beribu

    terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Adab dan

    Humaniora yang telah banyak membantu untuk mengaskses secara mudah

    dalam menemukan referensi dan pengetahuan lewat buku-buku yang

    tersedia.

  • xi

    Terima kasih terhatur untuk penguji sidang munaqosyah Prof. Dr.

    Achmad Satori Ismail, MA dan Karlina Helmanita, M.Ag yang telah

    menguji hasil skripsi Peneliti.

    Salam cinta dan hormat Peneliti haturkan kepada Kedua Orang Tua,

    Ayah tersayang Jasman Muryanto dan Ibu tercinta Sabariah Nasution.

    Terima kasih atas kasih sayang, cinta, doa, motivasi, nasehat, bimbingan

    dan semangat yang telah y k berikan selama ini, hingga

    dapat menyelesaikan dalam penyusunan skripsi. Tak lupa teruntuk adik

    tersayang Ulfa yang selalu beri semangat positif, canda tawa dan

    pencerahan kepada Peneliti, hingga muncul ide-ide dalam menyusun skripsi.

    Dan kepada keluarga di Medan; Uwak Jedah, Kak Puspa, Kak Mustika, Kak

    Iyus, Kak Muning yang telah banyak mendukung dengan baik hingga

    Peneliti semangat dalam menulis skripsi.

    Peluk erat untuk sahabat-sahabat seperjuangan di Tarjamah angkatan

    2010; Eva, Makhfiyyah, Halimah, Novi, Nur Asiah, Nia , Lili, Hanifah, Sri

    Mustika, Ayu, Rifyal, Farhan, Kholis, Rasyid, Ahmad Syafaat, Syafaat

    Maulana, Arif, Agus, Dzulfikar, Uwes, Lukman, Fahmi, Imam yang telah

    memberi banyak cerita indah serta menciptakan canda tawa selama 4 tahun

    lebih, mengingatkan kekurangan dan kekhilafan serta mendukung

    sepenuhnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula para kakak dan

    adik kelas serta kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata yang memberi dukungan.

    Kemudian pada teman-teman tercinta Umay, Iqoh dan Saza yang selalu

    cerewet memberi semangat, terima kasih yang terdalam. Tak henti ucapan

    terima kasih terlimpahkan kepada semua yang pernah andil untuk memberi

    motivasi berharga, meminjamkan buku-buku referensi, menularkan

    pencerahan baru yang membuat Peneliti mempunyai paradigma luas dan

    pengalaman. Semoga kita semua dalam lingkaran kesederhanaan dan selalu

    bersyukur.

    Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, semoga bisa bermanfaat

    dalam memperluas wawasan khususnya ilmu tentang Makna dalam

  • xii

    Penerjemahan. Saran dan kritik konstruktif sangat Peneliti butuhkan untuk

    interpretasi yang lebih baik lagi.

    Jakarta, 16 Februari 2015

    Peneliti

    Humairoh

  • xiii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR SAMPUL ...................................................................................... i

    LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ ii

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iv

    ABSTRAK ...................................................................................................... v

    PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vi

    PRAKATA ....................................................................................................... x

    DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii

    BAB I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 7

    C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8

    D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8

    E. Metodologi Penelitian

    1. Metode Penelitian .......................................................................... 9

    2. Sumber Data ................................................................................. 9

    3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 10

    4. Teknik Analisis Data ..................................................................... 11

    F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11

    BAB II. KERANGKA TEORI

    A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan

    1. Penerjemahan ................................................................................ 13

    2. Peranan Makna dalam Penerjemahan ........................................... 15

    3. Masalah Padanan .......................................................................... 17

    4. Problematika Makna dalam Penerjemahan ................................... 21

  • xiv

    B. Representasi Makna Kata ................................................................. 22

    C. Wawasan Makna

    1. Makna ........................................................................................... 25

    2. Relasi Makna ................................................................................ 30

    3. Makna Kontekstual ....................................................................... 38

    BAB III. SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB

    AL-HIKAM

    A. Biografi Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari ....................................... 40

    B. Biografi Penerjemah .......................................................................... 44

    BAB IV. ANALISIS KETEPATAN MAKNA KONTEKSTUAL

    TERHADAP TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM

    Analisis Ketepatan Terjemahan terhadap Kitab Al-Hikam Dilihat Dari

    Pemadanan Makna Berkonteks .............................................................. 46

    1. Teks 1 ............................................................................................... 46

    2. Teks 2 ............................................................................................... 48

    3. Teks 3 ............................................................................................... 49

    4. Teks 4 ............................................................................................... 50

    5. Teks 5 ............................................................................................... 51

    6. Teks 6 ............................................................................................... 52

    7. Teks 7 ............................................................................................... 53

    8. Teks 8 ............................................................................................... 53

    9. Teks 9 ............................................................................................... 55

    10. Teks 10 ............................................................................................. 56

    BAB V. PENUTUP

    A. Kesimpulan ....................................................................................... 59

    B. Rekomendasi ..................................................................................... 59

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Di Indonesia, ada dua istilah yang lazim digunakan dalam silabus

    perguruan tinggi Islam, seperti IAIN dan khususnya Fakultas Adab dan

    Humaniora Jurusan Tarjamah, yakni istilah Nadzariyah al-Tarjamah (NT) dan

    Tatbiq al-Tarjamah (TT). Kedua istilah tersebut masing-masing secara kasar

    dimaksudkan sebagai pengandaian dari Teori Terjemah dan Praktek

    Menerjemah. Meski pemakaian suatu istilah bukanlah segala-galanya mengingat

    kekuatan suatu istilah sebenarnya terletak pada penjelasannya, namun tidak salah

    pula kita memberikan perhatian secukupnya perihal peristilahan tersebut. Ini

    khususnya pada istilah berbahasa Arab yang terjemahannya masih sering kurang

    tepat, untuk tidak dikatakan sebagai kesalahan sementara pemakaiannya

    seperti sudah mentradisi, bahkan seolah-olah sudah menjadi semacam maxim atau

    kebenaran yang tak terbantahkan.1

    Menerjemahkan (disiplin?) itu bukan ilmu murni dan bukan pula seni

    sejati. Terjemah adalah seni praktis. Dengan kata lain, terjemah adalah

    keterampilan berkesenian dengan bantuan ilmu-ilmu teoritis. Karena itu, kita

    sering kesulitan menyatakan hasil terjemahan ini bagus, yang itu sedang dan yang

    satu lagi buruk. Jadi menerjemahkan adalah menyalin kalam (pesan yang

    terkandung dalam teks) dan atau menjelaskannya dari bahasa tertentu ke dalam

    bahasa lain. Kalam di sini berarti ide, pesan atau informasi. Jadi, yang disalin itu

    1 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab

    (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 1.

  • 2

    bukan huruf-huruf atau kata-kata yang terpotong dari konteksnya atau

    lingkungannya siyaqnya. Ini semua mesti dilaksanakan dengan mencari

    padanan praktis yang terpelihara terus-menerus sesuai dengan lingkungan

    penerjemah. Dalam batasan seperti ini penerjemah tidak harus bahkan tidak boleh,

    linear, glosing, setia atau harfiyah.2

    Sebelum menyampaikan pesan, penerjemah terlebih dahulu harus

    mengkaji leksikon, gramatika dan konteks budaya teks sumber. Pesan ini

    kemudian direkonstruksi ke dalam bahasa target dengan memakai leksikon dan

    gramatika yang sesuai dengan konteks budaya bahasa target. Proses ini, menurut

    Nida (1975) menapaki tiga fase (1) telaah materi teks sumber melalui kajian

    linguistik, (2) pengalihan isi yang terkandung dalam teks sumber dan (3)

    rekonstruksi kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil yang sepadan

    dalam bahasa target.3

    Upaya menghadirkan kesepadanan sesungguhnya merupakan inti sari

    dalam kegiatan penerjemahan. Kesepadanan ini idealnya mencerminkan tiga sisi

    kualitas terjemahan: keakuratan, kejelasan dan kewajaran. Akurat berarti

    terjemahan harus mengungkap amanat teks sumber secara utuh; jelas berarti

    mudah dipahami pembaca teks terjemahan; wajar berarti alamiah, sehingga

    sebuah terjemahan tak terasa sebagai terjemahan.4

    2 Nur Mufid dan Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Arab-Indonesia:

    Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif (Surabaya: Pustaka Progessif, 2007), h. 7. 3 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2011), h. 4. 4 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2011), h. 4.

  • 3

    Penerjemah harus menghadirkan terjemahan sebagai suatu bacaan yang

    enak dibaca dan gampang dipahami. Penerjemah harus bisa menangkap pemikiran

    penulis teks sumber seraya mengalihkannya ke dalam bahasa target dengan

    tingkat kesepadanan teks yang paling mendekati. Kesepadanan teks hadir

    manakala sebuah terjemahan dipandang sepadan dengan teks sumber.5

    Terjemah pada dasarnya adalah pengalihan satuan semantik teks sumber

    yang dibangun oleh kosa kata-kosa kata. Jadi, kosa kata () merupakan hal

    yang penting dalam penerjemahan, bahkan teramat penting. Ia menjadi bahan

    dasar untuk membangun sebuah teks yang akan diterjemah dan teks hasil terjemah.

    Pada bagian ini, problem kosa kata yang dibahas hanya mencakup kosa kata teks

    sumber atau teks yang akan diterjemah. Seperti telah dikemukakan dibidang

    terdahulu, penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan

    mengalihbahasakan kata per kata.

    Namun, pada praktiknya dalam pengalihan pesan itu, sering terjemahan

    suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula

    ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah

    dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu makna kata. Di sini

    diperlukan kebijakkan, kemampuan berbahasa Indonesia dan kemampuan bahasa

    target, keterampilan menemukan makna kata yang tepat serta kreativitas seorang

    penerjemah agar teks terjemahannya dapat diterima.

    5 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab

    (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 65.

  • 4

    Penerjemahan itu terikat dengan makna. Makna di sini adalah unsur dari

    sebuah kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-Internal-

    Phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantik yang menyatakan

    bahwa kalau bentuk berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali

    perbedaannya hanya sedikit.

    Bila kita menemukan terjemahan yang menggunakan suatu bahasa yang

    makna katanya tidak kita pahami sama sekali, maka kita mendapat bahwa apa

    yang merangsang alat komunikasi kita itu merupakan arus pemahaman yang

    diselingi perhentian pemikiran untuk memahaminya.6

    Dalam penelitian makna kata kita harus membedakan bermacam-macam

    segi arti. Untuk sampai kepada pembedaan itu, kita harus bertolak dari peletakan

    dasar-dasar pengertian tentang makna atau arti. Dalam hidup kita melihat berbagai

    macam kejadian yang berada di luar diri kita. Di antara bermacam-macam

    kejadian itu adalah memberi suatu lambang berupa bunyi ujaran terhadap

    lingkungan hidup ini, agar dapat dibawa dalam komunikasi.7

    Makna kosakata yang dikuasai seseorang merupakan bagian utama

    memori semantis yang tersimpan dalam otak kita, yaitu relasi kata dengan konsep

    benda atau peristiwa yang dilambangkan dengan kata tersebut.8

    Hubungan terjemahan bagi semantik dalam makna kata sangatlah erat dan

    penting sekali. Penerjemah perlu sadar pula akan sistem perlambangan dalam

    berkomunikasi di dunia ini. Suatu kata melambangkan gagasan dalam benak

    6 Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 15.

    7 Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 130.

    8 Kushartanti dkk, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta: PT

    Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 115.

  • 5

    orang apa yang digayuti oleh lambang maupun gagasan atau ide itu sendiri.

    Menghadapi kenyataan penerjemahan itu adalah model transformasional. Kalimat

    yang rumit dalam bahasa sumber dipecah-pecah menjadi kernel sentences dan

    menjadi kalimat-kalimat tunggal yang pendek.9

    Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi

    karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna

    kata baru itu menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau

    lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya

    kata tahanan. Apa makna kata tahanan? Mungkin saja yang dimaksud dengan

    kata tahanan itu adalah orang yang ditahan, tetapi bisa juga hasil perbuatan

    menahan, atau mungkin makna yang lain lagi. Kemungkinan-kemungkinan itu

    bisa saja terjadi karena kata itu lepas dari konteks kalimatnya.10

    Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk

    menghindari kesalahpahaman dalam bidang atau kegiatan tertentu. Pembedaan

    adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam

    penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa

    secara umum acapkali kata-kata itu digunakan tidak cermat sehingga maknanya

    bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan

    tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi

    tepat.

    Makna kontekstual adalah makna yang sesuai konteksnya, makna yang

    sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa

    9 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 28-27.

    10 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 70.

  • 6

    pun. Jadi, sebenarnya makna kontekstual ini sama dengan makna referensial,

    makna leksikal dan makna denotatif.

    Hubungan kontekstual adalah hubungan unit gramatikal dan leksikal

    dengan elemen-elemen yang berhubungan secara linguistik dalam situasi-situasi

    yang mana unit-unit tersebut dioperasikan dalam teks. Elemen-elemen situasional

    ini berhubungan secara kontekstual dengan unit gramatikal dan leksikal dalam

    kesepadanan. Perubahan elemen situasi dan unit-unit dalam teks akan

    mengakibatkan perubahan makna.11

    Adapun menurut kontekstualisme psikologis, konteks-konteks tertentu

    melahirkan keterkaitan antara fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep lain

    dalam suatu kategori. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk

    memahami struktur konseptual diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep

    semata. Diperlukan pengetahuan lain untuk memahami relasi antarkonsep dan

    bagaimana konsep-konsep tersebut tertata sedemikian rupa. Dalam hal ini, sebagai

    fitur tidak cukup merepresentasikan suatu konsep secara utuh. Fitur hanya

    digunakan sebagai titik tolak untuk memahami suatu konsep dengan pengetahuan

    kita secara lebih mendalam.

    Jadi, ketika kita mulai menikmati sebuah terjemahan yang gurih untuk

    dibaca, tanpa kita sadari, kita sudah terbawa oleh terjemahan sebagai bacaan yang

    baik. Mengapa bisa? Kita adalah pembaca, apabila selama kita membaca

    terjemahan, kita tidak mampu menciptakan rasa dan gairah yang ada dalam

    terjemahan itu, mungkin kita bisa dikategorikan pembaca yang aneh.

    11

    Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:

    Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 139.

  • 7

    Terjemahan tidak sekedar isi, bukan pula rangkaian kata biasa yang bisa

    membuat kita terbawa oleh terjemahan tersebut. Akan tetapi, begitulah sebuah

    terjemahan yang hadir dihadapan kita bisa membagi kesan hingga ke dasar hati

    yang paling dalam. Sebagai pembaca, mungkin pula emoh mengkritisi bagian

    terjemahan yang mengganggu, tetapi ketika kita merasakan ada yang nggak

    nyambung dari awal hingga akhir atau ditengah-tengah ada yang membuat dahi

    kita berkerut-kerut. Jika hal itu terjadi, sudah saatnya kita berinisiatif membuat

    terjemahan itu menjadi nikmat dan memikat.

    Mengacu pada penjelasan di atas, bahwa kitab al-Hikam yang kaya dengan

    pemahaman tasawuf dalam kehidupan dan penulis ingin sedikit mengupas

    terjemahan terutama terhadap penelitian ilmu makna mengacu pada teori

    kontekstual, maka penulis tergerak hatinya untuk menganalisa buku terjemahan

    al-Hikam karya Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari dengan memberikan judul

    yang sesuai dengan hati penulis yaitu KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB

    AL-HIKAM (Analisis Makna Kontekstual)

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Setelah memaparkan latar belakang masalah, maka peneliti merasa perlu

    untuk memberikan pembatasan dan perumusan masalah agar skripsi ini tidak

    terlampau jauh dari pembahasan, yaitu pemahaman dalam ketepatan terjemahan

    kitab al-Hikam penerbit Turos Pustaka analisis makna kontekstual karya Ibn

    Athaillah al-Iskandari. Hal ini juga disesuaikan dengan keterbatasan dan

    kemampuan penulis.

  • 8

    Sedangkan perumusannya dinyatakan dalam bentuk pernyataan sebagai

    berikut:

    1. Apakah terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman 1-12 sesuai

    dengan konteks?

    2. Bagaimana cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan kitab

    al-Hikam dari halaman 1-12?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman

    1-12 yang sesuai dengan konteks.

    2. Untuk mengetahui cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan

    buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12.

    D. Tinjauan Pustaka

    Dalam penelitian yang mengambil studi kasus pemilihan makna kata yang

    tepat dalam estetika menerjemahkan, analisis makna kontekstual sudah ada yang

    membahas yaitu skripsi Saadah dengan judul Analisis Semantik Kontekstual

    atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan

    Amanah) Dalam al-Quran dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab. Jadi

    peneliti terinspirasi ingin mencoba meneliti pemahaman dalam ketepatan

    terjemahan analisis makna kontekstual, tetapi konsepnya yang sedikit berbeda.

    Yang bertujuan untuk mengembangkan lagi pemahaman peneliti dan pembaca

    terhadap dunia pemilihan makna kata dari segi teori kontekstual yang sangat teliti.

  • 9

    Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan teori-teori, sumber-sumber

    dan lembaran-lembaran yang tersedia di perpustakaan adab, perpustakaan utama

    dan perpustakaan pribadi dari berbagai buku tentang linguistik, bahasa Indonesia,

    bahasa Arab, semantik, prinsip-prinsip terjemahan, ilmu Tasawuf dan buku-buku

    yang berhubungan dengan pemahaman ilmu makna kontekstual.

    E. Metodologi Penelitian

    1. Metode Penelitian

    Metode penelitian ini, menggunakan penelitian kualitatif deskriptif.

    Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data

    deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

    yang diamatiyang tidak menggunakan angka.12

    Penelitian deskriptif yaitu

    penelitian yang mengungkapkan masalah dengan cara dan keadaan yang

    sebagaimana adanya. Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud

    datanya berupa deskripsi objek penelitian.13

    Data yang dihasilkan dari buku

    terjemahan kitab al-Hikam.

    2. Sumber Data

    Sumber data penelitian ini adalah kitab syirah al-hikam karya Ibnu

    Athaillah al-Iskandari dan buku terjemahan The Book of Wisdom al-Hikam

    karya Ibn Athaillah al-Iskandari dari penerbit Turos Pustaka tahun terbit 2013

    yang peneliti ambil sampelnya dari halaman 1 hingga 12. Buku terjemahan al-

    Hikam memang sudah banyak beredar dan sangat banyak minat pembacanya,

    peneliti tertarik untuk membahas penelitian dengan kitab ini karena peneliti

    ingin mengetahui bagaimana cara penerjemahnya dalam menerjemahkan buku

    12

    Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 30. 13

    Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 34.

  • 10

    ini sebab menerjemahkan bukan hanya memindahkan kata tapi juga harus bisa

    mempertahankan apa maksud dari bahasa sumber hingga sampailah maknanya

    ke dalam bahasa sasaran tanpa mengurangi amanat dari sang penulisnya.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data, merupakan cara-cara teknis yang dilakukan

    oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitiannya. Beberapa

    tahapan yang harus ditempuh peneliti adalah:

    a. Menghimpun buku-buku terjemahan hingga akhirnya peneliti menemukan

    buku terjemahan al-Hikam.

    b. Membaca buku terjemahan al-Hikam untuk mengetahui terjemahan apa

    saja yang akan peneliti analisis sesuai dengan makna kontekstual.

    c. Mengelompokkan teks terjemahan berdasarkan sistematika penelitian yang

    berhubungan dengan ketepatan terjemahan dari segi makna kontekstual

    terhadap kitab al-Hikam.

    d. Menganalisis teks terjemahan al-Hikam sesuai dengan ketepatan makna

    kontekstual.

    Penulisan skripsi ini, peneliti melakukan kajian pustaka guna

    melengkapi data-data yang berhubungan dengan kepenulisan berdasarkan buku

    Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang

    diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

  • 11

    4. Teknik Analisis Data

    Teknis analisis data merupakan cara-cara teknis yang dilakukan oleh

    peneliti, untuk menganalisis dan mengembangkan data-data yang telah

    terkumpul, seperti beberapa tahapan yang telah peneliti lakukan, yaitu:

    a. Peneliti mulai membuka kamus untuk membandingkan hasil terjemahan

    penerjemah buku al-Hikam agar dapat mengembangkan analisa yang

    peneliti lakukan.

    b. Mengemukakan kata-kata yang peneliti pilih untuk dianalisa dengan apa

    adanya, sesuai dengan sumber yang peneliti peroleh.

    c. Peneliti menjelaskan secara terperinci dengan mengeksplorasi ketepatan

    memilih makna kontekstual.

    d. Peneliti menggunakan konsep teori dari Rochaya Machali padanan makna

    berkonteks yaitu penempatan suatu informasi dalam konteks agar maknanya

    jelas bagi penerima informasi..

    e. Menguraikan penjelasan seadanya sesuai dengan memilih ketepatan

    terjemahan dari buku al-Hikam.

    F. Sistematika Penulisan

    Bab I adalah pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

    metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

    Bab II berisikan gambaran umum kerangka teori yang terdiri dari sub-bag,

    yaitu pengertian dari penerjemahan dalam ilmu bahasa, pemikiran tentang

    penerjemahan berdasarkan proses menjalankan pemahaman, penimbangan,

  • 12

    penghayatan, ketepatan dan penggunaan rasa pesona pemilihan makna kata sesuai

    konteks. Tingkatan estetika menerjemahkan yang mencakup pengertian seni

    terjemahan, unsur-unsur semantik yang menjelaskan pemilihan makna kata yang

    tepat sesuai konteks. Pengertian ilmu makna dan fungsi-fungsi terhadap karya

    terjemahan untuk pemahaman pembaca dalam menerjemahkan suatu karya.

    Bab III adalah tentang Biografi, karya, sejarah penulis Kitab al-Hikam

    yaitu Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari dan penerjemah.

    Bab IV terdiri dari Analisis Ketepatan Terjemahan Kitab al-Hikam Makna

    Kontekstual karya Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari.

    Bab V adalah penutup, yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.

  • 13

    BAB II

    KERANGKA TEORI

    A. Gambaran Tentang Penerjemahan

    1. Penerjemahan

    Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para

    ahli. Apapun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip

    akomodatif-operasional. Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-

    definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji

    pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif (tazim, menghargai)

    terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya.

    Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang

    digunakan sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya harus tetap

    berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan

    pada tahap yang lebih praktis atau tidak.14

    Jadi terjemah adalah usaha memindahkan pesan dari teks bahasa

    sumber (teks sumber) dengan padanan ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran).

    Definisi sederhana tersebut memuat unsur-unsur utama dalam penerjemahan

    yaitu:15

    a. Bahasa Sumber ( ) atau ( )

    Dalam konteks pembicaraan ini, bahasa sumber menunjuk kepada bahasa

    Arab yang memiliki ragam fusha, bukan ragam dialek tertentu (lahjah).

    14

    Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab

    (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 9. 15

    Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab

    (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 10.

  • 14

    b. Bahasa Sasaran ( ) atau ( )

    Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan bahasa sasaran atau teks sasaran

    adalah bahasa Indonesia. Ada aspek yang menarik dari bahasa Indonesia

    sebagai bahasa sasaran penerjemahan teks Arab. Bahasa Indonesia adalah

    salah satu tabi yang menyerap banyak sekali kosa kata dan peristilahan

    bahasa Arab.

    c. Pesan ()

    Terjemah diartikan sebagai pengalihan teks sumber ke dalam teks sasaran

    secara bebas. Kata bebas dalam pengertian tersebut menyiratkan bahwa

    yang ditransfer adalah pesannya saja. Penerjemah, bisa membuat semena-

    mena, dengan mengabaikan aspek-aspek lain di luar pesan, seperti aspek

    padanan morfologis, sintaksis ataupun yang lain. Kebebasan yang

    diandaikan dari definisi terjemah tersebut adalah, bahwa penerjemah

    memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam mengekspresikan pesan teks

    tanpa menghiraukan padanan-padanan linguistik, struktur, pengungkapan

    secara denotatif-konotatif atau hal-hal lain di luar teks.

    Meskipun menerjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan

    sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menerjemahkan dengan baik

    adalah seni. Menerjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan yang

    melibatkan lebih banyak seni (bakat) daripada upaya dan teori.

    Namun, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan teori-teori

    tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan rasa

  • 15

    bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan, praktik yang terus

    menerus berkelanjutan dan teori, maka sulit kita bayangkan dia akan menjadi

    penerjemah yang baik.

    2. Peranan Makna Dalam Penerjemahan

    Apabila kita membicarakan konsep dasar mengenai bahasa yang akan

    dikaitkan dengan penerjemahan, tidak boleh tidak kita harus membicarakan

    tentang makna. Hal ini penting karena pendekatan yang kita gunakan adalah

    bahwa setiap teks merupakan tindak komunikasi, bukan teks yang lahir dalam

    ruang kosong (tanpa tujuan dan maksud apa pun). Sebagai tindak komunikasi,

    produsen teks (lisan maupun tertulis) tentunya ingin agar maksudnya dipahami

    oleh pembaca. Maksud tersebut dikemas dalam makna, sedangkan bentuknya

    dapat berubah-ubah bergantung kepada tujuan (untuk apamisalnya untuk

    memaparkan, menceritakan dan mengimbau), pembaca (misal usianya,

    kelompok ilmuan dan kalangan umum).16

    Oleh karena itu, banyak sekali para

    ahli yang sudah membicarakan makna secara panjang lebar.

    Beberapa teori yang disodorkan pakar linguistik berkaitan dengan

    penanganan masalah makna kata, seperti:17

    a. Teori Referen, yang diusung oleh Russell. Teori ini menyebutkan bahwa

    sebuah kata memiliki makna lantaran rujukan pada objek atau keadaan yang

    digambarkan oleh kata tersebut.

    16

    Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Bandung: Penerbit Kaifa, 2009), h. 46. 17

    M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2011), h. 95-97.

  • 16

    b. Teori Ideasional, yang dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menjelaskan

    bahwa sebuah kata sesungguhnya tidak merefer pada objek tertentu, tetapi

    pada ide atau konsep tentang objek tersebut.

    c. Teori Fitur, yang menyatakan bahwa konsep terwujud dari sejumlah unit

    yang kecil. Unit-unit yang kecil kemudian dinamakan fitur (ciri).

    d. Teori berdasarkan pengetahuan, yang diusung Reeves ini mendasari

    gagasannya pada esensialisme psikologis dan kontekstualisme psikologis.

    Menurut esensialisme psikologis, pada umumnya manusia memiliki

    pengetahuan ihwal adanya esensi dari suatu objek. Adapun kontekstualisme

    psikologis, konteks-konteks tertentu melahirkan keterkaitan anatar fitur-fitur

    dari suatu konsep dan konsep-konsep lain dalam suatu kategori.

    Hasan menegaskan bahwa tujuan pembaca ialah memahami makna.

    Ujaran atau tulisan merupakan sarana untuk meraih tujuan itu. Untuk

    menjawab kesulitan yang muncul tentang makna, perlu melakukan analisis

    struktur, analisis leksikal dan analisis kontekstual.18

    Analisis struktur berkaitan dengan penelaahan dua hal pokok: analisis

    morfologis dan analisis sintaksis. Selanjutnya analisis leksikal yang memiliki

    banyak kemungkinan, tetapi makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat

    hanya satu. Untuk memperoleh makna yang dikehendaki, pembaca perlu

    menelaah isyarat-isyarat linguistik. Di samping itu, perlu menelaah isyarat

    kontekstual.

    18

    Syihabudddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek (Bandung:

    Humaniora, 2005), h. 34.

  • 17

    Pembaca atau penyimak perlu memperhatikan status individu dalam

    masyarakat, peran individu dalam melakukan tindak tutur dan tujuan dari

    tindakannya itu.

    3. Masalah Padanan

    Masalah padanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan

    menurut Barnstone. Sedangkan praktek menerjemahkan sebagai realisasi dari

    proses penerjemahan yang selalu melibatkan pencarian padanan. Pencarian

    padanan itu sendiri akan menggiring penerjemah ke konsep keterjemahan dan

    ketakterjemahan19

    Konsep keterjemahan pada umumnya tidak begitu

    menimbulkan permasalah bagi penerjemah asalkan dia mempunyai

    pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur yang membentuk teks bahasa

    sumber dan bahasa sasaran yang ada kaitannya dengan sosio-budaya kedua

    bahasa itu.

    Sebaliknya, konsep ketakterjemahan secara otomatis akan

    menimbulkan keadaan yang dilematis bagi penerjemah. Mereka dituntut

    mencari padanan yang tidak mungkin dia temukan dalam bahasa sasara.

    Dalam tulisannya, Keenan mengajukan sebuah hipotesa terjemahan

    tepat. Hipotesa tersebut berbunyi: sesuatu yang dapat diungkapkan dalam

    suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa lain.20

    Kebenaran hipotesa ini sulit untuk dibuktikan. Baik ditinjau dari segi bentuk,

    makna maupun fungsinya. Padanan yang sempurna itu tidak ada sebagai akibat

    19

    Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2003), h. 93. 20

    Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2003), h. 94.

  • 18

    dari berbedanya struktur nahasa sumber dan bahasa sasaran dan demikian pula

    dengan sosio-budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa itu.

    Popovic membedakan empat tipe padanan, yaitu padanan linguistik,

    padanan paradigmatik, padanan stilistik dan padanan tekstual (sintagmatik).

    Sedangkan Eugene Nida membedakan dua tipe padanan yaitu padanan formal

    dan padanan dinamik. Padanan formal mengacu pada teks bahasa sumber baik

    dalam bentuk dan isi. Bentuk mengacu pada aspek linguistik teks dan isi

    mengacu pada makna, sedangkan padanan dinamis bertujuan untuk

    memperoleh tingkat kewajaran dalam pengungkapan pesan dan mencoba

    memperhatikan perilaku dan budaya pembaca teks sasaran agar mereka dapat

    memahami teks yang diterjemahkan.21

    Lain lagi dengan Baker, membedakana

    lima tipe padanan, seperti:22

    a. Padanan Pada Tataran Kata

    Pertama-tama kita akan tertuju pada kata. Karena kata adalah sebagai unit

    terkecil bahasa yang mempunyai makna, yang menjadi titik awal kajian

    dalam rangka memahami keseluruhan makna suatu teks bahasa sumber.

    Kedua kita melihat unsur-unsur makna dalam kata dan untuk mengkajinya

    secara lebih efektif pada linguis menyodorkan istilah morfem. Morfem

    hanya mempunyai satu unsur makna sedangkan kata bisa mempunyai lebih

    dari satu unsur makna. Dalam konteks penerjemahan, analisis terhadap kata

    baik pada struktur permukaan dengan menerapkan analisis struktural atau

    analisis morfemis maupun pada struktur batin dengan menerapkan analisis

    21

    Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:

    Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 87. 22

    Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2003), h. 95-109.

  • 19

    komponen makna akan menuntun penerjemah dalam menentukan padanan

    yang paling sesuai dari beberapa alternatif yang tersedia. Analisis ini juga

    akan mengukuhkan keberadaan konsep pergeseran tataran dimana, misalnya,

    suatu konsep yang diungkapkan dengan satu kata dalam bahasa sumber

    diungkapkan dengan beberapa kata dalam bahasa sasaran dan demikian pula

    sebaliknya.

    Meskipun konsep-konsep keterjemahan, penambahan dan penghilang

    informasi dan pergeseran tataran menjadi sangat penting dalam

    memecahkan berbagai kesulitan dalam proses pencarian padanan dalam

    kasus tertentu ketiga konsep itu tidak bisa diterapkan. Dengan kata lain,

    dalam melakukan tugasnya penerjemah kadang kala dihadapkan pada

    masalah ketaksepadanan. Baker membagi ketaksepadanan pada tataran kata

    menjadi 10 jenis, yaitu:

    1. Konsep khusus budaya

    2. Konsep bahasa sumber tidak tersedia dalam bahasa sasaran

    3. Konsep bahasa sumber secara semantik sangat kompleks

    4. Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep

    5. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur atasan (superordinat)

    6. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur bawahan atau kata khusus

    (hiponim)

    7. Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik

    8. Perbedaan dalam hal makna ekspresif

    9. Perbedaan bentuk kata

    10. Perbedaan dalam hal tujuan dan tingkat penggunan bentuk tertentu

  • 20

    b. Padanan Di Atas Tataran Kata

    Dalam setiap bahasa, ada kecenderungan bagi suatu kata untuk bersanding

    atau berkolokasi dengan kata lain dan gabungan kata itu selanjutnya

    menghasilkan suatu frasa. Proses kolokasi memungkinkan kita untuk

    membentuk dua macam frasa, yaitu frasa endosentris dan frasa eksosentris.

    Frasa endosentris adalah frasa yang mempunyai unsur inti dan unsur

    penjelas, sedangkan frasa eksosentris menunjuk pada frasa yang tidak

    mempunyai unsur inti dan unsur penjelas.

    c. Padanan Gramatikal

    Padanan gramatikal mirip dengan padanan linguistik (sintagmatik) karena

    kedua jenis padanan ini memusatkan perhatiannya pada kesamaan konsep

    antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam hal jumlah, gender, pesona,

    kala dan aspek. Pembahasan tentang padanan gramatikal selalu dikaitkan

    dengan tatabahasa yang dibagi ke dalam dua dimensi utama, yaitu morfologi

    dan sintaksis.

    d. Padanan Tekstual

    e. Padanan Pragmatik

    Maka mencari padanan yang paling tepat dalam terjemahan wajib

    mengetahui kata, frasa dan kalimat yang semuanya harus berbentuk,

    mempunyai potensi untuk mengandung beberapa makna, tergantung

    lingkungan atau konteksnya sehingga teks sasaran teks sasaran benar-benar

  • 21

    mengungkapkan kembali seluruh makna yang terdapat dalam teks sumber di

    dalam teks sasaran.23

    4. Problematika Makna Dalam Penerjemahan

    Masalah makna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang

    penerjemahan. Jika kita berbicara tentang penerjemahan, kita juga harus

    berbicara tentang makna. Alasannya adalah karena tujuan penerjemahan erat

    kaitannya dengan masalah pengalihan makna yang terkandung dalam bahasa

    ke dalam bahasa yang lain. Makna suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh

    posisinya dalam kalimat tetapi juga oleh bidang ilmu yang menggunakan kata

    itu. Tidak jarang pula makna suatu kata sangat ditentukan oleh situasi

    pemakaiannya dan budaya penutur suatu bahasa.

    Dalam praktek menerjemahkan yang sesungguhnya, perhatian seorang

    penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata.

    Perhatiannya meluas ke masalah pengalihan pesan atau amanat. Seperti uraian

    berikut:24

    a. Makna Leksikal

    Makna leksikal ini dapat disebut makna yang terdapat dalam kamus

    mengingat yang ada dalam kamus yang lepas dari penggunaannya atau

    konteksnya.

    23

    Maurits D.S Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan (Jakarta: Direktoral Jenderal

    Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), h. 44. 24

    Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 48-51.

  • 22

    b. Makna Gramatikal

    Makna gramatikal ialah hubungan anatara unsur-unsur bahasa dalam satuan

    yang lebih besar, misalnya hubungan suatu kata dengan kata yang lain

    dalam frasa atau klausa.

    c. Makna Kontekstual atau Situasional

    Makna kontekstual atau situsional adalah hubungan antara ujaran dan situasi

    dimana ujaran itu dipakai. Dengan kata lain makna yang dikaitkan dengan

    situasi penggunaan bahasa.

    d. Makna Tekstual

    Makna tekstual berkaitan dengan isi suatu teks atau wacana. Perbedaan jenis

    teks dapat pula menimbulkan makna suatu kata menjadi berbeda.

    e. Makna Sosio-Kultural

    Makna suatu kata yang erat kaitannya dengan sosio-budaya pemakai bahasa

    disebut makna sosio-kultural.

    B. Representasi Makna Kata

    Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa yang

    mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna.

    Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera,

    yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna

    adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca

    karena rangsangan aspek bentuk tadi.25

    25

    Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.

    25.

  • 23

    Kembali kepada unit yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung

    konsep atau gagasan tertentu (yaitu kata), maka makna kata dapat dibatasi sebagai

    hubungan antara bentuk dengan hal atau barang bawah ini:

    Referensi

    Rumah-------------------------------------------------Gambaran

    (sebagai simbol) (referen; pengalaman non-linguistik)

    Bahwa makna adalah pertalian antara bentuk dan referen.26

    Dengan

    demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengetahui sebuah referen

    (barangnya) tetapi tidak tahu bagaimana mengacunya, ia tidak tahu katanya.

    Tetapi kebalikannya juga benar, kalau ia mengetahui maknanya juga, yaitu tidak

    mengetahui hubungan antara bentuk dan referennya. Mengetahui sebuah kata

    haruslah mengetahui kedua aspeknya: bentuk (kata) dan referennya.

    Selama ini perhatian utama dalam pembicaraan tentang makna diletakkan

    pada kata sebagai satuan linguistik yang bermakna. Akan tetapi, kita pun tahu

    makna kata itu baru tampil dalam kalimat sesuai dengan konteks pemakaiannya.

    Jika dalam analisis komponen fonem kita dapat mencirikan unsur

    pemproduksiannya, maka dalam analisis komponen makna kata kita pun ingin

    26

    Menurut Odgen dan Ricard dalam the meaning of meaning, simbol adalah unsur

    linguistik (kata atau kalimat), referen adalah objek (dalam dunia pengalaman), sedangkan referensi

    atau pikiran adalah konsep. Menurut teori itu tidak ada hubungan langsung antara simbol dan

    referen, hubungannya harus melalui konsep.

  • 24

    menemukan kandungan makna kata atau kompisisi makna kata. Prosedur

    menemukan komposisi makna kata disebut pula dekomposisi kata. Untuk

    menemukan komposisi unsur-unsur kandungan makna kata, kita perlu mengikuti

    prosedur sebagai berikut:27

    1. Pilihlah seperangkat kata secara intuitif kita perkirakan berhubungan.

    2. Temukanlah analogi-analogi di antara kata-kata yang seperangkat itu.

    3. Cirikanlah komponen semantik atau komposisi semantik atas dasar analogi-

    analogi tadi.

    Sebagai contoh biasanya dipilih perangkat kata yang menunjukkan atau

    berhubungan dengan nasabah dan keluarga. Misalnya:

    Pria Wanita Putra Putri

    +Jantan +Jantan +Jantan -Jantan

    +Dewasa +Dewasa -Dewasa -Dewasa

    Dekomposisi semantik kata itu dapat dilanjutkan sampai dengan

    penemuan komponen makna yang terkecil yang membedakan dua kata atau lebih.

    Analisis komponen makna kata dapat membawa beberapa manfaat untuk analisis

    semantik, baik semantik kalimat maupun semantik ujaran. Seperti uraian manfaat

    berikut:28

    1. Analisis komponen semanti makna kata dapat memberi jawab mengapa

    beberapa kalimat benar, mengapa kalimat lain tidak benar dan mengapa

    beberapa kalimat anomali. Karena komponen-komponen makna kata dalam

    kalimat itu bercocokan, bertentangan dan tidak berhubungan.

    27

    J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 159-160. 28

    J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 161-164.

  • 25

    2. Dengan analisis komponen atau komposisi makna kata, kita meramal hubungan

    antara makna. Hubungan antara makna dibedakan secara umum atas lima tipe,

    yakni kesinoniman, keantoniman (kontradiktoris dan kontrer), keterbalikan dan

    kehiponiman. Kita katakan dua kata mempunyai kesinoniman jika dua kata itu

    memiliki komponen atau komposisi senatik yang identik. Kita katakan dua kata

    berantonim jika dua kata memiliki satu pertentangan dalam komposisi

    komponen semantiknya yang bersifat mutlak. Keantoniman dibagi menjadi dua

    tipe, yakni kontrdiksi dan kontrer. Kita katakan dua kata berantonim

    keterbalikan jika perbedaan antara dua kata itu hanya terdapat pada satu

    komposisi dan komposisi itu hanya merupakan alih dalam argumen. Kita

    katakan dua kata berhubungan secara hiponimis jika dua kata mempunyai

    semua komposisi semantik yang sama dan kata yang kedua memiliki satu

    komponen ekstra atau tambahan.

    3. Pakar semantik telah mendesaign satu sistem logika yang memungkinkan

    komponen semantik dipakai sebagai alat uji bahwa kalimat-kalimat bersifat

    analitik, bersifat kontradiksi in terminis dan bersifat anomali.

    C. Wawasan Makna

    1. Makna (mana)

    Kita katakan bahwa semantik adalah ilmu tentang makna. Akan tetapi

    kita belum memberikan arti makna dan belum menyepakati apa itu makna

    dalam teori semantik. Inilah ciri khas bahasa yang dapat berbicara tentang dan

    digunakan untuk dirinya sendiri. Jadi, bahasa dapat dipakai untuk berbicara

    tentang bahasa atau dirinya sendiri tentang semua hal di luar bahasa itu.

  • 26

    Dalam bahasa Indonesia kita mengenal pula kata arti dan erti di

    samping kata makna. Dalam studi semantik dan linguistik Indonesia pilihan

    istilah jatuh pada kata makna dan bukan pada kata arti dan erti.29

    Secara umum pemakai bahasa Indonesia lebih sering menggunakan

    kata arti dari pada kata erti dan makna. Misalnya, penutur bahasa Indonesia

    berkalimat:

    a. Apa arti kata canggih?

    b. Saya belum menangkap arti kedipan mata ibu tadi.

    c. Itu berarti Anda harus datang pada hari pernikahannya.

    d. Usahanya belum berarti apa-apa di masa sekarang ini.

    Kata erti hanya diderivasikan dalam bentuk mengerti dan

    pengertian. Kata arti dalam kalimat (a), (b) dan (c) masih dapat distribusi

    dengan kata makna. Sedangkan bentuk berarti dalam kalimat (d) tidak dapat

    digantikan oleh bentuk bermakna.

    Pada penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia pun lebih memilih

    kata makna daripada kata arti. Perhatikan uraian tentang makna dua kata

    tersebut dalam KBBI. Penulis petik pula dua entri tersebut beserta maknanya

    dari KBBI edisi keempat halaman 87 untuk entri arti dan halaman 864 untuk

    entri makna.

    ar.ti n 1 maksud yg terkandung (dl perkataan, kalimat); makna: apa

    isyarat itu?; 2 guna ; faedah: apanya bagi kamu menyakiti binatang

    itu;

    meng.ar.ti.kan v 1 memberi arti; menafsirkan: mereka ~ isyarat itu sbg

    tanda menyerah; 2 menerangkan maksud sesuatu: ia~ reformasi sbg

    perubahan radikal;

    peng.ar.ti.an n proses, cara, perbuatan memberi arti;

    ar.ti.an n arti; tafsiran; pengertian;

    ber.ar.ti v 1 mengandung maksud: jika Ibu marah, itu tidak ~ beliau

    benci kepadamu; 2 berfaedah; berguna: mungkin pertolongan saya ini

    29

    J.D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 43.

  • 27

    tak ~ bagi penderitaanmu yg begitu besar; 3 sama artinya dgn; sama

    halnya dgn: mengambil milik orang tanpa permisi ~ pencuri;

    ke.ber.ar.ti.an n perihal mempunyai arti: tujuan hidupnya sbg seniman

    bukanlah harta, melainkan untuk meningkatkan ~ bagi dirinya dan bagi

    masyarakat;

    se.ar.ti n sama artinya: carilah kata-kata yg ~

    mak.na n arti: ia memperhatikan setiap kata yg terdapat dl tulisan kuno

    itu; 2 maksud pembicara atau penulis; pengertian yg diberikan kpd suatu

    bentuk kebahasaan; -- afektif Ling makna emotif; -- denotasi Ling

    makna kata atau kelompok kata yg didasarkan atas hubungan lugas

    antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, spt orang, benda, tempat,

    sifat, proses, kegiatan; -- denotatif Ling makna yg bersifat denotasi; --

    ekstensi Ling makna yg mencakupi semua objek yg dapat dirujuk dgn

    kata itu; -- emotif Ling makna kata atau frasa yg ditautkan dgn perasaan

    (ditentukan oleh perasaan); -- gramatikal Ling makna yg didasarkan

    atas hubungan antara unsur-unsur bahasa dl satuan yg lebih besar, msl

    hubungan antara kata dan kata lain dl frasa atau klausa; -- intensi Ling

    makna yg mencakupi semua ciri yg diperlukan untuk keterterapan suatu

    kata (istilah); -- khusus Ling makna kata atau istilah yg pemakaiannya

    terbatas pd bidang tertentu; -- kiasan Ling makna kata atau kelompok

    kata yg bukan mengacu ke makna yg sebenarnya, melainkan

    mengiaskan sesuatu, msl mahkota wanita berarti rambut wanita; --

    kognitif Ling aspek-aspek makna satuan bahasa yg berhubungan dgn

    ciri-ciri dl alam luar bahasa atau penalaran; -- konotasi Ling makna

    (nilai rasa) yg tibul krn adanya tautan pikiran antara denotasi dan

    pengalaman pribadi; -- konotatif Ling makna yg bersifat konotasi; --

    kontekstual Ling makna yg didasarkan atas hubungan antara ujaran dan

    situasi pemakaian ujaran itu; -- leksikal Ling makna unsur bahasa sbg

    lambang benda, peristiwa, dsb; -- lokusi Ling makna yg dimaksudkan

    penutur dl perbuatan berbahasa; -- luas Ling makna ujaran yg lebih luas

    daripada pusatnya, msl sekolah dl kalimat ia bersekolah lagi di Seskoal

    (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut) yg lebih luas daripada

    makna gedung tempat belajar; -- pusat Ling makna kata yg umumnya

    dapat dimengerti walaupun kata itu diberikan tanpa konteks; --

    referensial Ling makna unsur bahasa yg sangat dekat hubungannya dgn

    dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan dapat dijelaskan oleh

    analisis komponen; makna denotasi; -- sempit Ling makna ujaran yg

    lebih sempit daripada makna pusatnya; -- suratan Ling makna denotasi;

    -- takberciri Ling makna pusat; -- tautan Ling konotasi; -- umum Ling

    kata atau istilah yg pemakaiannya menjadi unsur bahasa umum;

    me.mak.na.i v memberi makna: mereka gagal ~ rumusan sosial di

    wilayah itu;

    me.mak.na.kan v menerangkan arti (maksud) suatu kata dsb;

    ber.mak.na v berarti; mempunyai (mengandung) arti penting (dalam):

    kalimat itu ~ rangkap;

    ~ berbilang mempunyai (mengandung) beberapa arti;

    mem.ber.mak.na.kan v menjadi bermakna: terampilnya siswa

    berbahasa Indonesia berarti keberhasilan dl ~ pengajaran bahasa

    Indonesia

    mak.na.wi a 1 mengenai makna; berkenaan dgn makna; menurut

    artinya; 2 asasi; penting

  • 28

    The ideational theory af meaning disebutkan teori terdahulu ihwal

    makna semula dikembangkan oleh John Locke. Berikut adalah beberapa

    konsep dasar dari teori ini:30

    a. Makna itu ditempelkan saja kepada kata (terpisah dari kata). Makna datang

    dari tempat lain yaitu dari minda (mind) dalam bentuk ide atau gagasan.

    b. Yang mendasari teori the ideational of meaning adalah asumsi bahwa

    bahasa adalah instrumen untuk melaporkan pikiran yang terdiri atas antrian

    gagasan yang disadari. Gagasan ini bersifat personal, maka diperlukan

    sistem bunyi yang membangun pemahaman intersubjektivitas.

    c. Bahasa yang bersifat personal itu memiliki makna setelah dihubungkan

    dengan sensasi personal, maka dari itu disebut private language. Jadi,

    makna bahasa menjadi sangat pribadi sehingga tidak dapat diajarkan pada

    orang lain.

    Sampai akhir abad 19 teori yang berkembang adalah teori yang

    disebut primitive reference, mengikuti pemikiran Russell bahwa kata bermakna

    karena rujukannya kepada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata itu.

    Berikut adalah perbincangan teori itu:31

    a. Kata-kata memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu di

    luar dirinya. Makna adalah objek dari simbolisasi itu, kata-kata adalah

    sebuah label yang dihinggapi sesuatu dan sesuatu adalah makna dari kata itu.

    30

    A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2008), h. 60-61. 31

    A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2008), h. 62-63.

  • 29

    b. Nama-nama dan deskripsinya akan berwujud objek, sementara itu verba,

    adjektiva, adverbia dan preposisi menunjukkan sifat-sifat (properties) dari

    dan hubungan-hubungan antara objek itu.

    c. Sebuah nama (kata, tanda, kombinasi tanda dan ekspresi) menyatakan sense

    tersendiri dan merujuk pada rujukannya (referent). Sense atau makna sebuah

    kalimat adalah pikiran yang diungkapkan kalimat. Reference dari sebuah

    kalimat adalah nilai kebenaran dari kalimat dan tergantung pada reference

    dari bagian-bagian kalimat.

    Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan

    kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna

    mempunyai tiga tingkat keberadaannya, yakni: 32

    a. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.

    b. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.

    c. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi

    tertentu.

    Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan

    penutur, sedangkan pada tingkat ketiga makna lebih ditekankan pada makna

    dalam komunikasi. Memperlajari makna pada hakikatnya mempelajari

    bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling

    mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, pemakai bahasa

    dituntut untuk menaati kaidah gramatikal atau tunduk kepada kaidah pilihan

    kata menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam sautu bahasa.

    32

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

    Refika Aditama, 2009), h. 7-8.

  • 30

    Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal

    dan leksikal saja, tetapi berjantung kepada kaidah wacana. Makna sebuah

    kalimat yang baik pilihan kata (diksi) dan susunan gramatikalnya, sering tidak

    dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam

    sebuah wacana.

    Filosofi dan linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan

    dengan makna, seperti:33

    a. Makna kata secara alamiah (inheren < inherent bahasa inggris).

    b. Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah (termasuk makna

    kategorial).

    c. Menjelaskan proses komunikasi.

    Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet

    karena, walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan

    keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat.34

    2. Relasi Makna (al-al t al-dil liyyah)

    Hubungan atau relasi makna (Cruse) adalah hubungan yang tidak

    kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang

    akan terjadi antara unit-unit mereka.35

    Dengan kata lain relasi makna

    merupakan satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan

    bahasa di sini dapat berupa kata, frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu

    33

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

    Refika Aditama, 2009), h. 9. 34

    Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

    Cipta, 2009), h. 27. 35

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-

    Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 111.

  • 31

    dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna,

    kegandaan makna atau juga kelebihan makna.36

    Relasi ini merupakan akibat

    dari kandungan komponen makna yang kompleks dalam berbagai bentuk.37

    Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna satu per satu, yakni:

    a. Sinonim (al-tar duf)

    Secara semantik Verhaar mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan (bisa

    berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan

    makna ungkapan lain.38

    Umpamanya kata pandai dan cerdas adalah dua

    kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim

    bersifat dua arah. Cruse membagi sinonim atas tiga perangkat: absolut,

    proposisional dan near-sinonim. Sinonim terjadi bila kata dalam konteks

    dapat disubtitusikan dengan kata kain dan makna konteks tidak berubah

    (Ullmann, Lyons, Palmer).39

    Selanjutnya Lyons mengemukakan bahwa

    sinonim dapat ditentukan dengan cara:

    1. Subtitusi (penyulihan)

    2. Pertentangan

    3. Penentuan konotasi

    36

    Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 297. 37

    Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern

    (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 122. 38

    Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

    Cipta, 2009), h. 83. 39

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-

    Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 125.

  • 32

    Cruse membagi sinonim menjadi:40

    1. Sinonim Absolut (mutlak), yang mengacu pada identitas makna

    merupakan spesifikasi makna. Pendekatan kontekstual digunakan dalam

    berdasarkan makna adalah sesuatu yang mempengaruhi teks normal dari

    unsur leksikal di dalam konteks kalimat apik.

    2. Sinonim Proposisional, terjadi bila dua unsur leksikal di dalam suatu

    ekspresi dapat disulih dengan unsur benar secara kondisional tanpa ada

    dampak terhadap wujud secara keseluruhan.

    3. Sinonim Berdekatan, batas antara sinonim proposisional dengan sinonim

    berdekatan dapat dijelaskan secara prinsip. Dalam hal ini pengguna

    bahasa benar-benar memiliki intuisi untuk perangkat pasangan kata yang

    bersinonim atau yang tidak, secara sederhana ada skala jarak semantis

    dan kata-kata yang bersinonim adalah kata-kata yang maknanya relatif

    dekat (memiliki batas lebih rendah dari sinonim dekat).

    b. Antonimi (al-adhdha:d)

    Antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang

    maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu

    dengan yang lain.41

    Misalnya kata guru berantonim dengan kata murid.

    Antonimi dapat berupa:42

    40

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-

    Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 126. 41

    Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 299. 42

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-

    Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 135-137.

  • 33

    1. Antonimi Berlawanan (Polar Antonyms)

    Ciri-cirinya sebagai berikut:

    (i) Kedua unsur sepenuhnya dapat diukur.

    (ii) Terjadi secara normal dalam komparatif dan superlatif.

    (iii) Antonimi berlawanan menunjukkan derajat dari beberapa

    unidimensional objektif dalam wujud fisik, secara prototipikal

    salah satunya yang dapat diukur dalam unit konvensional.

    (iv) Antonimi berlawanan merupakan ketidaksesuaian tetapi bukan

    kejangkapan.

    (v) Bentuk komparatif bertahan dalam hubungan kebalikan.

    (vi) Pertanyaan yang menunjukkan relevansi unsur-unsur yang

    mengacu pada pertanyaan keseimbangan.

    2. Antonimi Keselarasan (Equivollent Antonyms)

    Antonim keselarasan atau keseimbangan dapat ditentukan dengan

    keseimbangan atau keterlibatan komparatif.

    3. Overlapping Antonyms (Antonim Tumpang Tindih)

    Antonim tumpang tindih menghasilkan keseimbangan komparatif.

    c. Oposisi

    Oposisi merupakan relasi yang terjadi sehari-hari dalam pengenalan leksikal.

    Oposisi kemungkinan satu-satunya relasi untuk memperoleh pengenalan

    leksikal secara langsung, cara inilah yang dahulu digunakan secara kognitif.

    Cruse menjelaskan unsur oposisi yang relevan yaitu oposisi biner, unsur

  • 34

    inheren dan unsur paten.43

    Lebih jauh, berdasarkan sifatnya oposisi dapat

    dibedakan menjadi:44

    1. Oposisi mutlak, jadi ada pertentangan mutlak.

    2. Oposisi kutub, bersifat gradasi.

    3. Oposisi hubungan, bersifat melengkapi.

    4. Oposisi hierarkial, menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.

    5. Oposisi majemuk, yang beroposisi lebih dari sebuah kata.

    d. Hiponimi

    Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau

    dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada

    kelas kata atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada

    sejumlah kelas kata bawah yang merupakan komponen-komponen yang

    tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas kata

    disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.45

    Contohnya

    kata bunga merupakan suatu superordinat yang membawahi sejumlah

    hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, flamboyan, dan gladiol.

    Tiap hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah

    hiponim yang bernaungan di bawahnya, misalnya ada mawar merah, mawar

    putih, mawar orange dan sebagainya. Dalam keterbatasan istilah dapat juga

    terjadi bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kali bagi

    hirarki yang berbeda.

    43

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig-

    Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 133-134. 44

    Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

    Cipta, 2009), h. 90-93. 45

    Istilaah superordinat dan hiponim adalah istilah dalam semantik. Ilmu biologi

    mempergunakan istilah genus dan species, ilmu-ilmu sosial mempergunakan istilah kategori dan

    sub-kategori. Semuanya mengacu pada hal yang sama yaitu tingkat atas dan tingkat bawah.

  • 35

    e. Homonimi

    Hominimi adalah relasi antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama,

    tetapi maknanya berbeda. Misalkan, kata bisa mampu dan kata bisa

    racun. Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas

    homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk dapat dilihat dari sudut

    ejaan atau ucapan. Homograf adalah dua bentuk bahasa yang sama ejaannya,

    tetapi berlainan lafalnya. Contoh kata tahu makanan dan kata tahu

    paham. Sedangkan homofon adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang

    samPa lafalnya, namun berlainan tulisannya. Misalnya, kata masa waktu

    dan massa kelompok orang dalam jumlah besar yang menjadi satu

    kesatuan.

    f. Polisemi

    Satu kata mempunyai lebih dari satu arti atau lebih tepat kita katakan satu

    leksem mempunyai beberapa makna, relasi ini disebut polisemi.46

    Di dalam

    penyusunan kamus, seperti kata-kata yang berhomonim muncul sebagai

    lema (entri) yang terpisahkan, sedangkan kata yang berpolisemi muncul

    sebagai satu lema namun dengan beberapa penjelasan. Misalkan saja, kata

    sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat pada halaman

    1353 muncul sebagai satu lema, namun dengan beberapa penjelasan seperti:

    Sum.ber n 1 tempat keluar (air atau zat cair); mata air: ia

    mengambilkan air di --; di laut sekitar pulau itu ditemukan

    minyak; 2 asal (dl berbagai arti): ia berusaha mendekati dan

    menemukan bunyi yang memesonanya; kabar itu didapatnya

    dari yang boleh dipercaya;

    Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari analisis

    komponen. Pada hakikatnya bertumpu pada derajat kesamaan. Ada

    46

    A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Angkasa,1993), h. 164.

  • 36

    perangkat bentuk yang sama sekali tidak mengandung kesamaan salah satu

    makna pun, dan ada perangkat bentuk yang mengandung sebagian

    komponen makna yang sama. Perbedaan makna pada bentuk polisemi

    menurut Nida (1974) umunya meliputi perbedaan komponen makna proses,

    objek, hasil atau keadaan.47

    Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang sejalan bahwa polisemi ini

    adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena makna ganda

    itulah maka pendengar atau pembaca ragu akan makna kata (kalimat).

    g. Taksonimi

    Taksonimi mengacu pada relasi semantik antara beberapa kata yang

    serumpun.48

    mengenai taksonimi, Lahrer menggunakan cara para ahli

    etnigrafi yang secara umum bertanya pada informan yang ditemuinya untuk

    mengklasifikasikan ranah kumpulan leksem yang dilanjutkan dengan

    menentukan hierarki yang ada pada struktur leksikalnya. Lehrer (1974)

    berpendapat bahwa masalah yang umum dihadapi pada taksonimi adalah

    adanya sejumlah prinsip yang dilibatkan dalam klasifikasi hierarkis.49

    Wienriech (1980) menyebutkan ada dua kriteria dalam membuat hierarkisasi:

    (1) pengisolasian konotasi dan pengisolasian tujuan untuk pengkajian secara

    linguistik, meskipun terjadi pemindahan pengacuan dan denotasi pada

    medan yang lain.; (2) direpresentasikan sebagai taksonimi.

    47

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

    Refika Aditama, 2009), h. 67. 48

    A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Angkasa,1993),

    h. 165. 49

    Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern

    (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 127.

  • 37

    h. Ambiguitas atau Ketaksaan

    Ketaksaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau

    tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson (1977) yang dikutip

    oleh Ullman (1976) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, seperti:50

    1. Ketaksaan Fonetik

    Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya

    bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat

    bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan

    maknanya.

    2. Ketaksaan Gramatikal

    Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.

    Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dua alternatif.

    Alternatif pertama adalah ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa

    pembentukkan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan

    pada frase yang mirip. Tipa kata membentuk frase sebenarnya jelas,

    tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari

    satu pengertian.

    3. Ketaksaan Leksikal

    Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda

    yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannnya.

    i. Redundansi

    Istilah redundasi sering diartikan sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur

    segmental dam suatu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redundansi

    50

    T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

    Refika Aditama, 2009), h. 98-100.

  • 38

    sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila

    bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.51

    4. Makna Kontekstual

    Makna kontekstual termasuk dalam jenis-jenis makna, yang di maksud

    dengan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada

    dalam satu konteks. Makna kontekstual dapat juga berarti dengan situasi, yakni

    tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Oleh karena itu, banyak

    pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata

    apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimat. Adalah teori semantik

    yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di

    antara unit-unitnya dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan.

    Karena itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai

    konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini

    menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu:52

    (a) konteks kondisi adalah kondisi atau situasi eksternal yang membuat suatu

    kata berubah maknanya karena perubahan situasi.

    (b) konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya

    dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional.

    (c) konteks kebahasaan adalah berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat

    yang dapat menentukan makna yang berbeda.

    (d) konteks sosio-kultural adalah nilai-nilai sosial yang mengitari kata yang

    menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya.

    51

    Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 105.

    52 Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-Ayat

    Kalam (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 21-22.

  • 39

    Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativitisme

    dalam pendekatan semantik bandingkan antara bahasa. Makna sebuah kata

    terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.

    Mengacu pada persoalan berkonteks yang memiliki perbedaan

    mendasar pada persoalan kosakata. Persoalan kosakata atau semacamnya

    relatif jelas sosok persoalanya dan relatif mudah untuk ditemukan langkah-

    langkah konkrit pemecahannya, serta merinci modal kemampuan yang

    diperlukan untuk mengoperasikannya.

    Konteks secara sederhana dapat dimengerti sebagai sesuatu yang

    menyertai teks, sesuai dengan pemaknaan literer kata-kata yang merajut kata

    tersebut. Sebab, teks sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Setiap

    bagian mendukung bagian lainnya untuk menyampaikan sesuatu yang tunggal.

    Satuan morfem akan saling mendukung pemaknaan suatu kalimat. Satuan

    kalimat akan saling mendukung untuk menyampaikan pesan suatu alinea dan

    begitupun seterusnya. Dengan kata lain, setiap bagian dari kebahasaan saling

    membantu menyampaikan pesan utuh dari sebuah teks.

    Memang tidak mudah menerjemahkan yang dipandangan dari sisi

    pemadanan berkontek ke dalam langkah-langkah konkrit, mudah dicerna dan

    diterapkan. Namun, secara kasar dapat dikatakan bahwa penerjemah idealnya

    memiliki kesadaran konteks. Artinya, pada setiap langkahnya dalam

    menyelami teks sumber dan senantiasa melakukan cross check suatu satuan

    makna dengan satuan makna lainnya.

  • 40

    BAB III

    SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB AL-HIKAM

    A. Biografi Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari

    Syeikh Ibn Athaillah al-Iskandari (w.1309 M) hidup di Mesir pada masa

    kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu

    pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fiqh

    mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid al-Azhar.

    Di waktu yang sama dia juga dikenal luas di bidang tasawuf sebagai seorang

    master (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

    Ibn Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya

    yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,

    dan ushul fiqh. Kitab ini sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh

    Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad

    ibn Ajiba.

    Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir,

    Unwan at-Taufiq fidab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil

    Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam

    Ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup

    dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang

    berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang

    tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibn Athaillah dan para pengikutnya

    melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam

    urusan syariat.

  • 41

    Ibn Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi

    panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi

    orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

    Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat

    Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu

    Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-

    ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat

    syadziliah tetap terpelihara.

    Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan

    pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibn

    Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas

    mazhab dan tarikat, terutama kitab al-Hikam yang melegenda ini.

    Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah

    Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah

    al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek

    moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung

    pada Bani Yarib bin Qohton, yang terkenal dengan Arab al-Aaribah. Kota

    Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana

    keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini

    demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang

    tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR.Taftazani bisa menengarai bahwa ia

    dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

  • 42

    Ayahnya termasuk semasa dengan Syeikh Abu al-Hasan al-Syadili -

    pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibn Athaillah dalam

    kitabnya Lathaiful Minan : Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku

    menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau

    mengatakan: Demi Allah kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah

    yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada

    pena, tikar dan dinding.

    Keluarga Ibn Athaillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan

    agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adal