kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim...

159
KESENJANGAN ANTARA HASIL PENDIDIKAN TINGGI DAN JABATAN DI INDONESIA (Data SP80 dan SP90) SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH Disertasi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Doktor Kependidikan PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JAKARTA 1995

description

disertasi research from Dr.Suparmah Ibrahim Abdullah

Transcript of kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim...

Page 1: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

KESENJANGAN ANTARA HASIL PENDIDIKAN

TINGGI DAN JABATAN DI INDONESIA

(Data SP80 dan SP90)

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH

Disertasi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam

Mendapatkan Gelar Doktor Kependidikan

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JAKARTA

1995

Page 2: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

ABSTRAK

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH, Kesenjangan Antara Hasil Pendidikan

Tinggi dan Jabatan di Indonesia( Data SP80 dan SP90).

Disertasi. Jakarta: Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Agustus 1995.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil

pendidikan dan jenis pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi.

Kesenjangan yang dimaksudkan adalah kesenjangan antara jurusan pendidikan

kepada jenjang yang ditamatkan minimal S1 dengan jenis/jabatan pekerjaan yang

ditekuni di Indonesia berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1980 dan data Sensus

Penduduk tahun 1990.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan

menggunakan data tape dari Biro Pusat Statistik (BPS). Penelitian dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut; (1) mengkaji konsep dan definisi kesenjangan

antara jurusan pendidikan tinggi dan jenis/jabatan pekerjaan serta kaitannya dengan

pembangunan eknomi, sosial, dan kependudukan/demografi; (2) mengkaji

ketersediaan data secara nasional di Indonesia yang ada di BPS; (3) menyelaraskan

konsep kesenjangan dengan ketersediaan data; (4) melakukan pengolahan dan analisis

data.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kesenjangan jurusan pendidikan tinggi

dengan jenis/jabatan pekerjaan menunjukkan adanya penurunan dari 91,3 persen pada

tahun 1980 menjadi 77,7 persen pada tahun 1990.

Hipotesis adanya asosiasi antara variabel ekonomi, sosial, demografi, dan

interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi sementara bisa diterima. Lebih lanjut,

hasil ini memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi selama PJP I yang

digambarkan pada data tahun 1980 dan data 1990 di Indonesia mempunyai kaitan erat

dengan perkembangan pembangunan nasional. Secara khusus mempunyai kaitan

dengan berbagai perkembangan prioritas pembangunan di Indonesia dapat dinyatakan

dalam Trilogi Pembangunan yang pada awalnya pada prioritas dengan urutan (1)

i

Page 3: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

stabilitas, (2) pertumbuhan ekonomi, dan (3) pemerataan, menjadi (1) pertumbuhan,

(2) pemerataan, dan (3) stabilitas.

Pembangunan nasional pada PJP II, mulai dicanangkan program Link and

Match yang secara teoritis biasa disebut relevansi antara hasil/keluaran sistem

pendidikan dengan kebutuhan industri. Hal ini akan terwujud apabila pendekatan

pembangunan pendidikan yang direncanakan secara terpadu bisa dilaksanakan secara

berkesinambungan.

ii

Page 4: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

ABSTRACT

SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH. Mismatch Between Field of Study in Higher

Education and Occupation in Indonesia (Population Census Data 1980 and 1990).

Dissertation. Jakarta: Program of Graduate Studies, IKIP Jakarta, Augusts 1995.

The aim of this dissertation is to analyze the mismatch between the field of

study of graduates in higher education and their subsequent occupation. The

definition of mismatch is based on the mismatch between Indonesia graduate level

education, at least at least at the S1 level and the occupation the graduate

subsequently hold in accordance to the 1980, and 1990 Population Census.

The study employed quantitative methods using the census data tape from the

Central Bureau of Statistics. The following steps were taken (1) exploring the concept

and the definition of mismatch between the field of study in higher education and

their subsequent occupation, according to socio-economic-demographic patters; (2)

assessing the national Population Census 1980 and 1990 data available in the CBS;

(3) application of the concepts defined of mismatch above with the data available;

and (4) data processing and analysis.

The results showed that there has been a significant decline in the degree of

mismatch from 91.3 percent in 1980 to 77.7 percent in 1990.

The hypothesis stipulating association between socio-economic-demographic

variables and interaction in relation to the mismatch is temporarily acceptable.

Furthermore, it indicates that the mismatch which occurred during the First Long-

term Development as stated in the 1980 and 1990 data is strongly related to

Indonesia’s national development. In particular, it relates to the shifting of priorities

of the National development as stated in Trilogi Pembangunan from the (1) stability,

(2) growth, and (3) equity to (1) growth, (2) equity, and (3) stability.

National development in PJP II, has launched a program called Link and Match

which is theoretically known as the relevance between the output of the education

iii

Page 5: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

system and industrial requirements. This can be achieved successfully through an

integratedly planned approach of development education which is continuously

implemented.

iv

Page 6: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR

Nama

Tanda Tangan Tanggal

Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A

(Ketua)

__________

_______

Prof. Dr. Kartomo Wirosuhardjo, M.A.

(Anggota)

__________

_______

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc.

(Anggota)

__________

_______

PERSETUJUAN PANITIA UJIAN DOKTOR

Nama

Tanda Tangan Tanggal

Dr. Anna Suhaenah Suparno M.Pd. 1)

(Ketua)

__________

_______

Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A. 2)

(Sekretaris)

__________

_______

Tanggal Lulus : ________________

No.Registrasi: 7017902955

1). Rektor IKIP Jakarta

2). Direktur PPS IKIP Jakarta

v

Page 7: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa

dengan rahmat, taufik, hidayah, dan inayahnya penulis bisa menyelesaikan tugas

penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada Komisi Promotor, yaitu Prof.DR.A.O.B. Situmorang, M.A., Prof.DR.

Kartomo Wirosuhardjo, M.Sc., dan Prof.DR. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc. atas

bimbingannya sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis rampungkan.

Kepada Direktur dan Asisten Direktur I Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta,

penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas dorongan dan perhatiannya, sehingga

penulis bisa menyelesaikan tugas ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga

disampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Panitia Ujian ialah Rektor IKIP Jakarta dan

Direktur PPS IKIP Jakarta. Kepada para anggota penguji Prof. Dr.A.O.B.

Situmorang, M.A., Prof. Dr. Toeti Soekamto, M.Pd., Prof. DR. Kartomo

Wirosuhardjo, M.A., Prof. DR.I Gusti Ngurah Agung, M.St.M.Sc., Dr. Anna

Suhaenah Suparno, Dr. ies Pongtuluran, dan Dr. Arief S. Sadiman, juga kami

ucapkan terima kasih yang tulus sehingga ujian dapat dilaksanakan.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya

disampaikan kepada Puslit Pranata Pembangunan, Lembaga Penelitian, Universitas

Indonesia yang telah memberikan izin belajar serta menggunakan berbagai fasilitas

komputasi hingga tugas ini selesai. Kepada istri tercinta Siti Hasanah, dan kedua

PUTRI SAYA Maria Cleopatra dan Sara Sahrazad juga diucapkan banyak terima

kasih atas dorongannya hingga pekerjaan ini selesai.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua fihak yang telah membantu,

sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis selesaikan.

Suparman, IA

vi

Page 8: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……………………………………………………………….. i

ABSTRACT …………………………………………………………......... iii

PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR ………………………………… v

KATA PENGANTAR ……………………………………………………. vi

DAFTAR ISI …………………………………………………………....... vii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. x

DAFTAR GAMBAR ..…………………………………………………… xi

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xii

BAB I. PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH ……….

1

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Identifikasi Masalah…………………………………….. 13

C. Pembatasan Masalah……………………………………. 20

D. Perumusan Masalah.......................................................... 21

E. Tujuan Penelitian............................................................... 22

F. Kegunaan Penelitian......................................................... 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS .....................................................

23

A. Deskripsi Teoritis ………………………………………. 23

1. Kebijaksanaan Relevansi.............................................. 33

2. Uraian Teori …………………………………………. 37

vii

Page 9: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

3. Kesenjangan atau Mismatch ………………………… 42

B. Hasil-hasil Penelitian yang relevan.................................. 44

C. Kerangka Berfikir ……………………………………… 46

D. Hipotesis ………………………………………………..

48

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………….

49

A. Tujuan Penelitian ……………………………………... 49

B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………... 49

C. Metode Penelitian …………………………………….. 49

D. Teknik Pengambilan Contoh …………………………. 50

E. Instrumen Penelitian ………………………………….. 51

F. Pengolahan dan Analisis Data ………………………… 52

G. Pengertian Dasar Beberapa Istilah ……………………. 61

BAB IV HASIL PENELITIAN ……………………………………….

63

A. Deskripsi Data ………………………………………… 63

1. Jurusan pendidikan responden ……………………... 63

2. Kegiatan ekonomi ………………………………….. 65

3. Jabatan …………………………………………........ 65

4. Sosial ……………………………………………….. 66

5. Ekonomi ……………………………………………. 67

6. Demografi ………………………………………….. 68

B. Kesenjangan …………………………………………... 69

C. Pengujian Hipotesis …………………………………… 71

1. Distribusi responden ……………………………….. 71

2. Deskripsi kesenjangan ……………………………… 77

viii

Page 10: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

3. Pengujian hipotesis ………………………………… 96

D. Diskusi Hasil …………………………………………. 112

1. Diskusi …………….......…………………………… 112

2. Keterbatasan .......………………………………….. 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………..

119

A. Kesimpulan …………………………………………… 119

B. Implikasi Hasil Penelitian …………………………….. 124

C. Saran-saran ……………………………………………. 127

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 134

LAMPIRAN

ix

Page 11: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Proporsi biaya Pendidikan Terhadap GNP Tahun

1980-an dan 1992

15

Tabel 1.2. Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT)

Berbagai Negara (1986-87) dan Indonesia (1992)

16

Tabel 2.1. Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi Tahun 1994

dan Proyeksinya tahun 1994 Dan 2018 menurut

Kelompok Jurusan

29

Tabel 2.2. Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN Dan PTS

(Ribu Orang)

30

Tabel 2.3. Kebutuhan Tambahan Tenaga So keatas Repelita

V – X (Orang)

31

Tabel 2.4. Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan

Reformasi dua jenis Dunia Kerja

34

Tabel 3.1. Daftar Variabel dan kategorinya dalam Penelitian 59

Tabel 4.1. Distribusi persentase sarjana yang bekerja

menurut Variabel-variabel dalam penelitian,

Sensus Penduduk, dan Kategori jawaban

73

Tabel 4.2. Perbandingan Uji Statistik tahun 1980-1990 105

x

Page 12: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

DAFTAR GAMBAR Halaman

Gambar 1.1. Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat

Tinggi di Dunia Kerja/Industri

3

Gambar 1.2. Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan 7

Gambar 1.3. Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan 8

Gambar 1.4. Prinsip Korespondensi Antara Luaran

Pendidikan Formal dengan Luaran Proses

Sosial, Ekonomi, dan Politik

10

Gambar 1.5. Hubungan antara Polity, Keluarga, Sekolah

dan Pekerjaan

11

Gambar 2.1. Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia

26

Gambar 2.2 Sistem Pendidikan Nasional 36

Gambar 2.3 Kerangka Pikir faktor-faktor yang Berasosiasi

dengan Kesenjangan.

47

Gambar 4.1 Urutan derajat pengaruh/asosiasi Sembilan

variabel dependen terhadap derajat

kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun

1990.

78

xi

Page 13: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

1

BAB I

PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

mencantumkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional secara berurutan pada Pasal 3

dan Pasal 4 sebagai berikut:

Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

rangka upaya tujuan nasional.

Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengambangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman

dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,

memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani,

kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir d, disebutkan:

Pendidikan nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antar

berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan maupun antar sektor pendidikan

dengan sektor pembangunan lainnya serta antar daerah. Masyarakat sebagai

mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam

penyelenggaraan pendidikan nasional (hal.13).

Page 14: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

2

Kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi serta tuntutan perkembangan pembangunan. Perlu pula terus

dikembangkan kerja sama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha

dalam rangka pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga

yang cakap dan terampil bagi pembangunan sehingga tercipta keterpaduan

dengan perencanaan tenaga kerja nasional (hal. 13).

Selanjutnya dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir i. antara lain

disebutkan:

Pendidikan tinggi harus terus dibina dan dikembanhgkan untuk menyiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan

kepemimpinan yang tanggap terhadap pengetahuan dan teknologi. Disamping

itu , pendidikan tinggi juga harus mampu melahirkan manusia yang berjiwa

penuh pengabdian, dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap

masa depan bangsa dan negara (hal. 14).

Djojonegoro (1994e) menguraikan bahwa upaya peningkatan kualitas sumber

daya manusia hanya dapat dilakukan apabila mutu pendidikan relevan dan bermutu

tinggi. Sehubungan dengan itu, Depdikbud memberikan penekanan yang sangat

khusus pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan maksud agar sistem

pendidikan tetap serasi dan selaras dengan kebutuhan pembangunan, khususnya

menghadapi era industrialisasi masyarakat Indonesia. Mutu dan relevansi pendidikan

dapat diukur dengan pertanyaan sejauh mana para lulusan pendidikan memperoleh

pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang selama ini dipelajarinya. Pendekatan ini

pada gilirannya akan memberikan arahan mengenai jenis keahlian yang perlu

dikembangkan, dan jenis-jenis keahlian yang perlu dikendalikan pertumbuhannya.

Page 15: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

3

Relevansi pendidikan tersebut sudah merupakan salah satu tema pembangunan

pendidikan sejak Repelita I, yang dapat diartikan dengan “kesesuaian antara

pendidikan dengan kebutuhan pembangunan”. Tema tersebut terus digunakan dari

Repelita ke Repelita seolah-olah sudah melekat di dalam pembangunan nasional

sektor pendidikan (Enoch, 1992; Thomas, 1973; Atmakusuma, A., Teken, I.G.B,

Soehardjo, A. and Asngari, P.S. 1974; Shaeffer, 1990).

Notodihardjo (1990) menunjukkan bahwa tahun 1981 program-program

pendidikan tinggi juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional

dan tidak hanya ditujukan untuk perbaikan pendidikan tinggi saja. Salah satu program

utama DIKTI pada waktu itu adalah peningkatan efisiensi eksternal pendidikan, dan

salah satu program utamanya adalah program peningkatan Relevansi Pendidikan.

Formulasi pemikiran yang diajukan oleh Notodihardjo adalah bagaimana

sebenarnya pandangan dan harapan mahasiswa, lulusan dan pengguna lulusan

perguruan tinggi tentang kaitan antara pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat

tinggi. Formulasi keterkaitan ini disajikan dalam model pada Gambar 1.1 di bawah

ini.

Gambar 1.1 Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi

di Dunia Kerja / Industri

SISTEM

PENDIDIKAN TINGGI

SISTEM

DUNIA KERJA

Sumber: Notodihardjo. (1990). Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi

di Indonesia: Studi Tentang Kaitan Antara Perguruan Tinggi dan Industri di Jawa. p. 5

Page 16: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

4

Pada waktu itu antara lain ditemukan bahwa dorongan melanjutkan studi di

perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomis, dan

diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di masyarakat. Selanjutnya

dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan bekerja secara tetap

sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan tinggi. Kebanyakan

pada waktu itu tahun 1981 ingin bekerja di sektor pemerintahan. Diperkirakan pada

saat ini, ada perubahan para mahasiswa perguruan tinggi tentang keinginannya untuk

bekerja di sektor mana. Namun mengenai jabatan atau diperkirakan tidak berubah,

khususnya keinginan atau harapan untuk bekerja pada jabatan (okupasi) yang sesuai

dengan bidang/jurusan studinya.

Tema relevansi telah dijabarkan lebih jelas untuk memperkecil ketidakpastian

dan sekaligus menjadikan istilah “Relevansi Pendidikan” tidak bersifat retorika

semata-mata. Essensi relevansi adalah link and match. Keterkaitan dan kesepadanan

(link and match) atau kesesuaian antara hasil pendidikan dan dunia kerja, tersurat

pada kata kunci (GBHN, 1993) pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih

terpadu dan serasi, baik antara sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya,

antara daerah maupun antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) telah menetapkan empat

kebijaksanaan pokok dalam bidang pendidikan, yaitu (1) pemerataan dan kesempatan,

(2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4)

efisiensi pendidikan.

Pemerataan diprioritaskan melalui wajib belajar sembilan tahun, kemudian

relevansi pada prinsipnya adalah link and match. Selanjutnya Djojonegoro (1994d)

Page 17: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

5

menjelaskan tentang kebijaksanaan meningkatkan kualitas dan efisiensi hasil

pendidikan. Diuraikan bahwa hasil suatu pendidikan disebut berkualitas jika

mempunyai salah satu ciri berikut. Pertama peserta didik mempunyai kemampuan

yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasainya

sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, di antaranya hasil belajar akademik

yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal). Kedua hasil pendidikan

sesuai dengan kebutuhan peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, melainkan

dapat melakukan sesuatu yang fungsional untuk kehidupannya (learning and

earning). Ketiga hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan

juga khususnya dunia kerja. Dari segi ini, maka relevansi merupkana salah satu aspek

atau indikator dari kualitas.

Selanjutnya efisiensi secara konvensional diartikan makin rendah biaya yang

diperlukan dan makin maksimal hasil yang dicapai, maka berarti makin tinggi

efisiensi. Dalam pandangan kontemporer efisiensi bukan hanya biaya yang menjadi

ukurannya, tetapi justru keefektifan atau kualitas hasil. Dalam konteks yang luas

efisensi berkaitan dengan profesionalisme dalam manajemen pendidikan yang di

dalamnya terkandung disiplin, kesetiaan, keahlian, etos kerja, cost effectiveness, dan

lain-lain. Implikasi lanjutnya, untuk meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan

kebijakan yang memungkinkan efisiensi diwujudkan, antara lain: reorganisasi dan

desentralisasi sehingga sumber daya pendidikan (yang tersebar di seluruh Indonesia)

dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Selanjutnya empat pokok kebijaksanaan, prioritas perguruan tinggi adalah

relevansi pendidikan dengan pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya

Page 18: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

6

dikenal dengan kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Dalam

menciptakan keterkaitan dan kesepadanan atau link and match, perguruan tinggi

diharapkan mengadakan dialog atau tukar pikiran yang lebih intensif dengan berbagai

pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, dunia usaha, pertanian, industri, dan

masyarakat pada umumnya. Dengan dialog tersebut dapat diketahui berbagai

pendapat, aspirasi, maupun keinginan masyarakat, kemudian merumuskan berbagai

kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan program pendidikannya yang sesuai

dengan aspirasi tersebut.

Dengan demikian link and match berarti mendekatkan perguruan dengan

masyarakat dan daerah, baik aspirasi maupun kebutuhannya, serta membantu

masyarakat dengan memanfaatkan kepakaran dan kemampuan perguruan tinggi.

Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan

pembangunan dan mengaitkan berbagai upaya pendidikan dengan kebutuhan

pembangunan tersebut, pendidikan akan dapat lebih mencapai hasil sesuai dengan

misi dan fungsinya.

Djojonegoro (1994f) menjelaskan konsep relevansi atau link and match

sebagai berikut. Kebijakan ini dikembangkan dengan maksud untuk meningkatkan

keterkaitan antara pendidikan dengan dunia pembangunan. Link secara harfiah berarti

bertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif, dan match berarti kecocokan. Pada

dasarnya, link and match merujuk pada kebutuhan (need, demands). Kebutuhan

dalam pembangunan sangat luas, bersifat multidimensional, dan multisektoral, mulai

dari kebutuhan peserta didik sendiri, kebutuhan keluarganya, kebutuhan untuk

Page 19: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

7

pembinaan warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan sampai ke kebutuhan

dunia kerja (Gambar 1.2).

Dari perspektif ini link menunjukkan pada proses, yang berarti bahwa proses

pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya

cocok (match) dengan kebutuhan, baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi, dan

waktu. Jadi pada prinsipnya konsep link and match adalah supply-demands dalam arti

luas, yaitu dunia pendidikan sebagai penyiap SDM dan individu, masyarakat, serta

dunia kerja sebagai pihak yang membutuhkan (Gambar 1.3).

Gambar 1.2 Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan

Kebutuhan Pribadi/Individu Kebutuhan Keluarga Dunia Pendidikan Kebutuhan Bangsa Dan Masyarakat Kebutuhan dunia kerja/usaha Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui

Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari – Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.

Page 20: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

8

Gambar 1.3 Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan

Sarana & Prasarana

Masukan Proses (Peserta Didik) Belajar Mengajar Hasil Lulusan

Sumber Daya Manusia Kebutuhan-kebutuhan

LINK MATCH

Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari – Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada derajat link and match menurut jenjang dan

jenis pendidikan. Pada pendidikan dasar idealnya mempunyai derajat yang rendah,

menengah cukup, pendidikan tinggi akademik mempunyai derajat yang cukup, dan

pendidikan tinggi profesional mempunyai derajat yang tinggi.

Selanjutnya Levin (1976) juga menguraikan keterkaitan dinamis antara sektor

pendidikan dengan sektor-sektor lainnya yang disebut prinsip korespondensi yang

sebenarnya juga merupakan prinsip relevansi atau link and match. Dikatakan bahwa

segala kegiatan dan proses di sektor pendidikan mempunyai kaitan langsung dengan

keadaan masyarakat umum yang bersangkutan, termasuk masalah sosial, ekonomi,

politik. Salah satu contoh prinsip korespondensi antara sekolah dan tatatan sosial,

Page 21: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

9

ekonomi, politik adalah proses pendidikan dimana peserta didik akan mencapai

tingkat kompetensi yang sesuai dengan kehidupannya (Zaltman, et al., 1977).

Hubungan di atas secara sederhana diajukan oleh Levin seperti dalam Gambar 1.4 di

bawah ini. Selanjutnya prinsip korespondensi dari Levin (1976) melalui Gambar 1.4

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

The activities and outcomes of the edicational sector correspons to those of

the society generally. That is, all edicational systems represent an attempt to serve

their respective sociseties such that the social, economic, and political relationships

of the educational sector will mirror closely those of the society of which they are a

part. Educational outcomes are produced in line with desired social, economic, and

political outcomes through educational resources, the schools’ budget, and the

educational processes taking place in the schools themselves (pp.10).

Page 22: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

10

Gambar 1.4 Prinsip Korenspondensi Antara

Luaran Pendidikan Sekolah dengan Luaran Proses Sosial, Ekonomi, dan Politik

EXTERNAL

INFLUENCES

POLITY

BUDGET AND GOALS

EDUCATIONAL RESOURCE

EDUCATIONAL PROCESS

EDUCATIONAL OUTCOMES

SOCIAL, POLITICAL, ECONOMIC OUTCOMES

E D U C R A E T F I O O R N M A L

Sumber: H.M. Levin. (1976) Educational Reform: Its Meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc, p.31

Page 23: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

11

Gambar 1.5 Hubungan antar Polity, Keluarga,

Sekolah, dan Pekerjaan

WORK

ORGANIZATION Demand for worker Worker traits INSTITUTION EDUCATIONAL EDUCATION VALUE, CULTURE, PROCESS OUTCOME POLITY AND OTHER YOUTH TRAITS Values

rules for success child (class orientation) bearing

FAMILY

Sumber: H.M. Levin (1976) A Taxonomy of Educational Reforms for Changes in the Nature Work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc.p.84.

Levin juga menjelaskan konsep demand and supply, atau kebutuhan dan hasil

pendidikan. Kebutuhan menurut Levin dikelompokkan menjadi dua, pertama

kebutuhan keluarga dan kedua kebutuhan dunia kerja. Konsep ini secara sederhana

disajikan pada Gambar 1.5 yang menunjukkan kaitan antara sistem sosial (lembaga,

nilai, budaya, dan tata kehidupan) dengan keluarga, sekolah, dan dunia kerja..

Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia pekerjaan, keluarga, dan proses

pendidikan. Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia kerja yang kemudian

menentukan kebutuhan tenaga kerja. Begitu pula sistem sosial memberikan warna

kepada keluarga dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan dengan

Page 24: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

12

nilai-nilai sosial yang ada pada keluarga tersebut, secara bersama-sama kebutuhan-

kebutuhan dunia kerja menentukan proses pendidikan. Pada gilirannya proses

pendidikan memberikan hasil yang siap latih dan siap bekerja. Maka pada akhirnya

dunia kerja yang dihasilkan sebagaimana yang diharapkan, akan memperkuat sistem

sosial yang ada.

Jadi essensi reformasi pendidikan akan berhasil jika diiringi dengan tatanan

dunia kerja yang mendukungnya, atau sebaliknya. Di Indonesia, selama PJP I juga

telah mencanangkan empat kebijakan pembangunan pendidikan di atas, namun

pemerataan masih diutamakan bagi masyarakat banyak, sehingga kelompok

masyarakat pada umur pendidikan tinggi masih mengalami berbagai kendala. Begitu

pula kebijakan lainnya, tentang relevansi, walaupun telah dilakukan pengupayaannya

sejak lama, namun dari sisi permintaan dalam hal ini dunia kerja (sektor pembangunan

sosial-ekonomi-budaya termasuk dunia industri, perdagangan dan jasa) di Indonesia

berkembang sangat pesat. Khususnya di pendidikan tinggi walaupun berkembang

sangat pesat, namun diperkirakan pandangan masa depan calon peserta didik tidak

dibekali informasi kedepan, teapi pada informasi yang bersifat patroon-client, atau

panutan. Berkaitan dengan masalah kualitas, dan efisiensi di pendidikan tinggi

perintisan sistem akreditasi telah dimulai sejak lama, namun operasionalisasi pada saat

ini sedang dalam taraf uji coba.

Page 25: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

13

B. Identifikasi Masalah

Selama Orde-Baru pemerintah Indonesia telah memprioritaskan pembangunan

ekonomi, dan dapat dirasakan secara nyata. Begitu pula pembangunan di sektor non

ekonomi yang tergabung dalam koordinasi Menko Kesra yang mencakup sepuluh

sektor ialah: agama, pendidikan, kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan penelitian,

kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, perumahan dan pemukiman,

kesejahteraan sosial, generasi muda, dan peranan wanita. Biro Pusat Statistik (1994)

dalam ulasan buku Indikator Kesejahteraan Rakyat, menunjukkan bahwa bidang

kesra secara nyata diwarnai oleh sektor kesehatan, kependudukan dan keluarga

berencana, perumahan dan pemukiman, kemudian peranan wanita. Sektor-sektor

kesra lainnya termasuk pendidikan masih merupakan kegiatan prioritas yang belum

nampak urutan keberhasilannya (BPS, 1994).

Beberapa masalah pokok pendidikan selama PJP I, diungkapkan oleh

Djojonegoro (1994c) antara lain:

(1) Belum semua program pendidikan berorientasi kepada kebutuhan pembangunan.

(2) Pada jenjang pendidikan tinggi masih terdapat keragaman kualitas yang luas

antara perguruan tinggi menurut lokasi geografis (kota besar, kota kecil, Jawa luar

Jawa) dan status (Negeri Swasta).

Khusus perguruan tinggi, penekanannya pada relevenasi pendidikan dengan

pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya dikenal dengan kebijakan

keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match). Bahkan setiap penyelenggaraan pasca

sarjana perlu benar-benar mengkaji kebutuhan masyarakat dan memproyeksikannya

Page 26: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

14

dalam program-program yang benar-benar memenuhi kebutuhan pembangunan

nasional (Link and Match).

Djojonegoro (1994b) dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan

Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan Implikasinya pada Sistem

Administrasi Negara, menguraikan bahwa essensi dari relevansi adalah link and

match antara pendidikan dan kebutuhan pembangunan. Khususnya dengan dunia

kerja atau dunia industri. Dalam konteks link and match relevansi lebih ditekankan

pada kebutuhan pembangunan dan kebutuhan dunia kerja. Untuk menciptakan link

and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja/dunia usaha/industri diperlukan

usaha-usaha secara reciprocal antara kedua pihak. Dunia usaha/industri dituntut

untuk lebih membuka diri terhadap pendidikan, baik dalam arti sikap maupun

tindakan nyata termasuk menjadi tempat magang dan praktek lapangan bagi peserta

didik. Di pihak lain dunia pendidikan dituntut untuk melakukan konsolidasi mulai

tahap perencanaan sampai implementasi dan evaluasinya sehingga kebijakan ini

mempunyai arti yang maksimal, sesuai dengan tujuannya.

Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan pada tingkat tersier yang

diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi karena di

banyak perguruan tinggi telah tersedia sarana dan prasarana yang mutakhir untuk

pengembangan IPTEK. Ketersediaan SDM yang mempunyai kualifikasi sesuai

dengan yang diperlukan merupakan modal utama dalam meningkatkan daya saing di

bidang teknologi.

Selanjutnya Bank Dunia (1994) membahas kendala dan tantangan pada

pendidikan tinggi. Dikatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi mempunyai tanggung

Page 27: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

15

jawab membina peserta didik agar mendapatkan pengetahuan yang cukup dan

ketrampilan tertentu untuk menduduki tanggung jawab tertentu pada pemerintahan,

dunia usaha, dan berbagai jabatan profesi. Begitu pula lembaga pendidikan tinggi

mempunyai tanggung jawab mengembangkan IPTEK melalui riset, alih teknologi,

adaptasi, dan desiminasi IPTEK, untuk mendukung berbagai program pembangunan

yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karenanya investasi pendidikan tinggi sangat

penting bagi pembangunan ekonomi sosial, namun selama ini dinilai dalam keadaan

yang sangat krisis.

Tabel 1.1

Proporsi biaya Pendidikan terhadap GNP tahun 180- an dan 1992

Negara 19980-1n 1992 Amerika Serikat 6,8 - Jepang 4,9 - Jerman 4,4 - Taiwan 5,5 - Korea 3,7 - Indonesia 1,0 3,1 Thailand - 3,6 Singapura - 4,8 Malaysia - 4,9

Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum

Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4

Hal ini karena investasi pendidikan tinggi di hampir semua negara sangat

tergantung kepada pemerintah. Sebagai gambaran proporsi biaya pendidikan secara

nasional terhadap GNP sebagaimana pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indonesia

Page 28: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

16

mempunyai angka yang paling kecil. Tahun 1992 menunjukkan biaya pendidikan

sama dengan 3,1 persen dari GNP. Angka ini paling kecil di ASEAN pada tahun yang

sama, dan jauh di bawah Korea, Taiwan, Jepang tahun 1980-an.

Pengembangan pendidikan tinggi mempunyai korelasi dengan pembangunan eknomi,

hal ini ditunjukkan bahwa di negara maju angka partisipasi pendidikan tinggi (APPT)

sekitar 51 persen, kemudian di negara berkembang sekitar 21 persen, dan di negara

kurang berkembang hanya 6 persen.

Tabel 1.2 Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT)

Berbagai Negara (1986-87 dan Indonesia 1992) __________________________________________________________________ Negara APPT (%) ________________________________________________________________________ Amerika Serikat 37 Jepang 25 Jerman 23 Australia 22 Taiwan 22 Korea 21 Indonesia 10 ________________________________________________________________________ Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum

Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4

Selanjutnya apabila dibandingkan dengan negara ASEAN, ternyata pada

tahun 1992 angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya 10 persen yang

diproyeksikan pada tahun 2018 mencapai 25 persen (Ditjen Dikti, 1994; GBHN,

1993; Pusinfot, 1995). Tahun 2018 angka ini baru akan sama dengan Jepang tahun

Page 29: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

17

1986, atau pada tahun 2000 Indonesia akan sama dengan Korea, Taiwan, Australia

pada tahun 1986 (Tabel1.2).

Dirjen DIKTI (1994), dalam penjelasan pada Forum Dengar Pendapat dengan

Komisi X DPR-RI, tanggal 22 Febrauari 1994, mengenai pengembangan sumber

daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan

IPTEK, menguraikan bahwa lulusan seluruh sistem pendidikan tinggi pada saat ini,

dengan jumlah mahasiswa sekitar 2,1 juta hanya sekitar 170.000 orang. Meskipun

terdapat peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas SDM bagi lulusan

pendidikan (PT), bukan berarti pasaran kerja juga telah siap untuk dapat menerima

peningkatan lulusan perguruan tinggi. Biro Pusat Statistik pada tahun 1990

mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran lulusan PT mencapai 8,7 persen

dibandingkan dengan 0,9 persen bagi lulusan SD. Terjadinya pengangguran dan

kecilnya proporsi lulusan PT di angkatan kerja menunjukkan adanya ketidak sesuaian

antara kebutuhan tenaga kerja dengan hasil PT. Pada tahun 1992, jumlah lulusan

sarjana dan diploma sekitar 175.000 orang. Sebagian besar lulusan PT tersebut masih

didominasi bidang ilmu sosial (51%), diikuti bidang ilmu pendidikan (23,5%), bidang

teknik (14%), sedangkan 11,5 sisanya adalah lulusan bidang-bidang ilmu

kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu dasar. Pertanyaan yang timbul sebagai contoh di

bidang teknik adalah sampai berapa besar proporsi lulusan PT perlu ditingkatkan

untuk memenuhi pembangunan industri. Berbagai subsektor menyatakan sukarnya

memperoleh sarjana teknik yang diperlukan untuk memenuhi tingkat pengembangan

industrinya. Pengembangan direncanakan sangat pesat peningkatannya. Sebagai

contoh PLN, BUMN, dll yang pada akhirnya membutuhkan tambahan sarjana teknik

Page 30: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

18

yang diperkirakan tidak akan tersedia cukup banyak sarjana teknik pada saat

dibutuhkan.

Selanjutnya Djojonegoro (1994) menguraikan bahwa ada tiga kecenderungan

besar yang telah dan akan mempengaruhi proses pembangunan nasional, yang

mempunyai implikasi terhadap program pembangunan sumber daya manusia.

Kecenderungan pertama makin dirasakan perlunya orientasi nilai tambah dalam

rangka meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi sebagai

upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan.

Kecenderungan kedua transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri,

yang ditandai oleh berbagai perubahan fisik, pranata sosial dan pergeseran sistem

nilai. Kecenderungan ketiga adalah proses globalisasi yang penuh tantangan bagi

bangsa Indonesia. Negara yang unggul dalam bidang ekonomi serta bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi yang akan dapat mengambil manfaat besar dari

globalisasi.

Sebagai ilustrasi misalnya, perlu ditinjau kembali seberapa jauh program dan

jurusan yang ada relevan dengan kebutuhan pembangunan dalam arti bahwa tenaga

yang dihasilkan dapat diserap oleh kegiatan perekonomian dan pembangunan, sejauh

mana penelitian yang dilakukan dapat memberi manfaat langsung pada

pembangunan, khususnya yang menyangkut perkembangan ekonomi daerah atau

wilayah setempat, dan sejauh mana program pengabdian masyarakat telah

menumbuhkan kepekaan sivitas akademik perguruan tinggi terhadap permasalahan

sosial-eknomi, seperti upaya pengentasan kemiskinan, pemberantasan buta huruf,

bantuan kepada sektor informal serta pengusaha kecil dan menengah.

Page 31: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

19

Dari uraian di atas, dan selaras dengan model Levin (1976) maupun berbagai

penjelasan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, khususnya menyangkut pendidikan tinggi menunjukkan betapa

pentingnya pemecahan masalah relevansi hasil pendidikan tinggi dengan

pembangunan.

Dengan mengetahui ketidaksesuaian antara hasil pendidikan dengan

kebutuhan pembangunan dan berbagai proses pendidikan yang mengoptimalkan

derajat relevansi lebih lanjut melalui perencanaan pengembangan SDM dengan

mengkaitkan (link) proses pendidikan dan disepadankan (match) dengan kebutuhan

pembangunan dapat dirancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan

teknik instruksional (Miarso, 1989 p. 113; Holloway, 1984 p.2). Dengan perkataan

lain teknologi pendidikan ialah usaha memudahkan kegiatan belajar melalui

identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pembangunan secara sistematis

segala sumber belajar termasuk pengelolaannya (Miarso 1989: p.11), maka tujuan

kebijakan relevansi dapat dicapai secara optimal.

Secara khusus pada pendidikan tinggi, masalah link and match antara jurusan

pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni merupakan bidang kajian yang sangat

penting agar bukan hanya masalah relevansi, tetapi juga menyangkut kebijakan

lainnya ialah kualitas, efisiensi, dan pemerataannya.

Penelitian ini secara khusus akan menganalisis relevansi atau link and match antara

jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Penelitian

dilakukan pada periode PJP I, dengan menggunakan data-tape sensus penduduk tahun

1990 (SP80) dan sensus penduduk tahun 1990 (SP90) dengan segala keterbatasannya.

Page 32: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

20

C. Pembatasan Masalah

Prioritas kebijakan pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia adalah

relevansi antara hasil pendidikan tinggi dengan berbagai kebutuhan (pribadi/individu,

keluarga, bangsa dan masyarakat, dunia kerja/usaha), khususnya kebutuhan dunia

kerja/usaha.

Masalah kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dan jabatan pekerjaan

(BPS dan Depnaker, 1982) yang ditekuni senantiasa dijumpai di berbagai kelompok

masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan secara khusus antara lain, adalah

proyek P2I (Bappenas-Depnaker-Depdikbud-BPS, 1991), Mistmatch Between

Occupation & Education (RDCMI-YTKI dan ILO-ARTEP, 1989), dan beberapa

studi penelusuran (tracer study) yang pernah dilakukan tentang Studi Pelacakan

Lulusan Perguruan Tinggi (LD-FEUI, 1985). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan

pada kelompok tertentu dan di propinsi tertentu. Metode pengumpulan datanya

menggunakan survei, pada populasi tertentu.

Penelitian ini menganalisis secara nasional tentang relevansi atau link and

match atau kesesuaian antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni.

Karena hasil penelitian dirancang untuk memberikan masukan bagi para perencana

dalam merancang bagaimana (teknologi pendidikan) mengatasi masalah

ketidaksesuaian atau mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang

ditekuni, pada antisipasi PJP II, maka penekanan penelitian ini pada pengukuran

mismatch atau kesenjangan.

Page 33: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

21

Penelitian kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada PJP I,

menggunakan data SP80 dan SP90. Kemudian spesifikasi pengukurannya dilakukan

kepada:

i) penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang S1, dengan

ii) jurusan pendidikan yang ditamatkan menurut klasifikasi International

Classification of Education (ISCED),

iii) jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dan

iv) lapangan pekerjaan menurut klasifikasi lapangan Usaha Indonesia (KLUI)

D. Perumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

i) Bagaimana perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan

pekerjaan yang ditekuni) antara kelompok jurusan, demikian juga antara

kelompok jabatan?

ii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan

antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?

iii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara

hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?

iv) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara

hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?

v) Bagaimana kesenjangan yang ada menurut berbagai dimensi: ekonomi,

demogrfi, dan sosial? Atau bagaimana secara multivariat asosiasi/pengaruh

Page 34: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

22

faktor ekonomi, demografi, dan sosial, terhadap kesenjangan antara hasil

pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?

vi) Sejauh mana penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan

jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun

1980?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil

pendidikan dan jabatan pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi.

F. Kegunaan Penelitian

Penyajian hasil analisis kesenjangan ini akan berguna sebagai salah satu

masukan bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan program pendidikan nasional,

baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

Page 35: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis

1. Kebijakan Relevansi (Link and Match)

Sejak tahun 1950 terjadi perkembangan pendidikan yang pesat di negara-

negara berkembang, maka sebagai akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat tinggi

antara lulusan dan kesempatan kerja. Sejak itu pengelolaan pendidikan dianggap turut

bertanggung ajwab atas makin bertambahnya tenaga berpendidikan yang

menganggur. Kemudian para perencanaan pendidikan menekuni “ pendekatan tenaga

kerja” di integrasikan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, empat kebijaksanaan pokok

pembangunan pendidikan nasional ialah pemerataan kesempatan pendidikan,

relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan, dan efisiensi

pengelolaan pendidikan. Kebijaksanaan ini kemudian diturunkan kedalam bentuk

strategi pokok pembangunan pendidikan nasional di bidang pendidikan dengan

peningkatan empat butir kebijaksanaan tersebut di atas. Depdikbud (1994)

menjelaskan bagaimana strategi pokok ini secara umum agar dapat dicapai secara

optimal. Keempat strategi di atas akan ditingkatkan dengan penjelasan berikut.

Strategi pertama peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan bertujuan

untuk menciptakan keadaan agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama

untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan ini tidak dibedakan menurut jenis

Page 36: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

24

kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Kebijakan pemerataan

dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang

asal usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan pada

semua jenis, jenjang, maupun jalur pendidikan, sehingga diharapkan bahwa keadilan

di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.

Strategi kedua, meningkatkan relevansi pendidikan dengan pembangunan,

dimaksudkan agar proses dan hasil pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan

industrialisasi akan tenaga terampil dan ahli. Dalam rangka meningkatkan relevansi

antara pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, pemerintah mengeluarkan

kebijaksanaan Link and Match. Melalui kebijaksanaan ini perlu diperkuat keterikatan

antara pendidikan dan industri atau dunia usaha dalam perencanaan, pelaksanaan,

penilaian, dan sertifikasi pendidikan dan pelatihan kejujuran yang relevan dengan

kebutuhan ekonomi. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan supaya

keluaran pendidikan sepadan dengan kebutuhan berbagai sektor pembangunan akan

tenaga ahli dan terampil sesuai dengan jumlah, mutu, dan sebarannya. Secara khusus,

arah yang dituju oleh kebijakan link and match adalah menciptakan keadaan yang

menunjang agar program pendidikan selaras dengan kebutuhan industri dan dunia

usaha akan tenaga terampil dan ahli yang terus berubah dan berkembang setiap saat.

Strategi ketiga ialah peningkatan kualitas pendidikan menunjuk pada kualitas proses

dan hasil pendidikan. Suatu sistem pendidikan dikatakan bermutu dari segi proses

jika proses belajar-mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami

proses pembelajaran yang bermakna dan ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana,

sarana, prasarana) yang memadai. Proses pendidikan yang berkualitas akan

Page 37: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

25

membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Oleh

sebab itu, intervensi sistematis perlu diberikan terhadap input, proses, dan sistem

ujiannya, sehingga akan dapat memberikan jaminan terciptanya kualitas hasil yang

tinggi.

Strategi keempat ialah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Efisiensi

dapat dicapai jika sistem pendidikan dapat mencapai sasarannya secara efektif. Untuk

mencapai efektivitas pengelolaan sistem faktor penunjangnya seperti profesionalisme

dalam manajemen nasional sistem pendidikan yang didalamnya terkandung disiplin,

kesetiaan, keahlian, etos kerja, dan efektivitas biaya. Implikasinya, untuk

meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan kebijakan yang memungkinkan

terwujudnya efektivitas dengan pengerahan sumber-sumber daya yang relatif kecil

akan tetapi dimanfaatkan secara optimal, sehingga dapat menghasilkan keluaran yang

optimal pula.

Secara khusus strategi dasar implementasi peningkatan relevansi atau link and

match melalui lima butir ialah:

a. Pemenuhan kebutuhan individu peserta didik dan tenaga kerja.

b. Penguatan program pendidikan kejuruan menengah dan tinggi melalui magang,

PPL, praktek di dunia usaha/industri.

c. Penguatan pendidikan ketrampilan sebagai bagian integral dari kurikulum SLTP.

d. Peningkatan program ketrampilan di luar sekolah melalui kejar paket B dan

pemanfaatan BLK/KLK bekerjasama dengan Depnaker.

e. Penguatan program pendidikan profesional di perguruan tinggi (Diploma dan

Politeknik)

Page 38: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

26

Gambar 2.1 Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia

EKONOMI

POLITIK

TEKNOLOGI

SUSBUD

TUJUAN PEMBANGUNAN

NASIONAL (GBHN)

Landasan Teori PENDIDIKAN DALAM PSDM

ANALISIS KEBIJAKAN DALAM

PENDIDIKAN

Strategi Pendidikan Dalam

P S D M

Sumber: Djojonegoro, W dan Suryani, A, (1994). Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia untuk Pembangunan: Analisis Relevansi Pendidikan dengan kebutuhan Pembangunan Menyongsong Era Teknologi dan Industri. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud. p. 39.

Di Indonesia, konsep relevansi secara umum yang telah disepakati secara

nasional, dicantumkan di dalam GBHN, dan di berbagai dokumen kebijakan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djojonegoro dan Suryadi (1994) juga

menuangkan alur pikir pendidikan dan pembangunan dalam rangka pengembangan

sumber daya manusia, sebagaimana pada Gambar 2.1 di bawah ini. Analisis

kebijakan dalam pendidikan harus mempertimbangkan berbagai landasan teori

Page 39: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

27

PSDM, dan memperhitungkan berbagai masukan dari dunia ekonomi, politik, sosial-

budaya, dan teknologi, serta berpegang kepada tujuan pembangunan nasional

termasuk tujuan pendidikan. Baru kemudian diturunkan berbagai strategi untuk

dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut. Kebijakan pendidikan

pada Pelita VI mencakup empat aspek sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu,

ialah pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan

pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi pengelolaan. Penelitian menggali

informasi dan menganalisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan

yang ditekuni kaitannya dengan faktor eksternal yang mempengaruhi, ialah ekonomi,

demografi, dan sosial. Hal ini merupakan sub-bagian dari konsep relevansi atau

korespondensi Levin (1976), maupun sub bagian dari kotak analisis kebijakan dalam

pendidikan yang dalam kerangka pikir yang diajukan oleh Djojonegoro dan Suryadi

(1995) di atas.

Beberapa negara menggunakan pendekatan ini dengan maksud untuk

meningkatkan kesesuaian antara jumlah lulusan berbagai jenis dan tingkat pendidikan

dengan kebutuhan dan daya serap pasar kerja. Pada awal 1980-an Enoch menjelaskan

bahwa di Indonesia masalah pengangguran merupakan masalah yang serius antara

lain disebabkan masih rendahnya kualifikasi tenaga kerja yang terdaftar di Bursa

Tenaga Kerja.

Pada Pelita VI ini, kebijaksanaan pada jenjang pendidikan tinggi

diprioritaskan pada relevansi pendidikan dengan pembangunan. Relevansi pada

hakekatnya adalah link and match. Adapun strategi (Dirjen Dikti, 1994)

operasinalisasi Link and Match di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:

Page 40: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

28

a. Meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja, dunia usaha dan industri.

b. Memperkuat kerja praktek lapangan,kuliah kerja dan magang, sesuai dengan

bidang studinya.

c. Meningkatkan jumlah mahasiswa yang mempelajari sains dan teknologi sampai

sekitar 25 persen dari seluruh populasi mahasiswa.

d. Memperkuat sarana dan prasarana dan tenaga baik untuk program akademik

maupun profesional.

World Bank (1994) juga mengajukan strategi operasional pada reformasi

pendidikan tinggi sebagai berikut:

a. Mendorong pengembangan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga-

lembaga swasta.

b. Mendorong lembaga-lembaga pendidikan negeri dalam pengadaan

penganekaragaman sumber dana, termasuk cost-sharing dengan para mahasiswa,

dan mengaitkan sumber dana pemerintah bagi pengembangan sarana peningkatan

mutu.

c. Mengkaji ulang peran pemerintah pada pendidikan tinggi.

d. Mengenalkan kebijakan yang terencana pada berbagai prioritas pengembangan

kualitas dan pemerataan pendidikan.

Dalam perencanaan pendidikan Indonesia senantiasa telah memperhatikan

masalah relevansi, khususnya yang berkaitan dengan masalah jumlah lulusan sebagai

penyediaan tenaga kerja. Kerjasama dengan instansi terkait terutama Depnaker dan

Bappenas juga dilakukan dalam upaya analisis kebutuhan tenaga kerja untuk semua

Page 41: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

29

jenis pekerjaan kaitannya dengan berbagai tambahan/ penyediaan tenaga kerja

sebagai hasil proses pendidikan. Sebagai ilustrasi di bawah ini disajikan Tabel 2.1

tentang proyeksi hasil pendidikan tinggi.

Sebagai perbandingan komposisi lulusan pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun

1994, serta proyeksinya pada akhir tahun 1998, dan 2018 disajikan pada Tabel 2.1

menurut jurusan pendidikan.

Tabel 2.1 Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi tahun 1994

Dan Proyeksinya tahun 1998 dan 2018 Menurut kelompok Jurusan

Jurusan 1994 1998 2018 Sosial 73 60 30 IPA + Lainnya 14 15 25 Teknik 13 25 45 Sumber: Ditjen DIKTI. (1995). Bahan Sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. p.3

Pada tahun 1994, keadaan lulusan perguruan tinggi bidang studi sosial 73

persen, teknik ada 14 persen, dan IPA 13 persen. Diproyeksikan pada tahun 1998

komposisi lulusan pendidikan tinggi untuk jurusan sosial 60 persen, teknik 25 persen

dan IPA 15 persen, dan pada tahun 2018 menjadi sosial 30 persen, teknik 45 persen,

dan IPA 25 persen.

Depdikbud (1994) membuat proyeksi persediaan dan kebutuhan (supply dan

demand) lulusan SO dan S1 menurut bidang studi, selama Pelita VI diproyeksikan

dan Pelita VII bahwa bidang studi teknik dan IPA kurang, sedang jurusan IPS

surplus.

Page 42: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

30

Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a, 1988/89b) melalui berbagai

studi, seperti yang dilakukan oleh Robertson (1991), juga Balitbang-Depdikbud

(1992), Boediono, MsMohan, dan Adams (Ed) (1992) membahas berbagai hal yang

berkaitan dengan evaluasi dan perencanaan pendidikan di Indonesia, termasuk di

dalamnya pendidikan tinggi. Penelitian tersebut yang sekarang telah menjadi

dokumen penting di Bappenas, mencantumkan proyeksi lulusan SO+S1+S2+S3

hingga Pelita X atau akhir tahun 2018. Selanjutnya diproyeksikan lulusan menurut

jurusan pendidikan, jenjang, dan menurut PTN dan PTS. Kebutuhan tenaga

profesional dan teknisi hingga akhir Pelita X juga diproyeksikan.

Tabel 2.2 Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN dan PTS

(Ribu Orang) Repelita Repelita Repelita Repelita Repelita Repelita Program V VI VII VIII IX X 1. Lulusan SO: 521.1 744 969.3 1.196 1.424 1.652

- PTN 169.8 229.5 289.8 349.8 410.1 470.7 - PTS 316.8 427.8 540.3 652.5 765.0 877.5 - Politeknik 34.5 86.7 139.2 194.1 249.0 304.2

2. Lulusan S1 821.7 1,314.0 1,807.8 2,306.7 2,805.0 3,303.6 - PTN 439.2 702.3 966.0 1,232.4 1,498.8 1,765.2 - PTS 382.5 611.7 841.8 1,074.3 1,306.2 1,538.4

3. Lulusan S2 + S3 20.4 55.2 83.1 110.4 138.0 165.6 4. TOTAL 1,369.2 2,113.2 2,860.2 3,613.5 4,367.1 5,121.6

Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities

Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of Indonesia-World Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas.

Page 43: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

31

Tabel 2.2 Kebutuhan Tambahan Tenaga So ke atas

Repelita: V- X 1988-93 1993-98 1998-2003 2003-2008 2008-2013 2013-2018 (R V) (R VI) (R VII) (RVIII) (R IX) (R X) 1. Pertanian 7,479 11,960 12,714 15,912 19,276 22,022 2. Penggalian (68) 412 1,591 1,664 1,777 1,489 3. Konstruksi 18,307 28,751 37,467 50,206 68,201 83,932 4. Industri 195,659 305,243 29,511 370,183 497,564 658,204 5. Transportasi 61,247 71,681 68,719 71,939 75,103 123,797

& Komunikasi 6. PU 19,994 35,450 36,608 54,477 49,404 75,713 7. Perdagangan 164,101 198,487 324,514 386,105 548,223 732,310 8. Lembaga 33,577 47,664 51,358 61,552 72,498 66,896

Keuangan 9. Jasa 259,855 322,808 323,353 364,410 415,857 527,832 10. Total 717,781 940,392 1,110,571 1,373,536 1,818,226 2,414,320 Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities

Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of Indonesia-World Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas. (p.11).

Proyeksi kebutuhan menurut sembilan sektor pembangunan. Proyeksi

kebutuhan didasarkan atas berbagai kajian baik dari sisi luaran pendidikan sekolah

menurut jenjang tertentu yang tidak melanjutkan sekolahnya, yang drop-out, maupun

dari luaran sistem lainnya yang masuk angkatan kerja seperti luaran berbagai latihan,

maupun luaran dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kemudian dari angka tersebut

secara khusus bagi tenaga kerja profesional dan teknisi yang kebanyakan dari luaran

pendidikan tinggi (Akademi ke atas) oleh Robertson (1991) dilakukan analisis suplai

dan kebutuhannya. Robertson mendapatkan gambaran pada PJP II tentang suplai dan

kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi (Akademi ke atas) sebagai berikut:

Page 44: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

32

Insinyur (Engineers) : kurang Teknisi (Engineering Technicians) : kurang Kedokteran dan Tenaga Medis (Medical and Healtd Occ) : kurang Hakim (Lawyers) : surplus Akuntan (Accountans) : surplus Guru (Teachers) : surplus Ekonomi/Administrasi/Manajemen (Economics/Adm/Mgt) : surplus IPA (Scientists) : surplus

Di sisi lain Balitbang Depdikbud Boediono dkk (1992) termasuk konsultan

asing juga melakukan studi berbagai masalah pendidikan serta proyeksi-proyeksi

tentang enrollment, biaya, kebutuhan tenaga pendidikan, dan lain-lain hingga periode

PJP II. Berbagai proyeksi ini termasuk luaran pendidikan tinggi. Luaran oendidikan

ini juga diintegrasikan dengan berbagai kajian pengembangan sumber daya manusia

(PSDM) yang diprakarsai BAPPENAS.

Para pakar, antara lain Apps (1988), Enoch (1992), Levin (1976), Pongtuluran

(1989), dan Watson (1990) telah mengajukan buah pikirannya berupa model-model

implementasi relevansi atau korespondensi antara pendidikan tinggi dengan dunia

kerja, sebagai berikut.

Apps (1988) juga menjelaskan bahwa tatanan sosial memberikan pengaruh

kepada dunia pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

sumber daya manusia, atau sebaliknya pada gilirannya dunia pendidikan juga

memberikan pengaruh kepada akselerasi perubahan sosial. Dijelaskan tatanan sosial

ini mencakup tren kependudukan yang mengarah kepada kelompok umur tua makin

banyak (silinder komposisinya), berubahnya situasi agraris ke industri, kemudian

industri ke jasa dan informasi, teknologi dan globalisasi. Hal ini berarti makin

dibutuhkan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan yang mengarah kepada profesional.

Page 45: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

33

Hal ini berarti makin diperlakukannya relevansi kebutuhan dengan proses

pendidikan, khususnya pendidikan profesional.

Enoch (1992) membahas tentang hubungan (relevansi) dunia pendidikan dan

sosial-ekonomi, pengembangan sumber daya manusia khususnya lapangan pekerjaan.

Dijelaskan bahwa pendidikan dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi.

Pendidikan dipengaruhi oleh masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap dunia

pendidikan, baik perencanaan maupun implementasinya. Begitu pula sebaliknya,

melalui proses pendidikan memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pendidikan,

akal, budi pekerti kepada peserta didik yang langsung atau tidak langsung

menentukan jenis pekerjaannya di kemudian hari: profesinya akan menempatkan dia

pada tingkat sosial tertentu dan mempengaruhi perkembangan seterusnya.

Levin (1976) mengajukan suatu konsep bagaimana prinsip korespondensi

antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang sama dengan konsep relevansi atau link

and match secara sederhana disajikan dalam Tabel 2.4 di bawah ini.

Page 46: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

34

Tabel 2.4 Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan

Reformasi dua jenis Dunia Kerja

Work Reform

Emphasis on Emphasis on Individuality Participations 1. Educational 1. Team teaching technology 2. Differentiaced staffing 2. Mastery learning Educational Reform 3. Felxible modular 3. Desegregation sheduling 4. Open schooling 4. Micro political change 5. Educational vouchers 5. Community control 6. Deschooling 6. Factory-run school Sumber: Levin, H.M. (1976) A Taxonomy of Educational Reforma for Changes in the Nature Work. Dalam

M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limites of Educational Reform. New York David McKay Company. Inc. p. 109.

Tabel di atas menunjukkan kaitan antara reformasi pendidikan dengan dua jenis

reformasi dunia kerja, ialah penekanan pada individu dan penekanan pada kerja bersama

dan partisipasi. Selanjutnya Levin (1976) menjelaskan sebagai berikut:

The educational reforms that are consisten with these two types of work reforms,

those that correspond to a greater emphasis on worker individuality and those that focus

on greater worker participation and cooperation. Among the educational modifications

that would appear to be cinsistent with the first type of work reform are the uses of

educational modifications that would appear to be consistens with the first type of work

reform are the uses of educational technology, particularly those that permit the student to

proceed at his own pace and at his own convenience such as audio-cassettes, programmed,

instruction, and computer-assisted instruction, differential staffing and flexible modular

scheduling with their emphasis on individualization of instruction, open schools with their

focus on diversity and choice of activities, and both vouchers and deschooling with their

orientations toward alternative school and learning environments.

Page 47: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

35

Work reforms that emphasis greater cooperation and participation would be

consistent with the adoption of team teaching where adults are expected to cooperate in

the instructional process; mastery learning with its concern for equalizing skill levels and

guaranteeing that all students meet mastery requirements; desegregation of school with its

attempt to improve human relationships among races and social classes; micro political

reforms that would increase the participation of students and teachers in the instructional

process; community control with its stress on governance and control of school by the

community training in teamwork, sharing, and cooperation as part of the work enterprise

(pp.130).

Hal ini menunjukkan bahwa Levin (1976) menjelaskan bagaimana keterkaitan

antara relevansi atau korespondensi antara dunia pendidikan dan dunia kerja, harus

berjalan secara simultan. Artinya apabila disisi dunia pendidikan melalukan reformasi, agar

dunia kerja bisa diakomodasi, maka dunia kerja juga melakukan reformasi atau sebaliknya.

Dengan meningkatkan relevansi berarti mengurangi kesenjangan antara dunia pendidikan

dan dunia kerja.

Watson (1990) menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan tinggi dalam hal ini

politeknik mempunyai relevansi dengan penyiapan tenaga kerja menurut jabatan yang

dibutuhkan. Dalam hal ini dikatakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang

tenaga teknisi, bisnis, IPA, dan kebutuhan tenaga profesional lainnya.

Pongtuluran (1989) menekankan betapa pentingnya layanan utama bagi peserta

didik sebagai input utama dengan memperhatikan input sumberdaya, lingkungan dengan

memperhitungkan (merelevansikan) masukan dari dunia kerja dan lulusan itu sendiri dalam

proses belajar mengajar, pada berbagai tingkat pendidikan. Input utama dalam proses

belajar mengajar di semua jenjang pendidikan adalah (1) peserta didik, kemudian input

Page 48: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

36

yang kedua (1.A) adalah sumber daya termasuk manajemen, mencakup tenaga, kurikulum,

sarana, prasarana, dan dana. Kemudian input yang tiga adalah (1.B) lingkungan baik

material, moral, dan spiritual. Lulusan secara langsung atau tidak langsung memberikan

umpan balik (Feed Back (FB) ), baik yang baru lulus, yang sudah bekerja, atau yang

melanjutkan.

Gambar 2.2

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

PEMERINTAH MASYARAKAT/ FBC ( - )

SWASTA

LINGKUNGAN LINGKUNGAN

FEED BACK (FB)

(1.B) INPUT LINGKUNGAN

Material/Moral/Spiritual

ORANG TUA MASYARAKAT

(1) INPUT UTAMA PESERTA DIDIK

(2) PROSES BELAJAR MENGAJAR

(3) OUT PUT LULUSAN

(4) OUTCOME MELANJUTKAN /

BELAJAR

Tenaga Kurikulum Sarana Prasarana

Dana

(1.A) INPUT SUMBER DAYA M A N A J E M E N

Sumber: Pongtuluran, A. (1989).

Page 49: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

37

2. Uraian teori

Per Dalin (1978) membahas teori perubahan pendidikan; teori fungsional, teori

elektik, dan teori konflik. (1) Teori fungsional diturunkan dari teori Revolusi Darwin.

Perubahan sosial termasuk pendidikan berubah secara evolusi. Teori ini dalam praktek

interaksi/relevansi antara dunia pendidikan dan pembangunan menurunkan berbagai sub-

sub teori seperti: contingency theories, human capital theory, and structural-functional

theory. (2)Teori elektik diturunkan dari dunia psychotherapeuthic merupakan teori

perubahan sosial termasuk pendidikan berdasarkan perubahan dalam human personality.

(3) Kemudian teori konflik didasarkan atas konflik sosial-ekonomi yang diturunkan dari

teori Marxis dan Neo-Marxis. Dikatakan bahwa perubahan pendidikan hanya bisa

dilakukan melalui revolusi sosial atas pandangan konflik yang didasarkan atas perubahan

ekonomi dan perubahan struktur sosial.

Namun diuraikan bahwa perubahan pendidikan merupakan proses kompleks yang

tidak dapat dijelaskan hanya oleh satu teori. Per Dalin menguraikan tentang model dari

perubahan pendidikan: the problem solving model. The social interaction model, the

research, delelopment and diffusion model (Rd and D), dan the lingkage model. Pada

prinsipnya teori dan model perubahan pendidikan dijelaskan baik langsung maupun tidak

langsung mempunyai kaitan atau ketergantungan dengan perubahan eksternal yang

dijelaskan dengan perubahan sosial-ekonomi, atau pada bahasan sebelumnya adalah

berkaitan dengan pembangunan. Bahkan sebenarnya antara perubahan pendidikan dan

perubahan sosial-ekonomi (pembangunan) terdapat keterkaitan yang bersifat timbal balik.

Low, Heng, dan Wong (1992) menguraikan pendekatan sub teori fungsional yang

biasa dipergunakan dalam perencanaan pendidikan, ialah teori human capital formation

Page 50: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

38

yang mencakup berbagai pendekatan: social demand approach, manpower requirements

approach, Rate of return approach, dan optimum allocation of resources approach.

Khususnya teori social demand approach maupun teori manpower requirements approach

memasukkan kebutuhan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan tertentu, yang oleh dunia

pendidikan dilakukan sebagai rektor eksternal yang diperhitungkan dalam perencanaan

pendidikan. Artinya teori-teori ini juga menunjukkan faktor eksternal yang mempengaruhi

dunia pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja. Dijumpai secara empiris bahwa pada

tahun 1970-an hingga awal 1980-an menunjukkan kaitan antara dunia pendidikan dengan.

Perencanaan kebutuhan tenaga kerja dan pasar kerja secara cocok hingga jenjang SLTA.

Untuk jenjang pendidikan tinggi dari sisi proyeksi kebutuhannya dijumpai banyak

menyimpang. Hal ini terjadi di negara-negara Afrika. Psacharopoulos (1986) menjelaskan

masalah ini, karena empat situasi yang menyebabkannya. Pertama perubahan berbagai

negara dari agraris ke industri dan jasa; kedua rasio tenaga kerja terdidik dengan tidak

terdidik meningkat tajam terutama sejak tahun 1960-an; ketiga rasio pendapatan bagi

tenaga terdidik dengan tidak terdidik menurun drastis; keempat biaya pendidikan terserap

pada jenjang pendidikan tingkat dasar dan menengah; sehingga pada jenjang pendidikan

tinggi menjadi relatif sangat kecil.

Enoch (1992) dan Simanjuntak (1986) juga menjelaskan teori-teori yang berkaitan

dengan perencanaan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Teori-teori tersebut adalah (1)

teori neoklasik (orthodoks), (2) teori dualisme lapangan kerja, dan (3) teori produksi yang

radikal dan segmentasi pasar kerja. Teori neoklasik dijelaskan sebagai aplikasi teori

ekonomi pada dunia kerja atas dasar penyediaan dan permintaan. Besarnya penyediaan

atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya

Page 51: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

39

untuk proses produksi. Di antara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya yang

menghasilkan barang dan jasa. Mereka digolongkan bekerja. Sebagian lain tergolong yang

siap bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini disebut pencari kerja atau

penganggur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja atau labour

force. Jumlah orang bekerja tergantung permintaan atau demand dalam masyarakat.

Permintaan tersebut dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan upah. Kemudian proses

terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui penyediaan dan permintaan tenaga

kerja yang melalui penyediaan dan permintaan tenaga kerja yang dinamakan pasar kerja.

Seorang dalam pasar kerja berarti dia menawarkan jasanya untuk produksi, apakah dia

sedang bekerja atau mencari pekerjaan. Besarnya penempatan (jumlah orang yang bekerja)

di pengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan tersebut. Selanjutnya,

besarnya penyediaan dan permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah. Dalam

ekonomi neoklasik diasumsikan bahwa penyediaan atau penawaran tenaga kerja akan

bertambah bila tingkat upah bertambah. Sebaliknya permintaan terhadap tenaga kerja akan

berkurang bila tingkat upah meningkat. Dengan asumsi bahwa semua pihak mempunyai

informasi yang lengkap mengenai pasar kerja, maka teori neoklasik beranggarapan bahwa

jumlah penyediaan tenaga kerja selalu sama dengan permintaan. Dalam hal penyediaan

sama dengan permintaan dinamakan dalam keadaan ekuilibrium. Dalam kenyataan,

keadaan ekuilibrium itu tidak pernah dicapai karena informasi memang tidak pernah

sempurna dan hambatan-hambatan institusional selalu ada. Kaitannya dengan dunia

pendidikan, maka hasil dari proses pendidikan merupakan supply tenaga kerja, sedangkan

proses pembangunan merupakan pencipta lapangan pekerjaan atau demand tenaga kerja.

Page 52: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

40

Teori dualisme atas asumsi modern dan tradisional. Sektor modern menggunakan

teknologi, sehingga membutuhkan tenaga kerja sedikit, kemudian sektor tradisional

menggunakan alat sederhana sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dikatakan

bahwa di sini dunia pendidikan memainkan dua peran ialah: pertama pekerja terdidik lebih

mudah dilatih, dan mudah diberikan penugasan pada sektor modern. Kedua dikatakan

bahwa memperpanjang waktu pendidikan mempunyai korelasi kecil terhadap jumlah

pekerjaan yang tersedia atau produktivitas pekerja sektor modern, karena pendidikan

sendiri tidak menciptakan lapangan pekerjaan.

Teori yang radikal dan segmentasi pasaran kerja mengasumsikan bahwa hubungan

sosial merupakan faktor utama, bukan harga (upah) ataupun teknologi. Jadi jika orang

berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan

sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan

tinggi, bukan oda ciri-ciri pekerja yang melakukan tugas tersebut. Jadi jika terjadi orang

berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan

sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan

tinggi, sehingga relevansi pendidikan bisa di implementasikan.

Teori diatas mendudukung konsep relevansi atau link and match antara dunia

pendidikan dan pembangunan. Dalam proses belajar-mengajar, peran teknologi pendidikan

juga memperhatikan faktor-faktor eksternal dalam merancang sistem pembelajarannya.

Faktor-faktor eksternal ini diantaranya adalah faktor demand atau kebutuhan pembangunan

termasuk tenaga kerja tersebut di atas. Maka peran teknologi pendidikan antara lain adalah

mendinamisasi sistem pembelajaran dengan mempertimbangkan faktor eksternal tersebut.

Perubahan yang terjadi pada dunia pembangunan pada gilirannya memberikan penyerasian

Page 53: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

41

pada sistem pembelajaran yang dilakukan secara dinamis. Holloway (1984), diperkuat oleh

Miarso (1988), yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah bagaimana

pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Hal ini dicirikan dengan (1) memadukan

berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa dan

lain-lain, (2) memecahkan masalah secara serempak dan menyeluruh, (3) digunakan

teknologi sebagai proses, dan (4) timbulnya daya lipat atau sinergis.

Implementasi relevansi atau keterkaitan ini oleh menteri pendidikan Djojonegoro

(1994j) dijadikan landasan bagi lembaga pendidikan tinggi dalam mendirikan atau

membuka jurusan-jurusan agar memperhatikan tiga faktor: Aspirasi masyarakat, kebutuhan

tenaga kerja dari dunia usaha, dan kemampuan lembaga untuk menyelenggarakannya.

Kemudian konsep keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) antara persediaan dan

kebutuhan tenaga kerja perlu dijadikan dasar untuk mengembangkan program-program di

perguruan tinggi di Indonesia. Pada PJP II, jenis-jenis pekerjaan dalam era teknologi akan

mengakibatkan kebutuhan pada pekerja yang lebih mengandalkan kemampuan intelektual,

kebutuhan pada pekerja yang lebih kreatif, kebutuhan pada pekerja yang mampu

menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan pada pekerjaan yang mampu

mengolah dan mendayagunakan informasi.

Implikasi dari tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya di bidang

peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah penguasaan IPTEK. Oleh karenanya

kiprah mahasiswa dalam proses belajar di perguruan tinggi maupun melalui pengalaman

(experimental learning) termasuk dalam berorganisasi, pada dasarnya merupakan wujud

dari tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, di samping untuk

kepentingan setiap pribadi mahasiswa. Dalam mewujudkan peran serta dan tanggung

Page 54: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

42

jawabnya itu secara optimal, tugas utama mahasiswa adalah belajar sebaik-baiknya dengan

tuntutan tugas-tugas belajar (learning taks) di perguruan tinggi, sehingga diperoleh

wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap-sikap/nilai-nilai yang fungsional bagi

kehidupan di masa kini dan masa depan. Namun agar lebih lengkap, para, mahasiswa juga

diharapkan untuk memanfaatkan wahana-wahana kegiatan ekstra dan ko-kurikuler, baik

dalam pengembangan berpikir, kecendikiaan yang menyangkut kepekaan sosial, maupun

penguasaan IPTEK.

3. Kesenjangan atau Mismatch

Hauser (1974) menjelaskan masalah kesenjangan antara jurusan pendidikan dan

jabatan pekerjaan melalui evolusi pendekatan pengukuran tenaga kerja labour utilization

approach. Namun konsep ini pada waktu itu hanya menyarankan apakah seseorang dengan

jenjang pendidikannya sudah bekerja sesuai dengan kemampuannya atau belum. Kalau

seseorang tersebut ternyata bekerja di bawah kemampuannya dikatakan mismatch.

Kelompok ini dalam pendekatan labour utilization approach dimasukkan pada kelompok

tidak bekerja penuh (utilized inadequately). Secara historis, pengukuran penduduk yang

bekerja pada awalnya di Amerika dilakukan dengan pendekatan gainful worker approach,

kemudian mulai sensus penduduk tahun 1970 dilakukan dengan labour force approach,

dan pada akhirnya hingga sekarang menggunakan labour utilization approach. Pendekatan

gainful worker merupakan pendekatan yang pertama dengan pengakuan responden akan

kegiatannya. Pendekatan labour force approach merupakan modifikasi dari gainful

worker dengan menambahkan konsep aktivitas dengan mengukur apakah seseorang

bekerja, atau mencari pekerjaan. Konsep waktu, dipergunakan apakah bekerja minimal satu

Page 55: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

43

jam selama seminggu yang lalu pada hari pencacahan. Pendekatan labour utilization

dengan menambahkan pertanyaan tentang pendidikan dan latihan, pendapatan, dan jumlah

jam bekerja. Pendekatan ini juga mencatat orang yang tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi

mau menerima pekerjaan jika ada lowongan. Pendekatan ini disarankan untuk menyajikan

data total angkatan kerja, terdiri dari bekerja penuh (utulized adequately) dan tidak bekerja

penuh (utilized inadequately). Yang tidak bekerja penuh dirinci menurut menganggur,

jumlah jam kerja, tingkat pendapatan, dan mismatch antara pendidikan dan jabatan.

Penelitian kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dengan jabatan pekerjaan

yang ditekuni di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Relevansi secara teoritis hasil

pendidikan sebagai suplai tenaga kerja diharapkan sesuai dengan permintaan atau

ketersediaan jabatan pekerjaan yang ada. Pembangunan di sektor ekonomi mempunyai

implikasi terhadap permintaan tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi ketrampilan

tertentu.

Perkembangan pembangunan yang mengarah kepada industrialisasi pada jangka

panjang kedua memerlukan tenaga kerja yang mempunyai berbagai ketrampilan dan

keahlian.

Sehubungan dengan itu, berbagai jenis pendidikan kejuruan dan keahlian termasuk

politeknik harus diperluas dan ditingkatkan mutunya. Selanjutnya kerjasama antara dunia

pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga yang cakap dan

terampil menjadi sangat utama (GHBN, 1993).

Hal ini berarti bahwa walaupun tujuan akhir dari pendidikan nasional merupakan

tujuan yang sangat ideal, namun tujuan antara perlu dicapai sesuai dengan kebutuhan

pembangunan. Kecocokan hasil pendidikan dengan jabatan pekerjaan yang tersedia

Page 56: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

44

merupakan salah satu tujuan antara yang dimaksudkan. Jadi secara sistem pendidikan di

Indonesia akan memberikan luaran secara khusus menurut jurusannya sesuai (match)

dengan jabatan yang dibutuhkan di lapangan. Secara ideal harus tercapai hingga 100

persen. Kesenjangan yang terjadi dapat diberikan toleransi yang wajar, sedemikian rupa

hingga percepatan pemenuhan kebutuhan berbagai jabatan pekerjaan dapat dipenuhi.

Kebutuhan tersebut sesuai dengan proyeksi-proyeksi tenaga kerja pada PJP II.

B. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang kesenjangan antara hasil pendidikan dan jabtan pekerjaan ini

merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai masukan dalam perencanaan

pembangunan sumber daya manusia.

Dalam literatur yang didapatkan melalui jasa information Section UNESCO ada

delapan hasil penelitian yang membahas secara umum masalah mismatching between

education and occupation. Penelitian tersebut membahas tentang kebijaksanaan mereduksi

kesenjangan yang ada di India pada kasus migrasi (Oommen, 1989); dan kesenjangan

antara pendidikan dan lapangan pekerjaan yang tersedia bagi tenaga yang mempunyai

pendidikan lebih tinggi secara makro (Jones, 1988). Selanjutnya Jones membahas tentang

keuntungan-keutungan hubungan penanganan pendidikan di negara-negara Asia dengan

Australia. Kasarda dan Friedrichs (19875) juga membahas tentang perbandingan

kesenjangan pendidikan dan tenaga kerja di daerah perkotaan di Jerman dan di Amerika.

Pembahasan juga secara makro yang menunjukkan bahwa adanya kelonggaran keberadaan

kegiatan pabrik-pabrik yang mempekerjakan blue-collar ke pembatasan-pembatasan

kegiatan pabrik-pabrik yang mempunyai implikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang

Page 57: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

45

white-collar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang mempunyai

latar belakang pendidikan yang lebih rendah cenderung tidak dapat mendapatkan

pekerjaan. Oleh karenanya masalah kesenjangan ini menjadi lebih tinggi di kota-kota di

dua negara tersebut, dan bahkan lebih lebar daripada tingkat kesenjangan secara nasional.

Selanjutnya Clogg dan Shockey (1984), juga membahas tentang Mismatch between

occupation and schooling: a prevalence measure, recent trends and demographic analysis

di Amerika.

Metode pengukuran kesenjangan yang dipergunakan hanya membandingkan

proporsi pekerja yang menamatkan pendidikan sekolah tertentu dengan lapangan pekerjaan

tertentu. Berbagai metode pengukuran telah dilakukan, antara lain oleh Clogg dan Shockey

(1984), dengan menanyakan kepada responden apakah pekerjaan yang ditekuni pada saat

ini memang dirasa cocok dengan pendidikan yang diperoleh. Dari jawaban ini kemudian

dilakukan analisis menurut kelompok umur (cohort), dan jenis kelamin. Metode ini

dilakukan untuk mengukur prevalensi. Di samping itu dilakukan pula ukuran alternatif

dengan membandingkan banyaknya tahun sekolah dan jabatan pekerjaan (occupation)

dengan menggunakan ukuran rata-rata ditambah satu standar deviasi sebagai garis ambang

kesenjangan. Misalnya distribusi pekerja di suatu jabatan tertentu katakan manajer ternyata

rata-rata banyaknya tahun belajar/sekolah sama dengan 12,58 tahun dan standar deviasi

sama dengan 2,61 tahun, maka dijumlahkan menjadi 15,40 tahun. Angka ini dibulatkan

menjadi 16 tahun merupakan batas ambang mismatch pada jabatan manajer. Kemudian

dihitung berapa persen manajer yang lama belajar lebih dari 16 tahun, katakan sama

dengan 20,3 persen, maka dikatakan kesenjangan manajer sama dengan (100-20,3) persen

atau 79,7 persen. Begitu seterusnya untuk jabatan-jabatan lainnya. Selanjutnya penelitian

Page 58: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

46

di atas hanya menghitung jumlah tahun belajar dengan jabatan yang ditekuni, tetapi tidak

menghitung bagaimana jurusan yang tamatkan dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya

(Clogg dan Shockye, 1984). Dengan metode ini didapatkan bahwa derajat mismatch di

Amerika tahun 1970 sekitar 92 persen (100-8) dan pada tahun 1980 menjadi 85,8 persen

(100-14,2). Angka ini kemudian bervariasi menurut jenis kelamin, jabatan pekerjaan, dan

kelompok etnis. Notodihardjo (1990) pada tahun 1981 melakukan penelitian tentang:

bidang industri: Pandangan dan harapan mahasiswa lulusan dan pengguna lulusan

perguruan tinggi di Jawa. Penelitian ini menyimpulkan antara lain ditemukan bahwa

dorongan melanjutkan studi di perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang

bersifat sosial-ekonomis, dan diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di

masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan

bekerja secara tetap sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan

tinggi. Kebanyakan juga ingin bekerja di sektor pemerintahan.

C. Kerangka Berfikir

Secara umum banyak sekali faktor-faktor yang turut menentukan terjadinya

kesenjangan antara jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan yang

ditekuni.

Penelitian ini memilih indikator ekonomi, demografi, dan sosial yang dianggap

mempunyai asosiasi dengan kesenjangan yang ada. Kesenjangan ini tiada lain adalah

ketidakcocokan yang terjadi antara jurusan pendidikan yang ditekuni oleh anggota

masyarakat dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya. Faktor demografi, faktor

sosial,dan faktor ekonomi ini mempengaruhi seseorang untuk memilih jurusan dan tingkat

Page 59: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

47

pendidikan. Ketiga faktor tersebut di samping secara langsung mempunyai peran terhadap

terjadinya pilihan pendidikan serta jabatan pekerjaan dapat juga berperan secara tidak

langsung. Peranan faktor demografi secara tidak langsung dapat melalui faktor sosial dan

melalui faktor ekonomi. Begitu pula faktor sosial secara tidak langsung juga melalui faktor

ekonomi. Bahkan diperkirakan ada pengaruh interaksi dari faktor demografis, sosial, dan

ekonomi terhadap kesenjangan tersebut (Gambar 2.3). Kerangka berfikir ini mengikutkan

faktor kelas yang pernah diduduki setelah menamatkan S1, terhadap kesenjangan yang

dialami.

Gambar 2.3

Kerangka Pikir Faktor-faktor yang berasosiasi dengan kesenjangan DEMOGRAFI

SOSIAL

EKONOMI KESENJANGAN

VARIABLE KONTROL

Secara matematis kerangka berfikir ini dapat dituliskan sebagai berikut (Jphnson &

Wichern, 1982, p.269):

Kesenjangan = f (D, S, E)

Dimana: D = Demografi E = Ekonomi S = Sosial

Page 60: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

48

D. Hipotesis

Selanjutnya dari masalah yang ada serta tujuan penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis

yang diajukan dapat dirumuskan sebagai berikut:

i) ada perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan

yang ditekuni) antara kelompok jurusan. Demikian juga antara kelompok jabatan.

ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil

pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, dan

iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil

pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni,

iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan

tinggi dan jabatan yang ditekuni,

v) Secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial, dan ekonomi

terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang

ditekuni,

vi) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan

yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun 1980.

Page 61: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara pendidikan dan

jabatan pekerjaan, yang secara khusus mencakup:

i) Kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi (Institut, Sekolah Tinggi, dan

Universitas) dan jabatan pekerjaan yang ditekuni.

ii) Analisis kesenjangan menurut jurusan pendidikan, menurut jabatan pekerjaan.

iii) Analisis asosiasi faktor ekonomi dengan kesenjangan.

iv) Analisis asosiasi faktor demografi dengan kesenjangan.

v) Analisis asosiasi faktor sosial dengan kesenjangan.

vi) Analisis asosiasi multivariat faktor demografi, sosial, dan ekonomi dengan

kesenjangan.

vii) Analisis penurunan kesenjangan selama periode tahun 1980 sampai tahun 1990.

B. Tempat dan waktu penelitian

Analisis ini dilaksanakan di Indonesia selama tiga tahun ialah 1993-1995.

C. Metode Penelitian.

Metode penelitian yang diuraikan di sini mencakup populasi, data; jenis dan

sumbernya, variabel-variabel yang dipergunakan, dan metode analisis.

Page 62: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

50

Penelitian ini dilakukan atas populasi semua penduduk Indonesia yang menamatkan

jenjang pendidikan terakhir Sarjana atau S1 ke atas. Jadi populasi penelitian ini merupakan

su-populasi dari populasi pada sensus penduduk tahun 1980 (SP80) dan sensus penduduk

tahun 1990 (Sp90). Begitu pula sampel yang dipergunakan adalah sub-sampel dari sampel

SP80 dan sampel SP90.

D. Teknik Pengambilan Contoh

Kegiatan sensus penduduk di Indonseia untuk pencacahan individu dilakukan pada

sampel yang dipilih secara acak di setiap blok sensus lima persen pada SP80, dan di setiap

wilayah pencacahan sekitar lima persen, pada SP90.

Penelitian ini menggunakan unit statistik individu yang mempunyai pendidikan

Sarjana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data SP80 dan SP90. Kegiatan

pengumpulan data sensus ini dilakukan oleh Biro Pusat Statistik dengan dua tahap, pertama

pencacahan lengkap, kemudian pencacahan sampel. Pencacahan lengkap SP80 mencakup

pertanyaan-pertanyaan: hubungan dengan kepala rumahtangga, jenis kelamin, status

sekolah untuk anak usia 7-12 tahun. Adapun pencacahan lengkap SP90 mencakup

pertanyaan-pertanyaan: hubungan kepala rumah tangga, umur, jenis kelamin, dan status

perkawinan (Poedjiastoeti, 1989).

Pengambilan contoh atau sampel dilakukan secara multistage sampling, ialah

dipilih semua propinsi, kemudian di setiap propinsi dipilih semua kabupaten/kotamadya,

disemua kabupaten/kotamadya dipilih semua kecamatan. Kemudian di kecamatan-

kecamatan dipilih secara acak sederhana dipilih beberapa blok sensus, dan terakhir di

setiap blok sensus dipilih secara acak sistimatis rumah tangga. Pencacahan sampel rumah

Page 63: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

51

tangga dipilih secara sampel acak sistematik sederhana (Systematic Random Sampling)

pada blok sensus yang terpilih. Sampel dipilih lima persen dari semua blok sensus yang

ada pada SP80 dan lima persen dari setiap wilayah pencacahan pada SP90 (Poedjiastoeti,

1989). Data SP80 telah tersedia, baik dalam bentuk publikasi maupun dalam bentuk media

tape. Data SP80 yang tersedia dalam media tape dapat diketahui dalam buku Penjelasan

Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1980 yang diterbitkan oleh BPS. Demikian

halnya data tape SP90 dapat diakses oleh umum sejak 1993, dan cakupannya dalam buku

Penjelasan Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1990.

Data yang dipergunakan untuk analisis diolah dari data tape SP80 dan SP90 seri-S.

Selanjutnya variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian ini ada empat kategori, ialah

variabel terikat kesenjangan, dan variabel bebas demografi, sosial, dan ekonomi.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah kuesioner sensus penduduk tahun 1980 dan kuesioner

sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana terlampir. Namun demikian pada penelitian ini

hanya diambil 19 pertanyaan, sebagaimana di daftar pada Tabel 3.1 pada lampiran 2.

Variabel terikat merupakan variabel yang diturunkan dari beberapa pertanyaan.

Pertanyaan yang menyangkut kesenjangan diolah dari tiga pertanyaan ialah pendidikan

tertinggi yang ditamatkan dalam hal ini Sarjana (S1), kemudian pertanyaan yang

menyangkut jurusan pendidikan di mana pada sensus penduduk tahun 1980 terdiri dari

tiga digit dan pada sensus penduduk tahun 1990 terdiri dua digit. Pengelompokan jurusan

pendidikan mengikuti International Standard Classification of Eudcation disebut ISCED

(BPS, 1990, p.6). Begitu pula untuk jabatan yang secara internasional mengikuti sistem

Page 64: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

52

International Standard Classification of Occupation disebut ISCO (U.N, 1989, p. 135;

ILO, 1990; dan BPS, 1982). Khusus untuk penelitian ini diambil pengelompokan dua digit

baik untuk ISCED maupun untuk ISCO. Untuk ISCED dan ISCO masing-masing diambil

dua digit untuk merancang kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan

pekerjaan yang ditekuni.

Variabel bebas terdiri dari variabel demografi, sosial, dan variabel ekonomi.

Variabel demografi terdiri dari variabel: Jumlah anggota rumah tangga, hubungan dengan

kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.

Variabel sosial terdiri dari: pembagian wilayah seperti kota-pedesaan, Jawa Bali

dan pulau lain tempat lahir atau status migran, dan agama yang dianut.

Variabel ekonomi terdiri dari: Jenjang pendidikan yang diselesaikan, lapangan

pekerjaan, perpindahan lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari

pekerjaan tambahan atau tidak.

Variabel kontrol adalah tingkat/kelas tertinggi yang pernah/sedang dialami.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Data tape SP80 dan SP90 secara lengkap memuat data sampel sensus penduduk

tahun 1980 maupun data sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana informasi yang ada

pada daftar pertanyaan/kuesioner. Untuk penelitian ini hanya diambil data yang mencakup

19 pertanyaan, sebagaimana diuraikan di atas.

Kesenjangan dihitung berdasarkan variabel jurusan pendidikan dua digit dan

variabel jabatan pekerjaan utama tiga digit. Jabatan ini diambil digit pertama 0/1, 2 dan

sebagian 3 pada Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dimana kebanyakan pekerjanya

Page 65: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

53

adalah yang berpendidikan tinggi. Variabel kesenjangan ini diturunkan dari empat

pertanyaan yang ada pada daftar pertanyaan SP80-S dan SP90-S, sebagai berikut: (diambil

dari daftar pertanyaan SP90-S Blok VI. B P. 18, Blok VI.b P. 19, Blok VII P.24, dan Blok

VII P. 30 yang bersesuaian dengan daftar pertanyaan pada SP80-S Blok VII P. 22, Blok

VII P.23, Blok VIII P.27, dan Blok VIII P. 34).

Berikut ini disalin empat pertanyaan sensus penduduk tahun 1990 Blok VI.b P.18,

Blok VI.b P. 19, Blok VII P.23, dan Blok VII P.30 tersebut diatas.

P.18 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan

1. Tidak/belum tamat Sd 5. SMTP Kejuruan 2. SD 6. SMTA Kejuruan 3. SMTP Umum 7. Diploma I/II 4. SMTA Umum 8. Akademik D.III 9. Universitas/Div 19. Jurusan Pendidikan (Tulis selengkap mungkin)

…………………………………………. ………………………………………….

(Kode ISCED hingga dua digit) P.23 Yang terbanyak dilakukan selama seminggu lalu 1. Bekerja 2. Sekolah 3. Mengurus Rumah Tangga 4. Lainnya P. 30 Jenis pekerjaan utama selama seminggu yang lalu (tulis selengkap mungkin) ……………………………………………………………………………………… (Sesuai dengan klasifikasi ISCO hingga tiga digit)

Populasi penelitian ini adalah individu yang mempunyai pendidikan tertinggi

sarjana. Untuk analisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan

dipilih hanya mereka yang bekerja.

Page 66: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

54

Adapun variabel kesenjangan diturunkan dengan cara membandingkan antara

jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan utama yang ditekuni. Jika

secara teoritis ternyata cocok diberi nilai 0, artinya tidak senjang, sebaliknya diberi nilai 1,

artinya senjang.

Apabila seseorang menamatkan suatu jenjang pendidikan sarjana (S1) dengan

jurusan tertentu, kemudian ia bekerja pada jabatan pekerjaan yang memang sesuai dengan

keahliannya maka dikatakan sesuai atau matching. Sebaliknya jika orang tersebut bekerja

pada jabatan pekerjaan yang tidak sesuai maka dikatakan senjang atau mismatch.

Adapun daftar matching antara jurusan pendidikan (ISCED dua digit) dengan jenis

pekerjaan utama (ISCO/KJI tiga digit) didefinisikan seperti disajikan pada Tabel 3.2 pada

Lampiran 2.

Kemudian variabel-variabel yang tergolong dalam variabel demografi, sosial,

ekonomi, serta variabel kontrol setelah dilakukan penelaan antara cakupan variabel secara

teoritis dengan cakupan variabel yang tercakup pada SP80 dan SP90, akhirnya didapatkan

daftar variabel yang akan dinalisis dalam penelitian ini.

Biro Pusat Statistik dalam mengumpulkan data sensus penduduk mencakup

variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jurusannya menurut klasifikasi

International Classification of Education (ISCED) hingga tiga digit. Begitu pula variabel

jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) hingga tiga digit pula. Dari

data ini dapat ditentukan bahwa secara individu apakah pendidikan yang dicapai dan

jabatan pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai. Jika klasifikasi jurusan pendidikan seseorang

ternyata sesuai dengan klasifikasi jabatan pekerjaannya maka individu tersebut diberi kode

nol (0) artinya tidak ada kesenjangan, sebaliknya diberi kode satu (1) artinya ada

Page 67: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

55

kesenjangan. Selanjutnya kesenjangan ini dapat diukur dengan suatu nilai proporsi antara

nol hingga 100 untuk setiap dimensi, baik dimensi KJI, dimensi demografi, dimensi sosial,

dan dimensi ekonomi.

Secara teoritis x orang mempunyai pendidikan jurusan A mestinya semuanya x

orang tersebut bekerja pada lapangan pekerjaan yang membutuhkan jurusan A.

i) Kalau ini terjadi maka nilai kesenjangannya adalah nol, artinya tidak ada

kesenjangan.

ii) Sebaliknya jika ternyata tak ada yang bekerja pada lapangan usaha yang

membutuhkan A maka angka derajat mismatch sama dengan 100, artinya seratus

persen lulusan tersebut tak ada yang bekerja pada lapangan pekerjaan yang sesuai

dengan pendidikannya.

iii) Apabila sebagian atau y dari lulusan jurusan tersebut bekerja pada jabatan

pekerjaan yang sesuai maka nilai kesenjangannya antara 0 s/d 100.

DK = (<x-y>/x). 100%

Variabel yang dipergunakan untuk melakukan pengujian hipotesis ada 10 buah

ialah kesenjangan (KES), Daerah (B1P5), Pulau (B1P1Y), Agama (B6P9X), Migrasi

(MIG1), Lapanganb Pekerjaan (B7P31C), Hubungan dengan Kepala Rumah tangga

(B6P1B), Jenis Kelamin (B6P2), Umur (b6p4y), Status Perkawinan (B6P5B). Semua

variabel dituliskan dalam bentuk simbol sesuai dengan pembagian blok dan nomor

pertanyaan pada SP90. Misalnya B1P5 adalah pertanyaan tentang daerah yang diambil dari

kuesioner SP 90 Blok (B) satu dan pertanyaan (P) nomor lima.

Page 68: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

56

Penjelasan tentang pembagian kategori untuk 10 variabel yang dipergunakan ada

Tabel 3.1. Pengelompokan ulang dari kategori jawaban aslinya dilakukan dengan

pertimbangan bahwa beberapa kelompok dijumpai respondennya yang sangat kecil. Hal ini

mengakibatkan pada penyajian tabulasi silang yang dimensinya lebih tinggi akan dijumpai

banyak sel yang kosong. Misalnya, untuk agama yang aslinya terdiri dari enam kategori (1)

Islam, (2) Kristen, (3) Katolik, (4) Hindu, (5) Budha, (6) Lainnya dikelompokkan menjadi

dua kelompok ialah (0) Non-Islam, (1) Islam. Disamping itu ada variabel yang didapatkan

dari hasil pengolahan atau sebagai variabel turunan (derived variabel), ialah variabel kas

(kesenjangan) dan variabel migrasi.

Secara rinci penjelasan kesepuluh variabel tersebut adalah sebagai berikut .

Variabel Terikat

Kesenjangan

KES (kesenjangan) merupakan variabel dependen dalam penelitian

yang mempunyai nilai kategorik (0) Tidak senjang dan (1)

senjang. Nilai kategorik ini dihasilkan berdasarkan konsep

kesenjangan dari jurusan pendidikan yang ditamatkan oleh

seseorang dengan jenis pekerjaan (jabatan) yang ditekuni saat

pencacahan.

Page 69: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

57

Variabel Bebas

Ekonomi

B7P31C Lapangan Pekerjaan yang terdiri dari dua digit, dari pertanian,

industri pengolahan, dll dengan pertimbangan distribusi yang

sangat tidak merata, khususnya lebih dari 50 persen sarjana

bekerja di sektor pemerintahan/hankam maka dikelompokkan

menjadi dua kategori ialah (0) Lainnya dan (1)

Pemerintahan/hankam.

Demografi

B6P1B Hubungan dengan Kepala Rumahtangga, yang aslinya

mempunyai Sembilan kategori ialah (1) Kepala

Rumahtangga, (2) Istri/suami, (3) Anak, (4) Menantu, (5)

Cucu, (6) Orang tua/mertua, (7) Famili lain, (8) Pembantu

rumahtangga, (9) Lainnya, Kerena distribusi yang sangat

bervariasi kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori

ialah (0) Anak/menantu+lain, dan (1) Kepala rumahtangga dan

suami/istri.

B6P2 Jenis kelami8n terbagi atas dua kelompok, ialah (0) Perempuan

(1) Laki-laki.

B6P4Y Umur dikelompokkan menjadi dua kategori, ialah (0) kurang

dari 40 th, (1) Lebih dari 40 th.

Page 70: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

58

B6P5B Status Perkawinan dikelompokkan menjadi (0) Belum kawin

dan (1) Pernah kawin.Sosial

B1P5 Daerah terbagi atas dua kategori, ialah dengan kode (0)

Pedesaan (1) Kota.

B1P1Y Pulau yang terdiri dari lebih dari ribuan, yang secara umum

dibagi menjadi lima kelompok dalam penelitian ini

dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, ialah (0) Lainnya

dan (1) Jawa+Bali.

B6P6X Agama yang secara nasional dibagi menjadi enam kelompok,

kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua kategori, ialah (0)

Non Islam, dan (1) Islam.

MIG1 Migrasi adalah variabel yang diturunkan dari pertanyaan

propinsi tempat tinggal sekarang dengan tempat tinggal lima

tahun yang lalu. Apabila sama maka bukan migran dan

sebaliknya migran. Kode ini adalah (0) Tdk Migran (1)

Migran.

Page 71: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

59

Tabel 3.1 Daftar variabel dan kategorinya dalam Penelitian

V a r i a b e l Kategori Jawaban (0,1) KES Kesenjangan 0 Tdk Senjang 1 Senjang B1P5 D a e r a h 0 Pedesaan 1 Kota B1P1Y Pulau 0 Lainnya 1 Jawa+Bali B6P6X Agama 0 Non-Islam 1 Islam MIG1 Migrasi 0 Tdk Migran 1 Migran B7P31C Lap Pekerjaan 0 Lainnya 1 emerinth/Hankam B6P1B Hub dg Krt 0 Ana/menantu+lain 1 Krt s/i B6P2 Jenis Kelamin 0 Perempuan 1 Laki-laki B6p4y Umur 0 Kurang dr 40 th 1 40 th ke atas B6p5B Stat.Perkawinan 0 Blm kawin 1 Pernah Kawin

Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan

variabel dengan menggunakan metode analisis faktor. Variabel baru ini merupakan

indeks komposit, yang kemudian dijadikan indikator. Indikator baru ini

dikontruksikan beerdasarkan factor score coefficients (koefisien yang didapatkan dari

analisis faktor), dengan telah mempertimbangkan nilai kontribusi (eigen value)

faktor-faktor atau varabel-variabel yang dipergunakan. Angka Eigen value

menunjukkan jumlah kontribusi variabilitas (informasi) dari faktor-faktor atau

variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu indeks komposit.

Dalam analisis ini dibuat indeks komposit variabel-variabel Pulau, Daerah,

dan status Migran. Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan

dengan kepala rumahtangga, status perkawinan, dan variabel umur.

Indeks komposit variabel sosial pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen

dari total informasi atau variabilitas yang terkandung di dalam tiga variabel ialah

Page 72: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

60

variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemuadian untuk data tahun 1990

memuat 63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposit demografi pada tahun 1980

memuat 40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktor-

faktor. Hubungan dengan Kepala rumahtangga, status perkawinan, dan umur.

Sedangkan pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di

dalam ketiga informasi tersebut.

Kemudian data Demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous

(0,1). Nol untuk skor negatif, dan satu untuk ekor nol atau positif. Selanjutnya

didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sosial

rendah, dan untuk skor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya

untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi

kelompok nol atau positif disebut kelompok demografi tinggi.

Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi

terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan

metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung

(1993). Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan

antara kategori dalam suatu variabel bebas, pada kategori tertentu dari variabel-

variabel bebas lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas bersyarat.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode multivariat regresi logistik dan

nilai statistik Odds Ratio yang dimodifikasi (Agung, 1993).

Page 73: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

61

G. Pengertian Dasar Beberapa Istilah

Jurusan Pendidikan : Klasifikasi jurusan pendidikan mengikuti International

Standard Classification of Education (ISCED). Klassifikasi ini diturunkan hingga tiga

digit. Pada penelitian ini hanya diturunkan hingga dua digit, karena keterbatasan pada

data-data yang tersedia di Biro Pusat Statistik (BPS).

Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) : Suatu pengelompokan pekerja (angkatan

kerja yang bekerja) menurut jabatannya (occupation) yang diturunkan dengan

modifikasi dari International Standard Classification of Occupation (ISCO) (BPS,

1982). Pembagian ini didasarkan atas keahlian tertentu yang dimiliki seseorang yang

layak menduduki jabatan tertentu. Klasifikasi ini diturunkan hingga tiga digit. Digit

pertama adalah sbb: 0/1. Tenaga Profesional, Teknisi dan yang sejenis 2.

Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, 3. Tenaga Tatausaha dan tenaga yang sejenis, 4.

Tenaga Usaha Penjualan, 5. Usaha Jasa, 6. Usaha Pertanian, 7. Tenaga Produksi, 8.

Operator Alat Angkutan, 9. Pekerja Kasar, 10. lainnya. Penelitian ini pada akhirnya

dipergunakan klasifikasi tiga digit yang termasuk 0/1, 2, dan lainnya untuk digit 3 s/d

10.

Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI): suatu klasifikasi kegiatan

ekonomi menurut lapangan usaha. SKLUI ini diturunkan dari International Standard

of Industrial Classification (ISIC). Lapangan Usaha ini dikelompokkan hingga lima

digit (BPS, 1985, 1990). Digit pertama merupakan kelompok besar, seperti 1.

Pertanian, 2. Pertambangan dan Penggalian, 3. Indurstri Pengolahan, 4. Listrik, Gas

& Air, 5. Bangunan, 6. Perdagangan, 7. Angkutan, 8. Lembaga Keuangan, 9.

Pemerintahan/hankam, 0. Lainnya. Pada penelitian ini menggunakan kelompok tiga

Page 74: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

62

digit, dan untuk pekerja yang menamatkan pendidikan sarjana ke atas. Sektor

pemerintahan adalah klasifikasi sembilan (9) dan KLUI.

Tujuan pendidikan tinggi adalah : (1) menyiapkan peserta didik menjadi

anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang

dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan,

teknologi dan/atau kesenian; (2) mengembangkan dan menyebasrluaskan ilmu

pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk

meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Penyelenggaraan untuk mencapai tujuan tersebut berpedoman pada : (1) tujuan

pendidikan nasional; (2) kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan; dan (3)

kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa

pribadi.

Pendidikan Tinggi : adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari

pada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.

Pendidikan akademik : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama

pada pengusaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, yang diselenggarakan oleh

sekolah tinggi, institut dan universitas.

Pendidikan profesional : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama

pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, yang diselenggarakan oleh akademi,

politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan profesional terdiri atas

Program Diploma dan Program Spesialis.

The polity : refers to an organized society with a polity has variious properties

that will crete demands on its educational sector.l (Levin, 1976)

Page 75: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

63

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

1. Jurusan pendidikan responden

Berdasarkan data sensus Penduduk tahun 1980 (SP80) dan data Sensus

Penduduk tahun 1990 (SP90), penduduk yang berpendidikan S1 secara nasional

masing-masing ada 227.910 orang dan 983.407 orang. Dari jumlah tersebut yang

bekerja secara berurutan pada tahun 1980 ada 190.453 orang, dan pada tahun 1990

yang bekerja ada 772.258 orang.

Distribusi penduduk tersebut menurut jurusan pendidikannya, baik secara

keseluruhan maupun yang bekerja, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari 21 jurusan

yang ada menunjukkkan bahwa distribusi penduduk yang mempunyai pendidikan

tertinggi minimal sarja (S1) pada tahun 1980 relatif lebih merata dibandingkan pada

tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV1980- 1,15 dan KV 1990-

1,21).

Selanjutnya dijumpai hal yang sama bahwa pada tahun 1980 distribusi

penduduk yang mempunyai pendidikan S1 ke atas dan sudah bekerja relatif lebih

merata dibandingkan pada tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV

1980 = 1,18 dan KV1990 = 1,20)

Walaupun secara absolut menunjukkan kecenderungan rata-rata sekitar 15

persen baik secara keseluruhan maupun bagi kelompok yang sudah bekerja namun

distribusinya mengalami perubahan yang sangat lamban. Artinya distribusi sarjana

Page 76: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

64

menurut jurusan pendidikan pada tahun 1980, hampir sama dengan distribusi pada

tahun 1990. Jurusan-jurusan yang didominasi para sarjana pada tahun 1980 juga

didominasi pada tahun 1990. Data pada Tabel 1 dan Tabel 2 (selanjutnya pada Bab

ini, Tabel 1 s/d tabel 40 pada Lampiran Bab IV) menunjukkan penjelasan tersebut

diatas. Lima jurusan yang paling banyak sarjananya pada tahun 1980 adalah :

Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Teknik atau

Teknologi, Kedokteran dan kesehatan. Pada tahun 1990 ialah : Ekonomi, Ilmu

Pendidikan dan Keguruan, Hukum dan Kehakiman, Teknik Atau Teknologi,

Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara.

Kemudian tiga jurusanyang mempunyai pertumbuhan palaing pesat adalah :

Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara,

Kesenian dan Seni Rupa.

Selanjutnya sarjana yang sudah bekerja pada tahun 1980 didominasi oleh lima

jurusan ialah : Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan,

Teknik atau Teknologi dan kedokteran dan Kesehatan, Kemudian pada tahun 1990

didominasi oleh Jurusan : Ekonomi, Ilmu Pendidikan danKeguruan, Teknik atau

Teknologi, Hukum dan Kehakiman, Administra Perusahaan dan Niaga Negara. Lima

Jurusan yang sudah bekerja dan mempunyai pertumbuhan paling pesat adalah :

Keagamaan dan Ilmu Ke Tuhanan, Kesenian dan Seni Rupa, Administrasi

Perusahaan dan Niaga Negara, Perikanan, Ilmu Pendidikan dan Keguruan.

Page 77: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

65

2. Kegiatan Ekonomi

Tahun 1980 jumlah sarjana yang tercatat ada 227.910 orang yang bekerja ada

83,6 persen atau 190.453 orang, kemudian yang masih sekolah pada waktu itu ada

dua persen, mengurus rumahtangga ada 6,9 persen, dan lainnya ada 7,6 persen. Pada

tahun 1990 jumlah sarjana ada 983.407 orang yang terdiri dari 78,5 persen atau

772.258 orang yang bekerja, 1,9 persen masih sekolah, 7,8 persen mengurus rumah

tangga, dan 11,8 persen lainnya. Dari kenyataan diatas menunjukkan bahwa proporsi

sarjana yang bekerja pada tahun 1990 cenderung menurun, walaupun secara absolut

meningkat 3,5 kalinya.

3. Jabatan

Jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1980 adalah 227.910 orang.

Distribusi menurut jabatannya (ISCO satu digit) terdiri dari 0,2 persen tenaga

profesional, 98,5 persen tenaga Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, Pejabat

Pelaksana dan tenaga sejenisnya, dan 1,3 persen sebagai tenaga kasar.

Adapun jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1990 sebanyak 772,258 orang

menunjukkan bahwa 34,8 persen padajabatan tenagas profesional, kemudian 63,6

persen pada jabatan Ksepemimpinan dan ketatalaksanaan, Pejabat Pelaksana, dan

tenaga sejenisnya, dan sisanya 1,7 persen sebagai tenaga kasar.

Jumlah sarjana tahun 1980 sebanyak 227,910 orang dan jumlah sarjana pada tahun

1990 sebanyak 772,258 ini selanjutnya akan diteliti kesenjangan antara jurusan

pendidikan dan jabatan.

Page 78: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

66

Selanjutnya dikaji bagaimana kesenjangan tersebut menurut kategori sosial,

ekonomi dan demografi sebagaimana uraian berikut ini.

4. Sosial

Variabel sosial terdiri dari : pembagian wilayah seperti Kota-Pedesaan,

Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), pulau, status

migran, dan agama yang dianut. Distribusi sarjana yang bekerja menurut daerah kota

dan pedesaan mengalami perubahan dari tahun 1980 dan 1990. Pada tahun 1980

sekitar 80 persen sarjana bekerja diperkotaan, kemudian pada tahun 1990 tercatat

menjadi sekitar 83 persen. Dari pembagian KBI danKTI tidak terlihat adanya

perubahan, namun pembagian menurut pulau (Sumatera, Jawa-Bari, danlainnnya)

menunjukkan adanya perubahan yang makin merata. Pada tahun 1`980 terkonsentrasi

di Jawa-Bali sekitar 70 persen, pada tahun 1990 berubah menjadi 67,8 persen

walaupun jumlah absolutnya tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di luar Jawa-

Bali makin banyak proporsi sarjana yang bekerja.

Dilihat dari agama (islam, Non-Islam) ternyata makin banyak proporsi sarjana

beragama Islam. Pada tahun 1980 komposisinya 69 persen Islam dan 31 persen Non-

Islam, kemudian pada tahun 1990 menjadi 73 persen Islam dan 27 persen non-Islam.

Hal ini dapat difahami karena selama kurun waktu 10 tahun merupakan masa transisi

dan dimulainya revolusi pendidikan tinggi di Indonesia telah menjamah masyarakat

banyak, terutma mayoritas Islam. Hal ini juga sebagai akibat dari kebijakan

pemerataan pendidikan termasukpendidikan tinggi sejak Pelita I (Thomas, 1974;

Enoch 1992).

Page 79: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

67

Selanjutnya dilihat dari migrasi yang didefinisikan bahwa seorang dikatakan

melakukan migrasi apabila propinsi tempat tinggal pada waktu pencacahan dan

propinsi tempat tinggal laima tahun yang lalu berbeda. Dari definisi ini terlihat bahwa

sarjana yang telah bekerja pada tahun 1980 banya 16,6 persen yang melakukan

migrasi, kemudian pada tahun 1990 proporsinya menurun hanya sekitar 14,6 persen.

5. Ekonomi

Variabel ekonomi terdiri dari : lampangan pekerjaan utama, perpindahan

lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari pekerjaan tambahan atau

tidak.

Lapangan pekerjaan para sarjana di Indonesia hingga saat ini sangat

tergantung pada sektor pemerintahan/hankam. Tahun 1980 sarjana yang bekerja di

sektor pemerintahan/hankam ada 74,4 persen kemudian pada tahun 1990 menurun

proporsinya menjadi 65,8 persen. Ada perubahan yang sangat mencolok ialah di

sektor lembaga keuangan, industri, perdagangan, dan sektor bangunan. Hal ini sesuai

dengan perkembangan pembangunan selama kurun waktu 10 tahun yang secara pesat

berkembang pada sektor-sektor tersebut. Pertuimbuhan ekonomi makro selama

periode 1980-1990 sekitar 8 persen, pertanian sekitar 5,5 persen, industri sekitar 14

persen, sektor lainnya 6,5 persen (BPS, 1993)

Dari jumlah sarjana yang bekerja tersebut terlihat angka penurunan proporsi

yang masih mencari pekerjaan. Pada tahun 1980 menunjukkan angka 4,3 persen,

kemudian pada tahun 1990 menunjukkan angka 2,2 persen yang masih mencari

pekerjaan walaupun sudah bekerja.

Page 80: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

68

Selanjutnya responden juga diminta keterangannya apakah setahun sebelum

pencacahan sudah bekerja atau belum. Dari 100 persen sarja yang bekerja pada tahun

1980 ada sekitar enam persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja, kemudian

pada tahun 1990 ada 10 persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja. Artinya

kelompok enam persen atau 10 persen ini dapat dari lulusan baru (new entrance), dari

sarjana yang memang pada tahun-tahun sebelumnya belum mendapatkanpekerjaan

atau masih menganggur. Hal ini memberikan indikasi bahwa kesempatan kerja bagi

sarjana pada tahun 1990-an lebih banyak dibandingkan tahun 1980-an.

6. Demografi

Variabel demografi terdiri dari variabel : hubungan dengan kepada rumah

tangga, jumlah anggota ruamah tangga, jenis kelamin, dan umur, dan status

perkawinan. Pada tahun 1980 sekitar 83 persen mempunyai suami/istri. Kemudian

pada tahun 1990 hanya sekitar 74 persen. Yang mempunyai hubungan dengan kepala

rumah tangga sebagai anak/menantu pada tahun 1980 ada 10 persen, tetapi pada

tahun 1990 ada 18,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga

selama sepuluh tahun ada perubahan jumlah sarjana yang makin banyak dan juga

bekerja, tetapi lebih banyak yang masih tinggal dengan orang tua atau mertua.

Dari jenis kelamin, terlihat ada perubahan bahwa makin banyak

jumlahmaupun proporsi wanita yang mempunyai pendidikan sarjana keatas dan

bekerja. Pada tahun 1980 hanya sekitar 16 persen, kemudian pada tahun 1990

menjadi 23 persen, kemudian padas tahun 1990 menjadi 23 persen wanita

berpendidikan sarjana atau lebih dan bekerja.

Page 81: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

69

Dari komposisi usia terlihat bahwa pada tahun 1990 cenderung berusia lebih

muda dibandingkan pada tahun 1980. Dari status perkawinan juga terlihat bahwa

pada tahun 1980 ada 14 persen yang menyatakan belum kawin, pada tahun 1990 ada

23,4 persen. Komposisi umur dan status perkawinan juga mempunyai

kaitan erat dengan perubahan hugungan dengan kepala rumah tangga yang secara

umum makin tinggi yang ikut orang tua / mertua.

B. Kesenjangan

Sesuai dengan konsep dan definisi operasional tentang kesenjangan ternyata

pada tahun 1980 seluruh sarjana yang bekerja menunjukkan adanya kesenjangan

antara jurusan pendidikan (I S C E D) dan Jabatan pekerjaannya (ISCO) 91,3 persen,

dan hanya 8,7 persen yang tidak senjang atau sesuai. Kemudian pada tahun 1990

menunjukkan ada 78 persen senjang dan 22 persen tidak senjang atau yang sesuai.

Pada tahun 1980 dari 23 jurusan pendidikan tinggi yang ada sembilan dari

yang derajat kesesuaiannya paling tinggi secara berurutan adalah : Ilmu Pengetahuan

Alam, Teknik atau teknologi, Pertanian, Peternakan, kehutanan, Arsitektur &

Perencanaan Kota, Perikanan, Kedokteran dan Kesehatan, Ekonomi.

Pada tahun 1990 sembilan jurusan yang mempunyai derajat kesesuaian dari

yang paling tinggi adalah : Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Arsitektur & Perencanaan

Kota, Teknik atau Teknologi, Komunikasi Massa & Dokumentasi, Kedokteran dan

Kesehatan, Ekonomi, Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan

Niaga Negara, kesenian dan seni rupa (Tabel 3 dan Tabel 4 pada lampiran Tabel

Analisis Bab IV).

Page 82: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

70

Namun ada perbedaan yang mendasar antara keadaan tingkat kesesuaian pada

tahun 1980 dan keadaan pada tahun 1990. Disamping derajat kesesuaian pada tahun

1990 lebih tinggi juga lebih merata (ditunjukkan dengan koefisien variasi yang leibh

kecil. Koefisien variasi standar deviasi/rata-rata. Di tahun 1980 derajat kesesuaian

secara umum hanya 8,7 persen, kemudian menurut jurusan pendidikan dari yang

minimum 0 jurusan humaniora dan maksimum 47 persen untuk jurusan IPA. Pada

tahun 1990 secara umum derajat kesesuaiannya 22,3 persen, dan menurut jurusan

pendidikan menunjukkan distribusi antara 0 pada jurusan pelayanan jasa hingga 80

persen pada jurusan Ilmu Pendidikan dan Keguruan.

Angka kesenjangan pada tahun 1980 nampak ada kejanggalan, terutama

beberapa jurusan pendidikan yang menunjukkannilai kesenjangan 100 persen. Hal ini

mungkin ada kesalahan sampling, dimana pada tahun 1980 teknik sampling yang

diambil tidak sesempurna sensus penduduk 1990 (Poedjiastoeti, 1989). Disamping itu

kodifikasi jurusan pendidikan pada sensus penduduk tahun 1980 berbeda dengan

kodifikasi jurusan pendidikan pada tahun 1990. Penyelarasan jurusan pendidikan

pada sensus penduduk 1980 dengan sensus penduduk tahun 1990, memberikan

kontribusi pada kesalahan pengelompokan. Setelah didiskusikan dengan Biro Pusat

Statistik (Mamas, G dan Madjid, A 12 Oktober 1995, secara berurutan ahli

kependudukan, dan mantan ketua BPS), menyimpulkan bahwa untuk pengelompokan

satu digit jurusan pendidikan (ISCED), jabatan pekerjaan hingga dua digit, dan

lapangan pekerjaan hingga dua digit mempunyai tingkat validasi yang tinggi. Apabila

pengelompokan di atas dilihat menurut daerah hanya dapat hingga tingkat propinsi,

karena kerangka sampel yang dirancang hanya dapat estimasi hingga tingkat propinsi.

Page 83: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

71

Namun untuk pengelompokan yang lebih rinci (digit lebih besar) mempunyai tingkat

validasi yang sangat rendah.

Jadi apabila pengelompokannya dijadikan tiga kelompok jurusan atau bidang

studi ialah (1) Sosial, (2) IPA, dan (3) Teknik akan mempunyai tingkat validasi yang

tinggi. Pengukuran kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan

perlu dilakukan pendataan secara nasional, melalui sensus. Walaupun masalah

relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan tidak merupakan satu-

satunya ukuran atau tujuan dari pendidikan tinggi di Indonesia.

C. Pengujian Hipotesis

1. Distribusi responden

Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang tidak senjang atau yang sesuai antara

jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaannya ada 8,7 persen dan

yang senjang ada 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990 yang tidak senjang ada

22,3 persen, dan yang senjang ada 77,7 persen. Apabila dibandingkan keadaan pada

tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa kesenjangan makin kecil. Pada tahun 1980

ada 91,3 persen yang senjang, kemudian pada tahun 1990 menjadi 77,7 persen.

Hal ini berarti ada penurunan sekitar 13,6 persen selama sepuluh tahun.

Apabila dikatakan sebaliknya derajat kesesuaian (tidak senjang) para sarjana di

Indonesia menurut jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuninya makin baik.

Pada tahun 1980 derajat kesesuaian 8,7 persen, kemudian pada tahun 1990 menjadi

22,3 persen. Perubahan yang makin baik ini sangat ditentukan oleh berbagai faktor,

antara lain dimungkinkan pada tahun 1990-an dibandingkan keadaan pada tahun

Page 84: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

72

1980-an, keadaan ketenagakerjaan baik lapangan maupun jabatannya sudah lebih

banyak tersedia dan lebih banyak pilihan, sehingga jabatan-jabatan yang tersedia

lebih banyak ditempati oleh para sarjana yang lebih cocok jurusannya.

Distribusi sarjana menurut kategori daerah pedesaan dan kota, menunjukkan

adanya perubahan yang cenderung pada tahun 1990 makin ke kota. Pada tahun 1980

ada 19,6 persen sarjana yang dipedesaan dan 80.4 persen yang ada dikota. Pada tahun

1990 jumlah sarjana yang di pedesaan ada 16,9 persen dan yang di kota menjadi 83,1

persen. Pergeseran ini dimungkinkan karena lapangan pekerjaan serta jabatan

pekerjaan yang tersedia bagi para sarjana pada tahun 1980-an dibandingkan pada

tahun 1990-an makin banyak di daerah kota. Di samping itu juga perubahan

demografidan sosial yang juga turut menentukan perubahan tersebut. Secara

demografis, para sarjana yang baru didominasi penduduk usia muda di kota,

sedangkan sarjana yang sudah bekerja tergeser karena umur, mungkin persiun, atau

alasan lainnya.

Selanjutnya secara sosial, antara lain peluang penduduk mendapatkan

pendidikan yang lebih tinggi adalah penduduk kota, dan pembangunan yang sangat

menonjol dengan kebutuhan keterampilan khusus yang dimiliki oleh sarjana juga

pembangunan di daerah kota.

Distribusi sarjana menurut pulau yang dikelompokkan menjadi tiga kategori

Jawa-Bali, Sumatera, dan lainnya menunjukkan distribusi yang sangat mencolok,

Para sarjana masih mayoritass di Jawa, walaupun selama kurun waktu sepuluh tahun

sudah ada pergeseran distribusinya. Sekitar 70 persen sarjana pada tahun 1980 ada di

Jawa, kemudian pada tahun 1990 menjadi 67,8 persen. Hal ini menunjukkan

Page 85: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

73

perubahan yang menggembirakan. Berbagai indikasi dapat ditarik, antara lain makin

tingginya kesempatan lapangan pekerjaan maupun jabatan di luar Jawa-Bali,

sehingga proporsi sarjana yang sudah bekerja di luar Jawa-Bali makin tinggi pada

tahun 1990-an dibandingkan keadaan tahun 1980-an.

Tabel 4.1 Distribusi persentase sarjana yang bekerja

Menurut variabel-variabel dalam penelitian sensus penduduk, dan kategori jawaban

Sensus Penduduk 1980 Sensus Penduduk 1990 V a r i a b e l ---------------------------- ------------------------------- 0 1 0 1 Kesenjangan 8,7 9,3 22,3 77,7 D a e r a h 19,6 80,4 16,9 83,1 Pulau 29,6 70,4 32,2 67,8 Agama 30,6 69,4 26,8 73,2 Migran 83,4 16,6 85,4 14,6 Lap Pekerjaan 25,6 74,4 34,2 65,8 Hub dg Krt 18,2 81,8 28,6 71,4 Jenis kelamin 16,7 83,3 24,0 76,0 U m u r 65,2 34,8 70,9 29,1 Status Perkawinan 15,9 84,1 26,2 73,8

Menurut agama yang dianut yang dikategorikan menjadi Non Islam dan Islam

menunjukkan bahwa perubahan yang sangan bermakna selama sepuluh tahun. Pada

tahun 1980 proporsi sarjana yang beragama Islam ada 69,4 persen, kemudian pada

tahun 1990 menjadi 73,2 persen. Makin tingginya proporsi ini disamping seiring

dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia menurut agama yang mayoritas

Page 86: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

74

menganut Agama Islam, juga menjunjukkan makin tingginya kesempatan

memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat banyak> Namun diperkirakan walau

makin banyak proporsi sarjana dari kategori masyarakat Islam, yang Non-Islam

walaupun proporsinya lebih kecil jumlahnya tetap bertambah dari tahun 1980-an

hingga tahun 1990-an. Bahkan apabila dilihat mutu pendidkan yang tercermin pada

jurusan pendidikan akan berbeda. Sarjana Non-Islam terdistribusi pada jurusan-

jurusan ekonomi, kedokteran, dan teknik. Selanjutnya dari laparangan pekerjaan

sarjana non-Islam mayoritas pada serktor perdagangan, lembaga keuangan,

pemberintahan, dan industri.

Teori migrasi menyatakan bahwa makin baik kehidupan seseorang cenderung

pada mereka yang emlakukan migrasi termasuk urbanisasi (Todaro, 1982). Hal ini

tidak berlaku pada kelompok masyarakat berpendidikan sarjana. Pada tahun 1980

sarjana yang sudah bekerja yang melakukan migrasi selama 5 tahun ada 16,6 persen,

kemudian pada tahun 1990 menurun hanya 14,6 persen. Hal ini diperkirakan bahwa

kelompok mansyarakat berpendidikan sarjana yang sudah bekerja secara umum

kehidupannya lebih mapan. Dalam demografi, faktor penyebab migrasi pendidkan

apalagi urbanisasi adalah faktor ekonomi termasuk lapangan pekerjaan.

Kelompok sarjana yng sudah bekerja menurut lapangan pekerjaan terbagi

pada Pemerintahan/Hankam dan lainnya. Pengelompokan ini semata karena

mayoritas sarjana di Indonesia bekerja pada sektor Pemerintahan/Hankam. Sarjana

yang bekerja di Pemerintahan/Hankam pada tahun 1980 ada 74,4 persen, kemudian

pada tahun 1990 menurun menjadi 65,8 persen. Hali ini menunjukkan adanya banyak

faktor. Antara lain pada tahun 1980-an di samping para sarjana jumlahnya sedikit,

Page 87: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

75

dunai swasta masih sangat rendah partisipasinya, maka para sarjana ini memilih

lapangan pekerjaan yang terbaik pada saat itu adalah di Pemerintahan/Hankam.

Kemudian keadaan tahun 1990-an di sektor swasta mkulai berperan, investasi

meningkat lapangan pekerjaan non-Pemerintah/Hankam yang menbutuhkan sarjana

cukup tinggi, maka terjadi pergeseran tersebut di atas.

Secara demografis salah satu variabelnya adalah hubungan dengan kepala

rumahtangga dalam satu atap/keluarga. Di Indonesia menjadi sangant penting karena

secara demografis derajat ketergantungan antar kerabat masih tinggi. Dalam satu

atap/ruamahtangga dapat dihuni oleh orang tua, anak, cucu, orang tua, mertua,

menantu, pembantu, bahkan oranglain atau kerabat. Khusus kelompok yang

mempunyai pendidikan tertinggi sarjana pada tahun 1980 dilihat dari variabel ini

menunjukkan bahwa ada 81,8 persen sebagai kepala rumah tangga, istri, atau suami,

dan 18,2 persen yang dalam rumah tangga sebagai anak atau menantu atau lainnya

seperti mertua, orang tua atau kerabat lain. Pada tahun 1990 komposisinya berubah

menjadi 71,4 persen kepala rumah tangga, istri, atau suami dan 28,6 persen sebagai

anak, menantu, atau kerabat lain. Pergeseran ini menunjukkanbanyak hal antara lain

makin tingginya anak atau menantu dalam suatu rumah tangga yang mendapatkan

kesempatan memperoleh pendidikan hingga sarjana.

Pembagian menurut jenis kelamin menjunjukkan perubahan komposisi yanbg

sangat menonjol. Pada tahun 1980 83,3 persen sarjana di Indonesia laki-laki dan 16,7

persen perempuan. Pada tahun 1990 telah berubah dengan sangat bermakna ialah 76

persen sarjana laki-laki dan 24 persen perempuan. Hal ini tiada lain merupakan

resultante dari berbagai kebijakan pemerintah dalam pembelaan kelompok

Page 88: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

76

perempuan, yang direalisasikan melalui kebijaksanaan pengiriman mahasiswa keluar

negeri dengan komposisi maksimum 70 persen laki-laki dan minimum 30 persen

perempuan (Bappenas, 1983).

Dari kelompok umur yang dibagi menjadi dua kategori kurang dari 40 tahun

dan kategori 40 tahun keatas, juga menunjukkan adanya perubahan komposisi yang

bermakna. Pada tahun 1980 65,2 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun,

pada tahun 1990 menjadi 70,9 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun.

Pergeseran ini dimungkinkan oleh karena banyak faktor, antara lain kesempatan

mendapatkan pendidikan lebih tinggi pada periode 1980-1990 lebih tinggi baik

didalam negeri di PTN maupun di PTS, dan juga kesempatan pendidikan di luar

negeri. Pergeseran ini terjadi secara demografis antara lain menurut kohor (kelompok

umur) menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan makin baik,

kelompok umur SLP dan SLA pada tahun 1980-an memperoleh kesempatan

menyelesaikan sarjana pada tahun 1985-an, yang kemudian pada tahun 1990-an telah

terjun pada kelompok sarjana yang bekerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada

dekade tahun 1980-an mulai bermunculan perguruan tinggi swasta yang telah

meluluskan sarjananya, disamping produk program pendidikan di luar negeri.

Terakhir variabel demografi yang diambil dalam penelitian ini adalah status

perkawinan. Pada tahun 1980 15,9 persen belum kawin, dan 84,1 persen sudah

pernan kawin (kawin, janda, duda, cerai mati, cerai hidup). Pada tahun 1990 26,2

persen belum kawin, dan 73,8 persen pernah kawin. Hal ini banyak faktor yang

mempengaruhinya, antara lain faktor demografi, seperti umur di mana banyak sarjana

Page 89: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

77

pada umur lebih muda tahun 1990-an, faktor ketergantungan tempat tinggal dimana

masih ikut orang tua, dan mungkin faktor sosial juga yang mempengaruhinya.

2. Deskripsi kesenjangan

Kesenjangan yang didefinisikan sebelumnya kemudian dikaji kaitan

sederhana (asosiasinya) dengan sembilan variabel-variabel independen tersebut.

Kenyataan secara umum pada tahun 1980 dan tahun 1990 menunjukkan berbagai

persamaan dan perbedaan. Secara umum kesamaan makro menunjukkan ada asosiasi

secara sederhana yang signifikan antara variabel sosial, ekonomi, demografi terhadap

kesenjangan.

Ada dua perbedaan mendasar :

1) Variabel demografi jenis kelamin tidak menunjukkan adanya perbedaan

kesenjangan menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada tahun

1980. Tetapi ada perbedaan secara nyata pada tahun 1990.

2) Perubahan urutan derajat asosiasi antara sembilan variabel independen

terhadap kesenjangan. Keadaan pada tahun 1980 dari yang derajat

asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan paling besar hingga ke yang

paling kecil signifikansinya secara berurutan adalah : migrasi, Lapangan

Pekerjaan,

Daerah, Pulau, Hubungan dengan kepada rumahtangga, Umur, Status

perkawinan, Agama, Jenis Kelamin. Pada tahun 1990 urutannya menjadi :

Daerah, Pulau Jenis Kelamin, Lapangan Pekerjaan, Umum Migrasi,

Agama, Status Perkawinan, Hukungan dengan Kepala rumahtangga.

Variabel daerah yang pada tahun 1980 pada urutan yang tiga pada tahun

Page 90: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

78

1990 menjadi pada urutan yang pertama. Hal ini memberikan indikasi

bahwa perubahan pengaruh variabel daerah (kota, pedesaan) terhadap

kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada tahun 1990

dijumpai sangat tinggi.

Sosial

Selanjutnya apabila dikaji dari tabel 5 dan tabel 6 terlihat bahwa pada tahun

1980 semua sarjana yang bekerja dan tidak senjang ada 8,7 persen dan yang senjang

ada 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990 yang tidak senjang 22,3 persen dan yang

senjang ada 77,7 persen.

Gambar 4.1 Perubahan urutan derajat pengaruh/asosiasi sembilan

Variabel independen terhadap kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun 1990

Urutan 1980 1990 1. Migrasi 4. . → . 1. D a e r a h 2. Lap Pekerjaan 5. . → . 2. Pulau 3. D a e r a h 1. . → . 7. Jenis Kelamin 4. Pulau 2. . → . 5. Lap Pekerjaan 5. Hub dg Krt 6. . → . 8. Umur 6. Umur 8. . → . 4. Migrasi 7. Stat.Perkawinan 9. . → . 3. Agama 8. A g a m a 3. . → . 9. Stat.Perkawinan 9. Jenis kelamin 7. . → . 6. Hub dg Krt

Page 91: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

79

Apabila dikaji bagaimana distribusi ini menurut daerah kota dan pedesaan

menunjukkan perubahan yang sangat tinggi, di tahun 1980 yang senjang di pedesaan

lebih tinggi dari di kota, tetapi sebaliknya pada tahun 1990 kesenjangan di pedesaan

lebih kecil dibandingkan di kota. Jadi di samping secara umum kesenjangan antara

jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan yang ditekuni oleh para sarjana yang sudah

bekerja makin kecil atau keadaannya makin baik selama kurun waktu 1980-1990, di

daerah pedesaan membaik lebih cepat keadaannya dibandingkan di perkotaan. Hal ini

banyak sekali faktor yang menentukannya, di antaranya faktor perhatian

pembangunan di pedesaan yang makin membaik, pilihan sarjana bekerja di pedesaan

cenderung lebih cocok jurusan pendidikannya dengan jabatan yang ditekuni atau

yang dipilihnya. Tetapi di kota sebaliknya, sarjana yang bekerja di kota, terutama

yang masih baru cenderung akan menerima pekerjaan apa saja terlebih dahulu

sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok dengan jurusannya.

Variabel pulau meningkat dari urutan nomor empat pada tahun 1980, menjadi

nomor dua pada tahun 1990. Hal ini menunjukkan indikasi hasil pembangunan SDM

selama periode 1980 hingga 1990 termasuk distribusinya menurut pulau yang dibagi

menjadi Jawa-Bali, Sumatera, dan pulau-pulau lainnya makin membaik. Hal ini

ditunjukkan distribusi sarjana menurut kelompok pulau tersebut diatas pada tahun

1980 dan tahun 1990. Pada tahun 1980 sarjana yang ada di Jawa-Bali ada 70,4

persen, Sumatera 15,1 persen dan pulau lainnya ada 14,4 persen. Selanjutnya pada

tahun 1990 menunjukkan perubahan yang lebih merata ialah di Jawa 67,8 persen di

Sumatera 15,9 persen, dan di pulau-pulau lainnya ada 16,3 persen. Hal ini merupaian

indikasi pembangunan secara umum selama kurun waktu sepuluh tahun yang lebih

Page 92: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

80

memberikan kesempatan bagi sarjana untuk bekerja di luar Jawa lebih baik.

Disamping itu juga merupakan indikasi membaiknya pembangunan SDM

berpendidikan tinggi di Luar Jawa. Perubahan ini secara rinci juga menunjukkan

bahwa pada tahun 1980 kesenjangan di luar jawa lebih besar, dan di Sumatera lebih

besar dari dipulau-pula lainnya. Pada tahun 1990 secara umum kesenjangan makin

kecil, walaupun di luar jawa masih lebih besar juga dibandingkan di Jawa, namun

kesenjangan di Sumatera dan di pulau-pulau lainnya sama (Tabel 5 dan Tabel 6).

Variabel agama yang pada tahun 1980 merupakan variabel yang mempunyai

derajat asosiasi relatif kecil terhadap kesenjangan, namun pada tahun 1990 bergeser

satu tangga menjadi lebih signifikat. Hal yang sama seperti variabel jenis kelamin

bahwa pembangunan di bidang keagamaan kaitannya dengan pengembangan SDM

menunjukkan derajat pengaruh yang sangat signifikan. Walaupun secara mutlak

jumlah sarjana pada tahun 1990 meningkat sekitar empat kali jumlah pada tahun

1980, namun secara proporsional kelompok Islam bertambah lebih cepat. Pada tahun

1980 sarjana non-Islam ada 30,6 persen, kemudian pada tahun 1990 hanya 26,8

persen. Apabila dilihat kesenjangan menunjukkan bahwa pada tahun 1980 kelomnpok

sarjana non-Islam lebih kecil kesenjangannya dibandingkan kelompok sarjana

Islam.Pada tahun 1990 keadaannya sama bahkan kelompok Islam menunjukkan

penurunan kesenjangan yang lebih cepat. Hal ini dimungkinkan bahwa kelompok

non-Islam di Indonesia pada umumnya tinggal di kota-kota yang sejak kemerdekaan

telah mempunyai akses ekonomi, sosial, dan demografi yang lebih baik termasuk

adses pendidikan lebih baik pula. Sehingga dampat pembangunan SDM

Page 93: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

81

berpendidikan tinggi cenderung lebih berdampak kepada kelompok Islam (Tabel 7

dan Tabel 16).

Variabel Migrasi memberikan asosiasi terhadapt variabel kesenjangan baik

pada tahun 1980 maupun pada tahun 1990 sangant signifikan, namun ada pergeseran

urutan dari delapan variabel independen lainnya yang dipergunakan dalam penelitian

ini. Pada urutan yang pertama, kemudian pda tahun 1990 bergeser menjadi urutan

yang keenam. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kebijakan pemerataan

pembangunan daerah yang makin membaik, sehingga peluang pilihan-pilihan jabatan

pekerjaan yang lebih cocok bagi para sarjana menjadi lebih besar dan lebih mapan.

Apabila dikaji lebih mendalam bahwa pada tahun 1980 sarjana yang sudah bekerja

terdiri dari 83,4 persen tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun

yang lalu, dan hanya 16,6 persen yang melakukan migrasi selama lima tahun yang

lalu. Kemudian keadaannya berubah bahwa pada tahun 1990 ternyata sarjana yang

sudah bekerja dan tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun yang

lalu lebih besar dibandingkan tahun 1980, ialah sebesar 85,4 persen, dan yang tidk

melakukan migrasi selama lima tahun yang lalu ada 14,6 persen. Selanjutnya

kesenjangan yang ada pada tahun 1980 secara umum lebih besar dibandingkan

keadaan tahun 1990. Namun secara rinci pada tahun 1980 kelompok migran lebih

kecil kesenjangan dibandingkan kelompok non-migran. Selanjutnya pada tahun 1990

keadaannya adalah sebaliknya, kelompok migran lebih besar kesenjangannya,

dibandingkan yang non-migran (Tabel 8 dan Tabel 17).

Page 94: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

82

Ekonomi

Variabel lapangan pekerjaan sebagai kegiatan ekonomi pada tahun 1980 pda

urutan yang kedua, kemudian pada tahun 1990 bergeser menjadi urutan yang

keempat. Distribusi sarjana yang bekerja pada tahun1980 74,4 persen pada lapangan

pekerjaan pemerintahan/hankam dan hanya 25,6 persen pada sektor lainnya.

Kemudian pada tahun 1990 sarjana yang bekerja pada lapangan pekerjaan

pemerintahan/hankam menurun menjadi 65,8 persen, dan disektor lainnya ada 34,2

persen. Hal ini menunjukkan ketergantungan para sarjana pada sektor

pemerintahan/hankam makin mengecil. Hal ini merupakan indikasi bahwa disamping

makin besarnya peluang di sektor swasta yang makin luas bagi sarjana, juga makin

kecilnya minat para sarjana untuk bekerja di sektor pemerintahan/hankam. Artinya

selama kurun waktu sepuluh tahun 1980-1990 telah terjadi perubahan persepsi para

sarjana dari keinginan utama bekerja di sektor pemerintahan/pegawa negeri ke sektor

non-pemerintahan/swasta. Apabila dilihat dari kesenjangan antara jurusan pendidikan

sarjananya dengan jabatan yang ditekuni menunjukkan bahwa secara umum makin

kecil selama kurun waktu sepuluh tahun. Secara rinci menurut lapangan pekerjaannya

pada tahun 1980 di samping mayoritas sarjana bekerja pda lapangan

pemerintahan/hankam juga dijumpai kesenjangannya lebih besar dibandingkan pada

sektor lainnya. Selanjutnya pada tahun 1990 penunjukan perubahan yang sebaliknya,

ialah walaupun sektor pemerintahan tetap masih mayoritas, namun kesenjangannya

lebih kecil (keadaannya lebih baik) dibandingkan pada sektor lainnya (Tabel 9 dan

Tabel 18).

Page 95: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

83

Demografi

Variabel hubungan dengan kepada rumahtangga yang pada tahun 1980

mempunyai derajat asosiasi atau pengaruh terhadap kesenjangan yang sangat

signifikan dan merupakan variabel nomor lima, tetapi pada tahun 1990 walaupun

mempunyai derajat asosiasi yang signifikan namun pada urutan yang kesembilan.

Artinya hubungan dengan kepala rumahtangga pada tahun 1990 pada urutan yang

terakhir derajat signifikannya. Hal ini memberikan indikasi bahwa dependensi tempat

tinggal para sarjana pada tahun 1980 dan tahun 1990 mempunyai kesamaan

signifikansinya, tetapi berbeda urutannya dibandingkan delapan variabel lain yang

dipergunakan dalam penelitian ini. Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang sudah

bekerja yang masih menumpang/serumah dengan orang tua orang lain cenderung

lebih sedikit dibandingkan keadaan tahun 1990. Namun apabila dilihat dari

kesenjangan antara jurusan pendidikan kesarjanaannya dengan jabatan yang

ditekuninya keadaan tahun 1980 menunjukkan bahwa kelompok anak/menantu atau

lainnya lebih kecil dibandingkan denan kelompok kepala rumahtangga, istri atau

suami. Kemudian keadaan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa walaupun secara

umum menjadi lebih kecil kesenjangannya dibandingkan tahun 1980, tetapi pada

kelompok anak/menantu atau lainnya menunjukkan kesenjangan yang lebih besar

(Tabel 10 dan Tabel 19). Artinya, selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi

banyak sekali purubahan, khususnya tentang pembangunan perumahan, telah terjadi

pada kelompok sarjana yang sudah bekerja dalam rumahtangga sebagai kepala rumah

tangga/istri atau suami dan relatif lebih baik kehidupannya yang tercermin pada

Page 96: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

84

pekerjaan yang dimiliki lebih cocok jurusan kesarjanaannya dengan jabatan yang

ditekuninya.

Variabel jenis kelamin pada tahun 1980 yang menunjukkan tidak signifikan

asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 menjadi sangat

signifikan pengaruhnya. Disamping itu variabel jenis kelamin ini pada tahun 1980

disamping sangat sedikit juga tidak menunjukkan adanya perbedaan kesenjangannya

dengan kelompok laki-laki, sebaliknya dengan keadaan tahun 1990. Pada tahun 1980

pada urutan yang kedelapan pengaruhnya terhadap kesenjangan, dan pada tahun 1990

meningkat menjadi urutan yang ketiga. Hal ini merupakan salah satu indikasi

keberhasilan kebijakan pemerintah dalam bidang peranan dan partisipasi wanita

dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan sumber daya manusia. Jumlah

sarjana wanita yang bekerja pada tahun 1980 dan 16,7 persen, kemudian jumlah

tersebut pada tahun 1990 menjadi 24 persen. Secara absolut pertambahannya sekitar

enam kali, sedangkan untuk pria hanya 3,7 kalinya. Apabila dikaji menurut

kesenjangannya, pada kelompok sarjana wanita pada tahun 1980 sama dengan

kelompok laki-laki, tetapi pada tahun 1990 menjadi berbeda secara signifikan. Pada

tahun 1990 kelompok sarjana wanita kesenjangan antara jurusan dengan jabatan yang

ditekuni lebih kecil dibandingkan kelompok laki-laki (Tabel 11 dan Tabel 20). Jadi

selama kurun waktu pembangunan SDM wanita telah berhasil sangat cemerlang,

disamping secara absolut sangat tinggi keberhasilannya, juga dalam hal kesesuaian

jurusan dan jabatan/profesinya yang lebih berhasil pula.

Variabel umur memberikan asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan pada

tahun 1980 dan pada tahun 1990 hanya berubah urutannya satu tahap. Pada tahun

Page 97: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

85

1980 merupakan urutan yang keempat, menjadi urutan yang kelima pada tahun 1990.

Variabel umur dikelompokkan menjadi dua kategori ialah kurang dari 40 tahun

sebagai usia yang sangat produktif, dankelompok sarjana yang usianya 40 tahun atau

lebih yang merupakan usia menginjak kematangan. Pada tahun 1980 ada 65,2 persen

kelompok sarjana yang bekerja yang berusia kurang dari 40 tahun. Kemudian pada

tahun 1990 kelompok ini meningkat jumlahnya menjadi 70,9 persen. Dikaji dari

kesenjangannya menunjukkan bahwa pada tahun 1980 menunjukkan perbedaan

kesenjangan yang sangat kecil antara kedua kelompok tersebut. Namun pada tahun

1990 menunjukkan perbedaan kesenjangan yang sangat signifikan. Derajat

kesenjangan pada kelompok umur kurang dari 40 tahun 77,1 persen, sedangkan pada

kelompok umur 40 tahun keatas 79,1 persen. Hal ini berarti kesenjangan antara

jurusan kesarjanaan dengan jabatan/profesi pekerjaannya pada tahun 1990 masih

lebih tinggi terjadi pada kelompok usia 40 tahun ke atas, dibandingkan

dengankelompok usia kurang dari 40 tahun (Tabel 12 dan Tabel 21). Bisa dikatakan

bahwa pembangunan SDM berpendidikan tinggi kaitannya dengan kesesuaian

jurusan dan jabatan yang ditekuni lebih berhasil. Kelompok umur 40 tahun keatas

diperkirakan pada tahun 1980 telah pula bekerja dan mayoritas sudah sarjana.

Variabel status perkawinan yang pada tahun 1980 menunjukkan derajat

asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 bergeser urutannya menjadi

yang paling rendah derajat asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan. Hal ini tidak

memberikan indikasi apapun, karena pada umumnya sarjana baik laki-laki maupun

perempuan yang telah bekerja mayoritas di atas usia kawin. Sehingga pengaruh

berbagai kebijakan pemerintah di bidang perkawinan mempunyai dampat yang relatif

Page 98: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

86

sangat kecil pada kelompok masyarakat ini. Selanjutnya dilihat dari kesenjangannya

menunjukkan hal –hal berikut. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang berstatus

belum kawin mempunyai kesenjangan yang lebih kecil dibandingkan yang sudah

pernah kawin. Begitu pula keadaan pada tahun 1990 menunjukkan gejala yang sama,

bahwa kelompok sarjana yang belum kawin yang telah bekerja relatif kesenjangannya

lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang pernah kawin (Tabel 13 dan Tabel

22).

Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan

variabel dengan bobot Factor Score coefficients (koefisien yang didapatkan dari

analisis faktor).

Angka Eigen value menunjukkan jumlah kontribusi variabelitas (informasi)

dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu

indeks komposit. Dalam analisis ini membuat indeks komposit variabel sosial dan

demografi. Variabel sosial terdiri dari variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran.

Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan dengan kepala

rumahtangga, Status Sperkawinan, dan variabel umur.

Indeks komposit variabel sosial (sosiall) pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen

dari total informasi atau variabilitas yang terkandung didalam tiga variabel ialah

varibel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemudian untuk datatahun 1990 memuat

63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposite demografi pada tahun 1980 memuat

40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktor-faktor

hubungan dengan kepala rumahtangga, status Perkawinan, dan Umur. Sedangkan

Page 99: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

87

pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di dalam ketiga

informasi tersebut.

Indeks komposit yang tersusun dengan metode regresi dari variabel-variabel

tersebut yang distandarkan dengan koefisien dalam persamaan sebagai berikut.

Sosial = 0,491 * Pulau + 0,317 * Daerah + 0,482 * Migrasi (thn1980). Eigen value

1,74 atau 58,1 persen.

Sosial = 0,462 * Pulau + 0,340 * Daerah + 0,453 * Migrasi (thn 1990). Eigen value

1,87 atau 63,0 persen

Demografi = 0,596 * Hub-KRT + 0,632 * S-kawin + 0,272 * Umur (thn 1980). Eigen

value 1,21 atau 40,2 persen

Demografi = 0,670 * Hub-KRT + 0,658 * S-kawin + 0,040 * Umur (thn 1990). Eigen

value 1,14 atau 38,0 persen

Dimana

Hub - KRT = Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga

S - kawin = Status Perkawinan.

Kemudian data demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous

(0,1). No 1 untuk skor negatif, dan satu untuk skor nol atau positif. Selanjutnya

Page 100: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

88

didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sisial

rendah, dan untuk sekor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya

untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi

kelompok nol atau positif desebut kelompok demografi tinggi.

Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi

terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan

metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung

(1993).

Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan antara

kategori dalam suatu variabel independen, pada kategori tertentu dari variabel-

variabel independen lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas

bersyarat.

Keadaan tahun 1980

1) Keadaan tahun 1980 interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh

terhadap kesenjangan yang ditunjukkan dengan angka koefisien interaksi (Ki)

sebesar 0,0250 (Tabel 25 pada Lampiran Bab IV). Kemudian secara parsial,

tahun 1980 menunjukkan bahwa koefisien asosiasi (Ka) parsial antara faktor

demografi terhadap kesenjangan pada kelompok sarjana yang bekerja di

sektor ekonomi non-pemerintah sama dengan -0,0106. Ini menunjukkan

bahwa bagi kelompok sarjana dengan skor demografi negatif atau kelompok

demografi rendah, bekerja pada sektor pemerintah mempunyai kesenjangan

Page 101: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

89

yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan skor demografi positif.

Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0144).

Selanjutnya kelompok sarjana yang bekerja pada sektor non-pemerintah

mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan

kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0117), baik mereka yang

mempunyai skor demografi negatif maupun positif (Ka=0,0367).

2) Interaksi lapangan pekerjaan dan sosial mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan (Ki=0,0063). Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang

bekerja pada kelompok sosial negatif mempunyai angka kesenjangan lebih

tinggi dibandingkan dengan kelompok sosia positif, baik yang sektor non-

pemerintahan maupun di sektor pemerintahan (Ka= -0,0326 dan -0,0063).

Selanjutnya sarjana yang bekerja di non pemerintahan mempunyai angka

kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di pemerintahan,

baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif

(Ka=0,0220 dan Ka=0,0292).

3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan (ki= -0,0117). Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial

negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok sosial positif, baik pada kelompok demografi negatif maupun

positif (Ka=0,0157 dan Ka=0,0040). Selanjutnya jika dilihat sarjana yang

bekerja menurut kelompok demografi skor negatif mempunyai angka

kesenjangan yang lebih rendah dari kelompok sosial skor negatif maupun

positif (Ka=-0,0215 dan Ka=-0,0332).

Page 102: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

90

4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonomi

tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.

Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda

negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, sebaliknya

bertanda positif pada kelompok yang bekerja di sektor pemerintahan. Secara

rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non-pemerintah

saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif

mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka pada kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong

sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial

skor negatif mampunyai angka kesenjangan dengan mereka pada kelompok

sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif

maupun positif. Selanjutnya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah

sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai

angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada

kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor

negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif

mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong

demografi skor negatif maupun positif.

5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori sosial

Tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.

Page 103: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

91

Interaksi variabel ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap

angka kesenjangan bertanda positif, baik pada kelompok sosial negatif

maupun kelompok sosial positif.

Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah

sebagai berikut.Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai

angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan denganmereka pada

kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi

sebagaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja

di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, pada kelompok yang

secara demografis skor negatif, sebaliknya pada yang skor demografi positif.

Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada

kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada

mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja di

pemeritahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai

angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang di

pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif

maupun positif.

6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori demografi

tertentu dijumpai hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi dan sosial

mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, pada

Page 104: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

92

kelompok yang secara demografis skor negatif. Sebaliknya pada kelompok

yang secara demografis skor positif.

Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor

negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif

mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka pada kelompok demografi positif, baik yang bekerja di non-

pemerintahan maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di

non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka yang dipemerintahan, pada kelompok sosial

skor negatif, sebaliknya pada yang skor sosial positif. Selanjutnya pada

kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok

sosial skor negatif mempunyai angka kesenjanganyang lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik yang di non-

pemerintah maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di

non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah

dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok

yang secara demografis skor negatif maupun positif.

Keadaan tahun 1990

1) Interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan.

Kelompok sarjana yang secara demografis mempunyai skor negatif

mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Page 105: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

93

kelompok yang secara demografis skor positif, pada sektor non pemerintah.

Sebaliknya kelompok sarjana dengan skor demografi negatif, bekerja pada

sektor non-pemerintahan lebih rendah. Kemudian yang bekerja di sektor di

non-pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan yang bekerja di sektor pemerintahan, baik pada kelompok

demografis skor negatif maupun positif.

2) Interaksi ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan.

Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang bekerja pada kelompok sosial

skor negatif mempunyai angka kesenjangan lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok sosial positif, pada sektor non-pemerintahan. Sebaliknya

pda sektor pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-

pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan

yang bekerja di pemerintahan, pada kelompok sosial skor negatif. Sebaliknya

pada kelompok sosial skor positif.

3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan. Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial negatif

mempunyai angka kesenjangan yang sama dengan kelompok sosial positif,

pada kelompok demografi skor negatif. Namun lebih tinggi pada kelompok

demografi skor positif. Selanjutnya jika dilihat sarjana yang bekerja menurut

kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih

rendah dari kelompok demografi skor positif, pada kelompok sosial skor

negatif. Tetapi sebaliknya pada kelompok sosial skor positif.

Page 106: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

94

4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonom

tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.

Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda

negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, baik pada

kelompok yang bekerja di non-pemerintahan maupun di pemerintahan.

Secara rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non

pemerintah saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor

negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka pada kelompok demografi positifk baik pada mereka yang

tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada

kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada

mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif.

Selanjunya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah sebagai berikut.

Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka

kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada kelompok

demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif

maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif

mempunyai angka kesenjanganyang lebih rendah dibandingkan denan

mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong

demografi skor negatif maupun positif.

5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori

sosial tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi

Page 107: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

95

dan demografi mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda

positif, baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif.

Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah

sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai

angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada

kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi

sebaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di

non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi

dibandingkan denganmereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang

secara demografis skor negatif maupun positif.

Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada

kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada

mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja

dipemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah

mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan

mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis

skor negatif maupun positif.

6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori

demografi tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.

Interaksi variabel ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap angka

kesenjangan bertanda positif, pada kelompok yang secara demografis skor

negatif maupun positif.

Page 108: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

96

Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor

negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif

mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka pada kelompok demografi positif, pada kelompok yang bekerja di

non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan.

Selanjutnya sarjana yang bekerja di non- pemerintah mempunyai angka

kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang di

pemerintah, baik pada kelompok sosial skor negatif maupun positif.

Selanjutnya pada kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana

pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, pada

kelompok yang bekerja di non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok

yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-

pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan

dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara

demografis skor negatif maupun positif.

3. Pengujian hopotesis

Hipotesis yang dituliskan pada bab terdahulu ada lima butir ialah tentang

perbedaan kesenjangan antara jurusan pendidikanyang ditamatkan dan jabatan/profesi

yang ditekuni, ada asosiasi/pengaruh demografi terhadap kesenjangan, ada

asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan, dan ada asosiasi/pengaruh

faktor ekonomi terhadap kesenjangan.

Page 109: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

97

Secara sistematif hipotesis ini dituliskan sebagai berikut.

i) Ada perbedaan kesenjangan (antara hasil pendidikan dan jabatan

pekerjaan yang ditekuni, pada jenjang pendidikan tinggi) antara

kelompok sarjana menurut kelompok jurusan. Demikian juga

antara kelompok jabatan.

ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan

antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,

iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara

hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,

iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan

antara hali pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,

v) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan

jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan

pada tahun 1980, dan

vi) Secara multivariat pada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial

dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi

dan jabatan pekerjaan yang ditekuni.

Hipotesis tersebut secara sederhana telah dibuktikan sebagaimana pada uraian

c.2 tentang deskripsi kesenjangan. Tiga faktor dalam hipotesis : demografi, sosial,

ekonomi secara sederhana mempunyai asosiasi dengan kesenjangan. Artinya, secara

berurutan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

Page 110: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

98

Pertama memang ada kesenjangan bagi pada sarjana yang telah bekerja

menurut Jurusan dan jabatan yang ditekuninya.

Kedua telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap

kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang

ditekuni. Faktor demografi yang terdidi dari empat variabel yaitu hubungan

dengan kepala Rumahtangga (B6P1B), jenis perkawinan (B6P2), umur

(B6P4Y), dan status perkawinan (B6P5B) masing-masing mempunyai

asosiasi/pengaruh yang signifikan baik pada tahun 1980 maupun pada tahun

1990.

Ketiga telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap

kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang

ditekuni. Faktor sosial terdiri dari dari empat variabel ialah daerah (B1P5),

Pulau (B1P1Y), Agama (B6P6X), Migrasi (MIG1) masing-masing juga

menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan yang

terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan jabatan yang

ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun pada data

tahun 1990.

Keempat telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap

kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang

ditekuni. Data ekonomi yang dipergunakan adalah pendekatan data akses

sumber pendapatan melalui variabel lapangan pekerjaan (B7P31C) yang

ditekuni yang menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap

kesenjangan yang terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan

Page 111: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

99

jabatan yang ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun

pada data tahun 1990.

Kelima telah terbukti pula bahwa ada penurunan kesenjangan antara hasil

pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990

dibandingkan pda tahun 1980. Hal ini ditunjukkan secara umum bahwa

kesenjangan pada tahun 1980 sebesar 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990

telah turun menjadi 77,7 persen. Penurunan ini terjadi sangan signifikan, yang

ditunjukkan dengan test statistik Z0, dimana Z0 = (P1–

P2)/√{P.q[1/n1+1/n2]}untuk uji beda dua proporsi.

Z0 = (0,913-0,777)/√[0,804x0,196x(1/190453+1/1772258)]

= 133,91.

Untuk melihat apakah secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor

demografi, sosial dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi

dan jabatan pekerjaan yangditekuni, sesuai dengan skala pengukuran variabel-

variabel dalam penelitian ini bersifat kategorik dan dichotomous, digunakan model

Logistik (Agung, 1993). Model ini merupakan model yang diselaraskan analog

dengan analisis regresi ganda, namun dalam penelitian ini semua variabelnya

mempunyai ukuran dua kategori yang mempunyai nilai dichotomous {0,1}.

Penyelarasan model dilakukan pada variabel kesenjangan (K) sebagai variabel

dependen dan indikator ekonomi (E), demografi (D), dan sosial (S), serta semua

Page 112: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

100

kemungkinan interaksinya SxE, SxD, ExD, ExDxS sebagai variabel independen.

Masing-masing mempunyai ukuran kategorik dengan nilai nol dan satu (0,1).

K 0 Tidak Senjang 1 senjang

E 0 Di N-Pemerintahan 1 Di Pemerintahan

D 0 Skor < 0 1 Skor ≥ 0

S 0 Skor < 0 1 Skor ≥ 0

Variabel kesenjangan (K) didefinisikan sebagai berikut. Apabila seorang yang

bekerja dengan jabatan tertentu (ISCO tiga digit) dan tidak cocok dengan jurusan

kesarjanaannya (ISCED) dua digit) dikatakan senjang dan diberi skor satu, sebaliknya

diberi skor 0. Indikator ekonomi (E) merupakan indikator lapangan pekejaan. Jika

seseorang bekerja di lapangan Non-Pemerintahan diberi skor 0, kemudian yang

bekerja di Pemerintahan diberi skor 1. Indikator demografi (D) merupakan indikator

yang disusun berdasarkan tiga variabel demografi. Tiga varabel demografi tersebut

adalah hubungan dengan Kepala Rumah tangga, statu Perkawinan, dan Umur.

Penyusunan dilakukan denganmenggunakan analisis faktor. Indikator demografi

diberi skor 0 atau (D=0) jika indeks komposit atau faktor skor < 0, dan diberi skor 1

(D=1) Apabila indeks komposit atau faktor skor ≥ 0. Dengan cara yang sama untuk

indikator sosial (S), dimana indikator ini merupakan indeks komposit dari tiga

variabel Pulau, Daerah dan Migran.

Page 113: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

101

Persamaan umum fungsi logistik adalah sebagai berikut.

Ln [p/(1-p)] = B0 + B1E + B2D + B3S

+ B4ExD + B5ExS + B6DxS

+ B7ExDxS

atau dapat dituliskan sebagai berikut

p/(1-p) = Exp (B0).Exp(B1E).Exp(B2D).Exp(B3S)

Exp(B4ExD).Exp(B5ExS).Exp(B6DxS)

Exp(B7ExDxS)

dimana p adalah proporsi atau probalitas terjadinya kesenjangan.

Persamaan fungsi logistik yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan pada

data tahun 1990 secara berurutan adalah sebagai berikut.

Ln [p/(1-p)]1980 = 2,6100 -- 0,2232*E - 0,3365*D

-- 0,5751*S + 0,4394*ExS

+ 0,2815*DxS + 0,7254*ExD

- 0,5992*ExDxS.

atau

[p/(1-p)]1980 = Exp (2,6100).Exp(-0,2232*E)

Exp(-0,3365*D).Exp(-0,5751*S)

Exp(0,4394*ExS).Exp (0,2815*DxS.

Exp(0,7254*ExD).Exp (-0,5992*ExDxS)

Page 114: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

102

atau berdasarkan koefisien Exp (B)

p/q = 13.5990508518 * 0,7999E * 0,7143D * 0,5626S

* 1,5518SxE * 1,3252SxD

* 2,0656ExD * 0,5493ExDxS

Ln [p/(1-p)] 1990= 2.3614 - 1,4453* E - 0,3032*D

- 0,8584*S + 0,9255*ExS

+ 0,0622*DxS + 0,5681*ExD

- 0,1145*ExDxS.

atau

[p/(1-p)]1990 = Exp(2.3614) .Exp (-1,4453 * E)

Exp(-0,3032 * D) .Exp (-0,8584 * S)

Exp(0,9255 * ExS) .Exp (0,0622 * DxS).

Exp (0,5681 * ExD) .Exp (-0,1145 * ExDxS)

atau berdasarkan koefisien Exp (B)

p/q = 2.3614 * 0.2357E * 0.7384D * 0.4238S

* 2.52311SxE * 1.0642SxD * 1.7649ExD

* 0.8918ExDxS

Page 115: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

103

Uji Tuna Cocok

Pengujian kecocokan dengan metode estimasi kecenderungan maksimum

(Maximum Likelihood Estimation), dengan pengertian hasil nilai yang di observasi

mempunyai kecenderungan yang sebesar mungkin atau maksimal (Agung 1995).

Nilai kecenderungan (likelihood) ini kurang dari satu. Oleh karenanya dipergunakan

nilai tes -2LL = -2 Log Likelihood. Dikatakan bahwa model akan sempurna jika nilai

likelihood (kecenderungan) sama dengan satu, atau -2 LL =0.

Penyelerasan model pada data tahun 1980 menunjukkan angka -2LL=

111591.651 dengan angka signifikan sangat kecil, yang berarti model logistik yang

diselaraskan berbeda dengan model sempurna. Namun demikian statistik Model Chi-

Square (MCS) = 1003.421 dengan derajat bebas tujuh, dan angka significance

kecilyang berarti secara bersama-sama indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai

pengaruh yang berarti terhadap kesenjangan. Selanjkutnya statistik Improvement

mempunyai makni yang sama seperti MCS, jika metode estimasi dilakukan dengan

forword atau backword. Dikatakan bahwa MCS analog dengan D dalam regresi

ganda, dan Improvement analog dengan perubahan F dalam analisis regresi regresi

ganda. Selanjutnya Statistik Goodness of Fit = 190423.970 dengan derajat bebas

sangat besar dan signifikansi sangat kecil, menunjukkan bahwa model yang

diselaraskan berbeda secara signifikan dengan model sempurna. Statistik Goodness of

Fif sama dengan statistik -2LL.

Metode lain untuk mengetahui sejauh mana penyelerasan model cocok dengan

yang sempurna dengan menggunakan tabel klasifikasi. Penyelarasan model pada data

tahun 1980 menunjukkan angka sebesar 91,30 persen. Artinya 91,30 persen observasi

Page 116: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

104

masih benar apabila diprediksi dengan model yang diselaraskan tersebut (Nurosis,

1986 : B-44).

Jadi analisis multivariate menggunakan model Logistik menunjukkan bahwa

hiptesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara indikator ekonomi,

demografi, sosial, serta interaksinya terhadap kesenjangan yang terjadi tidak ditolak.

Pada tahun 1980 mempunyai nilai statistik uji kecocokan -2LL = 111591,651

dan pada tahun 1990 -2LL = 804924,148 (Tabel 4.2). Kemudian pada tahun 1980

mempunyai nilai statistik uji pengaruh ganda MCS = 1003,421 dan pada tahun 1990

MCS = 11284,145.

Berdasarkan derajat signifikansinya, pada tahun 1980 dan pada tahun 1990

berdasarkan statistik -2LL, keduanya menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap

model yang sempurna, namun berdasarkan statistik MCS, keduanya menunjukkan

bahwa indikator E, D, S, dan interaksinya mempunyai pengaruh terhadap

kesenjangan secara bermakna. Pada tahun 1980 menurut statistik Classification Table

menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 91,30 persen, sedangkan pada tahun 1990

menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 77,82 persen.

Page 117: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

105

Tabel 4.2 Perbandingan Uji Statistik tahun 1980 dan 1990

Statistik Tahun 1980 Tahun 1990 Chi – Square df Significance Chi – Square df Significance -2 Log Likelihood 111591.651* * * * * * .0000 804924.148 * * * * * .0000 Model Chi-Square 1003.421 7 .0000 11284.145 7 .0000 Improvement 1003.421 7 .0000 11284 7 .0000 Goodness of Fit 190423.970* * * * * * .0000 771257.020 * * * * * .0000 Classification Table Percent Correct Overall 91.30% Percent Coorect Overall 77.82% Kebermaknaan Pengaruh indikator E, D, S

Indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai pengaruh secara berarti

terhadap kesenjangan (k) yang ditunjukkan dengan nilai statistik Wald dan nilai

signifikansinya yangmenunjukkan angka kurang dari 0,0500. Hal ini berarti bahwa

Indikator E, D, S serta interaksinya SxE, SxD, ExD dan ExDxS mempunyai pengaruh

terhadap kesenjangan secara bermakna atau Narasi Pengaruh Indikator E, D dan S.

Pengaruh indikator E, D, S, dan interaksinya terhadap kesenjangan (K)

ditunjukkan dengan koefisien Beta (B) atau nilai Exp (B). Nilai B menunjukkan nilai

perubahan dari log odds. Log odds nilai log rasio probabilitas terjadinya kesenjangan

dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari niali salah sati indikator

E, D, S, SxE, SxD ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan pengaruh kepada nilai

log odds sebesar Bi dengan asumsi ceteris paribus (Nurosis, 1986:B-43).

Kesenjangan menurut indikator Ekonomi

Page 118: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

106

Selanjutnya untuk analisis odds Ratio (OR) dilakukan sedikit modifikasi

sehingga dapat ditemkukan beberapa pengaruh perubahan suatu indikator independen

E, D, S dari 0 ke 1 terhadap kesenjangan (K). Nilai Or pada Tabel 38 ini

menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Kelompok sarjana yang status demografinya

rendah (S=0) dan status sosial juga rendah (S=0), statistik OR atau perbandingan

probabilitas terjadinya kesenjangan antara pendidikan dan jabatan pekerjaan tahun

1980 pada kelompok sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan (E=1) sama dengan

0,7999 kali dibandingkan dengankelompok sarjana yang bekerja di Non-

Pemerintahan (E=0). Angka OR ini berbeda pada kelompok sarjana yang skor

demografi rendah (E=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi finggi (D=1)

dan skor sosial rendah (S=0) , skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi

(S=1), secara berurutan adalah sama dengan 1,2413; 1,6523; dan 1,4084.

Ketiga nilai ini lbih besar dari satu yang berarti probabilitas terjadinya

kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih besar

dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1980.

Keadaan ini berubah pda keadaan tahun 1990, semua statistik OR

menunjukkan nilai kurang dari satu. Secara berurutan nilai OR pada kelompok

sarjana yang skor demografi rendah (E=0) dan skor sosial rendah (S=0), skor

demografi rendah (D=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi tinggi (D=1)

dan skor sosial rendah (S=0), skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi

(S=1), masing-masing secara berurutan mempunyai nilai 0,2357; 0,5947; 0,4160;

0,9360.

Page 119: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

107

Keempat nilai ini kurang dari satu yang berarti probabilitas terjadinya

kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih kecil

dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1990.

Kesenjangan menurut Indikator Demografi

Nilai 0R pada Tabel 39 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pada tahun

1980 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan status sosial

rendah (S=O), bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan Status sosial tinggi (S=1),

bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=O), bekerja di

Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai

OR sama dengan 0,7143; 0,9466; 1,4755; 1,0740.

Pada tahun 1990 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemertinahan (E=O)

dan status sosial rendah (S=O) bekerja di Non Pemerintahan (E=O) dan status sosial

tinggi (S=1), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=0), bekerja di

Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai

OR sama dengan 0,7384, 0,7858, 1,3032, 1,2368.

Hal ini menunjukkan bahwa sarjana yang bekerja di Non Pemerintah (E=O)

baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai probabilitas

kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya lebih rendah

dibandingkan dengan yang bekerja di Pemerintahan. Sebaliknya sarjan ayng bekerja

di Pemerintah (E=) baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai

probabilitas kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan dan jabatannya lebih tinggi

dibandingkan yang bekerja di Pemerintahan.

Page 120: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

108

Kesenjangan menurut Indikator Sosial

Nilai OR pada Tabel 40 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Pada tahun

1980 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Non-

Pemertinahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Pemerintahan

(E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non-Pemerintahan (E=O); Status

demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara berurutan

mempunyai nilai OR sama dengan 0,7999; 0,8730; 0,7456; 0,6355. Nilai-nilai OR

tersebut kurang dari satu yang menunjukkan bahwa probabilitas kesenjangan (p)

antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya pada status sosial tinggi (S=1) lebih

rendah dibandingkan dengan mereka yang status sosial tinggi (S=1). Hal ini terjadi

pada semua kategori demografi dan ekonomi.

Pada tahun 1990 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=0) dan

bekerja di Non-Pemerintahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di

Pemerintahan (E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non Pemerintahan

(E=O); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara

berurutan mempunyai nilai OR sama dengan o,4238; 1,0693, 0,4510; 1,0148. Hal

ini menunjukkan bahwa kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya

kesenjangan lebih kecil dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada

mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1)

dan bekerja di Non Psemerintahan (E=O).

Sebaliknya pada kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya

kesenjangan lebih besar dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada

Page 121: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

109

mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1)

dan bekerja di Pemerintahan (E=0).

Jadi fungsi logistik terlengkap diselaraskan pada data tahun 1980 dan data

tahun 1990 berbeda dengan model sempurna, namun tetap menunjukkan pengaruh

variabel independen dari indikator E, D, S, dan interaksinya secara bersama-sama

mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen kesenjangan (K) secara bermakna.

Masing-masing variabel independen E, D, S, dan interaksinya juga berpengaruh

secara bermakna (Ceteris paribus) terhadap kesenjangan (K) yang ditunjukkan

dengan statistik Wald.

Pada tahun 1980 probabilitas terjadinya kesenjangan (p) pada sarjana yang

bekerja di Pemerintahan secara umum lebih besar dibandingkan denan yang bekerja

di non-Pemerintahan. Sebaliknya terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan

yang bekerja di Pemerintahan lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non

Pemerintahan. Hal ini terjadi baik pada kelompok sarjana dengan skor demografi

rendah maupun tinggi, begitu pula skor sosial rendah maupun tinggi.

Menurut Demografi

Pada tahun 1980 para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai

probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana

dengan status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Non-

Pemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi.

Sebaliknya, para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas

terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan

Page 122: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

110

status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan,

baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990

mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada

angka besarannya.

Menurut Sosial

Pada tahun 1980 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai

probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana

dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada semua kelompok ekonomi maupun

sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai

probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan sarjana

dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di

Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi rendah maupun tinggi.

Untuk membanding pengujian dengan model Logistik dipergunakan analisis

regresi ganda dan model loglinear. Dalam hal ini dipergunakan hanya untuk menguji

bagaimana gambaran populasinya walaupun asumsi normalitas tidak terpenuhi, tetapi

masih dapat dipergunakan (Agung, 1995: 222). Model loglinear yang biasa

dipergunakan untuk menganalisis asosiasi/korelasi antara variabel-variabel dalam

tabel silang ganda (multiway crosstabelations). Teknik ini menggunakan formula

persamaan fungsi di mana log setiap frekwensi dalam sel merupakan fungsi dari

pengaruh total dan interaksinya. Dalam proses pengolahan pemasangan model dapat

dilakukan secara sempurna yang disebut saturated model, atau dapat dirancang hanya

Page 123: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

111

model terbatas dengan menentukan salah satu variabel sebagai variabel dependen.

Dalam struktus penelitian ini dapat dituliskan persamaannya sebagai berikut.

Log fij = b1k + b2KxD + b3KxS + b4KxE + b5KxDxS

+ b6KxDxE + b7KxSxE + b8KxDxSxE.

Dimana : K = Kesenjangan

D = Demografi

S = Sosial

E = Ekonomi

X = Interaksi

fij = frekwensi pada sel tabel silang ganda berdimensi empat

(K,D,S,E).

Selanjutnya penyelarasan dilakukan pada masing-masing data tahun 1980 dan

pada data tahun 1990. Interaksi variabel ekonomi dan Sosial disimbolkan ExS,

interaksi variabel demografi dan sosial disimbolkan DxS, interaksi variabel ekonomi

dan demografi disimbolkan ExD, dan interaksi antara ketiga variabel ekonomi,

demografi dan sosial disimbolkan ExDxS.

Analisis multivariate menggunakan model Lo-linear menunjukkan bahwa

hipotesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara variabel ekonomi,

demografi, sosial, serta interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi juta ditolak.

Page 124: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

112

D. Diskusi Hasil

1. Diskusi

Dengan perumusan masalah yang diajukan di muka, pembatasan, serta konsep

dan definisi yang diajukan tentang kesenjangan, jabatan pekerjaan, jurusan

pendidikan, lapangan pekerjaan, variabel sosial, variabel demografi, variabel

ekonomi maka berdasarkan kerangka pikir yang diajukan penelitian ini menghasilkan

hal-hal berikut.

Secara makro kesenjangan antara luaran pendidikan tinggi jenjang s1 keatas

di Indonesia pada periode PJP I yang diambil data tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai

benchmark menunjukkan kesenjangan masing-masing 90,3 persen dan 77,7 persen.

Angka ini berarti menunjukkan kesesuaian sebesar 8,7 persen pada tahun 1980 dan

22,3 persen pada tahun 1990. Angka ini juga terjadi hampir sama dengan keadaan di

Jerman (kasardadan Friedrichs, 1985). Walaupun hal ini terjadi dengan konsep

kesenjangan yang dirancang aplikasinya secara khusus, yang akan berbeda hasilnya

dengan rancangan yang berbeda, namun hal ini memberikan tanda atau signal

bagaimana proses belajar mengajar selama periode akhir tujuh puluhan dari periode

delapan puluhan yang tercermin pada keadaan tahun 1980 dan 1990. Hasil secara

makro nasional mempunyai validitas yang tinggi, namun tidak kepada

pengelompokan yang lebih kecil lagi.

Angka ini menunjukkan perubahanyang signifikan selama periode 10 tahun

pada PJP I. Perubahan yang signifikan ini seiring dengan perubahan hasil

pembangunan nasional selama PJP I tersebut.Secara spesifik pada penelitian ini

dengan mengambil variabel ekonomi, sosial, dan demografi yang didefinisikan

Page 125: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

113

berdasarkan data individu pada SP80 dan SP90 menunjukkan adanya asosiasi atau

peran atau pengaruh yang mungkin secara langsung atau tidak terhadap kesenjangan

yang terjadi. Pengaruh situasi ekonomi, sosial, dan demografi pada tahun 1980, dan

perubahannya hingga tahun 1990 yang menggambarkan perubahan keberhasilan

pembangunan nasional ini juga mempunyai perubahan struktur, dan derajat

pengaruhnya kepada kesenjangan tersebut.

Pada tahun 1980 faktor ekonomi memberikan peran yang lebih kecil terhadap

kesenjangan yang terjadi dibandingkan faktor sosial, dan demografi. Tetapi pada

tahun 1990 faktor ekonomi, bersama sama dengan faktor sosial dan demografi

memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesenjangan.

Temuan ini menunjukkan bahwa secara makro ada dua hal. Pertama faktor

ekonomi, sosial, dan demografi berkaitan secara signifikan dengan kesenjangan

antara jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan pada jenjang yang ditamatkan S1

keatas. Keua dengan menggunakan pertolongan model analisis deskripsi ganda yang

diajukan oleh Agung (1993) dapat dianalisis peranan atau kaitan faktor ekonomi,

sosial, dan demografi lebih rinci. Dengan perkataan lain analisis rinci ini dapat

dipergunakan sebagai bahan masukan dan penyusunan perencanaan di tingkat strategi

(Situmorang, 1985).

Namun demikian analisis diatas masih dalam batas toleransi pengelompokkan

yang relatif masih dianggap valid, ialah pengelompokan masih tingkat nasional, dan

hanya sampai kelompok dichotomous, baik pada indikator ekonomi, demografi dan

sosial.

Page 126: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

114

Pada analisis awal pengelompokan yang dilakukan sebagai pada Tabel 1

samapai dengan Tabel 4 pada lampiran Tabel Analisis Bab IV, menunjukkan

berbagai distorsi yang diakibatkan dari (1) ukuran dan rancangan sampel, (2)

penyelarasan klasifikasi jurusan pendidikan tahun 1980 dengan tiga digit, dan tahun

1990 menjadi dua digit, (3) pengoperasionalisasi konsep kesenjangan antara jurusan

pendidikan dengan jabatan (occupation) yang ditekuni, dan (4) lain-lain, seperti

kemampuan pencacah pada sensus penduduk tahun1980 yang berbeda dengan 1990,

rancangan blok sensus yang berbeda. Secara common sense tentang distorsi tersebut

harus dilakukan validasi atau penyelarasan terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi, terutama pada butir (2) dan (3) diatas. Untuk melakukan ini

seyogyanya ada penelitian atau pengolahan dan analisis ulang dengan pendekatan

yang berbeda terhadap data yang sama (SP80 dan SP90) atau melakukan penelitian

lapangan.

2. Keterbatasan

Berbagai keterbatasan pada penelitian ini, antara lain pada data, aplikasi

konsep kesenjangan, dan metode yang dipergunakan, dibahas di bawah ini.

Data yang dipergunakan adalah data sekunder, walaupun data tape yang

diakses secara utuh. Namun data tersebut merupakan data makro nasional. Data rinci

pada sensus penduduk baik tahun 1980 dan data sensus tahun 1990, dikumpulkan

melalui sampel berukuran lima persen. Sampel ini dirancang oleh Biro Pusat Statistik

untuk estimasi pada berbagai pengelompokkan tertentu dan tingkat tertentu,

sebagaimana yang tercakup pada berbagai terbitan sensus penduduk.

Page 127: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

115

Pengelompokkan yang dapat dipertanggungjawabkan akurasi danvaliditasnya untuk

pendidikan yang muncul pada berbagai terbitan adalah menurut jenjangnya. Adapun

pengolahan menurut jurusan pendidikan Biro Pusat Statistik tidak menerbitkannya.

Hal ini karena masih banyak pekerjaan validasi yang harus dilakukan, melalui

berbagai pertemuan para ahli dan pengguna sebelum diterbitkan. Biro Pusat Statistik

dalam kegiatan penyajian data berupa publikasi, biasanya melakukan validasi melalui

pembahasan pada pertemuan dengan mengundang instansi terkait, para pengguna,

dan para ahli dari berbagai perguruan tinggi, maupun masyarakat. Data tahun 1980

pertanyaan no 23 blok VII (B8P7) halaman 8 lampiran, mencakup informasi

klasifikasi jurusan hingga tiga digit, kemudian data tahun 1990 pertanyaan no 19 blok

VIB atau B6BP19 halaman 13 lampiran, mencakup informasi jurusan hanya dua

digit. Selanjutnya jawaban klasifikasi jurusan pendidikanpada sensus penduduk tahun

1980 berbeda dibandingkan dengan klasifikasi jurusan pada sensus penduduk tahun

1990. Hal ini kemudian dilakukan penyelarasan. Sehingga ada beberapa kendala yang

mengakibatkanada distorsi pada pengelompokan ulang. Membanding keadaan tahun

1980 dengan tahun 1990 secara makro dapat dipercaya. Namun untuk

pengelompokkan lebih rinci, diperkirakan ada beberapa distorsi yang dijumpai.

Penyelarasan dari tiga digit menjadi dua digit memberikan kontribusi kesalahan. Data

dikumpulkan oleh petugas pengumpulan data sensus yang mempunyai kualifikasi

pencacah berbeda. Pencacahan dilakukan oleh petugas pencecah sepeti matri statistik

dan juga menggunakan tenaga lokal dengan persyaratan paling tidak lulusan SMA

atau diutamakan pada guru SD di Daerah. Namun sesuai dengan perkembangan

tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada tahun 1980 relatif lebih rendah

Page 128: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

116

dibandingkan dengan keadaan tahun 1990. Poedjiastoeti (1989) menjelaskan bahwa

didaerah-daerah pendesaan, secara terpaksa digunakan bantuan tenaga pencacah yang

pendidikannya belum SMA, karena tidak adanya tenaga yang mempunyai kualifikasi

tersebut. Hal ini memberikan kontribusi kesalahan pada penggalian serta penuangan

jawaban jurusan pendidikan maupun jabatan pekerjaan. Sehingga memberikan

kontribusi kesalahan pada penyelarasan jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan.

Konsep pengukuran kesenjangan yang pernah dilakukan melalui pendekatan

persepsi responden (Clogg dan Shockey, 1984), dan pendekatan jumlah tahun belajar

yang diselaraskan dengan lapangan pekerjaan (Kasarda dan Friedrichs, 1985).

ILO (1990) pada penjelasan ISCO-88 memberikan conceptual framework

sebagai berikut:

The framework necessary for designing and constructing ISCO-88 has been

based on two main concept of the kind of performed or job, and the concept of

skill.

Job-defined as a set of tasks and duties executed, of meant to be executed, by

one person. A set of jobs whose main tasks and duties are characteriazed by a

high degree of similarity constitute an occupation persons are classified by

occupation through their relathionship to a past, present or future job.

Skill-defined as the ability to carry out the tasks and duties of a given job has

two following dimensions: skill level and skill specialisation. Skill level –

which is a function of the complexity an range of teh tasks and duties

involved. Skill specialisation – defined vy the field of knowledge required. The

tools and machinery used. The materials worked on or with. As well the kinds

of goods and services produced.

Page 129: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

117

Pada buku ISCo-88 tersebut diberikan penjelasan bahwa ada empat tingkat

keterampilan (skill level). Keterampilan tingkat pertama bersesuaian dengan

kemampuan yang didapatkan di tingkat Sekolah Dasar, keterampilan tingkat dua

bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di sekolah SLTP, keterampilan

tingkat tiga bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di SLTA, dan

keterampilan tingkat empat bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di

perguruan tinggi ke atas. Namun pada prekteknya dilapangan juga menggunakan

beberapa subjective judgment was involved in determining the skill levels of

occupations. Konsep umum diatas tidak berlaku pada kelompok kepemimpinan

danketatalaksanaan (legislators, senior officials an managers) dan tenaga angkatan

bersenjata (ormed force). Acuan diatas merupakan acuan umum, sehingg untuk

mengaplikasikan pada tingka tertentu, seperti pada penelitian ini cenderung pada

keterampilan tingkat empat yang bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di

perguruan tinggi keatas.

Pada penelitian ini pendekatan pengukuran kesenjangan antara jurusan

pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni oleh sarjana ditentukan sacara

subyektif dan arbitrary, (Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada lampiran halaman 18 dan 21).

Jadi pengaplikasian konsep mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan

jabatan (occuppation) yang ditekuni sebagaimana Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada

lempiran halaman 18 dan 21, masih mempunyai berbagai kekurangan dan

keterbatasan. Penyelarasan konsep mismatch atau sebaliknya kesesuaian antara

jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni akan berbeda-=beda bagi orang

atau kelompok yang berbeda, walaupun dengan acuan yang sama. Oleh kiarenanya,

Page 130: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

118

penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus ditindaklanjuti, dan direplikasi

sehingga didapatkan pengertian dan operasionalisasi serta aplikasi yang lebih definitif

tentang mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni

(occupation). Walaupun metode statistik yang dipergunakan telah memenuhi berbagai

persyaratan atau asumsi yang diperlukan, namun data dan aplikasi konsep

kesenjangan mempunyai berbagai keterbatasan, maka hasilnya juga mempunyai

kelemahan dan keterbatasan.

Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis multitable atau

analisis tabulasi berdimensi ganda dan menggunakan model logistik. Komputasi

dilakukan dengan menggunakan soft-ware SPSS PC+. Berhubung adanya

keterbatasan kemampuan soft-ware ini, yang hanya mencapuk lima faktor/variabel

bebas dalam analisis model logistik, maka dilakukan penggabungan variabel dalam

faktor demografi yang terdidi dari tiga variabel, faktor sosial terdiri dari tiga variabel,

dan faktor ekonomi terdidi dari satu variabel, sebagaimana pada uraian diatas.

Page 131: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

119

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Secara umum menurut pengelompokan geografis, dan pengelompokan

ekonomi, demografi, sosial dengan cakupan nasional secara dichotomous, validitas

data masih dapat diterima dan dapat dipergunakan hasilnya. Adapun pengelompokan

pada jenjang yang lebih rinci, seperti jurusan pendidikan menurut klasifikasi dua

digit, kemudian jabatan menjadi dua atau tiga digit akan memberikan hasil yang

mempunyai validitas rendah.

Penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus diimprovisasi dengan

berbagai penelitian yang dilakukan oleh orang lain, kelompok lain dengan

menggunakan berbagai pendekatan yang lain, sehingga mendapatkan konsep dan

pengoperasian yang sama untuk dipergunakan dalam pengembangan proses belajar

mengajar diperguruan tinggi. Penelitian penelitian lebih rinci dapat dilakukan dengan

berbagai pendekatan yang berbeda untuk mencapai hasil yang lebih obyektif.

Selanjutnya dengan kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan

yang ditekuni oleh masyarakat Indonesia didefinisikan secara matematis, sedemikian

rupa seperti telah diuraikan di atas, memberikan hasil berikut, kesenjangan ini telah

diukur berdasarkan data pada sensus penduduk tahun 1980, dan tahun 1990. Pada

tahun 1980 kesenjangan pada masyarakat Indonesia yang menyelesaikan jenjang

pendidikan S1 dan bekerja terjadi sebanyak 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990

terjadi 77,3 persen. Penurunan terjadi selama sepuluh tahun secara signifikan.

Page 132: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

120

Penurunan angka kesenjangan yang terjadi dari tahun 1980 dibandingkan tahun 1990,

mempunyai kaitan langsung secra kualitatif dengan implementasi perencanaan

pembangunan pendidikan yang selama ini dilakukan.

Untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan variabel-variabel

bebas menjadi indeks komposit atau disebut variabel indikator, ialah indikator

ekonomi, demografi, dan sosial yang disusun dengan metode analisis faktor.

Indikator ekonomi terdiri dari lapangan pekerjaan dipemerintahan dan di non

pemerintahan. Indikator sosial terdiri dari variabel pulau, daerah, dan status migran.

Indikator demografi terdiri dari hubungan dengan kepala rumahtangga, status

perkawinan, dan umur. Faktor ekonomi, sosial, dan demografi mempunyai kaitan

dengan kesenjangan baik pada tahun 1980 dan tahun 1990. Begitu pula ada

perubahan Struktur keterkaitan tersebut selama kurun waktu sepuluh tahun tersebut.

Secara makro faktor ekonomi, demografi, dan sosial menunjukkan adanya asosiasi

terhadap kesenjangan yang terjadi selama PJP I, yang tergambarkan pada data tahun

1980 dan tahun 1990 secara signifikan. Dengan perkataan lain bahwa ada perbedaan

kesenjangan jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuni menurut kategori

ekonomi, demografi, sosial, atau menurut kategori lapangan pekerjaan, daerah, pulau,

agama, mobilitas penduduk , keluarga atau tempat tinggal, jenis kelamin, umur, dan

status perkawinan terhadap kesenjangan yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa

ada pengaruh factor-faktor tersebut terhadap kesenjangan.

Berdasarkan indicator-indikator tersebut diatas, dengan menggunakan metodr analisis

regresi logistik yang dimodifikasi (Agung,1993), untuk diaplikasikan pada persamaan

regresi dimana variabel terikat mempunyai jawaban {0,1}dan variabel bebasnya

Page 133: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

121

sebagai indikator. Variabel bebas atau indikator juga mempunyai skala pengukuran

yang dichotomous atau {0,1}. Persamaan ini memberikan informasi tentang

perbedaan kesenjangan kelompok individu yang terjadi menurut variabel bebas

tertentu dengan memperhitungkan variabel-variabel bebas lainnya.

Metode multivariate odds Ratio yang dikembangkan oleh Agung (1993) berdasarkan

konsep Log odds dengan memperhitungkan faktor interaksi, juga diaplikasikan.

Konsep Log odds dalam disertasi ini merupakan nilai log rasio probabilitas terjadinya

kesenjangan dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari nilai salah

satu indikator R, D, S, SxE, SxD, ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan

pengaruh kepada nilai log odds sebesar βi dengan asusmi ceteris paribus. Selanjutnya

statistik odds Ratip (OR) yang dimodifikasi dipergunakan untuk analisis berapa

resiko kesenjangan sarjana menurut suatu indikator bebas tertentu setelah

memperhitungkan indikator-indikator bebas lainnya. Berdasarkan fungsi logistik

terlengkap yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan data tahun 1990 menunjukkan

penjelasan sebagai berikut. Menurut indikator Ekonomi, pada tahun 1980 probabilitas

terjadinya kesenjangan (p) para sarjana yang bekerja di Pemerintahan secara umum

lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Sebaliknya

terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan yang bekerja di Pemerintahan lebih

kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Hal ini terjadi baik

pada kelompok sarjana dengan skor demografi rendah maupun tinggi, begitu pula

skor sosial rendah maupun tinggi. Menurut indikator Demografi, pada tahun 1980

para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya

kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana dengan status

Page 134: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

122

demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan,

baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Sebaliknya, para

sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya

kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan status

demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik

pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990

mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada

angka besarannya. Menurut indikator sosial, pada tahun 1980 para sarjana dengan

status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesejangan (p) lebih kecil

dibadingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada

semua kelompok ekonomi maupun sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status

sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar

dibandingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada

sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi

rendah maupun tinggi.

Berdasarkan statistik odd Ratio kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan

jabatan yang diketahui pada tahun 1980 dan tahun 1990 disimpulkan sebagai berikut.

Pada tahun 1980, kelompok sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai

resiko kesenjangan 1,034 kali dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan,

setelah memperhitungkan faktor demografi dan sosial. Pada tahun 1990, kelompok

sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai resiko kesenjangan 0,9131 kali

dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan, setelah memperhitungkan

Page 135: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

123

faktor demografi dan sosial. Hal ini berarti ada penurunan resiko kesejangan bagi

sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan selama kurun waktu sepuluh tahun.

Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi

mempunyai resiko kesenjangan sebesar 1,0098 kali dibandingkan yang mempunyai

status demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Pada

tahun 1990 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi mempunyai

resiko kesenjangan sebesar 1,0066 kali dibandingkan yang mempunyai status

demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status

demografi tinggi dibandingkan dengan yang mempunyai status demografi rendah,

relatif tidak berubah selama kurun waktu sepuluh tahun.

Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi

mempunyai resiko kesenjangan 0,9671 kali dibandingkan yang mempunyai status

sosial rendah, setelah memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Pada tahun

1990 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi mempunyai resiko

kesenjangan 0,9836 kali dibandingkan yang mempunyai status sosial rendah, setelah

memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status sosial tinggi dibandingkan

dengan sarjana yang mempunyai status sosial rendah, secara relatif tidak ada

perubahan selama kurun waktu sepuluh tahun.

Pada PJP I, Indonesia memprioritaskan pendidikan dasar dengan program wajib

belajar, yang pada awal PJP II ini ditingkatkan hingga wajib belajar sembilan tahun.

Pendidikan Tinggi secara nasional baru bertambah jumlahnya, khususnya PTS mulai

Page 136: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

124

awal tahun 1980-an. Dunia pendidikan tinggi secara konseptual telah melaksanakan

kebijakan relevansi sejak lama, seperti tertera pada The Indonesian Higher-Education

Law of 1961 pasal 1 ayat 2 butir 2 menyebutkan bahwa preparing personnel who are

in performing those functions that require a higher education and who are skilled in

preserving and advancing knowledge. Hal ini berarti relevansi dengan dunia kerja,

atau penyiapan tenaga kerja yang merupakan bagian dari pembangunan sumber daya

manusia (SDM). Adapun pembangunan SDM sendiri baru ditekankan di Indonesia

mulai PJP II ini sebagai prioritas.

Secara umum perencanaan pembangunan pendidikan yang dipergunakan di

berbagai negara ada beberapa pendekatan, antara lain pendekatan atas permintaan

masyarakat, berdasarkan kebutuhan tenaga kerja, dan pendekatan rate of return

(Psacharopoulos & Woodhall, 1985; Levin, 1976 Soenarya, 1994). Di Indonesia pada

tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai bench-mark PJP I, yang masih tingginya angka

kesenjangan sebagaimana hasil penelitian ini, maka nampaknya bisa ditarik

kesimpulan bahwa hal ini terjadi juga sebagai akibat bahwa pendidikan tinggi yang

berjalan selama ini masih cenderung dipengaruhi oleh faktor permintaan masyarakat,

ketimbang faktor kebutuhan tenaga kerja. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan

kesimpulan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu (Puslit Pranata

Pembangunan, UI dan Bappenas, 1991a, 1991b).

B. Implikasi Hasil Penelitian

Pengalaman data tahun 1980 dan 1990 sebagaimana hasil diskusi pada penelitian

ini, dan kelak diintegrasikan lagi dengan data Sensus Penduduk tahun 2000, dapat

Page 137: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

125

dipergunakan untuk analisis berbagai proyesi pada masa PJP II. Selanjutnya

berdasarkan berbagai proyeksi kebutuhan tenaga berpendidikan tinggi dan didasarkan

atas temuan secara makro pada penelitian ini, maka mempunyai implikasi berikut.

Implikasi kebijakan secara makro dengan dunia pendidikan tinggi pada PJP II,

semua pihal terkait memperhatikan kebijakan pemerintah tentang (1) peningkatan

pemerataan dan kesempatan, (2) peningkatan relevansi pendidikan dengan

pembangunan, (3) peningkatan kualitas pendidikan, dan (4) peningkatan efisiensi

pengelolaan pendidikan. Secara khusus peningkatan relevansi antara jurusan

pendidikan (bidang studi) dan kebutuhan tenaga kerja pada PJP II, dapat

diimplementasikan. Hal ini secara historis di negara-negara lain juga telah menjadi

perhatian, khususnya menghadapi era globalisasi.

Melihat keadaan secara internasional, St. John (1980) mengemukakan bahwa

sekitar tahun 1980-an di Amerika dan Australia senantiasa menyertakan relevansi

kebutuhan dunia usaha pada tahap penilaian (assessment) dalam model strategi

implementasi kebijakan pengembangan pendidikan tinggi. Kumudian Meyer-Dohm

(1990) menguraikan bahwa perguruan tinggi di Eropa, telah melakukan kerja sama

dengan dunia industri dan perdagangan. Begitu juga Jones (1990) mengemukakan

bahwa mulai tahun 1990-an di perguruan tinggi diharapkan diberikan mata kuliah

tambahan untuk mengakomodasi kebutuhan dunia ekonomi modern. Melalui

berbagai konsultasi dan kerjasama antara dunia perguruan tinggi dan dunia bisnis

akan membuahkan lulusan yang diharapkan. Bank Dunia (1994) menguraikan strategi

reformasi pendidikan tinggi berdasarkan pengalaman keberhasilan negara-negara

berkembang dalam melaksanakan efisiensi, peningkatan kualitas, dan peningkatan

Page 138: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

126

pemerataan. Pada penjelasan peningkatan kualitas dan pemerataan diajukan strategi

(1) meningkatkan sistem pembelajaran dan riset, (2) meningkatkan relevansi

pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, dan (3) pemerataan.

Oleh karenanya tindak lanjut penelitian ini seyogyanya diikuti berbagai

kegiatan, antara lain sebagai berikut.

- Sejawat, kelompok, dan pemerintah agar melakukan berbagai penelitian

tentang relevansi, khususnya antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan

(occupation) yang selama ini terjadi atau berbagai proyeksi kebutuhan

mendatang. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut agar didapatkan

kesepakatan hasil, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam

merancang berbagai produk instruksional. Termasuk pengisian muatan lokal

bagi setiap atau kelompok perguruan tinggi.

- Secara makro terjadi link and match atau korespondensi, atau relevansi antara

dunia pendidikan tinggi dengan tatanan ekonomi, demografi, sosial. Hal ini

juga ditunjukkan pada penelitian ini pada tahun 1980 dan pada tahun 1990.

Sebagai implikasinya pada masyarakat teknologi pendidikan, agar mencari

berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi,

pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala

sumber belajar termasuk pengelolaannya. Khusus implikasi relevansi adalah

merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik

instruksional yang mempehatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini

memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan tinggi

dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.

Page 139: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

127

- Penelitian ini menganalisis faktor ekonomi yang merupakan lapangan

pekerjaan; faktor sosial mencakup daerah, pulau, agama, dan mobilitas

penduduk, kemudian faktor demografi mencakup keluarga atau tempat

tinggal, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan terhadap kesenjangan

yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor-faktor

tersebut terhadap kesenjangan. Dengan perkataan lain memang terjadi

kesenjangan secara berbeda menurut berbagai kelompok dari faktor-faktor

tersebut. Maka temuan ini mempunyai implikasi bahwa pelaksanaan

kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi di samping memperhatikan

faktor-faktor tersebut, juga faktor kebutuhan tenaga dalam pembangunan.

C. Saran-saran

Walaupun selama ini PJP I diperkirakan berbagai perencanaan pendidikan

masih ditekankan pada pendidikan dasar dan menengah dan belum terpadu

(Soenarya, 1994), namun pada PJP II ini sudah harus dilakukan berbagai upaya

perencanaan secara terpadu khususnya dengan pembangunan nasional. Hal ini telah

menjadi komitmen bersama yang telah dituangkan dalam GBHN (1988, 1993), di

samping berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam memasuki era globalisasi.

Pembangunan SDM, termasuk pendidikan tinggi juga telah menjadi komitmen

nasional, dan juga internasional (APEC Secretariate, 1994a) yang juga telah menjadi

kesepakatan APEC ECONOMIC LEADERS’ di Bogor, butir delapan termasuk yang

direkomendasikan oleh Eminent Persons Group (EPG) dan The Pacific Bussiness

Forum (PBF) (APEC Secretariate, 1994b, 1994c). Pada kesepakatan ini antara lain

Page 140: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

128

menyetujui pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung

pembangunan menyongsong era globalisasi adalah tukar menukar pengiriman

mahasiswa. Di samping juga diusulkan berbagai pelatihan yang bersifat ketrampilan

tinggi (high skill). Hal ini merupakan kegiatan yang menjembatani antara kebutuhan

tenaga kerja dengan pengeluaran pendidikan. Secara khusus pelatihan yang

diperuntukkan bagi para sarjana merupakan kegiatan yang mengacu kepada

kebutuhan tenaga profesional, yang pada gilirannya akan mempercepat proses

kesesuaian antara jurusan pendidikan dengan jabatan yang ditekuni.

Sejak tahun 1987, Kelompok Kerja pengembangan sumber daya manusia

(PSDM) telah melaksanakan studi mengenai beberapa topik yang relevan dengan

kebijakan dalam pengembangan sumber daya manusia selama PJP I. Model-model

perencanaan yang sudah dikembangkan dan digunakan oleh kelompok studi ini antara

lain studi yang dilakukan tahun 1987, 1988, 1989, dan 1990. Disamping itu pelatihan

perencanaan tenaga kerja pada tingkat Propinsi, dan Kabupaten juga dilakukan mulai

tahun 1988. Para peserta didik adalah terdiri dari para sarjana pegawai negeri di

daerah dari lintas sektor dan juga dari masyarakat. Kurikulum terpadu telah dirancang

termasuk mempelajari perencanaan pendidikan di tingkat daerah.

Maka sudah saatnya pendidikan tinggi di Indonesia harus sudah mulai

melakukan upaya untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, khususnya dalam

kebijakan relevansi. Berbagai upaya, dimaksudkan merupakan kegiatan teknologi

pendidikan yang secara makro mencakup usaha memudahkan kegiatan belajar di

perguruan tinggi melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan

penggunaan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaannya,

Page 141: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

129

dengan memperhatikan relevansi antara pendidikan tinggi dengan pembangunan,

khususnya jurusan pendidikan atau bidang studi dengan kebutuhan tenaga kerja, dan

faktor-faktor ekonomi, sosial, dan demografi.

Kaitan dengan studi ini, maka disarankan beberapa hal pokok sebagai berikut :

1) Dalan perencanaan pendidikan tinggi agar diintegrasikan masukan tentang

Kesenjangan antara jurusan pendidikan atau bidang studi dan jabatan

pekerjaan (occupations) yang akan dibutuhkan.

2). Pendidikan Tinggi untuk jurusan eksakta seperti Teknik, Kedokteran,

dan MIPA, agar diberikan prioritas pada PJP II, sehingga akan memperkecil

kesenjangan yang akan terjadi.

3) Pendidikan Tinggi profesional yang mengutamakan peningkatan

kemampuan penerapan ilmu pengetahuan terdiri atas Program Diploma dan

Program Spesialis, yang dilaksanakan oleh akademi, politeknik, sekolah

tinggi, institut universitas agar diberikan dorongan dan prioritas-prioritas

sehingga dapat memberikan jumlah lulusan yang lebih banyak, untuk

memenuhi kekurangan yang diperkirakan akan muncul. Kesenjangan antara

jurusan dan jabatan pekerjaan akan dapat makin kecil pada PJP II.

4) Perencanaan pendidikan tinggi secara terpadu dengan melihat kebutuhan

masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, dan efisiensi menjadi sangat penting

pada PJP II. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila berbagai kajian bahan

perencanaan yang berkaitan dengan tiga pendekatan tersebut telah

dilakukan. Salah satu bahan masukan yang sangat penting yang mengaitkan

Page 142: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

130

antara jabatan pekerjaan dengan kebijaksanaan jurusan pendidikan tinggi,

baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional, akan dapat

memperkecil kesenjangan yang terjadi. Hal ini berarti mempercepat proses

realisasi konsep Link and Match.

5). Pendidikan Tinggi pada jurusan yang diperkirakan luarannya surplus,

seperti jurusan hukum, ekonomi, keguruan, dan MIPA, seyogyanya

ditingkatkan mutu pendidikannya. Selanjutnya jurusan-jurusan yang

luarannya diperkirakan sangat kurang seperti luaran insinyur, teknisi, dan

tenaga para medis agar dapat diprioritaskan. Bagaimana masalah ini dapat

dipenuhi baik dari konteks, input, proses, dan produknya (CIPP) atau dari

perencanaan makro, meso, dan mikro secara nasional merupakan ranah

teknologi pendidikan dalam proses mengakomodasi pemenuhan kebutuhan

tenaga kerja berpendidikan tinggi pada PJP II akan menjadi sangat penting.

6) Kebijaksanaan pemerintah dalam dunia pendidikan, khususnya kebijakan

relevansi dan peningkatan mutu agar menjadi program utama

pengembangan perguruan tinggi. Masyarakat Teknologi Pendidikan, agar

mencari berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi,

pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala

sumber belajar termasuk pengelolaanya. Khusus implikasi relevansi adalah

merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik

instruksional yang memperhatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini

memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan

tinggi dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.

Page 143: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

131

7) Mengadakan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha

dalam hal, praktek lapangan, penelitian, dan kerjasama pembelajaran

termasuk tenaga kependidikannya (dosen dan tenaga penunjang akademik).

Mahasiswa memanfaatkan kerja praktek lapangan, dosen dan tenaga

kependidikan dapat melakukan riset dan penelitian-penelitian untuk

kemajuan perusahaan maupun kemajuan IPTEK. Para pengusaha, dan

teknisi dalam perusahaan dapat melakukan alih teknologi melalui supervisi,

penelitian bersama, dan berbagai kegiatan lainnya.

8) Pemerintah disarankan memberikan perhatian dan perlakuan yang

proporsional terhadap dunia pendidikan tinggi, baik yang dilaksanakan oleh

swasta, maupun oleh pemerintah. Indonesia merupakan negara nomor lima

tertinggi dari 39 negara, yang mempunyai sumbangan penerimaan

mahasiswa di PTS. Negara-negara tertinggi sebelum Indonesia adalah

Filipina, Korea, Jepang, Belgia, baru Indonesia (W.B. 1994).

9) Masalah relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan

pendidikan tinggi tidak merupakan satu-satunya ukuran atau tujuan dari

pendidikan tinggi di Indonesia. Namun demikian, pengukuran kesenjangan

antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan disarankan agar dilakukan

pendapatan secara nasional, melalui sensus.

10) Para pengambil keputusan senantiasa dihadapkan kepada berbagai

situasi atau masalah yang harus menjawab ya atau tidak, bertindak atau

tidak, disetujui atau ditolak atas pertimbangan berbagai variabel kebijakan

atau berbagai variabel bebas lainnya yang dianggap mempengaruhi atau

Page 144: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

132

menentukan. Metode Odds Ratio yang dimodifikasi ini dapat dipergunakan

dengan sangat efisien untuk memberikan kemudahan bagi para pengambil

keputusan tersebut. Maka disarankan metode analisis regresi logistik beserta

statistik odd Rationya merupakan metode analisis multivariat yang

disarankan dapat dipakai pada berbagai analisis kebijakan pendidikan.

11) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dapat memberikan masukan

kepada BPS, agar rancangan sample, pada setiap pengumpulan data yang

berkaitan dengan pendidikan seperti pada SUSENAS-Modul Pendidikan

yang akan datang, dan sensus penduduk tahun 2000, memperhitungkan

kebutuhan estimasi jurusan pendidikan dan tenaga kerja.

12) Berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch disarankan agar

dapat dilakukan penelitiannya, baik oleh berbagai cendekiawan, kelompok

maupun oleh pemerintah dalam hal ini DIKTI, sehingga misi pendidikan

tinggi yang terkandung dalam GBHN dapat dilakukan secara optimal.

Apabila berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch yang

merupakan salah satu dari kebijakan relevansi antara dunia pendidikan dan

pembangunan dalam hal ini dunia kerja, maka percepatan pencapaian

berbagai target pembangunan akan lebih berhasil.

13) Penelitian eksperimen pada berbagai hal yang berkaitan dengan proses

terjadinya kesenjangan, dikaitkan dengan bagaimana (Teknologi

Pendidikan) upaya pengurangan akan terjadinya kesenjangan tersebut

melalui rancangan proses belajar-mengajar secara makro dapat dilakukan.

Salah satu contoh berbagai penelitian eksperimen penerjemahan kurikulum

Page 145: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

133

muatan lokal perguruan tinggi ke dalam konsep relevansi atau kesesuaian

antara proses pendidikan di perguruan tinggi dan antisipasi kebutuhan

tenaga profesional (ahli) di lapangan.

Page 146: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

134

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I.G.N. (1993). Metode Penelitian Sosial:

Pengertian dan pemakaian praktis. Jakarta: LD-FEUI

APEC Secretariate. (1994a). APEC economic leaders’

declaration of common resolve. Singapore:APEC Scretariate.

_______ (1994b). Report of the Pacific bussiness forum. Singapore APEC

Secretariate.

_______ (1994c). Selected APEC documents. Singapore: APEC Scretariate.

Apps, J.W. (1988). Higher education in a learning society: Meeting new demands for

education and training. San Francisco : Jossey-Bass Publishers.

Atmakusuma, A., Teken, I.G.B. Soeherdjo, A. and Asngari, P.S. (1974). The role of

the Provincial Universities in regional developmnet in Indonesia an

assessment. Singapore: RIHED.

Baily, A. (1990). Personal transferable skills for employmentL The role of higher

education. Dalam P.W.C. Wright. (Ed.). Industry and higher education:

Collaboration to improve students’ learning and training (pp. 68-74. London:

SRHE/Open University Press.

Balitbang Depdikbud, (1992). Discussion papers education, economic, and social

development: Conference on second 25 year development plant education and

culture, January 21-23, 1992 Indo Alam Hotel, Cipanas, West Java. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 147: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

135

Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a). Perencanaan pendidikan dan

kesempatan kerja dalam pengembangan sumber daya manusia. Jakarta:

Bappenas.

-------- (1988/89b). Proyeksi kebutuhan persediaan tenaga kerja menurut jenis

jabatan dan pendidikan tahun 1994-2003. Jakarta: Bappenas.

_______ (1991). Kesesuaian lulusan fakultas teknik di Indonesia. Hasil Penelitian.

Jakarta: Bappenas.

Blaug, M. (1979). The quality of population in developing countries, with particuar

reference to education and training. Dalam P.M. Hauser (Ed.). World

population and development: Challenges and prospects (pp.361-401).

Syracuse: Syracuse University Press.

Boediono, Mc Mahon W.W., and Don Adams (Ed), (1992). Economic and social

development: Second 25 year development plant education and culture.

Jakarta: Dikbud.

BP-7 Pusat (1993). Undang-undang Dasar, P4: Ketetapan MPR No.II/MPR/1978.

GBHN: Ketetapan MPR No.II/MPR/1993.Jakarta: BP-7.

BPS. (1992). Penjelasan klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS.

_______ (1985). Penjelasan mengenai rekord data sensus penduduk 1980. Jakarta:

BPS.

_______ (1990). Pedoman pra komputer: DAFTAR SP90-RWLII. Jakarta: BPS.

Page 148: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

136

_______ (1993). Buku Tahunan. Jakarta: BPS.

_______ (1994). Idikator kesejahteraan rakyat, 1993. Jakarta: BPS.

BPS dan Depnaker. (1982). Klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS.

Clogg, C.C. and Shockey, J.W. (1984). Mismatch between Occupation and

schooling: A prevalence measure, recent trends and demographic analysis.

Journal of Demography, 21 (2). Pp. 235-257.

Depdikbud. (1994). Pembangunan pendidikan dan kebudayaan menjelang era

tinggal landas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. (1975). Petunjuk pelaksanaan kebijaksanaan dasar pengembangan

pendidikan tinggi jangka panjang. Jakarta: Dirjen DIKTI.

Depnaker. (1987). Kamus jabatan nasional. Jakarta: Ditjen Pembinaan dan

Penempatan Tenaga Kerja.

Ditjen DIKTI. (1994). Penjelasan Dirjen Dikti pada forum dengar pendapat dengan

Komisi X DPR-RI tanggal 22 Pebruari 1994, mengenai pengembangan

sumber daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan

penguasaan IPTEK. Jakarta: Direktorat Jenderal DIKTI.

-------- (1995). Bahan sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. Jakarta:

DIKTI.

Djojonegoro, W. (1994a). Issues and challenges in educational development:

cooeperation and Linkages, presented at The Southeast Asian Ministers of

Page 149: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

137

Education Council (SEAMEC). Jakarta. February 2-4, 1994. Dalam

Kumpulan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia:

IIA Januari-Juni 1994 (hal. 126-128). Jakarta: DEPDIKBUD.

______ (1994b). Kebijakan Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan

implikasinya pada sistem administrasi negara. Dalam Kumpulan pidato

menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni

1994 (hal. 195-215). Jakarta: DEPDIKBUD.

-------- (1994c). Kebijaksanaan pembangunan bidangpendidikan dan permasalahan

yang dihadapi. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indoensia: IIA Januari-Juni 1994 (hal.263-272). Jakarta:

DEPDIKBUD.

_______ (1994d). Masalah Pendidikan: Pokok Pikiran disampaikan pada kursus

regular Angkatan XX Sesko ABRI 1994/1995, 10 Februari 1994. Dalam

Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia:

IIA Januari-Juni 1994 (hal. 150-154). Jakarta: DEPDIKBUD.

_______ (1994e). Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia menjelang

PJP II. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 134-146). Jakarta:

DEPDIKBUD

--------- (1994f). Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sistem

pendidikan. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 510-531). Jakarta:

DEPDIKBUD

--------- (1994g). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada musyawarah

Page 150: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

138

program Pasca Sarjana PTS. Dalam Kumpulan pidato Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 415-416).

Jakarta: DEPDIKBUD.

-------- (1994h). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada pelantikan

Rektor Universitas Brawijaya, 1 Januari 1994. Dalam Kumpulan Pidato

menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni

1994 (hal. 60-82). Jakarta: DEPDIKBUD.

-------- (1994i). Sambutan menteri Pendidikan danKebudayaan pada Rakernas

Gubernur se Indonesia, 23 Februari 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal.

180-194). Jakarta: DEPDIKBUD.

--------- (1994j). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upacara

pelantikan rektor Universitas Gajah Mada, 22 Maret 1994. Dalam Kumpulan

pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-

Juni 1994 (hal.280-301). Jakarta: DEPDIKBUD.

---------- (1994k). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upcara

pelantikan Rektor Universitas Haluoleo, 4 April 1994. Dalam Kumpulan

pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-

Juni 1994 (hal. 346-353). Jakarta: DEPDIKBUD

Djojonegoro, W. dan Suryadi, A. (1994). Peningkatan Kualitas sumber daya manusia

untuk pembangunan: Analisis relevansi pendidikan dengan kebutuhan

pembangunan menyongsong era teknologi dan industri. Jakarta: Pusat

Informatik, Balitbang Dikbud.

Enoch, J.E. (1992). Dasar-dasar perencanaan pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 151: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

139

Fielden, J. (1990). The shifting culture of higher education. Dalam P.W.G. Wright.

(1990). Industry and higher education: Collaboration to improve students’

learning and training (pp. 75-81). London: SRHE/Open University Press.

Gramedia. (1991). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 tahun 1990,

tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Gramedia.

Hallaq, J. (1990). Investing in the future: Setting educational priorities in the

developing world. Paris: UNDP-UNESCO.

Hauser, P.M. (1974). The measurement of labour utilization. Reprint from: Malayan

Economic Reviw. Vol XIX. No.1, April 174. Quezon City: University of

Phillippines.

Holloway, R.E. (1984). Educational technology: A critical Perspective. New York:

ERIC.

Hutasoit, M. (1973). Surat Putusan menteri Pendidikan, Pengadjaran dan

Kebudayaan No.25 tahun 1958. Jakarta: Kementerian Pendidikan,

Pengadjaran, dan Kebudayaan.

International Labour Office. (1990). ISCO-88. Geneva: ILO.

Johnson, R.A. and Wichern. D.W. (1982). Applied multivariate statistical analysis.

New-Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Jones, A. (1990). A responsive higher education. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.).

Industry and higher education: Collaboration to improve students’ learning

and training (pp. 82-87). London: SRHE/Open University Press.

Page 152: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

140

Jones, G.W. (1988). Expansion of secondary and tertiarty Education in Southeast

Asia : some implication For Australia. Australia: IPDP research notes no. 94.

Kasarda, J.D. and Friedrichs, J. (1985). Comparative demographic-employement

mismatches in U.S. and West German cities. Annual meeting of the

Population Association of America. Boston: Massachusetts, March 28-30.

Kelompok Kerja Pengembangan SDM. (1989a). Dukungan studi mengenai

pengembangan SDM: Buku I evaluasi sistem pendidikan dan latihan selama

15 tahun terakhir. Jakarta: Bappenas.

---------- (1989b). Dukungan studi mengenai pengembangan SDM: Buku II

Perkembangan Struktur ekonomi dan Kesempatan kerja pada Repelita V, VI,

dan VII. Jakarta: Bappenas.

King, E.M. and Lillard, L.A. (1989). Determinants of Schooling attainment and

enrollment rates in the Philippines. A Rand Note, The U.S. Agency for

International Development.

LDFE-UI. 1985. Studi pelacakan lulusan perguruan tinggi. Jakarta: LDFE-UI.

Levin, H.M. (1976a). Educational reform: its meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M.

Levin (Eds.). The limits of educational reform (pp. 23-51). New York: David

McKay company. Inc.

_______ (1976b). A Taxonomy of educational reforms for changes in the nature

work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (Eds). The limits of Educational

reform (pp. 83-114). New York: David McKay Company. Inc.

Low,L., Heng, T.M. dan Wong, S.T. (1992). Economic of education and manpower

Page 153: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

141

development issues and policies in Singapore. Singapore: McGraw-Hill.

Lowe, R. (1990). Educating for industry: The historical role of higher education in

England. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education:

Collaboration to improve students’ learning and training. (pp. 9-17). London:

SRHE/Open University Press.

Mason, A. (1986). Demographic prospects in the Reoublic of Korea: Population,

households, and education to the year 2000. Working Papers, East-west

Population Institute, Honolulu, Hawai.

Mason, A. (1988). The Transition in education: Intergenerational effects. NUPRI

Research Paper Series No. 42.

Meyer-Dohm, P.M. (1990). Graduates of higher educationWhat do Employes expect

in the 1990s? Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education:

Collaboration to improve students’learning and training (pp. 61-67). London:

SRHE/Open University Press.

Miarso, Y. (1988). Peranan teknologi pendidikan dalam pembangunan di masa depan.

Makalah disampaikan dalam Seminar Akademik Mahasiswa Fakultas Ilmu

Pendidikan IKIP Padang, tanggal 28-29 Oktober 1988.

_______ (1989). Buku/Monograf: Teknologi pendidikan. Jakarta: PAU-UT.

Norusis, M.J. (1986). Advanced statistics SPSSPC + for The IBM PC/ XT/AT.

Chicago: Illinois. SPSS Inc.

Notodihardjo, H. (1990). Pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat tinggi di

Indonesia. Jakarta: UI-Press.

Page 154: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

142

Oommen, T.K. (1989). India: Brain drain or the migration of Talent?. Journal of

international migration. 27 (3) PP. 411-425.

Per Dalin. (1978). Limit to educational change. New York: St. Martin’s Press.

Pustaka Tinta Mas. (1990). Himpunan ketetapan-ketetapan MPRS tahun 1966, 1967,

1968 dan MPR tahun 1973, 1978, 1983, 1988. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Poedjiastoeti, S. (1989). Rencana sensus penduduk 1990 dan perbandingannya

dengan sensus penduduk1980. Majalah Demografi Indonesia. No.31 pp. 74-

85. Jakarta: L.D. FE-UI

Pongtuluran, A. (1989). Penjelasan sistem pendidikan nasional terkandung dalam

Undang-undang Republik Indonesia terkandung dalam Undang Undang

Republik Indonesia Nomor: 2 tahun 1989, tentang sistem pendidikan

nasional. Jakarta: Biro Perencanaan Depdikbud.

Psacharopoulos. G. and Woodhall, M. (1985). Education for development: An

Analyis of investment Choices. Washington: oxford University Press.

Pusat Informatik. (1995). Perbandingan pendidikan di Indonesia dengan negara lain.

Jakarta: Pusat Informatik, Balitbang Dikbud.

Puslit Pranata Pembangunan, UI dan Bappenas. (1991a). Studi pengembangan sistem

dan kebijaksanaan SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

________ (1991b). Laporan diskusi teknis: Pengembangan sistem dan kebijaksanaan

SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

Page 155: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

143

--------- (1992a). Kegiatan penunjang sistem pengembangan SDM: Analisis

penyebaran dan tren tenaga kerja di Indonesia, masalah dan saran

pengelolaannya. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

--------- (1992b). Kegiatan penunjang kebijakan pengebangan SDM: Integrasi

analisis kebijaksanaan SDM dalam model ekonomi-demografi-sosial. Jakarta:

Puslit Pranata Pembangunan-UI.

--------- (1992c). Model perencanaan terpadu pengembangan SDM. Jakarta: Puslit

Pranata Pembangunan-UI.

________ (1992d). Studi Proyeksi SDM pada pembangunan jangka panjang kedua.

Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.

RDCMD-YTKI dan ILO-ARTEP. (1989). Mismatch between Occupation &

education. Hasil Penelitian. Jakarta: YTKI.

Robertson M. (1991). Consolidated report on policy and Research activities

professional human resource Development project (PHRDP). Government of

Indonesia-World Bank (Loan No.3134-IND), BAPPENAS. Jakarta:

Bappenas.

Schultz, T.P. (1987). School expenditures and enrollments, 1960-80: The effects of

income, prices, and population growth, In D.G. Johnson and R.D. Lee (Ed.),

Population growth and economic Development: Issues and evidence.

Wisconsin: The University Press.

Shaeffer, S. (1990). Educational change in Indonesia: ACase study of three

innovations. Paris: IDRC.

Page 156: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

144

Simanjuntak, P. (1985). Pengantar ekonomi sumber daya Manusia. Jakarta: LP-FEUI

Situmorang, A.O.B. (1985). Strategi pengembangan sumber daya manusia. Jakarta:

PPS-IKIP Jakarta: PPS-IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan)

Soenarya, E. (1994). Model penerapan pendekatan sistem dalam perencanaan

pendidikan suatu kajian teoritik. Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.

St. John, E.P. (1981). The policy process in higher education. Armidale: The Institute

for Higher Education.

Thomas, R.M. (1973). A chronicle of Indonesian higher Education. Singapore:

Eurasia Press.

Tilaar, H.A.R. (1990). Pendidikan dalam pembangunan nasional menyongsong abad

XXI. Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.

--------- (1995). 50 tahun pembangunan pendidikan nasional 1945-1995: Suatu

analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia

Todaro, M.P. (1982). Economic development in the third World. New Yoek:

Longman Inc.

Tribe, K. (1990). The ‘US model’ for higher education: structure and finance. Dalam

P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher education: Collaboration to

improve students’ learning and training (pp. 43-60). London: SRHE/Open

University Press.

Page 157: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

145

UNDP. (1989). Education and training in the 1990s: Developing countries Needs

and startegies, education development center. New York: Oxford University

Press.

United Nations. (1989). Handbook on social indicators: Studies in methods series F

No.49. New York: United Nations.

UNESCO. (1984). Guide to statistics on science and Technology. Paris: UNESCO.

Watson, D. (1990). The changing shape of professional education. Dalam H. Bines.

dan D. Watson. Developing professional education. Milton Keynes:

SRHE/Open University.

Williams, G. and Loder, C. (1990). Industry contributions to higher education

funding and their effects. Dalam P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher

education: Collaboration to improve students’ learning and training (pp.31-

42). London:SRHE/Open University Press.

World Bank. (1994). Development in practice higher education: The lessons of

experience. Washington, D.C.: The World Bank.

______ (1978). Labor market segmentation and the determination of earnings: A

case study. World Bank Staff Working Paper No.278.

________ (1989). Human resource development policy, planning and institutional

development project briefing document. Jakarta: Bappenas.

Zaltman, G., Florio, D.H., and Sikorski, L.A. (1977). Dynamic educational change.

New York: The Free Press.

Page 158: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

146

Dokumen Pemerintah

Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 30 Tahun 1990 tentang

Pendidikan Tinggi.

Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indosia Nomor II/MPR/1988 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana

PembangunanLima Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/90-1993/94

Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993

tentang Garis-GarisBesar Haluan Negara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun1994 tentang Rencana

Pembangunan Lima Tahun Kelima (REPELITA VI) 1994/95-1998/99.

Page 159: kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim Abdullah

DAFTAR LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian (Kuesioner)

1.1 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1980

1.2 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1990

2. Daftar Pertanyaan dan Daftar Matching

2.1 Daftar Pertanyaan yang dipergunakan dalam penelitian

2.2 Daftar Matching antara Jurusan Pendidikan dan Jabatan/jenis pekerjaan

3. Tabel Analisis Bab IV

4. Riwayat Hidup

1