Kerahasiaan Data

download Kerahasiaan Data

of 30

description

Kewajiban menjaga kerahasiaan data wajib pajak (rahasia jabatan) dan kewenangan untuk mengakses informasi untuk keperluan perpajakan

Transcript of Kerahasiaan Data

KERAHASIAAN DATA DALAM PERPAJAKAN INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIAbadan pendidikan dan pelatihan keuangansekolah tinggi akuntansi negara

SEMINAR PERPAJAKAN Kelompok IV Adinda Widyastari (1), Hendrayani(14), Luthfia Nur Afifah(16), Ridhollah Muhammad Arie(21), Seno Santika Pahlawan(25)

IX B REGULERKERAHASIAAN DATA DALAM PERPAJAKAN INDONESIA

A. Kerahasiaan Data dalam Perpajakan Indonesia - Kelompok 4

Kerahasiaan Data dalam Perpajakan Indonesia - Kelompok 4 28

Kerahasiaan Data dalam Perpajakan Indonesia - Kelompok 4 27

I. PendahuluanMasalah kerahasiaan nampaknya terus menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik, baik dikalangan akademik maupun di kalangan praktisi. Kerahasiaan yang sering dibicarakan dalam seminar-seminar maupun tulisan-tulisan di media masa adalah kerahasiaan dibidang dunia perbankan dan kerahasiaan dalam dunia perpajakan. Mengapa dua dunia ini yang sering dibicarakan, tidak lain karena dunia perbankan lebih dominan dalam menangani maju mundurnya masalah bisnis yang dijalankan oleh kaum usahawan dalam kaitan dengan sumber pembiayaan yang disediakan oleh bank. Sedangkan dunia pajak lebih banyak berkaitan dengan pertanyaan bagaimana dunia bisnis dapat membayar pajak sekecil mungkin melalui penampilan data yang disajikan, tanpa dikenakan sanksi menurut ketentuan yang berlaku.Topik mengenai kerahasiaan data tersebut tak hanya hangat di kalangan fiskus dan masyarakat, tetapi juga mengundang perbedaan pendapat antar instansi/badan dengan alasan dan kebutuhannya masing-masing, diantaranya terjadi antara DJP, BPK dan bank. Menjaga kerahasiaan data wajib pajak dan/atau nasabah merupakan hal krusial dan kewajiban bagi DJP dan bank. Komitmen terhadap menjamin kerahasiaan data wajib pajak dan nasabah, selain untuk menjalankan kewajiban, dijalankan guna menjamin hak pemilik data, memperoleh dan mempertahankan kepercayaan, dan sebagai wujud pemberian pelayanan. Namun, pemeriksa juga memiliki wewenang untuk mengakses informasi yang diperlukan. Terlebih adanya kewajiban untuk memberikan. Topik kali ini akan membahas isu dan masalah seputar kerahasiaan data wajib pajak.

II. Pembahasan A. Landasan Teori Kerahasiaan JabatanWajib Pajak memiliki hak agar seluruh data yang berkaitan dengan diri dan usahanya dirahasiakan oleh pejabat pajak. Di beberapa negara aturan ini diatur dengan tegas. Data Wajib Pajak hanya bisa diberikan apabila data itu diperlukan untuk proses penyelidikan yang diperlukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dalam bahasan OECD Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration :All taxpayers have the right to expect that the tax authorities will not intrude unnecessarily upon their privacy. In practice, this is interpreted as avoiding unreasonable searches of their homes and requests for information which is not relevant for determining the correct amount of tax due. In all countries very strict rules apply to the entry into a persons dwelling or business premises by a tax official in the course of a tax investigation and on obtaining information from third parties. In some countries visits to a taxpayer require the consent of the taxpayer; in the majority of countries a signed warrant is generally required to enter the home of a taxpayer who objects to a visit by the tax authority. Similarly, strict rules apply to obtain information from third parties on the affairs of a taxpayer. Bagi pejabat pajak yang melanggar, sanksi tegas akan diberlakukan terhadap pejabat pajak tersebut dalam rangka menjaga kepentingan Wajib Pajak.Another basic taxpayers right is that the information available to the tax authorities on the affairs of a taxpayer is confidential and will only be used for the purposes specified in tax legislation. Tax legislation usually imposes very heavy penalties on tax officials who misuse confidential information and the confidentiality rules that apply to tax authorities are far stricter than those applying to other government departments. Kerahasiaan mengenai data Wajib Pajak yang harus dijaga oleh pejabat pajak di Indonesia diatur dalam Undang Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pasal 34 UU KUP tersebut berbunyi:1. Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, atau b. Pejabat dan/ atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.3. Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.4. Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.5. Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.Penjelasan pasal tersebut menyebutkan setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak, 2. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, 3. Dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia, 4. Dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan. Penjelasan Pasal tersebut juga menjelaskan keterangan apa saja yang dapat diberitahukan terkait Wajib Pajak, yaitu identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan, meliputi: 1. Identitas Wajib Pajak, meliputi : a. Alamat Wajib Pajak b. Nama Wajib Pajak c. Nomor Pokok Wajib Pajak d. Alamat Wajib Pajak e. Alamat kegiatan usaha f. Merek usaha; dan/atau g. Kegiatan usaha Wajib Pajak 2. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan, meliputi: a. Penerimaan pajak secara nasional ; b. Penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak ; c. Penerimaan pajak per jenis pajak ; d. Penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha ; e. Jumlah Wajib Pajak dan/atau pengusaha kena pajak terdaftar ; f. Register permohonan Wajib Pajak; g. Tunggakan pajak secara nasional; dan/atauTunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.Lebih lanjut, Undang Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur ancaman pidana bagi aparatur perpajakan yang melanggar kewajiban menjaga rahasia jabatan itu: 1. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan karena alpa Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000,00. Hal ini dilakukan untuk menjamin kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang Undang Perpajakan. Pengungkapan kerahasiaan ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti bukti Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang Undang Perpajakan dilanggar. 2. Sengaja tidak memenuhi kewajiban merahasiakan Dalam Pasal 41 ayat (2) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat untuk merahasiakan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja ini dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

B. Kewenangan untuk mengakses dan memperoleh informasi yang diperlukanSebagai upaya pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak, pemeriksaan pajak merupakan salah satu media dan hak yang dimiliki oleh para fiskus. Landasan dari pemeriksaan pajak adalah Undang-undang no 6 tahun 1983 tetang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang no 16 Tahun 2009.Menurut Pasal 1 ayat 25 UU KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan pajak, telah disusun beberapa undang-undang yang mengatur pelaksanaan pemeriksaan, serta menegaskan terkait kewajiban dan wewenang yang dimiliki baik fiskus maupun wajib pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak. Diantaranya adalah Pasal 29 dan 29A UU KUP, PMK 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaa, maupun PP No 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.Dalam pelaksanaan pemeriksaan, Wajib Pajak berkewajiban: 1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau3. memberikan keterangan lain yang diperlukan.Wewenang yang dimiliki oleh pemeriksa pajak adalah:1. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;2. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;3. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;4. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:a. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;b. memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atauc. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak;5. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;6. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan7. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.Untuk mencegah adanya dalih Wajib Pajak terkait kerahasiaan informasi, telah ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 4 UU KUP, berbunyi Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)Dalam pengumpulan informasi, selain dengan wajib pajak terkait, pemeriksa pajak juga berurusan dengan pihak ketiga (baik orang/badan/instansi). Untuk menjamin perolehan informasi yang dibutuhkan, dalam Pasal 35 UU KUP disebutkan:1. Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. 2. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.3. Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

C. Isu-isu seputar kewenangan mengakses informasiPajak merupakan salah satu sumber penerimaan utama bagi Indonesia. Oleh karenanya, DJP terus berupaya dan berkreasi untuk memenuhi dan menggenjot perolehan pajak. Mulai dari reformasi birokrasi, perubahan image dari pengawasan menjadi pelayanan, kemudahan pemenuhan kewajiban pajak, pelaksanaan Sensus Pajak Nasional, dan wacana yang sedang hangat adalah kemudahan pemanfaatan data perbankan untuk penggalian potensi perbankan. Potensi pajak di perbankan dan dana kelolaan di lembaga keuangan nonbank sangat besar. Di perbankan, saat ini dana pihak ketiga sudah mencapai Rp3.294,7 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 43% di antaranya dimiliki 63.8816 nasabah yang rata-rata menyimpan di atas Rp 5 miliar.Dalam penggalian dan perolehan informasi, kerapkali otoritas pajak bersinggungan dengan ketentuan mengenai kerahasiaan data/informasi. Walaupun Pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan mewajibkan kementerian dan lembaga negara non kementerian untuk menyampaikan data keuangan ke kantor pajak, aturan kerahasiaan UU KUP dimentahkan oleh aturan setingkat pada UU lainnya seperti UU statistik, perbankan, pendaftaran tanah, dan pajak daerah. Seperti adanya penolakan untuk menyertakan data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari para penyumbang dana kampanye. Keberatan ini karena khawatir penyumbang dana akan ditelisik kewajiban perpajakannya. Dari pemilu sebelumnya, sangat jarang calon anggota legislatif yang mengkampanyekan optimalisasi pajak demi pembiayaan pembangunan. Kampanye menonjol adalah janji-janji menyejahterakan rakyat dari pendidikan dan kesehatan gratis, yang semuanya tidak akan ada tanpa uang pajak. Serta wewenang DJP yang hanya bisa mengakses data perbankan terkait kegiatan pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan pajak. Tentu saja, keinginan DJP memanfaatkan data perbankan untuk menggali potensi perpajakan mendapat penolakan dari berbagai pihak. BPS benar untuk merahasiakan data sensus karena UU Statistik No.16/1997 Pasal 21 mewajibkan penyelenggara kegiatan statistik untuk merahasiakan jawaban responden. BPS hanya bisa menyajikan data dalam bentuk agregat. Disisi lain, kantor pajak harus memasukkan pajak per individu responden. Aturan kerahasiaan bank (bank secrecy) diatur dalam Pasal 40 UU No.10/1998 tentang Perbankan. Kerahasiaan mencakup liabilities bank (berupa simpanan nasabah) dan asset bank (kredit yang disalurkan). Pembukaan rahasia bisa dilakukan jika ada permintaan Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama pejabat pajak, nama Nasabah, nama kantor Bank, keterangan yang diminta, dan alasan diperlukannya keterangan.Mengenai kewajiban bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya juga diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (PBI 2/19/2000), Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan NasabahNamun, baik UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia juga mengatur tentang pengecualian kerahasiaan informasi data perbankan terkait dengan kepentingan perpajakan. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat 1 UU Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajakKaitan antara bank dengan pajak setidaknya ada empat yaitu Pertama, BI mensyaratkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai prinsip pengenalan nasabah (Know Your Customer), diatur dengan PBI Nomor 5/21/PBI/2003. Kedua, dalam pengajuan kredit lebih dari Rp.50 juta wajib dilampirkan NPWP. Ketiga, untuk pembelian valuta asing minimal $ 100 ribu, diwajibkan ada NPWP, sesuai PBI No.10/28/ PBI/2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Bank. Keempat, dalam PBI No.13/20/PBI/2011, eksportir wajib menyampaikan informasi devisa hasil ekspor (DHE) ke bank devisa.1. Trend Bank Secrecy di dunia InternasionalDirjen Pajak, Fuad Rahmany sempat mengatakan, kerahasiaan bank sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, di beberapa negara lain, sudah tidak ada lagi kerahasiaan bank bagi otoritas pajak. Swiss, Singapura, Liechtenstein, Bahama, Siprus, Luksemburg, Monako, Panama, San Marino, dan Seychelles, adalah sederet negara yang selama ini disebut sebagai tax haven. Konon di negara-negara inilah para pemilik dana besar menyimpan uang mereka, terutama dari hasil kejahatan. Pemerintah dan otoritas moneter di negara-negara tersebut melarang bank dan karyawannya membocorkan data nasabah. Bila aturan ini dilanggar, hukumannya amat berat.Namun, era kerahasiaan perbankan perlahan-lahan mulai dihapus. Swiss, misalnya. Sejak 1 Februari 2013 menghapus total aturan kerahasiaan perbankan. Undang-undang baru Swiss mewajibkan bank memberi tahu kepada otoritas moneter bila ditemukan ada pemegang rekening bank menghindari pajak atau penggelapan pajak di negerinya. Pemicu keterbukaan tersebut dimulai pada Juni 2010, bank terbesar Swiss yaitu Bank UBS dipaksa untuk memberikan data nasabah dari Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS mengancam akan mencabut ijin operasi bank UBS di seluruh AS, jika UBS menolak memberikan data pengemplang pajak. Pemaksaan tersebut bukan tanpa sebab, banyak nasabah warga Amerika Serikat (AS) menyembunyikan penghasilan agar tidak membayarkan pajak Dengan persetujuan dari parlemen Swiss, UBS memberikan 4.550 data nasabah yang diminta badan pajak AS, IRS (Internal Revenue Services). UBS akhirnya membayar denda US$ 780 juta. IRS menyatakan persetujuan ini seperti blows a big hole in bank secrecy.Di Amerika Serikat (AS), setelah kasus UBS di tahun 2010, AS mengesahkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang mewajibkan warga AS termasuk permanent resident untuk melaporkan rekening bank atau keuangan serta aset yang mereka miliki di luar negeri dengan sanksi atas mereka yang tidak melaporkannya. FATCA juga berusaha meminta pelaporan dari institusi keuangan luar AS untuk melaporkan informasi keuangan dari warga AS. FATCA, dikabarkan membuat institusi keuangan di Swiss berusaha tidak berurusan dengan warga AS karena akan merepotkan mereka dalam pelaporan informasi pajak..Sebelum Swiss, Liechtenstein sudah melangkah lebih dulu. Saat ini negara ini bukan lagi tax haven, tapi menjadi negara safe haven. Di masa lalu, banyak nasabah yang membawa uang banyak ke negara ini. Namun, sistem perbankan mulai diubah sejak 2008. Negara-negara lain yang selama ini menganut rezim tax haven juga akan langkah serupa.Singapura kabarnya sebentar lagi akan mengikuti jejak Swiss dan Liechtenstein. Mereka mulai sadar bahwa selama ini banyak miliader hitam yang menyimpan uang di negaranya dengan rahasia yang begitu terjaga. Di Inggris, wajib pajak berkewajiban melaporkan penghasilan mereka di luar negeri dalam lampiran khusus pelaporan pajak tahunan, termasuk bunga, dividen atau capital gain dan sewa hingga penghasilan yang tidak dapat dikirimkan kembali ke Inggris. Hal ini sebenarnya juga dapat diterapkan untuk wajib pajak kaya (High Net Worth Individual) di Indonesia yang bahkan memiliki kantor pajak tersendiri.Dalam pertemuan para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam G-20 di London, Inggris bulan April 2009, mereka sepakat mengakhiri kerahasiaan bank. Selain mendobrak kerahasiaan perbankan, G-20 juga menyepakati untuk menghapus peraturan bebas pajak bagi para penyimpan uang di negara anggotanya.Keputusan itu diambil G-20 setelah mereka melihat banyak orang kaya berusaha menghindari pajak, lalu menyimpan uang mereka di rekening-rekening yang dirahasiakan oleh perbankan. Para penjahat kerah putih pun ikut memanfaatkan kerahasiaan ini. G-20 adalah kumpulan 20 negara maju dan berkembang Indonesia masuk di dalamnya yang bertujuan membahas isu-isu penting perekonomian dunia.Pada February 2014, OECD menerbitkan satu laporan tentang standar atas Automatic Exchange of Financial Account Information antar negara untuk melakukan pertukaran secara otomatis tidak berdasar on request yang dapat digunakan untuk mengatasi penggelapan pajak dari harta di luar negeri karena standar ini mendukung pertukaran informasi keuangan dari institusi keuangan, apa saja yang perlu dilaporkan, jenis account dan pembayar pajak yang dicakup serta due dilligence yang perlu dilakukan oleh institusi keuangan. Kekurangan standar yang juga didukung G20 ini tidak mencakup data pengguna safe deposit box atau sanksi yang jelas untuk yang tidak mematuhinya.Pada dasarnya, merumuskan ketentuan dapat diaksesnya data perbankan oleh otoritas pajak adalah sesuatu yang sulit. Suatu negara perlu memberikan kontrol yang ketat mengenai bagaimana otoritas pajak memperoleh dan menggunakan data perbankan WP. Hal ini untuk menjaga hubungan saling mempercayai antara pemerintah dan warga negara. Dapat diaksesnya data perbankan dapat saja mencederai hak-hak dasar WP yang mencakup pula hak-hak atas privasi dan kerahasiaan WP.Selain prinsip kerahasiaan WP, ada juga prinsip proporsional. Berdasarkan prinsip ini, pemerintah dibatasi oleh peraturan perundangundangan untuk akses ke perbankan. Pemerintah malah wajib memberikan perlindungan yang paling efektif bagi WP.Mengenai kerahasiaan perbankan, Alfred Storck dan kawan-kawan (2014) pernah melakukan survei di 37 negara, dan menemukan beberapa fakta menarik. Pertama, pada umumnya kerahasiaan bank diatur oleh UU Perbankan, namun kerahasiaan tetap tunduk untuk kepentingan pajak. Di 35 dari 37 negara, informasi mengenai data perbankan WP dapat diperoleh otoritas pajak dari bank. Artinya, walaupun terdapat kerahasian bank, kerahasian tersebut dapat dibuka untuk kepentingan pajak.Kedua, pada umumnya, akses data perbankan dapat diperoleh melalui permintaan. Walau demikian, mekanisme permintaan data dianggap tidak cukup oleh otoritas pajak. Terdapat 13 negara yang memiliki aturan akses data perbankan secara otomatis, hal ini, antara lain, dilakukan oleh Slovenia, Portugal, dan Australia.Ketiga, 32 dari 37 negara tersebut memberikan kewenangan permintaan data perbankan kepada otoritas pajak. Otoritas pajak tersebut bisa saja berasal dari pimpinan otoritas pajak di tingkat kantor pusat, kepala kantor wilayah (Korea Selatan), atau juga bisa otoritas pajak di tingkat kota ( Argentina).Keempat, payung hukum yang mengatur dapat diaksesnya data perbankan untuk keperluan pajak. Pada umumnya, ini diatur secara bersama-sama oleh regulasi perpajakan dan perbankan. Sebanyak 23 dari 37 negara menerapkan hal ini. Kelima, data nasabah hanya bisa diakses tidak terbatas pada saat penyidikan saja, namun juga pada tahap lainnya, seperti pemeriksaan, keberatan, atau penagihan. Keenam, perlindungan hak-hak WP.Sebesar 58% dari negara yang datanya tersedia ternyata tidak memiliki aturan yang berisi kewajiban bagi bank untuk menginformasikan kepada WP. Namun, 82% sampel, secara tegas tidak memperbolehkan praktik fishing expedition, yaitu meminta informasi bank tanpa kriteria yang jelas dan sekadar mencari-cari kesalahan WP. Lebih lanjut lagi, 94% dari sampel negara yang datanya tersedia mengatur tentang pemberian sanksi jika terbukti otoritas pajak menyalahgunakan data perbankan WP.2. Penerapan Kerahasiaan Wajib Pajak di Luar NegeriUntuk menilai kecukupan dan sudah baikkah ketentuan kerahasiaan data perpajakan di Indonesia dapat dilakukan lewat membandingkan dengan ketentuan yang diterapkan di negara-negara lain. Berdasarkan tinjauan atas ketentuam perlindungan terhadap kerahasiaan data dan informasi WP di beberapa negara seperti Australia, Amerika, Malaysia, Selandia Baru dan Singapura, kerahasiaan data perpajkan ternyata merupakan ketentuan yang berlaku umum. Pejabat institusi perpajakan maupun institusi atau pejabat terkait mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh data dan informasi berkaitan dengan WP. Bahkan seorang kepala negara sekalipun tidak boleh membuka informasi perpajakan individu WP.Beberapa ketentuan perlindungan terhadap kerahasiaan tersebut secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:1) Seluruh SPT, data dan Informasi yang diperoleh selama proses administrasi perpajakan termasuk pemeriksaan pajak bersifat rahasia dan harus dilindungi. Informasi tersebut meliputi tetapi tidak terbatas atas informasi sumber penghasilan, laba-rugi, pengeluaran, aspek operasional perusahaan, proses produksi dan proses bisnis, metode kerja, advance pricing agreement, dan dokumen korespondensi antara WP dan otoritas perpajakan.2) Tanggung jawab dan kewajiban merahasiaakan tidak hanya dibebankan kepada petugas dan pejabat pajak. Kewajiban tersebut, di beberapa yurisdiksi, bahkan juga tetap diterapkan kepada mereka yang telah pensiun atau berhenti sebagai petugas pajak, setiap pihak yang berhak dan berwenang melakukan akses ke data dan informasi WP.3) Adanya sanksi tindak pidana atas pelanggaran kerahasiaan bagi pejabat atau petugas pajak dan pihak terkait yang mempunyai akses. Ancaman sanksi pidana tersebut bukanlah delik aduan. Ancaman sanksi pidana juga cukup berat misalnya penjara maksimal tiga tahun dan/atau denda maksimal sepuluh ribu ringgit seperti Malaysia.4) Tindakan yang digolongkan tindak pidana tidak sekedar tindakan mengkomunikasikan atau menyebarluaskan data dan informasi. Adanya usaha untuk mengkomunikasikan sudah digolongkan tindakan pidana. Demikian juga, kelalaian membiarkan atau mengijinkan orang yang tidak berwenang untuk mempunyai akses ke data dan informasi WP juga merupakan tindakan pidana.5) Adanya control dan perkecualian kerahasiaan atau adanya otorisasi pembukaan kerahasiaan dalam hal-hal tertentu misalnya akses kepada penegak hukum dalam rangka pidana perpajakan. Ketentuan di Singapura bahkan melarang pemberian informasi ke pengadilan mana pun kecuali dalam rangka penuntutan tindak pidana berkaitan dengan pajak penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan.Selain dari aturan yang jelas, beberapa negara juga memiliki piagam atau charter yang disitu benar-benar mencantumkan kewajiban dan hak yang dimiliki oleh wajib pajak. Beberapa negara menerapkan atau membuat Taxpayers Charter telah disusun berdasarkan nama aturan yang memuat tentangstatus hukum dan isi Piagam menetapkan beberapa hak-hak dasar dan kewajibanantara otoritas pajak dan pembayar pajak. Banyak negara telah menerapkannya, diantaranya Australia, Kanada, Prancis, India, Irlandia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan, FIlipina, Rusia dan Amerika Serikat. Dengan adanya charter ini dapat memiliki manfaat karena Hubungan antara otoritas pendapatan, pembayar pajak konsultan menjadi semakin kompleks di semua negara. Ini adalah hubungan yang sangat bergantung pada kerjasama, saling mengetahui hak dan kewajiban, dan tingkat kepercayaan yang tinggi di semua sisi. Jika kerjasama dan kepercayaan rusak, sistem pajak dapat menjaditidak bisa dijalankan. Pada saat yang sama, hubungan itu diatur oleh hukum semakin kompleks. Dengan adanya charter ini diharapkan mampu meberikan nilai lebih dan hubungan yang lebih baik.Berikut beberapa hal yang ada pada Charter yang dimiliki oleh beberapa negara:

Sumber : The Chartered Institute of Taxation, United Kingdom

Permasalahan kerahasiaan data yang cukup menarik perhatian dunia antara lain1. HRMC (Her Majesty Revenue & Customs) merupakan otoritas perpajakan dan cukai Inggris pada bulan april tahun ini memberikan kabar yang cukup menggemparkan. HRMC telah menyusun rencana yang akan memungkinkan data keuangan pribadi pembayar pajak di Inggris akan dirilis kepada pihak ketiga. Rancangan undang-undang akan memungkinkan data yang berhubungan dengan jutaan pembayar pajak yang akan dijual kepada perusahaan-perusahaan swasta dan badan-badan publik jika ada dianggap sebagai kepentingan publik. Pemerintah menegaskan bahwa data akan "anonymised" atau "dikumpulkan".Rencana tersebut dipelopori oleh Menteri Keuangan David Gauke dan bertujuan untuk membuat administrasi sistem pajak yang lebih efisien. Ada konsultasi publik tentang masalah ini tahun lalu, dengan tanggapan diterbitkan pada bulan Desember 2013. Dalam tanggapan, HMRC mengatakan sedang mempertimbangkan pengisian pilihan untuk organisasi yang ingin mengakses data.Belum secara jelas mana yang data yang akan dirilis dan kepada siapa, tetapi HMRC tidak menyimpan banyak data. Data tersebut dilindungi dengan undang-undang yang ketat karena "ruang lingkup dan kedalaman informasi HMRC mengumpulkan, menciptakan dan melindungi atas nama wajib pajak". Sebagai berbagi data hasil terbatas. Mereka memberikan jaminan tidak akan memberikan informasi atas data yang dilindungi. HMRC berpendapat bahwa ada manfaat potensi besar yang bisa datang dari berbagi data: perbaikan pembuatan kebijakan, membantu meningkatkan akses terhadap kredit untuk bisnis dan membuatnya lebih mudah untuk melindungi terhadap penipuan. "Tapi itu sangat penting bahwa setiap rilis data memiliki pengamanan yang memadai, penting untuk menjaga kepercayaan wajib pajak dan melindungi reputasi HMRC," kata laporan itu, menambahkan bahwa tidak ada proposal berhubungan dengan pelepasan "keuangan atau pajak data pembayaran wajib pajak orang pribadi.Kata-kata ini mungkin lebih meyakinkan daripada ketika HMRC tidak sudah bertanggung jawab untuk sejumlah pelanggaran data utama, termasuk satu pada tahun 2007 di mana data pribadi yang berkaitan dengan setiap anak di negara dan rincian nomor asuransi dan rekening bank nasional dari orang tua yang mengklaim tunjangan anak - disimpan pada CD hilang di pos.HMRC telah meluncurkan program percontohan di mana ia telah merilis data yang berkaitan dengan pendaftaran PPN tiga peringkat kredit lembaga: Equifax, Experian dan Dun & Bradstreet.2. Internal Revenue Service (IRS). Berita ini mencuat pada bulan juni tahun ini, dimana Internal Revenue Service (IRS), otoritas pajak Amerika Serikat, dianggap telah tertangkap melanggar hukum pajak federal: Pada bulan Oktober 2010, badan mengirim database 501 (c) (4) social-welfare groupsyang berisi informasi wajib pajak rahasia ke Biro Investigasi Federal (FBI) , menurut dokumen yang diperoleh dari House Panel.Informasi yang ditransmisikan sebelum pertemuan mantan pejabat IRS Lois Lerner bulan yang sama dengan para pejabat Departemen Kehakiman tentang kemungkinan menggunakan hukum dana kampanye untuk menuntut kelompok nirlaba tertentu. E-mail antara Lerner dan Richard Pilger, direktur Departemen Kehakiman pemilu-kejahatan cabang, diperoleh melalui somasi ke Jaksa Agung Eric Holder, menunjukkan Lerner bertanya tentang format di mana FBI lebih memilih data yang akan dikirim"Diungkapkan bahwa IRS mengirim 1,1 juta halaman nonprofit tax-return data, termasuk informasi rahasia wajib pajak untuk FBI, menegaskan kecurigaan bahwa IRS bekerja dengan Departemen Kehakiman untuk memfasilitasi penyelidikan potensi kelompok nirlaba yang bergerak dalam politik," ketua Komite Pemantau Darrell Issa, sebuah California Republik, dan ketua subkomite Jim Jordan menulis dalam sebuah surat kepada komisaris IRS John Koskinen. Dua anggota parlemen juga menimbulkan pertanyaan tentang waktu pertemuan mereka, yang hanya beberapa minggu sebelum pemilu paruh waktu 2010, ketika Partai Republik merebut kembali mayoritas di DPR.Departemen Kehakiman tidak pernah memberikan tuntutansocial-welfare groups, dan e-mail pejabat IRS memperlihatkan kesadaran mereka atas, sebagai akibat dari 2.010 putusan Mahkamah Agung dalam kasus Citizens United, yang memungkinkan jumlah uang yang tak terbatas dari kelompok nirlaba dan serikat buruh untuk mengalir ke proses politik, hukum tidak mendukung tindakan keras terhadap sumbangan anonim untuk organisasi nirlaba politik berorientasi, yang bermunculan di semua sisi di belakang keputusan itu. "Kami tidak memiliki hukum untuk melakukan sesuatu," kata seorang pejabat IRS bertanggung jawab untuk organisasi bebas pajak dalam e-mail September 2010.Meskipun Departemen Kehakiman tidak pernah melakukan tuntutan padanonprofit groups, Komite telah menyatakan bahwa Lerner berusaha terlibat dalam melakukan politisasi terhadap kelompok-kelompok konservatif dengan menerapkan sistem di mana aplikasi untuk pembebasan pajak yang tidak tepat diteliti dan dengan menyalahgunakan aturan 501 (c) (4) dengan social-welfare groups dapat memenuhi syarat untuk pembebasan pajak. Aturan-aturan mendorong protes dari kelompok-kelompok di kedua sisi dari spektrum politik dan lembaga.

3. Bagaimana dengan Indonesia?Untuk hubungan Internasional, Indonesia telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dengan negara-negara pusat keuangan yakni Bermuda, Guernsey, Isle of Man, Jersey dan San Marino untuk bertukar informasi perpajakan walau belum berlaku efektif. TIEA yang tidak sama dengan tax treaty dibuat oleh negara-negara yang sering disebut sebagai tax haven dan berisi perjanjian pertukaran informasi keuangan, seperti data perbankan dan institusi keuangan serta data kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan hingga collective investment schemes.DJP telah menandatangani nota kesepakatan bersama (MoU) dengan beberapa instansi/badan lain terkait kerjasama pertukaran informasi, seperti misalnyaBKPM, Pemda DIY Yogyakarta, dan dengan OJK. Dengan penandatanganan MoU antara DJP dan OJK tersebut, diharapkan pasal kerahasiaan bank (bank secrecy) segera menemui titik temu sehingga bisa membantu Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak, yang akhirnya meningkatan penerimaan negara.Sebenarnya, Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan telah memberikan akses yang luas kepada Ditjen Pajak. Ketentuan ini menjadi pintu masuk bagi Ditjen Pajak untuk dapat secara efektif melakukan pengawasan serta penggalian potensi pajak. Namun, ketentuan perpajakan yang berlaku sekarang ini, yaitu dalam Pasal 35 UU KUP, justru membatasi kewenangan Ditjen Pajak untuk mengakses data perbankan WP hanya untuk pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan pajak. Jadi, maksud dan tujuan Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan tersebut juga sejalan dengan tren implementasinya secara global.Dengan demikian, klausul yang termaktub dalam Pasal 41 ayat (1) tersebut sudah tepat. Permintaan kemudahan dalam penggalian potensi perpajakan melalui data perbankan, juga telah disampaikan oleh Dirjen Pajak, Fuad Rachmany, kepada Komisi XI DPR. Komisi Keuangan yang kini tengah membahas Revisi UU Perbankan diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan DJP untuk menggenjot penerimaan pajak dari sisi keterbukaan data nasabah perbankan.Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengaku pihaknya telah mencantolkan tiga wewenang DJP terhadap akses perbankan dalam revisi UU Perbankan. Adapun klausul yang dimasukkan adalah memberikan ruang yang lebih kepada DJP dalam hal pemeriksaan, penagihan dan penyidikan.Beberapa pihak menganggap bahwa, pemberian kewenangan Ditjen Pajak untuk membuka data rekening semua nasabah perbankan bisa mengancam bisnis industri perbankan. Kalangan politisi di DPR tak menutup kemungkinan hal ini akan memicu para nasabah besar memindahkan dananya ke bank-bank luar negeri yang lebih terjamin kerahasiaannya.Oleh sebab itu, anggota DPR mengusulkan agar jika Ditjen Pajak diberi kewenangan, tetap tidak bisa secara otomatis membuka data rekening nasabah. Kecuali ada indikasi telah terjadi kejahatan perpajakan oleh seseorang atau lembaga. Prosedurnya pun harus ketat, yaitu penyidik pajak yang bersangkutan harus merahasiakan data simpanan nasabah yang terlanjur dibuka rekeningnya, namun ternyata terbukti tidak bersalah. Jangka waktunya selama 10 tahun. Apabilamelanggar, maka penyidik bisa dipenjara 15 tahun.Terkait wewenang akses DJP terhadap data perbankan, ada beberapa hal yang perlu dikaji.1) Penindakan wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri. Bentuk diplomasi bisa dilakukan dengan mencabut ijin bank-bank dari negara tersebut di Indonesia.2) Revisi batasan pencantuman NPWP untuk pembelian valuta asing menjadi $10,000 ke atas. Jika mampu membeli valas $10.000, sementara penghasilan pada SPT Tahunan hanya Rp.30 juta, tentu ada penghasilan lain yang tidak dilaporkan.3) Revisi UU Perbankan bahwa kewajiban jabatan untuk merahasiakan data dikecualikan atas kepentingan perpajakan. Akses data wajib pajak seperti rekening bank, basisdata pembeli Surat Utang Negara dan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (SIDBI), diperlukan untuk penggalian potensi pajak, terutama sektor informal atau Usaha Kecil Menengah. Pemilik 746 ribu rekening dengan saldo di atas Rp.500 juta, tentu perlu diteliti kepatuhan pembayaran pajaknya. Seharusnya, akses data tidak harus menunggu adanya pemeriksaan tindak pidana perpajakan.4) Amandemen UU KUP dengan menambah klausul penggalian potensi pajak pada Pasal 35. Namun, untuk menjamin keseimbangan antara hak-hak WP dan kepentingan penerimaan pajak maka perlu dilakukan revisi atas UU KUP. Pertama, perlu dipertimbangkan untuk mengakses informasi data perbankan WP, baik melalui permintaan maupun secara otomatis. Kewenangan permintaan data dapat diberikan langsung kepada Ditjen Pajak, tidak perlu lagi melalui menteri keuangan. Lebih lanjut lagi, informasi yang diberikan secara otomatis kepada Ditjen Pajak dapat berupa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dirancang secara khusus bagi bank dan lembaga keuangan. Hal ini telah diterapkan di Portugal. Kedua, jenis informasi nasabah yang diminta harus memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Tidak diperkenankan menjalankan praktik fishing expedition, di mana Ditjen Pajak hanya berusaha mencari-cari informasi tanpa arah dan keperluan yang jelas. Jika informasi data nasabah akan diberikan kepada Ditjen Pajak, bank seharusnya berkewajiban untuk menginformasikannya kepada nasabah tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh tersebut tidak boleh disalahgunakan oleh Ditjen Pajak dan harus ada sanksi yang berat jika terjadi pelanggaran. Semua ini dimaksudkan untuk tetap melindungi hak-hak WP.5) Indonesia perlu meniru program voluntary disclosure dari IRS, yang memberikan bebas denda pajak bagi wajib pajak yang sukarela melaporkan kepemilikan rekening bank di luar negeri. Cara ini dengan mempersuasif pemilik rekening agar memberikan data rekening bank luar negeri.6) BI perlu menambahkan opsi persyaratan pembukaan rekening bank bahwa bank diperbolehkan memberikan data simpanan dan pinjaman nasabah jika ada permintaan dari kantor pajak, tanpa harus ada tindak pidana perpajakan.Mengenai kapan data nasabah dapat diakses oleh Ditjen Pajak, hal ini kembali pada maksud dan tujuannya, yaitu supaya Ditjen Pajak dapat secara efektif mendeteksi celah-celah kebocoran pajak dan melakukan upaya penegakan hukum.Pada akhirnya, mencari titik optimal atas kerahasiaan bank di satu sisi, dan dimungkinkannya pemberian data untuk tujuan perpajakan di sisi lain, merupakan sesuatu yang sulit. Namun, suka tidak suka, DPR dan pemerintah harus berani memberikan akses perbankan yang luas kepada Ditjen Pajak, tetapi tetap memperhatikan hak-hak dasar WP.

D. Isu Terkait Kerahasiaan Data Wajib Pajak Pada Pasal 34 UU KUPMasalah kerahasiaan nampaknya terus menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik, baik dikalangan akademik maupun di kalangan praktisi dalam mencari solusi yang diharapkan bisa diterima berbagai pihak. Banyak isu-isu yang menarik untuk dibahas lagi, karena memang kerahasiaan data ini memang cukup rumit dan melibatkan banyak pihak yang mempunyai kepentingan masing-masing. Permasalahan yang ada antara lain:1. Data apa saja yang termasuk rahasiaDalam masalah perpajakan, pejabat sebagaimana dimaksud pasal 34 harus mengetahui dengan jelas informasi atau apa yang harus dirahasiakan dan data mana yang bukan rahasia. Sebab bisa saja terjadi perbedaan penafsiran antar pejabat. Sebab bisa saja terjadi perbedaan penafsiran antar pejabat yang satu dengan lain.Sulitnya menentukan elemen-elemen data apa saja yag harus dirahasiakan, perlu dijelaskan bahwa kriteria-kriteria tertentu, karena undang-undang tidak mengaturnya secara jelas. Ketentuan kerahasiaan data wajib pajak yang diatur dalam pasal 34 UU KUP harus diatur secara lebih detail, karena dinilai masih terlalu umum.Darussalam, pengamat perpajakan internasional dari Tax Center Universitas Indonesia, mengatakan berdasarkan best practice di negara-negara maju, kerahasiaan data wajib pajak yang dilindungi oleh UU adalah data wajib pajak yang terkait dengan transaksi yang mempunyai tujuan bisnis yang baik (bonafide business principle). Menurut dia, ketentuan kerahasiaan data wajib pajak di Indonesia masih bersifat umum sehingga perlu diatur lebih detail lagi perihal dalam kondisi apa data wajib pajak boleh dibuka kepada DPR atau BPK.Disisi lain ketika apa data yang boleh dan tidak boleh ini tidak ditentukan dengan jelas juga akan membawa efek buruk kepada DJP. Keinginan DJP untuk melindungi kerahasiaan merupakan kepastian hukum yang diberikan kepada WP, dan bentuk tanggung jawab agar WP mau jujur mengungkapkan datanya. Tetapi disisi lain DJP dianggap menghambat atau menutup-nutupi data ataupun kasus perpajakan yang ada. Bagi pihak yang kurang suka, akan menganggap bahwa DJP sengaja menutup-nutupi dan sengaja mempersulit akses untuk bisa memainkan pajak dan melakukan tindak KKN. Sehingga hal ini juga kurang baik untuk citra DJP. Ketika aturan lebih jelas mengatur maka transparansi atas pajak akan lebih baik lagi, dan kepercayaan public atas instansi pajak juga akan meningkat.

2. Dalam hal pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKBerdasar ketentuan, BPK memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksa terhap instansi pererintah yang salah satunya adalah Dirjen Pajak, tetapi dalam hal ini mengalami masalah yaitu terbentur dengan ketentuan Pasal 34 Undang-undang no.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan tentang kewajiban Dirjen Pajak untuk merahasiakan data dari wajib Pajak, sehingga terjadi perseteruan antara kedua lembaga tersebut,BPK merasa punya wewenang untuk memeriksa atau meminta keterangan dari Dirjen Pajak tentang data wajib pajak tetapi Dirjen Pajak merasa punya kewajiban yang dibebankan kepadanya untuk menjaga rahasia wajib pajak dan BPK harus mendapat ijin dari Menteri Keuangan, Pasal itu menyebutkan, bahwa untuk bisa mengaudit penerimaan pajak, BPK mesti mendapat ijin dari Menteri Keuangan (Menkeu) melalui sebuah penetapan. Alasan diperlukannya ijin dari Menkeu adalah demi menjaga kerahasiaan wajib pajak.Perbedaan pandangan Ditjen Pajak dan BPK adalah soal wewenang BPK untuk memeriksa SPT. SPT WP merupakan rahasia waib pajak yang tidak boleh diketahui oleh umum. Hal itu merupakan rahasia Wajib Pajak yang menjadi miliknya, karena bayangkan misalnya kalau itu dianggap milik negara nanti pada waktu ada yang bocor pajak orang bisa ramai. Kalau itu bocor bisa menggugat petugas pajak, bukan siapa-siapa tapi petugas pajak. Sehingga yang menjadi lahan audit BPK bukan WP melainkan hasil pemeriksaan oleh petugas pajak. Kerap kali dalam prakteknya menkeu baru memberikan izin memeriksa penerimaan negara setelah BPK mengajukan permohonan tertulis kepadanya. Padahal kedudukan Ketua BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menkeu. Dalam UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan No 28 tahun 2007 diharuskan memberikan akses kepada BPK untuk meminta keterangan tentang perpajakan hanya setelah mendapatkan izin tertulis dari Menkeu.Sabagaimana kita tahu, setiap tahun BPK sebagai pemeriksa akan melaksanakan pemeriksaan terkait pengelolaan kekayaan negara, tentu saja salah satunya terkait pengelolaan penerimaan pajak. Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan resmi mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Melalui uji materi tersebut, BPK meminta hak untuk mengaudit data tentang wajib pajak.Pasal yang akan diujimaterikan adalah Pasal 34 ayat 2-a huruf b. Di dalamnya disebutkan bahwa pejabat dan/atau tenaga ahli yang dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan pemeriksaan keuangan negara terlebih dulu harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal ini mengatur secara limitatif keterangan yang dapat diberikan, hanya informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.Permohonan itu diajukan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Pasal 34 ayat 2-a huruf b bertentangan dengan ketentuan di Pasal 23-E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri (Koran Tempo, 17 Januari).Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak pada waktu itu (Djoko Slamet Surjoputro) menyatakan, bila pasal 34 dilanggar,ranah privasi wajib pajak menjadi semakin sempit.Hak wajib pajak yang telah menyerahkan rahasia pribadinya kepada negara tidak akan terlindungi lagi. Bercermin pada kasus serupa di negara lainnya, menurut Djoko, kerahasiaan pajak di negara lain dijamin oleh undang-undang secara ketat. Pemeriksa eksternal hanya diberikan kewenangan memeriksa secara terbatas dengan syarat-syarat tertentu. Dari riset yang dilakukan oleh Tempo di beberapa negara lain, seperti Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura, kerahasiaan wajib pajak memang dilindungi dengan ketat.Akhirnya upaya hukum yang dilakukan oleh BPK kandas. Permohonan uji materi salah satu frase Pasal 34 ayat (2a) huruf b berikut penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dinyatakan tak dapat diterima alias NO (Niet ontvankelijk verklaard) oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai tak ada kerugian kewenangan konstitusional yang diterima oleh BPK lantaran berlakunya frase dalam pasal itu. Memang, kedudukan hukum atau legal standing BPK dijamin oleh Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK untuk mengajukan uji materi. Karena tidak terpenuhinya syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan UU MK jelas Hakim Konstitusi HAS Natabaya. Secara sederhana, MK menilai persoalan ini hanya sebatas adanya ketidakharmonisan antar Undang-Undang. Sebuah persoalan klasik yang sering ditemui di negara ini. Jimly mencatat ada ketidaksinkronan antara UU KUP dengan UU Keuangan Negara (UU 17/2003), UU Pemeriksaan Keuangan Negara (UU 15/2004), dan UU BPK (UU 15/2006). Sehingga terjadi benturan dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi. Apalagi, lanjut Jimly saat membacakan konklusi, perkara ini bertajuk pengujian UU, bukan perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Sehingga tak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK, ujarnya.Selain itu, MK juga menyarankan agar memorandum of understanding (MoU) antara BPK dan Menkeu yang sempat mengemuka segera dilanjutkan kembali. Bahkan, MK menilai MoU merupakan jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Natabaya mengatakan yang dipersoalkan selama ini hanya berupa hambatan teknis. Hambatan yang bersifat teknis seperti demikian pun seharusnya dapat diselesaikan melalui MoU, tuturnya. Sekedar mengingatkan, pembahasan MoU antara BPK dan pemerintah tentang pemeriksaan atas Ditjen Pajak ini bukan hal yang baru. Bahkan, konsep MoU itu sudah hampir mendekati final sebelum terhenti. Beberapa waktu lalu, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan pembahasan MoU ini terhenti karena tiba-tiba BPK membawa persoalan ini ke MK. Dissenting opinionPutusan yang diandatangani oleh sembilan hakim konstitusi ini tidak bulat. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Berbeda dari delapan koleganya, Maruarar justru mengatakan seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan ini. Ia pun merinci permohonan itu menjadi tiga bagian.Terhadap frase ditetapkan Menteri Keuangan untuk yang terdapat Pasal 34 ayat (2a) huruf b itu, Marurar menilai seharusnya putusan MK dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Ketentuan itu tak bertentangan dengan UUD 1945, dengan syarat ketetapan yang dikeluarkan Menkeu harus dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sehingga dapat dipahami sebagai upaya untuk mendukung dan tidak menghambat pemeriksaan atau audit yang dilakukan BPK dengan cara yang sebaik-baiknya, jelas Marurar. Dalam persidangan, BPK memang mengeluhkan lambatnya balasan surat Menkeu terkait permintaan izin yang diajukan oleh BPK. Sedangkan mengenai frase atau instansi pemerintah yang terdapat pasa Pasal 34 ayat (2a) huruf b diakui oleh Maruarar memang tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, beda halnya dengan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b yang juga dipersoalkan BPK. Ia menilai penjelasan dalam pasal ini telah membentuk norma baru dan juga membatasi akses BPK terhadap dokumen dan data informasi wajib pajak secara tidak proporsional dan rasional. Sebelumnya, para ahli yang dihadirkan masing-masing pihak memang sempat memperdebatkan penjelasan pasal ini. Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga menilai BPK memang tak dapat memeriksa dokumen wajib pajak. Menurutnya, jika auditor negara ini bisa memperoleh berkas itu, bisa bocor ke pihak lain. Termasuk kepada saingannya. 3. Penunggak PajakMenteri Keuangan sebelumnya, yaitu Agus Marto wardojo pernah mengancam para penunggak pajak yang tidak kunjung membayar, ancamanya akan diumumkan ke media masaa. Tentu saja hal ini mengundang pro dan kontra. Para penunggak pajak bisa dipublikasikan karena memang mereka dianggap sudah tidak kooperatif dan melangganr UU yang berlaku. Menurut Agus, kalau seandainya diumumkan tidak bisa nanti penunggak akan di cekal, mereka tidak akan perkenankan untuk ke luar negeri. Dan bahkan kalau tetap masih melakukan penunggakan pajak, akan diambil tindakan gijzeling atau paksa badan.Berdasarkan LKPP 2012 piutang pajak kita pada Desember 2012 adalah:

Dari nilai piutang pajak sebesar Rp70.721.181.887.660 terdapat piutang pajak yang disisihkan sebesar Rp42.929.017.362.023. Nilai piutang yang disisihkan tersebut termasuk piutang yang telah daluwarsa penagihannya sebesar Rp8.638.230.038.255. Selama tahun 2012, atas nilai piutang pajak yang telah daluwarsa tersebut, telah diusulkan penghapusan sebesar Rp1.176.047.212.013. Selama tahun 2012, nilai piutang yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan untuk dihapusbukukan sebesar Rp28.075.790.794.612.dari data ini terlihat bahwa piutang yang dimiliki oleh para penunggak pajak sangatlah besar, dan membutuhkan effort untuk bisa menagihnya, mengingat waktu daluarsa yang terus berjalan.4. Keamanan Sistem Informasi DJPSebagaimana diketahui, pada akhir Januari 2013 lalu, sebuah media di Jakarta menulis tentang laporan SPT Tahunan Pajak tahun 2011 milik Presiden SBY dan dua putranya, Agus Harimurti dan Edhie Baskoro atau Ibas. Laporan itu menyebut adanya kejanggalan dalam pembayaran pajak. Presiden SBY langsung membantah dugaan tersebut. Dirjen Pajak menyatakan bahwa ada seseorang yang membobol data pajak Presiden SBY dan keluarganya memang benar. Namun, apakah data yang dimuat di media juga benar atau tidak DJP tidak memberikan komentar, karena bagaimanapun data digital masih bisa dimanipulasi sedemikian rupa. Dirjen Pajak mengakui bahwa sistem teknologi informasi (TI) Ditjen Pajak terus menjadi target percobaan pembobolan oleh para hacker. 'Setiap hari, itu bisa ribuan (upaya pembobolan). Data pajak yang paling sering menjadi incaran para hacker adalah laporan pajak para pejabat tinggi negara, termasuk laporan pajak dirinya sebagai dirjen pajak. 'Di luar negeri, istilahnya tax return peeping atau orang yang ngintip-ngintip pajak orang lain.Ditjen Pajak sudah berupaya menangkal berbagai aksi peretasan tersebut melalui sistem pengamanan yang berlapis. Sebagian besar upaya tersebut bisa digagalkan, namun ada pula yang berhasil membobol. 'Kalau ada yang berhasil masuk, pasti kita kejar,' ujarnya. Secara khusus, Fuad Rachmany (DIrjen Pajak) meminta kepada media massa untuk tidak mudah percaya jika mendapat data-data pajak yang semestinya tidak boleh dipublikasikan. Dalam hal melindungi sistem yang dimiliki oleh DJP, juga merupakan tugas dan tanggung jawab, karena data-data yang terdapat dalam basis data di DJP adalah data yang banyak dan menyangkut kepentingan banyak orang. Sehingga sistem keamanannya merupakan tanggung jawab dari DJP untuk bisa memastikan tidak akan dibobol oleh orang yang tidak semestinya. Keamanan yang berlapis dan juga standar keamanan yang diterapkan harus sesuai dan diharapkan bisa mendapat standar keamanan seperti lembaga lain yang bertanggungjawab atas data rahasia.

E. Isu Seputar Kerahasiaan Data Wajib Pajak Penerimaan DataIsu mengenai dapat diaksesnya data nasabah perbankan untuk kepentingan pajak menyeruak belakangan ini. Hal ini dipicu oleh adanya inisitif dari DPR untuk merevisi UU Perbankan. Dalam UU Perbankan, terdapat pengaturan tentang diperkenankannya akses keterangan atau bukti mengenai keadaan keuangan wajib pajak (WP) untuk kepentingan perpajakan. Yang menjadi pertanyaan, sampai seberapa luas akses data perbankan WP dapat dibuka untuk tujuan perpajakan?Selama ini, akses data perbankan hanya diperkenankan dibuka untuk tiga tujuan, yaitu pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan pajak sebagaimana diatur dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Di luar itu, untuk kepentingan pajak, akses perbankan tidak dapat dibuka. Padahal, DJP berkeinginan agar dapat memperluas akses data perbankan WP di luar ketiga tujuan tersebut. Untuk memperoleh data dan informasi perbankan, kerapkali otoritas pajak suatu negara bersinggungan dengan ketentuan mengenai kerahasiaan perbankan. Kerahasiaan bank merupakan hal mendasar yang dibutuhkan dalam setiap sistem perbankan yang sehat, agar menghindari pengungkapan yang tidak sah kepada pihak-pihak tertentu, misalnya pesaing usaha, yang dapat menjadi ancaman bagi nasabah yang akan melakukan kegiatan usaha. Namun, di sisi lain, perlu juga diperhatikan bahwa kerahasiaan bank dapat menimbulkan masalah di mana nasabah, dalam hal ini WP, dapat menyembunyikan kegiatannya secara ilegal untuk menghindari kewajiban.Pada Juni 2010, Swiss, yang dikenal sebagai negara yang ketat menerapkan kerahasiaan bank, menyerah ketika Amerika Serikat meminta data nasabah UBS, bank terbesar di Swiss. Pemerintah AS mengancam akan mencabut ijin operasi bank UBS di seluruh AS, jika UBS menolak memberikan data pengemplang pajak. Dengan persetujuan parlemen Swiss, UBS akhirnya memberikan 4.550 data nasabah warga Amerika yang diduga mengemplang pajak. Bank Swiss lainnya, Wegelin, terbukti bersalah karena memfasilitasi orang kaya AS untuk membuka rekening di Wegelin. Nasabah Wegelin diperbolehkan menggunakan identitas maya (beneficiary ownership) dari negara bebas pajak seperti Panama, Caymand, Liechtenstein, Makao dan Hongkong. Untuk penarikan uang, Wegelin membuka rekening khusus di bank korespondensi di AS dan mentranfer kurang dari $10,000 untuk menghindari pantauan IRS. Bank Wegelin dikenai denda $57,8 juta atas tuduhan penggelapan pajak senilai $1,2 milyar atau Rp.12 trilyun. Sejumlah bank Swiss lain masih diperiksa oleh Kejaksaan AS atas tuduhan membantu penggelapan pajak.Langkah ini diikuti pula oleh Prancis dan Inggris, yang meminta Swiss memperbarui tax treaty dengan kedua negara tersebut. Jerman juga meminta Liechtenstein memberikan data wajib pajak Jerman yang menyembunyikan uang di bank Liechtenstein. Selain itu, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga sudah meluncurkan panduan resmi kerja sama pertukaran informasi otoritas perpajakan antarnegara. Kerja sama ini termasuk pula mengenai informasi data nasabah demi peningkatan penerimaan pajak. Prinsip kerahasiaan bank menjadi jualan utama bank demi kenyamanan nasabah. Kerahasiaan bank diatur diatur Pasal 40 UU No.10/1998 tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2/19/PBI/2000, dengan pengecualian Pasal 2(4), dimana kerahasiaan bank bisa dibuka untuk kepentingan perpajakan. Pembukaan rahasia dilakukan oleh bank, jika ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama pejabat pajak, nama Nasabah, nama kantor Bank, keterangan yang diminta, dan alasan diperlukannya keterangan.Kaitan antara bank dengan pajak setidaknya ada empat yaitu:1. BI mensyaratkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai prinsip pengenalan nasabah (Know Your Customer), diatur dengan PBI Nomor 5/21/PBI/2003.2. Dalam pengajuan kredit lebih dari Rp.50 juta wajib dilampirkan NPWP.3. Untuk pembelian valuta asing minimal $ 100 ribu, diwajibkan ada NPWP, sesuai PBI No.10/28/ PBI/2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Bank.4. Dalam PBI No.13/20/PBI/2011, eksportir wajib menyampaikan informasi devisa hasil ekspor (DHE) ke bank devisa.Kerahasiaan bank ternyata mencakup liabilities bank (berupa simpanan nasabah) dan asset bank (kredit yang disalurkan). Padahal bank mensyaratkan NPWP untuk kredit di atas 50 juta. Lalu apa fungsi NPWP untuk hal ini?Jika melihat demografi nasabah bank, sebenarnya potensi penggalian pajak masih besar. Data Lembaga Penjamin Simpanan per Juli 2013 menyebutkan rekening total sebanyak 126,8 juta rekening dengan nominal simpanan Rp.3.447 trilyun. Simpanan di atas Rp.500 juta sebanyak 746.456 rekening dengan nominal Rp.2.373 trilyun. Berarti 0,58 persen jumlah rekening bank nasional menguasai 70,4 persen total simpanan di bank.Selama ini, analisis potensi pajak terbentur keterbatasan data keuangan wajib pajak. Contoh, pedagang mencantumkan rekening bank untuk penjualan online, tetapi rekening tersebut tidak dilaporkan pada SPT Tahunan. Aparat pajak kesulitan untuk menjangkau data nasabah karena terhadap nasabah belum dilakukan tindak pemeriksaan yang menunjukkan tindak pidana pajak, walaupun analisis perhitungan menunjukkan ada penghindaran pajak.Aturan kewajiban memberikan data telah diatur Pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 16/2009. Pasal ini mewajibkan lembaga pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain (termasuk bank) untuk memberikan data perpajakan kepada Ditjen Pajak, meliputi data nasabah debitur, transaksi keuangan, kartu kredit, lalu lintas devisa. Pada pasal 41 C UU KUP telah diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) bisa dipidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.1 milyar. Andai saja data akses ke perbankan bisa diberikan, kemungkinan banyak wajib pajak yang bisa dihimbau untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan.Pada dasarnya, merumuskan ketentuan dapat diaksesnya data perbankan oleh otoritas pajak adalah sesuatu yang sulit. Suatu negara perlu memberikan kontrol yang ketat mengenai bagaimana otoritas pajak memperoleh dan menggunakan data perbankan WP. Hal ini untuk menjaga hubungan saling mempercayai antara pemerintah dan warga negara. Dapat diaksesnya data perbankan dapat saja mencederai hak-hak dasar WP yang mencakup pula hak-hak atas privasi dan kerahasiaan WP. Selain prinsip kerahasiaan WP, ada juga prinsip proporsional. Berdasarkan prinsip ini, pemerintah dibatasi oleh peraturan perundangundangan untuk akses ke perbankan. Pemerintah bahkan wajib memberikan perlindungan yang paling efektif bagi WP.Mengenai kerahasiaan perbankan, Alfred Storck dan kawan-kawan (2014) pernah melakukan survei di 37 negara, dan menemukan beberapa fakta menarik, sebagai berikut:1. Pada umumnya kerahasiaan bank diatur oleh UU Perbankan, namun kerahasiaan tetap tunduk untuk kepentingan pajak. Di 35 dari 37 negara, informasi mengenai data perbankan WP dapat diperoleh otoritas pajak dari bank. Artinya, walaupun terdapat kerahasian bank, kerahasian tersebut dapat dibuka untuk kepentingan pajak.2. Pada umumnya, akses data perbankan dapat diperoleh melalui permintaan. Walau demikian, mekanisme permintaan data dianggap tidak cukup oleh otoritas pajak. Terdapat 13 negara yang memiliki aturan akses data perbankan secara otomatis. Hal ini antara lain dilakukan oleh Slovenia, Portugal, dan Australia.3. Sebanyak 32 dari 37 negara tersebut memberikan kewenangan permintaan data perbankan kepada otoritas pajak. Otoritas pajak tersebut bisa saja berasal dari pimpinan otoritas pajak di tingkat kantor pusat, kepala kantor wilayah (Korea Selatan), atau juga bisa otoritas pajak di tingkat kota ( Argentina).4. Payung hukum yang mengatur dapat diaksesnya data perbankan untuk keperluan pajak. Pada umumnya, hal ini diatur secara bersama-sama oleh regulasi perpajakan dan perbankan. Sebanyak 23 dari 37 negara menerapkan hal ini. 5. Data nasabah hanya bisa diakses tidak terbatas pada saat penyidikan saja, tetapi juga pada tahap lainnya, seperti pemeriksaan, keberatan, atau penagihan. 6. Perlindungan hak-hak WP. Sebesar 58% dari negara yang datanya tersedia ternyata tidak memiliki aturan yang berisi kewajiban bagi bank untuk menginformasikan kepada WP. Namun, 82% sampel, secara tegas tidak memperbolehkan praktik fishing expedition, yaitu meminta informasi bank tanpa kriteria yang jelas dan sekadar mencari-cari kesalahan WP. Lebih lanjut lagi, 94% dari sampel negara yang datanya tersedia mengatur tentang pemberian sanksi jika terbukti otoritas pajak menyalahgunakan data perbankan WP.Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan mengatur, untuk kepentingan perpajakan, DJP dapat mengakses keterangan atau bukti mengenai keadaan keuangan WP. Klausul ini sebenarnya telah memberikan akses yang luas kepada DJP. Ketentuan ini menjadi pintu masuk bagi DJP untuk dapat secara efektif melakukan pengawasan serta penggalian potensi pajak. Namun, dalam Pasal 35 UU KUP, justru membatasi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengakses data perbankan WP hanya untuk pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan pajak. Data nasabah perbankan, terutama rekening simpanan, merupakan data valid yang seharusnya bisa diakses DJP. Bahkan, data nasabah dapat dimanfaatkan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak (WP) terhadap peraturan perpajakan. DJP dapat melakukan pengecekan uang yang masuk dan dapat memperkirakan penghasilan WP. Setelah itu dapat dilakukan uji silang dengan penghasilan dan pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.Oleh karena itu, klausul yang termaktub dalam Pasal 41 ayat (1) tersebut sudah tepat. Namun, untuk menjamin keseimbangan antara hak-hak WP dan kepentingan penerimaan pajak maka perlu dilakukan revisi UU KUP dan sinkronisasi dengan UU Perbankan, yaitu:1. Perlu dipertimbangkan untuk mengakses informasi data perbankan WP, baik melalui permintaan maupun secara otomatis. Kewenangan permintaan data dapat diberikan langsung kepada DJP, tidak perlu lagi melalui menteri keuangan. Lebih lanjut lagi, informasi yang diberikan secara otomatis kepada DJP dapat berupa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dirancang secara khusus bagi bank dan lembaga keuangan. Hal ini telah diterapkan di Portugal.2. Jenis informasi nasabah yang diminta harus memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Tidak diperkenankan menjalankan praktik fishing expedition, di mana DJP hanya berusaha mencari-cari informasi tanpa arah dan keperluan yang jelas. Jika informasi data nasabah akan diberikan kepada DJP, bank seharusnya berkewajiban untuk menginformasikannya kepada nasabah tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh tersebut tidak boleh disalahgunakan oleh DJP dan harus ada sanksi yang berat jika terjadi pelanggaran. Semua ini dimaksudkan untuk tetap melindungi hak-hak WP.3. Perlu dipertimbangkan untuk mencantumkan klausul kewajiban bagi pihak perbankan untuk melaporkan data nasabah kepada DJP secara berkala. Ketika perbankan memberikan data nasabah kepada DJP, nasabah harus diberi tahu.Selain perlunya revisi UU KUP, juga diperlukan kajian lebih lanjut pembukaan rahasuia bank dalam rangka pengejaran penghindaran pajak. 1. Penindakan wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri. Bentuk diplomasi bisa dilakukan dengan mencabut ijin bank-bank dari negara tersebut di Indonesia.2. Revisi batasan pencantuman NPWP untuk pembelian valuta asing menjadi $10,000 ke atas. Jika mampu membeli valas $10.000, sementara penghasilan pada SPT Tahunan hanya Rp.30 juta, tentu ada penghasilan lain yang tidak dilaporkan.3. Revisi UU Perbankan bahwa kewajiban jabatan untuk merahasiakan data dikecualikan atas kepentingan perpajakan. Akses data wajib pajak seperti rekening bank, basisdata pembeli Surat Utang Negara dan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (SIDBI), diperlukan untuk penggalian potensi pajak, terutama sektor informal atau Usaha Kecil Menengah. Pemilik 746 ribu rekening dengan saldo di atas Rp.500 juta, tentu perlu diteliti kepatuhan pembayaran pajaknya. Seharusnya, akses data tidak harus menunggu adanya pemeriksaan tindak pidana perpajakan.4. Indonesia perlu meniru program voluntary disclosure dari IRS, yang memberikan bebas denda pajak bagi wajib pajak yang sukarela melaporkan kepemilikan rekening bank di luar negeri. Cara ini dengan mempersuasif pemilik rekening agar memberikan data rekening bank luar negeri.5. BI perlu menambahkan opsi persyaratan pembukaan rekening bank bahwa bank diperbolehkan memberikan data simpanan dan pinjaman nasabah jika ada permintaan dari kantor pajak, tanpa harus ada tindak pidana perpajakan. II. PenutupKerahasiaan mengenai data Wajib Pajak harus dijaga oleh pejabat pajak di Indonesia. Hal ini diatur oleh pasa 34 UU KUP yang berbunyi bahwa "Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan." Walaupun demikian, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut dimana data wajib pajak dapat diperlihatkan pada keadaan tertentu. Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut diancam dengan hukuman pidana. Hal ini untuk menjamin tidak adanya penyalahgunaan data perpajakan untuk kepentingan tertentu.Di sisi lain, kerahasian data wajib pajak di luar data pajak merupakan data yang diperlukan bagi DJP. Pemeriksaan sebagai upaya pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak membutuhkan keterbukan data oleh wajib pajak atau pihak lain yang memiliki informasi seputar wajib pajak yang diperiksa. Masalah keterbukaan dan kerahasiaan data yang dimiliki wajib pajak ini menjadi persoalan yang sering diperbincangkan. Walaupun UU Perpajakan telah mengatur pencegahan terhadap adanya dalih Wajib Pajak terkait kerahasiaan informasi, terdapat peraturan lain yang setingkat yang mengatur hal yang sama. Sebagai contoh, kewajiban memberikan informasi (termasuk informasi rahasia) seperti tertuang dalam pasal 35 UU KUP dengan UU lain misalkan UU Perbankan. Selain itu, informasi yang ada (informasi di perbankan), jika dapat diperoleh oleh DJP, selain dapat digunakan dalam menjalankan pemeriksaan, dapat menjadi sumber informasi DJP dalam penggalian potensi perpajakan yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan negara.Pada akhirnya, mencari titik optimal atas kerahasiaan bank atau sektor lain di satu sisi, dan dimungkinkannya pemberian data untuk tujuan perpajakan di sisi lain, merupakan sesuatu yang sulit. Oleh karena itu, perlu dibuat kembali aturan yang tegas yang mengatur kembali hubungan kerahasiaan dan keterbukaan antara data yang dimiliki DJP dengan sektor lain dengan tetap memperhatikan hak-hak dasar wajib pajak yang ditujukan demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.

REFERENSI:Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/2000 Tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan Oleh Pejabat dan Tenaga Ahli yang Ditunjuk Mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan Kepadanya Oleh Wajib Pajak Dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk Menjalankan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.PP 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.Rini, Sulistya Nova, S.H. 2010. Tinjauan Hukum Tentang Rahasia Jabatan Dirjen Pajak Berkaitan Dengan Pengumuman Daftar Pengemplang Pajak Oleh Dirjen Pajak. Depok: Universitas Indonesia.UU KUPhttp://www.businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/penerimaan-pajak-dan-kerahasiaan-bank.phphttp://www.dannydarussalam.com/2013/02/bolehkah-spt-pajak-dibuka-untuk-umum-ini-jawabannya/http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f913394cca5/mendobrak-batas-kerahasiaan-bankhttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt528e1f3024f98/bolehkah-bank-memberikan-informasi-data-nasabah-kepada-bank-lainhttp://www.pajak.go.id/content/article/intensifikasi-pajak-dan-rahasia-bankhttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e24ee3b7248/djp-minta-akses-ke-rahasia-bankhttp://www.investor.co.id/home/akses-perbankan-untuk-tujuan-pajak/80234http://m.bisnis.com/finansial/read/20140116/10/198081/ditjen-pajak-minta-kemudahan-akses-data-perbankanhttp://www.pajak.go.id/content/article/intensifikasi-pajak-dan-rahasia-bankhttp://pajak.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7604&Itemid=58http://pajaktaxes.blogspot.com/2008/02/kerahasiaan-wajib-pajak.htmlhttp://www.pajak.go.id/content/news/ditjen-pajak-jamin-kerahasiaan-spt-wajib-pajakhttp://signnet.blogspot.com/2008/05/judisial-review-uu-perpajakan-bagian-ii.htmlhttp://social-pajak.blogspot.com/2008/04/aspek-hukum-kerahasiaan-pajak.htmlhttp://www.investor.co.id/home/akses-perbankan-untuk-tujuan-pajak/80234http://www.tempo.co/read/opiniKT/2014/02/19/6502/Data-Nasabah-untuk-Pajakhttp://www.telegraph.co.uk/news/10775828/HMRC-plans-to-sell-taxpayers-data-to-private-firms.htmlhttp://www.wired.co.uk/news/archive/2014-04/19/hmrc-selling-off-dataKerahasiaan Data dalam Perpajakan Indonesia - Kelompok 4 20